KONFLIK WILAYAH PENGENDALIAN UDARA (FLIGHT INFORMATION REGION) INDONESIASINGAPURA,DAMPAK,SERTA PENGARUH TERHADAP KEDAULATAN INDONESIA DAN UPAYA PENGAMBILALIHANNYA KEMBALI BY : M IJLAL LUTHFI (1151004009) ASHIDDIQI • Pada awalnya kewenangan pengelolaan FIR Oleh Singapura didasari oleh sadarnya Indonesia akan ketidakmampuan untuk mengelola sistem lalu lintas udara dan peralatan yang menunjang hal tersebut masih sangat minim dan kurang. • Indonesia melihat Singapura sudah lebih maju untuk mengelola lalu lintas udara dan juga Singapura sendiri juga memiliki salah satu bandara yang super sibuk di asia tenggara yaitu Changi International Airport. • Pada tanggal 21 September 1995 dilakukan pertemuan antar ke dua negara di pihak Indonesia sendiri diwakili oleh Haryanto Danutisto yang kala itu menjabat menteri perhubungan • Pada tanggal 2 Februari 1996 Presiden Soeharto mengeluarkan Kepres No 07/1996 tentang pengesahan “Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Republic Singapore on the realignment of the boundary between the Singapore Flight Information Region and the Jakarta Flight Information Region” dan menjadikan ini sebagai traktat yang harus dipatuhi kedua negara • Dengan salah satu poin perjanjian dimana Singapore diijinkan memungut biaya navigasi udara atas penerbangan sipil asal Indoneisa di wilayah FIR tersebut • Pada tanggal 12 Januari 2009, Indonesia terpaksa menyerahkan pengontrolan ruang udara diatas kepulauan Riau dan Natuna kepada FIR Singapura sesuai UU RI No. 1 tahun 2009. Jadi sudah syah, karena secara hukum Indonesia menyerahkan kewenangan pengaturan lalu-lintas udara dan jaminan keselamatan penerbangan diatas kepulauan Riau dan Natuna kepada Singapura. SECURITY DILEMMA Flight Information Region yang dikelola Singapura akhirnya menimbulkan dampak yang ternyata malah banyak merugikan indonesia implikasinya adalah : • Singapura memiliki legalitas untuk memasuki wilayah FIR Indonesia cukup dengan ijin ATC. • Sebaliknya pesawat Indonesia harus mendapat ijin terlebih dahulu dari ATC Singapura sebelum memasuki wilayah FIR • Di Zona FIR Indonesia semua diatur dan di monitor oleh Singapura bahkan saat Start Engine semua harus memiliki izin dari otoritas Singapura. SECURITY DILEMMA CONTOH KASUS : • Pada tahun 1991 Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani alias Benny Moerdani terapung-apung di langit Natuna. Pesawat TNI Angkatan Udara yang mengangkut Menteri Pertahanan dan Keamanan RI periode 1988-1993 itu belum bisa mendarat di Pangkalan Udara TNI AU Ranai, Natuna, Kepulauan Riau,Karena ATC Berhak mengetahui siapa saja penumpang onboard dan Pilot mengatakan membawa penumpang VVIP lalu izin pendaratan tidak diberikan dan tertahan di udara. SECURITY DILEMMA • Dari perspektif Singapura, pertimbangan utama adalah risiko keselamatan dari wilayah udara terfragmentasi di sekitar Singapura. Lalu lintas di wilayah udara di sekitar Singapura sangat kompleks seperti lima bandara (Changi, Seletar, Senai, Batam Hang Nadim dan Bintan Raja Haji Fisabilillah) - dengan pembukaan keenam yang segera melayani resor wisata Bintan - berada dalam radius 50 mil laut dari Singapura. • Jika FIR Singapura terfragmentasi dan digambar ulang berdasarkan batas teritorial karena pertimbangan "kedaulatan", koordinasi pergerakan lalu lintas pesawat dan udara akan lebih rumit, meningkatkan kompleksitas manajemen lalu lintas udara. Hal ini menimbulkan risiko kecelakaan yang terjadi dan mengurangi penggunaan ruang udara secara efisien. • Mengingat seringnya media melaporkan standar keselamatan Indonesia yang buruk, masyarakat internasional harus khawatir jika Indonesia dipercaya untuk bertanggung jawab mengelola wilayah udara yang kompleks di sekitar Singapura. RE-ALIGNMENT FLIGHT INFORMATION INDONESIA • Indonesia harus memenuhi persyaratan teknis sesuai ketentuan ICAO untuk melayani navigasi penerbangan di wilayah udara di atas Laut Natuna yang sekarang ini termasuk dalam Flight Information Region (FIR) Singapura" adalah kesimpulan dari Seminar yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan Masyarakat Hukum Udara. • Kondisi dunia penerbangan Indonesia masih belum bisa meningkatkan kualitasnya sesuai dengan standard International (standard ICAO). • Dari hasil audit ICAO terhadap persyaratan keselamatan penerbangan sipil di Indonesia yang meliputi 8 (delapan) aspek penerbangan, dinilai masih berada dibawah rata-rata nilai dunia, yaitu dalam bidang: (1) Legislation, (2) Organization, (3) Licensing, (4) Operations, (5) Airwothiness, (6) Accident Investigation, (7) Air Navigation Services, dan (8) Aerodrome. Angka kematian penumpang pesawat terbang di Indonesia tercatat 25 kali lebih besar dari ratarata kematian penumpang pesawat terbang di Amerika Serikat, jumlah yang sangat besar. • Indonesia masih berada di posisi Katagori II di mana masih belum bisa masuk menjadi anggota Dewan ICAO (International Civil Aviation Organization). Selama masih masih katagori II (belum bisa menjadi katagori I), berarti kita juga tidak bisa mengadakan re-alignment FIR Singapore ke FIR Jakarta. WHAT SHOULD INDONESIA DO? • Presiden Joko Widodo pada 2015 lalu meminta jajarannya untuk mengambil alih Flight Information Region (FIR) 1 yang masih dikuasai Singapura. TNI AU mengaku sudah siap membantu pemerintah jika kontrol wilayah udara di Kepulauan Riau dan sekitarnya itu dikembalikan ke Indonesia. • Beberapa kementerian yang diminta Presiden Jokowi untuk mengambil alih FIR dari Singapura di antaranya seperti Kementerian Perhubungan dan Kementerian Luar Negeri. International Civil Aviation Organitation (ICAO) hingga kini masih belum mengizinkan Indonesia mengelola ruang udara di wilayah Kepri, Tanjungpinang, dan Natuna karena dianggap belum memiliki kesiapan infrastruktur dan SDM yang mumpuni Syarat lainnya, Indonesia juga harus dapat menjadi anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) sebagai alat memudahkan langkah diplomasi dalam upaya pengambilalihan FIR tersebut. • Hal diatas sambil juga diiringi dengan perbaikan di sektor penerbangan Indonesia dimana pemerintah juga harus turut andil untuk mengatur dan membuat penerbangan Indonesia menjadi lebih baik dan masyarakat internatisional pun tidak menyepelekan Indonesia. METODOLOGI PENELITIAN Metode Campuran (Mixing Methods) Kuantitatif dan Kualitatif dasarnya adalah logika triangulasi (hasil kualitatif bisa dikembangkan untuk diuji kuantitatif, atau hasil kuantitatif perlu diperdalam kepada para aktor secara kualitatif) Dengan tetap berpegang kepada peradigmatik positivistik yang berfokus pada pencarian hubungan antar variable yang berakar pada penelitian kuantitatif dan juga berpegang kepada paradigmatik interpretif yang berdasar pada penelitian kualitatif Untuk pencarian data dilakukan dengan eksplorasi data via bantuan Internet dan juga buku buku yang dapat menunjang penelitian ini serta mencari data lanagsung dari narasumber yang bersentuhan langsung di bidang tersebut DAFTAR PUSTAKA Yani,M . Yanyan,dkk.”Langit Indonesia Milik Siapa?” (Kompas Gramedia,2017) Hadi,Shaummil.Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Intersional.(Yogyakarta:Jalasutra,2008) .Hlm.83 dan 85 Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional 1.(Jakarta:Sinar Grafika,1989).Hlm.228 Kusumaatmadja,Mochtar.Pengantar Hukum Internasional (Bandung:Binacipta.1996).Hlm.115 http://treaty.kemlu.go.id/uploads-pub/4286_SGP-1995-0020.pdf. Di akses pada tanggal 4 Juli 2017,Pukul 13:00WIB Kol.Pnb.Meliala,Sembiring T. ”Optimalisasi Pertahanan Udara Nasional Guna Menjaga Wilayah Udara Dalam Rangka Tegaaknya Kedaulatan NKRI” Lembaga Ketahanan Nasional RI,2014