BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Gangguan Reproduksi Gangguan reproduksi berawal dari tidak normalnya siklus haid dan banyak darah yang keluar saat haid. Siklus menstruasi normal berlangsung selama 21 - 35 hari, 3 - 6 hari adalah waktu keluarnya darah menstruasi yang berkisar 50 - 100cc per hari. Gangguan siklus haid mencakup haid yang terlalu sering, haid yang terlalu jarang, tidak terjadi haid, perdarahan yang tidak teratur, dan perdarahan bercak. Berdasarkan banyak darah haid yang keluar yaitu, darah haid keluar terlalu banyak >6 kali ganti pembalut, darah haid keluar terlallu sedikit <2kali ganti pembalut perhari, dan perdarahan bercak atau spotting (Baziad, 2008). Berdasarkan ciri – ciri di atas gangguan reproduksi dapat dibagi menjadi menoragia, metroragia, polimenore, oligomenore, amonore, menometroragia, dan perdarahan uterus disfungsional (Tanto, 2014). 2. Perdarahan Uterus Disfungsional a. Pengertian Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi tanpa kelainan pada saluran reproduksi. Perdarahan akut dan banyak, perdarahan ireguler, menoragia dan perdarahan akibat penggunaan kontrasepsi (Wiweko, 2007). Kelainan sistemik, dan kelainan endokrin merupakan penyebab perdarahan uterus disfungsional (Norwitz, 2007). b. Etiologi Perdarahan uterus disfungsional biasanya disebabkan oleh gangguan fungsional mekanisme kerja hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium. Perdarahan uterus disfungsional dapat dijumpai pada wanita usia reproduksi (Baziad, 2008). Perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : 1. Tipe berovulasi Perdarahan teratur yang disebabkan oleh terganggunya mekanisme hemostasis lokal di endometrium. Perdarahan banyak terjadi di tiga hari pertama siklus haid 2. Tipe tidak berovulasi Terjadi akibat estrogen yang tidak mempengaruhi dalam pembentukan lapisan endometrium. Perdarahan tidak teratur dan siklus haid memanjang karena gangguan pada poros hipotalamus – hipofisis – ovarium. 3. Efek samping penggunaan kontrasepsi Dosis estrogen yang rendah dalam kandungan pil kombinasi menyebabkan lapisan endometrium tidak mampu bertahan. Atrofi pada endometrium dapat terjadi karena progestin dapat menimbulkan perdarahan bercak. Sedangkan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) menyebabkan perdarahan karena terganggunya proses edometriosis (Wiweko, 2007). c. Patofisiologi Perdarahan uterus disfungsional biasanya disebabkan oleh gangguan fungsional mekanisme kerja hipotalamus-hipofisis-ovariumendometrium, kontasepsi, dan gangguan hemostatis endometrium. Perdarahan uterus disfungsional dapat dijumpai pada wanita usia reproduksi (Baziad, 2008). Perdarahan uterus disfungsional akibat efek kotrasepsi disebabkan oleh dosis estrogen yang rendah dalam kandungan pil kombinasi menyebabkan lapisan endometrium tidak mampu bertahan. Atrofi pada endometrium dapat terjadi karena progestin dapat menimbulkan perdarahan bercak. Sedangkan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) menyebabkan perdarahan karena terganggunya proses edometriosis (Wiweko, 2007). Terjadi produksi estradiol 17β secara terus menerus disebabkan terganggunya mekanisme kerja hipotalamus-hipofisi-ovarium dan tanpa pembentukan korpus luteum dan progesterone (Norwitz, 2007). Sehingga terbentuk hiperplasia endomentrium akibat sekresi estrogen yang berlebihan. Jaringan endometrium lepas tidak bersamaan sehingga terjadi perdarahan yang tidak teratur (Anwar, 2011). Gangguan hemostatis endometrium dapat menyebabkan perdarahan bercak (spotting). Gangguan ini bisa disebabkan karena pil kombinasi dan gangguan sendiri pada sistem hemostatis di endometrium (Gant, 2011). Berikut adalah patofisiologi dari perdarahan uterus disfungsional : Kontasepsi Pil Kombinasi Gangguan fungsional hipotalamus - hipofisis - ovarium AKDR Gangguan hemostatis endometrium Estradiol 17β diproduksi terus menerus Peningkatan estradiol 17β Korpus luteum tidak terbentuk Progesteron tidak terbentuk Hiperplasia endomentrium Perdarahan uterus disfungsional Gambar 2.1 Patofisiologi Perdarahan Uterus Disfungsional Sumber : Baziad (2008), Norwitz (2007), Gant (2011), Anwar (2011), Wiweko (2007). d. Faktor Resiko Perdarahan uterus disfungsional biasanya dijumpai pada perimenarche, usia reproduksi, dan perimenapouse (Baziad, 2008). Diagnosa lanjut perdarahan uterus disfungsional adalah kanker endometrium. Kanker endometrium biasanya diawali oleh perdarahan uterus disfungsional yang tidak ditangani dengan baik. Faktor resiko perempuan usia 35 - 39 tahun akan meningkat dua kali lipat untuk terserang kanker endometrium dari pada perempuan berumur 15 - 19 tahun (Anwar, 2011). e. Keluhan Subjektif Keluhan perderita kadang keluhan ringan sampai berat dan sering menyebabkan frustasi penderitanya (Anwar, 2011). Gangguan haid yang dikeluhkan antara lain gangguan siklus haid yang tidak normal, jumlah darah yang keluar lebih atau kurang, dan lamanya haid berlangsung (Baziad, 2008). f. Prognosis Pengobatan dikatakan berhasil saat perdarahan berhenti atau berkurang, dan 3 - 4 hari berikutnya tidak terjadi perdarahan kembali. Keganasan cenderung muncul pada perimenapouse dan jarang ditemui pada usia perimenars (Baziad, 2008). g. Penatalaksanaan Penanganan perdarahan uterus disfungsional disesuaikan dengan umur, yaitu : 1. Usia Perimenars Perdarahan uterus disfungsional yang terjadi pada usia perimenars (rata-rata 11 tahun) hingga memasukin usia reproduksi. Perdarahan yang terjadi pada usia ini adalah tipe berovulasi dan tidak berovulasi. Usia ini biasanya 3 - 5 tahun siklus menstruasi masih belum teratur. Perdarahan uterus disfungsional pada usia ini sebanyak 95% - 98%. Pengobatan akan dilakukan jika gangguan sudah terjadi selama 6 bulan atau 2 tahun setelah menars belum ditemukan siklus haid yang normal. Keadaan yang tidak akut, bisa diberikan antiprostalglandin, antiimflamasi nonsteroid, atau asam traneksamat. Bila belum terlihat membaiknya siklus menstruasi dapat diberikan tablet estrogen-progrsteron kombinasi atau tablet progesteron (Baziad, 2008). Saat kadar Hb <8gr/dl, maka pasien harus dirawat inap dan diberikan transfuse darah. Perdarahan dapat dikurang dengan pemberian selama 3 hari yaitu : a) 17β estradiol 2 x 2mg b) estigen equin konjungasi 2 x 1,25mg c) estropipete 1 x 1,25mg dikombinasikan noretisteron asetat 2 x 5mg, d) didrogesteron 2 x 10mg e) medroksiprogesteron asetat (MPA) 2 x 10mg f) normegestrol asetat 2 x 5mg Metode yang paling mudah dan efektif adalah pemberian kontrasepsi kombinasi oral. Kontrasepsi ini dapat mengkoreksi banyak kasus gangguan siklus haid agar normal kembali (Anwar, 2011). 2. Usia Reproduksi Perdarahan uterus disfungsional pada usia reproduksi umumnya lebih ringan dan jarang sampai akut. Perdarahan yang terjadi pada usia ini adalah tipe berovulasi, tidak berovulasi, dan gangguan akibat kontrasepsi AKDR. Perdarahan yang sering terjadi adalah perdarahan bercak (spotting) pada pertengahan siklus haid (Anwar, 2011). Pengobatan hormonal yang bisa diberikan pada hari ke 10 15 siklus haid, yaitu a) 17β estradiol 1 x 2mg b) estigen equin konjungasi 2 x 1,25mg c) estropipete 1 x 1,25mg Pada perdarahan bercak prahaid dapat diberikan pengobatan hormonal mulai hari ke 16 - 25 siklus haid, yaitu a) medroksiprogesteron asetat (MPA) 1 x 10mg b) didrogesteron 1 x 10mg c) noretisteron asetat 1 x 5mg d) normegestrol asetat 1 x 5mg Sedangkan perdarahan pascahaid dapat diberikan pengobatan yang diberikan mulai hari ke 2 - 8 siklus haid, yaitu a) 17β estradiol 1 x 2mg b) estrogen equin konjugasi 1 x 1,25mg c) estropipete 1 x 1,25mg Jika sulit mendapatkan tablet estrogen dan progesterone dapat diberikan pil kontrasepsi kombinasi, namun pemberiannya diberikan sepajang siklus haid. Perdarahan yang tidak berhenti dicurigai terjadi keganasan dan bisa dilakukan tindakan D & K untuk menghentikan perdarahan (Norwitz, 2007). 3. Usia Perimenapouse Perimenapouse merupakan usia antara pramenapouse dan pascamenapouse, sekitar 40 - 50 tahun. Perdarahan uterus disfungsional pada usia perimenapouse tingkat kejadiannya 95%. Perdarahan yang terjadi pada usia ini adalah tipe berovulasi, tidak berovulasi, dan gangguan akibat kontrasepsi AKDR. Perdarahan uterus disfungsional pada usia perimenapouse cenderung mengarah keganasan pada endometrium. Keadaan yang tidak akut, pasien dipersiapkan untuk dilakukan tindakan D&K. Diagnosa dapat ditegakkan dengan USG, bila ketebalan endometrium lebih dari 5mm berarti terjadi hiperplasia endometrium (Baziad, 2008). Jika hasil patologi anatomi menggambarkan suatu hiperplasia kistik, atau hiperplasia adenomatosa, maka dapat diberikan progesterone seperti medroksiprogesteron asetat (MPA) dengan dosis 3 x 10mg/hari selama 6 bulan, atau dapat juga diberikan depo medroksiprogesteron asetat (DMPA). Bila ketebalan endometrium kurang dari 6mm dapat langsung diberikan kombinasi estrogen - progesteron, seperti estrogen equin konjugasi 1 x 0,3mg atau 17β estradiol 1 x 2mg yang dikombinasikan dengan medroksiprogesteron asetat (MPA) 1 x 10mg yang diberikan secara berkelanjutan selama 6 bulan. Bila tidak ada perbaikan, dicurigai adanya keganasan dengan umur >35 tahun atau mengalami obesitas, maka perlu dilakukan tindakan D&K. Pengobatan selanjutnya tergantung dari hasil patologi anatomi yang diperoleh. Jika perdarahan tidak berhenti dan pengobatan secara medikametosa gagal, bisa dilakukan histerektomi pada perempuan dengan cukup anak dan memenuhi syarat histerektomi. Angka keberhasilan histerektomi untuk mengehentikan perdarahan yaitu 100% dan angka kepuasan pasien 95% setelah 3 bulan pasca operasi (Norwitz, 2007). B. Teori Manajemen Kebidanan 1. Manajemen kebidanan 7 Langkah Varney Manajemen kebidanan pada gangguan reproduksi dengan perdarahan uterus disfungsional meliputi : a. Langkah I : Pengumpulan data dasar secara lengkap Informasi data dasar secara lengkap pada kasus perdarahan uterus disfungsional dapat diperoleh melalui : 1) Anamnesa a) Identitas Umur pasien perlu dikaji untuk mengetahui faktor resiko. Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada usia perimenars, usia reproduksi, dan perimenapouse. Semakin tua umur pasien maka resiko semakin tinggi (Baziad, 2008). b) Keluhan utama Keluhan yang biasanya dirasakan pasien dengan perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan di luar siklus haid, bisa perdarahan banyak maupun perdarahan bercak (spotting) (Norwitz, 2007). c) Riwayat menstruasi Pasien perdarahan uterus disfungsional terjadi perdarahan di luar siklus menstruasinya, dapat berupa darah yang berlebih dengan siklus panjang maupun perdarahan bercak (spotting) (Anwar, 2011). d) Riwayat perkawinan Perempuan yang belum menikah akan diberikan terapi hormonal. Sedangkan untuk perempuan yang sudah menikah dan sudah pernah melalukan hubungan seksual kemungkinan terjadi ketidakseimbangan hormon. Bila pengobatan hormone gagal, dilatasi dan kuretase perdarahan. dapat dilakukan Sedangkan usia untuk menghentikan perimenapouse akan dilakukan pemeriksaan lanjut untuk mengetahui ada atau tidak keganasan (Baziad, 2008). e) Riwayat kontrasepsi Riwayat kontrasepsi perlu dikaji untuk mengetahui apakah perdarahan yang terjadi akibat efek samping dari pemakaian kontrasepsi. Kontrasepsi pil kombinasi dan AKDR dapat menyebabkan perdarahan bercak (spotting) (Wiweko, 2007). f) Riwayat penyakit (1) Riwayat penyakit sekarang, untuk mengetahui perdarahan yang terjadi akibat penyakit kronis seperti kanker endometrium Pasien dengan perdarahan uterus disfungsional diperlukan data tentang riwayat perdarahan yang terjadi, meliputi kapan dimulainya perdarahan, jumlah perdarahan, ciri khas perdarahan (warna, gumpalan, bercampur lendir), dan lama perdarahan terjadi (Manuaba, 2010). (2) Riwayat penyakit dahulu, untuk mengetahui apakah pasien sebelumnya menderita penyakit kronis, seperti kanker endometrium yang dapat menyebabkan perdarahan (Baziad, 2008). (3) Riwayat kesehatan keluarga, untuk mengetahui apakah dalam keluarga pasien ada yang menderita penyakit menurun (Varney, 2007). g) Data Psikososial Kecemasan pasien dapat muncul karena ketidakpahaman pasien tentang penyakit yang diderita dan menimbulkan frustasi pada pasien (Anwar, 2011). 2) Data Obyektif Data obyektif yang digunakan untuk mendukung data dasar pada kasus perdarahan uterus disfungsional antara lain : a) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus perdarahan uterus disfungsional meliputi keadaan umum, kesadaran pasien, tekanan darah, nadi, serta pemeriksaan fisik pada vagina dan perut (Varney, 2007). b) Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan khusus pada perdarahan uterus disfungsional adalah (1) Inspeksi luar : inspeksi dilakukan pada genetalia sebagai sumber perdarahan, memastikan perdarahan bukan terjadi karena lesi atau trauma di genetalia luar (Varney, 2007). (2) Palpasi : palpasi dilakukan pada abdomen untuk pengkajian ada atau tidak masa pada uterus dan ovarium maupun nyeri tekan di daerah bagian tersebut (Varney, 2007). (3) Pemeriksaan dalam : pemeriksaan dalam (vagina toucher dan inspekulo) dikaji untuk mengetahui kondisi vagina, serviks, dan uterus pada pasien yang sudah menikah (Manuaba, 2010). c) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang adalah data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan USG, patologi anatomi, dan pemeriksaan laboratorium seperti cek darah dan urine. (Varney, 2007) Kasus perdarahan uterus disfungsional perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap terutama kadar hemoglobin untuk mengantisipasi terjadinya anemia, pemeriksaan USG, dan patologi anatomi untuk mengkaji tingkat keganasan yang mungkin dialami pasien (Baziad, 2008). b. Langkah II : Interpretasi data dasar 1) Diagnosis kebidanan Diagnosis kebidanan yang dapat ditegakkan pada kasus perdarahan uterus disfungsional adalah Ny. X umur X tahun PxAx dengan perdarahan uterus disfungsional, dengan dasar data subjektif dan objektif (Varney, 2007). 2) Masalah Masalah yang muncul pada pasien dengan perdarahan uterus disfungsional berkaitan dengan kecemasan pasien terhadap keadaan yang dialaminya. Hai ini muncul karena ketidakpahaman pasien dengan penyakit yang diderita dan menimbulkan frustasi pada pasien (Anwar, 2011). 3) Kebutuhan Kebutuhan pasien dengan perdarahan uterus disfungsional yaitu dukungan moril serta informasi tentang perdarahan uterus disfungsional, agar kecemasan pasien berkurang dan mengurangi ketidakpahaman penyakit yang dideritanya (Anwar, 2011). tentang c. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosis atau masalah potensial dan mengantisipasi penanganannya. Diagnosis potensial pada kasus perdarahan uterus disfungsional adalah anemia, dimana darah yang dikeluarkan menyebabkan Hb < 8gr/dl (Baziad, 2008). Sehingga diperlukan observasi pada perdarahan pasien dan pemeriksaan laboratorium terutama kadar Hb (Varney, 2007). d. Langkah IV : Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera Langkah ini dalam kasus perdarahan uterus disfungsional membutuhkan konsultasi dengan dokter spesialis obstetri ginekologi untuk pengambilan keputusan, seperti trasfusi darah jika Hb <8gr/dl, USG, dan pemeriksaan patologi anatomi. Kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri ginekologi untuk pemberian terapi hormonal, maupun dilatasi dan kuretase. Kolaborasi dengan laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap terurama kadar hemoglobin (Baziad, 2008). e. Langkah V : Menyusun rencana asuhan yang menyeluruh 1) Informasikan pada klien dan keluarga tentang keadaan yang dialami pasien 2) Observasi keadaan umum dan tanda - tanda vital pasien 3) Observasi perdarahan pasien (Baziad, 2008) 4) Konsultasi dengan dokter SpOG untuk pemberian terapi hormonal maupun tindakan operatif 5) Kolaborasikan dengan laboratorium untuk pemantauan kadar Hb (Anwar, 2011) 6) Pemberian informed consent sebelum tindakan 7) Pemberian motivasi dan support mental kepada pasien 8) Pemberian transfusi darah jika perdarahan akut, dimana kadar Hb <8gr/dl 9) Apabila keadaan membaik dan diperbolehkan rawat jalan, berikan konseling tentang cara minum obat di rumah dan control 3 hari kemudian 10) Apabila keadaan memburuk, kolaborasikan dengan dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut yaitu D & K atau histerektomi jika perdarahan tidak dapat dihentikan. (Norwitz, 2007) f. Langkah VI : Penatalaksanaan langsung asuhan dengan efisien dan aman Dalam kasus perdarahan uterus disfungsional bidan dapat melakukan kolaborasi dengan dokter SpOG yaitu dengan melakukan konsultasi dan melakukan rujukan mendapatkan pengobatan yang tepat (Varney, 2007). sehingga g. Langkah VII : Evaluasi Evaluasi dari penatalaksanaan asuhan kebidanan pada pasien dengan perdarahan uterus disfungsional adalah 1) Pasien dan keluarga mengerti tentang penyakit yang dialaminya setelah dijelaskan oleh bidan. 2) Pasien mendapatkan asuhan yang menyeluruh sesuai kebutuhan untuk mengatasi keluhan yang dideritanya yaitu perdarahan diluar siklus haid. 3) Perdarahan yang dialami berkurang atau berhenti setelah 3 4 hari pengobatan dan siklus kembali normal (Baziad, 2008). C. Follow Up Catatan Perkembangan Kondisi Pasien Dari tujuh langkah Varney kemudian disarikan menjadi 4 langkah, yaitu SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment dan Planning). SOAP disarikan untuk memudahkan proses berfikir secara sistematis. S = Subjektif Mengambarkan pengumpulan data pasien melalui anamnesa. Data subjektif pada perdarahan uterus disfungsional yaitu pasien merasa lebih baik, perdarahan mulai berkurang atau berhenti (Gant, 2011). O = Objektif Mengambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus perdarahan uterus disfungsional keadaan umum pasien membaik, kesadaran pasien composmentis, tanda – tanda vital dalam batas normal, perdarahan menstruasi berhenti, dan hasil pemeriksaan penunjang tidak menunjukan tidak menunjukan komplikasi penyakit sistemik (Baziad, 2008). A = Assesment Mengambarkan pendokumentasian analisis dan interpretasi data subjektif maupun objektif dalam suatu identifikasi diagnosa atau masalah potensial serta perlunya tindakan segera pada kasus perdarahan uterus disfungsional. Masalah potensial yaitu anemia sudah dapat diantisipasi setelah perdarahan pasien berkurang atau berhenti (Varney, 2007). P = Planning Mengambarkan pendokumentasian seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan pada kasus perdarahan uterus disfungsional seperti tindakan antisipasi seperti observasi keadaan umum, kesadaran, tanda – tanda vital, dan perdarahan pervaginam. Melanjutkan terapi hasil dari kolaborasi dengan dokter sampai keadaan pasien membaik (Baziad, 2008).