Uploaded by elsyamelinda

Referat HIV pada Anak - Elsya Melinda

advertisement
REFERAT
INFEKSI HIV PADA BAYI DAN ANAK
DISUSUN OLEH :
Elsya Melinda
1810221016
PEMBIMBING :
dr. Endang Prasetyowati, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANAK FAKULTAS
KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA RSUD
AMBARAWA
2019
PENGESAHAN
Referat diajukan oleh
Nama
: Elsya Melinda
NRP
: 1810221016
Program studi : Kedokteran umum
Judul
: Infeksi HIV pada Bayi dan Anak
Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima
sebagai syarat yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak
Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
Pembimbing
dr. Endang Prasetyowati, Sp.A
Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal:
Mei 2019
BAB I
PENDAHULUAN
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang
menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di mana terjadi
kegagalan sistem imun progresif.1 Penyebab terbanyak adalah HIV-1. Virus ini
ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang terkontaminasi darah
dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal, atau ASI.2
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada
anak tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan
infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola
serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode
diagnosis, dan manifestasi oral.1
Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada bulan Desember 1985 yang
secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali
diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika
Serikat ialah negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Penyebaran HIV
di Indonesia meningkat setelah tahun 1995.3
Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur
tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal
diperkirakan sebesar 83% antara tahu 1992 sampai 2001. Infeksi HIV pada anak
merupakan masalah kesehatan yang sangat besar di dunia, dan berkembang dengan
kecepatan yang sangat berbahaya. Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta anak
terinfeksi HIV di seluruh dunia. Jumlah ini diduga tetap akan meningkat dalam waktu
dekat karena beberapa alasan4. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada
hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi
in-utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan
transmisi virus melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah
relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga
dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering
ditemukan pada masa remaja.1
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan
pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus
menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter
untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang
mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh,
diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia
berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang disertai failure
to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus HIV (Human
Deficiency Virus).1 AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV yang berupa kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan
oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus).4
II.2 Epidemiologi
Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi
melalui transfuse darah atau komponen yang tercemar. Menurut CDC Amerika, 13%
kasus AIDS pada anak adalah penerima transfuse darah atau komponennya, 5%
diantaranya ternyata terinfeksi dalam pengobatan hemophilia atau gangguan
pembekuan darah yang lain. Dengan diterapkan sistem uji tapis yang lebih ketat
terhadap donor darah, penularan melalui transfusi ini telah berkurang, sehingga
penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal (vertical), yaitu
sekitar 50-80% baik intra uterin, melalui plasenta, selama persalinan melalui
pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi setelah lahir
(pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI).1 Laporan Kasus HIV dan AIDS
Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan cara penularan tertinggi terjadi
akibat hubungan seksual beresiko, diikuti penggunaan jarum suntik tidak steril;
dengan jumlah pengidap AIDS terbanyak pada kategori pekerjaan ibu rumah tangga.
Hal ini juga terlihat dari proporsi jumlah kasus HIV pada perempuan meningkat dari
34% (2008) menjadi 44% (2011).5
Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak
secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya (mother-
to-child transmission (MTCT). Namun demikian setiap hari terjadi 1800 infeksi baru
pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di Negara berkembang atau
terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya pencegahan transmisi
HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu mencegah
penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan
pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan
dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan perawatan berkesinambungan
bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral (ARV) untuk anak dan bayi yang
terinfeks karenanya menjadi satu jalan untuk menanggulangi pandemic HIV pada
anak di samping upaya untuk mencegah penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.1
II.3 Etiologi
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus
famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini
menyebabkan retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA
pejamu untuk membentuk virus DNA. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus
membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan.4 Terdapat dua serotype
HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus
type-2 (LAV-2). HIV-1 sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering
sebab bermutasi lebih cepat karena replikasi nya lebih cepat.6
HIV mempunyai inti (nukleoid) berbentuk silindris dan eksentrik,
mengandung 2 rangkaian genom RNA diploid, dengan masing-masing rangkaian
memiliki enzim transkripatse reverse (RT), dan integrase. Selain itu di dalam inti juga
terdapat enzim protease yang tidak melekat pada rangkaian RNA. Partikel yang
membentuk inti silindris ini adalah protein kapsid (p24); yang menutupi komponen
nukleoid tersebut sehingga membentuk struktur ukleokapsid. Protein matriks p17
merupakan bagian dalam sampul virus HIV. Bagan paling luar adalah lapisan
membran fosfolipid yang berasal dari membran plasma sel pejamu. Pada membran
permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120)
dengan bagian transmembran yang merupakan gp41 yang keduanya dibentuk oleh
virus.1
Gambar 1 Anatomi HIV
II.4 Siklus Hidup
Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu.
Perlekatan ini dimulai dari interaksi antara kompleks env yang terdiri dari 3 pasang
molekul gp120 dan molekul transmembran gp 41 yang merupakan molekul trimerik
membran virion dengan membran sel target. Pertama-tama terbentuk ikatan antara
satu subunit gp 120 dengan molekul CD4 sel pejamu. Perlekatan ini menginduksi
perubahan konformasional (membran virion melekuk agar gp120 kedua dapat ikut
melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada koreseptor kemokin (CXCR4,
CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi perubahan
konformasional pada gp41 (semula berada di lapisan lebih dalam membran virion)
untuk mengekspos komponen hidrofobiknya sampai ke lapisan membran pejamu,
(karena mampu bergerak seperti ini maka gp41 dinamakan peptida fusi) dan
kemudian menyisipkan diri ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi
membran sel HIV dengan membran sel pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke
dalam sitoplasma sel pejamu.1
Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam
kompleks nukeoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi
DNA oleh enzim transkriptase reversi (RT= Reverse Transcriptase). DNA HIV yang
terbentuk kemudian masuk ke nukleus sel pejamu melalui bantuan enzim integrase.
Integrasi diperkuat bila pada saat yang sama DNA pejamu bereplikasi karena
terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA virus HIV yang sudah
berintegrasi ke dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA provirus ini
dapat dormant, atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulan-bulan atau bertahuntahun tanpa adanya protein baru atau virion.1
Transkripsi gen proviral DNA yang sudah terintegrasi diatur oleh:
a.
LTR , bergerak ke arah hulu dari gen struktur virus
b.
Sitokin/stimulus fisiologis terhadap sel T dan makrofag lain untuk
memperkuat transkripsi.
LTR mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan
dalam bentuk kotak TATA dan tempat ikatan/binding untuk 2 faktor transkripsi
pejamu (NF-kB dan SP1). Awal transkripsi gen HIV dalam sel T terkait dengan
pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen atau sitokin lain. Sebagai contoh,
aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, IL-2, TNF dan limfotoksin akan
menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu IL-1, IL-3, IL6, TNF, limfotoksin, IFN-γ dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV dan replikasi
virus dalam sel monosit dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini menunjukkan
bahwa sel T yang terinfeksi HIV secara laten dapat tetap memberi respons normal
terhadap mikroba lain. Replikasi sel T mungkin menjadi pemicu berakhirnya infeksi
laten dan dimulainya produksi virus. Infeksi multipel yang dialami penderita HIV
akan menstimulasi produksi HIV untuk selanjutnya menginfeksi sel lainnya.
Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal optimal
untuk memulai transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang benar-benar
disintesis. Hal itu terjadi karena transkripsi gen HIV oleh enzim polimerase RNA
mamalia tidak efisien dan kompleks polimer biasanya berhenti ditranskripsi sebelum
mRNA lengkap.
Protein Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan pada DNA
virus. Keterikatan ini meningkatkan proses polimerase RNA hingga beberapa ratus
kali lipat, dan mendorong diselesaikannya transkripsi dengan hasil akhir RNA
messenger(mRNA) HIV yang fungsional.
mRNA yang mengkode aneka protein HIV berasal dari transkrip helai
tunggal genom lengkap yang telah melalui proses penyambungan yang berbeda-beda.
Ekspresi gen HIV dapat dibagi ke dalam stadium awal saat gen regulator dibentuk
dan stadium akhir dimana gen struktur diekspresikan dan helai tunggal genom
lengkap dibuat.
Protein Rev, Tat, Nev adalah produk awal gen yang dicetak oleh mRNA yang
tersambung sempurna dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan menjadi
protein di sitoplasma segera sesudah infeksi satu sel.
Produk akhir gen termasuk env, gag, dan pol yang mengkode komponen
struktur virus dan diterjemahkan dari RNA tunggal yang sudah maupun belum
tersambung. Protein Rev memulai penukaran dari ekspresi awal menjadi gen akhir
dengan cara mempromosikan ekspor RNA ke luar inti sel. RNA ini yang belum
tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti. Produk gen pol adalah protein
prekursor yang dipotong secara berurutan untuk membentuk enzim transkriptase
riversi, protease, ribonuklease dan integrase. Gen gag mengkode protein berukuran
55-D. Protein ini selanjutnya dipotong oleh enzim proteolitik menjadi polipeptida
p24, p17, dan p15. Ketiga polipeptida ini adalah protein inti yang diperlukan untuk
membentuk partikel infeksius virus. Gen env memproduksi terutama glikoprotein
160-kD yang selanjutnya dipotong oleh protease sel di retikulum endoplasma menjadi
protein gp 120 dan gp 41 yang diperlukan untuk menempelnya HIV pada sel.
Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di
sitoplasma pejamu. Seluruh partikel infeksius kemudian disusun dalam satu kompleks
nukleoprotein, termasuk gag dan pol yang diperlukan untuk integrase siklus
berikutnya.
Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran
pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses ”budding” dari membran
plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel
pejamu.1
II.5 Patogenesis
Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu
yaitu molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap
HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara
sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling
banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimula dengan penempelan virus pada limfositT. HIV masuk kedalam tubuh manusia. RNA virus berubah menjadi DNA
intermediet/DNA pro virus dengan bantuan enzim transkriptase, dan kemudian
bergabung dengan DNA sel yang diserang. Virus HIV akan menyerang Limfosit T
yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu
mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel
CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV
menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. HIV yang
mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Lapisan luar protein HIV
yang disebut sampul gp120 dan anti gp41 berinteraksi dengan CD4+ yang akan
menghambat aktivasi sel dan mempresentasikan.7
Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut
semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu.
Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah
infeksi. Pada masa ini, tidak dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak
sehat dan test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga
periode jendela (window periode). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik
yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap.
Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun
berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan,
rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah
CD4+ akan mencapai <200 sel/μL. Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejala
pendahuluan yang kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik (IO). IO adalah infeksi
yang mengikuti perjalanan penyakit HIV. Dengan adanya IO maka perjalanan
penyakit HIV telah memasuki stadium AIDS.7
Gambar 2. Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ 1
Keterangan gambar:
jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³)
jumlah RNA HIV per mL plasma
Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung
dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia
akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem
kekebalan tubuh yang juga bertahap. 4
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,
herpes, dan lain-lain. Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh
seseorang, juga akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag,
sel-sel microglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa,
sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel
mikroglia di otak adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis.
II.6 Perjalanan Penyakit
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna
oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang
kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa
jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada
fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan
berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa. 1
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh
lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai
oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+
dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan
sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan
menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit
mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga
sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan
limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung
antar sel. 8
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan
viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti
infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset
CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah
penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular
terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan
produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah
paparan pertama. 8
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan
limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun
masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul
manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis
(clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T
perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam
jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin
berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan
limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada
awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru.
Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru
berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di
jaringan limfoid dan sirkulasi. 8
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons
imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi
jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang
mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang
diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat
efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha
menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana
terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah
kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita
infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal
(nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV). 8
Tabel 1. Manifestasi klinis infeksi HIV8
Fase penyakit
Penyakit HIV akut
Masa laten klinis
AIDS
Manifestasi klinis
Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis, limfadenopati
generalisata, eritema
Berkurangnya jumlah sel T CD4+
Infeksi oportunistik
Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium)
Bakteri (Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella)
Jamur (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis,
Histoplasma capsulatum)
Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster)
Tumor
Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan EBV)
Sarkoma Kaposi
Karsinoma servikal
Ensefalopati
Wasting syndrome
II.7 Cara Penularan
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu
kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan.
Penularan lain yang juga penting adalah dari transfuse produk darah yang tercemar
HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh
penderita HIV, prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang buktinya sedikit.10
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HIV seperti air
ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang atau
kontak social seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang
dipergunakan sehari-hari bukanlah cara untuk penularan. Oleh karena itu, seorang
anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan gejala AIDS tidak perlu
dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.9
a. Ibu Hamil dengan HIV (+)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapa menularkan virus tersebut ke bayi
yang dikandungnya. Cara transmisi in dinamakan juga transmisu secara vertical.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterine) intrapartum, yaitu pada
waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau secret genitalia yang mengandung HIV
selama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat terjadi
pada 20-50% kasus. 10
Faktor predictor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar limfosit TCD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV, atau
penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik
sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang
sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketubn pecah, persalinan
per vaginam dan dilakukannya prosedur invasive pada bayi. Selain itu
prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi. 10
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam
tubuhnya baik dari cairan ASI maupun sel-sel yan berada dalam cairan ASI
(limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah
11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya
tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA
yang terlarut berperan dalam proses pengurangan anigen. WHO menganjurkan
untuk Negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses terhadap pengganti air
susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi
yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke bayinya belum
pernah dilaporkan. 10
II.8 Faktor Resiko
Dari cara penularan tersebut di atas maka faktor resiko untuk tertular HIV
pada bayi dan anak adalah, 1) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual, 2)
bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu atau
pasangannya penyalahguna obat intravena, 4) bayi atau anak yang mendapat transfuse
darah atau produk darah berulang, 5) anak yang terpapar pada infeksi HIV dari
kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan 6) anak remaja dengan hubungan
seksual berganti-ganti pasangan. 1
II.8.1 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,
yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
1. Faktor Ibu
• Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan
dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi
sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya
jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
• Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya.
Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
• Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil
meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
• Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran
reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
• Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui
ASI.
2. Faktor Bayi
• Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum
berkembang dengan baik.
• Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
• Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah:
• Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (seksio sesaria).
• Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi
dengan darah dan lendir ibu.
• Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari
4 jam.
• Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi
II.8.2 Waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke anak
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka
HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.
HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada
saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan
PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada
saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20%
dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui.
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan
terapi antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki
risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang
tidak menyusui (De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:117582). Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%.
II.9 Masa Inkubasi
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya
antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahuntahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia
sudap dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap terdeteksi hingga
usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunisik sudah dapat dilihat ketika usia 2
bulan.
II.10 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur
muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari
ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82%
berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara
vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme
yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi
nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang,
limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya
infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit,
jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal.
Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan
menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih
berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat
menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena
mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium
tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan
otak. Anak sering juga menderita diare berulang. 1
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah
pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan
oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari
tabuh, dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular
difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati
kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan
motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik.
Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi
dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat
ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.
Secara khusus dilakukan klasifikasi manifestasi klinis ini oleh CDC Amerika
Serikat (1994) dan WHO (tahun 2006). Penggunaan klasifikasi ini untuk membantu
dalam menentukan diagnosis, tatalaksana dan prognosis. Klasifikasi klinis yang
mengarahkan ke pengambilan keputusan dilakukannya pemeriksaan laboratorium
dikenal dengan nama AIDS Defining Illness11
Klasifikasi klinis menurut CDC adalah N, A, B dan C (AIDS) dengan
tambahan prefix E pada semua anak yang terpapar pada HIV dari orangtuanya.
Klasifikasi klinis menurut WHO dapat dilihat pada tabel berikut. 12
Tabel 2. Klasifikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV
Klasifikasi
Asimtomatik
Ringan
Sedang
Berat
Stadium klinis WHO
1
2
3
4
Tabel 3. Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang terinfeksi HIV
Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan a
Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wart luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis )
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap terapi standara
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5 o C intermiten atau konstan, > 1 bulan) a
Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
TB kelenjar
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis
Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/
mm3)
Stadium klinis 4
Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi
standara
Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi,
meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun)
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Catatan:
a. Tidak dapat dijelaskan ebrarti kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh sebab yang lain
b. Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada kategori ini
II.11 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi
karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat
dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada
anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi
HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau
komponennya seperti: 1
a.
assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma
b.
assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma
c.
assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara
berkembang. Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan
saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya.
Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat
dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium
harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole
blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di negara
tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji
DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih
terbatas pada penelitian.
Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV
dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12
bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI
sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah
antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat
(rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang
dewasa.
Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu
dalam penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi
dapat dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini
dapat disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan
autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi oportunistik.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8
menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif
sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini
dapat pula dilihat dari adanya alergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan
hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal.
Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap
antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B
menurun.
II.12 DIAGNOSIS
a. Anak yang berumur kurang dari 18 bulan 1
Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur
kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang
positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik
ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu,
dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup.
a)
Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi
bayi yang tertular in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%.
Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik menjadi
98%.
b)
Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap
diagnostik pasti. Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk
melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak
mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan
laboratorium penguji.
c)
Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali
pemeriksaan virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti
HIV pada usia lebih dari 18 bulan.
b. Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang mendapat ASI
Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus
berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik
negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan
infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat
ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat
pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik,
karena secara praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif,
maka pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun
waktu yang pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post
partum belum diketahui.
c. Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis
Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu
memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan
menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik.
Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV.
d. Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik
Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak
lagi memiliki antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat
dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas
96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan.
e. Diagnosis infeksi HIV setelah ibu atau bayi mendapat Anti Retroviral
(ARV) untuk program pencegahan
(PMTCT=Prevention of Mother To Child Transmission)
Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat
mulai diperiksa pada usia 48 jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya
untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi hasilnya. DNA HIV akan tetap
terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi HIV dan
sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya tidak terdeteksi.
Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay
antigen ICD p24 dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO
menyatakan bahwa pemeriksaan RNA tidak berbeda dengan DNA, dalam hal
sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi yang lahir mendapat ARV.
f. Diagnosis infeksi bila ibu minum ARV
Belum diketahui apakah pemakaian ARV pada ibu yang menyusui
bayinya dapat mempengaruhi deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi, meskipun
sudah dibuktikan uji DNA HIV tidak terpengaruh.
g. Anak yang berumur lebih dari 18 bulan
Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18
bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi,
sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus
mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji
antibodi yang berbeda.
h. Diagnosis klinis presumtif infeksi HIV
Tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif
atau spesifik untuk mendiagnosis HIV. Akurasi diagnosis berdasarkan algoritme
klinis jarang yang mencapai sensitifitas 70% dan bervariasi menurut umur;
bahkan tidak dapat diandalkan unutk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang
berumur kurang dari 12 bulan. Uji antibodi anti HIV (dapat berupa rapid test) dan
peningkatan akses untuk uji virologik dini dapat membantu dokter membuat
algoritme diagnostik yang lebih baik. Dalam situasi sulit diperbolehkan
menggunakan dasar klinis untuk memulai pengobatan ARV pada anak kurang
dari 18 bulan dan terpapar HIV yang berada dalam kondisi sakit berat. Penegakan
diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan
CD4 atau parameter lain saat ini belum terbukti sebagai alat diagnosis infeksi
HIV.
i. Anak yang berumur kurang dari 18 bulan
Untuk bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan yang berada di tempat
dimana uji virologik tidak mungkin dilakukan, terdapat gejala yang sugestif
infeksi HIV, diagnosis presumtif ineksi HIV secara klinis dapat dibuat. Diagnosis
infeksi ini dapat menjadi dasar untuk menilai apakah diperlukan pemberian ARV
segera
Tabel 4. Metode yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada
bayi dan anak
Metode
Uji virologik( DNA, RNA, ICD)
Uji antibodi anti HIV
Rekomendasi
Tingkat rekomendasi/bukti
Untuk mendiagnosis infeksi pada bayi < 18
A(I)
bulan ; uji inisial direkomendasi mulai umur
6-8 minggu
Untuk mendiagnosis infeksi HIV pada ibu
A(I)
atau identifikasi paparan pada bayi
Untuk mendiagnosis infeksi pada anak > 18
bulan
A(IV)
Untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada
umur < 18 bulan dengan kemungkinan
besar HIV positif*
* Anak kurang dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya
adalah anak yang benar-benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih
membawa antibodi maternal.
Gambar 2. Skenario pemeriksaan HIV
II.13 Pencegahan Penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang di
kandungnya
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV
ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif mencakup kegiatan sebagai
berikut: 13
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV;
2. Diagnosis HIV
3. Pemberian terapi antiretroviral;
4. Persalinan yang aman;
5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi dan anak;
6. Menunda dan mengatur kehamilan;
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak;
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.
Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika dijalankan
secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang
paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta
mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada periode kehamilan,
persalinan dan pasca kelahiran. Pelayanan KIA yang komprehensif meliputi
pelayanan pra-, persalinan dan pascapersalinan, serta layanan kesehatan anak.
Pelayanan KIA bisa menjadi pintu masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak bagi seorang ibu hamil. Pemberian informasi pada ibu hamil dan suaminya
ketika datang ke klinik KIA akan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka
tentang kemungkinan adanya risiko penularan HIV di antara mereka, termasuk risiko
lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak.
Tes HIV atas inisiatif petugas serta skrining IMS harus ditawarkan kepada
semua ibu hamil sesuai kebijakan program. Harapannya, dengan kesadaran sendiri
ibu mau dites dengan sukarela. Konseling dan tes HIV dalam PPIA komprehensif
dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan
(KTIP), yang merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk membuat keputusan klinis
dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan
tanpa mengetahui status HIV seseorang, seperti pada saat pemberian ARV.Apabila
seseorang yang datang ke layanan kesehatan dan menunjukan adanya gejala yang
mengarah ke HIV, tanggung jawab dasar dari petugas kesehatan adalah menawarkan
tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalaksana klinis.
Berbagai bentuk layanan di klinik KIA, seperti imunisasi untuk ibu,
pemeriksaan IMS terutama sifilis, pemberian suplemen zat besi dapat meningkatkan
status kesehatan semua ibu hamil, termasuk ibu hamil dengan HIV. Hendaknya klinik
KIA juga menjangkau dan melayani suami atau pasangannya, sehingga timbul
keterlibatan aktif para suami/ pasangannya dalam upaya pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak.
Upaya pencegahan IMS, termasuk penggunaan kondom, merupakan bagian
pelayanan IMS dan HIV serta diintegrasikan dalam pelayanan KIA.
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV
Pelayanan tes HIV merupakan upaya membuka akses bagi ibu hamil untuk
mengetahui status HIV, sehingga dapat melakukan upaya untuk mencegah penularan
HIV ke bayinya,memperoleh pengobatan ARV sedini mungkin, dukungan psikologis,
informasi dan pengetahuan tentang HIV-AIDS.
2. Diagnosis HIV
Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara virologis
(mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis (mendeteksi antibodi HIV) pada
spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia
umumnya adalah pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV)
atau ELISA. Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial dengan
menggunakan tiga reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes,
dan jenis antigen, yang memenuhi kriteria sensitivitas dan spesifitas. Hasil
pemeriksaan dinyatakanreaktif jika hasil tes dengan reagen 1 (A1), reagen 2 (A2),
dan reagen 3 (A3)ketiganya positif (Strategi 3). Pemilihan jenis reagen yang
digunakan berdasarkansensitivitas dan spesifisitas, merujuk pada Standar Pelayanan
Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik, Kementerian
Kesehatan (SK Menkes No. 241 tahun 2006).
Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya indeterminate, tes diagnostic
HIV dapat diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari setelah yang
pertama dan setidaknya tes ulang menjelang persalinan (32-36 minggu).
3. Pemberian Terapi Antiretroviral
Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV-AIDS,
namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus di dalam tubuh dapat ditekan sangat
rendah, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya orang sehat.
Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti
Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa,
Kementerian Kesehatan (2011). Penentuan saat yang tepat untuk memulai terapi obat
antiretroviral (ARV) pada ODHA dewasa didasarkan pada kondisi klinis pasien
(stadium klinis WHO) atau hasil pemeriksaan CD4. Namun pada ibu hamil, pasien
TB dan penderita Hepatitis B kronik aktif yang terinfeksi HIV, pengobatan ARV
dapat dimulai pada stadium klinis apapun atau tanpa menunggu hasil pemeriksaan
CD4. Pemeriksaan CD4 tetap diperlukan untuk pemantauan pengobatan.
Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat mengurangi risiko
penularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu
dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin.Pilihan terapi yang
direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Seminimal mungkin hindari
triple nuke (3 NRTI). Regimen yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel
Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu
selama hamil dan dilanjutkan selama menyusui adalah intervensi PPIA yang
paling efektif untuk kesehatan ibu dan juga mampu mengurangi risiko penularan
HIV dan kematian bayi. Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti
Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa,
Kementerian Kesehatan (2011).Pemberian ARV disesuaikan dengan kondisi klinis
ibu (lihat Tabel 5) dan mengikuti ketentuan sebagai berikut:
• Ibu hamil merupakan indikasi pemberian ARV.
• Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum hamilan, dan pasien
sudah mendapatkan ART , maka saat hamil ART tetap diteruskan dengan regimen
yang sama seperti saat sebelum hamil.
• Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur kehamilannya
14 minggu, jika ada indikasi dapat diberikan ART. Namun jika tidak ada indikasi,
pemberian ART ditunggu hingga umur kehamilannya 14 minggu. Regimen ART
yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
• Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan ≥ 14
minggu, segera diberikan ART berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya. Regimen
ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
• Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang persalinan,
segera diberikan ART sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan kombinasi regimen ART
sama dengan ibu hamil yang lain.
4. Persalinan aman
Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan
konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan
penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per vaginam
dan per abdominam (bedah sesar atau seksio sesarea). Dalam konseling perlu
disampaikan mengenai manfaat terapi ARV sebagai cara terbaik mencegah penularan
HIV dari ibu ke anak. Dengan terapi ARV yang sekurangnya dimulai pada minggu
ke-14 kehamilan, persalinan per vaginam merupakan persalinan yang aman. Apabila
tersedia fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral load < 1.000 kopi/μL,
persalinan per vaginam aman untuk dilakukan.
Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau jika
pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih,
sehingga diperkirakan viral load > 1.000 kopi/μL.
Untuk memberikan layanan persalinan yang optimal kepada ibu hamil dengan
HIV direkomendasikan kondisi-kondisi berikut ini:
• Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal, harus
memperhatikan kondisi fisik dan indikasi obstetri ibu berdasarkan penilaian dari
tenaga kesehatan. Infeksi HIV bukan merupakan indikasi untuk bedah sesar.
• Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk
menjalani persalinan per vaginam atau pun per abdominam (bedah sesar).
• Tindakan menolong persalinan ibu hamil, baik secara persalinan per vaginam
maupun bedah sesar harus selalu menerapkan kewaspadaan standar, yang berlaku
untuk semua jenis persalinan dan tindakan medis.
5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak
Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko
penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan antenatal atau
sebelum persalinan. Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan setelah mendapat
informasi secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung.
Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV sangat
rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam Pedoman HIV dan Infant
Feeding (2010), World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian
ASI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam
terapi ARV untuk kelangsungan hidup anak (HIV-free and child survival). Eksklusif
artinya hanya diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan susu lain (mixed
feeding). Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI dapat diteruskan hingga bayi
berusia 12 bulan, disertai dengan pemberian makanan padat. Bila ibu tidak dapat
memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus dihentikan dan digantikan dengan susu
formula untuk menghindari mixed feeding (Tabel 7).
6. Mengatur kehamilan dan Keluarga Berencana
Kontrasepsi pada ibu/perempuan HIV positif:
• Ibu yang ingin menunda atau mengatur kehamilan, dapat menggunakan
kontrasepsi jangka panjang.
• Ibu yang memutuskan tidak punya anak lagi, dapat memilih kontrasepsi
mantap.
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak
Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir selama 6
minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT atau ZDV) 4 mg/kgBB
diberikan 2 kali sehari. Selanjutnya anak dapat diberikan kotrimoksazol profilaksis
mulai usia 6 minggu dengan dosis4-6 mg/kgbb, satu kali sehari, setiap hari sampai
usia 1 tahun atau sampai diagnosis HIV ditegakkan.
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV
Penularan HIV pada anak dapat terjadi selama masa kehamilan, saat
persalinan, dan menyusui. Antibodi HIV dari ibu dapat berpindah ke bayi melalui
plasenta selama kehamilan berada pada darah bayi/anak hingga usia 18 bulan.
Penentuan status HIV pada bayi/anak (usia <18 bulan) dari ibu HIV tidak dapat
dilakukan dengan cara pemeriksaan diagnosis HIV (tes antibodi) biasa. Pemeriksaan
serologis anti-HIV dan pemeriksaan virologis HIV RNA (PCR) dilakukan setelah
usia 18 bulan atau dapat dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan
bila hasilnya positif, maka harus diulang setelah usia 18 bulan.
Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di
Indonesia dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada anak usia di
bawah 18 bulan. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan minimal 2 kali dan dapat
dimulai ketika bayi berusia 4-6 minggu dan perlu diulang 4 minggu kemudian.
Pemeriksaan HIV DNA (PCR) adalah pemeriksaan yang dapat menemukan virus atau
partikel virus dalam tubuh bayi dan saat ini sedang dikembangkan di Indonesia untuk
diagnosis dini HIV pada bayi (early infant diagnosis, EID).
II.13 Tatalaksana
II.13.1Persiapan Pemberian ARV14
Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang
ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal
dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering
disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi AR. Pemerintah
menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan
pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan
harga obat.
Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur hidup
dan keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini termasuk:
kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang
tidak diharapkan atau terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution
Inflammatory Syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV, terutama pada ODHA
dengan stadium klinis lanjut atau jumlah jumlah CD4 <100 sel/mm3, dan komplikasi
yang berhubungan dengan terapi ARV jangka panjang. Orang dengan HIV harus
mendapatkan informasi dan konseling yang benar dan cukup tentang terapi
antiretroviral sebelum memulainya.
Hal ini sangat penting dalam mempertahankan kepatuhan minum ARV karena
harus diminum selama hidupnya. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan
minum ARV adalah penyediaan ARV secara cuma-cuma, kemudahan
minum obat dan kesiapan untuk meminumnya. Setelah dilakukan konseling
kepatuhan, ODHA diminta berkomitmen untuk menjalani pengobatan ARV secara
teratur untuk jangka panjang. Konseling meliputi cara dan ketepatan minum obat,
efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, monitoring keadaan
klinis
dan
monitoring
pemeriksaan laboratorium
secara
berkala
termasuk
pemeriksaan CD4.
Pada anak dengan HIV, perlu dilakukan kajian khusus untuk kesiapan
terapi ARV, di antaranya:
1. Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau berisiko terinfeksi
HIV dan situasi kesehatannya.
2. Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediaannya untuk mematuhi
pengobatan ARV dan pemantauannya.
3. Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya serta
informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga.
4. Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai perjalanan ke klinik,
kemampuan membeli atau menyediakan tambahan makanan untuk anak yang sakit
dan kemampuan membayar bila ada penyakit yang lain.
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi
ODHA sebelum inisiasi ARV dan membantu penentuan paduan yang akan
digunakan. Berikut dalam tabel 5 adalah tes laboratorium yang direkomendasikan.
II.13.2 Indikasi Memulai ART
Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk
pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait
HIV dalam populasi. Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak dapat dilihat
dalam table.
II.13.3 Paduan ART Lini Pertama
Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum
pernah mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV).
1. Paduan ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa
a Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50
ml/menit, atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol
dan gagal ginjal
b Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
c Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
2. Paduan ART lini pertama pada anak usia kurang dari 5 tahun
Paduan ART lini pertama pada anak sama seperti orang dewasa, yaitu menggunakan
kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI dengan pilihan seperti pada table 8
II.13.4 Paduan ARV Lini Kedua
1. Paduan ARV lini kedua pada remaja dan dewasa
Resistansi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang mengalami
kegagalan terapi. Resistansi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam
terapi ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir
pasti terjadi resistansi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV
menggunakan kombinasi 2 NRTI + boosted PI menjadi rekomendasi sebagai terapi
pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja, dan juga anak dengan paduan berbasis
NNRTI yang digunakan sebagai lini pertama.
Prinsip pemilihan paduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV
sebanyak mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah obat
yang sama sekali belum dipakai sebelumnya. Anak dengan paduan berbasis PI untuk
lini pertama, diubah (switch) ke NNRTI atau tetap berbasis PI namun sesuaikan
dengan umur yang direkomendasikan. Selengkapnya pilihan paduan ARV beserta
efek samping yang mungkin timbul dapat dilihat dalam tabel 14, 15, dan 16 sebagai
berikut:
2. Paduan ART lini kedua pada anak
II.13.5 Paduan ARV Lini Ketiga
Jika terjadi kegagalan lini kedua maka perlu dilakukan terapi penyelamatan
yang efektif. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini kedua
harus menggunakan kriteria virologis (pemeriksaan HIV RNA). Seperti pada
penentuan gagal terapi lini pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus
dilakukan saat ODHA menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam keadaan
kepatuhan yang baik. Tes resistansi genotyping diwajibkan sebelum pindah ke lini
ketiga. Pada penentuan indikasi dan memulai lini ketiga, diperlukan konsultasi
dengan rumah sakit rujukan yang sudah mempunyai pengalaman. Berikut adalah
paduan ART lini ketiga beserta efek sampingnya dalam tabel 17 dan 18.
II.15 Prognosis
Prognosis anak-anak pengidap HIV berbeda-beda sesuai stadium klinis dan
terutama persentase CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Secara umum
tercapainya stadium ADIS pada anak lebih cepat pada orang dewasa. Bila pada orang
dewasa ada sejumlah pengidap HIV yang dapat tetap sehat dengan hitung CD4 tetap
normal bertahun-tahun lamanya, maka pada anak belum didapatkan studi kohort
dengan hasil yang sebanding. Tetapi memang ditemukan anak-anak yang hingga usia
paling tidak 8 tahun tidak memilki gejala infeksi HIV dan hitung CD4nya normal,
meskipun HIV seropositif. Studi awal menunjukkan bahwa pada anak-anak yang
tetap sehat memiliki produksi antibodi lebih baik dan aktivitas sel Limfosit sitotoksik
terhadap HIV yang lebih baik. Tetapi lebih banyak anak-anak terinfeksi HIV yang
sebelum usia 1 tahun pun sudah memerlukan terapi ARV. Dengan perkembangan
riset obat ARV pada anak dan keberhasilan pencegahan transmisi dari ibu pengidap
HIV ke anaknya, diharapkan angka keberhasilan hidup anak pengidap HIV lebih
tinggi di masa yang akan datang.
BAB III
KESIMPULAN
HIV ((Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem
kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. AIDS
(Aquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan tahap akhir dari infeksi HIV
yang berupa kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Cara penularan HIV/AIDS yang diketahui adalah melalui transmisi seksual
(homoseksual, heteroseksual) dan nonseksual (parenteral, produk darah serta
transplasental).
Bayi dan balita dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu melahirkan dan
saat menyusui, jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan,
kemungkinan anak akan melanjut cepat ke AIDS, dan akan meninggal dalam dua
tahun pertama kehidupannya, bila tidak diberi ART. Namun pada sebagian besar
anak dengan HIV, perkembangan penyakit akan lebih pelan, dan ada harapan mereka
dapat tahan hidup tanpa ART selama 8-9 tahun atau lebih. Infeksi HIV pada anak
yang tidak diobati
juga mengakibatkan pertumbuhan
yang tertunda dan
keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ARV. Oleh karena itu
penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah
kematian, penyakit dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan mental.
Tatalaksana HIV/AIDS menggunakan ARV (Anti Retro Viral). Obat ARV
tidak untuk menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan dan kematian
secara dramatis, serta memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak.
Pengobatan HIV/AIDS yang ada saat ini dapat dikatakan belum baik, karena hanya
bersifat mensupres virus dan tidak dapat mengeradikasi virus, sehingga petugas
kesehatan baiknya lebih mementingkan upaya pencegahan daripada pengobatan.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Ed 2.
Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. IDAI ; 2008. 378-414
2. Yogev R, Chadwick EG. Acquired immunodeficiency syndrome (human
immunodeficiency virus). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. New
York: Elsevier’s; 2007. 1022- 32.
3. IDAI. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak. Jakarta: IDAI ; 2013
http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/Pedoman-PenerapanTerapi-HIV-pada-Anak.pdf
4. Setiawan, M. Tatalaksana infeksi HIV/AIDS pada bayi dan anak. Jakarta:
Majalah Kedokteran
5. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.51 Tahun
2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2013. 08-10
6. Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume 1. Jakarta:
Penerbit EGC; 2009. 417-418
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tatalaksana infeksi HIV
pada anak dan terapi antiretroviral di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2006
8. Kumar,V. Penyakit Imunitas. Dalam: Kumar,V.Ramzi S Cotran. Stanley L
Robbins. Buku ajar Patologi Robbins. Volume 1. Edisi 7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2007. 164-176
9. Budimulja, Unandar. Sjaiful F Dali. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dan Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Djuanda, A. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. 427431
10. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency
Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2008. 243 – 247
11. WHO. Strengthening health services to fight HIV/AIDS (online); 2006.
(http://www.who.int/hiv/toronto2006/Children2_eng.pdf)
12. WHO. Human Immunodeficiency Virus HIV/AIDS 2014 : WHO; 2014
http://www.who.int/features/qa/71/en/
13. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak
(PPIA) 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012
14. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.87 Tahun
2014 tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2014.
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Buku_Permenkes_ARV_Cetak.pdf
Download
Study collections