REFERAT INFEKSI HIV PADA BAYI DAN ANAK DISUSUN OLEH : Elsya Melinda 1810221016 PEMBIMBING : dr. Endang Prasetyowati, Sp.A KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA RSUD AMBARAWA 2019 PENGESAHAN Referat diajukan oleh Nama : Elsya Melinda NRP : 1810221016 Program studi : Kedokteran umum Judul : Infeksi HIV pada Bayi dan Anak Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Pembimbing dr. Endang Prasetyowati, Sp.A Ditetapkan di : Ambarawa Tanggal: Mei 2019 BAB I PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di mana terjadi kegagalan sistem imun progresif.1 Penyebab terbanyak adalah HIV-1. Virus ini ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang terkontaminasi darah dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal, atau ASI.2 Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral.1 Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995.3 Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan sebesar 83% antara tahu 1992 sampai 2001. Infeksi HIV pada anak merupakan masalah kesehatan yang sangat besar di dunia, dan berkembang dengan kecepatan yang sangat berbahaya. Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta anak terinfeksi HIV di seluruh dunia. Jumlah ini diduga tetap akan meningkat dalam waktu dekat karena beberapa alasan4. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa remaja.1 Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Definisi Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus HIV (Human Deficiency Virus).1 AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan tahap akhir dari infeksi HIV yang berupa kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).4 II.2 Epidemiologi Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi melalui transfuse darah atau komponen yang tercemar. Menurut CDC Amerika, 13% kasus AIDS pada anak adalah penerima transfuse darah atau komponennya, 5% diantaranya ternyata terinfeksi dalam pengobatan hemophilia atau gangguan pembekuan darah yang lain. Dengan diterapkan sistem uji tapis yang lebih ketat terhadap donor darah, penularan melalui transfusi ini telah berkurang, sehingga penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal (vertical), yaitu sekitar 50-80% baik intra uterin, melalui plasenta, selama persalinan melalui pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi setelah lahir (pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI).1 Laporan Kasus HIV dan AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan cara penularan tertinggi terjadi akibat hubungan seksual beresiko, diikuti penggunaan jarum suntik tidak steril; dengan jumlah pengidap AIDS terbanyak pada kategori pekerjaan ibu rumah tangga. Hal ini juga terlihat dari proporsi jumlah kasus HIV pada perempuan meningkat dari 34% (2008) menjadi 44% (2011).5 Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya (mother- to-child transmission (MTCT). Namun demikian setiap hari terjadi 1800 infeksi baru pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di Negara berkembang atau terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral (ARV) untuk anak dan bayi yang terinfeks karenanya menjadi satu jalan untuk menanggulangi pandemic HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.1 II.3 Etiologi Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan.4 Terdapat dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2). HIV-1 sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering sebab bermutasi lebih cepat karena replikasi nya lebih cepat.6 HIV mempunyai inti (nukleoid) berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung 2 rangkaian genom RNA diploid, dengan masing-masing rangkaian memiliki enzim transkripatse reverse (RT), dan integrase. Selain itu di dalam inti juga terdapat enzim protease yang tidak melekat pada rangkaian RNA. Partikel yang membentuk inti silindris ini adalah protein kapsid (p24); yang menutupi komponen nukleoid tersebut sehingga membentuk struktur ukleokapsid. Protein matriks p17 merupakan bagian dalam sampul virus HIV. Bagan paling luar adalah lapisan membran fosfolipid yang berasal dari membran plasma sel pejamu. Pada membran permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran yang merupakan gp41 yang keduanya dibentuk oleh virus.1 Gambar 1 Anatomi HIV II.4 Siklus Hidup Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu. Perlekatan ini dimulai dari interaksi antara kompleks env yang terdiri dari 3 pasang molekul gp120 dan molekul transmembran gp 41 yang merupakan molekul trimerik membran virion dengan membran sel target. Pertama-tama terbentuk ikatan antara satu subunit gp 120 dengan molekul CD4 sel pejamu. Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasional (membran virion melekuk agar gp120 kedua dapat ikut melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada koreseptor kemokin (CXCR4, CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi perubahan konformasional pada gp41 (semula berada di lapisan lebih dalam membran virion) untuk mengekspos komponen hidrofobiknya sampai ke lapisan membran pejamu, (karena mampu bergerak seperti ini maka gp41 dinamakan peptida fusi) dan kemudian menyisipkan diri ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi membran sel HIV dengan membran sel pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu.1 Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam kompleks nukeoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi DNA oleh enzim transkriptase reversi (RT= Reverse Transcriptase). DNA HIV yang terbentuk kemudian masuk ke nukleus sel pejamu melalui bantuan enzim integrase. Integrasi diperkuat bila pada saat yang sama DNA pejamu bereplikasi karena terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA virus HIV yang sudah berintegrasi ke dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA provirus ini dapat dormant, atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulan-bulan atau bertahuntahun tanpa adanya protein baru atau virion.1 Transkripsi gen proviral DNA yang sudah terintegrasi diatur oleh: a. LTR , bergerak ke arah hulu dari gen struktur virus b. Sitokin/stimulus fisiologis terhadap sel T dan makrofag lain untuk memperkuat transkripsi. LTR mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan dalam bentuk kotak TATA dan tempat ikatan/binding untuk 2 faktor transkripsi pejamu (NF-kB dan SP1). Awal transkripsi gen HIV dalam sel T terkait dengan pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen atau sitokin lain. Sebagai contoh, aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, IL-2, TNF dan limfotoksin akan menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu IL-1, IL-3, IL6, TNF, limfotoksin, IFN-γ dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV dan replikasi virus dalam sel monosit dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini menunjukkan bahwa sel T yang terinfeksi HIV secara laten dapat tetap memberi respons normal terhadap mikroba lain. Replikasi sel T mungkin menjadi pemicu berakhirnya infeksi laten dan dimulainya produksi virus. Infeksi multipel yang dialami penderita HIV akan menstimulasi produksi HIV untuk selanjutnya menginfeksi sel lainnya. Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal optimal untuk memulai transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang benar-benar disintesis. Hal itu terjadi karena transkripsi gen HIV oleh enzim polimerase RNA mamalia tidak efisien dan kompleks polimer biasanya berhenti ditranskripsi sebelum mRNA lengkap. Protein Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan pada DNA virus. Keterikatan ini meningkatkan proses polimerase RNA hingga beberapa ratus kali lipat, dan mendorong diselesaikannya transkripsi dengan hasil akhir RNA messenger(mRNA) HIV yang fungsional. mRNA yang mengkode aneka protein HIV berasal dari transkrip helai tunggal genom lengkap yang telah melalui proses penyambungan yang berbeda-beda. Ekspresi gen HIV dapat dibagi ke dalam stadium awal saat gen regulator dibentuk dan stadium akhir dimana gen struktur diekspresikan dan helai tunggal genom lengkap dibuat. Protein Rev, Tat, Nev adalah produk awal gen yang dicetak oleh mRNA yang tersambung sempurna dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan menjadi protein di sitoplasma segera sesudah infeksi satu sel. Produk akhir gen termasuk env, gag, dan pol yang mengkode komponen struktur virus dan diterjemahkan dari RNA tunggal yang sudah maupun belum tersambung. Protein Rev memulai penukaran dari ekspresi awal menjadi gen akhir dengan cara mempromosikan ekspor RNA ke luar inti sel. RNA ini yang belum tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti. Produk gen pol adalah protein prekursor yang dipotong secara berurutan untuk membentuk enzim transkriptase riversi, protease, ribonuklease dan integrase. Gen gag mengkode protein berukuran 55-D. Protein ini selanjutnya dipotong oleh enzim proteolitik menjadi polipeptida p24, p17, dan p15. Ketiga polipeptida ini adalah protein inti yang diperlukan untuk membentuk partikel infeksius virus. Gen env memproduksi terutama glikoprotein 160-kD yang selanjutnya dipotong oleh protease sel di retikulum endoplasma menjadi protein gp 120 dan gp 41 yang diperlukan untuk menempelnya HIV pada sel. Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di sitoplasma pejamu. Seluruh partikel infeksius kemudian disusun dalam satu kompleks nukleoprotein, termasuk gag dan pol yang diperlukan untuk integrase siklus berikutnya. Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses ”budding” dari membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel pejamu.1 II.5 Patogenesis Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimula dengan penempelan virus pada limfositT. HIV masuk kedalam tubuh manusia. RNA virus berubah menjadi DNA intermediet/DNA pro virus dengan bantuan enzim transkriptase, dan kemudian bergabung dengan DNA sel yang diserang. Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti gp41 berinteraksi dengan CD4+ yang akan menghambat aktivasi sel dan mempresentasikan.7 Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi. Pada masa ini, tidak dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/μL. Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejala pendahuluan yang kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik (IO). IO adalah infeksi yang mengikuti perjalanan penyakit HIV. Dengan adanya IO maka perjalanan penyakit HIV telah memasuki stadium AIDS.7 Gambar 2. Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ 1 Keterangan gambar: jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³) jumlah RNA HIV per mL plasma Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. 4 Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel microglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis. II.6 Perjalanan Penyakit Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa. 1 Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel. 8 Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama. 8 Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi. 8 Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV. Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV). 8 Tabel 1. Manifestasi klinis infeksi HIV8 Fase penyakit Penyakit HIV akut Masa laten klinis AIDS Manifestasi klinis Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis, limfadenopati generalisata, eritema Berkurangnya jumlah sel T CD4+ Infeksi oportunistik Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium) Bakteri (Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella) Jamur (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum) Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster) Tumor Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan EBV) Sarkoma Kaposi Karsinoma servikal Ensefalopati Wasting syndrome II.7 Cara Penularan Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan. Penularan lain yang juga penting adalah dari transfuse produk darah yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh penderita HIV, prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang buktinya sedikit.10 Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HIV seperti air ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang atau kontak social seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah cara untuk penularan. Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan gejala AIDS tidak perlu dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.9 a. Ibu Hamil dengan HIV (+) Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapa menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya. Cara transmisi in dinamakan juga transmisu secara vertical. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterine) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau secret genitalia yang mengandung HIV selama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat terjadi pada 20-50% kasus. 10 Faktor predictor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar limfosit TCD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV, atau penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketubn pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasive pada bayi. Selain itu prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi. 10 HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya baik dari cairan ASI maupun sel-sel yan berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses pengurangan anigen. WHO menganjurkan untuk Negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke bayinya belum pernah dilaporkan. 10 II.8 Faktor Resiko Dari cara penularan tersebut di atas maka faktor resiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah, 1) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual, 2) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena, 4) bayi atau anak yang mendapat transfuse darah atau produk darah berulang, 5) anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan 6) anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan. 1 II.8.1 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik. 1. Faktor Ibu • Jumlah virus (viral load) Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml. • Jumlah sel CD4 Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar. • Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. • Penyakit infeksi selama hamil Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. • Gangguan pada payudara Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI. 2. Faktor Bayi • Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik. • Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar. • Adanya luka di mulut bayi Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI. 3. Faktor obstetrik Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah: • Jenis persalinan Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria). • Lama persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. • Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam. • Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi II.8.2 Waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke anak Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui. Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui (De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:117582). Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. II.9 Masa Inkubasi Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahuntahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia sudap dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunisik sudah dapat dilihat ketika usia 2 bulan. II.10 Manifestasi Klinik Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun. Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang. 1 Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum. Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal. Secara khusus dilakukan klasifikasi manifestasi klinis ini oleh CDC Amerika Serikat (1994) dan WHO (tahun 2006). Penggunaan klasifikasi ini untuk membantu dalam menentukan diagnosis, tatalaksana dan prognosis. Klasifikasi klinis yang mengarahkan ke pengambilan keputusan dilakukannya pemeriksaan laboratorium dikenal dengan nama AIDS Defining Illness11 Klasifikasi klinis menurut CDC adalah N, A, B dan C (AIDS) dengan tambahan prefix E pada semua anak yang terpapar pada HIV dari orangtuanya. Klasifikasi klinis menurut WHO dapat dilihat pada tabel berikut. 12 Tabel 2. Klasifikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV Klasifikasi Asimtomatik Ringan Sedang Berat Stadium klinis WHO 1 2 3 4 Tabel 3. Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang terinfeksi HIV Stadium klinis 1 Asimtomatik Limfadenopati generalisata persisten Stadium klinis 2 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan a Erupsi pruritik papular Infeksi virus wart luas Angular cheilitis Moluskum kontagiosum luas Ulserasi oral berulang Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan Eritema ginggival lineal Herpes zoster Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis ) Infeksi kuku oleh fungus Stadium klinis 3 Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap terapi standara Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5 o C intermiten atau konstan, > 1 bulan) a Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan) Oral hairy leukoplakia Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut TB kelenjar TB Paru Pneumonia bakterial yang berat dan berulang Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/ mm3) Stadium klinis 4 Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standara Pneumonia pneumosistis Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia) Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun) TB ekstrapulmonar Sarkoma Kaposi Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru) Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus) Ensefalopati HIV Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea) Isosporiasis kronik Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral Progressive multifocal leukoencephalopathy Catatan: a. Tidak dapat dijelaskan ebrarti kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh sebab yang lain b. Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada kategori ini II.11 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti: 1 a. assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma b. assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma c. assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD) Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang. Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian. Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan. Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa. Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi oportunistik. Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8 menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari adanya alergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B menurun. II.12 DIAGNOSIS a. Anak yang berumur kurang dari 18 bulan 1 Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup. a) Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%. b) Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji. c) Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan. b. Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang mendapat ASI Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui. c. Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV. d. Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan. e. Diagnosis infeksi HIV setelah ibu atau bayi mendapat Anti Retroviral (ARV) untuk program pencegahan (PMTCT=Prevention of Mother To Child Transmission) Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat mulai diperiksa pada usia 48 jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi hasilnya. DNA HIV akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi HIV dan sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya tidak terdeteksi. Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay antigen ICD p24 dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO menyatakan bahwa pemeriksaan RNA tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi yang lahir mendapat ARV. f. Diagnosis infeksi bila ibu minum ARV Belum diketahui apakah pemakaian ARV pada ibu yang menyusui bayinya dapat mempengaruhi deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi, meskipun sudah dibuktikan uji DNA HIV tidak terpengaruh. g. Anak yang berumur lebih dari 18 bulan Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda. h. Diagnosis klinis presumtif infeksi HIV Tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif atau spesifik untuk mendiagnosis HIV. Akurasi diagnosis berdasarkan algoritme klinis jarang yang mencapai sensitifitas 70% dan bervariasi menurut umur; bahkan tidak dapat diandalkan unutk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 12 bulan. Uji antibodi anti HIV (dapat berupa rapid test) dan peningkatan akses untuk uji virologik dini dapat membantu dokter membuat algoritme diagnostik yang lebih baik. Dalam situasi sulit diperbolehkan menggunakan dasar klinis untuk memulai pengobatan ARV pada anak kurang dari 18 bulan dan terpapar HIV yang berada dalam kondisi sakit berat. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan CD4 atau parameter lain saat ini belum terbukti sebagai alat diagnosis infeksi HIV. i. Anak yang berumur kurang dari 18 bulan Untuk bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan yang berada di tempat dimana uji virologik tidak mungkin dilakukan, terdapat gejala yang sugestif infeksi HIV, diagnosis presumtif ineksi HIV secara klinis dapat dibuat. Diagnosis infeksi ini dapat menjadi dasar untuk menilai apakah diperlukan pemberian ARV segera Tabel 4. Metode yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak Metode Uji virologik( DNA, RNA, ICD) Uji antibodi anti HIV Rekomendasi Tingkat rekomendasi/bukti Untuk mendiagnosis infeksi pada bayi < 18 A(I) bulan ; uji inisial direkomendasi mulai umur 6-8 minggu Untuk mendiagnosis infeksi HIV pada ibu A(I) atau identifikasi paparan pada bayi Untuk mendiagnosis infeksi pada anak > 18 bulan A(IV) Untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada umur < 18 bulan dengan kemungkinan besar HIV positif* * Anak kurang dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya adalah anak yang benar-benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih membawa antibodi maternal. Gambar 2. Skenario pemeriksaan HIV II.13 Pencegahan Penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang di kandungnya Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif mencakup kegiatan sebagai berikut: 13 1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV; 2. Diagnosis HIV 3. Pemberian terapi antiretroviral; 4. Persalinan yang aman; 5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi dan anak; 6. Menunda dan mengatur kehamilan; 7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak; 8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak. Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada periode kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran. Pelayanan KIA yang komprehensif meliputi pelayanan pra-, persalinan dan pascapersalinan, serta layanan kesehatan anak. Pelayanan KIA bisa menjadi pintu masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak bagi seorang ibu hamil. Pemberian informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke klinik KIA akan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang kemungkinan adanya risiko penularan HIV di antara mereka, termasuk risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak. Tes HIV atas inisiatif petugas serta skrining IMS harus ditawarkan kepada semua ibu hamil sesuai kebijakan program. Harapannya, dengan kesadaran sendiri ibu mau dites dengan sukarela. Konseling dan tes HIV dalam PPIA komprehensif dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP), yang merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang, seperti pada saat pemberian ARV.Apabila seseorang yang datang ke layanan kesehatan dan menunjukan adanya gejala yang mengarah ke HIV, tanggung jawab dasar dari petugas kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalaksana klinis. Berbagai bentuk layanan di klinik KIA, seperti imunisasi untuk ibu, pemeriksaan IMS terutama sifilis, pemberian suplemen zat besi dapat meningkatkan status kesehatan semua ibu hamil, termasuk ibu hamil dengan HIV. Hendaknya klinik KIA juga menjangkau dan melayani suami atau pasangannya, sehingga timbul keterlibatan aktif para suami/ pasangannya dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Upaya pencegahan IMS, termasuk penggunaan kondom, merupakan bagian pelayanan IMS dan HIV serta diintegrasikan dalam pelayanan KIA. 1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV Pelayanan tes HIV merupakan upaya membuka akses bagi ibu hamil untuk mengetahui status HIV, sehingga dapat melakukan upaya untuk mencegah penularan HIV ke bayinya,memperoleh pengobatan ARV sedini mungkin, dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan tentang HIV-AIDS. 2. Diagnosis HIV Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis (mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang memenuhi kriteria sensitivitas dan spesifitas. Hasil pemeriksaan dinyatakanreaktif jika hasil tes dengan reagen 1 (A1), reagen 2 (A2), dan reagen 3 (A3)ketiganya positif (Strategi 3). Pemilihan jenis reagen yang digunakan berdasarkansensitivitas dan spesifisitas, merujuk pada Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik, Kementerian Kesehatan (SK Menkes No. 241 tahun 2006). Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya indeterminate, tes diagnostic HIV dapat diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari setelah yang pertama dan setidaknya tes ulang menjelang persalinan (32-36 minggu). 3. Pemberian Terapi Antiretroviral Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV-AIDS, namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus di dalam tubuh dapat ditekan sangat rendah, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya orang sehat. Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011). Penentuan saat yang tepat untuk memulai terapi obat antiretroviral (ARV) pada ODHA dewasa didasarkan pada kondisi klinis pasien (stadium klinis WHO) atau hasil pemeriksaan CD4. Namun pada ibu hamil, pasien TB dan penderita Hepatitis B kronik aktif yang terinfeksi HIV, pengobatan ARV dapat dimulai pada stadium klinis apapun atau tanpa menunggu hasil pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4 tetap diperlukan untuk pemantauan pengobatan. Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin.Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Seminimal mungkin hindari triple nuke (3 NRTI). Regimen yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu selama hamil dan dilanjutkan selama menyusui adalah intervensi PPIA yang paling efektif untuk kesehatan ibu dan juga mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi. Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011).Pemberian ARV disesuaikan dengan kondisi klinis ibu (lihat Tabel 5) dan mengikuti ketentuan sebagai berikut: • Ibu hamil merupakan indikasi pemberian ARV. • Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum hamilan, dan pasien sudah mendapatkan ART , maka saat hamil ART tetap diteruskan dengan regimen yang sama seperti saat sebelum hamil. • Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur kehamilannya 14 minggu, jika ada indikasi dapat diberikan ART. Namun jika tidak ada indikasi, pemberian ART ditunggu hingga umur kehamilannya 14 minggu. Regimen ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu. • Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan ≥ 14 minggu, segera diberikan ART berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya. Regimen ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu. • Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang persalinan, segera diberikan ART sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan kombinasi regimen ART sama dengan ibu hamil yang lain. 4. Persalinan aman Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per vaginam dan per abdominam (bedah sesar atau seksio sesarea). Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan terapi ARV yang sekurangnya dimulai pada minggu ke-14 kehamilan, persalinan per vaginam merupakan persalinan yang aman. Apabila tersedia fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral load < 1.000 kopi/μL, persalinan per vaginam aman untuk dilakukan. Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau jika pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih, sehingga diperkirakan viral load > 1.000 kopi/μL. Untuk memberikan layanan persalinan yang optimal kepada ibu hamil dengan HIV direkomendasikan kondisi-kondisi berikut ini: • Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal, harus memperhatikan kondisi fisik dan indikasi obstetri ibu berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Infeksi HIV bukan merupakan indikasi untuk bedah sesar. • Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam atau pun per abdominam (bedah sesar). • Tindakan menolong persalinan ibu hamil, baik secara persalinan per vaginam maupun bedah sesar harus selalu menerapkan kewaspadaan standar, yang berlaku untuk semua jenis persalinan dan tindakan medis. 5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan antenatal atau sebelum persalinan. Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan setelah mendapat informasi secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung. Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam Pedoman HIV dan Infant Feeding (2010), World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk kelangsungan hidup anak (HIV-free and child survival). Eksklusif artinya hanya diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan susu lain (mixed feeding). Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI dapat diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan, disertai dengan pemberian makanan padat. Bila ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus dihentikan dan digantikan dengan susu formula untuk menghindari mixed feeding (Tabel 7). 6. Mengatur kehamilan dan Keluarga Berencana Kontrasepsi pada ibu/perempuan HIV positif: • Ibu yang ingin menunda atau mengatur kehamilan, dapat menggunakan kontrasepsi jangka panjang. • Ibu yang memutuskan tidak punya anak lagi, dapat memilih kontrasepsi mantap. 7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir selama 6 minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT atau ZDV) 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari. Selanjutnya anak dapat diberikan kotrimoksazol profilaksis mulai usia 6 minggu dengan dosis4-6 mg/kgbb, satu kali sehari, setiap hari sampai usia 1 tahun atau sampai diagnosis HIV ditegakkan. 8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV Penularan HIV pada anak dapat terjadi selama masa kehamilan, saat persalinan, dan menyusui. Antibodi HIV dari ibu dapat berpindah ke bayi melalui plasenta selama kehamilan berada pada darah bayi/anak hingga usia 18 bulan. Penentuan status HIV pada bayi/anak (usia <18 bulan) dari ibu HIV tidak dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan diagnosis HIV (tes antibodi) biasa. Pemeriksaan serologis anti-HIV dan pemeriksaan virologis HIV RNA (PCR) dilakukan setelah usia 18 bulan atau dapat dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasilnya positif, maka harus diulang setelah usia 18 bulan. Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di Indonesia dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada anak usia di bawah 18 bulan. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan minimal 2 kali dan dapat dimulai ketika bayi berusia 4-6 minggu dan perlu diulang 4 minggu kemudian. Pemeriksaan HIV DNA (PCR) adalah pemeriksaan yang dapat menemukan virus atau partikel virus dalam tubuh bayi dan saat ini sedang dikembangkan di Indonesia untuk diagnosis dini HIV pada bayi (early infant diagnosis, EID). II.13 Tatalaksana II.13.1Persiapan Pemberian ARV14 Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi AR. Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan harga obat. Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur hidup dan keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak diharapkan atau terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV, terutama pada ODHA dengan stadium klinis lanjut atau jumlah jumlah CD4 <100 sel/mm3, dan komplikasi yang berhubungan dengan terapi ARV jangka panjang. Orang dengan HIV harus mendapatkan informasi dan konseling yang benar dan cukup tentang terapi antiretroviral sebelum memulainya. Hal ini sangat penting dalam mempertahankan kepatuhan minum ARV karena harus diminum selama hidupnya. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah penyediaan ARV secara cuma-cuma, kemudahan minum obat dan kesiapan untuk meminumnya. Setelah dilakukan konseling kepatuhan, ODHA diminta berkomitmen untuk menjalani pengobatan ARV secara teratur untuk jangka panjang. Konseling meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, monitoring keadaan klinis dan monitoring pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan CD4. Pada anak dengan HIV, perlu dilakukan kajian khusus untuk kesiapan terapi ARV, di antaranya: 1. Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau berisiko terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya. 2. Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediaannya untuk mematuhi pengobatan ARV dan pemantauannya. 3. Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya serta informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga. 4. Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai perjalanan ke klinik, kemampuan membeli atau menyediakan tambahan makanan untuk anak yang sakit dan kemampuan membayar bila ada penyakit yang lain. Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi ODHA sebelum inisiasi ARV dan membantu penentuan paduan yang akan digunakan. Berikut dalam tabel 5 adalah tes laboratorium yang direkomendasikan. II.13.2 Indikasi Memulai ART Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait HIV dalam populasi. Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak dapat dilihat dalam table. II.13.3 Paduan ART Lini Pertama Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV). 1. Paduan ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa a Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal b Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi c Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV 2. Paduan ART lini pertama pada anak usia kurang dari 5 tahun Paduan ART lini pertama pada anak sama seperti orang dewasa, yaitu menggunakan kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI dengan pilihan seperti pada table 8 II.13.4 Paduan ARV Lini Kedua 1. Paduan ARV lini kedua pada remaja dan dewasa Resistansi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang mengalami kegagalan terapi. Resistansi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam terapi ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir pasti terjadi resistansi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV menggunakan kombinasi 2 NRTI + boosted PI menjadi rekomendasi sebagai terapi pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja, dan juga anak dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini pertama. Prinsip pemilihan paduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah obat yang sama sekali belum dipakai sebelumnya. Anak dengan paduan berbasis PI untuk lini pertama, diubah (switch) ke NNRTI atau tetap berbasis PI namun sesuaikan dengan umur yang direkomendasikan. Selengkapnya pilihan paduan ARV beserta efek samping yang mungkin timbul dapat dilihat dalam tabel 14, 15, dan 16 sebagai berikut: 2. Paduan ART lini kedua pada anak II.13.5 Paduan ARV Lini Ketiga Jika terjadi kegagalan lini kedua maka perlu dilakukan terapi penyelamatan yang efektif. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini kedua harus menggunakan kriteria virologis (pemeriksaan HIV RNA). Seperti pada penentuan gagal terapi lini pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat ODHA menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam keadaan kepatuhan yang baik. Tes resistansi genotyping diwajibkan sebelum pindah ke lini ketiga. Pada penentuan indikasi dan memulai lini ketiga, diperlukan konsultasi dengan rumah sakit rujukan yang sudah mempunyai pengalaman. Berikut adalah paduan ART lini ketiga beserta efek sampingnya dalam tabel 17 dan 18. II.15 Prognosis Prognosis anak-anak pengidap HIV berbeda-beda sesuai stadium klinis dan terutama persentase CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Secara umum tercapainya stadium ADIS pada anak lebih cepat pada orang dewasa. Bila pada orang dewasa ada sejumlah pengidap HIV yang dapat tetap sehat dengan hitung CD4 tetap normal bertahun-tahun lamanya, maka pada anak belum didapatkan studi kohort dengan hasil yang sebanding. Tetapi memang ditemukan anak-anak yang hingga usia paling tidak 8 tahun tidak memilki gejala infeksi HIV dan hitung CD4nya normal, meskipun HIV seropositif. Studi awal menunjukkan bahwa pada anak-anak yang tetap sehat memiliki produksi antibodi lebih baik dan aktivitas sel Limfosit sitotoksik terhadap HIV yang lebih baik. Tetapi lebih banyak anak-anak terinfeksi HIV yang sebelum usia 1 tahun pun sudah memerlukan terapi ARV. Dengan perkembangan riset obat ARV pada anak dan keberhasilan pencegahan transmisi dari ibu pengidap HIV ke anaknya, diharapkan angka keberhasilan hidup anak pengidap HIV lebih tinggi di masa yang akan datang. BAB III KESIMPULAN HIV ((Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan tahap akhir dari infeksi HIV yang berupa kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Cara penularan HIV/AIDS yang diketahui adalah melalui transmisi seksual (homoseksual, heteroseksual) dan nonseksual (parenteral, produk darah serta transplasental). Bayi dan balita dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu melahirkan dan saat menyusui, jika ibunya terinfeksi HIV. Jika tertular pada awal kehamilan, kemungkinan anak akan melanjut cepat ke AIDS, dan akan meninggal dalam dua tahun pertama kehidupannya, bila tidak diberi ART. Namun pada sebagian besar anak dengan HIV, perkembangan penyakit akan lebih pelan, dan ada harapan mereka dapat tahan hidup tanpa ART selama 8-9 tahun atau lebih. Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan pertumbuhan yang tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ARV. Oleh karena itu penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan mental. Tatalaksana HIV/AIDS menggunakan ARV (Anti Retro Viral). Obat ARV tidak untuk menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara dramatis, serta memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak. Pengobatan HIV/AIDS yang ada saat ini dapat dikatakan belum baik, karena hanya bersifat mensupres virus dan tidak dapat mengeradikasi virus, sehingga petugas kesehatan baiknya lebih mementingkan upaya pencegahan daripada pengobatan. BAB IV DAFTAR PUSTAKA 1. Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Ed 2. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. IDAI ; 2008. 378-414 2. Yogev R, Chadwick EG. Acquired immunodeficiency syndrome (human immunodeficiency virus). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. New York: Elsevier’s; 2007. 1022- 32. 3. IDAI. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak. Jakarta: IDAI ; 2013 http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/Pedoman-PenerapanTerapi-HIV-pada-Anak.pdf 4. Setiawan, M. Tatalaksana infeksi HIV/AIDS pada bayi dan anak. Jakarta: Majalah Kedokteran 5. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.51 Tahun 2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013. 08-10 6. Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume 1. Jakarta: Penerbit EGC; 2009. 417-418 7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tatalaksana infeksi HIV pada anak dan terapi antiretroviral di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006 8. Kumar,V. Penyakit Imunitas. Dalam: Kumar,V.Ramzi S Cotran. Stanley L Robbins. Buku ajar Patologi Robbins. Volume 1. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. 164-176 9. Budimulja, Unandar. Sjaiful F Dali. Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Djuanda, A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. 427431 10. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. 243 – 247 11. WHO. Strengthening health services to fight HIV/AIDS (online); 2006. (http://www.who.int/hiv/toronto2006/Children2_eng.pdf) 12. WHO. Human Immunodeficiency Virus HIV/AIDS 2014 : WHO; 2014 http://www.who.int/features/qa/71/en/ 13. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012 14. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.87 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014. http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Buku_Permenkes_ARV_Cetak.pdf