Uploaded by User11702

Resume Hukum Kewarisan islam

advertisement
1
KEWARISAN
A. Pengertian Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing (ps. 171 huruf a KHI).
Dalam terminologi fiqh biasanya digunakan pengertian kebahasaan. Kata-warasa-asal katanya
kewarisan- digunakan dalam al-Qur’an. Secara bahasa, kata warasa memiliki beberapa arti:
1. Mengganti (QS. Al-Naml 27:16)
2. Memberi (QS. Al-Zumar 39: 74)
3. Mewarisi (QS. Maryam 19: 6)
 Mawaris/Mauruts/Miiraats : harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya
 Warist : yang menerima harta warisan (ahli waris).
 Muwaris : orang yang meninggalkan waris.
Secara terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap yang berhak.
Hukum kewarisan sering disebut dengan istilah faraid, bentuk jamak dari kata tunggal faridah,
artinya ketentuan. Karena dalam Islam bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah
di bakukan dalam al-Qur’an. Para ulama menetapkan mempelajari faraidh adalah fardhukifayah.
B. Hukum Kewarisan Islam dalam wacana Historis
1. Hukum Kewarisan Sebelum Islam
a. Al-Qarabah / pertalian kerabat : anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, anak laki-laki paman.
b. Al- Hilf wa al-muaqadah/ janji setia : Yaitu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih.
Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain untuk saling mewarisi
apabila salah satu pihak ada meninggal.
c. Al- Tabanni/adopsi (pengangkatan anak) : Dalam tradisi jahiliyah adopsi lazim dilakukan dan
kehadiran mereka dimasukkan sebagai keluarga besar bapak angkatnya, yang status
hukumnya sama dengan anak kandung.
2. Hukum Kewarisan Masa Awal Islam
Dasar-dasar mewarisi:
a. Al-qarabah (pertalian kerabat)
b. Al-hilf wa mu’aqadah (janji setia)
c. Al-tabanni (adopsi)
d. Hijrah (dari Makkah ke Madinah)
e. Muakhah (ikatan persaudaraan antara orang-orang muhajirin dan orang ansor)
C. Dasar Hukum Kewarisan Islam
a. Al-Qur’an, surat Al-Nisa’ ayat 7, 11-12, 13-14, dan 176.
 Garis Hukum dalam Q.S An-Nisa ayat 7 :
1) Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu atau bapak yang meninggal.
2) Bagi kerabat laki-laki (ayah/saudara/kakek) ada bagian harta peninggalan kerabatnya
(anak/saudara/ cucu) yang meninggal dunia.
3) Bagi anak perempuan ada hak bagian dari harta peninggalan ibu atau bapak yang
meninggal.
4) Bagi kerabat perempuan (ibu/saudara perempuan) ada bagian harta peninggalan
kerabatnya (anak/saudara/cucu) yang meninggal dunia.
5) Baik sedikit atau banyak (bagian harta peninggalan) menurut bagian yang yang telah
ditetapkan.
 Garis Hukum dalam Q.S An-Nisa ayat 11 :
1) Pembagian harta waris untuk anak-anak.
a) Bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua anak perempuan.
b) Dan jika anak itu semua perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan.
c) Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.
2
2) Pembagian harta waris untuk dua orang ibu- bapak.
a) Untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal punya anak.
b) Jika orang yang meninggal tidak punya anak dan dia diwarisi ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga.
c) Jika yang meninggal itu punya beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

An-Nisa’ ayat 12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka
tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sudah
dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu) sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun).”

An-Nisa’ ayat 176:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): Jika seseorang meninggal dunia, dia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan maka bagian seorang saudara lakilaki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahi segala sesuatu”.
b. Al-Sunnah :
 hadis riwayat muttafaq’alaih, Nabi bersabda: “berikanlah bagian-bagian tertentu
kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama
(dekat kerabatnya)
 Orang Islam tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak
mewarisi orang islam. (muttafaq’alaih).
 Nabi saw. Memutuskan bagian anak perempuan separuh, cucu perempuan garis
laki-laki seperenam sebagai penyempurnaan dua pertiga, dan sisanya untuk saudara
perempuan (HR. Al-Bukhari).
 Rasulullah datang menjengukku pada tahun haji wada’ di waktu aku (sa’ad bin abi
Waqas) menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau: “wahai Rasulullah
aku sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu? Aku ini orang berada,
Sementara tidak ada orang yang akan mewarisi aku kecuali seorang anak
perempuan, apakah aku sedekah (wasiat) kan dua pertiga hartaku? “jangan”, jawab
Rasul. Aku bertanya: “separuh?” jangan jawab Rasul. “sepertiga?” tanya Sa’ad. Rasul
menjawab: “sepertiga, sepertiga adalah banyak, sungguh kamu jika meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik dari pada meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak”
(Muttafaq’alaih).
3
c. Ijma :kesepakatan para ulama’ atau sahabat sepeninggalnya Rasulullah.
d. Ijtihad : pemikiran sahabat atau ulama’ dalam menyelesaikan kasus-kasus pembagian
warisan, yang belum atau tidak disepakati. Misalnya tentang masalah Radd atau ‘aul, di
dalamnya terdapat perbedaan pendapat, sejalan dengan hasil ijtihad.
Ahli Waris dengan derajat terdekat adalah:
1. Anak pewaris
2. Ayah pewaris, ibu pewaris
3. Janda/duda pewaris.
Anak pewaris menjadi penghalang bagi saudara pewaris untuk mewarisi, maka apabila pewaris tidak
punya anak, saudara pewaris dapat mewarisi. Sedangkan ayah pewaris penjadi penghalang bagi kakek
pewaris, sehingga apabila ayah pewaris sudah meninggal lebih dahulu, maka kakek pewaris bisa mewarisi.
Janda atau duda tidak menutup ahli waris yang lain.
D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
1) Asas Ijbari, asas yang mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal
dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah, tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
2) Asas Bilateral, Asas bilateral mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada ahli
warisnya melalui dua arah (dua belah pihak). Hal ini, berarti bahwa setiap orang menerima
hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu kerabat garis keturunan laki-laki
dan pihak kerabat perempuan. (lihat an-Nisa’ : 7, 11, 12 dan 176).
3) Asas Individual, Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dalam arti
harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk memiliki secara
perorangan. Dalam pelaksanaanya masing-masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri
tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. (lihat an-Nisa’: 7)
4) Asas Keadilan berimbang, kata adil berasal dari kata al-’Adlu. Hubungan dengan masalah
kewarisan, kata tersebut dapat diartikan keseimbangan antara yang diperoleh dengan
keperluan dan kegunaan. Asas ini mengandung arti harus senantiasa terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan
kewajiban yang harus ditunaikannya.
5) Asas Semata Akibat Kematian, Peralihan harta seseorang kepada orang lain hanya berlaku
setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas kewarisan akibat kematian dapat
digali dari penggunaan kata-kata waratsa yang banyak terdapat dalam al-Qur’an.
E. Hak-hak yang harus dipenuhi sebelum harta dibagikan ke ahli waris
1) Tajhiz atau biaya penyelenggaraan jenazah.
2) Melunasi hutang.
3) Melaksanakan atau membayar wasiat.
4) Lihat juga dalam KHI pasal 175.
WASIAT (Berpesan)
A. Pengertian wasiat sendiri adalah Pemberian seseorang kepada orang lain, berupa benda, utang atau
manfaat, agar sipenerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal pelaksanaannya
ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat.
“Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia”. (ps. 171 huruf f KHI).
B. Dasar Hukum Wasiat :
1. Al-Qur’an : Q.S al-Baqarah ayat 180 dan 240, Q.S Al-Maidah ayat 106.
4
C.
D.
E.
F.
2. Al-Sunah : Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar. [ Rasulullah bersabda: “Bukanlah hak
seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama
dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi-Nya.] Riwayat al-Bukhari Muslim dari Sa’at ibn
Abi Waqas, Riwayat Ibn Majah dari Jabir: [Rasulullah bersabda: ‘Barang siapa meninggal dan
berwasiat, maka ia mati pada jalan dan sunnah, meninggal pada jalan taqwa dan persaksian, dan
juga meninggal dalam keadaan diampuni dosa-dosanya.]
3. Ijma’ : Kaum muslimin sepakat bahwa wasiat adalah syariat Allah dan Rasul-Nya, didasarkan pada
ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hukum Wasiat
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa hukum wasiat tidak fardu ‘ain, baik kepada kedua orang tua
atau kerabat yang sudah menerima warisan. Sedangkan menurut Abu Dawud, Ibn Hazm dan ulama
salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardu ’ain, didasarkan Q.S al-Baqarah ayat 180 dan Q.S
al-Nisa’ 11-12.
Imam Malik berpendapat lebih realistis, jika si mati tidak berwasiat, tidak perlu dikeluarkan harta
untuk pelaksanaan wasiat, tetapi jika si mati berwasiat, maka diambil sepertiga hartanya untuk wasiat.
Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan, meskipun si mati tidak berwasiat, sebagian harta tetap diambil
untuk keperluan wasiat.
Syarat dan Rukun Wasiat
1.Orang yang berwasiat (al-musi)
2. Orang yang menerima wasiat (al-musalah)
3. Barang yang diwasiatkan (al-musabih
4. Redaksi (sighat) wasiat.
Orang yang tidak boleh menerima wasiat adalah ahli waris yang telah menerima bagian warisan,
karena ia telah menerima bagian warisan. Akan tetapi jika ahli waris yang lain menyetujui, maka ia
dapat menerima wasiat.
Dalam pasal 207 dijelaskan;
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan
kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya,
kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.
Pasal 208 menyebutkan: “ Wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akte
tersebut”.
Batalnya Wasiat, KHI pasal 197:
1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuan hukum tetap dihukum karena:
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewasiat.
2. Dipersalahkan secara mempitnah pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
3. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau
mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
4. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan wasiat itu.
1.
2.
3.
G.
1)
2)
2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu.
Tidak mengetahui sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
Mengetahui tapi ia menolak untuk menerimanya
Mengetahui tetapi tidak pernah menyatakan sampai ia meninggal sebelum meninggalnya
pewasiat.
3) Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Pencabutan Wasiat.
Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 KHI:
Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
5
3) Bila wasit tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan tertulis disaksikan dua orang saksi atau
berdasarkan akte notaris.
4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte notaris.
H.
1)
2)
3)
I.
Apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut maka surat wasiat yang dicabut itu diserahkan
kembali kepada pewasiat (ps 203 ayat (2)).
Ketentuan Teknis
Pasal 204:
Jika wasiat meninggal dunia maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada notaris, dibuka
olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara
pembukaan surat wasiat itu.
Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada notaris, maka penyimpan harus
menyerahkan kepada notaris setempat atau kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya
Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1)
pasal ini.
Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh notaris atau Kantor Urusan
Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.
Dalam kondisi-kondisi tertentu, KHI mengaturnya dalam pasal 205 dan 206.
Pasal 205 KHI mengatur Dalam waktu perang, mereka yang termasuk dalam golongan tentara dan
berada dalam daerah pertempuran dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang
komandan atasannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 206 KHI:
Mereka yang sedang dalam perjalanan melalui laut diperbolehkan membuat surat wasiat di
hadapan nahkoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat dihadapan
seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Ketentuan pada dua pasal tersebut di atas didasarkan pada surat al-Maidah ayat 106.
Wasiat Wajibah : tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk
memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
HIBAH (Memberi )
A. Pengertian
Secara istilah adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi (akad) tanpa mengharap
imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.
hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki (ps. 171 huruf g KHI).
B. Dasar Hukum Hibah.
1. Al-Qur’an : Q.S al-Baqarah ayat 262 Q.S Al-Munafiqun ayat 10
2. Al-Sunnah : Umar ibn al-Khattab berkata: “Aku telah memberikan seekor kuda lama untuk tujuan
sabilillah, kemudian pemiliknya menyia-nyiakannya. Aku menduga ia telah menjualnya dengan
harga murah. Kemudian aku tanyakan kepada Rasulullah, perihal tersebut”. Beliau bersabda:
“Janganlah kamu jual itu, dan jangan kamu tarik kembali sadaqahmu, karena orang yang menarik
kembali sadaqahnya adalah ibarat anjing yang memakan kembali muntahnya. (HR Muslim)
C. Rukun Dan Syarat Hibah.
1. Orang yang menghibahkan (al-wahib) : Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan, Dalam
keadaan sehat , Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu.
2. Orang yang menerima hibah (al- mauhub lah) : Pada dasarnya setiap orang yang memiliki
kecakapan melakukan perbuatan hukum dapat menerima hibah. Bahkan anak-anak atau mereka
yang di bawah pengampuan dapat menerima hibah melaluikuasa (wali)nya.
3. Pemberiannya (al-hibah) : Pasal 210 ayat (2) KHI, menyatakan bahwa “ harta benda yang
dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah
6
Download