Uploaded by User11375

KEWENANGAN DAN PENEGAKAN HUKUM DALAM UNJUK RASA ANARKIS OLEH KEPOLISIAN

advertisement
KEWENANGAN DAN PENEGAKAN HUKUM DALAM UNJUK RASA
ANARKIS OLEH KEPOLISIAN
I GEDE SUDIANA
Email : [email protected]
NIM : 022616463
Mahasiswa Program Studi Hukum
FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS
TERBUKA
Abstrak
Indonesia juga adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dimana
kedudukan rakyat menempati posisi yang tertinggi. Konsekuensi logisnya adalah
adanya jaminan atas hak kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat. Sebagai
suatu sistem, demokrasi juga memiliki potensi permasalahan yang rumit dan pelik,
terutama jika unjuk rasa yang dilakukan tersebut diperburuk dengan tindakan
mengarah pada anarki, dalam arti akan membahayakan ketertiban dan keamanan
masyarakat dan tidak terkendali. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji
bagaimana kewenangan dan penegakan hukum dalam unjuk rasa anarkis oleh
kepolisian. Tulisan ini merupakan kajian teoritis deskriptif yang menjelaskan
tentang kewenangan dan penegakan hukum dalam unjuk rasa anarkis oleh
kepolisian. Tehnik pengumpulan data menggunakan yuridis normatif melalui data
sekunder, yang menekankan fokus perhatian pada ketentuan hukum positif.
Temuan yang didapat bahwa pada dasarnya, walaupun hak kemerdekaan
menyatakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab yang dimiliki oleh
warga negara, tetapi seorang individu yang bebas tidak berarti dia dapat berbuat
semaunya sendiri, apalagi menjurus kepada tindakan anarki. Kepolisian dalam
unjuk rasa yang menjurus pada tindakan anarki, harus berpedoman pada prosedur
yang berlaku serta menghormati hak-hak asasi manusia, karena kepolisian dalam
menjalankan fungsinya memiliki kebebasan dan sekaligus keterikatan secara
hukum dan sosiologis.
Kata kunci : kepolisian republik indonesia, unjuk rasa anarkis, wewenang
PENDAHULUAN
1
Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 3 ayat (1) UUD RI tahun 1945)
mewajibkan bahwa segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan di dalam Negara
Republik Indonesia diselenggarakan berdasarkan atas hukum. Maka diperlukan
adanya institusi-institusi yang dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam
bidang penegakan hukum. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam konsiderannya mengamanatkan bahwa
pemulihan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi
kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat,
dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang
dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
(Konsideran Menimbang Huruf (a) dan (b) UU Nomor 2 Tahun 2002)
Disisi lain, Indonesia juga adalah salah satu negara yang menganut sistem
demokrasi dimana kedudukan rakyat menempati posisi yang tertinggi. Konsekuensi
logisnya adalah adanya jaminan atas hak kemerdekaan untuk mengeluarkan
pendapat.
Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, maka setiap orang berhak untuk
menyampaikan aspirasi atau pendapatnya di muka umum tetapi harus disertai
dengan tanggung jawab, yakni dengan cara ikut memelihara dan menjaga hak dan
kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib dan damai serta mengindahkan
norma, agama, kesusilaan dan kesopanan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu
pengunjuk rasa juga harus menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban
umum.
Sebagai suatu sistem, demokrasi juga memiliki potensi permasalahan yang
rumit dan pelik, terutama jika unjuk rasa yang dilakukan tersebut diperburuk
dengan tindakan mengarah pada anarkhi, dalam arti akan membahayakan ketertiban
dan keamanan masyarakat dan tidak terkendali.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji bagaimana kewenangan dan
penegakan hukum dalam unjuk rasa anarkis oleh kepolisian. Tulisan ini merupakan
kajian teoritis deskriptif yang menjelaskan tentang kewenangan dan penegakan
2
hukum dalam unjuk rasa anarkis oleh kepolisian. Tehnik pengumpulan data
menggunakan yuridis normatif yaitu melalui suatu cara / prosedur untuk
memecahkan
permasalahan
yang
muncul
dengan
meneliti
dan
mengimplementasikan data sekunder, yang menekankan fokus perhatian pada
ketentuan hukum positif.
Manfaat yang diharapkan dari tulisan ini adalah secara teoritis dapat menjadi
bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi
penelitian lanjutan maupun memperkaya khasanah perpustakaan, dan secara praktis
diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kepolisian Republik Indonesia dalam
melaksanakan kewenangan dan penegakan hukum dalam unjuk rasa anarkis.
PEMBAHASAN
Anarki
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “anarki” berarti (1) hal tidak
adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban; (2) kekacauan
(dalam suatu negara).
Sedangkan dalam Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 1/X/2010 Tentang Penanggulangan Anarki, didefinisikan sebagai
tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau
sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan
kekacauan, membahayakan keamanan umum mengancam keselamatan jiwa
dan/atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. Terdapat
beberapa bentuk dan sifat anarki, yaitu:
Bentuk Anarki. Bentuk tindakan anarki dapat ditujukan:
a) Terhadap barang baik milik perorangan, perusahaan, badan perniagaan
maupun pemerintah, dengan cara: merusak, membakar, merampas;
b) Terhadap badan maupun jiwa baik perorangan atau kelompok, dengan cara:
melukai, menganiaya, memperkosa, membunuh, menyandera, melawan
petugas dengan menggunakan atau tanpa menggunakan peralatan.
Sifat Anarki. Tindakan anarki dapat dilakukan oleh:
3
a) Perorangan, dengan mengabaikan peraturan yang ada, dan berdampak luas
terhadap stabilitas kamtibmas;
b) Kelompok atau kolektif, baik yang dikendalikan atau digerakkan oleh
pimpinan kelompok atau tidak dikendalikan oleh seseorang namun dilakukan
bersama-sama
Anarkis merupakan bentuk pelanggaran hukum yang membahayakan
keamanan dan mengganggu ketertiban umum masyarakat sehingga perlu dilakukan
penindakan secara cepat, tepat dan tegas dengan tetap mengedepankan prinsipprinsip Hak Asasi manusia (HAM) serta sesuai ketentuan peraturan perundang
undangan yang berlaku.
Hakekat Unjuk Rasa
Kebebasan menyampaikan pendapat dan informasi diakui sebagai landasan
esensiil di masyarakat demokratis oleh lembaga dan pemerintah di setiap pelosok
dunia. Kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum di dalam konstitusi
Indonesia Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pacsa
Amandemen kedua telah diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan dimuka
umum atau dalam bentuk tulisan ataupun juga dapat berbentuk sebuah aksi unjuk
rasa atau demonstrasi.
Hak kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum sangat penting
mengingat kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu hak dasar
yang dimiliki manusia dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap terlaksananya
pemerintahan yang demokratis. Hak kemerdekaan menyatakan pendapat secara
bebas dan bertanggung jawab yang dimiliki oleh warga negara sangat penting
peranannya untuk mengkritisi secara obyektif dan rasional kebijakan-kebijakan
pemerintah salah satunya diwujudkan dalam bentuk aksi unjuk rasa atau aksi
demonstrasi merupakan manifestasi kontrol sosial (social control).
Undang-undang menjamin seorang individu atau masyarakat banyak dalam
menyampaikan pendapatnya, tetapi seorang individu yang bebas tidak berarti dia
dapat berbuat semaunya sendiri, seperti umpamanya merusak lingkungan
sekeliling,dan merusak barang orang lain. (Sudarsono, 2004). Sehingga dengan
4
demikian demokrasi tidak hanya memuat tentang kebebasan tetapi juga
menghormati hukum dan Hak Asasi Manusia. Demokrasi tanpa hukum dan Hak
Asasi Manusia akan membuat demokrasi yang dikembangkan menjadi rapuh dan
kebebasan mengarah kepada anarki.
Kewenangan dan Penegakan Hukum dalam Unjuk Rasa Anarkis oleh
Kepolisian
Undang-undang No.2 Tahun 2002 tahun 2002 tentang Polri dalam pasal 4
merumuskan tujuan Polri sebagai “Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
tertib
dan
tegaknya
hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,
serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.”
Artinya tujuan utama dari hukum adalah ketertiban masyarakat yang ingin
diwujudkan melalui kepastian hukum. Maka bagaimanakah jika kepastian hukum
tidak dapat mewujudkan ketertiban masyarakat tetapi justru kontra produktif? Apa
yang dapat dilakukan Polri? Penjelasan Pasal 15 (1) huruf f menjelaskan bahwa
tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta
terbinanya ketenteraman masyarakat. Pertanyaan besar mengenai apa hubungan
Polri dengan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat
dapat dijawab oleh penjelasan pasal 15 (1) huruf f, yaitu ketika Polri melakukan
tindakan kepolisian (upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab).
Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum diatur
dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Undang-Undang RI No.
8 Tahun 1981 tentang KUHP, Undang-Undang RI No.1 Tahun 1946 yang
diperbaharui dengan Undang-Undang RI No. 73 Tahun 1958 tentang berlakunya
KUHP di Indonesia, serta Undang-Undang RI No. 27 tahun 199 tentang perubahan
KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan Negara. Kewenangan
5
ini sengaja diberikan masyarakat agar polisi dapat efektif melaksanakan tugasnya
menegakkan hukum dan memelihara ketertiban. Kewenangan Kepolisian
mencakup tataran represif, preventif dan preemtif. Tataran represif adalah dimana
pada waktu melaksanakan tugas dan kewenangannya selalu mengutamakan asas
legalitas, hal ini dilakukan dalam rangka penegakan hukum, tataran preventif dan
preemtif adalah dimana dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya selalu
mengutamakan asas preventif, asas partisipatif (memberikan kesempatan terhadap
peran serta masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya), dan asas subsidiaritas (asas
yang mewajibkan Polri melakukan tindakan yang perlu sebelum instansi tekhnis
yang berwenang hadir di tempat kejadian dan selanjutnya menyerahkan kepada
instansi yang berwenang).
Dalam Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2011 tentang Manajemen
Operasional Kepolisian, ketentuan umum pada pasal 1 angka 7 dan 8 menyebutkan:
“Ambang Gangguan yang selanjutnya disingkat AG adalah suatu situasi/kondisi
Kamtibmas yang apabila tidak dilakukan tindakan kepolisian, dikhawatirkan akan
menimbulkan Gangguan Nyata yang selanjutnya disingkat GN dan Gangguan
Nyata yang selanjutnya disingkat GN adalah gangguan berupa kejahatan,
pelanggaran hukum atau bencana yang dapat menimbulkan kerugian harta benda,
jiwa - raga maupun kehormatan.
Dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan
dalam Tindakan Kepolisian, ketentuan umum pada pasal 1 angka 2 menyebutkan:
“Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan / atau tindakan lain yang dilakukan
secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah,
menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam
keselamatan, atau membahayakan jiwa raga harta benda atau kehormatan
kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya
ketentraman masyarakat.”
Dari dua peraturan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa tindakan
kepolisian adalah tindakan yang dilakukan Polri untuk mencegah kerugian harta
benda, jiwa-raga, maupun kehormatan.
6
Pembatasan pasal 15 (1) f adalah “kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan”. Pemeriksaan khusus tersebut tidak dijelaskan batasannya, sehingga
pemeriksaan khusus terhadap suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat
dipidana jika tujuannya adalah dalam rangka pencegahan kerugian jiwa-raga, harta
benda, dan kehormatan.
Ketika polisi tersebut menggunakan kewenangannya yang diberikan oleh
pasal 15 (1) f untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap peraturan perundangundangan, Pasal 18 (1) menyatakan “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Yang dimaksud dengan "bertindak
menurut penilaiannya sendiri" adalah dalam bertindak harus mempertimbangkan
manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
Ketika kerugian harta benda, jiwa-raga, maupun kehormatan tidak dapat
dicegah hanya melalui kepastian hukum (penerapan dogmatis hukum) seperti
mencegah meninggalnya wanita dan bayi yang akan menghadapi persalinan dan
tertahan oleh traffic light menunjukkan warna merah, maka tindakan seorang polisi
untuk menghentikan pengendara pada jalur warna hijau untuk memberikan akses
kepada wanita tersebut tergolong tindakan kepolisian untuk mewujudkan tertib dan
tegaknya hukum. Hukum ditertibkan terlebih dahulu baru ditegakkan.
Pada kasus-kasus anarki, sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 01 tahun
2010, petugas Polri dalam melakukan penanggulangan tindakan anarki harus
berpedoman kepada empat asas yaitu :
a.
Asas legalitas, Anggota Polri dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan
prosedur dan hukum yang berlaku.
b.
Asas nesesitas, Anggota Polri yang melakukan tindakan mesti didasari oleh
suatu kebutuhan penegakan hukum
c.
Asas proporsionalitas, Anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan
anarki senantiasa menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan
dengan ancaman yang dihadapi dalam menegakan hukum.
7
d.
Asas akuntabilitas, anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan
anarki senantiasa bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
Dengan adanya asas tersebut, anggota Polri diharapkan dapat melindungi
masyarakat dari tindakan-tindakan represif sekaligus melindungi anggota Polri itu
sendiri. Selain itu, asas tersebut dapat memberikan batasan-batasan tentang
penggunaan kekuatan Polri dalam menghadapi aksi-aksi anarkis dan sporadis.
Fungsi dan kedudukan polisi tidak dapat ditetapkan secara sepihak saja
olehnya sendiri, melainkan ditentukan oleh realitas tuntutan kebutuhan
masyarakatnya. Polisi tidak dapat beroperasi dan berfungsi menurut kebutuhannya
sendiri saja, melainkan polisi juga ditata dan didisiplinkan dalam beroperasi dan
berfungsi, oleh harapan-harapan (expectation) serta kebutuhan-kebutuhan
masyarakat dimana ia berada. Jadi, polisi selalu dihadapkan kepada harapanharapan yang tumbuh pada masyarakatnya (expected reaction). Karena itulah
institusi polisi sebagaimana kebanyakan institusi sosial lainnya tidaklah dapat
bersifat eksklusif dan tertutup terhadap lingkungannya. Suasana saling
ketergantungan antara polisi dan lingkungan masyarakatnya, menyebabkan polisi
tidak selalu mampu mengendalikan lingkungannya, seturut rencana dan program
yang dibuat oleh polisi itu sendiri. Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan oleh
polisi, adalah menyiapkan beberapa alternatif pemecahan, yang secara tentatif
boleh dianggap cukup ekuivalen secara fungsional, dan pada waktu yang tepat
ditentukan mana yang mendapat prioritas, karena secara fungsional juga dinilai
lebih berbobot.
Penegakan hukum pada dasarnya merupakan salah satu usaha untuk
menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik secara
preventif maupun represif. Ciri utama dalam penegakan hukum adalah adanya
kebebasan untuk mengambil keputusan. Penegakan hukum itu sendiri sebenarnya
tidak lain adalah pembuatan keputusan. Oleh karena itu polisi harus menempatkan
dirinya di garis depan dalam pengambilan keputusan. Kepolisian sebagai sebuah
lembaga yang dilingkupi oleh berbagai kebutuhan sosial masyarakat, tentu
diharapkan responsif bahkan proaktif, terhadap perkembangan yang senantiasa
8
terjadi pada setiap segi kehidupan sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain,
polisi memiliki hubungan dengan masyarakatnya tidak hanya sebagai penegak
hukum (positif), namun dalam menjalankan tugas penegakan hukum maupun
ketertiban, polisi memiliki posisi sosiologis yang memberikan kebebasan sekaligus
membatasinya.
Hal ini membuat polisi dalam menjalankan fungsinya memiliki kebebasan
dan sekaligus keterikatan secara hukum dan sosiologis. Tindakan polisi mesti
selalu mengandung kebenaran hukum, bukannya hukum dijadikan pembenaran.
Tindakan kepolisian merekayasa hukum bagi tindakan kepolisian, hal ini dapat
terjadi penyesatan hukum.
Hal diatas juga menyebabkan bahwa tugas dan fungsi polisi, yang walaupun
secara juridis formal sudah ditetapkan sesuai dengan undang-undang yang dibuat
secara konstitusional, tidak bisa hanya dipahami secara ideal atau formal saja.
Fungsi dan peran yang dapat dijalankan secara nyata di dalam masyarakat, akan
sangat dipengaruhi oleh tingkat pemenuhan kebutuhan organisasi, yang dikaitkan
dan dihadapkan kepada harapan-harapan yang ada dalam masyarakat.
Seorang polisi harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan atau
menerapkan metode, teknik, prosedur serta aturan yang ada dalam organisasi
kepolisian. Profesionalisme polisi dapat tercermin dalan menerapkan teknik dan
prosedur yang harus dilakukan polisi sesuai dengan aturan dalam terlaksanakan
tugasnya.
Oleh karena itu dalam menangani kerusuhan massa yang menjurus pada
tindakan anarki, Kepolisian harus berpedoman pada prosedur yang berlaku serta
menghormati hak-hak asasi manusia. Wewenang Kepolisian tidak dapat dilepaskan
dari pelaksanaan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat khususnya
kerusuhan massa, tetapi dalam pelaksanaan tugas, sejauh mungkin dipilih cara yang
tidak menyakiti baru dipilih penggunaan kekerasan dan senjata api apabila cara lain
tidak dimungkinkan untuk berhasil dengan baik. Dan bila pemakaian itu tidak dapat
dihindari, petugas kepolisian harus mempertimbangkan, yaitu mencegah kerusakan
dan cidera, menghormati dan menjaga keselamatan masyarakat.
9
Dalam konteks unjuk rasa, pendekatan humanis dan sejauh mungkin
menghindari tindakan represif. Situasi dalam sebuah unjuk rasa seringkali sarat
dengan emosi dan benturan kepentingan, sehingga apabila terjadi tindakan yang
melanggar hukum atau mengarah ke perbuatan anarkis, pasti akan memancing
perlawanan pihak lainnya, yang pada akhirnya menimbulkan banyak kerugian
materiil dan immateriil bagi para pihak dan berdampak negatif pada stabilitas
negara.
Merujuk pada tanggung jawab kepolisian sebagai aparat penegak hukum
maka Satuan petugas Dalmas Sabhara termasuk satuan di lingkup Kepolisian yang
berhubungan dengan pelaksanaan unjuk rasa di lapangan.
Satuan Dalmas Sabhara ini mempunyai tugas untuk menyelenggarakan dan
membina fungsi Sabhara Bhayangkara yang mencakup tugas tugas polisi umum
yang meliputi pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli termasuk pengamanan
kegiatan masyarakt dan obyek vital, pengendalian massa
PENUTUP
Kesimpulan
1. Undang-undang menjamin hak kemerdekaan menyatakan pendapat secara
bebas dan bertanggung jawab yang dimiliki oleh warga negara karena
sangat penting peranannya untuk mengkritisi secara obyektif dan rasional
kebijakan-kebijakan pemerintah, tetapi seorang individu yang bebas tidak
berarti dia dapat berbuat semaunya sendiri, apalagi menjurus kepada
tindakan anarki.
2. Kepolisian dalam unjuk rasa yang menjurus pada tindakan anarki, harus
berpedoman pada prosedur yang berlaku serta menghormati hak-hak asasi
manusia, karena Polisi dalam menjalankan fungsinya memiliki kebebasan
dan sekaligus keterikatan secara hukum dan sosiologis.
3. Dalam konteks unjuk rasa, pendekatan humanis dan sejauh mungkin
menghindari tindakan represif. Situasi dalam sebuah unjuk rasa seringkali sarat
dengan emosi dan benturan kepentingan, sehingga apabila terjadi tindakan
10
yang melanggar hukum atau mengarah ke perbuatan anarkis, pasti akan
memancing perlawanan pihak lainnya, yang pada akhirnya menimbulkan
banyak kerugian materiil dan immateriil bagi para pihak dan berdampak
negatif pada stabilitas negara.
Saran
Berkaitan dengan pemenuhan tugas pokok kepolisian, maka unjuk rasa
dapat dikatakan aman, tertib dan damai jika proses pelaksanaannya tidak
menimbulkan peristiwa atau kegiatan yang melanggar aturan hukum yang berlaku
dan tidak menimbulkan tindakan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban
masyarakat. Sehingga dapat diartikan bahwa apa yang dilakukan oleh polisi dalam
mengendalikan unjuk rasa harus tetap memperhatikan antara penegakan hukum
dengan tidak mengurangi hak seseorang untuk berpendapat dalam bentuk unjuk
rasa atau demonstrasi. Untuk itu diperlukan sosialisasi dan pendekatan sosiologis
kepada masyarakat tentang batasan hak dalam kegiatan unjuk rasa agar tidak
menjurus ke arah anarkisme.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat Di Muka Umum.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam
Tindakan Kepolisian
Peraturan Kapolri PROTAP/1/X/2010 Tentang Penanggulangan Anarki
Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2011 tentang Manajemen Operasional Kepolisian
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kelana, M., (1984), Hukum Kepolisian, Cetakan Keempat, Jakarta: Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian.
Kunarto, Tabah, A., (1995), Polisi Harapan dan Kenyataan, Klaten: CV. Sahabat.
11
Puspa, Y.P., (1977), Kamus Hukum. Semarang : Aneka Ilmu
Raharjo, A., (2011), Profesionalisme Polisi Dalam Penegakan Hukum,
Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Sudarsono, (2004), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta
12
Download