KEWENANGAN DAN PENEGAKAN HUKUM DALAM UNJUK RASA ANARKIS OLEH KEPOLISIAN I GEDE SUDIANA Email : [email protected] NIM : 022616463 Mahasiswa Program Studi Hukum FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS TERBUKA Abstrak Indonesia juga adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dimana kedudukan rakyat menempati posisi yang tertinggi. Konsekuensi logisnya adalah adanya jaminan atas hak kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat. Sebagai suatu sistem, demokrasi juga memiliki potensi permasalahan yang rumit dan pelik, terutama jika unjuk rasa yang dilakukan tersebut diperburuk dengan tindakan mengarah pada anarki, dalam arti akan membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat dan tidak terkendali. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji bagaimana kewenangan dan penegakan hukum dalam unjuk rasa anarkis oleh kepolisian. Tulisan ini merupakan kajian teoritis deskriptif yang menjelaskan tentang kewenangan dan penegakan hukum dalam unjuk rasa anarkis oleh kepolisian. Tehnik pengumpulan data menggunakan yuridis normatif melalui data sekunder, yang menekankan fokus perhatian pada ketentuan hukum positif. Temuan yang didapat bahwa pada dasarnya, walaupun hak kemerdekaan menyatakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab yang dimiliki oleh warga negara, tetapi seorang individu yang bebas tidak berarti dia dapat berbuat semaunya sendiri, apalagi menjurus kepada tindakan anarki. Kepolisian dalam unjuk rasa yang menjurus pada tindakan anarki, harus berpedoman pada prosedur yang berlaku serta menghormati hak-hak asasi manusia, karena kepolisian dalam menjalankan fungsinya memiliki kebebasan dan sekaligus keterikatan secara hukum dan sosiologis. Kata kunci : kepolisian republik indonesia, unjuk rasa anarkis, wewenang PENDAHULUAN 1 Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 3 ayat (1) UUD RI tahun 1945) mewajibkan bahwa segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan di dalam Negara Republik Indonesia diselenggarakan berdasarkan atas hukum. Maka diperlukan adanya institusi-institusi yang dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam konsiderannya mengamanatkan bahwa pemulihan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. (Konsideran Menimbang Huruf (a) dan (b) UU Nomor 2 Tahun 2002) Disisi lain, Indonesia juga adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dimana kedudukan rakyat menempati posisi yang tertinggi. Konsekuensi logisnya adalah adanya jaminan atas hak kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat. Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, maka setiap orang berhak untuk menyampaikan aspirasi atau pendapatnya di muka umum tetapi harus disertai dengan tanggung jawab, yakni dengan cara ikut memelihara dan menjaga hak dan kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib dan damai serta mengindahkan norma, agama, kesusilaan dan kesopanan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu pengunjuk rasa juga harus menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. Sebagai suatu sistem, demokrasi juga memiliki potensi permasalahan yang rumit dan pelik, terutama jika unjuk rasa yang dilakukan tersebut diperburuk dengan tindakan mengarah pada anarkhi, dalam arti akan membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat dan tidak terkendali. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji bagaimana kewenangan dan penegakan hukum dalam unjuk rasa anarkis oleh kepolisian. Tulisan ini merupakan kajian teoritis deskriptif yang menjelaskan tentang kewenangan dan penegakan 2 hukum dalam unjuk rasa anarkis oleh kepolisian. Tehnik pengumpulan data menggunakan yuridis normatif yaitu melalui suatu cara / prosedur untuk memecahkan permasalahan yang muncul dengan meneliti dan mengimplementasikan data sekunder, yang menekankan fokus perhatian pada ketentuan hukum positif. Manfaat yang diharapkan dari tulisan ini adalah secara teoritis dapat menjadi bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan maupun memperkaya khasanah perpustakaan, dan secara praktis diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan kewenangan dan penegakan hukum dalam unjuk rasa anarkis. PEMBAHASAN Anarki Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “anarki” berarti (1) hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban; (2) kekacauan (dalam suatu negara). Sedangkan dalam Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1/X/2010 Tentang Penanggulangan Anarki, didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum mengancam keselamatan jiwa dan/atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. Terdapat beberapa bentuk dan sifat anarki, yaitu: Bentuk Anarki. Bentuk tindakan anarki dapat ditujukan: a) Terhadap barang baik milik perorangan, perusahaan, badan perniagaan maupun pemerintah, dengan cara: merusak, membakar, merampas; b) Terhadap badan maupun jiwa baik perorangan atau kelompok, dengan cara: melukai, menganiaya, memperkosa, membunuh, menyandera, melawan petugas dengan menggunakan atau tanpa menggunakan peralatan. Sifat Anarki. Tindakan anarki dapat dilakukan oleh: 3 a) Perorangan, dengan mengabaikan peraturan yang ada, dan berdampak luas terhadap stabilitas kamtibmas; b) Kelompok atau kolektif, baik yang dikendalikan atau digerakkan oleh pimpinan kelompok atau tidak dikendalikan oleh seseorang namun dilakukan bersama-sama Anarkis merupakan bentuk pelanggaran hukum yang membahayakan keamanan dan mengganggu ketertiban umum masyarakat sehingga perlu dilakukan penindakan secara cepat, tepat dan tegas dengan tetap mengedepankan prinsipprinsip Hak Asasi manusia (HAM) serta sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Hakekat Unjuk Rasa Kebebasan menyampaikan pendapat dan informasi diakui sebagai landasan esensiil di masyarakat demokratis oleh lembaga dan pemerintah di setiap pelosok dunia. Kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum di dalam konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pacsa Amandemen kedua telah diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan dimuka umum atau dalam bentuk tulisan ataupun juga dapat berbentuk sebuah aksi unjuk rasa atau demonstrasi. Hak kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum sangat penting mengingat kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki manusia dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap terlaksananya pemerintahan yang demokratis. Hak kemerdekaan menyatakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab yang dimiliki oleh warga negara sangat penting peranannya untuk mengkritisi secara obyektif dan rasional kebijakan-kebijakan pemerintah salah satunya diwujudkan dalam bentuk aksi unjuk rasa atau aksi demonstrasi merupakan manifestasi kontrol sosial (social control). Undang-undang menjamin seorang individu atau masyarakat banyak dalam menyampaikan pendapatnya, tetapi seorang individu yang bebas tidak berarti dia dapat berbuat semaunya sendiri, seperti umpamanya merusak lingkungan sekeliling,dan merusak barang orang lain. (Sudarsono, 2004). Sehingga dengan 4 demikian demokrasi tidak hanya memuat tentang kebebasan tetapi juga menghormati hukum dan Hak Asasi Manusia. Demokrasi tanpa hukum dan Hak Asasi Manusia akan membuat demokrasi yang dikembangkan menjadi rapuh dan kebebasan mengarah kepada anarki. Kewenangan dan Penegakan Hukum dalam Unjuk Rasa Anarkis oleh Kepolisian Undang-undang No.2 Tahun 2002 tahun 2002 tentang Polri dalam pasal 4 merumuskan tujuan Polri sebagai “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” Artinya tujuan utama dari hukum adalah ketertiban masyarakat yang ingin diwujudkan melalui kepastian hukum. Maka bagaimanakah jika kepastian hukum tidak dapat mewujudkan ketertiban masyarakat tetapi justru kontra produktif? Apa yang dapat dilakukan Polri? Penjelasan Pasal 15 (1) huruf f menjelaskan bahwa tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat. Pertanyaan besar mengenai apa hubungan Polri dengan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat dapat dijawab oleh penjelasan pasal 15 (1) huruf f, yaitu ketika Polri melakukan tindakan kepolisian (upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab). Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum diatur dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP, Undang-Undang RI No.1 Tahun 1946 yang diperbaharui dengan Undang-Undang RI No. 73 Tahun 1958 tentang berlakunya KUHP di Indonesia, serta Undang-Undang RI No. 27 tahun 199 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan Negara. Kewenangan 5 ini sengaja diberikan masyarakat agar polisi dapat efektif melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan memelihara ketertiban. Kewenangan Kepolisian mencakup tataran represif, preventif dan preemtif. Tataran represif adalah dimana pada waktu melaksanakan tugas dan kewenangannya selalu mengutamakan asas legalitas, hal ini dilakukan dalam rangka penegakan hukum, tataran preventif dan preemtif adalah dimana dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya selalu mengutamakan asas preventif, asas partisipatif (memberikan kesempatan terhadap peran serta masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya), dan asas subsidiaritas (asas yang mewajibkan Polri melakukan tindakan yang perlu sebelum instansi tekhnis yang berwenang hadir di tempat kejadian dan selanjutnya menyerahkan kepada instansi yang berwenang). Dalam Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2011 tentang Manajemen Operasional Kepolisian, ketentuan umum pada pasal 1 angka 7 dan 8 menyebutkan: “Ambang Gangguan yang selanjutnya disingkat AG adalah suatu situasi/kondisi Kamtibmas yang apabila tidak dilakukan tindakan kepolisian, dikhawatirkan akan menimbulkan Gangguan Nyata yang selanjutnya disingkat GN dan Gangguan Nyata yang selanjutnya disingkat GN adalah gangguan berupa kejahatan, pelanggaran hukum atau bencana yang dapat menimbulkan kerugian harta benda, jiwa - raga maupun kehormatan. Dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, ketentuan umum pada pasal 1 angka 2 menyebutkan: “Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan / atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat.” Dari dua peraturan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa tindakan kepolisian adalah tindakan yang dilakukan Polri untuk mencegah kerugian harta benda, jiwa-raga, maupun kehormatan. 6 Pembatasan pasal 15 (1) f adalah “kewenangan untuk melakukan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan”. Pemeriksaan khusus tersebut tidak dijelaskan batasannya, sehingga pemeriksaan khusus terhadap suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat dipidana jika tujuannya adalah dalam rangka pencegahan kerugian jiwa-raga, harta benda, dan kehormatan. Ketika polisi tersebut menggunakan kewenangannya yang diberikan oleh pasal 15 (1) f untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap peraturan perundangundangan, Pasal 18 (1) menyatakan “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Yang dimaksud dengan "bertindak menurut penilaiannya sendiri" adalah dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Ketika kerugian harta benda, jiwa-raga, maupun kehormatan tidak dapat dicegah hanya melalui kepastian hukum (penerapan dogmatis hukum) seperti mencegah meninggalnya wanita dan bayi yang akan menghadapi persalinan dan tertahan oleh traffic light menunjukkan warna merah, maka tindakan seorang polisi untuk menghentikan pengendara pada jalur warna hijau untuk memberikan akses kepada wanita tersebut tergolong tindakan kepolisian untuk mewujudkan tertib dan tegaknya hukum. Hukum ditertibkan terlebih dahulu baru ditegakkan. Pada kasus-kasus anarki, sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 01 tahun 2010, petugas Polri dalam melakukan penanggulangan tindakan anarki harus berpedoman kepada empat asas yaitu : a. Asas legalitas, Anggota Polri dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku. b. Asas nesesitas, Anggota Polri yang melakukan tindakan mesti didasari oleh suatu kebutuhan penegakan hukum c. Asas proporsionalitas, Anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan anarki senantiasa menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam menegakan hukum. 7 d. Asas akuntabilitas, anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan anarki senantiasa bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan adanya asas tersebut, anggota Polri diharapkan dapat melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan represif sekaligus melindungi anggota Polri itu sendiri. Selain itu, asas tersebut dapat memberikan batasan-batasan tentang penggunaan kekuatan Polri dalam menghadapi aksi-aksi anarkis dan sporadis. Fungsi dan kedudukan polisi tidak dapat ditetapkan secara sepihak saja olehnya sendiri, melainkan ditentukan oleh realitas tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Polisi tidak dapat beroperasi dan berfungsi menurut kebutuhannya sendiri saja, melainkan polisi juga ditata dan didisiplinkan dalam beroperasi dan berfungsi, oleh harapan-harapan (expectation) serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat dimana ia berada. Jadi, polisi selalu dihadapkan kepada harapanharapan yang tumbuh pada masyarakatnya (expected reaction). Karena itulah institusi polisi sebagaimana kebanyakan institusi sosial lainnya tidaklah dapat bersifat eksklusif dan tertutup terhadap lingkungannya. Suasana saling ketergantungan antara polisi dan lingkungan masyarakatnya, menyebabkan polisi tidak selalu mampu mengendalikan lingkungannya, seturut rencana dan program yang dibuat oleh polisi itu sendiri. Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan oleh polisi, adalah menyiapkan beberapa alternatif pemecahan, yang secara tentatif boleh dianggap cukup ekuivalen secara fungsional, dan pada waktu yang tepat ditentukan mana yang mendapat prioritas, karena secara fungsional juga dinilai lebih berbobot. Penegakan hukum pada dasarnya merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik secara preventif maupun represif. Ciri utama dalam penegakan hukum adalah adanya kebebasan untuk mengambil keputusan. Penegakan hukum itu sendiri sebenarnya tidak lain adalah pembuatan keputusan. Oleh karena itu polisi harus menempatkan dirinya di garis depan dalam pengambilan keputusan. Kepolisian sebagai sebuah lembaga yang dilingkupi oleh berbagai kebutuhan sosial masyarakat, tentu diharapkan responsif bahkan proaktif, terhadap perkembangan yang senantiasa 8 terjadi pada setiap segi kehidupan sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain, polisi memiliki hubungan dengan masyarakatnya tidak hanya sebagai penegak hukum (positif), namun dalam menjalankan tugas penegakan hukum maupun ketertiban, polisi memiliki posisi sosiologis yang memberikan kebebasan sekaligus membatasinya. Hal ini membuat polisi dalam menjalankan fungsinya memiliki kebebasan dan sekaligus keterikatan secara hukum dan sosiologis. Tindakan polisi mesti selalu mengandung kebenaran hukum, bukannya hukum dijadikan pembenaran. Tindakan kepolisian merekayasa hukum bagi tindakan kepolisian, hal ini dapat terjadi penyesatan hukum. Hal diatas juga menyebabkan bahwa tugas dan fungsi polisi, yang walaupun secara juridis formal sudah ditetapkan sesuai dengan undang-undang yang dibuat secara konstitusional, tidak bisa hanya dipahami secara ideal atau formal saja. Fungsi dan peran yang dapat dijalankan secara nyata di dalam masyarakat, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemenuhan kebutuhan organisasi, yang dikaitkan dan dihadapkan kepada harapan-harapan yang ada dalam masyarakat. Seorang polisi harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan atau menerapkan metode, teknik, prosedur serta aturan yang ada dalam organisasi kepolisian. Profesionalisme polisi dapat tercermin dalan menerapkan teknik dan prosedur yang harus dilakukan polisi sesuai dengan aturan dalam terlaksanakan tugasnya. Oleh karena itu dalam menangani kerusuhan massa yang menjurus pada tindakan anarki, Kepolisian harus berpedoman pada prosedur yang berlaku serta menghormati hak-hak asasi manusia. Wewenang Kepolisian tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat khususnya kerusuhan massa, tetapi dalam pelaksanaan tugas, sejauh mungkin dipilih cara yang tidak menyakiti baru dipilih penggunaan kekerasan dan senjata api apabila cara lain tidak dimungkinkan untuk berhasil dengan baik. Dan bila pemakaian itu tidak dapat dihindari, petugas kepolisian harus mempertimbangkan, yaitu mencegah kerusakan dan cidera, menghormati dan menjaga keselamatan masyarakat. 9 Dalam konteks unjuk rasa, pendekatan humanis dan sejauh mungkin menghindari tindakan represif. Situasi dalam sebuah unjuk rasa seringkali sarat dengan emosi dan benturan kepentingan, sehingga apabila terjadi tindakan yang melanggar hukum atau mengarah ke perbuatan anarkis, pasti akan memancing perlawanan pihak lainnya, yang pada akhirnya menimbulkan banyak kerugian materiil dan immateriil bagi para pihak dan berdampak negatif pada stabilitas negara. Merujuk pada tanggung jawab kepolisian sebagai aparat penegak hukum maka Satuan petugas Dalmas Sabhara termasuk satuan di lingkup Kepolisian yang berhubungan dengan pelaksanaan unjuk rasa di lapangan. Satuan Dalmas Sabhara ini mempunyai tugas untuk menyelenggarakan dan membina fungsi Sabhara Bhayangkara yang mencakup tugas tugas polisi umum yang meliputi pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli termasuk pengamanan kegiatan masyarakt dan obyek vital, pengendalian massa PENUTUP Kesimpulan 1. Undang-undang menjamin hak kemerdekaan menyatakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab yang dimiliki oleh warga negara karena sangat penting peranannya untuk mengkritisi secara obyektif dan rasional kebijakan-kebijakan pemerintah, tetapi seorang individu yang bebas tidak berarti dia dapat berbuat semaunya sendiri, apalagi menjurus kepada tindakan anarki. 2. Kepolisian dalam unjuk rasa yang menjurus pada tindakan anarki, harus berpedoman pada prosedur yang berlaku serta menghormati hak-hak asasi manusia, karena Polisi dalam menjalankan fungsinya memiliki kebebasan dan sekaligus keterikatan secara hukum dan sosiologis. 3. Dalam konteks unjuk rasa, pendekatan humanis dan sejauh mungkin menghindari tindakan represif. Situasi dalam sebuah unjuk rasa seringkali sarat dengan emosi dan benturan kepentingan, sehingga apabila terjadi tindakan 10 yang melanggar hukum atau mengarah ke perbuatan anarkis, pasti akan memancing perlawanan pihak lainnya, yang pada akhirnya menimbulkan banyak kerugian materiil dan immateriil bagi para pihak dan berdampak negatif pada stabilitas negara. Saran Berkaitan dengan pemenuhan tugas pokok kepolisian, maka unjuk rasa dapat dikatakan aman, tertib dan damai jika proses pelaksanaannya tidak menimbulkan peristiwa atau kegiatan yang melanggar aturan hukum yang berlaku dan tidak menimbulkan tindakan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Sehingga dapat diartikan bahwa apa yang dilakukan oleh polisi dalam mengendalikan unjuk rasa harus tetap memperhatikan antara penegakan hukum dengan tidak mengurangi hak seseorang untuk berpendapat dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi. Untuk itu diperlukan sosialisasi dan pendekatan sosiologis kepada masyarakat tentang batasan hak dalam kegiatan unjuk rasa agar tidak menjurus ke arah anarkisme. Daftar Pustaka Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian Peraturan Kapolri PROTAP/1/X/2010 Tentang Penanggulangan Anarki Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2011 tentang Manajemen Operasional Kepolisian Kamus Besar Bahasa Indonesia Kelana, M., (1984), Hukum Kepolisian, Cetakan Keempat, Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Kunarto, Tabah, A., (1995), Polisi Harapan dan Kenyataan, Klaten: CV. Sahabat. 11 Puspa, Y.P., (1977), Kamus Hukum. Semarang : Aneka Ilmu Raharjo, A., (2011), Profesionalisme Polisi Dalam Penegakan Hukum, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Sudarsono, (2004), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta 12