ANALISIS TATANIAGA TEBU (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah) AMSETYO NUGROHO PUTRO DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Amsetyo Nugroho Putro NIM H34090064 ABSTRAK AMSETYO NUGROHO PUTRO. Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus: Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah). Dibimbing oleh RATNA WINANDI. Tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula. Tebu petani dapat dijual kepada pabrik gula untuk memenuhi permintaan pasar akan gula. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi saluran, fungsi, lembaga, dan struktur pasar pada sistem tataniaga tebu, serta menganalisis efisiensi operasional tataniaga tebu dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengamatan dan wawancara dilakukan kepada petani di Kecamatan Trangkil dengan metode purposive sampling, sedangkan metode mengikuti alur komoditi dilakukan kepada lembaga tataniaga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 saluran tataniaga dengan lembaga, fungsi, dan struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan saluran tataniaga satu merupakan saluran yang paling efisien. Kata kunci: Efisien, efisiensi, farmer’s share, Kecamatan Trangkil, tataniaga tebu ABSTRACT AMSETYO NUGROHO PUTRO. Sugarcane Commerce Analysis (Case Study: Trangkil district, Pati regency, Central Java). Guided by RATNA WINANDI. Sugarcane can be used as raw material for the manufacture sugar. Cane farmers crops can be sold to sugar factories to meet the market demand for sugar. Therefore, research is needed to find out about business administration cane sugar in a comprehensive overview of business administration. The purpose of this study is to identify the channel, function, organization, and structure of the market in sugar cane business administration systems, and analyze operational efficiency with a cane trading system trading system margin approach, the farmer's share, and the ratio of benefits to costs. Observations and interviews were conducted to farmers in Sub Trangkil with purposive sampling method, while the method of follow the flow of commodity is done to institutions trading system. The results showed that there is a 4 channel trading system with institutions, functions, and different market structures on each channel. Under margin trading system, the farmer's share, and the ratio of benefits to costs shows one channel trading system is the most efficient channels. Keywords: efficiency, efficient, farmer’s share, Trangkil district, sugarcane marketing ANALISIS TATANIAGA TEBU (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah) AMSETYO NUGROHO PUTRO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Tebu (Studi kasus: Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah) Nama : Amsetyo Nugroho Putro NIM : H34090064 Disetujui oleh Dr Ir Ratna Winandi, MS Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus: Judul Skripsi : _-\!:.l_~:: : - .:: ::miaga Tebu (Studi kasus: Kecamatan Trangkil, Kab..:.. .:.'eE P Ii, Jawa Tengah) : .-\111 ­ ,. ·0 . ' groho Putro Nama : H ' ' l~ - J6-l NIM Disetujui oleh Dr Ir Ratna Winandi, MS Pembimbing Diketahui oleh Tanggal Lulus: 1 0 FEB 2014 PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)”. Penulisan skipsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga tebu yang tercipta di Kecamatan Trangkil, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga tebu, struktur pasar, perilaku pasar yang terjadi, dan menganalisis saluran mana yang lebih efisien berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen pembimbing yang memberikan bimbingan selama penulisan skripsi dan penelitian berlangsung. Selain itu penulis berterima kasih kepada kepada kedua orangtua Osner Silalahi dan Dorima Sihombing karena telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis selama proses penulisan. Terima kasih kepada sanak saudara Ir Walter Silalahi , Merry Sirait, Eva Silalahi, Ridho Silalahi, Dwi Silalahi, Yogiman Sitanggang dan seluruh sanak saudara yang turut serta membantu dan mendukung penulis. Tak lupa juga penulis berterima kasih kepada sahabat dan kerabat Tyas Widyastini, Zakky Raihan, Manaor Bismar, Mega Pratiwi, Winda Anggraini, Aditya Maulana , Bobby Nasution, Raymond, Handi, Tommy, Taufik Arifin, dan seluruh kerabat yang turut membantu dam proses penulisan karya ilmiah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya. Bogor, Februari 2014 Amsetyo Nugroho Putro DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 6 Tujuan Penelitian 8 Manfaat Penelitian 8 Ruang Lingkup Penelitian 8 TINJAUAN PUSTAKA KERANGKA PEMIKIRAN 9 15 Kerangka Pemikiran Teoritis 15 Kerangka Pemikiran Operasional 22 METODE PENELITIAN 25 Lokasi dan Waktu Penelitian 25 Jenis dan Sumber Data 25 Metode Pengumpulan Data 25 Metode Pengolahan Data 26 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 28 KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN 30 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 Sistem Tataniaga 33 Saluran Tataniaga 33 Analisis Fungsi Tataniaga 36 Analisis Struktur Pasar 39 Analisis Perilaku Pasar 40 Analisis Marjin Tataniaga 43 Farmer’s share 47 Rasio Keuntungan terhadap Biaya 48 Efisiensi Saluran Tataniaga 50 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 50 50 Saran 51 DAFTAR PUSTAKA 51 LAMPIRAN 13 RIWAYAT HIDUP 15 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Jumlah penduduk dan permintaan pangan tahun 2008-2012 Perkembangan produksi pangan strategis tahun 2008-2012 (juta ton) Perkembangan produksi gula tahun 2008-2012 Data harga gula di tingkat petani dan pabrik gula serta marjin tataniaga tahun 2012 Produksi tebu di sentra penghasil tebu terbesar (ton) Produksi tebu di sentra produksi tebu di Jawa Tengah tahn 2011 Harga tebu di tingkat petani dan di tingkat penjual serta marjin tataniaga tebu tahun 2008-2012 di Jawa Tengah Varietas dan karakteristik tebu yang terdapat di Indonesia Perbandingan struktur pasar Sebaran jumlah penduduk di kecamatan Trangkil berdasarkan mata pencaharian tahun 2012 Jumlah produksi tebu per kecamatan di kabupaten Pati tahun 2012 Sebaran petani responden berdasarkan usia di kecamatan Trangkil tahun 2013 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir di kecamatan Trangkil tahun 2013 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan di kecamatan Trangkil tahun 2013 Sebaran petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan di kecamatan Trangkil tahun 2013 Fungsi dan aktivitas dari petani dan setiap lembaga tataniaga tebu di kecamatan Trangkil Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 1 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 2 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 3 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 4 Marjin tataniaga dari saluran tataniaga tebu di kecamatan Trangkil tahun 2012 Analisis farmer's share pada saluran tataniaga tebu di kecamatan Trangkil pada tahun 2012 Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran tataniaga tebu di kecamatan Trangkil 1 2 3 3 6 6 7 11 19 29 30 31 31 32 32 37 43 44 44 45 46 48 49 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 Kurva marjin tataniaga Kerangka pemikiran operasional sistem tataniaga tebu Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah Sistem tataniaga tebu di kecamatan Trangkil tahun 2012 21 24 36 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 Data petani responden berkaitan dengan alamat, usia, pendidikan, luas lahan, produktivitas, produksi tebu, status kepemilikan lahan dan rendemen tebu yang dihasilkan Nilai farmer’s share pada setiap saluran tataniaga tebu di kecamatan Trangkil Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap saluran tataniaga tebu di kecamatan Trangkil Kuesioner penelitian Dokumentasi penelitian 52 54 54 55 71 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 244 juta jiwa lebih hingga tahun 2012 memicu bertambahnya permintaan pangan baik dalam jumlah, mutu, dan keragamannya. Pertambahan jumlah penduduk tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan kapasitas produksi pangan domestik yang mengalami hambatan adanya kompetisi pemanfaatan lahan, dukungan infrastruktur pangan yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai, serta iklim usaha yang kurang kondusif. Kapasitas produksi yang tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan kebutuhan pangan bisa mengakibatkan terjadinya impor pangan. Kebijakan impor pangan yang meningkat menyebabkan stabilitas ketersediaan pangan menjadi rentan karena bergantung pada kebijakan ekonomi negara lain. Tabel 1 Jumlah penduduk dan permintaan pangan tahun 2008-2012 Jumlah Penduduk (jiwa) Beras (ton) 2008 230 913 149 2009 2010 Daging Sapi (ton) Jagung (ton) Kedelai (ton) 24 220 688 020 8 900 000 2 291 000 2 440 568 281 000 234 913 149 24 011 553 560 8 800 000 2 349 000 2 522 647 314 000 237 641 326 23 941 246 680 9 800 000 2 407 000 2 606 619 353 000 2011 241 182 182 24 809 470 452 10 300 000 2 466 000 2 782 058 357 000 2012 244 775 796 25 032 241 554 10 700 000 2 525 000 2 873 613 326 000 Tahun Gula (ton) Sumber : Badan Pusat Statistik dan Badan Ketahanan Pangan, 2013 (Diolah) Pada tabel 1 diketahui bahwa jumlah permintaan gula merupakan salah satu komoditi yang terus mengalami peningkatan di Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan gula di Indonesia membuat pemerintah Indonesia menjadikan gula sebagai salah satu dari lima komoditas strategis yang termasuk dalam program swasembada gula. Hingga saat ini usaha swasembada pangan lima komoditi strategis yakni kedelai, daging sapi, beras, dan jagung dinilai belum memperlihatkan hasil yang optimal. melalui program peningkatan ketahanan pangan nasional tahun 2012, terjadi peningkatan produksi pada beberapa komoditas sumber pangan strategis yaitu, padi sebesar 2.74 persen, jagung sebesar 7.38 persen, dan daging sapi sebesar 6.67 persen, dan gula sebesar 23.32 persen, sedangkan kedelai mengalami penurunan sebesar 8.24 persen dari tahun 2011 Hal tersebut dilihat dari tingkat ketersediaan beberapa komoditas pangan domestik yang masih bergantung kepada impor seperti kedelai, gula, dan daging sapi. Indonesia mengimpor kedelai dari negara lain sebesar 70 persen, gula sebesar 54 persen, dan daging sapi 20 persen. Beras dan jagung juga diimpor dari negara lain masing-masing sebesar 11 persen dan 5 persen (Badan Ketahanan Pangan Nasional, 2013).. Gula merupakan salah satu komoditi strategis bahan pangan yang mengalami peningkatan produksi terbesar pada tahun 2012. 2 Tabel 2 Perkembangan produksi pangan strategis tahun 2008-2012 (juta ton) Komoditas Padi Jagung Kedelai Gula Daging Sapi 2008 60.32 16.32 0.77 2.30 0.39 2009 64.40 17.63 0.97 2.24 0.41 2010 66.47 18.33 0.91 2.21 0.43 2011 66.76 17.64 0.85 2.23 0.45 2012 68.59 18.94 0.78 2.75 0.483 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (Diolah) Gula merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia dimana pemerintah berkewajiban untuk menyediakan gula dalam jumlah yang sesuai pada tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Selain sebagai komoditas strategis, gula juga menjadi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat baik untuk membuat minuman maupun sebagai bahan pendukung membuat makanan. Banyaknya industri makanan dan minuman yang memanfaatkan gula dalam produksinya memicu pemerintah untuk mampu menyediakan gula dalam jumlah yang mencukupi sehingga tidak terjadi kekurangan gula baik dalam konsumsi rumah tangga, maupun keperluan industri. Produksi gula dalam negeri hingga tahun 2012 masih belum mampu memenuhi konsumsi gula nasional baik konsumsi langsung atau konsumsi rumah tangga maupun konsumsi tidak langsung atau keperluan industri. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menutupi kekurangan produksi gula tersebut adalah dengan melakukan impor gula. Pada tahun 2012, produksi gula Indonesia untuk keperluan konsumsi adalah sebesar 2.75 juta ton per tahun. Hal tersebut masih jauh dari target produksi untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi yang mencapai 2.87 juta ton per tahun. Konsumsi gula masyarakat Indonesia pada tahun 2012 mencapai 12 kg per kapita. Hingga tahun 2012, kebutuhan gula untuk konsumsi rumah tangga secara nasional mencapai 2.87 juta ton per tahun atau sekitar 250 ton per bulannya. Program pemerintah pada tahun 2014 adalah terciptanya swasembada gula nasional. Hal tersebut dimaksudkan bahwa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan konsumsi gula nasional mulai dari produksi gula yang bersumber dari areal tebu rakyat (252 166 ha) dan areal tebu swasta (198 131 ha). Target produksi gula pada tahun 2013 adalah sebesar 2.8 juta ton dan 3.1 juta ton untuk tahun 2014. Penetapan target produksi gula tersebut melihat dari kondisi produksi gula nasional (baik gula konsumsi maupun gula untuk keperluan industri) pada tahun 2012 yang mencapai 2.75 juta ton dari target 2.54 juta ton. Adanya perbedaan antara target produksi dan realisasi produksi yang terjadi pada tahun 2012 memunculkan adanya gap yang cukup besar yaitu mencapai 0.21 juta ton atau sekitar 7.6 persen dari target produksi gula pada tahun 2012. 3 Tabel 3 Perkembangan produksi gula tahun 2008-2012 Tahun Areal (ha) 2008 2009 2010 2011 2012 436 847 422 935 435 901 447 320 450 297 Produksi Produksi Tebu Rendemen Gula (juta (juta (%) ton) ton) 32.96 8.2 2.70 32.17 7.8 2.62 34.22 6.5 2.21 30.32 7.4 2.23 33.73 7.9 2.75 Konsumsi Gula Nasional (juta ton) 4.03 4.13 4.55 4.67 5.20 Impor Gula (juta ton) 1.82 1.60 2.91 2.60 2.53 Sumber : Kementrian Pertanian, 2013 (Diolah) Berdasarkan tabel 3, konsumsi gula di Indonesia semakin mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya pertambahan jumlah penduduk. Tingginya konsumsi gula nasional yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi gula dalam negeri sehingga menyebabkan Indonesia harus mengimpor gula untuk memenuhi kekurangan gula tersebut. Pada tahun 2012, harga gula mengalami fluktuasi dari Januari hingga Desember. Hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 4 dibawah ini. Tabel 4 Data harga gula di tingkat pabrik dan di tingkat retail serta marjin tataniaga tahun 2012 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Harga Gula (Rp/kg) Marjin (Rp/kg) tingkat pabrik tingkat retail 7 400 8 700 1 300 8 200 9 700 1 500 8 100 9 600 1 500 8 050 9 900 1 850 8 100 9 900 1 800 9 000 10 800 1 800 8 777 10 700 1 923 9 300 11 000 1 700 8 700 10 500 1 800 8 500 10 200 1 700 8 500 10 200 1 700 8 400 10 200 1 800 Sumber : Dinas Pertanian Jawa Tengah, 2013 Tabel 4 mengindikasikan adanya marjin atau selisih harga yang besar antara harga di tingkat produsen ke pedagang perantara dengan harga dari pedagang perantara ke konsumen akhir. Adanya marjin dalam tataniaga tebu menunjukkan bahwa terdapat berbagai lembaga tataniaga yang turut berkontribusi. Semakin tinggi marjin yang terjadi dalam tataniaga, maka semakin rendah penerimaan yang didapatkan oleh petani karena marjin adalah jumlah biaya dengan keuntungan. Menurunnya minat petani akibat rendahnya penerimaan petani tebu merupakan 4 salah satu penyebab ketidakberhasilan program swasembada gula selama satu dekade terakhir (Tunggul, 2013). Apabila setiap lembaga tataniaga mengambil keuntungan dari perannya, maka akan terjadi gap harga di petani dengan harga di pasar. Petani sebagai produsen sekaligus penerima harga (price taker) sering dikalahkan dengan kepentingan pedagang yang terlebih dahulu mengetahui harga. Selain itu, kelemahan petani juga terletak pada kurangnya informasi terhadap pasar (mekanisme pasar) yang menyebabkan lemahnya posisi petani dalam rantai tataniaga. Tabel 4 menyatakan bahwa harga gula pada tahun 2012 mengalami fluktuasi baik di tingkat produsen maupun di tingkat pasar. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, fluktuasi harga timbul sebagai akibat adanya perubahan jumlah konsumsi serta perubahan jumlah penawaran yang dapat dilihat dari perubahan jumlah produksinya. Tingginya jumlah penawaran gula sangat bergantung kepada produksi tebu. Hal tersebut dikarenakan tebu merupakan bahan baku dalam produksi gula. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa tinggi rendahnya produksi gula tidak hanya dipengaruhi oleh luas lahan dan produksi tebu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh rendemen yang terkandung di dalam tebu itu sendiri. Tebu merupakan tanaman perkebunan musiman yang mengandung zat gula pada batangnya yang digunakan sebagai bahan baku produksi gula dalam negeri. Tebu hasil panen petani dapat dijual kepada pabrik gula untuk memenuhi permintaan pasar akan gula. Berdasarkan Tabel 5, produksi tebu nasional dari tahun ke tahun menunjukkan adanya fluktuasi. Faktor penyebab produksi tebu yang berfluktuatif tersebut salah satunya adalah karena adanya perubahan dari lahan yang digunakan dalam budidaya tebu. Jumlah produksi yang dihasilkan petani tebu dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diterimanya. Semakin besar jumlah produksi, maka akan semakin besar pula pendapatan yang diterimanya. Tetapi dalam kenyataannya, tingkat pendapatan petani tebu tidak hanya dilihat dari jumlah produksi tebu saja. Tinggi rendahnya pendapatan yang diterima petani juga dipengaruhi oleh harga yang diterima dan biaya yang dikeluarkan. Strategi yang dilakukan oleh petani untuk mengurangi tingginya biaya yang dikeluarkan salah satunya adalah dengan memilih saluran tataniaga yang efisien. Tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan dalam proses yang terkait dengan kegiatan distribusi dari produsen (petani tebu) sampai dengan konsumen (pabrik gula). Serangkaian fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan), dan fungsi fasilitas (pembiayaan, resiko, standarisasi, dan grading). Pelaksanaan fungsi tersebut dilakukan oleh kelompok atau individu yang disebut lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga merupakan badan usaha atau individu yang menyelenggarakan tataniaga, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen ke konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan usaha atau individu lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) jenis lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tebu, terdiri dari petani tebu, APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), kelompok tani, pedagang sari tebu, penempur, dan pabrik gula. Lembaga tataniaga berperan dalam menjalankan fungsi-fungsi tataniaga serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin dengan imbalan yang disebut marjin tataniaga atau marjin tataniaga yang terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan. Tinggi rendahnya marjin tataniaga 5 sering kali digunakan dalam menilai tingkat efisiensi tataniaga. Marjin tataniaga yang rendah tidak selalu merefleksikan tingkat efisiensi tataniaga yang tinggi karena tinggi atau rendahnya marjin tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik tataniaga seperti pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan. Interpretasi terhadap marjin tataniaga yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat banyak pedagang perantara yang terlibat dalam proses tataniaga. Marjin yang tinggi tersebut dinilai dapat diturunkan dengan memperpendek saluran tataniaganya. Dalam kenyataannya, tinggi atau rendahnya marjin tataniaga tidak bergantung pada banyaknya lembaga pamasaran yang terlibat, melainkan berdasarkan fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga. Peran pedagang perantara tersebut akan menyebabkan adanya marjin tataniaga. Marjin tataniaga dalam saluran tataniaga melalui APTRI sebesar 17.71 persen , kelompok tani sebesar 20.68 persen , penempur 21.41 persen, dan pedagang sari tebu sebesar 40.20 persen. Pemilihan saluran tataniaga (pedagang perantara) yang dilakukan oleh petani bukan berdasarkan marjin tataniaga melainkan berdasarkan farmer’s share (porsi harga yang dinikmati petani di tingkat konsumen yang dalam hal ini adalah pedagang perantara). Persentase farmer’s share yang diterima oleh petani tebu jika menjual ke APTRI adalah sebesar 84.60 persen, sedangkan farmer’s share jika menjual ke kelompok tani dan penempur hanya 70 persen dan farmer’s share jika menjual ke pedagang sari tebu hanya sebesar 20 persen. Farmer’s share yang relatif lebih besar bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari selisih penerimaan (farmer’s share petani) dikurangi biaya produksi (Soetrisniati, 2011). Tujuan akhir dari tataniaga tebu adalah pabrik gula. Pabrik gula menggiling tebu dari petani tebu untuk diproduksi menjadi gula. Tetapi dalam kenyataannya, petani jarang melakukan penjualan langsung kepada pabrik gula karena adanya penerapan sistem kualitas (grading) yang ketat oleh pabrik gula. Jarak antara lokasi produksi dengan pasar juga dapat memberikan dampak pada biaya yang dikeluarkan petani dalam hal transportasi. Semakin jauh lokasi tataniaga, maka semakin besar pula biaya transportasi yang dikeluarkan oleh petani. Oleh karena itu, petani lebih memilih memasarkan hasilnya melalui lembaga tataniaga yang berperan sebagai pedagang perantara untuk membantu mendistribusikan tebu. Penelitian yang dilakukan oleh Soestrisniati (2011) tersebut menunjukkan bahwa setiap pedagang perantara (APTRI, pedagang sari tebu, kelompok tani, dan penempur) mengambil marjin tataniaga yang dibebankan kepada petani tebu sebagai akibat adanya aktivitas pendistribusian tebu sehingga posisi tawar petani rendah dan pendapatan yang diterima petani juga menjadi rendah. Indonesia mempunyai beberapa daerah penghasil tebu yang tersebar baik di Jawa maupun di luar Jawa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tebu cocok untuk ditanam di daerah tropis seperti Indonesia. Beberapa daerah penghasil tebu terbesar di Indonesia disebut sebagai sentra produksi tebu. Sentra produksi tebu di Indonesia terdapat di Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata produksi tebu Provinsi Jawa Timur paling tinggi dibandingkan sentra produksi lainnya seperti Provinsi Lampung dan Jawa Tengah. Rata-rata produksi provinsi Jawa Tengah hanya mampu mencapai 4.87 juta ton per tahun dan menempati produksi terbesar ketiga setelah Jawa Timur dan Lampung. Rendahnya produksi tebu yang dihasilkan di Jawa Tengah disebabkan oleh luas lahan yang rendah yaitu sebesar 61 176 ha dibandingkan dengan 6 Lampung (117 404 ha) dan Jawa Timur (200 594 ha) (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012). Tabel 5 Produksi tebu di sentra penghasil tebu terbesar (ton) Produksi Tanaman Tebu (Ton) Tahun Lampung 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-Rata Jawa Tengah 8 864 022.0 9 638 834.0 8 963 292.0 10 278 665.0 7 579 100.7 9 064 782.7 5 111 218.0 5 029 383.0 4 627 527.0 5 480 403.0 4 127 020.5 4 875 110.3 Jawa Timur 17 056 027.0 15 621 724.0 14 326 166.0 16 302 574.0 13 650 574.0 15 391 413.0 Sumber : DGI , 2013 (Diolah) Kabupaten Pati memiliki luas areal perkebunan tebu terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Daerah produksi tebu di Kabupaten Pati mencapai total sebesar 23.3 persen dari total luas lahan tebu di Jawa Tengah (BPS Jawa Tengah, 2012). Kondisi tersebut membuat Kabupaten Pati menarik untuk diketahui bagaimana sistem tataniaga tebu yang akan berdampak pada pendapatan yang diterima petani tebu di Kabupaten Pati melalui analisis fungsi tataniaga dengan menggunakan pendekatan sistem tataniaga yang terjadi pada komoditi tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Perumusan Masalah Sentra produksi tebu di Jawa Tengah terletak di Kabupaten Pati, Sragen, Tegal, Rembang, dan Kudus. Jumlah produksi tebu yang dihasilkan kelima kabupaten tersebut merupakan jumlah terbesar diantara kabupaten lainnya di Jawa Tengah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 yang menyatakan jumlah produksi tebu di daerah sentra di Jawa Tengah. Tabel 6 Produksi tebu di sentra produksi tebu di Jawa Tengah tahun 2011 Jumlah produksi No Kabupaten Luas areal (ha) (ton) 1 Pati 15 038.55 54 529.43 2 Sragen 9 019.00 32 885.21 3 Tegal 3 425.98 21 138.15 4 Rembang 5 594.00 20 579.15 5 Kudus 3 727.60 14 090.33 Sumber : BPS Jawa Tengah, 2012 (Diolah) Kabupaten Pati merupakan penghasil tebu terbesar di Jawa Tengah. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah tebu yang dihasilkan di Kecamatan Pati yaitu sebesar 54 529.43 ton (BPS Jawa Tengah, 2012). Jumlah produksi yang 7 dihasilkan petani tebu dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diterimanya. Tetapi dalam kenyataannya, tingkat pendapatan petani tebu tidak hanya dilihat dari jumlah produksi tebu saja. Tinggi rendahnya pendapatan yang diterima petani juga dipengaruhi oleh penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Strategi yang dilakukan oleh petani untuk mengurangi tingginya biaya yang dikeluarkan salah satunya adalah dengan memilih saluran tataniaga atau tataniaga yang efisien. Tabel 7 Harga tebu di tingkat petani dan di tingkat pabrik gula serta marjin tataniaga tebu tahun 2008-2012 di Jawa Tengah Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Harga tebu di tingkat Harga tebu di tingkat petani (Rp/Kg) pabrik gula (Rp/Kg) 200 210 220 250 250 275 300 310 310 350 Marjin tataniaga tebu (Rp/kg) 10 30 25 10 40 Sumber : Dinas Pertanian Jawa Tengah, 2013 (Diolah) Berdasarkan Tabel 7 mengindikasikan adanya marjin tataniaga tebu yang terjadi karena adanya lembaga tataniaga yang turut berperan dalam memasarkan tebu dari petani ke konsumen. Dalam sistem tataniaga suatu komoditi terdapat variasi saluran tataniaga dengan alur tataniaga yang berbeda juga. Adanya perbedaan alur tataniaga tersebut menyebabkan perbedaan dalam harga jual, keuntungan, serta biaya tataniaga untuk masing-masing lembaga tataniaga termasuk petani. Untuk meningkatkan keuntungan dan posisi tawar petani, maka dapat digunakan saluran tataniaga yang efisien. Saluran tataniaga yang terbaik adalah menjual tebu langsung ke pabrik gula tanpa melalui pedagang perantara sehingga tidak terdapat marjin tataniaga. Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa petani mengalami kendala modal dalam hal biaya transportasi dari lokasi produksi tebu ke pabrik gula sehingga petani menjual tebu kepada pedagang perantara, selain itu sistem standar kualitas (grading) yang ketat terhadap tebu mengakibatkan petani enggan menjual langsung ke pabrik tebu padahal petani tebu telah mengeluarkan biaya transportasi. Standar kualitas yang diinginkan oleh pabrik gula terdiri dari persentase pol tebu, kemurnian nira, dan jumlah nira. Hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh petani yang disebabkan oleh sistem penebangan tebu yang tidak baik, jarak yang jauh antara lokasi produksi tebu dengan pabrik gula, dan waktu pengangkutan yang terlalu lama karena faktor jarak (P3GI, 2008). Penerapan standar kualitas tersebut mengakibatkan banyak tebu yang tidak diterima oleh pabrik gula. Hal tersebut berdampak pada rendahnya harga yang diterima petani sehingga keuntungan yang diterima oleh petani rendah. Kendala yang dihadapi petani tersebut mengakibatkan posisi tawar (bargaining position) rendah dalam pendistribusian tebu sehingga petani membutuhkan peran pedagang perantara dalam mendistribusikan tebu ke pabrik gula. Peran pedagang perantara tersebut menimbulkan struktur pasar yang tidak sempurna (berbentuk Oligopsoni). Struktur pasar oligopsoni terdiri dari beberapa penjual yang mempunyai modal dan pengaruh yang kuat daripada penjual. 8 Pembeli yang memiliki modal dan pengaruh yang kuat mengarah kepada pedagang perantara. Pedagang perantara dalam tataniaga komoditi tebu dapat berupa APTRI, Kelompok Tani, pedagang sari tebu dan penempur. Penjual dalam struktur oligopoli adalah petani tebu yang biasanya memiliki posisi tawar yang lebih rendah dari pembeli. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa produksi tebu di Jawa Tengah cenderung mengalami fluktuatif bahkan pada tahun 2011 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Selain jumlah produksi yang berfluktuatif, tingkat harga tebu di petani dan pedagang juga mengalami fluktuasi tiap tahunnya. Penentuan harga yang dilakukan oleh pedagang menyebabkan barganing position petani lemah. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas tataniaga tersebut layak untuk diteliti di Kabupaten Pati yang merupakan sentra produksi di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian di Kecamatan Trangkil bermanfaat untuk melihat efisiensi sistem tataniaga yang dilihat dari marjin, farmer’s share , rasio biaya dan keuntungan. Oleh karena itu, permasalahan tataniaga di Kabupaten Pati adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sistem tataniaga tebu yang terjadi di Kecamatan Trangkil? 2. Apakah sistem tataniaga sudah efisien dengan menganalisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan petani di Kecamatan Trangkil? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis sistem tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil. 2. Menganalisis tingkat efisiensi sistem tataniaga pada saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio biaya dan keuntungan. Manfaat Penelitian 1. 2. 3. 4. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai: Bagi petani, sebagai informasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur tataniaga tebu sehingga kesejahteraan petani meningkat. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan untuk mengefisienkan tataniaga tebu. Bagi pihak lain, sebagai bahan referensi dalam upaya penyempurnakan masalah penelitian. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi penulis dan meningkatkan kompetensi dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama proses perkuliahan agribisnis. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Petani yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah petani yang berada di 9 Kecamatan Trangkil yang melakukan usahatani tebu. Selain itu, lembaga tataniaga yang menjadi responden adalah lembaga yang terlibat langsung dalam proses tataniaga tebu seperti APTRI, Kelompok Tani, pedagang sari tebu, dan penempur. Analisis penelitian ini dibatasi untuk melihat dan mengkaji saluran tataniaga tebu di daerah penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga tebu. TINJAUAN PUSTAKA Tataniaga Agribisnis dari Aspek Ilmu Ekonomi Tataniaga agribisnis adalah salah satu sub-sistem yang menjadi salah satu faktor penentu dalam efisiensi dan efektivitas dari sistem agribisnis. Sistem agribisnis tersebut terdiri dari sarana produksi pertanian (sub-sistem input), usahatani (on farm), tataniaga dan pengolahan hasil pertanian, serta sub-sistem penunjang (penelitian, pembiayaan, informasi tataniaga, kebijakan tataniaga). Asmarantaka (2012) menjelaskan tataniaga berdasarkan perspektif makro merupakan kegiatan produktif yang mengalirkan produk mulai dari petani sebagai produsen hingga konsumen akhir dengan tujuan pemenuhan kepuasan. Pemenuhan kepuasan ini dilakukan dengan berbagai cara salah satunya penambahan nilai guna dari berbagai aspek yaitu bentuk, tempat, waktu, dan kepemilikan. Rahim dan Hastuti (2008) menyatakan hal serupa, bahwa dalam tataniaga atau yang juga dapat dikatakan dengan pemasaran tidak hanya memiliki arti menawarkan atau menjual barang tetapi tataniaga mencakup berbagai kegiatan di antaranya penjualan, pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan penyortiran. Tataniaga merupakan serangakaian tahapan aktivitas dan peristiwa dari fungsi-fungsi yang terkoordinasi dalam pergerakan mengalirnya produk dan jasa dari tangan produsen primer hingga ke konsumen akhir (Kohls dan Uhl, 2002). Terdapat beberapa cara dalam melakukan pendekatan pada suatu sistem tataniaga. Setiap pendekatan-pendekatan memiliki perspektif dasar dan cara berpikir sendiri terhadap suatu proses tataniaga. Pendekatan yang umum digunakan adalah melalui tiga pendekatan seperti yang didefinisikan Kohls dan Uhl (2002), yaitu pendekatan fungsi, pendekatan kelembagaan, dan pendekatan sistem perilaku. Boyd, Walker dan Larreche dalam Alda (2013) juga mendefinisikan tataniaga sebagai suatu proses sosial dengan kegiatan yang memungkinkan pihak-pihak terlibat mendapat apa yang dibutuhkan melalui pertukaran produk kepada pihak lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, tujuan tataniaga adalah pencapaian kepuasan kebutuhan konsumen untuk mencapai kepuasan tersebut melakukan serangkaian kegiatan identifikasi, komunikasi, negosiasi, pengolahan terhadap barang atau jasa yang diperjualbelikan. Dalam tataniaga tebu proses penambahan nilai produk dilakukan dengan cara menggilingkan tebu ke pabrik gula untuk menjadi gula. Tebu telah panen selanjutnya dapat dijual petani kepada pedagang ataupun pabrik gula. Pabrik penggilingan tebu dan pembuat gula kemudian menjual gula (nilai guna, bentuk, kepemilikan, dan tempat). Gula merupakan nilai guna atau nilai tambah yang 10 yang terjadi dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Tebu mengalir mulai dari tingkat petani sampai ke tangan konsumen akhir dalam bentuk gula. Botani Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum) telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu oleh bangsa Persia, Cina, India dan kemudian menyusul bangsa Eropa. Penanaman tebu di Indonesia dimulai pada saat sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda. Hal tersebut dilakukan oleh Belanda bertujuan untuk memberi keuntungan besar untuk kas negara pemerintah kolonial Belanda. Setelah sistem tanam paksa dihentikan, usaha perkebunan dilakukan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Akan tetapi, perluasan perkebunan tebu tidak pernah melampaui Pulau Jawa karena tanaman tebu lebih sesuai untuk ditanam di Pulau Jawa. Dalam dunia tumbuhan, tanaman tebu tersusun dalam sistematika sebagai berikut: Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (Berkeping satu/monokotil) : Commelinidae Subkelas Ordo : Poales Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Saccharum Spesies : Saccharum officinarum L. Sumber : Sutardja (2008) Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai sifat tersendiri sebab didalam batang tebu terdapat zat gula. Tebu berkembang biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Tanaman tebu memiliki waktu pertumbuhan selama 12 hingga 18 bulan di iklim tropis dan dipanen sekitar bulan Januari hingga Agustus. Tebu memiliki lima fase kehidupan yang meliputi fase perkecambahan yang dimulai dengan pembentukan taji pendek dan akar stek pada umur satu minggu dan diakhiri pada fase kecambah pada umur lima minggu, fase pertunasan yang dimulai dari umur lima minggu sampai umur 3,5 bulan, fase pemanjangan batang yang dimulai pada umur 3,5 bulan sampai sembilan bulan, fase kemasakan yang merupakan fase yang terjadi setelah pertumbuhan vegetatif menurun dan sebelum batang tebu mati. Pada fase ini kandungan gula di dalam tebu mulai terbentuk hingga titik optimal dan setelah itu rendemennya akan turun secara berangsur-angsur dan terakhir adalah fase kematian. 11 Tabel 8 Varietas dan karakteristik tebu yang terdapat di Indonesia Varietas PS 851 PS 862 PS 863 PS 864 PS 865 PS 881 PS 882 PS 921 PSBM 901 PSCO 902 PSJT 941 Bululawang Kentung Kidang Kencana Diameter Batang Sedang Besar Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang-besar Sedang Sedang-besar Kemasakan Awal-tengah Awal-tengah Awal-tengah Tengahan-lambat Awal-tengah Awal Awal-tengah Tengahan Awal-tengah Sangat awal Tengahan Tengah-lambat Awal-tengah Tengah-lambat Rendemen 10.74 10.87 11.75 8.34 9.38 10.22 10.19 8.53 9.93 10.99 10.18 7.51 8.33 9.51 Sumber : Kementrian Pertanian, 2009 Berbagai varietas tebu telah diluncurkan oleh Kementrian Pertanian untuk meningkatkan produksi petani. Kualitas bibit tebu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan pengusahaan tanaman tebu. Bibit tebu yang baik adalah bibit yang cukup (lima sampai enam bulan), murni (tidak tercampur varietas lain), bebas dari penyakit dan tidak mengalami kerusakan fisik. Pada Tabel 8 dapat dilihat beberapa varietas tebu beserta ciri-cirinya. Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula didalam batang tebu yang dinyatakan dalam persen. Bila dikatakan rendemen tebu sebesar 10 persen, artinya adalah bahwa dari 100 kg tebu yang digiling ke pabrik gula akan memperoleh gula sebesar 10 kg (Sutardja, 2008). Akan tetapi fakta di lapangan rata-rata rendemen petani tebu berkisar antara delapan sampai sepuluh persen. Terdapat tiga macam rendemen, yaitu rendemen contoh, rendemen sementara, dan rendemen efektif. Rendemen Contoh 1. Rendemen ini merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah suatu kebun tebu sudah mencapai masak optimal atau belum. Dengan kata lain rendemen contoh bertujuan untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa tingkat rendemen yang sudah ada sehingga dapat diketahui kapan saat tebang yang tepat dan kapan tanaman tebu mencapai tingkat rendemen yang memadai. Rumus : Nilai nira x Faktor rendemen = Rendemen 2. Rendemen Sementara Perhitungan ini dilakukan untuk menentukan bagi hasil gula, namun sifatnya masih sementara. Hal ini untuk memenuhi ketentuan yang menginstruksikan agar penentuan bagi hasil gula dilakukan secepatnya setelah tebu petani digiling sehingga petani tidak menunggu terlalu lama sampai selesai giling namun diberitahu dengan perhitungan rendemen sementara. Rumus : Rendemen Sementara = Faktor Rendemen x Nilai Nira. 12 3. Rendemen Efektif Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling habis dalam jangka waktu tertentu. Perhitungan rendemen efektif ini dapat dilaksanakan dalam jangka waktu 15 hari atau disebut juga satu periode giling. Apabila suatu pabrik gula mempunyai hari giling 150 hari, maka jumlah periode giling adalah 150:15=10 periode. Hal ini berarti terdapat 10 kali rendemen efektif yang bisa diberitahukan dan diperhitungkan kepada petani tebu. Tebu yang digiling di suatu pabrik gula jelas hanya sebagian kecil saja yang akan menjadi gula. Jika 100 kg tebu mempunyai rendemen 10 persen maka hanya 10 kg gula yang dapat dari satu kuintal tebu tersebut (Kantor Pelayanan Pajak BUMN 2005). Manfaat Tebu Tebu (Sacharum officianarum) termasuk keluarga Graminae atau rumputrumputan dan berkembang biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Tebu tumbuh di lebih dari 200 negara, India adalah terbesar kedua produsen gula sedangkan penghasil terbesarnya adalah Brazil. Di Negara Karibia tebu diolah menjadi Falernum dan dipergunakan sebagai bahan campuran coctail. Selain sebagai bahan baku gula, tebu juga banyak khasiat sebagai obat, khasiat tebu adalah sebagai berikut : Ekstrak sari tebu ditambah dengan jeruk nipis dan garam biasa di konsumsi 1. di India bertujuan untuk memberikan kekuatan gigi dan gusi. 2. Air tebu dapat dimanfaatkan sebagai penyembuh sakit tenggorokan dan mencegah sakit Flu serta bisa menjaga badan kita agar sehat. Air tebu ini pun dapat di konsumsi penderita diabetes sebagai pemanis karena kadar gulanya rendah. 3. Tebu bersifat alkali sehingga dapat membantu melawan kanker payudara dan prostat. Tebu dapat dikonsumsi secara langung dengan cara dibuat jus, dibuat 4. menjadi tetes rum dan dibuat menjadi ethanol yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar. 5. Mengkonsumsi air tebu secara teratur dapat menjaga metabolisme tubuh kita dari kekurangan cairan karena banyak kegiatan yang sudah dilakukan sehingga dapat terhindar dari stroke. Dengan banyaknya kandungan karbohidrat sehingga dapat menambah kekuatan jantung, mata, ginjal dan otak. Membantu mengobat penyakit kuning karena memberi kekuatan untuk hati yang menjadi lemah karena penyakit kuning. Membantu dalam menjaga aliran air kencing yang jelas dan juga membantu ginjal agar dapat berfungsi dengan baik (Ahira, 2011). Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang terkait terkait dengan sistem tataniaga tebu yang dilihat dari konsep saluran dan lembaga tataniaga, fungsi, marjin tataniaga, famer’s share, dan struktur pasar. Adapun penelitian terdahulu yang menjadi acuan yaitu Rimbawan (2012) dengan judul “Analisis Sistem Tataniaga Tebu di Wilayah 13 Kerja Pabrik Gula Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah” dan Soetrisniati (2011) dengan judul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)”. Penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan (2012) dilakukan di wilayah kerja PG Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah menjelaskan bahwa terdapat empat saluran tataniaga. Saluran tataniaga 1 meliputi petani, kelompok tani, dan pabrik gula. Saluran tataniaga 2 meliputi petani, kelompok tani lahan swasta, dan pabrik gula. Saluran tataniaga 3 meliputi petani, Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR), dan pabrik gula serta saluran tataniaga 4 yaitu petani dan pabrik gula. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan berupa pembelian dan penjualan yang dilakukan oleh petani, kelompok tani lahan sewa, dan KPTR. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa penanggulangan risiko dan pembiayaan dilakukan oleh kelompok tani dan kelompok tani lahan swasta. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani tebu dan kelompok tani mengarah ke pasar persaingan sempurna karena jumlahnya yang banyak, produk yang diperdagangkan homogen yaitu tebu, terdapat hambatan keluar masuk pasar dari pinjaman kredit modal, serta harga dibentuk oleh mekanisme pasar lelang. Struktur pasar yang dihadapi kelompok tani lahan swasta mendekati oligopoli karena jumlahnya yang sedikit, sifat produk yang homogen, terdapat hambatan keluar masuk pasar, serta harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar lelang. Adapun struktur pasar yang dihadapi KPTR mendekati oligopoli, karena jumlahnya yang sedikit, produk bersifat homogen, tidak ada hambatan keluar masuk pasar, serta harga ditentukan oleh KPTR. Perilaku pasar dapat diamati dari input-output sytem yang meliputi praktik pembelian oleh KPTR dan investor gula, serta proses penjualan yang dilakukan oleh petani, kelompok tani, kelompok tani lahan swasta, dan dan KPTR. Power system meliputi penetapan harga tetap yang dilakukan oleh KPTR, harga gula ditetapkan dari proses lelang yang menunjukkan bahwa posisi tawar petani tinggi karena proses lelang diikuti oleh perwakilan petani. Comminication system meliputi proses komunikasi antar lembaga tataniaga yang sangat informatif dengan adanya sinder kebun dan lembar Surat Perintah Pengeluaran Gula (SPPG). Serta system for adapting to internal and external change yang menjelaskan bahwa kerja sama anat lembaga tataniaga gula terjalin atas proses jual, beli, dan pengolahan. Saluran tataniaga yang paling efisien pada sistem tataniaga tebu di wilayah kerja PG Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah adalah saluran tataniaga 4. Hal ini dapat dilihat dari nilai marjin tataniaga yang kecil, famer’s share yang besar, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar. Namun saluran yang paling diminati oleh petani tebu adalah saluran tataniaga 3 karena lembaga tataniaga pada saluran ini menawarkan kemudahan kepada petani. Terdapat beberapa persamaan antara penelitian yang dilakukan Rimbawan dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu komoditi yang diteliti yaitu tebu dan metode analisis kuantitatif yang digunakan. Metode kuantitatif yang digunakan terdiri dari marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya keuntungan yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi tataniaga tebu. Namun terdapat pula perbedaan diantara kedua penelitian tersebut yaitu pada lokasi penelitian. 14 Penelitian yang Rimbawan dilakukan di wilayah kerja pabrik gula Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, sedangkan penelitian yang akan dilakukan berlokasi di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) dilakukan di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur menjelaskan bahwa terdapat empat saluran tataniaga. Saluran tataniaga 1 meliputi petani, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) dan pabrik gula. Saluran tataniaga 2 meliputi petani, kelompok tani dan pabrik gula. Saluran tataniaga 3 meliputi petani, penempur dan pabrik gula. Saluran tataniaga 4 meliputi petani, pedagang sari tebu dan konsumen. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam tataniaga tebu ini adalah fungsi pertukaran dilakukan oleh lembaga tataniaga dan petani tidak melakukan kegiatan pembelian. Pada saluran 1 dan 2 petani melakukan fungsi fisik yaitu pengangkutan. Fungsi fisik penyimpanan dilakukan oleh APTRI dan pedagang sari tebu. Fungsi fasilitas penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar dilakukan pada setiap lembaga tataniaga. Fungsi sortasi dilakukan petani dan penempur. Fungsi pengolahan dilakukan oleh pedagang sari tebu yang mengolah tebu menjadi minuman sari tebu. Struktur pasar yang dihadapi petani, penempur dan pedagang sari tebu mendekati pasar persaingan sempurna karena terdapat banyak penjual, produk yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk keluar dan masuk pasar. Pasar oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani karena sedikitnya penjual, sifat produk homogen dan adanya kesulitan untuk keluar masuk pasar. Perilaku pasar dapat dilihat dari praktik pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Praktik pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara langsung. Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah tawar menawar antara petani dan lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan penempur berdasarkan harga lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah. Pembayaran hasil penjualan dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama antar lembaga tataniaga dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan kredit bagi petani untuk usahatani tebu. Saluran tataniaga yang efisien dalam sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur adalah saluran tataniaga1. Hal ini dapat dilihat dari nilai marjin tataniaga yang rendah, farmer’s share yang besar dan rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar. Dari uraian di atas diketahui bahwa terdapat beberapa kesamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) dengan penelitian yang akan dilakukan. Kesamaan tersebut terletak pada komoditi yang diteliti yaitu tebu dan metode analisis kuantitatif yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi sistem tataniaga tebu, antara lain marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan biaya. Selain terdapat kesamaan, terdapat pula perbedaan anatar keduanya, yaitu perbedaan lokasi penelitian. Soetrisniati melakukan penelitian di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, sedangkan penelitian yang akan dilakukan berlokasi di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. 15 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian yang akan dilakukan. Batasan-batasan tersebut terkait dengan variabel-variabel yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah analisis tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah terdiri dari saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Selain itu variabel yang akan diteliti meliputi marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya untuk menilai efisiensi tataniaga secara operasional. Sistem Tataniaga Definisi tataniaga adalah serangkaian fungsi yang diperlukan dalam penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer sampai ke konsumen akhir (Hammond dan Dahl, 1977). Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa tataniaga adalah seluruh aktivitas bisnis yang terlibat dalam arus produk dan pelayanan dari titik awal produk tersebut dihasilkan hingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Menurut Kotler (2002), tataniaga adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa tataniaga mencakup segala aktivitas yang diperlukan dalam pemindahan hak milik yang menyelenggarakan saluran fisiknya termasuk jasa-jasa dan fungsi-fungsi dalam menjalankan distribusi barang dari produsen sampai ke konsumen termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan-perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen. Sehingga tataniaga dapat didefinisikan sebagai fungsi yang digunakan untuk menggerakkan produk jadi dari produsen hingga konsumen akhir. Menurut Kohl dan Uhl (2002), mendefenisikan tataniaga pertanian merupakan keragaman dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai konsumen akhir, yang mencakup aspek input dan output pertanian. Untuk menganalisis sistem tataniaga dapat dilakukan melalui lima pendekatan (Purcell, 1977; Gonarsyah,1996/1997; Kohls dan Uhl,1990 dan 2002) dalam Asmarantaka (2009), yaitu: Pendekatan Fungsi (The Functional Approach); yang terdiri dari fungsi 1. pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan, resiko dan informasi pasar). 16 2. 3. 4. 5. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach); yang terdiri dari pedagang perantara, pedagang spekulan, pengolah dan organisasi yang memberikan fasilitas tataniaga. Pendekatan Komoditas (Commodity Approach); pendekatan ini menekankan kepada apa yang diperbuat dan bagaimana penanganan terhadap komoditi sepanjang gap antara petani (the original point of production) dengan konsumen akhir. Dengan demikian pendekatan ini menggambarkan agar penanganannya efisien. Pendekatan Sistem (System Approach); pendekatan ini mempunyai arti menekankan kepada keseluruhan sistem, efisien dan proses yang kontiniu membentuk suatu sistem. Dengan demikian pendekatan ini menganalisa keterkaitan yang kontiniu diantara subsistem- subsistem (misalnya subsitem pengumpulan atau penyediaan bahan baku, pengolahan dan distribusi) yang memberikan tingkat efisiensi tinggi. Pendekatan Analisa Permintaan dan Harga; titik tolaknya adalah pendekatan analitis dari kegiatan ekonomi di bidang tataniaga antara petani dan konsumen. Kegiatan ekonomi disini adalah berhubungan dengan proses transformasi komoditas usahatani menjadi bermacam-macam produk yang diinginkan oleh konsumen. Proses transformasi ini pada asasnya adalah penciptaan suatu komoditas lebih berguna bagi konsumen. Proses transformasi ini merupakan kegiatan produktif dalam sistem tataniaga karena menciptakan atau menembahkan nilai guna produk. Dengan demikian, sistem tataniaga adalah satu kesatuan aktivitas yang saling terhubung untuk memudahkan aliran produk dari petani (pasca panen) hingga ke konsumen akhir dengan melalui proses penambahan nilai guna produk yang bertujuan untuk memenuhi kepuasaan seluruh pihak-pihak yang terkait selama proses tataniaga. Analisis sistem tataniaga yang dipergunakan pada penilitian ini yaitu analisis lembaga dan saluran tataniaga, analisis fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar, marjin tataniaga dan farmer’s share. Lembaga dan Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses menjadikan produk atau jasa siap digunakan untuk dikonsumsi (Kotler, 2002). Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan atau perorangan atau serangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang mengambil alih hak atas barang dan jasa tertentu selama barang dan jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Menurut Limbong dan Sitorus (1987) penyaluran produk yang dihasilkan oleh produsen tidak dapat dilakukan oleh produsen itu sendiri dikarenakan jarak antara produsen dengan konsumen berjauhan, maka fungsi lembaga tataniaga sangat diharapkan untuk menggerakkan produk dari produsen hingga ke konsumen. Perantara ini bisa dalam bentuk perseorangan, perserikatan ataupun perseroan. Fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas ini akan dilakukan oleh lembaga-lembaga perantara tersebut. Lembaga tataniaga harus tepat waktu dalam penyaluran barang dan jasa terutama produk pertanian karena sifat dari 17 produk tersebut adalah mudah rusak, volume yang besar dan cepat busuk sehingga dibutuhkan penggunaan khusus terhadap produk tersebut. Menurut Kohl dan Uhl (2002) lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya: 1. Pedagang perantara (merchant middlemen) adalah perantara yang memiliki hak dan menguasai produk yang mereka tangani. Mereka membeli dan menjual produk tersebut untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Yang termasuk ke dalam pedagang perantara ini adalah retail dan pedagang grosir. Agen perantara (agent middlemen) adalah perwakilan dari institusi atau 2. lembaga mereka tidak memiliki kekuasaan atas produk tersebut. Agen perantara mendapatkan keuntungan komisi dari penanganan atas produk yang dikehendaki oleh lembaga atau institusi. Agen perantara meliputi pencari komisi (commission men) dan broker. 3. Spekulator (speculative middlemen) adalah perantara yang melakukan pembelian dan penjualan atas produk dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari pergerakan harga. 4. Pengolahan dan pabrikan (processors and manufacture) adalah lembaga yang menangani produk dan merubah bentuk produk yaitu bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir. 5. Organisasi (facilitative organizations) adalah lembaga yang membantu agar aktivitas berjalan dengan lancar. Fungsi-Fungsi Tataniaga Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa proses penyampaian barang dari tingkat produsen ke tingkat konsumen diperlukan tindakan-tindakan untuk memperlancar kegiatan tersebut, kegiatan tersebut dinamakan fungsi tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga dikelompokan menjadi tiga fungsi utama, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas (Kohl dan Uhl 2002). Fungsi pertukaran (exchange function) adalah kegiatan yang berhubungan dengan pemindahan kepemilikan barang dan jasa yang dipasarkan mulai dari produsen kepada konsumen. Fungsi pertukaran meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dimulai dengan pencarian pemasok kemudian mengubah bahan baku menjadi produk jadi yang akan dijual kepada konsumen untuk memenuhi permintaan akhir konsumen. Fungsi penjualan merupakan kegiatan yang meliputi pencarian tempat, waktu, pengemasan, saluran tataniaga yang tepat untuk melakukan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen. Fungsi fisik (physical function) adalah semua tindakan yang berhubungan dengan barang dan jasa sehingga proses tersebut menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk dan kegunaan waktu. Fungsi fisik terdiri dari (1) fungsi penyimpanan, merupakan kegiatan untuk membuat produk selalu tersedia pada waktu yang dibutuhkan; (2) fungsi pengangkutan, merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen menurut waktu, jumlah dan mutu; (3) fungsi pengolahan, merupakan kegiatan untuk meningkatkan nilai tambah pada barang dan jasa dengan cara mengolah bahan baku menjadi komoditi yang dibutuhkan oeh konsumen. 18 Fungsi fasilitas (facilitating function) adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran barang dan jasa antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas meliputi (1) fungsi standarisasi merupakan suatu keseragaman dalam penentuan kualitas dan kuantitas produk yang akan diproduksi, sedangkan grading adalah pengelompokkan atau pengklasifikasian hasil-hasil produk menurut standarisasi yang diinginkan; (2) fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk berbagai keperluan produksi dan tataniaga; (3) fungsi penanggungan risiko adalah penerimaan kemungkinan kehilangan selama proses tataniaga produk akibat dari risiko fisik maupun risiko pasar; (4) fungsi informasi pasar merupakan kegiatan mengumpulkan informasi pasar dan menafsirkan informasi tersebut. Struktur Pasar Struktur pasar adalah karakteristik dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar yang akan mempengaruhi perilaku pasar dan keragaan pasar. Struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategis mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka, 2009). Menurut Hammond dan Dahl (1997), ada empat karakteristik yang merupakan faktor yang menentukan struktur pasar yaitu (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) kondisi dan keadaan produk; (3) kemudahan untuk keluar dan masuk pasar; (4) tingkat informasi harga. Kohl dan Dahl (2002) mengelompokkan pasar ke dalam empat struktur pasar yang berbeda, yaitu (1) pasar persaingan sempurna (perfect competition); (2) pasar monopoli atau monopsony (monopoly/monopsony); (3) pasar oligopoli atau oligopsoni (oligopoly/oligopsony); (4) pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition). Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana terdapat banyak pembeli dan penjual yang memperdagangkan komoditi dimana output yang dihasilkan merupakan sebagian kecil dari total komoditi di pasar oleh karena itu komoditi memiliki sifat homogen sehingga pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar. Tidak ada hambatan untuk memasuki dan keluar pasar baik hambatan dari teknologi, hukum, keuangan maupun hambatan lainnya. Pengetahuan yang dimiliki oleh pembeli dan penjual relatif sempurna dan lengkap. Struktur pasar monopoli adalah keadaan pasar dimana hanya terdapat satu penjual atau satu pembeli. Seorang monopoli dapat menentukan harga dari ouput yang dihasilkan karena kurva permintaan dari perusahaan sama dengan kurva permintaan dari pasar selain itu penjual juga bebas untuk menentukan tingkatan output yang dihasilkan untuk memaksimalkan keuntungan. Penjual juga memiliki keterbatasan dalam menentukan harga jual dari produk mereka. Dilihat dari sisi permintaan jika harga yang ditetapkan terlalu tinggi maka konsumen akan mencari produk subtitusi. Dilihat dari sisi produksi jika profit yang didapat terlalu tinggi maka perusahaan lain akan mencoba masuk ke dalam pasar. Perusahaan monopoli mempunyai penguasaan terhadap bahan baku dan hak paten yang diberikan karena skala ekonomi yang besar dan tindakan pemerintah. 19 Struktur pasar oligopoli adalah kondisi dimana pasar didominasi oleh beberapa perusahaan besar dalam suatu wilayah. Harga pasar berada di tangan beberapa perusahaan besar dan perusahaan–perusahaan kecil sebagai pengikutnya hanya mengikuti perubahan yang terjadi. Perusahaan besar dapat mempengaruhi harga melalui keputusan output yang dihasilkan oleh mereka. Setiap perusahaan yang berada dalam pasar tersebut dalam menetapkan jumlah produksinya dan harga harus mempertimbangkan dampaknya kepada harga pasar dan bagaimana reaksi pesaing. Tabel 9 Perbandingan struktur pasar Karakter Industri Jumlah penjual Kesamaan produk Kemudahan untuk masuk Pengaruh perusahaan terhadap harga Contoh Persaingan Sempurna Sangat besar Identik untuk semua perusahaan Mudah dan tidak ada hambatan Tidak ada untuk perusahaan tunggal Beberapa petani, futures market Persaingan Monopolistik Oligopoli Monopoli Banyak Sedikit Satu Berbeda dan bervariasi Mirip - Relatif mudah Susah dan ada hambatan Tidak bisa masuk Beberapa, dibatasi oleh produk pengganti Rumah makan, perusahaan pemasok Besar, terbatas Sedikit oleh harga menahan diri pesaing kecuali diatur Pengolahan makanan dan pedagang grosir Sarana umum Sumber: Kohl dan Uhl (2002) Struktur pasar persaingan monopolistik adalah keadaan pasar yang berada diantara pasar persaingan sempurna dan oligopoli. Setiap perusahaan berusaha membuat produk atau layanan yang unik dan berbeda dari perusahaan yang ada. Penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling. Perilaku dari suatu perusahaan dipengaruhi oleh lingkungan dan struktur dari industri yang berlaku. Struktur industri dapat dijelaskan dengan besarnya perusahaan, kesamaan penawaran dan kemudahan perusahaan lain untuk masuk dan keluar dari industri. Perilaku harga dan output dari perusahaan dalam struktur industri akan berbeda dengan keragaan industri. Pada Tabel 9 akan dijelaskan perbedaannya. Perilaku Pasar Menurut Dahl dan Hammond (1977) perilaku pasar merupakan pola atau tingkah laku lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar adalah 20 seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli utnuk mencapai tujuannya masing-masing (Asmarantaka, 2009). Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa ada empat hal yang perlu yang diperhatikan dalam menggambarkan perilaku pasar, yaitu (1) Input-output system, digunakan untuk menerangkan bagaimana perusahaan mengembangkan input yang dimiliki untuk menghasilkan output bagi perusahaan; (2) Power system, menjelaskan bahwa perusahaan mengembangkan kualitas, pemimpin pasar, dan memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat menentukan harga; (3) Communications system, menjelaskan bagaimana mendirikan saluran informasi yang efektif; (4) System for adapting to internal and exsternal change, menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu sistem tataniaga dan dapat bertahan di pasar. Marjin Tataniaga Marjin tataniaga mengacu pada perbedaan harga pada berbagai tingkaan sistem tataniaga. Marjin tataniaga adalah perbedaan harga antara harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Pr). Sehingga marjin tataniaga dapat dikatakan sebagai selisih dari harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Pr-Pf ). Marjin tataniaga hanya mengacu pada perbedaan harga, tidak berhubungan dengan jumlah produk yang ada di pasar (Hammond dan Dahl 1977). Price Sr Pr Sf Dr Pf Df Gambar 1 Kurva Marjin Tataniaga Sumber : Hammond dan Dhall (1997) Quantity Keterangan: Pf & Pr = Harga di tingkat petani dan harga di tingkat pengecer Df & Dr = Permintaan di tingkat petani dan permintaan di tingkat pengecer Sf & Sr = Penawaran di tingkat petani dan penawaran di tingkat pengecer Qr,f = Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer (Pr-Pf ) = Marjin tataniaga (Pr-Pf )Q = Nilai marjin tataniaga 21 Farmer’s Share (Bagian Harga yang Diterima oleh Petani) Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen. Bagian yang diterima lembaga tataniaga ini dinyatakan dalam persentase (Limbong dan Sitorus, 1987). Farmer’s share (Fsi) didapatkan dari hasil bagi antara Pf dan Pr, dimana Pf adalah harga di tingkat petani dan Pr adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa tataniaga berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (Value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produknya. Farmer’s share mumpunyai hubungan negatif dengan marjin tataniaga. Sehingga semakin tinggi marjin tataniaga, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah (Simamora S, 2007). Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut: Fs = x 100% Keterangan: Fs : Persentase yang diterima petani dari harga konsumen akhir Pf : Harga di tingkat petani Pr : Harga di tingkat konsumen Rasio Keuntungan terhadap Biaya Rasio keuntungan terhadap biaya dapat digunakan untuk melihat efisiensi suatu sistem tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Dengan demikian, semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka secara teknis (operasional) sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus, 1987). Besarnnya rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Keterangan: Li : Keuntungan lembaga tataniaga Ci : Biaya tataniaga Efisiensi Tataniaga Seluruh analisis dengan menggunakan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya digunakan untuk menganalisis efisiensi tataniaga. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam kegiatan tataniaga adalah tingkat efisiensi dari kesatuan kegiatan tataniaga itu sendiri. Sistem tataniaga yang efisien akan dapat memberikan kepuasan terhadap semua pihak yang terlibat. 22 Tataniaga yang efisien, secara normatif adalah struktur pasar persaingan sempurna.tetapi, struktur pasar ini secara realita sangat sulit ditemukan. Analisis efisiensi tataniaga ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu dengan menggunakan konsep efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional digunakan untuk mendekati efisiensi produksi yang diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap inputnya. Efisiensi ini lebih berkaitan dengan kegiatan fisik pemasaran dan lebih berkaitan dengan teknologi. Efisiensi harga digunakan untuk mendekati efisiensi distribusi dan kombinasi produk optimum dengan asumsi hubungan output-input dalam bentuk fisik adalah tetap. Efisiensi harga ini berhubungan dengan keefektifan pemasaran sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kerja proses pemasaran dalam menyampaikan output dari daerah produsen ke daerah konsumen (Sudiyono, 2002). Menurut Kohl (2002), efisiensi tataniaga merupakan maksimisasi rasio input dan output. Efisiensi operasional mengasumsikan esensi dari sifat output barang atau jasa yang tetap dan berfokus pada penurunan biaya input dari usaha yang dilakukan. Dengan kata lain suatu efisiensi operasional dapat terwujud dengan cara memperkecil biaya dan meningkatkan atau mempertahankan output. Efisiensi harga berfokus pada peningkatan kegiatan pembelian, penjualan dan aspek harga dari proses pemasaran yang mendapat tanggapan secara langsung. Efisiensi harga adalah hasil dari persaingan murni dan keseimbangan kekuatan ekonomi yang ada dengan proses tataniaga. Kegiatan yang dapat meningkatkan efisiensi harga adalah informasi pasar, label dan informasi konsumen serta tingkatan dan standarisasi. Efisiensi tataniaga juga dapat dilihat dari rasio keuntugan (benefit) yang diterima terhadap biaya (cost) yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga. Biaya adalah penggunaan sumberdaya, sedangkan keuntungan adalah manfaat yang diperoleh. Asmarantaka (2012) menyatakan bahwa penggunaan sumberdaya dikatakan sebagai input tataniaga, sedangkan hasil akhir dari proses produksi yang ditujukan untuk memenuhi kepuasan konsumen dan keuntungan perusahaan dikatakan sebagai output tataniaga. Kerangka Pemikiran Operasional Dasar penelitian ini adalah harga gula yang berfluktuatif di tingkat konsumen namun peningkatan harga tersebut tidak dapat dinikmat oleh petani tebu. Harga yang berlaku di tingkat petani tebu tidak mengalami peningkatan yang besar. Tebu merupakan bahan baku bagi pabrik tebu untuk kemudian menghasilkan gula. Tanaman tebu merupakan tanaman musiman sehingga dalam kurun waktu satu tahun tanaman tebu dipanen sekali. Tebu merupakan kebutuhan yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Tanaman tebu dapat dikonsumsi secara langsung ataupun diolah terlebih dahulu. Manfaat yang terkandung dalam tebu sangat banyak bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, permintaan akan tebu semakin meningkat setiap tahunnya. Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah merupakan daerah sentral produksi di Jawa Tengah. Kegiatan usahatani tebu ini membutuhkan sistem tataniaga yang baik untuk memasarkan produk hasil dari petani tabu. Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga ini adalah petani, tengkulak, APTRI, kelompok tani dan pabrik gula. Petani tidak memiliki saluran 23 tataniaga yang dapat memberikan keuntungan besar bagi petani. Apabila petani mendapatkan modal dari APTRI maka petani harus menjual hasilnya ke APTRI walaupun ada alternatif lain yang memberikan keuntungan yang lebih besar. Informasi harga yang diterima oleh petani dan mengenai hasil rendemen yang dihasilkan oleh petani sangat terbatas, hal ini juga disebabkan oleh lemahnya posisi petani dalam sistem tataniaga. Oleh karena itu perlu analisis mengenai tataniaga tebu untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga tebu sehingga memberikan alternatif bagi petani untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Penelitian mengenai tataniaga tebu dilakukan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif melalui pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan analisis saluran tataniaga dan lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar. Efisiensi tataniaga dilihat dari analisis struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2. 24 Produksi tebu dan marjin tataniaga tebu berfluktuasi mempengaruhi harga jual tebu Bagaimana sistem tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati? Apakah sistem tersebut sudah efisien? ï‚· Marjin Tataniaga ï‚· Farmer’s Share ï‚· Rasio Keuntungan terhadap Biaya ï‚· Lembaga dan Saluran Tataniaga ï‚· Fungsi Tataniaga ï‚· Struktur Pasar Perilaku Pasar Sistem tataniaga Rekomendasi alternatif saluran tataniaga yang efisien Gambar 2 Kerangka Operasional Sistem Tataniaga Tebu Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah 25 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Trangkil merupakan wilayah penghasil tebu terbesar di Jawa Tengah. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei 2013 dengan pertimbangan pada bulan tersebut merupakan masa panen tebu di wilayah tersebut sehingga mempermudah untuk melihat saluran tataniaga yang ada di Trangkil. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung (observasi) dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang tersaji pada kuesioner kepada pelaku tataniaga tebu baik itu petani maupun pedagang. Pengamatan secara langsung juga dilakukan terhadap kegiatan tataniaga tebu untuk mengetahuo saluran tataniaga dan lembaga tataniaga yang terlibat pada alur tataniaga tebu. Data sekunder pun diperlukan pada penelitian ini. Data sekunder didapatkan dari studi literatur, tinjauan pustaka, serta beberapa penelitian terdahulu. Selain itu, data yang menunjukkan data terhadap komoditi tebu yang menunjang seperti dari Badan Pusat Statistika, Direktorat Jendral Perkebunan, Departemen Pertanian RI, dan Dinas Perkebunan Jawa Tengah. Data sekunder ini dipergunakan sebagai pelengkap dari data primer. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan panduan kuesioner kepada pelaku tataniaga tebu baik itu petani maupun pedagang. Responden petani dipilih dengan menggunakan teknik purposive atau sengaja, hal ini dilakukan dengan cara memilih petani yang menggunakan saluran tataniaga berbeda. Pemilihan yang sengaja ini ditujukan agar saluran tataniaga tebu yang berada di Kecamatan Trangkil ini terlihat. Jumlah petani yang dijadikan responden adalah sebanyak 33 orang untuk mewakili petani di setiap saluran tataniaga dan terdapat 7 pedagang yang menjadi responden dalam penelitian ini. Pengambian sampel untuk pedagang atau lembaga tataniaga selain petani tebu dilakukan dengan cara mengikuti alur tataniaga tebu hingga sampai ke tangan pabrik gula. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak mengetahui mengenai lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tebu di Trangkil, sehingga peneliti harus mencari tahu melalui petani dan lembaga tataniaga dan selanjutnya akan diketahui dari pelaku tataniaga sebelumnya. Akhir dari pencarian pelaku tataniaga ini adalah konsumen akhir. Jumlah lembaga tataniaga yang menjadi responden akan diketahui berdasarkan informasi yag didapat dari lembaga tataniaga sebelumnya. 26 Metode Pengolahan Data Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Efisiensi tataniaga tebu dapat diperoleh melalui analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Penelitian analisis kualitatif efisiensi tataniaga tebu meliputi lembaga dan saluran tataniaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Penelitian analisis kualitatif efisiensi tataniaga tebu ini dijelaskan secara deskriptif untuk menjabarkan semua detail dari saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar, serta permasalahan yang terjadi pada daerah penelitian. Sedangkan analisis kuantitaif dilakukan melalui pendekatan majin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Efisiensi tataniaga tebu dapat dilihat dari analisis struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Analisis sistem tataniaga digunakan untuk mengetahui rangakaian keseluruhan mulai dari petani sampai dengan konsumen akhir atau pabrik gula. Dalam penilitian ini yang diamati sistem tataniaganya hanya sampai dengan tebu tidak termasuk tataniaga gula. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga Analisis saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil dilakukan dengan menelusuri kegiatan tataniaga yang ada mulai dari petani hingga ke konsumen akhir. Penelusuran mengenai saluran tataniaga akan diketahui pola saluran tataniaga yang terjadi dan jumlah lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga tersebut. Perbedaan pada saluran tataniaga akan berpengaruh pada tingkat pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat. Analisis Fungsi Tataniaga Fungsi-fungsi dari setiap lembaga tataniaga dapat diketahui berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Fungsi dari lembaga tataniaga adalah menyalurkan komoditi dari produsen sampai ke tangan konsumen. Selain menyalurkan komoditi, melalui analisis ini pun akan diketahui biaya yang dikeluarkan dalam setiap kegiatan tataniaga. Pedekatan fungsi-fungsi tataniaga yang akan dianalisis adalah: 1. Fungsi Pertukaran Aktivitas pemindahan kepemilikan dari barang dan jasa yang meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi Fisik 2. Tindakan yang berhubungan dengan barang dan jasa agar memiliki kegunaan waktu, tempat, dan bentuk. Fungsi fisik ini meliputi fungsi penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan. 3. Fungsi Fasilitas Kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Fungsi fasilitas ini meliputi standarisasi dan grading, pembiayaan, penanggulangan risiko, dan informasi pasar. Analisis Struktur Pasar Analisis struktur pasar dapat dilihat dari jumlah pembeli, jumlah penjual, sifat produk, pengetahuan akan informasi pasar, dan hambatan untuk masuk dan 27 keluar pasar. Melalui lima hal tersebut maka akan diketahui struktur pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga. Struktur pasar yang mungkin dihadapi oleh pelaku tataniaga adalah pasar persaingan sempurna, persaingan monopolistik, monopoli, dan oligopoli. Analisis Perilaku Pasar Analisis ini dilihat dari tingkah laku pasar dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam kegiatan tataniaga. Kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga, cara pembayaran, dan kerjasama yang dilakukan mempengaruhi perilaku setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Analisis perilaku pasar digunakan untuk mengetahui karakteristik konsumen. Analisis Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga dapat dilihat dari beberapa faktor seperti marjin tataniaga, farmer’s share, serta analisis keuntungan terhadap biaya. Selain dari faktor-faktor tersebut, terdapat pula beberapa faktor yang perlu dipertibangkan seperti saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, lembaga-lembaga tataniaga, struktur pasara, dan perilaku pasar. Indikator tercapainya efisiensi tataniaga adalah menurunnya biaya tataniaga tanpa mempengaruhi output yang dipasarkan. Sistem tataniaga akan tercipta bila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga memperoleh kepuasan dari adanya kegiatan tersebut. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf) dengan harga di tingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin tataniaga adalah MT = Pr – Pf. Melalui penelusuran saluran tataniaga, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang marjin pada tiap lembaga tataniaga. Analisis marjin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga tebu. Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga merupakan penjumlahan dari marjin yang diperoleh setiap lembaga tataniaga. Marjin juga didefinisikan sebagai penjumlahan dari keuntungan dan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam pelaksanaan sistem (1985) tersebut maka secara matematis perhitungan nilai marjin tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Mi = Hji - Hbi Atau Mi = Ci + πi Dan besarnya marjin tataniaga pada saluran tataniaga adalah: MT = ∑Mi Keterangan: Mi = Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg) Hji = Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg) Hbi = Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg) Ci = Biaya pembelian pada tingkat pasar ke-i (Rp/Kg) Πi = Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg) I = 1, 2, 3,.......,n MT = Total marjin tataniaga 28 Selain itu, marjin tataniaga juga dapat diperoleh dari penjumlahan biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga pada suatu saluran tataniaga yang terbentuk. Hal ini dapat diartikan sebagai value added dari komoditi yang dipasarkan (Limbong dan Sitorus, 1985). Analisis marjin tataniaga dapat dipakai untuk melihat keragaan pasar pada suatu sistem tataniaga. Analisis Farmer’s Share Pendapatan yang diterima petani farmer’s share merupakan perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Secara matematis farmer’s share dihitung sebagai berikut: Fs = x 100% Keterangan: Fs : Persentase harga yang diterima petani dari harga konsumen akhir Pf : Harga di tingkat petani Pr : Harga di tingkat konsumen Semakin mahal konsumen membayar harga yang ditawarkan oleh lembaga tataniaga (pedagang), maka yang diterima oleh petani akan semakin sedikit, karena petani menjual komoditi pertanian dengan harga yang relatif rendah. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan negatif antara marjin tataniaga dengan bagian yang diterima oleh petani. Semakin besar marjin maka penerimaan petani relatif kecil. Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya Rasio keuntungan dan biaya (analisis L/C Ratio) adalah persentase keuntungan tataniaga terhadap biaya pemasran yang secara teknis (operasional) untuk mengetahui tingkat efisiennya. Penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan Biaya (Li/Ci) = Keterangan: Li : keuntungan lembaga tataniaga Ci : biaya tataniaga KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Trangkil merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Pati hasil pemekaran dari Kecamatan Wedarijaksa. Lokasi Kecamatan Trangkil terletak 11 km ke arah utara Kota Pati. Data monografi Kecamatan Trangkil menyatakan bahwa jarak Kecamatan Trangkil dengan Semarang sebagai Ibukota Propinsi Jawa Tengah yaitu sejauh 86 km. Kecamatan Trangkil dengan luas wilayah 4 180.40 ha yang terdiri dari 937.05 ha lahan persawahan dan lahan bukan sawah seluas 3 243.35 ha memiliki curah hujan sebesar 1194 mm per tahun atau 127 hari curah hujan terbanyak. Terletak pada ketinggian 1 sampai 36 meter 29 dpl membuat lapisan tanah di Kecamatan Trangkil terdiri dari tanah regasol, latosol, dan sebagian lainnya berjenis Red yellow mediteran. Kecamatan Trangkil terdiri dari 16 desa yang meliputi Desa Tegalharjo, Pasucen, Mojoagung, Karangwage, Ketanen, Trangkil, Kajar, Karanglegi, Krandan, Rejoagung, Kadilangu, Tlutup, Kertomulyo, Guyangan, Sambilawang, Asempapan. Batas-batas Kecamatan Trangkil secara administratif adalah : Sebelah utara : Kecamatan Margoyoso Sebelah selatan : Kecamatan Tlogowungu dan Kecamatan Wedarijaksa Sebelah barat : Kecamatan Tlogowungu Sebelah timur : Laut Jawa Kecamatan Trangkil merupakan kecamatan dengan keadaan penduduk yang padat. Hal tersebut dapat dilihat dari data monografi Kecamatan Trangkil yang menyatakan bahwa jumlah penduduk Kecamatan Trangkil hingga tahun 2012 yaitu sebesar 62 035 orang dengan komposisi laki-laki sebesar 30 149 orang dan perempuan sebanyak 31 886 orang dengan 20 613 kepala keluarga. Penduduk Kecamatan Trangkil sebagian besar berprofesi sebagai petani dengan komoditas utama padi (4 036.5 ton), tebu, palawija, dan tanaman buah. Tabel 10 Sebaran jumlah penduduk di kecamatan Trangkil berdasarkan mata pencaharian tahun 2012 Mata pencaharian Petani Nelayan Pengusaha sedang/besar Pengrajin/industri kecil Buruh tani Buruh industry Buruh bangunan Perdagangan Pengangkutan Pegawai Negeri Sipil ABRI Pensiunan Ternak Jumlah (orang) 34 981 35 391 75 10 124 3 955 760 1 358 70 520 70 184 9 512 Persentase (%) 56 0 1 0 16 6 1 2 0 1 0 0 15 Sumber : Data Monografi Kabupaten Pati 2012 (diolah) Tebu sebagai salah satu komoditas utama Kecamatan Trangkil mendorong berkembangnya industri gula yang ditandai dengan terdapatnya pabrik gula di Kecamatan Trangkil yang terletak di Desa Trangkil, yaitu Pabrik Gula (PG) Trangkil. PG Trangkil berdiri sejak tahun 1 835 dengan kapasitas giling awal adalah 800 ton tebu per hari (tth). Hingga tahun 2012 PG Trangkil melakukan Program Pengembangan PT Kebon Agung dengan kapasitas giling 6 000 tth. Kecamatan Trangkil merupakan kecamatan yang paling banyak memproduksi tebu. Hal tersebut dikarenakan luas lahan tebu di Kecamatan Trangkil merupakan 30 luas lahan terluas diantara kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Pati. Data produksi tebu per kecamatan di Kabupaten Pati dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah produksi tebu per kecamatan di Kabupaten Pati tahun 2012 Kecamatan Margoyoso Trangkil Wedarijaksa Tlogowungu Gembong Margorejo Juwana Pati Gabus Tambakromo Kayen Pucakwangi Winong Sukolilo Tayu Jakenan Batangan Jaken Dukuhseti Wungkal Cluwak Produksi (ton) 1 293.700 2 511.411 1 855.341 1 260.801 947.747 1 290.446 255.431 1 051.220 811.740 569.917 469.294 456.528 150.000 306.018 453.429 558.944 733.890 1 500.035 507.639 325.358 35.102 Sumber : Pemerintah Kabupaten Pati 2012 (diolah) KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani yang sedang melakukan usahatani tebu dan melakukan pemanenan pada periode musim panen sebelumnya yaitu tahun 2012. Responden dalam penelitian ini sebanyak 33 petani tebu yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan asumsi pernah melakukan kegiatan panen pada periode 2012. Karakteristik petani tebu responden dikelompokkan berdasarkan usia, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan dan status lahan. Usia Petani yang menjadi reponden dalam penelitian ini mempunyai usia yang berkisar antara 33 – 80 tahun. Petani responden pada penelitian ini lebih banyak didominasi oleh petani dengan rentang usia 41 - 48 tahun dan 49 - 56 tahun dengan persentase masing-masing adalah 33.33 persen. Hal tersebut dikarenakan 31 usia antara 41 – 56 tahun masih dianggap sebagai usia yang produktif. Kisaran usia petani responden lainnya yaitu antara 33 – 40 tahun dengan persentase 18.18 persen, kisaran 57 – 64 tahun dan 65 – 72 tahun yang masing-masing memiliki persentase 6.06 persen serta kisaran 73 – 80 tahun dengan persentase 3.03 persen. Tabel 12 Sebaran petani responden berdasarkan usia di Kecamatan Trangkil tahun 2013 Kelompok umur (tahun) 33-40 41-48 49-56 57-64 65-72 73-80 Jumlah responden (orang) 6 11 11 2 2 1 Persentase (%) 18.18 33.33 33.33 6.06 6.06 3.03 Sumber : Data primer (diolah) Pendidikan Terakhir Petani tebu yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini mempunyai tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Secara mayoritas petani responden mempunyai tingkat pendidikan terakhir yaitu SD dengan persentase 48.48 persen atau sebanyak 16 orang. Petani tebu responden juga ditemui dengan tingkat pendidikan terakhir yaitu SMA/SLTA sebanyak 30.30 persen atau 10 orang, SMP sebanyak 15.15 persen atau 5 orang, dan 2 orang petani responden dengan tingkat pendidikan terakhir sarjana yaitu 6.06 persen. Pendidikan terakhir petani responden berpengaruh terhadap cara petani untuk menerima informasi pasar terkait tebu dan juga berbagi informasi dengan peneliti dalam menjawab pertanyaan. Tabel 13 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir di Kecamatan Trangkil tahun 2013 Tingkat pendidikan SD SMP SMA/SLTA Sarjana Jumlah responden (orang) 16 5 10 2 Persentase (%) 48.48 15.15 30.30 6.06 Sumber : Data primer (diolah) Luas Lahan Tebu Lahan tebu dari petani responden beraneka ragam. Secara mayoritas petani responden memiliki luas lahan yang berkisar antara 0.8 – 23.8 ha dengan persentase 84.85 persen atau sebanyak 28 petani responden. Luas lahan dengan kisaran 23.9 – 46.9 ha juga ditemui dari petani responden yaitu sebanyak 2 orang atau 6.06 persen dan 3 orang petani responden dengan luas lahan yang berkisar 32 antara 119 – 143 ha yaitu sebanyak 3 orang atau 9.09 persen. Semakin besar lahan yang digunakan maka hasil yang diperoleh juga semakin besar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa jika petani tebu ingin memperoleh hasil yang besar harus menggunakan lahan yang besar pula. Tabel 14 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan di Kecamatan Trangkil tahun 2013 Luas lahan (Ha) 0.8-23.8 23.9-46.9 119-143 Jumlah responden (orang) 28 2 3 Persentase (%) 84.85 6.06 9.09 Sumber : Data primer (diolah) Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan dari petani responden terbagi menjadi dua kategori yaitu milik sendiri dan milik sendiri beserta menyewa. Sebagian besar lahan tebu yang digunakan oleh petani responden adalah lahan dengan kepemilikan sendiri yaitu sebanyak 12 orang atau 36.36 persen. Selebihnya petani responden melakukan usahatani tebu dengan status kepemilikan lahan milik sendiri dan menyewa dengan persentase 33.33 atau sebanyak 11 orang. Petani responden yang mempunyai status kepemilikan lahan sendiri yang disertai dengan menyewa tersbut mempunyai tujuan untuk memperbanyak skala tanam sehingga diharapkan dapat memperoleh produksi tebu yang lebih banyak. Tabel 15 Sebaran petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan di Kecamatan Trangkil tahun 2013 Status lahan Milik sendiri Milik sendiri dan menyewa Jumlah responden (orang) 12 11 Persentase (%) 36.36 33.33 Sumber : Data primer (diolah) Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa petani tebu yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini merupakan petani dengan kisaran usia 41-56 tahun dengan pendidikan terakhir mayoritas adalah SD. Luas lahan petani responden rata-rata sebesar 17.4 ha dengan status kepemilikan mayoritas adalah milik sendiri. 33 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Lembaga dan Tataniaga Tataniaga tebu dari petani hingga ke konsumen melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya memiliki peran petani dalam usaha untuk menjalankan kegiatan usahatani dan memasarkan tebu hasil kebun mereka. Petani responden yang berjumlah 33 orang menggunakan saluran yang berbeda yang didasarkan pada letak geografis dan luasan lahan yang diusahakan petani. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tebu adalah petani, penempur, penebas, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Kelompok Tani dan pabrik gula. 1. Petani merupakan lembaga yang berperan dalam kegiatan produksi tebu. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) merupakan perkumpulam para petani tebu yang berperan dalam proses lelang gula. APTRI menjaga agar harga lelang gula tidak terlampau rendah sehingga merugikan petani tebu. Keberadaan APTRI ini membuat petani tebu memiliki posisi tawar yang tinggi 2. Pedagang besar (Penebas) merupakan lembaga yang berperan sebagai pedagang yang membeli tebu hasil petani dan menggiling hasil tebu dari petani ke pabrik gula. Biaya pemanenan dan pengangkutan petani ditanggung oleh penebas. 3. Kontraktor tebu (penempur) merupakan lembaga yang berperan juga sebagai pedagang yang membeli tebu hasil petani tebu dan menggiling hasil tebu dari petani ke pabrik gula. Lembaga tataniaga ini membeli tebu guna memenuhi kuota penggilingan ke pabrik gula sehingga mendapatkan kepercayaan dari pabrik gula untuk melakukan penggilingan. Biaya pemanenan dan pengangkutan ditanggung oleh penempur. 4. Kelompok tani tebu merupakan lembaga perkumpulan petani tebu yang merupakan jembatan antara petani kecil dengan pabrik gula untuk mengolah tebu menjadi gula dan pembagian hasil giling tebu. 5. Pabrik gula merupakan lembaga yang memiliki tugas untuk menjadi perantara peminjaman modal usaha, mengolah tebu menjadi gula dengan cara digiling, serta pembagian hasil jual gula lewat sistem bagi hasil. Pabrik gula hanya menggiling tebu milik petani yang memiliki nomor kontrak dengan pabrik gula. Tebu yang digiling menjadi gula kemudian dijual kepada pihak investor melalui sistem lelang. Saluran Tataniaga Penelitian ini mengambil responden sebanyak 33 petani dengan volume tebu sebesar 504 880 kuintal. Terdapat empat saluran tataniaga tebu yang berada di kecamatan Trangkil. Saluran pertama dilalui oleh tiga lembaga tataniaga yaitu petani tebu, kelompok tani, dan pabrik gula yang diikuti sebanyak 16 petani atau sebesar 48,5 persen. Saluraan kedua tataniaga tebu melalui tiga lembaga tataniaga yaitu petani tebu, penebas, dan pabrik gula yang diikuti oleh empat petani atau sebesar 12,1 persen. Saluran ketiga tataniaga tebu melalui tiga lembaga tataniaga yaitu petani tebu, penempur, dan pabrik gula yang diikuti oleh tiga petani atau 34 sebesar 9,1 persen. Saluran tataniaga yang terakhir diikuti oleh 10 petani atau sebesar 30,3 persen yang merupakan saluran tataniaga terpendek yaitu petani dan pabrik gula. Saluran Tataniaga 1 Saluran yang terdiri dari petani, kelompok tani, dan pabrik gula ini diikuti oleh 16 petani responden dengan jumlah tebu yang dipasok ke pabrik gula sebesar 43 280 kuintal atau sebesar 8.37 persen. Petani yang tergabung dalam kelompok tani ini didominasi oleh petani yang memiliki lahan kecil. Selain itu, karakteristik kelompok tani ini didasarkan pada tempat kebun tebu mereka yang saling berdekatan, yaitu sekitar Desa Ketanen dan Desa Pesucen. Kelompok tani ini sangat membantu kegiatan usahatani petani tebu. Kelompok tani bertindak sebagai fasilitator bagi para petani anggota yang pada kontraknya dengan pabrik gula diwakilkan atas nama satu orang yaitu ketua kelompok tani. Para anggota kelompok tani mendapatkan bantuan modal dari pabrik gula berupa kredit biaya garap dan tanam serta biaya tebang angkut. Hal ini mewajibkan petani untuk menggiling tebunya ke pabrik gula karena adanya kewajiban untuk membayar kredit dan bunga tersebut kepada pabrik gula pada akhir periode giling atau pemberian bagi hasil antara petani dan pabrik gula. Bantuan kredit yang diberikan oleh pabrik gula adalah hasil kerjasama antara pabrik gula dengan bank penyedia Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Pabrik gula berperan sebagai pihak yang mengolah tebu menjadi gula. Tebu yang sudah menjadi gula kemudian dilelang melalui perantara Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) di Semarang. Sistem bagi hasil antara pabrik gula dan petani dibagi menjadi dua bagian yaitu 34 persen bagian pabrik gula sebagai imbalan untuk biaya giling tebu dan 66 persen hasil lelang gula milik petani. 66 persen hasil lelang gula ini diberikan kepada petani berupa tunai sebesar 90 persen dan natura berupa gula 10 persen. Apabila kelompok tani masih memiliki kewajiban untuk membayar kewajiban berupa kredit dan potongan lain, maka pada akhir periode giling pendapatan petani akan dipotong dengan kewajiban tersebut. Saluran Tataniaga 2 Saluran tataniaga ini terdiri dari tiga lembaga tataniaga, yaitu petani, penempur, dan pabrik gula ini diikuti oleh tiga orang petani responden dengan jumlah tebu yang dipasok ke pabrik gula sebesar 11 200 kuintal atau 2.22 persen. Petani menggunakan saluran tataniaga dua ini adalah petani yang tidak memiliki surat kontrak dengan pabrik gula. Selain itu alasan petani menggunakan saluran tataniaga dua adalah petani lebih mudah dalam menjual hasil tebu lebih mudah dan cepat. Kondisi seperti ini dianggap menguntungkan oleh petani yang menggunakan saluran tataniaga dua. Saluran ini diminati oleh petani karena memberikan kemudahan bagi petani dan petani tidak perlu menanggung risiko setelah hasil gilingan. Risiko akan ditanggung oleh penempur yang membeli hasil panen tabu miliknya. Kontraktor tebu memiliki surat kontrak dengan pabrik gula dan akan membawa tebu hasil pembeliannya dengan petani ke pabrik gula untuk digilingkan. Kontraktor tebu membeli tebu milik petani untuk memenuhi surat kontrak yang sudah ditandatangani dengan pabrik gula. 35 Kontraktor tebu akan mendatangi pemilik tebu untuk membeli tebu yang telah siap panen. Kontraktor tebu akan melakukan kegiatan tawar menawar harga tebu. Kontraktor tebu membeli tebu milik petani sebesar Rp 41 300/kuintal tebu. Setelah harga disepakati oleh kedua pihak , maka petani akan melakukan penebangan dan pengangkutan tebu yang telah dibeli dari petani. Tebu yang telah ditebang dibawa ke pabrik gula untuk digiling. Hasil tebu yang digiling oleh pabrik gula akan diikutkan dalam lelang yang diadakan pabrik gula dengan investor. Harga tebu ditentukan melalui kesepakatan antara penempur dengan petani tebu. Sistem pembelian dilakukan dengan tunai. Petani tebu mendapatkan informasi pasar dari penempur dan petani tebu lainnya. Petani memiliki posisi tawar yang tinggi karena dapat menentukan harga melalui negosiasi dengan penempur. Saluran Tataniaga 3 Saluran tataniaga ini terdiri dari tiga lembaga tataniaga, yaitu petani tebu, penebas dan pabrik gula yang diikuti oleh empat orang petani responden dengan jumlah tebu yang dipasok ke pabrik gula sebesar 12 150 kuintal atau sebesar 2.41 persen. Pedagang besar membeli tebu yang siap panen milik petani berdasarkan luasan harga. Harga tebu petani dibeli dengan harga Rp 36 500 000/hektar. Pedagang besar membeli tebu petani seharga Rp 40 900/kuintal. Petani yang menggunakan saluran tiga ini adalah petani yang tidak memiliki surat kontrak dengan pabrik gula. Selain itu petani menggunakan saluran tiga ini petani lebih mudah dalam menjual hasil tebu, cepat dan biaya pemanenan ditanggung oleh penebas. Kondisi ini dianggap menguntungkan oleh petani yang menggunakan saluran tataniaga tiga. Saluran ini memberikan kemudahan bagi petani dan petani tidak perlu menanggung biaya pemanenan atas hasil usahatani tebunya. Pedagang besar dan petani melakukan kegiatan tawar menawar harga tebu. Setelah harga tebu disepakati oleh kedua belah pihak maka penebas melakukan penebangan dan pengangkutan tebu yang telah dibeli dari petani. Tebu yang telah ditebang akan diangkut ke pabrik gula untuk digiling. Hasil tebu yang digiling oleh pabrik gula akan diikutkan lelang yang diadakan pabrik gula dan investor. Dalam hal ini penebas mempunyai kemungkinan rugi karena menanggung risiko dari hasil penggilingan tebu dari tebu yang dibeli dari petani. Harga tebu ditentukan melalui kesepakatan antara penebas dan petani tebu. Sistem pembelian dilakukan dengan cara tunai. Petani memiliki posisi tawar yang tinggi karena dapat menentukan harga melalui negosiasi dengan penebas. Saluran Tataniaga 4 Saluran tataniaga empat adalah saluran tataniaga terpendek yang hanya melalui dua lembaga tataniaga, yaitu petani dan pabrik gula. Sebanyak 10 petani responden dengan jumlah tebu yang dipasok ke pabrik gula sebesar 439 250 kuintal atau sebesar 87 persen. Saluran ini digunakan oleh petani besar yang memiliki lahan yang luas dan memiliki kontrak dengan pabrik gula. Petani pada saluran empat melakukan peminjaman modal berupa kredit melalui pabrik gula dan petani memiliki kontrak giling langsung dengan pabrik gula. Petani tebu pada saluran tebu ini menyalurkan tebunya ke pabrik gula secara 36 langsung untuk kemudian digiling dan menjadi gula. Petani tebu terikat dengan pabrik gula karena adanya kontrak dan kewajiban berupa pinjaman untuk kegiatan usahatani melalui program KKPE yang harus dibayarkan pada akhir periode giling. Kewajiban ini akan dipotong secara langsung dari bagi hasil penjualan tebu yang sudah digiling menjadi gula, sehingga pabrik gula tidak mengalami masalah dengan pembayaran kewajiban petani. Petani dalam hal ini sebagai lembaga penyedia tebu mengeluarkan biaya tataniaga. Seluruh biaya tataniaga ditanggung oleh petani seperti biaya tebang, biaya angkut, biaya pengemasan serta iuran APTRI. Tebu tersebut kemudian digiling di pabrik gula dan menjadi gula. Petani mendapatkan hasil tunai dari penjualan gula miliknya setelah proses lelang gula berakhir. Petani tebu 33 petani 504 880 kuintal Kelompok tani 16 petani 43 280 kuintal 8.37 % Penempur 3 petani 11 200 kuintal 2.22 % Penebas 4 petani 12 150 kuintal 2.41 % Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4 10 petani 439 250 kuintal 87 % Pabrik gula Trangkil 504 880 kuintal Gambar 3 Sistem tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil tahun 2012 Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa sebesar 87 persen tebu hasil petani disalurkan langsung dari petani ke PG Trangkil tanpa melalui perantara. Hal tersebut dikarenakan adanya pinjaman berupa kredit yang diberikan PG Trangkil kepada petani sebagai modal untuk kegiatan usahatani melalui program KKPE yang harus dibayarkan pada akhir periode giling dari bagi hasil penjualan tebu yang sudah digiling menjadi gula. Analisis Fungsi Tataniaga Setiap lembaga tataniaga memiliki fungsi yang berbeda dalam penyampaian tebu dari mulai petani sampai ke pabrik gula. Lembaga tataniaga pada tataniaga 37 tebu ini memiliki fungsi utama untuk memperlancar proses penyampaian pada tataniaga tebu itu sendiri. Fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Tabel 16 Fungsi dan aktivitas dari petani dan setiap lembaga tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil Lembaga Tataniaga Petani Kelompok Tani Fungsi Tataniaga Pertukaran Fisik Pertukaran Penempur Fasilitas Pertukaran Fasilitas Penebas Pertukaran Fasilitas Fisik Aktivitas Penjualan Penebangan dan pengangkutan Pengumpulan tebu dan menggilingkan tebu ke pabrik gula Pembiayaan Pembelian tebu petani Menjual tebu ke pabrik gula Penanggungan resiko Informasi pasar Pembelian tebu petani Menjual tebu ke pabrik gula Informasi pasar Penebangan dan pengangkutan Petani Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani tebu di kecamatan Trangkil adalah fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi pertukaran yang dilakukan adalah fungsi penjualan. Fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan tebu dari lahan petani ke pabrik gula untuk digiling. a. Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh petani adalah fungsi penjualan. pada saluran satu terdapat tiga orang petani yang menjual tebunya kepada kontaktor tebu, empat orang petani melakuakan penjualan tebunya melalui kelompok tani. Penjualan tebu dilakukan di kebun tebu milik petani. Lembaga tataniaga akan mendatangi petani untuk membeli hasil panen petani. APTRI dan kelompok tani memiliki data mengenai data tanam dan panen petani sehingga lembaga tataniaga tersebut akan mendatangi petani yang telah siap panen. Pedagang besar merupakan langganan dari petani yang menjual tebu kepada penebas. Fungsi Fisik b. Fungsi fisik yang dilakukan petani adalah fungsi pengangkutan yang dilakukan oleh petani. Proses pemanenan dan pengangkutan dilakukan oleh buruh yang disewa. Biaya pemanenan dan pengangkutan merupakan biaya yang dikeluarkan oleh petani merupakan biaya pinjaman yang dikeluarkan oleh pabrik gula dan kelompok tani. Biaya tersebut akan dibayar oleh petani setelah petani mendapatkan hasil dari gilingan tebu. Pada saluran biaya pemanenan dan pengangkutan akan ditanggung sepenuhnya oleh penebas yang membeli tebu milik petani. 38 Kelompok Tani Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh kelompok tani adalah fungsi pertukaran dan fungsi fasilitas. Fungsi tataniaga kelompok tani terdapat pada saluran satu. a. Fungsi Pertukaran Kelompok tani melakukan fungsi pertukaran berupa pengumpulan tebu milik anggota dan menggilingkan tebu ke pabrik gula. Petani anggota tidak dapat melakukan proses giling di pabrik gula secara langsung karena tidak memiliki kontrak. Kelompok tani yang diwakilkan oleh satu nama memiliki surat kontrak dan dapat menggilingkan tebu milik petani anggota. b. Fungsi Fasilitas Kelompok tani memfasilitasi petani anggota dalam fungsi pembiayaan seperti kredit modal usaha. Kredit modal usaha diperoleh dari pabrik gula yang bekerjasama dengan Bank yang menyediakan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan biaya administrasi dibagi secara rata kepada petani menurut kuintal tebu yang dihasilkan. Selain itu fungsi informasi pasar dilakukan oleh kelompok tani. Penempur Penempur melakukan fungsi tataniaga seperti fungsi pertukaran dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh penempur adalah fungsi pembelian dan penjualan sedangkan fungsi fasilitas penempur adalah penanggungan risiko dan informasi pasar. Fungsi tataniaga penempur terdapat pada saluran dua. a. Fungsi Pertukaran Penempur memiliki kontrak dengan pabrik gula sehingga kontraktor harus memenuhi pasokan tebu yang akan disalurkan ke pabrik gula. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh penempur adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan di lahan petani secara langsung. Pada saat panen tiba penempur akan mendatangi petani untuk melakukan pembelian tebu. Biaya angkut dan tebang ditanggung oleh petani sehingga penempur menyepakati harga tebu dengan petani dengan melakukan kegiatan tawar menawar. Fungsi penjualan yang dilakukan oleh penempur adalah saat penempur menjual tebu ke pabrik gula. Tebu yang telah dibeli dari petani dibawa ke pabrik gula untuk digiling. Tebu yang telah digiling akan diikutkan lelang yang diadakan oleh pabrik gula. Fungsi Fasilitas b. Penempur melakukan fungsi fasilitas yaitu penanggungan risiko dan informasi pasar. Kontraktor tebu menanggung semua risiko atas tebu yang dibelinya dari petani. Dalam hal ini petani tebu membeli tebu petani yang sudah ditebang dan diangkut oleh petani. Biaya tebang dan angkut ditanggung oleh petani. Risiko mengenai rendahnya rendemen atau kerusakan ditanggung oleh penempur karena penempur harus memasok tebu yang sesuai kontraknya antara penempur dengan pabrik gula. Informasi pasar yang dibutuhkan oleh penempur adalah informasi harga beli tebu, petani yang menjual tebu dan tidak memiliki kontrak serta kewajiban dengan pihak lain, harga jual tebu dan rendemen. 39 Penebas Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh penebas adalah fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi tataniaga tersebut terdapat pada saluran tataniaga tiga. a. Fungsi Pertukaran Penebas ini melakukan fungsi pertukaran berupa pembelian tebu dari petani. Dalam hal ini penebas membeli tebu petani yang tidak memiliki kontrak dan kewajiban dengan pihak manapun. Pedagang besar membeli tebu petani secara tunai di lahan tebu petani penjual. Setelah itu penebas menggiling tebu ke pabrik gula dan dilelang sehingga penebas pun menjalani fungsi penjualan. b. Fungsi Fisik Penebas mendatangi lahan tebu untuk membeli tebu milik petani. Kegiatan panen berupa tebang dan angkut pun dilakukan oleh buruh yang disewa oleh penebas. Seluruh biaya tebang dan angkut dibayarkan oleh penebas sehingga petani tidak mengeluarkan biaya. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar dapat dilihat dari jumlah pembeli dan penjual yang ada di dalam pasar, kondisi dan keadaan produk, kemudahan untuk keluar masuk pasar dan tingkat informasi pasar. Setiap lembaga tataniaga perlu mengetahui struktur pasar yang ada agar dapat bertindak efisien dalam tataniaga suatu produk. Berikut adalah analisis struktur pasar yang dihadapi oleh pelaku pasar dalam tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani mengarah kepada pasar oligopsoni. Hal ini dapat dilihat dari jumlah petani di kecamatan Trangkil yang banyak dan seluruh petani berperan sebagai penjual tebu. Petani hanya memiliki opsi menjual tebunya kepada beberapa lembaga yaitu pedagang perantara dan pabrik gula saja.Tidak semua petani menjual tebu dalam bentuk utuh, sebagaian besar petani menjual tebu dalam bentuk olahannya, yaitu gula melalui fungsi APTRI dalam proses lelang. Sifat produk yang diperdagangkan pun bersifat homogen, yaitu tebu. Terdapat hambatan untuk keluar dan masuk pasar karena petani terikat dengan penyedia modal. Usahatani tebu memerlukan modal yang besar, yaitu Rp 18 000 000 per hektar untuk tunas 1 dan Rp 10 000 000 per hektar tunas 2. Petani yang mendapatkan modal dari Pabrik Gula Trangkil harus menggilingkan tebunya ke Pabrik Gula Trangkil karena pembayaran kredit modal akan dipotong dari hasil penjualan gula milik petani, sehingga terdapat hambatan untuk keluar pasar. Harga gula yang merupakan hasil olahan tebu ditentukan oleh lelang yang dilakukan APTRI di Semarang, Jawa Tengah. Petani pun mendapatkan informasi yang lengkap dari Pabrik Gula Trangkil yang mencakup identitas petani, rendemen, kuintal gula, bagi hasil antara Pabrik Gula dan petani, kewajiban petani dari kredit modal, dan pendapatan petani. Struktur Pasar di Tingkat Kelompok Tani Struktur pasar yang dihadapi oleh kelompok tani mengarah kepada pasar monopsoni dikarenakan kelompok tani hanya menjual tebu ke pabrik gula Trangkil. Hal ini dikarenakan kelompok tani merupakan gabungan dari para 40 petani namun petani yang bergabung pada kelompok tani ini tidak memiliki kontrak sehingga difasilitasi oleh kelompok tani. Kelompok tani yang berada di kecamatan Trangkil banyak, hal ini dikarenakan untuk memperoleh ijin giling di pabrik gula, selain itu petani yang memiliki lahan yang kecil dan petani merasa lebih baik untuk bergabung karena akan mendapatkan kemudahan untuk pengurusan kredit modal, proses pelaksanaan usahatani, dan kegiatan pasca usahatani. Produk yang diperdagangkan homogen yaitu tebu. Terdapat hambatan keluar masuk pasar karena seluruh petani pada kelompok tani ini menggunakan kredit modal yang difasilitasi oleh Pabrik Gula Trangkil, sehingga kelompok tani ini tidak dapat keluar dari pasar karena terkait modal tersebut. Selain terikat karena modal, kelompok tani pun terkait pada wilayah lahan yang berdekatan sehingga petani tidak dapat keluar dari kelompok dan pasar. Informasi mengenai pasar didapatkan dari Pabrik Gula Trangkil saat pembayaran bagi hasil yang mencakup informasi yang sama dengan petani tebu. Struktur Pasar di Tingkat Penebas Struktur pasar yang dihadapi oleh penebas mendekati oligopsoni. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pemain yang sedikit di wilayah kecamatan Trangkil. Pedagang besar juga merupakan petani tebu sehingga penebas tentu memiliki kontrak dengan pabrik gula. Produk yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu tebu. Harga ditentukan melalui sistem tawar menawar antara penebas dengan petani. Hambatan masuk ke dalam pasar adalah sulitnya mendapatkan surat kontrak dengan pabrik gula. Hambatan ini tergolong kecil karena surat kontrak dapat diajukan kepada pabrik gula dengan mengikuti cara dan persyaratan yang berlaku. Hambatan keluar penebas harus menggilingkan tebu kepada pabrik gula sesuai kesepakatan dalam surat kontrak. Informasi yang didapatkan adalah informasi harga beli tebu, biaya pemanenan dan biaya pengangkutan, rendemen tebu dan permintaan tebu. Informasi biaya angkut dan tebang dibutuhkan karena penebas yang menanggung biaya tersebut. Struktur Pasar di Tingkat Penempur Struktur pasar yang dihadapi oleh penempur adalah pasar oligopsoni. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penempur yang sedikit. Produk yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu tebu. Harga ditentukan melalui sistem tawar menawar dengan petani. Hambatan untuk keluar masuk pasar termasuk kecil karena penempur merupakan petani tebu. Kontraktor tebu melakukan kegiatan pembelian tebu dikarenakan ingin memenuhi kebutuhan jumlah pasokan tebu sesuai kontrak antara penempur dengan pabrik gula. Hambatan masuk ke dalam pasar adalah sulitnya mendapatkan surat kontrak ijin giling dengan pabrik gula. Informasi yang didapatkan adalah informasi mengenai harga beli tebu, lokasi petani yang menjual tebu dan rendemen tebu. Pembayaran tebu dilakukan secara tunai. Informasi mengenai pasar didapatkan penempur dari pabrik gula dan sesama penempur. Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan pola atau tingkah laku lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar. Analisis perilaku pasar dapat dilihat dari praktek pembelian dan penjualan yang dilakukan lembaga tataniaga, 41 sistem penentuan harga dan pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Uraian dari perilaku pasar dalam tataniaga tebu di kecamatan Trangkil adalah. Praktek Pembelian dan Penjualan Petani tebu yang menjadi responden dalam penelitian ini menjual tebunya kepada penebas, penempur ,ke pabrik gula melalui kelompok tani dan menjual langsung ke pabrik gula secara langsung. Sistem penjualan yang dilakukan petani secara tunai dan menggunakan nota penjualan. Penjualan secara tunai dilakukan apabila petani menjual tebu kepada penebas dan penempur. Penjualan secara nota penjualan dilakukan apabila petani menjual hasil tebunya kepada pabrik gula melalui kelompok tani dan ke pabrik gula secara langsung. Biaya pemanenan berupa biaya angkut dan tebang ditanggung oleh petani jika petani menjual hasil tebunya kepada pabrik gula melalui kelompok tani , ke pabrik gula secara langsung , dan penempur. Apabila petani menjual hasil tebunya kepada penebas maka biaya tersebut akan ditanggung oleh penebas. Pedagang besar membeli tebu milik petani secara borongan dan membayarnya secara tunai. Proses pembelian penebas dikenal sebagai istilah tebasan. Pedagang besar umumnya merupakan petani tebu juga karena memiliki kontrak ijin giling dengan pabrik gula. Biaya pemanenan berupa biaya tebang dan angkut akan ditanggung oleh penebas. Pembelian dilakukan di kebun milik petani, penebas akan mendatangi petani yang akan siap panen. Komunikasi antara petani dan penebas dilakukan secara langsung. Selanjutnya penebas akan menjual tebu kepada pabrik gula, penjualan dilakukan dengan nota penjualan. Tebu yang telah digiling oleh pabrik gula akan diadakan bagi hasil dengan pabrik gula sesuai dengan rendemen yang dihasilkan oleh tebu milik penebas. Pedagang besar akan mendatangi langsung pabrik gula tempat penebas akan menggiling tebu miliknya. Petani tebu juga menjual tebu miliknya kepada penempur. Kontraktor tebu yang juga merupakan petani tebu memiliki kontrak ijin giling dengan pabrik gula. Kontraktor tebu melakukan pembelian tebu kepada petani tebu guna memenuhi jumlah pasokan tebu ke pabrik gula sesuai dengan kontraknya. Pada kegiatan pembelian ini petani ada kemungkinan rugi dikarenakan petani membeli hanya untuk memenuhi kontrak saja. Hal seperti ini dikenal dengan istilah tempuran. Biaya pemanenan berupa biaya tebang dan biaya angkut ditanggung oleh petani yang menjual. Pembelian tebu antara penempur dengan petani dilakukan secara tunai. Selanjutnya penempur akan menjual tebu yang sudah dibeli ke pabrik gula yang terikat kontrak dengan penempur. Tebu yang telah digiling oleh pabik gula akan diadakan bagi hasil dengan pabrik gula sesuai rendemen yang dihasilkan oleh tebu tersebut. Pabrik gula melakukan pembelian tebu milik petani melalui perantara kelompok tani. Kelompok tani memiliki anggota petani tebu , kelompok tani menyalurkan tebu milik petani kepada pabrik gula. Tebu milik petani digilingkan ke pabrik gula menggunakan nama kelompok tani yang telah memiliki surat kontrak dari pabrik gula. Biaya pemanenan berupa biaya angkut dan tebang ditanggung oleh petani. Sistem pembelian dilakukan dengan menggunakan nota penjualan, pembayaran akan diberikan melalui kelompok tani. Pabrik gula melakukan sistem bagi hasil dengan petani sesuai dengan rendemen yang dihasilkan tebu. Tebu yang telah digiling oleh pabrik gula akan dijual melalui sistem lelang yang akan diadakan pabrik gula dan investor. Proses penjualan gula 42 dilakukan pabrik gula dalam kurun 10 hari sekali selama periode giling. Sistem penjualan dilakukan oleh pabrik gula secara tunai. Penjualan tebu milik petani yang kontrak dengan pabrik gula dilakukan secara nota penjualan. Biaya pemanenan berupa biaya tebang dan angkut ditanggung oleh petani. Tebu selanjutnya akan diangkut ke pabrik gula untuk digiling. Tebu yang telah digiling oleh pabrik gula akan dijual melalui sistem lelang yang akan diadakan pabrik gula dan investor. Proses penjualan gula dilakukan pabrik gula dalam kurun waktu 10 hari sekali selama periode giling. Sistem penjualan dilakukan oleh pabrik gula secara tunai. Sistem Penentuan Harga dan Pembayaran Harga Sistem penentuan harga yang berlaku pada sistem tataniaga tebu di kecamatan Trangkil adalah tawar menawar antara pembeli dan penjual dan berdasarkan tawaran tertinggi dalam sistem lelang. Harga juga ditentukan dari pemerintah mengenai harga maksimal lelang gula. Bila harga telah tercapai maka proses pembelian dan penjualan akan dilakukan dan transaksi akan terjadi. Sistem penentuan harga di tingkat petani dengan penebas dan penempur dilakukan secara tawar menawar di antara penjual dan pembeli. Pedagang besar dan penempur membeli tebu dengan harga perkiraan dan menduga hasil tebu yang dihasilkan baik kuantitas maupun kualitas tebu yang dibeli. Dalam hal ini posisi tawar petani tinggi karena ikut andil dalam kegiatan tawar menawar. Namun petani tidak dapat sepenuhnya mempengaruhi harga jual tebu karena harga tebu dilihat berdasarkan ketetapan pemerintah terhadap harga gula. Jika harga yang ditetapkan rendah maka harga yang diterima petani juga rendah. Petani memiliki posisi tawar yang rendah karena bertindak sebagai penerima harga (price taker). Selain itu penentuan harga di tingkat penebas dan penempur ditentukan oleh musim pada saat panen. Jika saat panen tiba yang terjadi musim hujan maka harga tebu akan turun atau rendah. Hal ini dikarenakan musim hujan membuat kadar air yang terdapat dalam tebu akan tinggi sehingga akan menyebabkan turunnya rendemen tebu. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga tebu di kecamatan Trangkil dapat secara tunai dan nota penjualan. Sistem pembayaran dipengaruhi oleh perjanjian antara pembeli dan penjual. Sistem pembayaran secara tunai dilakukan antara petani dengan penebas dan penempur. Sistem pembayaran dengan nota penjualan dilakukan antara pabrik gula dengan petani, kelompok tani, penebas, dan penempur. Kerjasama Antara Lembaga Tataniaga Kerjasama antara lembaga-lembaga tataniaga yang ada pada tataniaga tebu di kecamatan Trangkil memungkinkan tataniaga tebu menjadi lebih lancar. Kerjasama antar lembaga tataniaga terjalin karena adanya proses pembelian dan penjualan. Kerjasama antara lembaga tataniaga saling membantu dan mendapatkan kepercayaan satu sama lain. Kerjasama antara petani dengan penebas dilakukan dalam kegiatan pembelian dan penjualan. Pedagang besar yang membeli tebu pada petani meringankan biaya petani karena biaya pemanenan berupa biaya tebang dan biaya angkut ditanggung oleh penebas. Petani merasa diuntungkan karena tidak menanggung biaya lagi. 43 Kerjasama antara petani dengan penempur adalah dalam hal pembelian dan penjualan tebu. Kontraktor tebu mendapatkan surat kontrak dari pabrik tebu dan diharuskan untuk menggilingkan tebu miliknya kepada pabrik gula tersebut. Jika penempur tersebut secara kontinu atau terus menerus dapat memenuhi kapasitas giling yang tertera dalam surat kontrak maka penempur akan mendapatkan surat kontrak lagi. Surat kontrak penempur akan bertambah dan ia harus memenuhi kapasitas giling yang disebutkan dalam surat kontrak. Kerjasama ini membuat penempur enggan untuk menjual tebu miliknya ke pabrik gula yang lain. Kerjasama antara petani dengan kelompok tani dilakukan dalam kegiatan mengirimkan tebu milik petani untuk digiling ke pabrik gula. Petani mendapatkan kemudahan dalam menggilingkan tebu di pabrik gula karena kelompok tani akan mengurus segala sesuatu hingga tebu milik petani telah dijual melalui sistem lelang yang diadakan oleh pabrik gula. Biaya pemanenan berupa biaya tebang dan angkut ditanggung oleh petani. Kerjasama kelompok tani dengan pabrik gula sama halnya dengan kerjasama antara penebas dan penempur dengan pabrik gula. Kelompok tani, penebas, dan penempur akan mendapatkan kepercayaan dari pabrik gula untuk menggilingkan tebu miliknya kepada pabrik gula tersebut. Hal demikian juga berlaku untuk petani pun akan mendapat kepercayaan untuk menggilingkan tebu miliknya di pabrik gula tersebut. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga. Margin sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat (Kohl dan Uhl, 2002). Marjin ataniaga yang dihitung dalam penelitian ini menggunakan prinsip kesetaraan. Semua satuan yang digunakan dalam perhitungan marjin tataniaga tebu ini adalah Rupiah per kuintal tebu. Rendemen yang digunakan dalam perhitungan penelitian ini adalah rendemen rataan dari petani sebesar 7.13. Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu kuintal tebu yang digiling dapat menghasilkan gula sebanyak 7.13% x 1 kuintal = 0.0713 atau 7.13 kilogram. Hasil sampingan yang didapatkan petani dari tebu yang digiling di pabrik gula adalah tetes dan gula natura. Tetes dihasilkan dari gilingan tebu di pabrik gula, dimana dalam satu kuintal tebu didapatkan 0.03 kuintal atau 3 kilogram tetes tebu. Natura yang diberikan kepada petani adalah sebanyak 10 persen dari gula keseluruhan milik petani yaitu 66 persen dari total gula yang dihasilkan dari tebu petani sedangkan 34 persen gula adalah milik Pabrik Gula Trangkil sebagai bagi hasil atas upah giling tebu. Gula natura milik petani sebagian besar diikutkan dalam lelang gula hasil gilingan tebu. Pada saluran tataniaga satu, petani mengeluarkan biaya tataniaga yang terdiri dari biaya pemanenan sebesar Rp 4 000/kuintal tebu dan biaya pengangkutan sebesar Rp 3 000/kuintal. Biaya pemanenan dan pengangkutan dilakukan masing-masing kelompok tani dengan membayar buruh secara borongan dan atas nama kelompok tani sehingga biayanya dapat lebih biaya iuran 44 APTRI sebesar Rp 15/kuintal tebu. Biaya pengemasan berupa karung untuk gula yang sudah digiling sebesar Rp 305.8 per kuintal tebu yang telah digiling. Biaya tataniaga tebu yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pada saluran tataniaga satu dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 1 (43 280 kuintal) Biaya Rata-rata (Rp/kuintal) Petani Biaya pemanenan Biaya pengangkutan Biaya iuran APTRI Biaya karung Jumlah Kelompok Tani Total Biaya Tataniaga 4 000 3 000 15 305.8 7 320.8 7 320.8 Sumber : Data Primer (Diolah) Pada saluran tataniaga kedua biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya pemanenan dan biaya pengangkutan dimana biaya pemanenan yang ditanggung oleh petani adalah sebesar Rp 5 500/kuintal tebu dengan biaya pengangkutan yaitu Rp 4 000/kuintal tebu. Sehingga total biaya tataniaga yang ditanggung oleh petani adalah sebesar Rp 9 500/kuintal tebu. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh penempur hanya sebatas biaya pengemasan yaitu untuk karung gula setelah tebu digiling sebesar Rp 305.8 serta biaya iuran APTRI yaitu sebesar Rp 15/kuintal tebu. Sehingga total biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh penempur adalah Rp 320.8/kuintal tebu Biaya tataniaga terbesar dikeluarkan oleh petani karena petani mengeluarkan biaya pemanenan dan biaya pengangkutan yang merupakan biaya terbesar dalam biaya tataniaga. Biaya tataniaga tebu yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pada saluran tataniaga kedua dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Biaya tataniaga tebu setiap lenbaga tataniaga pada saluran tataniaga 2 (11 200 kuintal) Biaya Petani Biaya pemanenan Biaya pengangkutan Jumlah Penempur Biaya pengemasan Biaya dan iuran APTRI Jumlah Total Biaya Tataniaga Sumber : Data Primer (Diolah) Rata-rata (Rp/kuintal) 5 500 4 000 9 500 305.8 15 320.8 9 820.8 45 Pada saluran tataniaga ketiga, petani tidak mengeluarkan biaya tataniaga karena biaya pemanenan dan pengangkutan yang biasanya ditanggung oleh petani menjadi tanggungan penebas yang membeli tebu milik petani. Petani pada saluran ketiga tidak mengeluarkan biaya tataniaga karena semua biaya tataniaga ditanggung oleh penebas. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh penebas adalah biaya pemanenan sebesar Rp 5 500/kuintal tebu, biaya pengangkutan sebesar Rp 5 000/kuintal tebu dan biaya pengemasan Rp 305.8/kuintal tebu untuk karung gula dari tebu yang digiling. serta biaya iuran APTRI sebesar Rp 15/kuintal tebu. Sehingga total biaya tataniaga yang ditanggung oleh penebas adalah Rp 10 820,8/kuintal tebu. Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran ketiga dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 3 (12 150 kuintal) Biaya Petani Jumlah Penebas Biaya pemanenan Biaya pengangkutan Biaya pengemasan Biaya iuran APTRI Jumlah Total Biaya Tataniaga Rata-rata (Rp/kuintal) 5 500 5 000 305.8 15 10 820.8 10 820.8 Sumber : Data Primer (Diolah) Pada saluran tataniaga keempat, biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya pemanenan dan biaya pengangkutan. Biaya pemanenan yang dikeluarkan petani adalah sebesar Rp 4 929/kuintal tebu, biaya pengangkutan sebesar Rp 4 071/kuintal tebu dan biaya iuran APTRI sebesar Rp 15/kuintal tebu. Selain itu, petani juga mngeluarkan biaya berupa pengemasan untuk karung gula dari tebu yang telah digiling sebesar Rp 9 320.8/kuintal tebu. Biaya tataniaga tebu setiap lembaga pada saluran 4 dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 4 (439 250 kuintal) Biaya Petani Biaya pemanenan Biaya pengangkutan Biaya iuran APTRI Biaya pengemasan Jumlah Total Biaya Tataniaga Sumber : Data Primer (Diolah) Rata-rata (Rp/kuintal) 4 929 4 071 15 305.8 9 320.8 9 320.8 46 Saluran tataniaga ketiga yang mengeluarkan biaya tataniaga terbesar yaitu Rp 10 820.8/kuintal tebu. Marjin di setiap saluran tataniaga berbeda-beda karena perbedaan biaya tataniaga. Hal ini juga akan mengakibatkan perbedaan harga jual di setiap lembaga tataniaga. Nilai marjin tataniaga yang kecil menunjukkan bahwa saluran tataniaga tersebut efisien karena perbedaan harga jual di tingkat petani dan harga beli di tingkat lembaga tataniaga terakhir kecil hal ini akan menguntungkan petani. Perbedaan biaya tataniaga masing-masing saluran berbeda dikarenakan oleh lokasi lahan petani dan saluran 1 lebih menguntungkan petani. Hal tersebut dikarenakan biaya pemanenan dan pengangkutan dibayar secara kolektif oleh kelompok tani sehingga lebih murah biaya tataniaga yang dibayarkan oleh petani. 47 Tabel 21 Marjin tataniaga dari saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil tahun 2012 Saluran Tataniaga % 3 Nilai (Rp/kw) % Nilai (Rp/kw) 19 500 72.1 27 719.2 69.5 23 578.3 100.0 9 500 23.6 0.0 0.0 9 320.8 28.3 29 000 72.1 320.8 0.8 Keuntungan 10 896.1 27.1 Harga jual 40 216.9 100.0 Marjin Pedagang Besar 11 216.9 27.9 Harga beli 27 719.2 69.5 Biaya tataniaga 10 280.8 25.8 Uraian 1 Nilai (Rp/kw) % 25 578.3 100.0 7 320.8 22.3 32 899.1 100.0 2 Nilai (Rp/kw) 4 % Petani Harga jual Biaya tataniaga Kelompok tani Harga dasar Keuntungan Harga jual 0.0 0.0 32 899.1 100.0 Marjin Kontraktor Tebu Harga beli Biaya tataniaga Keuntungan 1 896.1 4.8 Harga jual 39 896.1 100.0 Marjin Total biaya tataniaga Total Keuntungan 12 176.9 30.5 10 280.8 25.8 9 320.8 28.3 Total margin 7 320.8 22.3 9 820.8 24.4 0.0 0.0 1 396.1 3.5 1 896.1 4.8 0.0 0.0 0.0 0.0 11 216.9 27.9 12 176.9 30.5 0.0 0.0 Nilai marjin tataniaga yang besar menunjukkan bahwa saluran tataniaga tersebut tidak efisien karena perbedaan harga jual di tingkat petani dan harga beli di tingkat lembaga tataniaga terakhir besar hal ini akan merugikan petani. Rincian mengenai marjin tataniaga dan keuntungan yang diterima oleh setiap lembaga tataniaga dapat dilihat dari Tabel 21. Farmer’s share Farmer’s share adalah selisih antara harga retail dan marjin tataniaga. Hal ini digunakan untuk mengetahui porsi harga di tingkat konsumen yang dinikmati oleh petani. Melalui farmer’s share dapat diketahui efisien atau tidaknya sebuah saluran tataniaga. Nilai farmer’s share yang besar berarti porsi atau bagian yang dinikmati petani besar dan saluran tataniaga tersebut efisien. Nilai farmer’s share 48 yang kecil berarti porsi atau bagian yang dinikmati oleh petani kecil dan saluran tataniaga tersebut tidak efisien. Analisis farmer’s share dari tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Analisis farmer's share pada saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil tahun 2012 Saluran Tataniaga I II III IV Harga di Tingkat Petani Harga di Tingkat Konsumen (Rp/kuintal) (Rp/kuintal) 25 578.3 32 899.1 19 500 40 216.9 27 719.2 39 896.1 23 578.3 32 899.1 Farmer’s share (%) 77.74 48.49 69.48 71.66 Farmer’s share tertinggi pada saluran satu yaitu sebesar 77.74 persen dengan volume sebanyak 43.280 kuintal tebu. Pada saluran satu petani menerima farmer’s share karena kelompok tani tidak mengambil keuntungan dalam tataniaga tebu. Kelompok tani hanya membantu petani anggota menyalurkan tebu mereka karena tidak mempunyai surat kontrak dengan pabrik gula. Biaya tataniaga pada saluran 1 lebih murah dikarenakan biaya pemanenan dan pengangkutan dilakukan dengan kolektif antara petani anggota kelompok tani. Saluran empat memiliki farmer’s share sebesar 71.66 persen, hal ini diperoleh karena petani langsung menggiling tebu ke pabrik gula sehingga memperoleh keuntungan. Saluran empat memiliki volume sebesar 43.9250 kuintal tebu. Rasio Keuntungan terhadap Biaya Rasio keuntungan terhadap biaya dapat digunakan untuk melihat efisiensi suatu sistem tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya lebih dari satu menunjukkan bahwa saluran tersebut layak untuk dijalankan dan telah memberikan keuntungan kepada lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya. Analisis rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil dapat dilihat pada Tabel 23. 49 Tabel 23 Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil Saluran Tataniaga Saluran I Petani Kelompok tani Total Saluran II Petani Penempur Total Saluran III Petani Penebas Total Saluran IV Petani Total Keuntungan Tataniaga (Rp/kuintal) Biaya Tataniaga (Rp/kuintal) Rasio Keuntungan Terhadap Biaya 25 578.3 0 25 578.3 7 320.8 0 7 320.8 3.49 0.00 3.49 19 500 10 896.1 30 396.1 9 500 320.8 9 820.8 2.05 33.97 3.10 27 719.2 1 896.1 29 615.3 0 10 280.8 10 280.8 0.00 0.18 2.88 23 578.3 23 578.3 9 320.8 9 320.8 2.53 2.53 Berdasarkan Tabel 23 pada setiap saluran tataniaga memiliki rasio keuntungan terhadap biaya yang bernilai positif dan ada yang lebih dari satu. Hal ini berarti kegiatan tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga masing-masing memberikan keuntungan. Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran satu adalah 3.49. Hal ini berarti setiap Rp 1/kuintal tebu akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 3.49/kuintal tebu. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran kedua adalah 3.10. Hal ini berarti setiap Rp 1 kuintal/tebu akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 3.10/kuintal tebu. Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran tiga adalah 2.88. Hal ini berarti setiap Rp 1/kuintal tebu akan menguntungkan Rp 2.88/ kuintal tebu. Sedangkan pada saluran keempat memiliki rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 2.53. Hal ini berarti Rp 1/kuintal tebu menghasilkan keuntungan sebesar Rp 2.53/kuintal tebu. Berdasarkan perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya maka saluran satu yang relatif lebih efisien karena memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya paling besar. Rasio keuntungan terhadap biaya dalam saluran satu adalah melalui kelompok tani. Biaya pada kelompok tani relatif lebih murah karena biaya yang dikeluarkan secara kolektif seperti penyewaan buruh tebang dan angkut. 50 Efisiensi Saluran Tataniaga Tujuan akhir yang ingin dicapai dari sistem tataniaga adalah saluran yang efisien. Efisiensi tataniaga dapat dilihat berdasarkan efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional meliputi efisiensi pengolahan, pengemasan, pengangkutan, dan fungsi lain dari sistem tataniaga. Efisiensi harga meliputi kegiatan pembelian, penjualan, dan aspek harga. Analisis yang digunakan untuk mengetahui efisiensi operasional adalah analisis marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Berdasarkan analisis marjin tataniaga pada saluran tataniaga tebu yang paling efisien adalah saluran tataniaga satu dan empat sebesar 0 persen. Saluran tataniaga satu dan empat memiliki volume penyaluran tebu sebesar 43 280 kuintal dan 439 280 kuintal. Analisis farmer’s share menunjukkan bahwa saluran tataniaga satu dan empat yang paling efisien yaitu sebesar 100 persen. Sedangkan analisis rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan bahwa saluran satu telah memberikan keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 3.49. Nilai rasio tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1/kuintal tebu akan memberikan keuntungan sebesar Rp 3.49/kuintal tebu. Hal diatas disebabkan oleh kelompok tani tidak mengambil keuntungan dari petani dalam menggilingkan tebunya. Selain itu biaya petani relatif lebih murah dikarenakan petani membayar biaya untuk menyewa buruh tebang dan angkut secara kolektif. Kelompok tani yang menjadi perantara petani dengan pabrik gula. Kelompok tani yang repot mengurus tebu milik petani di pabrik gula. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari analisis tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah adalah sebagai berikut : 1. Saluran tataniaga yang terbentuk di Kecamatan Trangkil ada empat saluran yaitu: saluran tataniaga 1) Petani- Kelompok Tani- Pabrik Gula 2) PetaniKontraktor Tebu- Pabrik Gula 3) Petani-Pedagang Besar- Pabrik Gula 4) Petani- Pabrik Gula. 2. Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga adalah fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa pengangkutan, pengemasan, dan pemanenan , fungsi fasilitas berupa penanggungan risiko, pengolahan dan informasi pasar. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani mengarah ke pasar persaingan sempurna. Pasar yang dihadapi oleh kelompok tani mengarah ke pasar persaingan sempurna. Struktur pasar yang dihadapi oleh penempur dan penebas adalah pasar oligopoli. Perilaku pasar dapat diamati dari praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. 3. Berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan saluran tataniaga satu yang paling efisien. Hal ini dapat dilihat dari marjin tataniaga yang terendah, farmer’s share yang 51 tertinggi dan saluran tataniaga ini memberikan keuntungan terhadap biaya yang tinggi. Saran 1. 2. 3. 4. Petani lebih mempertimbangkan nilai marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya dalam memilih saluran tataniaga. Diharapkan petani tidak lagi memilih berdasarkan kebutuhan petani tetapi berdasarkan saluran tataniaga yang menuntungkan bagi petani. Kelompok Tani lebih diperkuat agar membantu para petani tebu dalam budidaya maupun menjual hasil tebu mereka karena berdasarkan penelitian ini penjualan melalui kelompok tani menguntungkan petani. Pabrik gula dapat lebih mempermudah pengurusan surat kontrak yang digunakan petani untuk menggilingkan tebu ke pabrik gula sehingga lebih banyak lagi petani yang memiliki surat kontrak dan tidak perlu menjual tebu mereka ke penebas dan penempur. Perluasan informasi diperlukan petani untuk mengetahui budidaya yang baik, perhitungan rendemen dan harga yang berlaku setiap masa panen. DAFTAR PUSTAKA Ahira A. 2011. Khasiat Tebu. http://www.anneahira.com/tanaman-obat/tebu.html [23 Maret 2013]. Asmarantaka RW. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Jakarta (ID): Safa Printing. [BKP] Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian. 2013. Jumlah Permintaan Pangan Tahun 2008-2012. Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistika Republik Indonesia. 2013. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2008-2012. Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistika. 2013. Perkembangan Produksi Pangan Strategis Tahun 2008-2012. Jakarta (ID). [DITJENBUN] Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Komoditas Tanaman Tebu. Jakarta (ID). [DITJENBUN] Direktorat Jendral Perkebunan. 2013. Konsumsi Gula Masyarakat Indonesia. Jakarta (ID). [DGI] Dewan Gula Indonesia. 2013. Produksi Tebu di Indonesia. Jakarta (ID). [KEMENTAN] Kementrian Pertanian. 2013. Perkembangan Produksi Gula Tahun 2008-2012. Jakarta (ID). Kohls RL, Uhl JN. 2002. Marketing of Agricultural Products. London (ID): New York an Coller Macmillan Publishing. Kotler P. 2002. Manajemen Pemasaran Edisi Kesepuluh. Jakarta (ID): PT. Prenhalindo. Limbong WH, Sitorus P. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Program Studi Manajer Koperasi Unit Desa (KUD). Bogor (ID): Fakultas Politeknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 52 Limbong WH, Sitorus P. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Pertanian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahim A, Hastuti D. 2008. Ekonometrika Pertanian. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Rimbawan AA. 2012. Analisis Sistem Tataniaga Tebu Wilayah Kerja Pabrik Gula Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): IPB. Soetrisniati AP. 2011. Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur) [skripsi]. Bogor (ID): IPB. Sudiyono A. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang. Sutardja E. 2008. Budidaya Tanaman Tebu. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Tomek WG, Robinson KL. 1990. Agricultural Product Prices. New York (ID): Cornell University Press. 53 LAMPIRAN Lampiran 1 Data petani responden berkaitan dengan alamat, usia, pendidikan, luas lahan, produktivitas, produksi tebu, status kepemilikan lahan dan rendemen tebu yang dihasilkan. Luas Lahan (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi Tebu 125 900 112 500 127.5 900 114 750 SMA 6 900 5 400 55 SD 5 900 4 500 Trangkil 53 SD 13 1 000 13 000 Telogowungu 53 SMA 25 900 22 500 7 Puji Waluyo Abdul Karim Pasucen 50 SD 10 1 000 10 000 8 Anim K Pasucen 45 SMA 35 900 31 500 9 Trangkil 75 SD 15 900 13 500 Trangkil 34 Sarjana 139 900 125 100 11 Nasiban Lucky Setiadi Ikhwan Rosadi Pasucen 47 SLTA 23 1 000 23 000 12 Raban Pasucen 65 SD 0.8 900 720 milik sendiri 7.1 13 Pasucen 46 SMP 1 900 900 milik sendiri 7.1 14 Mursali Ahmad Yasir Pasucen 37 SMA 1.5 1 000 1 500 milik sendiri 7.2 15 Kasir Pasucen 33 SD 2 900 1 800 milik sendiri 7.1 16 Sutar Pasucen 45 SD 1.5 900 1 350 milik sendiri 7 17 Pasucen 37 SMA 1.2 900 1 080 milik sendiri 7.1 18 Ariful Huda Ali Mustaqin Pasucen 40 SMA 1 900 900 milik sendiri 7 19 Wanto Pasucen 50 SMP 2 900 1 800 milik sendiri 7.1 20 Jumi Pasucen 48 SD 1.2 900 1 080 milik sendiri 7.2 21 Supami Pasucen 51 SD 2 900 1 800 7.2 22 Syaibi ketanen 68 SD 3 700 2 100 milik sendiri milik sendiri dan menyewa 23 Pawi ketanen 60 SD 1.5 700 1 050 milik sendiri 7.4 24 Yanti ketanen 63 SD 2 700 1 400 milik sendiri 7.2 25 Retno ketanen 35 SMA 2 800 1 600 milik sendiri 7.4 26 Edi ketanen 45 SD 1.5 800 1 200 milik sendiri 7.4 27 Sarwi Kajar 40 SMP 3.5 900 3 150 milik sendiri 7.1 28 Wandi Jambean 50 SMP 4 900 3 600 milik sendiri 7 29 Priyatno Mojoagung 50 SMA 5 900 4 500 milik sendiri 7.2 30 Parimin Kajar 45 SD 1 900 900 milik sendiri 7.1 31 Priyono Trangkil 48 SMP 5 900 4 500 milik sendiri 7 32 Suyadi Mojoagung 53 SD 3 900 2 700 milik sendiri 7 33 Bowo Trangkil 52 SD 5 800 4 000 milik sendiri 7.2 No Nama Alamat 1 Suprijatno Trangkil 55 SMA 2 Suharno Wedarajaksa 48 Sarjana 3 Tuminah Trangkil 46 4 Ngasri Trangkil 5 Sutowo 6 10 Usia Pendidikan Status milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa milik sendiri dan menyewa Rendemen 7 7.1 7 7.2 7 7.5 7.5 7.3 7.1 7.2 7.2 7.4 54 Lampiran 2 Nilai farmer's share pada setiap saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil Harga di Harga di Tingkat Saluran Tingkat Petani Konsumen Tataniaga (Rp/kuintal) (Rp/kuintal) Farmer's Share (%) 32 899.1 32 899.1 100 I 29 000 40 216.9 72.11 II 27 719.2 39 896.1 69.48 III 32 899.1 32 899.1 100 IV Lampiran 3 Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil Saluran Tataniaga Saluran I Petani Kelompok tani Total Saluran II Petani Kontraktor tebu Total Saluran III Petani Pedagang besar Total Saluran IV Petani Total Keuntungan Tataniaga (Rp/kuintal) Biaya Tataniaga (Rp/kuintal) Rasio Keuntungan Terhadap Biaya 25 578.3 0 25 578.3 7 320.8 0 7 320.8 3.49 0.00 3.49 19 500 10 896.1 30 396.1 9 500 320.8 9 820.8 2.05 33.97 3.10 27 719.2 1 896.1 29 615.3 0 10 280.8 10 280.8 0.00 0.18 2.88 23 578.3 23 578.3 9 320.8 9 320.8 2.53 2.53 55 Lampiran 4 Kuesioner penelitian Kuisioner untuk Petani Tebu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Nama : ................................................................................................................ Jenis Kelamin : perempuan / laki-laki Umur : .... tahun Alamat Rumah : ................................................................................................. Status : menikah / belum menikah Pendidikan Terakhir: .......................................................................................... Status lahan : a. Milik Sendiri b. Menyewa c. lainnya .................................... Luas lahan : ........................................................................................................ Berapa lama Anda melakukan kegiatan usahatani tebu ..................................... Alasan menjadi petani tebu ................................................................................ Apakah usahatani tebu menjadi pekerjaan utama Anda? Ya / Tidak Pola bertani : a. monokultur b. tumpang sari dengan ........................................ Apakah Anda tergabung ke dalam kelompok tani? Ya / Tidak. Jika ya, sebutkan ................................................................................................ 14. Jumlah produksi/panen ...................................................................................... 15. Jumlah panen dalam setahun ............................................................................. 16. Apakah kegiatan pemanenan dilakukan sendiri? Ya / Tidak Jika ya, siapa yang melakukan pemanenan ........................................................ Biaya yang dikeluarkan untuk pemanenan ........................................................ 17. Apakah Anda melakukan pengelompokan tebu yang sudah di panen? Ya / Tidak 18. Hasil pengelompokan tebu yang kurang baik untuk apa? .................................. 19. Apakah Anda melakukan penyimpanan tebu sebelum di jual? Ya / Tidak 20. Apakah jika harga tebu di pasar turun, Anda tetap melakukan budidaya tebu? Ya / Tidak. Jika ya, sebutkan alasannya ............................................................ 21. Harga tebu per kuintal yang Anda terima .......................................................... 22. Kemana biasanya Anda menjual hasil panen? ................................................... Lembaga Tataniaga Kuantitas (kuintal) Harga (Rp/kuintal) 23. 24. 25. 26. 27. 28. Rendemen yang dihasilkan ........................................................................... Bagaimana teknik menjualnya? Kontrak / Langganan / Langsung / Lainnya Bagaimana teknik pembayarannya? Tunai / Kredit /Lainnya Siapa yang menentukan harga jual? Bagaimana cara menentukan harga jual? Apakah lembaga pemasaran memiliki standar khusus mengenai tebu yang dipanen? Ya / Tidak 29. Apakah Anda melakukan kerjasama atau kontrak dengan lembaga pemasaran tertentu? Ya / Tidak Jika ya, apa alasan Anda melakukan kerjasama? 30. Apakah Anda mendapatkan informasi tentang pasar tebu? Ya / Tidak 56 31. Darimana Anda mendapatkan informasi tersebut? ....................................... 32. Berapa jumlah biaya pemasaran yng dikeluaran setiap panen: Biaya pemanenan : Rp .................................................................................. Biaya pengangkutan : Rp ............................................................................. Biaya penyimpanan : Rp .............................................................................. Biaya penyusutan : Rp .................................................................................. Biaya bongkar muat : Rp .............................................................................. Biaya sortir : Rp ........................................................................................... Retribusi : Rp ................................................................................................ Lainnya : Rp ................................................................................................. 33. Apakah ada kesulitan dalam menjual tebu? Ya / Tidak 34. Sumber modal : (modal sendiri / dapat bantuan / dapat pinjaman) 35. Besarnya modal : Rp .................................................................................... 36. Jika dapat bantuan dalam bentuk .................................................................. Jangka waktu ................................................................................................ 37. Apakah ada keterkaitan dengan pemilik modal? Ya / Tidak Jika ya, apakah hasil panen harus dijual ke lembaga tersebut 69 Kuisioner untuk Lembaga Pemasaran 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Nama : ........................................................................................................... Jenis Kelamin : perempuan / laki-laki Umur : ..... tahun Alamat Rumah : ............................................................................................ Status : menikah / belum menikah Pendidikan Terakhir : .................................................................................... Klasifikasi lembaga pemasaran: .................................................................... Nama lembaga : ............................................................................................ Bentuk lembaga : a. Perorangan b. Firma /CV c. koperasi d. Lainnya, sebutkan ..................................................................................... Apakah menjadi salah satu lembaga pemasaran merupakan pekerjaan utama Anda? Ya / Tidak Apakah Anda melakukan kerjasama? Ya / Tidak Apakah Anda menetapkan standar / pengelompokan dari tebu yang Anda beli? Ya / Tidak Apakah ada perbedaan harga berdasarkan perbedaan mutu? Ya / Tidak Standar mutu apa yang Anda terapkan? ........................................................ Apakah Anda selalu membeli dari orang tersebut? Ya / Tidak Jika tidak, pada siapa Anda membeli? .......................................................... Apa alasan Anda membeli tebu dari orang tersebut? .................................... Dimana tempat Anda membeli tebu tersebut? .............................................. Berapa frekuensi Anda dalam melakukan pembelian tebu? ......................... Berapa banyak tebu yang Anda beli setiap panennya? ................................. Berapa harga pembelian tebu per kuintalnya? Rp ........................................ Bagaimana sistem pembelian tebu? a. Bebas b.Borongan c. kontrak d. Lainnya, sebutkan .................................... Bagaimana cara pembayarannya? a. Tunai b. Dibayar dimuka c. dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan ................................................ Bagaimana cara penentuan harga? a. petani b. Tawar-menawar c. pedagang d. Lainnya, sebutkan .................................................... Bagaimana penyerahan barang? a. di tempat penjual b. Di tempat pembeli Bagaimana mendapatkan informasi harga? .................................................. Apakah anda melakukan kegiatan penyimpanan? Ya / Tidak Jika ya, jumlah yang disimpan .......................................................... kuintal Lama penyimpanan ........................................................................... kuintal Cara penyimpanan ........................................................................................ Lokasi penyimpanan ..................................................................................... Alasan penyimpanan ......................................................................... Besarnya biaya yang dikeluarkan : a. Biaya pengangkutan : Rp .......................................................................... 70 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. b. Biaya tenaga kerja : Rp ............................................................................ c. Biaya penyimpanan : Rp ........................................................................... d. Biaya penyusutan : Rp .............................................................................. e. Biaya bongkar muat : Rp .......................................................................... f. Biaya sortir : Rp ........................................................................................ g. Retribusi : Rp ............................................................................................ h. Lainnya : Rp ............................................................................................. Apakah Anda menanggung semua risiko dari kegiatan pembelian? Ya / Tidak Apakah Anda melakukan pengelompokkan / standar mutu pada saat menjual tebu? Ya / Tidak Apakah ada perbedaan harga berdasarkan perbedaan mutu? Ya / Tidak Standar mutu apa yang Anda terapkan? ....................................................... Kemana biasanya Anda melakukan kegiatan penjualan? ............................. Bagaimana cara pembayarannya? a. Tunai b. Dibayar dimuka b. dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan .................................................... Bagaimana cara penentuan harga? a. anda b. Tawar-menawar c. pedagang d. Lainnya, sebutkan .................................................... Berapa banyak tebu yang Anda jual? ................................................ kuintal Berapa harga jual tebu per kuintal? Rp ........................................................ Adakah hambatan yang Anda alami dalam menjual tebu saat ini? Ya /Tidak Alasan: .......................................................................................................... Manakah pernyataan yang sesuai dengan keadaan saat ini? a. Pembeli sedikit, penjual banyak b. Kualitas tebu kurang bagus c. Biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi Bagaimana Anda mendapat informasi mengenai jumlah, waktu, mutu tebu yang akan dijual? .......................................................................................... 71 Lampiran 5 Dokumentasi penelitian Pabrik Gula Trangkil Tebu petani PG Trangkil Proses pengangkutan tebu hasil petani ke PG Trangkil Petani PG Trangkil 72 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1991 dari ayah Osner Silalahi dan ibu Dorima Sihombing. Kedua orangtua penulis mempunyai anak Evaries Loria Silalahi, Ridho Gerson Parlindungan Silalahi , Dwi Putri Efesia Silalahi dan Amsetyo Nugroho Putro Silalahi. Penulis adalah putra keempat dari empat bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 44 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis tercatat sebagai pegurus Satuan Pelajar dan Mahasiswa Pemuda Pancasila (SAPMA PP) komisariat IPB periode 2010-2011 sebagai ketua bidang sosial , budaya dan agama. Penulis juga memperoleh beasiswa prestasi dari Bank Indonesia periode 2010-2011.