Uploaded by Fatur Suryo Pratama

Analisis Tata Niaga Tebu Putro

advertisement
ANALISIS TATANIAGA TEBU
(Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)
AMSETYO NUGROHO PUTRO
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis
Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Amsetyo Nugroho Putro
NIM H34090064
ABSTRAK
AMSETYO NUGROHO PUTRO. Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus:
Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah). Dibimbing oleh
RATNA WINANDI.
Tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula. Tebu
petani dapat dijual kepada pabrik gula untuk memenuhi permintaan pasar
akan gula. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi saluran, fungsi,
lembaga, dan struktur pasar pada sistem tataniaga tebu, serta menganalisis
efisiensi operasional tataniaga tebu dengan pendekatan marjin tataniaga,
farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengamatan dan
wawancara dilakukan kepada petani di Kecamatan Trangkil dengan metode
purposive sampling, sedangkan metode mengikuti alur komoditi dilakukan
kepada lembaga tataniaga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4
saluran tataniaga dengan lembaga, fungsi, dan struktur pasar yang berbeda
pada setiap salurannya. Berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share, dan
rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan saluran tataniaga satu
merupakan saluran yang paling efisien.
Kata kunci: Efisien, efisiensi, farmer’s share, Kecamatan Trangkil,
tataniaga tebu
ABSTRACT
AMSETYO NUGROHO PUTRO. Sugarcane Commerce Analysis (Case
Study: Trangkil district, Pati regency, Central Java). Guided by RATNA
WINANDI.
Sugarcane can be used as raw material for the manufacture sugar.
Cane farmers crops can be sold to sugar factories to meet the market
demand for sugar. Therefore, research is needed to find out about business
administration cane sugar in a comprehensive overview of business
administration. The purpose of this study is to identify the channel, function,
organization, and structure of the market in sugar cane business
administration systems, and analyze operational efficiency with a cane
trading system trading system margin approach, the farmer's share, and the
ratio of benefits to costs. Observations and interviews were conducted to
farmers in Sub Trangkil with purposive sampling method, while the method
of follow the flow of commodity is done to institutions trading system. The
results showed that there is a 4 channel trading system with institutions,
functions, and different market structures on each channel. Under margin
trading system, the farmer's share, and the ratio of benefits to costs shows
one channel trading system is the most efficient channels.
Keywords: efficiency, efficient, farmer’s share, Trangkil district, sugarcane
marketing
ANALISIS TATANIAGA TEBU
(Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)
AMSETYO NUGROHO PUTRO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Tebu (Studi kasus: Kecamatan Trangkil,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah)
Nama
: Amsetyo Nugroho Putro
NIM
: H34090064
Disetujui oleh
Dr Ir Ratna Winandi, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : _-\!:.l_~:: : - .:: ::miaga Tebu (Studi kasus: Kecamatan Trangkil,
Kab..:.. .:.'eE P Ii, Jawa Tengah)
: .-\111 ­ ,. ·0 . ' groho Putro
Nama
: H ' ' l~ - J6-l
NIM
Disetujui oleh
Dr Ir Ratna Winandi, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
1 0 FEB 2014
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten
Pati, Jawa Tengah)”. Penulisan skipsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga tebu
yang tercipta di Kecamatan Trangkil, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga
tebu, struktur pasar, perilaku pasar yang terjadi, dan menganalisis saluran
mana yang lebih efisien berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan
rasio keuntungan terhadap biaya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku
dosen pembimbing yang memberikan bimbingan selama penulisan skripsi
dan penelitian berlangsung. Selain itu penulis berterima kasih kepada
kepada kedua orangtua Osner Silalahi dan Dorima Sihombing karena telah
memberikan dukungan dan doa kepada penulis selama proses penulisan.
Terima kasih kepada sanak saudara Ir Walter Silalahi , Merry Sirait, Eva
Silalahi, Ridho Silalahi, Dwi Silalahi, Yogiman Sitanggang dan seluruh
sanak saudara yang turut serta membantu dan mendukung penulis. Tak lupa
juga penulis berterima kasih kepada sahabat dan kerabat Tyas Widyastini,
Zakky Raihan, Manaor Bismar, Mega Pratiwi, Winda Anggraini, Aditya
Maulana , Bobby Nasution, Raymond, Handi, Tommy, Taufik Arifin, dan
seluruh kerabat yang turut membantu dam proses penulisan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih
belum sempurna. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini
bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
Bogor, Februari 2014
Amsetyo Nugroho Putro
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
6
Tujuan Penelitian
8
Manfaat Penelitian
8
Ruang Lingkup Penelitian
8
TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN
9
15
Kerangka Pemikiran Teoritis
15
Kerangka Pemikiran Operasional
22
METODE PENELITIAN
25
Lokasi dan Waktu Penelitian
25
Jenis dan Sumber Data
25
Metode Pengumpulan Data
25
Metode Pengolahan Data
26
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
28
KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
33
Sistem Tataniaga
33
Saluran Tataniaga
33
Analisis Fungsi Tataniaga
36
Analisis Struktur Pasar
39
Analisis Perilaku Pasar
40
Analisis Marjin Tataniaga
43
Farmer’s share
47
Rasio Keuntungan terhadap Biaya
48
Efisiensi Saluran Tataniaga
50
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
50
50
Saran
51
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
13
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Jumlah penduduk dan permintaan pangan tahun 2008-2012
Perkembangan produksi pangan strategis tahun 2008-2012
(juta ton)
Perkembangan produksi gula tahun 2008-2012
Data harga gula di tingkat petani dan pabrik gula serta marjin
tataniaga tahun 2012
Produksi tebu di sentra penghasil tebu terbesar (ton)
Produksi tebu di sentra produksi tebu di Jawa Tengah tahn
2011
Harga tebu di tingkat petani dan di tingkat penjual serta marjin
tataniaga tebu tahun 2008-2012 di Jawa Tengah
Varietas dan karakteristik tebu yang terdapat di Indonesia
Perbandingan struktur pasar
Sebaran jumlah penduduk di kecamatan Trangkil berdasarkan
mata pencaharian tahun 2012
Jumlah produksi tebu per kecamatan di kabupaten Pati tahun
2012
Sebaran petani responden berdasarkan usia di kecamatan
Trangkil tahun 2013
Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan
terakhir di kecamatan Trangkil tahun 2013
Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan di kecamatan
Trangkil tahun 2013
Sebaran petani responden berdasarkan status kepemilikan
lahan di kecamatan Trangkil tahun 2013
Fungsi dan aktivitas dari petani dan setiap lembaga tataniaga
tebu di kecamatan Trangkil
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 1
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 2
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 3
Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
tataniaga 4
Marjin tataniaga dari saluran tataniaga tebu di kecamatan
Trangkil tahun 2012
Analisis farmer's share pada saluran tataniaga tebu di
kecamatan Trangkil pada tahun 2012
Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran tataniaga tebu
di kecamatan Trangkil
1
2
3
3
6
6
7
11
19
29
30
31
31
32
32
37
43
44
44
45
46
48
49
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Kurva marjin tataniaga
Kerangka pemikiran operasional sistem tataniaga tebu
Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah
Sistem tataniaga tebu di kecamatan Trangkil tahun 2012
21
24
36
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Data petani responden berkaitan dengan alamat, usia,
pendidikan, luas lahan, produktivitas, produksi tebu, status
kepemilikan lahan dan rendemen tebu yang dihasilkan
Nilai farmer’s share pada setiap saluran tataniaga tebu di
kecamatan Trangkil
Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap
saluran tataniaga tebu di kecamatan Trangkil
Kuesioner penelitian
Dokumentasi penelitian
52
54
54
55
71
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 244 juta jiwa lebih
hingga tahun 2012 memicu bertambahnya permintaan pangan baik dalam jumlah,
mutu, dan keragamannya. Pertambahan jumlah penduduk tersebut tidak diimbangi
dengan pertumbuhan kapasitas produksi pangan domestik yang mengalami
hambatan adanya kompetisi pemanfaatan lahan, dukungan infrastruktur pangan
yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai, serta iklim usaha yang
kurang kondusif. Kapasitas produksi yang tidak dapat memenuhi peningkatan
permintaan kebutuhan pangan bisa mengakibatkan terjadinya impor pangan.
Kebijakan impor pangan yang meningkat menyebabkan stabilitas ketersediaan
pangan menjadi rentan karena bergantung pada kebijakan ekonomi negara lain.
Tabel 1 Jumlah penduduk dan permintaan pangan tahun 2008-2012
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Beras
(ton)
2008
230 913 149
2009
2010
Daging
Sapi
(ton)
Jagung
(ton)
Kedelai
(ton)
24 220 688 020
8 900 000
2 291 000
2 440 568
281 000
234 913 149
24 011 553 560
8 800 000
2 349 000
2 522 647
314 000
237 641 326
23 941 246 680
9 800 000
2 407 000
2 606 619
353 000
2011
241 182 182
24 809 470 452
10 300 000
2 466 000
2 782 058
357 000
2012
244 775 796
25 032 241 554
10 700 000
2 525 000
2 873 613
326 000
Tahun
Gula (ton)
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Badan Ketahanan Pangan, 2013 (Diolah)
Pada tabel 1 diketahui bahwa jumlah permintaan gula merupakan salah satu
komoditi yang terus mengalami peningkatan di Indonesia. Peningkatan kebutuhan
akan gula di Indonesia membuat pemerintah Indonesia menjadikan gula sebagai
salah satu dari lima komoditas strategis yang termasuk dalam program
swasembada gula. Hingga saat ini usaha swasembada pangan lima komoditi
strategis yakni kedelai, daging sapi, beras, dan jagung dinilai belum
memperlihatkan hasil yang optimal. melalui program peningkatan ketahanan
pangan nasional tahun 2012, terjadi peningkatan produksi pada beberapa
komoditas sumber pangan strategis yaitu, padi sebesar 2.74 persen, jagung sebesar
7.38 persen, dan daging sapi sebesar 6.67 persen, dan gula sebesar 23.32 persen,
sedangkan kedelai mengalami penurunan sebesar 8.24 persen dari tahun 2011 Hal
tersebut dilihat dari tingkat ketersediaan beberapa komoditas pangan domestik
yang masih bergantung kepada impor seperti kedelai, gula, dan daging sapi.
Indonesia mengimpor kedelai dari negara lain sebesar 70 persen, gula sebesar 54
persen, dan daging sapi 20 persen. Beras dan jagung juga diimpor dari negara lain
masing-masing sebesar 11 persen dan 5 persen (Badan Ketahanan Pangan
Nasional, 2013).. Gula merupakan salah satu komoditi strategis bahan pangan
yang mengalami peningkatan produksi terbesar pada tahun 2012.
2
Tabel 2 Perkembangan produksi pangan strategis tahun 2008-2012 (juta ton)
Komoditas
Padi
Jagung
Kedelai
Gula
Daging Sapi
2008
60.32
16.32
0.77
2.30
0.39
2009
64.40
17.63
0.97
2.24
0.41
2010
66.47
18.33
0.91
2.21
0.43
2011
66.76
17.64
0.85
2.23
0.45
2012
68.59
18.94
0.78
2.75
0.483
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (Diolah)
Gula merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia dimana
pemerintah berkewajiban untuk menyediakan gula dalam jumlah yang sesuai pada
tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Selain sebagai komoditas
strategis, gula juga menjadi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat baik untuk
membuat minuman maupun sebagai bahan pendukung membuat makanan.
Banyaknya industri makanan dan minuman yang memanfaatkan gula dalam
produksinya memicu pemerintah untuk mampu menyediakan gula dalam jumlah
yang mencukupi sehingga tidak terjadi kekurangan gula baik dalam konsumsi
rumah tangga, maupun keperluan industri. Produksi gula dalam negeri hingga
tahun 2012 masih belum mampu memenuhi konsumsi gula nasional baik
konsumsi langsung atau konsumsi rumah tangga maupun konsumsi tidak
langsung atau keperluan industri. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk
menutupi kekurangan produksi gula tersebut adalah dengan melakukan impor
gula. Pada tahun 2012, produksi gula Indonesia untuk keperluan konsumsi adalah
sebesar 2.75 juta ton per tahun. Hal tersebut masih jauh dari target produksi untuk
memenuhi kebutuhan gula konsumsi yang mencapai 2.87 juta ton per tahun.
Konsumsi gula masyarakat Indonesia pada tahun 2012 mencapai 12 kg per kapita.
Hingga tahun 2012, kebutuhan gula untuk konsumsi rumah tangga secara nasional
mencapai 2.87 juta ton per tahun atau sekitar 250 ton per bulannya.
Program pemerintah pada tahun 2014 adalah terciptanya swasembada gula
nasional. Hal tersebut dimaksudkan bahwa Indonesia mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi gula nasional mulai dari produksi gula yang bersumber dari
areal tebu rakyat (252 166 ha) dan areal tebu swasta (198 131 ha). Target produksi
gula pada tahun 2013 adalah sebesar 2.8 juta ton dan 3.1 juta ton untuk tahun
2014. Penetapan target produksi gula tersebut melihat dari kondisi produksi gula
nasional (baik gula konsumsi maupun gula untuk keperluan industri) pada tahun
2012 yang mencapai 2.75 juta ton dari target 2.54 juta ton. Adanya perbedaan
antara target produksi dan realisasi produksi yang terjadi pada tahun 2012
memunculkan adanya gap yang cukup besar yaitu mencapai 0.21 juta ton atau
sekitar 7.6 persen dari target produksi gula pada tahun 2012.
3
Tabel 3 Perkembangan produksi gula tahun 2008-2012
Tahun
Areal
(ha)
2008
2009
2010
2011
2012
436 847
422 935
435 901
447 320
450 297
Produksi
Produksi
Tebu
Rendemen
Gula (juta
(juta
(%)
ton)
ton)
32.96
8.2
2.70
32.17
7.8
2.62
34.22
6.5
2.21
30.32
7.4
2.23
33.73
7.9
2.75
Konsumsi
Gula
Nasional
(juta ton)
4.03
4.13
4.55
4.67
5.20
Impor Gula
(juta ton)
1.82
1.60
2.91
2.60
2.53
Sumber : Kementrian Pertanian, 2013 (Diolah)
Berdasarkan tabel 3, konsumsi gula di Indonesia semakin mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya pertambahan
jumlah penduduk. Tingginya konsumsi gula nasional yang tidak diimbangi
dengan peningkatan produksi gula dalam negeri sehingga menyebabkan Indonesia
harus mengimpor gula untuk memenuhi kekurangan gula tersebut. Pada tahun
2012, harga gula mengalami fluktuasi dari Januari hingga Desember. Hal tersebut
dapat dilihat dari Tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4 Data harga gula di tingkat pabrik dan di tingkat retail serta marjin
tataniaga tahun 2012
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Harga Gula (Rp/kg)
Marjin (Rp/kg)
tingkat pabrik
tingkat retail
7 400
8 700
1 300
8 200
9 700
1 500
8 100
9 600
1 500
8 050
9 900
1 850
8 100
9 900
1 800
9 000
10 800
1 800
8 777
10 700
1 923
9 300
11 000
1 700
8 700
10 500
1 800
8 500
10 200
1 700
8 500
10 200
1 700
8 400
10 200
1 800
Sumber : Dinas Pertanian Jawa Tengah, 2013
Tabel 4 mengindikasikan adanya marjin atau selisih harga yang besar antara
harga di tingkat produsen ke pedagang perantara dengan harga dari pedagang
perantara ke konsumen akhir. Adanya marjin dalam tataniaga tebu menunjukkan
bahwa terdapat berbagai lembaga tataniaga yang turut berkontribusi. Semakin
tinggi marjin yang terjadi dalam tataniaga, maka semakin rendah penerimaan yang
didapatkan oleh petani karena marjin adalah jumlah biaya dengan keuntungan.
Menurunnya minat petani akibat rendahnya penerimaan petani tebu merupakan
4
salah satu penyebab ketidakberhasilan program swasembada gula selama satu
dekade terakhir (Tunggul, 2013). Apabila setiap lembaga tataniaga mengambil
keuntungan dari perannya, maka akan terjadi gap harga di petani dengan harga di
pasar. Petani sebagai produsen sekaligus penerima harga (price taker) sering
dikalahkan dengan kepentingan pedagang yang terlebih dahulu mengetahui harga.
Selain itu, kelemahan petani juga terletak pada kurangnya informasi terhadap
pasar (mekanisme pasar) yang menyebabkan lemahnya posisi petani dalam rantai
tataniaga. Tabel 4 menyatakan bahwa harga gula pada tahun 2012 mengalami
fluktuasi baik di tingkat produsen maupun di tingkat pasar. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, fluktuasi harga timbul sebagai akibat adanya perubahan
jumlah konsumsi serta perubahan jumlah penawaran yang dapat dilihat dari
perubahan jumlah produksinya. Tingginya jumlah penawaran gula sangat
bergantung kepada produksi tebu. Hal tersebut dikarenakan tebu merupakan
bahan baku dalam produksi gula. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa tinggi
rendahnya produksi gula tidak hanya dipengaruhi oleh luas lahan dan produksi
tebu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh rendemen yang terkandung di dalam tebu
itu sendiri.
Tebu merupakan tanaman perkebunan musiman yang mengandung zat gula
pada batangnya yang digunakan sebagai bahan baku produksi gula dalam negeri.
Tebu hasil panen petani dapat dijual kepada pabrik gula untuk memenuhi
permintaan pasar akan gula. Berdasarkan Tabel 5, produksi tebu nasional dari
tahun ke tahun menunjukkan adanya fluktuasi. Faktor penyebab produksi tebu
yang berfluktuatif tersebut salah satunya adalah karena adanya perubahan dari
lahan yang digunakan dalam budidaya tebu.
Jumlah produksi yang dihasilkan petani tebu dapat mempengaruhi tingkat
pendapatan yang diterimanya. Semakin besar jumlah produksi, maka akan
semakin besar pula pendapatan yang diterimanya. Tetapi dalam kenyataannya,
tingkat pendapatan petani tebu tidak hanya dilihat dari jumlah produksi tebu saja.
Tinggi rendahnya pendapatan yang diterima petani juga dipengaruhi oleh harga
yang diterima dan biaya yang dikeluarkan. Strategi yang dilakukan oleh petani
untuk mengurangi tingginya biaya yang dikeluarkan salah satunya adalah dengan
memilih saluran tataniaga yang efisien. Tataniaga merupakan serangkaian fungsi
yang diperlukan dalam proses yang terkait dengan kegiatan distribusi dari
produsen (petani tebu) sampai dengan konsumen (pabrik gula). Serangkaian
fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan), dan fungsi fasilitas (pembiayaan,
resiko, standarisasi, dan grading). Pelaksanaan fungsi tersebut dilakukan oleh
kelompok atau individu yang disebut lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga
merupakan badan usaha atau individu yang menyelenggarakan tataniaga,
menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen ke konsumen akhir, serta
mempunyai hubungan dengan usaha atau individu lainnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) jenis
lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tebu, terdiri dari petani tebu,
APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), kelompok tani, pedagang sari
tebu, penempur, dan pabrik gula. Lembaga tataniaga berperan dalam menjalankan
fungsi-fungsi tataniaga serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal
mungkin dengan imbalan yang disebut marjin tataniaga atau marjin tataniaga yang
terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan. Tinggi rendahnya marjin tataniaga
5
sering kali digunakan dalam menilai tingkat efisiensi tataniaga. Marjin tataniaga
yang rendah tidak selalu merefleksikan tingkat efisiensi tataniaga yang tinggi
karena tinggi atau rendahnya marjin tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor
fisik tataniaga seperti pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan. Interpretasi
terhadap marjin tataniaga yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat banyak
pedagang perantara yang terlibat dalam proses tataniaga. Marjin yang tinggi
tersebut dinilai dapat diturunkan dengan memperpendek saluran tataniaganya.
Dalam kenyataannya, tinggi atau rendahnya marjin tataniaga tidak bergantung
pada banyaknya lembaga pamasaran yang terlibat, melainkan berdasarkan fungsi
yang dilakukan oleh lembaga tataniaga.
Peran pedagang perantara tersebut akan menyebabkan adanya marjin
tataniaga. Marjin tataniaga dalam saluran tataniaga melalui APTRI sebesar 17.71
persen , kelompok tani sebesar 20.68 persen , penempur 21.41 persen, dan
pedagang sari tebu sebesar 40.20 persen. Pemilihan saluran tataniaga (pedagang
perantara) yang dilakukan oleh petani bukan berdasarkan marjin tataniaga
melainkan berdasarkan farmer’s share (porsi harga yang dinikmati petani di
tingkat konsumen yang dalam hal ini adalah pedagang perantara). Persentase
farmer’s share yang diterima oleh petani tebu jika menjual ke APTRI adalah
sebesar 84.60 persen, sedangkan farmer’s share jika menjual ke kelompok tani
dan penempur hanya 70 persen dan farmer’s share jika menjual ke pedagang sari
tebu hanya sebesar 20 persen. Farmer’s share yang relatif lebih besar bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan dari selisih penerimaan (farmer’s share petani)
dikurangi biaya produksi (Soetrisniati, 2011).
Tujuan akhir dari tataniaga tebu adalah pabrik gula. Pabrik gula menggiling
tebu dari petani tebu untuk diproduksi menjadi gula. Tetapi dalam kenyataannya,
petani jarang melakukan penjualan langsung kepada pabrik gula karena adanya
penerapan sistem kualitas (grading) yang ketat oleh pabrik gula. Jarak antara
lokasi produksi dengan pasar juga dapat memberikan dampak pada biaya yang
dikeluarkan petani dalam hal transportasi. Semakin jauh lokasi tataniaga, maka
semakin besar pula biaya transportasi yang dikeluarkan oleh petani. Oleh karena
itu, petani lebih memilih memasarkan hasilnya melalui lembaga tataniaga yang
berperan sebagai pedagang perantara untuk membantu mendistribusikan tebu.
Penelitian yang dilakukan oleh Soestrisniati (2011) tersebut menunjukkan bahwa
setiap pedagang perantara (APTRI, pedagang sari tebu, kelompok tani, dan
penempur) mengambil marjin tataniaga yang dibebankan kepada petani tebu
sebagai akibat adanya aktivitas pendistribusian tebu sehingga posisi tawar petani
rendah dan pendapatan yang diterima petani juga menjadi rendah.
Indonesia mempunyai beberapa daerah penghasil tebu yang tersebar baik di
Jawa maupun di luar Jawa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tebu cocok untuk
ditanam di daerah tropis seperti Indonesia. Beberapa daerah penghasil tebu
terbesar di Indonesia disebut sebagai sentra produksi tebu. Sentra produksi tebu di
Indonesia terdapat di Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tabel 5
menunjukkan bahwa rata-rata produksi tebu Provinsi Jawa Timur paling tinggi
dibandingkan sentra produksi lainnya seperti Provinsi Lampung dan Jawa Tengah.
Rata-rata produksi provinsi Jawa Tengah hanya mampu mencapai 4.87 juta ton
per tahun dan menempati produksi terbesar ketiga setelah Jawa Timur dan
Lampung. Rendahnya produksi tebu yang dihasilkan di Jawa Tengah disebabkan
oleh luas lahan yang rendah yaitu sebesar 61 176 ha dibandingkan dengan
6
Lampung (117 404 ha) dan Jawa Timur (200 594 ha) (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2012).
Tabel 5 Produksi tebu di sentra penghasil tebu terbesar (ton)
Produksi Tanaman Tebu (Ton)
Tahun
Lampung
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-Rata
Jawa Tengah
8 864 022.0
9 638 834.0
8 963 292.0
10 278 665.0
7 579 100.7
9 064 782.7
5 111 218.0
5 029 383.0
4 627 527.0
5 480 403.0
4 127 020.5
4 875 110.3
Jawa Timur
17 056 027.0
15 621 724.0
14 326 166.0
16 302 574.0
13 650 574.0
15 391 413.0
Sumber : DGI , 2013 (Diolah)
Kabupaten Pati memiliki luas areal perkebunan tebu terbesar di Provinsi
Jawa Tengah. Daerah produksi tebu di Kabupaten Pati mencapai total sebesar
23.3 persen dari total luas lahan tebu di Jawa Tengah (BPS Jawa Tengah, 2012).
Kondisi tersebut membuat Kabupaten Pati menarik untuk diketahui bagaimana
sistem tataniaga tebu yang akan berdampak pada pendapatan yang diterima petani
tebu di Kabupaten Pati melalui analisis fungsi tataniaga dengan menggunakan
pendekatan sistem tataniaga yang terjadi pada komoditi tebu di Kecamatan
Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Perumusan Masalah
Sentra produksi tebu di Jawa Tengah terletak di Kabupaten Pati, Sragen,
Tegal, Rembang, dan Kudus. Jumlah produksi tebu yang dihasilkan kelima
kabupaten tersebut merupakan jumlah terbesar diantara kabupaten lainnya di Jawa
Tengah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 yang menyatakan jumlah produksi
tebu di daerah sentra di Jawa Tengah.
Tabel 6 Produksi tebu di sentra produksi tebu di Jawa Tengah tahun 2011
Jumlah produksi
No
Kabupaten
Luas areal (ha)
(ton)
1
Pati
15 038.55
54 529.43
2
Sragen
9 019.00
32 885.21
3
Tegal
3 425.98
21 138.15
4
Rembang
5 594.00
20 579.15
5
Kudus
3 727.60
14 090.33
Sumber : BPS Jawa Tengah, 2012 (Diolah)
Kabupaten Pati merupakan penghasil tebu terbesar di Jawa Tengah. Hal
tersebut dapat dilihat dari jumlah tebu yang dihasilkan di Kecamatan Pati yaitu
sebesar 54 529.43 ton (BPS Jawa Tengah, 2012). Jumlah produksi yang
7
dihasilkan petani tebu dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diterimanya.
Tetapi dalam kenyataannya, tingkat pendapatan petani tebu tidak hanya dilihat
dari jumlah produksi tebu saja. Tinggi rendahnya pendapatan yang diterima petani
juga dipengaruhi oleh penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Strategi yang
dilakukan oleh petani untuk mengurangi tingginya biaya yang dikeluarkan salah
satunya adalah dengan memilih saluran tataniaga atau tataniaga yang efisien.
Tabel 7 Harga tebu di tingkat petani dan di tingkat pabrik gula serta marjin
tataniaga tebu tahun 2008-2012 di Jawa Tengah
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Harga tebu di tingkat Harga tebu di tingkat
petani (Rp/Kg)
pabrik gula (Rp/Kg)
200
210
220
250
250
275
300
310
310
350
Marjin tataniaga tebu
(Rp/kg)
10
30
25
10
40
Sumber : Dinas Pertanian Jawa Tengah, 2013 (Diolah)
Berdasarkan Tabel 7 mengindikasikan adanya marjin tataniaga tebu yang
terjadi karena adanya lembaga tataniaga yang turut berperan dalam memasarkan
tebu dari petani ke konsumen. Dalam sistem tataniaga suatu komoditi terdapat
variasi saluran tataniaga dengan alur tataniaga yang berbeda juga. Adanya
perbedaan alur tataniaga tersebut menyebabkan perbedaan dalam harga jual,
keuntungan, serta biaya tataniaga untuk masing-masing lembaga tataniaga
termasuk petani. Untuk meningkatkan keuntungan dan posisi tawar petani, maka
dapat digunakan saluran tataniaga yang efisien. Saluran tataniaga yang terbaik
adalah menjual tebu langsung ke pabrik gula tanpa melalui pedagang perantara
sehingga tidak terdapat marjin tataniaga. Fakta yang terjadi di lapangan
menunjukkan bahwa petani mengalami kendala modal dalam hal biaya
transportasi dari lokasi produksi tebu ke pabrik gula sehingga petani menjual tebu
kepada pedagang perantara, selain itu sistem standar kualitas (grading) yang ketat
terhadap tebu mengakibatkan petani enggan menjual langsung ke pabrik tebu
padahal petani tebu telah mengeluarkan biaya transportasi.
Standar kualitas yang diinginkan oleh pabrik gula terdiri dari persentase pol
tebu, kemurnian nira, dan jumlah nira. Hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
petani yang disebabkan oleh sistem penebangan tebu yang tidak baik, jarak yang
jauh antara lokasi produksi tebu dengan pabrik gula, dan waktu pengangkutan
yang terlalu lama karena faktor jarak (P3GI, 2008). Penerapan standar kualitas
tersebut mengakibatkan banyak tebu yang tidak diterima oleh pabrik gula. Hal
tersebut berdampak pada rendahnya harga yang diterima petani sehingga
keuntungan yang diterima oleh petani rendah.
Kendala yang dihadapi petani tersebut mengakibatkan posisi tawar
(bargaining position) rendah dalam pendistribusian tebu sehingga petani
membutuhkan peran pedagang perantara dalam mendistribusikan tebu ke pabrik
gula. Peran pedagang perantara tersebut menimbulkan struktur pasar yang tidak
sempurna (berbentuk Oligopsoni). Struktur pasar oligopsoni terdiri dari beberapa
penjual yang mempunyai modal dan pengaruh yang kuat daripada penjual.
8
Pembeli yang memiliki modal dan pengaruh yang kuat mengarah kepada
pedagang perantara. Pedagang perantara dalam tataniaga komoditi tebu dapat
berupa APTRI, Kelompok Tani, pedagang sari tebu dan penempur. Penjual dalam
struktur oligopoli adalah petani tebu yang biasanya memiliki posisi tawar yang
lebih rendah dari pembeli.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa produksi tebu di Jawa
Tengah cenderung mengalami fluktuatif bahkan pada tahun 2011 mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya. Selain jumlah produksi yang berfluktuatif,
tingkat harga tebu di petani dan pedagang juga mengalami fluktuasi tiap tahunnya.
Penentuan harga yang dilakukan oleh pedagang menyebabkan barganing position
petani lemah. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas tataniaga tersebut
layak untuk diteliti di Kabupaten Pati yang merupakan sentra produksi di Provinsi
Jawa Tengah. Penelitian di Kecamatan Trangkil bermanfaat untuk melihat
efisiensi sistem tataniaga yang dilihat dari marjin, farmer’s share , rasio biaya dan
keuntungan. Oleh karena itu, permasalahan tataniaga di Kabupaten Pati adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana sistem tataniaga tebu yang terjadi di Kecamatan Trangkil?
2.
Apakah sistem tataniaga sudah efisien dengan menganalisis marjin
tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan petani di
Kecamatan Trangkil?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis sistem tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil.
2.
Menganalisis tingkat efisiensi sistem tataniaga pada saluran tataniaga tebu
di Kecamatan Trangkil dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share,
dan rasio biaya dan keuntungan.
Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
4.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai:
Bagi petani, sebagai informasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur
tataniaga tebu sehingga kesejahteraan petani meningkat.
Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan untuk
mengefisienkan tataniaga tebu.
Bagi pihak lain, sebagai bahan referensi dalam upaya penyempurnakan
masalah penelitian.
Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi
penulis dan meningkatkan kompetensi dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh selama proses perkuliahan agribisnis.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Petani
yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah petani yang berada di
9
Kecamatan Trangkil yang melakukan usahatani tebu. Selain itu, lembaga tataniaga
yang menjadi responden adalah lembaga yang terlibat langsung dalam proses
tataniaga tebu seperti APTRI, Kelompok Tani, pedagang sari tebu, dan penempur.
Analisis penelitian ini dibatasi untuk melihat dan mengkaji saluran tataniaga
tebu di daerah penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan untuk
melihat tingkat efisiensi tataniaga tebu.
TINJAUAN PUSTAKA
Tataniaga Agribisnis dari Aspek Ilmu Ekonomi
Tataniaga agribisnis adalah salah satu sub-sistem yang menjadi salah satu
faktor penentu dalam efisiensi dan efektivitas dari sistem agribisnis. Sistem
agribisnis tersebut terdiri dari sarana produksi pertanian (sub-sistem input),
usahatani (on farm), tataniaga dan pengolahan hasil pertanian, serta sub-sistem
penunjang (penelitian, pembiayaan, informasi tataniaga, kebijakan tataniaga).
Asmarantaka (2012) menjelaskan tataniaga berdasarkan perspektif makro
merupakan kegiatan produktif yang mengalirkan produk mulai dari petani sebagai
produsen hingga konsumen akhir dengan tujuan pemenuhan kepuasan.
Pemenuhan kepuasan ini dilakukan dengan berbagai cara salah satunya
penambahan nilai guna dari berbagai aspek yaitu bentuk, tempat, waktu, dan
kepemilikan. Rahim dan Hastuti (2008) menyatakan hal serupa, bahwa dalam
tataniaga atau yang juga dapat dikatakan dengan pemasaran tidak hanya memiliki
arti menawarkan atau menjual barang tetapi tataniaga mencakup berbagai kegiatan
di antaranya penjualan, pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan penyortiran.
Tataniaga merupakan serangakaian tahapan aktivitas dan peristiwa dari
fungsi-fungsi yang terkoordinasi dalam pergerakan mengalirnya produk dan jasa
dari tangan produsen primer hingga ke konsumen akhir (Kohls dan Uhl, 2002).
Terdapat beberapa cara dalam melakukan pendekatan pada suatu sistem tataniaga.
Setiap pendekatan-pendekatan memiliki perspektif dasar dan cara berpikir sendiri
terhadap suatu proses tataniaga. Pendekatan yang umum digunakan adalah
melalui tiga pendekatan seperti yang didefinisikan Kohls dan Uhl (2002), yaitu
pendekatan fungsi, pendekatan kelembagaan, dan pendekatan sistem perilaku.
Boyd, Walker dan Larreche dalam Alda (2013) juga mendefinisikan tataniaga
sebagai suatu proses sosial dengan kegiatan yang memungkinkan pihak-pihak
terlibat mendapat apa yang dibutuhkan melalui pertukaran produk kepada pihak
lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, tujuan tataniaga adalah pencapaian
kepuasan kebutuhan konsumen untuk mencapai kepuasan tersebut melakukan
serangkaian kegiatan identifikasi, komunikasi, negosiasi, pengolahan terhadap
barang atau jasa yang diperjualbelikan.
Dalam tataniaga tebu proses penambahan nilai produk dilakukan dengan
cara menggilingkan tebu ke pabrik gula untuk menjadi gula. Tebu telah panen
selanjutnya dapat dijual petani kepada pedagang ataupun pabrik gula. Pabrik
penggilingan tebu dan pembuat gula kemudian menjual gula (nilai guna, bentuk,
kepemilikan, dan tempat). Gula merupakan nilai guna atau nilai tambah yang
10
yang terjadi dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Tebu mengalir mulai dari tingkat
petani sampai ke tangan konsumen akhir dalam bentuk gula.
Botani Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum) telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu
oleh bangsa Persia, Cina, India dan kemudian menyusul bangsa Eropa.
Penanaman tebu di Indonesia dimulai pada saat sistem tanam paksa yang
dilakukan oleh Belanda. Hal tersebut dilakukan oleh Belanda bertujuan untuk
memberi keuntungan besar untuk kas negara pemerintah kolonial Belanda.
Setelah sistem tanam paksa dihentikan, usaha perkebunan dilakukan oleh
pengusaha-pengusaha swasta. Akan tetapi, perluasan perkebunan tebu tidak
pernah melampaui Pulau Jawa karena tanaman tebu lebih sesuai untuk ditanam di
Pulau Jawa.
Dalam dunia tumbuhan, tanaman tebu tersusun dalam sistematika sebagai
berikut:
Kingdom
:
Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
:
Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
:
Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
:
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
:
Liliopsida (Berkeping satu/monokotil)
:
Commelinidae
Subkelas
Ordo
:
Poales
Famili
:
Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
:
Saccharum
Spesies
:
Saccharum officinarum L.
Sumber : Sutardja (2008)
Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai
sifat tersendiri sebab didalam batang tebu terdapat zat gula. Tebu berkembang
biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Tanaman tebu memiliki
waktu pertumbuhan selama 12 hingga 18 bulan di iklim tropis dan dipanen sekitar
bulan Januari hingga Agustus. Tebu memiliki lima fase kehidupan yang meliputi
fase perkecambahan yang dimulai dengan pembentukan taji pendek dan akar stek
pada umur satu minggu dan diakhiri pada fase kecambah pada umur lima minggu,
fase pertunasan yang dimulai dari umur lima minggu sampai umur 3,5 bulan, fase
pemanjangan batang yang dimulai pada umur 3,5 bulan sampai sembilan bulan,
fase kemasakan yang merupakan fase yang terjadi setelah pertumbuhan vegetatif
menurun dan sebelum batang tebu mati. Pada fase ini kandungan gula di dalam
tebu mulai terbentuk hingga titik optimal dan setelah itu rendemennya akan turun
secara berangsur-angsur dan terakhir adalah fase kematian.
11
Tabel 8 Varietas dan karakteristik tebu yang terdapat di Indonesia
Varietas
PS 851
PS 862
PS 863
PS 864
PS 865
PS 881
PS 882
PS 921
PSBM 901
PSCO 902
PSJT 941
Bululawang
Kentung
Kidang Kencana
Diameter Batang
Sedang
Besar
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang-besar
Sedang
Sedang-besar
Kemasakan
Awal-tengah
Awal-tengah
Awal-tengah
Tengahan-lambat
Awal-tengah
Awal
Awal-tengah
Tengahan
Awal-tengah
Sangat awal
Tengahan
Tengah-lambat
Awal-tengah
Tengah-lambat
Rendemen
10.74
10.87
11.75
8.34
9.38
10.22
10.19
8.53
9.93
10.99
10.18
7.51
8.33
9.51
Sumber : Kementrian Pertanian, 2009
Berbagai varietas tebu telah diluncurkan oleh Kementrian Pertanian untuk
meningkatkan produksi petani. Kualitas bibit tebu merupakan salah satu faktor
yang sangat menentukan keberhasilan pengusahaan tanaman tebu. Bibit tebu yang
baik adalah bibit yang cukup (lima sampai enam bulan), murni (tidak tercampur
varietas lain), bebas dari penyakit dan tidak mengalami kerusakan fisik. Pada
Tabel 8 dapat dilihat beberapa varietas tebu beserta ciri-cirinya.
Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula didalam batang tebu yang
dinyatakan dalam persen. Bila dikatakan rendemen tebu sebesar 10 persen, artinya
adalah bahwa dari 100 kg tebu yang digiling ke pabrik gula akan memperoleh
gula sebesar 10 kg (Sutardja, 2008). Akan tetapi fakta di lapangan rata-rata
rendemen petani tebu berkisar antara delapan sampai sepuluh persen. Terdapat
tiga macam rendemen, yaitu rendemen contoh, rendemen sementara, dan
rendemen efektif.
Rendemen Contoh
1.
Rendemen ini merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah
suatu kebun tebu sudah mencapai masak optimal atau belum. Dengan kata lain
rendemen contoh bertujuan untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa
tingkat rendemen yang sudah ada sehingga dapat diketahui kapan saat tebang
yang tepat dan kapan tanaman tebu mencapai tingkat rendemen yang memadai.
Rumus : Nilai nira x Faktor rendemen = Rendemen
2.
Rendemen Sementara
Perhitungan ini dilakukan untuk menentukan bagi hasil gula, namun
sifatnya masih sementara. Hal ini untuk memenuhi ketentuan yang
menginstruksikan agar penentuan bagi hasil gula dilakukan secepatnya setelah
tebu petani digiling sehingga petani tidak menunggu terlalu lama sampai selesai
giling namun diberitahu dengan perhitungan rendemen sementara.
Rumus : Rendemen Sementara = Faktor Rendemen x Nilai Nira.
12
3.
Rendemen Efektif
Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling
habis dalam jangka waktu tertentu. Perhitungan rendemen efektif ini dapat
dilaksanakan dalam jangka waktu 15 hari atau disebut juga satu periode giling.
Apabila suatu pabrik gula mempunyai hari giling 150 hari, maka jumlah periode
giling adalah 150:15=10 periode. Hal ini berarti terdapat 10 kali rendemen efektif
yang bisa diberitahukan dan diperhitungkan kepada petani tebu.
Tebu yang digiling di suatu pabrik gula jelas hanya sebagian kecil saja yang
akan menjadi gula. Jika 100 kg tebu mempunyai rendemen 10 persen maka hanya
10 kg gula yang dapat dari satu kuintal tebu tersebut (Kantor Pelayanan Pajak
BUMN 2005).
Manfaat Tebu
Tebu (Sacharum officianarum) termasuk keluarga Graminae atau rumputrumputan dan berkembang biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas.
Tebu tumbuh di lebih dari 200 negara, India adalah terbesar kedua produsen gula
sedangkan penghasil terbesarnya adalah Brazil. Di Negara Karibia tebu diolah
menjadi Falernum dan dipergunakan sebagai bahan campuran coctail.
Selain sebagai bahan baku gula, tebu juga banyak khasiat sebagai obat,
khasiat tebu adalah sebagai berikut :
Ekstrak sari tebu ditambah dengan jeruk nipis dan garam biasa di konsumsi
1.
di India bertujuan untuk memberikan kekuatan gigi dan gusi.
2.
Air tebu dapat dimanfaatkan sebagai penyembuh sakit tenggorokan dan
mencegah sakit Flu serta bisa menjaga badan kita agar sehat. Air tebu ini
pun dapat di konsumsi penderita diabetes sebagai pemanis karena kadar
gulanya rendah.
3.
Tebu bersifat alkali sehingga dapat membantu melawan kanker payudara
dan prostat.
Tebu dapat dikonsumsi secara langung dengan cara dibuat jus, dibuat
4.
menjadi tetes rum dan dibuat menjadi ethanol yang nantinya dapat
digunakan sebagai bahan bakar.
5.
Mengkonsumsi air tebu secara teratur dapat menjaga metabolisme tubuh
kita dari kekurangan cairan karena banyak kegiatan yang sudah dilakukan
sehingga dapat terhindar dari stroke. Dengan banyaknya kandungan
karbohidrat sehingga dapat menambah kekuatan jantung, mata, ginjal dan
otak. Membantu mengobat penyakit kuning karena memberi kekuatan untuk
hati yang menjadi lemah karena penyakit kuning. Membantu dalam menjaga
aliran air kencing yang jelas dan juga membantu ginjal agar dapat berfungsi
dengan baik (Ahira, 2011).
Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah
penelitian yang terkait terkait dengan sistem tataniaga tebu yang dilihat dari
konsep saluran dan lembaga tataniaga, fungsi, marjin tataniaga, famer’s share,
dan struktur pasar. Adapun penelitian terdahulu yang menjadi acuan yaitu
Rimbawan (2012) dengan judul “Analisis Sistem Tataniaga Tebu di Wilayah
13
Kerja Pabrik Gula Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah” dan Soetrisniati
(2011) dengan judul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus Desa Pulorejo,
Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)”.
Penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan (2012) dilakukan di wilayah
kerja PG Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah menjelaskan bahwa terdapat
empat saluran tataniaga. Saluran tataniaga 1 meliputi petani, kelompok tani, dan
pabrik gula. Saluran tataniaga 2 meliputi petani, kelompok tani lahan swasta, dan
pabrik gula. Saluran tataniaga 3 meliputi petani, Koperasi Petani Tebu Rakyat
(KPTR), dan pabrik gula serta saluran tataniaga 4 yaitu petani dan pabrik gula.
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga adalah
fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang
dilakukan berupa pembelian dan penjualan yang dilakukan oleh petani, kelompok
tani lahan sewa, dan KPTR. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa
penanggulangan risiko dan pembiayaan dilakukan oleh kelompok tani dan
kelompok tani lahan swasta.
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani tebu dan kelompok tani mengarah
ke pasar persaingan sempurna karena jumlahnya yang banyak, produk yang
diperdagangkan homogen yaitu tebu, terdapat hambatan keluar masuk pasar dari
pinjaman kredit modal, serta harga dibentuk oleh mekanisme pasar lelang.
Struktur pasar yang dihadapi kelompok tani lahan swasta mendekati oligopoli
karena jumlahnya yang sedikit, sifat produk yang homogen, terdapat hambatan
keluar masuk pasar, serta harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar lelang.
Adapun struktur pasar yang dihadapi KPTR mendekati oligopoli, karena
jumlahnya yang sedikit, produk bersifat homogen, tidak ada hambatan keluar
masuk pasar, serta harga ditentukan oleh KPTR.
Perilaku pasar dapat diamati dari input-output sytem yang meliputi praktik
pembelian oleh KPTR dan investor gula, serta proses penjualan yang dilakukan
oleh petani, kelompok tani, kelompok tani lahan swasta, dan dan KPTR. Power
system meliputi penetapan harga tetap yang dilakukan oleh KPTR, harga gula
ditetapkan dari proses lelang yang menunjukkan bahwa posisi tawar petani tinggi
karena proses lelang diikuti oleh perwakilan petani. Comminication system
meliputi proses komunikasi antar lembaga tataniaga yang sangat informatif
dengan adanya sinder kebun dan lembar Surat Perintah Pengeluaran Gula (SPPG).
Serta system for adapting to internal and external change yang menjelaskan
bahwa kerja sama anat lembaga tataniaga gula terjalin atas proses jual, beli, dan
pengolahan.
Saluran tataniaga yang paling efisien pada sistem tataniaga tebu di wilayah
kerja PG Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah adalah saluran tataniaga 4.
Hal ini dapat dilihat dari nilai marjin tataniaga yang kecil, famer’s share yang
besar, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar. Namun saluran
yang paling diminati oleh petani tebu adalah saluran tataniaga 3 karena lembaga
tataniaga pada saluran ini menawarkan kemudahan kepada petani.
Terdapat beberapa persamaan antara penelitian yang dilakukan Rimbawan
dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu komoditi yang diteliti yaitu tebu dan
metode analisis kuantitatif yang digunakan. Metode kuantitatif yang digunakan
terdiri dari marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya keuntungan yang
digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi tataniaga tebu. Namun terdapat pula
perbedaan diantara kedua penelitian tersebut yaitu pada lokasi penelitian.
14
Penelitian yang Rimbawan dilakukan di wilayah kerja pabrik gula Sragi,
Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, sedangkan penelitian yang akan dilakukan
berlokasi di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah.
Penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) dilakukan di Desa
Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur menjelaskan
bahwa terdapat empat saluran tataniaga. Saluran tataniaga 1 meliputi petani,
Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) dan pabrik gula. Saluran tataniaga 2
meliputi petani, kelompok tani dan pabrik gula. Saluran tataniaga 3 meliputi
petani, penempur dan pabrik gula. Saluran tataniaga 4 meliputi petani, pedagang
sari tebu dan konsumen.
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam
tataniaga tebu ini adalah fungsi pertukaran dilakukan oleh lembaga tataniaga dan
petani tidak melakukan kegiatan pembelian. Pada saluran 1 dan 2 petani
melakukan fungsi fisik yaitu pengangkutan. Fungsi fisik penyimpanan dilakukan
oleh APTRI dan pedagang sari tebu. Fungsi fasilitas penanggungan risiko,
pembiayaan dan informasi pasar dilakukan pada setiap lembaga tataniaga. Fungsi
sortasi dilakukan petani dan penempur. Fungsi pengolahan dilakukan oleh
pedagang sari tebu yang mengolah tebu menjadi minuman sari tebu.
Struktur pasar yang dihadapi petani, penempur dan pedagang sari tebu
mendekati pasar persaingan sempurna karena terdapat banyak penjual, produk
yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk keluar dan masuk pasar. Pasar
oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani karena sedikitnya penjual, sifat
produk homogen dan adanya kesulitan untuk keluar masuk pasar.
Perilaku pasar dapat dilihat dari praktik pembelian dan penjualan, sistem
penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga.
Praktik pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara langsung.
Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah tawar menawar antara petani dan
lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan penempur berdasarkan harga
lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah. Pembayaran hasil penjualan
dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama antar lembaga tataniaga
dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan kredit bagi petani untuk
usahatani tebu.
Saluran tataniaga yang efisien dalam sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo,
Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur adalah saluran tataniaga1.
Hal ini dapat dilihat dari nilai marjin tataniaga yang rendah, farmer’s share yang
besar dan rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar.
Dari uraian di atas diketahui bahwa terdapat beberapa kesamaan antara
penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) dengan penelitian yang akan
dilakukan. Kesamaan tersebut terletak pada komoditi yang diteliti yaitu tebu dan
metode analisis kuantitatif yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi
sistem tataniaga tebu, antara lain marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio
keuntungan biaya. Selain terdapat kesamaan, terdapat pula perbedaan anatar
keduanya, yaitu perbedaan lokasi penelitian. Soetrisniati melakukan penelitian di
Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur,
sedangkan penelitian yang akan dilakukan berlokasi di Kecamatan Trangkil,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
15
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau
batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian
yang akan dilakukan. Batasan-batasan tersebut terkait dengan variabel-variabel
yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah analisis
tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah terdiri dari
saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan
perilaku pasar. Selain itu variabel yang akan diteliti meliputi marjin tataniaga,
farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya untuk menilai efisiensi tataniaga
secara operasional.
Sistem Tataniaga
Definisi tataniaga adalah serangkaian fungsi yang diperlukan dalam
penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer
sampai ke konsumen akhir (Hammond dan Dahl, 1977). Kohl dan Uhl (2002)
menjelaskan bahwa tataniaga adalah seluruh aktivitas bisnis yang terlibat dalam
arus produk dan pelayanan dari titik awal produk tersebut dihasilkan hingga
produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Menurut Kotler (2002), tataniaga
adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan
apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan
secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Limbong
dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa tataniaga mencakup segala aktivitas yang
diperlukan dalam pemindahan hak milik yang menyelenggarakan saluran fisiknya
termasuk jasa-jasa dan fungsi-fungsi dalam menjalankan distribusi barang dari
produsen sampai ke konsumen termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu
yang menghasilkan perubahan-perubahan bentuk dari barang yang ditujukan
untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi
kepada konsumen. Sehingga tataniaga dapat didefinisikan sebagai fungsi yang
digunakan untuk menggerakkan produk jadi dari produsen hingga konsumen
akhir.
Menurut Kohl dan Uhl (2002), mendefenisikan tataniaga pertanian
merupakan keragaman dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa
komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai konsumen akhir,
yang mencakup aspek input dan output pertanian. Untuk menganalisis sistem
tataniaga dapat dilakukan melalui lima pendekatan (Purcell, 1977;
Gonarsyah,1996/1997; Kohls dan Uhl,1990 dan 2002) dalam Asmarantaka
(2009), yaitu:
Pendekatan Fungsi (The Functional Approach); yang terdiri dari fungsi
1.
pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan,
pengolahan dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (standarisasi,
pembiayaan, resiko dan informasi pasar).
16
2.
3.
4.
5.
Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach); yang terdiri dari
pedagang perantara, pedagang spekulan, pengolah dan organisasi yang
memberikan fasilitas tataniaga.
Pendekatan Komoditas (Commodity Approach); pendekatan ini menekankan
kepada apa yang diperbuat dan bagaimana penanganan terhadap komoditi
sepanjang gap antara petani (the original point of production) dengan
konsumen akhir. Dengan demikian pendekatan ini menggambarkan agar
penanganannya efisien.
Pendekatan Sistem (System Approach); pendekatan ini mempunyai arti
menekankan kepada keseluruhan sistem, efisien dan proses yang kontiniu
membentuk suatu sistem. Dengan demikian pendekatan ini menganalisa
keterkaitan yang kontiniu diantara subsistem- subsistem (misalnya subsitem
pengumpulan atau penyediaan bahan baku, pengolahan dan distribusi) yang
memberikan tingkat efisiensi tinggi.
Pendekatan Analisa Permintaan dan Harga; titik tolaknya adalah pendekatan
analitis dari kegiatan ekonomi di bidang tataniaga antara petani dan
konsumen. Kegiatan ekonomi disini adalah berhubungan dengan proses
transformasi komoditas usahatani menjadi bermacam-macam produk yang
diinginkan oleh konsumen. Proses transformasi ini pada asasnya adalah
penciptaan suatu komoditas lebih berguna bagi konsumen. Proses
transformasi ini merupakan kegiatan produktif dalam sistem tataniaga
karena menciptakan atau menembahkan nilai guna produk.
Dengan demikian, sistem tataniaga adalah satu kesatuan aktivitas yang
saling terhubung untuk memudahkan aliran produk dari petani (pasca panen)
hingga ke konsumen akhir dengan melalui proses penambahan nilai guna produk
yang bertujuan untuk memenuhi kepuasaan seluruh pihak-pihak yang terkait
selama proses tataniaga. Analisis sistem tataniaga yang dipergunakan pada
penilitian ini yaitu analisis lembaga dan saluran tataniaga, analisis fungsi-fungsi
tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar, marjin tataniaga dan farmer’s share.
Lembaga dan Saluran Tataniaga
Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang
terlibat dalam proses menjadikan produk atau jasa siap digunakan untuk
dikonsumsi (Kotler, 2002). Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai
himpunan perusahaan atau perorangan atau serangkaian lembaga-lembaga
tataniaga yang mengambil alih hak atas barang dan jasa tertentu selama barang
dan jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus,
1987).
Menurut Limbong dan Sitorus (1987) penyaluran produk yang dihasilkan
oleh produsen tidak dapat dilakukan oleh produsen itu sendiri dikarenakan jarak
antara produsen dengan konsumen berjauhan, maka fungsi lembaga tataniaga
sangat diharapkan untuk menggerakkan produk dari produsen hingga ke
konsumen. Perantara ini bisa dalam bentuk perseorangan, perserikatan ataupun
perseroan. Fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas ini akan dilakukan
oleh lembaga-lembaga perantara tersebut. Lembaga tataniaga harus tepat waktu
dalam penyaluran barang dan jasa terutama produk pertanian karena sifat dari
17
produk tersebut adalah mudah rusak, volume yang besar dan cepat busuk sehingga
dibutuhkan penggunaan khusus terhadap produk tersebut.
Menurut Kohl dan Uhl (2002) lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses
tataniaga digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya:
1.
Pedagang perantara (merchant middlemen) adalah perantara yang memiliki
hak dan menguasai produk yang mereka tangani. Mereka membeli dan
menjual produk tersebut untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Yang
termasuk ke dalam pedagang perantara ini adalah retail dan pedagang grosir.
Agen perantara (agent middlemen) adalah perwakilan dari institusi atau
2.
lembaga mereka tidak memiliki kekuasaan atas produk tersebut. Agen
perantara mendapatkan keuntungan komisi dari penanganan atas produk
yang dikehendaki oleh lembaga atau institusi. Agen perantara meliputi
pencari komisi (commission men) dan broker.
3.
Spekulator (speculative middlemen) adalah perantara yang melakukan
pembelian dan penjualan atas produk dengan tujuan mendapatkan
keuntungan dari pergerakan harga.
4.
Pengolahan dan pabrikan (processors and manufacture) adalah lembaga
yang menangani produk dan merubah bentuk produk yaitu bahan baku
menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir.
5.
Organisasi (facilitative organizations) adalah lembaga yang membantu agar
aktivitas berjalan dengan lancar.
Fungsi-Fungsi Tataniaga
Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa proses penyampaian
barang dari tingkat produsen ke tingkat konsumen diperlukan tindakan-tindakan
untuk memperlancar kegiatan tersebut, kegiatan tersebut dinamakan fungsi
tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga dikelompokan menjadi tiga fungsi utama, yaitu
fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas (Kohl dan Uhl 2002).
Fungsi pertukaran (exchange function) adalah kegiatan yang berhubungan
dengan pemindahan kepemilikan barang dan jasa yang dipasarkan mulai dari
produsen kepada konsumen. Fungsi pertukaran meliputi fungsi pembelian dan
fungsi penjualan. Fungsi pembelian dimulai dengan pencarian pemasok kemudian
mengubah bahan baku menjadi produk jadi yang akan dijual kepada konsumen
untuk memenuhi permintaan akhir konsumen. Fungsi penjualan merupakan
kegiatan yang meliputi pencarian tempat, waktu, pengemasan, saluran tataniaga
yang tepat untuk melakukan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh
konsumen.
Fungsi fisik (physical function) adalah semua tindakan yang berhubungan
dengan barang dan jasa sehingga proses tersebut menimbulkan kegunaan tempat,
kegunaan bentuk dan kegunaan waktu. Fungsi fisik terdiri dari (1) fungsi
penyimpanan, merupakan kegiatan untuk membuat produk selalu tersedia pada
waktu yang dibutuhkan; (2) fungsi pengangkutan, merupakan kegiatan yang
bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan
kebutuhan konsumen menurut waktu, jumlah dan mutu; (3) fungsi pengolahan,
merupakan kegiatan untuk meningkatkan nilai tambah pada barang dan jasa
dengan cara mengolah bahan baku menjadi komoditi yang dibutuhkan oeh
konsumen.
18
Fungsi fasilitas (facilitating function) adalah kegiatan yang bertujuan untuk
memperlancar kegiatan pertukaran barang dan jasa antara produsen dan
konsumen. Fungsi fasilitas meliputi (1) fungsi standarisasi merupakan suatu
keseragaman dalam penentuan kualitas dan kuantitas produk yang akan
diproduksi, sedangkan grading adalah pengelompokkan atau pengklasifikasian
hasil-hasil produk menurut standarisasi yang diinginkan; (2) fungsi pembiayaan
adalah penyediaan biaya untuk berbagai keperluan produksi dan tataniaga; (3)
fungsi penanggungan risiko adalah penerimaan kemungkinan kehilangan selama
proses tataniaga produk akibat dari risiko fisik maupun risiko pasar; (4) fungsi
informasi pasar merupakan kegiatan mengumpulkan informasi pasar dan
menafsirkan informasi tersebut.
Struktur Pasar
Struktur pasar adalah karakteristik dari produk maupun institusi yang
terlibat pada pasar yang akan mempengaruhi perilaku pasar dan keragaan pasar.
Struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai
hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual)
yang secara strategis mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar
(Asmarantaka, 2009).
Menurut Hammond dan Dahl (1997), ada empat karakteristik yang
merupakan faktor yang menentukan struktur pasar yaitu (1) jumlah dan ukuran
perusahaan; (2) kondisi dan keadaan produk; (3) kemudahan untuk keluar dan
masuk pasar; (4) tingkat informasi harga. Kohl dan Dahl (2002) mengelompokkan
pasar ke dalam empat struktur pasar yang berbeda, yaitu (1) pasar persaingan
sempurna (perfect competition); (2) pasar monopoli atau monopsony
(monopoly/monopsony);
(3)
pasar
oligopoli
atau
oligopsoni
(oligopoly/oligopsony); (4) pasar persaingan monopolistik (monopolistic
competition).
Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana terdapat banyak
pembeli dan penjual yang memperdagangkan komoditi dimana output yang
dihasilkan merupakan sebagian kecil dari total komoditi di pasar oleh karena itu
komoditi memiliki sifat homogen sehingga pembeli dan penjual tidak dapat
mempengaruhi harga di pasar. Tidak ada hambatan untuk memasuki dan keluar
pasar baik hambatan dari teknologi, hukum, keuangan maupun hambatan lainnya.
Pengetahuan yang dimiliki oleh pembeli dan penjual relatif sempurna dan
lengkap.
Struktur pasar monopoli adalah keadaan pasar dimana hanya terdapat satu
penjual atau satu pembeli. Seorang monopoli dapat menentukan harga dari ouput
yang dihasilkan karena kurva permintaan dari perusahaan sama dengan kurva
permintaan dari pasar selain itu penjual juga bebas untuk menentukan tingkatan
output yang dihasilkan untuk memaksimalkan keuntungan. Penjual juga memiliki
keterbatasan dalam menentukan harga jual dari produk mereka. Dilihat dari sisi
permintaan jika harga yang ditetapkan terlalu tinggi maka konsumen akan
mencari produk subtitusi. Dilihat dari sisi produksi jika profit yang didapat terlalu
tinggi maka perusahaan lain akan mencoba masuk ke dalam pasar. Perusahaan
monopoli mempunyai penguasaan terhadap bahan baku dan hak paten yang
diberikan karena skala ekonomi yang besar dan tindakan pemerintah.
19
Struktur pasar oligopoli adalah kondisi dimana pasar didominasi oleh
beberapa perusahaan besar dalam suatu wilayah. Harga pasar berada di tangan
beberapa perusahaan besar dan perusahaan–perusahaan kecil sebagai pengikutnya
hanya mengikuti perubahan yang terjadi. Perusahaan besar dapat mempengaruhi
harga melalui keputusan output yang dihasilkan oleh mereka. Setiap perusahaan
yang berada dalam pasar tersebut dalam menetapkan jumlah produksinya dan
harga harus mempertimbangkan dampaknya kepada harga pasar dan bagaimana
reaksi pesaing.
Tabel 9 Perbandingan struktur pasar
Karakter
Industri
Jumlah
penjual
Kesamaan
produk
Kemudahan
untuk masuk
Pengaruh
perusahaan
terhadap
harga
Contoh
Persaingan
Sempurna
Sangat besar
Identik untuk
semua
perusahaan
Mudah dan
tidak ada
hambatan
Tidak ada
untuk
perusahaan
tunggal
Beberapa
petani, futures
market
Persaingan
Monopolistik
Oligopoli
Monopoli
Banyak
Sedikit
Satu
Berbeda dan
bervariasi
Mirip
-
Relatif mudah
Susah dan ada
hambatan
Tidak bisa
masuk
Beberapa,
dibatasi oleh
produk
pengganti
Rumah
makan,
perusahaan
pemasok
Besar, terbatas Sedikit
oleh harga
menahan diri
pesaing
kecuali diatur
Pengolahan
makanan dan
pedagang
grosir
Sarana umum
Sumber: Kohl dan Uhl (2002)
Struktur pasar persaingan monopolistik adalah keadaan pasar yang berada
diantara pasar persaingan sempurna dan oligopoli. Setiap perusahaan berusaha
membuat produk atau layanan yang unik dan berbeda dari perusahaan yang ada.
Penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang
berbeda dan dengan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling.
Perilaku dari suatu perusahaan dipengaruhi oleh lingkungan dan struktur
dari industri yang berlaku. Struktur industri dapat dijelaskan dengan besarnya
perusahaan, kesamaan penawaran dan kemudahan perusahaan lain untuk masuk
dan keluar dari industri. Perilaku harga dan output dari perusahaan dalam struktur
industri akan berbeda dengan keragaan industri. Pada Tabel 9 akan dijelaskan
perbedaannya.
Perilaku Pasar
Menurut Dahl dan Hammond (1977) perilaku pasar merupakan pola atau
tingkah laku lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur
pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan,
penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar adalah
20
seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun
pembeli utnuk mencapai tujuannya masing-masing (Asmarantaka, 2009).
Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa ada empat hal yang perlu yang
diperhatikan dalam menggambarkan perilaku pasar, yaitu (1) Input-output system,
digunakan untuk menerangkan bagaimana perusahaan mengembangkan input
yang dimiliki untuk menghasilkan output bagi perusahaan; (2) Power system,
menjelaskan bahwa perusahaan mengembangkan kualitas, pemimpin pasar, dan
memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat menentukan harga; (3)
Communications system, menjelaskan bagaimana mendirikan saluran informasi
yang efektif; (4) System for adapting to internal and exsternal change,
menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu sistem tataniaga dan
dapat bertahan di pasar.
Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga mengacu pada perbedaan harga pada berbagai tingkaan
sistem tataniaga. Marjin tataniaga adalah perbedaan harga antara harga yang
diterima oleh petani (Pf) dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Pr).
Sehingga marjin tataniaga dapat dikatakan sebagai selisih dari harga yang
diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Pr-Pf ).
Marjin tataniaga hanya mengacu pada perbedaan harga, tidak berhubungan
dengan jumlah produk yang ada di pasar (Hammond dan Dahl 1977).
Price
Sr
Pr
Sf
Dr
Pf
Df
Gambar 1 Kurva Marjin Tataniaga
Sumber : Hammond dan Dhall (1997)
Quantity
Keterangan:
Pf & Pr = Harga di tingkat petani dan harga di tingkat pengecer
Df & Dr = Permintaan di tingkat petani dan permintaan di tingkat pengecer
Sf & Sr = Penawaran di tingkat petani dan penawaran di tingkat pengecer
Qr,f
= Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer
(Pr-Pf ) = Marjin tataniaga
(Pr-Pf )Q = Nilai marjin tataniaga
21
Farmer’s Share (Bagian Harga yang Diterima oleh Petani)
Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan
harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen. Bagian yang
diterima lembaga tataniaga ini dinyatakan dalam persentase (Limbong dan
Sitorus, 1987). Farmer’s share (Fsi) didapatkan dari hasil bagi antara Pf dan Pr,
dimana Pf adalah harga di tingkat petani dan Pr adalah harga yang dibayarkan
oleh konsumen akhir.
Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja
suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak
menunjukkan bahwa tataniaga berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan
besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (Value added) yang
dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan
konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share,
melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan
produknya.
Farmer’s share mumpunyai hubungan negatif dengan marjin tataniaga.
Sehingga semakin tinggi marjin tataniaga, maka bagian yang diterima oleh petani
semakin rendah (Simamora S, 2007). Secara matematis farmer’s share dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Fs =
x 100%
Keterangan:
Fs
: Persentase yang diterima petani dari harga konsumen akhir
Pf
: Harga di tingkat petani
Pr
: Harga di tingkat konsumen
Rasio Keuntungan terhadap Biaya
Rasio keuntungan terhadap biaya dapat digunakan untuk melihat efisiensi
suatu sistem tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan
besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan.
Dengan demikian, semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya,
maka secara teknis (operasional) sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong
dan Sitorus, 1987). Besarnnya rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
Li
: Keuntungan lembaga tataniaga
Ci
: Biaya tataniaga
Efisiensi Tataniaga
Seluruh analisis dengan menggunakan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s
share dan rasio keuntungan terhadap biaya digunakan untuk menganalisis efisiensi
tataniaga. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam kegiatan tataniaga adalah
tingkat efisiensi dari kesatuan kegiatan tataniaga itu sendiri. Sistem tataniaga yang
efisien akan dapat memberikan kepuasan terhadap semua pihak yang terlibat.
22
Tataniaga yang efisien, secara normatif adalah struktur pasar persaingan
sempurna.tetapi, struktur pasar ini secara realita sangat sulit ditemukan.
Analisis efisiensi tataniaga ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua
pendekatan, yaitu dengan menggunakan konsep efisiensi operasional dan efisiensi
harga. Efisiensi operasional digunakan untuk mendekati efisiensi produksi yang
diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap inputnya. Efisiensi ini
lebih berkaitan dengan kegiatan fisik pemasaran dan lebih berkaitan dengan
teknologi. Efisiensi harga digunakan untuk mendekati efisiensi distribusi dan
kombinasi produk optimum dengan asumsi hubungan output-input dalam bentuk
fisik adalah tetap. Efisiensi harga ini berhubungan dengan keefektifan pemasaran
sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kerja proses pemasaran dalam
menyampaikan output dari daerah produsen ke daerah konsumen (Sudiyono,
2002).
Menurut Kohl (2002), efisiensi tataniaga merupakan maksimisasi rasio input
dan output. Efisiensi operasional mengasumsikan esensi dari sifat output barang
atau jasa yang tetap dan berfokus pada penurunan biaya input dari usaha yang
dilakukan. Dengan kata lain suatu efisiensi operasional dapat terwujud dengan
cara memperkecil biaya dan meningkatkan atau mempertahankan output. Efisiensi
harga berfokus pada peningkatan kegiatan pembelian, penjualan dan aspek harga
dari proses pemasaran yang mendapat tanggapan secara langsung. Efisiensi harga
adalah hasil dari persaingan murni dan keseimbangan kekuatan ekonomi yang ada
dengan proses tataniaga. Kegiatan yang dapat meningkatkan efisiensi harga adalah
informasi pasar, label dan informasi konsumen serta tingkatan dan standarisasi.
Efisiensi tataniaga juga dapat dilihat dari rasio keuntugan (benefit) yang
diterima terhadap biaya (cost) yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga.
Biaya adalah penggunaan sumberdaya, sedangkan keuntungan adalah manfaat
yang diperoleh. Asmarantaka (2012) menyatakan bahwa penggunaan sumberdaya
dikatakan sebagai input tataniaga, sedangkan hasil akhir dari proses produksi yang
ditujukan untuk memenuhi kepuasan konsumen dan keuntungan perusahaan
dikatakan sebagai output tataniaga.
Kerangka Pemikiran Operasional
Dasar penelitian ini adalah harga gula yang berfluktuatif di tingkat
konsumen namun peningkatan harga tersebut tidak dapat dinikmat oleh petani
tebu. Harga yang berlaku di tingkat petani tebu tidak mengalami peningkatan
yang besar. Tebu merupakan bahan baku bagi pabrik tebu untuk kemudian
menghasilkan gula. Tanaman tebu merupakan tanaman musiman sehingga dalam
kurun waktu satu tahun tanaman tebu dipanen sekali. Tebu merupakan kebutuhan
yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Tanaman tebu dapat dikonsumsi
secara langsung ataupun diolah terlebih dahulu. Manfaat yang terkandung dalam
tebu sangat banyak bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, permintaan akan tebu
semakin meningkat setiap tahunnya.
Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah merupakan daerah
sentral produksi di Jawa Tengah. Kegiatan usahatani tebu ini membutuhkan
sistem tataniaga yang baik untuk memasarkan produk hasil dari petani tabu.
Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga ini adalah petani,
tengkulak, APTRI, kelompok tani dan pabrik gula. Petani tidak memiliki saluran
23
tataniaga yang dapat memberikan keuntungan besar bagi petani. Apabila petani
mendapatkan modal dari APTRI maka petani harus menjual hasilnya ke APTRI
walaupun ada alternatif lain yang memberikan keuntungan yang lebih besar.
Informasi harga yang diterima oleh petani dan mengenai hasil rendemen yang
dihasilkan oleh petani sangat terbatas, hal ini juga disebabkan oleh lemahnya
posisi petani dalam sistem tataniaga. Oleh karena itu perlu analisis mengenai
tataniaga tebu untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga tebu sehingga
memberikan alternatif bagi petani untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
Penelitian mengenai tataniaga tebu dilakukan analisis kuantitatif dan
analisis kualitatif. Analisis kuantitatif melalui pendekatan analisis marjin
tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. Analisis kualitatif
dilakukan dengan pendekatan analisis saluran tataniaga dan lembaga tataniaga,
fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar.
Efisiensi tataniaga dilihat dari analisis struktur pasar, perilaku pasar, saluran
tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.
24
Produksi tebu dan marjin tataniaga tebu berfluktuasi mempengaruhi
harga jual tebu
Bagaimana sistem tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati?
Apakah sistem tersebut sudah efisien?
ï‚· Marjin Tataniaga
ï‚· Farmer’s Share
ï‚· Rasio Keuntungan
terhadap Biaya
ï‚· Lembaga dan
Saluran
Tataniaga
ï‚· Fungsi Tataniaga
ï‚· Struktur Pasar
Perilaku Pasar
Sistem tataniaga
Rekomendasi alternatif saluran tataniaga yang efisien
Gambar 2 Kerangka Operasional Sistem Tataniaga Tebu Kecamatan Trangkil,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah
25
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan
bahwa Kecamatan Trangkil merupakan wilayah penghasil tebu terbesar di Jawa
Tengah. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei 2013 dengan pertimbangan
pada bulan tersebut merupakan masa panen tebu di wilayah tersebut sehingga
mempermudah untuk melihat saluran tataniaga yang ada di Trangkil.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung (observasi) dan
wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang tersaji pada kuesioner
kepada pelaku tataniaga tebu baik itu petani maupun pedagang. Pengamatan
secara langsung juga dilakukan terhadap kegiatan tataniaga tebu untuk
mengetahuo saluran tataniaga dan lembaga tataniaga yang terlibat pada alur
tataniaga tebu.
Data sekunder pun diperlukan pada penelitian ini. Data sekunder didapatkan
dari studi literatur, tinjauan pustaka, serta beberapa penelitian terdahulu. Selain
itu, data yang menunjukkan data terhadap komoditi tebu yang menunjang seperti
dari Badan Pusat Statistika, Direktorat Jendral Perkebunan, Departemen Pertanian
RI, dan Dinas Perkebunan Jawa Tengah. Data sekunder ini dipergunakan sebagai
pelengkap dari data primer.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan panduan
kuesioner kepada pelaku tataniaga tebu baik itu petani maupun pedagang.
Responden petani dipilih dengan menggunakan teknik purposive atau sengaja, hal
ini dilakukan dengan cara memilih petani yang menggunakan saluran tataniaga
berbeda. Pemilihan yang sengaja ini ditujukan agar saluran tataniaga tebu yang
berada di Kecamatan Trangkil ini terlihat. Jumlah petani yang dijadikan
responden adalah sebanyak 33 orang untuk mewakili petani di setiap saluran
tataniaga dan terdapat 7 pedagang yang menjadi responden dalam penelitian ini.
Pengambian sampel untuk pedagang atau lembaga tataniaga selain petani
tebu dilakukan dengan cara mengikuti alur tataniaga tebu hingga sampai ke
tangan pabrik gula. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak mengetahui mengenai
lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tebu di Trangkil, sehingga peneliti
harus mencari tahu melalui petani dan lembaga tataniaga dan selanjutnya akan
diketahui dari pelaku tataniaga sebelumnya. Akhir dari pencarian pelaku tataniaga
ini adalah konsumen akhir. Jumlah lembaga tataniaga yang menjadi responden
akan diketahui berdasarkan informasi yag didapat dari lembaga tataniaga
sebelumnya.
26
Metode Pengolahan Data
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tataniaga tebu di Kecamatan
Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Efisiensi tataniaga tebu dapat diperoleh
melalui analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Penelitian analisis kualitatif
efisiensi tataniaga tebu meliputi lembaga dan saluran tataniaga tataniaga, fungsi
tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Penelitian analisis kualitatif efisiensi
tataniaga tebu ini dijelaskan secara deskriptif untuk menjabarkan semua detail dari
saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar, serta
permasalahan yang terjadi pada daerah penelitian. Sedangkan analisis kuantitaif
dilakukan melalui pendekatan majin tataniaga, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya. Efisiensi tataniaga tebu dapat dilihat dari analisis
struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share,
dan rasio keuntungan terhadap biaya. Analisis sistem tataniaga digunakan untuk
mengetahui rangakaian keseluruhan mulai dari petani sampai dengan konsumen
akhir atau pabrik gula. Dalam penilitian ini yang diamati sistem tataniaganya
hanya sampai dengan tebu tidak termasuk tataniaga gula.
Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga
Analisis saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil dilakukan dengan
menelusuri kegiatan tataniaga yang ada mulai dari petani hingga ke konsumen
akhir. Penelusuran mengenai saluran tataniaga akan diketahui pola saluran
tataniaga yang terjadi dan jumlah lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga
tersebut. Perbedaan pada saluran tataniaga akan berpengaruh pada tingkat
pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat.
Analisis Fungsi Tataniaga
Fungsi-fungsi dari setiap lembaga tataniaga dapat diketahui berdasarkan
kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Fungsi dari
lembaga tataniaga adalah menyalurkan komoditi dari produsen sampai ke tangan
konsumen. Selain menyalurkan komoditi, melalui analisis ini pun akan diketahui
biaya yang dikeluarkan dalam setiap kegiatan tataniaga. Pedekatan fungsi-fungsi
tataniaga yang akan dianalisis adalah:
1.
Fungsi Pertukaran
Aktivitas pemindahan kepemilikan dari barang dan jasa yang meliputi
fungsi pembelian dan fungsi penjualan.
Fungsi Fisik
2.
Tindakan yang berhubungan dengan barang dan jasa agar memiliki
kegunaan waktu, tempat, dan bentuk. Fungsi fisik ini meliputi fungsi
penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan.
3.
Fungsi Fasilitas
Kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran barang
dan jasa dari produsen ke konsumen. Fungsi fasilitas ini meliputi standarisasi dan
grading, pembiayaan, penanggulangan risiko, dan informasi pasar.
Analisis Struktur Pasar
Analisis struktur pasar dapat dilihat dari jumlah pembeli, jumlah penjual,
sifat produk, pengetahuan akan informasi pasar, dan hambatan untuk masuk dan
27
keluar pasar. Melalui lima hal tersebut maka akan diketahui struktur pasar yang
dihadapi oleh pelaku tataniaga. Struktur pasar yang mungkin dihadapi oleh pelaku
tataniaga adalah pasar persaingan sempurna, persaingan monopolistik, monopoli,
dan oligopoli.
Analisis Perilaku Pasar
Analisis ini dilihat dari tingkah laku pasar dalam menghadapi perubahan
yang terjadi dalam kegiatan tataniaga. Kegiatan pembelian, penjualan, penentuan
harga, cara pembayaran, dan kerjasama yang dilakukan mempengaruhi perilaku
setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Analisis perilaku pasar digunakan untuk
mengetahui karakteristik konsumen.
Analisis Efisiensi Tataniaga
Efisiensi tataniaga dapat dilihat dari beberapa faktor seperti marjin
tataniaga, farmer’s share, serta analisis keuntungan terhadap biaya. Selain dari
faktor-faktor tersebut, terdapat pula beberapa faktor yang perlu dipertibangkan
seperti saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, lembaga-lembaga tataniaga,
struktur pasara, dan perilaku pasar. Indikator tercapainya efisiensi tataniaga adalah
menurunnya biaya tataniaga tanpa mempengaruhi output yang dipasarkan. Sistem
tataniaga akan tercipta bila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan
tataniaga memperoleh kepuasan dari adanya kegiatan tersebut.
Analisis Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf)
dengan harga di tingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin tataniaga
adalah MT = Pr – Pf. Melalui penelusuran saluran tataniaga, diharapkan dapat
diperoleh informasi tentang marjin pada tiap lembaga tataniaga. Analisis marjin
tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga tebu. Marjin
tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga
pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus
(1985), besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga merupakan
penjumlahan dari marjin yang diperoleh setiap lembaga tataniaga. Marjin juga
didefinisikan sebagai penjumlahan dari keuntungan dan biaya tataniaga yang
dikeluarkan dalam pelaksanaan sistem (1985) tersebut maka secara matematis
perhitungan nilai marjin tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:
Mi = Hji - Hbi
Atau
Mi = Ci + πi
Dan besarnya marjin tataniaga pada saluran tataniaga adalah:
MT = ∑Mi
Keterangan:
Mi
= Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg)
Hji
= Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg)
Hbi
= Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg)
Ci
= Biaya pembelian pada tingkat pasar ke-i (Rp/Kg)
Πi
= Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg)
I
= 1, 2, 3,.......,n
MT
= Total marjin tataniaga
28
Selain itu, marjin tataniaga juga dapat diperoleh dari penjumlahan biaya
tataniaga dan keuntungan tataniaga pada suatu saluran tataniaga yang terbentuk.
Hal ini dapat diartikan sebagai value added dari komoditi yang dipasarkan
(Limbong dan Sitorus, 1985). Analisis marjin tataniaga dapat dipakai untuk
melihat keragaan pasar pada suatu sistem tataniaga.
Analisis Farmer’s Share
Pendapatan yang diterima petani farmer’s share merupakan perbandingan
persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat
konsumen akhir. Secara matematis farmer’s share dihitung sebagai berikut:
Fs = x 100%
Keterangan:
Fs
: Persentase harga yang diterima petani dari harga konsumen akhir
Pf
: Harga di tingkat petani
Pr
: Harga di tingkat konsumen
Semakin mahal konsumen membayar harga yang ditawarkan oleh lembaga
tataniaga (pedagang), maka yang diterima oleh petani akan semakin sedikit,
karena petani menjual komoditi pertanian dengan harga yang relatif rendah. Hal
ini memperlihatkan adanya hubungan negatif antara marjin tataniaga dengan
bagian yang diterima oleh petani. Semakin besar marjin maka penerimaan petani
relatif kecil.
Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya
Rasio keuntungan dan biaya (analisis L/C Ratio) adalah persentase
keuntungan tataniaga terhadap biaya pemasran yang secara teknis (operasional)
untuk mengetahui tingkat efisiennya. Penyebaran rasio keuntungan dan biaya
pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio Keuntungan Biaya (Li/Ci) =
Keterangan:
Li
: keuntungan lembaga tataniaga
Ci
: biaya tataniaga
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati,
Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Trangkil merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Pati hasil pemekaran dari Kecamatan Wedarijaksa. Lokasi Kecamatan
Trangkil terletak 11 km ke arah utara Kota Pati. Data monografi Kecamatan
Trangkil menyatakan bahwa jarak Kecamatan Trangkil dengan Semarang sebagai
Ibukota Propinsi Jawa Tengah yaitu sejauh 86 km. Kecamatan Trangkil dengan
luas wilayah 4 180.40 ha yang terdiri dari 937.05 ha lahan persawahan dan lahan
bukan sawah seluas 3 243.35 ha memiliki curah hujan sebesar 1194 mm per tahun
atau 127 hari curah hujan terbanyak. Terletak pada ketinggian 1 sampai 36 meter
29
dpl membuat lapisan tanah di Kecamatan Trangkil terdiri dari tanah regasol,
latosol, dan sebagian lainnya berjenis Red yellow mediteran.
Kecamatan Trangkil terdiri dari 16 desa yang meliputi Desa Tegalharjo,
Pasucen, Mojoagung, Karangwage, Ketanen, Trangkil, Kajar, Karanglegi,
Krandan, Rejoagung, Kadilangu, Tlutup, Kertomulyo, Guyangan, Sambilawang,
Asempapan. Batas-batas Kecamatan Trangkil secara administratif adalah :
Sebelah utara : Kecamatan Margoyoso
Sebelah selatan : Kecamatan Tlogowungu dan Kecamatan Wedarijaksa
Sebelah barat : Kecamatan Tlogowungu
Sebelah timur : Laut Jawa
Kecamatan Trangkil merupakan kecamatan dengan keadaan penduduk yang
padat. Hal tersebut dapat dilihat dari data monografi Kecamatan Trangkil yang
menyatakan bahwa jumlah penduduk Kecamatan Trangkil hingga tahun 2012
yaitu sebesar 62 035 orang dengan komposisi laki-laki sebesar 30 149 orang dan
perempuan sebanyak 31 886 orang dengan 20 613 kepala keluarga. Penduduk
Kecamatan Trangkil sebagian besar berprofesi sebagai petani dengan komoditas
utama padi (4 036.5 ton), tebu, palawija, dan tanaman buah.
Tabel 10 Sebaran jumlah penduduk di kecamatan Trangkil berdasarkan mata
pencaharian tahun 2012
Mata pencaharian
Petani
Nelayan
Pengusaha sedang/besar
Pengrajin/industri kecil
Buruh tani
Buruh industry
Buruh bangunan
Perdagangan
Pengangkutan
Pegawai Negeri Sipil
ABRI
Pensiunan
Ternak
Jumlah
(orang)
34 981
35
391
75
10 124
3 955
760
1 358
70
520
70
184
9 512
Persentase
(%)
56
0
1
0
16
6
1
2
0
1
0
0
15
Sumber : Data Monografi Kabupaten Pati 2012 (diolah)
Tebu sebagai salah satu komoditas utama Kecamatan Trangkil mendorong
berkembangnya industri gula yang ditandai dengan terdapatnya pabrik gula di
Kecamatan Trangkil yang terletak di Desa Trangkil, yaitu Pabrik Gula (PG)
Trangkil. PG Trangkil berdiri sejak tahun 1 835 dengan kapasitas giling awal
adalah 800 ton tebu per hari (tth). Hingga tahun 2012 PG Trangkil melakukan
Program Pengembangan PT Kebon Agung dengan kapasitas giling 6 000 tth.
Kecamatan Trangkil merupakan kecamatan yang paling banyak memproduksi
tebu. Hal tersebut dikarenakan luas lahan tebu di Kecamatan Trangkil merupakan
30
luas lahan terluas diantara kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Pati. Data
produksi tebu per kecamatan di Kabupaten Pati dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah produksi tebu per kecamatan di Kabupaten Pati tahun 2012
Kecamatan
Margoyoso
Trangkil
Wedarijaksa
Tlogowungu
Gembong
Margorejo
Juwana
Pati
Gabus
Tambakromo
Kayen
Pucakwangi
Winong
Sukolilo
Tayu
Jakenan
Batangan
Jaken
Dukuhseti
Wungkal
Cluwak
Produksi (ton)
1 293.700
2 511.411
1 855.341
1 260.801
947.747
1 290.446
255.431
1 051.220
811.740
569.917
469.294
456.528
150.000
306.018
453.429
558.944
733.890
1 500.035
507.639
325.358
35.102
Sumber : Pemerintah Kabupaten Pati 2012 (diolah)
KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN
Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani yang
sedang melakukan usahatani tebu dan melakukan pemanenan pada periode musim
panen sebelumnya yaitu tahun 2012. Responden dalam penelitian ini sebanyak 33
petani tebu yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan asumsi pernah
melakukan kegiatan panen pada periode 2012. Karakteristik petani tebu responden
dikelompokkan berdasarkan usia, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan dan
status lahan.
Usia
Petani yang menjadi reponden dalam penelitian ini mempunyai usia yang
berkisar antara 33 – 80 tahun. Petani responden pada penelitian ini lebih banyak
didominasi oleh petani dengan rentang usia 41 - 48 tahun dan 49 - 56 tahun
dengan persentase masing-masing adalah 33.33 persen. Hal tersebut dikarenakan
31
usia antara 41 – 56 tahun masih dianggap sebagai usia yang produktif. Kisaran
usia petani responden lainnya yaitu antara 33 – 40 tahun dengan persentase 18.18
persen, kisaran 57 – 64 tahun dan 65 – 72 tahun yang masing-masing memiliki
persentase 6.06 persen serta kisaran 73 – 80 tahun dengan persentase 3.03 persen.
Tabel 12
Sebaran petani responden berdasarkan usia di Kecamatan Trangkil
tahun 2013
Kelompok umur (tahun)
33-40
41-48
49-56
57-64
65-72
73-80
Jumlah responden
(orang)
6
11
11
2
2
1
Persentase (%)
18.18
33.33
33.33
6.06
6.06
3.03
Sumber : Data primer (diolah)
Pendidikan Terakhir
Petani tebu yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini
mempunyai tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Secara mayoritas petani
responden mempunyai tingkat pendidikan terakhir yaitu SD dengan persentase
48.48 persen atau sebanyak 16 orang. Petani tebu responden juga ditemui dengan
tingkat pendidikan terakhir yaitu SMA/SLTA sebanyak 30.30 persen atau 10
orang, SMP sebanyak 15.15 persen atau 5 orang, dan 2 orang petani responden
dengan tingkat pendidikan terakhir sarjana yaitu 6.06 persen. Pendidikan terakhir
petani responden berpengaruh terhadap cara petani untuk menerima informasi
pasar terkait tebu dan juga berbagi informasi dengan peneliti dalam menjawab
pertanyaan.
Tabel 13 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir di
Kecamatan Trangkil tahun 2013
Tingkat pendidikan
SD
SMP
SMA/SLTA
Sarjana
Jumlah responden
(orang)
16
5
10
2
Persentase
(%)
48.48
15.15
30.30
6.06
Sumber : Data primer (diolah)
Luas Lahan Tebu
Lahan tebu dari petani responden beraneka ragam. Secara mayoritas petani
responden memiliki luas lahan yang berkisar antara 0.8 – 23.8 ha dengan
persentase 84.85 persen atau sebanyak 28 petani responden. Luas lahan dengan
kisaran 23.9 – 46.9 ha juga ditemui dari petani responden yaitu sebanyak 2 orang
atau 6.06 persen dan 3 orang petani responden dengan luas lahan yang berkisar
32
antara 119 – 143 ha yaitu sebanyak 3 orang atau 9.09 persen. Semakin besar lahan
yang digunakan maka hasil yang diperoleh juga semakin besar. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa jika petani tebu ingin memperoleh hasil yang besar harus
menggunakan lahan yang besar pula.
Tabel 14 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan di Kecamatan
Trangkil tahun 2013
Luas lahan (Ha)
0.8-23.8
23.9-46.9
119-143
Jumlah responden (orang)
28
2
3
Persentase (%)
84.85
6.06
9.09
Sumber : Data primer (diolah)
Status Kepemilikan Lahan
Status kepemilikan lahan dari petani responden terbagi menjadi dua kategori
yaitu milik sendiri dan milik sendiri beserta menyewa. Sebagian besar lahan tebu
yang digunakan oleh petani responden adalah lahan dengan kepemilikan sendiri
yaitu sebanyak 12 orang atau 36.36 persen. Selebihnya petani responden
melakukan usahatani tebu dengan status kepemilikan lahan milik sendiri dan
menyewa dengan persentase 33.33 atau sebanyak 11 orang. Petani responden
yang mempunyai status kepemilikan lahan sendiri yang disertai dengan menyewa
tersbut mempunyai tujuan untuk memperbanyak skala tanam sehingga diharapkan
dapat memperoleh produksi tebu yang lebih banyak.
Tabel 15 Sebaran petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan di
Kecamatan Trangkil tahun 2013
Status lahan
Milik sendiri
Milik sendiri dan menyewa
Jumlah responden (orang)
12
11
Persentase (%)
36.36
33.33
Sumber : Data primer (diolah)
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa petani tebu
yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini merupakan petani dengan
kisaran usia 41-56 tahun dengan pendidikan terakhir mayoritas adalah SD. Luas
lahan petani responden rata-rata sebesar 17.4 ha dengan status kepemilikan
mayoritas adalah milik sendiri.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Lembaga dan Tataniaga
Tataniaga tebu dari petani hingga ke konsumen melibatkan beberapa
lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya memiliki peran
petani dalam usaha untuk menjalankan kegiatan usahatani dan memasarkan tebu
hasil kebun mereka. Petani responden yang berjumlah 33 orang menggunakan
saluran yang berbeda yang didasarkan pada letak geografis dan luasan lahan yang
diusahakan petani. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tebu adalah
petani, penempur, penebas, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI),
Kelompok Tani dan pabrik gula.
1.
Petani merupakan lembaga yang berperan dalam kegiatan produksi tebu.
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) merupakan perkumpulam
para petani tebu yang berperan dalam proses lelang gula. APTRI menjaga
agar harga lelang gula tidak terlampau rendah sehingga merugikan petani
tebu. Keberadaan APTRI ini membuat petani tebu memiliki posisi tawar
yang tinggi
2.
Pedagang besar (Penebas) merupakan lembaga yang berperan sebagai
pedagang yang membeli tebu hasil petani dan menggiling hasil tebu dari
petani ke pabrik gula. Biaya pemanenan dan pengangkutan petani
ditanggung oleh penebas.
3.
Kontraktor tebu (penempur) merupakan lembaga yang berperan juga
sebagai pedagang yang membeli tebu hasil petani tebu dan menggiling hasil
tebu dari petani ke pabrik gula. Lembaga tataniaga ini membeli tebu guna
memenuhi kuota penggilingan ke pabrik gula sehingga mendapatkan
kepercayaan dari pabrik gula untuk melakukan penggilingan. Biaya
pemanenan dan pengangkutan ditanggung oleh penempur.
4.
Kelompok tani tebu merupakan lembaga perkumpulan petani tebu yang
merupakan jembatan antara petani kecil dengan pabrik gula untuk mengolah
tebu menjadi gula dan pembagian hasil giling tebu.
5.
Pabrik gula merupakan lembaga yang memiliki tugas untuk menjadi
perantara peminjaman modal usaha, mengolah tebu menjadi gula dengan
cara digiling, serta pembagian hasil jual gula lewat sistem bagi hasil. Pabrik
gula hanya menggiling tebu milik petani yang memiliki nomor kontrak
dengan pabrik gula. Tebu yang digiling menjadi gula kemudian dijual
kepada pihak investor melalui sistem lelang.
Saluran Tataniaga
Penelitian ini mengambil responden sebanyak 33 petani dengan volume tebu
sebesar 504 880 kuintal. Terdapat empat saluran tataniaga tebu yang berada di
kecamatan Trangkil. Saluran pertama dilalui oleh tiga lembaga tataniaga yaitu
petani tebu, kelompok tani, dan pabrik gula yang diikuti sebanyak 16 petani atau
sebesar 48,5 persen. Saluraan kedua tataniaga tebu melalui tiga lembaga tataniaga
yaitu petani tebu, penebas, dan pabrik gula yang diikuti oleh empat petani atau
sebesar 12,1 persen. Saluran ketiga tataniaga tebu melalui tiga lembaga tataniaga
yaitu petani tebu, penempur, dan pabrik gula yang diikuti oleh tiga petani atau
34
sebesar 9,1 persen. Saluran tataniaga yang terakhir diikuti oleh 10 petani atau
sebesar 30,3 persen yang merupakan saluran tataniaga terpendek yaitu petani dan
pabrik gula.
Saluran Tataniaga 1
Saluran yang terdiri dari petani, kelompok tani, dan pabrik gula ini diikuti
oleh 16 petani responden dengan jumlah tebu yang dipasok ke pabrik gula sebesar
43 280 kuintal atau sebesar 8.37 persen. Petani yang tergabung dalam kelompok
tani ini didominasi oleh petani yang memiliki lahan kecil. Selain itu, karakteristik
kelompok tani ini didasarkan pada tempat kebun tebu mereka yang saling
berdekatan, yaitu sekitar Desa Ketanen dan Desa Pesucen.
Kelompok tani ini sangat membantu kegiatan usahatani petani tebu.
Kelompok tani bertindak sebagai fasilitator bagi para petani anggota yang pada
kontraknya dengan pabrik gula diwakilkan atas nama satu orang yaitu ketua
kelompok tani. Para anggota kelompok tani mendapatkan bantuan modal dari
pabrik gula berupa kredit biaya garap dan tanam serta biaya tebang angkut. Hal ini
mewajibkan petani untuk menggiling tebunya ke pabrik gula karena adanya
kewajiban untuk membayar kredit dan bunga tersebut kepada pabrik gula pada
akhir periode giling atau pemberian bagi hasil antara petani dan pabrik gula.
Bantuan kredit yang diberikan oleh pabrik gula adalah hasil kerjasama antara
pabrik gula dengan bank penyedia Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE).
Pabrik gula berperan sebagai pihak yang mengolah tebu menjadi gula. Tebu
yang sudah menjadi gula kemudian dilelang melalui perantara Asosiasi Petani
Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) di Semarang. Sistem bagi hasil antara pabrik
gula dan petani dibagi menjadi dua bagian yaitu 34 persen bagian pabrik gula
sebagai imbalan untuk biaya giling tebu dan 66 persen hasil lelang gula milik
petani. 66 persen hasil lelang gula ini diberikan kepada petani berupa tunai
sebesar 90 persen dan natura berupa gula 10 persen. Apabila kelompok tani masih
memiliki kewajiban untuk membayar kewajiban berupa kredit dan potongan lain,
maka pada akhir periode giling pendapatan petani akan dipotong dengan
kewajiban tersebut.
Saluran Tataniaga 2
Saluran tataniaga ini terdiri dari tiga lembaga tataniaga, yaitu petani,
penempur, dan pabrik gula ini diikuti oleh tiga orang petani responden dengan
jumlah tebu yang dipasok ke pabrik gula sebesar 11 200 kuintal atau 2.22 persen.
Petani menggunakan saluran tataniaga dua ini adalah petani yang tidak memiliki
surat kontrak dengan pabrik gula. Selain itu alasan petani menggunakan saluran
tataniaga dua adalah petani lebih mudah dalam menjual hasil tebu lebih mudah
dan cepat.
Kondisi seperti ini dianggap menguntungkan oleh petani yang
menggunakan saluran tataniaga dua. Saluran ini diminati oleh petani karena
memberikan kemudahan bagi petani dan petani tidak perlu menanggung risiko
setelah hasil gilingan. Risiko akan ditanggung oleh penempur yang membeli hasil
panen tabu miliknya. Kontraktor tebu memiliki surat kontrak dengan pabrik gula
dan akan membawa tebu hasil pembeliannya dengan petani ke pabrik gula untuk
digilingkan. Kontraktor tebu membeli tebu milik petani untuk memenuhi surat
kontrak yang sudah ditandatangani dengan pabrik gula.
35
Kontraktor tebu akan mendatangi pemilik tebu untuk membeli tebu yang
telah siap panen. Kontraktor tebu akan melakukan kegiatan tawar menawar harga
tebu. Kontraktor tebu membeli tebu milik petani sebesar Rp 41 300/kuintal tebu.
Setelah harga disepakati oleh kedua pihak , maka petani akan melakukan
penebangan dan pengangkutan tebu yang telah dibeli dari petani. Tebu yang telah
ditebang dibawa ke pabrik gula untuk digiling. Hasil tebu yang digiling oleh
pabrik gula akan diikutkan dalam lelang yang diadakan pabrik gula dengan
investor.
Harga tebu ditentukan melalui kesepakatan antara penempur dengan petani
tebu. Sistem pembelian dilakukan dengan tunai. Petani tebu mendapatkan
informasi pasar dari penempur dan petani tebu lainnya. Petani memiliki posisi
tawar yang tinggi karena dapat menentukan harga melalui negosiasi dengan
penempur.
Saluran Tataniaga 3
Saluran tataniaga ini terdiri dari tiga lembaga tataniaga, yaitu petani tebu,
penebas dan pabrik gula yang diikuti oleh empat orang petani responden dengan
jumlah tebu yang dipasok ke pabrik gula sebesar 12 150 kuintal atau sebesar 2.41
persen. Pedagang besar membeli tebu yang siap panen milik petani berdasarkan
luasan harga. Harga tebu petani dibeli dengan harga Rp 36 500 000/hektar.
Pedagang besar membeli tebu petani seharga Rp 40 900/kuintal.
Petani yang menggunakan saluran tiga ini adalah petani yang tidak memiliki
surat kontrak dengan pabrik gula. Selain itu petani menggunakan saluran tiga ini
petani lebih mudah dalam menjual hasil tebu, cepat dan biaya pemanenan
ditanggung oleh penebas. Kondisi ini dianggap menguntungkan oleh petani yang
menggunakan saluran tataniaga tiga. Saluran ini memberikan kemudahan bagi
petani dan petani tidak perlu menanggung biaya pemanenan atas hasil usahatani
tebunya.
Pedagang besar dan petani melakukan kegiatan tawar menawar harga tebu.
Setelah harga tebu disepakati oleh kedua belah pihak maka penebas melakukan
penebangan dan pengangkutan tebu yang telah dibeli dari petani. Tebu yang telah
ditebang akan diangkut ke pabrik gula untuk digiling. Hasil tebu yang digiling
oleh pabrik gula akan diikutkan lelang yang diadakan pabrik gula dan investor.
Dalam hal ini penebas mempunyai kemungkinan rugi karena menanggung risiko
dari hasil penggilingan tebu dari tebu yang dibeli dari petani.
Harga tebu ditentukan melalui kesepakatan antara penebas dan petani tebu.
Sistem pembelian dilakukan dengan cara tunai. Petani memiliki posisi tawar yang
tinggi karena dapat menentukan harga melalui negosiasi dengan penebas.
Saluran Tataniaga 4
Saluran tataniaga empat adalah saluran tataniaga terpendek yang hanya
melalui dua lembaga tataniaga, yaitu petani dan pabrik gula. Sebanyak 10 petani
responden dengan jumlah tebu yang dipasok ke pabrik gula sebesar 439 250
kuintal atau sebesar 87 persen. Saluran ini digunakan oleh petani besar yang
memiliki lahan yang luas dan memiliki kontrak dengan pabrik gula.
Petani pada saluran empat melakukan peminjaman modal berupa kredit
melalui pabrik gula dan petani memiliki kontrak giling langsung dengan pabrik
gula. Petani tebu pada saluran tebu ini menyalurkan tebunya ke pabrik gula secara
36
langsung untuk kemudian digiling dan menjadi gula. Petani tebu terikat dengan
pabrik gula karena adanya kontrak dan kewajiban berupa pinjaman untuk kegiatan
usahatani melalui program KKPE yang harus dibayarkan pada akhir periode
giling. Kewajiban ini akan dipotong secara langsung dari bagi hasil penjualan tebu
yang sudah digiling menjadi gula, sehingga pabrik gula tidak mengalami masalah
dengan pembayaran kewajiban petani.
Petani dalam hal ini sebagai lembaga penyedia tebu mengeluarkan biaya
tataniaga. Seluruh biaya tataniaga ditanggung oleh petani seperti biaya tebang,
biaya angkut, biaya pengemasan serta iuran APTRI. Tebu tersebut kemudian
digiling di pabrik gula dan menjadi gula. Petani mendapatkan hasil tunai dari
penjualan gula miliknya setelah proses lelang gula berakhir.
Petani tebu
33 petani
504 880 kuintal
Kelompok tani
16 petani
43 280 kuintal
8.37 %
Penempur
3 petani
11 200 kuintal
2.22 %
Penebas
4 petani
12 150 kuintal
2.41 %
Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Saluran 4
10 petani
439 250
kuintal
87 %
Pabrik gula Trangkil
504 880 kuintal
Gambar 3 Sistem tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil tahun 2012
Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa sebesar 87 persen tebu hasil
petani disalurkan langsung dari petani ke PG Trangkil tanpa melalui perantara.
Hal tersebut dikarenakan adanya pinjaman berupa kredit yang diberikan PG
Trangkil kepada petani sebagai modal untuk kegiatan usahatani melalui program
KKPE yang harus dibayarkan pada akhir periode giling dari bagi hasil penjualan
tebu yang sudah digiling menjadi gula.
Analisis Fungsi Tataniaga
Setiap lembaga tataniaga memiliki fungsi yang berbeda dalam penyampaian
tebu dari mulai petani sampai ke pabrik gula. Lembaga tataniaga pada tataniaga
37
tebu ini memiliki fungsi utama untuk memperlancar proses penyampaian pada
tataniaga tebu itu sendiri. Fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi fungsi
pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas.
Tabel 16 Fungsi dan aktivitas dari petani dan setiap lembaga tataniaga tebu di
Kecamatan Trangkil
Lembaga
Tataniaga
Petani
Kelompok Tani
Fungsi
Tataniaga
Pertukaran
Fisik
Pertukaran
Penempur
Fasilitas
Pertukaran
Fasilitas
Penebas
Pertukaran
Fasilitas
Fisik
Aktivitas
Penjualan
Penebangan dan pengangkutan
Pengumpulan tebu dan menggilingkan tebu ke
pabrik gula
Pembiayaan
Pembelian tebu petani
Menjual tebu ke pabrik gula
Penanggungan resiko
Informasi pasar
Pembelian tebu petani
Menjual tebu ke pabrik gula
Informasi pasar
Penebangan dan pengangkutan
Petani
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani tebu di kecamatan Trangkil
adalah fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi pertukaran yang dilakukan
adalah fungsi penjualan. Fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan tebu dari lahan
petani ke pabrik gula untuk digiling.
a.
Fungsi Pertukaran
Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh petani adalah fungsi penjualan. pada
saluran satu terdapat tiga orang petani yang menjual tebunya kepada kontaktor
tebu, empat orang petani melakuakan penjualan tebunya melalui kelompok tani.
Penjualan tebu dilakukan di kebun tebu milik petani. Lembaga tataniaga
akan mendatangi petani untuk membeli hasil panen petani. APTRI dan kelompok
tani memiliki data mengenai data tanam dan panen petani sehingga lembaga
tataniaga tersebut akan mendatangi petani yang telah siap panen. Pedagang besar
merupakan langganan dari petani yang menjual tebu kepada penebas.
Fungsi Fisik
b.
Fungsi fisik yang dilakukan petani adalah fungsi pengangkutan yang
dilakukan oleh petani. Proses pemanenan dan pengangkutan dilakukan oleh buruh
yang disewa. Biaya pemanenan dan pengangkutan merupakan biaya yang
dikeluarkan oleh petani merupakan biaya pinjaman yang dikeluarkan oleh pabrik
gula dan kelompok tani. Biaya tersebut akan dibayar oleh petani setelah petani
mendapatkan hasil dari gilingan tebu. Pada saluran biaya pemanenan dan
pengangkutan akan ditanggung sepenuhnya oleh penebas yang membeli tebu
milik petani.
38
Kelompok Tani
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh kelompok tani adalah fungsi
pertukaran dan fungsi fasilitas. Fungsi tataniaga kelompok tani terdapat pada
saluran satu.
a.
Fungsi Pertukaran
Kelompok tani melakukan fungsi pertukaran berupa pengumpulan tebu
milik anggota dan menggilingkan tebu ke pabrik gula. Petani anggota tidak dapat
melakukan proses giling di pabrik gula secara langsung karena tidak memiliki
kontrak. Kelompok tani yang diwakilkan oleh satu nama memiliki surat kontrak
dan dapat menggilingkan tebu milik petani anggota.
b.
Fungsi Fasilitas
Kelompok tani memfasilitasi petani anggota dalam fungsi pembiayaan
seperti kredit modal usaha. Kredit modal usaha diperoleh dari pabrik gula yang
bekerjasama dengan Bank yang menyediakan Kredit Ketahanan Pangan dan
Energi (KKPE) dan biaya administrasi dibagi secara rata kepada petani menurut
kuintal tebu yang dihasilkan. Selain itu fungsi informasi pasar dilakukan oleh
kelompok tani.
Penempur
Penempur melakukan fungsi tataniaga seperti fungsi pertukaran dan fungsi
fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh penempur adalah fungsi
pembelian dan penjualan sedangkan fungsi fasilitas penempur adalah
penanggungan risiko dan informasi pasar. Fungsi tataniaga penempur terdapat
pada saluran dua.
a.
Fungsi Pertukaran
Penempur memiliki kontrak dengan pabrik gula sehingga kontraktor harus
memenuhi pasokan tebu yang akan disalurkan ke pabrik gula. Fungsi pertukaran
yang dilakukan oleh penempur adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan.
Fungsi pembelian dilakukan di lahan petani secara langsung. Pada saat panen tiba
penempur akan mendatangi petani untuk melakukan pembelian tebu. Biaya
angkut dan tebang ditanggung oleh petani sehingga penempur menyepakati harga
tebu dengan petani dengan melakukan kegiatan tawar menawar. Fungsi penjualan
yang dilakukan oleh penempur adalah saat penempur menjual tebu ke pabrik gula.
Tebu yang telah dibeli dari petani dibawa ke pabrik gula untuk digiling. Tebu
yang telah digiling akan diikutkan lelang yang diadakan oleh pabrik gula.
Fungsi Fasilitas
b.
Penempur melakukan fungsi fasilitas yaitu penanggungan risiko dan
informasi pasar. Kontraktor tebu menanggung semua risiko atas tebu yang
dibelinya dari petani. Dalam hal ini petani tebu membeli tebu petani yang sudah
ditebang dan diangkut oleh petani. Biaya tebang dan angkut ditanggung oleh
petani. Risiko mengenai rendahnya rendemen atau kerusakan ditanggung oleh
penempur karena penempur harus memasok tebu yang sesuai kontraknya antara
penempur dengan pabrik gula. Informasi pasar yang dibutuhkan oleh penempur
adalah informasi harga beli tebu, petani yang menjual tebu dan tidak memiliki
kontrak serta kewajiban dengan pihak lain, harga jual tebu dan rendemen.
39
Penebas
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh penebas adalah fungsi pertukaran dan
fungsi fisik. Fungsi tataniaga tersebut terdapat pada saluran tataniaga tiga.
a.
Fungsi Pertukaran
Penebas ini melakukan fungsi pertukaran berupa pembelian tebu dari petani.
Dalam hal ini penebas membeli tebu petani yang tidak memiliki kontrak dan
kewajiban dengan pihak manapun. Pedagang besar membeli tebu petani secara
tunai di lahan tebu petani penjual. Setelah itu penebas menggiling tebu ke pabrik
gula dan dilelang sehingga penebas pun menjalani fungsi penjualan.
b.
Fungsi Fisik
Penebas mendatangi lahan tebu untuk membeli tebu milik petani. Kegiatan
panen berupa tebang dan angkut pun dilakukan oleh buruh yang disewa oleh
penebas. Seluruh biaya tebang dan angkut dibayarkan oleh penebas sehingga
petani tidak mengeluarkan biaya.
Analisis Struktur Pasar
Struktur pasar dapat dilihat dari jumlah pembeli dan penjual yang ada di
dalam pasar, kondisi dan keadaan produk, kemudahan untuk keluar masuk pasar
dan tingkat informasi pasar. Setiap lembaga tataniaga perlu mengetahui struktur
pasar yang ada agar dapat bertindak efisien dalam tataniaga suatu produk. Berikut
adalah analisis struktur pasar yang dihadapi oleh pelaku pasar dalam tataniaga
tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Struktur Pasar di Tingkat Petani
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani mengarah kepada pasar oligopsoni.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah petani di kecamatan Trangkil yang banyak dan
seluruh petani berperan sebagai penjual tebu. Petani hanya memiliki opsi menjual
tebunya kepada beberapa lembaga yaitu pedagang perantara dan pabrik gula
saja.Tidak semua petani menjual tebu dalam bentuk utuh, sebagaian besar petani
menjual tebu dalam bentuk olahannya, yaitu gula melalui fungsi APTRI dalam
proses lelang. Sifat produk yang diperdagangkan pun bersifat homogen, yaitu
tebu. Terdapat hambatan untuk keluar dan masuk pasar karena petani terikat
dengan penyedia modal. Usahatani tebu memerlukan modal yang besar, yaitu Rp
18 000 000 per hektar untuk tunas 1 dan Rp 10 000 000 per hektar tunas 2. Petani
yang mendapatkan modal dari Pabrik Gula Trangkil harus menggilingkan tebunya
ke Pabrik Gula Trangkil karena pembayaran kredit modal akan dipotong dari hasil
penjualan gula milik petani, sehingga terdapat hambatan untuk keluar pasar.
Harga gula yang merupakan hasil olahan tebu ditentukan oleh lelang yang
dilakukan APTRI di Semarang, Jawa Tengah. Petani pun mendapatkan informasi
yang lengkap dari Pabrik Gula Trangkil yang mencakup identitas petani,
rendemen, kuintal gula, bagi hasil antara Pabrik Gula dan petani, kewajiban petani
dari kredit modal, dan pendapatan petani.
Struktur Pasar di Tingkat Kelompok Tani
Struktur pasar yang dihadapi oleh kelompok tani mengarah kepada pasar
monopsoni dikarenakan kelompok tani hanya menjual tebu ke pabrik gula
Trangkil. Hal ini dikarenakan kelompok tani merupakan gabungan dari para
40
petani namun petani yang bergabung pada kelompok tani ini tidak memiliki
kontrak sehingga difasilitasi oleh kelompok tani. Kelompok tani yang berada di
kecamatan Trangkil banyak, hal ini dikarenakan untuk memperoleh ijin giling di
pabrik gula, selain itu petani yang memiliki lahan yang kecil dan petani merasa
lebih baik untuk bergabung karena akan mendapatkan kemudahan untuk
pengurusan kredit modal, proses pelaksanaan usahatani, dan kegiatan pasca
usahatani. Produk yang diperdagangkan homogen yaitu tebu. Terdapat hambatan
keluar masuk pasar karena seluruh petani pada kelompok tani ini menggunakan
kredit modal yang difasilitasi oleh Pabrik Gula Trangkil, sehingga kelompok tani
ini tidak dapat keluar dari pasar karena terkait modal tersebut. Selain terikat
karena modal, kelompok tani pun terkait pada wilayah lahan yang berdekatan
sehingga petani tidak dapat keluar dari kelompok dan pasar. Informasi mengenai
pasar didapatkan dari Pabrik Gula Trangkil saat pembayaran bagi hasil yang
mencakup informasi yang sama dengan petani tebu.
Struktur Pasar di Tingkat Penebas
Struktur pasar yang dihadapi oleh penebas mendekati oligopsoni. Hal ini
dapat dilihat dari jumlah pemain yang sedikit di wilayah kecamatan Trangkil.
Pedagang besar juga merupakan petani tebu sehingga penebas tentu memiliki
kontrak dengan pabrik gula. Produk yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu
tebu. Harga ditentukan melalui sistem tawar menawar antara penebas dengan
petani. Hambatan masuk ke dalam pasar adalah sulitnya mendapatkan surat
kontrak dengan pabrik gula. Hambatan ini tergolong kecil karena surat kontrak
dapat diajukan kepada pabrik gula dengan mengikuti cara dan persyaratan yang
berlaku. Hambatan keluar penebas harus menggilingkan tebu kepada pabrik gula
sesuai kesepakatan dalam surat kontrak. Informasi yang didapatkan adalah
informasi harga beli tebu, biaya pemanenan dan biaya pengangkutan, rendemen
tebu dan permintaan tebu. Informasi biaya angkut dan tebang dibutuhkan karena
penebas yang menanggung biaya tersebut.
Struktur Pasar di Tingkat Penempur
Struktur pasar yang dihadapi oleh penempur adalah pasar oligopsoni. Hal ini
dapat dilihat dari jumlah penempur yang sedikit. Produk yang diperjualbelikan
bersifat homogen yaitu tebu. Harga ditentukan melalui sistem tawar menawar
dengan petani. Hambatan untuk keluar masuk pasar termasuk kecil karena
penempur merupakan petani tebu. Kontraktor tebu melakukan kegiatan pembelian
tebu dikarenakan ingin memenuhi kebutuhan jumlah pasokan tebu sesuai kontrak
antara penempur dengan pabrik gula. Hambatan masuk ke dalam pasar adalah
sulitnya mendapatkan surat kontrak ijin giling dengan pabrik gula. Informasi yang
didapatkan adalah informasi mengenai harga beli tebu, lokasi petani yang menjual
tebu dan rendemen tebu. Pembayaran tebu dilakukan secara tunai. Informasi
mengenai pasar didapatkan penempur dari pabrik gula dan sesama penempur.
Analisis Perilaku Pasar
Perilaku pasar merupakan pola atau tingkah laku lembaga-lembaga
tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar. Analisis perilaku pasar dapat
dilihat dari praktek pembelian dan penjualan yang dilakukan lembaga tataniaga,
41
sistem penentuan harga dan pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga.
Uraian dari perilaku pasar dalam tataniaga tebu di kecamatan Trangkil adalah.
Praktek Pembelian dan Penjualan
Petani tebu yang menjadi responden dalam penelitian ini menjual tebunya
kepada penebas, penempur ,ke pabrik gula melalui kelompok tani dan menjual
langsung ke pabrik gula secara langsung. Sistem penjualan yang dilakukan petani
secara tunai dan menggunakan nota penjualan. Penjualan secara tunai dilakukan
apabila petani menjual tebu kepada penebas dan penempur. Penjualan secara nota
penjualan dilakukan apabila petani menjual hasil tebunya kepada pabrik gula
melalui kelompok tani dan ke pabrik gula secara langsung. Biaya pemanenan
berupa biaya angkut dan tebang ditanggung oleh petani jika petani menjual hasil
tebunya kepada pabrik gula melalui kelompok tani , ke pabrik gula secara
langsung , dan penempur. Apabila petani menjual hasil tebunya kepada penebas
maka biaya tersebut akan ditanggung oleh penebas.
Pedagang besar membeli tebu milik petani secara borongan dan
membayarnya secara tunai. Proses pembelian penebas dikenal sebagai istilah
tebasan. Pedagang besar umumnya merupakan petani tebu juga karena memiliki
kontrak ijin giling dengan pabrik gula. Biaya pemanenan berupa biaya tebang dan
angkut akan ditanggung oleh penebas. Pembelian dilakukan di kebun milik petani,
penebas akan mendatangi petani yang akan siap panen. Komunikasi antara petani
dan penebas dilakukan secara langsung. Selanjutnya penebas akan menjual tebu
kepada pabrik gula, penjualan dilakukan dengan nota penjualan. Tebu yang telah
digiling oleh pabrik gula akan diadakan bagi hasil dengan pabrik gula sesuai
dengan rendemen yang dihasilkan oleh tebu milik penebas. Pedagang besar akan
mendatangi langsung pabrik gula tempat penebas akan menggiling tebu miliknya.
Petani tebu juga menjual tebu miliknya kepada penempur. Kontraktor tebu
yang juga merupakan petani tebu memiliki kontrak ijin giling dengan pabrik gula.
Kontraktor tebu melakukan pembelian tebu kepada petani tebu guna memenuhi
jumlah pasokan tebu ke pabrik gula sesuai dengan kontraknya. Pada kegiatan
pembelian ini petani ada kemungkinan rugi dikarenakan petani membeli hanya
untuk memenuhi kontrak saja. Hal seperti ini dikenal dengan istilah tempuran.
Biaya pemanenan berupa biaya tebang dan biaya angkut ditanggung oleh petani
yang menjual. Pembelian tebu antara penempur dengan petani dilakukan secara
tunai. Selanjutnya penempur akan menjual tebu yang sudah dibeli ke pabrik gula
yang terikat kontrak dengan penempur. Tebu yang telah digiling oleh pabik gula
akan diadakan bagi hasil dengan pabrik gula sesuai rendemen yang dihasilkan
oleh tebu tersebut.
Pabrik gula melakukan pembelian tebu milik petani melalui perantara
kelompok tani. Kelompok tani memiliki anggota petani tebu , kelompok tani
menyalurkan tebu milik petani kepada pabrik gula. Tebu milik petani digilingkan
ke pabrik gula menggunakan nama kelompok tani yang telah memiliki surat
kontrak dari pabrik gula. Biaya pemanenan berupa biaya angkut dan tebang
ditanggung oleh petani. Sistem pembelian dilakukan dengan menggunakan nota
penjualan, pembayaran akan diberikan melalui kelompok tani. Pabrik gula
melakukan sistem bagi hasil dengan petani sesuai dengan rendemen yang
dihasilkan tebu. Tebu yang telah digiling oleh pabrik gula akan dijual melalui
sistem lelang yang akan diadakan pabrik gula dan investor. Proses penjualan gula
42
dilakukan pabrik gula dalam kurun 10 hari sekali selama periode giling. Sistem
penjualan dilakukan oleh pabrik gula secara tunai.
Penjualan tebu milik petani yang kontrak dengan pabrik gula dilakukan
secara nota penjualan. Biaya pemanenan berupa biaya tebang dan angkut
ditanggung oleh petani. Tebu selanjutnya akan diangkut ke pabrik gula untuk
digiling. Tebu yang telah digiling oleh pabrik gula akan dijual melalui sistem
lelang yang akan diadakan pabrik gula dan investor. Proses penjualan gula
dilakukan pabrik gula dalam kurun waktu 10 hari sekali selama periode giling.
Sistem penjualan dilakukan oleh pabrik gula secara tunai.
Sistem Penentuan Harga dan Pembayaran Harga
Sistem penentuan harga yang berlaku pada sistem tataniaga tebu di
kecamatan Trangkil adalah tawar menawar antara pembeli dan penjual dan
berdasarkan tawaran tertinggi dalam sistem lelang. Harga juga ditentukan dari
pemerintah mengenai harga maksimal lelang gula. Bila harga telah tercapai maka
proses pembelian dan penjualan akan dilakukan dan transaksi akan terjadi.
Sistem penentuan harga di tingkat petani dengan penebas dan penempur
dilakukan secara tawar menawar di antara penjual dan pembeli. Pedagang besar
dan penempur membeli tebu dengan harga perkiraan dan menduga hasil tebu yang
dihasilkan baik kuantitas maupun kualitas tebu yang dibeli. Dalam hal ini posisi
tawar petani tinggi karena ikut andil dalam kegiatan tawar menawar. Namun
petani tidak dapat sepenuhnya mempengaruhi harga jual tebu karena harga tebu
dilihat berdasarkan ketetapan pemerintah terhadap harga gula. Jika harga yang
ditetapkan rendah maka harga yang diterima petani juga rendah. Petani memiliki
posisi tawar yang rendah karena bertindak sebagai penerima harga (price taker).
Selain itu penentuan harga di tingkat penebas dan penempur ditentukan oleh
musim pada saat panen. Jika saat panen tiba yang terjadi musim hujan maka harga
tebu akan turun atau rendah. Hal ini dikarenakan musim hujan membuat kadar air
yang terdapat dalam tebu akan tinggi sehingga akan menyebabkan turunnya
rendemen tebu.
Sistem pembayaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang
terlibat dalam sistem tataniaga tebu di kecamatan Trangkil dapat secara tunai dan
nota penjualan. Sistem pembayaran dipengaruhi oleh perjanjian antara pembeli
dan penjual. Sistem pembayaran secara tunai dilakukan antara petani dengan
penebas dan penempur. Sistem pembayaran dengan nota penjualan dilakukan
antara pabrik gula dengan petani, kelompok tani, penebas, dan penempur.
Kerjasama Antara Lembaga Tataniaga
Kerjasama antara lembaga-lembaga tataniaga yang ada pada tataniaga tebu
di kecamatan Trangkil memungkinkan tataniaga tebu menjadi lebih lancar.
Kerjasama antar lembaga tataniaga terjalin karena adanya proses pembelian dan
penjualan. Kerjasama antara lembaga tataniaga saling membantu dan
mendapatkan kepercayaan satu sama lain.
Kerjasama antara petani dengan penebas dilakukan dalam kegiatan
pembelian dan penjualan. Pedagang besar yang membeli tebu pada petani
meringankan biaya petani karena biaya pemanenan berupa biaya tebang dan biaya
angkut ditanggung oleh penebas. Petani merasa diuntungkan karena tidak
menanggung biaya lagi.
43
Kerjasama antara petani dengan penempur adalah dalam hal pembelian dan
penjualan tebu. Kontraktor tebu mendapatkan surat kontrak dari pabrik tebu dan
diharuskan untuk menggilingkan tebu miliknya kepada pabrik gula tersebut. Jika
penempur tersebut secara kontinu atau terus menerus dapat memenuhi kapasitas
giling yang tertera dalam surat kontrak maka penempur akan mendapatkan surat
kontrak lagi. Surat kontrak penempur akan bertambah dan ia harus memenuhi
kapasitas giling yang disebutkan dalam surat kontrak. Kerjasama ini membuat
penempur enggan untuk menjual tebu miliknya ke pabrik gula yang lain.
Kerjasama antara petani dengan kelompok tani dilakukan dalam kegiatan
mengirimkan tebu milik petani untuk digiling ke pabrik gula. Petani mendapatkan
kemudahan dalam menggilingkan tebu di pabrik gula karena kelompok tani akan
mengurus segala sesuatu hingga tebu milik petani telah dijual melalui sistem
lelang yang diadakan oleh pabrik gula. Biaya pemanenan berupa biaya tebang dan
angkut ditanggung oleh petani.
Kerjasama kelompok tani dengan pabrik gula sama halnya dengan
kerjasama antara penebas dan penempur dengan pabrik gula. Kelompok tani,
penebas, dan penempur akan mendapatkan kepercayaan dari pabrik gula untuk
menggilingkan tebu miliknya kepada pabrik gula tersebut. Hal demikian juga
berlaku untuk petani pun akan mendapat kepercayaan untuk menggilingkan tebu
miliknya di pabrik gula tersebut.
Analisis Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang
dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat
dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai
dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga tataniaga. Margin sebagai bagian dari harga konsumen yang
tersebar pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat (Kohl dan Uhl, 2002).
Marjin ataniaga yang dihitung dalam penelitian ini menggunakan prinsip
kesetaraan. Semua satuan yang digunakan dalam perhitungan marjin tataniaga
tebu ini adalah Rupiah per kuintal tebu. Rendemen yang digunakan dalam
perhitungan penelitian ini adalah rendemen rataan dari petani sebesar 7.13. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam satu kuintal tebu yang digiling dapat menghasilkan
gula sebanyak 7.13% x 1 kuintal = 0.0713 atau 7.13 kilogram. Hasil sampingan
yang didapatkan petani dari tebu yang digiling di pabrik gula adalah tetes dan gula
natura. Tetes dihasilkan dari gilingan tebu di pabrik gula, dimana dalam satu
kuintal tebu didapatkan 0.03 kuintal atau 3 kilogram tetes tebu. Natura yang
diberikan kepada petani adalah sebanyak 10 persen dari gula keseluruhan milik
petani yaitu 66 persen dari total gula yang dihasilkan dari tebu petani sedangkan
34 persen gula adalah milik Pabrik Gula Trangkil sebagai bagi hasil atas upah
giling tebu. Gula natura milik petani sebagian besar diikutkan dalam lelang gula
hasil gilingan tebu.
Pada saluran tataniaga satu, petani mengeluarkan biaya tataniaga yang
terdiri dari biaya pemanenan sebesar Rp 4 000/kuintal tebu dan biaya
pengangkutan sebesar Rp 3 000/kuintal. Biaya pemanenan dan pengangkutan
dilakukan masing-masing kelompok tani dengan membayar buruh secara
borongan dan atas nama kelompok tani sehingga biayanya dapat lebih biaya iuran
44
APTRI sebesar Rp 15/kuintal tebu. Biaya pengemasan berupa karung untuk gula
yang sudah digiling sebesar Rp 305.8 per kuintal tebu yang telah digiling. Biaya
tataniaga tebu yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pada saluran tataniaga satu
dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 1
(43 280 kuintal)
Biaya
Rata-rata (Rp/kuintal)
Petani
Biaya pemanenan
Biaya pengangkutan
Biaya iuran APTRI
Biaya karung
Jumlah
Kelompok Tani
Total Biaya Tataniaga
4 000
3 000
15
305.8
7 320.8
7 320.8
Sumber : Data Primer (Diolah)
Pada saluran tataniaga kedua biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah
biaya pemanenan dan biaya pengangkutan dimana biaya pemanenan yang
ditanggung oleh petani adalah sebesar Rp 5 500/kuintal tebu dengan biaya
pengangkutan yaitu Rp 4 000/kuintal tebu. Sehingga total biaya tataniaga yang
ditanggung oleh petani adalah sebesar Rp 9 500/kuintal tebu. Biaya tataniaga yang
dikeluarkan oleh penempur hanya sebatas biaya pengemasan yaitu untuk karung
gula setelah tebu digiling sebesar Rp 305.8 serta biaya iuran APTRI yaitu sebesar
Rp 15/kuintal tebu. Sehingga total biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh
penempur adalah Rp 320.8/kuintal tebu Biaya tataniaga terbesar dikeluarkan oleh
petani karena petani mengeluarkan biaya pemanenan dan biaya pengangkutan
yang merupakan biaya terbesar dalam biaya tataniaga. Biaya tataniaga tebu yang
dikeluarkan oleh setiap lembaga pada saluran tataniaga kedua dapat dilihat pada
Tabel 18.
Tabel 18 Biaya tataniaga tebu setiap lenbaga tataniaga pada saluran tataniaga 2
(11 200 kuintal)
Biaya
Petani
Biaya pemanenan
Biaya pengangkutan
Jumlah
Penempur
Biaya pengemasan
Biaya dan iuran APTRI
Jumlah
Total Biaya Tataniaga
Sumber : Data Primer (Diolah)
Rata-rata (Rp/kuintal)
5 500
4 000
9 500
305.8
15
320.8
9 820.8
45
Pada saluran tataniaga ketiga, petani tidak mengeluarkan biaya tataniaga
karena biaya pemanenan dan pengangkutan yang biasanya ditanggung oleh petani
menjadi tanggungan penebas yang membeli tebu milik petani. Petani pada saluran
ketiga tidak mengeluarkan biaya tataniaga karena semua biaya tataniaga
ditanggung oleh penebas. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh penebas adalah
biaya pemanenan sebesar Rp 5 500/kuintal tebu, biaya pengangkutan sebesar Rp 5
000/kuintal tebu dan biaya pengemasan Rp 305.8/kuintal tebu untuk karung gula
dari tebu yang digiling. serta biaya iuran APTRI sebesar Rp 15/kuintal tebu.
Sehingga total biaya tataniaga yang ditanggung oleh penebas adalah Rp 10
820,8/kuintal tebu. Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran
ketiga dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 3
(12 150 kuintal)
Biaya
Petani
Jumlah
Penebas
Biaya pemanenan
Biaya pengangkutan
Biaya pengemasan
Biaya iuran APTRI
Jumlah
Total Biaya Tataniaga
Rata-rata (Rp/kuintal)
5 500
5 000
305.8
15
10 820.8
10 820.8
Sumber : Data Primer (Diolah)
Pada saluran tataniaga keempat, biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh
petani adalah biaya pemanenan dan biaya pengangkutan. Biaya pemanenan yang
dikeluarkan petani adalah sebesar Rp 4 929/kuintal tebu, biaya pengangkutan
sebesar Rp 4 071/kuintal tebu dan biaya iuran APTRI sebesar Rp 15/kuintal tebu.
Selain itu, petani juga mngeluarkan biaya berupa pengemasan untuk karung gula
dari tebu yang telah digiling sebesar Rp 9 320.8/kuintal tebu. Biaya tataniaga tebu
setiap lembaga pada saluran 4 dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran tataniaga 4
(439 250 kuintal)
Biaya
Petani
Biaya pemanenan
Biaya pengangkutan
Biaya iuran APTRI
Biaya pengemasan
Jumlah
Total Biaya Tataniaga
Sumber : Data Primer (Diolah)
Rata-rata (Rp/kuintal)
4 929
4 071
15
305.8
9 320.8
9 320.8
46
Saluran tataniaga ketiga yang mengeluarkan biaya tataniaga terbesar yaitu
Rp 10 820.8/kuintal tebu. Marjin di setiap saluran tataniaga berbeda-beda karena
perbedaan biaya tataniaga. Hal ini juga akan mengakibatkan perbedaan harga jual
di setiap lembaga tataniaga. Nilai marjin tataniaga yang kecil menunjukkan bahwa
saluran tataniaga tersebut efisien karena perbedaan harga jual di tingkat petani dan
harga beli di tingkat lembaga tataniaga terakhir kecil hal ini akan menguntungkan
petani.
Perbedaan biaya tataniaga masing-masing saluran berbeda dikarenakan oleh
lokasi lahan petani dan saluran 1 lebih menguntungkan petani. Hal tersebut
dikarenakan biaya pemanenan dan pengangkutan dibayar secara kolektif oleh
kelompok tani sehingga lebih murah biaya tataniaga yang dibayarkan oleh petani.
47
Tabel 21 Marjin tataniaga dari saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil
tahun 2012
Saluran Tataniaga
%
3
Nilai
(Rp/kw)
%
Nilai
(Rp/kw)
19 500
72.1
27 719.2
69.5
23 578.3
100.0
9 500
23.6
0.0
0.0
9 320.8
28.3
29 000
72.1
320.8
0.8
Keuntungan
10 896.1
27.1
Harga jual
40 216.9
100.0
Marjin
Pedagang
Besar
11 216.9
27.9
Harga beli
27 719.2
69.5
Biaya tataniaga
10 280.8
25.8
Uraian
1
Nilai
(Rp/kw)
%
25 578.3
100.0
7 320.8
22.3
32 899.1
100.0
2
Nilai
(Rp/kw)
4
%
Petani
Harga jual
Biaya tataniaga
Kelompok tani
Harga dasar
Keuntungan
Harga jual
0.0
0.0
32 899.1
100.0
Marjin
Kontraktor
Tebu
Harga beli
Biaya tataniaga
Keuntungan
1 896.1
4.8
Harga jual
39 896.1
100.0
Marjin
Total
biaya
tataniaga
Total
Keuntungan
12 176.9
30.5
10 280.8
25.8
9 320.8
28.3
Total margin
7 320.8
22.3
9 820.8
24.4
0.0
0.0
1 396.1
3.5
1 896.1
4.8
0.0
0.0
0.0
0.0
11 216.9
27.9
12 176.9
30.5
0.0
0.0
Nilai marjin tataniaga yang besar menunjukkan bahwa saluran tataniaga
tersebut tidak efisien karena perbedaan harga jual di tingkat petani dan harga beli
di tingkat lembaga tataniaga terakhir besar hal ini akan merugikan petani. Rincian
mengenai marjin tataniaga dan keuntungan yang diterima oleh setiap lembaga
tataniaga dapat dilihat dari Tabel 21.
Farmer’s share
Farmer’s share adalah selisih antara harga retail dan marjin tataniaga. Hal
ini digunakan untuk mengetahui porsi harga di tingkat konsumen yang dinikmati
oleh petani. Melalui farmer’s share dapat diketahui efisien atau tidaknya sebuah
saluran tataniaga. Nilai farmer’s share yang besar berarti porsi atau bagian yang
dinikmati petani besar dan saluran tataniaga tersebut efisien. Nilai farmer’s share
48
yang kecil berarti porsi atau bagian yang dinikmati oleh petani kecil dan saluran
tataniaga tersebut tidak efisien. Analisis farmer’s share dari tataniaga tebu di
Kecamatan Trangkil dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Analisis farmer's share pada saluran tataniaga tebu di Kecamatan
Trangkil tahun 2012
Saluran
Tataniaga
I
II
III
IV
Harga di Tingkat Petani Harga di Tingkat Konsumen
(Rp/kuintal)
(Rp/kuintal)
25 578.3
32 899.1
19 500
40 216.9
27 719.2
39 896.1
23 578.3
32 899.1
Farmer’s
share
(%)
77.74
48.49
69.48
71.66
Farmer’s share tertinggi pada saluran satu yaitu sebesar 77.74 persen
dengan volume sebanyak 43.280 kuintal tebu. Pada saluran satu petani menerima
farmer’s share karena kelompok tani tidak mengambil keuntungan dalam
tataniaga tebu. Kelompok tani hanya membantu petani anggota menyalurkan tebu
mereka karena tidak mempunyai surat kontrak dengan pabrik gula. Biaya
tataniaga pada saluran 1 lebih murah dikarenakan biaya pemanenan dan
pengangkutan dilakukan dengan kolektif antara petani anggota kelompok tani.
Saluran empat memiliki farmer’s share sebesar 71.66 persen, hal ini diperoleh
karena petani langsung menggiling tebu ke pabrik gula sehingga memperoleh
keuntungan. Saluran empat memiliki volume sebesar 43.9250 kuintal tebu.
Rasio Keuntungan terhadap Biaya
Rasio keuntungan terhadap biaya dapat digunakan untuk melihat efisiensi
suatu sistem tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan
besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Nilai
rasio keuntungan terhadap biaya lebih dari satu menunjukkan bahwa saluran
tersebut layak untuk dijalankan dan telah memberikan keuntungan kepada
lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya. Analisis rasio keuntungan terhadap
biaya tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil dapat dilihat pada Tabel 23.
49
Tabel 23 Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran tataniaga tebu di
Kecamatan Trangkil
Saluran
Tataniaga
Saluran I
Petani
Kelompok tani
Total
Saluran II
Petani
Penempur
Total
Saluran III
Petani
Penebas
Total
Saluran IV
Petani
Total
Keuntungan Tataniaga
(Rp/kuintal)
Biaya Tataniaga
(Rp/kuintal)
Rasio
Keuntungan
Terhadap
Biaya
25 578.3
0
25 578.3
7 320.8
0
7 320.8
3.49
0.00
3.49
19 500
10 896.1
30 396.1
9 500
320.8
9 820.8
2.05
33.97
3.10
27 719.2
1 896.1
29 615.3
0
10 280.8
10 280.8
0.00
0.18
2.88
23 578.3
23 578.3
9 320.8
9 320.8
2.53
2.53
Berdasarkan Tabel 23 pada setiap saluran tataniaga memiliki rasio
keuntungan terhadap biaya yang bernilai positif dan ada yang lebih dari satu. Hal
ini berarti kegiatan tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga
masing-masing memberikan keuntungan. Rasio keuntungan terhadap biaya pada
saluran satu adalah 3.49. Hal ini berarti setiap Rp 1/kuintal tebu akan
menghasilkan keuntungan sebesar Rp 3.49/kuintal tebu. Nilai rasio keuntungan
terhadap biaya pada saluran kedua adalah 3.10. Hal ini berarti setiap Rp 1
kuintal/tebu akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 3.10/kuintal tebu. Rasio
keuntungan terhadap biaya pada saluran tiga adalah 2.88. Hal ini berarti setiap Rp
1/kuintal tebu akan menguntungkan Rp 2.88/ kuintal tebu. Sedangkan pada
saluran keempat memiliki rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 2.53. Hal ini
berarti Rp 1/kuintal tebu menghasilkan keuntungan sebesar Rp 2.53/kuintal tebu.
Berdasarkan perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya maka saluran
satu yang relatif lebih efisien karena memiliki nilai rasio keuntungan terhadap
biaya paling besar. Rasio keuntungan terhadap biaya dalam saluran satu adalah
melalui kelompok tani. Biaya pada kelompok tani relatif lebih murah karena biaya
yang dikeluarkan secara kolektif seperti penyewaan buruh tebang dan angkut.
50
Efisiensi Saluran Tataniaga
Tujuan akhir yang ingin dicapai dari sistem tataniaga adalah saluran yang
efisien. Efisiensi tataniaga dapat dilihat berdasarkan efisiensi operasional dan
efisiensi harga. Efisiensi operasional meliputi efisiensi pengolahan, pengemasan,
pengangkutan, dan fungsi lain dari sistem tataniaga. Efisiensi harga meliputi
kegiatan pembelian, penjualan, dan aspek harga. Analisis yang digunakan untuk
mengetahui efisiensi operasional adalah analisis marjin tataniaga, farmer’s share,
dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Berdasarkan analisis marjin tataniaga pada saluran tataniaga tebu yang
paling efisien adalah saluran tataniaga satu dan empat sebesar 0 persen. Saluran
tataniaga satu dan empat memiliki volume penyaluran tebu sebesar 43 280 kuintal
dan 439 280 kuintal. Analisis farmer’s share menunjukkan bahwa saluran
tataniaga satu dan empat yang paling efisien yaitu sebesar 100 persen. Sedangkan
analisis rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan bahwa saluran satu telah
memberikan keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 3.49. Nilai rasio tersebut
menunjukkan bahwa setiap Rp 1/kuintal tebu akan memberikan keuntungan
sebesar Rp 3.49/kuintal tebu.
Hal diatas disebabkan oleh kelompok tani tidak mengambil keuntungan dari
petani dalam menggilingkan tebunya. Selain itu biaya petani relatif lebih murah
dikarenakan petani membayar biaya untuk menyewa buruh tebang dan angkut
secara kolektif. Kelompok tani yang menjadi perantara petani dengan pabrik gula.
Kelompok tani yang repot mengurus tebu milik petani di pabrik gula.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari analisis tataniaga tebu di Kecamatan
Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
1.
Saluran tataniaga yang terbentuk di Kecamatan Trangkil ada empat saluran
yaitu: saluran tataniaga 1) Petani- Kelompok Tani- Pabrik Gula 2) PetaniKontraktor Tebu- Pabrik Gula 3) Petani-Pedagang Besar- Pabrik Gula 4)
Petani- Pabrik Gula.
2.
Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga
adalah fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan, fungsi fisik
berupa pengangkutan, pengemasan, dan pemanenan , fungsi fasilitas berupa
penanggungan risiko, pengolahan dan informasi pasar. Struktur pasar yang
dihadapi oleh petani mengarah ke pasar persaingan sempurna. Pasar yang
dihadapi oleh kelompok tani mengarah ke pasar persaingan sempurna.
Struktur pasar yang dihadapi oleh penempur dan penebas adalah pasar
oligopoli. Perilaku pasar dapat diamati dari praktek pembelian dan
penjualan, sistem penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga.
3.
Berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan
terhadap biaya menunjukkan saluran tataniaga satu yang paling efisien. Hal
ini dapat dilihat dari marjin tataniaga yang terendah, farmer’s share yang
51
tertinggi dan saluran tataniaga ini memberikan keuntungan terhadap biaya
yang tinggi.
Saran
1.
2.
3.
4.
Petani lebih mempertimbangkan nilai marjin tataniaga, farmer’s share dan
rasio keuntungan terhadap biaya dalam memilih saluran tataniaga.
Diharapkan petani tidak lagi memilih berdasarkan kebutuhan petani tetapi
berdasarkan saluran tataniaga yang menuntungkan bagi petani.
Kelompok Tani lebih diperkuat agar membantu para petani tebu dalam
budidaya maupun menjual hasil tebu mereka karena berdasarkan penelitian
ini penjualan melalui kelompok tani menguntungkan petani.
Pabrik gula dapat lebih mempermudah pengurusan surat kontrak yang
digunakan petani untuk menggilingkan tebu ke pabrik gula sehingga lebih
banyak lagi petani yang memiliki surat kontrak dan tidak perlu menjual tebu
mereka ke penebas dan penempur.
Perluasan informasi diperlukan petani untuk mengetahui budidaya yang
baik, perhitungan rendemen dan harga yang berlaku setiap masa panen.
DAFTAR PUSTAKA
Ahira A. 2011. Khasiat Tebu. http://www.anneahira.com/tanaman-obat/tebu.html
[23 Maret 2013].
Asmarantaka RW. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Jakarta (ID):
Safa Printing.
[BKP] Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian. 2013. Jumlah Permintaan
Pangan Tahun 2008-2012. Jakarta (ID).
[BPS] Badan Pusat Statistika Republik Indonesia. 2013. Jumlah Penduduk
Indonesia Tahun 2008-2012. Jakarta (ID).
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2013. Perkembangan Produksi Pangan Strategis
Tahun 2008-2012. Jakarta (ID).
[DITJENBUN] Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Komoditas Tanaman Tebu.
Jakarta (ID).
[DITJENBUN] Direktorat Jendral Perkebunan. 2013. Konsumsi Gula Masyarakat
Indonesia. Jakarta (ID).
[DGI] Dewan Gula Indonesia. 2013. Produksi Tebu di Indonesia. Jakarta (ID).
[KEMENTAN] Kementrian Pertanian. 2013. Perkembangan Produksi Gula Tahun
2008-2012. Jakarta (ID).
Kohls RL, Uhl JN. 2002. Marketing of Agricultural Products. London (ID): New
York an Coller Macmillan Publishing.
Kotler P. 2002. Manajemen Pemasaran Edisi Kesepuluh. Jakarta (ID): PT.
Prenhalindo.
Limbong WH, Sitorus P. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Program Studi
Manajer Koperasi Unit Desa (KUD). Bogor (ID): Fakultas Politeknik
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
52
Limbong WH, Sitorus P. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah
Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Pertanian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahim A, Hastuti D. 2008. Ekonometrika Pertanian. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Rimbawan AA. 2012. Analisis Sistem Tataniaga Tebu Wilayah Kerja Pabrik Gula
Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Soetrisniati AP. 2011. Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Desa Pulorejo,
Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur) [skripsi]. Bogor (ID):
IPB.
Sudiyono A. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang (ID): Universitas
Muhammadiyah Malang.
Sutardja E. 2008. Budidaya Tanaman Tebu. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Tomek WG, Robinson KL. 1990. Agricultural Product Prices. New York (ID):
Cornell University Press.
53
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data petani responden berkaitan dengan alamat, usia, pendidikan,
luas lahan, produktivitas, produksi tebu, status kepemilikan lahan
dan rendemen tebu yang dihasilkan.
Luas
Lahan
(Ha)
Produktivitas
(Ku/Ha)
Produksi
Tebu
125
900
112 500
127.5
900
114 750
SMA
6
900
5 400
55
SD
5
900
4 500
Trangkil
53
SD
13
1 000
13 000
Telogowungu
53
SMA
25
900
22 500
7
Puji Waluyo
Abdul
Karim
Pasucen
50
SD
10
1 000
10 000
8
Anim K
Pasucen
45
SMA
35
900
31 500
9
Trangkil
75
SD
15
900
13 500
Trangkil
34
Sarjana
139
900
125 100
11
Nasiban
Lucky
Setiadi
Ikhwan
Rosadi
Pasucen
47
SLTA
23
1 000
23 000
12
Raban
Pasucen
65
SD
0.8
900
720
milik sendiri
7.1
13
Pasucen
46
SMP
1
900
900
milik sendiri
7.1
14
Mursali
Ahmad
Yasir
Pasucen
37
SMA
1.5
1 000
1 500
milik sendiri
7.2
15
Kasir
Pasucen
33
SD
2
900
1 800
milik sendiri
7.1
16
Sutar
Pasucen
45
SD
1.5
900
1 350
milik sendiri
7
17
Pasucen
37
SMA
1.2
900
1 080
milik sendiri
7.1
18
Ariful Huda
Ali
Mustaqin
Pasucen
40
SMA
1
900
900
milik sendiri
7
19
Wanto
Pasucen
50
SMP
2
900
1 800
milik sendiri
7.1
20
Jumi
Pasucen
48
SD
1.2
900
1 080
milik sendiri
7.2
21
Supami
Pasucen
51
SD
2
900
1 800
7.2
22
Syaibi
ketanen
68
SD
3
700
2 100
milik sendiri
milik sendiri
dan menyewa
23
Pawi
ketanen
60
SD
1.5
700
1 050
milik sendiri
7.4
24
Yanti
ketanen
63
SD
2
700
1 400
milik sendiri
7.2
25
Retno
ketanen
35
SMA
2
800
1 600
milik sendiri
7.4
26
Edi
ketanen
45
SD
1.5
800
1 200
milik sendiri
7.4
27
Sarwi
Kajar
40
SMP
3.5
900
3 150
milik sendiri
7.1
28
Wandi
Jambean
50
SMP
4
900
3 600
milik sendiri
7
29
Priyatno
Mojoagung
50
SMA
5
900
4 500
milik sendiri
7.2
30
Parimin
Kajar
45
SD
1
900
900
milik sendiri
7.1
31
Priyono
Trangkil
48
SMP
5
900
4 500
milik sendiri
7
32
Suyadi
Mojoagung
53
SD
3
900
2 700
milik sendiri
7
33
Bowo
Trangkil
52
SD
5
800
4 000
milik sendiri
7.2
No
Nama
Alamat
1
Suprijatno
Trangkil
55
SMA
2
Suharno
Wedarajaksa
48
Sarjana
3
Tuminah
Trangkil
46
4
Ngasri
Trangkil
5
Sutowo
6
10
Usia
Pendidikan
Status
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
milik sendiri
dan menyewa
Rendemen
7
7.1
7
7.2
7
7.5
7.5
7.3
7.1
7.2
7.2
7.4
54
Lampiran 2 Nilai farmer's share pada setiap saluran tataniaga tebu di
Kecamatan Trangkil
Harga di
Harga di
Tingkat
Saluran
Tingkat Petani
Konsumen
Tataniaga (Rp/kuintal)
(Rp/kuintal)
Farmer's Share (%)
32
899.1
32
899.1
100
I
29 000
40 216.9
72.11
II
27 719.2
39 896.1
69.48
III
32 899.1
32 899.1
100
IV
Lampiran 3 Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap saluran
tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil
Saluran
Tataniaga
Saluran I
Petani
Kelompok tani
Total
Saluran II
Petani
Kontraktor tebu
Total
Saluran III
Petani
Pedagang besar
Total
Saluran IV
Petani
Total
Keuntungan
Tataniaga
(Rp/kuintal)
Biaya Tataniaga
(Rp/kuintal)
Rasio Keuntungan
Terhadap Biaya
25 578.3
0
25 578.3
7 320.8
0
7 320.8
3.49
0.00
3.49
19 500
10 896.1
30 396.1
9 500
320.8
9 820.8
2.05
33.97
3.10
27 719.2
1 896.1
29 615.3
0
10 280.8
10 280.8
0.00
0.18
2.88
23 578.3
23 578.3
9 320.8
9 320.8
2.53
2.53
55
Lampiran 4 Kuesioner penelitian
Kuisioner untuk Petani Tebu
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Nama : ................................................................................................................
Jenis Kelamin : perempuan / laki-laki
Umur
: .... tahun
Alamat Rumah : .................................................................................................
Status
: menikah / belum menikah
Pendidikan Terakhir: ..........................................................................................
Status lahan : a. Milik Sendiri b. Menyewa c. lainnya ....................................
Luas lahan : ........................................................................................................
Berapa lama Anda melakukan kegiatan usahatani tebu .....................................
Alasan menjadi petani tebu ................................................................................
Apakah usahatani tebu menjadi pekerjaan utama Anda? Ya / Tidak
Pola bertani : a. monokultur b. tumpang sari dengan ........................................
Apakah Anda tergabung ke dalam kelompok tani? Ya / Tidak.
Jika ya, sebutkan ................................................................................................
14. Jumlah produksi/panen ......................................................................................
15. Jumlah panen dalam setahun .............................................................................
16. Apakah kegiatan pemanenan dilakukan sendiri? Ya / Tidak
Jika ya, siapa yang melakukan pemanenan ........................................................
Biaya yang dikeluarkan untuk pemanenan ........................................................
17. Apakah Anda melakukan pengelompokan tebu yang sudah di panen? Ya /
Tidak
18. Hasil pengelompokan tebu yang kurang baik untuk apa? ..................................
19. Apakah Anda melakukan penyimpanan tebu sebelum di jual? Ya / Tidak
20. Apakah jika harga tebu di pasar turun, Anda tetap melakukan budidaya tebu?
Ya / Tidak. Jika ya, sebutkan alasannya ............................................................
21. Harga tebu per kuintal yang Anda terima ..........................................................
22. Kemana biasanya Anda menjual hasil panen? ...................................................
Lembaga Tataniaga
Kuantitas (kuintal)
Harga (Rp/kuintal)
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Rendemen yang dihasilkan ...........................................................................
Bagaimana teknik menjualnya? Kontrak / Langganan / Langsung / Lainnya
Bagaimana teknik pembayarannya? Tunai / Kredit /Lainnya
Siapa yang menentukan harga jual?
Bagaimana cara menentukan harga jual?
Apakah lembaga pemasaran memiliki standar khusus mengenai tebu yang
dipanen? Ya / Tidak
29. Apakah Anda melakukan kerjasama atau kontrak dengan lembaga pemasaran
tertentu? Ya / Tidak
Jika ya, apa alasan Anda melakukan kerjasama?
30. Apakah Anda mendapatkan informasi tentang pasar tebu? Ya / Tidak
56
31. Darimana Anda mendapatkan informasi tersebut? .......................................
32. Berapa jumlah biaya pemasaran yng dikeluaran setiap panen:
Biaya pemanenan : Rp ..................................................................................
Biaya pengangkutan : Rp .............................................................................
Biaya penyimpanan : Rp ..............................................................................
Biaya penyusutan : Rp ..................................................................................
Biaya bongkar muat : Rp ..............................................................................
Biaya sortir : Rp ...........................................................................................
Retribusi : Rp ................................................................................................
Lainnya : Rp .................................................................................................
33. Apakah ada kesulitan dalam menjual tebu? Ya / Tidak
34. Sumber modal : (modal sendiri / dapat bantuan / dapat pinjaman)
35. Besarnya modal : Rp ....................................................................................
36. Jika dapat bantuan dalam bentuk ..................................................................
Jangka waktu ................................................................................................
37. Apakah ada keterkaitan dengan pemilik modal? Ya / Tidak
Jika ya, apakah hasil panen harus dijual ke lembaga tersebut
69
Kuisioner untuk Lembaga Pemasaran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Nama : ...........................................................................................................
Jenis Kelamin : perempuan / laki-laki
Umur : ..... tahun
Alamat Rumah : ............................................................................................
Status : menikah / belum menikah
Pendidikan Terakhir : ....................................................................................
Klasifikasi lembaga pemasaran: ....................................................................
Nama lembaga : ............................................................................................
Bentuk lembaga :
a. Perorangan
b. Firma /CV
c. koperasi
d. Lainnya, sebutkan .....................................................................................
Apakah menjadi salah satu lembaga pemasaran merupakan pekerjaan utama
Anda? Ya / Tidak
Apakah Anda melakukan kerjasama? Ya / Tidak
Apakah Anda menetapkan standar / pengelompokan dari tebu yang Anda
beli? Ya / Tidak
Apakah ada perbedaan harga berdasarkan perbedaan mutu? Ya / Tidak
Standar mutu apa yang Anda terapkan? ........................................................
Apakah Anda selalu membeli dari orang tersebut? Ya / Tidak
Jika tidak, pada siapa Anda membeli? ..........................................................
Apa alasan Anda membeli tebu dari orang tersebut? ....................................
Dimana tempat Anda membeli tebu tersebut? ..............................................
Berapa frekuensi Anda dalam melakukan pembelian tebu? .........................
Berapa banyak tebu yang Anda beli setiap panennya? .................................
Berapa harga pembelian tebu per kuintalnya? Rp ........................................
Bagaimana sistem pembelian tebu?
a. Bebas b.Borongan
c. kontrak d. Lainnya, sebutkan ....................................
Bagaimana cara pembayarannya?
a. Tunai
b. Dibayar dimuka
c. dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan ................................................
Bagaimana cara penentuan harga?
a. petani
b. Tawar-menawar
c. pedagang
d. Lainnya, sebutkan ....................................................
Bagaimana penyerahan barang? a. di tempat penjual b. Di tempat pembeli
Bagaimana mendapatkan informasi harga? ..................................................
Apakah anda melakukan kegiatan penyimpanan? Ya / Tidak
Jika ya, jumlah yang disimpan .......................................................... kuintal
Lama penyimpanan ........................................................................... kuintal
Cara penyimpanan ........................................................................................
Lokasi penyimpanan .....................................................................................
Alasan penyimpanan .........................................................................
Besarnya biaya yang dikeluarkan :
a. Biaya pengangkutan : Rp ..........................................................................
70
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
b. Biaya tenaga kerja : Rp ............................................................................
c. Biaya penyimpanan : Rp ...........................................................................
d. Biaya penyusutan : Rp ..............................................................................
e. Biaya bongkar muat : Rp ..........................................................................
f. Biaya sortir : Rp ........................................................................................
g. Retribusi : Rp ............................................................................................
h. Lainnya : Rp .............................................................................................
Apakah Anda menanggung semua risiko dari kegiatan pembelian?
Ya / Tidak
Apakah Anda melakukan pengelompokkan / standar mutu pada saat menjual
tebu? Ya / Tidak
Apakah ada perbedaan harga berdasarkan perbedaan mutu? Ya / Tidak
Standar mutu apa yang Anda terapkan? .......................................................
Kemana biasanya Anda melakukan kegiatan penjualan? .............................
Bagaimana cara pembayarannya?
a. Tunai
b. Dibayar dimuka
b. dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan ....................................................
Bagaimana cara penentuan harga?
a. anda
b. Tawar-menawar
c. pedagang
d. Lainnya, sebutkan ....................................................
Berapa banyak tebu yang Anda jual? ................................................ kuintal
Berapa harga jual tebu per kuintal? Rp ........................................................
Adakah hambatan yang Anda alami dalam menjual tebu saat ini? Ya /Tidak
Alasan: ..........................................................................................................
Manakah pernyataan yang sesuai dengan keadaan saat ini?
a. Pembeli sedikit, penjual banyak
b. Kualitas tebu kurang bagus
c. Biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi
Bagaimana Anda mendapat informasi mengenai jumlah, waktu, mutu tebu
yang akan dijual? ..........................................................................................
71
Lampiran 5 Dokumentasi penelitian
Pabrik Gula
Trangkil
Tebu petani PG Trangkil
Proses pengangkutan tebu hasil petani ke PG
Trangkil
Petani PG Trangkil
72
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1991 dari ayah
Osner Silalahi dan ibu Dorima Sihombing. Kedua orangtua penulis mempunyai
anak Evaries Loria Silalahi, Ridho Gerson Parlindungan Silalahi , Dwi Putri
Efesia Silalahi dan Amsetyo Nugroho Putro Silalahi. Penulis adalah putra
keempat dari empat bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 44
Jakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis tercatat sebagai pegurus Satuan
Pelajar dan Mahasiswa Pemuda Pancasila (SAPMA PP) komisariat IPB periode
2010-2011 sebagai ketua bidang sosial , budaya dan agama. Penulis juga
memperoleh beasiswa prestasi dari Bank Indonesia periode 2010-2011.
Download