Uploaded by User10110

Ekonomi Perikanan Laut

advertisement
EKONOMI SUMBER DAYA PERIKANAN
Ekonomi Perikanan Tangkap Laut
Dan
Kebijakan Publik Terhadap Perikanan Serta Penerapannya Di Indonesia
Oleh :
FADHLI INSANI IHSAN
L012 18 2007
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor perikanan memiliki peranan strategis dalam pembangunan
nasional. Ditinjau dari potensi sumberdaya alam, Indonesia dikenal sebagai
negara maritim terbesar di dunia karena memiliki potensi kekayaan
sumberdaya perikanan yang relatif besar. Sektor perikanan juga menyerap
banyak
tenaga
kerja,
mulai
dari
kegiatan
penangkapan,
budidaya,
pengolahan, distribusi dan perdagangan. Oleh karena itu, pembangunan
sektor perikanan tidak dapat diabaikan oleh pemerintah Indonesia.
Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan dan sekaligus
untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Tujuan
tersebut dewasa ini
diperluas cakupannya sehingga tidak hanya untuk
meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menjaga kelestarian sumberdaya
ikan, tetapi juga untuk meningkatkan kontribusi Sub Sektor Perikanan
Tangkap terhadap pembangunan perekonomian nasional (pro growth), dan
membantu mengatasi krisis multidimensi yang sedang melanda negara kita,
baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja (pro job), penerimaan devisa
melalui ekspor, penerimaan negara bukan pajak, maupun untuk pengentasan
kemiskinan (pro poor). Dengan telah menipisnya potensi lestari sumberdaya
ikan di perairan pantai, maka hasil tangkap nelayan menjadi semakin rendah
sehingga pendapatan merekapun dapat dikatakan jauh dari cukup untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. EKONOMI PERIKANAN TANGKAP LAUT
FAO (2002) mencatat bahwa tekanan pada penangkapan ikan secara
global terus meningkat. diperkirakan 25% dari stok utama ikan laut
atau
kelompok spesies diinformasikan mengalami underexploited, sekitar 18%
stok atau kelompok spesies dilaporkan overexploited secara berlebihan, dan
sekitar 75% stok ikan laut utama di dunia diperkirakan akan tetap konstan
atau menurun di masa yang akan datang.
Perikanan sering dijelaskan dalam bentuk Ferae Naturae yakni kondisi
dimana hewan atau ikan memiliki sifat asal alamiah (wild by nature), tidak ada
yang berhak mengklaim kepemilikannya dan kepemilikan hanya berlaku
ketika seseorang menangkapnya. Hal ini menyebabkan semua orang bebas
untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan mengingat biomass ikan
begitu melimpah. Namun, aktivitas ekploitasi tentunya mempengaruhi stok
ikan itu sendiri. Hubungan antara stok ikan dan biomass dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan antara biomass dan stok ikan
Gambar diatas menunjukkan bahwa ketika stok ikan/populasi berada
pada suatu titik puncak (Fmax) diakibatkan oleh tidak adanya atau kurangnya
pemanfaatan
(kurang
dari
Xmsy)
akan
mengalami
penurunan
stok
dikarenakan kapasitas daya dukung (k) sudah tidak mampu menampung stok
ikan yang begitu banyak, yang diakibatkan oleh kematian alami maupun
predator. Sehingga boleh dikata sumberdaya ikan yang ada terbuang sia-sia.
Karena k yang tidak memadai maka akan berdampak pada penurunan stok
ikan (F(X)). Namun, dilain sisi ketika terjadi ekploitasi melebihi titik equilibrium
(Xmsy) maka akan berakibat pada penurunan stok ikan. Oleh karena itu,
garafik diatas memberikan gambaran tentang bagaimana pola manajemen
pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan.
Keberlanjutan sumberdaya perikanan tergantung dari pemanfaatan
atau tingkat penangkapan. Gambar 2 menunjukkan bahwa ketika tingkat
penangkapan (H) = Xmsy (keseimbangan biomass tertinggi) maka akan
membentuk suatu pola keseimbangan bioekonomi. Namun sebaliknya, jika H
> Xmsy maka keberlanjutan sumberdaya akan terancam.
Gambar 2. Hubungan tingkat penangkapan dan keberlanjutan bioekonomi
Kesimbangan bioekonomi juga dapat dilihat dari hubungan antara stok
ikan masimal (Fmax) dengan tingkat pemanfaatan (H). Keseimbangan
bioekonomi dapat terjadi ketika H < Fmax (Gambar 3). Ketika hal tersebut
terjadi mka dapat diasumsikan bahwa tingkat pemanfaatan berada pada titik
pertemuan antara H dan keseimbangan biomass tertinggi (Xh)
Gamabar 3. Keseimbangan bioekonomi dengan H < Fmax
Selain
itu
upaya
penangkapan
(Effort)
juga
mempengaruhi
peningkatan stok ikan. Hubungan antara stok ikan dan upaya penangkapan
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan stok ikan dan upaya penangkapan
Gambar diatas menjelaskan bahwa ketika upaya penangkapan (Effort)
rendah (H2) maka akan berdampak pada peningktan stok ikan yang
mengarah pada peningkatan tangkapan lestari dikarenakan produksi hasil
tangkapan juga rendah. Namun, pada titik tertentu stok ikan akan kembali
mengalami penurunan diakibatkan oleh daya dukung (k) yang tidak mampu
menampung populasi atau sumberdaya tidak termanfaatkan. Sementara
garis H1 menunjukkan bahwa ketika upaya pengakapan tinggi (produksi
tangkapan tinggi) akan berdampak pada penurunan stok ikan yang begitu
drastis akibat ekploitasi yang belebihan sehingga keberlanjutan sumberdaya
akan terputus.
Lewat penggambaran diatas, maka perlu adanya input control seperti
pengaturan jumlah effort (upaya) yang dikeluarkan dalam melakukan
kegiatan penangkapan ikan, meliputi: Limitting entry, yaitu membatasi jumlah
nelayan yang dapat melakukan penangkapan ikan ; Limitting capacity per
vessel, yaitu membatasi jenis serta ukuran kapal dan alat tangkap yang
digunakan, dan ; Limitting time and allocation, yaitu membatasi waktu dan
lokasi penangkapan ikan. Sementara untuk output control dapat berupa
pembatasan hasil tangkapan setiap nelayan, yang meliputi: Total allowable
catch (TAC), yaitu batasan jumlah ikan maksimum yang dapat ditangkap oleh
seluruh nelayan per tahun ; Individual quota, yaitu pemberian kuota
penangkapan ikan kepada setiap individu yang melakukan penangkapan
ikan, dan ; Community quota, yaitu pemberian kuota penangkapan ikan
kepada suatu kelompok.
B. KEBIJAKAN
PUBLIK
TERHADAP
PENERAPANNYA DI INDONESIA
PERIKANAN
DAN
1. Budidaya Perairan
Pemberian izin kepada masyarakat untuk mengelola sebagian dari
sumberdaya perikanakan melalui budidaya merupakan suatu kebijakan yang
sangat tepat. Dengan adanya pemberian hak untuk mengelola sumberdaya
perikanan dari sector budidaya diharapkan dapat menyumbang hasil produksi
perikanan guna untuk memenihi kebutuhan pasar. Budidaya pereiran
diharapkan dapat menekan ketergantungan perikanan tangkap yang dapat
merusak keberlanjutan sumberdaya yang cenderung melebihi kapasitas
penangkapan.
Kebijakan ini dipandang perlu adanya mengingat potensi sumber daya
perairan Indonesia begitu luas sehingga dianggap mampu memenuhi
kebutukhan protein dari ikan melalui budidaya. Namun perlu diperhatikan
bahwa, dalam menerapkan kebijakan akan hak mengelola sebagian
sumberdaya perikanan lewat budidaya penting untuk mempertimbangkan
daya dukung lingkungan dan tentunya dalam pengoperasiannya tidak
menggangu ataupun merusak sumberdaya perikanan ataupun lainnya.
2. Meningkatkan Biaya Penangkapan
Cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi upaya
penangkapan dapat melalui peningkatan biaya penangkapan. Ini dilakukan
dengan mencegah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan
atau selektivitas yang rendah. Selain itu pemerintah juga dapat melakukan
pembatasan
wilayah
penangkapan
guna
untuk mencegah
ekploitasi
sumberdaya perikanan yang berlebih.
Namun, kebijakan tersebut sepertinya tidak tepat diterapkan di
Indonesia. Mengingat Negara Indonesia merupakan Negara yang luas dan
memiliki jumlah nelayan yang sangat banyak. Dilihat dari segi kesejahteraan
nelayan itu sendiri, sebagian besar merupakan nelayan kecil. Sehingga, jika
kebijakan ini diterapkan akan muncul berbagai permasalahan baru, seperti
meningkatnya jumlah pengangguran khususnya masyarakat pesisir akibat
bertambahnya total biaya penangkapan.
3. Pajak
Pemberlakuan
pajak
terhadap
pemanfaatan
sumberdaya
akan
berdampak pada pengurangan pemanfaatan sumberdaya yang berlebih ke
level Maksimum Ekonomic Yield (EMY). Pajak memiliki efek yang nyata.
Nelayan dengan modal kecil akan terdepak keluar sementara nelayan
dengan modal besar dan dikenakan pajak masih dapat bertahan. Karena
nelayan ini sebelumnya infra-marjinal, faktor sewa infra-marginal dikurangi
untuk semua orang, yang merupakan salah satu alasan mengapa nelayan
dapat diharapkan menentang sistem manajemen berbasis pajak. Namun,
sistem pajak yang fleksibel mungkin diperkenalkan secara bertahap.
Kesulitan penegakan pajak tampaknya cenderung sama karena mungkin
pemahaman nalayan akan pajak bersifat menipu.
Meskipun perpajakan adalah metode mendasar, tapi masih diperlukan
pengelolaan yang tepat. Sekali lagi, beberapa jenis regulasi harga mungkin
merupakan
mekanisme
yang
memungkinkan
untuk
mengendalikan
perikanan. Pajak telah dipertimbangkan oleh para ekonom untuk digunakan
dalam perikanan namun sering ditolak dengan alasan tidak praktis. Kadangkadang pajak dianggap secara politis tidak dapat diterima. Terkadang
penolakan tampaknya terletak pada kegagalan untuk mempertimbangkan
institusi yang diperlukan. Namun mungkin yang paling sering merupakan
hasil dari pendekatan ekonomi perikanan yang hampir secara eksklusif
mempertimbangkan solusi optimal. Namun, manajemen perikanan yang
berhasil tampaknya pasti menghadapi masalah ini sehingga tantangannya
adalah perlu merancang sistem pengelolaan yang dapat memitigasi hal itu.
Oleh karena itu, dalam penerpan kebijakan perpajakan perlu dilakukan
analisis mandalam terkait sasaran dari kebijakan tersebu. Jangan sampai
kebijakan ini dapat berdampak pada penurunan jumlah produksi hasil
tangkapan.
4. Kuota Yang Dapat Di Pindah Tangankan (ITQs) Dan Penangkapan
Salah satu kebijakan yang memungkinkannya adalah kuota yang
dirancang dengan tepat pada jumlah (volume) ikan yang dapat diambil dari
perikanan. Sistem kuota yang efisien memiliki beberapa karakteristik yang
dapat diidentifikasi:
a. Kuota berhak pemegang untuk menangkap bagian tertentu dari total
tangkapan resmi dari jenis ikan tertentu.
b. Hasil tangkapan yang diijinkan oleh kuota yang dimiliki oleh semua
nelayan harus sama dengan tangkapan ikan yang efisien.
c. Kuota harus bebas ditransfer antara nelayan dan pasar harus
mengirimkan sinyal harga yang sesuai tentang nilai perikanan
Manajemen diperlukan dalam mengatur perikanan untuk membantu
memastikan keberlanjutan sumber daya dan untuk memenuhi tujuan social
ekonomi. Kontrol input dan upaya telah menjadi metode pengaturan yang
telah lama ada bersama dengan batasan pada total tangkapan dalam bentuk
Total Allowable Catch (TAC). Meskipun penerapan pengelolaan tersebut
dianggap efektif dalam mencegah overfishing namun pada kenyataanya
masih sering terbukti adanya penangkapan ikan yang berlebihan. Dari
realitas tersebut sehingga muncul ide untuk menggunakan pengelolaan
dalam bentuk hak akses dan penggunaan dalam perikanan yang dewasa ini
sering disebut dengan Individual Transferable Quotas (ITQs).
ITQs adalah hak kepemilikan yang dapat dipindah tangankan untuk
menangkap sejumlah ikan. Hak-hak ini adalah untuk menangkap ikan, bukan
untuk persediaan ikan itu sendiri. Secara khusus, ITQs adalah izin yang
diberikan oleh pemerintah kepada individu/nelayan untuk memungkinkan
individu ini untuk menangkap atau mentransfer/berbagi sebagian dari total
tangkapan yang diizinkan (TAC) (Acheson et al., 2015).
Program
mendedikasikan
berbagi
untuk
tangkapan
kuota
suatu
(ITQs)
jenis
adalah
ikan
manajemen
yang
aman,
yang
yang
memungkinkan individu/nelayan, koperasi nelayan, komunitas nelayan, atau
entitas lain untuk menangkap ikan yang jumlahnya banyak. ITQs bertujuan
dari program ini bervariasi berdasarkan kebutuhan individu dari perikanan
terkait, tetapi umumnya ITQs yang dirancang untuk mengurangi kelebihan
kapasitas, meningkatkan keselamatan di laut, dan memberikan manfaat
sosial dan ekonomi (Brinson dan Thunberg, 2016)
Namun, menurut Acheson et al. (2015) mengkritisi penerapan ITQs ini.
Menurutnya, ITQs menimbulkan masalah social dan dalam penerapannya
masih banyak kasus lebih tangkap yang terjadi. Solusi yang ditawarkan
adalah pengelolaan parametric. Manajemen parametrik berupaya untuk
melestarikan proses biologis dengan membatasi jumlah ikan yang dapat
diambil. Aturan parametrik mengatur di mana lokasi penangkapan ikan
diperbolehkan, dan bagaimana teknik penangkapan ikan yang dilakukan.
Manajemen parametrik memiliki banyak keunggulan. Aturan tentang
bagaimana, kapan, dan di mana penangkapan ikan lebih mudah ditegakkan.
Misalnya, relatif lebih mudah untuk memberlakukan aturan yang melarang
penangkapan ikan pada musim tertentu atau di tempat tertentu atau
menggunakan
alat
terlarang
daripada
menerapkan
kuota,
yang
membutuhkan sistem akuntansi dan pemantauan yang rumit. Adanya aturan
yang membatasi kapan dan di mana penangkapan ikan dapat membantu
mencegah pencurian ikan dan membantu melindungi rute migrasi dan
kawasan konserfasi. Tetapi lepas dari itu tentu dalam penerapan kebijakan
mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Jika dianalisis dari prinsip penerapan ITQs, implementasi ITQs dapat
menyebabkan
individualistis
dimana
para
pemegang
kuota
tangkap
cenderung tidak memberikan informasi yang akurat kepada pengelola
perikanan.
Mampu
mengurangi
eksploitasi
sumberdaya
ikan
karena
karakteristik ITQs (permanen dan transferabilitas) dapat secara tidak
langsung menjaga dan membangun sumberdaya ikan. Akibatnya akan
semakin
banyak
ikan
yang
berukuran
besar
yang
nantinya
akan
menguntungkan operasi penangkapan ikan. Nilai jual dari kuota yang
permanen tergantung pada status stok ikan dan kelestarian sumberdaya
ikan. Semakin besar stok ikan, maka akan semakin tinggi nilai sebuah kuota.
Penerapan ITQs diindikasi mampu memicu kenaikan nilai jual atau
penambahan kenaikan harga. Jika ditelaah lebih jauh tentunya ada imbas
dari kenaikan nilai jual/harga pada produksi dan penerimaan yang di lukiskan
oleh Ian R. Smith (1981) dalam Primyastanto (2017) seperti Gambar. 4
Gambar. 4. Pengaruh kenaikan harga/nilai jual pada produksi dan
penerimaan
Pada kasus tersebut diatas merupakan gambaran akibat dari kenaikan
harga/nilai jual, missal disebabkan oleh permintaan pasar akan jenis ikan
tertentu melonjak tinggi. Naiknya harga/nilai jual akan berdampak pada
kenaikan keuntungan atau pendapatan (TP), kondisi ini menjadi daya tarik
peningkatan jumlah nelayan (U) sehingga dapat meningkatkan jumlah
pembiayaan sampai tercapainya keseimbangan baru antara jumlah biaya dan
jumlah penerimaan. Dengan kata lain semakin banyak nelayan yang melaut,
sehingga melampai suatu batas tertentu akan
mengakibatkan inefisiensi
dalam industri perikanan tersebut (Amawati dan Nasir, 2017). Meskipun kurva
jumlah penerimaan meningkat diakibatkan oleh kenaikan harga, tetapi kurva
hasil tangkapan lestari tidak meningkat. Walaupun banyak jumlah nelayan,
produksi nelayan akan menurun karena hasil tengkapan lestari lebih rendah.
Meningkat tidaknya pendapatan tergantung pada sampai sebarapa jauh
turunnya produktivitas itu diimbangi oleh kenaikan harga, yaitu pada elastisas
permintaan dan penawaran. Oleh karena itu, untuk mewujudkan perikanan
berkelanjutan ditinjau dari system kuota ini diperlukan peran pemerintah
dalam mengimbangi kenaikan harga dan factor elastisitas permintaan dan
penawaran hasil produksi.
5. Subsidi Dan Buybacks
Pilihan pengelolaan mencakup subsidi pembelian kembali atau
dekomisioning untuk mengurangi kapasitas penangkapan ikan. Pembayaran
yang digunakan untuk membeli kelebihan kapasitas penangkapan ikan
adalah subsidi yang berguna karena mengurangi kelebihan kapasitas, namun
jika kapasitas tambahan merembes dari waktu ke waktu, biaya tersebut tidak
seefektif tindakan manajemen lainnya.
Realitasnya, kehidupan masyarakat nelayan senantiasa dilanda
kemiskinan,
bahkan
kemiskinan.
Pada
kehidupan
tataran
ini,
nelayan
umumnya
sering
diidentikkan
masyarakat
dengan
pesisir
yang
memanfaatkan sumberdaya pesisir dihadapkan pada persoalan permodalan.
Oleh Karen itu perlu ada dorongan dari pemerintah untuk memberdayakan
melalui program pemberdayaan bagi masyarakat pesisir (Husein et al., 2017).
Minimnya modal dalam produksi perikanan tangkap membutuhkan bantuan
seperti subsidi.
Menurut Sumalia (2012) dalam Putra dan Aqimuddin (2014) membagi
subsidi sektor perikanan menjadi tiga, yaitu: 1) benefcial subsidies; 2)
capacity-enhancing subsidies; 3) ambiguous subsidies. Subsidi yang
menguntungkan (benefcial subsidies) merupakan program yang ditunjukkan
sebagai investasi terhadap aset modal alami (natural capital). Dalam
praktiknya subsidi jenis ini dilakukan untuk melakukan konservasi dan
pengawasan terhadap tangkapan ikan rata-rata. Subsidi peningkatan
kapasitas (capacity enhancing) dimaksudkan sebagai subsidi yang malah
memberikan disinvestasi, yakni dengan meningkatkan kapasitas perikanan
malah
akan
menimbulkan
over-exploitation
sehingga
keberlanjutan
sumberdaya perikanan sulit terwujud. Salah satu jenis subsidi ini adalah
subsidi bahan bakar. Subsidi ambigu adalah program bantuan yang belum
diketahui (ambigu) hasil akhirnya, apakah berupa investasi atau disinvestasi.
Contoh subsidi jenis ini adalah bantuan (asistensi) program perikanan seperti
penyuluhan perikanan. Praktik penggunaan ketiga subsidi di atas memiliki
dampak terhadap keuntungan dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di
bidang perikanan. Keuntungan tersebut diperoleh karena dengan adanya
subsidi perikanan maka pendapatan mereka akan meningkat sedangkan
biaya (cost) semakin mengecil.
Adanya insentif berbahaya dalam industri perikanan, seperti jenis
subsidi tertentu, terus membahayakan keberlangsungan stok dengan
menciptakan dan mendukung kapasitas penangkapan ikan yang berlebihan
untuk mengekstraksi sumber daya yang sudah langka. Sehingga perlu
mengambil
tindakan
terhadap
bentuk-bentuk
subsidi
tertentu
yang
berkontribusi pada kelebihan kapasitas dan penangkapan ikan yang
berlebihan dan untuk menahan diri dari memperkenalkan subsidi baru
(UNCTAD, 2016).
Kasus perubahan kenaikan biaya termasuk BBM tanpa adanya subsidi
terhadap perilaku nelayan seperti gambar di bawah ini :
Gambar 5. Pengaruh kenaikan biaya produksi dan penerimaan (Ian R. Smith,
1981 dalam Primyastanto, 2017)
Dari gambar di atas dapat dilihat beberapa akibat dari bertambahnya
pembiayaan
terhadap
hasil
tangkapan
dan
penerimaan.
Dengan
meningkatnya kurva jumlah biaya yang di sebabkan oleh kenaikan harga
BBM nelyan kecil akan tergeser keluar dari industry penangkapan sampai
jumlah peenerimaan kembali sama dengan dengan jumlah biaya pada suatu
keseimbangan bebas ikut serta baru. Produksi tangkapan lestari, jumlah
penerimanan akan meningkat tetapi jumlah nelayan berkurang. Suatu unit
penangkapan ikan dapat terus beroperasi selama keuntungan bernilai positif,
yaitu selama biaya operasional tertutup dan surplus yang didapatkan dapat
menutupi biaya tetap. Usaha tidak dapat dipertahankan dalam jangka
panjang jika semua biaya tidak tertutupi (Utomo et al., 2013).
Dampak dari perubahan harga BBM akibat ada atau tidakya subsidi
dapat dilihat dari hasil penelitian Saptanto et al. (2016) menunjukkan bahwa
penyesuaian harga BBM memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
biaya operasional dan keuntungan usaha. Pada seluruh ukuran kapal
peningkatan harga BBM akan secara otomatis meningkatkan biaya
operasional usaha dan menurunkan keuntungan usaha. Perubahan harga
BBM khususnya solar yang terjadi pada akhir tahun 2014 hingga Januari
2015 memberikan dampak positif dan negatif terhadap pelaku usaha,
khususnya nelayan; penurunan harga BBM berpotensi menaikkan tingkat
keuntungan
yang
diterima,
sebaliknya
peningkatan
BBM
berpotensi
menurunkan tingkat keuntungan usaha. Perlu adanya bantuan permodalan
dan pendampingan untuk mendorong pelaku usaha berpindah dari kapal 50100 GT ke kapal berukuran 20-30 GT atau ke kapal berukuran di atas 100
GT. Hal ini didasarkan pada hasil kajian dimana kelompok ukuran kapal 50100 GT yang paling sensitif terkena dampak akibat perubahan harga solar.
Setiap kenaikan harga BBM solar sebesar 1% akan menurunkan keuntungan
usaha sebesar 0,7%. Sementara ukuran kapal 20-30 GT dan di atas 100 GT
mengalami penurunan sebesar 0,2% dan 0,5%
6. Layanan Ekologis
Pemanfaatan sumber daya yang tidak mengacu pada prinsip
keberlanjutan
dan
mengabaikan
asas
pelestarian
menjadi
ancaman
serius. Aktivitas manusia pada akhirnya akan menghasilkan pencemaran
dan berdampak pada kerusakan
pencemaran
bersumber
sumber
daya
hayati
laut.
Sumber
dari pembangunan kawasan pemukiman,
pertambangan, pelayaran, industri perikanan, budidaya. Selain itu, aktivitas
masyarakat pesisir yang melakukan alih fungsi lahan mangrove
menjadi
lahan tambak dan kawasan pemukiman membuat kawasan pesisir makin
terdegradasi.Penyebab kerusakan sumber daya hayati laut juga akibat
dari penangkapan ikan yang berlebihan (over-exploitation).
Laju penangkapan ikan
yang
berlebihan
mengakibatkan
stok
populasi ikan menurun. Kehidupan nelayan akan mengalami kerugian
akibat sumber daya ikan yang makin berkurang. Berkurangnya sumber
pendapatan ekonomi akan mengakibatkan nelayan mencari ikan di wilayah
lain. Sumber daya yang makin berkurang itu membuat nelayan memilih
jalan singkat menangkap ikan. Penangkapan secara destruktif menjadi
pilihan
yang
cepat
dan
menghasilkan
ikan
yang
demikan, cara tersebut mengakibatkan kerusakan
banyak.
Namun
habitat ikan dan
lingkungan laut semakin meningkat.
Melalui layanan ekologi dampak dari aktivitas yang merusak ekosistem
perairan tersebut dapat diakukan dengan berbagi sacara seperti, melakukan
restocking benih ikan untuk menjaga stok/populasi, melakukan zonasi
penangkapan melalui kawasan konservasi, mempertahankan tradisi local
seperti pelarangan penangkapan ikan pada tempat atau waktu tertentu serta
meminimalisir penangkapan ikan non target.
7. Batas 200 Mil
Negara-negara yang berbatasan dengan laut telah mengambil satu
langkah dengan menyatakan bahwa hak kepemilikan mereka meluas sekitar
200 mil ke laut. Dalam wilayah ini, negara-negara tersebut memiliki yurisdiksi
eksklusif dan dapat menerapkan kebijakan manajemen yang efektif.
Deklarasi "zona ekonomi eksklusif, ZEE" ini telah dijunjung tinggi dan
sekarang tertanam kuat dalam hukum internasional. Dengan demikian,
perikanan yang sangat kaya di perairan pantai dapat dilindungi, sementara di
perairan terbuka menunggu hasil proses negosiasi internasional. Di
Indonesia sendiri penegakan kedaulatan terhadap ZEE ini sangat tegas. Hal
ini dilakukan untuk menzegah terjadinya IUU yang dapat merugikan Negara.
Kebijakan seperti penenggalaman kapan terhadap IUU merupakan kebijakan
yang paling tepat dilakukan. Selain terkait dengan kedaulatan sebuah Negara
juga terkait dengan pemanfaatan sumberdaya milik Negara yang memilki
potensi yang sangat besar.
8. Penegakan Hukum Ekonomi
Perancangan kebijakan harus mempertimbangkan penegakan hukum,
dan apa yang dianggap efisien saat penegakan hukum diabaikan mungkin
tidak efisien begitu penegakan hukum dipertimbangkan. Peraturan yang
mengenakan biaya sangat tinggi cenderung tidak mematuhi peraturan yang
mengenakan biaya sebanding dengan tujuan. Peraturan juga harus berisi
ketentuan untuk menangani ketidakpatuhan. Pendekatan yang umum
dilakukan adalah dengan memungut sanksi moneter terhadap mereka yang
gagal mematuhi. Sanksi harus ditetapkan pada tingkat yang cukup tinggi
untuk membawa biaya ketidakpatuhan (termasuk sanksi) menjadi seimbang
dengan biaya kepatuhan.
9. Mencegah Pencurian Ikan
Dari sudut pandang ekonomi, perburuan pencurian ikan dapat
dikecilkan jika memungkinkan untuk menaikkan biaya relatif dari aktivitas
ilegal. Pada prinsipnya dapat dicapai dengan meningkatkan sanksi yang
dikenakan terhadap pencuri ikan, namun efektif hanya jika pemantauan dapat
mendeteksi aktivitas ilegal dan menerapkan sanksi kepada pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya. Di Indonesia sendiri kebijakan sebagaimana dimaksud
telah
diterapkan
salah
satu
sanksi
dari
pencurian
ikan
adalah
penenggelaman kapal.
10. Pelaksanaan Ekonomi Perluasan Species Lainnya
Suatu pendekatan untuk melindungi spesies biologi atau makhluk
hidup untuk mengatur ekonomi yang intensif sehingga masyarakat lokal
memiliki kepentingan ekonomi dalam pemeliharaan. Dengan adanya
kebijakan tersebut maka diharapkan masyarakat memiliki rasa kepemilikan
sehingga menimbulkan rasa simpati terhadap keberlanjutan sumberdaya.
DAFTAR PUSTAKA
Acheson, J., S. Apollonio, and J. Wilson 2015. Individual transferable quotas
and conservation: a critical assessment. Ecology and Society 20(4):7.
Asmawati dan Nasir, M., 2017. Analisis Status Eksploitasi sumberdaya
Perikanan Provinsi Aceh. Jurnal Humaniora, 1(2): 109-118.
Brinson, A.A and Thunberg, E.M., 2016. Performance of federally managed
catch share fisheries in the United States. Fisheries Research 179 :
213-223.
Husein, F.H.D., Taeran, I dan Karman, A., 2017. Prioritas Strategi
Pemberdayaan Pengembangan Usaha Mina Pedesaan Perikanan
Tangkap Di Kota Ternate. Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
2(2) : 1-17.
Primyastanto, M., 2017. Ilmu Kelautan dan Perikanan, Kebijakan
Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan
Kelautan. Intrans Publishing. Malang
Putra, H.T dan Aqimuddin, E.A., 2014. Pengaturan Subsidi Perikanan Dalam
WTO Dan Dampaknya Bagi Indonesia. MIMBAR HUKUM 26(3) : 395408.
Saptanto, S., Zamroni, A., Ramadhan, A dan Wijaya, R.A., 2016. Analisis
Kebijakan Dampak Penyesuaian Harga Bbm Bersubsidi Untuk
Nelayan. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan
6(2) : 85-95.
UNCTAD, 2016. Sustainable Fisheries: International Trade, Trade Policy And
Regulatory Issues. United Nations Publication.
Utomo, M.T.S., Djasmani, S.S., Seksono, H dan Suadi, 2013. Analisis Usaha
Purse Seine Di Kecamatan Juwana Kabupaten Pati. Jurnal Perikanan
(J. Fish. Sci.) 15(2) : 91-100.
Download