NASKAH AKADEMIK RANPERDA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN JEMBRANA DAN FAKULTAS HUKUM UNUD 2015 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN 2 TIM PENELITI 1. I Ketut Sudiarta.,SH.,MH 2. Ni Luh Gede Astariyani.,SH.,MH 3. AA I Ari Atu Dewi.,SH.,MH PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA BEKERJA SAMA DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015 PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA Jalan Bali Nomor 1 Denpasar Tlp. (0361)222666 3 KATA PENGANTAR Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, yang selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, menyebutkan bahwa Bupati/ Walikota berhak membentuk kebijakan daerah dalam bentuk peraturan daerah di bidang pendidikan. Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang (urgensi) membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Tim Peneliti DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Identifikasi Masalah C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik D. Metode Penelitian BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan Penyusunan Norma C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Beban Keuangan Daerah BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lain BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS A. Validitas Peraturan Perundang-undangan : Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis. B. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pendidikan BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN A. Arah dan Jangkauan Pengaturan B. Ruang Lingkup Materi Muatan BAB VI PENUTUP A. RANGKUMAN B. KONKLUSI C. REKOMENDASI DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR PUSTAKA >> i >> ii >>iv >> 1 >> 1 >>>9 >> 10 >>11 >>12 >>12 >>15 >>18 >>19 >>21 >>21 >>21 >>23 >>23 >>28 >>33 >>33 >>33 >>33 >>>78 >>>81 >>>82 >>>83 >>>83 ii LAMPIRAN 1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana 2. Rancangan Penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana iii DAFTAR TABEL iv Tabel 1 : Murid Berdasarkan Usia Tahun 2009-2013 2 Tabel 2 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan Tahun 2009-2013 2 Tabel 3 : Jumlah Sekolah dan Tenaga Pengajar Tahun 2013 3 Tabel 4 : Rasio Guru Terhadap Murid di Kab. Jembrana Tahun 2013 4 Tabel 5 : Penduduk Jembrana Berdasarkan Pendidikan Akhir (Tingkat Pendidikan) 4 Tabel 6 : APK (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008 – 2013 6 Tabel 7 : APM (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008– 2013 7 Tabel 8 : Perkembangan Rata – rata Lama Sekolah di Kabupaten Jembrana 8 Tabel 9 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013 9 Tabel 10. : Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya. 21 v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa : (5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (7) Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Walikota berhak membentuk kebijakan daerah dalam bentuk peraturan daerah di bidang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam Pasal tersebut juga menyebutkan bahwa Penyelenggaraan Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang (urgensi) membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU P3 2011) menentukan, Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU PDRD 2009). Perkataan “dan/atau” menunjukkan pilihan antara: (1) Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) dan Naskah Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Pilihan kedua juga memuat pilihan, memilh Naskah Akademik atau keterangan (atau penjelasan)Jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia dini. Di Kabupaten Jembrana terbagi menjadi tiga kelompok usia, yaitu :7- 12 tahun (SD/MI) ; 13 – 15 tahun (SLTP/ MTs) dan 16 – 18 (SMU/SMK/MA). Distribusi penduduk terbanyak pada tahun 2013adalah pada kelompok usia 7 – 12 tahun (SD/ MI) sebanyak 28.353 penduduk sedangkan paling sedikit adalah pada kelompok usia 16 – 18 tahun (SMU/SMK/MA) dengan jumlah sebanyak 12.505 penduduk. Berikut adalah disajikan tabel jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia di Kabupaten Jembrana Tabel 1. Murid Berdasarkan Usia Tahun 2009-2013 No. TAHUN 1 2 3 4 5 2009 2010 2011 2012 2013 Murid SD usia 7 - 12 tahun Murid SLTP usia 13 - 15 tahun 25.527 25.729 25.944 25.952 28.353 Murid SLTA usia 16 - 18 tahun 10.363 11.034 10.811 10.580 12.505 7.860 8.291 8.606 9.686 12.505 Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana Jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana adalah terbagi menjadi : SD/Sederajat, SLTP/Sederajat dan SMA/Sederajat. Jumlah murid paling banyak pada tahun 2013 adalah jenjang pendidikan SD/Sederajat dengan jumlah sebanyak 28.353 siswa sedangkan paling sedikit adalah jenjang SMA/ Sederajat dengan jumlah sebanyak 12.505 siswa. Tabel 2. Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan Tahun 2009-2013 No. TAHUN 1 2 3 2009 2010 2011 Jumlah Murid SD 29.258 29.485 30.433 Jumlah Murid SLTP 12.437 12.852 12.845 Jumlah Murid SLTA 7.775 10.496 10.753 2 No. 4 5 Jumlah Murid SD 29.907 TAHUN 2012 2013 Jumla h 29.472 148.555 Jumlah Murid 12.674 SLTP 13.018 63.826 Jumlah Murid10.957 SLTA 11.275 51.156 Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana Fasilitas pendidikan berupa sekolah merupakan persyaratan utama agar kegiatan belajar dan mengajar dapat berjalan. Dengan adanya fasilitas tersebut, guru yang merupakan tenaga pendidik utama dapat melaksanakan tugasnya sehingga kegiatan belajar dan mengajar dapat berjalan dengan baik. Berikut disajikan jumlah sekolah dan jumlah guru tiap jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana. Tabel 3. Jumlah Sekolah dan Tenaga Pengajar Tahun 2013 JENIS JUMLAH JUMLAH JUMLAH JUMLAH JUMLAH RATA- SEKOLAH SEKOLAH GURU GURU KELAS MURID RATA NO. PER MURID KELAS PER KELAS 1 SD 197 1.428 238 1.128 29.472 26,5 2 SLTP 34 865 811 323 13.018 34,4 3 SLTA/SMU 29 907 820 171 11.275 34,0 Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014 Rasio guru terhadap murid adalah jumlah guru tingkat pendidikan dasar per 1.000 jumlah murid pendidikan dasar. Rasio ini mengindikasikan ketersediaan tenaga pengajar. Di samping itu juga untuk mengukur jumlah ideal murid untuk satu guru agar tercapai mutu pengajaran. Berikut adalah rasio guru terhadap murid di Kabupaten Jembrana pada tahun 2013. Tabel 4. Rasio Guru Terhadap Murid di Kab. Jembrana Tahun 2013 No. Jenis Jumlah Sekolah Murid Jumlah Guru Rasio 1 SD 29.472 1.428 20,64 2 SLTP 13.018 865 15,05 3 3 SLTA/SMU 6.731 544 12,37 4 SMK 4.454 363 12,27 Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014 Tingkat pendikan yang dimiliki oleh penduduk Kabupaten Jembrana berjenjang mulai belum pernah menginjak bangku sekolah hingga sarjana. Jumlah tertinggi adalah penduduk dengan tingkat pendidikan Tamat SD sebesar 29%, kemudian posisi kedua diikuti dengan belum pernah sekolah sebesar 23% dan hanya sebagian kecil saja prosentase jumlah penduduk yang tamat akademi/Universitas yaitu sebesar 2 %. Tabel 5. Penduduk Jembrana Berdasarkan Pendidikan Akhir (Tingkat Pendidikan) Tahun 2013 No. 1. Pendidikan Akhir Yang Ditamatkan Jenis kelamin Total Negara 18.076 Mendoyo 11.900 Pekutatan 5.218 Melaya 12.003 Jembrana 11.329 58.526 10.830 8.007 3.628 7.917 7.453 37.835 27.034 20.968 10.375 18.274 17.470 94.121 3. Tidak/Belum Sekolah Belum Tamat SD Tamat SD 4. Tamat SMP 12.228 9.675 4.154 9.020 7.412 42.489 5. Tamat SMU 18.723 16.672 6.195 12.075 14.419 68.084 6. Tamat D1/D2 772 709 403 601 735 3.220 7. Tamat D3 1.039 946 366 693 931 3.975 8. Tamat S1 2.411 1.564 678 1.361 2.290 8.304 9. Tamat S2 154 88 34 71 179 526 2. 1 Tamat S3 13 5 1 12 6 0. Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan SipilKab. Jembrana, Tahun 2014 37 4 Grafik Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Akhirdi Kabupaten Jembrana Tahun 2013 Indikator Pencapaian Pendidikan A. Angka Partisipasi Kasar Angka Partisipasi Kasar (APK) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan sebagainya) dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Hasil perhitungan APK ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan tertentu makin tinggi APK berarti semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah. Nilai APK bisa lebih besar dari 100 % karena terdapat murid yang berusia di luar usia resmi sekolah, terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah perbatasan. Angka Partisipasi Kasar selama lima tahun terakhir pada semua jenjang pendidikan mengalami fluktuasi dalam pencapaiannya. Pada tahun 2013 rata-rata pencapaian Angka Partisipasi Kasar tingkat Sekolah Dasar mencapai 114,03 %. Sedangkan pada tingkat SLTP mencapai 118,04 % dan pada tingkat SLTA mencapai 98,71 %. Hal ini menunjukkan bahwa 5 partisipasi masyarakat pada tingkat SLTA masih perlu ditingkatkan. Tabel 6. APK (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008 – 2013 No. Angka Partisipasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Kasar 1. SD/ MI 110,27 110,63 115,55 115,55 113,95 114,03 2. SLTP/ Mtsn 105,38 106,46 110,50 110,50 117,01 118,04 3. SMA/ SMK/ MA 82,90 81,35 95,00 95,00 98,21 98,71 Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana, Tahun 2014 Gambar 2. Perkembangan Angka Partisipasi Kasar di Kabupaten Jembrana Angka Partisipasi Murni (APM) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang sesuai. Semakin tinggi APM berarti banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu.Angka Partisipasi Murni dalam lima tahun terkahir di Kabupaten Jembrana mengalami fluktuasi dalam pencapaiannya. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada tahun 2012 APM pada masing – masing jenjang pendidikan, hanya APM pada tingkat SLTA/SMA/MA mengalami kenaikan. 6 Berikut adalah APM di Kabupaten Jembrana selama lima tahun terakhir. Tabel 7.APM (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008– 2013 No. Angka Partisipasi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Murni 1. SD/ MI 96,01 96,45 98,50 98,50 93,97 98,94 2. SLTP/ MTSn 80,13 85,89 90,00 90,00 86,03 94,02 3. SLTA/ SMA/ MA 64,37 69,78 75,60 75,60 100,00 89,10 Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana, Tahun 2014 Grafik Perkembangan Angka Partisipasi Murni di KabupatenJembrana Rata-rata lama sekolah mengindikasikan makin tingginya pendidikan yang dicapai oleh masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani. Rata-rata lama sekolah yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti. Untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah, pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun atau pendidikan dasar hingga tingkat SLTP. Tabel 8. Perkembangan Rata – rata Lama Sekolah di Kabupaten Jembrana 7 Tahun Keterangan 2008 200 9 201 0 201 1 201 2 201 3 Rata-rata Lama Sekolah 6,50 7,00 7,80 7,80 7,80 7,87 Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana, Tahun 2014 Salah satu indikator terlaksananya dengan baik pendidikan untuk masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya angka melek huruf atau kemampuan baca tulis dalam masyarakat tersebut. Indikator ini juga dapat menggambarkan mutu dari SDM yang ada di suatu wilayah yang diukur dalam aspek pendidikan, karena semakin tinggi angka kecakapan baca tulis maka semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan, Pemuda Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jembrana, Angka Melek Huruf di Kabupaten Jembrana setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Angka Melek Huruf paling tinggi adalah pada tahun 2013 dengan angka 92,65 %. Berikut adalah Angka Melek Huruf di Kab. Jembrana selama 5 (lima) tahun terakhir. Tabel 8. Angka Melek Huruf di Kab. Jembrana Tahun 2008-2013 Tahun Angka Melek Huruf ( % ) 2008 88,96 2009 89,60 2010 89,82 2011 90,69 2012 91,36 2013 92,65 Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014 8 Gambar 6.4Perkembangan Angka Melek Huruf di Kabupaten Jembrana Tabel 9 Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013 No. TAHUN 1 2 3 4 5 2009 2010 2011 2012 2013 Jumla h Jumlah Murid SD 29.258 29.485 30.433 29.907 29.472 148.555 Jumlah Murid SLTP 12.437 12.852 12.845 12.674 13.018 63.826 Jumlah Murid SLTA 7.775 10.496 10.753 10.957 11.275 51.156 Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana Berdasarkan daya dukung yang dimiliki di Kabupaten Jembrana dan dasar kewenangan pendelegasian pembentukan Peraturan Daerah yang sangat penting dimana posisi Penyelenggaraan Pendidikan baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan Naskah Akademik. B. Identifikasi Masalah Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4 (empat) masalah pokok: 9 1. Penentuan kebijakan penyelenggaraan pendidikan, yang pada prinsipnya meliputi kepastian tentang penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Jembrana. 2. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan. 3. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan. 4. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan. C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan dirumuskan sebagai berikut: 1. Menjelaskan penentuan kebijakan penyelenggaraan pendidikan. 2. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan sebagai dasar untuk memastikan objek dan subjek penyelenggaraan pendidikan. 3. Merumuskan perimbangan penyusunan Rancangan filosofis, sosiologis, Peraturan dan Daerah yuridis tentang Penyelenggaraan Pendidikan. 4. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pengaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan adalah sebagai acuan: 1. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan. 2. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan. 10 Partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan tertulis dan/atau masukan lisan baik dalam penyusunan maupun pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan. D. Metode Penelitian Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan berbasiskan metode penelitian hukum, dalam pengertian sumber bahannya adalah norma hukum (dalam peraturan perundang-undangan) dan dianalisis secara hermeneutika hukum yang berbasiskan pada penggunaan interpretasi hukum secara holistik dalam memahami norma hukum baik sebagai keseluruhan maupun sebagai bagian-bagiannya yang membentuk sebagai keseluruhan itu. Sumber bahan hukum tersebut di atas disebut juga sumber bahan hukum otoritatif (atau bahan hukum primer) karena berasal dari lembaga yang berkewenangan. Selain itu, digunakan juga sumber bahan hukum persuasif yakni dari pandangan para ahli, dan didukung dengan sumber bahan informatif (informasi dari masyarakat dan/atau pejabat publik) mengenai Rancangan tematik terkait Peraturan dengan Daerah penyusunan Kabupaten Naskah Jembrana Akademik tentang Penyelenggaraan Pendidikan. 11 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. KAJIAN TEORITIS Pada dasarnya pengertian pendidikan dalam UU Sisdiknas adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata „didik‟ dan mendapat imbuhan „pe‟ dan akhiran „an‟, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan. Paradigma filsafat pendidikan, telah berulang kali dinyatakan bahwa pendidikan adalah persoalan yang melekat secaca kodrati di dalam diri manusia.1Pendidikan terbesar di seluruh sektor baik kegiatan kehidupan masyarakat baik dalam dimensi horizontal maupun vertikal, ketika manusia berinteraksi dengan dirinya disitulah ada pendidikan.Ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam setiap kegiatan kemasyarakatan disitu ada pula pendidikan ketika manusia berinteraksi dengan alamnya disitu juga ada pendidikan. Antara pendidikan dan manusia bagaikan wadah dengan isinya. Dengan kata lain hubungan kodrat pendidikan dan manusia, pada taraf eksistensial, bagaikan hubungan antara jiwa dan badan manusia. Jika jiwa berpotensi menggerakkan badan kehidupan manusiapun digerakkan oleh pendidikan ke arah pencapaian tujuan akhir, tanpa pendidikan manusia kehilangan roh penggerak kehidupan sehingga kehidupan menjadi tidak kreatif dan pada akhirnya mengancam kelangsungan seluruh kehidupan itu sendiri. 1 Suparlan Suhartono, 2005, Filasat Pendidikan AR-RUZZ Media, hal 91 12 Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi anak didik menyangkut intelektual, keterampilan serta kepribadiannya untuk memerankan dirinya ditengah-tengah masyarakat. Tujuan pendidikan menurut Langeveld adalah pendewasaan diri dengan ciri-ciri yaitu : kematangan berfikir, kematangan emosional, memiliki harga diri, sikap dan tingkah laku yang dapat diteladani serta kemampuan pengevaluasian diri. Kecakapan atau sikap mandiri, yaitu dapat ditandai pada sedikitnya ketergantungan pada orang lain dan selalu berusaha mencari sesuatu tanpa melihat orang lain. Tujuan pendidikan menurut Jacques Delors,cs.,dikenal Empat Pilar Pendidikan versi UNESCO sebagai berikut: a. b. c. d. Learning Learning Learning Learning lain)2 to know(belajar untuk mengetahui); to do(belajar untuk dapat berbuat); to be(belajar untuk menjadi dirinya sendiri); dan to live together(belajar untuk hidup bersama dengan orang Upaya menyiapkan sumber daya manusia masa depan untuk membangun karakter bangsa (national character building), tujuan pendidikan harus ada keseimbangan antara membangun intelektual, emosional dan spiritualitas. Terlebih-lebih lagi dalam Negara yang berdasarkan Pancasila, tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan pribadi yang bersusila, dan berada sebagai anggota dalam masyarakatnya, masyarakat sekitarnya, masyarakat etnisnya, masyarakat bangsanya yang bhinneka dan sebagai anggota masyarakat yang beradab.3 Menurut Dale ( 1989: 39-43) kontrol Negara terhadap pendidikan umumnya dilakukan melalui 4 cara antaral lain : 1. Sistem pendidikan diatur secara legal; 2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi menekankan pada ketaatan pada aturan dan obyektivitas; 3. Penerapan wajib pendidikan (compulsory education); dan JacquesDelors, 1996, “Learning: The Treasure Within” dikutip dari Ali Muhdi Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007, h.6. 3 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, “Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik)”, 2008, Pustaka Pelajar, h. 30. 2 13 4. Reproduksi politik dan ekaonomi yang berlangsung berlangsung dalam konteks politik tertentu.4 disekolah Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak manusia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Pasal 31 ayat(1,2,3,4,5). Dengan demikian, maka penyusunan rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, merupakan sesuatu yang amat urgen dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah di bidang pendidikan, yaitu dengan tujuan untuk menjadi acuan bersama dalam penyelenggaraan sistem pendidikan guna mewujudkan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada hakikatnya dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa/negara,yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. M Sirozi, Politik pendidikan, “ Dinamika Hubungan Antara kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan” , 2005, Raja Grafindo Persada, hal 63 4 14 B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.5 Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU P3 2011 (khususnya dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 137 UU Pemda), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundangundangan yang baik”, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 (khususnya berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; A. Hamid S. Attamimi; “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundanganundangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005), hlm. 238-309. 5 15 g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU P3 2011, yang dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain: a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; dan b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dengan pengaturan penyelenggaraan pendidikan dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, kejelasan tujuan. (1) memberikan kepastian Penyelenggaraan pendidikan bertujuan: bagi masyarakat mengenai siapa yang bertanggung jawab dan apa tanggung jawabnya terhadap pengelolaan pendidikan; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Daerah melakukan penyelenggaraan masyarakat.Tujuan pendidikan penyelenggaraan dan pendidikan pelayanan adalah kepada efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan. Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh: Pengaturan penyelenggaraan pendidikan dengan Peraturan Daerah dilakukan oleh WaliKabupaten Jembrana dengan persetujuan bersama DPRD Kabupaten Jembrana. Rancangan dapat berasal dari Bupati atau dari DPRD. 16 Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan Pendididkan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Peraturan Pemerintah. Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan adalah harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan penyelenggaraan pendidikan; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan penyelenggaraan pendidikan memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan sepanjang pengaturan penyelenggaraan pendidikan memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan penyelenggaraan pendidikan memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas. Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan pembentukan Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan pendidikan sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan pendidikan yang menjamin kepastian. Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi 17 masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2) UU P3 2011, dalam pengaturan tentang penyelenggaraan pendidikan , yakni: 1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat. 2. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk melaksanakan pendidikan. C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dapat diukur dari tingkat pemenuhan kewajiban pemerintah daerah yang diukur dari layanan pendidikan pada semua anak yakni: a) Apakah anak-anak yang masuk SD/MI sudah siap bersekolah, b) Apakah anak-anak yang berusia SD/MI sudah bersekolah, c) Apakah anak-anak yang lulus SD/MI melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP/MTs. Kondisi ini jika dimaknai bahwa sesungguhnya bila ditinjau dari segi kesiapan secara fisik maupun mental dan intelengensi anak-anak tersebut belum siap untuk memasuki jenjang SD/MI . Hal tersebut berdampak pada prestasi belajar anak, utamanya di kelas 1 ketika baru mulai beradaptasi dengan lingkungan pembelajaran di tingkat SD/MI. Tingginya jumlah kelurahan/desa yang masih mempunyai APS tinggi dapat di sebabkan oleh salah satu atau keduanya dari dua faktor yaitu ketersediaan layanan yang masih rendah atau karena kemampuan masyarakat yang rendah. Mutu Pendidikan menjadi salah satu hal penting di dalam menilai keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan yakni bahwa mutu pendidikan dapat dinilai dengan indicator: a) Angka Mengulang Kelas (AMK), b) Angka Putus Sekolah (APS), c) Mutu dan Pemerataan input Pendidikan,dan d) Mutu Lulusan. Berdasarkan hal tersebut maka realitas mutu pendidikan dalam 3 tahun terakhir berupa nilai angka mengulang 18 bagi anak-anak SD dan SMP, serta SLTA, dan angka putus sekolah masih cukup besar. Berdasarkan fenomena tersebut di atas terlihat jelas bahwa terdapat sejumlah masalah dalam bidang pendidikan yang tidak boleh dibiarkan berlangsung terus menerus, karena hal tersebut jika diabaikan akan menghambat pelaksanaan visi dan misi serta garis-garis besar program pembangunan khususnya di bidang pendidikan, yang pada akhirnya akan semakin jauh dari cita-cita bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan mensejahterakan bangsa dan kehidupan bangsa Indonesia.Berdasarkan paparan tersebut dapat diperoleh pemahaman, bahwa beberapa permasalahan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan Penyelenggaraan Pendidikan, yang juga merupakan permasalahan yang dihadapi masyarakat, perlu mendapat perhatian. Selain hal tersebut, pembangunan pendidikan di diarahkan sejalan dengan rencana strategis program pendidikan yakni pada pelayanan di bidang pendidikan akan mencakupi: 1. Pendidikan anak usia dini (PAUD); 2. Wajib belajar Sembilan Tahun pada jenjang Sekolah Dasar dan jenjang Sekolah Menengah Pertama; 3. Pendidikan Menengah; 4. Pendidikan Non formal; 5. Peningkatan Mutu Pendidik dan ke Pendidikan; dan 6. Manajemen Layanan Pendidikan. Dengan demikian ada 6 (dua) isu hukum tentang kepastian hukum yang perlu mendapat perhatian. D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN DAERAH Dalam lingkup pengaturan penyelenggaraan pendidikan, terdapat dua komponen yaitu komponen yang sifatnya statis, dan komponen yang sifatnya dinamis. Komponen yang sifatnya statis meliputi: 19 a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip penyelenggaraan kelembagaan dalam penyelenggaraan pendidikan; b. Struktur atau pendidikan; c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam penyelenggaraan pendidikan; d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan penyelenggaraan pendididkan; e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan penyelenggaraan pendidikan; f. Ketenagaan; g. Kekayaan; dan h. Sanksi. Sedangkan yang dimaksud pengaturan penyelenggaran pendidikan yang sifatnya dinamis adalah pengaturan kelembagaan pendidikan yang meliputi tata cara atau prosedur, yang antara lain meliputi: a. Pendirian sekolah; b. Pengisian kelembagaan pendidikan; c. Pengambilan keputusan di dalam satuan pendidikan; d. Kerja sama sekolah dengan institusi lain; e. Status aset sekolah; f. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan; g. Pengadaan ketenagaan; h. Penggabungan dan pembubaran sekolah; dan i. Pengalihan bentuk sekolah. Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka adanya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan ini tidak akan menimbulkan dampak terhadap beban keuangan daerah, justru sebaliknya, akan ada penambahan target penerimaan PAD dari sektor ini. 20 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA Kabupaten Jembrana belum memiliki Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa : (5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. (7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Walikota Berhak Membentuk Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan Daerah di Bidang Pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.Dalam pasal itu juga disebutkan bahwa Penyelenggaraan Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang urgensi membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN Materi Pokok Penyelenggaraan pendidikan yang hendak diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademiknya, mempunyai keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan. 21 Tabel 10. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya. Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN UU 23 Tahun 2014 UU Pendidikan Pasal 29 ayat (2) PP No. 17 Tahun 2010 Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam: a. rencana pembangunan jangka panjang b. kabupaten/kota; c. rencana pembangunan jangka menengah d. kabupaten/kota; e. rencana strategis pendidikan kabupaten/kota; f. rencana kerja pemerintah kabupaten/kota; g. rencana kerja dan anggaran tahunan h. kabupaten/kota; i. peraturan daerah di bidang pendidikan; dan j. peraturan bupati/ k. walikota di bidang l. pendidikan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa : (5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. (7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Dalam Pasal 12 ayat Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. pendidikan; Lampiran, huruf a.Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan Sub Bidang: Manajemen pendidikan Meliputi : a. Pengelolaan pendidikan dasar. b. Pengelolaan pendidikan anak usia dini dan pendidikan non formal Sumber : Diolah dari UU Pemda, UU Sisdiknas, PP Penyelenggaraan Pendidikan Keterkaitan dengan hukum positif lainnya tidak saja dengan UU Sisdiknas, melainkan juga dengan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang PengelolaanPeraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Jembrana. 22 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: LANDASAN FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika, yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.6 Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan (zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.7 Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), h. 147. 7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, (Sttugart: K.F. Koehler, 1961), h. 36. 6 23 serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.8 Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu adalah: 1. Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia maupun hubungan-hubungan diantara mereka. 2. Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihakpihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi kehidupan mereka. 3. Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau 8 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 18-19. 24 petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan diberlakukan.9 Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum, yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan: 1. Keadilan sebagai suatu cita ─ seperti telah ditunjukkan oleh Aristoteles ─ tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama. 2. Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum. 3. Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan, keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum. Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti. Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentanganpertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif, hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus diputuskan oleh sistem politik masing-masing.10 Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu dengan yang lainnya.11Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109. 10W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990), hal. 43. 11Ibid., hlm. 109 -110. 9 25 bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.12 Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia. Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.UU P3 2011 memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai berikut: 1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. 12 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 19-20. 26 Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis, dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal 57 12/2011, yang menentukan: (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Berikutnya dalam Pasal 63 12/2011 ditentukan bahwa ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Artinya, ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang berlaku bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing unsur-unsur tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis, adalah sebagai berikut: 1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. 3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan 27 mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan berikut: Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda. B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN PERATURAN DAERAH Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut: 1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah. 28 2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, yang meliputi: a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur tertentu. b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan.Termasuk kesesuaian jenis dan materi muatan. 3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah. Relevansilandasan penyelenggaraan keabsahan pendidikan tersebut adalah dengan pengaturan pengaturan penyelenggaraan pendidikan mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis, yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011. Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya. Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan UndangUndang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana 29 telah diubah beberapa kali terakhir denganUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara. Penyelenggaraan pendidikan daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek penyelenggaraan pendidikan penetapan Kebijakan tarif. daerah dan pemberian penyelenggaraan diskresi pendidikan dalam daerah dan penyelenggaraan pendidikan daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.13 Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis pengaturan penyelenggaraan pendidikan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu pengaturan penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Jadi, Pemerintahan Daerah membuat Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan pendidikan, berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum pemungutan penyelenggaraan pendidikan, yang merupakansalah satu Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konsideran “Menimbang” Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Penyelenggaraan pendidikan Daerah. 13 30 sumber pendapatan Kabupaten Jembrana yang penting gunamembiayai pelaksanaan pemerintahan pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Jembrana. Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasiona, l Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 TAHUN 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dan kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang, ditentukan sebagai urusan pemerintah (pusat). Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk kabupaten dan kota yaitu, meliputi: a. Pelaksanaan dan pengendalian pembangunan; b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; 31 c. Penyelenggaraan masyarakat; ketertiban umum dan ketentraman d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah social; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan; l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum dan pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 32 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN Berdasarkan uraian sebelumnya, maka arah pengaturan adalah mengarahkan agar pengaturan penyelenggaraan pendidikan dirumuskan secara berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum. Jangkauan pengaturannya adalah agar penyelenggaraan pendidikan secara abasah berdasarkan Peratruran Daerah. Jadi, pentingnya disusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan ini adalah memberikan landasan hukum penyelenggaraan pendidikan, yang disusun berdasarkan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis, untuk pencapaian keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut. B. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN Ruang lingkup materi muatan raperda penyelenggaraan pendidikan adalah jangkauan materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi materi yang boleh dan materi yang tidak boleh dimuat dalam raperda penyelenggaraan pendidikan. 14 Jadi, yang dimaksud dengan materi muatan baik mengenai batas materi muatan maupun lingkup materi muatan. Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara objektifnormatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai materi muatan Perda tentang penyelenggaraan pendidikan. Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Jembrana), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995),hlm. 14. 14 33 Pengelompokan tersebut mesti mengacu pada Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, angka 1 dan angka 62 TP3, mengenai kerangka Peraturan Perundang-undangan dan pengelompokkan batang tubuh Peraturan Perundang-undangan, yakni: 1. Judul 2. Konsiderans ( Menimbang) 3. Dasar hukum Mengingat 4. Bab I Ketentuan Umum 5. Bab II Tujuan, Ruang Lingkup dan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan 6. Bab III Hak dan Kewajiban Pemerintah Daerah dan Masyarakat 7. Bab IV Satuan Pendidikan 8. Bab V Peserta Didik 9. Bab VI Pendidikan Formal 10. Bab VII Pendidikan Non Formal 11. Bab VIII Pendidikan Anak Usia Dini 12. Bab IX Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus 13. Bab X Pendidikan Keagamaan 14. Bab XI Pendidikan Bertaraf Internasional dan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal 15. Bab XII Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Lembaga Asing 16. Bab XIII Pendidik dan Lembaga Kependidikan 17. Bab XIV Sarana dan Prasarana Pendidikan 18. Bab XV Evaluasi 19. Bab XVI Akreditasi 20. Bab XVII Pengawasan 21. Bab XVIII Wajib Belajar 22. Bab XIX Partisipasi Masyarakat 23. Bab XX Pendanaan Pendidikan 24. Bab XXI Penyidikan 25. Bab XXII Sanksi Administrasi 26. Bab XXIII Ketentuan Pidana 27. Bab XXIV Ketentuan Penutup 34 Adapun uraian dari seting produk hukum baru mengenai Penyelenggaraan Pendidikan dalam bentuk Peraturan Daerah adalah sebagai berikut : 1. Judul. Sesuai dengan lampiran TP3 angka 2 dan undangan memuat keterangan mengenai 3 jenis, Judul Perundangnomor, tahun pengundangan atau penetapan dan nama peraturan perundang-undangan dan nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan. Judul yang digunakan adalah sesuai dengan jenis yang hendak diatur. Sehingga judul yang digunakan adalah Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor…..Tahun…..tentang Penyelenggaraan Pendidikan 2. Konsiderans ( Menimbang). Dasar pertimbangan yang digunakan dalam Rancangan Peraturan Daerah ini meliputi pertimbangan yang bersifat filosofis, yuridis dan sosiologis yakni : a. bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara Indonesia; b. bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah Pemerintah Kabupaten Jembrana berwenang dalam Penyelenggaraan Pendidikan; c. bahwa Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana diarahkan untuk mewujudkan upaya peningkatan sumber daya manusia yang memiliki daya saing global; d. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan; 3. Dasar hukum Mengingat. Dalam merumuskan dasar hukum yang mengacu Pedoman angka 28 TP3, bahwa Peraturan dasar hukum memuat Perundang-undangan dasar yang kewenangan memerintahkan pembuatan pembuatan Peraturan Perundang-undangan, dengan ungkapan lain dasar hukum peraturan daerah memuat dasar hukum formal yakni yang berkaitan dengan kewenangan pembentukan peraturan daerah, dan dasar hukum 35 substansial yakni yang berkaitan dengan substansi peraturan daerah Dasar hukum formal maupun substansial yang dipergunakan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1555); 2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); 3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586); 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3411); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3412) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (Lembaran Negara 36 Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3763); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3413) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3764); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3460); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3461); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3641) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3974); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3485); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 14. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan 37 Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4); 15. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah; 16. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 087/U/2002 tentang Akreditasi Sekolah; 17. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah; 18. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960); 19. Peraturan WaliKabupaten Jembrana Nomor 30 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Jembrana Tahun 2010 – 2015. 4. Bab Ketentuan Umum. Adapun isi ketentuan umum sesuai dengan Pedoman angka 98 TP3 adalah sebagai berikut: a. Batasan pengertian atau definisi; b. Singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan c. Hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan tanpa dirumuskan sendiri dalam pasal atau bab. Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka Ketentuan Umum dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan pendidikan menyangkut batasan pengertian 1. belajar, hasil belajar, kinerjatenaga kependidikan dan kelembagaan. 2. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal dan nonformal. 38 3. Satuan pendidikan negeri adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten. 4. Satuan pendidikan swasta adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh organisasi masyarakat atau yayasan yang berbadan hukum. atau difinisi sebagai berikut: 5. Kabupaten adalah Kabupaten Jembrana. 6. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Jembrana. 7. Bupati adalah Bupati Kabupaten Jembrana. 8. Dinas adalah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Jembrana. 9. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Jembrana. 10. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 11. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 12. Penyelenggaraan Pendidikan adalah pengelolaan pendidikan yang mencakup seluruh kegiatan pendidikan formal dan pendidikan non formal baik yang diselenggaraakan Pemerintah Kabupaten dan masyarakat dalam lingkup Dinas maupun departemen Agama sesuai urusan daerah. 13. Manajemen dan kelembagaan pendidikan adalah seperangkat pengaturan mengenai pendirian dan pengelolaan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal. 14. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan 39 sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. 15. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masingmasing satuan pendidikan. 16. Standar kompetensi adalah kemampuan minimal yang diharapkan dapat dicapai peserta didik melalui pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu. 17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18. Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian suatu sekolah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh badan akreditasi sekolah yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan. 19. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 20. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 21. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar dan pendidikan menengah. 22. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 23. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 40 24. Evaluasi adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap proses 25. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang terdiri dari pendidikan dasar dan pendidikan menengah. 26. Wajib belajar adalah program pendidikan dasar 9 tahun dan pendidikan menengah 3 tahun yang harus diikuti oleh warga masyarakat atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. 27. Manajemen berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan potensi masyarakat. 28. Tenaga kependidikan mengabdikan diri adalah dan anggota diangkat masyarakat untuk yang menunjang penyelenggaraan pendidikan. 29. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, konselor, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. 5. Bab Materi Pokok Yang Diatur a. Tujuan, Ruang Lingkup dan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Tujuan Penyelenggaraan pendidikan adalah pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar danmengembangkan manajemen pendidikan bertumpu pada partisipasi masyarakat, transparansi anggaran pendidikan dan akuntabilitas penyelengaraan pendidikan secara keseluruhan. Ruang lingkup penyelenggaraan pendidikan meliputi: a. peserta didik; b. penyelenggaraan pendidikan formal; c. penyelenggaraan pendidikan non formal; d. pendidikan anak usia dini; e. pendidikan khusus; f. pendidikan keagamaan; g. pendidikan bertaraf internasional dan pendidikan berbasis 41 keunggulan lokal; h. penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga asing; i. pendidik dan tenaga kependidikan; j. sarana dan prasarana pendidikan; k. evaluasi; l. akreditasi; m. pengawasan; n. wajib belajar; o. partisipasi masyarakat; dan p. pendanaan pendidikan yang menjadi batas kewenangan Pemerintah Kabupaten. Prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah : a. pendidikan diselenggarakan sebagai investasi sumber daya manusia jangka panjang; b. pendidikan diselenggarakan sebagai kesatuan yang sistematik, terbuka, demokratis dan adil melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat meliputi penyelenggaraan dan pengendalian layanan mutu pendidikan; c. pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya, lingkungan dan kemajemukan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat; d. pendidikan diselengarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; e. pengelolaan pendidikan harus berdasarkan penerapan prinsipprinsip manajemen pendidikan yang aktual; f. Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab atas penyelenggaraan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah; g. Pemerintah Kabupaten memfasilitasi terselenggaranya satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan pendidikan luar biasa; h. Pemerintah Standar Kabupaten wajib Penyelenggaraan menyusun Pelayanan dan Publik melaksanakan dan Standar 42 Pelayanan Minimal (SPM); i. Satuan Pendidikan wajib menyusun dan melaksanakan Standar Penyelenggaraan Pelayanan Publik; dan j. Satuan Pendidikan wajib melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM). b.Hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dan Masyarakat Pemerintah mengendalikan Kabupaten berhak penyelenggaraan pertanggungjawaban kepada mengelola, pendidikan masyarakat. memantau sebagai Pemerintah dan bentuk Kabupaten berkewajiban: a. menyelenggarakan mengembangkan pendidikan, pendidik, tenaga mendayagunakan kependidikan, dan kurikulum, buku ajar, peralatan pendidikan, tanah dan bangunan atau gedung serta pemeliharaannya untuk sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten; b. membantu penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat; c. menjamin terlaksananya sistem pendidikan yang berkualitas melalui layanan dan kemudahan pendidikan; d. menyediakan anggaran pendidikan; dan e. menyelenggarakan wajib belajar. Masyarakat mempunyai hak dan kedudukan yang sama untuk memperoleh pendidikan sesuai prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan.Masyarakat wajib berpartisipasi demi kemajuan pendidikan guna mendukung terlaksananya penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. c. Satuan Pendidikan Setiap satuan pendidikan berhak untuk : a. memperoleh dana operasional dan pemeliharaan pendidikan bagi Satuan Pendidikan Negeri; b. memperoleh bantuan dana operasional dan pemeliharaan 43 pendidikan bagi Satuan Pendidikan Swasta; dan c. merencanakan dan menyusun kurikulum. Setiap Satuan Pendidikan berkewajiban untuk : a. menjamin pelaksanaan hak-hak peserta didik untuk memperoleh pendidikan tanpa membedakan status sosial peserta didik; b. memfasilitasi dan bekerja sama dengan Komite Sekolah untuk menerapkan dan mengembangkan manajemen berbasis sekolah; c. menyusun dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), dan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah kepada Komite Sekolah dan seluruh orang tua/wali peserta didik; d. menyusun dan melaksanakan Standar Penyelenggaraan Pelayanan Publik; e. melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM); f. melaksanakan kurikulum. d. Peserta Didik Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak untuk: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama serta memperoleh jaminan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dipeluknya; b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya; c. mendapatkan beasiswa atau penghargaan bagi peserta didik yang berprestasi baik di bidang akademik maupun non akademik; d. mendapatkan bantuan fasilitas belajar, bantuan biaya pendidikan, kesehatan dan santunan kecelakaan, kematian serta peningkatan gizi yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Bupati; e. mendapat pembebasan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tergolong keluarga miskin; dan f. menyelesaikan batas waktu program pendidikan sesuai dengan 44 kecepatan belajar masing-masing dengan tidak menyimpang dari persyaratan yang ditetapkan. Setiap peserta didik berkewajiban untuk : a. mematuhi semua peraturan yang berlaku; b. menghormati tenaga kependidikan dan pendidik; c. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin berlangsungnya proses dan keberhasilan pendidikan; d. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut; dan e. ikut memelihara kebersihan, ketertiban dan keamanan sarana dan prasarana pendidikan. Penerimaan dan Daftar Ulang (1)Penerimaan peserta didik dilaksanakan oleh Pengelola Satuan Pendidikan sesuai dengan daya tampung pada satuan pendidikan. (2)Apabila jumlah pendaftar melebihi kapasitas daya tampung, maka sistem dan mekanisme penerimaan peserta didik dilaksanakan melalui seleksi dengan berdasarkan pada asas keadilan dan keterbukaan. (3)Warga Negara Asing dapat menjadi peserta didik dalam satuan pendidikan yang diselenggarakan di Kota. (4)Pada Taman Kanak-kanak (TK) atau bentuk lain yang sederajat jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar/kelas paling sedikit 10 (sepuluh) peserta didik dan paling banyak 25 (duapuluh lima) peserta didik. (5)Pada Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar/kelas paling sedikit 20 (duapuluh) peserta didik dan paling banyak 40 (empat puluh) peserta didik. (6)Pada Sekolah Menengah Kejuruan jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar/kelas berkisar antara 20 (duapuluh) peserta didik sampai dengan 40 (empat puluh) peserta didik untuk kelompok 45 regular, dan 20 (duapuluh) peserta didik sampai dengan 36 (tigapuluh enam) peserta didik untuk kelompok RSBI. (7)Daftar ulang hanya diberlakukan terhadap peserta didik yang tidak naik kelas dan tidak lulus dengan tanpa dipungut biaya. (8)Sistem dan tata cara penerimaan peserta didik ditetapkan dengan Peraturan bupati. Mutasi (1)Mutasi peserta didik dapat dilakukan dalam, jenjang pendidikan yang sejenis dan setara oleh Pengelola Satuan Pendidikan di bawah koordinasi Dinas. (2)Peserta didik yang berasal dari luar daerah, mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk mengikuti pendidikan pada Satuan Pendidikan dan jalur pendidikan lain yang setara. e. Pendidikan Formal Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan dasar yang meliputi: a. pengadaan, pendayagunaan tenaga kependidikan dan pendidik, buku pelajaran, sarana dan prasarana pendidikan serta pemeliharaannya; dan b. pengembangan tenaga kependidikan dan pendidik serta sarana dan prasarana pendidikan. Tanggung Jawab Masyarakat, Organisasi dan Yayasan Masyarakat, organisasi atau yayasan yang berbadan hukum yang mendirikan dan menyelenggarakan satuan pendidikan, bertanggung jawab atas: a. pengadaan sarana dan prasarana pendidikan; b. tenaga kependidikan dan pendidik; dan c. keberlangsungan serta mutu satuan pendidikan yang didirikan. Pendirian dan Pengintegrasian Satuan Pendidikan (1) Pemerintah Kabupaten, masyarakat, organisasi atau yayasan yang berbadan hukum dapat mendirikan satuan pendidikan formal. (2) Walikota menetapkan pendirian dan pengintegrasian Satuan Pendidikan Negeri. 46 (3) Kepala Dinas menetapkan pendirian dan pengintegrasian Satuan Pendidikan Swasta. (4) Pendirian satuan pendidikan formal, didasarkan pada kebutuhan masyarakat dan perencanaan pengembangan pendidikan secara lokal, regional, nasional maupun internasional. (1)Pendirian satuan pendidikan formal harus memenuhi syarat studi kelayakan yang meliputi: a. sumber peserta didik; b. tenaga kependidikan dan pendidik; c. kurikulum dan program kegiatan belajar; d. sumber pembiayaan; e. sarana dan prasarana; dan f. manajemen penyelenggaraan sekolah. (2)Pendirian satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. adanya potensi lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan tamatan SMK yang akan didirikan dengan mempertimbangkan pemetaan satuan pendidikan sejenis sesuai dengan kebutuhan masyarakat; dan b. adanya dukungan masyarakat termasuk dunia usaha, dunia industri dan unit produksi yang dikembangkan di satuan pendidikan. (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat teknis pendirian satuan pendidikan formal diatur dengan Peraturan bupati. Satuan Pendidikan Formal (1)Satuan pendidikan formal yang dintegrasikan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Penyelenggara satuan pendidikan formal tidak mampu menyelenggarakan kegiatan pembelajaran; b. Tidak dipenuhinya jumlah minimal peserta didik; dan c. Satuan pendidikan yang diintegrasikan harus sesuai dengan jenjang dan jenisnya. 47 (2)Satuan pendidikan formal yang diintegrasikan mengalihkan tanggung jawab edukatif dan administratif peserta didik, tenaga kependidikan dan pendidik kepada satuan hasil integrasi. (3)Tata cara dan syarat teknis pengintegrasian satuan pendidikan formal diatur dengan Peraturan bupati. Penutupan Satuan Pendidikan (1)Penutupan satuan pendidikan formal dapat berupa penghentian kegiatan belajar mengajar atau penghapusan satuan pendidikan. (2)Penutupan satuan pendidikan formal dilakukan apabila satuan pendidikan tidak lagi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran. Kurikulum Pendidikan Formal (1)Pelaksanaan kurikulum pendidikan formal berpedoman pada standar nasional dan dimungkinkan untuk menerapkan standar internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2)Diversifikasi kurikulum pada setiap satuan pendidikan formal disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan potensi satuan pendidikan sesuai dengan kewenangannya. (3)Satuan pendidikan menyusun kurikulum muatan lokal berbasis kompetensi dengan memperhatikan: a. agama; b. peningkatan iman dan taqwa; c. peningkatan akhlak mulia; d. peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik; e. keragaman potensi daerah dan lingkungan; f. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; g. tuntutan dunia kerja; h. perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni budaya; i. dinamika perkembangan global; j. persatuan nasional serta nilai-nilai kebangsaan. (4)Pengembangan mata pelajaran muatan lokal diserahkan pada satuan pendidikan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan 48 kemampuan peserta didik serta sumber daya yang dimiliki oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. (5)Penjabaran kurikulum harus sesuai dengan target waktu yang sudah ditentukan dan hal tersebut menjadi tanggung jawab tenaga pendidik. Bahasa Pengantar (1)Bahasa pengantar dalam pendidikan formal adalah Bahasa Indonesia. (2)Bahasa Bali dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan. (3)Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah mata pelajaran Bahasa Bali wajib diajarkan. (4)Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. f. Pendidikan Non Formal Manajemen dan Kelembagaan (1)Pendidikan non formal dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten atau masyarakat atau organisasi non yayasan yang berbadan hukum. (2)Penyelenggaraan pendidikan non formal yang dilakukan Pemerintah Kabupaten dilaksanakan oleh Dinas dan/atau instansi terkait serta Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). (3)Penyelenggaraan pendidikan non formal yang dilakukan masyarakat dan organisasi non yayasan yang berbadan hukum dilaksanakan oleh Lembaga Kursus, Lembaga Pelatihan, Kelompok Belajar, Pusat Kegiatan Masyarakat serta satuan pendidikan sejenis. (4)Manajemen pendidikan non formal melibatkan unsur: a. pembina; b. penyelenggara; c. pendidik; d. tenaga kependidikan; e. penilik; dan f. warga belajar. 49 (5)Lembaga penyetaraan yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah melakukan proses penilaian terhadap satuan pendidikan dengan mengacu kepada Standar Nasional. Pendidikan Non Formal (1)Pendidikan non formal diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pendukung pendidikan formal dalam rangka pendidikan sepanjang hayat. (2)Penyelenggaraan kursus dan program yang berhubungan dengan pendidikan non formal bertujuan untuk mengembangkan potensi warga belajar dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3)Penyelenggaraan pendidikan non formal harus dikoordinasikan dengan Dinas. (4)Penyelenggaraan pendidikan non formal untuk tujuan khusus harus mendapat ijin dari Dinas. (5)Ketentuan mengenai persyaratan, penilaian, kelayakan dan tata cara memperoleh ijin dan/atau rekomendasi diatur dengan Peraturan bupati. Jenis Pendidikan Non Formal (1)Pendidikan non formal meliputi: a. pendidikan kecakapan hidup; b. pendidikan anak usia dini; c. pendidikan kepemudaan; d. pendidikan pemberdayaan perempuan; e. pendidikan keaksaraan; f. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; g. pendidikan kesetaraan; dan h. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan warga belajar. 50 (2)Pelaksanaan pendidikan non formal diprioritaskan pada kebutuhan masyarakat dan dunia usaha serta dunia industri. (3)Pemerintah memberikan mengembangkan jenis peluang dan dan program dukungan pendidikan non untuk formal unggulan. (4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan/atau pengelolaan pendidikan non formal diatur dengan Peraturan bupati. Kurikulum Pendidikan Non Formal (1)Kurikulum pendidikan non formal merupakan kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau pelatihan yang dilaksanakan untuk mencapai standar sesuai dengan peraturan perundang-0undangan yang berlaku. (2)Ketentuan mengenai penyusunan dan pengembangan isi kurikulum pendidikan non formal diatur dengan Peraturan bupati. F.Pendidikan Anak Usia Dini (1)Pendidikan anak usia dini diberikan sebelum jenjang pendidikan dasar. (2)Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur: a. pendidikan formal; b. pendidikan non formal; dan/atau c. pendidikan informal. (3)Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk: a. Taman Kanak-kanak (TK); atau b. bentuk lain yang sederajat (4)Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk: a. Kelompok Bermain (KB); b. Taman Penitipan Anak (TPA); atau c. Satuan Paud Sejenis (SPS) (5)Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk: a. pendidikan keluarga; atau b. pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. d. Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (1) Pendidikan khusus merupakan layanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus karena kelaian fisik, 51 emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. (2) Pendidikan khusus dapat berbentuk: a. pendidikan inklusif; b. akselerasi; c. eskalasi. (3) Pendidikan layanan khusus merupakan program pendidikan bagi peserta didik di daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi. e. Pendidikan Keagamaan (1) Pendidikan keagamaan difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten dan/atau dapat diselenggarakan oleh kelompok masyarakat dan pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan: a. formal; b. non formal; atau c. informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja, samanera, dan bentuk lain yang sejenisnya. (5) Bentuk pendidikan keagamaan diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Pendidikan Bertaraf Keunggulan Lokal (1)Pendidikan bertaraf Internasional dan Pendidikan internasional adalah Berbasis pendidikan yang diselenggarakan dengan menggunakan Standar Nasional Pendidikan yang diperkaya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu bersaing serta berkolaborasi secara global. 52 (2)Tujuan penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional adalah untuk mengakomodasi peserta didik yang ingin bekerja/melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi di luar negeri. (3)Penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional dilaksanakan oleh satuan pendidikan yang telah mencapai kategori formal mandiri. (4)Peserta didik pendidikan bertaraf internasional adalah lulusan pada jenjang di bawah satuan pendidikan yang memenuhi persyaratnpersyaratan yang diatur secara khusus dengan Peraturan bupati. (5)Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah satuan pendidikan dasar dan menengah yang menyelenggarakan pendidikan dengan acuan kurikulum yang menunjang upaya pengembangan potensi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat daerah setempat. (6)Tujuan adalah penyelenggaraan untuk pendidikan mengakomodasi berbasis peserta keunggulan didik dalam lokal upaya mengembangkan potensi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat daerah setempat. (7)Penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal dilakukan oleh satuan pendidikan yang telah mencapai kategori formal mandiri. (8)Peserta didik pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah lulusan pada jenjang di bawah persyaratan-persyaratan satuan yang pendidikan diatur secara yang memenuhi khusus dengan Peraturan bupati. Kurikulum dan Ujian Akhir (1)Kurikulum pendidikan bertaraf internasional dikembangan oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang diperkaya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu bersaing dan berkolaborasi secara global. (2)Kurikulum pendidikan berbasis keunggulan lokal dikembangan oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang diperkaya dan kembangkan sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. 53 (3)Ujian akhir pada satuan pendidikan bertaraf internasional wajib mengikuti ujian nasional dan uji kompetensi sesuai tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara global. (4)Ujian akhir pada satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal mengacu pada ujian nasional dan uji kompetensi sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Bahasa Pengantar, Pendidik, Tenaga Kependidikan dan Sarana Prasarana (1) Bahasa pengantar pada satuan pendidikan bertaraf internasional adalah: a. Bahasa Indonesia; b. Bahasa Inggris; dan/atau c. bahasa asing lainnya sesuai kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. (2) Satuan pendidikan bertaraf internasional harus memiliki pendidik dan tenaga kependidikan, dan sarana/prasarana sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan serta tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi global. (3) Satuan pendidikan bertaraf internasional dapat mempekerjakan pendidik dan tenaga kependidikan asing untuk mendukung proses pembelajaran dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pembiayaan (1)Pembiayaan untuk pendidikan dan pengembangan tahap awal satuan pendidikan Pemerintah bertaraf internasional Kabupaten yang disediakan diselenggarakan oleh Pemerintah oleh Pusat, Pemerintah Provinsi Bali dan/atau Pemerintah Kabupaten. (2)Pembiayaan untuk pendidikan dan pengembangan tahap awal satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Kabupaten menjadi tanggung jawab Pemerintah dan dapat dibantu oleh Pemerintah Provinsi Bali dan/atau Pemerintah Pusat. 54 (3)Pembiayaan untuk pendirian tahap awal satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau yang berbasis keunggulan lokal, yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh yayasan atau lembaga yang berbadan hukum. (4)Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Bali dan/atau Pemerintah Kabupaten memfasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau yang berbasis keunggulan lokal untuk memperoleh sumber dana yang diperlukan untuk pengembangan program pendidikan. Peran Pemerintah Kabupaten (1)Pemerintah Kabupaten menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan bertaraf internasional dan yang berbasis keunggulan lokal pada semua jenjang dan jenis pendidikan. (2)Satuan pendidikan bertaraf internasional dan yang berbasis keunggulan lokal dapat diselenggarakan sebagai satuan pendidikan terpadu. (3)Perguruan Tinggi dan lembaga lain yang kompeten dapat berperan memberikan pembinaan terhadap tenaga kependidikan berkaitan dengan bahasa pengantar khususnya Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Pengawasan Pemerintah Daerah dan Dewan Pendidikan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional dan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal sesuai dengan kewenangan masing-masing. g. Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Pihak Asing (1)Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2)Tujuan pendidikan pada lembaga pendidikan asing tidak boleh bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. (3)Penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan nasional dan mengikutkan 55 Warga Negara Indonesia sebagai pendidik dan pengelola masingmasing minimal 25% (duapuluh lima persen) dari keseluruhan pendidik dan 25% (duapuluh lima persen) dari keseluruhan pengelola pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan secara bersama tersebut. (4)Peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan asing mencakup Warga Negara Indonesia dan warga negara asing. Sarana Pendidikan Satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh lembaga pendidikan asing harus memiliki sarana pendidikan, buku pelajaran, sumber belajar, pendidik dan tenaga kependidikan sesuai tuntutan kemajuan teknologi secara global. Kurikulum, Bahasa Pengantar dan Ujian Akhir (1)Struktur kurikulum pendidikan dan sistem ujian pada lembaga pendidikan asing mengikuti kurikulum pendidikan di negara asalnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. (2)Selain mengikuti kurikulum dan sistem ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga pendidikan asing wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia. (3)Bahasa pengantar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan asing adalah bahasa yang digunakan di negara asal dan bahasa Indonesia. (4)Ujian akhir pada lembaga pendidikan asing terdiri atas ujian akhir yang berlaku di negara asal dan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia wajib mengikuti ujian nasional. Akreditasi dan Pengawasan (1)Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan asing wajib mengikuti proses akreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 56 (2)Pemerintah Kabupaten berwenang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing di Kabupaten. (3)Prosedur pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan bupati. h. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Tenaga Pendidik (1)Calon tenaga pendidik yang akan diangkat pada satuan pendidikan formal baik negeri maupun swasta harus memiliki kualifikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2)Guru mata pelajaran agama yang akan diangkat sebagai tenaga pendidik selain harus memenuhi persyaratan sebagai tenaga pendidik, juga harus menganut agama sesuai dengan agama yang diajarkan. (3)Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan tenaga pendidik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dengan mengangkat dan/atau menempatkan tenaga pendidik yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk kurun waktu tertentu berdasarkan permintaan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan dengan mempertimbangkan kondisi dan kemampuan yang ada. (4)Pengangkatan dan penempatan Tenaga Pendidik yang tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil pada satuan pendidikan swasta dilakukan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan. Kepala Sekolah (1)Pendidik yang memenuhi persyaratan tertentu dapat diberi tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah. (2)Pengangkatan Kepala Sekolah harus memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3)Tata cara pengangkatan Kepala Sekolah ditetapkan sebagai berikut: 57 a. Pengawas Sekolah bersama-sama Kepala Sekolah dan Komite Sekolah setempat mengusulkan calon Kepala Sekolah yang memenuhi persyaratan berdasarkan aspirasi pendidik; b. Usulan calon Kepala Sekolah sebagai dimaksud pada huruf a disampaikan kepada Kepala Dinas oleh Kepala Sekolah; c. Kepala Dinas membentuk tim seleksi Calon Kepala Sekolah (TPPKS); d. Seleksi Calon Kepala Sekolah dilakukan secara objektif dan transparan; e. Berdasarkan hasil seleksi, Kepala Dinas mengusulkan calon Kepala Sekolah yang memenuhi persyaratan dan kompetensi, kepada Bupati; f. Penetapan calon Kepala Sekolah yang lulus seleksi ditetapkan dengan Keputusan Bupati; dan g. Bupati mengeluarkan Keputusan Pengangkatan dan Penempatan Kepala Sekolah. (4)Pendidik yang berstatus PNS yang diangkat menjadi Kepala Sekolah oleh satuan pendidikan swasta harus mendapat ijin dari Bupati. (5)Tata cara pengangkatan dan penempatan Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta, dilakukan oleh penyelenggara pendidikan yang bersangkutan. Tugas Kepala Sekolah Tugas Kepala Sekolah adalah sebagai brikut: a. pemimpin; b. manajer; c. pendidik; d. administrator; e. wirausahawan; f. pencipta iklim kerja; dan g. penyelia Tanggung Jawab dan Wewenang Kepala Sekolah (1)Tanggung jawab Kepala Sekolah adalah: 58 a. melaksanakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan melibatkan secara aktif warga sekolah dan komite sekolah; dan b. melakukan koordinasi dengan warga sekolah dan komite sekolah dalam setiap pengambilan keputusan sekolah. (2)Kepala Sekolah mempunyai wewenang memilih dan menentukan metode kerja untuk mencapai hasil yang optimal dalam melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kode etik profesi. Masa Tugas Kepala Sekolah (1)Masa tugas Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri adalah 4 (empat) tahun. (2)Masa tugas Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta ditentukan oleh penyelenggara pendidikan yang bersangkutan. (3)Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa tugas apabila berprestasi baik berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi kinerja Kepala Sekolah dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati. (4)Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta dapat diangkat kembali untuk masa tugas berikutnya berdasarkan mekanisme yang berlaku pada satuan pendidikan yang bersangkutan. (5)Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri, yang sudah melaksanakan 2 (dua) kali masa tugas berturut-turut, dapat diangkat kembali menjadi Kepala Sekolah apabila: a. telah melewati tenggang waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) kali masa tugas; atau b. memiliki prestasi yang istimewa, dengan tanpa tenggang waktu dan ditugaskan di sekolah lain. (6)Kepala Sekolah yang masa tugasnya berakhir dan/atau tidak lagi diberikan tugas sebagai Kepala Sekolah, tetap melaksanakan tugas sebagai pendidik sesuai dengan jenjang jabatannya dan berkewajiban melaksanakan proses belajar mengajar konseling sesuai dengan peraturan atau bimbingan dan perundang-undangan yang berlaku. 59 (7)Kepala Sekolah yang masa tugasnya berakhir dan/atau tidak lagi diberikan tugas sebagai Kepala Sekolah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan memiliki prestasi yang sangat baik, dapat dipromosikan ke dalam jabatan fungsional maupun struktural sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberhentian Kepala Sekolah (1)Kepala Sekolah dapat diberhentikan karena: a. permohonan sendiri; b. masa ugas berakhir; atau c. dinilai tidak berhasil melaksanakan tugas. (2)Kepala Sekolah diberhentikan dari penugasan karena: a. telah mencapai batas usia pensiun jabatan fungsional guru; b. diangkat pada jabatan lain; c. dikenakan hukuman disiplin sesdang dan berat; d. diberhentikan dari jabatan guru; atau e. meninggal dunia. (3)Pemberhentian Kepala Sekolah pada satuan pendidikan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan oleh Bupati. (4)Pemberhentian Kepala Sekolah pada satuan pendidikan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan. Pemindahan dan Penempatan (1)Tenaga kependidikan yang berstatus PNS dapat dipindahkan dari satuan pendidikan satu ke satuan pendidikan lainnya atas dasar permohonan yang bersangkutan dan/atau untuk kepentingan Dinas. (2)Pemindahan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkedudukan sebagai tenaga pendidik dari jenjang pendidikan satu ke jenjang pendidikan lainnya, dapat dilaksanakan sepanjang tenaga pendidik yang bersangkutan memiliki potensi dan kemampuan yang sangat dibutuhkan serta memenuhi ketentuan yang berlaku. 60 (3)Pemindahan juga dapat dilakukan pada tenaga pendidik yang masih berstatus sebagai Guru Bantu/Guru Tenaga Pekerja Harian Lepas dari satuan pendidikan formal ke satuan pendidikan formal lainnya. (4)Untuk memenuhi kekurangan tenaga pendidik, Pemerintah Kabupaten dapat mengangkat tenaga pendidik yang baru atau menempatkan PNS lainnya yang memiliki akta pendidikan dan sertifikasi profesi. (5)Pemeindahan dan penempatan tenaga kependidikan didasarkan pada asas pemerataan, domisili dan formasi. (6)Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan oleh Bupati. Pengembangan Karir Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (1)Pengembangan karir tenaga kependidikan berdasarkan kinerjanya. (2)Dalam rangka pengembangan karir, tenaga kependidikan yang berprestasi mendapatkan penghargaan dalam jenjang jabatan atau bentuk lain. (3)Pendidik dapat diberi tugas tambahan dalam kedudukan sebagai Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah/Pembantu Kepala Sekolah, Ketua Bidang Keahlian/Kepala Instalasi, Ketua Program Studi/Ketua Jurusan, Wali Kelas, Instruktur, Guru Inti Pemandu Mata Pelajaran, dan tugas tambahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4)Ketentuan pangkat dan jabatan tenaga kependidikan diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5)Pendidik yang mendapat tugas tambahan mendapatkan tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (6)Jabatan tenaga kependidikan yang tidak berkedudukan sebagai PNS pada satuan pendidikan swasta ditentukan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan. (7)Tenaga kependidikan wajib mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan standar kompetensi profesi, ilmu 61 pengetahuan dan teknologi serta pembangunan nasional dan daerah. (8)Pengelola satuan pendidikan berkewajiban memberikan kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk mengembangkan kempuan professional masing-masing. (9)Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab meningkatkan kemampuan profesi tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan tenaga kependidikan dalam mencapai standar profesi. (10) Dalam memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada yata (3), Bupati memberdayakan peran Dinas, lembaga penjamin mutu, organisasi profesi serta lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya secara optimal. (11) Pengembangan kemampuan profesi tenaga kependidikan akan diatur dengan Peraturan bupati. Hak, Tunjangan/Bantuan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (1)Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan/tunjangan kesejahteraan pegawai kepada pendidik atau tenaga kependidikan yang memenuhi persyaratan baik yang berstatus PNS maupun yang tidak berstatus PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kemampuan keuangan Kabupaten. (2)Masyarakat, organisasi penyelenggara atau pendidikan, yayasan yang berkewajiban berbadan memberikan hukum gaji dan tunjangan kepada tenaga kependidikan yang berstatus pegawai tetap yayasan atau tenaga honorer secara berkala. (3)Pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus PNS dan tidak berstatus PNS berhak memperoleh perlindungan hukum, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebutuhan Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pada Satuan Pendidikan (1)Pada satuan pendidikan prasekolah sekurang-kurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga kependidikan meliputi: a. Kepala Taman Kanak-kanak (TK) atau sederajat; dan 62 b. Pendidik dan Pegawai Tata Usaha. (2)Pada satuan pendidikan Sekolah Dasar sekurang-kurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga kependidikan meliputi: a. Kepala Sekolah; b. guru kelas; c. guru mata pelajaran pendidikan agama; d. guru mata pelajaran pendidikan jasmani; e. pegawai tata usaha; dan f. dapat diadakan guru bimbingan dan penyuluhan/konselor, pustakawan, laboran serta teknisi sumber belajar. (3)Pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekurangkurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga kependidikan meliputi: a. Kepala Sekolah; b. Wakil Kepala Sekolah; c. walikelas; d. guru mata pelajaran/rumpun mata pelajaran; e. guru bimbingan dan konseling/konselor; f. guru khusus; g. kepala tata usaha; h. pegawai tata usaha; i. pustakawan; j. laboran; dan k. dapat diadakan koordinator mata pelajaran dan teknisi sumber belajar. (4)Pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sekurangkurangnya terdapat tenaga pendidik dan tenaga kependidikan meliputi: a. Kepala Sekolah; b. Wakil Kepala Sekolah; c. walikelas; d. guru mata pelajaran/rumpun mata pelajaran; e. guru bimbingan dan konseling/konselor; 63 f. guru khusus; g. kepala tata usaha; h. pegawai tata usaha; i. pustakawan; j. laboran; dan k. dapat diadakan koordinator mata pelajaran dan teknisi sumber belajar. (5)Pada satuan pendidikan sekurang-kurangnya Sekolah terdapat Menengah tenaga Kejuruan pendidik dan (SMK) tenaga kependidikan meliputi: a. Kepala Sekolah; b. Wakil Kepala Sekolah; c. ketua bidang keahlian/kepala instalasi/ketua jurusan; d. ketua program keahlian/kepala bengkel/kepala laboratorium; e. guru program diklat; f. guru bimbingandan konseling/bimbingan karir/konselor; g. guru khusus; h. kepala tata usaha; i. pegawai tata usaha; j. teknisi; k. pustakawan; l. laboran; dan m. dapat diadakan koordinator mata pelajaran dan Kepala Asrama. Organisasi Profesi Pendidikan (1)Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan dapat membentuk dan ikut bergabung ke dalam organisasi profesi pendidikan yang diakui dan berbadan hukum sebagai wahana pembinaan professional, pengabdian dan perjuangan. (2)Organisasi profesi pendidikan merupakan mitra Pemerintah Kabupaten dalam mencapai tujuan pendidikan. (3)Ketentuan mengenai tujuan, peran, fungsi, tata kerja organisasi profesi, diatur dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga masing-masing organisasi. 64 i. Sarana dan Prasarana Pendidikan Buku Ajar (1)Setiap peserta didik berhak menerima buku ajar sebagai buku wajib dalam proses belajar mengajar tanpa dipungut biaya. (2)Pengadaan buku ajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten. (3)Selain bukun ajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekolah dapat menggunakan buku ajar lain sebagai buku pendamping. (4)Tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan komite sekolah dilarang melakukan penjualan buku ajar kepada peserta didik. Ruangan (1) Setiap satuan pendidikan sekurang-kurangnya memiliki: a. ruang pendidikan; b. ruang administrasi; dan c. ruang penunjang. (2) Spesifikasi dan ukurannya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3) Pemerintah Kabupaten menyediakan dana pemeliharaan dan perawatan ruang dan bangunan satuan pendidikan sesuai dengan kemampuan. j.Evaluasi Tujuan dan Sasaran Evaluasi (1)Evaluasi dilakukan dalam rangka: a. pengendalian mutu pendidikan serta memperoleh masukan guna pengembangan pendidikan selanjutnya; dan b. sebagai bentuk akuntabilitas publik. (2)Evaluasi dilakukan terhadap: a. peserta didik; b. tenaga pendidik dan tenaga kependidikan; c. lembaga dan program pendidikan pada semua jenjang satuan dan jenis pendidikan. Evaluasi Belajar 65 (1)Evaluasi belajar peserta didik menjadi tanggung jawab guru dan satuan pendidikan yang bersangkutan, yang meliputi proses dan hasil belajar dengan menerapkan prinsip ketuntasan belajar secara berkesinambungan. (2)Jenis evaluasi belajar pada satuan pendidikan meliputi: a. penilaian kelas; b. ujian akhir; c. tes kemampuan dasar; dan d. penilaian mutu. (3)Evaluasi peserta didik dilakukan secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik untuk mencapai standar kompetensi tertentu. (4)Peserta didik berhak mendapatkan sertifikasi atas dasar evaluasi yang dilakukan. (5)Sertifikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) berbentuk ijazah dan sertifikasi kompetensi. (6)Lembaga pendidikan yang terakreditasi berhak member ijazah kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajat dan/atau penyelesaian suatu satuan pendidikan setelah lulus dalam ujian. (7)Penyelenggara pendidikan dan pelatihan berhak memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi. Evaluasi Kinerja (1)Evaluasi kinerja tenaga pendidik menjadi tanggung jawab atasan langsung yang meliputi: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. penilaian hasil belajar; d. analisis hasil belajar; dan e. perbaikan dan pengayaan. (2)Evaluasi kinerja tenaga pendidik dilakukan secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik. 66 (3)Tes kompetensi dan sertifikasi tenaga pendidik merupakan salah satu bentuk evaluasi kinerja tenaga pendidik dalam rangka peningkatan dan pengembangan tenaga kependidikan. (4)Evaluasi kinerja yang dilakukan masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan yang diterima dari satuan pendidkan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal. (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi kinerja diatur dengan Peraturan bupati. k. Akreditasi (1)Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pada jalur pendidikan formal dan non formal di setiap jenjang dan jenis pendidikan. (2)Akreditasi terhadap satuan pendidikan dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah (BAS). (3)Akreditasi dilakukan atas dasar criteria yang bersifat transparan, objektif dan akuntabel yang meliputi aspek: a. kurikulum dan proses belajar mengajar; b. administrasi/manajemen sekolah; c. organisasi/kelembagaan sekolah; d. sarana dan prasarana; e. ketenagaan; f. pembiayaan; g. peserta didik/siswa; h. peran serta masyarakat; dan i. lingkungan/kultur sekolah. (4)Satuan pendidikan yang telah diakreditasi berhak mendapatkan sertifikat dari BAS sesuai dengan tingkat kelayakannya. (5)Keanggotaan BAS terdiri dari unsur-unsur: a. Dinas Pendidikan; b. Dewan Pendidikan; c. organisasi profesi; d. Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS); e. pengawas; dan 67 f. masyarakat. (6)Susunan keanggotaan BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk jenjang SD dan SMP, serta Keputusan Gubernur untuk tingkat SMA dan SMK. (7)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara akreditasi diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. l. Pengawasan (1)Pemerintah Kabupaten melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan luar sekolah. (2)Pengawasan bidang teknis edukatif dilakukan oleh tenaga fungsional Pengawas Profesional yang terdiri dari pengawas TK/SD, Pengawas Rumpun Mata Pelajaran, Pengawas Bimbingan Konseling serta dilaporkan secara berkala (tri wulan) kepada Kepala Dinas. (3)Pengawas pendidikan non formal dilakukan oleh Penilik Pendidikan Luar Sekolah. (4)Pengawasan di bidang administratif manajerial dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten. (5)Pada setiap satuan pendidikan terdapat fungsi pengawasan melekat. (6)Dewan Pendidikan melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan. (7)Komite Sekolah melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan satuan pendidikan. Kedudukan dan Tugas Pengawas Sekolah dan Penilik Sekolah (1)Pengawas sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah yang ditunjuk/ditetapkan. (2)Penilik sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis. (3)Pengawas sekolah mempunyai tugas pokok menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya. 68 (4)Penilik sekolah mempunyai tugas pokok merencanakan, melaksanakan, membimbing dan melaporkan kegiatan penilikan pendidikan non formal. Tanggung Jawab dan Wewenang Pengawas Sekolah dan Penilik (1)Tanggung jawab Pengawas Sekolah adalah: a. melaksanakan pengawasan pada penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan penugasannya pada Taman Kanakkanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, rumpun mata pelajaran/mata pelajaran dan bimbingan konseling; dan b. meningkatkan proses belajar mengajar/bimbingan dan hasil prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. (2)Wewenang Pengawas Sekolah adalah: a. memilih dan menentukan metode kerja untuk mencapai hasil yang optimal dalam melaksanakan tugas dengan sebaikbaiknya sesuai dengan kode etik profesi; dan b. menentukan dan mengusulkan program pembinaan serta melakukan pembinaan. (3)Tanggung jawab Penilik: a. melaksanakan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara pendidikan non formal; b. meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan; c. melaksanakan pemantauan dan bimbingan pada lembaga penyelenggara program pendidikan non formal yang meliputi: 1) program pengembangan anak usia dini; 2) program keaksaraan fungsional; 3) program paket A setara SD; 4) program paket B setara SMP; 5) program paket C setara SMA; 6) program kelompok belajar usaha; 69 7) pembinaan kursus-kursus yang diselenggarakan oleh masyarakat; 8) program pembinaan generasi muda; 9) program keolahragaan; dan 10) program taman bacaan masyarakat. d. meningkatkan kualitas pembelajaran dan bimbingan dalam rangka meningkatkan mutu keluaran (4)Wewenang Penilik: a. memberi penilaian; dan b. menentukan dan mengusulkan program pembinaan serta melakukan pembinaan. Pengangkatan Pengawas Sekolah dan Penilik Pengangkatan Pengawas Sekolah dan Penilik dilakukan secara terbuka, objektif dan transparan oleh Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. m. Wajib Belajar (1)Pemerintah Daerah berkewajiban : a. Menetapkan wajib belajar 12 (duabelas) tahun meliputi pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun dan pendidikan menengah 3 (tiga) tahun; b. Menjamin setiap anak mendapatkan kesempatan belajar mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah; dan c. Membebaskan biaya pendidikan dasar bagi wajib belajar pendidikan dasar 9 (Sembilan) tahun. (2)Pelayanan program wajib belajar mengikutsertakan semua lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. n. Partisipasi Masyarakat 70 (1)Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi: a. Perencanaan; b. Pelaksanaan; c. Pengawasan dan evaluasi program pendidikan; dan/atau d. Pengembangan sarana prasarana melalui: 1) Dewan Pendidikan; 2) Komite Sekolah; dan/atau 3) yayasan penyelenggara pendidikan. (2)Dunia usaha dan dunia industri wajib membantu penyelenggaraan pendidikan untuk pencapaian standar kemampuan sesuai dengan tuntutan jabatan pekerjaan atau profesi tertentu yang berlaku di lapangan kerja dan member kemudahan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan industri, pelaksanaan praktik kerja industri, pendidikan sistem ganda serta membantu penyaluran tenaga. (3)Dunia usaha dan dunia industri wajib membina perkembangan unit produksi satuan pendidikan. (4)Dunia usaha, dunia industri, Dinas Tenaga Kerja, Kamar Dagang dan Industri Daerah, Asosiasi dan Organisasi Profesi, berkewajiban membantu satuan pendidikan dalam perencanaan, pelaksanaan dan member pengakuan sertifikasi profesi sesuai program keahlian yang ada pada satuan pendidikan. (5)Pemerintah Kabupaten memberikan penghargaan atas peran masyarakat, dunia usaha dan dunia industri dalam membantu penyelenggaraan pendidikan dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati. o. Dewan Pendidikan (1)Dewan pendidikan mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan. (2)Dewan Pendidikan bertujuan: 71 a. mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan; b. meningkatkan tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; dan c. menciptakan suasana dan kondisi tramsparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. (3)Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dewan Pendidikan berfungsi sebagai: a. pemberi pertimbangan; b. pendukung; c. pengontrol; dan d. mediator. (4)Keanggotaan Dewan Pendidikan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (5)Dewan Pendidikan bertanggung jawab kepada Bupati. p. Komite Sekolah (1)Komite Sekolah mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka : a. peningkatan mutu; b. pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan. (2)Komite Sekolah bertujuan : a. mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan; b. meningkatkan tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; dan c. menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. 72 (3)Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Komite Sekolah berfungsi sebagai: a. pemberi pertimbangan; b. pendukung; c. pengontrol; dan d. mediator. (4)Keanggotaan Komite Sekolah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (5)Komite Sekolah bertanggung jawab kepada masyarakat. q. Pendanaan Pendidikan Sumber dan Penggunaan (1)Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara: a. Pemerintah Pusat; b. Pemerintah Provinsi; dan c. Pemerintah Daerah. (2)Pemerintah Daerah menetapkan biaya pendidikan selain gaji tenaga kependidikan dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% dari anggaran Pendapatan dan Belanja daerah. (3)Pembiayaan pendidikan terdiri atas: a. biaya investasi; b. biaya operasional; dan c. biaya personal. (4)Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi: a. Biaya penyediaan sarana dan prasarana; b. Pengembangan sumber daya manusia; dan c. Modal kerja tetap. (5)Biaya operasional satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi: a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji; 73 b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai; dan c. biaya operasi pendidikan yang tidak langsung berupa: 1) daya; 2) air; 3) jasa telekomunikasi; 4) pemeliharaan sarana dan prasarana; 5) uang lembur; 6) transportasi; 7) konsumsi; 8) pajak; dan 9) asuransi. (6)Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, adalah biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Sumbangan Pendidikan (1)Biaya penyelenggaraan yang bersumber dari masyarakat dipungut bagi orang tua/wali peserta didik secara sukarela meliputi: a. Sumbangan Pengembangan Institusi; b. iuran dana operasional sekolah; c. lain-lain. (2)Penentuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a. berdasarkan kesepakatan bersama pendidikan dengan orang tua/wali antara pihak satuan peserta didik dengan berpedoman pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dan kemampuan orang tua/wali peserta didik melalui rapat pleno; b. bagi orang tua/wali peserta didik yang berasal dari keluarga miskin dibebaskan dari sumbangan; c. mendapatkan pengawasan dari Pemerintah Kabupaten. (3)Sumbangan Pengembangan Institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan setelah peserta didik dinyatakan diterima dan selesai daftar ulang di sekolah tersebut. 74 (4)Sumbangan Pengembangan Institusi dikenakan hanya pada peserta didik baru disetiap jenjang satuan pendidikan. (5)Dana dan Sumbangan Pengembangan Institusi yang berasal dari orangtua/wali peserta didik, penggunaannya diprioritaskan untuk biaya investasi sesuai Daftar Skala Prioritas (DSP). Dan tidak boleh digunakan untuk membiayan gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji. (6)Dana sumbangan yang diterima dari tokoh/anggota masyarakat, pengusaha, langsung organisasi sosial/kemasyarakatan penggunaannya diprioritaskan yang untuk diterima pengembangan institusi. (7)Pengelolaan biaya pendidikan harus berprinsip pada: a. keadilan; b. efisiensi; c. transparansi; dan d. akuntabilitas. (8)Setiap satuan pendidikan wajib menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dengan melibatkan Komite Sekolah dan/atau penyelenggara satuan pendidikan untuk memperoleh pengesahan dari Dinas pendidikan. (9)RAPBS yang telah disahkan menjadi Anggaran Belanja dan Pendapatan Sekolah (APBS) dan laporan pertanggung jawaban APBS dipublikasikan di papan pengumuman sekolah. (10) Satuan pendidikan dapat mengembangkan unit produksi yang menghasilkan sumber dana pendidikan dalam bentuk kerjasama dengan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (11) Dana bantuan pengembangan satuan pendidikan (block grant) dan pemerintah, dan/atau pemerintah Daerah, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 75 (12) Tenaga Kependidikan pada satuan pendidikan, tidak diperkenankan menarik dana di luar ketentuan yang sudah ditetapkan. r. Penyidikan (1)Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Daerah diberi melakukan wewenang penyidikan khusus tindak lingkungan Pemerintah sebagai pidana penyidik pelanggaran untuk Peraturan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2)Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah; b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka; d. melakukan penyitaan benda atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; dan i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan. s. Sanksi Administrasi 76 (1)Bupati berwenang memberikan sanksi administratif terhadap penyelenggara pendidikan pada semua tingkatan, yang melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini. (2)Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran/peringatan; b. pencabutan ijin; c. pembubaran. (3)Pelanggaran terhadap peraturan daerah ini bagi Pegawai Negeri Sipil dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. t. Ketentuan Pidana (1)Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa ijin Bupati atau Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah). (2)Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 13 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (4), Pasal 39 ayat (1), pasal 52 ayat (4) dan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat (8) dan ayat (9) diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah). (3)Selain tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dikenakan pidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. u. Ketentuan Penutup Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknik pelaksanaan, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan bupati dan/atau Keputusan Bupati. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 77 Agar supaya pengundangan setiap orang Peraturan dapat Daerah mengetahuinya, ini dengan memerintahkan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana. BAB VI PENUTUP A. Rangkuman Landasan yuridis pengaturan Penyelenggaraan Pendidikan di daerah adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang ini menegaskan di dalam Berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa, Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Selanjutnya, pengelolaan pendidikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Bupati memberikan hak membentuk Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan Daerah di Bidang Pendidikan kepada Bupati/Bupati. Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan 78 pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Berkait dengan itu maka Penyelenggaraan Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Landasan Sosiologis, Kabupaten Jembrana tidak memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan,namun di sisi yang lain kebutuhan hukum masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sangat diperlukan sehingga memerlukan Peraturan Daerah yang dapat menjamin bahwa penyelenggaraan pendidikan. Asas-asas yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Penyelenggaraan Pendidikan dalam Peraturan Daerah adalah Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang formal dan yang materiil. Asas formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Penyelenggaraan pendidikan adalah: 1. Asas kejelasan tujuan. Pengaturan Penyelenggaraan pendidikan bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa dan apa yang diatur dalam penyelenggaraan pendidikan; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Kabupaten untuk menyelenggarakan pendidikan, sehingga tujuan negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai. 2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Pengaturan Penyelenggaraan Pendidikan dengan Peraturan Daerah dilakukan oleh WaliKabupaten Jembrana dengan persetujuan bersama DPRD Kabupaten Jembrana. 3. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan pendidikan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan Pendidikan . 4. Asas dapat dilaksanakan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam penyelenggaraan 79 pendidikan; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk subsansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan penyelenggaraan pendidikan memang dapat memberikan manfaat, baik bagi Pemerintah Kabupaten maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. 5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Jembrana. 6. Asas kejelasan rumusan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan esuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan menjamin kepastian. 7. Asas keterbukaan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Kabupaten untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Kabupaten memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan. Asas materiil Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Penyelenggaraan pendidikan: 1. Asas keadilan. Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan keadilan 80 mempunyai dua arti. Dalam arti formal keadilan menuntut norma hukum dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan berlaku umum. Dalam arti materiil dituntut agar norma hukum dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. 2. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Materi muatan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan tidak berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya. 3. Asas ketertiban dan kepastian hukum. Materi muatan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan dituntut dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti. Dalam artian, norma hukum Penyelenggaraan Pendidikan harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya. Terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan Penyelenggaraan pendidikan, termasuk norma hukum penyelenggaraan pendidikan dan sanksinya atas pelanggarannya tidak boleh berlaku surut. 4. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Norma hukum dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan harus mengandung keseimbangan beban dan manfaat, atau, kewajiban membayar penyelenggaraan pendidikan dengan hak yang didapatkannya dengan membayar penyelenggaraan pendidikan. B. Konklusi Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di bab-babsebelumnya, dapat ditarik konklusi sebagai berikut : 1. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana belum mempunyai Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 81 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Bupati Berhak Membentuk Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan Daerah di Bidang Pendidikanterlebihdahulu dipersiapkan konsep awal rancangannya. 2. Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Indonesia Nomor 17 Tahun Peraturan Pemerintah Republik 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bupati/ Bupati Berhak Membentuk Kebijakan Daerah Dalam Bentuk Peraturan Daerah di Bidang Pendidikan. C. Rekomendasi Rekomendasi yang dapat diajukan dalam rangka pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan pendidikan, yang diawali dengan penyusunan konsep awal rancangannya, adalah: 1. Agar segera disusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan. 2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan, sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah 2014. 82 DAFTAR PERATURAN PERUNDANGPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ………, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);. …….., Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. …….., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 TAHUN 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan 83 DAFTAR PUSTAKA Ali Imron, Kebijaksanaa Pendidikan Di Indonesia ( Proses, Produk dan Masa depan), (Bumi Aksara, 2002) Bruggink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996). Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moden, (Gramedia, Jakarta, 1987). Friedmann, W., Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990). Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950). Hamid S. Attamimi A., “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990). ..........., ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II 84 Jembrana), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995). M Sirozi, Politik pendidikan, Raja Grafindo Persada, 2005. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000). Suparlan Suhartono, AR-RUZZ Media, 2005, hal 91Filasat Pendidikan Van Der Vlies, I.C., Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005. Ali Muhdi Amnur,ed., Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007. H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. 85 Lampiran 1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan