TUGAS I HUKUM PERJANJIAN NAMA : DJUARTINI NIM : 023948247 Analisalah pertentangan antara asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam KUH Perdata (BW) dengan Pasal 31 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 dengan Surat Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.UM.01.01-35 Implikasinya Terhadap Penyelesaian Perselisihan Perjanjian Komersil di Indonesia. Jelaskan dan berikan analisa dasar hukumnya JAWABAN : Dasar berlakunya asas kebebasan berkontrak adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua” dalam Pasal tersebut mengindikasikan bahwa orang dapat membuat perjanjian apa saja, tidak terbatas pada jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, dan perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang membuatnya. Pasal 1338 KUH Perdata itu sendiri juga menggunakan kalimat “yang dibuat secara sah”, hal ini berarti bahwa apa yang disepakati antara para pihak, berlaku sebagai undang-undang selama apa yang disepakati itu adalah sah. Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam hal suatu kontrak ternyata bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, kontrak tersebut batal demi hukum. Secara historis kebebasan berkontrak mengandung makna adanya 5 (lima) macam kebebasan, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) Kebebasan bagi para pihak untuk menutup atau tidak menutup kontrak; Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak; Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan bentuk kontrak; Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak; Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan cara pembuatan kontrak. Halaman 1 dari 5 Pelaksanaan asas kebebasan bukan tanpa batasan dan tidak berlaku mutlak, melainkan terdapat batasan-batasan yang ditetapkan dalam Undang-Undang atau dengan kata lain Perjanjian tidak dapat dibuat dengan sebebas-bebasnya meskipun telah disepakati oleh Para Pihak yang membuatnya. Apabila ternyata perjanjian tersebut bertentangan dengan UndangUndang maka Perjanjian menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat oyektif untuk sahnya suatu perjanjian. Beberapa batasan dari asas kebebasan berkontrak diantaranya diatur / termuat dalam pasalpasal KUH Perdata sebagai berikut : 1. Pasal 1337 KUHPerdata : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” 2. Pasal 1320 KUHPerdata: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu; 4) Suatu sebab yang halal. Penjelasan dari Syarat Sahnya Perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata : Pada prinsipnya setiap perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sah perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yaitu; 1. Terpenuhinya syarat-syarat sah subyektif perjanjian: a. terdapatnya kesepakatan bebas antara para pihak yang membuatnya, dengan tidak terdapatnya satu atau lebih pihak yang khilaf atas apa yang tertuang di dalam kontrak, tidak terdapatnya satu atau lebih pihak yang berada dalam keadaan tertipu hingga menandatangani (membuat) kontrak, maupun tidak terdapatnya satu atau lebih pihak yang berada di bawah paksaan yang mengancam diri dan harta kekayaannya hingga menandatangani (membuat) kontrak; Halaman 2 dari 5 b. telah cakap dan berwenangnya seluruh pihak yang menandatangani (membuat) Kontrak, dimana mereka telah dewasa (dapat mewakili dirinya sendiri di luar dan di dalam Pengadilan) dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan Kontrak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 2. Terpenuhinya syarat-syarat sah obyektif perjanjian: c. terdapatnya sesuatu hal yang diperjanjikan, yaitu adanya sesuatu (obyek Kontrak) yang harus diserahkan, adanya sesuatu yang harus dilakukan dan atau adanya sesuatu yang tidak boleh (dilarang) dilakukan oleh satu atau lebih pihak yang terikat di dalam Kontrak; d. terdapatnya sebab (motif) yang halal bagi dibuatnya Kontrak, dimana Kontrak juga tidak boleh dibuat berdasarkan suatu motif yang palsu, dilarang oleh peraturan perundangundangan yang berlaku dan atau didasarkan pada motif yang bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Bahwa tidak terpenuhinya syarat-syarat sah subyektif perjanjian dapat berakibat dibatalkannya kontrak oleh pihak yang tidak memenuhinya dalam suatu jangka waktu tertentu. Sementara, tidak terpenuhinya syarat-syarat sah obyektif perjanjian dapat berakibat batal demi hukumnya kontrak. Batalnya kontrak berarti kontrak tidak memiliki kekuatan mengikat dari sejak dibuatnya, dan apa yang telah diserahkan harus dikembalikan. Bahwa terkait adanya pertentangan asas berkontrak dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dengan Pasal 31 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 dengan Surat Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.UM.01.01-35 menurut Saya hal tersebut bukan merupakan pertentangan hukum, tapi merupakan batasan atas pelaksanaan asas kebebasan berkontrak supaya tetap sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku, Dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 disebutkan: (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warganegara Indonesia. (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Jadi Pasal 31 -Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 ayat (1) mensyaratkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian yang dibuat oleh dan diantara lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia dan dalam ayat (2) dalam hal perjanjian melibatkan pihak asing mensyaratkan Halaman 3 dari 5 perjanjian selain dibuat dalam bahasa Indonesia juga harus ditulis dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Bahwa terkait penafsiran dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI berdasarkan Surat Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.UM.01.01-35 yang menyatakan perjanjian privat komersial (private commercial agreement) dalam bahasa Inggris tanpa disertai versi bahasa Indonesia, tidak melanggar persyaratan kewajiban seperti ditentukan UndangUndang tersebut. Alasannnya implementasi ketentuan yang diatur dalam Pasal 31 UU Bahasa itu, menunggu sampai diundangkannya Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI pada prinsipnya tidaklah mengikat secara hukum karena bukan merupakan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan - UU 10/2004). Dengan berlakunya UU 24/2009 pada saat diundangkannya pada 9 Juli 2009 serta telah jelas dan tidak dapat ditafsirkan lainnya, maka Pasal 31 UU 24/2009 adalah hukum khusus (lex specialis) terhadap KUHPer. Dengan demikian telah jelas bahwa aturan kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia bagi kontrak yang seluruh atau sebagian pihaknya adalah pihak Indonesia, maupun kewajiban penggunaan bahasa nasional pihak(-pihak) asing yang terikat dalam kontrak dan/atau penggunaan bahasa Inggris sebagai alternatifnya adalah menjadi suatu keharusan dan sepatutnya ditaati oleh para pihak yang akan membuat Perjanjian. Bahwa apabila Perjanjian dengan subyek hukum melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warganegara Indonesia yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia apabila ditinjau berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya mengenai Syarat Objektif suatu Perjanjian yaitu tentang Suatu Sebab Yang Terlarang Menurut Hukum, maka sudah menjadi kaidah umum dalam Hukum Perjanjian bahwa Perjanjian yang melanggar salah satu syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun demikian tidak terpenuhi syarat sah obyektif perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Angka 4 KUHPer tidak serta merta menjadikan perjanjian menjadi batal demi hukum, sepanjang motif dibuatnya kontrak adalah bukan motif yang palsu, tidak dilarang oleh peraturan perundangundangan yang berlaku dan atau tidak didasarkan pada motif yang bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka kontrak yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 31 UU 24/2009 adalah tetap sah dan mengikat para pihak yang membuatnya (vide Pasal 1336 KUHPer). Halaman 4 dari 5 Selain itu, karena UU 24/2009 tidak mengatur sanksi atas pelanggaran Pasal 31, maka syarat untuk mengajukan pembatalan atas kontrak pun mewajibkan pihak yang berhak untuk membuktikan bahwa pihak yang berkewajiban (Debitor) dapat atau telah merugikannya dengan kontrak yang sedemikian itu (vide Pasal 1341 Ayat 3 KUHPer). Implikasinya terhadap Terhadap Penyelesaian Perselisihan Perjanjian Komersil di Indonesia adalah memperkuat posisi dan memberikan perlindungan kepada pihak yang merupakan subyek hukum berupa : lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia manipulasi pihak asing karena perjanjian dibuat dengan dua bahasa sehingga berlaku asas keseimbangan dan persamaan didepan hukum (equality before the law), menghindari dari penipuan akibat penafsiran perjanjian yang tidak dimengerti dan dapat menciptakan kegiatan bisnis yang adil dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Halaman 5 dari 5