Seorang laki-laki berusia 30 tahun mengalami kecelakaan mobil di jalan raya dibawa ke UGD. Pada saat pemeriksaan diperoleh data : pasien gelisah dan hanya mengerang kesakitan, frekuensi nafas: 20 */mnt (irreguler), nadi: 100*/mnt, TD: 100/70 mmhg, tampak raccon eye dan ekimosis. Terdapat bloddy otorhea dan rhinorrhea. Pasien sudah terpasang ICP: 30 mmHg. Di UGD pasien muntah proyektil a. Berapa nilai Central Perfusion Pressure pasien tersebut? b. Apakah pasien mengalami hipoksia? Apa Alasannya? c. Apa menanganan awal yang bisa dilakukan di UGD? d. Buatlah Clinical pathway pada kasus tersebut e. Buatlah Laporan Pendahuluan beserta Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada pasien tersebut? A. Nilai Central Perfusion Pressure pasien tersebut Jawab: 50 mmHg B. Pasien tidak mengalami hipoksia Jawab: Dikarenakan tidak ada tanda-tanda hipoksia yang signifikan seperti sesak nafas, batuk mengi, denyut jantung yang cepat, sakit kepala dan kebingungan, perubahan warna kulit dari biru ke merah ceri,gelisah dan berkeringat C. Penanganan awal ketika pasien di UGD Jawab : a) Airway : Dengan cara dilakukannya pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cidera yang berarti. b) Breathing : Penilaian ventilasi dan gerakan dada, Gas Darah Arteri. c) Circulation : Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah, pulsasi nadi, pemasangan IV line d) Penilaian GCS secara rutin e) Exposure : Identifikasi seluruh cidera dari ujung kepala hingga ujung kaki dari depan dan belakang Setelah menyelesaikan resusitasi kardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan GCS, fungsi pupil dan kelemahan ekstremitas. D. CLINICAL PATHWAY Trauma Sekunder (Trauma saraf, Trauma akibat persalinan, kecelakaan) Trauma Primer (benturan langsung/tidak langsung) Fraktur Basis Cranii Robeknya Meningeal Resiko Infeksi Laserasi Menutupi Mukoperiosti Resiko Infeksi Aliran Darah ke Otak Epistaksis Kebocoran CSF Suplai Nutruen ke Otak Rhinnore Perubahan Metabolisme Anaerob Asam Laktat Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif Hipoksia Vasodilatasi Cerebri Edema Jaringan Otak Aliran Darah ke Otak Bertambah Penekanan Pembulug Muntah Darah dan Jaringan Cerebral Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak Resiko Ketidakseimbangan Volume Cairan TIK Nyeri Akut Resiko Infeksi E. Laporan Pendahuluan A. Konsep Teori 1. Pengertian Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energi yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek dari benturan pada kepala ( 2. Klasifikasi a. Fraktur Temporal Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 subtipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan tipe longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini (Ishman dan Friedland, 2004; Qureshi, et al, 2009). (A)Transverse temporal bone fracture dan (B) Longitudinal temporal bone fracture A B b. Fraktur Longitudinal Terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan segmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (530%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis (Qureshi, et al, 2009). c. Fraktur Condylar Occipital (Posterior) Fraktur ini merupakan hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternatif membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligamen alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil (American College of Surgeon Committe on Trauma, 2004; Sugiharto, dkk, 2006). d. Etiologi Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu : e. Trauma primer Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan deselerasi) Trauma sekunder Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik. Trauma akibat persalinan Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat olahraga. Jatuh Cedera akibat kekerasan. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak. Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya. Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998). f. Tanda Gejala a. Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial (Thai, 2007). b. Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII (Netter dan Machado, 2003). c. Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss) (Tuli, et al, 1997). d. Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia (Anderson dan Montesano, 1988; Tuli, 1997; Netter dan Machado, 2003). e. Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralisis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII (Anderson dan Montesano, 1988; American College of Surgeon Committe on Trauma, 2004). g. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis craniii antara lain: a. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah rutin, fungsi b. Pemeriksaan radiologi 1) Foto rontgen 2) CT Scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1 – 1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT Scan helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan (Qureshi,et al, 2009). 3) MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskuler. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT Scan (Qureshi,et al, 2009). 4) Pemeriksaan arteriografi h. Penatalaksanaan dan Komplikasi Menurut Listiono (1998) dan Legros, et al (2000), prinsip penanganan umum secara keseluruhan dari trauma kepala meliputi: a. Pengendalian Tekanan Intrakranial Manitol efektif untuk mengurangi edema serebral. Selain karena efek osmotik, manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg. b. Mengontrol tekanan perfusi otak Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopresor dan inotropik dapat meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg. c. Mengontrol hematokrit Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dengan tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan akan meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30%. d. Obat-obatan sedasi Pemberian rutin obat sedasi seperti analgesik dan agen yang memblokir neuromuscular dapat menjadi terapi pilihan. Propofol telah menjadi obat sedatif pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri, memfasilitasi ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular dapat juga mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada endotrachealtube. e. Kontrol suhu Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak dan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan 1 derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala, hipertermia harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak. f. Kontrol bangkitan Bangkitan terjadi terutama padapasien yang telah menderita hematoma, cedera termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural, adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan. g. Kontrol cairan NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/l, telah menjadi kristaloid pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan NaCl 0,9% membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik. h. Head Up 30o Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30⁰ dapat menurunkan TIK dan meningkatkan venous return ke jantung. i. Merujukke dokter bedah saraf Indikasi rujukan ke ahli bedah saraf: 1) GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal; 2) disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam; 3) penurunan skor GCS terutama respon motorik; 4) tanda-tanda neurologis fokal progresif; 5) kejang tanpa pemulihan penuh; 6) cedera penetrasi; 7) kebocoran cairan serebrospinal. Penanganan khusus dari fraktur basis cranii terutama untuk mengatasi komplikasi yang timbul, meliputi: a. Fistula cairan serebrospinal Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang ekstraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel yang terlihat sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid (Haryono, 2006). b. Rinore Terjadi pada sekitar 25% pasien dengan fraktur basis anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus. Kadang-kadang pada fraktur bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba eustachian dan mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80% kasus. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic, dan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter subarachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu dapat diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi (Haryono, 2006). Pembedahan dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan craniotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama. Pendekatan ekstrakranial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, transe-tmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans-antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapang pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid (Haryono, 2006). Tindakan bedah sinusmerupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap lokal atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapang pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya (Haryono, 2006). c. Otore Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktur, duramater dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktur tulang petrosa diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal berdasarkan hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa, namun kebanyakan merupakan fraktur campuran. Pasien dengan fraktur longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktur transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan di dalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50% pasien. Fraktur longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4%, dibanding 17% pada rinore CSS. Pada kejadian yang jarang, dimana otore tidak berhenti, sehingga diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi (Haryono, 2006). d. Infeksi Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis cranii.Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotik telah digunakan. Pemberian antibioti tidak perlu menunggu tes diagnostik karena pemberian antibiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Profilaksis antibiotik yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotik golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem (Pillai, 2010). e. Pnemocephalus Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melaluimeningen.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap.TIK yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari operasi untuk membebaskan udara intrakranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position (Qureshi, et al, 2009). C. Asuhan Keperawatan ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) A. PENGKAJIAN PRIMER Adapun data pengkajian primer menurutRab, Tabrani.2007 : a. Airway Ada tidaknyasumbatanjalannafas b. Breathing Ada tidaknyadispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalamannafas. c. Circulation Ada tidaknyapeningkatantekanandarah, takikardi, bradikardi, sianosis, capilarrefil. a. Disability b. Ada tidaknyapenurunankesadaran, kehilangansensasidanrefleks, pupil anisokordannilai GCS. c. Exposure of extermitas Ada tidaknyapeningkatansuhu, ruangan yang cukuphangat. B. PENGKAJIAN SEKUNDER Pengkajiansekundermeliputi anamnesis danpemeriksaanfisik. Anamnesis dapatmeggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan Event/ Environment yang berhubungandengankejadian). Pemeriksaanfisikdimulaidarikepalahingga kaki dandapat pula ditambahkanpemeriksaandiagnostik. Data pengkajian secara umum tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ vital (Marilyn, E Doengoes. 2000). a. Aktivitas/ Istirahat Gejala : merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. Tanda : 1) Perubahan kesehatan, letargi 2) Hemiparase, quadrepelgia 3) Ataksia cara berjalan tak tegap 4) Masalah dalam keseimbangan 5) Cedera (trauma) ortopedi 6) Kehilangan tonus otot, otot spastik b. Sirkulasi Gejala : 1. Perubahan darah atau normal (hipertensi) 2. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia). c. Integritas Ego Gejala : perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis) Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif. d. Eliminasi Gejala :inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi. e. Makanan/ cairan Gejala :mual, muntah dan mengalami perubahan selera. Tanda :muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia). f. Neurosensoris Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas. Tanda : 1) Perubahan kesadaran bisa sampai koma 2) Perubahan status mental 3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) 4) Wajah tidak simetri 5) Genggaman lemah, tidak seimbang 6) Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah 7) Apraksia, hemiparese, Quadreplegia g. Nyeri/ Kenyamanan Gejala:sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma. Tanda: wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih. h. Pernapasan Tanda : 1) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor, terdesak 2) Ronki, mengi positif i. Keamanan Gejala : trauma baru/ trauma karena kecelakaan Tanda : 1) Fraktur/ dislokasi 2) Gangguan penglihatan 3) Gangguan kognitif 4) Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis 5) Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh j. Interaksi Sosial Tanda : afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang. DAFTAR PUSTAKA American College of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Cedera Kepala. Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Edisi 7. Komisi Trauma IKABI. Anderson, P. A. dan Montesano, P. X. 1988. Morphology and Treatment of Occipital Condyle Fractures. Spine (Phila Pa 1976). Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth Edition. United States of America: Elsevier Mosby. Haryono, Y. 2006. Rinorea Cairan Serebrospinal. USU: Departemen THT-KL FK USU. Herdman, T. H. 2014. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition & Classification, 20152017. Oxford: Wiley-Blackwell. Ishman, S. L. dan Friedland, D. R. 2004. Temporal Bone Fractures: Traditional Classification and Clinical Relevance. Laryngoscope. Legros, B., et al. 2000. Basal Fracture of The Skull and Lower (IX, X, XI, XII) Cranial Nerves Palsy: Four Case Reports Including Two Fractures of The Occipital Condyle. J Trauma. Listiono, L. D. 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi III. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition. United States of America: Mosby Elsevier. Netter, F. H. dan Machado, C. A. 2003. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning System LLC. Pillai, P.,et al. 2010. Traumatic Tension Pneumocephalus: Two Cases andComprehensive Review of Literature. OPUS 12 Scientist. Qureshi, N. H.,et al. 2009. Skull Fracture. On Emedicine Health. online.http://emedicine.medscape.com/article/248108clinicalmanifestations. Serial [diakses 20November2015]. Sugiharto, L., dkk. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. Thai, T. 2007. Helmet Protection Against Basilar Skull Fracture. Biomechanical of Basilar Skull Fracture. ATSB Research and Analysis Report Road Safety Research Grant Report. Australia. Tuli, S.,et al. 1997. Occipital Condyle Fractures. Neurosurgery.