Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 19-28 NERACA KARBON PRA DAN POST HTI DI BLOK KHUSUS KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN TASIK BESAR SERKAP RIAU Carbon Balance on Pre and Post of Industrial Forest Plantation in Specific Block of Forest Management Unit of Tasik Besar Serkap Riau Ari Suhartoa, Dodik Ridho Nurrochmatb, Tania Junec a Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 [email protected] b Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 c Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Abstract. In 2012, Indonesia greenhouse gases emission from all sectors including land use change in forestry (LUCF), energy, peat fire, waste, agriculture and industry was 1,453,957,000 Ton CO 2e. Objective of this study focus on how much natural forest can generate CO2 absorpsion from tree growth and its emission from peat decomposition and how much Industrial Forest Plantation (HTI) generate CO2 absorpsion from tree growth and their emission from peat decomposition when land clearing and harvesting, its operational activities particularly on transportation and N addition by synthentic fertilizer. The study was conducted in the 14,546 hectares of specific block of forest management unit of Tasik Besar Serkap, Riau Province since May 2015 until June 2016. Result on this study, carbon stock from natural secondary forest is 61,417,315 ton CO2e, carbon emission from secondary natural forest is 276,814 ton CO2e, carbon stock from Industrial Forest Plantation is 18,321,886 ton CO2e, meanwhile CO2 emission is 14,568,891 ton CO2e,. The difference between absorption and emission between the two conditions indicate that HTI has a margin smaller than the secondary natural forest. However CO2 absorpsion of tree growth in HTI give a positive value to the surrounding environment. This study concluded that the existence of HTI management in the absorption of carbon content in a period of 20 years has not reached the level of carbon content owned secondary natural forest. Even the emissions caused by HTI management is much higher than the emissions that occur due to degradation of secondary forests. Keyword: carbon emission, carbon stock, industrial forest plantation, synthetic N fertilizer, transportation. (Diterima: 20-07-2016; Disetujui: 15-08-2016) 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Indonesia first biennial update report (KLHK, 2015) bahwa pada tahun 2012, total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk tiga gas utama (CO2, CH4 dan N2O) di luar sektor penggunaan lahan dan perubahan fungsi lahan dan kehutanan (LULUCF) dan kebakaran gambut adalah 758.979.000 Ton CO2e. Bila termasuk sektor LULUCF, maka total emisi GRK Indonesia menjadi 1.453.957.000 Ton CO2e. Total emisi GRK (CO2 equivalent) terdistribusi pada CO2 84,1%, CH4 11,9% dan N2O 4,1%. Sektor utama yang berkontribusi adalah LUCF termasuk kebakaran gambut (47,8%), diikuti energi (34,9%), pertanian (7,8%), limbah (6.7%) dan industri (2,8%). Selama ini peran sektor swasta khususnya berbasis lahan seperti HTI belum dimunculkan dalam pelaporan Nasional Komunikasi Indonesia kepada UNFCCC sebagai salah satu pihak untuk mitigasi perubahan iklim. Hak ini merujuk kepada Indonesian First Biennial Update Report (KLHK, 2015). Penekanan terhadap peran HTI dalam rangka penanaman pohon sebagai salah satu bentuk upaya doi: 10.19081/jpsl.2017.7.1.19 mitigasi perubahan iklim perlu mendapat perhatian lebih dari Pemerintah. Peran penting sektor kehutanan terlihat pada RPJM 2010-2014 yang menempatkan prioritas pembangunan sektor kehutanan pada rencana strategis lingkungan hidup dan pencegahan bencana terkait dengan mitigasi perubahan iklim (Yasman et al., 2013). Terkait upaya mitigasi untuk mengurangi emisi GRK dari kegiatan perubahan penggunaan lahan dan kehutanan ada berbagai cara yang dapat dilakukan negara maupun pengusaha di sektor lahan seperti pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu - hutan tanaman (IUPHHK-HT) atau yang lazim disebut sebagai hutan tanaman industri (HTI). Menurut Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan “tidak tepat jika HTI dinyatakan sebagai penyebab deforestasi karena itu dibangun hanya di kawasan hutan yang berfungsi produksi yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan bisa dioptimalkan pemanfaatannya. Pengembangan HTI juga tetap harus sesuai tata ruang fungsi arealnya sehingga tetap bisa mempertahankan wilayah perlindungan keanekeragaman hayati dan budaya. Sektor kehutanan Indonesia butuh pengembangan 19 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 19-28 HTI. Pasalnya, produktivitas hutan alam saat ini terus merosot. Pengembangan HTI juga berkorelasi positif dengan pengentasan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki hutan yang terdegradasi. Jadi HTI ini pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment”1. Hal ini sejalan dengan Yasman et al. (2013) yang menyatakan bahwa dari sifat pengelolaannya, karbon di areal hutan produksi akan naik turun karena aktivitas penebangan dan pertumbuhan tanaman di areal itu. Bila dibandingkan dengan karbon pada saat hutan tersebut belum dikelola, pasti mengalami penurunan. Namun dengan penerapan pengelolaan hutan lestari/berkelanjutan maka penurunan stok karbon tersebut dapat ditekan dan dijaga, sehingga kawasan tersebut akan tetap selalu produktif. Selama ini masih terdapat kerancuan definisi deforestasi dan degradasi yang didiskusikan oleh berbagai pemerhati kehutanan nasional dan internasional sebagai batasan arti hutan yang masih baik, kurang baik dan buruk. Menurut Yasman et al. (2013) bahwa deforestasi didefinisikan sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, sedangkan degradasi hutan merupakan penurunan kualitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Hal ini sesuai dengan pandangan Nurrochmat et al. (2016) bahwa hal terpenting dalam reposisi peran pengelolaan hutan dalam kerangka pembangunan nasional berkelanjutan adalah menetapkan definisi hutan. Definisi hutan yang jelas dan operasional sangat penting karena akan mempengaruhi berbagai tolak ukur kinerja pengelolaan hutan seperti menetapkan batasan deforestasi dan degradasi hutan secara kuantitatif (Gambar 1). Penelitian ini mengacu definisi hutan sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 14 Tahun 2004 Pasal 1 yang menyatakan bahwa hutan dalam kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) ialah lahan yang luasnya minimal 0,25 ha dan ditumbuhi oleh pohon dengan persentasi penutupan tajuk minimal 30% yang pada akhir pertumbuhan mencapai ketinggian minimal 5 meter. Gambar 1 menjelaskan bahwa bahwa definisi hutan dengan tutupan tajuk minimal 30%. Ketika hutan sekunder tidak terkelola dengan baik dan tidak termanfaatkan kondisi tutupan tajuknya akan terus menurun hingga mendekati batas definisi hutan (terjadi degradasi atau bahkan deforestasi). Namun dengan adanya sistem peningkatan efisiensi dan pengelolaan hutan produksi lestari yang dilakukan pada HTI maka kondisi tutupan tajuk akan membaik. Namun bila hal tersebut tidak dilakukan maka kondisi tutupan tajuk terus menurun yang bisa menyebabkan degradasi atau bahkan deforestasi. Ketika deforestasi terjadi maka perlu ada revegetasi dan aforestasi untuk memperbaiki areal tersebut untuk memenuhi batas minimal definisi hutan, dan bahkan perlu melakukan 1 http://www.beritasatu.com/nasional/108307-hutan-tanamanindustri-tak-sebabkan-deforestasi.html 20 reforestasi untuk meningkatkan tutupan tajuk dan melebihi batas minimal definisi hutan. Sumber: Nurrochmat et al. (2016) Keterangan: insert kotak dan tulisan HTI oleh penulis Gambar 1. Kegiatan kehutanan dan dinamika karbon hutan. KPH Tasik Besar Serkap (KPH TBS, 2014) adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Tasik Besar Serkap yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 509/MenhutVII/2010 pada tanggal 21 September 2010 berada di dalam Kawasan Hutan Produksi Tasik Besar Serkap Propinsi Riau. Kebijakan pembentukan KPH ini tertuang dalam Undang-Undang Kehutanan No 41 Tahun 1999 dalam pasal 17 ayat 1 yang diuraikan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Unit Pengelolaan (Kesatuan PengelolaanHutan). Di dalam KPH TBS tersebut ada 17 pemegang izin IUPHHK-HT (HTI yang beroperasi). Menurut KPH TBS (2014) bahwa Pemerintah Provinsi Riau melalui Peraturan Daerah (PERDA) tahun 1994 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) – Riau menetapkan kawasan ini sebagai Hutan Lindung Gambut (HLG). Penetapan kawasan ini sebagai HLG sesuai dengan Keputusan Presiden (KEPRES) No.32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Keadaan topografi pada sebagian besar areal KPH TBS relatif datar (kemiringan 0 – 8 %) dengan ketinggian 6 – 20 mdpl. Kondisi lahan hampir 100% meliputi dataran rawa gambut yang terbentuk dari endapan aluvium muda dan tua yang terdiri dari endapan pasir, danau, lempung, sisa tumbuhan dan gambut (KPH TBS, 2014). Berdasarkan data KPH TBS (2014) tentang penggolongan jenis tanah, areal KPH TBS didominasi oleh tanah organosol/gambut dan sebagian kecil berupa tanah aluvial dan podsolik. Tanah organosol sering disebut tanah gambut yang mengandung banyak bahan organik tanah sehingga perkembangan tanah dipengaruhi oleh tingkat kematangan, dekomposisi dan sifat-sifat bahan organik yang bersangkutan. Secara morfologis, tanah ini dicirikan oleh pembentukan horizon-horizon yang berwarna coklat kelam sampai hitam, berkadar air tinggi dan bereaksi sangat masam (pH 3-5). Secara umum JPSL Vol. 7 (1): 19-28, April 2017 gambut yang terdapat di Kawasan Semenanjung Kampar merupakan tipe ombrogen dan terbentuk dari penimbunan sisa-sisa tumbuhan baik berupa batang, daun, akar dan bagian tumbuhan lainnya. Kondisi lingkungan yang selalu terendam air mengakibatkan proses pelapukan tidak berjalan dengan baik sehingga terjadi penimbunan bahan organik berupa material gambut. Pada kondisi demikian, secara alami penimbunan bahan organik lebih cepat dari proses dekomposisi, sehingga terbentuklah timbunan material gambut yang membentuk kubah di bagian tengah. Hal ini sejalan dengan pengamatan (FMU/REDD+KIJP, 2016) yang menunjukkan tingkat kematangan gambut lapisan atas (0-50 cm) adalah hemosaprik dan saprik, sedangkan pada lapisan bawah adalah fibrik dan hemik. Penelitian ini memusatkan perhatian pada kandungan dan emisi karbon dari kondisi hutan alam sekunder dan kondisi setelahnya bila diasumsikan areal tersebut akan dikonversi menjadi HTI. Kandungan karbon pada hutan alam sekunder yang mengalami degradasi fokus pada penyerapan karbon pada saat pertumbuhan tanaman sedangkan emisi karbon fokus pada dekomposisi gambut yang terjadi akibat degradasi hutan. Kandungan karbon bila diasumsikan areal tersebut menjadi HTI pulp dengan jenis tanaman pokok acacia crassicarpa dan tanaman kehidupan sagu terfokus pada penyerapan karbon pada saat pertumbuhan tanaman sedangkan emisi karbon fokus pada dekomposisi gambut akibat pembukaan lahan dan pemanenan, serta dari penggunaan pupuk N sintetis dan bahan bakar transportasi pada masa operasionalisasi. Sumbangan penelitian terhadap terhadap peningkatan ilmu pengetahuan yaitu bahwa kandungan karbon dari semula hutan alam sekunder akan berkurang seiring dengan laju degradasi, namun ketika dikonversi menjadi HTI juga mampu menyerap karbon dengan pola pengelolaan hutan produksi lestari yang menggunakan sistem silvikultur tebang habis permulaan buaatan (THPB) yaitu ketika penggunaan pola daur 7 tahun, maka setiap blok yang akan ditanam mengikuti pola tanam blok jalur sesuai dengan rencana kerja usaha tahunan (RKT). Kaitan penggunaan pupuk dan emisi gas rumah kaca dapat dijelaskan dari data global bahwa penggunaan pupuk N terhadap aktivitas pengelolaan lahan akan menyebabkan Gas N2O di atmosfer bertambah 0,2 - 0,3% per tahun. Sedangkan di Indonesia (KLH 2012), N20 menyumbang 4% dari emisi CO2e nasional. Berdasarkan nilai yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change pada tahun 2014 bahwa angka potensial pemanasan global yang dimiliki N2O senilai 298 kali lipat dibandingkan dengan CO2. Gambar 2 menunjukkan dengan adanya perlakuan penggenangan didapat gradasi lapisan pada profil tanahnya yaitu lapisan oksidatif yang tipis di bawah genangan air lalu diikuti lapisan reduktif yang tebal di bawahnya. Apabila pupuk nitrogen diaplikasikan kedalam lapisan reduktif, denitrifikasi bisa dihambat. Namun kebocoran sistem berupa sebagian pupuk nitrogen berada di lapisan oksidatif segera ternitrifikasi menjadi nitrat yang mobil, kemudian nitrat yang mobil mencapai lapisan reduktif dan mengalami denitrifikasi. Transformasi N melalui proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh pH, pada kondisi netral hasil akhir berupa N2 sedangkan pada kondisi masam maupun denitrifikasi oleh denitrifier yang tidak mempunyai enzim N2O reduktase akan mengemisikan N2O (Suprihatin, 2007). Sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 237/Kpts/OT.210/4/2003 Tanggal 28 April 2003 tentang Pedoman Pengawasan Pengadaan, Peredaran dan dan Penggunaan Pupuk An-organik bahwa jenisi pupuk yang diawasi peredarannya seperti pupuk anorganik hara makro primer baik tunggal maupun majemuk seperti: Urea, TSP/SP-36, ZA, KCI, NP, NK, PK dan NPK; dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pupuk Budidaya Tanaman. Sedangkan utuk penggunaan bahan bakar diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 1 tahun 2013 tentang Pengendalian Bahan Bakar Minyak dan PP Nomor 1 tahun 1994 tentang penyediaan pendistribusian bahan bakar minyak. Penggunaan pupuk urea selama masa pemeliharaan tanaman akan menyebabkan hilangnya CO2 yang sebelumnya telah dipadatkan selama proses produksi di pabrik. Urea berubah menjadi ammonium (NH 2+), hydroxyl (OH-) dan bikarbonat (HCO2-), di dalam air dan enzim urease. Sama halnya dengan reaksi tanah terhadap pemberian kapur, bikarbonat berubah menjadi CO2 dan air. Data KLHK (2015) menyebutkan penggunaan pupuk sejak tahun 20002012 berasal dari data pemakaian pupuk di dalam pasar domestik dari Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI). Selain itu, penggunaan urea diperkirakan dari perkebunan kelapa sawit (di luar perkebunan skala kecil) dengan membuat perkalian dengan dosis urea yang direkomendasikan. Gambar 2 menunjukkan emisi CO2e dari penggunaan pupuk urea di sektor pertanian yang berjumlah 3.900.000 Ton CO2e pada tahun 2000 dan 4.853.000 Ton CO2e pada tahun 2012. Peningkatan emisi dalam penambahan urea diikuti peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi, dimana areal sawah yang dipanen dikembangkan secara konsisten dari tahun ke tahun. Sumber: De Data (1981) dalam Suprihatin (2007) Gambar 2. Transformasi nitrogen. 21 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 19-28 Sumber: KLHK (2015) Gambar 3. Emisi CO2 dari penggunaan pupuk secara nasional pada tahun 2000-2012 Emisi CO2e dari penggunaan pupuk ini berdasarkan data produksi pupuk secara nasional, sedangkan untuk penggunaan yang spesifik berada pada lokasi perusahaan belum dimasukkan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menunjukkan berapa besar emisi yang dikeluarkan dari penggunaan pupuk pada areal lokasi HTI pulp lahan gambut dengan jenis tanaman acacia crassicarpa. Mengenai penggunaan bahan bakar diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 1 tahun 2013 tentang Pengendalian Bahan Bakar Minyak dan PP Nomor 1 tahun 1994 tentang penyediaan pendistribusian bahan bakar minyak. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral sekitar 31% dari konsumsi energi nasional pada tahun 2008 digunakan untuk sektor transportasi (KLH, 2010) (Tabel 1). Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan bahan bakar untuk transportasi ini dihitung berdasarkan penggunaan angkutan umum dan pribadi, sedangkan untuk penggunaan yang spesifik berada pada lokasi perusahaan belum dimasukkan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menunjukkan berapa besar emisi yang dikeluarkan dari penggunaan transportasi pada areal lokasi HTI. Pada umumnya di perusahaan HTI menggunakan bahan bakar bensin dan solar untuk transportasi kendaraan dari kantor ke lahan dalam masa pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. 89 Transportasi 191 - 0 40 14 0 7 1 0 Rumah Tangga Komersial Lainnya Total 160 29 328 48 - 0 191 31 - 31 85 13 - 19 28 4 % 25 - - - - 25 5 312 16 90 160 79 657 100 Sumber: KLH (2010) 22 Total Gas Alam 1 Industri Listrik LPG 49 Sektor Batubara Produk Minyak Tabel 1. Konsumsi Energi berdasarkan tipe kegiatan Terkait penelitian sebelumnya mengenai hubungan penggunaan pupuk dengan emisi karbon dinyatakan dalam penelitian Sakata et al., (2014) bahwa emisi N2O dan CO2 di perkebunan kelapa sawit dipengaruhi secara signifikan oleh jenis tanah namun tidak selalu dipengaruhi oleh pemberian pupuk. Sedangkan hubungan penggunaan bahan bakar dengan emisi karbon dinyatakan dalam penelitian Andres et al., (2012) bahwa emisi CO2 dari bahan bakar meningkat dari tahun ke tahun disebabkan karena kegiatan pembangkitan listrik dan transportasi di jalan. Hal ini disebabkan emisi antropogenik adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim dan proses dari percabangan antara lingkungan dan kehidupan manusia. Dari hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa memang ada hubungan antara penggunaan pupuk dan bahan bakar namun belum spesifik berada di lokasi hutan tanaman industri. Oleh karena itu penelitian sangat menantang untuk ditelusuri lebih lanjut. 1.2. Perumusan Masalah Selama 10 tahun terakhir telah banyak terjadi konversi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawitdan kayu kertas/pulp. Penebangan yang tidak berkelanjutan dan pertanian diperkirakan telah merusak lahan gambut. Dengan demikian, lahan gambut yang masih tersisa akan terancam keberadaannya untuk dikonversi menjadi perkebunan maupun hutan tanamanindustri (Rochmayanto, 2009). Indonesia dan beberapa negara lain di daerah tropis, terutama Malaysia, Papua New Guinea dan Brunei Darussalam, selain mempunyai tanahmineral (kering) juga mempunyai tanah gambut (Histosols). Tanah gambut menyimpan karbon jauh lebih besar dari pada tanah-tanah mineral.Jumlahnya bisa lebih dari sepuluh kali lipat karbon yang tersimpan pada tanah kering, tergantung dari ketebalan lapisan tanah gambut tersebut. Semakin tebal lapisan gambut maka semakin besar cadangan karbon di dalam tanah (Agus et al., 2011). JPSL Vol. 7 (1): 19-28, April 2017 Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti mengungkapkan rumusan pertanyaan penelitian ini, yaitu: 1. Berapa serapan dan emisi karbon pada kondisi pra HTI di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap Riau? 2. Berapa serapan dan emisi karbon pada kondisi post HTI di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap Riau? 3. Bagaimana neraca karbon pada kondisi pra dan post di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap Riau? 2. Menganalisis kandungan karbon tegakan di atas tanah dan emisi karbon dari dekomposisi gambut, penggunaan pupuk N sintetis dan bahan bakar transportasi pada kondisi post HTI di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap Riau selama 20 tahun. 3. Menganalisis neraca karbon pada kondisi pra dan post HTI di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap Riau selama 20 tahun. 2. Metode penelitian 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, maka peneliti menjelaskan tujuan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Menganalisis kandungan karbon tegakan di atas tanah dan emisi karbon dari dekomposisi gambut pada kondisi pra HTI di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap Riau selama 20 tahun. Penelitian ini akan dilaksanakan di Blok khusus Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Tasik Besar Serkap (KPHP TBS) di Provinsi Riau (Gambar 4). Waktu penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Mei 2015 - Juni 2016. Gambar 4. Lokasi Penelitian. 2.2. Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan peralatan baik dalam bentuk perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) komputer. Peralatan tersebut yaitu laptop, kamera digital dan Microsoft Office. Penjelasan lebih lanjut mengenai kesesuaian dengan tujuan, data, sumber dan metode/analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 2. 2.3. Metode pengumpulan dan analisis data Data terkait kandungan karbon pada hutan alam sekunder HTI diperoleh dari data sekunder dari hasil kegiatan FMU/REDD+ KIJP dimana peneliti ikut terlibat di dalamnya. Data terkait karbon HTI diperoleh dari data sekunder dimana tidak dilakukan pengukuran data di lapangan. Data laju degradasai hutan berdasarkan data sekunder yaitu analisa citra pada kegiatan FMU/REDD+ KIJP berlangsung. Data penggunaan pupuk dan bahan bakar diperoleh dari PT RAPP dimana salah satu stafnya dapat memberikan ke peneliti. 23 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 19-28 Tabel 2. Tujuan, data, sumber dan metode/analisis penelitian Tujuan Menjawab tujuan 1 dan 3 yaitu kandungan karbon hutan alam sekunder Data Stock Factor hutan alam sekunder Sumber Sekunder Data diperoleh dari kegiatan FMU/REDD+ KIJP (2016). Peneliti juga terlibat dalam pengambilan data di lapangan. Metode/Analisis Menjawab tujuan 1 dan 3 yaitu kandungan karbon hutan alam sekunder Laju degradasi hutan alam sekunder Laju pembukaan hutan alam sekunder dianalisis dengan hasil analisis citra Menjawab tujuan 1 dan 3 yaitu emisi karbon hutan alam sekunder Dekomposisi gambut hutan alam sekunder Menjawab tujuan 2 dan 3 yaitu kandungan karbon HTI Stock Factor HTI Sekunder Data diperoleh melalui analisis citra kegiatan FMU/REDD+ KIJP (2016) yaitu 67,83 ha/tahun Sekunder Faktor Emisi diperoleh dari IPCC 2014 Wetland Supplement 5.3 x 44/12 = 19,4 ton CO2e/ha/tahun Sekunder Data diperoleh dari Rochmayanto (2009). Tidak dilakukan pengukuran di HTI sekitar lokasi penelitian Menjawab tujuan 2 dan 3 yaitu kandungan karbon HTI Dekomposisi gambut HTI Menjawab tujuan 2 dan 3 yaitu emisi karbon HTI Penggunaan pupuk oleh HTI Sekunder Faktor Emisi diperoleh dari IPCC 2014 Wetland Supplement 20 x 44/12 = 73.4 ton CO2e/ha/tahun Sekunder Data diperoleh dari PT RAPP Menjawab tujuan 2 dan 3 yaitu emisi karbon HTI Penggunaan bahan bakar untuk transportasi oleh HTI Emisi karbon (dalam satuan CO2) dianalisa dengan membuat perkalian antara faktor emisi dengan luas laju degradasi lahan hutan sekunder Emisi karbon (dalam satuan CO2) dianalisa dengan membuat perkalian antara jumlah penggunaan pupuk dengan faktor emisi lokal Emisi karbon (dalam satuan CO2) dianalisa dengan membuat perkalian antara jumlah penggunaan penggunaan bahan bakar dengan faktor emisi dari Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC, 2006) Kandungan karbon (CO2e) dianalisa dengan membuat perkalian antara stock factor dengan luas lahan hutan sekunder mengikuti laju degradasi tiap tahun Emisi karbon (dalam satuan CO2) dianalisa dengan membuat perkalian antara faktor emisi dengan luas laju degradasi lahan hutan sekunder Kandungan karbon (dalam satuan CO2) dianalisa dengan membuat perkalian antara stock factor dengan luas HTI sesuai dengan tata laksana pola tanam. Sekunder Data diperoleh dari PT RAPP Bagian dari strata yang mungkin jadi HTI (ha) Rasio areal strata per strata yang mungkin jadi HTI (ha) AGB tree stock factor (tC/ha) Hutan dengan tutupan lahan sangat rendah Hutan dengan tutupan lahan rendah Hutan dengan tutupan sedang Hutan dengan tutupan rapat Total areal yang bervegetasi Areal yang akan dikelola sebagai HTI (tanaman pokok) Stock carbon factor (Rata-0rata bobot) Proporsi strata yang bervegetasi Tabel 3. Stock factor hutan alam sekunder Areal (Ha) Untuk menganalisis kandungan CO2 dari volume tegakan tanaman rata-rata dari kondisi hutan alam sekunder didapatkan dengan pendekatan data sekunder yang diperoleh kegiatan FMU/REDD+KIJP pada tahun 2016. Kandungan karbon yang dipakai dalam penelitian tersebut adalah menggunakan metode pengambilan data non-destruktif sampling serta untuk perhitungan menggunakan metode alometrik biomassa yang dikeluarkan oleh Murdiyarso pada tahun 2004 yaitu W = Bj 0,19 (D)2,37 dengan fraksi biomassa menjadi karbon yaitu sebesar 0,47 (W adalah biomassa, Bj adalah berat jenis dan D adalah diameter pohon). Data stock factor hutan alam sekunder tersaji pada Tabel 3. Di sisi lain angka stock factor hutan tanaman industri berdasar penelitian Rochmayanto (2009) untuk tanaman jenis acacia crassicarpa pada umur tanaman 1-5 tahun berturut-turut yaitu 4,59; 14,34; 25,72; 28,18; 39,51 Ton C/ha, sedangkan untuk umur tanaman 6-7 tahun diperoleh dari hasil regresi oleh penulis yaitu 47,57 dan 55,94 Ton C/ha. hutan tanaman industri pulp lahan gambut jenis tanaman acacia crassicarpa menggunakan emisi faktor 73,4 ton CO2e/ha/tahun. Tutupan lahan a. Kandungan karbon 879.31 0.06 615.52 0.06 29.06 4,563.98 0.31 3,194.79 0.31 56.38 6,573.87 0.45 4,601.71 0.45 59.02 2,529.03 0.17 1,770.32 0.17 82.94 14,546.19 10,182.33 60.54 Sumber: FMU/REDD+ KIJP (2016) 2.3.2 Emisi karbon dari dekomposisi gambut b. Emisi karbon dari penggunaan pupuk Penelitian ini menggunakan faktor emisi dekomposisi gambut dari IPCC wetland supplement pada tahun 2014. Emisi dari degradasi hutan alam sekunder dan pembukaan lahan hutan alam sekunder menjadi HTI menggunakan angka emisi faktor 19,4 Ton CO2e/ha/tahun. Emisi dari kegiatan pemanenan Untuk mendapatkan faktor emisi (FE) pupuk didapat dari penggunaan data yang didapat di lokasi penelitian, sedangkan FE untuk bahan bakar tidak ada data ketelitian tinggi yang ada di Indonesia (Tier 3), 24 JPSL Vol. 7 (1): 19-28, April 2017 maka dapat digunakan data IPCC yang berada pada level data ketelitian rendah (Tier 1). Untuk menganalisis emisi CO2 data maka data yang telah terkumpul akan dimasukkan dalam persamaan umum untuk pendugaan emisi CO2 (KLH 2012). E= FE x DA Keterangan: E = Emisi (dalam satuan ton CO2) FE = Faktor emisi yang menunjukkan besarnya emisi per satuan unit kegiatan yang dilakukan DA = Data aktivitas yaitu data kegiatan pembangunan atau aktivitas manusia yang menghasilkan emisi Untuk mendapatkan FE pupuk didapat dari penggunaan data yang didapat di lokasi penelitian, sedangkan FE untuk bahan bakar bila tidak ada data ketelitian tinggi yang ada di Indonesia (Tier 3), maka dapat digunakan data IPCC yang berada pada level data ketelitian rendah (Tier 1). c. Emisi dari penggunaan bahan bakar transportasi E fc = FUEL a x EF a FUEL a = LITERS fuel,a x DENSITY fuel,a x NCV fuel,a x 10-3 Keterangan: Emisi CO2e akibat konsumsi EFC : bahan bakar untuk transportasi; t CO2e Energi yang dihasilkan dari Fuela : penggunaan bahan bakar jenis a; TJ Faktor Emisi bahan bakar jenis a; EFa : tCO2e /TJ A : 1,2,3,... jenis bahan bakar Jumlah bahan bakar jenis a yang Liters Fuel,a : dihunakan; liter Berat jenis bahan bakar tipe a; DensityFuel,a : kg/liter Net Calorific Value bahan bakar NCVFuel,a : tipe a; TJ/Gg Umumnya, bahan bakar yang digunakan dalam transportasi HTI adalah bensin (gasoline) dan solar (diesel oil). Tabel 4. Default value EF IPCC untuk bahan bakar Jenis bahan bakar Berat jenis Kg/liter Liter/ton Bensin Solar 0.7407 0.8439 1350 1185 NCV (TJ/Gg) Faktor emisi*2 (t CO2/TJ) 44.3 43.0 69.3 74.1 Faktor emisi bensin berkisar antara 67,5 -73 dan solar berkisar antara 72,6-74,8. Kelemahan dari default value yang dikeluarkan oleh IPCC ini adalah pada tingkat ketelitian yang masih pada tahap Tier1. Tier 1 artinya level kedetilan suatu data masih menggunakan data global. Hal ini dimungkinkan karena ketersediaan data faktor emisi bahan bakar secara nasional belum ada. Jika data nasional sudah ada maka level kedetilan menjadi Tier 2 dengan tingkat ketelitian dan keakuratan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Tier 1. Selain itu penggunaan, tier 1 ini tidak membedakan jenis kendaraan, apakah menggunakan roda 2, roda 3, roda 4 dan seterusnya bahkan penggunaan perahu juga tidak dibedakan. Pendekatan tier 1 dalam penelitian ini hanya melihat penggunaan bahan bakar tanpa melihat jenis kendaraan. 3. Hasil dan pembahasan 3.1. Kandungan karbon dari hutan alam sekunder di blok khusus KPHP Model Tasik Besar Serkap Gambar 5 menjelaskan bahwa pada tahun ke-1 luas hutan alam sekunder telah mengalami degradasi seluas 67,83 ha yang semula 14.546,19 ha menjadi 14.478,36 ha. Kandungan karbon pada tahun ke-1 tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara stock factor 60,54 ton C/ha dengan luas hutan alam sekunder pada tahun ke-1, sehingga diperoleh kandungan karbon sebesar 866.519 Ton C atau sebesar 3.213.906 Ton CO2e. Kemudian pada tahun ke-20 luas hutan alam telah mengalami degrdasi terus menerus dengan laju degradasi per tahun 67,83 ha, maka sisa luas areal hutan alam sekunder adalah 13.189,59 ha. Kandungan karbon pada tahun ke-20 diperoleh dari hasil perkalian antara stock factor 60,54 ton C/ha, sehingga diperoleh 798.497 Ton C atau 2.927.875 ton CO2e. 3.2. Emisi karbon dari hutan alam sekunder di Blok Khusus KPHP Model Tasik Besar Serkap Gambar 6 menjelaskan bahwa pada tahun ke-1 luas hutan alam sekunder telah mengalami degradasi seluas 67,83 ha yang semula 14.546,19 ha menjadi 14.478,36 ha. Emisi karbon pada tahun ke-1 tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara faktor emisi dekomposisi gambut 19,43 ton CO2e/ha/tahun dengan luas hutan alam sekunder pada tahun ke-1, sehingga diperoleh emisi karbon sebesar 1.318,16 Ton CO2e. Kemudian pada tahun ke-20 luas hutan alam telah mengalami degrdasi terus menerus dengan laju degradasi per tahun 67,83 ha, maka sisa luas areal hutan alam sekunder adalah 13.189,59 ha dengan total luas lahan yang telah terdegradasi 1.356,6 ha. Emisi karbon pada tahun ke-20 diperoleh dari hasil perkalian antara faktor emisi dekomposisi gambut 19,43 ton CO2e/ha/tahun dengan luas hutan yang tersisa, sehingga diperoleh 26.363 ton CO2e. 2 Dalam nilai faktor emisi ini, diasumsikan nilai oksidasi adalah 1 25 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 19-28 3.3. Kandungan CO2 dari perusahaan hutan tanaman industri pulp lahan gambut di sekitar blok khusus KPHP Model Tasik Besar Serkap Gambar 7 menjelaskan bahwa pada tahun ke-1 luas hutan tanaman industri yang telah ditanam adalah 1.454 ha. Kandungan karbon pada tahun ke-1 tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara stock factor HTI dengan luas hutan tanaman industry yang tertanam pada tahun ke-1, sehingga diperoleh kandungan karbon sebesar 24.481 Ton CO2e. Kemudian pada tahun ke-7 hingga ke-20 luas hutan tanaman industri yang tertanam adalah 10.182 ha. Kandungan karbon pada tahun ke-7 hingga tahun ke-20 diperoleh dari hasil perkalian antara stock factor HTI dengan luas hutan tanaman industri yang telah tertanam, sehingga diperoleh 1.151.268 ton CO2e. Kandungan karbon tahun ke-7 hingga tahun ke-20 stabil sejalan dengan pola rencana usaha HTI. Gambar 5. Kandungan karbon pada hutan alam sekunder. Gambar 6. Emisi karbon pada hutan alam sekunder. 26 JPSL Vol. 7 (1): 19-28, April 2017 Gambar 7. Kandungan karbon pada hutan tanaman industri acacia crassicarpa. 3.4. Emisi CO2 dari penggunaan pupuk sintetis Gambar 8 menunjukkan bahwa di dalam perhitungan ini faktor emisi menggunakan faktor emisi lokal yaitu 0,53 t CO2/ha/tahun dan data aktivitas menggunakan data luas area yang direncanakan untuk ditanami tanaman HTI. Penelitian ini menggunakan asumsi daur 7 tahun untuk siklus penebangan tanaman. Dari formula tersebut didapat hasil emisi CO2 dari penggunaan pupuk sintetis selama 20 tahun dengan daur tanaman selama 7 tahun, artinya pada akhir tahun ke-7 tanaman akan mulai dipanen sebagaimana tata laksana rencana kerja usaha HTI pulp. Pada tahun ke-7 hingga ke-20 jumlah emisi CO2 yang dihasilkan adalah stabil karena tata lakasana pola tanam HTI telah berjalan stabil, termasuk pada saat masa pemeliharaan untuk pemupukan tanaman. 3.5. Emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar transportasi Sesuai dengan tata laksana rencana kerja usaha HTI bahwa aktivitas di lapangan semakin meningkat pada tahun ke-1 hingga tahun ke-7 sehingga menyebabkan emisi bahan bakar juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kemudian operasionalisasi HTI sudah mulai stabil sejak tahun ke-7 hingga tahun ke-20 sehingga menyebabkan emisi dari penggunaan bahan bakar transportasi yang dikeluarkan juga stabil yaitu sekitar 1100 ton CO2e per tahun (Gambar 9). Gambar 9. Emisi karbon dari penggunaan bahan bakar transportasi. Gambar 8. Emisi karbon dari penggunaan pupuk. 27 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 19-28 3.6. Emisi dekomposisi gambut di areal HTI akibat pembukaan lahan dan pemanenan sesuai rencana usaha. Emisi dari hutan tanaman industri juga terjadi disebabkan dekomposisi gambut pada saat pembukaan lahan dan pemanenan serta penggunaan pupuk dan bahan bakar transportasi. Untuk areal tanaman kehidupan, baik kandungan karbon dan emisinya tidak signifikan. Untuk areal kawasan lindung, kandungan karbon akan selalu terjaga sehingga tidak terjadi emisi akibat dekomposisi gambut dan kandungan karbonnya akan stabil sejak tahun ke1-20. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberadaan pengelolaan HTI dalam penyerapan kandungan karbon pada jangka waktu 20 tahun belum mencapai tingkat kandungan karbon yang dimiliki hutan alam sekunder. Bahkan emisi yang terjadi akibat pengelolaan HTI jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi yang terjadi akibat degradasi hutan sekunder. Penelitian ini menghitung emisi di arel hutan tanamn industri dari sumber dekomposisi gambut akibat akivitas pembukaan lahan hutan alam sekunder menjadi areal HTI dan pada saat pemanenan di setiap umur tanamn 7 tahun. Total emisi dekomposisi gambut adalah 14.568.891 ton CO2e dengan rata-rata per tahun 728.444 ton CO2e. 3.7. Neraca karbon pra dan post HTI di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap Penelitian ini membahas kondisi karbon sebelum adanya hutan tanaman industri yang masih berbentuk hutan alam sekunder dan setelah adanya hutan tanaman industri selama 20 tahun. Neraca karbon digambarkan dari kandungan CO2 dan Emisi CO2 dari masing-masing kondisi tersebut. Kandungan karbon pada hutan alam sekunder yaitu 61.417.315 ton CO2e dan emisi CO2 pada hutan alam sekunder adalah 276.814 ton CO2e. Kandungan karbon hutan tanaman industri yaitu 18.321.886 ton CO2e dan emisi karbon dari hutan tanaman industri yaitu 14.568.891 ton CO2e. Daftar pustaka [1] [2] 4. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah dibahas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Selama 20 tahun kandungan karbon dari areal hutan alam sekunder di blok khusus KPHP Model Tasik Besar Serkap adalah 61.417.315 ton sedangkan emisi karbon dari areal hutan alam sekunder adalah di blok khusus KPHP Model Tasik Besar Serkap adalah 276.814 ton CO2e. 2. Selama 20 tahun kandungan karbon dari areal hutan tanaman industri pulp lahan gambut adalah 18.321.886 ton CO2e, sedangkan emisi karbon areal hutan tanaman industri pulp lahan gambut adalah 14.568.891 ton CO2e. Emisi ini timbul akibat dekomposisi gambut pada saat pembukaan lahan, pemanenan dan penggunaan pupuk dan bahan bakar transportasi sejak pembukaan lahan hingga pemanenan. 3. Dalam luas 14.546 hektar areal bervegetasi di Blok Khusus KPh Tasik Besar Serkap telah terjadi neraca karbon selama 20 tahun sejak areal tersebut masih berupa hutan alam sekunder hingga diasumsikan menjadi hutan tanaman industri pulp lahan gambut. Selama 20 tahun terlihat bahwa kandungan karbon di areal tersebut mengalami perubahan, dimana kandungan karbon hutan sekunder mengalami penurunan terus menerus akibat laju degradasi hutan disertai dengan emisi dari dekomposisi gambut yang terjadi. Di sisi lain, hutan tanaman industri juga mampu menyerap kandungan karbon dengan intensitas meningkat sejak tahun ke 7-20 seiring dengan laju penanaman 28 [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [FMU/REDD+KIJP] Forest Management Unit/Reduction Emission from Forest Deforestation and Degradation Korea Indonesia Joint Project, 2016. Preserving Peat Ecosystem through REDD+ activity in Kampar peninsula RiauIndonesia. FMU/REDD+ KIJP, Jakarta. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup, 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, Buku I Pedoman Umum. KLH, Jakarta. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup, 2010. Indonesia Second National Communication under Uniteds Framework on Convention on Climate Change. KLH, Jakarta. [KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Indonesia first biennial update report (BUR) under the United Nations Framework on Climate Change. KLHK, Jakarta. [KPHP TBS] Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Tasik Besar Serkap. 2014. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) Periode 2014-2023. Indonesia, Pekanbaru. Andres R. J., T. A. Boden, F. M. Bréon, P. Ciais, S. Davis, D. Erickson, Gregg, J. Sterling, A. Jacobson, G. Marland, J. Miller, T. Oda, J. G. J. Olivier, M. R. Raupach, P. Rayner, K. Treanton, 2012. A synthesis of carbon dioxide emissions from fossil-fuel combustion. J. Biogeosciences 9, pp. 1845– 1871. Nurrochmat D. R., D. Darusman, M. Ekayani. 2016. Kebijakan Pembangunan Kehutanan dan Lingkungan. Teori dan Implementasi. IPB Press, Bogor. Rochmayanto Y., 2009. Perubahan kandungan karbon dan nilai ekonominya pada konversi hutan rawa gambut menjadi hutan tanaman industri pulp [tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sakata R, S. Shimada S, H. Arai, N. Yoshioka, R. Yoshioka, H. Aoki, N. Kimoto, A. Sakamoto, L. Melling, K. Inubushi, 2014. Effect of soil types and nitrogen fertilizer on nitrous oxide and carbon dioxide emissions in oil palm plantations. J. Social Science and Plan Nutrition 61(1), pp. 48-60. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 29-36 ECONOMIC VALUATION FOR WATER SUPPLY FROM MERAPI VOLCANO NATIONAL PARK (CASE STUDY: KALI KUNING SUB WATERSHED) Ayu Diyah Setiyania, Charlotte de Fraitureb, Robiyanto H. Susantoc, Annelike Dukerd a Program Double Degree Integrated River Lowland and Coastal Development Management and Planning, Sriwijaya University and UNESCO-IHE, Jl. Padang Selasa, Palembang b Water Science Engineering-Land and Water Development Department, UNESCO-IHE, Westvest 7, 2611 AX Delft, Netherlands c Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sriwijaya, Jl. Padang Selasa, Palembang d Water Science Engineering-Land and Water Development Department, UNESCO-IHE, Westvest 7, 2611 AX Delft, Netherlands Abstract. The Merapi Volcano National Park (MVNP) is developed based on particular considerations such as protecting ecosystem or preserving certain species. Management of national park will not succeed unless the communities surrounding park support the park itself. However, it will be challenging because the park was established through a ‘top-down’ process. Therefore, it is important to ensure that the surrounding communities are able to derive benefit economically from the park, especially environmental services such as water supply. The goal of this study is to estimate the economic value for water supply from MVNP with Kali Kuning Sub Watershed as the study case. The economic valuation is estimated based on three different scenarios of land use maps: 2015’s (deforestation), 2025’s (afforestation) and extreme condition which is grassland (without national park). The economic value is approached by market price for water use value. Lastly, cost and benefit analysis based on several scenarios (deforestation, afforestation and ‘without national park’) is implemented. The study shows that afforestation scenario presents the highest economic value from water supply for the surrounding communities as well as the downstream communities. Keywords: economic valuation, environmental services, water supply, national park (Diterima: 28-07-2016; Disetujui: 03-12-2016) 1. Introduction An ecosystem in Merapi Volcano was established as a national park in 2004 by Ministry of Forestry Decree No 134/Menhut-II/2004 due to its role in the ecosystem. During the establishment process of the Merapi Volcano National Park (MVNP), there is a misunderstanding between the authority of the MVNP and the community surrounding the national park. This problem is because the surrounding village inhabitants utilize the forest resources in the park as grazing land, firewood source, water source, sand mining, and pine resin production according to the result of the social economic survey (MVNP, 2011). Meanwhile, the Law 5/1990 and Law 41/1999 state that the people are not allowed to retrieve those kinds of utilization anymore. Therefore, the people rejected the establishment of the park. In other words, the locals thought that the park was no longer to give any benefit economically for them. Although the main purpose of national parks establishment is to protect the ecosystem and all ecological processes inside, people can still derive the benefit from those areas. The national parks give a huge number of environmental services to human life beyond the park boundary especially in water services which are an essential part for human life. It is true that ecosystem functions are discussing habitat, biological or doi: 10.19081/jpsl.2017.7.1.29 system properties or process, but ecosystem goods and services are referred to the benefit that human gets from the ecosystem function (Costanza, et al., 1997). Costanza (1997) also calculated the value of environmental services in varies ecosystem in the world including tropical forest in Indonesia. It was estimated that tropical forest in Indonesia had more than US $ 10,000 ha-1 year -1. In addition, the national parks with their specific ecosystem are not only able to support biodiversity and biological functions but also to benefit ecosystem services (ES) that are socially valuable (Boyd and Wainger, 2003). Further, the benefits of the protected areas spread over their boundaries, so the protected areas can be considered as sustainable development and economic strategies to promote these benefits (Mulongoy and Gidda, 2008) and the ecology system service supports the human directly and indirectly (Costanza et al., 1997). Even though it is understood that protected areas have an important role in supporting ecosystem service, protected areas are a lack of support from others stakeholders such as local government, surrounding communities and private sectors who often oppose rather than contribute in protected areas management (Midora and Anggraeni, 2006). Generally, the community around the national park do not think that they 29 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 29-36 get benefit from the existence of the conservation areas. Meanwhile, the success key of the national parks management relies on the stakeholders' contribution to the parks. It is possible to the stakeholders including the surrounding communities disregard to the conservation efforts if they do not get the benefit. Therefore, it is necessary to ensure that the stakeholders around the parks, particularly the communities, become the beneficiaries (MacKinnon et al., 1986). It is also stated by Pattanayak (2004) that the contribution to the watershed protection and conservation relies on the net advantages presented by the watershed itself. Therefore, it is important to realize the ecosystem change and to value ES economically (Bingham et al., 1995) because a better understanding of economic value can be useful for the decision making. Even Boyd and Wainger (2003) stated that there is a huge potential but the mostly unexploited role of environmental services valuation in regulatory decision making. `The objective of this paper is to estimate the economic value for water supply from MVNP with Kali Kuning Sub Watershed as the study case. This objective can be accomplished by understanding some specific objectives which are to define the water use from Kali Kuning sub watershed, to quantify total economic value of the water supply in the national park, and to understand the link between economic value and ecosystem change (in this paper is land use change). 2. Methods This research was conducted in Kali Kuning sub watershed in MVNP on September 2015 to February 2016 (Figure 1a, 1b and 1c). The study areas were limited in villages abstracting water from Kali Kuning sub watershed which are Hargobinangun, Umbulharjo and Kepuharjo Village. Merapi Volcano NP boundary Figure 1a. Boundary of Merapi Volcano National Park. 30 JPSL Vol. 7 (1): 29-36, April 2017 Figure 1b. Kali Kuning sub watershed (study area) in Merapi Volcano National Park. Water Management Organization, Water Users Association, local government, drinking water companies, and Farmers Association. The data was collected in those three villages on September to October 2015. All the collected data was analyzed to calculate the economic value of water estimating based on market price. The secondary data was collected from institutional document such as field report from MVNP, regular report from Energy, Water and Mineral Resources Agency of the Sleman Regency and document from local government and organizations. Other data was derived from scientific report such as scientific paper and thesis. All data was used to figure out the ecosystem change and to estimate the impact of its change. The impact of land use change was estimated by Setiyani (2016) using Soil Water Assessment Tool (SWAT). The primary and secondary data was used to estimate economic value for water supply in different scenarios. Those land uses are 2015’s land use or known as deforestation scenario, 2025’s land use or known as afforestation and grassland or called as without national park scenario. The 2015’s land use is understood as deforestation scenario because most of the forested area was damaged due to volcano eruption in 2010. The 2025’s land use is predicted land use based on MVNP’s restoration plan. However, the grassland is an extreme condition where all the park does not exist completely change to be grassland for grass production. This condition was assumed based on the highest pressure to the park as grass production in order to support communities’ livelihood as dairy farmers. The land use scenarios can be seen in Figure 2 and Table 1. The economic value is understood by applying cost and benefit analysis in each scenario. 3. Result and Analysis 3.1. Water Use Figure 1c. Villages that abstract water from Kali Kuning sub watershed. The primary data contain field observation to find out the general condition of the study area. The collected data are the utilization of the water from the Kali Kuning sub watershed in order to identify the direct value of the water. The water use in the study area can be categorized as three groups which are drinking water for the downstream areas like Yogyakarta City and Sleman Regency, drinking water for the habitant in surrounding villages and irrigation. Data of economic valuation were collected by deep interview with the respondents, and then it was validated by focus group discussion (FGD). The data are also collected by interviewing and discussing with a formal and informal organization such as Village Drinking It is understood that the water supply from the park can be categorized based on water utilizations and users. First, the water is used as drinking water for the downstream communities. It is managed by the drinking water company like Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Darma, PDAM Tirta Marta, Perusahaan Daerah (PD) Anindya Argajasa Kaliurang. Second utilization is drinking water for the locals or communities surrounding the park. It is managed by local organizations such as Organisasi Pengelola Air Bersih or local organization for drinking water (OPAB) Umbularjo, OPAB Tirtogondang, OPAB Pangukrejo and Hunian Tetap or permanent settlement (HUNTAP) Kepuharjo. The last purpose of water from the park is for irrigation water. Irrigation is organized by water users associations in Umbulharjo and Hargobinangun, known as Persatuan Petani Pemakai Air (P3A) Umbulharjo and P3A Hargobinangun. 31 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 29-36 Figure 2. Map of land use scenarios in 2015 (deforestation), 2025 (afforestation) and without national park (grassland) Table 1. Land use scenarios in 2015 (deforestation), 2025 (afforestation) and without national park (grassland) Land cover code Percentage of area 2015 2025 No NP Agriculture Grass (planted) PAST 0 0 0 Bare Soil Bare soil BARR 8 4 3 Forest Mixed forest FRST 51 78 0 Grassland Range grass Green bean and chili It is assumed as bell pepper (Capsicum annum) Various crops mix with grass and trees (general agriculture) Low density settlement RNGE 32 Neglected (equal to 0) 10 Neglected (equal to 0) 96 Neglected (equal to 0) AGRL 8 8 0 URLD 1 1 1 Irrigated Agriculture Mix Garden Settlement However, there are other stakeholders who have interest in the water supply which are MVNP and local institution. The MVNP as national park authority has interest in ecological flow. It is because the ecological flow is tightly related to remain discharge in the Kali Kuning River. The ecological flow is often used by the wildlife in the park to fill their needs. The local institution is Energy, Water and Mineral Resources Agency of the Sleman Regency, an official agency who manages water allocation for each stakeholder. The water of Kali Kuning sub watershed is distributed based on Environmental Impact Assessment published by Energy, Water and Mineral Resources Agency of the Sleman Regency in 1999 (Figure 3). However, the current situation is totally different because the drinking water companies abstract more water. The actual water abstraction is clearly explained in Figure 4. The companies abstract 48% of water while they should only derive 35% of water. In other words, the water demand does not meet with 32 Land Use (LU) code Land cover description PEPR water allocation. The high amount of water demand is dominated by water companies that serve downstream areas. Their customers are households and industries in downstream. This amount is predicted to increase year by year due to increasing population and economic growth. The local communities are suffered from over exploitation by water companies. It is because the water abstraction for irrigation is decreased from 50% to 28%. It leads to water scarcity regarding irrigation especially in dry season. Meanwhile, most of the local rely on agriculture and dairy cattle for their lives. In addition, those two businesses are tied tightly with water availability. JPSL Vol. 7 (1): 29-36, April 2017 Source: Environmental Impact Assesment (1999) Figure 3. Water allocation in Kali Kuning Sub Watershed. Source: Calculation based on average water abstraction from monthly report of Energy, Water and Mineral Resources Agency of the Sleman Regency (2006-2015) Figure 4. Average water abstraction in Kali Kuning Sub Watershed. 3.2. Economic Value of Water Supply The economic value from water supply was calculated differently based on water uses which are drinking water for downstream communities, drinking water for surrounding areas and irrigation water. Economic value of drinking water was estimated using two different market prices due to different market. Drinking water for the downstream communities are calculated based on market price which is declared by the drinking water companies (both of PDAM). However, the market price for the drinking water in surrounding communities is approached using the highest price in the three different villages. It was assumed that the highest price is the level of willingness to pay (WTP) from water users. Meanwhile, the irrigation water is computed using crop yield, dairy production and water trading. It is because the local use the irrigation water to irrigate dry land agriculture with chilli and green bean as main crop, to grow grass for their dairy cattle, to fill water services (drinking and cleaning) of dairy cattle and to trade the water to the hotels. Therefore, the irrigation water is approached by production and market price of dry land agriculture and milk and water trading to the hotels. Therefore, the total economic value of water services from Kali Kuning sub watershed based on drink- ing water, milk production, agriculture yield and water trading. The result of the calculation of the benefit is presented in Table 2. Based on the calculation, it is revealed that the total economic value is approximately USD 1.6 million per year for whole watershed. Furthermore, this benefit is shared among the water users in upstream and downstream. Compared to the previous studies about economic valuation in the neighborhood national parks, the annual economic value of the Kali Kuning sub watershed shows a lower value than that in Merbabu National Park (MNP). In MNP, the economic valuation was estimated by water supply from Upper Tuntang watershed. The economic value in Upper Tuntang watershed was calculated by a market price in Semarang City which was USD 0.20 per m3. It was known that annual economic value for the water supply is approximately IDR 111 billion or USD 8.2 million (Havid and Suroso, 2013). For the Upper Tuntang watershed, the total economic value for potential water services is USD 3,098/Ha. Meanwhile in Kali Kuning watershed, the economic value is USD 2,516/Ha. Both of value is calculated using same market price which is USD 0.20/m3. The difference from those watersheds can be caused by the difference amount of water yield. The different water yield between two ecosystems is possible depending on vegetation coverage (Gumidonga et al., 2014). The difference between those values is in result of water yield in both areas. It is related to land use in both areas. In Upper Tuntang watershed, it is dominated by agriculture, while in Kali Kuning it is dominated by mixed forest. Vegetation has a significant impact to generate surface flow and base flow. The absence of the vegetation cover makes most of the rainfall becomes to be surface flow rather than to be base flow. Further, it is able to decrease the lateral flow and ground water flow. However, the presence of vegetation can direct to higher lateral flow and groundwater flow due to infiltration and percolation. In addition, economic value of water services in Upper Tuntang was calculated based on water yield; meanwhile, economic value of water services in Kali Kuning is estimated based on water abstraction. It is possible that the economic value of water services in Kali Kuning will be as much as in Upper Tuntang if it includes the water for ecological flow. 3.3. Impact of Land Use Changes in Water Availability It is understood that land use changes contribute significant impact not only to hydrological regimes such as runoff, ground water flow and stream flow. According to Tang et al. (2011), land use changes affect stream flow and sediment yield differently. For instance, conversion from forest to massive use such as agriculture or grassland can be positive in the wet season and be positive or negative in the dry season (Lele, 2009). 33 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 29-36 Table 2. Annual economic value based on actual year (2015’s land use) Water Use Drinking Water Companies Communities Milk Production Dryland agriculture Chili Green Bean Trade Annual Production Economic Value (USD) 5,234,976 m3 1,119,528 m3 1,678,224liter USD0.20/m3 USD 0.75/10 m3 USD0.30/liter 1,046,995 48,193 503,467 13,500 kg 4,000 kg USD3.00/kg USD 0.20/kg 40,500 800 489 Total Economic Value Therefore, it is important to see the effect of the environment changes. It becomes an essential part to figure out what is the cost and what is the benefit due to environment change (Lele, 2009). Thus this study used three different land use scenarios to estimate the economic value of water supply if there are environment changes. Those three different scenarios are deforestation, afforestation and grassland scenario. Due to the land use change scenarios, it is well understood that in afforestation scenario the water can fulfil the water demand for drinking and irrigation purposes. Afforestation has higher evaporation rates than deforestation and grassland scenario. It makes afforestation scenario produce the least water in the river in the wet period. However, afforestation scenario gives the highest amount of discharge in dry period (Setiyani, 2016). However, in grassland scenario, the discharge in the river decreases about 3 to 56% in dry months (Setiyani, 2016), especially in the peak of dry months in August to October. This difference is computed by subtracting the discharge in deforestation scenario (2015’s land use) and the discharge in grassland. This decreasing discharge was modelled using SWAT in dry season in dry period in 1997. It means that, the water supply does not accommodate the water demand in dry season under grassland scenario. These occurrences are caused by vegetation coverage. Vegetation coverage can retain water from rainfall and then transform it as ground water recharge. Grassland is also able to hold water and absorb it as recharge, but it is not as high as forest capability. It is also stated by Gumidonga et al. (2014), he found that the land cover can delayed runoff by infiltration and resulting in the higher base flow. Land use change from natural forest to other land uses can decrease vegetation coverage that leads to reducing evapotranspiration (Yan et al., 2013). It also declines in infiltration (Gumidonga et al., 2014) due to the reduction in surface roughness and litter (Baker and Miller, 2013). Furthermore, the deforestation scheme increases streamflow (Baker and Miller, 2013; Yan et al., 2013) because most of the precipitation becomes surface runoff rather than infiltration (Baker and Miller, 2013). In contrast, the reforestation land use scenario has some effects such as an increase in water regulation capacity and a decrease in erosion and soil sedimentation (Lele, 2009). Tomich et al. (2004) 34 Market Price 1,640,444 stated the similar findings that afforestation and soil conservation are able to decrease peak flow and stormflowand to prevent soil degradation. It can be explained in several previous research by Wang et al. (2015), Yan et al. (2013) and Tang et al. (2011). It is explained that although the forest both of nature or planted forests demand more water than agriculture and grassland due to the evapotranspiration (Lele, 2009; Nurdin, 2013), still those forests give better infiltration and water storage resulting in high amount in total water yield (Lele, 2009). 3.4. Impact of Land Use Changes in Economic Value Based on the previous discussion in the impact of the land use change, it is understood that there is a change regarding water yield. Therefore, it is important to see the effect of the environment changes such as land use change to the economic value. It can be investigated by understanding who will obtain the benefit and who will lose the benefit due to environment change (Lele, 2009). A total economic value between two conditions which are under national park (based on 2015’s and 2025’s land use) and without national park (grassland) can be determined by cost and benefits analysis. The benefit of the water services is estimated based on the water availability for drinking, domesitic uses and agriculture. Meanwhile the cost of water services is predicted by tax and replacement cost to provide the same benefit. There are different assumption which is used for cost and benefit calculation. For the deforestation and afforestation scheme, the benefit is calculated based on water utilization for all uses. The available water can fulfill all demand. However, in ‘without national park’ scenario, the discharge in the river decraese. It means there is water scarcity because not all utilization can be filled. In case of water scarcity in dry months, there is specific policy in order to fulfil drinking water need. The water allocation authority priors the drinking water for drinking water companies regarding the number of beneficiary followed by local beneficiaries and irrigation purposes. Furthermore, to face water shortage, the drinking water companies prefer to find a new water source with required quality rather than to extract ground water or to purify surface water because installing ground water extraction plant and water JPSL Vol. 7 (1): 29-36, April 2017 treatment are too expensive. In order to value economic lost regarding the water scarcity, it was calculated based on replacement cost using new instalment cost for new water source to fulfil downstream water demand and purchased water tanker to meet upstream water demand. Furthermore, the cost analysis in those scenarios are diffrent especially in the ‘without national park’ scenario. It is because the cost is estimated based on tax and replacement cost. It is related to the water quality in Kali Kuning. The water quality is acceptable as drinking water based on Government Regulation PP 492/Menkes/Per/IV/2010 (Wardani and Purnama, 2012). If there is not enough water in ‘without national park’ scneario, the drinking water companies should build particular infrastructure to get new water source or to purify the groundwater and the locals should buy water using water tanker. Then, it can be categorized as replacement cost. In this study, the cost is calculated based on installing a new water source. It is because planting a new water intallation in a qualified water source is much affordable than installing water threatment to purify ground water extraction. Meanwhile in afforestation and deforestation scenario, there is no any payment for further water threatment due to water quality. The only cost is the tax for the surface water. The result of cost and benefit analysis is presented in Table 3. It is obvious that the afforestation scenario contributes the highest economic value. It is followed by deforestation and ‘without national park’ scenario. The afforestation scenario contributes USD 1.8 million per year to all beneficiaries. Then, the economic value of deforestation scenario is slightly decrease to USD 1.6 million. However, the ‘without national park’ does not contribute any economic benefit even it loss about USD 230,000 anually. It is because there is no available water for all beneficiaries. Therefore the cost to provide the same benefit in two previous scenario is much higher. However, compared to the previous study, it seems that the result of total economic value is overestimated. The total economic value of water supply and water regulation in rain forest area were about USD 8/ha/year and USD 6/ha/year (Costanza et al., 1997). In addition, the economic value for water supply in Leuseur National Park was approximately USD 300/ha/year in conservation scenario. While, in this study, total economic value for water supply is about USD 2,200/ha/year. The result of the economic valuation of water forest related service in this study seems overestimated compared to Coztanza et al. (1997) and Beukering at al. (2003) where their result are only about USD 14/ha/year and USD 300/ha/year. It means that the econovic valuation of water services is a kind of tricky bussiness. It might mislead the result because there are overlapping and ambiguity in the service itself (Ojea et al., 2012). In addition, Ojea et al. (2012) explained that overlapping service and ambiguity service causes double counting in economic valuation can be a problem to sort it out in economic valuation. Then, the result can be overestimated or underestimated to the market fluctuation which is price is the result between supply and demand. Meanwhile, in this study, the price based on the supply and demand is neglected because the study applied the same price for each scenario. However, if it compared with another study in the neighbourhood area in Upper Tuntang Watershed in the Merbabu National Park (Havid and Suroso, 2013), it does not show large gap in between. It because both of national park (Merapi Volcano and Merbabu) give similar economic value. The total economic value in, the Upper Tuntang watershed is USD 3,098/ha and the economic value in Kali Kuning watershed is USD 2,516/ha. The benefit from the national park is distributed among all stakeholders. Obviously, whatever the scenario, local communities gain largest portion of the benefit followed by the drinking water companies which are owned by local government. Beukering, et al. (2003) explained that the highest benefit was gained by the locals followed by the government and private sectors under ‘with or without national park’ scenarios. He also mentioned that the locals’ share grows time by time in conservation scenario. The result announces that all stakeholders suffer negative consequences from the absence of national park. Drinking water companies need to invest more money in infrastructure. The drinking water companies possibly increase water price for the downstream users. On the other hand, the local communities’ share will be decrease time by time, and they have to buy water for drinking water in the same quantity and quality as before. It was predicted as well by Beukering et al. (2003) that the local communities would experience expensive water and the companies will lose money to change distribution system under ‘without national park’ scenario. Table 3. Economic value of water supply from MVNP in three different scenarios 2015’scenario/ deforestation (USD) Cost Drinking water 9,694 Irrigation water Total Net Benefit Benefit 1,095,188 2025’s scenario/ afforestation (USD) Cost 10,862 545,256 9,694 1,640,444 1,630,750 Benefit 1,257,104 Grassland/ without national park (USD) Cost 1,517,856 545,256 10,862 1,802,360 1,791,498 Benefit 783,821 503,467 1,517,856 1,287,288 -230,568 35 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 29-36 [3] 4. Conclusions [4] The main purposes of water supply from MVNP are drinking water for downstream and upstream areas and water for irrigation. This water supply benefit is shared among stakeholders who are downstream communities (Sleman Regency and Jogjakarta City) and local communities (Hargobinangun, Umbulharjo and Kepuharjo Village). However, the management of the beneficiaries are diverse one and another. The drinking water for the downstream is managed by water companies (PDAM), while the drinking water for the locals is managed by local drinking water organizations. In addition, the irrigation purpose is managed by water users association. Furthermore, the land use change gives significant impact in water availability and economic value of water. The afforestation with the largest forested area gives the highest amount of economic value (USD 1.8 billion) compared with other scenario which is deforestation (USD 1.6 billion). However the grassland scenario will lose USD 230,568 due to replacement cost for a new instalment regarding a new water source. In addition, both upstream and downstream communities have the highest share of the benefit, but they also suffer if there is land use change from national park to grassland. 5. Acknowledgements This paper is partly taken from my thesis of with title ‘Economic valuation for water services from Merapi Volcano National Park, Indonesia Case Study: Kali Kuning sub watershed.’ I acknowledge Prof. Charlotte de Fraiture, Prof. Robiyanto H. Suseno, Annelieke Duker, M.Sc., Ir. P.H.J. Hollanders, and Dr. Shreedhar Maskey for the support and guidance. I appreciate BAPPENAS and Stuned for financing this study. I thank to UNESCO-IHE and Sriwijaya University. References [1] [2] 36 Baker, T. J. and Miller, S. N., 2013. Using the Soil and Water Assesment Tool (SWAT) to assess land use impact on water resources in an East African watershed. Journal of Hydrology, Volume 486, pp. 100-111. Bingham, G., R. Bishop, M. Brody, D. Bromley, E. T. Clark, W. Cooper, et al., 1995. Issues in ecosystem valuation: improving information for decision making. Ecological Economics 14, pp. 73-90. [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] Beukering, P. J. H. V., H. S. Cesar, and M. A. Janssen, 2003. Economic valuation of the Leuser National Park on Sumatra, Indonesia. Ecological Economics 44, pp. 43-62. Boyd, J., and L. Wainger, 2003. Measuring Ecosystem Service Benefits: The Use of Landscape Analysis to Evaluate Environmental Trades and Compensation. Resources for the Future, Washington. Costanza, R., R. d'Arge, R. D. Groot, S. Farber, M. Grasso, B. Hannon, et al., 1997. The value of the world's ecosystem services and natural capital. Nature 387, pp. 253-260. Gumidonga, W., T. Rientjes, A. Haile, T. Dube, 2014. Predicting streamflow for land cover changes in the Upper Gilgel Abay River Basin, Ethiopia: A TOPMODEL based approach. Physics and Chemistry of the Earth 76-78, pp. 3-15. Havid, E. and D. S. A. Suroso, 2013. Valuation of Water Production and Erosion Protection in Upstream of Tuntang Watershed for Payment of Ecosystem Services (In Bahasa). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 3 (1), pp. 46-54. Lele, S., 2009. Watershed services of tropical forest: from hydrology to economic valuation to integrated anaylisis. Environmental Sustainablity I, pp. 148-155. MacKinnon, J., MacKinnon, K., Child, G., and Thorsell, J., 1986. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (Tropical Protected Areas Management). Gadjah Mada University, Yogyakarta. Midora, L. and D. Anggraeni, 2006. Economic Valuation of Watershed Services Batang Gadis National Park, Mandailing Natal, North Sumatra, Indonesia. Conservation International – Indonesia, Jakarta. Mulongoy, K. and S. Gidda, 2008. The Value of Nature: Ecological, Economic, Cultural and Social Benefits of Protected Areas. Secretariat of the Convention on Biological Diversity, Montreal. [MVNP] Merapi Volcano National Park, 2011. Report: Socio Economic of Surrounding Merapi Volcano National Park Pasca Volcano Eruption in 2010, Merapi Volcano National Park, Yogyakarta. Ojea, E., J. Martin-Ortega, A. Chiabai, 2012. Defining and classifying ecosystem services for economic valuation: the case of forest water services. Environmental Science and Policy 19-20, pp. 1-15. Pattanayak, S. K., 2004. Valuing Watershed Services: Concepts and Empirics from Southeast Asia. Agriculture, Ecosystem, and Environtment 104, pp. 171-184. Setiyani, A. D., 2016. Economic valuation for water services from Merapi Volcano National Park, Indonesia Case Study: Kali Kuning sub watershed. Thesis. UNESCO-IHE, Delft. Tang, L., D. Yang, H. Hu, and B. Gao, 2011. Detecting the effect of land-use change on streamflow, sediment and nutrient losses by distributed hydrological simulation. Journal of Hydrology 409, pp. 172-182. Wang, X. et al., 2015. Assessment of soil erosion change and its relationship with land use/cover change in China from the end of the 1980s to 2010. Catena 137, pp. 256-268. Wardani, A. E. P. And I. L. S. Purnama, 2012. Evaluasi potensi mata air untuk kebutuhan air domestik di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman pasca erupsi Merapi 2010 (Potential spring evaluation for domestic uses in Cangkringan District, Sleman Regency) In Bahasa. Jurnal Bumi Indonesia 1(3), pp. 229-309. Yan, B., N. Fang, P. Zhang, Z. H. Shi, 2013. Impact of land use change on watershed stream flow and sediment yield: An assessment using hydrologic modelling and partial; least squares regression. Journal of Hydrology 484, pp. 26-37. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 37-40 PENGGUNAAN KARBON AKTIF DARI AMPAS TEBU SEBAGAI ADSORBEN ZAT WARNA PROCION MERAH LIMBAH CAIR INDUSTRI SONGKET Melyza Fitri Permanda Saria, Puji Loekitowatib, Risfidian Mohadib a Program Pengelolaan Lingkungan, Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Jl. Padang Selasa 524, Bukit Besar, Palembang 30139 [email protected] b Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya, Palembang 30128 Abstract. Telah dilakukan penelitian penggunaan karbon aktif dari ampas tebu untuk menyerap zat warna procion merah dari limbahindustri songket. Pembuatan karbon aktif dilakukan dengan proses karbonisasi pada temperatur 450 0C selama 2 jam. Karbon aktif yang dihasilkan dilakukan karakterisasi FTIR untuk mengetahui gugus fungsinya serta karakterisasi BET untuk mengetahui luas permukan. Kondisi optimum adsorpsi karbon aktif dari ampas tebu terhadap procion merah dilakukan dengan variabel waktu kontak, berat karbon aktif, dan pH. Hasil karakterisasi FTIR pada karbon aktif dari ampas tebu memiliki gugus fungsi -CO- dan – OH, sedangkan karakterisasi BET karbon aktif dari ampas tebu sebesar 29,2 m2/g. Kondisi optimum adsorpsi karbon aktif dari ampas tebu diperoleh pada waktu kontak 90 menit dengan berat karbon aktif 0,1 g dan pH optimum 5 pada 50 mL zat warna procion merah berkonsentrasi 20 mg/L. Adsorpsi isotermal Langmuir menunjukkan serapan maksisum 0,45 mg/g dan energi sebesar 4,35 kJ/mol Efektifitas penyerapan zat warna procion merah dari limbah cair industri songket oleh karbon aktif dari ampas tebu dalam kondisi optimum, sebesar 76,3%. Keywords: karbon aktif, ampas tebu, procion merah, songket Palembang, adsorpsi isotermal (Diterima: 10-06-2016; Disetujui: 29-12-2016 1. Pendahuluan Songket merupakan kain khas Sumatera Selatan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Korperasi Kota Palembang mencatat, pada tahun 2011 sekitar 150 pemilik usaha kerajinan songket dan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 230 orang memiliki usaha kerajinan kain songket (Hariani, 2013). Pencelupan benang kedalam zat warna sintetis merupakan salah satu proses pembuatan kain songket. Pewarna sintetik digunakan untuk menambah tampilan pada kain songket. Zat warna sintetis memiliki struktur kimia yang sulit terurai (Utomo et al., 2015), oleh karena itu apabila dibuang ke perairan menyebabkan karsinogenik, dermatis, alergika, iritasi kulit, umumnya memiliki LD50 sebesar 200-500 mg/L per berat badan mencit (Hariani, 2013). Purwaningrum et al., (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kandungan zat warna procion dalam limbah cair industri songket sebesar 1928,31 mg/L dan dari hasil analisis tehadap limbah industri songket yang ada di palembang menunjukkan kandungan COD antara 2960-4066 mg/L, sementara Said (2008) mendapati nilai COD limbah cair yang di hasilkan pada salah satu industri songket adalah sebesar 4993,8 mg/L sedangkan BOD antara 885-1275 mg/L (Hariani, 2013). Industri songket umumnya merupakan industri kecil (home industry) sehingga tidak memiliki sistem pengolahan limbah, oleh karena itu diperlukan cara untuk menangani limbah cair dari industri agar tak berdampak terhadap lingkungan. Adsorpsi menggunakan karbon aktif adalah salah satu cara yang potensial dalam mengatasi limbah cair oleh zat warna. doi: 10.19081/jpsl.2017.7.1.37 Bahan dasar karbon aktif adalah material organik dengan kandungan karbon yang tinggi, seperti ampas tebu yang memiliki kandungan selulosa lebih dari 30%.Ampas tebu merupakan limbah bagi pabrik gula yang dapat digunakan sebagai penjernih perairan yang kotor (Kusharharyati et al., 2012).Karbon aktif ampas tebu digunakan sebagai penyerap zat warna untuk Congo Red (Yoseva et al., 2015) zat warna metilen biru (Utomo et al., 2015), kation basa zat warna (Farahani et al., 2011). Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendapatkan informasi mengenai karakteristik karbon aktif meliputi gugus fungsional menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra Red) dan luas permukaan dengan menggunakan BET (BrunauerEmmett-Teller), (2) menetukan kondisi optimum karbon aktif dengan dengan variabel waktu, berat, dan pH, dan (3) mengetahui karakteristik adsorpsi isothermal Langmuir yang terjadi dan efektifitas penyerapan karbon aktif dari ampas tebu terhadap zat warna procion merah. 2. Metode Ampas tebu sebanyak 500 g dibersihkan dan dirajang kecil-kecil, lalu direndam kedalam NaOH 6% selama 24 jam.Hasil rendaman kemudian dicuci dengan air hingga mencapai pH netral (6-7), lalu dikeringkan dengan menggunakan oven pada temperatur 100˚-110˚C selama 24 jam. Ampas tebu yang telah kering digiling dengan menggunakan penggilingan lalu dikarbonisasi pada suhu 450˚C selama 2 jam, sehingga diperoleh karbon aktif dari 37 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 37-40 ampas tebu sebanyak 72,55 g. Karbon yang dihasilkan kemudian dilakukan karakterisasi FTIR di Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Gajah Mada dan BET di Laboratorium Kimia Instrumen Universitas Negeri Semarang. Pencarian panjang gelombang maksimum untuk pengukuran zat warna procion merah oleh spektrofotometer UV-Vis dilakukan pada larutan standar berkonsentrasi 7 mg/L pada panjang gelombang 500-550 nm. Panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum diperoleh sebesar 542 nm. Panjang gelombang maksimum ini selanjutnyadigunakan ketika mengukur absorbansi larutan standar procion merah (0, 5, 7, 10, 15, dan 20 mg/L) dan larutan dari berbagai perlakukan penelitian. 2.1. Perlakuan Waktu Kontak Karbon aktif yang terbuat dari ampas tebu sebanyak 0,1 g dimasukan kedalam erlenmeyer yang berisi 50 mL larutan standar procion merah berkonsentrasi 20 mg/L. Terdapat lima waktu kontak yang diteliti, sehingga dengan tiga ulangan terdapat total 15 satuan percobaan. Campuran diaduk dengan menggunakan shaker berkecepatan 150 rpm dengan variasi waktu 30, 60, 90, 120, dan 150 menit, lalu campuran didiamkan selama 15 menit selanjutnya disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV Vis untuk kemudian dianalisis untuk memperoleh waktu kontak optimum. 2.2. Perlakuan Berat Karbon Aktif Lima buah Erlenmeyer berisi 50 mL larutan standar procion merah konsentrasi 20 mg/L ditambahkan karbon aktif dari ampas tebu dengan variasi berat 0,1, 0,2, , 0,3, 0,4, dan 0,5 g. Dengan tiga ulangan maka terdapat 15 satuan percobaan. Campuran diaduk dengan shaker berkecepatan 150 rpm selama waktu optimum yang diperoleh sebelumnya, campuran didiamkan selama 15 menit kemudian disaring dengan kertas saring.Filtrat yang diperoleh diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV Vis sehingga diperoleh berat optimum karbon aktif. 2.4. Penentuan Kapasitas Adsorpsi Karbon aktif dari ampas tebu sebanyak 0,1 g dikontakan dengan 50 mL variasi larutan zat warna procion merah berkonsentrasi 100 mg/L; 200 mg/L; 300 mg/L; 400 mg/L; 500 mg/L. Campuran kemudian diaduk dengan menggunakan shaker berekecapan 150 rpm selama waktu kontak optimum, lalu didiamkan selama 15 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV Vis. Penentuan kapasitas adsorpsi karbon aktif dari ampas tebu terhadap larutan zat warna procion merah dilakukan dengan menggunakan model adsorpsi isotermal Langmuir. 2.5. Aplikasi Karbon Aktif Terhadap Limbah Cair Industri Songket Pada Kondisi Optimum Limbah cair industri songket sebanyak 5 mL diencerkan dengan menambahkan HCl 1 M ataupun NaOH 1 M hingga pH optimum pada labu takar 50 mL. Larutan ini kemudian masing-masing ditambahkan karbon ampas tebu sebanyak berat optimum.Masingmasing campuran dicampur dengan menggunakan shaker selama waktu optimum, kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring sehingga diperoleh filtrat kemudian dilakukan pengukuran adsorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil Karakterisasi Karbon Aktif Ampas Tebu dengan Menggunakan FTIR Ampas tebu memiliki komposisi kimia yang didominasi oleh selulosa yaitu sekitar 46% (Fabon et al. 2013).Selulosa yang terkandung dalam ampas tebu menentukan kapasitas adsorpsi, dimana pada selulosa terkandung gugus karboksil (-COO-) dan hidroksil (OH) (Li et al. 2016). Sebagaimana disajikan pada Gambar 1, karbon aktif ampas tebu memiliki gugus fungsi -CO- pada daerah serapan 1705,07 cm-1 dan gugus fungsi –OH pada daerah serapan 3410,15 cm-1. 2.3. Perlakuan pH Karbon aktif dari ampas tebu dengan berat optimum sebagaimana hasil penelitian perlakuan berat karbon aktif dimasukan kedalam erlenmeyer yang berisi 50 mL larutan standar procion merah berkonsentrasi 20 mg/L. Campuran ditetesi HCl 1 M atapun NaOH 1 M agar diperoleh pH 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.Dengan tiga ulangan, maka terdapat 18 satuan percobaan. Campuran diaduk dengan shaker berkecepatan 150 rpm selama waktu kontak yang dihasilkan pada proses sebelumnya, lalu didiamkan selama 15 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV Vis sehingga diperoleh pH optimum karbon aktif. 38 Gambar 1. Spektrum serapan gugus fungsional pada karbon aktif dari ampas tebu. JPSL Vol. 7 (1): 37-40, April 2017 Permukaan karbon memiliki karakter yang unik, yaitu struktur penyerap yang menentukan daya serapnya (Bansal dan Golan, 2005). Karbon aktif dari ampas tebu memiliki luas permukaan 29,21 m2/g dan diameter pori 30,17 Å. Ukuran pori ini tergolong mesopori. Karbon aktif dengan dominasi mesopori umumnya digunakan sebagai penyerap molekulmolekul besar seperti zat warna (Setianingsih et al., 2008). Efisiensi serapan penyerapan sebesar 68,84% seperti pada Gambar 4. 8 Daya Serap (mg/g) 3.2. Hasil Karakterisasi Karbon Aktif Ampas Tebu dengan BET 6 4 2 0 0,1 3.3. Pengaruh Waktu Kontak Karbon Aktif Terhadap Penyerapan Zat Warna Procion Merah 8 6 0,3 0,4 0,5 Berat Karbon Aktif (g) Gambar 3. Grafik pengaruh berat karbon aktif terhadap daya serap oleh karbon aktif dari ampas Tebu. 80 Efisiensi Serapan (%) Daya Serap (mg/g) Waktu kontak merupakan salah satu variabel kondisi optimum adsorpsi yang dicapai oleh karbon aktif, waktu kontak optimum dicapai ketika kesetimbangan adsorben tidak mampu lagi menyerap adsorbat. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa karbon aktif dari ampas tebu memiliki waktu kontak 90 menit dengan daya serapnya sebesar 6,90 mg/g dan efesiensi penyerapan sebesar 69,04%. Setelah 90 menit waktu kontak, daya serap relative tidak meningkat lagi. 0,2 60 40 20 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Berat Karbon Aktif (g) Gambar 4. Efisiensi serapan karbon aktif dari ampas tebu. 4 2 0 30 60 90 120 150 Waktu (menit) Gambar 2. Grafik pengaruh waktu kontak terhadap daya serap oleh karbon aktif dari ampas tebu. Hal ini menunjukkan 1g karbon aktif ampas tebu mampu mengadsorpsi 6,9 mg zat warna procion merah dengan persentase penurunan konsentrasi sebesar 69% dari konsentrasi awal zat warna. 3.4. Pengaruh Berat Karbon Aktif Penyerapan Zat Warna Procion Merah terhadap Efisiensi penyerapan dipengaruhi oleh perbandingan adsorben terhadap adsorbat. Oleh karena itu dilakukan penentuan berat optimum dari karbon aktif ampas tebu dengan memvariasikan berat yakni 0,1; 0,2; 0,3; 04; dan 0,5 gram. Hasil yang didapat, sebagaimana disajikan pada Gambar 3 bahwa diperoleh berat optimum karbon aktif 0,1 g dengan daya serap 6,88 mg/g Jumlah adsorben yang ditambahkan mempengaruhi efisiensi penyerapan, dimana hal ini sebanding dengan jumlah partikel dan luas permukaan karbon aktif sehingga menyebabkan sisi aktif adsorpsi dan efisiensi penyerapan meningkat sementara daya serap menurun dengan bertambahnya penambahan karbon aktif. Ada kemungkinan daya serap meningkat dan belummencapai kondisi optimum, dikarenakan adanya kemungkinan tumbukan antar muka serbuk yang belum intensif sehingga menyebabkan semakin besar kesempatan serbuk berinteraksi dengan zat warna apabila adsoben ditambahkan lebih sedikit. 3.5. Pengaruh pH Larutan terhadap Penyerapan Zat Warna Procion Merah Nilai pH optimum adalah pH dimana adsoben memiliki kemampuan menyerap adsorbat tertinggi, pH awal larutan sebelum ditambahkan NaOH ataupun HCl adalah sebesar 5,37. Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa karbon aktif dari ampas tebu memiliki serapan optimum pada pH 5 dengan daya serap sebesar 7,66 mg/g serta efisiensi serapan 76%. pH memainkan peran penting pada proses penyerapan khususnya pada kapasitas adsorpsi, dimana akan terjadi proses pertukaran ion yang berasal dari gugus reaktif zat warna dengan luas permukaan adsorben. Interaksi antara adsorben dan zat warna dapat terjadi karena ikatan hidrogen yang berperan pada proses adsorpsi. Penurunan daya serap disebabkan oleh adanya pertukaran antara adsorben dan adsorbat, luas permukaan adsorben dan interaksi antara adsorben dan zat warna merupakan faktor dalam menentukan daya serap. 39 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 37-40 4. Kesimpulan Daya Serap (mg/g) 12 8 4 0 4 5 6 7 8 9 pH Gambar 5. Grafik pengaruh pH larutan terhadap daya serap karbon aktif dari ampas tebu. Karbon aktif dari ampas tebu memiliki gugus fungsional -CO- dan -OH dan termasuk karbon aktif mesopori. Adsorpsi zat warna procion merah oleh karbon aktif dari ampas tebu memiliki kondisi optimum waktu kontak ke 90 menit, berat adsorben sebesar 0,1 g, pH optimum 5. Serapan isotermal Langmuir menunjukkan serapan maksimum 0,45 mg/g dan energi serapan 4,35 kJ/mol. Penelitian ini menunjukkan karbon aktif dari ampas tebu dapat digunakan untuk mengurangikadar zat warna procion merah dalam limbah cair industri songket. 3.6. Penentuan Adsorpsi Isotermal Langmuir 5. Saran Adsorpsi isotermal memberikan informasi menganai adsorbat, adsorben dan proses penyerapan yang terjadi. Model adsorpsi isotermal digunakan untuk menentukan daya serap dan menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas adsorbat dengan jumlah zat teradsorpsi pada temperatur konstan. Grafik Isoterm Langmuir (Gambar 6) dibuat dengan memplotkan C sebagai sumbu X dengan C/Q sebagai sumbu Y dimana serapan maksimum sebesar 0,45 mg/g dan energi serapan 4,35 kJ/mol Efisiensi penyerapan yang dilakukan oleh karbon aktif terhadap larutan zat warna procion merah dapat ditingkatkan dengan melakukan perbandingan adsorben terhadap adsorbat yang lebih tinggi. 12 10 C/Q 8 6 4 2 0 -2 6.0798 6.438 7.595 9.1515 10.157 C (mg/L) Gambar 6. Grarik isoterm adsorpsi langmuir karbon aktif dari ampas tebu. Adsorpsi isotermal Langmuir memiliki asumsi dimana adsorben mempunyai permukaan yang homogen dan hanya dapat menyerap satu molekul untuk tiap molekul adsobennya, sehingga setiap area permukaan memiliki energi ikatan yang sama. 3.7. Aplikasi Karbon Aktif Dari Ampas Tebu dan Eceng Gondok Pada Limbah Cair Industri Songket Kondisi optimum penyerapan diperlukan untuk mengetahui daya serap limbah cair dari industri songket oleh karbon aktif dari ampas tebu. Konsentrasi zat warna procion merah limbah cair dari industri songket sebesar 969,28 mg/L, namun ketika ditambahkan karbon aktif pada kondisi waktu kontak 90 menit, berat karbon aktif 0,1 g, dan pH 5 terjadi penurunan konsentrasi 229,87 mg/L dengan efektifitas penyerapan sebesar 76,3%. 40 Daftar Pustaka [1] Bansal, C. R., dan M. Goyal, 2005. Activated Carbon Adsorption. CRC Press, Boca Raton. [2] Fabon, M. B., G. J. Legaspi, K. Leyesa, M. C. Macawile, 2013. Removal of Basic Dye in Water Matrix Using Actived Carbon From Sugarcane Bagasse. International Conference on Innovations in Engineering and Technology, pp. 198-201. [3] Farahani, M., S. R. S. Abdullah, S. Hosseini, S. Shojaeipour, M. Kashisaz, 2011. Adsorption-based Cationic Dyes using the Carbon Active Sugarcane Bagasse. Procedia Environmental Sciences 10, pp. 203 – 208. [4] Hariani, P. L., 2013. Pengolahan limbah cair industri songket menggunakan komposit Fe304 karbon aktif dari cangkang kelapa sawit.Disertasi. Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang. [5] Kusharharyati, T Y., K. W. Deddy, A. Fahmi, 2012. Pengolahan Limbah Pewarnaan Konveksi dengan Bantuan Adsorben Ampas Tebu dan Activated Sludge. Simposium Nasional RAPI XI FT UMS, pp. 51-54. [6] Li, F., K. Shen, X. Long, J. Wen, X. Xie., X. Zeng, Y. Liang, Y. Wei, Z. Lin, Huang, R. Zhong, 2016. Preparation and Characterization of Biochars from Eichornia crassipes for Cadmium Removal in Aqueous Solutions. Journalpone, pp. 113. [7] Purwaningrum, W., L. H. Poedji, N. T. Khanizar, 2013. Adsorpsi Zat Warna procion Merah Pada Limbah Cair Industri Songket Menggunakan Kitin dan Kitosan. Prosiding Seminar FMIPA Universitas Lampung, pp. 423-427. [8] Said, M., 2008. Pengolahan Limbah Cair Hasil Pencelupan Benang Songket dengan Metode Filtrasi dan Adsoprsi. Jurnal Penelitian Sains 11, pp. 479-480. [9] Setianingsih, T., Hasanah, U., Darjito, 2008. Kajian Pengaruh Temperatur Aktivasi dengan NaOH Terhadap Karakter Karbon Aktif Mesopori Berbahan Dasar Limbah Kompleks Lumpur Industri Tekstil Indo. J. Chem 8, pp. 348-352. [10] Utomo, H. D., R. Y. N. Phoon, Z. Shen, L. H. Ng, Z. B Lim, 2015. Removal of Methylen Blue Using Chemical Modified Sugarcane Bagasse. Natural Resources 20, pp. 209-220. [11] Yoseva, P. L., M. Akmal, S. Halida, 2015. Pemanfaatan Limbah Ampas Tebu Sebagai Adsorben untuk Peningkatan Kualitas Air Gambu. JOM FMIPA 2: 56-63. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 41-50 ANALISIS TIPOLOGI TUTUPAN VEGETASI SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN STRATEGI RESTORASI DI AREA IUPHHK-RE PT REKI Typological of Vegetation Cover Analysis as the Basis Strategy of Restoration on IUPHHK-RE PT REKI Nining Nurfatmaa, Prijanto Pamoengkasb, Ika Heriansyahc Program Studi Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana IPB− [email protected] Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 c Divisi Silvikultur, Litbang Kehutanan, Gunung Batu, Bogor 16610 a b Abstract. Harapan rainforest situated in South Sumatera is a restoration area of PT REKI company that highly susceptible to land conversion. The problem faced in the effort of restoration is the restorated area that is too large and has not been tested any silvicultural techniques. The condition of land cover is the basic information that could be used as a reference in the preparation of restoration strategy. The study aimed to determine the level of damage, the condition of the ecosystem, appropriate silvicultural techniques, and plant species restoration priorities. The used methods were analysis of vegetation in 4 typologies (secondary forest, old shrub, young shurb, former akasia plantations). The order of area with the level of damage from the lowest to the highest were: the typology of secondary forest, old shurb, young shrub, and former akasia plantation, respectively. The typology of secondary forests had the highest value of diversity, richness, and evenness (H’>3, Dmg>5, and E>0.6). Relationship between former akasia plantations typology and another tipologies was not germane (euclidean distance> 3.31), and the relationship between seedling and trees in all typologies (with the exception of former akasia plantations) was very high (r> 0.9). Silvicultural techniques that could be done include eradicating A. mangium in the former akasia plantation and planting in the all typologies with the exception of secondary forest. The plants that could be used for restoration are Macaranga sp., K.malaccensis, Nephelium sp., P.gutta, H.mengarawan, S.leprosula. Keywords: Harapan Rain Forest, Silviculture Techniques, Restoration (Diterima: 07-10-2016; Disetujui: 08-12-2016) 1. Pendahuluan Luas hutan Indonesia yang tergolong besar yaitu mencapai 120 juta ha atau 51.3% dari luas daratan wilayah menyimpan sumber daya alam hayati yang berlimpah (KLHK, 2015). Akan tetapi, pengelolaan yang kurang bijaksana mengakibatkan hutan Indonesia mengalami kerusakan, yang berdampak pada penurunan produktifitas hutan dalam menjalankan fungsinya. Laju deforestasi dan degradasi hutan pada periode 2009-2012 adalah sekitar 450,000 ha/tahun (FWI, 2011), dan pada periode 2009-2014 sekitar 9% tutupan hutan berkurang dari 30.1 juta ha menjadi 27.2 juta ha (KLHK, 2015). Luas hutan yang berkurang berdampak secara tidak langsung terhadap perubahan iklim global. Oleh karena itu Indonesia telah berkomitmen untuk berperan aktif dalam Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang pada tahun 2010 berkembang menjadi REDD++. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan melakukan restorasi ekosistem. Upaya nyata yang dilakukan Indonesia dalam merestorasi ekosistem hutan yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 6 Tahun 2007, jo PP Nomor 3 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa kegiatan restorasi ekosistem dalam hutan alam produksi dilakukan dalam kawasan Izin Usaha Pemanfaatn Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) (Kartodiharjo et al., 2014). Menurut Peradoi : 10.19081/jpsl.2017.7.1.41 turan Menteri Kehutanan Nomor: P.64/MenhutII/2014 IUPPHK-RE kegiatan restorasi dilakukan untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim, dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Salah satu perusahaan yang pertama kali melakukan restorasi ekosistem adalah PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia). Perusahaan ini bertanggungjawab merestorasi Hutan Harapan (Harapan Rainforest), yang salah satu area konsesinya berada di Provinsi Sumatera Selatan dengan luas area ± 52,170 ha. Hutan Harapan di wilayah Sumatera Selatan pada tahun 1970 sampai dengan 1990 merupakan area konsesi yang telah diekploitasi besar-besar yang menyebabkan hutan terdegradasi. Selain itu, Hutan Harapan di wilayah Sumatera Selatan termasuk kedalam 10% dari hutan dataran rendah yang tersisa (500,000 ha), bagian dari 34 konservasi hostpot keanekaragaman hayati dataran sunda internasional, kawasan burung endemik, habitat 26 spesies langka dan kritis untuk dilindungi serta tempat tinggal bagi masyarakat adat Batin Sembilan (indegeous people). Oleh karena itu, PT REKI mendapat mandat secara sah untuk melakukan pengelolaan habitat, perlindungan dan upaya restorasi ekosistem hutan (Burung Indonesia et al., 2014). Restorasi yang dilakukan di Hutan Harapan ini salah satu upaya untuk mengurangi tingkat kerusakan ekosistem yang berbasis pada proses pemulihan veg41 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 41-50 etasi. Proses pemulihan tersebut dapat diketahui dari kondisi tutupan kanopi atau vegetasi yang beragam. Kondisi tutupan vegetasi yang beragam dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan. Klasifikasi tingkat kerusakan diduga melalui pendekatan kondisi tegakan khususnya nilai kerapatan. Menurut penelitian Htun et al. (2011) tingkat kerusakan semakin rendah seiring dengan meningkatnya nilai kerapatan tegakan suatu ekosistem. Selain itu tingkat kerusakan yang berbeda berpengaruh terhadap kondisi tegakan, seperti keanekaragaman hayati dan kekayaan jenis yang menjadi karakteristik ekologi suatu tegakan (Bishoff et al., 2005). Kondisi tutupan vegetasi merupakan salah satu informasi dasar yang sangat penting untuk diketahui, dan dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam penyusunan strategi restorasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai Analisis Tipologi Tutupan Vegetasi sebagai Dasar Penyusunan Strategi Restorasi di Area IUPHHK-RE PT REKI dengan tujuan mengetahui kondisi dinamika perubahan ekosistem (suksesi), tingkat kerusakan, hubungan kedekatan antar tingkat permudaan, teknik silvikultur dan jenis tanaman terpilih dalam rangka upaya restorasi di area IUPHHK-RE PT REKI wilayah Sumatera Selatan. 2. Metode 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di area restorasi Hutan Harapan (PT REKI) yang berada di wilayah Sumatera Selatan, terletak diantara 1030 27' 00" – 1030 7' 54" BT dan 020 23' 51" – 020 07' 00" LS, dengan ketinggian tempat antara 30-70 mdpl. Lokasi penelitian secara administrasi kehutanan, termasuk kedalam Dinas Kehutanan Sekayu dan secara administrasi pemerintahan, termasuk kedalam wilayah Kecamatan Batanghari Liko, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, serta termasuk dalam sub-DAS Meranti dan sub-DAS Kapas (Gambar 1). Waktu pelaksanaannya dimulai pada Juni 2016 sampai dengan Juli 2016. Gambar 1. Peta lokasi Penelitian Hutan Harapan Sumatera Selatan. 2.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan bersumber dari data sekunder dan data primer yang berupa data spasial maupun non spasial. Data sekunder yang digunakan meliputi: data Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) dan Risalah Hutan PT REKI, data jenis tanah, data curah hujan stasiun sekayu, peta tutupan lahan hutan hara42 pan wilayah Sumatera Selatan, sedangkan data primer yang digunakan meliputi data analisis vegetasi tahun 2016. 2.3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data analisis vegetasi tahun 2016 diperoleh dengan melakukan observasi lapang. JPSL Vol. 7 (1): 41-50, April 2017 Pembuatan plot mempertimbangkan Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Nomor: P.9/PHPL-SET/2015 dengan membuat lima buah plot berbentuk garis berpetak dengan jarak antar plot sebesar 100 meter, plot tersebut dibuat ditiga lokasi yang mewakili karakteristik dari empat tipologi (hutan sekunder, belukar tua, belukar mudan, dan eks HT akasia) yang ada di lokasi penelitian. 2.4. Analisis Data a. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis vegetasi yang ada di kawasan tersebut. Struktur tegakan dapat diketahui dengan distribusi jumlah pohon berdasarkan kelas diameter, stratifikasi tajuk dan sebaran permudaan (Indriyanto 2008). Komposisi jenis dapat diketahui dengan melakukan analisis data meliputi menghitung nilai Kerapatan Jenis (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D), dan Dominansi Relatif (DR) dengan rumus sebagai berikut: Kerapatan Jenis (K) = Kerapatan Relatif (KR) = Frekuensi Jenis (F) Jumlah individu suatu jenis Luas plot pengamatan Jumlah individu suatu jenis x 100% Luas plot pengamatan Jumlah plot ditemukannya suatu jenis = Luas plot pengamatan Frekuensi Relatif Jumlah plot ditemukannya suatu jenis (FR) = x 100% Luas plot pengamatan Frekuensi Relatif Jumlah plot ditemukannya suatu jenis (FR) = x 100% Luas plot pengamatan = Dominasi suatu jenis x 100% Luas plot pengamatan Dominansi Relatif (DR) = Dominasi suatu jenis x 100% Dominasi seluruh jenis Dominansi Jenis (D) Nilai kekayaan jenis (Dmg) (S-1) Dmg = ( ln (N) ) Keterangan : Dmg = indeks kekayaan jenis S = jumlah jenis yang ditemukan N = jumlah total individu Nilai kemeratan jenis (E) E’ = H’ / ln(S) Keterangan: E’ = indeks kemerataan jenis H’ = indeks keanekaragaman jenis tumbuhan S = jumlah jenis Indeks Dominansi Jenis (ID) ID = ∑ n ni ( i=0 N )2 Keterangan : ID = indeks dominansi ni = INP jenis i N = total INP Indeks kesamaan komunitas (IS) 2W IS = x 100% a+b Keterangan : IS = indeks kesamaan komunitas W = jumlah nilai yang sama dan nilai terendah dari jenisjenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan a = jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada komunitas pertama b = jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada komunitas kedua b. Analisis Kerusakan Hutan Analisis kerusakan hutan ini digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat kerusakan yang ada di area restorasi Hutan Harapan (PT REKI) Sumatera Selatan, yang menjadi pertimbangan dalam penentuan teknik silvikultur yang tepat dalam melakukan upaya restorasi. Tahapan yang dilakukan meliputi perhitungan nilai kerapatan dan persen perubahan vegetasi dengan membandingkan nilai kerapatan setiap tipologi dengan nilai kerapatan tipologi hutan sekunder sebagai ekosistem referensi. c. Frekuensi Raunkaier Hukum Frekuensi Raunkaier digunakan untuk melihat penyebaran jenis dalam komunitas, yang diklasifikasikan kedalam lima kelas terlihat pada Tabel 1 (Misra, 1980). Indeks Nilai Penting (INP) INP Semai = KR + FR INP Pancang, Tiang, Pohon = KR + FR + DR Nilai Keanekaragaman jenis (H’) S H' = - ∑ pi ln (pi ) dimana i=1 pi = ni ni = s ∑ N i=1 ni Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman jenis N = Total INP ni = INP jenis ke-i, dan 43 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 41-50 Tabel 1. Frekuensi sebaran jenis menurut hukum frekuensi Raunkaier Klasifikasi Jumlah jenis dengan frekuensi A 1 – 20% B 21 – 40% C 41 – 60% D 61 – 80% E 81 – 100% analisis vegetasi akan dilakukan seleksi data mengenai jenis yang dipilih untuk prioritas restorasi. Jenis terpilih merupakan jenis-jenis asli (endemik) yang terdiri dari beberapa spesies untuk menghindari terjadinya dominasi suatu spesies (monokultur). Jenis yang terpilih hendaknya memiliki permudaan alam yang melimpah atau ketersediaan buah yang cukup banyak untuk dijadikan bahan tanaman (Sutomo, 2009). Komunitas hutan alam terdistribusi secara normal apabila: A > B > C > D < E; atau A > B > C = D < E; atau A>B>C<D<E 3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan huruf yang ditunjukkan, dapat diketahui kondisi penyebaran jenis dalam suatu komunitas, dengan kriteria sebagai berikut: a) Komunitas tergolong homogen, apabila E > D b) Komunitas tergolong terganggu, apabila E < D c) Komunitas tergolong buatan, apabila A, E tinggi d) Komunitas tergolong heterogen, apabila B, C, D tinggi a. Kondisi fisik wilayah Kondisi fisik di areal restorasi hutan harapan wilayah Sumsel diklasifikasikan berdasarkan kondisi tutupan lahan, yaitu: Hutan lahan kering sekunder (48.09%), belukar tua (40.34%), belukar muda dan semak (9.29%), tanah terbuka (0.27%), awan (2%). Klasifikasi tersebut didasarkan dari hasil interpretasi citra Landsat tahun 2015 yang disahkan oleh Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Surat Nomor: S.410/IPSDH-2/2015 tanggal 10 Desember 2015.Kondisi topografi di areal sumsel 89% tergolong datar (0-8%) dan sekitar 11% bertopografi landai (8-15%). d. Hubungan kedekatan antara tingkat permudaan Hubungan kedekatan antara tingkat permudaan dapat diketahui melalui dua metode yaitu: Analisis Kluster Analisis kluster atau disebut juga analisis gerombol digunakan dalam menggelompokkan objek pengamatan berdasarkan kesamaan yang dimiliki. Prinsip yang diterapkan dalam analisis ini adalah ukuran kedekatan atau kemiripan berdasarkan jarak euclidean (eucidean distance) dari setiap individu penyusun komposisi suatu ekosistem yang disajikadalam bentuk dendrogram (Ludwig & Reynolds, 1988) dengan menggunakan software Minitab. Ordinansi Principal Components Analysis Principal Components Analysis (PCA) adalah salah satu metode ordinasi yang digunakan dalam ilmu ekologi. Prinsip PCA adalah menyederhanakan matriks yang komplek ke dalam suatu komponen sumbu orthogonal, menerjemahkan nilai Eigen dari varibel nilai yang tercatat dan dapat diterapkan untuk matriks yang menggunakan jarak eucladean. Metode ini merupakan teknik statistik yang secara linear mengubah bentuk sekumpulan variabel asli menjadi variabel yang lebih kecil yang tidak berkorelasi yang dapat mewakili informasi dari kumpulan variabel asli dan untuk menemukan variabel mana dalam kumpulan tersebut yang berhubungan dengan lainnya (Ludwig dan Reynolds, 1988). Data yang digunakan dalam analisis ini berupa data hasil perhitungan Indeks Similarity (IS) antar tingkat permudaan pada setiap tipologi, yang disajikan dalam bentuk loading plot dan scree plot atau keduanya (biplot) dengan menggunakan software Minitab. e. Jenis Spesies Prioritas Jenis prioritas dapat diketahui berdasarkan hasil analisis data sekunder maupun data primer. Data hasil 44 3.1. Kondisi Umum b. Kondisi geologis dan klimatis Hutan harapan memiliki formasi geologi utama (air benakat, kasai, muaraenim) dan termasuk aluvial (8%), latosol (24%), planosol (33%) dan podsolik (35%). Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson, lokasi penelitian termasuk tipe iklim A (sangat basah) dengan pola distribusi hujan basah sepanjang tahun dengan nilai Q = 0 (tanpa bulan kering). Nilai Q merupakan perbandingan antara jumlah rata-rata bulan kering (< 60 mm) dan jumlah rata-rata bulan basah (> 100 mm). 3.2. Kondisi Vegetasi a. Struktur Tegakan Hutan hujan tropis disebut hutan heterogen tidak seumur (uneven-aged forest) dikarenakan setiap tapaknya memiliki komposisi jenis yang heterogen dengan struktur tegakan yang beragam. Struktur tegakan menunjukkan ketersediaan tegakan pada setiap kelas diameter (Muhdin et al., 2008). Struktur horizontal menunjukkan bahwa tipologi hutan sekunder dan belukar tua merupakan tegakan yang produktif (terlihat dari Gambar 2 yang berbentuk eksponensial negatif dengan nilai determinasi 0.98 dan 0.97), yang ditandai dengan kehadiran pohon berdiamater 40 cm, selain itu ketersediaan tegakan yang tinggi pada pohon kelas diameter kecil menjamin kelangsungan tegakan dimasa mendatang apabila terjadi kerusakan pada pohon kelas diameter besar (Suwardi et al., 2013). Nilai determinasi lebih besar dari 0.95 menunjukkan bahwa kontribusi nilai kelas diameter terhadap variasi (naik turunnya) nilai kerapatan di dua lokasi JPSL Vol. 7 (1): 41-50, April 2017 tersebut sebesar lebih dari 95%, sedangkan sisanya kurang dari 5% disebabkan oleh faktor lain (Supranto, 2009). Tipologi Eks HT akasia yang diteliti tidak dapat dibuat persamaan ekponensial karena jumlah pohon yang ditemukan hanya satu jenis yaitu Acacia mangium. Struktur vertikal suatu tegakan dapat diketahui dari hubungan kerapatan dengan stratifikasi tajuk dan tingkat permudaan. Stratifikasi tajuk di plot penelitian disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Nilai kerapatan berdasarkan stratifikasi tajuk (N/ha) Stratifikasi tajuk Tipologi A (>30 m) B (20-30 m) C (4-20 m) D (1-4 m) E (0-1 m) Hutan sekunder 30 120 688 4640 65500 Belukar tua 8 60 438 5008 56250 Belukar muda 0 15 188 2280 15750 Eks HT akasia 0 0 5 1160 3827750 45 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 41-50 Tabel 2 menunjukkan bahwa semua tipologi yang diamati menunjukkan bahwa nilai kerapatan tertinggi terdapat pada stratum E. Stratum E ini dominannya merupakan jenis permudaan tingkat semai. Stratifikasi A-C lebih banyak ditemukan di tipologi hutan sekunder. Hal ini mengindikasikan bahwa pada ti- pologi hutan sekunder terdapat pohon-pohon yang lapisan teratasnya mengalahkan atau menguasai pohon-pohon lebih rendah, yang menjadi penciri dari komunitas yang bersangkutan (Soerianegara & Indrawan 2014). Gambar 3. Stuktur tegakan berdasarkan ketersedian tingkatan permudaan di beberapa tipologi. Gambar 3 menunjukkan kurva J terbalik yang terbentuk disemua tipologi. Kurva tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan berada dalam kondisi yang seimbang dimana, tingkat pemudaan tersedia dalam jumlah yang cukup (tingkat semai>tingkat pancang>tingkat tiang>tingkat pohon) dan terjaminnya kelangsungan regenerasi dari permudaan tersebut (Dendang & Handayani 2015). wak (Polyalthia rumphii), siluk (Gironniera hirta), medang telur (Alseodaphne malabonga), bidang (Artocarpus kemando), kempas (Koompassia malaccensis), sigam (Polyalthia beccarii), kayu kuning (Santiria griffithii), dan kelat merah (Syzygium laxiflorum). Famili yang ditemukan sebagian besar hanya diwakili 1-3 spesies, famili yang memiliki jumlah spesies relatif banyak (≥ 3) adalah famili Euphorbiaceae, salah satu jenis yang selalu hadir di berbagai tingkat permudaan dari famili tersebut adalah Bacaurea racemosa. Jenis ini memiliki nama lokal menteng/kepundung/bencoy yang termasuk kedalam tanaman budidaya yang dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 m dpl pada hampir semua tipe dan jenis tanah (Siregar 2005). b. Komposisi jenis Lokasi penelitian yang diambil mempunyai karakteristik berbeda. Karakteristik yang berbeda pada setiap tipologi tentunya akan menciptakan susunan komposisi jenis yang berbeda. Peneliti melakukan klasifikasi jenis antara spesies pionir dan klimaks yang mengacu pada Ghazoul dan Sheil (2009). Jenis klimaks yang mendominasi di tipologi hutan sekunder dari tingkat semai s/d pohon meliputi merpayang (Scaphium macropodum), asam-asam (Baccaurea racemosa), bebras (Aporosa elmeri), darah-darah (Knema latifolia), renai (Antidesma montanum), kelat putih (Syzygium longiflorum), kemenyan (Styrax benzoin), rambutan (Nephelium cuspidatum, kayu gading (Hydnocarpus polypetala), kayu biaya- c. Indeks Nilai Penting (INP) Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat diketahui dari besar kecilnya Indeks Nilai Penting, dimana semakin tinggi INP yang dimiliki maka jenis tersebut semakin mendominasi. Hasil analisis INP dilokasi penelitian terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis INP pada semua tingkat permudaan dibeberapa tipologi INP tingkat permudaan Tipologi Hutan sekunder Semai Stachyphrynium repens (91%) Andira inermis (28%) Pancang Bellucia pentamera (21%) Gironniera hirta (42%) Baccaurea racemosa (10%) Knema latifolia (28%) Syzygium longiflorum (27%) Peronema canescens (37%) Antidesma montanum (10%) Belukar tua Belukar muda 46 Macaranga gigantea (43%) Croton argyratus (26%) Byttneria curtisii (18%) Macaranga trichocarpa (21 %) Aporosa elmeri (14%) Xylopia malayana (12%) Pyrrosia polydactyla (93%) Clidemia hirta (35 %) Tiang Dendrocalamus sp (67%) Hevea brasiliensis (17%) Croton argyratus (36%) Lithocarpus bancanus (15%) Lithocarpus bancanus (71%) Nephelium cuspidatum (68%) Pohon Hydnocarpus polypetala (20%) Syzygium laxiflorum (15%) Peronema canescens (34%) Barringtonia scortechinii (33%) Pertusadina multifolia (31%) Balakata baccata (76%) Lithocarpus elegans (75%) JPSL Vol. 7 (1): 41-50, April 2017 INP tingkat permudaan Tipologi Eks HT akasia Semai Pancang Tiang Pohon Psychotria viridiflora (23%) Imperata cylindrica (102%) Ageratum conyzoides (73%) Gigantochloa scortechinii (200%) Elaeocarpus stipularis (42%) Dysoxylum arborescens (42%) Acacia mangium (119%) Acacia mangium (300%) Acacia mangium (300%) Dendrocalamus sp. (67%) Hasil perhitungan INP di seluruh tingkat permudaan yang memiliki nilai INP yang lebih dari 10 mengindikasikan bahwa terdapat jenis dominan yang memanfaatkan kondisi lingkungan secara optimal dan efisien sehingga ketahanan dan pertumbuhan dari jenis tersebut lebih stabil dibandingkan jenis yang lain (Mawazin dan Subiakto, 2013). Jenis-jenis dominan tersebut menjadi penciri kondisi ekosistem, pada tipologi eks HT akasia vegetasi alang-alang (I.cylindrical) dan semak-semak kecil (A.conyzoides) mendominasi di lokasi tersebut. Hal ini menunjukkan proses suksesi pada areal terganggu diawali dengan pertumbuhan jenis rerumputan. Kemudian muncul belukar dan herba dari famili Melastomataceae (C.hirta) dan Polypodiaceae (P.polydactyla) yang ditemukan pada tipologi belukar muda. Selanjutnya akan tumbuh pohon hutan sekunder seperti jenis pioneer Macaranga, Baccaurea yang ditemukan pada tipologi belukar tua. Terakhir, akan tumbuh jenis-jenis Dipterocarpaceae (Shorea sp.) yang ditemukan pada tipologi hutan sekunder tua (Soerianegara dan Indrawan, 2014). Dominansi jenis di belukar tua dan hutan sekunder yang tidak sesuai dengan Soerianegara dan Indrawan (2014) diduga karena proses suksesi yang belum mencapai klimaks dimana tegakan masih didominasi oleh jenis-jenis yang intoleran (tidak tahan naungan). d. Nilai indeks keanekaragaman (H’), kekayaan (DMg), kemerataan (E), dominansi (ID) Perhitungan nilai indeks keanekaragaman, kekayaan, kemerataan dan dominasi bertujuan untuk mengetahui kondisi vegetasi di dalam suatu komunitas. Hasil perhitungan keempat indeks tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan nilai indeks H’, Dmg, dan E untuk tingkat pohon terbesar berada pada tipologi hutan sekunder sedangkan terendah pada eks HT akasia. Hal ini dikarenakan jumlah spesies yang temukan di hutan sekunder lebih banyak dan tersebar secara merata serta interaksi spesies yang terjadi tergolong tinggi dibandingkan tipologi lain, sehingga mempengaruhi dari tiga nilai indeks tersebut. Selain itu nilai keragaman yang tinggi menunjukkan bahwa ekosistem hutan sekunder merupakan ekosistem yang stabil terhadap gangguan. Kemudian nilai ID berbanding terbalik dengan tiga nilai lainnya, dimana terendah terdapat pada tipologi hutan sekunder dan tertinggi pada Eks HT akasia. Hal ini diduga karena pada tipologl eks HT akasia khususnya tingkat pohon terjadi penguasaan oleh jenis Acacia mangium, sedangkan di hutan sekunder spesies tersebar merata (Indriyanto, 2006). 3.3. Analisis Kerusakan Hutan Klasifikasi tingkat kerusakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai kerapatan, dimana tingkat kerusakan dapat diduga dari perhitungan persentase perubahan vegetasi. Persentase tersebut dapat dihitung dengan menggunakan data hasil ground check dari tipologi hutan sekunder sebagai acuan atau data pembanding terhadap tiga tipologi lainnya. Hasil perhitungan persen perubahan vegetasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase perubahan kerapatan terbesar diduga berada pada tipologi eks HT akasia, sedangkan yang terendah berada pada hutan sekunder. Nilai persen perubahan kerapatan menjadi landasan dalam klasifikasi tingkat kerusakan. Urutan tipologi berdasarkan tingkat kerusakan dari tinggi ke rendah meliputi: tipologi eks HT akasia dan belukar muda (tinggi), belukar tua (sedang), hutan sekunder (rendah). Hasil ini sesuai dengan dugaan Onrizal et al. (2005) yang menyatakan bahwa antara nilai kerapatan vegetasi dengan tingkat kerusakan terdapat suatu hubungan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Iskandar et al. (2012) yang menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai kerapatan vegetasi dengan tingkat kerusakan. Tingkat kerusakan yang berbeda diduga karena gangguan dan kondisi yang berbeda (Partomihardjo, 2011), dimana pada tipologi Eks HT akasia disebabkan oleh kebakaran hutan dengan intensitas tinggi di tahun 2015. Kemudian pada belukar muda diduga terdapat beberapa jenis tanaman yang mati karena kondisi persaingan hara dan cahaya yang cukup tinggi antara tanaman pionir dengan jenis bambu. Selanjutnya pada belukar tua terjadi penurunan diduga karena adanya beberapa lokasi yang memiliki kondisi vegetasi hampir menyerupai tipologi hutan sekunder yang ditandai dengan kelimpahan jenis klimaks yang hampir menyeluruh. Terakhir pada hutan sekunder kondisi persaingan lebih stabil dimana pada fase ini jenis semi toleran dan intoleran mulai menempati kondisi klimaks. 47 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 41-50 Tabel 4. Nilai indeks keanekaragaman (H’), kekayaan(DMg), kemerataan (E), dominansi (ID) tingkat permudaan pada setiap tipologi hutan Tipologi H’ DMg E ID Semai Hutan sekunder 3.49T 10.95T 0.94 T 0.47 S Belukar tua 3.16T 9.15 T 0.90 T 0.07 R S T T 0.08 R Belukar muda 2.68 5.96 0.93 Eks HT akasia 2.25 S 6.11 T 0.76 T 0.18 R Hutan sekunder 3.42 T 9.61 T 0.97 T 0.04 R Belukar tua 3.20 T 8.79 T 0.94 T 0.06 R R S T 0.24 R Pancang Belukar muda 1.78 3.50 0.83 Eks HT akasia 1.50 R 2.49 R 0.93 T 0.24 R Hutan sekunder 3.01 T 6.68 T 0.98 T 0.05 R Belukar tua 2.68 S 8.92 T 0.97 T 0.08 R R R T 0.17 R Tiang Belukar muda 1.81 2.93 0.98 Eks HT akasia 0.00 R 0.00R 0.00 R 1.00 T Hutan sekunder 3.41T 8.94 T 0.99 T 0.04 R Belukar tua 2.81 S 5.87 T 0.98 T 0.07 R S S T 0.14 R 0.00 R 1.00 T Pohon Belukar muda 2.07 Eks HT akasia 0.00 R 3.48 0.99 0.00 R Keterangan: R (rendah), S (sedang), T (tinggi). Tabel 5. Dugaan persentase perubahan tutupan vegetasi dibeberapa tipologi Kerapatan (N/ha) Kisaran nilai kerapatan (N/ha) % perubahan Hutan sekunder 206 185 – 226 ±100.00* Belukar tua 120 100 – 140 ±58.25 Belukar muda 45 30 – 60 ±21.84 0–5 ±2.43 Tipologi Eks HT akasia 5 Keterangan: * = hutan sekunder dijadikan ekosistem referensi. 3.4. Hukum Frekuensi Raunkaier Hasil analisis menunjukkan kelas frekuensi Raunkaier di lokasi penelitian sebagai berikut: A>B>C=D=E (tipologi hutan sekunder A=25, B=5, C,D,E=0, belukar tua A=7, B=2, C,D,E=0 belukar muda A=7, B,C,D,E=0, eks HT akasia A=1, B,C,D,E=0) yang berarti semua tipologi berdasarkan sebaran jenisnya tidak tersebar secara normal dan dominan nilai A yang tinggi mengindikasikan diseluruh tipologi mengalami gangguan. Oleh karena itu dilakukan analisis lanjut secara cluster untuk mengetahui hubungan antar tingkat permudaan. 3.5. Hubungan kedekatan antar tingkat permudaan a. Analisis Kluster 48 Data analisis yang digunakan merupakan nilai IS pada tingkat permudaan di beberapa tipologi yang di teliti. Pengelompokkan atau clustering ini didasarkan pada euclidean distance untuk mengetahui hubungan asosiasi dari variabel yang diobservasi (Zuur et al., 2007). Kedekatan hubungan yang terbentuk dapat diketahui dari besar kecilnya jarak euclidean, dimana semakin kecil jarak yang terbentuk maka semakin erat hubungan yang terjalin. Rata-rata jarak yang digunakan sebesar 3.31, berdasarkan jarak tersebut terlihat bahwa antara tipologi eks HT akasia dengan tipologi lainnya tidak memiliki hubungan yang erat. Hal ini diduga karena komposisi penyusun antara tipologi eks HT akasia dengan tipologi lainnya sangat berbeda, sehingga mempengaruhi nilai kesamaan yang dihasilkan. JPSL Vol. 7 (1): 41-50, April 2017 b. Prinsipal Component Analysis Prinsipal Component Analysis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan kedekatan antar tingkat permudaan dikhususkan pada hubungan nilai kesamaan (indeks similiarty) antara tingkat semai dengan pohon. Hal ini diduga karena proses regenerasi suatu vegetasi didukung oleh keberadaan permudaan khususnya pada tingkat semai. Hasil analisis mengenai hubungan kedekatan antar semai dan pohon dibeberapa tipologi disajikan pada Gambar 4. Score plot hubungan se mai de ngan pohon dibe be rapa tipologi 2 BM3P BM3S BT 1P BT 1S BM1P BM1S BT 2S Second Component 1 BT 2P BM2P BM2S EH1S EH1S 0 EH3S HS3S EH2S HS3P EH3S -1 HS2P EH2S HS2S BT 3P HS1 S BT 3S HS1P -2 -4 -3 -2 -1 First Component 0 1 2 Gambar 4. Score plot hubungan semai dan pohon di beberapa tipologi (Ket: eks HT akasia=EH, belukar muda=BM, belukar tua=BT, hutan sekunder=HS, *angka dibelakang huruf menunjukkan urutan lokasi). Gambar 4 menunjukkan titik semai dengan pohon di beberapa tipologi, dimana semakin dekat titik yang digambarkan maka mengindikasikan adanya hubungan. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa hubungan korelasi di semua tipologi (terkecuali tipologi lahan terbuka lokasi dua dan tiga) memiliki nilai korelasi yang sangat tinggi (r>0.90). 3.6. Teknik silvikultur dan jenis prioritas Teknik silvikultur yang dapat dilakukan harus mempertimbangkan tingkat kerusakan yang terjadi. Tipologi eks HT akasia berdasarkan citra termasuk kedalam tipologi lahan terbuka, akan tetapi intensitas kebakaran yang tinggi menyebabkan tingkat kerusakan tergolong tinggi hal ini menyebabkan jenis alangalang mendominasi pada tingkat semai dan akasia mendominasi pada tingkat pancang (kerapatan dilokasi pertama 480/ha, lokasi ketiga 1780/ha) Menurut Heriansyah et al., (2007) biomassa dan volume jenis akasia di hutan Sumatera Selatan mencapai produksi maksimal pada umur tanaman muda. Oleh karena itu perlu upaya pembebasan jenis akasia dan perlu dilakukan penanaman (enrichment planting) jenis asli yang bersifat pioner. Salah satunya penanaman jenis macaranga (Macaranga sp.). Kemudian setelah tutupan tajuk terbentuk atau cahaya matahari masuk kedalam tajuk sebesar 40% maka dilakukan penanaman jenis semi klimaks salah satunya jenis Baccaurea sp. Tingkat kerusakan pada tipologi belukar muda tergolong tinggi diduga karena kerusakan yang diakibatkan oleh ilegal logging sehingga jumlah individu dari jenis klimaks pada semua tingkat permudaan tidak lebih dari 1 individu, dan pada tingkat pancang didominasi oleh komunitas bambu (kerapatan dilokasi pertama 1040/ha, kerapatan dilokasi kedua 1680/ha). Intervensi silvikultur yang dapat dilakukan pengkayaan jumlah jenis dan jumlah individu dari jenis klimaks, dengan cara menanam jenis asli dalam jalur yang bernilai ekonomis, mampu beradaptasi diberbagai kondisi, mudah dikembangkan, cepat tumbuh dan tahan naungan (Pamoengkas, 2011). Jenis terpilih untuk penanaman adalah jenis spesies kunci yang tersedia dilokasi tetapi dalam jumlah yang sedikit (Koompassia malaccensis dan Nephelium sp.) dan pengkayaan jenis klimaks yang ditemukan di belukar tua tetapi tidak ditemukan belukar muda (Palaquium gutta, Hopea mengarawan, Shorea leprosula). Selanjutnya tingkat kerusakan pada tipologi belukar tua dan hutan sekunder tergolong sedang dan rendah. Kondisi hutan klimaks umumnya dicirikan dengan pertumbuhan jenis klimaks dari famili Dipterocarpaceae. Famili tersebut tidak ditemukan di semua tingkat permudaan di tipologi belukar tua dan hutan sekunder lokasi ketiga diduga karena jenis famili ini termasuk kedalam kategori kayu komersial yang diekspoitasi secara luas pada tahun 1970-1990an. Oleh karena itu upaya penanaman beberapa jenis dari famili Dipterocarpaceae sangat diperlukan, sedangkan pada tipologi hutan sekunder perlu pengawasan agar suksesi alami yang sedang terjadi tidak mengalami gangguan. Salah satu jenis yang perlu ditanam di belukar tua adalah jenis S.leprosula, dimana jenis ini termasuk kedalam salah satu jenis kunci yang mendominasi pada ekosistem referensi. Pemilihan jenis prioritas restorasi didasarkan pada data jenis pohon hasil uji petik yang termuat dalam ringkasan eksekutif analisis dampak lingkungan (AMDAL) PT REKI, dimana jenis Macaranga sp. merupakan jenis pionir yang mampu tumbuh di berbagai tempat tumbuh baik di hutan produktif mau49 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 41-50 pun kurang produktif. Kemudian untuk jenis K. malaccensis dan Nephelium sp merupakan jenis pakan satwa yang sangat berperan penting dalam kelangsungan hidup satwa liar, dimana jenis beruang madu, lebah madu, dan burung pemakan biji umumnya menjadikan pohon kempas sebagai tempat bersarang, sedangkan pohon rambutan merupakan sumber penghasil buah yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup satwa salah satunya jenis monyet. Kemudian jenis P.gutta, H.mengarawan, dan S.leprosula termasuk kedalam jenis kayu komersial, dua diantaranya termasuk kedalam jenis Dipterocarpacea yang langka dan dilindungi. [5] [6] [7] [8] [9] [10] 4. Kesimpulan dan Saran [11] 4.1. Kesimpulan Kondisi vegetasi di hutan sekunder cenderung stabil yang ditunjukkan dengan nilai H’, Dmg, E yang tinggi, sedangkan di tipologi lainnya nilai tersebut menurun seiring dengan keterbukaan tajuk. Urutan tingkat kerusakan dari tinggi ke rendah meliputi tipologi eks HT akasia, belukar muda, belukar tua dan hutan sekunder. Hubungan tingkat permudaan bervariatif setiap tipologi, sedangkan hubungan antara semai dan pohon berkorelasi kuat di semua tipologi. Teknik silvikultur yang perlu dilakukan adalah pembebesan jenis A.mangium pada tipologi eks HT akasia, penanaman pada semua tipologi terkecuali hutan sekunder, sebagai upaya memperkaya jumlah individu dari jenis klimaks di tipologi belukar muda dan memperkaya jumlah jenis di belukar tua. Jenis tanaman terpilih untuk restorasi meliputi Macaranga sp., K.malaccensis, Nephelium sp., P.gutta, H.mengarawan, S.leprosula. [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] 4.2. Saran [19] Identifikasi mengenai jenis prioritas restorasi perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek salah satunya kualitas tempat tumbuh. Kualitas tumbuh berpengaruh terhadap kesesuaian jenis yang tumbuh. Jenis yang tumbuh akan mempengaruhi struktur dan komposisi yang terbentuk. [20] [21] [22] Daftar Pustaka [23] [1] [2] [3] [4] 50 Bischoff, W., D. M. Newberry, M. Lingenferder, R. Schnaeckel, G. H. Petol, L. Madani, C. E. Risdale, 2005. Secondary Succesion and dipterocarpaceae recruitment in Borneo Rain forest after logging. Forest Ecology Management 218 (2005), pp.174-192. Burung Indonesia, Royal Societ for Protection of the Birds, Harapan Rainforest Management Unit, 2014. Rencana Pengelolaan Strategi Hutan Harapan 2014-2040. PT REKI, Bogor. Dendang B., W. Handayani, 2015. Struktur dan komposisi tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 4 (1), pp.691695. [FWI] Forest Watch Indonesia, 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013. Forest Watch Indonesia, Bogor. Ghazoul, J., D. Sheil, 2009. Tropical Rain Forest Ecology, Diversity, and Conservation. Oxford University Press, New York. Heriansyah, I., I. Miyakuni, T. Kato, Y. Kiyono, Y. Kanazawa, 2007. Growth characteristics and biomass of Acacia mangium under different management practices in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science 19 (4), pp 226-235. Htun, N.Z., N. Mizoue, S. Yoshida, 2011. Tree species composition and diversity at different levels of disturbance in Popa Mountain Park, Myanmar. Biotropica 43 (5), pp. 597– 603. Indriyanto, 2008. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara, Jakarta. Indriyanto, 2006. Pengantar Budidaya Hutan. PT Bumi Aksara, Jakarta. Katrodiharjo, H., Bismak, I. Heriansyah, M. Silalahi, A.U. Budi, K. Zaini, Asmul, A. Ayat, Andriansyah, S. Sitorus, Y. Cahyadin, 2014. Naskah Akademik Rancangan Peraturam Pengelolaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem. PT REKI, Jambi. [KLHK] Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015. Statistik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. KLHK, Jakarta. Ludwig, A.J, F.J. Reynolds, 1998. Statistical Ecology. Wiley & Sons Inc, New York. Mawazin, A. Subiakto, 2013. Keanekaragaman dan komposisi jenis permudaan alam hutan rawa gambut bekas tebangan di Riau. Forest Rehabilitation Journal 1 (1), pp. 59-73. [Menhut] Menteri Kehutanan. 2014. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.64/Menhut-II/2014 tentang Penerapan Silvikultur dalam Area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem pada hutan Produksi. Kementrian Kehutanan, Jakarta. Misra, C.K, 1980. Manual of Plant Ecology. 2nd ed. Oxford and IBH Publishing Co, New Delhi. Muhdin, E. Suhendang, D. Wahjono, H. Purnomo, Istomo, dan B. C. H Simangunsong, 2008. Keragaman struktur tegakan hutan alam sekunder. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 14 (2), pp. 81-87. Pamoengkas, P., 2011. Tinjauan silvikultur dan penerapannya dalam pengelolaan hutan alam produksi. Di dalam Sabaruddin, U. Wiharjo, A. Satya, D. Pirnanda. Prosiding Lokakarya Nasional Membangun Strategi Pengelolaan Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi; 2011 Okt 11-12; Palembang, Indonesia. PT REKI, Palembang, pp. 24-34. Siregar, N, 2005. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Jilid V. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor. Soerianegara, I., A. Indrawan. 2014. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor. Supranto, J, 2009. Statistik: Teori dan Aplikasi Edisi Ketujuh. Erlangga, Jakarta. Sutomo, 2009. Kondisi vegetasi dan panduan inisiasi restorasi ekosistem hutan di bekas area kebakaran Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu Bali (suatu kajian pustaka). Jurnal Biologi 8 (2), pp. 45-50. Suwardi, A. B., E. Mukhtar, Syamsuardi, 2013. Komposisi jenis dan cadangan karbon di hutan tropis dataran rendah, Ulu Gadut, Sumatera Barat. Berita Biologi 12 (2), pp. 169176. Zuur, A.F., E. N. Ieonp, G.M Smith, 2007. Analysing Ecological Data. Springer Science, New York. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 72-78 PERAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) DAN ASAM HUMAT TERHADAP PERTUMBUHAN BALSA (Ochroma bicolor Rowlee.) PADA TANAH TERKONTAMINASI TIMBAL (Pb) The Role of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) and Humid Acid Toward Balsa (Ochroma bicolor Rowlee.) Growth on Soil Contaminated by Lead (Pb) Fatimah Nur Istiqomaha, Sri Wilarso Budib, Arum Sekar Wulandarib Program studi Silvikultur Tropika, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 [email protected] b Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 a Abstract. The aims of this research were to analyze the role of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and humid acid toward balsa (Ochroma bicolor Rowlee.) growth on soil contaminated by lead (Pb) and to analyze Pb accumulation in balsa. This study used a split split plot design. The main plot was AMF with 5 levels; without AMF (A0), AMF from secondary forest (A1), AMF from rubber natural forest (A2), AMF from oil palm plantations (A3), and AMF from rubber plantations (A4). The subplot was humic acid with 2 levels; no humic acid (B0) and 100 mL humic acid (B1). The sub subplot was Pb with 3 levels; 0 ppm Pb (C0), 500 ppm Pb (C1), and 750 ppm Pb (C2). Observations of balsa seedlings was done until age of 22 weeks after planting in the greenhouse. Variables observed were height (cm), diameter (mm), shoot dry weight (g), root dry weight (g), FMA colonization (%), and the accumulation of Pb (ppm). The role of AMF and humic acid was more effective on the soil with 0 ppm of Pb than at 500 ppm of Pb and 750 ppm of Pb. AMF from rubber natural forest was the most effective AMF to increase diameter, root dry weight and shoot dry weight. Humic acid was able to increase the growth of height of 22.87% and diameter of 24.86% better than no humic acid. Pb accumulation in the entire plant tissue was more than 1000 ppm. It inhibited the growth of balsa seedlings and causing dead in 17.52% plant. Keywords: Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Pb, humid acid, Ochroma bicolor, phytoremediation (Diterima: 26-12-2016; Disetujui: 13-02-2017 1. Pendahuluan Logam timbal (Pb) merupakan salah satu logam berat yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan organisme lainnya. Logam berat Pb dihasilkan oleh kendaraan bermotor (Rangkuti, 2004), limbah cair industri (Haryati et al., 2012), dan paling banyak terdapat di lahan pasca tambang (Setyaningsih, 2007). Menurut Widaningrum et al., (2007), akumulasi Pb di dalam tubuh manusia dalam jangka lama dapat menyebabkan gangguan sistem peredaran darah, urat syaraf, dan ginjal. Sedangkan logam berat Pb di dalam tanah mengakibatkan toksik pada tanaman, sehingga mengganggu fotosintesis dan menghambat pertumbuhan, sebagai contoh Avicenia marina pada sedimen yang mengandung Pb 13.15 ppm mengalami kerusakan jaringan buah dan daun (Arisandy et al., 2012) dan Mindi (Melia azedarach Linn.) pada media tailing yang mengandung Pb 172 ppm mengakibatkan penurunan tinggi sebesar 28.4% dibandingkan kontrol (Setyaningsih, 2007). Pb akan menjadi toksik jika konsentrasinya tinggi. Batas normal Pb pada tanah adalah 2 – 200 ppm dan pada tanaman 0.2 – 20 ppm (Balai Penelitian Tanah 2009). Tingkat pencemaran Pb di Indonesia masih di bawah ambang batas pencemaran, namun harus tetap diwaspadai. Kayu manis (C.burmani) di sisi kiri tol Jagorawi mengakumulasi Pb rata-rata 7.95 ppm pada 72 daun dan 19.59 ppm pada kulit batang (Rangkuti, 2004). Kandungan Pb pada tanah non-tambang di berbagai lokasi berkisar antara 0.39 – 1.21 ppm (Suhariyono dan Menry, 2005), sementara itu pada tanah bekas tambang emas 172 ppm (Setyaningsih, 2007), limbah batu bara 54.26 ppm (Noviardi, 2013), dan tanah bekas tambang timah 7.7 ppm (Gedoan et al., 2011). Upaya untuk menghilangkan Pb dari tanah salah satunya dengan fitoremediasi. Menurut Prijambada (2006), fitoremediasi merupakan upaya untuk menghilangkan, menstabilkan atau menghancurkan bahan pencemar baik berupa senyawa organik maupun anorganik menggunakan tumbuhan. Jenis tumbuhan yang mampu mengakumulasi logam berat Pb umumnya berupa tumbuhan bawah dan tanaman hias, seperti sambang dara (Excoecaria cochinensis), hanjuang (Cordyline fruicosa), dan Aglaonema (Haryanti et al., 2013). Penggunaan jenis pohon kehutanan seperti Balsa (Ochroma bicolor Rowlee.) yang dikenal sebagai jenis cepat tumbuh atau fast growing spesies dan tergolong tanaman reboisasi sebagai akumulator logam berat Pb belum pernah diuji. Kayu balsa dimanfaatkan untuk pelampung kapal, sebagai isolator, dan bahan pembuatan pulp (Alrasyid, 1996). Tanaman cepat tumbuh cocok digunakan sebagai fitoremediasi logam berat karena memiliki biomassa dan transpirasi tinggi, serta sistem perakaran yang luas (Bissonnette et al., 2010). doi : 10.19081/jpsl.2017.7.1.72 JPSL Vol. 7 (1): 72-78, April 2017 Asam humat dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) ditambahkan pada media tanah yang tercemar logam berat Pb untuk menunjang pertumbuhan balsa. Asam humat merupakan bio-organik yang berfungsi sebagai pembenah tanah. Manfaat asam humat menurut Karti dan Setiadi (2011) antara lain: melarutkan mineral yang tidak tersedia, meningkatkan penyerapan unsur hara, memperbaiki kesuburan tanah, serta memperbaiki pertumbuhan, kesehatan, dan kualitas dari tanaman. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) merupakan simbiosis mutualisme antara akar tanaman tinggat tinggi dengan fungi. Menurut Arisusanti dan Purwani (2013), FMA dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam berat Pb, meningkatkan akumulasi Pb di akar, serta menghambat akumulasi Pb pada batang dan daun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran FMA dan asam humat terhadap pertumbuhan semai balsa pada tanah terkontaminasi Pb, serta menganalisis akumulasi Pb pada semai balsa. 2. Metode 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 10 bulan dari bulan Oktober 2015 sampai Juli 2016. Penanaman semai balsa dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur. Isolasi spora dan analisis parameter setelah panen dilakukan di Laboratorium teknologi mikoriza dan peningkatan kualitas bibit Departemen Silvikultur IPB. Analisis tanah dan logam berat Pb dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. 2.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah Podsolik Merah Kuning, zeolit, pasir, benih balsa (O. bicolor), benih sorgum, inokulum FMA jenis Acaulospora, asam humat, (PbNO3)2, dan aquades. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, saringan tanah, karung, plastik anti panas, mikroskop stereo, oven, autoklaf, neraca analitik, kaliper, botol film, polibag (15x20) cm, gembor, rak trapping, kulkas, cawan petri, saringan bertingkat berukuran 250 µm, 125 µm, dan 63 µm, mikro pipet, gelas ukur, sudip, pinset, kaca preparat, dan cover glass. 2.3. Prosedur penelitian a. Penangkaran FMA (Trapping) dan isolasi spora Teknik penangkaran FMA dan isolasi spora mengikuti metode Brundrett et al., (1996). Tanah yang digunakan untuk trapping FMA berasal dari empat ekosistem di Jambi, yaitu hutan sekunder, hutan karet alam, kebun kelapa sawit, dan hutan tanaman karet. Tanah tersebut masing-masing ditimbang sebanyak 50 gram, kemudian dimasukkan dalam pot-pot kecil dengan susunan zeolit-tanah-zeolit. Benih sorgum kemudian disapih pada media tersebut dan dirawat selama 3 bulan untuk kemudian dilakukan isolasi spora. Spora disaring menggunakan saringan bertingkat dengan diameter 250 µm, 125 µm, dan 63 µm di bawah air mengalir, kemudian spora dipisahkan berdasarkan genus yang dominan (Acaulospora) sebanyak 30 spora/botol. b. Sterilisasi tanah dan persiapan media Tanah podsolik merah kuning diambil dari Haurbentes, Jasinga pada kedalaman 1 – 40 cm. Tanah dikeringanginkan selama 7 hari, selanjutnya diayak menggunakan saringan tanah berukuran 5 mm. Tanah disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. Setiap 1 kg tanah steril dicampur dengan (PbNO3)2 dengan konsentrasi 500 ppm dan 750 ppm, setelah 24 jam ditambahkan asam humat dengan konsentrasi 2.5% (v/v) sebanyak 100 mL. c. Pengecambahan, penyapihan, dan inokulasi FMA Benih balsa direndam dalam air panas suhu 80 0C selama 12 jam, kemudian ditaburkan di atas media pasir dan tanah dengan perbandingan 1:1 (b/b). Setelah berkecambah dengan tinggi minimal 2 cm, semai balsa disapih pada polibag. Semai balsa dibiarkan beradaptasi dalam rumah kaca kurang lebih 3 minggu, kemudian dilakukan inokulasi FMA sebanyak 30 spora/polibag. Inokulasi dilakukan dengan cara melubangi tanah sedalam jari telunjuk sampai terlihat akar utama, kemudian spora dimasukkan dalam lubang tersebut dekat dengan akar tanaman. 2.4. Rancangan Percobaan dan Analisis data Rancangan percobaan pada penelitian ini menggunakan split split plot design. Petak utama adalah FMA dengan 5 taraf, yaitu: tanpa FMA (A0), FMA asal hutan sekunder (A1), FMA asal hutan alam karet (A2), FMA asal kebun kelapa sawit (A3), dan FMA asal hutan tanaman karet (A4). Anak petak adalah asam humat dengan 2 taraf, yaitu: tanpa asam humat (B0) dan asam humat 100 mL (B1). Anak anak petak adalah Pb dengan 3 taraf, yaitu: Pb 0 ppm (C0), Pb 500 ppm (C1), dan Pb 750 ppm (C2). Berdasarkan ketiga faktor tersebut diperoleh 30 kombinasi perlakuan dengan 5 ulangan, sehingga terdapat 150 semai balsa. Data dianalisis menggunakan sidik ragam software SAS 9.1 (SAS Institute Inc. 2004) pada taraf nyata 5%, jika perlakuan berpengaruh nyata dilakukan uji lanjut Duncan. 2.5. Variabel pengamatan Variabel yang diamati yaitu tinggi (cm), diameter (mm), berat kering pucuk (g), berat kering akar (g), dan akumulasi Pb (ppm). Perhitungan akumulasi Pb sesuai dengan rumus sebagai berikut (Hardiani, 2009). Akumulasi Pb = Berat Pb pada tanaman Berat kering total mg/kg 73 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 72-78 Asam humat berpengaruh terhadap pertambahan tinggi dan diameter. Pb berpengaruh negatif sangat nyata terhadap seluruh parameter semai balsa umur 22 MST. 3. Hasil dan Pembahasan Rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan semai balsa umur 22 minggu setelah tanam (MST) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa interaksi ketiga faktor serta interaksi FMA dengan asam humat tidak berpengaruh terhadap semua parameter pengamatan. Interaksi FMA dengan Pb dan interaksi asam humat dengan Pb berpengaruh nyata terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar. FMA berpengaruh positif terhadap pertambahan diameter dan berat kering akar. Parameter 3.1. Tinggi dan Diameter Semai Balsa Pemberian asam humat memberikan respon pertumbuhan positif dan Pb memberikan respon negatif terhadap tinggi dan diameter semai balsa, sedangkan jenis FMA menunjukkan respon yang berbeda-beda terhadap tinggi dan diameter tergantung kepada asal ekosistem FMA yang digunakan (Tabel 2). Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan semai balsa umur 22 MST A B C AxB AxC BxC AxBxC Pertambahan tinggi (cm) tn * ** tn tn tn tn Pertambahan diameter (mm) * ** ** tn tn tn tn Berat kering pucuk (g) tn tn ** tn * * tn Berat kering akar (g) * tn ** tn ** * tn Keterangan: A= FMA, B= asam humat, C=Pb, **= berpengaruh sangat nyata pada (P≤0.01), *= berpengaruh nyata pada (0.01<P≤0.05), dan tn= berpengaruh tidak nyata pada (P>0.05). Tabel 2. Pengaruh FMA, asam humat, dan Pb terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter semai balsa umur 22 MST Perlakuan FMA A0 (tanpa FMA) A1 (Hutan sekunder) A2 (Hutan karet alam) A3 (Kebun kelapa sawit) A4 (Hutan tanaman karet) Asam humat B0 (0 mL) B1 (100mL) Tinggi (cm) Peningkatan (%) Diameter (mm) Peningkatan (%) 1.09a 1.09a 1.14a 1.03a 1.11a 00.00 00.00 00.00 00.00 00.00 1.05ab 1.06ab 1.08a 1.00b 1.01ab 0.00 7.74 19.82 -24.11 -8.71 1.05b 1.13a 00.00 22.87 1.01b 1.07a 0.00 24.86 Pb C0 (0 ppm) 1.46a C1 (500 ppm) 0.93b C2 (750 ppm) 0.89b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom pada taraf α 5% Asam humat mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi semai balsa 22.87% dan diameter 24.86% lebih baik dibandingkan tanpa asam humat (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan penelitian (Karti et al., 2009), asam humat efektif meningkatkan tinggi tanaman jagung dan legum pada tanah tailing dan latosol. Menurut Tisdale et al. (1990), asam humat merupakan pembenah tanah yang mampu mengkhelat Al dan logam berat. Asam humat mampu menjerap unsur hara yang kemudian akan dilepaskan secara simultan saat terjadi pertukaran unsur hara dengan tanaman, sehingga meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman. FMA dari hutan karet alam merupakan jenis FMA terbaik yang mampu meningkatkan pertambahan diameter semai balsa 19.82% lebih baik dibandingkan tanpa FMA dan FMA asal kebun kelapa sawit merupakan jenis FMA paling buruk yang mengakibatkan penurunan diameter sebesar 24.11% dibandingkan tanpa FMA (Tabel 2). FMA yang 74 00.00 1.24a 0.00 -86.51 0.96b -72.55 -88.42 0.91b -77.63 yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan berasal dari ekosistem yang berbeda memiliki efektivitas yang berbeda dan jenis FMA indegenous lebih efektif daripada sumber inokulum FMA lainnya. Miska (2015) menyatakan inokulum FMA indigenous mampu meningkatkan pertumbuhan bibit aren berdasarkan parameter tinggi tanaman, panjang pelepah daun, diameter pangkal pelepah, bobot kering tajuk, biomassa total, serapan hara P, jumlah spora, dan persen infeksi akar daripada mycofer (campuran inokulum FMA pada media zeolit). FMA yang digunakan dalam penelitian ini merupakan FMA indigenous yang berasal dari 4 ekosistem di Jambi. FMA yang berasal dari hutan karet alam merupakan isolat yang paling efektif, hal tersebut diduga karena ekosistem hutan karet alam kondisinya masih alami dan belum banyak mendapatkan gangguan manusia. FMA berperan sebagai biofertilizer, perbaikan struktur tanah, meningkatkan penyerapan hara, melindungi tanaman dari patogen akar, dan unsur toksik seperti logam berat. FMA melindungi tanaman JPSL Vol. 7 (1): 72-78, April 2017 inang dari logam berat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi melalui eksudat akar yang dikeluarkan tanaman inang, dan akumulasi di dalam hifa (Rossiana, 2003). Pemberian Pb 500 ppm dan 750 ppm menurunkan pertumbuhan tinggi dan diameter semai balsa dibandingkan media tanpa Pb (Tabel 2). Semai balsa pada media tanpa Pb tumbuh normal dan pertumbuhannya cenderung lebih baik dengan penambahan FMA dan asam humat. Sementara itu pada media Pb 500 ppm dan 750 ppm, semai balsa menunjukkan pertambahan tinggi sangat lambat, tanaman menjadi kerdil dan sebagian mati. Hal ini menunjukkan bahwa FMA dan asam humat belum berperan dalam meningkatkan pertumbuhan semai balsa pada media yang mengandung Pb 500 ppm dan 750 ppm. Hal yang sama ditemukan pada semai mindi di tanah tailing yang mengandung Pb 172 ppm mengalami penurunan diameter sebesar 9.7% dibandingkan media tanah kontrol. Pemberian FMA jenis NPI 126 dan mycofer pada media tanah kontrol, tailing murni, dan campuran tanah+tailing baik dengan penambahan kompos maupun tanpa kompos tidak berbeda nyata dengan semai mindi tanpa inokulasi FMA. Pertumbuhan tinggi dan diameter pada media tailing murni tidak meningkat secara signifikan, namun pertumbuhan semai mindi pada media dengan penambahan kompos cenderung lebih baik (Setyaningsih, 2007). 3.2. Berat Kering Pucuk dan Berat Kering Akar Asam humat tidak berpengaruh nyata, sedangkan FMA dan Pb berpengaruh nyata terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar semai balsa 22 MST. Hasil uji duncan pengaruh FMA dan Pb terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar semai balsa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Pengaruh FMA dan Pb terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar semai balsa umur 22 MST Berat Kering Pucuk (g) Peningkatan (%) Berat Kering Akar (g) Peningkatan (%) Perlakuan FMA A0 (tanpa FMA) 0.79a 00.00 0.75b 00.00 A1 (Hutan sekunder) 0.79a 00.00 0.73b -16.35 A2 (Hutan karet alam) 0.83a 00.00 0.82a 144.98 A3 (Kebun kelapa sawit) 0.77a 00.00 0.76b 40.14 A4 (Hutan tanaman karet) 0.79a 00.00 0.79ab 94.42 Pb C0 (0 ppm) 0.95a 00.00 0.90a 00.00 b C1 (500 ppm) 0.71 -87.28 0.72b -81.43 C2 (750 ppm) 0.70b -90.43 0.70b -87.13 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf α 5%. FMA asal hutan karet alam mampu meningkatkan berat kering akar semai balsa sebesar 144.98% dibandingkan tanpa FMA. Media yang diberi Pb 500 ppm dan 750 ppm menurunkan berat kering pucuk semai balsa sebesar 87.28% dan 90.43%, serta menurunkan berat kering akar sebesar 81.43% dan 87.13% dibandingkan dengan media tanpa Pb (Tabel 3). Pertumbuhan semai balsa pada media yang mengandung Pb 500 ppm dan 750 ppm tergolong tidak normal, hal tersebut ditandai dengan daun yang menguning kemudian mengering dan rontok, akar pendek, serta pertumbuhannya kerdil. Haryati et al. (2012) menjelaskan Pb termasuk logam berat yang dapat mengganggu aktivitas enzim, sehingga reaksi kimia di dalam sel terganggu. Hal tersebut menyebabkan kerusakan jaringan epidermis, spons, dan palisade yang ditandai dengan nekrosis dan klorosis pada tanaman. Tabel 4 menjelaskan bahwa interaksi asam humat dengan Pb 500 ppm dan 750 ppm tidak berbeda nyata terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar, namun keduanya lebih rendah dibandingkan dengan media tanpa Pb Dosis asam humat 2.5% sebanyak 100 mL belum mampu meningkatkan berat kering akar dan berat kering pucuk semai balsa pada media terkontaminasi Pb tinggi. Pemberian asam humat sebaiknya disertai dengan penambahan kompos untuk menghasilkan biomassa tinggi. Menurut Iqbal (2016), dosis asam humat sebanyak 1 ml dengan penambahan kompos 2.5 kg/lubang tanam mampu meningkatkan berat kering akar dan pucuk sengon (Paraserienthes falcataria) pada tanah bekas tambang nikel. Berat kering pucuk dan akar pada interaksi FMA dengan Pb 500 ppm dan 750 ppm lebih rendah daripada media Pb 0 ppm. Semai balsa pada media Pb 0 ppm tumbuh dengan normal tanpa gangguan logam berat Pb, sedangkan pada media terkontaminasi Pb pertumbuhan semai balsa tertekan meskipun sudah diberi FMA (Tabel 4). Hasil penelitian ini berbeda dengan Nadeak (2015), yang menyebutkan bahwa interaksi FMA dengan Pb 400 ppm/3 kg tanah pada semai sengon 12 MST tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering pucuk dan akar. Setiap jenis tanaman menunjukkan respon yang berbeda terhadap perlakuan FMA dan Pb. Menurut Wang (2007), pengaruh mikoriza dalam pengambilan logam berat berbeda untuk setiap jenis tanaman, tergantung pada jenis mikoriza, konsentrasi dan ketersediaan logam berat serta sifat-sifat tanah. 75 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 72-78 Interaksi asam humat dengan Pb 500 ppm dan 750 ppm terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar semai balsa dapat dilihat pada Tabel 4. 3.3. Akumulasi Pb pada Semai Balsa Akumulasi Pb merupakan jumlah logam Pb yang terdapat di dalam tanaman. Akumulasi Pb tertinggi yaitu sebesar 2571.17 ppm terdapat pada interaksi perlakuan FMA asal kebun kelapa sawit tanpa asam humat pada media Pb 750 ppm (Tabel 5). Menurut Widyati (2011), tanaman yang mampu mengakumulasi logam berat Ni, Cu, Co, Cr, dan Pb lebih dari 1000 mg/kg biomas disebut sebagai tanaman hiperakumulator. Pada kondisi cekaman Pb yang sangat tinggi, semai balsa mampu bertahan hidup namun pertumbuhannya terganggu dan beberapa semai balsa mati, sehingga balsa bukan tergolong tanaman hiperakumulator. Tabel 4. Pengaruh interaksi asam humat dan FMA dengan Pb terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar semai balsa umur 22 MST Pb (ppm) Perlakuan Berat Kering Pucuk (g) Berat Kering Akar (g) C0 (0) C1 (500) C2 (750) C0 (0) C1 (500) C2 (750) 0.94a 0.70b 0.72b 0.87a 0.72b 0.70b a b b a b Asam humat B0 (0 mL) B1 (100 mL) 0.96 0.69 0.73 0.85 0.69 0.70b 0.94ab 0.70c 0.72c 0.87c 0.72bcd 0.70bcd bcd FMA A0 (tanpa FMA) A1 (Hutan sekunder) 0.70 0.87 0.69 0.69 0.83 0.69bcd A2 (Hutan karet alam) 1.05a 0.77bc 0.68c 1.05a 0.81bcd 0.67d A3 (Hutan kelapa sawit) 0.68c 0.89abc 0.68c 0.85bcd 0.68d 0.67d A4 (Hutan tanaman karet) c abc 0.90 abc c 0.69 c 0.75 bc cd b 0.88 0.69 bcd 0.74bcd Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf α 5%. Tabel 5. Akumulasi Pb semai balsa umur 22 MST. Perlakuan FMA Asam humat (mL) 0 Tanpa FMA 100 0 FMA asal hutan sekunder 100 0 FMA asal hutan karet alam 100 0 FMA asal kebun kelapa sawit 100 0 FMA asal hutan tanaman karet 100 76 Pb (ppm) 0 500 750 0 500 750 0 500 750 0 500 750 0 500 750 0 500 750 0 500 750 0 500 750 0 500 750 0 500 750 Akumulasi Pb (ppm) tidak terukur 1200.11 1279.79 8.88 1265.07 1348.95 9.00 475.65 1743.13 tidak terukur 1313.04 2252.66 6.22 940.62 1690.00 4.44 1036.75 1294.70 3.56 1180.47 2571.17 tidak terukur 1482.38 1873.70 14.20 1394.05 1448.20 25.74 1833.30 2091.55 JPSL Vol. 7 (1): 72-78, April 2017 Akumulasi Pb terendah yaitu sebesar 3.56 ppm terdapat pada interaksi perlakuan FMA asal kebun kelapa sawit tanpa asam humat pada media tanpa Pb. Semai balsa pada media tanpa Pb ditemukan akumulasi Pb berkisar antara 3.56 ppm – 25.75 ppm, hal ini disebabkan media awal yang digunakan sudah mengandung Pb sebesar 1.32 ppm. Akumulasi Pb pada semai balsa lebih tinggi dari dosis Pb yang diberikan (Tabel 5). Peningkatan akumulasi Pb tersebut diduga karena faktor penyiraman yang terus dilakukan sampai 22 minggu dan udara yang juga mengandung logam berat Pb. Selain itu tanah yang digunakan pada penelitian tergolong liat, sehingga unsur-unsur di dalam tanah terjerap dan sukar tercuci. Hal yang sama ditemukan pada tanaman kangkung darat (Ipomea reptans Poir) yang dapat mengakumulasi Pb sampai 1627.90 ppm pada waktu optimum 3 minggu dengan pemberian Pb 100 ppm (Liong, 2010). Akumulasi Pb pada media dengan penambahan asam humat secara umum lebih tinggi daripada tanpa asam humat (Tabel 5). Menurut Rahmawati (2011), serapan Pb oleh asam humat sangat dipengaruhi pH. Hardjowigeno (1995) menambahkan tanah pH masam menyebabkan logam berat yang terkandung dalam medium tersebut menjadi larut dan aktif diserap oleh tanaman. Media tanah yang digunakan memiliki pH sangat masam yaitu 3.65 sehingga logam berat Pb aktif diserap oleh semai balsa. Akumulasi Pb oleh semai balsa umur 22 MST dapat dilihat pada Tabel 5. Semai balsa yang diberi FMA secara umum mampu mengakumulasi logam berat Pb lebih banyak dibandingkan tanpa FMA (Tabel 5). Salisbury dan Ross (1995) menjelaskan, logam berat diserap oleh akar tanaman dalam bentuk ion-ion yang larut dalam air. Tanaman dengan media yang banyak mengandung logam berat akan membentuk senyawa pengikat yang disebut fitokhelatin. Bila bertemu dengan logam berat Pb, fitokhelatin akan membentuk ikatan sulfida di ujung belerang pada sistein dan membentuk senyawa kompleks, sehingga Pb akan terbawa menuju jaringan tumbuhan. Menurut Rossiana (2003), FMA akan mengakumulasi Pb pada bagian hifa. Semai balsa bermikoriza mampu mengakumulasi Pb lebih banyak, namun FMA sendiri belum mampu meningkatkan pertumbuhan semai balsa pada kondisi cekaman Pb tinggi. Hal tersebut dikarenakan terjadi kompetisi serapan ion toksik dengan ion hara di dalam tanah (Rossiana, 2003). Jumlah ion hara yang diperlukan untuk pertumbuhan lebih sedikit daripada ion toksik, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat meskipun sudah diberi perlakuan FMA. ppm. FMA asal hutan karet alam paling efektif dalam meningkatkan diameter, berat kering akar, dan berat kering pucuk semai balsa. Asam humat mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi 22.87% dan diameter 24.86% semai balsa lebih baik dibandingkan tanpa asam humat. Akumulasi Pb pada seluruh jaringan tanaman lebih dari 1000 ppm, hal itu membuat pertumbuhan semai balsa menjadi terhambat, tanaman menjadi kerdil dan 17.52% mati 4.2. Saran Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui peran FMA dan asam humat terhadap pertumbuhan tanaman lain pada media yang mengandung Pb kurang dari 500 ppm. Semai balsa tidak tergolong sebagai tanaman hiperakumulator Pb, sehingga balsa tidak direkomendasikan sebagai tumbuhan potensial untuk fitoremediasi Pb. Daftar Pustaka [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] 4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan [13] FMA dan asam humat belum menunjukkan peran pada media yang mengandung Pb 500 ppm dan 750 Alrasyid, H., 1996. Teknik Penanaman dan Pemungutan Kayu Balsa. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Arisandy, K. R., E. Y. Herawati, E. Suprayitno, 2012. Akumulasi logam berat timbal (Pb) dan gambaran histologi pada jaringan Avicennia marina (forsk.) Vierh di perairan Pantai Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan 1(1), pp. 1525. Arisusanti, R., K. Purwani, 2013. Pengaruh mikoriza Glomus fasciculatum terhadap akumulasi logam timbal (Pb) pada tanaman Dahlia pinnata. Jurnal Sains dan Seni Pomits 2 (2), pp. 2337-3520. Balai Penelitian Tanah, 2009. Petunjuk Teknis: Analisis Kimia Tanah Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Bissonnette. M., M. Arnaud, M. Labrecque, 2010. Phytoextraction of heavy metals by two Salicaceae clones in symbiosis with arbuscular mycorrhizal fungi during the second year of a field trial. Plant Soil (332), pp. 55–67. Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove, N. Malajczuk, 1996. Working with mychorrizas in forestry and agriculture. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra. Gedoan, S., A. Hartana, Hamim, U. Widyastuti, N. Sukarno, 2011. Pertumbuhan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada tanah pasca tambang timah di bangka yang diberi pupuk organik. Jurnal Ilmiah Sains 11(2), pp. 181-190. Hardiani, H., 2009. Potensi tanaman dalam mengakumulasi logam Cu pada media tanah terkontaminasi limbah padat industri kertas. Bioscience 44(1), pp. 27-40. Hardjowigeno, S., 1995. Ilmu Tanah. Akademia Pressindo, Jakarta. Haryanti, D., D. Budianta, Salni, 2013. Potensi beberapa jenis tanaman hias sebagai fitoremidiasi logam timbal (Pb) dalam tanah. Jurnal Penelitian Sains 16(2), pp. 52-58. Haryati, M., T. Purnomo, S. Kuntjoro, 2012. Kemampuan tanaman genjer (Limnocharis Flava (L.)Buch.) menyerap logam berat timbal (Pb) limbah cair kertas pada biomassa dan waktu pemaparan yang berbeda. Lateral Bio 1(3). Iqbal, Iskandar, S. W. Budi, 2016. Penggunaan bahan humat dan kompos untuk meningkatkan kualitas tanah bekas tambang nikel sebagai media pertumbuhan sengon (Paraserianthes falcataria). Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 6(1), pp. 53-60. Karti, P. M. D. H., S. W. Budi, N. F. Mardatin, 2009. Optimalisasi kerja mycofer dengan augmentasi mikroorganisme tanah potensial dan asam humat untuk 77 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] 78 JPSL Vol. 7 (1): 72-78 rehabilitasi lahan marginal dan terdegradasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 14(2), pp. 118-131. Karti, P. M. D. H., Y. Setiadi, 2011. Respon pertumbuhan, produksi, dan kualitas rumput terhadap penambahan fungi mikoriza arbuskula dan asam humat pada tanah masam dengan alumunium tinggi. JITV. 16(2), pp. 105-112. Liong, S., 2010. Mekanisme fitoakumulasi Cd (II), Cr (IV), dan Pb (II) pada kangkung darat (Ipomoae reptans Poir). Disertasi. Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Miska M. E. L., 2015. Respon pertumbuhan bibit aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) terhadap inokulasi fungi mikoriza indigenous. tesis. Sekolah pascasarjana IPB, Bogor. Nadeak, J. O. S., Delvian, D. Elfiati, 2015. Pengaruh pemberian fungi mikoriza arbuskula (FMA) terhadap kandungan logam timbal (Pb) pada tanaman sengon (Paraserienthes falcataria). Penorema Forestry Science Journal 4(3), pp. 1-8. Noviardi, R., 2013. Limbah batubara sebagai pembenah tanah dan sumber nutrisi: Studi kasus tanaman bunga matahari (Helianthus annus). Riset Geologi dan Pertambangan 23(1), pp. 61-72. Prijambada, I. D., 2006. Peranan mikroorganisme pada fitoremediasi tanah tercemar logam berat. Di dalam: Prosiding PIT PERMI, pp. 117-135; [terhubung berkala]. http://faperta.ugm.ac.id./download/publikasi_ [15 Desember 2015]. Rahmawati, A., 2011. Pengaruh derajat keasaman terhadap adsorbsi logam kadmium(II) dan timbal(II) pada asam humat. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi 12(1), pp. 1-14. Rangkuti, M. N. S., 2004. Kandungan logam berat timbal dalam daun dan kulit kayu tanaman kayu manis (Cinnamomum burmani Bl) pada sisi kiri jalan tol Jagorawi. Biosmart. 6(2), pp. 143-146. Rossiana, N., 2003. Penurunan Kandungan logam Berat dan Pertumbuhan Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria L (Nielsen)) Bermikoriza Dalam Medium limbah Lumpur. Universitas Padjajaran, Bandung. [23] [24] [25] [26] [27] [28] [29] [30] Salisbury, F. B., C. W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid I1. Dian R., Lukman, Sumaryono, penerjemah. Terjemahan dari: Plant Physiology Vol 2. ITB, Bandung. SAS Institute Inc., 2004. Base SAS 9.1 Procedures Guide. Cary, NC: SAS Institute Inc. Setyaningsih, L., 2007. Pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula dan kompos aktif untuk meningkatkan pertumbuhan semai mindi (Melia azedarach Linn) pada media tailing tambang emas pongkor. Tesis. Program pascasarjana USU, Sumatra Utara. Suhariyono, G., Y. Menry, 2005. Analisis karakteristik unsur-unsur dalam tanah di berbagai lokasi dengan menggunakan XRF. Dalam: Prosiding PPI-PDIPTN 2005; 2005 Jul 12. Jogyakarta, Puslitbang Teknologi Maju-BATAN, pp 197-206. Tisdale, S. L., W. L. Nelson, J. D. Beaton, 1990. Soil Fertility and Fertilizers 4th Edition. Macmillan Publishing Company, New York. Wang, F. Y., X. G. Lin, R. Yin, 2007. Effect of arbuscular mycorrhizal fungal inoculation on heavy metal accumulation of maize grown in a naturally contaminated soil. International Journal of Phytoremediation 9, pp. 345-353. Widaningrum, Miskiyah, Suismono., 2007. Bahaya kontaminasi logam berat dalam sayuran dan alternatif pencegahan cemarannya. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian (3), pp. 16-27. Widyati, E., 2011. Potensi tumbuhan bawah sebagai akumulator logam berat untuk membantu rehabilitasi lahan bekas tambang. Mitra Hutan Tanaman 6(2), pp. 47-56. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 79-88 ANALISIS PERTUMBUHAN TANAMAN REVEGETASI DI LAHAN BEKAS TAMBANG SILIKA HOLCIM EDUCATIONAL FOREST CIBADAK, SUKABUMI, JAWA BARAT Analysis of Revegetation Plant Growth in Post-mining Silica Land Holcim Educational Forest (HEF) Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat Rizki Widiyatmokoa, Basuki Wasisb, Lilik Budi Prasetyoc a Program Studi Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian [email protected] b Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680. c Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680. Abstract. The activity determines the success of reclamation is revegetation, therefore it is needed to conduct evaluation of revegetation plant growth to identify the success of post-mining silica land revegetation in HEF. This research aimed to identify the status of revegetation plant growth in HEF based on spatial analysis and plant condition as well as to provide recommendation to address revegetation problems in Holcim Educational Forest. The method used by making 19 plots size of 25 m x 40 m in 4 planting blocks in HEF and conduct spatial analysis to obtain NDVI value from 2013-2016. Parameters observed were height growth, life percentage, plant health, and soil analysis. The result shows that block XI, XIII, and IX had life percentage ar ound 82.03-86.50% and in block VII had life percentage under 80%, while the plants health in HEF block was under 80%. Spatial analysis in HEF block shows that NDVI value in HEF planting blocks increased with average NDVI 0.10. The problem occurred in HEF planting blocks was low life percentage and plants health caused by nutrient content, low pH, soil compaction, and hig h toxic content such as Fe, Al, and Mn. Keywords: NDVI, Plant growth, Revegetation, Post-mining silica land (Diterima: 26-12-2016; Disetujui: 28-03-2017) 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Kegiatan penambangan berdampak terhadap penurunan kualitas lahan dan peningkatan laju degradasi lahan. Penurunan kualitas lahan pada lahan bekas tambang berhubungan dengan kesuburan dan sifat kimia tanah, tekstur tanah, kelerangan, dan genangan air sehingga lahan menjadi sulit untuk ditanami (Mansur, 2011). Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melakukan kegiatan reklamasi. Reklamasi adalah kegiatan penataan untuk memperbaiki dan memulihkan kembali lahan serta vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya (UU No. 41 Tahun 1991 Pasal 44). Reklamasi lahan pasca tambang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan, hal tersebut tertuang dalam PERMENESDM No. 18 Tahun 2008. Kegiatan revegetasi merupakan salah satu bagian yang menentukan kegiatan reklamasi. Revegetasi adalah usaha penanaman kembali di lahan bekas tambang untuk perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap serta komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk mengendalikan erosi dan aliran doi : 10.19081/jpsl.2017.7.1.79 permukaan (Setiadi, 2006). Kondisi lahan revegetasi yang sedikit akan kandungan nitrogen yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti pH tanah, kandungan nutrisi yang rendah, suhu yang terlampau ekstrim, kelebihan atau kekurangan kandungan air dalam tanah (Vissoh, 2005). Hal tersebut yang menjadi permasalahan untuk keberhasilan kegiatan revegetasi. Keberhasilan Revegetasi pada lahan bekas tambang sangat ditentukan oleh banyak hal diantaranya adalah aspek penataan lansekap, kesuburan media tanam dan penanaman dan perawatan. kesuburan media sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Iskandar 2012). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan menyatakan bahwa pada kegiatan reklamasi perlu dilakukan kegiatan evaluasi sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk mengetahui keberhasilan dari kegiatan reklamasi yang diadakan perusahaan tambang. Kegiatan yang menentukan keberhasilan reklamasi adalah kegiatan revegetasi, oleh karena itu diperlukan kegiatan evaluasi pertumbuhan tanaman revegetasi untuk mengetahui keberhasilan revegetasi di HEF. Selain itu dengan menggunakan teknologi remote sensing pada kegiatan evaluasi pertumbuhan tanaman revegetasi yang dikombinasikan dengan ground check pada lahan revegetasi dapat memperoleh 79 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 79-88 informasi untuk menganalisis pertumbuhan tanaman dan permasalahan kegiatan revegetasi di HEF. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis status pertumbuhan tanaman revegetasi di HEF berdasarkan analisis spasial dan kondisi tanaman serta memberikan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan pada kegiatan revegetasi di lahan revegetasi Holcim Educational Forest. 2. Metode Penelitian 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agusutus 2016, bertempat di Holcim Educational Forest (HEF), Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi dan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi. Analisis tanah di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB. b. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dengan melakukan pengukuran di lapangan berupa tinggi, diameter, persen hidup, dan kesehatan tanaman. Pengambilan data berupa sampel analisis tanah dari hasil tanah komposit pada lima sampling point dengan dua kedalaman yaitu 0−30 cm dan 30−60 cm (Megawati, 2012). c. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif mengenai pertumbuhan tanaman, persen hidup tanaman, identifikasi kesahatan tanaman, nilai NDVI, dan persentase kesahatan tanaman. NDVI Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan band NIR yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi (Lillesand dan Kiefer 1997). 2.2. Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah global positioning system (GPS), pita ukur, tally sheet, Tongkat ukur, golok, kompas, kamera, laptop, bor tanah, botol sampel dan plastik sampel. Alat yang digunakan dalam pengolahan dan analisis data, antara lain seperangkat komputer, software ArcGis 10.3, software ERDAS imagine 9.1, software Microsoft word, dan software Microsoft excel. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta areal revegerasi Holcim Educational Forest (HEF), citra landsat (2013─2016), dan tegakan pada lahan revegetasi. Keterangan: NIR = Radiasi inframerah dekat dari pixel RED = Radiasi cahaya merah dari pixel Persentase Hidup Tanaman Presentase hidup tanam dihitung jumlah tanaman yang hidup pada plot lahan revegetasi dengan jumlah tanaman yang mati pada lahan revegetasi dengan rumus sebagai berikut (Permenhut 2009): 2.3. Prosedur Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahapan yaitu analisis spasial dari peta peta IUP (Izin Usaha Penambangan) dan citra landsat tahun 2013−2016 untuk mengetahui karakteristik lahan serta hasil citra landsat untuk mendapatkan nilai NDVI dari tahun awal penanaman pada tahun 2013 sampai kondisi lahan yang terbaru pada tahun 2016. Ground check diperlukan untuk mengetahui kondisi lahan revegetasi dengan melakukan pengambilan data analisis tanah, pertumbuhan tanaman, kesehatan tanaman, dan persen tumbuh tanaman. a. Pembuatan plot pengamatan Penilaian tanaman hasil revegetasi dilakukan melalui teknik sampling dengan metode Systematic Sampling with Random Start dengan menggunakan intensitas sampling sebesar 5% yang menghasilkan 22 plot pengamatan pada luasan areal revegetasi di HEF sebesar 33 Ha yang terbagi menjadi 5 blok tanam. 80 Keterangan: T = persen tumbuh tanaman (%) hi = jumlah tanaman yang hidup pada plot ke-i Ni = jumlah tanaman yang ditanam pada plot ke-i Kesehatan Tanaman Kesehatan tanaman dihitung jumlah tanaman yang sehat pada plot lahan revegetasi dengan jumlah tanaman yang sehat pada lahan revegetasi dengan rumus sebagai berikut (Permenhut 2009): Keterangan: K = persen Kesehatan tanaman (%) hi = jumlah tanaman yang sehat pada plot ke-i Ni= jumlah tanaman yang hidup pada plot ke-i JPSL Vol. 7 (1): 79-88, April 2017 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran baik pertambahan jumlah sel, volume dan bobot. Parameter pertumbuhan tanaman yang biasanya diukur adalah pertumbuhan diameter dan tinggi total maupun bebas cabang (Husch et al., 2003). Pertumbuhan tanaman yang diamati pada penelitian ini adalah pengukuran volume dengan mengukur pertumbuhan tinggi dan diameter pada 4 blok tanam yang ditanam pada tahun 2013. Tabel 1 menunjukkan hasil rekapitulasi rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter pada blok tanam yang diteliti. Jenis tanaman yang ditemukan pada Blok tanam HEF adalah Pinus merkusii, Schima wallichii, Calliandra haematocephala, Swietenia mahagoni, Gmelina arborea, Acacia mangium, Shorea leprosula, Naulclea orientalis, Canarium commune, Ficus sp, dan Pericopsis mooniana. Jenis tanaman yang ditemukan pada plot pengamatan di blok tanam revegetasi HEF didominasi oleh jenis P. merkusii dengan nilai total kerapatan mencapai 1986.67 ind/ha dan jenis S. Wallichii dengan nilai total kerapapatan sebesar 251.66 ind/ha. Keberhasilan pertumbuhan ditentukan oleh faktor internal (genetik dan hormon) dan faktor eksternal (iklim dan kualitas tempat tumbuh) (Daniel et al., 1987). Pertumbuhan tanaman pada 4 blok tanam berbeda-beda diduga akibat dari perbedaan kondisi lingkungan yang berbeda antar blok tanam. Data rekapitulasi rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter pada blok tanam HEF yang diamati ditunjukkan pada Gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman dengan pertumbuhan terbaik adalah jenis S. wallichii dan Ficus sp. dengan rata-rata pertumbuhan tinggi 6.09 m dan 4.35 m, sedangkan rata pertumbuhan diameter sebesar 6.95 cm dan 6.79 cm. S. Wallichii dan Ficus sp. merupakan jenis yang mempunyai kemampuan berasosiasi dengan mikoriza arbuskula potensial sehingga perlu dikembangkan untuk mendukung kegiatan restorasi pada lahan-lahan dengan kerusakan berat seperti pada lahan tambang (Yassir dan Wilarso, 2007). 3.2. Persentase Hidup dan Kesehatan tanaman Presentase shidup tanaman merupakan jumlah tanaman yang dapat hidup di lahan revegetasi HEF, sedangkan kesehatan tanaman menunjukan kemampuan tanaman untuk hidup dengan baik terhadap gangguan hama dan penyakit pada plot pengamatan 0.1 ha pada 4 blok tanam dengan kriteria tanaman terbagi menjadi 3 yaitu tanaman sehat, kurang sehat, dan tanaman merana (Permenhut, 2009). Tabel 2 menunjukkan rekapitulasi pesentase hidup dan kesehatan tanaman pada tanaman yang tumbuh di lahan revegetasi HEF. Persen tumbuh pada blok XI, blok XIII, dan blok IX mempunyai nilai persen hidup berkisar antara 82.03−86.50% dan pada blok VII mempunyai hasil persen tumbuh dibawah 80%, sedangkan kesehatan tanaman pada blok tanam HEF berada dibawah 80%. Menurut Permenhut (2009) bahwa kegiatan revegetasi dikategorikan berhasil apabila nilai persen hidup dan kesehatan tanaman lebih dari 80%. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan revegetasi pada blok VII tergolong tidak berhasil, sedangkan kesehatan tanaman di blok tanam HEF tergolong rendah dengan nilai persentasi kesehatan tanaman dibawah 80%. Tabel 1. Rekapitulasi pertumbuhan tinggi, diameter, dan kerapatan di Blok tanam HEF Blok Tanam VI VII VII IX Jenis Tanaman Pinus merkusii Schima wallichii Calliandra haematocephala Swietenia mahagoni Gmelina arborea Pinus merkusii Shorea leprosula Naulclea orientalis Canarium commune Acacia mangium Pinus merkusii Naulclea orientalis Schima wallichii Shorea leprosula Ficus sp. Pinus merkusii Shorea leprosula Pericopsis mooniana Tinggi (m) Diameter (cm) Kerapatan (ind/ha) 4.48 6.70 3.81 3.93 3.78 2.13 1.39 0.85 6.98 7.69 5.80 3.34 4.59 2.83 1.30 0.82 1.10 1.37 3.44 2.14 5.49 2.10 4.35 0.65 1.40 4.33 4.06 6.21 1.00 6.79 3.88 2.27 2.60 4.92 1.15 1.29 216.67 233.33 80.00 10.00 10.00 430.00 70.00 6.67 6.67 16.67 640.00 5.00 18.33 5.00 13.33 700.00 4.29 2.86 81 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 79-88 Gambar 1. Diagram rekapitulasi rata-rata pertumbuhan tinggi dan diamater pada blok tanam HEF. Tabel 2. Rekapitulasi persen hidup dan kesehatan tanam pada blok tanam HEF Blok Tanam VI VII VIII IX Jenis Tanaman Persen Hidup (%) Kesehatan Tanaman (%) Pinus merkusii 95.59 83.08 Schima wallichii 94.59 80.00 Calliandra haematocephala 92.31 70.83 Swietenia mahagoni 75.00 66.67 Gmelina arborea Rata-rata 75.00 86.50 66.67 73.45 Pinus merkusii 89.58 68.99 Shorea leprosula 87.50 61.90 Naulclea orientalis 66.67 50.00 Canarium commune Acacia mangium Rata-rata 66.67 71,43 76,37 50.00 60.00 58.18 Pinus merkusii Naulclea orientalis 96.97 75.00 75.52 66.67 Schima wallichii 84.62 63.64 Shorea leprosula 75.00 33.33 Ficus sp. Rata-rata 100.00 86.32 87.50 65.33 Pinus merkusii 96.08 81.02 Shorea leprosula Pericopsis mooniana Rata-rata 75.00 75.00 82.03 66.67 66.67 71.45 Kondisi tanaman di blok tanam HEF terdapat kondisi tanaman kurang sehat dan tanaman merana (Tabel 3). Tanaman merana merupakan tanaman yang mempunyai pertumbuhan lebih kecil dibandingkan dengan tanaman lain dan terdapat gangguan hama dan penyakit (Permenhut, 2009), sedangkan tanaman yang kurang sehat dengan gejala klorosis, nekrosis, daun yang rontok, dan mati pucuk. Kondisi tanaman pada blok tanam HEF didominasi oleh gejala nekrosis dan klorosis. Nekrosis terjadi akibat kondisi sekumpulan 82 sel yang terbatas pada jaringan tertentu mati, sehingga terlihat bercak dan noda berwarna coklat atau hitam (Semangun, 2011), sedangkan klorosis merupakan gejala yang terdapat pada daun tanaman yang menguning akibat rusaknya jaringan kloroplas pada daun. Gejala klorosis dan nekrosis disebabkan respon tanaman terhadap kekurangan kandungan unsur hara seperti nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P), dan magnesium (Mg) (Setiadi et al., 2012). JPSL Vol. 7 (1): 79-88, April 2017 Tabel 3. Rekapitulasi gejala kondisi tanaman di blok tanam HEF Blok Tanam VI VII VII IX Jenis Tanaman Gejala Pinus merkusii Schima wallichii Calliandra haematocephala Swietenia mahagoni Gmelina arborea Pinus merkusii Shorea leprosula Naulclea orientalis Canarium commune Acacia mangium Pinus merkusii Naulclea orientalis Schima wallichii Shorea leprosula Ficus sp. Pinus merkusii Shorea leprosula Pericopsis mooniana Mati pucuk dan merana klorosis dan merana Klorosis dan rontok Klorosis Merana Mati pucuk dan merana Klorosis, bercak hitam, dan nekrosis Klorosis dan merana Klorosis dan nekrosis klorosis dan merana Mati pucuk dan merana Klorosis dan merana Klorosis, bercak hitam, dan nekrosis Klorosis, becak hitam, dan nekrosis Klorosis Mati pucuk dan merana Klorosis, merana, dan nekrosis Merana 3.3. NDVI nilai -1. Nilai NDVI mengambarkan kondisi vegetasi pada blok tanam HEF dari awal tanam tahun 2013 hingga tahun 2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai NDVI pada blok tanam HEF mengalami peningkatan (Gambar 2) dengan rata-rata peningkatan NDVI sebesar 0.10 dengan nilai NDVI tertinggi terdapat pada blok VI. Nilai NDVI digunakan untuk menduga kerapatan atau kondisi kanopi dan tingkat kehijauan tanaman. Tanaman yang sehat mempunyai tingkat indeks vegetasi yang tinggi, hal ini disebabkan oleh hubungan terbalik antara intensitas sinar yang dipantulkan vegetasi pada spektral sinar merah dan NIR (Purwadhi dan Sri, 2001). Nilai NDVI dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi, jenis vegetasi, dan tutupan tajuk yang terdapat pada blok tanam. Perhitungan NDVI didasarkan pada prinsip bahwa tanaman hijau tumbuh secara sangat efektif dengan menyerap radiasi di daerah spektrum cahaya tampak (PAR atau Photosynthetically Aktif Radiation), sementara itu tanaman hijau memantulkan radiasi dari daerah inframerah dekat (Ryan, 1997). Nilai NDVI diperoleh dari citra landsat 8 pada path 122 row 65 dari awal kegiatan penanaman tahun 2013 dan kondisi terbaru pada tahun 2016. Nilai NDVI rata-rata tertinggi pada tahun 2016 terdapat pada blok VI sebesar 0.38, sedangkan nilai NDVI yang terendah terdapat pada blok VIII dengan nilai sebesar 0.29. Menurut Jaya (2010) bahwa nilai NDVI pada tutupan vegetasi yang lebat mendekati 1, untuk lahan kosong umumnya mendekati 0, dan tutupan vegetasi dengan badan-badan air mempunyai Tabel 4. NDVI dari tahun 2013 sampai tahun 2016 pada blok tanam HEF Nilai NDVI Lokasi Tahun tanam (2013) Landsat 2016 Rata-rata Rentang Nilai Rata-rata Rentang Nilai Blok tanam VI 0.29 0.11−0.43 0.38 0.12−0.50 Blok tanam VII 0.19 0.10−0.29 0.30 0.19−0.40 Blok tanam VIII 0.18 0.08−0.34 0.29 0.15−0.42 Blok tanam IX 0.25 0.12−0.39 0.33 0.18−0.47 3.4. Analisis Tanah Analisis tanah yang dilakukan berupa sifat fisik dan kimia pada blok tanam HEF dan Hutan Pendidikan Gunung Walat. Tabel 5 menunjukkan hasil analisis sifat fisik tanah berupa tekstur tanah dengan persentase komposisi pasir, debu, liat, bulk density, porositas, permeabilitas, dan kadar air tanah pada blok tanam HEF dan tegakan di HPGW. Tekstur tanah digunakan untuk menentukan karakteristik tanah pada blok tanam HEF dan HPGW. Tekstur tanah terbagi menjadi 3 yaitu pasir, debu, dan liat. Tekstur tanah pada blok tanam HEF didominasi oleh liat, sedangkan pada HPGW mempunyai tekstur tanah yang didominasi oleh tekstur pasir dan liat. Tanah yang mempunyai tekstur berpasir akan mudah diolah namun akan sulit menyediakan air bagi tanaman (Hermawan, 2002). 83 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 79-88 Gambar 2. Grafik nilai NDVI dari tahun 2013-2016 Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur tanah pada blok tanam HEF mempunyai kandungan debu dan liat diatas 70%, sedangkan tekstur tanah pada HPGW dengan kandungan debu dan liat sebesar 50.98%. Menurut Setiadi (2012) menyatakan bahwa tanah yang mempunyai nilai debu dan liat diatas 70% akan bermasalah bagi pertumbuhan tanaman. Tanah yang didominasi oleh liat dan debu mengakibatkan tanah dapat menyimpan air dengan baik namun sulit untuk meresapkan air, selain itu tanah dengan tingkat liat dan debu yang tinggi mengakibatkan tanah menjadi padat sehingga pertumbuhan akar pada tanaman akan terganggu sehingga pertumbuhan tanaman terganggu. Tanah yang ideal adalah tanah yang mempunyai tekstur yang kandungan liat, pasir, dan debunya seimbang disebut lempung (loam) (Rachmiati, 2013). Bulk density (BD) yang tertinggi pada blok VIII dengan BD sebesar 1.36 g/cm3, sedangkan nilai BD terendah pada blok VI sebesar 0.97 g/cm3. BD tanah yang ideal berkisar antara 1.3−1.35 g/cm3, BD pada tanah berkisar > 1.65 g/cm3 untuk tanah berpasir sebesar 1.0−1.6 g/cm3 pada tanah yang mengandung BO tanah sedang hingga tinggi, BD mungkin lebih kecil dari 1 g/cm3 pada tanah dengan kandungan BO tinggi (Kurnia, 2005). BD pada pada blok tanam VI mempunyai BD yang lebih kecil dibandingkan dengan HPGW. Menurut Hardjowigeno (2003) menyatakan bahwa Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai BD maka tingkat kepadatan tanah semakin tinggi. Tanah yang padat akan sulit untuk infiltrasi air dan menganggu perkembangan akar tanaman yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi teganggu. Tabel 5. Hasil analisis sifat fisik tanah di blok tanam HEF dan HPGW Sifat fisik tanah Blok VI Blok VII Blok VIII Blok IX HPGW Pasir (%) 23.33 16.47 23.51 18.63 49,02 Debu (%) 12.89 27.51 22.36 24.42 10.83 Liat (%) 63.79 56.03 54.14 57.01 40.15 Porositas (%) 62.90 49.74 48.55 57.91 63.30 Permeabilitas (cm/jam) 1.46 0.17 0.78 0.65 3.18 Bulk density (g/cm3) 0.97 1.33 1.36 1.12 0.98 Kadar air (%) 21.66 18.24 16.49 20.33 26.83 Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara (Hanafiah 2005). Porositas pada blok tanam HEF mempunyai nilai sebesar 48.55−62.90, sedangkan pada HPGW nilai porositas 63.30. Hal ini menunjukkan bahwa porositas pada blok tanam HEF mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan di HPGW. Tanah yang mempunyai nilai porositas semakin besar menunjukkan bahwa tanah tersebut semakin poroeus. 84 Tanah yang poroeus adalah tanah yang cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara sehingga mudah keluar masuk tanah (Hanafiah, 2005). Permeabilitas merapatan kecapatan laju air pada medium tanah (Hardjowigeono, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bahwa permeabilitas pada HPGW mempunyai nilai permeabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan blok tanam HEF. Menurut Hardjowigeno (2003) menyatakan bahwa permeabilitas pada HPGW JPSL Vol. 7 (1): 79-88, April 2017 tergolong sedang, sedangkan pada blok tanam HEF tergolong agak lambat dan lambat. Menurut Hillel (1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permeabilitas tanah antara lain porositas, distribusi ruang pori, tekstur, stabilitas agregat. Tekstur tanah pada blok tanam HEF yang didominasi oleh liat mengakibatkan air sulit untuk memasuki tanah sehingga mengakibatkan permeabilitas pada blok tanam HEF tergolong lambat. Kadar air tanah menunjukkan jumlah air yang tersedia di dalam tanah. Menurut Hanafiah (2005) bahwa masuknya air kedalam tanah dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan porositas tanah. Kadar air yang terdapat pada HPGW lebih tinggi dibandingkan dengan blok tanam HEF. Hal ini menunjukkan bahwa pada HPGW tanah mampu menyimpang air dengan baik dibandingkan dengan blok tanam di HEF. Kadar air yang tersimpan dalam tanah diperlukan untuk proses pertumbuhan tanaman, apabila jumlah air yang tersedia dalam tanah dalam jumlah sedikit maka pertumbuhan tanaman akan terganggu. Ketersediaan air dalam tanah umumnya dipengaruhi banyaknya curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, besarnya evapotranspirasi, tingginya muka air tanah, kadar bahan organik tanah, senyawa kimiawi atau kandungan garam-garam dan kedalaman solum tanah atau lapisan tanah (Madjid, 2009). Tabel 6 menunjukukan analisis sifat kimia tanah pada blok tanam HEF pada kedalaman tanah 0−30 cm dan 30−60 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah pada blok tanam HEF dan HPGW berkisar dari 3.54−4.50 tergolong masam hingga sangat masam berdasarkan kriteria Balai Penelitian Tanah (2009). Kemasaman tanah merupakan suatu sifat yang penting, karena terdapat hubungan antara pH dengan ketersediaan unsur hara serta dengan proses pertumbuhan (Foth, 1989). Kondisi pH tanah yang masam berdampak pada kondisi pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman tertinggi terdapat pada blok VI dan pada blok VII mempunyai pertumbuhan tanaman terendah, hal ini menunjukkan bahwa pH tanah mempunyai hubungan dengan petumbuhan tanaman pada blok tanam HEF dengan semakin rendah pH tanah maka mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi tergangu. Tanaman sebagian besar dapat dengan tumbuh baik pada tanah mineral dengan rentang pH 5.8–6.5 (Munawar, 2011). Tabel 6. Hasil analisis kimia tanah blok tanam HEF dan HPGW Sifat kimia tanah pH C-org N-total Kedalaman Tanah Blok VI Blok VII Blok VIII Blok IX HPGW 0-30 cm 4.50 M 3.70 SM 4.05 SM 4.37 SM 4.17 SM 30-60 cm 4.37 SM 3.54 SM 3.92 SM 4.33 SM 4.11 SM 0-30 cm 0.81 SR 1.39 R 1.33 R 1.25 1.32 30-60 cm 0.56 SR 1.38 R 1.11 R 0.08 SR 0.63 SR 0-30 cm 0.08 SR 0.06 SR 0.12 R 0.14 0.12 30-60 cm 0.09 SR 0.13 R 0.11 R 0.05 SR 0.06 SR 0-30 cm 8.39 S 6.47 R 11.15 T 12.09 T 10.08 S 30-60 cm 5.13 R 8.85 S 11.33 T 5.63 9.04 0-30 cm 1.15 SR 0.77 SR 2.64 R 0.98 SR 1.02 SR 30-60 cm 1.36 SR 0.85 SR 2.22 R 0.91 SR 0.54 SR 0-30 cm 12.28 R 13.37 R 10.96 R 13.95 R 12.93 R 30-60 cm 12.13 R 10.75 R 12.00 R 13.75 R 10.14 R 0-30 cm 3.91 R 6.90 R 4.53 R 8.85 R 4.70 R 30-60 cm 3.40 R 6.50 R 5.51 R 6.72 R 5.86 R H2O R R (%) R R (%) P tersedia (ppm) R S K (me/100g) KTK (me/100g) Al (me/100g) Kriteria sifat kimia tanah menurut Balai Penelitian Tanah (2009), M= masam, SM= sangat masam, R= rendah, SR= sangat rendah, S= sedang, T= tinggi C-organik yang terdapat pada blok tanam HEF dan HPGW dengan kandungan bahan organik pada kedalaman 0-30 cm berkisar 0.81−1.39% dan pada kedalaman 30-60 berkisar 0.08−1.38%. Menurut Balai Penelitian Tanah (2009) bahwa C-organik pada blok tanam HEF dan HPGW tergolong dalam kategori yang rendah hingga sangat rendah. Kandungan C-organik yang rendah merupakan indikator rendahnya jumlah bahan organik tanah yang tersedia dalam tanah (Gerson, 2008). Kandungan bahan organik yang rendah pada blok tanam HEF dampak dari pembukaan hutan untuk kegiatan penambangan dengan adanya pembukaan hutan menghilangkan serasah dari dedaunan dan ranting pohon yang merupakan sumber dari bahan organik tanah sehingga kandungan bahan organik menjadi rendah. Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut (Hardjowigeno, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa KTK pada blok tanam HEF dan HPGW sebesar 10.14−13.95 me/100g tergolong dalam 85 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 79-88 kategori yang rendah berdasarkan kriteria Balai Penelitian Tanah (2009). Kondisi KTK rendah dibawah 16 me/100g menunjukkan kondisi yang bermasalah bagi pertumbuhan tanaman, dimana menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi stagnan (Setiadi 2002). KTK tanah yang rendah akan menganggu pertumbuhan tanaman yang terdapat di blok tanam HEF, disebabkan tanah tidak mampu mengikat kandungan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Kandungan unsur hara tanah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman terdiri dari 16 unsur hara yaitu C, H, O, N, P, K, S, Ca, Mg, Zn, Fe, Cu, Mn, Mo, B, dan Cl (Indranada, 1989). Kandungan unsur hara tanah pada blok tanam HEF berbeda-beda dengan hasil analisis kimia kandungan unsur N,P, dan K pada blok tanam HEF (Tabel 6) menujukkan kandungan unsur hara tanah pada blok IX dan Blok VIII mempunyai kandungan unsur P tergolong tinggi dibandingkan dengan unsur N dan K, namun pertumbuhan tanaman pada blok VIII dan blok IX (Tabel 2) mempunyai pertumbuhan yang relatif rendah dibandingkan dengan blok VI. Permasalahan utama yang membedakan kondisi pertumbuhan tanaman menjadi normal, sedang, dan buruk pada semua lokasi adalah pH dan kelarutan Alumunium (Megawati, 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan Al pada blok tanam HEF sebesar 3.40−8.85 me/100g, sedangkan pada HPGW 4.70−5.86 me/100g. Kelarutan Al yang tinggi dengan kandungan Al lebih besar dari 3 me/100g merupakan kondisi yang bermasalah karena hal tersebut menyebabkan kematian tanaman (Setiadi, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa blok tanam HEF mempunyai permasalahan terhadap kelarutan Al yang berdampak pada kondisi pertumbuhan tanaman. Kondisi lahan revegetasi tambang di HEF mempunyai kesehatan tanaman yang rendah mengakibatkan kegiatan revegetasi menjadi terhambat (Tabel 2). Kesehatan tanaman terganggu dengan ditemukannya gejala klorosis dan nekrosis disebabkan rendahnya kandungan unsur hara seperti kekurangan kandungan unsur hara seperti nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P), dan magnesium (Mg). Permasalahan rendahnya kandungan unsur harater dapat diatasi dengan perbaikan hara tanah dilakukan pemupukan dengan dosis yang disesuaikan dengan kondisi lahan (Setiadi et al., 2013). Selain itu pengkombinasi asam humat dengan kompos mampu meningkatkan kandungan unsur hara dan meningkatkan aktifitas mikroba tanah (Mansur, 2011). 3.5. Permasalahan dan Rekomendasi Perbaikan Kegiatan Revegetasi di Blok Tanam HEF Kondisi lahan revegetasi tambang di HEF mempunyai kesehatan tanaman yang rendah mengakibatkan kegiatan revegetasi menjadi terhambat (Tabel 2). Kesehatan tanaman yang terganggu disebabkan terdapat gejala klorosis dan nekrosis pada tanaman revegetasi di HEF. Klorosis dan nekrosis disebabkan rendahnya kandungan nitrogen (N), 86 kalium (K), fosfor (P), dan magnesium (Mg) pada blok tanam revegetasi di HEF. Permasalahan rendahnya kandungan unsur harater dapat diatasi dengan perbaikan hara tanah dilakukan pemupukan dengan dosis yang disesuaikan dengan kondisi lahan (Setiadi et al., 2013). Selain itu pengkombinasi asam humat dengan kompos mampu meningkatkan kandungan unsur hara dan meningkatkan aktifitas mikroba tanah (Mansur, 2011). Permasalahan kualitas tempat tumbuh berhubungan kandungan pH yang terlalu masam, dan kandungan logam berat seperti Fe, Al, dan Mn pada blok tanam HEF (Tabel 6) mengakibatkan pertumbuhan tanam menjadi terganggu. Pemberian kapur dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah yang masam (Munawar, 2011). Pemberian kapur juga mampu meningkatkan kandungan Ca dan Mg tanah, dan fungsi tidak langsung seperti meningkatkan ketersediaan P, serta mengurangi keracunan Al, Fe, dan Mn, serta memacu kegiatan jasad renik (Megawati, 2012). Kepadatan tanah disebabkan tekstur tanah pada blok tanam HEF yang didominasi oleh liat dan debu diatas 70 % mengakibatkan tanah menjadi padat. Menurut Mansur (2011) bahwa tanah yang padat mengakibatkan akar menjadi kurang berkembang disebabkan kekurangan oksigen dan terjadi hambatan perkembangan secara fisik, oleh karena itu untuk mengatasi kepadatan tanah dengan melakukan pengemburan tanah dan penambahan bahan organik tanah. Tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada blok tanam HEF adalah S. wallichii dan Ficus sp perlu diadakan pengembangan terhadap jenis yang dapat tumbuh dengan baik pada blok tanam revegetasi HEF. Pengembangan tanaman penutup tanah perlu dilakukan untuk mengendalikan erosi dan sedimentasi pada blok tanam HEF, hasil yang ditemukan bahwa pada blok VII tidak terdapat tanaman penutup tanah mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang rendah dan kondisi tanah yang padat terlihat dari nilai analisis sifat fisik tanah (Tabel 5). Manfaat dari tanaman penutup tanah diantaranya peningkatan kualitas sifat fisik dan kimia tanah (Nakhone dan Tabatabai, 2008). Tanaman penutup tanah memiliki pertumbuhan yang melilit dan menjerat sehingga akan menganggu pertumbuhan tanaman pokok. Jenis tanaman yang dapat dikembankan adalah Desmodium spp. Memiliki pertumbuhan yang yang selalu menjalar dan tidak melilit tanaman pokok. Hasil penelitian Armecin et al., (2005) menyebutkan bahwa produksi biomassa Desmodium ovalifolium mencapai 8.6-8.9 ton/ha, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa Calopogonium Mucunoides dan Centrosema pubescens. Desmodium spp mempunyai bintil akar yang disebabkan adanya interaksi antara Desmodium spp. dengan bakteri Rhizobium sp. yang mengakibatkan dapat tumbuh dengan subur dan dapat menambahkan kandungan nitrogen kedalam tanah (Hasanah et al., 2014). Pertumbuhan tanaman penutup tanah yang tidak terkendali mengakibatkan persaingan JPSL Vol. 7 (1): 79-88, April 2017 antara tumbuhan penutup tanah dengan tanaman pioneer di blok tanam revegetasi. Kegiatan pemeliharaan tanaman dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan pertumbuhan tanaman seperti kegiatan pemupukan dan kegiatan penyiangan yang rutin (Mansur, 2011). Kegiatan penyiangan telah dilakukan oleh pihak HEF, namun semak dan alangalang masih ditemukan pada blok tanam yang memiliki tinggi sama dengan tanaman revegetasi serta kesehatan tanaman yang rendah pada blok tanam HEF mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Kondisi tersebut diduga kurangnya kegiatan pengawasan terhadap blok tanam revegetasi yang mengakibatkan masih terdapat blok tanam yang ditumbuhi alang-alang dan kesehatan tanaman yang rendah untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu diadakan kegiatan pemeliharaan yang intensif dengan melakukan kegiatan pengendalian hama dan penyakit, kegiatan penyiangan, dan pemupukan untuk meningkatkan pertumbuhan tanama revegetasi HEF. dilakukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman pada blok tanam HEF. 4. Pengawasan terhadap kegiatan revegetasi dengan melakukan pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman dan kondisi lahan revegetasi HEF perlu untuk mengetahui kondisi pertumbuhan tanaman revegetasi dan agar dapat mengatasi permasalahan yang dialami dalam kegiatan revegetasi. 4. Kesimpulan dan Saran [6] 4.1. Kesimpulan [7] Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman dengan pertumbuhan terbaik adalah jenis S. wallichii dan Ficus sp. dengan rata-rata pertumbuhan tinggi 6.09 m dan 4.35 m, sedangkan rata pertumbuhan diameter sebesar 6.95 cm dan 6.79 cm. Persen tumbuh pada blok XI, blok XIII, dan blok IX mempunyai nilai persen hidup berkisar antara 82.03−86.50 dan pada blok VII mempunyai hasil persen tumbuh dibawah 80%, sedangkan kesehatan tanaman pada blok tanam HEF berada dibawah 80%. Analisis spasial pada blok tanam HEF menujukkan bahwa nilai NDVI pada blok tanam HEF mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan NDVI sebesar 0.10. Permasalahan yang terjadi pada blok tanam HEF berupa tingkat persentase hidup dan kesehatan tanaman rendah disebabkan rendahnya kandungan unsur hara tanah, kandungan pH yang terlalu masam, kepadatan tanah, dan kandungan logam berat seperti Fe, Al, dan Mn. Daftar Pustaka [1] [2] [3] [4] [5] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] 4.2. Saran [16] 1. Perlu diadakan pengembangan terhadap jenis tanaman yang dapat hidup dengan baik pada blok tanam HEF seperti S. wallichii dan Ficus sp serta pengembangan tanaman penutup tanah untuk memperbaiki kondisi lahan revegetasi. 2. Penelitian lebih lanjut terhadap dosis pemberian pupuk, kapur, dan asam humat pada setiap blok tanam HEF untuk memperbaiki kualitas tapak pada blok tanam HEF. 3. Permasalahan kegiatan revegetasi di HEF dapat diatasi dengan kegiatan pengemburan tanah, pemupukan, pengapuran, dan dikombinasikan dengan asam humat untuk memperbaiki lahan revegetasi HEF. Kegiatan pemeliharaan perlu [17] [18] [19] [20] Armecin, R.B., M. H. P. Seco, P. S. Caintic, E. J. M. Milleza, 2005. Effect of leguminous cover crops on the growth and yield of abaca (Musa textilis Nee). Industrial Crops and Products 21, pp. 317–323. Balai Penelitian Tanah, 2009. Petunjuk teknis: Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Daniel, T. W. J. A. Helms, F. S. Baker, 1987. Prinsip-prinsip silvikultur. Edisi kedua. UGM Press, Yogyakarta. Gerson, N. D., 2007. Kondisi tanah pada sistem kaliwu dan mawar [ulasan]. Info Hutan 5 (1), pp 45-51. Hanafiah, K. A., 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hardjowigeno, S., 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta. Hardjowigeno, S., 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Hasanah, N.I., B. Wasis, I. Mansur, 2014. Pengembangan desmodium spp. Sebagai penutup tanah dalam reklamasi lahan pasca tambang. Jurnal Silvikultur Tropika 5(1), pp 712. Hillel, D., 1987. Soil and Water Physical Princples and Processes. Academic Press, New York. Husch, B., T. W. Beers, J. A. Kershaw, 2003. Forest Measuration. John & Sons, Inc, New Jersey. Horning N., 2004. Global land vegetation; An electronic textbook: NASA Goddard Space Flight Center Earth Sciences Directorate Scientifix and Educational Endeavors (SEE). [terhubung berkala]. http://www.ccpo.odu.edu/SEES/veget/ vg_class.htm [30 Januari 2016] Iskandar, D. T. Suwardi, Suryaningtyas, 2012. Reklamasi Lahan-lahan Bekas Tambang : beberapa Permasalahan Terkait Sifat-sifat Tanah dan Solusinya [terhubung berkala]. Http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/.../62632/1/PRO20 12_ISK.pdf [31 Januari 2017]. Jaya, I. G. N., 2010., Analisis Citra Digital. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor Mansur, I., 2011. Teknik Silvikultur untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang. SEAMEO BIOTROP, Bogor. Madjid, A., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. [terhubung berkala] http://dasar2ilmutanah.com/2009/04/ fisika-tanah-bagian-6 air-tanah-dan.html [20 Agustus 2016]. Megawati, N.J., 2012. Respon pertumbuhan Acacia mangium Willd terhadap penambahan kapur dan HSC (Humid Substantces Complex) pada lahan pasca tambang batubara. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Munawar, A., 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press, Bogor. Nakhone, L.N., M. A. Tabatabai, 2008. Nitrogen mineralization of leguminous crops in soils. Jurna Plant Nutrtion 171, pp 231–241. Peraturan Mentri Energi Sumber Daya Mineral, 2008. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Tanggal 29 mei 2008. Peraturan Menteri Kehutanan, 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan. Tanggal 17 September 2009. 87 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 [21] [22] [23] [24] [25] 88 JPSL Vol. 7 (1): 79-88 Peraturan Mentri Kehutanan. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan. Tanggal 14 Januari 2011. Purwadhi, H. Sri, 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo, Jakarta. Rahim, F., 1995. Sistem dan Alat Tambang. Akademi Teknik Pertambangan Nasional, Banjarbaru. Semangun, H., 2001. Penyakit-Penyakit Tanaman Holtikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Pr, Yogyakarta. Setiadi, Y., 2006. Teknik revegetasi untuk merehabilitasi lahan pasca tambang [terhubung berkala]. Http://pkrlt.ugm.ac.id/files/yadi setiadi.pdf [7 Februari 2016]. [26] [27] [28] [29] Setiadi, Y., 2012. Bahan Kuliah Ekologi Restorasi. Program Studi Silvikultur Tropika, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Tidak Diterbitkan, Bogor. Setiadi, Y. Adinda, 2013. Evaluasi pertumbuhan pohon di lokasi revegetasi lahan pasca tambang PT. Vale Indonesia Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan. Jurnal Silvikultur Tropika 4 (1), pp. 19-22. Thomas, M. Lillesand, Ralph, W. Kiefer., 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation. UGM Press, Yogyakarta. Vissoh, P. Manyong, V. M. Carsky, J. R. Oseibonsu, P. Galiba, M., 2005. Experiences with Mucuna in West Africa. International Development Research Centre 36. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 89-97 LESSON LEARNED FROM MANGROVE REHABILITATION PROGRAM IN INDONESIA Cecep Kusmana Silviculture Department, Faculty of Forestry, Bogor Agriculture University, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 [email protected] Abstract. Indonesia as an archipelagic country more than 17,504 islands with the length of coastline estimated at 95,181 km bears mangroves from several meters to several kilometers. They grow extensively in the five big islands (Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua). At the year of 2009, Agency of Survey Coordination and National Mapping (Bakosurtanal) of Indonesia reported the existing mangrove forest area in Indonesia of about 3,244,018 ha, however Directorate General of Land Rehabilitation and Social Forestry, Ministry of Forestry (Ditjen RLPS MoF) of Indonesia at 2007 reported about 7,758,411 ha of mangrove area in Indonesia (including existing vegetated mangrove area). It was further reported that those mangroves were 30.7% in good condition, 27.4% moderate-destroyed, and 41.9% heavy-destroyed. In order to rehabilitate destroyed mangrove ecosystems, Indonesia applies at least three type of planting designs (square planting design, zig zag planting design, and cluster plant ing design) and eight planting techniques (“banjar harian” technique, bamboo pole technique, guludan technique, water break technique, huge polybag technique, ditch muddy technique, huge mole technique, cluster technique). Generally, in Indonesia Rhizophora spp. are used for mangrove rehabilitation and/or restoration with the spacing of 1x1 m spending varied planting cost based on the site local condition and planting technique used. The mangrove planting ranged from about Rp. 14.2 million using propagules to Rp. 18.5 million using cultured seedlings. Recently, local community used to utilizing associated mangrove aquatic fauna for supporting their daily life as well as utilizing mangrove habitat for multipurpose uses through agroforestry techniques (silvofishery, agrosilvofishery, agrosilvopastoralfishery systems). So that, the good mangrove ecosystem serves luxurious both flora and fauna species (biodiversity) as well as their abundance for significantly supporting the welfare of coastal community. Keywords: agroforestry technique, local community, mangrove rehabilitation, planting design, planting technique (Diterima: 28-11-2016; Disetujui: 17-02-2017) 1. Introduction Mangroves are a group of salt tolerant plants inhabiting inter-tidal zone between the high-water mark of spring tides and a level close to but above mean sea level in the tropical and sub-tropical regions, mostly well developed in the sheltered coast, deltas, lagoons, and estuaries. These plants and the associated microbes, fungi, plants, and animal constitute the mangrove community, in which it intercorrelated with abiotic factors constitute mangrove ecosystem. If those mangrove ecosystems are dominated by trees, we called mangrove forests. The term “mangrove” itself describes both the plants inhabiting inter-tidal zone and the community itself (Tomlinson, 1986), even ecosystem (FAO, 2005; Kusmana, 1993). Mangrove ecosystem is an interface unique ecosystem between marine and terrestrial ecosystems characterized by high productivity and rapid cycling of nutrients (Snedaker, 1978) that contribute a major share of the energy requirements offshore ecosystems (Harger, 1982). Therefore, they are considered as important natural resource for multiple reasons, especially for the tropical countries. The rate of disturbance and variety of the humaninduced influences on the mangrove ecosystems have been steadily increasing, so a large proportion of the World’s mangrove is threatened with destruction. The main cause of the mangrove destruction as currently doi : 10.19081/jpsl.2017.7.1.89 underway in the world can be broadly distinguished as: (1) over exploitation by the traditional users (e.g. for charcoal, pole and firewood) and uncontrolled forest concessionairs, (2) destructive actions resulting from activities generally unrelated to sustained uses of mangroves (e.g. conversion to agriculture, mining/mineral extraction, aquaculture, urban infrastructures, resettlements, etc.) (Saenger et al., 1983), and (3) pollution and natural disaster (Kusmana, 2010). So that, the conversion of mangrove areas to other uses over the past decades has been alarming. In the developing countries, short-term economic gains in the mangrove areas (e.g. oil mining, resettlement, industrial estate, etc.) have taken precedence over the long-term generation of benefits which have both economic and natural values. However, mangroves are sensitive to outside influences and are increasingly subjected to stress or disappearance through reclamation and pollution (Snedaker, 1978). As an archipelagic country, Indonesia consists of more than 17,504 islands (28 big islands and 17,475 small islands) with the length of coastline estimated at 95,181 km, which bears mangroves from several meters to several kilometers. According to the latest information, the mangrove vegetated area in Indonesia is amounted to 3.2 million hectares (Bakosurtanal, 2009). On the other hand, at the year of 2007 Ministry 89 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 89-97 of Forestry reported that potential area to be planted by mangrove (including mangrove vegetated area) is estimated at 7.8 million hectares (30.7% in good condition, 27.4% moderate-destroyed, 41.9% heavydestroyed). The destroyed of them are caused by several kind of causes, mainly by conversion to the other uses. For centuries the Indonesian people have traditionally utilized mangroves, mainly for firewood, charcoal, tannin, dyes, food and beverages, medicine, pole and timber. The main genera used are Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Nypa and Oncosperma (Soegiarto, 1984). At the beginning, the fishing and charcoal making are generally the basic economic activities in the mangrove areas. However, in the following period a commercial scale of mangrove exploitation in Indonesia has been begun with a production of logs, charcoal and chip-woods. In the same time, the increasing of population growth and economic development in this country resulted in the destruction even disappearance of many mangroves through conversion of them to fishponds, industrial estates, transportation and recreation infrastructure, resettlement, tin mining, agricultural activities, and other uses. The multiple role of the mangroves as a renewable resources in the coastal area in relation to serving valuable forest products and environmental services for the coastal population is well recognized in Indonesia, so that degraded mangroves must be rehabilitated and mangrove plantation should be established in some intertidal areas to enrich land Indonesia 2 Malaysia 3 Myanmar 4 Thailand 90 1.1. Mangrove Rehabilitation and Restoration in Indonesia and Other Countries Mangrove rehabilitation or restoration is becaming important in Souteast Asia, mainly as the effect of mangrove destruction becames apparent in the form of loss of coastal fisheries productivity, loss of livelihood of coastal communities, and loss of live and proverty in the wake of storms and tsunamis. Promotions of regeration of mangroves has been the goal of mangrove foresters in South Asia (Giesen et al., 2006). It is reported also that as a general rule, mangrove seedlings should be planted with 1 metre spacing, i.e. at a density of 10,000 per hectare. High initial mortality is not unsual, but survival rates of at least 50 percent should be expected. Typical forest density of mature mortality of planted saplings should not lead to an unsually sparse forest (Lewis and Streever, 2000). Indeed , a round of thinning may be required in years 5-10 to prevent the establishment of ‘pole forests’, i.e dense stands of thin, tall trees, as these may be particularly susceptible to storm demage. According to Lewis (2001), the cost of mangrove restoration usually varies from US$225 per hectare to US$216 000 per hectare, depending on the location and technique used. Almost all countries in Southeast Asia executed mangrove rehabilitation/restoration in improving and recovering mangrove ecosystem function in their region (Table 1). Table 1. Some mangrove rehabilitation/restoration activities in Southeast Asian countries Country Mangrove Rehabilitation Activity No 1 productivity as well as environmental quality of the ecosystem. Mangrove rehabilitaion at Angke Kapuk coastal area Jakarta using Guludan Technique ( ± 25,000 seedlings of Rhizophora spp) and Rouble Mould Water Break Model at the coastaline of Muara Angke Mangrove protection forest by Faculty of Forestry IPB founded by Pertamina, AEON, PGN, KNI, Bank Mandiri, etc. Mangrove rehabilitation by Ministry of Forestry all over the country (more then 30,000 ha) through Gerhan One Man One Tree, OBIT (One Billion Indonesia Tree) and Kebun Bibit Rakyat (KBR) programs, sponsored by JICA,KOICA, etc, beside founded by internal fanding allocation by MoF Mangrove rehabilitation by Pertamina through the program of “Pertamina Sobat Bumi” at 22 regions all over the country totalled 884,360 seedlings Mangrove rehabilitaion by NGO i,e Wetlands Indonesia in Serang, Java; OISCA in Jakarta, Indramayu, South Sulawesi, etc; Yamamoto Foundation in Riau 500 ha, Jambi 20,000 ha, South Sumatra 20,000 ha, Bangka Belitung 10,000 ha Mangrove rehabilitation by International Institution and Donors, i.e. JICA in NTB and Bali; KOIKA in Aceh UNDP-IUCN through the program of Mangrove for the Future (MFF); ADB; ITTO, etc Mangrove rehabilitation by local communities i.e Tuban Mangrove Center in Central Java, Sinjai South Sulawesi, silvofishery-agro-pastoral system in Deli Serdang North Sumatra, silvofishery system in Pemalang Central Java, etc Mangrove rehabilitation by Perhutani at northern coast of Java through empang parit silvofishery systems and komplangan system South China Sea project in West Kalimantan Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf of Thailand Mangrove rehabilitation by various parties, i.e JICA, UNDP, etc Mangrove rehabilitation in the Irrawaddy Delta; 3 234 ha in Lapputta Township, 1 158 ha in Bogalay, and 200 ha in Moulmying yun Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf of Thailand Abandoned shrimp ponds mangrove restoration of 800 ha in Surat Thani by Royal Forest Departement JPSL Vol. 7 (1): 89-97, April 2017 No Country Mangrove Rehabilitation Activity 5 Vietnam 6 7 Philippina Cambodia A pilot project working with local communities in the Pattani Bay area and carried out by the Prince of Songkla University and Wetland International (100 ha) in over-logged forest area and abandoned shrimp ponds Mangrove forest rehabilitation by local community in Ban Prednai, Trat Province, in Bang Khunsai Phetchaburi Province, in Ban Bang Tip, Phang Nga Province and in Ko Kham Community Samut Sakhon Province Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf Thailand In the 1990 mangrove restoration in the Ca Mau Peninsula (6,600 ha) in replanting program together with five state forestry/fishery enterprises Mangrove rehabilitation of almost 1,000 ha in Northern Vietnam at Thiong Long, Thai Thuy, and Tinh Gio Degraded mangrove area rehabilitation in the Mekong Delta region (± 20,638 ha during 1977-1997) Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf Thailand Mangrove reforestation in Banacon by local community since 1957 Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf Thailand Mangrove forestation in Sihanoukville by local community Square Planting Design Zig zag Planting Design Cluster Planting Design Figure 1. Mangrove planting design have been applied in Indonesia 2. Methods 2.1. Planting Design and Tehnique Regarding to the mangrove rehabilitation and restoration, there are three planting design commonly applied in Indonesia (Figure 1) with the spacing of 1x1 m, 1x2 m, 1.5x1.5 m, 2x2 m, and 2x3m depending on the goal of planting and local specific habitats condition. Beside at least eight planting techniques haven been applied by the various parties in planting mangrove in Indonesia (Figure 2). 2.2. Budget for Mangrove Rehabilitation As an archipelagic country, Indonesia has the largest mangrove areas in the world (about 3,2 million ha), but about 70 % of them are destroyed. Because of the paramount important function of mangrove ecosystems, Indonesia has been spent high efforts to rehabilitate and restore degraded mangroves using several techniques to guarantee the success of planting. In oder to serve general guidance for stakeholders to participate in executing the mangrove rehabilitation/restoration, mainly for internal need institution in allocating budget, Ministry of Forestry enacted the Decree of Director General of Watershed Management and Social Forestry No. P.05/VSET/2014 on estimate Unit Price Standard for Mangrove Rehabilitation. In general its regulation giving information such as shown on Table 2. Beside a technical aspect (knowledge of an autecology and silvicultural technique of species to be planted), the cost budget for mangrove rehabiliation or restoration should be considered firmly. According to our experiences, there is a variation cost budget for 91 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 89-97 both producing seedling in the nursery (Rp 900- Rp 1,500) and seedling planting (Rp 18 Million to Rp 22 Million) based on the region. In the average the cost for mangrove planting using propagules is amounted to Rp 1,420 per an individual propagule or about Rp 14,200,000 per hectare and about Rp 1,845 per an individual seedling or about Rp 18,450,000 per hectare using seedling planting (Table 3 and 4). Regarding to seedling production in the nursery, the cost budget is about Rp 1,350 per an individual seedling (Table 5). In this event, I want to describe experience for three difference cases of mangrove rehabilitation in Indonesia. Cemplongan Technique Water Break Technique Guludan Technique Bamboo Pole Tehnique Hole filled mud Polybag Besar sand Huge Polybag Technique Seedling p a Technique Ditch Muddy T Huge Hole Filled Mud T e Cluster Technique Huge Hole Muddy Technique Figure 2. Mangrove planting techniques have been applied in Indonesia. 92 JPSL Vol. 7 (1): 89-97, April 2017 Table 2. Estimate standard unit price for mangrove rehabilitation Unit Price (Rp/ha) No Activity A I. B C D E Mangrove Rehabilitation Planning Design 1. Insentive for worker in measuring the project area 36,000 40,000 44,000 48,000 52,000 2. Material for executing the project 100,100 100,100 100,100 100,100 100,100 3. Mobilization/transfortation 235,000 235,000 235,000 235,000 235,000 4. Data processing map, report writing, and report multiplicating 36,650 38,150 39,150 40,150 41.150 408,000 439,000 469,000 499,000 529,000 2,115,000 2,330,000 2,545,000 2,760,000 2,975,000 5,959,000 6,166,000 6,372,500 6,579,000 6,785,500 8,074,500 8,496,000 8,917,500 9,339,000 9,760,500 807,450 849,600 891,750 933,900 976,050 8,881,950 9,345,600 9,809,205 10,272,900 10,736,550 8,882,000 9,346,000 9,810,000 10,273,000 10,737,000 1,035,000 1,130,000 1,060,000 1,320,000 1,415,000 1,024,000 1,082,000 1,140,000 1,198,000 1,250,000 2,059,000 2,112,000 2,200,000 2,518,000 2,671,000 205,900 2,264,900 211,200 2,323,200 220,000 2,420,000 251,800 2,769,800 267,100 2,938,100 2,265,000 2,324,000 2,420,000 2,770,000 2,939,000 Sub Total I (rounded) II. Seedling Planting 1. 2. Inseentive for seedling planting and maintenance workers Material for seedling planting and maintenance Sub Total II 1. Profit and overhead 2. Cost after profit and overhead Sub Total II (rounded) III. 1. 2. Maintenance Insentive for maintenance workers Materials for maintenance activities Sub Total III 3. 4. Profit and overhead Cost after profit and overhead Sub Total III (Rounded) Note : Number of planting seedling 3,300 ind/ha A : Region of Sumatra, Java, and Bali B : Region of Kalimantan C : Region of Sulawesi D : Region of Nusa Tenggara Timur (NTT) and Nusa Tenggara Barat E : Region of Maluku and Papua Table 3. Cost budget for one hectar propagule planting using a spacing of 1x1 m No. Activity Volume Unit Price (Rp) Total (Rp) 2 3 4 5 6 1 I MATERIALS 1. Stake area borderline 2. Stake planting line 3. Seedling stake 4. Rope binded seedling to stake 5. Rope signed planting line 6. Bamboo basket II INSENTIVE 1. Wage for land clearing 12 Man day 50,000 600,000 2. Wage for stake assembling of row planting area 75 Man day 50,000 3,750,000 3. Wage for seedling stake assembling 4 Man day 50,000 200,000 4. Wage for seedling transportation 35 Man day 50,000 1,750,000 5. Wage for seedling planting 55 Man day 50,000 2,750,000 6. Wage for maintenance 40 Man day 50,000 2,000,000 Cost of planting for one propagule 3,148,000 6 Stem 3,000 18,000 220 Stem 1,000 220,000 10,000 Stem 250 2,500,000 8 Roll 5,000 40,000 120 Meter 1,000 120,000 10 Unit 25,000 250,000 11,050,000 1,419.8 (rounded to 1,420) 93 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 Table 4. JPSL Vol. 7 (1): 89-97 Cost budget for one hectar mangrove planting using seedling with the spacing of 1x1 m No. Activity Volume Unit Price (Rp) Total (Rp) 1 2 3 4 5 6 I MATERIALS 1. Seedling production and 20% seedling stocking 3,148,000 2. Stake area borderline 3. Stake planting line 4. Seedling stake 5. Rope binded seedling to stake 6. Rope signed planting line 7. Bamboo basket II INSENTIVE 1. Wage for land clearing 2. Wage for stake assembling of row planting area 3. Wage for seedling stake plant assembling 4. Wage for seedling transportation 5. Wage for seedling planting 6. Wage for maintenance 12,000 Stem 1,350 16,200,000 6 Stem 3,000 18,000 220 Stem 1,000 220,000 10,000 Stem 250 2,500,000 8 Roll 5,000 40,000 120 Meter 1,000 120,000 10 Unit 25,000 250,000 15,300,000 12 Man day 50,000 600,000 4 Man day 50,000 200,000 35 Man day 50,000 1,750,000 110 Man day 50,000 5,500,000 85 Man day 50,000 4,250,000 60 Man day 50,000 3,000,000 Cost of planting for one seedling 1,844.8 (rounded to 1,845) Table 5. Cost budget for producing 50,000 seedlings in the nursery NO Activity Volume Unit Price (Rp) Total (Rp) 1 2 3 4 5 6 I MATERIALS 1 Polybag Kg 30,000 8,160,000 2 10,000 9,000,000 2 Paranet 900 3 Bamboo stem 275 Stem 12,000 3,300,000 4 Wire, spike, etc 1 Paket 500,000 500,000 100,000 4,000,000 5 Soils 40 m 3 m 3 6 Organic fertilization 10 m 100,000 1,000,000 7 Identity board 1 Unit 1,000,000 1,000,000 8 Board of planting row 1 Unit 5,000 5,000 9 Mica plastic 300 Meter 8,000 2,400,000 10 Seedling transport tools 1 Unit 500,000 500,000 11 mat stock 1 Unit 65,000 65,000 12 Skop 1 Unit 52,500 52,500 13 Sieve tools 1 Unit 150,000 150,000 14 Water shower 1 Paket 2,000,000 2,000,000 II INSENTIVE 1 Nursery land clearing 20 Man day 50,000 1,000,000 2 Seedling area line 50 Man day 50,000 2,500,000 3 Putting soil to the polybag 144 Man day 50,000 7,200,000 4 Seed collection 180 Man day 50,000 9,000,000 5 Seed planting 40 Man day 50,000 2,000,000 6 Maintenance 272 Man day 50,000 Cost for producing one seedling in the nursery 94 32,132,500 272 35,300,000 13,600,000 1,349 (rounded to 1,350) JPSL Vol. 7 (1): 89-97, April 2017 Table 6. Cost budget for constructing one unit Guludan of 4.5 m x 6mx1m Unit Total Cost No. Materials Volume Price (Rp) (Rp) 1 Bamboo 145 Stam 18,000 2,610,000 2 Rope 16 Kg 20,000 320,000 3 Soil 27 M3 80,000 2,160,000 1,674 Sack 1,000 1,674,000 1,674 Sack 1,000 1,674,000 25 Man day 100,000 2,500,000 4 5 6 Plastic sack Filled soil to plastic sack Insentive for workers Total Cost cm seedling height 2.8-3 meter, and biomass 506-702 g/ind for 2 years old) (Figure 4). Surprisingly, this technique can also facilitate natural sucession in guludan, such as Sonneratia spp, Avicennia spp, etc (Figure 5). For constructing a Guludan of 4.5 m (width) x 6 m (lenght) x 1 m (height) planted by 200 seedlings needs a budget amounted to Rp 10,938,000 (Table 12). 10,938,000 Note : for the spacing 0.5x0.5 m, cost for planting one seedling using Guludan Technique is Rp 101,000 3. Result and discussion 3.1. Cases of Mangrove Rehabilitation Programs in Indonesia a. Case (1): Mangrove planting using Guludan Technique in coastal area of Angke Kapuk, North Jakarta Angke Kapuk coastal area lost of about 70 % mangrove area in the periode between 1977 – now, because of conversion to airport, high way, urban facilities, resettlements, and fish ponds. Now, those conversion of mangrove remain only 372 hectares of degraded mangrove – vegetated – land, in which about 95 hectares mainly covered by neglected fish ponds submerged by deep water ranging from one to four meters. Some mangrove planting techniques have been applied for rehabiliting the area, i.e bamboo basket, big can or drum filled soil as a media for growing seedlings, but those techniques fail in growing seedlings. So that, at 2005 Faculty of Forestry IPB introduced Guludan Techniques (Figure 3) for mangrove planting using four to six months seedlings of bakau (Rhizophora spp) with the spacing 0.5x0.5 m. Fortunately, this planting technique success to grow mangrove seedlings well with the survival rate of more than 80 % showing the good performance of seedling growth (at 3 years old, steam diameters reached 2.5-3 (a) (b) Figure 3. Performance of Guludan. Figure 4. Well growth seedlings in Guludan. 95 ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (1): 89-97 Figure 5. Develope succsession of 10 years mangrove planted by Guludan. From the experience of applying guludan technique, we got some lesson learns such as follows: a. Mangrove can be planted in the mineral soils b. The appropriate media for growing mangrove seedlings is the mixed soil between 60% mineral soil and 40 % mud c. In order to avoid abundant weeds, planted mangrove seedlings in the guludan should be submerged about 10-20 cm by waters d. R. mucronata seedlings show grow well at the water salinity less then 20 ppt e. More denser the spacings, more higher the height growth of seedlings and vice versa for stem diameter growth f. Spacings of 0.5 x 0.5 m resulted in the good growth of R. mucronata seedlings planted in guludan g. Lateral Root Manipulation (LRM) with the fertilization of Rock Phospat combined with Humic Substance Complex and Terabuster can be applied to improve the neglected growth of seedlings h. Planted seedlings in the guludan should be maintained until 3 years old from the weeds, snails and caterpillar. b. Case (2): Mangrove planting in the over-logged forest area This action research carried out at over-logged forest area of PT. Bina Lestari Riau by Division of Research and Development of the company for 2 years measurment period (1996-1998) sampled 60 trees of Rhizophora apiculata and Bruguira gymnorhiza with spacing of 1 x 1 m, 1.5 x 1.5 m, and 2 x 2 m, each starting at 6 years old tree and ending at 8 years old ones. Measurement of stem 96 diameter and seedling height steam of sampled trees was done twice in a year (June and December) in two research plots comprising of three measurment plots of 50 x 30 m each for both Rhizophora apiculata and Bruguire gymnorrhiza. Obtained action research results as lesson learn were: a. Based on considering survival rate, volume increment and budget spending, the best spacing is 1.5x1.5 m which showing the increment of steam diameter 0.987-1.464 cm per year, height 0.478-0.689 m per year, and tree volume 10.3310.78 m3/ha/year b. For chipwoods production, the felled trees should be at least 10 cm at DBH, rotation (cutting cycle) 10 years with the forest management period 25 years and the minimal forest area to be managed about 20,140 hectars c. For managing the forest area 20,140 ha for chipwoods production needs about 2,026 workers consisting of 47 person at Forest Management Unit (KPH), 76 persons at SubKPH Level (BKPH), 100 persons at Sub-BKPH level (RPH), 628 persons for silviculture activities (nursery, planting, maintenance), and 1,175 for forest harvesting. c. Case 3: Mangrove Rehabilitation Using Agroforestry Techniques (Sylvofishery, Agrosilvofishery, Agrosilvofishery Pastoral System). At 1970s Perum Perhutani (Forest State Company) introduced the system of Tambak Tumpangsari (Sylvofishery System) using design of empang parit (mangrove forest stand in the middle surrounded by pond channal for culturing fish/shrimp) with the ratio area in one unit fish pond about 80 % forest and 20 % pond channal. In accordance with the passage time, sylvofishery system developed to become various system such as agrosilvofishery and agrosilvofisherypastoral systems which have been applied by local coastal communities (Figure 6). Those kinds of techniques better to be applied for mangrove rehabilitation on the mangrove degraded areas borderline or surrounded by landless poor community. The Farmer at least obtain the net profit amounted to Rp. 4,500,000 in cultivating fish of bandeng/milk fish (Chanos chanos) for one ha fish pond using sylvofishery system (Table 12). The profit increases if the farmer applied agrosilvofisherypastoral system for (chicken, oil palm, milk fish, fuelwood) for once harvesting period (6 months), about Rp. 12,641,000 per ha (Bapak Ginting, personal communication). JPSL Vol. 7 (1): 89-97, April 2017 Silvofishery Empang Parit System Agrosylvopasturalfishery System Empang Parit System Sylvopasturalfishery System Figure 6. Various agroforestry system in mangrove ecosystem Table 7. Expenditure, income, and profit in cultivating milk fish for one ha fish pond sylvofishery system for 4 to 5 months cultivating period of fish No Items Volume Unit price (Rp) Total (Rp) I EXPENDITURE Juvenil fish 5000 ind 110 550,000 Fish feed (pellet) 400 Kg 7,000 2,800,000 Saponin 100 Kg 5,000 500,000 Pond maintenance 500,000 500,000 Fish harvesting 750,000 750,000 Total 5,100,000 II INCOME Fish (milk fish) 700 kg 13,000 9,100,000 Natural fish, shrimp sand crabs 500,000 500,000 Total 9,600,00 PROFIT 4,500,000 References [1] [2] [3] [4] [5] [6] [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, 2009. Peta Mangroves Indonesia. Cibinong: Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations, 2005. Global Forest Resources Assesmen. 2005 thematic study on mangroves, Thailand: DRAFT, AUGUST 2005. FAO Forestry Departement, Rome. Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren, and L. Scholten, 2006. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International. Harger, J. R. E, 1982. Major problems in the functional analysis of mangrove in Southeast Asia. Paper presented at the symposium on mangrove forest ecosystem productivity, April 20-22, 1982, Bogor. Kusmana, C., 1993. A study on mangrove forest management based on ecological data in East Sumatra, Indonesia. PhD. Dissertion, Kyoto University, Japan. , 2010. Konservasi dan Pengelolaan Mangrove. Presented on: Konferensi dan Pameran [7] [8] [9] [10] [11] [12] Nasional “Penyelamatan Hutan Pantai dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir”, 23 November 2010. Lewis, R. R., 2001. Mangrove Restoration. Cost and Benefits of Successful Ecological Restoration. Proccedings of the Mangrove Valuation Workshop, University Sains, Malaysia, Penang, 4-8 April 2001. Cohosted by the Beijer International Institute of Ecological Economics, Stockholm, Sweden. Lewis, R.R. and B. Strever. 2000. Restoration of mangrove habitat. WRP Technical Notes Collection (EDRCTNWRP-VN-RS-3.2), US Army Enginer Research and Development Centre, Vicksburg, MS. www.wes.army.mil/mil/el/wrp. Saenger, P., E. J. Hegerl, and J. D. S. Davie. 1983. Global status of mangrove ecosystems. IUCN. Commision on Ecology Number 3. Snedaker, S. C., 1978. Mangrove: their value and perpetuation. Nature and Resources 14:6-13. Soegiarto, A., 1984. The Mangrove Ecosystem in Indonesia: Its Problems and Management. In: Teas HJ. (Ed.). Physiology and Management of Mangroves: 69-78. W. Junk Publishers, The Hague. Tomlinson, P. B., 1986. The botany of mangroves. Cambridge University Press. 97