Uploaded by User5088

Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Vol.7, No.1 (2017)) Tidak Lengkap

advertisement
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 19-28
NERACA KARBON PRA DAN POST HTI DI BLOK KHUSUS KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN TASIK BESAR SERKAP RIAU
Carbon Balance on Pre and Post of Industrial Forest Plantation in Specific Block of Forest
Management Unit of Tasik Besar Serkap Riau
Ari Suhartoa, Dodik Ridho Nurrochmatb, Tania Junec
a
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680  [email protected]
b
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor
16680
c
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
Abstract. In 2012, Indonesia greenhouse gases emission from all sectors including land use change in forestry (LUCF), energy,
peat fire, waste, agriculture and industry was 1,453,957,000 Ton CO 2e. Objective of this study focus on how much natural forest
can generate CO2 absorpsion from tree growth and its emission from peat decomposition and how much Industrial Forest
Plantation (HTI) generate CO2 absorpsion from tree growth and their emission from peat decomposition when land clearing and
harvesting, its operational activities particularly on transportation and N addition by synthentic fertilizer. The study was conducted
in the 14,546 hectares of specific block of forest management unit of Tasik Besar Serkap, Riau Province since May 2015 until June
2016. Result on this study, carbon stock from natural secondary forest is 61,417,315 ton CO2e, carbon emission from secondary
natural forest is 276,814 ton CO2e, carbon stock from Industrial Forest Plantation is 18,321,886 ton CO2e, meanwhile CO2
emission is 14,568,891 ton CO2e,. The difference between absorption and emission between the two conditions indicate that HTI
has a margin smaller than the secondary natural forest. However CO2 absorpsion of tree growth in HTI give a positive value to
the surrounding environment. This study concluded that the existence of HTI management in the absorption of carbon content in a
period of 20 years has not reached the level of carbon content owned secondary natural forest. Even the emissions caused by HTI
management is much higher than the emissions that occur due to degradation of secondary forests.
Keyword: carbon emission, carbon stock, industrial forest plantation, synthetic N fertilizer, transportation.
(Diterima: 20-07-2016; Disetujui: 15-08-2016)
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Menurut Indonesia first biennial update report
(KLHK, 2015) bahwa pada tahun 2012, total emisi
Gas Rumah Kaca (GRK) untuk tiga gas utama (CO2,
CH4 dan N2O) di luar sektor penggunaan lahan dan
perubahan fungsi lahan dan kehutanan (LULUCF) dan
kebakaran gambut adalah 758.979.000 Ton CO2e. Bila
termasuk sektor LULUCF, maka total emisi GRK
Indonesia menjadi 1.453.957.000 Ton CO2e. Total
emisi GRK (CO2 equivalent) terdistribusi pada CO2
84,1%, CH4 11,9% dan N2O 4,1%. Sektor utama yang
berkontribusi adalah LUCF termasuk kebakaran
gambut (47,8%), diikuti energi (34,9%), pertanian
(7,8%), limbah (6.7%) dan industri (2,8%).
Selama ini peran sektor swasta khususnya berbasis
lahan seperti HTI belum dimunculkan dalam
pelaporan Nasional Komunikasi Indonesia kepada
UNFCCC sebagai salah satu pihak untuk mitigasi
perubahan iklim. Hak ini merujuk kepada Indonesian
First Biennial Update Report (KLHK, 2015).
Penekanan terhadap peran HTI dalam rangka
penanaman pohon sebagai salah satu bentuk upaya
doi: 10.19081/jpsl.2017.7.1.19
mitigasi perubahan iklim perlu mendapat perhatian
lebih dari Pemerintah.
Peran penting sektor kehutanan terlihat pada RPJM
2010-2014 yang menempatkan prioritas pembangunan
sektor kehutanan pada rencana strategis lingkungan
hidup dan pencegahan bencana terkait dengan mitigasi
perubahan iklim (Yasman et al., 2013). Terkait upaya
mitigasi untuk mengurangi emisi GRK dari kegiatan
perubahan penggunaan lahan dan kehutanan ada
berbagai cara yang dapat dilakukan negara maupun
pengusaha di sektor lahan seperti pemegang izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu - hutan tanaman
(IUPHHK-HT) atau yang lazim disebut sebagai hutan
tanaman industri (HTI).
Menurut Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono
mengatakan “tidak tepat jika HTI dinyatakan sebagai
penyebab deforestasi karena itu dibangun hanya di
kawasan hutan yang berfungsi produksi yang
berdasarkan ketentuan perundang-undangan bisa
dioptimalkan pemanfaatannya. Pengembangan HTI
juga tetap harus sesuai tata ruang fungsi arealnya
sehingga tetap bisa mempertahankan wilayah
perlindungan keanekeragaman hayati dan budaya.
Sektor kehutanan Indonesia butuh pengembangan
19
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 19-28
HTI. Pasalnya, produktivitas hutan alam saat ini terus
merosot. Pengembangan HTI juga berkorelasi positif
dengan pengentasan kemiskinan, mendorong
pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki hutan yang
terdegradasi. Jadi HTI ini pro poor, pro job, pro
growth, dan pro environment”1. Hal ini sejalan dengan
Yasman et al. (2013) yang menyatakan bahwa dari
sifat pengelolaannya, karbon di areal hutan produksi
akan naik turun karena aktivitas penebangan dan
pertumbuhan tanaman di areal itu. Bila dibandingkan
dengan karbon pada saat hutan tersebut belum
dikelola, pasti mengalami penurunan. Namun dengan
penerapan pengelolaan hutan lestari/berkelanjutan
maka penurunan stok karbon tersebut dapat ditekan
dan dijaga, sehingga kawasan tersebut akan tetap
selalu produktif.
Selama ini masih terdapat kerancuan definisi
deforestasi dan degradasi yang didiskusikan oleh
berbagai pemerhati kehutanan nasional dan
internasional sebagai batasan arti hutan yang masih
baik, kurang baik dan buruk. Menurut Yasman et al.
(2013) bahwa deforestasi didefinisikan sebagai
perubahan secara permanen dari areal berhutan
menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan
manusia, sedangkan degradasi hutan merupakan
penurunan kualitas tutupan hutan dan stok karbon
selama periode tertentu yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia. Hal ini sesuai dengan pandangan
Nurrochmat et al. (2016) bahwa hal terpenting dalam
reposisi peran pengelolaan hutan dalam kerangka
pembangunan
nasional
berkelanjutan
adalah
menetapkan definisi hutan. Definisi hutan yang jelas
dan operasional sangat penting karena akan
mempengaruhi berbagai tolak ukur kinerja
pengelolaan hutan seperti menetapkan batasan
deforestasi dan degradasi hutan secara kuantitatif
(Gambar 1). Penelitian ini mengacu definisi hutan
sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
14 Tahun 2004 Pasal 1 yang menyatakan bahwa hutan
dalam kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih
(MPB) ialah lahan yang luasnya minimal 0,25 ha dan
ditumbuhi oleh pohon dengan persentasi penutupan
tajuk minimal 30% yang pada akhir pertumbuhan
mencapai ketinggian minimal 5 meter.
Gambar 1 menjelaskan bahwa bahwa definisi hutan
dengan tutupan tajuk minimal 30%. Ketika hutan
sekunder tidak terkelola dengan baik dan tidak
termanfaatkan kondisi tutupan tajuknya akan terus
menurun hingga mendekati batas definisi hutan
(terjadi degradasi atau bahkan deforestasi). Namun
dengan adanya sistem peningkatan efisiensi dan
pengelolaan hutan produksi lestari yang dilakukan
pada HTI maka kondisi tutupan tajuk akan membaik.
Namun bila hal tersebut tidak dilakukan maka kondisi
tutupan tajuk terus menurun yang bisa menyebabkan
degradasi atau bahkan deforestasi. Ketika deforestasi
terjadi maka perlu ada revegetasi dan aforestasi untuk
memperbaiki areal tersebut untuk memenuhi batas
minimal definisi hutan, dan bahkan perlu melakukan
1
http://www.beritasatu.com/nasional/108307-hutan-tanamanindustri-tak-sebabkan-deforestasi.html
20
reforestasi untuk meningkatkan tutupan tajuk dan
melebihi batas minimal definisi hutan.
Sumber: Nurrochmat et al. (2016)
Keterangan: insert kotak dan tulisan HTI oleh penulis
Gambar 1. Kegiatan kehutanan dan dinamika karbon hutan.
KPH Tasik Besar Serkap (KPH TBS, 2014) adalah
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model
Tasik Besar Serkap yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan No 509/MenhutVII/2010 pada tanggal 21 September 2010 berada di
dalam Kawasan Hutan Produksi Tasik Besar Serkap
Propinsi Riau. Kebijakan pembentukan KPH ini
tertuang dalam Undang-Undang Kehutanan No 41
Tahun 1999 dalam pasal 17 ayat 1 yang diuraikan
bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan
dilaksanakan untuk tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota
dan Unit Pengelolaan (Kesatuan PengelolaanHutan).
Di dalam KPH TBS tersebut ada 17 pemegang izin
IUPHHK-HT (HTI yang beroperasi).
Menurut KPH TBS (2014) bahwa Pemerintah
Provinsi Riau melalui Peraturan Daerah (PERDA)
tahun 1994 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi (RTRWP) – Riau menetapkan kawasan ini
sebagai Hutan Lindung Gambut (HLG). Penetapan
kawasan ini sebagai HLG sesuai dengan Keputusan
Presiden (KEPRES) No.32 tahun 1990 tentang
pengelolaan kawasan lindung.
Keadaan topografi pada sebagian besar areal KPH
TBS relatif datar (kemiringan 0 – 8 %) dengan
ketinggian 6 – 20 mdpl. Kondisi lahan hampir 100%
meliputi dataran rawa gambut yang terbentuk dari
endapan aluvium muda dan tua yang terdiri dari
endapan pasir, danau, lempung, sisa tumbuhan dan
gambut (KPH TBS, 2014).
Berdasarkan data KPH TBS (2014) tentang
penggolongan jenis tanah, areal KPH TBS didominasi
oleh tanah organosol/gambut dan sebagian kecil
berupa tanah aluvial dan podsolik. Tanah organosol
sering disebut tanah gambut yang mengandung
banyak bahan organik tanah sehingga perkembangan
tanah dipengaruhi oleh tingkat kematangan,
dekomposisi dan sifat-sifat bahan organik yang
bersangkutan. Secara morfologis, tanah ini dicirikan
oleh pembentukan horizon-horizon yang berwarna
coklat kelam sampai hitam, berkadar air tinggi dan
bereaksi sangat masam (pH 3-5). Secara umum
JPSL Vol. 7 (1): 19-28, April 2017
gambut yang terdapat di Kawasan Semenanjung
Kampar merupakan tipe ombrogen dan terbentuk dari
penimbunan sisa-sisa tumbuhan baik berupa batang,
daun, akar dan bagian tumbuhan lainnya. Kondisi
lingkungan yang selalu terendam air mengakibatkan
proses pelapukan tidak berjalan dengan baik sehingga
terjadi penimbunan bahan organik berupa material
gambut. Pada kondisi demikian, secara alami
penimbunan bahan organik lebih cepat dari proses
dekomposisi, sehingga terbentuklah timbunan
material gambut yang membentuk kubah di bagian
tengah. Hal ini sejalan dengan pengamatan
(FMU/REDD+KIJP, 2016) yang menunjukkan tingkat
kematangan gambut lapisan atas (0-50 cm) adalah
hemosaprik dan saprik, sedangkan pada lapisan bawah
adalah fibrik dan hemik.
Penelitian ini memusatkan perhatian pada
kandungan dan emisi karbon dari kondisi hutan alam
sekunder dan kondisi setelahnya bila diasumsikan
areal tersebut akan dikonversi menjadi HTI.
Kandungan karbon pada hutan alam sekunder yang
mengalami degradasi fokus pada penyerapan karbon
pada saat pertumbuhan tanaman sedangkan emisi
karbon fokus pada dekomposisi gambut yang terjadi
akibat degradasi hutan. Kandungan karbon bila
diasumsikan areal tersebut menjadi HTI pulp dengan
jenis tanaman pokok acacia crassicarpa dan tanaman
kehidupan sagu terfokus pada penyerapan karbon pada
saat pertumbuhan tanaman sedangkan emisi karbon
fokus pada dekomposisi gambut akibat pembukaan
lahan dan pemanenan, serta dari penggunaan pupuk N
sintetis dan bahan bakar transportasi pada masa
operasionalisasi.
Sumbangan
penelitian
terhadap
terhadap
peningkatan ilmu pengetahuan yaitu bahwa
kandungan karbon dari semula hutan alam sekunder
akan berkurang seiring dengan laju degradasi, namun
ketika dikonversi menjadi HTI juga mampu menyerap
karbon dengan pola pengelolaan hutan produksi lestari
yang menggunakan sistem silvikultur tebang habis
permulaan buaatan (THPB) yaitu ketika penggunaan
pola daur 7 tahun, maka setiap blok yang akan ditanam
mengikuti pola tanam blok jalur sesuai dengan rencana
kerja usaha tahunan (RKT).
Kaitan penggunaan pupuk dan emisi gas rumah
kaca dapat dijelaskan dari data global bahwa
penggunaan pupuk N terhadap aktivitas pengelolaan
lahan akan menyebabkan Gas N2O di atmosfer
bertambah 0,2 - 0,3% per tahun. Sedangkan di
Indonesia (KLH 2012), N20 menyumbang 4% dari
emisi CO2e nasional. Berdasarkan nilai yang
dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate
Change pada tahun 2014 bahwa angka potensial
pemanasan global yang dimiliki N2O senilai 298 kali
lipat dibandingkan dengan CO2.
Gambar 2 menunjukkan dengan adanya perlakuan
penggenangan didapat gradasi lapisan pada profil
tanahnya yaitu lapisan oksidatif yang tipis di bawah
genangan air lalu diikuti lapisan reduktif yang tebal di
bawahnya. Apabila pupuk nitrogen diaplikasikan
kedalam lapisan reduktif, denitrifikasi bisa dihambat.
Namun kebocoran sistem berupa sebagian pupuk
nitrogen berada di lapisan oksidatif segera
ternitrifikasi menjadi nitrat yang mobil, kemudian
nitrat yang mobil mencapai lapisan reduktif dan
mengalami denitrifikasi. Transformasi N melalui
proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh pH, pada
kondisi netral hasil akhir berupa N2 sedangkan pada
kondisi masam maupun denitrifikasi oleh denitrifier
yang tidak mempunyai enzim N2O reduktase akan
mengemisikan N2O (Suprihatin, 2007).
Sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor
237/Kpts/OT.210/4/2003 Tanggal 28 April 2003
tentang Pedoman Pengawasan Pengadaan, Peredaran
dan dan Penggunaan Pupuk An-organik bahwa jenisi
pupuk yang diawasi peredarannya seperti pupuk anorganik hara makro primer baik tunggal maupun
majemuk seperti: Urea, TSP/SP-36, ZA, KCI, NP,
NK, PK dan NPK; dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pupuk
Budidaya Tanaman. Sedangkan utuk penggunaan
bahan bakar diatur dalam Peraturan Menteri ESDM
No 1 tahun 2013 tentang Pengendalian Bahan Bakar
Minyak dan PP Nomor 1 tahun 1994 tentang
penyediaan pendistribusian bahan bakar minyak.
Penggunaan pupuk urea selama masa pemeliharaan
tanaman akan menyebabkan hilangnya CO2 yang
sebelumnya telah dipadatkan selama proses produksi
di pabrik. Urea berubah menjadi ammonium (NH 2+),
hydroxyl (OH-) dan bikarbonat (HCO2-), di dalam air
dan enzim urease. Sama halnya dengan reaksi tanah
terhadap pemberian kapur, bikarbonat berubah
menjadi CO2 dan air. Data KLHK (2015)
menyebutkan penggunaan pupuk sejak tahun 20002012 berasal dari data pemakaian pupuk di dalam
pasar domestik dari Asosiasi Produsen Pupuk
Indonesia (APPI). Selain itu, penggunaan urea
diperkirakan dari perkebunan kelapa sawit (di luar
perkebunan skala kecil) dengan membuat perkalian
dengan dosis urea yang direkomendasikan.
Gambar 2 menunjukkan emisi CO2e dari
penggunaan pupuk urea di sektor pertanian yang
berjumlah 3.900.000 Ton CO2e pada tahun 2000 dan
4.853.000 Ton CO2e pada tahun 2012. Peningkatan
emisi dalam penambahan urea diikuti peningkatan
produksi tanaman pangan khususnya padi, dimana
areal sawah yang dipanen dikembangkan secara
konsisten dari tahun ke tahun.
Sumber: De Data (1981) dalam Suprihatin (2007)
Gambar 2. Transformasi nitrogen.
21
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 19-28
Sumber: KLHK (2015)
Gambar 3. Emisi CO2 dari penggunaan pupuk secara nasional pada tahun 2000-2012
Emisi CO2e dari penggunaan pupuk ini
berdasarkan data produksi pupuk secara nasional,
sedangkan untuk penggunaan yang spesifik berada
pada lokasi perusahaan belum dimasukkan. Oleh
karena itu, penelitian ini ingin menunjukkan berapa
besar emisi yang dikeluarkan dari penggunaan pupuk
pada areal lokasi HTI pulp lahan gambut dengan jenis
tanaman acacia crassicarpa.
Mengenai penggunaan bahan bakar diatur dalam
Peraturan Menteri ESDM No 1 tahun 2013 tentang
Pengendalian Bahan Bakar Minyak dan PP Nomor 1
tahun 1994 tentang penyediaan pendistribusian bahan
bakar minyak. Berdasarkan data Kementerian Energi
dan Sumberdaya Mineral sekitar 31% dari konsumsi
energi nasional pada tahun 2008 digunakan untuk
sektor transportasi (KLH, 2010) (Tabel 1).
Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan bahan
bakar untuk transportasi ini dihitung berdasarkan
penggunaan angkutan umum dan pribadi, sedangkan
untuk penggunaan yang spesifik berada pada lokasi
perusahaan belum dimasukkan. Oleh karena itu,
penelitian ini ingin menunjukkan berapa besar emisi
yang dikeluarkan dari penggunaan transportasi pada
areal lokasi HTI. Pada umumnya di perusahaan HTI
menggunakan bahan bakar bensin dan solar untuk
transportasi kendaraan dari kantor ke lahan dalam
masa pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan
dan pemanenan.
89
Transportasi
191
-
0
40
14
0
7
1
0
Rumah Tangga
Komersial
Lainnya
Total
160
29
328
48
-
0
191
31
-
31
85
13
-
19
28
4
%
25
-
-
-
-
25
5
312
16
90
160
79
657
100
Sumber: KLH (2010)
22
Total
Gas Alam
1
Industri
Listrik
LPG
49
Sektor
Batubara
Produk
Minyak
Tabel 1. Konsumsi Energi berdasarkan tipe kegiatan
Terkait
penelitian
sebelumnya
mengenai
hubungan penggunaan pupuk dengan emisi karbon
dinyatakan dalam penelitian Sakata et al., (2014)
bahwa emisi N2O dan CO2 di perkebunan kelapa sawit
dipengaruhi secara signifikan oleh jenis tanah namun
tidak selalu dipengaruhi oleh pemberian pupuk.
Sedangkan hubungan penggunaan bahan bakar
dengan emisi karbon dinyatakan dalam penelitian
Andres et al., (2012) bahwa emisi CO2 dari bahan
bakar meningkat dari tahun ke tahun disebabkan
karena kegiatan pembangkitan listrik dan transportasi
di jalan. Hal ini disebabkan emisi antropogenik adalah
salah satu penyebab utama perubahan iklim dan proses
dari percabangan antara lingkungan dan kehidupan
manusia.
Dari hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan
bahwa memang ada hubungan antara penggunaan
pupuk dan bahan bakar namun belum spesifik berada
di lokasi hutan tanaman industri. Oleh karena itu
penelitian sangat menantang untuk ditelusuri lebih
lanjut.
1.2. Perumusan Masalah
Selama 10 tahun terakhir telah banyak terjadi
konversi hutan rawa gambut menjadi perkebunan
kelapa sawitdan kayu kertas/pulp. Penebangan yang
tidak berkelanjutan dan pertanian diperkirakan telah
merusak lahan gambut. Dengan demikian, lahan
gambut yang masih tersisa akan terancam
keberadaannya untuk dikonversi menjadi perkebunan
maupun hutan tanamanindustri (Rochmayanto, 2009).
Indonesia dan beberapa negara lain di daerah tropis,
terutama Malaysia, Papua New Guinea dan Brunei
Darussalam, selain mempunyai tanahmineral (kering)
juga mempunyai tanah gambut (Histosols). Tanah
gambut menyimpan karbon jauh lebih besar dari pada
tanah-tanah mineral.Jumlahnya bisa lebih dari sepuluh
kali lipat karbon yang tersimpan pada tanah kering,
tergantung dari ketebalan lapisan tanah gambut
tersebut. Semakin tebal lapisan gambut maka semakin
besar cadangan karbon di dalam tanah (Agus et al.,
2011).
JPSL Vol. 7 (1): 19-28, April 2017
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti
mengungkapkan rumusan pertanyaan penelitian ini,
yaitu:
1. Berapa serapan dan emisi karbon pada kondisi pra
HTI di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap
Riau?
2. Berapa serapan dan emisi karbon pada kondisi post
HTI di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap
Riau?
3. Bagaimana neraca karbon pada kondisi pra dan
post di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap
Riau?
2. Menganalisis kandungan karbon tegakan di atas
tanah dan emisi karbon dari dekomposisi gambut,
penggunaan pupuk N sintetis dan bahan bakar
transportasi pada kondisi post HTI di Blok Khusus
KPH Tasik Besar Serkap Riau selama 20 tahun.
3. Menganalisis neraca karbon pada kondisi pra dan
post HTI di Blok Khusus KPH Tasik Besar Serkap
Riau selama 20 tahun.
2. Metode penelitian
2.1. Waktu dan Tempat Penelitian
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, maka
peneliti menjelaskan tujuan dalam penelitian ini,
yaitu:
1. Menganalisis kandungan karbon tegakan di atas
tanah dan emisi karbon dari dekomposisi gambut
pada kondisi pra HTI di Blok Khusus KPH Tasik
Besar Serkap Riau selama 20 tahun.
Penelitian ini akan dilaksanakan di Blok khusus
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Tasik Besar
Serkap (KPHP TBS) di Provinsi Riau (Gambar 4).
Waktu penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Mei
2015 - Juni 2016.
Gambar 4. Lokasi Penelitian.
2.2. Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan peralatan baik dalam
bentuk perangkat keras (hardware) maupun perangkat
lunak (software) komputer. Peralatan tersebut yaitu
laptop, kamera digital dan Microsoft Office.
Penjelasan lebih lanjut mengenai kesesuaian dengan
tujuan, data, sumber dan metode/analisis yang
digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 2.
2.3. Metode pengumpulan dan analisis data
Data terkait kandungan karbon pada hutan alam
sekunder HTI diperoleh dari data sekunder dari hasil
kegiatan FMU/REDD+ KIJP dimana peneliti ikut
terlibat di dalamnya. Data terkait karbon HTI
diperoleh dari data sekunder dimana tidak dilakukan
pengukuran data di lapangan. Data laju degradasai
hutan berdasarkan data sekunder yaitu analisa citra
pada kegiatan FMU/REDD+ KIJP berlangsung. Data
penggunaan pupuk dan bahan bakar diperoleh dari PT
RAPP dimana salah satu stafnya dapat memberikan ke
peneliti.
23
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 19-28
Tabel 2. Tujuan, data, sumber dan metode/analisis penelitian
Tujuan
Menjawab tujuan 1 dan 3
yaitu kandungan karbon
hutan alam sekunder
Data
Stock Factor hutan alam
sekunder
Sumber
Sekunder
Data diperoleh dari kegiatan
FMU/REDD+ KIJP (2016).
Peneliti juga terlibat dalam
pengambilan data di lapangan.
Metode/Analisis
Menjawab tujuan 1 dan 3
yaitu kandungan karbon
hutan alam sekunder
Laju degradasi hutan alam
sekunder
Laju pembukaan hutan alam sekunder
dianalisis dengan hasil analisis citra
Menjawab tujuan 1 dan 3
yaitu emisi karbon hutan
alam sekunder
Dekomposisi gambut
hutan alam sekunder
Menjawab tujuan 2 dan 3
yaitu kandungan karbon HTI
Stock Factor HTI
Sekunder
Data diperoleh melalui analisis
citra kegiatan FMU/REDD+ KIJP
(2016) yaitu 67,83 ha/tahun
Sekunder
Faktor Emisi diperoleh dari IPCC
2014 Wetland Supplement 5.3 x
44/12 = 19,4 ton CO2e/ha/tahun
Sekunder
Data diperoleh dari Rochmayanto
(2009). Tidak dilakukan
pengukuran di HTI sekitar lokasi
penelitian
Menjawab tujuan 2 dan 3
yaitu kandungan karbon HTI
Dekomposisi gambut HTI
Menjawab tujuan 2 dan 3
yaitu emisi karbon HTI
Penggunaan pupuk oleh
HTI
Sekunder
Faktor Emisi diperoleh dari IPCC
2014 Wetland Supplement 20 x
44/12 = 73.4 ton CO2e/ha/tahun
Sekunder
Data diperoleh dari PT RAPP
Menjawab tujuan 2 dan 3
yaitu emisi karbon HTI
Penggunaan bahan bakar
untuk transportasi oleh
HTI
Emisi karbon (dalam satuan CO2) dianalisa
dengan membuat perkalian antara faktor
emisi dengan luas laju degradasi lahan
hutan sekunder
Emisi karbon (dalam satuan CO2) dianalisa
dengan membuat perkalian antara jumlah
penggunaan pupuk dengan faktor emisi
lokal
Emisi karbon (dalam satuan CO2) dianalisa
dengan membuat perkalian antara jumlah
penggunaan penggunaan bahan bakar
dengan faktor emisi dari Intergovernmental
Panel On Climate Change (IPCC, 2006)
Kandungan karbon (CO2e) dianalisa
dengan membuat perkalian antara stock
factor dengan luas lahan hutan sekunder
mengikuti laju degradasi tiap tahun
Emisi karbon (dalam satuan CO2) dianalisa
dengan membuat perkalian antara faktor
emisi dengan luas laju degradasi lahan
hutan sekunder
Kandungan karbon (dalam satuan CO2)
dianalisa dengan membuat perkalian antara
stock factor dengan luas HTI sesuai
dengan tata laksana pola tanam.
Sekunder
Data diperoleh dari PT RAPP
Bagian dari strata
yang mungkin jadi
HTI (ha)
Rasio areal strata
per strata yang
mungkin jadi HTI
(ha)
AGB tree stock
factor (tC/ha)
Hutan dengan
tutupan lahan
sangat rendah
Hutan dengan
tutupan lahan
rendah
Hutan dengan
tutupan sedang
Hutan dengan
tutupan rapat
Total areal yang
bervegetasi
Areal yang akan
dikelola sebagai
HTI (tanaman
pokok)
Stock carbon
factor (Rata-0rata
bobot)
Proporsi strata yang
bervegetasi
Tabel 3. Stock factor hutan alam sekunder
Areal (Ha)
Untuk menganalisis kandungan CO2 dari volume
tegakan tanaman rata-rata dari kondisi hutan alam
sekunder didapatkan dengan pendekatan data
sekunder yang diperoleh kegiatan FMU/REDD+KIJP
pada tahun 2016. Kandungan karbon yang dipakai
dalam penelitian tersebut adalah menggunakan
metode pengambilan data non-destruktif sampling
serta untuk perhitungan menggunakan metode
alometrik biomassa yang dikeluarkan oleh Murdiyarso
pada tahun 2004 yaitu W = Bj 0,19 (D)2,37 dengan
fraksi biomassa menjadi karbon yaitu sebesar 0,47 (W
adalah biomassa, Bj adalah berat jenis dan D adalah
diameter pohon). Data stock factor hutan alam
sekunder tersaji pada Tabel 3.
Di sisi lain angka stock factor hutan tanaman
industri berdasar penelitian Rochmayanto (2009)
untuk tanaman jenis acacia crassicarpa pada umur
tanaman 1-5 tahun berturut-turut yaitu 4,59; 14,34;
25,72; 28,18; 39,51 Ton C/ha, sedangkan untuk umur
tanaman 6-7 tahun diperoleh dari hasil regresi oleh
penulis yaitu 47,57 dan 55,94 Ton C/ha.
hutan tanaman industri pulp lahan gambut jenis
tanaman acacia crassicarpa menggunakan emisi
faktor 73,4 ton CO2e/ha/tahun.
Tutupan lahan
a. Kandungan karbon
879.31
0.06
615.52
0.06
29.06
4,563.98
0.31
3,194.79
0.31
56.38
6,573.87
0.45
4,601.71
0.45
59.02
2,529.03
0.17
1,770.32
0.17
82.94
14,546.19
10,182.33
60.54
Sumber: FMU/REDD+ KIJP (2016)
2.3.2 Emisi karbon dari dekomposisi gambut
b. Emisi karbon dari penggunaan pupuk
Penelitian ini menggunakan faktor emisi
dekomposisi gambut dari IPCC wetland supplement
pada tahun 2014. Emisi dari degradasi hutan alam
sekunder dan pembukaan lahan hutan alam sekunder
menjadi HTI menggunakan angka emisi faktor 19,4
Ton CO2e/ha/tahun. Emisi dari kegiatan pemanenan
Untuk mendapatkan faktor emisi (FE) pupuk
didapat dari penggunaan data yang didapat di lokasi
penelitian, sedangkan FE untuk bahan bakar tidak ada
data ketelitian tinggi yang ada di Indonesia (Tier 3),
24
JPSL Vol. 7 (1): 19-28, April 2017
maka dapat digunakan data IPCC yang berada pada
level data ketelitian rendah (Tier 1).
Untuk menganalisis emisi CO2 data maka data
yang telah terkumpul akan dimasukkan dalam
persamaan umum untuk pendugaan emisi CO2 (KLH
2012).
E= FE x DA
Keterangan:
E = Emisi (dalam satuan ton CO2)
FE = Faktor emisi yang menunjukkan besarnya emisi
per satuan unit kegiatan yang dilakukan
DA = Data aktivitas yaitu data kegiatan
pembangunan atau aktivitas manusia yang
menghasilkan emisi
Untuk mendapatkan FE pupuk didapat dari
penggunaan data yang didapat di lokasi penelitian,
sedangkan FE untuk bahan bakar bila tidak ada data
ketelitian tinggi yang ada di Indonesia (Tier 3), maka
dapat digunakan data IPCC yang berada pada level
data ketelitian rendah (Tier 1).
c. Emisi dari penggunaan bahan bakar transportasi
E fc = FUEL a x EF a
FUEL a = LITERS fuel,a x DENSITY fuel,a x NCV fuel,a
x 10-3
Keterangan:
Emisi CO2e akibat konsumsi
EFC
: bahan bakar untuk transportasi; t
CO2e
Energi yang dihasilkan dari
Fuela
: penggunaan bahan bakar jenis a;
TJ
Faktor Emisi bahan bakar jenis a;
EFa
:
tCO2e /TJ
A
: 1,2,3,... jenis bahan bakar
Jumlah bahan bakar jenis a yang
Liters Fuel,a
:
dihunakan; liter
Berat jenis bahan bakar tipe a;
DensityFuel,a :
kg/liter
Net Calorific Value bahan bakar
NCVFuel,a
:
tipe a; TJ/Gg
Umumnya, bahan bakar yang digunakan dalam
transportasi HTI adalah bensin (gasoline) dan solar
(diesel oil).
Tabel 4. Default value EF IPCC untuk bahan bakar
Jenis
bahan
bakar
Berat jenis
Kg/liter
Liter/ton
Bensin
Solar
0.7407
0.8439
1350
1185
NCV
(TJ/Gg)
Faktor emisi*2
(t CO2/TJ)
44.3
43.0
69.3
74.1
Faktor emisi bensin berkisar antara 67,5 -73 dan
solar berkisar antara 72,6-74,8. Kelemahan dari
default value yang dikeluarkan oleh IPCC ini adalah
pada tingkat ketelitian yang masih pada tahap Tier1.
Tier 1 artinya level kedetilan suatu data masih
menggunakan data global. Hal ini dimungkinkan
karena ketersediaan data faktor emisi bahan bakar
secara nasional belum ada. Jika data nasional sudah
ada maka level kedetilan menjadi Tier 2 dengan
tingkat ketelitian dan keakuratan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Tier 1. Selain itu penggunaan,
tier 1 ini tidak membedakan jenis kendaraan, apakah
menggunakan roda 2, roda 3, roda 4 dan seterusnya
bahkan penggunaan perahu juga tidak dibedakan.
Pendekatan tier 1 dalam penelitian ini hanya melihat
penggunaan bahan bakar tanpa melihat jenis
kendaraan.
3. Hasil dan pembahasan
3.1. Kandungan karbon dari hutan alam sekunder di
blok khusus KPHP Model Tasik Besar Serkap
Gambar 5 menjelaskan bahwa pada tahun ke-1 luas
hutan alam sekunder telah mengalami degradasi seluas
67,83 ha yang semula 14.546,19 ha menjadi 14.478,36
ha. Kandungan karbon pada tahun ke-1 tersebut
diperoleh dari hasil perkalian antara stock factor 60,54
ton C/ha dengan luas hutan alam sekunder pada tahun
ke-1, sehingga diperoleh kandungan karbon sebesar
866.519 Ton C atau sebesar 3.213.906 Ton CO2e.
Kemudian pada tahun ke-20 luas hutan alam telah
mengalami degrdasi terus menerus dengan laju
degradasi per tahun 67,83 ha, maka sisa luas areal
hutan alam sekunder adalah 13.189,59 ha. Kandungan
karbon pada tahun ke-20 diperoleh dari hasil perkalian
antara stock factor 60,54 ton C/ha, sehingga diperoleh
798.497 Ton C atau 2.927.875 ton CO2e.
3.2. Emisi karbon dari hutan alam sekunder di Blok
Khusus KPHP Model Tasik Besar Serkap
Gambar 6 menjelaskan bahwa pada tahun ke-1 luas
hutan alam sekunder telah mengalami degradasi seluas
67,83 ha yang semula 14.546,19 ha menjadi 14.478,36
ha. Emisi karbon pada tahun ke-1 tersebut diperoleh
dari hasil perkalian antara faktor emisi dekomposisi
gambut 19,43 ton CO2e/ha/tahun dengan luas hutan
alam sekunder pada tahun ke-1, sehingga diperoleh
emisi karbon sebesar 1.318,16 Ton CO2e. Kemudian
pada tahun ke-20 luas hutan alam telah mengalami
degrdasi terus menerus dengan laju degradasi per
tahun 67,83 ha, maka sisa luas areal hutan alam
sekunder adalah 13.189,59 ha dengan total luas lahan
yang telah terdegradasi 1.356,6 ha. Emisi karbon pada
tahun ke-20 diperoleh dari hasil perkalian antara faktor
emisi dekomposisi gambut 19,43 ton CO2e/ha/tahun
dengan luas hutan yang tersisa, sehingga diperoleh
26.363 ton CO2e.
2
Dalam nilai faktor emisi ini, diasumsikan nilai oksidasi
adalah 1
25
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 19-28
3.3. Kandungan CO2 dari perusahaan hutan
tanaman industri pulp lahan gambut di sekitar
blok khusus KPHP Model Tasik Besar Serkap
Gambar 7 menjelaskan bahwa pada tahun ke-1 luas
hutan tanaman industri yang telah ditanam adalah
1.454 ha. Kandungan karbon pada tahun ke-1 tersebut
diperoleh dari hasil perkalian antara stock factor HTI
dengan luas hutan tanaman industry yang tertanam
pada tahun ke-1, sehingga diperoleh kandungan
karbon sebesar 24.481 Ton CO2e. Kemudian pada
tahun ke-7 hingga ke-20 luas hutan tanaman industri
yang tertanam adalah 10.182 ha. Kandungan karbon
pada tahun ke-7 hingga tahun ke-20 diperoleh dari
hasil perkalian antara stock factor HTI dengan luas
hutan tanaman industri yang telah tertanam, sehingga
diperoleh 1.151.268 ton CO2e. Kandungan karbon
tahun ke-7 hingga tahun ke-20 stabil sejalan dengan
pola rencana usaha HTI.
Gambar 5. Kandungan karbon pada hutan alam sekunder.
Gambar 6. Emisi karbon pada hutan alam sekunder.
26
JPSL Vol. 7 (1): 19-28, April 2017
Gambar 7. Kandungan karbon pada hutan tanaman industri acacia crassicarpa.
3.4.
Emisi CO2 dari penggunaan pupuk sintetis
Gambar 8 menunjukkan bahwa di dalam
perhitungan ini faktor emisi menggunakan faktor
emisi lokal yaitu 0,53 t CO2/ha/tahun dan data
aktivitas menggunakan data luas area yang
direncanakan untuk ditanami tanaman HTI. Penelitian
ini menggunakan asumsi daur 7 tahun untuk siklus
penebangan tanaman. Dari formula tersebut didapat
hasil emisi CO2 dari penggunaan pupuk sintetis selama
20 tahun dengan daur tanaman selama 7 tahun, artinya
pada akhir tahun ke-7 tanaman akan mulai dipanen
sebagaimana tata laksana rencana kerja usaha HTI
pulp. Pada tahun ke-7 hingga ke-20 jumlah emisi CO2
yang dihasilkan adalah stabil karena tata lakasana pola
tanam HTI telah berjalan stabil, termasuk pada saat
masa pemeliharaan untuk pemupukan tanaman.
3.5. Emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar
transportasi
Sesuai dengan tata laksana rencana kerja usaha
HTI bahwa aktivitas di lapangan semakin meningkat
pada tahun ke-1 hingga tahun ke-7 sehingga
menyebabkan emisi bahan bakar juga mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Kemudian
operasionalisasi HTI sudah mulai stabil sejak tahun
ke-7 hingga tahun ke-20 sehingga menyebabkan emisi
dari penggunaan bahan bakar transportasi yang
dikeluarkan juga stabil yaitu sekitar 1100 ton CO2e per
tahun (Gambar 9).
Gambar 9. Emisi karbon dari penggunaan bahan bakar
transportasi.
Gambar 8. Emisi karbon dari penggunaan pupuk.
27
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 19-28
3.6. Emisi dekomposisi gambut di areal HTI akibat
pembukaan lahan dan pemanenan
sesuai rencana usaha. Emisi dari hutan tanaman
industri juga terjadi disebabkan dekomposisi
gambut pada saat pembukaan lahan dan
pemanenan serta penggunaan pupuk dan bahan
bakar transportasi. Untuk areal tanaman
kehidupan, baik kandungan karbon dan emisinya
tidak signifikan. Untuk areal kawasan lindung,
kandungan karbon akan selalu terjaga sehingga
tidak terjadi emisi akibat dekomposisi gambut dan
kandungan karbonnya akan stabil sejak tahun ke1-20. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
keberadaan pengelolaan HTI dalam penyerapan
kandungan karbon pada jangka waktu 20 tahun
belum mencapai tingkat kandungan karbon yang
dimiliki hutan alam sekunder. Bahkan emisi yang
terjadi akibat pengelolaan HTI jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan emisi yang terjadi akibat
degradasi hutan sekunder.
Penelitian ini menghitung emisi di arel hutan
tanamn industri dari sumber dekomposisi gambut
akibat akivitas pembukaan lahan hutan alam sekunder
menjadi areal HTI dan pada saat pemanenan di setiap
umur tanamn 7 tahun. Total emisi dekomposisi
gambut adalah 14.568.891 ton CO2e dengan rata-rata
per tahun 728.444 ton CO2e.
3.7. Neraca karbon pra dan post HTI di Blok Khusus
KPH Tasik Besar Serkap
Penelitian ini membahas kondisi karbon sebelum
adanya hutan tanaman industri yang masih berbentuk
hutan alam sekunder dan setelah adanya hutan
tanaman industri selama 20 tahun. Neraca karbon
digambarkan dari kandungan CO2 dan Emisi CO2 dari
masing-masing kondisi tersebut. Kandungan karbon
pada hutan alam sekunder yaitu 61.417.315 ton CO2e
dan emisi CO2 pada hutan alam sekunder adalah
276.814 ton CO2e. Kandungan karbon hutan tanaman
industri yaitu 18.321.886 ton CO2e dan emisi karbon
dari hutan tanaman industri yaitu 14.568.891 ton
CO2e.
Daftar pustaka
[1]
[2]
4. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah
dibahas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Selama 20 tahun kandungan karbon dari areal
hutan alam sekunder di blok khusus KPHP Model
Tasik Besar Serkap adalah 61.417.315 ton
sedangkan emisi karbon dari areal hutan alam
sekunder adalah di blok khusus KPHP Model
Tasik Besar Serkap adalah 276.814 ton CO2e.
2. Selama 20 tahun kandungan karbon dari areal
hutan tanaman industri pulp lahan gambut adalah
18.321.886 ton CO2e, sedangkan emisi karbon
areal hutan tanaman industri pulp lahan gambut
adalah 14.568.891 ton CO2e. Emisi ini timbul
akibat dekomposisi gambut pada saat pembukaan
lahan, pemanenan dan penggunaan pupuk dan
bahan bakar transportasi sejak pembukaan lahan
hingga pemanenan.
3. Dalam luas 14.546 hektar areal bervegetasi di Blok
Khusus KPh Tasik Besar Serkap telah terjadi
neraca karbon selama 20 tahun sejak areal tersebut
masih berupa hutan alam sekunder hingga
diasumsikan menjadi hutan tanaman industri pulp
lahan gambut. Selama 20 tahun terlihat bahwa
kandungan karbon di areal tersebut mengalami
perubahan, dimana kandungan karbon hutan
sekunder mengalami penurunan terus menerus
akibat laju degradasi hutan disertai dengan emisi
dari dekomposisi gambut yang terjadi. Di sisi lain,
hutan tanaman industri juga mampu menyerap
kandungan karbon dengan intensitas meningkat
sejak tahun ke 7-20 seiring dengan laju penanaman
28
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[FMU/REDD+KIJP] Forest Management Unit/Reduction
Emission from Forest Deforestation and Degradation Korea
Indonesia Joint Project, 2016. Preserving Peat Ecosystem
through REDD+ activity in Kampar peninsula RiauIndonesia. FMU/REDD+ KIJP, Jakarta.
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup, 2012. Pedoman
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional,
Buku I Pedoman Umum. KLH, Jakarta.
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup, 2010. Indonesia
Second National Communication under Uniteds Framework
on Convention on Climate Change. KLH, Jakarta.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
2015. Indonesia first biennial update report (BUR) under the
United Nations Framework on Climate Change. KLHK,
Jakarta.
[KPHP TBS] Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model
Tasik Besar Serkap. 2014. Rencana Pengelolaan Hutan
Jangka Panjang (RPHJP) Periode 2014-2023. Indonesia,
Pekanbaru.
Andres R. J., T. A. Boden, F. M. Bréon, P. Ciais, S. Davis,
D. Erickson, Gregg, J. Sterling, A. Jacobson, G. Marland, J.
Miller, T. Oda, J. G. J. Olivier, M. R. Raupach, P. Rayner, K.
Treanton, 2012. A synthesis of carbon dioxide emissions
from fossil-fuel combustion. J. Biogeosciences 9, pp. 1845–
1871.
Nurrochmat D. R., D. Darusman, M. Ekayani. 2016.
Kebijakan Pembangunan Kehutanan dan Lingkungan. Teori
dan Implementasi. IPB Press, Bogor.
Rochmayanto Y., 2009. Perubahan kandungan karbon dan
nilai ekonominya pada konversi hutan rawa gambut menjadi
hutan tanaman industri pulp [tesis]. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Sakata R, S. Shimada S, H. Arai, N. Yoshioka, R. Yoshioka,
H. Aoki, N. Kimoto, A. Sakamoto, L. Melling, K. Inubushi,
2014. Effect of soil types and nitrogen fertilizer on nitrous
oxide and carbon dioxide emissions in oil palm plantations.
J. Social Science and Plan Nutrition 61(1), pp. 48-60.
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 29-36
ECONOMIC VALUATION FOR WATER SUPPLY FROM MERAPI
VOLCANO NATIONAL PARK
(CASE STUDY: KALI KUNING SUB WATERSHED)
Ayu Diyah Setiyania, Charlotte de Fraitureb, Robiyanto H. Susantoc, Annelike Dukerd
a
Program Double Degree Integrated River Lowland and Coastal Development Management and Planning,
Sriwijaya University and UNESCO-IHE, Jl. Padang Selasa, Palembang
b
Water Science Engineering-Land and Water Development Department, UNESCO-IHE, Westvest 7, 2611 AX Delft,
Netherlands
c
Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sriwijaya, Jl. Padang Selasa, Palembang
d
Water Science Engineering-Land and Water Development Department, UNESCO-IHE, Westvest 7, 2611 AX Delft,
Netherlands
Abstract. The Merapi Volcano National Park (MVNP) is developed based on particular considerations such as protecting
ecosystem or preserving certain species. Management of national park will not succeed unless the communities surrounding park
support the park itself. However, it will be challenging because the park was established through a ‘top-down’ process.
Therefore, it is important to ensure that the surrounding communities are able to derive benefit economically from the park, especially environmental services such as water supply. The goal of this study is to estimate the economic value for water supply
from MVNP with Kali Kuning Sub Watershed as the study case. The economic valuation is estimated based on three different
scenarios of land use maps: 2015’s (deforestation), 2025’s (afforestation) and extreme condition which is grassland (without
national park). The economic value is approached by market price for water use value. Lastly, cost and benefit analysis based on
several scenarios (deforestation, afforestation and ‘without national park’) is implemented. The study shows that afforestation
scenario presents the highest economic value from water supply for the surrounding communities as well as the downstream
communities.
Keywords: economic valuation, environmental services, water supply, national park
(Diterima: 28-07-2016; Disetujui: 03-12-2016)
1. Introduction
An ecosystem in Merapi Volcano was established
as a national park in 2004 by Ministry of Forestry Decree No 134/Menhut-II/2004 due to its role in the ecosystem. During the establishment process of the
Merapi Volcano National Park (MVNP), there is a
misunderstanding between the authority of the MVNP
and the community surrounding the national park.
This problem is because the surrounding village inhabitants utilize the forest resources in the park as
grazing land, firewood source, water source, sand
mining, and pine resin production according to the
result of the social economic survey (MVNP, 2011).
Meanwhile, the Law 5/1990 and Law 41/1999 state
that the people are not allowed to retrieve those kinds
of utilization anymore. Therefore, the people rejected
the establishment of the park. In other words, the locals thought that the park was no longer to give any
benefit economically for them.
Although the main purpose of national parks establishment is to protect the ecosystem and all ecological
processes inside, people can still derive the benefit
from those areas. The national parks give a huge number of environmental services to human life beyond
the park boundary especially in water services which
are an essential part for human life. It is true that ecosystem functions are discussing habitat, biological or
doi: 10.19081/jpsl.2017.7.1.29
system properties or process, but ecosystem goods and
services are referred to the benefit that human gets
from the ecosystem function (Costanza, et al., 1997).
Costanza (1997) also calculated the value of environmental services in varies ecosystem in the world including tropical forest in Indonesia. It was estimated
that tropical forest in Indonesia had more than US $
10,000 ha-1 year -1.
In addition, the national parks with their specific
ecosystem are not only able to support biodiversity
and biological functions but also to benefit ecosystem
services (ES) that are socially valuable (Boyd and
Wainger, 2003). Further, the benefits of the protected
areas spread over their boundaries, so the protected
areas can be considered as sustainable development
and economic strategies to promote these benefits
(Mulongoy and Gidda, 2008) and the ecology system
service supports the human directly and indirectly
(Costanza et al., 1997).
Even though it is understood that protected areas
have an important role in supporting ecosystem service, protected areas are a lack of support from others
stakeholders such as local government, surrounding
communities and private sectors who often oppose
rather than contribute in protected areas management
(Midora and Anggraeni, 2006). Generally, the community around the national park do not think that they
29
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 29-36
get benefit from the existence of the conservation areas.
Meanwhile, the success key of the national parks
management relies on the stakeholders' contribution to
the parks. It is possible to the stakeholders including
the surrounding communities disregard to the conservation efforts if they do not get the benefit. Therefore,
it is necessary to ensure that the stakeholders around
the parks, particularly the communities, become the
beneficiaries (MacKinnon et al., 1986). It is also stated
by Pattanayak (2004) that the contribution to the watershed protection and conservation relies on the net
advantages presented by the watershed itself.
Therefore, it is important to realize the ecosystem
change and to value ES economically (Bingham et al.,
1995) because a better understanding of economic
value can be useful for the decision making. Even
Boyd and Wainger (2003) stated that there is a huge
potential but the mostly unexploited role of environmental services valuation in regulatory decision making.
`The objective of this paper is to estimate the economic value for water supply from MVNP with Kali
Kuning Sub Watershed as the study case. This objective can be accomplished by understanding some specific objectives which are to define the water use from
Kali Kuning sub watershed, to quantify total economic
value of the water supply in the national park, and to
understand the link between economic value and ecosystem change (in this paper is land use change).
2. Methods
This research was conducted in Kali Kuning sub
watershed in MVNP on September 2015 to February
2016 (Figure 1a, 1b and 1c). The study areas were
limited in villages abstracting water from Kali Kuning
sub watershed which are Hargobinangun, Umbulharjo
and Kepuharjo Village.
Merapi Volcano NP boundary
Figure 1a. Boundary of Merapi Volcano National Park.
30
JPSL Vol. 7 (1): 29-36, April 2017
Figure 1b. Kali Kuning sub watershed (study area) in
Merapi Volcano National Park.
Water Management Organization, Water Users Association, local government, drinking water companies,
and Farmers Association. The data was collected in
those three villages on September to October 2015.
All the collected data was analyzed to calculate the
economic value of water estimating based on market
price.
The secondary data was collected from institutional
document such as field report from MVNP, regular
report from Energy, Water and Mineral Resources
Agency of the Sleman Regency and document from
local government and organizations. Other data was
derived from scientific report such as scientific paper
and thesis. All data was used to figure out the ecosystem change and to estimate the impact of its change.
The impact of land use change was estimated by Setiyani (2016) using Soil Water Assessment Tool
(SWAT).
The primary and secondary data was used to estimate economic value for water supply in different
scenarios. Those land uses are 2015’s land use or
known as deforestation scenario, 2025’s land use or
known as afforestation and grassland or called as
without national park scenario. The 2015’s land use is
understood as deforestation scenario because most of
the forested area was damaged due to volcano eruption in 2010. The 2025’s land use is predicted land use
based on MVNP’s restoration plan. However, the
grassland is an extreme condition where all the park
does not exist completely change to be grassland for
grass production. This condition was assumed based
on the highest pressure to the park as grass production
in order to support communities’ livelihood as dairy
farmers. The land use scenarios can be seen in Figure
2 and Table 1. The economic value is understood by
applying cost and benefit analysis in each scenario.
3. Result and Analysis
3.1. Water Use
Figure 1c. Villages that abstract water from Kali Kuning
sub watershed.
The primary data contain field observation to find
out the general condition of the study area. The collected data are the utilization of the water from the
Kali Kuning sub watershed in order to identify the
direct value of the water. The water use in the study
area can be categorized as three groups which are
drinking water for the downstream areas like Yogyakarta City and Sleman Regency, drinking water for the
habitant in surrounding villages and irrigation. Data of
economic valuation were collected by deep interview
with the respondents, and then it was validated by
focus group discussion (FGD). The data are also collected by interviewing and discussing with a formal
and informal organization such as Village Drinking
It is understood that the water supply from the park
can be categorized based on water utilizations and
users. First, the water is used as drinking water for the
downstream communities. It is managed by the drinking water company like Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Darma, PDAM Tirta Marta, Perusahaan Daerah (PD) Anindya Argajasa Kaliurang.
Second utilization is drinking water for the locals or
communities surrounding the park. It is managed by
local organizations such as Organisasi Pengelola Air
Bersih or local organization for drinking water
(OPAB) Umbularjo, OPAB Tirtogondang, OPAB
Pangukrejo and Hunian Tetap or permanent settlement
(HUNTAP) Kepuharjo. The last purpose of water
from the park is for irrigation water. Irrigation is organized by water users associations in Umbulharjo and
Hargobinangun, known as Persatuan Petani Pemakai
Air (P3A) Umbulharjo and P3A Hargobinangun.
31
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 29-36
Figure 2. Map of land use scenarios in 2015 (deforestation), 2025 (afforestation) and without national park (grassland)
Table 1. Land use scenarios in 2015 (deforestation), 2025 (afforestation) and without national park (grassland)
Land cover code
Percentage of area
2015
2025
No NP
Agriculture
Grass (planted)
PAST
0
0
0
Bare Soil
Bare soil
BARR
8
4
3
Forest
Mixed forest
FRST
51
78
0
Grassland
Range grass
Green bean and chili
It is assumed as bell pepper (Capsicum
annum)
Various crops mix with grass and trees
(general agriculture)
Low density settlement
RNGE
32
Neglected
(equal to
0)
10
Neglected
(equal to
0)
96
Neglected
(equal to
0)
AGRL
8
8
0
URLD
1
1
1
Irrigated Agriculture
Mix Garden
Settlement
However, there are other stakeholders who have interest in the water supply which are MVNP and local
institution. The MVNP as national park authority has
interest in ecological flow. It is because the ecological
flow is tightly related to remain discharge in the Kali
Kuning River. The ecological flow is often used by
the wildlife in the park to fill their needs. The local
institution is Energy, Water and Mineral Resources
Agency of the Sleman Regency, an official agency
who manages water allocation for each stakeholder.
The water of Kali Kuning sub watershed is distributed based on Environmental Impact Assessment published by Energy, Water and Mineral Resources
Agency of the Sleman Regency in 1999 (Figure 3).
However, the current situation is totally different because the drinking water companies abstract more
water. The actual water abstraction is clearly explained in Figure 4. The companies abstract 48% of
water while they should only derive 35% of water. In
other words, the water demand does not meet with
32
Land Use
(LU) code
Land cover description
PEPR
water allocation. The high amount of water demand is
dominated by water companies that serve downstream
areas. Their customers are households and industries
in downstream. This amount is predicted to increase
year by year due to increasing population and economic growth.
The local communities are suffered from over exploitation by water companies. It is because the water
abstraction for irrigation is decreased from 50% to
28%. It leads to water scarcity regarding irrigation
especially in dry season. Meanwhile, most of the local
rely on agriculture and dairy cattle for their lives. In
addition, those two businesses are tied tightly with
water availability.
JPSL Vol. 7 (1): 29-36, April 2017
Source: Environmental Impact Assesment (1999)
Figure 3. Water allocation in Kali Kuning Sub Watershed.
Source: Calculation based on average water abstraction from
monthly report of Energy, Water and Mineral Resources Agency of
the Sleman Regency (2006-2015)
Figure 4. Average water abstraction in Kali Kuning Sub
Watershed.
3.2. Economic Value of Water Supply
The economic value from water supply was calculated differently based on water uses which are drinking water for downstream communities, drinking water for surrounding areas and irrigation water. Economic value of drinking water was estimated using
two different market prices due to different market.
Drinking water for the downstream communities are
calculated based on market price which is declared by
the drinking water companies (both of PDAM). However, the market price for the drinking water in surrounding communities is approached using the highest
price in the three different villages. It was assumed
that the highest price is the level of willingness to pay
(WTP) from water users. Meanwhile, the irrigation
water is computed using crop yield, dairy production
and water trading. It is because the local use the irrigation water to irrigate dry land agriculture with chilli
and green bean as main crop, to grow grass for their
dairy cattle, to fill water services (drinking and cleaning) of dairy cattle and to trade the water to the hotels.
Therefore, the irrigation water is approached by production and market price of dry land agriculture and
milk and water trading to the hotels.
Therefore, the total economic value of water services from Kali Kuning sub watershed based on drink-
ing water, milk production, agriculture yield and water
trading. The result of the calculation of the benefit is
presented in Table 2. Based on the calculation, it is
revealed that the total economic value is approximately USD 1.6 million per year for whole watershed. Furthermore, this benefit is shared among the water users
in upstream and downstream.
Compared to the previous studies about economic
valuation in the neighborhood national parks, the annual economic value of the Kali Kuning sub watershed shows a lower value than that in Merbabu National Park (MNP). In MNP, the economic valuation
was estimated by water supply from Upper Tuntang
watershed. The economic value in Upper Tuntang
watershed was calculated by a market price in Semarang City which was USD 0.20 per m3. It was known
that annual economic value for the water supply is
approximately IDR 111 billion or USD 8.2 million
(Havid and Suroso, 2013). For the Upper Tuntang
watershed, the total economic value for potential water services is USD 3,098/Ha. Meanwhile in Kali
Kuning watershed, the economic value is USD
2,516/Ha. Both of value is calculated using same market price which is USD 0.20/m3. The difference from
those watersheds can be caused by the difference
amount of water yield.
The different water yield between two ecosystems
is possible depending on vegetation coverage
(Gumidonga et al., 2014). The difference between
those values is in result of water yield in both areas. It
is related to land use in both areas. In Upper Tuntang
watershed, it is dominated by agriculture, while in
Kali Kuning it is dominated by mixed forest. Vegetation has a significant impact to generate surface flow
and base flow. The absence of the vegetation cover
makes most of the rainfall becomes to be surface flow
rather than to be base flow. Further, it is able to decrease the lateral flow and ground water flow. However, the presence of vegetation can direct to higher lateral flow and groundwater flow due to infiltration and
percolation.
In addition, economic value of water services in
Upper Tuntang was calculated based on water yield;
meanwhile, economic value of water services in Kali
Kuning is estimated based on water abstraction. It is
possible that the economic value of water services in
Kali Kuning will be as much as in Upper Tuntang if it
includes the water for ecological flow.
3.3. Impact of Land Use Changes in Water
Availability
It is understood that land use changes contribute
significant impact not only to hydrological regimes
such as runoff, ground water flow and stream flow.
According to Tang et al. (2011), land use changes
affect stream flow and sediment yield differently. For
instance, conversion from forest to massive use such
as agriculture or grassland can be positive in the wet
season and be positive or negative in the dry season
(Lele, 2009).
33
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 29-36
Table 2. Annual economic value based on actual year (2015’s land use)
Water Use
Drinking Water
Companies
Communities
Milk Production
Dryland agriculture
Chili
Green Bean
Trade
Annual Production
Economic Value
(USD)
5,234,976 m3
1,119,528 m3
1,678,224liter
USD0.20/m3
USD 0.75/10 m3
USD0.30/liter
1,046,995
48,193
503,467
13,500 kg
4,000 kg
USD3.00/kg
USD 0.20/kg
40,500
800
489
Total Economic Value
Therefore, it is important to see the effect of the environment changes. It becomes an essential part to
figure out what is the cost and what is the benefit due
to environment change (Lele, 2009). Thus this study
used three different land use scenarios to estimate the
economic value of water supply if there are environment changes. Those three different scenarios are deforestation, afforestation and grassland scenario.
Due to the land use change scenarios, it is well understood that in afforestation scenario the water can
fulfil the water demand for drinking and irrigation
purposes. Afforestation has higher evaporation rates
than deforestation and grassland scenario. It makes
afforestation scenario produce the least water in the
river in the wet period. However, afforestation scenario gives the highest amount of discharge in dry period
(Setiyani, 2016).
However, in grassland scenario, the discharge in the
river decreases about 3 to 56% in dry months (Setiyani, 2016), especially in the peak of dry months in
August to October. This difference is computed by
subtracting the discharge in deforestation scenario
(2015’s land use) and the discharge in grassland. This
decreasing discharge was modelled using SWAT in
dry season in dry period in 1997. It means that, the
water supply does not accommodate the water demand
in dry season under grassland scenario.
These occurrences are caused by vegetation coverage. Vegetation coverage can retain water from rainfall and then transform it as ground water recharge.
Grassland is also able to hold water and absorb it as
recharge, but it is not as high as forest capability. It is
also stated by Gumidonga et al. (2014), he found that
the land cover can delayed runoff by infiltration and
resulting in the higher base flow.
Land use change from natural forest to other land
uses can decrease vegetation coverage that leads to
reducing evapotranspiration (Yan et al., 2013). It also
declines in infiltration (Gumidonga et al., 2014) due to
the reduction in surface roughness and litter (Baker
and Miller, 2013). Furthermore, the deforestation
scheme increases streamflow (Baker and Miller, 2013;
Yan et al., 2013) because most of the precipitation
becomes surface runoff rather than infiltration (Baker
and Miller, 2013).
In contrast, the reforestation land use scenario has
some effects such as an increase in water regulation
capacity and a decrease in erosion and soil
sedimentation (Lele, 2009). Tomich et al. (2004)
34
Market Price
1,640,444
stated the similar findings that afforestation and soil
conservation are able to decrease peak flow and
stormflowand to prevent soil degradation. It can be
explained in several previous research by Wang et al.
(2015), Yan et al. (2013) and Tang et al. (2011).
It is explained that although the forest both of
nature or planted forests demand more water than
agriculture and grassland due to the evapotranspiration
(Lele, 2009; Nurdin, 2013), still those forests give
better infiltration and water storage resulting in high
amount in total water yield (Lele, 2009).
3.4. Impact of Land Use Changes in Economic Value
Based on the previous discussion in the impact of
the land use change, it is understood that there is a
change regarding water yield. Therefore, it is important to see the effect of the environment changes
such as land use change to the economic value. It can
be investigated by understanding who will obtain the
benefit and who will lose the benefit due to environment change (Lele, 2009).
A total economic value between two conditions
which are under national park (based on 2015’s and
2025’s land use) and without national park (grassland)
can be determined by cost and benefits analysis. The
benefit of the water services is estimated based on the
water availability for drinking, domesitic uses and
agriculture. Meanwhile the cost of water services is
predicted by tax and replacement cost to provide the
same benefit.
There are different assumption which is used for
cost and benefit calculation. For the deforestation and
afforestation scheme, the benefit is calculated based
on water utilization for all uses. The available water
can fulfill all demand. However, in ‘without national
park’ scenario, the discharge in the river decraese. It
means there is water scarcity because not all
utilization can be filled.
In case of water scarcity in dry months, there is
specific policy in order to fulfil drinking water need.
The water allocation authority priors the drinking water for drinking water companies regarding the number
of beneficiary followed by local beneficiaries and irrigation purposes. Furthermore, to face water shortage,
the drinking water companies prefer to find a new
water source with required quality rather than to extract ground water or to purify surface water because
installing ground water extraction plant and water
JPSL Vol. 7 (1): 29-36, April 2017
treatment are too expensive. In order to value economic lost regarding the water scarcity, it was calculated
based on replacement cost using new instalment cost
for new water source to fulfil downstream water demand and purchased water tanker to meet upstream
water demand.
Furthermore, the cost analysis in those scenarios are
diffrent especially in the ‘without national park’
scenario. It is because the cost is estimated based on
tax and replacement cost. It is related to the water
quality in Kali Kuning. The water quality is acceptable
as drinking water based on Government Regulation PP
492/Menkes/Per/IV/2010 (Wardani and Purnama,
2012). If there is not enough water in ‘without
national park’ scneario, the drinking water companies
should build particular infrastructure to get new water
source or to purify the groundwater and the locals
should buy water using water tanker. Then, it can be
categorized as replacement cost. In this study, the cost
is calculated based on installing a new water source. It
is because planting a new water intallation in a
qualified water source is much affordable than
installing water threatment to purify ground water
extraction.
Meanwhile
in afforestation and
deforestation scenario, there is no any payment for
further water threatment due to water quality. The
only cost is the tax for the surface water.
The result of cost and benefit analysis is presented
in Table 3. It is obvious that the afforestation scenario
contributes the highest economic value. It is followed
by deforestation and ‘without national park’ scenario.
The afforestation scenario contributes USD 1.8
million per year to all beneficiaries. Then, the
economic value of deforestation scenario is slightly
decrease to USD 1.6 million. However, the ‘without
national park’ does not contribute any economic
benefit even it loss about USD 230,000 anually. It is
because there is no available water for all beneficiaries.
Therefore the cost to provide the same benefit in two
previous scenario is much higher.
However, compared to the previous study, it seems
that the result of total economic value is overestimated. The total economic value of water supply and water regulation in rain forest area were about USD
8/ha/year and USD 6/ha/year (Costanza et al., 1997).
In addition, the economic value for water supply in
Leuseur National Park was approximately USD
300/ha/year in conservation scenario. While, in this
study, total economic value for water supply is about
USD 2,200/ha/year.
The result of the economic valuation of water forest
related service in this study seems overestimated
compared to Coztanza et al. (1997) and Beukering at
al. (2003) where their result are only about USD
14/ha/year and USD 300/ha/year. It means that the
econovic valuation of water services is a kind of tricky
bussiness. It might mislead the result because there are
overlapping and ambiguity in the service itself (Ojea
et al., 2012). In addition, Ojea et al. (2012) explained
that overlapping service and ambiguity service causes
double counting in economic valuation can be a
problem to sort it out in economic valuation. Then, the
result can be overestimated or underestimated to the
market fluctuation which is price is the result between
supply and demand. Meanwhile, in this study, the
price based on the supply and demand is neglected
because the study applied the same price for each
scenario. However, if it compared with another study
in the neighbourhood area in Upper Tuntang
Watershed in the Merbabu National Park (Havid and
Suroso, 2013), it does not show large gap in between.
It because both of national park (Merapi Volcano and
Merbabu) give similar economic value. The total economic value in, the Upper Tuntang watershed is USD
3,098/ha and the economic value in Kali Kuning watershed is USD 2,516/ha.
The benefit from the national park is distributed
among all stakeholders. Obviously, whatever the scenario, local communities gain largest portion of the
benefit followed by the drinking water companies
which are owned by local government. Beukering, et
al. (2003) explained that the highest benefit was
gained by the locals followed by the government and
private sectors under ‘with or without national park’
scenarios. He also mentioned that the locals’ share
grows time by time in conservation scenario.
The result announces that all stakeholders suffer
negative consequences from the absence of national
park. Drinking water companies need to invest more
money in infrastructure. The drinking water companies possibly increase water price for the downstream
users. On the other hand, the local communities’ share
will be decrease time by time, and they have to buy
water for drinking water in the same quantity and
quality as before. It was predicted as well by Beukering et al. (2003) that the local communities would
experience expensive water and the companies will
lose money to change distribution system under ‘without national park’ scenario.
Table 3. Economic value of water supply from MVNP in three different scenarios
2015’scenario/
deforestation (USD)
Cost
Drinking water
9,694
Irrigation water
Total
Net Benefit
Benefit
1,095,188
2025’s scenario/ afforestation
(USD)
Cost
10,862
545,256
9,694
1,640,444
1,630,750
Benefit
1,257,104
Grassland/ without national park
(USD)
Cost
1,517,856
545,256
10,862
1,802,360
1,791,498
Benefit
783,821
503,467
1,517,856
1,287,288
-230,568
35
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 29-36
[3]
4. Conclusions
[4]
The main purposes of water supply from MVNP are
drinking water for downstream and upstream areas
and water for irrigation. This water supply benefit is
shared among stakeholders who are downstream
communities (Sleman Regency and Jogjakarta City)
and local communities (Hargobinangun, Umbulharjo
and Kepuharjo Village). However, the management of
the beneficiaries are diverse one and another. The
drinking water for the downstream is managed by water companies (PDAM), while the drinking water for
the locals is managed by local drinking water organizations. In addition, the irrigation purpose is managed
by water users association. Furthermore, the land use
change gives significant impact in water availability
and economic value of water. The afforestation with
the largest forested area gives the highest amount of
economic value (USD 1.8 billion) compared with other scenario which is deforestation (USD 1.6 billion).
However the grassland scenario will lose USD
230,568 due to replacement cost for a new instalment
regarding a new water source. In addition, both upstream and downstream communities have the highest
share of the benefit, but they also suffer if there is land
use change from national park to grassland.
5. Acknowledgements
This paper is partly taken from my thesis of with title ‘Economic valuation for water services from
Merapi Volcano National Park, Indonesia Case Study:
Kali Kuning sub watershed.’ I acknowledge Prof.
Charlotte de Fraiture, Prof. Robiyanto H. Suseno, Annelieke Duker, M.Sc., Ir. P.H.J. Hollanders, and Dr.
Shreedhar Maskey for the support and guidance. I
appreciate BAPPENAS and Stuned for financing this
study. I thank to UNESCO-IHE and Sriwijaya University.
References
[1]
[2]
36
Baker, T. J. and Miller, S. N., 2013. Using the Soil and Water
Assesment Tool (SWAT) to assess land use impact on water
resources in an East African watershed. Journal of
Hydrology, Volume 486, pp. 100-111.
Bingham, G., R. Bishop, M. Brody, D. Bromley, E. T. Clark,
W. Cooper, et al., 1995. Issues in ecosystem valuation:
improving information for decision making. Ecological
Economics 14, pp. 73-90.
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
Beukering, P. J. H. V., H. S. Cesar, and M. A. Janssen, 2003.
Economic valuation of the Leuser National Park on Sumatra,
Indonesia. Ecological Economics 44, pp. 43-62.
Boyd, J., and L. Wainger, 2003. Measuring Ecosystem
Service Benefits: The Use of Landscape Analysis to Evaluate
Environmental Trades and Compensation. Resources for the
Future, Washington.
Costanza, R., R. d'Arge, R. D. Groot, S. Farber, M. Grasso,
B. Hannon, et al., 1997. The value of the world's ecosystem
services and natural capital. Nature 387, pp. 253-260.
Gumidonga, W., T. Rientjes, A. Haile, T. Dube, 2014.
Predicting streamflow for land cover changes in the Upper
Gilgel Abay River Basin, Ethiopia: A TOPMODEL based
approach. Physics and Chemistry of the Earth 76-78, pp. 3-15.
Havid, E. and D. S. A. Suroso, 2013. Valuation of Water
Production and Erosion Protection in Upstream of Tuntang
Watershed for Payment of Ecosystem Services (In Bahasa).
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 3 (1), pp. 46-54.
Lele, S., 2009. Watershed services of tropical forest: from
hydrology to economic valuation to integrated anaylisis.
Environmental Sustainablity I, pp. 148-155.
MacKinnon, J., MacKinnon, K., Child, G., and Thorsell, J.,
1986. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah
Tropika (Tropical Protected Areas Management). Gadjah
Mada University, Yogyakarta.
Midora, L. and D. Anggraeni, 2006. Economic Valuation of
Watershed Services Batang Gadis National Park, Mandailing
Natal, North Sumatra, Indonesia. Conservation International
– Indonesia, Jakarta.
Mulongoy, K. and S. Gidda, 2008. The Value of Nature:
Ecological, Economic, Cultural and Social Benefits of Protected Areas. Secretariat of the Convention on Biological Diversity, Montreal.
[MVNP] Merapi Volcano National Park, 2011. Report: Socio
Economic of Surrounding Merapi Volcano National Park
Pasca Volcano Eruption in 2010, Merapi Volcano National
Park, Yogyakarta.
Ojea, E., J. Martin-Ortega, A. Chiabai, 2012. Defining and
classifying ecosystem services for economic valuation: the
case of forest water services. Environmental Science and Policy 19-20, pp. 1-15.
Pattanayak, S. K., 2004. Valuing Watershed Services: Concepts and Empirics from Southeast Asia. Agriculture, Ecosystem, and Environtment 104, pp. 171-184.
Setiyani, A. D., 2016. Economic valuation for water services
from Merapi Volcano National Park, Indonesia Case Study:
Kali Kuning sub watershed. Thesis. UNESCO-IHE, Delft.
Tang, L., D. Yang, H. Hu, and B. Gao, 2011. Detecting the
effect of land-use change on streamflow, sediment and nutrient losses by distributed hydrological simulation. Journal of
Hydrology 409, pp. 172-182.
Wang, X. et al., 2015. Assessment of soil erosion change and
its relationship with land use/cover change in China from the
end of the 1980s to 2010. Catena 137, pp. 256-268.
Wardani, A. E. P. And I. L. S. Purnama, 2012. Evaluasi potensi mata air untuk kebutuhan air domestik di Kecamatan
Cangkringan Kabupaten Sleman pasca erupsi Merapi 2010
(Potential spring evaluation for domestic uses in Cangkringan
District, Sleman Regency) In Bahasa. Jurnal Bumi Indonesia
1(3), pp. 229-309.
Yan, B., N. Fang, P. Zhang, Z. H. Shi, 2013. Impact of land
use change on watershed stream flow and sediment yield: An
assessment using hydrologic modelling and partial; least
squares regression. Journal of Hydrology 484, pp. 26-37.
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 37-40
PENGGUNAAN KARBON AKTIF DARI AMPAS TEBU SEBAGAI
ADSORBEN ZAT WARNA PROCION MERAH LIMBAH CAIR INDUSTRI
SONGKET
Melyza Fitri Permanda Saria, Puji Loekitowatib, Risfidian Mohadib
a
Program Pengelolaan Lingkungan, Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Jl. Padang Selasa 524, Bukit Besar,
Palembang 30139  [email protected]
b
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya, Palembang 30128
Abstract. Telah dilakukan penelitian penggunaan karbon aktif dari ampas tebu untuk menyerap zat warna procion merah dari
limbahindustri songket. Pembuatan karbon aktif dilakukan dengan proses karbonisasi pada temperatur 450 0C selama 2 jam. Karbon
aktif yang dihasilkan dilakukan karakterisasi FTIR untuk mengetahui gugus fungsinya serta karakterisasi BET untuk mengetahui
luas permukan. Kondisi optimum adsorpsi karbon aktif dari ampas tebu terhadap procion merah dilakukan dengan variabel waktu
kontak, berat karbon aktif, dan pH. Hasil karakterisasi FTIR pada karbon aktif dari ampas tebu memiliki gugus fungsi -CO- dan –
OH, sedangkan karakterisasi BET karbon aktif dari ampas tebu sebesar 29,2 m2/g. Kondisi optimum adsorpsi karbon aktif dari
ampas tebu diperoleh pada waktu kontak 90 menit dengan berat karbon aktif 0,1 g dan pH optimum 5 pada 50 mL zat warna procion
merah berkonsentrasi 20 mg/L. Adsorpsi isotermal Langmuir menunjukkan serapan maksisum 0,45 mg/g dan energi sebesar 4,35
kJ/mol Efektifitas penyerapan zat warna procion merah dari limbah cair industri songket oleh karbon aktif dari ampas tebu dalam
kondisi optimum, sebesar 76,3%.
Keywords: karbon aktif, ampas tebu, procion merah, songket Palembang, adsorpsi isotermal
(Diterima: 10-06-2016; Disetujui: 29-12-2016
1. Pendahuluan
Songket merupakan kain khas Sumatera Selatan,
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Korperasi Kota
Palembang mencatat, pada tahun 2011 sekitar 150
pemilik usaha kerajinan songket dan pada tahun 2013
tercatat sebanyak 230 orang memiliki usaha kerajinan
kain songket (Hariani, 2013). Pencelupan benang
kedalam zat warna sintetis merupakan salah satu proses
pembuatan kain songket. Pewarna sintetik digunakan
untuk menambah tampilan pada kain songket. Zat
warna sintetis memiliki struktur kimia yang sulit
terurai (Utomo et al., 2015), oleh karena itu apabila
dibuang ke perairan menyebabkan karsinogenik,
dermatis, alergika, iritasi kulit, umumnya memiliki
LD50 sebesar 200-500 mg/L per berat badan mencit
(Hariani, 2013). Purwaningrum et al., (2013) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa kandungan zat warna
procion dalam limbah cair industri songket sebesar
1928,31 mg/L dan dari hasil analisis tehadap limbah
industri songket yang ada di palembang menunjukkan
kandungan COD antara 2960-4066 mg/L, sementara
Said (2008) mendapati nilai COD limbah cair yang di
hasilkan pada salah satu industri songket adalah
sebesar 4993,8 mg/L sedangkan BOD antara 885-1275
mg/L (Hariani, 2013).
Industri songket umumnya merupakan industri kecil
(home industry) sehingga tidak memiliki sistem
pengolahan limbah, oleh karena itu diperlukan cara
untuk menangani limbah cair dari industri agar tak
berdampak
terhadap
lingkungan.
Adsorpsi
menggunakan karbon aktif adalah salah satu cara yang
potensial dalam mengatasi limbah cair oleh zat warna.
doi: 10.19081/jpsl.2017.7.1.37
Bahan dasar karbon aktif adalah material organik
dengan kandungan karbon yang tinggi, seperti ampas
tebu yang memiliki kandungan selulosa lebih dari
30%.Ampas tebu merupakan limbah bagi pabrik gula
yang dapat digunakan sebagai penjernih perairan yang
kotor (Kusharharyati et al., 2012).Karbon aktif ampas
tebu digunakan sebagai penyerap zat warna untuk
Congo Red (Yoseva et al., 2015) zat warna metilen
biru (Utomo et al., 2015), kation basa zat warna
(Farahani et al., 2011). Penelitian ini bertujuan untuk
(1) mendapatkan informasi mengenai karakteristik
karbon aktif meliputi gugus fungsional menggunakan
FTIR (Fourier Transform Infra Red) dan luas
permukaan dengan menggunakan BET (BrunauerEmmett-Teller), (2) menetukan kondisi optimum
karbon aktif dengan dengan variabel waktu, berat, dan
pH, dan (3) mengetahui karakteristik adsorpsi
isothermal Langmuir yang terjadi dan efektifitas
penyerapan karbon aktif dari ampas tebu terhadap zat
warna procion merah.
2. Metode
Ampas tebu sebanyak 500 g dibersihkan dan
dirajang kecil-kecil, lalu direndam kedalam NaOH 6%
selama 24 jam.Hasil rendaman kemudian dicuci
dengan air hingga mencapai pH netral (6-7), lalu
dikeringkan dengan menggunakan oven pada
temperatur 100˚-110˚C selama 24 jam. Ampas tebu
yang telah kering digiling dengan menggunakan
penggilingan lalu dikarbonisasi pada suhu 450˚C
selama 2 jam, sehingga diperoleh karbon aktif dari
37
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 37-40
ampas tebu sebanyak 72,55 g. Karbon yang dihasilkan
kemudian
dilakukan
karakterisasi
FTIR
di
Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas
Gajah Mada dan BET di Laboratorium Kimia
Instrumen Universitas Negeri Semarang. Pencarian
panjang gelombang maksimum untuk pengukuran zat
warna procion merah oleh spektrofotometer UV-Vis
dilakukan pada larutan standar berkonsentrasi 7 mg/L
pada panjang gelombang 500-550 nm. Panjang
gelombang yang memberikan serapan maksimum
diperoleh sebesar 542 nm. Panjang gelombang
maksimum ini selanjutnyadigunakan ketika mengukur
absorbansi larutan standar procion merah (0, 5, 7, 10,
15, dan 20 mg/L) dan larutan dari berbagai perlakukan
penelitian.
2.1. Perlakuan Waktu Kontak
Karbon aktif yang terbuat dari ampas tebu sebanyak
0,1 g dimasukan kedalam erlenmeyer yang berisi 50
mL larutan standar procion merah berkonsentrasi 20
mg/L. Terdapat lima waktu kontak yang diteliti,
sehingga dengan tiga ulangan terdapat total 15 satuan
percobaan. Campuran diaduk dengan menggunakan
shaker berkecepatan 150 rpm dengan variasi waktu 30,
60, 90, 120, dan 150 menit, lalu campuran didiamkan
selama 15 menit selanjutnya disaring menggunakan
kertas saring. Filtrat yang diperoleh diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer
UV Vis untuk kemudian dianalisis untuk memperoleh
waktu kontak optimum.
2.2. Perlakuan Berat Karbon Aktif
Lima buah Erlenmeyer berisi 50 mL larutan standar
procion merah konsentrasi 20 mg/L ditambahkan
karbon aktif dari ampas tebu dengan variasi berat 0,1,
0,2, , 0,3, 0,4, dan 0,5 g. Dengan tiga ulangan maka
terdapat 15 satuan percobaan. Campuran diaduk
dengan shaker berkecepatan 150 rpm selama waktu
optimum yang diperoleh sebelumnya, campuran
didiamkan selama 15 menit kemudian disaring dengan
kertas
saring.Filtrat
yang
diperoleh
diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer
UV Vis sehingga diperoleh berat optimum karbon
aktif.
2.4. Penentuan Kapasitas Adsorpsi
Karbon aktif dari ampas tebu sebanyak 0,1 g
dikontakan dengan 50 mL variasi larutan zat warna
procion merah berkonsentrasi 100 mg/L; 200 mg/L;
300 mg/L; 400 mg/L; 500 mg/L. Campuran kemudian
diaduk dengan menggunakan shaker berekecapan 150
rpm selama waktu kontak optimum, lalu didiamkan
selama 15 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh
diukur
absorbansinya
dengan
menggunakan
spektrofotometer UV Vis. Penentuan kapasitas
adsorpsi karbon aktif dari ampas tebu terhadap larutan
zat warna procion merah dilakukan dengan
menggunakan model adsorpsi isotermal Langmuir.
2.5. Aplikasi Karbon Aktif Terhadap Limbah Cair
Industri Songket Pada Kondisi Optimum
Limbah cair industri songket sebanyak 5 mL
diencerkan dengan menambahkan HCl 1 M ataupun
NaOH 1 M hingga pH optimum pada labu takar 50
mL. Larutan ini kemudian masing-masing ditambahkan
karbon ampas tebu sebanyak berat optimum.Masingmasing campuran dicampur dengan menggunakan
shaker selama waktu optimum, kemudian disaring
dengan menggunakan kertas saring sehingga diperoleh
filtrat kemudian dilakukan pengukuran adsorbansinya
dengan spektrofotometer UV-Vis.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Hasil Karakterisasi Karbon Aktif Ampas Tebu
dengan Menggunakan FTIR
Ampas tebu memiliki komposisi kimia yang
didominasi oleh selulosa yaitu sekitar 46% (Fabon et
al. 2013).Selulosa yang terkandung dalam ampas tebu
menentukan kapasitas adsorpsi, dimana pada selulosa
terkandung gugus karboksil (-COO-) dan hidroksil (OH) (Li et al. 2016). Sebagaimana disajikan pada
Gambar 1, karbon aktif ampas tebu memiliki gugus
fungsi -CO- pada daerah serapan 1705,07 cm-1 dan
gugus fungsi –OH pada daerah serapan 3410,15 cm-1.
2.3. Perlakuan pH
Karbon aktif dari ampas tebu dengan berat
optimum sebagaimana hasil penelitian perlakuan berat
karbon aktif dimasukan kedalam erlenmeyer yang
berisi 50 mL larutan standar procion merah
berkonsentrasi 20 mg/L. Campuran ditetesi HCl 1 M
atapun NaOH 1 M agar diperoleh pH 4, 5, 6, 7, 8, dan
9.Dengan tiga ulangan, maka terdapat 18 satuan
percobaan. Campuran diaduk dengan shaker
berkecepatan 150 rpm selama waktu kontak yang
dihasilkan pada proses sebelumnya, lalu didiamkan
selama 15 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh
diukur
absorbansinya
dengan
menggunakan
spektrofotometer UV Vis sehingga diperoleh pH
optimum karbon aktif.
38
Gambar 1. Spektrum serapan gugus fungsional pada karbon
aktif dari ampas tebu.
JPSL Vol. 7 (1): 37-40, April 2017
Permukaan karbon memiliki karakter yang unik,
yaitu struktur penyerap yang menentukan daya
serapnya (Bansal dan Golan, 2005). Karbon aktif dari
ampas tebu memiliki luas permukaan 29,21 m2/g dan
diameter pori 30,17 Å. Ukuran pori ini tergolong
mesopori. Karbon aktif dengan dominasi mesopori
umumnya digunakan sebagai penyerap molekulmolekul besar seperti zat warna (Setianingsih et al.,
2008).
Efisiensi serapan penyerapan sebesar 68,84% seperti
pada Gambar 4.
8
Daya Serap (mg/g)
3.2. Hasil Karakterisasi Karbon Aktif Ampas Tebu
dengan BET
6
4
2
0
0,1
3.3. Pengaruh Waktu Kontak Karbon Aktif Terhadap
Penyerapan Zat Warna Procion Merah
8
6
0,3
0,4
0,5
Berat Karbon Aktif (g)
Gambar 3. Grafik pengaruh berat karbon aktif terhadap
daya serap oleh karbon aktif dari ampas Tebu.
80
Efisiensi Serapan (%)
Daya Serap (mg/g)
Waktu kontak merupakan salah satu variabel
kondisi optimum adsorpsi yang dicapai oleh karbon
aktif, waktu kontak optimum dicapai ketika
kesetimbangan adsorben tidak mampu lagi menyerap
adsorbat. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa karbon
aktif dari ampas tebu memiliki waktu kontak 90 menit
dengan daya serapnya sebesar 6,90 mg/g dan efesiensi
penyerapan sebesar 69,04%. Setelah 90 menit waktu
kontak, daya serap relative tidak meningkat lagi.
0,2
60
40
20
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
Berat Karbon Aktif (g)
Gambar 4. Efisiensi serapan karbon aktif dari ampas tebu.
4
2
0
30
60
90
120
150
Waktu (menit)
Gambar 2. Grafik pengaruh waktu kontak terhadap daya
serap oleh karbon aktif dari ampas tebu.
Hal ini menunjukkan 1g karbon aktif ampas tebu
mampu mengadsorpsi 6,9 mg zat warna procion merah
dengan persentase penurunan konsentrasi sebesar 69%
dari konsentrasi awal zat warna.
3.4. Pengaruh Berat Karbon Aktif
Penyerapan Zat Warna Procion Merah
terhadap
Efisiensi penyerapan dipengaruhi oleh perbandingan
adsorben terhadap adsorbat. Oleh karena itu dilakukan
penentuan berat optimum dari karbon aktif ampas tebu
dengan memvariasikan berat yakni 0,1; 0,2; 0,3; 04;
dan 0,5 gram. Hasil yang didapat, sebagaimana
disajikan pada Gambar 3 bahwa diperoleh berat
optimum karbon aktif 0,1 g dengan daya serap 6,88
mg/g
Jumlah adsorben yang ditambahkan mempengaruhi
efisiensi penyerapan, dimana hal ini sebanding dengan
jumlah partikel dan luas permukaan karbon aktif
sehingga menyebabkan sisi aktif adsorpsi dan efisiensi
penyerapan meningkat sementara daya serap menurun
dengan bertambahnya penambahan karbon aktif.
Ada kemungkinan daya serap meningkat dan
belummencapai kondisi optimum, dikarenakan adanya
kemungkinan tumbukan antar muka serbuk yang belum
intensif sehingga menyebabkan semakin besar
kesempatan serbuk berinteraksi dengan zat warna
apabila adsoben ditambahkan lebih sedikit.
3.5. Pengaruh pH Larutan terhadap Penyerapan Zat
Warna Procion Merah
Nilai pH optimum adalah pH dimana adsoben
memiliki kemampuan menyerap adsorbat tertinggi, pH
awal larutan sebelum ditambahkan NaOH ataupun HCl
adalah sebesar 5,37. Pada Gambar 5 menunjukkan
bahwa karbon aktif dari ampas tebu memiliki serapan
optimum pada pH 5 dengan daya serap sebesar 7,66
mg/g serta efisiensi serapan 76%. pH memainkan peran
penting pada proses penyerapan khususnya pada
kapasitas adsorpsi, dimana akan terjadi proses
pertukaran ion yang berasal dari gugus reaktif zat
warna dengan luas permukaan adsorben. Interaksi
antara adsorben dan zat warna dapat terjadi karena
ikatan hidrogen yang berperan pada proses adsorpsi.
Penurunan daya serap disebabkan oleh adanya
pertukaran antara adsorben dan adsorbat, luas
permukaan adsorben dan interaksi antara adsorben dan
zat warna merupakan faktor dalam menentukan daya
serap.
39
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 37-40
4. Kesimpulan
Daya Serap (mg/g)
12
8
4
0
4
5
6
7
8
9
pH
Gambar 5. Grafik pengaruh pH larutan terhadap daya serap
karbon aktif dari ampas tebu.
Karbon aktif dari ampas tebu memiliki gugus
fungsional -CO- dan -OH dan termasuk karbon aktif
mesopori. Adsorpsi zat warna procion merah oleh
karbon aktif dari ampas tebu memiliki kondisi
optimum waktu kontak ke 90 menit, berat adsorben
sebesar 0,1 g, pH optimum 5. Serapan isotermal
Langmuir menunjukkan serapan maksimum 0,45 mg/g
dan energi serapan 4,35 kJ/mol. Penelitian ini
menunjukkan karbon aktif dari ampas tebu dapat
digunakan untuk mengurangikadar zat warna procion
merah dalam limbah cair industri songket.
3.6. Penentuan Adsorpsi Isotermal Langmuir
5. Saran
Adsorpsi isotermal memberikan informasi menganai
adsorbat, adsorben dan proses penyerapan yang terjadi.
Model adsorpsi isotermal digunakan untuk menentukan
daya serap dan menunjukkan adanya korelasi antara
aktivitas adsorbat dengan jumlah zat teradsorpsi pada
temperatur konstan. Grafik Isoterm Langmuir (Gambar
6) dibuat dengan memplotkan C sebagai sumbu X
dengan C/Q sebagai sumbu Y dimana serapan
maksimum sebesar 0,45 mg/g dan energi serapan 4,35
kJ/mol
Efisiensi penyerapan yang dilakukan oleh karbon
aktif terhadap larutan zat warna procion merah dapat
ditingkatkan dengan
melakukan
perbandingan
adsorben terhadap adsorbat yang lebih tinggi.
12
10
C/Q
8
6
4
2
0
-2
6.0798
6.438
7.595
9.1515
10.157
C (mg/L)
Gambar 6. Grarik isoterm adsorpsi langmuir karbon aktif
dari ampas tebu.
Adsorpsi isotermal Langmuir memiliki asumsi
dimana adsorben mempunyai permukaan yang
homogen dan hanya dapat menyerap satu molekul
untuk tiap molekul adsobennya, sehingga setiap area
permukaan memiliki energi ikatan yang sama.
3.7. Aplikasi Karbon Aktif Dari Ampas Tebu dan
Eceng Gondok Pada Limbah Cair Industri Songket
Kondisi optimum penyerapan diperlukan untuk
mengetahui daya serap limbah cair dari industri
songket oleh karbon aktif dari ampas tebu. Konsentrasi
zat warna procion merah limbah cair dari industri
songket sebesar 969,28 mg/L, namun ketika
ditambahkan karbon aktif pada kondisi waktu kontak
90 menit, berat karbon aktif 0,1 g, dan pH 5 terjadi
penurunan konsentrasi 229,87 mg/L dengan efektifitas
penyerapan sebesar 76,3%.
40
Daftar Pustaka
[1] Bansal, C. R., dan M. Goyal, 2005. Activated Carbon
Adsorption. CRC Press, Boca Raton.
[2] Fabon, M. B., G. J. Legaspi, K. Leyesa, M. C. Macawile,
2013. Removal of Basic Dye in Water Matrix Using Actived
Carbon From Sugarcane Bagasse. International Conference on
Innovations in Engineering and Technology, pp. 198-201.
[3] Farahani, M., S. R. S. Abdullah, S. Hosseini, S. Shojaeipour,
M. Kashisaz, 2011. Adsorption-based Cationic Dyes using the
Carbon Active Sugarcane Bagasse. Procedia Environmental
Sciences 10, pp. 203 – 208.
[4] Hariani, P. L., 2013. Pengolahan limbah cair industri songket
menggunakan komposit Fe304 karbon aktif dari cangkang
kelapa sawit.Disertasi. Program Pascasarjana, Universitas
Sriwijaya, Palembang.
[5] Kusharharyati, T Y., K. W. Deddy, A. Fahmi, 2012.
Pengolahan Limbah Pewarnaan Konveksi dengan Bantuan
Adsorben Ampas Tebu dan Activated Sludge. Simposium
Nasional RAPI XI FT UMS, pp. 51-54.
[6] Li, F., K. Shen, X. Long, J. Wen, X. Xie., X. Zeng, Y. Liang,
Y. Wei, Z. Lin, Huang, R. Zhong, 2016. Preparation and
Characterization of Biochars from Eichornia crassipes for
Cadmium Removal in Aqueous Solutions. Journalpone, pp. 113.
[7] Purwaningrum, W., L. H. Poedji, N. T. Khanizar, 2013.
Adsorpsi Zat Warna procion Merah Pada Limbah Cair Industri
Songket Menggunakan Kitin dan Kitosan. Prosiding Seminar
FMIPA Universitas Lampung, pp. 423-427.
[8] Said, M., 2008. Pengolahan Limbah Cair Hasil Pencelupan
Benang Songket dengan Metode Filtrasi dan Adsoprsi. Jurnal
Penelitian Sains 11, pp. 479-480.
[9] Setianingsih, T., Hasanah, U., Darjito, 2008. Kajian Pengaruh
Temperatur Aktivasi dengan NaOH Terhadap Karakter
Karbon Aktif Mesopori Berbahan Dasar Limbah Kompleks
Lumpur Industri Tekstil Indo. J. Chem 8, pp. 348-352.
[10] Utomo, H. D., R. Y. N. Phoon, Z. Shen, L. H. Ng, Z. B Lim,
2015. Removal of Methylen Blue Using Chemical Modified
Sugarcane Bagasse. Natural Resources 20, pp. 209-220.
[11] Yoseva, P. L., M. Akmal, S. Halida, 2015. Pemanfaatan
Limbah Ampas Tebu Sebagai Adsorben untuk Peningkatan
Kualitas Air Gambu. JOM FMIPA 2: 56-63.
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 41-50
ANALISIS TIPOLOGI TUTUPAN VEGETASI SEBAGAI DASAR
PENYUSUNAN STRATEGI RESTORASI DI AREA IUPHHK-RE PT REKI
Typological of Vegetation Cover Analysis as the Basis Strategy of Restoration on
IUPHHK-RE PT REKI
Nining Nurfatmaa, Prijanto Pamoengkasb, Ika Heriansyahc
Program Studi Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana IPB− [email protected]
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
c
Divisi Silvikultur, Litbang Kehutanan, Gunung Batu, Bogor 16610
a
b
Abstract. Harapan rainforest situated in South Sumatera is a restoration area of PT REKI company that highly susceptible to
land conversion. The problem faced in the effort of restoration is the restorated area that is too large and has not been tested any
silvicultural techniques. The condition of land cover is the basic information that could be used as a reference in the preparation
of restoration strategy. The study aimed to determine the level of damage, the condition of the ecosystem, appropriate silvicultural techniques, and plant species restoration priorities. The used methods were analysis of vegetation in 4 typologies (secondary
forest, old shrub, young shurb, former akasia plantations). The order of area with the level of damage from the lowest to the
highest were: the typology of secondary forest, old shurb, young shrub, and former akasia plantation, respectively. The typology
of secondary forests had the highest value of diversity, richness, and evenness (H’>3, Dmg>5, and E>0.6). Relationship between
former akasia plantations typology and another tipologies was not germane (euclidean distance> 3.31), and the relationship
between seedling and trees in all typologies (with the exception of former akasia plantations) was very high (r> 0.9). Silvicultural techniques that could be done include eradicating A. mangium in the former akasia plantation and planting in the all typologies with the exception of secondary forest. The plants that could be used for restoration are Macaranga sp., K.malaccensis,
Nephelium sp., P.gutta, H.mengarawan, S.leprosula.
Keywords: Harapan Rain Forest, Silviculture Techniques, Restoration
(Diterima: 07-10-2016; Disetujui: 08-12-2016)
1. Pendahuluan
Luas hutan Indonesia yang tergolong besar yaitu
mencapai 120 juta ha atau 51.3% dari luas daratan
wilayah menyimpan sumber daya alam hayati yang
berlimpah (KLHK, 2015). Akan tetapi, pengelolaan
yang kurang bijaksana mengakibatkan hutan Indonesia
mengalami kerusakan, yang berdampak pada
penurunan produktifitas hutan dalam menjalankan
fungsinya. Laju deforestasi dan degradasi hutan pada
periode 2009-2012 adalah sekitar 450,000 ha/tahun
(FWI, 2011), dan pada periode 2009-2014 sekitar 9%
tutupan hutan berkurang dari 30.1 juta ha menjadi
27.2 juta ha (KLHK, 2015). Luas hutan yang berkurang berdampak secara tidak langsung terhadap perubahan iklim global. Oleh karena itu Indonesia telah
berkomitmen untuk berperan aktif dalam Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD) yang pada tahun 2010 berkembang menjadi
REDD++. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu
dengan melakukan restorasi ekosistem.
Upaya nyata yang dilakukan Indonesia dalam
merestorasi ekosistem hutan yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 6 Tahun 2007,
jo PP Nomor 3 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa
kegiatan restorasi ekosistem dalam hutan alam
produksi dilakukan dalam kawasan Izin Usaha Pemanfaatn Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) (Kartodiharjo et al., 2014). Menurut Peradoi : 10.19081/jpsl.2017.7.1.41
turan Menteri Kehutanan Nomor: P.64/MenhutII/2014 IUPPHK-RE kegiatan restorasi dilakukan untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna)
serta unsur non hayati (tanah, iklim, dan topografi)
pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga
tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
Salah satu perusahaan yang pertama kali melakukan
restorasi ekosistem adalah PT REKI (Restorasi
Ekosistem Indonesia). Perusahaan ini bertanggungjawab merestorasi Hutan Harapan (Harapan Rainforest),
yang salah satu area konsesinya berada di Provinsi
Sumatera Selatan dengan luas area ± 52,170 ha. Hutan
Harapan di wilayah Sumatera Selatan pada tahun 1970
sampai dengan 1990 merupakan area konsesi yang
telah diekploitasi besar-besar yang menyebabkan hutan terdegradasi. Selain itu, Hutan Harapan di wilayah
Sumatera Selatan termasuk kedalam 10% dari hutan
dataran rendah yang tersisa (500,000 ha), bagian dari
34 konservasi hostpot keanekaragaman hayati dataran
sunda internasional, kawasan burung endemik, habitat
26 spesies langka dan kritis untuk dilindungi serta
tempat tinggal bagi masyarakat adat Batin Sembilan
(indegeous people). Oleh karena itu, PT REKI
mendapat mandat secara sah untuk melakukan
pengelolaan habitat, perlindungan dan upaya restorasi
ekosistem hutan (Burung Indonesia et al., 2014).
Restorasi yang dilakukan di Hutan Harapan ini salah satu upaya untuk mengurangi tingkat kerusakan
ekosistem yang berbasis pada proses pemulihan veg41
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 41-50
etasi. Proses pemulihan tersebut dapat diketahui dari
kondisi tutupan kanopi atau vegetasi yang beragam.
Kondisi tutupan vegetasi yang beragam dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan. Klasifikasi
tingkat kerusakan diduga melalui pendekatan kondisi
tegakan khususnya nilai kerapatan. Menurut penelitian
Htun et al. (2011) tingkat kerusakan semakin rendah
seiring dengan meningkatnya nilai kerapatan tegakan
suatu ekosistem. Selain itu tingkat kerusakan yang
berbeda berpengaruh terhadap kondisi tegakan, seperti
keanekaragaman hayati dan kekayaan jenis yang menjadi karakteristik ekologi suatu tegakan (Bishoff et al.,
2005). Kondisi tutupan vegetasi merupakan salah satu
informasi dasar yang sangat penting untuk diketahui,
dan dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam
penyusunan strategi restorasi.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
mengenai Analisis Tipologi Tutupan Vegetasi sebagai
Dasar Penyusunan Strategi Restorasi di Area IUPHHK-RE PT REKI dengan tujuan mengetahui kondisi dinamika perubahan ekosistem (suksesi), tingkat
kerusakan, hubungan kedekatan antar tingkat permudaan, teknik silvikultur dan jenis tanaman terpilih
dalam rangka upaya restorasi di area IUPHHK-RE PT
REKI wilayah Sumatera Selatan.
2. Metode
2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di area restorasi Hutan
Harapan (PT REKI) yang berada di wilayah Sumatera
Selatan, terletak diantara 1030 27' 00" – 1030 7' 54" BT
dan 020 23' 51" – 020 07' 00" LS, dengan ketinggian
tempat antara 30-70 mdpl. Lokasi penelitian secara
administrasi kehutanan, termasuk kedalam Dinas Kehutanan Sekayu dan secara administrasi pemerintahan,
termasuk kedalam wilayah Kecamatan Batanghari
Liko, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera
Selatan, serta termasuk dalam sub-DAS Meranti dan
sub-DAS Kapas (Gambar 1). Waktu pelaksanaannya
dimulai pada Juni 2016 sampai dengan Juli 2016.
Gambar 1. Peta lokasi Penelitian Hutan Harapan Sumatera Selatan.
2.2.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan bersumber dari data sekunder
dan data primer yang berupa data spasial maupun non
spasial. Data sekunder yang digunakan meliputi: data
Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) dan
Risalah Hutan PT REKI, data jenis tanah, data curah
hujan stasiun sekayu, peta tutupan lahan hutan hara42
pan wilayah Sumatera Selatan, sedangkan data primer
yang digunakan meliputi data analisis vegetasi tahun
2016.
2.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data analisis vegetasi tahun 2016
diperoleh dengan melakukan observasi lapang.
JPSL Vol. 7 (1): 41-50, April 2017
Pembuatan plot mempertimbangkan Peraturan
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(PHPL)
Nomor: P.9/PHPL-SET/2015 dengan
membuat lima buah plot berbentuk garis berpetak
dengan jarak antar plot sebesar 100 meter, plot
tersebut dibuat ditiga lokasi yang mewakili
karakteristik dari empat tipologi (hutan sekunder,
belukar tua, belukar mudan, dan eks HT akasia) yang
ada di lokasi penelitian.
2.4. Analisis Data
a. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui
struktur dan komposisi jenis vegetasi yang ada di
kawasan tersebut. Struktur tegakan dapat diketahui
dengan distribusi jumlah pohon berdasarkan kelas
diameter, stratifikasi tajuk dan sebaran permudaan
(Indriyanto 2008). Komposisi jenis dapat diketahui
dengan melakukan analisis data meliputi menghitung
nilai Kerapatan Jenis (K), Kerapatan Relatif (KR),
Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D),
dan Dominansi Relatif (DR) dengan rumus sebagai
berikut:
Kerapatan Jenis (K)
=
Kerapatan Relatif (KR) =
Frekuensi Jenis (F)
Jumlah individu suatu jenis
Luas plot pengamatan
Jumlah individu suatu jenis
x 100%
Luas plot pengamatan
Jumlah plot ditemukannya
suatu jenis
=
Luas plot pengamatan
Frekuensi Relatif
Jumlah plot ditemukannya
suatu jenis
(FR) =
x 100%
Luas plot pengamatan
Frekuensi Relatif
Jumlah plot ditemukannya
suatu jenis
(FR) =
x 100%
Luas plot pengamatan
=
Dominasi suatu jenis
x 100%
Luas plot pengamatan
Dominansi Relatif (DR) =
Dominasi suatu jenis
x 100%
Dominasi seluruh jenis
Dominansi Jenis (D)
Nilai kekayaan jenis (Dmg)
(S-1)
Dmg
=
( ln (N) )
Keterangan :
Dmg
= indeks kekayaan jenis
S
= jumlah jenis yang ditemukan
N
= jumlah total individu
Nilai kemeratan jenis (E)
E’ = H’ / ln(S)
Keterangan:
E’
= indeks kemerataan jenis
H’
= indeks keanekaragaman jenis tumbuhan
S
= jumlah jenis
Indeks Dominansi Jenis (ID)
ID = ∑
n
ni
(
i=0 N
)2
Keterangan :
ID
= indeks dominansi
ni
= INP jenis i
N
= total INP
Indeks kesamaan komunitas (IS)
2W
IS =
x 100%
a+b
Keterangan :
IS = indeks kesamaan komunitas
W = jumlah nilai yang sama dan nilai terendah dari jenisjenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
a = jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat
pada komunitas pertama
b = jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat
pada komunitas kedua
b. Analisis Kerusakan Hutan
Analisis kerusakan hutan ini digunakan untuk
mengklasifikasikan tingkat kerusakan yang ada di area
restorasi Hutan Harapan (PT REKI) Sumatera Selatan,
yang menjadi pertimbangan dalam penentuan teknik
silvikultur yang tepat dalam melakukan upaya
restorasi. Tahapan yang dilakukan meliputi
perhitungan nilai kerapatan dan persen perubahan
vegetasi dengan membandingkan nilai kerapatan
setiap tipologi dengan nilai kerapatan tipologi hutan
sekunder sebagai ekosistem referensi.
c. Frekuensi Raunkaier
Hukum Frekuensi Raunkaier digunakan untuk
melihat penyebaran jenis dalam komunitas, yang
diklasifikasikan kedalam lima kelas terlihat pada
Tabel 1 (Misra, 1980).
Indeks Nilai Penting (INP)
INP Semai = KR + FR
INP Pancang, Tiang, Pohon = KR + FR + DR
Nilai Keanekaragaman jenis (H’)
S
H' = - ∑ pi ln (pi ) dimana
i=1
pi =
ni
ni
= s
∑
N
i=1 ni
Keterangan :
H’
= Indeks keanekaragaman jenis
N
= Total INP
ni
= INP jenis ke-i, dan
43
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 41-50
Tabel 1. Frekuensi sebaran jenis menurut hukum frekuensi
Raunkaier
Klasifikasi
Jumlah jenis dengan frekuensi
A
1 – 20%
B
21 – 40%
C
41 – 60%
D
61 – 80%
E
81 – 100%
analisis vegetasi akan dilakukan seleksi data mengenai
jenis yang dipilih untuk prioritas restorasi. Jenis terpilih merupakan jenis-jenis asli (endemik) yang terdiri
dari beberapa spesies untuk menghindari terjadinya
dominasi suatu spesies (monokultur). Jenis yang terpilih hendaknya memiliki permudaan alam yang
melimpah atau ketersediaan buah yang cukup banyak
untuk dijadikan bahan tanaman (Sutomo, 2009).
Komunitas hutan alam terdistribusi secara normal apabila:
A > B > C > D < E; atau
A > B > C = D < E; atau
A>B>C<D<E
3. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan huruf yang ditunjukkan, dapat
diketahui kondisi penyebaran jenis dalam suatu
komunitas, dengan kriteria sebagai berikut:
a) Komunitas tergolong homogen, apabila E > D
b) Komunitas tergolong terganggu, apabila E < D
c) Komunitas tergolong buatan, apabila A, E tinggi
d) Komunitas tergolong heterogen, apabila B, C, D
tinggi
a. Kondisi fisik wilayah
Kondisi fisik di areal restorasi hutan harapan wilayah Sumsel diklasifikasikan berdasarkan kondisi
tutupan lahan, yaitu: Hutan lahan kering sekunder
(48.09%), belukar tua (40.34%), belukar muda dan
semak (9.29%), tanah terbuka (0.27%), awan (2%).
Klasifikasi tersebut didasarkan dari hasil interpretasi
citra Landsat tahun 2015 yang disahkan oleh Direktur
Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan,
Surat Nomor: S.410/IPSDH-2/2015 tanggal 10
Desember 2015.Kondisi topografi di areal sumsel 89%
tergolong datar (0-8%) dan sekitar 11% bertopografi
landai (8-15%).
d. Hubungan kedekatan antara tingkat permudaan
Hubungan kedekatan antara tingkat permudaan
dapat diketahui melalui dua metode yaitu:
Analisis Kluster
Analisis kluster atau disebut juga analisis gerombol digunakan dalam menggelompokkan objek
pengamatan berdasarkan kesamaan yang dimiliki.
Prinsip yang diterapkan dalam analisis ini adalah ukuran kedekatan atau kemiripan berdasarkan jarak euclidean (eucidean distance) dari setiap individu
penyusun komposisi suatu ekosistem yang disajikadalam bentuk dendrogram (Ludwig & Reynolds,
1988) dengan menggunakan software Minitab.
Ordinansi Principal Components Analysis
Principal Components Analysis (PCA) adalah salah satu metode ordinasi yang digunakan dalam ilmu
ekologi. Prinsip PCA adalah menyederhanakan
matriks yang komplek ke dalam suatu komponen
sumbu orthogonal, menerjemahkan nilai Eigen dari
varibel nilai yang tercatat dan dapat diterapkan untuk
matriks yang menggunakan jarak eucladean. Metode
ini merupakan teknik statistik yang secara linear mengubah bentuk sekumpulan variabel asli menjadi variabel yang lebih kecil yang tidak berkorelasi yang dapat
mewakili informasi dari kumpulan variabel asli dan
untuk menemukan variabel mana dalam kumpulan
tersebut yang berhubungan dengan lainnya (Ludwig
dan Reynolds, 1988). Data yang digunakan dalam
analisis ini berupa data hasil perhitungan Indeks Similarity (IS) antar tingkat permudaan pada setiap tipologi, yang disajikan dalam bentuk loading plot dan scree
plot atau keduanya (biplot) dengan menggunakan
software Minitab.
e. Jenis Spesies Prioritas
Jenis prioritas dapat diketahui berdasarkan hasil analisis data sekunder maupun data primer. Data hasil
44
3.1. Kondisi Umum
b. Kondisi geologis dan klimatis
Hutan harapan memiliki formasi geologi utama
(air benakat, kasai, muaraenim) dan termasuk aluvial
(8%), latosol (24%), planosol (33%) dan podsolik
(35%). Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan
Ferguson, lokasi penelitian termasuk tipe iklim A
(sangat basah) dengan pola distribusi hujan basah
sepanjang tahun dengan nilai Q = 0 (tanpa bulan
kering). Nilai Q merupakan perbandingan antara
jumlah rata-rata bulan kering (< 60 mm) dan jumlah
rata-rata bulan basah (> 100 mm).
3.2. Kondisi Vegetasi
a. Struktur Tegakan
Hutan hujan tropis disebut hutan heterogen tidak
seumur (uneven-aged forest) dikarenakan setiap
tapaknya memiliki komposisi jenis yang heterogen
dengan struktur tegakan yang beragam. Struktur tegakan menunjukkan ketersediaan tegakan pada setiap
kelas diameter (Muhdin et al., 2008). Struktur horizontal menunjukkan bahwa tipologi hutan sekunder
dan belukar tua merupakan tegakan yang produktif
(terlihat dari Gambar 2 yang berbentuk eksponensial
negatif dengan nilai determinasi 0.98 dan 0.97), yang
ditandai dengan kehadiran pohon berdiamater 40 cm,
selain itu ketersediaan tegakan yang tinggi pada pohon
kelas diameter kecil menjamin kelangsungan tegakan
dimasa mendatang apabila terjadi kerusakan pada
pohon kelas diameter besar (Suwardi et al., 2013).
Nilai determinasi lebih besar dari 0.95 menunjukkan bahwa kontribusi nilai kelas diameter terhadap
variasi (naik turunnya) nilai kerapatan di dua lokasi
JPSL Vol. 7 (1): 41-50, April 2017
tersebut sebesar lebih dari 95%, sedangkan sisanya
kurang dari 5% disebabkan oleh faktor lain (Supranto,
2009). Tipologi Eks HT akasia yang diteliti tidak
dapat dibuat persamaan ekponensial karena jumlah
pohon yang ditemukan hanya satu jenis yaitu Acacia
mangium.
Struktur vertikal suatu tegakan dapat diketahui dari
hubungan kerapatan dengan stratifikasi tajuk dan tingkat permudaan. Stratifikasi tajuk di plot penelitian
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Nilai kerapatan berdasarkan stratifikasi tajuk (N/ha)
Stratifikasi tajuk
Tipologi
A (>30 m)
B (20-30 m)
C (4-20 m)
D (1-4 m)
E (0-1 m)
Hutan sekunder
30
120
688
4640
65500
Belukar tua
8
60
438
5008
56250
Belukar muda
0
15
188
2280
15750
Eks HT akasia
0
0
5
1160
3827750
45
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 41-50
Tabel 2 menunjukkan bahwa semua tipologi yang
diamati menunjukkan bahwa nilai kerapatan tertinggi
terdapat pada stratum E. Stratum E ini dominannya
merupakan jenis permudaan tingkat semai. Stratifikasi
A-C lebih banyak ditemukan di tipologi hutan
sekunder. Hal ini mengindikasikan bahwa pada ti-
pologi hutan sekunder terdapat pohon-pohon yang
lapisan teratasnya mengalahkan atau menguasai
pohon-pohon lebih rendah, yang menjadi penciri dari
komunitas yang bersangkutan (Soerianegara & Indrawan 2014).
Gambar 3. Stuktur tegakan berdasarkan ketersedian tingkatan permudaan di beberapa tipologi.
Gambar 3 menunjukkan kurva J terbalik yang terbentuk disemua tipologi. Kurva tersebut menunjukkan
bahwa kondisi hutan berada dalam kondisi yang seimbang dimana, tingkat pemudaan tersedia dalam jumlah
yang cukup (tingkat semai>tingkat pancang>tingkat
tiang>tingkat pohon) dan terjaminnya kelangsungan
regenerasi dari permudaan tersebut (Dendang &
Handayani 2015).
wak (Polyalthia rumphii), siluk (Gironniera hirta),
medang telur (Alseodaphne malabonga), bidang
(Artocarpus kemando), kempas (Koompassia malaccensis), sigam (Polyalthia beccarii), kayu kuning
(Santiria griffithii), dan kelat merah (Syzygium laxiflorum).
Famili yang ditemukan sebagian besar hanya diwakili 1-3 spesies, famili yang memiliki jumlah spesies relatif banyak (≥ 3) adalah famili Euphorbiaceae,
salah satu jenis yang selalu hadir di berbagai tingkat
permudaan dari famili tersebut adalah Bacaurea racemosa. Jenis ini memiliki nama lokal menteng/kepundung/bencoy yang termasuk kedalam
tanaman budidaya yang dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 m dpl pada hampir semua tipe dan jenis
tanah (Siregar 2005).
b. Komposisi jenis
Lokasi penelitian yang diambil mempunyai karakteristik berbeda. Karakteristik yang berbeda pada setiap tipologi tentunya akan menciptakan susunan
komposisi jenis yang berbeda. Peneliti melakukan
klasifikasi jenis antara spesies pionir dan klimaks yang
mengacu pada Ghazoul dan Sheil (2009).
Jenis klimaks yang mendominasi di tipologi hutan
sekunder dari tingkat semai s/d pohon meliputi
merpayang (Scaphium macropodum), asam-asam
(Baccaurea racemosa), bebras (Aporosa elmeri),
darah-darah (Knema latifolia), renai (Antidesma montanum), kelat putih (Syzygium longiflorum), kemenyan
(Styrax benzoin), rambutan (Nephelium cuspidatum,
kayu gading (Hydnocarpus polypetala), kayu biaya-
c. Indeks Nilai Penting (INP)
Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat
diketahui dari besar kecilnya Indeks Nilai Penting,
dimana semakin tinggi INP yang dimiliki maka jenis
tersebut semakin mendominasi. Hasil analisis INP
dilokasi penelitian terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis INP pada semua tingkat permudaan dibeberapa tipologi
INP tingkat permudaan
Tipologi
Hutan
sekunder
Semai
Stachyphrynium repens
(91%)
Andira inermis (28%)
Pancang
Bellucia pentamera (21%)
Gironniera hirta (42%)
Baccaurea racemosa (10%)
Knema latifolia (28%)
Syzygium longiflorum
(27%)
Peronema canescens
(37%)
Antidesma montanum (10%)
Belukar tua
Belukar
muda
46
Macaranga gigantea
(43%)
Croton argyratus (26%)
Byttneria curtisii (18%)
Macaranga trichocarpa (21 %)
Aporosa elmeri (14%)
Xylopia malayana (12%)
Pyrrosia polydactyla
(93%)
Clidemia hirta
(35 %)
Tiang
Dendrocalamus sp (67%)
Hevea brasiliensis (17%)
Croton argyratus (36%)
Lithocarpus bancanus
(15%)
Lithocarpus bancanus
(71%)
Nephelium cuspidatum
(68%)
Pohon
Hydnocarpus polypetala
(20%)
Syzygium laxiflorum (15%)
Peronema canescens (34%)
Barringtonia scortechinii
(33%)
Pertusadina multifolia (31%)
Balakata baccata (76%)
Lithocarpus elegans (75%)
JPSL Vol. 7 (1): 41-50, April 2017
INP tingkat permudaan
Tipologi
Eks HT
akasia
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Psychotria viridiflora
(23%)
Imperata cylindrica
(102%)
Ageratum conyzoides
(73%)
Gigantochloa scortechinii
(200%)
Elaeocarpus stipularis
(42%)
Dysoxylum arborescens
(42%)
Acacia mangium (119%)
Acacia mangium (300%)
Acacia mangium (300%)
Dendrocalamus sp. (67%)
Hasil perhitungan INP di seluruh tingkat permudaan yang memiliki nilai INP yang lebih dari 10
mengindikasikan bahwa terdapat jenis dominan yang
memanfaatkan kondisi lingkungan secara optimal dan
efisien sehingga ketahanan dan pertumbuhan dari jenis
tersebut lebih stabil dibandingkan jenis yang lain
(Mawazin dan Subiakto, 2013). Jenis-jenis dominan
tersebut menjadi penciri kondisi ekosistem, pada tipologi eks HT akasia vegetasi alang-alang
(I.cylindrical) dan semak-semak kecil (A.conyzoides)
mendominasi di lokasi tersebut. Hal ini menunjukkan
proses suksesi pada areal terganggu diawali dengan
pertumbuhan jenis rerumputan. Kemudian muncul
belukar dan herba dari famili Melastomataceae
(C.hirta) dan Polypodiaceae (P.polydactyla) yang
ditemukan pada tipologi belukar muda. Selanjutnya
akan tumbuh pohon hutan sekunder seperti jenis pioneer Macaranga, Baccaurea yang ditemukan pada
tipologi belukar tua. Terakhir, akan tumbuh jenis-jenis
Dipterocarpaceae (Shorea sp.) yang ditemukan pada
tipologi hutan sekunder tua (Soerianegara dan Indrawan, 2014). Dominansi jenis di belukar tua dan
hutan sekunder yang tidak sesuai dengan Soerianegara
dan Indrawan (2014) diduga karena proses suksesi
yang belum mencapai klimaks dimana tegakan masih
didominasi oleh jenis-jenis yang intoleran (tidak tahan
naungan).
d. Nilai indeks keanekaragaman (H’), kekayaan
(DMg), kemerataan (E), dominansi (ID)
Perhitungan
nilai
indeks
keanekaragaman,
kekayaan, kemerataan dan dominasi bertujuan untuk
mengetahui kondisi vegetasi di dalam suatu komunitas.
Hasil perhitungan keempat indeks tersebut disajikan
pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan nilai indeks H’,
Dmg, dan E untuk tingkat pohon terbesar berada pada
tipologi hutan sekunder sedangkan terendah pada eks
HT akasia. Hal ini dikarenakan jumlah spesies yang
temukan di hutan sekunder lebih banyak dan tersebar
secara merata serta interaksi spesies yang terjadi tergolong tinggi dibandingkan tipologi lain, sehingga
mempengaruhi dari tiga nilai indeks tersebut. Selain
itu nilai keragaman yang tinggi menunjukkan bahwa
ekosistem hutan sekunder merupakan ekosistem yang
stabil terhadap gangguan. Kemudian nilai ID berbanding terbalik dengan tiga nilai lainnya, dimana terendah
terdapat pada tipologi hutan sekunder dan tertinggi
pada Eks HT akasia. Hal ini diduga karena pada tipologl eks HT akasia khususnya tingkat pohon terjadi
penguasaan oleh jenis Acacia mangium, sedangkan di
hutan sekunder spesies tersebar merata (Indriyanto,
2006).
3.3. Analisis Kerusakan Hutan
Klasifikasi tingkat kerusakan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan nilai kerapatan, dimana
tingkat kerusakan dapat diduga dari perhitungan persentase perubahan vegetasi. Persentase tersebut dapat
dihitung dengan menggunakan data hasil ground
check dari tipologi hutan sekunder sebagai acuan atau
data pembanding terhadap tiga tipologi lainnya. Hasil
perhitungan persen perubahan vegetasi dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase perubahan
kerapatan terbesar diduga berada pada tipologi eks HT
akasia, sedangkan yang terendah berada pada hutan
sekunder. Nilai persen perubahan kerapatan menjadi
landasan dalam klasifikasi tingkat kerusakan. Urutan
tipologi berdasarkan tingkat kerusakan dari tinggi ke
rendah meliputi: tipologi eks HT akasia dan belukar
muda (tinggi), belukar tua (sedang), hutan sekunder
(rendah).
Hasil ini sesuai dengan dugaan Onrizal et al. (2005)
yang menyatakan bahwa antara nilai kerapatan vegetasi dengan tingkat kerusakan terdapat suatu hubungan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Iskandar
et al. (2012) yang menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai kerapatan vegetasi
dengan tingkat kerusakan. Tingkat kerusakan yang
berbeda diduga karena gangguan dan kondisi yang
berbeda (Partomihardjo, 2011), dimana pada tipologi
Eks HT akasia disebabkan oleh kebakaran hutan
dengan intensitas tinggi di tahun 2015.
Kemudian pada belukar muda diduga terdapat beberapa jenis tanaman yang mati karena kondisi persaingan hara dan cahaya yang cukup tinggi antara
tanaman pionir dengan jenis bambu. Selanjutnya pada
belukar tua terjadi penurunan diduga karena adanya
beberapa lokasi yang memiliki kondisi vegetasi hampir menyerupai tipologi hutan sekunder yang ditandai
dengan kelimpahan jenis klimaks yang hampir menyeluruh. Terakhir pada hutan sekunder kondisi persaingan lebih stabil dimana pada fase ini jenis semi
toleran dan intoleran mulai menempati kondisi
klimaks.
47
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 41-50
Tabel 4. Nilai indeks keanekaragaman (H’), kekayaan(DMg), kemerataan (E), dominansi (ID) tingkat permudaan pada setiap tipologi hutan
Tipologi
H’
DMg
E
ID
Semai
Hutan sekunder
3.49T
10.95T
0.94 T
0.47 S
Belukar tua
3.16T
9.15 T
0.90 T
0.07 R
S
T
T
0.08 R
Belukar muda
2.68
5.96
0.93
Eks HT akasia
2.25 S
6.11 T
0.76 T
0.18 R
Hutan sekunder
3.42 T
9.61 T
0.97 T
0.04 R
Belukar tua
3.20 T
8.79 T
0.94 T
0.06 R
R
S
T
0.24 R
Pancang
Belukar muda
1.78
3.50
0.83
Eks HT akasia
1.50 R
2.49 R
0.93 T
0.24 R
Hutan sekunder
3.01 T
6.68 T
0.98 T
0.05 R
Belukar tua
2.68 S
8.92 T
0.97 T
0.08 R
R
R
T
0.17 R
Tiang
Belukar muda
1.81
2.93
0.98
Eks HT akasia
0.00 R
0.00R
0.00 R
1.00 T
Hutan sekunder
3.41T
8.94 T
0.99 T
0.04 R
Belukar tua
2.81 S
5.87 T
0.98 T
0.07 R
S
S
T
0.14 R
0.00 R
1.00 T
Pohon
Belukar muda
2.07
Eks HT akasia
0.00 R
3.48
0.99
0.00 R
Keterangan: R (rendah), S (sedang), T (tinggi).
Tabel 5. Dugaan persentase perubahan tutupan vegetasi dibeberapa tipologi
Kerapatan (N/ha)
Kisaran nilai kerapatan
(N/ha)
% perubahan
Hutan sekunder
206
185 – 226
±100.00*
Belukar tua
120
100 – 140
±58.25
Belukar muda
45
30 – 60
±21.84
0–5
±2.43
Tipologi
Eks HT akasia
5
Keterangan: * = hutan sekunder dijadikan ekosistem referensi.
3.4. Hukum Frekuensi Raunkaier
Hasil analisis menunjukkan kelas frekuensi
Raunkaier di lokasi penelitian sebagai berikut:
A>B>C=D=E (tipologi hutan sekunder A=25, B=5,
C,D,E=0, belukar tua A=7, B=2, C,D,E=0 belukar
muda A=7, B,C,D,E=0, eks HT akasia A=1,
B,C,D,E=0) yang berarti semua tipologi berdasarkan
sebaran jenisnya tidak tersebar secara normal dan
dominan nilai A yang tinggi mengindikasikan diseluruh tipologi mengalami gangguan. Oleh karena itu
dilakukan analisis lanjut secara cluster untuk mengetahui hubungan antar tingkat permudaan.
3.5. Hubungan kedekatan antar tingkat permudaan
a. Analisis Kluster
48
Data analisis yang digunakan merupakan nilai IS
pada tingkat permudaan di beberapa tipologi yang di
teliti. Pengelompokkan atau clustering ini didasarkan
pada euclidean distance untuk mengetahui hubungan
asosiasi dari variabel yang diobservasi (Zuur et al.,
2007). Kedekatan hubungan yang terbentuk dapat
diketahui dari besar kecilnya jarak euclidean, dimana
semakin kecil jarak yang terbentuk maka semakin erat
hubungan yang terjalin. Rata-rata jarak yang
digunakan sebesar 3.31, berdasarkan jarak tersebut
terlihat bahwa antara tipologi eks HT akasia dengan
tipologi lainnya tidak memiliki hubungan yang erat.
Hal ini diduga karena komposisi penyusun antara tipologi eks HT akasia dengan tipologi lainnya sangat
berbeda, sehingga mempengaruhi nilai kesamaan yang
dihasilkan.
JPSL Vol. 7 (1): 41-50, April 2017
b. Prinsipal Component Analysis
Prinsipal Component Analysis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan kedekatan antar tingkat
permudaan dikhususkan pada hubungan nilai kesamaan (indeks similiarty) antara tingkat semai dengan
pohon. Hal ini diduga karena proses regenerasi suatu
vegetasi didukung oleh keberadaan permudaan khususnya pada tingkat semai. Hasil analisis mengenai
hubungan kedekatan antar semai dan pohon dibeberapa tipologi disajikan pada Gambar 4.
Score plot hubungan se mai de ngan pohon dibe be rapa tipologi
2
BM3P
BM3S
BT 1P
BT 1S
BM1P BM1S
BT 2S
Second Component
1
BT 2P
BM2P
BM2S
EH1S
EH1S
0
EH3S
HS3S
EH2S
HS3P
EH3S
-1
HS2P
EH2S
HS2S
BT 3P
HS1 S
BT 3S
HS1P
-2
-4
-3
-2
-1
First Component
0
1
2
Gambar 4. Score plot hubungan semai dan pohon di beberapa tipologi (Ket: eks HT akasia=EH, belukar muda=BM,
belukar tua=BT, hutan sekunder=HS, *angka dibelakang huruf menunjukkan urutan lokasi).
Gambar 4 menunjukkan titik semai dengan pohon
di beberapa tipologi, dimana semakin dekat titik yang
digambarkan maka mengindikasikan adanya hubungan. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa
hubungan korelasi di semua tipologi (terkecuali tipologi lahan terbuka lokasi dua dan tiga) memiliki
nilai korelasi yang sangat tinggi (r>0.90).
3.6. Teknik silvikultur dan jenis prioritas
Teknik silvikultur yang dapat dilakukan harus
mempertimbangkan tingkat kerusakan yang terjadi.
Tipologi eks HT akasia berdasarkan citra termasuk
kedalam tipologi lahan terbuka, akan tetapi intensitas
kebakaran yang tinggi menyebabkan tingkat kerusakan tergolong tinggi hal ini menyebabkan jenis alangalang mendominasi pada tingkat semai dan akasia
mendominasi pada tingkat pancang (kerapatan dilokasi pertama 480/ha, lokasi ketiga 1780/ha) Menurut
Heriansyah et al., (2007) biomassa dan volume jenis
akasia di hutan Sumatera Selatan mencapai produksi
maksimal pada umur tanaman muda. Oleh karena itu
perlu upaya pembebasan jenis akasia dan perlu dilakukan penanaman (enrichment planting) jenis asli
yang bersifat pioner. Salah satunya penanaman jenis
macaranga (Macaranga sp.). Kemudian setelah
tutupan tajuk terbentuk atau cahaya matahari masuk
kedalam tajuk sebesar 40% maka dilakukan penanaman jenis semi klimaks salah satunya jenis Baccaurea sp.
Tingkat kerusakan pada tipologi belukar muda tergolong tinggi diduga karena kerusakan yang diakibatkan oleh ilegal logging sehingga jumlah individu dari
jenis klimaks pada semua tingkat permudaan tidak
lebih dari 1 individu, dan pada tingkat pancang
didominasi oleh komunitas bambu (kerapatan dilokasi
pertama 1040/ha, kerapatan dilokasi kedua 1680/ha).
Intervensi silvikultur yang dapat dilakukan
pengkayaan jumlah jenis dan jumlah individu dari
jenis klimaks, dengan cara menanam jenis asli dalam
jalur yang bernilai ekonomis, mampu beradaptasi
diberbagai kondisi, mudah dikembangkan, cepat tumbuh dan tahan naungan (Pamoengkas, 2011). Jenis
terpilih untuk penanaman adalah jenis spesies kunci
yang tersedia dilokasi tetapi dalam jumlah yang sedikit (Koompassia malaccensis dan Nephelium sp.) dan
pengkayaan jenis klimaks yang ditemukan di belukar
tua tetapi tidak ditemukan belukar muda (Palaquium
gutta, Hopea mengarawan, Shorea leprosula).
Selanjutnya tingkat kerusakan pada tipologi belukar
tua dan hutan sekunder tergolong sedang dan rendah.
Kondisi hutan klimaks umumnya dicirikan dengan
pertumbuhan jenis klimaks dari famili Dipterocarpaceae. Famili tersebut tidak ditemukan di semua
tingkat permudaan di tipologi belukar tua dan hutan
sekunder lokasi ketiga diduga karena jenis famili ini
termasuk kedalam kategori kayu komersial yang diekspoitasi secara luas pada tahun 1970-1990an. Oleh
karena itu upaya penanaman beberapa jenis dari famili
Dipterocarpaceae sangat diperlukan, sedangkan pada
tipologi hutan sekunder perlu pengawasan agar
suksesi alami yang sedang terjadi tidak mengalami
gangguan. Salah satu jenis yang perlu ditanam di belukar tua adalah jenis S.leprosula, dimana jenis ini
termasuk kedalam salah satu jenis kunci yang mendominasi pada ekosistem referensi.
Pemilihan jenis prioritas restorasi didasarkan pada
data jenis pohon hasil uji petik yang termuat dalam
ringkasan eksekutif analisis dampak lingkungan
(AMDAL) PT REKI, dimana jenis Macaranga sp.
merupakan jenis pionir yang mampu tumbuh di
berbagai tempat tumbuh baik di hutan produktif mau49
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 41-50
pun kurang produktif. Kemudian untuk jenis K. malaccensis dan Nephelium sp merupakan jenis pakan
satwa yang sangat berperan penting dalam kelangsungan hidup satwa liar, dimana jenis beruang madu,
lebah madu, dan burung pemakan biji umumnya menjadikan pohon kempas sebagai tempat bersarang, sedangkan pohon rambutan merupakan sumber
penghasil buah yang bermanfaat bagi kelangsungan
hidup satwa salah satunya jenis monyet. Kemudian
jenis P.gutta, H.mengarawan, dan S.leprosula termasuk kedalam jenis kayu komersial, dua diantaranya
termasuk kedalam jenis Dipterocarpacea yang langka
dan dilindungi.
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
4. Kesimpulan dan Saran
[11]
4.1. Kesimpulan
Kondisi vegetasi di hutan sekunder cenderung stabil
yang ditunjukkan dengan nilai H’, Dmg, E yang tinggi,
sedangkan di tipologi lainnya nilai tersebut menurun
seiring dengan keterbukaan tajuk. Urutan tingkat kerusakan dari tinggi ke rendah meliputi tipologi eks HT
akasia, belukar muda, belukar tua dan hutan sekunder.
Hubungan tingkat permudaan bervariatif setiap tipologi, sedangkan hubungan antara semai dan pohon
berkorelasi kuat di semua tipologi. Teknik silvikultur
yang perlu dilakukan adalah pembebesan jenis
A.mangium pada tipologi eks HT akasia, penanaman
pada semua tipologi terkecuali hutan sekunder, sebagai upaya memperkaya jumlah individu dari jenis
klimaks di tipologi belukar muda dan memperkaya
jumlah jenis di belukar tua. Jenis tanaman terpilih
untuk
restorasi
meliputi
Macaranga
sp.,
K.malaccensis,
Nephelium
sp.,
P.gutta,
H.mengarawan, S.leprosula.
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
4.2. Saran
[19]
Identifikasi mengenai jenis prioritas restorasi perlu
dipertimbangkan dari berbagai aspek salah satunya
kualitas tempat tumbuh. Kualitas tumbuh berpengaruh
terhadap kesesuaian jenis yang tumbuh. Jenis yang
tumbuh akan mempengaruhi struktur dan komposisi
yang terbentuk.
[20]
[21]
[22]
Daftar Pustaka
[23]
[1]
[2]
[3]
[4]
50
Bischoff, W., D. M. Newberry, M. Lingenferder, R.
Schnaeckel, G. H. Petol, L. Madani, C. E. Risdale, 2005.
Secondary Succesion and dipterocarpaceae recruitment in
Borneo Rain forest after logging. Forest Ecology Management 218 (2005), pp.174-192.
Burung Indonesia, Royal Societ for Protection of the Birds,
Harapan Rainforest Management Unit, 2014. Rencana
Pengelolaan Strategi Hutan Harapan 2014-2040. PT REKI,
Bogor.
Dendang B., W. Handayani, 2015. Struktur dan komposisi
tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,
Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 4 (1), pp.691695.
[FWI] Forest Watch Indonesia, 2011. Potret Keadaan Hutan
Indonesia Periode 2009-2013. Forest Watch Indonesia, Bogor.
Ghazoul, J., D. Sheil, 2009. Tropical Rain Forest Ecology,
Diversity, and Conservation. Oxford University Press, New
York.
Heriansyah, I., I. Miyakuni, T. Kato, Y. Kiyono, Y. Kanazawa, 2007. Growth characteristics and biomass of Acacia
mangium under different management practices in Indonesia.
Journal of Tropical Forest Science 19 (4), pp 226-235.
Htun, N.Z., N. Mizoue, S. Yoshida, 2011. Tree species composition and diversity at different levels of disturbance in
Popa Mountain Park, Myanmar. Biotropica 43 (5), pp. 597–
603.
Indriyanto, 2008. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara, Jakarta.
Indriyanto, 2006. Pengantar Budidaya Hutan. PT Bumi
Aksara, Jakarta.
Katrodiharjo, H., Bismak, I. Heriansyah, M. Silalahi, A.U.
Budi, K. Zaini, Asmul, A. Ayat, Andriansyah, S. Sitorus, Y.
Cahyadin, 2014. Naskah Akademik Rancangan Peraturam
Pengelolaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Restorasi Ekosistem. PT REKI, Jambi.
[KLHK] Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
2015. Statistik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. KLHK, Jakarta.
Ludwig, A.J, F.J. Reynolds, 1998. Statistical Ecology. Wiley
& Sons Inc, New York.
Mawazin, A. Subiakto, 2013. Keanekaragaman dan komposisi jenis permudaan alam hutan rawa gambut bekas tebangan
di Riau. Forest Rehabilitation Journal 1 (1), pp. 59-73.
[Menhut] Menteri Kehutanan. 2014. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.64/Menhut-II/2014 tentang Penerapan Silvikultur dalam Area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Restorasi Ekosistem pada hutan Produksi. Kementrian
Kehutanan, Jakarta.
Misra, C.K, 1980. Manual of Plant Ecology. 2nd ed. Oxford
and IBH Publishing Co, New Delhi.
Muhdin, E. Suhendang, D. Wahjono, H. Purnomo, Istomo,
dan B. C. H Simangunsong, 2008. Keragaman struktur tegakan hutan alam sekunder. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 14 (2), pp. 81-87.
Pamoengkas, P., 2011. Tinjauan silvikultur dan penerapannya
dalam pengelolaan hutan alam produksi. Di dalam Sabaruddin, U. Wiharjo, A. Satya, D. Pirnanda. Prosiding Lokakarya
Nasional Membangun Strategi Pengelolaan Restorasi
Ekosistem di Hutan Produksi; 2011 Okt 11-12; Palembang,
Indonesia. PT REKI, Palembang, pp. 24-34.
Siregar, N, 2005. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia.
Jilid V. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor.
Soerianegara, I., A. Indrawan. 2014. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB,
Bogor.
Supranto, J, 2009. Statistik: Teori dan Aplikasi Edisi
Ketujuh. Erlangga, Jakarta.
Sutomo, 2009. Kondisi vegetasi dan panduan inisiasi
restorasi ekosistem hutan di bekas area kebakaran Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu Bali (suatu kajian pustaka). Jurnal
Biologi 8 (2), pp. 45-50.
Suwardi, A. B., E. Mukhtar, Syamsuardi, 2013. Komposisi
jenis dan cadangan karbon di hutan tropis dataran rendah,
Ulu Gadut, Sumatera Barat. Berita Biologi 12 (2), pp. 169176.
Zuur, A.F., E. N. Ieonp, G.M Smith, 2007. Analysing Ecological Data. Springer Science, New York.
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 72-78
PERAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) DAN ASAM HUMAT
TERHADAP PERTUMBUHAN BALSA (Ochroma bicolor Rowlee.) PADA
TANAH TERKONTAMINASI TIMBAL (Pb)
The Role of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) and Humid Acid Toward Balsa (Ochroma
bicolor Rowlee.) Growth on Soil Contaminated by Lead (Pb)
Fatimah Nur Istiqomaha, Sri Wilarso Budib, Arum Sekar Wulandarib
Program studi Silvikultur Tropika, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 
[email protected]
b
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
a
Abstract. The aims of this research were to analyze the role of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and humid acid toward balsa
(Ochroma bicolor Rowlee.) growth on soil contaminated by lead (Pb) and to analyze Pb accumulation in balsa. This study used a
split split plot design. The main plot was AMF with 5 levels; without AMF (A0), AMF from secondary forest (A1), AMF from
rubber natural forest (A2), AMF from oil palm plantations (A3), and AMF from rubber plantations (A4). The subplot was humic
acid with 2 levels; no humic acid (B0) and 100 mL humic acid (B1). The sub subplot was Pb with 3 levels; 0 ppm Pb (C0), 500
ppm Pb (C1), and 750 ppm Pb (C2). Observations of balsa seedlings was done until age of 22 weeks after planting in the
greenhouse. Variables observed were height (cm), diameter (mm), shoot dry weight (g), root dry weight (g), FMA colonization
(%), and the accumulation of Pb (ppm). The role of AMF and humic acid was more effective on the soil with 0 ppm of Pb than at
500 ppm of Pb and 750 ppm of Pb. AMF from rubber natural forest was the most effective AMF to increase diameter, root dry
weight and shoot dry weight. Humic acid was able to increase the growth of height of 22.87% and diameter of 24.86% better
than no humic acid. Pb accumulation in the entire plant tissue was more than 1000 ppm. It inhibited the growth of balsa seedlings and causing dead in 17.52% plant.
Keywords: Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Pb, humid acid, Ochroma bicolor, phytoremediation
(Diterima: 26-12-2016; Disetujui: 13-02-2017
1. Pendahuluan
Logam timbal (Pb) merupakan salah satu logam
berat yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan
organisme lainnya. Logam berat Pb dihasilkan oleh
kendaraan bermotor (Rangkuti, 2004), limbah cair
industri (Haryati et al., 2012), dan paling banyak
terdapat di lahan pasca tambang (Setyaningsih, 2007).
Menurut Widaningrum et al., (2007), akumulasi Pb di
dalam tubuh manusia dalam jangka lama dapat
menyebabkan gangguan sistem peredaran darah, urat
syaraf, dan ginjal. Sedangkan logam berat Pb di dalam
tanah mengakibatkan toksik pada tanaman, sehingga
mengganggu
fotosintesis
dan
menghambat
pertumbuhan, sebagai contoh Avicenia marina pada
sedimen yang mengandung Pb 13.15 ppm mengalami
kerusakan jaringan buah dan daun (Arisandy et al.,
2012) dan Mindi (Melia azedarach Linn.) pada media
tailing yang mengandung Pb 172 ppm mengakibatkan
penurunan tinggi sebesar 28.4% dibandingkan kontrol
(Setyaningsih, 2007).
Pb akan menjadi toksik jika konsentrasinya tinggi.
Batas normal Pb pada tanah adalah 2 – 200 ppm dan
pada tanaman 0.2 – 20 ppm (Balai Penelitian Tanah
2009). Tingkat pencemaran Pb di Indonesia masih di
bawah ambang batas pencemaran, namun harus tetap
diwaspadai. Kayu manis (C.burmani) di sisi kiri tol
Jagorawi mengakumulasi Pb rata-rata 7.95 ppm pada
72
daun dan 19.59 ppm pada kulit batang (Rangkuti,
2004). Kandungan Pb pada tanah non-tambang di
berbagai lokasi berkisar antara 0.39 – 1.21 ppm
(Suhariyono dan Menry, 2005), sementara itu pada
tanah bekas tambang emas 172 ppm (Setyaningsih,
2007), limbah batu bara 54.26 ppm (Noviardi, 2013),
dan tanah bekas tambang timah 7.7 ppm (Gedoan et
al., 2011). Upaya untuk menghilangkan Pb dari tanah
salah satunya dengan fitoremediasi. Menurut
Prijambada (2006), fitoremediasi merupakan upaya
untuk
menghilangkan,
menstabilkan
atau
menghancurkan bahan pencemar baik berupa senyawa
organik maupun anorganik menggunakan tumbuhan.
Jenis tumbuhan yang mampu mengakumulasi
logam berat Pb umumnya berupa tumbuhan bawah
dan tanaman hias, seperti sambang dara (Excoecaria
cochinensis), hanjuang (Cordyline fruicosa), dan
Aglaonema (Haryanti et al., 2013). Penggunaan jenis
pohon kehutanan seperti Balsa (Ochroma bicolor
Rowlee.) yang dikenal sebagai jenis cepat tumbuh
atau fast growing spesies dan tergolong tanaman reboisasi sebagai akumulator logam berat Pb belum
pernah diuji. Kayu balsa dimanfaatkan untuk pelampung kapal, sebagai isolator, dan bahan pembuatan
pulp (Alrasyid, 1996). Tanaman cepat tumbuh cocok
digunakan sebagai fitoremediasi logam berat karena
memiliki biomassa dan transpirasi tinggi, serta sistem
perakaran yang luas (Bissonnette et al., 2010).
doi : 10.19081/jpsl.2017.7.1.72
JPSL Vol. 7 (1): 72-78, April 2017
Asam humat dan Fungi Mikoriza Arbuskula
(FMA) ditambahkan pada media tanah yang tercemar
logam berat Pb untuk menunjang pertumbuhan balsa.
Asam humat merupakan bio-organik yang berfungsi
sebagai pembenah tanah. Manfaat asam humat
menurut Karti dan Setiadi (2011) antara lain:
melarutkan mineral yang tidak tersedia, meningkatkan
penyerapan unsur hara, memperbaiki kesuburan tanah,
serta memperbaiki pertumbuhan, kesehatan, dan
kualitas dari tanaman. Fungi Mikoriza Arbuskula
(FMA) merupakan simbiosis mutualisme antara akar
tanaman tinggat tinggi dengan fungi. Menurut
Arisusanti dan Purwani (2013), FMA dapat
meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam berat
Pb, meningkatkan akumulasi Pb di akar, serta
menghambat akumulasi Pb pada batang dan daun.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran
FMA dan asam humat terhadap pertumbuhan semai
balsa pada tanah terkontaminasi Pb, serta menganalisis
akumulasi Pb pada semai balsa.
2. Metode
2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 10 bulan dari bulan
Oktober 2015 sampai Juli 2016. Penanaman semai
balsa dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur.
Isolasi spora dan analisis parameter setelah panen
dilakukan di Laboratorium teknologi mikoriza dan
peningkatan kualitas bibit Departemen Silvikultur IPB.
Analisis tanah dan logam berat Pb dilakukan di
Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
2.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tanah Podsolik Merah Kuning, zeolit, pasir, benih
balsa (O. bicolor), benih sorgum, inokulum FMA jenis
Acaulospora, asam humat, (PbNO3)2, dan aquades.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
cangkul, saringan tanah, karung, plastik anti panas,
mikroskop stereo, oven, autoklaf, neraca analitik,
kaliper, botol film, polibag (15x20) cm, gembor, rak
trapping, kulkas, cawan petri, saringan bertingkat
berukuran 250 µm, 125 µm, dan 63 µm, mikro pipet,
gelas ukur, sudip, pinset, kaca preparat, dan cover
glass.
2.3. Prosedur penelitian
a. Penangkaran FMA (Trapping) dan isolasi spora
Teknik penangkaran FMA dan isolasi spora
mengikuti metode Brundrett et al., (1996). Tanah yang
digunakan untuk trapping FMA berasal dari empat
ekosistem di Jambi, yaitu hutan sekunder, hutan karet
alam, kebun kelapa sawit, dan hutan tanaman karet.
Tanah tersebut masing-masing ditimbang sebanyak 50
gram, kemudian dimasukkan dalam pot-pot kecil
dengan susunan zeolit-tanah-zeolit. Benih sorgum
kemudian disapih pada media tersebut dan dirawat
selama 3 bulan untuk kemudian dilakukan isolasi
spora. Spora disaring menggunakan saringan
bertingkat dengan diameter 250 µm, 125 µm, dan 63
µm di bawah air mengalir, kemudian spora dipisahkan
berdasarkan genus yang dominan (Acaulospora)
sebanyak 30 spora/botol.
b. Sterilisasi tanah dan persiapan media
Tanah podsolik merah kuning diambil dari
Haurbentes, Jasinga pada kedalaman 1 – 40 cm. Tanah
dikeringanginkan selama 7 hari, selanjutnya diayak
menggunakan saringan tanah berukuran 5 mm. Tanah
disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 0C
selama 15 menit. Setiap 1 kg tanah steril dicampur
dengan (PbNO3)2 dengan konsentrasi 500 ppm dan
750 ppm, setelah 24 jam ditambahkan asam humat
dengan konsentrasi 2.5% (v/v) sebanyak 100 mL.
c. Pengecambahan, penyapihan, dan inokulasi FMA
Benih balsa direndam dalam air panas suhu 80 0C
selama 12 jam, kemudian ditaburkan di atas media
pasir dan tanah dengan perbandingan 1:1 (b/b).
Setelah berkecambah dengan tinggi minimal 2 cm,
semai balsa disapih pada polibag. Semai balsa
dibiarkan beradaptasi dalam rumah kaca kurang lebih
3 minggu, kemudian dilakukan inokulasi FMA
sebanyak 30 spora/polibag. Inokulasi dilakukan
dengan cara melubangi tanah sedalam jari telunjuk
sampai terlihat akar utama, kemudian spora
dimasukkan dalam lubang tersebut dekat dengan akar
tanaman.
2.4. Rancangan Percobaan dan Analisis data
Rancangan percobaan pada penelitian ini
menggunakan split split plot design. Petak utama
adalah FMA dengan 5 taraf, yaitu: tanpa FMA (A0),
FMA asal hutan sekunder (A1), FMA asal hutan alam
karet (A2), FMA asal kebun kelapa sawit (A3), dan
FMA asal hutan tanaman karet (A4). Anak petak
adalah asam humat dengan 2 taraf, yaitu: tanpa asam
humat (B0) dan asam humat 100 mL (B1). Anak anak
petak adalah Pb dengan 3 taraf, yaitu: Pb 0 ppm (C0),
Pb 500 ppm (C1), dan Pb 750 ppm (C2). Berdasarkan
ketiga faktor tersebut diperoleh 30 kombinasi
perlakuan dengan 5 ulangan, sehingga terdapat 150
semai balsa. Data dianalisis menggunakan sidik ragam
software SAS 9.1 (SAS Institute Inc. 2004) pada taraf
nyata 5%, jika perlakuan berpengaruh nyata dilakukan
uji lanjut Duncan.
2.5. Variabel pengamatan
Variabel yang diamati yaitu tinggi (cm), diameter
(mm), berat kering pucuk (g), berat kering akar (g),
dan akumulasi Pb (ppm). Perhitungan akumulasi Pb
sesuai dengan rumus sebagai berikut (Hardiani, 2009).
Akumulasi Pb =
Berat Pb pada tanaman
Berat kering total
mg/kg
73
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 72-78
Asam humat berpengaruh terhadap pertambahan
tinggi dan diameter. Pb berpengaruh negatif sangat
nyata terhadap seluruh parameter semai balsa umur 22
MST.
3. Hasil dan Pembahasan
Rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan semai balsa
umur 22 minggu setelah tanam (MST) dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa interaksi ketiga
faktor serta interaksi FMA dengan asam humat tidak
berpengaruh terhadap semua parameter pengamatan.
Interaksi FMA dengan Pb dan interaksi asam humat
dengan Pb berpengaruh nyata terhadap berat kering
pucuk dan berat kering akar. FMA berpengaruh positif
terhadap pertambahan diameter dan berat kering akar.
Parameter
3.1. Tinggi dan Diameter Semai Balsa
Pemberian asam humat memberikan respon
pertumbuhan positif dan Pb memberikan respon
negatif terhadap tinggi dan diameter semai balsa,
sedangkan jenis FMA menunjukkan respon yang
berbeda-beda terhadap tinggi dan diameter tergantung
kepada asal ekosistem FMA yang digunakan (Tabel 2).
Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan semai balsa umur 22 MST
A
B
C
AxB
AxC
BxC
AxBxC
Pertambahan tinggi (cm)
tn
*
**
tn
tn
tn
tn
Pertambahan diameter (mm)
*
**
**
tn
tn
tn
tn
Berat kering pucuk (g)
tn
tn
**
tn
*
*
tn
Berat kering akar (g)
*
tn
**
tn
**
*
tn
Keterangan: A= FMA, B= asam humat, C=Pb, **= berpengaruh sangat nyata pada (P≤0.01), *= berpengaruh nyata pada (0.01<P≤0.05), dan tn=
berpengaruh tidak nyata pada (P>0.05).
Tabel 2. Pengaruh FMA, asam humat, dan Pb terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter semai balsa umur 22 MST
Perlakuan
FMA
A0 (tanpa FMA)
A1 (Hutan sekunder)
A2 (Hutan karet alam)
A3 (Kebun kelapa sawit)
A4 (Hutan tanaman karet)
Asam humat
B0 (0 mL)
B1 (100mL)
Tinggi (cm)
Peningkatan (%)
Diameter (mm)
Peningkatan (%)
1.09a
1.09a
1.14a
1.03a
1.11a
00.00
00.00
00.00
00.00
00.00
1.05ab
1.06ab
1.08a
1.00b
1.01ab
0.00
7.74
19.82
-24.11
-8.71
1.05b
1.13a
00.00
22.87
1.01b
1.07a
0.00
24.86
Pb
C0 (0 ppm)
1.46a
C1 (500 ppm)
0.93b
C2 (750 ppm)
0.89b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
pada taraf α 5%
Asam humat mampu meningkatkan pertumbuhan
tinggi semai balsa 22.87% dan diameter 24.86% lebih
baik dibandingkan tanpa asam humat (Tabel 2). Hal
ini sesuai dengan penelitian (Karti et al., 2009), asam
humat efektif meningkatkan tinggi tanaman jagung
dan legum pada tanah tailing dan latosol. Menurut
Tisdale et al. (1990), asam humat merupakan
pembenah tanah yang mampu mengkhelat Al dan
logam berat. Asam humat mampu menjerap unsur
hara yang kemudian akan dilepaskan secara simultan
saat terjadi pertukaran unsur hara dengan tanaman,
sehingga meningkatkan ketersediaan hara bagi
tanaman.
FMA dari hutan karet alam merupakan jenis FMA
terbaik yang mampu meningkatkan pertambahan
diameter semai balsa 19.82% lebih baik dibandingkan
tanpa FMA dan FMA asal kebun kelapa sawit
merupakan jenis FMA paling buruk yang
mengakibatkan penurunan diameter sebesar 24.11%
dibandingkan tanpa FMA (Tabel 2). FMA yang
74
00.00
1.24a
0.00
-86.51
0.96b
-72.55
-88.42
0.91b
-77.63
yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan
berasal dari ekosistem yang berbeda memiliki
efektivitas yang berbeda dan jenis FMA indegenous
lebih efektif daripada sumber inokulum FMA lainnya.
Miska (2015) menyatakan inokulum FMA indigenous
mampu meningkatkan pertumbuhan bibit aren berdasarkan parameter tinggi tanaman, panjang pelepah
daun, diameter pangkal pelepah, bobot kering tajuk,
biomassa total, serapan hara P, jumlah spora, dan persen infeksi akar daripada mycofer (campuran
inokulum FMA pada media zeolit). FMA yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan FMA
indigenous yang berasal dari 4 ekosistem di Jambi.
FMA yang berasal dari hutan karet alam merupakan
isolat yang paling efektif, hal tersebut diduga karena
ekosistem hutan karet alam kondisinya masih alami
dan belum banyak mendapatkan gangguan manusia.
FMA berperan sebagai biofertilizer, perbaikan
struktur tanah, meningkatkan penyerapan hara,
melindungi tanaman dari patogen akar, dan unsur
toksik seperti logam berat. FMA melindungi tanaman
JPSL Vol. 7 (1): 72-78, April 2017
inang dari logam berat melalui efek filtrasi,
menonaktifkan secara kimiawi melalui eksudat akar
yang dikeluarkan tanaman inang, dan akumulasi di
dalam hifa (Rossiana, 2003).
Pemberian Pb 500 ppm dan 750 ppm menurunkan
pertumbuhan tinggi dan diameter semai balsa
dibandingkan media tanpa Pb (Tabel 2). Semai balsa
pada media tanpa Pb tumbuh normal dan
pertumbuhannya cenderung lebih baik dengan
penambahan FMA dan asam humat. Sementara itu
pada media Pb 500 ppm dan 750 ppm, semai balsa
menunjukkan pertambahan tinggi sangat lambat,
tanaman menjadi kerdil dan sebagian mati. Hal ini
menunjukkan bahwa FMA dan asam humat belum
berperan dalam meningkatkan pertumbuhan semai
balsa pada media yang mengandung Pb 500 ppm dan
750 ppm. Hal yang sama ditemukan pada semai mindi
di tanah tailing yang mengandung Pb 172 ppm
mengalami penurunan diameter sebesar 9.7%
dibandingkan media tanah kontrol. Pemberian FMA
jenis NPI 126 dan mycofer pada media tanah kontrol,
tailing murni, dan campuran tanah+tailing baik
dengan penambahan kompos maupun tanpa kompos
tidak berbeda nyata dengan semai mindi tanpa
inokulasi FMA. Pertumbuhan tinggi dan diameter
pada media tailing murni tidak meningkat secara
signifikan, namun pertumbuhan semai mindi pada
media dengan penambahan kompos cenderung lebih
baik (Setyaningsih, 2007).
3.2. Berat Kering Pucuk dan Berat Kering Akar
Asam humat tidak berpengaruh nyata, sedangkan
FMA dan Pb berpengaruh nyata terhadap berat kering
pucuk dan berat kering akar semai balsa 22 MST.
Hasil uji duncan pengaruh FMA dan Pb terhadap berat
kering pucuk dan berat kering akar semai balsa dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pengaruh FMA dan Pb terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar semai balsa umur 22 MST
Berat Kering Pucuk (g)
Peningkatan (%)
Berat Kering Akar (g)
Peningkatan (%)
Perlakuan
FMA
A0 (tanpa FMA)
0.79a
00.00
0.75b
00.00
A1 (Hutan sekunder)
0.79a
00.00
0.73b
-16.35
A2 (Hutan karet alam)
0.83a
00.00
0.82a
144.98
A3 (Kebun kelapa sawit)
0.77a
00.00
0.76b
40.14
A4 (Hutan tanaman karet)
0.79a
00.00
0.79ab
94.42
Pb
C0 (0 ppm)
0.95a
00.00
0.90a
00.00
b
C1 (500 ppm)
0.71
-87.28
0.72b
-81.43
C2 (750 ppm)
0.70b
-90.43
0.70b
-87.13
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan
pada taraf α 5%.
FMA asal hutan karet alam mampu meningkatkan
berat kering akar semai balsa sebesar 144.98%
dibandingkan tanpa FMA. Media yang diberi Pb 500
ppm dan 750 ppm menurunkan berat kering pucuk
semai balsa sebesar 87.28% dan 90.43%, serta
menurunkan berat kering akar sebesar 81.43% dan
87.13% dibandingkan dengan media tanpa Pb (Tabel
3). Pertumbuhan semai balsa pada media yang
mengandung Pb 500 ppm dan 750 ppm tergolong
tidak normal, hal tersebut ditandai dengan daun yang
menguning kemudian mengering dan rontok, akar
pendek, serta pertumbuhannya kerdil. Haryati et al.
(2012) menjelaskan Pb termasuk logam berat yang
dapat mengganggu aktivitas enzim, sehingga reaksi
kimia di dalam sel terganggu. Hal tersebut
menyebabkan kerusakan jaringan epidermis, spons,
dan palisade yang ditandai dengan nekrosis dan
klorosis pada tanaman.
Tabel 4 menjelaskan bahwa interaksi asam humat
dengan Pb 500 ppm dan 750 ppm tidak berbeda nyata
terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar,
namun keduanya lebih rendah dibandingkan dengan
media tanpa Pb Dosis asam humat 2.5% sebanyak
100 mL belum mampu meningkatkan berat kering
akar dan berat kering pucuk semai balsa pada media
terkontaminasi Pb tinggi. Pemberian asam humat
sebaiknya disertai dengan penambahan kompos untuk
menghasilkan biomassa tinggi. Menurut Iqbal (2016),
dosis asam humat sebanyak 1 ml dengan penambahan
kompos 2.5 kg/lubang tanam mampu meningkatkan
berat kering akar dan pucuk sengon (Paraserienthes
falcataria) pada tanah bekas tambang nikel.
Berat kering pucuk dan akar pada interaksi FMA
dengan Pb 500 ppm dan 750 ppm lebih rendah
daripada media Pb 0 ppm. Semai balsa pada media Pb
0 ppm tumbuh dengan normal tanpa gangguan logam
berat Pb, sedangkan pada media terkontaminasi Pb
pertumbuhan semai balsa tertekan meskipun sudah
diberi FMA (Tabel 4). Hasil penelitian ini berbeda
dengan Nadeak (2015), yang menyebutkan bahwa
interaksi FMA dengan Pb 400 ppm/3 kg tanah pada
semai sengon 12 MST tidak berpengaruh nyata
terhadap berat kering pucuk dan akar. Setiap jenis
tanaman menunjukkan respon yang berbeda terhadap
perlakuan FMA dan Pb. Menurut Wang (2007),
pengaruh mikoriza dalam pengambilan logam berat
berbeda untuk setiap jenis tanaman, tergantung pada
jenis mikoriza, konsentrasi dan ketersediaan logam
berat serta sifat-sifat tanah.
75
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 72-78
Interaksi asam humat dengan Pb 500 ppm dan 750
ppm terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar
semai balsa dapat dilihat pada Tabel 4.
3.3. Akumulasi Pb pada Semai Balsa
Akumulasi Pb merupakan jumlah logam Pb yang
terdapat di dalam tanaman. Akumulasi Pb tertinggi
yaitu sebesar 2571.17 ppm terdapat pada interaksi
perlakuan FMA asal kebun kelapa sawit tanpa asam
humat pada media Pb 750 ppm (Tabel 5). Menurut
Widyati
(2011),
tanaman
yang
mampu
mengakumulasi logam berat Ni, Cu, Co, Cr, dan Pb
lebih dari 1000 mg/kg biomas disebut sebagai
tanaman hiperakumulator. Pada kondisi cekaman Pb
yang sangat tinggi, semai balsa mampu bertahan hidup
namun pertumbuhannya terganggu dan beberapa
semai balsa mati, sehingga balsa bukan tergolong
tanaman hiperakumulator.
Tabel 4. Pengaruh interaksi asam humat dan FMA dengan Pb terhadap berat kering pucuk dan berat kering akar semai balsa umur 22 MST
Pb (ppm)
Perlakuan
Berat Kering Pucuk (g)
Berat Kering Akar (g)
C0 (0)
C1 (500)
C2 (750)
C0 (0)
C1 (500)
C2 (750)
0.94a
0.70b
0.72b
0.87a
0.72b
0.70b
a
b
b
a
b
Asam humat
B0 (0 mL)
B1 (100 mL)
0.96
0.69
0.73
0.85
0.69
0.70b
0.94ab
0.70c
0.72c
0.87c
0.72bcd
0.70bcd
bcd
FMA
A0 (tanpa FMA)
A1 (Hutan sekunder)
0.70
0.87
0.69
0.69
0.83
0.69bcd
A2 (Hutan karet alam)
1.05a
0.77bc
0.68c
1.05a
0.81bcd
0.67d
A3 (Hutan kelapa sawit)
0.68c
0.89abc
0.68c
0.85bcd
0.68d
0.67d
A4 (Hutan tanaman karet)
c
abc
0.90
abc
c
0.69
c
0.75
bc
cd
b
0.88
0.69
bcd
0.74bcd
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan
pada taraf α 5%.
Tabel 5. Akumulasi Pb semai balsa umur 22 MST.
Perlakuan
FMA
Asam humat (mL)
0
Tanpa FMA
100
0
FMA asal hutan sekunder
100
0
FMA asal hutan karet alam
100
0
FMA asal kebun kelapa sawit
100
0
FMA asal hutan tanaman karet
100
76
Pb (ppm)
0
500
750
0
500
750
0
500
750
0
500
750
0
500
750
0
500
750
0
500
750
0
500
750
0
500
750
0
500
750
Akumulasi Pb
(ppm)
tidak terukur
1200.11
1279.79
8.88
1265.07
1348.95
9.00
475.65
1743.13
tidak terukur
1313.04
2252.66
6.22
940.62
1690.00
4.44
1036.75
1294.70
3.56
1180.47
2571.17
tidak terukur
1482.38
1873.70
14.20
1394.05
1448.20
25.74
1833.30
2091.55
JPSL Vol. 7 (1): 72-78, April 2017
Akumulasi Pb terendah yaitu sebesar 3.56 ppm
terdapat pada interaksi perlakuan FMA asal kebun
kelapa sawit tanpa asam humat pada media tanpa Pb.
Semai balsa pada media tanpa Pb ditemukan
akumulasi Pb berkisar antara 3.56 ppm – 25.75 ppm,
hal ini disebabkan media awal yang digunakan sudah
mengandung Pb sebesar 1.32 ppm. Akumulasi Pb
pada semai balsa lebih tinggi dari dosis Pb yang
diberikan (Tabel 5). Peningkatan akumulasi Pb
tersebut diduga karena faktor penyiraman yang terus
dilakukan sampai 22 minggu dan udara yang juga
mengandung logam berat Pb. Selain itu tanah yang
digunakan pada penelitian tergolong liat, sehingga
unsur-unsur di dalam tanah terjerap dan sukar tercuci.
Hal yang sama ditemukan pada tanaman kangkung
darat
(Ipomea reptans
Poir)
yang
dapat
mengakumulasi Pb sampai 1627.90 ppm pada waktu
optimum 3 minggu dengan pemberian Pb 100 ppm
(Liong, 2010).
Akumulasi Pb pada media dengan penambahan
asam humat secara umum lebih tinggi daripada tanpa
asam humat (Tabel 5). Menurut Rahmawati (2011),
serapan Pb oleh asam humat sangat dipengaruhi pH.
Hardjowigeno (1995) menambahkan tanah pH masam
menyebabkan logam berat yang terkandung dalam
medium tersebut menjadi larut dan aktif diserap oleh
tanaman. Media tanah yang digunakan memiliki pH
sangat masam yaitu 3.65 sehingga logam berat Pb
aktif diserap oleh semai balsa.
Akumulasi Pb oleh semai balsa umur 22 MST
dapat dilihat pada Tabel 5. Semai balsa yang diberi
FMA secara umum mampu mengakumulasi logam
berat Pb lebih banyak dibandingkan tanpa FMA
(Tabel 5). Salisbury dan Ross (1995) menjelaskan,
logam berat diserap oleh akar tanaman dalam bentuk
ion-ion yang larut dalam air. Tanaman dengan media
yang banyak mengandung logam berat akan
membentuk senyawa pengikat yang disebut
fitokhelatin. Bila bertemu dengan logam berat Pb,
fitokhelatin akan membentuk ikatan sulfida di ujung
belerang pada sistein dan membentuk senyawa
kompleks, sehingga Pb akan terbawa menuju jaringan
tumbuhan. Menurut Rossiana (2003), FMA akan
mengakumulasi Pb pada bagian hifa.
Semai balsa bermikoriza mampu mengakumulasi
Pb lebih banyak, namun FMA sendiri belum mampu
meningkatkan pertumbuhan semai balsa pada kondisi
cekaman Pb tinggi. Hal tersebut dikarenakan terjadi
kompetisi serapan ion toksik dengan ion hara di dalam
tanah (Rossiana, 2003). Jumlah ion hara yang
diperlukan untuk pertumbuhan lebih sedikit daripada
ion toksik, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat
meskipun sudah diberi perlakuan FMA.
ppm. FMA asal hutan karet alam paling efektif dalam
meningkatkan diameter, berat kering akar, dan berat
kering pucuk semai balsa. Asam humat mampu
meningkatkan pertumbuhan tinggi 22.87% dan
diameter 24.86% semai balsa lebih baik dibandingkan
tanpa asam humat. Akumulasi Pb pada seluruh
jaringan tanaman lebih dari 1000 ppm, hal itu
membuat pertumbuhan semai balsa menjadi
terhambat, tanaman menjadi kerdil dan 17.52% mati
4.2. Saran
Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui
peran FMA dan asam humat terhadap pertumbuhan
tanaman lain pada media yang mengandung Pb kurang
dari 500 ppm. Semai balsa tidak tergolong sebagai
tanaman hiperakumulator Pb, sehingga balsa tidak
direkomendasikan sebagai tumbuhan potensial untuk
fitoremediasi Pb.
Daftar Pustaka
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
4. Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
[13]
FMA dan asam humat belum menunjukkan peran
pada media yang mengandung Pb 500 ppm dan 750
Alrasyid, H., 1996. Teknik Penanaman dan Pemungutan
Kayu Balsa. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Bogor.
Arisandy, K. R., E. Y. Herawati, E. Suprayitno, 2012.
Akumulasi logam berat timbal (Pb) dan gambaran histologi
pada jaringan Avicennia marina (forsk.) Vierh di perairan
Pantai Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan 1(1), pp. 1525.
Arisusanti, R., K. Purwani, 2013. Pengaruh mikoriza Glomus
fasciculatum terhadap akumulasi logam timbal (Pb) pada
tanaman Dahlia pinnata. Jurnal Sains dan Seni Pomits 2 (2),
pp. 2337-3520.
Balai Penelitian Tanah, 2009. Petunjuk Teknis: Analisis
Kimia Tanah Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian
Tanah, Bogor.
Bissonnette. M., M. Arnaud, M. Labrecque, 2010.
Phytoextraction of heavy metals by two Salicaceae clones in
symbiosis with arbuscular mycorrhizal fungi during the
second year of a field trial. Plant Soil (332), pp. 55–67.
Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove, N. Malajczuk,
1996. Working with mychorrizas in forestry and agriculture.
Australian Centre for International Agricultural Research,
Canberra.
Gedoan, S., A. Hartana, Hamim, U. Widyastuti, N. Sukarno,
2011. Pertumbuhan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.)
pada tanah pasca tambang timah di bangka yang diberi pupuk
organik. Jurnal Ilmiah Sains 11(2), pp. 181-190.
Hardiani, H., 2009. Potensi tanaman dalam mengakumulasi
logam Cu pada media tanah terkontaminasi limbah padat
industri kertas. Bioscience 44(1), pp. 27-40.
Hardjowigeno, S., 1995. Ilmu Tanah. Akademia Pressindo,
Jakarta.
Haryanti, D., D. Budianta, Salni, 2013. Potensi beberapa
jenis tanaman hias sebagai fitoremidiasi logam timbal (Pb)
dalam tanah. Jurnal Penelitian Sains 16(2), pp. 52-58.
Haryati, M., T. Purnomo, S. Kuntjoro, 2012. Kemampuan
tanaman genjer (Limnocharis Flava (L.)Buch.) menyerap
logam berat timbal (Pb) limbah cair kertas pada biomassa dan
waktu pemaparan yang berbeda. Lateral Bio 1(3).
Iqbal, Iskandar, S. W. Budi, 2016. Penggunaan bahan humat
dan kompos untuk meningkatkan kualitas tanah bekas
tambang nikel sebagai media pertumbuhan sengon
(Paraserianthes falcataria). Jurnal Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan 6(1), pp. 53-60.
Karti, P. M. D. H., S. W. Budi, N. F. Mardatin, 2009.
Optimalisasi
kerja
mycofer
dengan
augmentasi
mikroorganisme tanah potensial dan asam humat untuk
77
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
78
JPSL Vol. 7 (1): 72-78
rehabilitasi lahan marginal dan terdegradasi di Indonesia.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 14(2), pp. 118-131.
Karti, P. M. D. H., Y. Setiadi, 2011. Respon pertumbuhan,
produksi, dan kualitas rumput terhadap penambahan fungi
mikoriza arbuskula dan asam humat pada tanah masam
dengan alumunium tinggi. JITV. 16(2), pp. 105-112.
Liong, S., 2010. Mekanisme fitoakumulasi Cd (II), Cr (IV),
dan Pb (II) pada kangkung darat (Ipomoae reptans Poir).
Disertasi. Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Miska M. E. L., 2015. Respon pertumbuhan bibit aren
(Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) terhadap inokulasi fungi
mikoriza indigenous. tesis. Sekolah pascasarjana IPB, Bogor.
Nadeak, J. O. S., Delvian, D. Elfiati, 2015. Pengaruh
pemberian fungi mikoriza arbuskula (FMA) terhadap
kandungan logam timbal (Pb) pada tanaman sengon
(Paraserienthes falcataria). Penorema Forestry Science
Journal 4(3), pp. 1-8.
Noviardi, R., 2013. Limbah batubara sebagai pembenah
tanah dan sumber nutrisi: Studi kasus tanaman bunga
matahari (Helianthus annus). Riset Geologi dan
Pertambangan 23(1), pp. 61-72.
Prijambada, I. D., 2006. Peranan mikroorganisme pada
fitoremediasi tanah tercemar logam berat. Di dalam:
Prosiding PIT PERMI, pp. 117-135; [terhubung berkala].
http://faperta.ugm.ac.id./download/publikasi_ [15 Desember
2015].
Rahmawati, A., 2011. Pengaruh derajat keasaman terhadap
adsorbsi logam kadmium(II) dan timbal(II) pada asam humat.
Jurnal Penelitian Sains & Teknologi 12(1), pp. 1-14.
Rangkuti, M. N. S., 2004. Kandungan logam berat timbal
dalam daun dan kulit kayu tanaman kayu manis
(Cinnamomum burmani Bl) pada sisi kiri jalan tol Jagorawi.
Biosmart. 6(2), pp. 143-146.
Rossiana, N., 2003. Penurunan Kandungan logam Berat dan
Pertumbuhan Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria L
(Nielsen)) Bermikoriza Dalam Medium limbah Lumpur.
Universitas Padjajaran, Bandung.
[23]
[24]
[25]
[26]
[27]
[28]
[29]
[30]
Salisbury, F. B., C. W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid
I1. Dian R., Lukman, Sumaryono, penerjemah. Terjemahan
dari: Plant Physiology Vol 2. ITB, Bandung.
SAS Institute Inc., 2004. Base SAS 9.1 Procedures Guide.
Cary, NC: SAS Institute Inc.
Setyaningsih, L., 2007. Pemanfaatan cendawan mikoriza
arbuskula dan kompos aktif untuk meningkatkan
pertumbuhan semai mindi (Melia azedarach Linn) pada
media tailing tambang emas pongkor. Tesis. Program
pascasarjana USU, Sumatra Utara.
Suhariyono, G., Y. Menry, 2005. Analisis karakteristik
unsur-unsur dalam tanah di berbagai lokasi dengan
menggunakan XRF. Dalam: Prosiding PPI-PDIPTN 2005;
2005 Jul 12. Jogyakarta, Puslitbang Teknologi Maju-BATAN,
pp 197-206.
Tisdale, S. L., W. L. Nelson, J. D. Beaton, 1990. Soil Fertility
and Fertilizers 4th Edition. Macmillan Publishing Company,
New York.
Wang, F. Y., X. G. Lin, R. Yin, 2007. Effect of arbuscular
mycorrhizal fungal inoculation on heavy metal accumulation
of maize grown in a naturally contaminated soil. International
Journal of Phytoremediation 9, pp. 345-353.
Widaningrum, Miskiyah, Suismono., 2007. Bahaya
kontaminasi logam berat dalam sayuran dan alternatif
pencegahan cemarannya. Buletin Teknologi Pascapanen
Pertanian (3), pp. 16-27.
Widyati, E., 2011. Potensi tumbuhan bawah sebagai
akumulator logam berat untuk membantu rehabilitasi lahan
bekas tambang. Mitra Hutan Tanaman 6(2), pp. 47-56.
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 79-88
ANALISIS PERTUMBUHAN TANAMAN REVEGETASI DI LAHAN
BEKAS TAMBANG SILIKA HOLCIM EDUCATIONAL FOREST
CIBADAK, SUKABUMI, JAWA BARAT
Analysis of Revegetation Plant Growth in Post-mining Silica Land Holcim Educational Forest
(HEF) Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat
Rizki Widiyatmokoa, Basuki Wasisb, Lilik Budi Prasetyoc
a
Program Studi Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian [email protected]
b
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680.
c
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680.
Abstract. The activity determines the success of reclamation is revegetation, therefore it is needed to conduct evaluation of revegetation plant growth to identify the success of post-mining silica land revegetation in HEF. This research aimed to identify the
status of revegetation plant growth in HEF based on spatial analysis and plant condition as well as to provide recommendation
to address revegetation problems in Holcim Educational Forest. The method used by making 19 plots size of 25 m x 40 m in 4
planting blocks in HEF and conduct spatial analysis to obtain NDVI value from 2013-2016. Parameters observed were height
growth, life percentage, plant health, and soil analysis. The result shows that block XI, XIII, and IX had life percentage ar ound
82.03-86.50% and in block VII had life percentage under 80%, while the plants health in HEF block was under 80%. Spatial
analysis in HEF block shows that NDVI value in HEF planting blocks increased with average NDVI 0.10. The problem occurred
in HEF planting blocks was low life percentage and plants health caused by nutrient content, low pH, soil compaction, and hig h
toxic content such as Fe, Al, and Mn.
Keywords: NDVI, Plant growth, Revegetation, Post-mining silica land
(Diterima: 26-12-2016; Disetujui: 28-03-2017)
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kegiatan penambangan berdampak terhadap
penurunan kualitas lahan dan peningkatan laju
degradasi lahan. Penurunan kualitas lahan pada lahan
bekas tambang berhubungan dengan kesuburan dan
sifat kimia tanah, tekstur tanah, kelerangan, dan
genangan air sehingga lahan menjadi sulit untuk
ditanami (Mansur, 2011). Permasalahan tersebut dapat
diatasi dengan melakukan kegiatan reklamasi.
Reklamasi adalah kegiatan penataan untuk
memperbaiki dan memulihkan kembali lahan serta
vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara
optimal sesuai peruntukannya (UU No. 41 Tahun
1991 Pasal 44). Reklamasi lahan pasca tambang
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan,
hal
tersebut
tertuang
dalam
PERMENESDM No. 18 Tahun 2008.
Kegiatan revegetasi merupakan salah satu bagian
yang menentukan kegiatan reklamasi. Revegetasi
adalah usaha penanaman kembali di lahan bekas
tambang untuk perbaikan biodiversitas dan pemulihan
estetika lanskap serta komunitas tumbuhan asli secara
berkelanjutan untuk mengendalikan erosi dan aliran
doi : 10.19081/jpsl.2017.7.1.79
permukaan (Setiadi, 2006). Kondisi lahan revegetasi
yang sedikit akan kandungan nitrogen yang
disebabkan oleh faktor lingkungan seperti pH tanah,
kandungan nutrisi yang rendah, suhu yang terlampau
ekstrim, kelebihan atau kekurangan kandungan air
dalam tanah (Vissoh, 2005). Hal tersebut yang menjadi permasalahan untuk keberhasilan kegiatan revegetasi. Keberhasilan Revegetasi pada lahan bekas
tambang sangat ditentukan oleh banyak hal
diantaranya adalah aspek penataan lansekap,
kesuburan media tanam dan penanaman dan
perawatan. kesuburan media sangat ditentukan oleh
sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Iskandar
2012).
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.
4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan
menyatakan bahwa pada kegiatan reklamasi perlu
dilakukan kegiatan evaluasi sekurang-kurangnya satu
tahun sekali untuk mengetahui keberhasilan dari
kegiatan reklamasi yang diadakan perusahaan
tambang. Kegiatan yang menentukan keberhasilan
reklamasi adalah kegiatan revegetasi, oleh karena itu
diperlukan kegiatan evaluasi pertumbuhan tanaman
revegetasi untuk mengetahui keberhasilan revegetasi
di HEF. Selain itu dengan menggunakan teknologi
remote sensing pada kegiatan evaluasi pertumbuhan
tanaman revegetasi yang dikombinasikan dengan
ground check pada lahan revegetasi dapat memperoleh
79
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 79-88
informasi untuk menganalisis pertumbuhan tanaman
dan permasalahan kegiatan revegetasi di HEF.
Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis status
pertumbuhan tanaman revegetasi di HEF berdasarkan
analisis spasial dan kondisi tanaman serta memberikan
rekomendasi untuk mengatasi permasalahan pada
kegiatan revegetasi di lahan revegetasi Holcim Educational Forest.
2. Metode Penelitian
2.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga
Agusutus 2016, bertempat di Holcim Educational
Forest (HEF), Kecamatan Cibadak, Kabupaten
Sukabumi dan Hutan Pendidikan Gunung Walat
(HPGW), Sukabumi. Analisis tanah di Laboratorium
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian IPB.
b. Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan melakukan
pengukuran di lapangan berupa tinggi, diameter,
persen hidup, dan kesehatan tanaman. Pengambilan
data berupa sampel analisis tanah dari hasil tanah
komposit pada lima sampling point dengan dua
kedalaman yaitu 0−30 cm dan 30−60 cm (Megawati,
2012).
c. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif mengenai
pertumbuhan tanaman, persen hidup tanaman,
identifikasi kesahatan tanaman, nilai NDVI, dan
persentase kesahatan tanaman.
NDVI
Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis
antara band merah dan band NIR yang telah lama
digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi
vegetasi (Lillesand dan Kiefer 1997).
2.2. Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah global positioning system (GPS), pita ukur,
tally sheet, Tongkat ukur, golok, kompas, kamera,
laptop, bor tanah, botol sampel dan plastik sampel.
Alat yang digunakan dalam pengolahan dan analisis
data, antara lain seperangkat komputer, software
ArcGis 10.3, software ERDAS imagine 9.1, software
Microsoft word, dan software Microsoft excel. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta areal
revegerasi Holcim Educational Forest (HEF), citra
landsat (2013─2016), dan tegakan pada lahan
revegetasi.
Keterangan:
NIR = Radiasi inframerah dekat dari pixel
RED = Radiasi cahaya merah dari pixel
Persentase Hidup Tanaman
Presentase hidup tanam dihitung jumlah tanaman
yang hidup pada plot lahan revegetasi dengan jumlah
tanaman yang mati pada lahan revegetasi dengan rumus sebagai berikut (Permenhut 2009):
2.3. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahapan
yaitu analisis spasial dari peta peta IUP (Izin Usaha
Penambangan) dan citra landsat tahun 2013−2016
untuk mengetahui karakteristik lahan serta hasil citra
landsat untuk mendapatkan nilai NDVI dari tahun
awal penanaman pada tahun 2013 sampai kondisi
lahan yang terbaru pada tahun 2016. Ground check
diperlukan untuk mengetahui kondisi lahan revegetasi
dengan melakukan pengambilan data analisis tanah,
pertumbuhan tanaman, kesehatan tanaman, dan persen
tumbuh tanaman.
a. Pembuatan plot pengamatan
Penilaian tanaman hasil revegetasi dilakukan
melalui teknik sampling dengan metode Systematic
Sampling with Random Start dengan menggunakan
intensitas sampling sebesar 5% yang menghasilkan 22
plot pengamatan pada luasan areal revegetasi di HEF
sebesar 33 Ha yang terbagi menjadi 5 blok tanam.
80
Keterangan:
T = persen tumbuh tanaman (%)
hi = jumlah tanaman yang hidup pada plot ke-i
Ni = jumlah tanaman yang ditanam pada plot ke-i
Kesehatan Tanaman
Kesehatan tanaman dihitung jumlah tanaman yang
sehat pada plot lahan revegetasi dengan jumlah tanaman yang sehat pada lahan revegetasi dengan rumus
sebagai berikut (Permenhut 2009):
Keterangan:
K = persen Kesehatan tanaman (%)
hi = jumlah tanaman yang sehat pada plot ke-i
Ni= jumlah tanaman yang hidup pada plot ke-i
JPSL Vol. 7 (1): 79-88, April 2017
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran baik
pertambahan jumlah sel, volume dan bobot. Parameter
pertumbuhan tanaman yang biasanya diukur adalah
pertumbuhan diameter dan tinggi total maupun bebas
cabang (Husch et al., 2003). Pertumbuhan tanaman
yang diamati pada penelitian ini adalah pengukuran
volume dengan mengukur pertumbuhan tinggi dan
diameter pada 4 blok tanam yang ditanam pada tahun
2013. Tabel 1 menunjukkan hasil rekapitulasi rata-rata
pertumbuhan tinggi dan diameter pada blok tanam
yang diteliti. Jenis tanaman yang ditemukan pada
Blok tanam HEF adalah Pinus merkusii, Schima
wallichii, Calliandra haematocephala, Swietenia
mahagoni, Gmelina arborea, Acacia mangium,
Shorea leprosula, Naulclea orientalis, Canarium
commune, Ficus sp, dan Pericopsis mooniana.
Jenis tanaman yang ditemukan pada plot
pengamatan di blok tanam revegetasi HEF didominasi
oleh jenis P. merkusii dengan nilai total kerapatan
mencapai 1986.67 ind/ha dan jenis S. Wallichii dengan
nilai total kerapapatan sebesar 251.66 ind/ha.
Keberhasilan pertumbuhan ditentukan oleh faktor
internal (genetik dan hormon) dan faktor eksternal
(iklim dan kualitas tempat tumbuh) (Daniel et al.,
1987). Pertumbuhan tanaman pada 4 blok tanam berbeda-beda diduga akibat dari perbedaan kondisi lingkungan yang berbeda antar blok tanam. Data
rekapitulasi rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter
pada blok tanam HEF yang diamati ditunjukkan pada
Gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tanaman dengan pertumbuhan terbaik adalah jenis S.
wallichii dan Ficus sp. dengan rata-rata pertumbuhan
tinggi 6.09 m dan 4.35 m, sedangkan rata
pertumbuhan diameter sebesar 6.95 cm dan 6.79 cm.
S. Wallichii dan Ficus sp. merupakan jenis yang
mempunyai kemampuan berasosiasi dengan mikoriza
arbuskula potensial sehingga perlu dikembangkan
untuk mendukung kegiatan restorasi pada lahan-lahan
dengan kerusakan berat seperti pada lahan tambang
(Yassir dan Wilarso, 2007).
3.2. Persentase Hidup dan Kesehatan tanaman
Presentase shidup tanaman merupakan jumlah
tanaman yang dapat hidup di lahan revegetasi HEF,
sedangkan
kesehatan
tanaman
menunjukan
kemampuan tanaman untuk hidup dengan baik
terhadap gangguan hama dan penyakit pada plot
pengamatan 0.1 ha pada 4 blok tanam dengan kriteria
tanaman terbagi menjadi 3 yaitu tanaman sehat,
kurang sehat, dan tanaman merana (Permenhut, 2009).
Tabel 2 menunjukkan rekapitulasi pesentase hidup
dan kesehatan tanaman pada tanaman yang tumbuh di
lahan revegetasi HEF. Persen tumbuh pada blok XI,
blok XIII, dan blok IX mempunyai nilai persen hidup
berkisar antara 82.03−86.50% dan pada blok VII
mempunyai hasil persen tumbuh dibawah 80%,
sedangkan kesehatan tanaman pada blok tanam HEF
berada dibawah 80%. Menurut Permenhut (2009)
bahwa kegiatan revegetasi dikategorikan berhasil
apabila nilai persen hidup dan kesehatan tanaman
lebih dari 80%. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
revegetasi pada blok VII tergolong tidak berhasil,
sedangkan kesehatan tanaman di blok tanam HEF
tergolong rendah dengan nilai persentasi kesehatan
tanaman dibawah 80%.
Tabel 1. Rekapitulasi pertumbuhan tinggi, diameter, dan kerapatan di Blok tanam HEF
Blok Tanam
VI
VII
VII
IX
Jenis Tanaman
Pinus merkusii
Schima wallichii
Calliandra haematocephala
Swietenia mahagoni
Gmelina arborea
Pinus merkusii
Shorea leprosula
Naulclea orientalis
Canarium commune
Acacia mangium
Pinus merkusii
Naulclea orientalis
Schima wallichii
Shorea leprosula
Ficus sp.
Pinus merkusii
Shorea leprosula
Pericopsis mooniana
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Kerapatan (ind/ha)
4.48
6.70
3.81
3.93
3.78
2.13
1.39
0.85
6.98
7.69
5.80
3.34
4.59
2.83
1.30
0.82
1.10
1.37
3.44
2.14
5.49
2.10
4.35
0.65
1.40
4.33
4.06
6.21
1.00
6.79
3.88
2.27
2.60
4.92
1.15
1.29
216.67
233.33
80.00
10.00
10.00
430.00
70.00
6.67
6.67
16.67
640.00
5.00
18.33
5.00
13.33
700.00
4.29
2.86
81
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 79-88
Gambar 1. Diagram rekapitulasi rata-rata pertumbuhan tinggi dan diamater pada blok tanam HEF.
Tabel 2. Rekapitulasi persen hidup dan kesehatan tanam pada blok tanam HEF
Blok Tanam
VI
VII
VIII
IX
Jenis Tanaman
Persen Hidup (%)
Kesehatan Tanaman (%)
Pinus merkusii
95.59
83.08
Schima wallichii
94.59
80.00
Calliandra haematocephala
92.31
70.83
Swietenia mahagoni
75.00
66.67
Gmelina arborea
Rata-rata
75.00
86.50
66.67
73.45
Pinus merkusii
89.58
68.99
Shorea leprosula
87.50
61.90
Naulclea orientalis
66.67
50.00
Canarium commune
Acacia mangium
Rata-rata
66.67
71,43
76,37
50.00
60.00
58.18
Pinus merkusii
Naulclea orientalis
96.97
75.00
75.52
66.67
Schima wallichii
84.62
63.64
Shorea leprosula
75.00
33.33
Ficus sp.
Rata-rata
100.00
86.32
87.50
65.33
Pinus merkusii
96.08
81.02
Shorea leprosula
Pericopsis mooniana
Rata-rata
75.00
75.00
82.03
66.67
66.67
71.45
Kondisi tanaman di blok tanam HEF terdapat
kondisi tanaman kurang sehat dan tanaman merana
(Tabel 3). Tanaman merana merupakan tanaman yang
mempunyai pertumbuhan lebih kecil dibandingkan
dengan tanaman lain dan terdapat gangguan hama dan
penyakit (Permenhut, 2009), sedangkan tanaman yang
kurang sehat dengan gejala klorosis, nekrosis, daun
yang rontok, dan mati pucuk. Kondisi tanaman pada
blok tanam HEF didominasi oleh gejala nekrosis dan
klorosis. Nekrosis terjadi akibat kondisi sekumpulan
82
sel yang terbatas pada jaringan tertentu mati, sehingga
terlihat bercak dan noda berwarna coklat atau hitam
(Semangun, 2011), sedangkan klorosis merupakan
gejala yang terdapat pada daun tanaman yang
menguning akibat rusaknya jaringan kloroplas pada
daun. Gejala klorosis dan nekrosis disebabkan respon
tanaman terhadap kekurangan kandungan unsur hara
seperti nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P), dan
magnesium (Mg) (Setiadi et al., 2012).
JPSL Vol. 7 (1): 79-88, April 2017
Tabel 3. Rekapitulasi gejala kondisi tanaman di blok tanam HEF
Blok Tanam
VI
VII
VII
IX
Jenis Tanaman
Gejala
Pinus merkusii
Schima wallichii
Calliandra haematocephala
Swietenia mahagoni
Gmelina arborea
Pinus merkusii
Shorea leprosula
Naulclea orientalis
Canarium commune
Acacia mangium
Pinus merkusii
Naulclea orientalis
Schima wallichii
Shorea leprosula
Ficus sp.
Pinus merkusii
Shorea leprosula
Pericopsis mooniana
Mati pucuk dan merana
klorosis dan merana
Klorosis dan rontok
Klorosis
Merana
Mati pucuk dan merana
Klorosis, bercak hitam, dan nekrosis
Klorosis dan merana
Klorosis dan nekrosis
klorosis dan merana
Mati pucuk dan merana
Klorosis dan merana
Klorosis, bercak hitam, dan nekrosis
Klorosis, becak hitam, dan nekrosis
Klorosis
Mati pucuk dan merana
Klorosis, merana, dan nekrosis
Merana
3.3. NDVI
nilai -1. Nilai NDVI mengambarkan kondisi vegetasi
pada blok tanam HEF dari awal tanam tahun 2013
hingga tahun 2016.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai NDVI
pada blok tanam HEF mengalami peningkatan
(Gambar 2) dengan rata-rata peningkatan NDVI
sebesar 0.10 dengan nilai NDVI tertinggi terdapat
pada blok VI. Nilai NDVI digunakan untuk menduga
kerapatan atau kondisi kanopi dan tingkat kehijauan
tanaman. Tanaman yang sehat mempunyai tingkat
indeks vegetasi yang tinggi, hal ini disebabkan oleh
hubungan terbalik antara intensitas sinar yang
dipantulkan vegetasi pada spektral sinar merah dan
NIR (Purwadhi dan Sri, 2001). Nilai NDVI
dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi, jenis vegetasi,
dan tutupan tajuk yang terdapat pada blok tanam.
Perhitungan NDVI didasarkan pada prinsip bahwa
tanaman hijau tumbuh secara sangat efektif dengan
menyerap radiasi di daerah spektrum cahaya tampak
(PAR atau Photosynthetically Aktif Radiation),
sementara itu tanaman hijau memantulkan radiasi dari
daerah inframerah dekat (Ryan, 1997). Nilai NDVI
diperoleh dari citra landsat 8 pada path 122 row 65
dari awal kegiatan penanaman tahun 2013 dan kondisi
terbaru pada tahun 2016.
Nilai NDVI rata-rata tertinggi pada tahun 2016
terdapat pada blok VI sebesar 0.38, sedangkan nilai
NDVI yang terendah terdapat pada blok VIII dengan
nilai sebesar 0.29. Menurut Jaya (2010) bahwa nilai
NDVI pada tutupan vegetasi yang lebat mendekati 1,
untuk lahan kosong umumnya mendekati 0, dan
tutupan vegetasi dengan badan-badan air mempunyai
Tabel 4. NDVI dari tahun 2013 sampai tahun 2016 pada blok tanam HEF
Nilai NDVI
Lokasi
Tahun tanam (2013)
Landsat 2016
Rata-rata
Rentang Nilai
Rata-rata
Rentang Nilai
Blok tanam VI
0.29
0.11−0.43
0.38
0.12−0.50
Blok tanam VII
0.19
0.10−0.29
0.30
0.19−0.40
Blok tanam VIII
0.18
0.08−0.34
0.29
0.15−0.42
Blok tanam IX
0.25
0.12−0.39
0.33
0.18−0.47
3.4. Analisis Tanah
Analisis tanah yang dilakukan berupa sifat fisik
dan kimia pada blok tanam HEF dan Hutan
Pendidikan Gunung Walat. Tabel 5 menunjukkan hasil
analisis sifat fisik tanah berupa tekstur tanah dengan
persentase komposisi pasir, debu, liat, bulk density,
porositas, permeabilitas, dan kadar air tanah pada blok
tanam HEF dan tegakan di HPGW. Tekstur tanah
digunakan untuk menentukan karakteristik tanah pada
blok tanam HEF dan HPGW. Tekstur tanah terbagi
menjadi 3 yaitu pasir, debu, dan liat. Tekstur tanah
pada blok tanam HEF didominasi oleh liat, sedangkan
pada HPGW mempunyai tekstur tanah yang
didominasi oleh tekstur pasir dan liat. Tanah yang
mempunyai tekstur berpasir akan mudah diolah
namun akan sulit menyediakan air bagi tanaman
(Hermawan, 2002).
83
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 79-88
Gambar 2. Grafik nilai NDVI dari tahun 2013-2016
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur tanah
pada blok tanam HEF mempunyai kandungan debu
dan liat diatas 70%, sedangkan tekstur tanah pada
HPGW dengan kandungan debu dan liat sebesar
50.98%. Menurut Setiadi (2012) menyatakan bahwa
tanah yang mempunyai nilai debu dan liat diatas 70%
akan bermasalah bagi pertumbuhan tanaman. Tanah
yang didominasi oleh liat dan debu mengakibatkan
tanah dapat menyimpan air dengan baik namun sulit
untuk meresapkan air, selain itu tanah dengan tingkat
liat dan debu yang tinggi mengakibatkan tanah
menjadi padat sehingga pertumbuhan akar pada
tanaman akan terganggu sehingga pertumbuhan
tanaman terganggu. Tanah yang ideal adalah tanah
yang mempunyai tekstur yang kandungan liat, pasir,
dan debunya seimbang disebut lempung (loam)
(Rachmiati, 2013).
Bulk density (BD) yang tertinggi pada blok VIII
dengan BD sebesar 1.36 g/cm3, sedangkan nilai BD
terendah pada blok VI sebesar 0.97 g/cm3. BD tanah
yang ideal berkisar antara 1.3−1.35 g/cm3, BD pada
tanah berkisar > 1.65 g/cm3 untuk tanah berpasir
sebesar 1.0−1.6 g/cm3 pada tanah yang mengandung
BO tanah sedang hingga tinggi, BD mungkin lebih
kecil dari 1 g/cm3 pada tanah dengan kandungan BO
tinggi (Kurnia, 2005). BD pada pada blok tanam VI
mempunyai BD yang lebih kecil dibandingkan dengan
HPGW. Menurut Hardjowigeno (2003) menyatakan
bahwa Bulk density merupakan petunjuk kepadatan
tanah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai
BD maka tingkat kepadatan tanah semakin tinggi.
Tanah yang padat akan sulit untuk infiltrasi air dan
menganggu perkembangan akar tanaman yang
mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi
teganggu.
Tabel 5. Hasil analisis sifat fisik tanah di blok tanam HEF dan HPGW
Sifat fisik tanah
Blok VI
Blok VII
Blok VIII
Blok IX
HPGW
Pasir (%)
23.33
16.47
23.51
18.63
49,02
Debu (%)
12.89
27.51
22.36
24.42
10.83
Liat (%)
63.79
56.03
54.14
57.01
40.15
Porositas (%)
62.90
49.74
48.55
57.91
63.30
Permeabilitas (cm/jam)
1.46
0.17
0.78
0.65
3.18
Bulk density (g/cm3)
0.97
1.33
1.36
1.12
0.98
Kadar air (%)
21.66
18.24
16.49
20.33
26.83
Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang
kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah
yang dapat ditempati oleh air dan udara (Hanafiah
2005). Porositas pada blok tanam HEF mempunyai
nilai sebesar 48.55−62.90, sedangkan pada HPGW
nilai porositas 63.30. Hal ini menunjukkan bahwa
porositas pada blok tanam HEF mempunyai nilai lebih
rendah dibandingkan di HPGW. Tanah yang
mempunyai
nilai
porositas
semakin
besar
menunjukkan bahwa tanah tersebut semakin poroeus.
84
Tanah yang poroeus adalah tanah yang cukup
mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara
sehingga mudah keluar masuk tanah (Hanafiah, 2005).
Permeabilitas merapatan kecapatan laju air pada
medium tanah (Hardjowigeono, 2007). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada bahwa
permeabilitas pada HPGW mempunyai nilai
permeabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
blok tanam HEF. Menurut Hardjowigeno (2003)
menyatakan bahwa permeabilitas pada HPGW
JPSL Vol. 7 (1): 79-88, April 2017
tergolong sedang, sedangkan pada blok tanam HEF
tergolong agak lambat dan lambat. Menurut Hillel
(1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi permeabilitas tanah antara lain porositas, distribusi ruang pori, tekstur, stabilitas agregat.
Tekstur tanah pada blok tanam HEF yang didominasi
oleh liat mengakibatkan air sulit untuk memasuki
tanah sehingga mengakibatkan permeabilitas pada
blok tanam HEF tergolong lambat.
Kadar air tanah menunjukkan jumlah air yang
tersedia di dalam tanah. Menurut Hanafiah (2005)
bahwa masuknya air kedalam tanah dipengaruhi oleh
tekstur, struktur, dan porositas tanah. Kadar air yang
terdapat pada HPGW lebih tinggi dibandingkan
dengan blok tanam HEF. Hal ini menunjukkan bahwa
pada HPGW tanah mampu menyimpang air dengan
baik dibandingkan dengan blok tanam di HEF. Kadar
air yang tersimpan dalam tanah diperlukan untuk
proses pertumbuhan tanaman, apabila jumlah air yang
tersedia dalam tanah dalam jumlah sedikit maka
pertumbuhan tanaman akan terganggu. Ketersediaan
air dalam tanah umumnya dipengaruhi banyaknya
curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah
menahan air, besarnya evapotranspirasi, tingginya
muka air tanah, kadar bahan organik tanah, senyawa
kimiawi atau kandungan garam-garam dan kedalaman
solum tanah atau lapisan tanah (Madjid, 2009).
Tabel 6 menunjukukan analisis sifat kimia tanah
pada blok tanam HEF pada kedalaman tanah 0−30 cm
dan 30−60 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pH tanah pada blok tanam HEF dan HPGW berkisar
dari 3.54−4.50 tergolong masam hingga sangat masam
berdasarkan kriteria Balai Penelitian Tanah (2009).
Kemasaman tanah merupakan suatu sifat yang penting,
karena terdapat hubungan antara pH dengan ketersediaan unsur hara serta dengan proses pertumbuhan (Foth,
1989). Kondisi pH tanah yang masam berdampak
pada kondisi pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan
tanaman tertinggi terdapat pada blok VI dan pada blok
VII mempunyai pertumbuhan tanaman terendah, hal
ini menunjukkan bahwa pH tanah mempunyai
hubungan dengan petumbuhan tanaman pada blok
tanam HEF dengan semakin rendah pH tanah maka
mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi
tergangu. Tanaman sebagian besar dapat dengan
tumbuh baik pada tanah mineral dengan rentang pH
5.8–6.5 (Munawar, 2011).
Tabel 6. Hasil analisis kimia tanah blok tanam HEF dan HPGW
Sifat kimia tanah
pH
C-org
N-total
Kedalaman Tanah
Blok VI
Blok VII
Blok VIII
Blok IX
HPGW
0-30 cm
4.50 M
3.70 SM
4.05 SM
4.37 SM
4.17 SM
30-60 cm
4.37 SM
3.54 SM
3.92 SM
4.33 SM
4.11 SM
0-30 cm
0.81 SR
1.39
R
1.33
R
1.25
1.32
30-60 cm
0.56 SR
1.38
R
1.11
R
0.08 SR
0.63 SR
0-30 cm
0.08 SR
0.06 SR
0.12
R
0.14
0.12
30-60 cm
0.09 SR
0.13
R
0.11
R
0.05 SR
0.06 SR
0-30 cm
8.39
S
6.47
R
11.15
T
12.09 T
10.08 S
30-60 cm
5.13
R
8.85
S
11.33
T
5.63
9.04
0-30 cm
1.15 SR
0.77 SR
2.64
R
0.98 SR
1.02 SR
30-60 cm
1.36 SR
0.85 SR
2.22
R
0.91 SR
0.54 SR
0-30 cm
12.28 R
13.37 R
10.96 R
13.95 R
12.93 R
30-60 cm
12.13 R
10.75 R
12.00 R
13.75 R
10.14 R
0-30 cm
3.91
R
6.90
R
4.53
R
8.85
R
4.70
R
30-60 cm
3.40
R
6.50
R
5.51
R
6.72
R
5.86
R
H2O
R
R
(%)
R
R
(%)
P tersedia (ppm)
R
S
K (me/100g)
KTK (me/100g)
Al (me/100g)
Kriteria sifat kimia tanah menurut Balai Penelitian Tanah (2009), M= masam, SM= sangat masam, R= rendah, SR= sangat
rendah, S= sedang, T= tinggi
C-organik yang terdapat pada blok tanam HEF
dan HPGW dengan kandungan bahan organik pada
kedalaman 0-30 cm berkisar 0.81−1.39% dan pada
kedalaman 30-60 berkisar 0.08−1.38%. Menurut Balai
Penelitian Tanah (2009) bahwa C-organik pada blok
tanam HEF dan HPGW tergolong dalam kategori yang
rendah hingga sangat rendah. Kandungan C-organik
yang rendah merupakan indikator rendahnya jumlah
bahan organik tanah yang tersedia dalam tanah (Gerson, 2008). Kandungan bahan organik yang rendah
pada blok tanam HEF dampak dari pembukaan hutan
untuk kegiatan penambangan dengan adanya
pembukaan hutan menghilangkan serasah dari
dedaunan dan ranting pohon yang merupakan sumber
dari bahan organik tanah sehingga kandungan bahan
organik menjadi rendah.
Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan
kemampuan tanah untuk menahan kation-kation dan
mempertukarkan
kation-kation
tersebut
(Hardjowigeno, 2003). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa KTK pada blok tanam HEF dan HPGW
sebesar 10.14−13.95 me/100g tergolong dalam
85
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 79-88
kategori yang rendah berdasarkan kriteria Balai
Penelitian Tanah (2009). Kondisi KTK rendah
dibawah 16 me/100g menunjukkan kondisi yang
bermasalah bagi pertumbuhan tanaman, dimana
menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi stagnan
(Setiadi 2002). KTK tanah yang rendah akan
menganggu pertumbuhan tanaman yang terdapat di
blok tanam HEF, disebabkan tanah tidak mampu
mengikat kandungan unsur hara yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan tanaman.
Kandungan unsur hara tanah yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan tanaman terdiri dari 16 unsur hara
yaitu C, H, O, N, P, K, S, Ca, Mg, Zn, Fe, Cu, Mn,
Mo, B, dan Cl (Indranada, 1989). Kandungan unsur
hara tanah pada blok tanam HEF berbeda-beda dengan
hasil analisis kimia kandungan unsur N,P, dan K pada
blok tanam HEF (Tabel 6) menujukkan kandungan
unsur hara tanah pada blok IX dan Blok VIII
mempunyai kandungan unsur P tergolong tinggi
dibandingkan dengan unsur N dan K, namun
pertumbuhan tanaman pada blok VIII dan blok IX
(Tabel 2) mempunyai pertumbuhan yang relatif
rendah dibandingkan dengan blok VI.
Permasalahan utama yang membedakan kondisi
pertumbuhan tanaman menjadi normal, sedang, dan
buruk pada semua lokasi adalah pH dan kelarutan
Alumunium (Megawati, 2012). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kandungan Al pada blok tanam
HEF sebesar 3.40−8.85 me/100g, sedangkan pada
HPGW 4.70−5.86 me/100g. Kelarutan Al yang tinggi
dengan kandungan Al lebih besar dari 3 me/100g
merupakan kondisi yang bermasalah karena hal
tersebut menyebabkan kematian tanaman (Setiadi,
2012). Hal ini menunjukkan bahwa blok tanam HEF
mempunyai permasalahan terhadap kelarutan Al yang
berdampak pada kondisi pertumbuhan tanaman.
Kondisi lahan revegetasi tambang di HEF mempunyai
kesehatan tanaman yang rendah mengakibatkan
kegiatan revegetasi menjadi terhambat (Tabel 2).
Kesehatan tanaman terganggu dengan ditemukannya
gejala klorosis dan nekrosis disebabkan rendahnya
kandungan unsur hara seperti kekurangan kandungan
unsur hara seperti nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P),
dan magnesium (Mg). Permasalahan rendahnya
kandungan unsur harater dapat diatasi dengan
perbaikan hara tanah dilakukan pemupukan dengan
dosis yang disesuaikan dengan kondisi lahan (Setiadi
et al., 2013). Selain itu pengkombinasi asam humat
dengan kompos mampu meningkatkan kandungan
unsur hara dan meningkatkan aktifitas mikroba tanah
(Mansur, 2011).
3.5. Permasalahan dan Rekomendasi Perbaikan
Kegiatan Revegetasi di Blok Tanam HEF
Kondisi lahan revegetasi tambang di HEF
mempunyai kesehatan tanaman yang rendah
mengakibatkan kegiatan revegetasi menjadi terhambat
(Tabel 2). Kesehatan tanaman yang terganggu
disebabkan terdapat gejala klorosis dan nekrosis pada
tanaman revegetasi di HEF. Klorosis dan nekrosis
disebabkan rendahnya kandungan nitrogen (N),
86
kalium (K), fosfor (P), dan magnesium (Mg) pada
blok tanam revegetasi di HEF. Permasalahan
rendahnya kandungan unsur harater dapat diatasi
dengan perbaikan hara tanah dilakukan pemupukan
dengan dosis yang disesuaikan dengan kondisi lahan
(Setiadi et al., 2013). Selain itu pengkombinasi asam
humat dengan kompos mampu meningkatkan
kandungan unsur hara dan meningkatkan aktifitas
mikroba tanah (Mansur, 2011).
Permasalahan kualitas tempat tumbuh berhubungan
kandungan pH yang terlalu masam, dan kandungan
logam berat seperti Fe, Al, dan Mn pada blok tanam
HEF (Tabel 6) mengakibatkan pertumbuhan tanam
menjadi terganggu. Pemberian kapur dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah yang
masam (Munawar, 2011). Pemberian kapur juga
mampu meningkatkan kandungan Ca dan Mg tanah,
dan fungsi tidak langsung seperti meningkatkan
ketersediaan P, serta mengurangi keracunan Al, Fe,
dan Mn, serta memacu kegiatan jasad renik
(Megawati, 2012).
Kepadatan tanah disebabkan tekstur tanah pada
blok tanam HEF yang didominasi oleh liat dan debu
diatas 70 % mengakibatkan tanah menjadi padat.
Menurut Mansur (2011) bahwa tanah yang padat
mengakibatkan akar menjadi kurang berkembang
disebabkan kekurangan oksigen dan terjadi hambatan
perkembangan secara fisik, oleh karena itu untuk
mengatasi kepadatan tanah dengan melakukan
pengemburan tanah dan penambahan bahan organik
tanah.
Tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada blok
tanam HEF adalah S. wallichii dan Ficus sp perlu
diadakan pengembangan terhadap jenis yang dapat
tumbuh dengan baik pada blok tanam revegetasi HEF.
Pengembangan tanaman penutup tanah perlu
dilakukan untuk mengendalikan erosi dan sedimentasi
pada blok tanam HEF, hasil yang ditemukan bahwa
pada blok VII tidak terdapat tanaman penutup tanah
mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang rendah
dan kondisi tanah yang padat terlihat dari nilai analisis
sifat fisik tanah (Tabel 5). Manfaat dari tanaman
penutup tanah diantaranya peningkatan kualitas sifat
fisik dan kimia tanah (Nakhone dan Tabatabai, 2008).
Tanaman penutup tanah memiliki pertumbuhan
yang melilit dan menjerat sehingga akan menganggu
pertumbuhan tanaman pokok. Jenis tanaman yang
dapat dikembankan adalah Desmodium spp. Memiliki
pertumbuhan yang yang selalu menjalar dan tidak
melilit tanaman pokok. Hasil penelitian Armecin et
al., (2005) menyebutkan bahwa produksi biomassa
Desmodium ovalifolium mencapai 8.6-8.9 ton/ha, jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa
Calopogonium
Mucunoides
dan
Centrosema
pubescens. Desmodium spp mempunyai bintil akar
yang disebabkan adanya interaksi antara Desmodium
spp. dengan bakteri
Rhizobium sp. yang
mengakibatkan dapat tumbuh dengan subur dan dapat
menambahkan kandungan nitrogen kedalam tanah
(Hasanah et al., 2014). Pertumbuhan tanaman penutup
tanah yang tidak terkendali mengakibatkan persaingan
JPSL Vol. 7 (1): 79-88, April 2017
antara tumbuhan penutup tanah dengan tanaman
pioneer di blok tanam revegetasi.
Kegiatan pemeliharaan tanaman dapat dilakukan
untuk mengatasi permasalahan pertumbuhan tanaman
seperti kegiatan pemupukan dan kegiatan penyiangan
yang rutin (Mansur, 2011). Kegiatan penyiangan telah
dilakukan oleh pihak HEF, namun semak dan alangalang masih ditemukan pada blok tanam yang
memiliki tinggi sama dengan tanaman revegetasi serta
kesehatan tanaman yang rendah pada blok tanam HEF
mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi
terhambat. Kondisi tersebut diduga kurangnya
kegiatan pengawasan terhadap blok tanam revegetasi
yang mengakibatkan masih terdapat blok tanam yang
ditumbuhi alang-alang dan kesehatan tanaman yang
rendah untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu
diadakan kegiatan pemeliharaan yang intensif dengan
melakukan kegiatan pengendalian hama dan penyakit,
kegiatan penyiangan, dan pemupukan untuk
meningkatkan pertumbuhan tanama revegetasi HEF.
dilakukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman
pada blok tanam HEF.
4. Pengawasan terhadap kegiatan revegetasi dengan
melakukan pengamatan terhadap pertumbuhan
tanaman dan kondisi lahan revegetasi HEF perlu
untuk mengetahui kondisi pertumbuhan tanaman
revegetasi dan agar dapat mengatasi permasalahan
yang dialami dalam kegiatan revegetasi.
4. Kesimpulan dan Saran
[6]
4.1. Kesimpulan
[7]
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman
dengan pertumbuhan terbaik adalah jenis S. wallichii
dan Ficus sp. dengan rata-rata pertumbuhan tinggi
6.09 m dan 4.35 m, sedangkan rata pertumbuhan
diameter sebesar 6.95 cm dan 6.79 cm. Persen tumbuh
pada blok XI, blok XIII, dan blok IX mempunyai nilai
persen hidup berkisar antara 82.03−86.50 dan pada
blok VII mempunyai hasil persen tumbuh dibawah
80%, sedangkan kesehatan tanaman pada blok tanam
HEF berada dibawah 80%. Analisis spasial pada blok
tanam HEF menujukkan bahwa nilai NDVI pada blok
tanam HEF mengalami peningkatan dengan rata-rata
peningkatan NDVI sebesar 0.10.
Permasalahan yang terjadi pada blok tanam HEF
berupa tingkat persentase hidup dan kesehatan
tanaman rendah disebabkan rendahnya kandungan
unsur hara tanah, kandungan pH yang terlalu masam,
kepadatan tanah, dan kandungan logam berat seperti
Fe, Al, dan Mn.
Daftar Pustaka
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
4.2. Saran
[16]
1. Perlu diadakan pengembangan terhadap jenis
tanaman yang dapat hidup dengan baik pada blok
tanam HEF seperti S. wallichii dan Ficus sp serta
pengembangan tanaman penutup tanah untuk
memperbaiki kondisi lahan revegetasi.
2. Penelitian lebih lanjut terhadap dosis pemberian
pupuk, kapur, dan asam humat pada setiap blok
tanam HEF untuk memperbaiki kualitas tapak pada
blok tanam HEF.
3. Permasalahan kegiatan revegetasi di HEF dapat
diatasi dengan kegiatan pengemburan tanah,
pemupukan, pengapuran, dan dikombinasikan
dengan asam humat untuk memperbaiki lahan
revegetasi HEF. Kegiatan pemeliharaan perlu
[17]
[18]
[19]
[20]
Armecin, R.B., M. H. P. Seco, P. S. Caintic, E. J. M. Milleza,
2005. Effect of leguminous cover crops on the growth and
yield of abaca (Musa textilis Nee). Industrial Crops and
Products 21, pp. 317–323.
Balai Penelitian Tanah, 2009. Petunjuk teknis: Analisis
Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian
Tanah, Bogor.
Daniel, T. W. J. A. Helms, F. S. Baker, 1987. Prinsip-prinsip
silvikultur. Edisi kedua. UGM Press, Yogyakarta.
Gerson, N. D., 2007. Kondisi tanah pada sistem kaliwu dan
mawar [ulasan]. Info Hutan 5 (1), pp 45-51.
Hanafiah, K. A., 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Hardjowigeno, S., 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis.
Akademika Pressindo, Jakarta.
Hardjowigeno, S., 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo,
Jakarta.
Hasanah, N.I., B. Wasis, I. Mansur, 2014. Pengembangan
desmodium spp. Sebagai penutup tanah dalam reklamasi
lahan pasca tambang. Jurnal Silvikultur Tropika 5(1), pp 712.
Hillel, D., 1987. Soil and Water Physical Princples and
Processes. Academic Press, New York.
Husch, B., T. W. Beers, J. A. Kershaw, 2003. Forest
Measuration. John & Sons, Inc, New Jersey.
Horning N., 2004. Global land vegetation; An electronic
textbook: NASA Goddard Space Flight Center Earth
Sciences Directorate Scientifix and Educational Endeavors
(SEE).
[terhubung
berkala].
http://www.ccpo.odu.edu/SEES/veget/ vg_class.htm [30
Januari 2016]
Iskandar, D. T. Suwardi, Suryaningtyas, 2012. Reklamasi
Lahan-lahan Bekas Tambang : beberapa Permasalahan
Terkait Sifat-sifat Tanah dan Solusinya [terhubung berkala].
Http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/.../62632/1/PRO20
12_ISK.pdf [31 Januari 2017].
Jaya, I. G. N., 2010., Analisis Citra Digital. Fakultas
Kehutanan IPB, Bogor
Mansur, I., 2011. Teknik Silvikultur untuk Reklamasi Lahan
Bekas Tambang. SEAMEO BIOTROP, Bogor.
Madjid, A., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar
Online.
[terhubung
berkala]
http://dasar2ilmutanah.com/2009/04/ fisika-tanah-bagian-6
air-tanah-dan.html [20 Agustus 2016].
Megawati, N.J., 2012. Respon pertumbuhan Acacia mangium
Willd terhadap penambahan kapur dan HSC (Humid
Substantces Complex) pada lahan pasca tambang batubara.
Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Munawar, A., 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman.
IPB Press, Bogor.
Nakhone, L.N., M. A. Tabatabai, 2008. Nitrogen
mineralization of leguminous crops in soils. Jurna Plant
Nutrtion 171, pp 231–241.
Peraturan Mentri Energi Sumber Daya Mineral, 2008.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor:
18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.
Tanggal 29 mei 2008.
Peraturan Menteri Kehutanan, 2009. Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.60/Menhut-II/2009
tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan.
Tanggal 17 September 2009.
87
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
[21]
[22]
[23]
[24]
[25]
88
JPSL Vol. 7 (1): 79-88
Peraturan Mentri Kehutanan. 2011. Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
Reklamasi Hutan. Tanggal 14 Januari 2011.
Purwadhi, H. Sri, 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo,
Jakarta.
Rahim, F., 1995. Sistem dan Alat Tambang. Akademi Teknik
Pertambangan Nasional, Banjarbaru.
Semangun, H., 2001. Penyakit-Penyakit Tanaman
Holtikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Pr,
Yogyakarta.
Setiadi, Y., 2006. Teknik revegetasi untuk merehabilitasi
lahan
pasca
tambang
[terhubung
berkala].
Http://pkrlt.ugm.ac.id/files/yadi setiadi.pdf [7 Februari 2016].
[26]
[27]
[28]
[29]
Setiadi, Y., 2012. Bahan Kuliah Ekologi Restorasi. Program
Studi Silvikultur Tropika, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Tidak
Diterbitkan, Bogor.
Setiadi, Y. Adinda, 2013. Evaluasi pertumbuhan pohon di
lokasi revegetasi lahan pasca tambang PT. Vale Indonesia
Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan. Jurnal Silvikultur Tropika
4 (1), pp. 19-22.
Thomas, M. Lillesand, Ralph, W. Kiefer., 1997.
Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri,
Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah. Terjemahan
dari: Remote Sensing and Image Interpretation. UGM Press,
Yogyakarta.
Vissoh, P. Manyong, V. M. Carsky, J. R. Oseibonsu, P.
Galiba, M., 2005. Experiences with Mucuna in West Africa.
International
Development
Research
Centre
36.
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (April 2017): 89-97
LESSON LEARNED FROM MANGROVE REHABILITATION
PROGRAM IN INDONESIA
Cecep Kusmana
Silviculture Department, Faculty of Forestry, Bogor Agriculture University, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
[email protected]
Abstract. Indonesia as an archipelagic country more than 17,504 islands with the length of coastline estimated at 95,181 km bears
mangroves from several meters to several kilometers. They grow extensively in the five big islands (Jawa, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, Papua). At the year of 2009, Agency of Survey Coordination and National Mapping (Bakosurtanal) of Indonesia reported
the existing mangrove forest area in Indonesia of about 3,244,018 ha, however Directorate General of Land Rehabilitation and
Social Forestry, Ministry of Forestry (Ditjen RLPS MoF) of Indonesia at 2007 reported about 7,758,411 ha of mangrove area in
Indonesia (including existing vegetated mangrove area). It was further reported that those mangroves were 30.7% in good
condition, 27.4% moderate-destroyed, and 41.9% heavy-destroyed. In order to rehabilitate destroyed mangrove ecosystems,
Indonesia applies at least three type of planting designs (square planting design, zig zag planting design, and cluster plant ing
design) and eight planting techniques (“banjar harian” technique, bamboo pole technique, guludan technique, water break
technique, huge polybag technique, ditch muddy technique, huge mole technique, cluster technique). Generally, in Indonesia
Rhizophora spp. are used for mangrove rehabilitation and/or restoration with the spacing of 1x1 m spending varied planting cost
based on the site local condition and planting technique used. The mangrove planting ranged from about Rp. 14.2 million using
propagules to Rp. 18.5 million using cultured seedlings. Recently, local community used to utilizing associated mangrove aquatic
fauna for supporting their daily life as well as utilizing mangrove habitat for multipurpose uses through agroforestry techniques
(silvofishery, agrosilvofishery, agrosilvopastoralfishery systems). So that, the good mangrove ecosystem serves luxurious both
flora and fauna species (biodiversity) as well as their abundance for significantly supporting the welfare of coastal community.
Keywords: agroforestry technique, local community, mangrove rehabilitation, planting design, planting technique
(Diterima: 28-11-2016; Disetujui: 17-02-2017)
1. Introduction
Mangroves are a group of salt tolerant plants
inhabiting inter-tidal zone between the high-water
mark of spring tides and a level close to but above
mean sea level in the tropical and sub-tropical regions,
mostly well developed in the sheltered coast, deltas,
lagoons, and estuaries. These plants and the associated
microbes, fungi, plants, and animal constitute the
mangrove community, in which it intercorrelated with
abiotic factors constitute mangrove ecosystem. If
those mangrove ecosystems are dominated by trees,
we called mangrove forests. The term “mangrove”
itself describes both the plants inhabiting inter-tidal
zone and the community itself (Tomlinson, 1986),
even ecosystem (FAO, 2005; Kusmana, 1993).
Mangrove ecosystem is an interface unique
ecosystem between marine and terrestrial ecosystems
characterized by high productivity and rapid cycling
of nutrients (Snedaker, 1978) that contribute a major
share of the energy requirements offshore ecosystems
(Harger, 1982). Therefore, they are considered as
important natural resource for multiple reasons,
especially for the tropical countries.
The rate of disturbance and variety of the humaninduced influences on the mangrove ecosystems have
been steadily increasing, so a large proportion of the
World’s mangrove is threatened with destruction. The
main cause of the mangrove destruction as currently
doi : 10.19081/jpsl.2017.7.1.89
underway in the world can be broadly distinguished as:
(1) over exploitation by the traditional users (e.g. for
charcoal, pole and firewood) and uncontrolled forest
concessionairs, (2) destructive actions resulting from
activities generally unrelated to sustained uses of
mangroves (e.g. conversion to agriculture,
mining/mineral extraction, aquaculture, urban
infrastructures, resettlements, etc.) (Saenger et al.,
1983), and (3) pollution and natural disaster
(Kusmana, 2010). So that, the conversion of mangrove
areas to other uses over the past decades has been
alarming.
In the developing countries, short-term economic
gains in the mangrove areas (e.g. oil mining,
resettlement, industrial estate, etc.) have taken
precedence over the long-term generation of benefits
which have both economic and natural values.
However, mangroves are sensitive to outside
influences and are increasingly subjected to stress or
disappearance through reclamation and pollution
(Snedaker, 1978).
As an archipelagic country, Indonesia consists of
more than 17,504 islands (28 big islands and 17,475
small islands) with the length of coastline estimated at
95,181 km, which bears mangroves from several
meters to several kilometers. According to the latest
information, the mangrove vegetated area in Indonesia
is amounted to 3.2 million hectares (Bakosurtanal,
2009). On the other hand, at the year of 2007 Ministry
89
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 89-97
of Forestry reported that potential area to be planted
by mangrove (including mangrove vegetated area) is
estimated at 7.8 million hectares (30.7% in good
condition, 27.4% moderate-destroyed, 41.9% heavydestroyed). The destroyed of them are caused by
several kind of causes, mainly by conversion to the
other uses.
For centuries the Indonesian people have
traditionally utilized mangroves, mainly for firewood,
charcoal, tannin, dyes, food and beverages, medicine,
pole and timber.
The main genera used are
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Nypa and
Oncosperma (Soegiarto, 1984). At the beginning, the
fishing and charcoal making are generally the basic
economic activities in the mangrove areas. However,
in the following period a commercial scale of
mangrove exploitation in Indonesia has been begun
with a production of logs, charcoal and chip-woods. In
the same time, the increasing of population growth and
economic development in this country resulted in the
destruction even disappearance of many mangroves
through conversion of them to fishponds, industrial
estates, transportation and recreation infrastructure,
resettlement, tin mining, agricultural activities, and
other uses.
The multiple role of the mangroves as a renewable
resources in the coastal area in relation to serving
valuable forest products and environmental services
for the coastal population is well recognized in
Indonesia, so that degraded mangroves must be
rehabilitated and mangrove plantation should be
established in some intertidal areas to enrich land



Indonesia




2
Malaysia
3
Myanmar
4
Thailand






90
1.1. Mangrove Rehabilitation and Restoration in
Indonesia and Other Countries
Mangrove rehabilitation or restoration is becaming
important in Souteast Asia, mainly as the effect of
mangrove destruction becames apparent in the form of
loss of coastal fisheries productivity, loss of livelihood
of coastal communities, and loss of live and proverty
in the wake of storms and tsunamis. Promotions of
regeration of mangroves has been the goal of
mangrove foresters in South Asia (Giesen et al., 2006).
It is reported also that as a general rule, mangrove
seedlings should be planted with 1 metre spacing, i.e.
at a density of 10,000 per hectare. High initial
mortality is not unsual, but survival rates of at least 50
percent should be expected. Typical forest density of
mature mortality of planted saplings should not lead to
an unsually sparse forest (Lewis and Streever, 2000).
Indeed , a round of thinning may be required in years
5-10 to prevent the establishment of ‘pole forests’, i.e
dense stands of thin, tall trees, as these may be
particularly susceptible to storm demage. According to
Lewis (2001), the cost of mangrove restoration usually
varies from US$225 per hectare to US$216 000 per
hectare, depending on the location and technique used.
Almost all countries in Southeast Asia executed
mangrove rehabilitation/restoration in improving and
recovering mangrove ecosystem function in their
region (Table 1).
Table 1. Some mangrove rehabilitation/restoration activities in Southeast Asian countries
Country
Mangrove Rehabilitation Activity
No
1
productivity as well as environmental quality of the
ecosystem.
Mangrove rehabilitaion at Angke Kapuk coastal area Jakarta using Guludan Technique ( ±
25,000 seedlings of Rhizophora spp) and Rouble Mould Water Break Model at the
coastaline of Muara Angke Mangrove protection forest by Faculty of Forestry IPB founded
by Pertamina, AEON, PGN, KNI, Bank Mandiri, etc.
Mangrove rehabilitation by Ministry of Forestry all over the country (more then 30,000 ha)
through Gerhan One Man One Tree, OBIT (One Billion Indonesia Tree) and Kebun Bibit
Rakyat (KBR) programs, sponsored by JICA,KOICA, etc, beside founded by internal
fanding allocation by MoF
Mangrove rehabilitation by Pertamina through the program of “Pertamina Sobat Bumi” at
22 regions all over the country totalled 884,360 seedlings
Mangrove rehabilitaion by NGO i,e Wetlands Indonesia in Serang, Java; OISCA in Jakarta,
Indramayu, South Sulawesi, etc; Yamamoto Foundation in Riau 500 ha, Jambi 20,000 ha,
South Sumatra 20,000 ha, Bangka Belitung 10,000 ha
Mangrove rehabilitation by International Institution and Donors, i.e. JICA in NTB and Bali;
KOIKA in Aceh UNDP-IUCN through the program of Mangrove for the Future (MFF);
ADB; ITTO, etc
Mangrove rehabilitation by local communities i.e Tuban Mangrove Center in Central Java,
Sinjai South Sulawesi, silvofishery-agro-pastoral system in Deli Serdang North Sumatra,
silvofishery system in Pemalang Central Java, etc
Mangrove rehabilitation by Perhutani at northern coast of Java through empang parit
silvofishery systems and komplangan system
South China Sea project in West Kalimantan
Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing
Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf of Thailand
Mangrove rehabilitation by various parties, i.e JICA, UNDP, etc
Mangrove rehabilitation in the Irrawaddy Delta; 3 234 ha in Lapputta Township, 1 158 ha
in Bogalay, and 200 ha in Moulmying yun
Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing
Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf of Thailand
Abandoned shrimp ponds mangrove restoration of 800 ha in Surat Thani by Royal Forest
Departement
JPSL Vol. 7 (1): 89-97, April 2017
No
Country
Mangrove Rehabilitation Activity




5
Vietnam


6
7

Philippina


Cambodia

A pilot project working with local communities in the Pattani Bay area and carried out by
the Prince of Songkla University and Wetland International (100 ha) in over-logged forest
area and abandoned shrimp ponds
Mangrove forest rehabilitation by local community in Ban Prednai, Trat Province, in Bang
Khunsai Phetchaburi Province, in Ban Bang Tip, Phang Nga Province and in Ko Kham
Community Samut Sakhon Province
Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing
Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf Thailand
In the 1990 mangrove restoration in the Ca Mau Peninsula (6,600 ha) in replanting program
together with five state forestry/fishery enterprises
Mangrove rehabilitation of almost 1,000 ha in Northern Vietnam at Thiong Long, Thai
Thuy, and Tinh Gio
Degraded mangrove area rehabilitation in the Mekong Delta region (± 20,638 ha during
1977-1997)
Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing
Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf Thailand
Mangrove reforestation in Banacon by local community since 1957
Mangrove rehabilitation sponsored by UNDP-GEF Project Entitle Reversing
Environmental Degradation Trends in The South China Sea and Gulf Thailand
Mangrove forestation in Sihanoukville by local community
Square Planting Design
Zig zag Planting Design
Cluster Planting Design
Figure 1. Mangrove planting design have been applied in Indonesia
2. Methods
2.1. Planting Design and Tehnique
Regarding to the mangrove rehabilitation and
restoration, there are three planting design commonly
applied in Indonesia (Figure 1) with the spacing of 1x1
m, 1x2 m, 1.5x1.5 m, 2x2 m, and 2x3m depending on
the goal of planting and local specific habitats
condition. Beside at least eight planting techniques
haven been applied by the various parties in planting
mangrove in Indonesia (Figure 2).
2.2. Budget for Mangrove Rehabilitation
As an archipelagic country, Indonesia has the
largest mangrove areas in the world (about 3,2 million
ha), but about 70 % of them are destroyed. Because of
the paramount important function of mangrove
ecosystems, Indonesia has been spent high efforts to
rehabilitate and restore degraded mangroves using
several techniques to guarantee the success of
planting. In oder to serve general guidance for
stakeholders to participate in executing the mangrove
rehabilitation/restoration, mainly for internal need
institution in allocating budget, Ministry of Forestry
enacted the Decree of Director General of Watershed
Management and Social Forestry No. P.05/VSET/2014 on estimate Unit Price Standard for
Mangrove Rehabilitation. In general its regulation
giving information such as shown on Table 2.
Beside a technical aspect (knowledge of an
autecology and silvicultural technique of species to be
planted), the cost budget for mangrove rehabiliation or
restoration should be considered firmly. According to
our experiences, there is a variation cost budget for
91
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 89-97
both producing seedling in the nursery (Rp 900- Rp
1,500) and seedling planting (Rp 18 Million to Rp 22
Million) based on the region. In the average the cost
for mangrove planting using propagules is amounted
to Rp 1,420 per an individual propagule or about Rp
14,200,000 per hectare and about Rp 1,845 per an
individual seedling or about Rp 18,450,000 per hectare
using seedling planting (Table 3 and 4). Regarding to
seedling production in the nursery, the cost budget is
about Rp 1,350 per an individual seedling (Table 5).
In this event, I want to describe experience for three
difference cases of mangrove rehabilitation in
Indonesia.
Cemplongan Technique
Water Break Technique
Guludan Technique
Bamboo Pole Tehnique
Hole filled mud
Polybag
Besar
sand
Huge Polybag
Technique
Seedling
p
a Technique
Ditch Muddy
T
Huge Hole Filled Mud
T
e
Cluster Technique
Huge Hole Muddy Technique
Figure 2. Mangrove planting techniques have been applied in Indonesia.
92
JPSL Vol. 7 (1): 89-97, April 2017
Table 2. Estimate standard unit price for mangrove rehabilitation
Unit Price (Rp/ha)
No
Activity
A
I.
B
C
D
E
Mangrove Rehabilitation Planning Design
1.
Insentive for worker in measuring
the project area
36,000
40,000
44,000
48,000
52,000
2.
Material for executing the project
100,100
100,100
100,100
100,100
100,100
3.
Mobilization/transfortation
235,000
235,000
235,000
235,000
235,000
4.
Data processing map, report
writing, and report multiplicating
36,650
38,150
39,150
40,150
41.150
408,000
439,000
469,000
499,000
529,000
2,115,000
2,330,000
2,545,000
2,760,000
2,975,000
5,959,000
6,166,000
6,372,500
6,579,000
6,785,500
8,074,500
8,496,000
8,917,500
9,339,000
9,760,500
807,450
849,600
891,750
933,900
976,050
8,881,950
9,345,600
9,809,205
10,272,900
10,736,550
8,882,000
9,346,000
9,810,000
10,273,000
10,737,000
1,035,000
1,130,000
1,060,000
1,320,000
1,415,000
1,024,000
1,082,000
1,140,000
1,198,000
1,250,000
2,059,000
2,112,000
2,200,000
2,518,000
2,671,000
205,900
2,264,900
211,200
2,323,200
220,000
2,420,000
251,800
2,769,800
267,100
2,938,100
2,265,000
2,324,000
2,420,000
2,770,000
2,939,000
Sub Total I (rounded)
II. Seedling Planting
1.
2.
Inseentive for seedling planting
and maintenance workers
Material for seedling planting and
maintenance
Sub Total II
1.
Profit and overhead
2.
Cost after profit and overhead
Sub Total II (rounded)
III.
1.
2.
Maintenance
Insentive for maintenance
workers
Materials for maintenance
activities
Sub Total III
3.
4.
Profit and overhead
Cost after profit and overhead
Sub Total III (Rounded)
Note :
Number of planting seedling 3,300 ind/ha
A
: Region of Sumatra, Java, and Bali
B
: Region of Kalimantan
C
: Region of Sulawesi
D
: Region of Nusa Tenggara Timur (NTT) and Nusa Tenggara Barat
E
: Region of Maluku and Papua
Table 3. Cost budget for one hectar propagule planting using a spacing of 1x1 m
No.
Activity
Volume
Unit
Price (Rp)
Total (Rp)
2
3
4
5
6
1
I
MATERIALS
1.
Stake area borderline
2.
Stake planting line
3.
Seedling stake
4.
Rope binded seedling to stake
5.
Rope signed planting line
6.
Bamboo basket
II
INSENTIVE
1.
Wage for land clearing
12
Man day
50,000
600,000
2.
Wage for stake assembling of row planting area
75
Man day
50,000
3,750,000
3.
Wage for seedling stake assembling
4
Man day
50,000
200,000
4.
Wage for seedling transportation
35
Man day
50,000
1,750,000
5.
Wage for seedling planting
55
Man day
50,000
2,750,000
6.
Wage for maintenance
40
Man day
50,000
2,000,000
Cost of planting for one propagule
3,148,000
6
Stem
3,000
18,000
220
Stem
1,000
220,000
10,000
Stem
250
2,500,000
8
Roll
5,000
40,000
120
Meter
1,000
120,000
10
Unit
25,000
250,000
11,050,000
1,419.8 (rounded to 1,420)
93
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
Table 4.
JPSL Vol. 7 (1): 89-97
Cost budget for one hectar mangrove planting using seedling with the spacing of 1x1 m
No.
Activity
Volume
Unit
Price (Rp)
Total (Rp)
1
2
3
4
5
6
I
MATERIALS
1.
Seedling production and 20% seedling stocking
3,148,000
2.
Stake area borderline
3.
Stake planting line
4.
Seedling stake
5.
Rope binded seedling to stake
6.
Rope signed planting line
7.
Bamboo basket
II
INSENTIVE
1.
Wage for land clearing
2.
Wage for stake assembling of row planting area
3.
Wage for seedling stake plant assembling
4.
Wage for seedling transportation
5.
Wage for seedling planting
6.
Wage for maintenance
12,000
Stem
1,350
16,200,000
6
Stem
3,000
18,000
220
Stem
1,000
220,000
10,000
Stem
250
2,500,000
8
Roll
5,000
40,000
120
Meter
1,000
120,000
10
Unit
25,000
250,000
15,300,000
12
Man day
50,000
600,000
4
Man day
50,000
200,000
35
Man day
50,000
1,750,000
110
Man day
50,000
5,500,000
85
Man day
50,000
4,250,000
60
Man day
50,000
3,000,000
Cost of planting for one seedling
1,844.8 (rounded to 1,845)
Table 5. Cost budget for producing 50,000 seedlings in the nursery
NO
Activity
Volume
Unit
Price (Rp)
Total (Rp)
1
2
3
4
5
6
I
MATERIALS
1
Polybag
Kg
30,000
8,160,000
2
10,000
9,000,000
2
Paranet
900
3
Bamboo stem
275
Stem
12,000
3,300,000
4
Wire, spike, etc
1
Paket
500,000
500,000
100,000
4,000,000
5
Soils
40
m
3
m
3
6
Organic fertilization
10
m
100,000
1,000,000
7
Identity board
1
Unit
1,000,000
1,000,000
8
Board of planting row
1
Unit
5,000
5,000
9
Mica plastic
300
Meter
8,000
2,400,000
10
Seedling transport tools
1
Unit
500,000
500,000
11
mat stock
1
Unit
65,000
65,000
12
Skop
1
Unit
52,500
52,500
13
Sieve tools
1
Unit
150,000
150,000
14
Water shower
1
Paket
2,000,000
2,000,000
II
INSENTIVE
1
Nursery land clearing
20
Man day
50,000
1,000,000
2
Seedling area line
50
Man day
50,000
2,500,000
3
Putting soil to the polybag
144
Man day
50,000
7,200,000
4
Seed collection
180
Man day
50,000
9,000,000
5
Seed planting
40
Man day
50,000
2,000,000
6
Maintenance
272
Man day
50,000
Cost for producing one seedling in the nursery
94
32,132,500
272
35,300,000
13,600,000
1,349 (rounded to 1,350)
JPSL Vol. 7 (1): 89-97, April 2017
Table 6. Cost budget for constructing one unit Guludan of 4.5 m x
6mx1m
Unit
Total Cost
No. Materials
Volume
Price
(Rp)
(Rp)
1
Bamboo
145
Stam
18,000
2,610,000
2
Rope
16
Kg
20,000
320,000
3
Soil
27
M3
80,000
2,160,000
1,674
Sack
1,000
1,674,000
1,674
Sack
1,000
1,674,000
25
Man
day
100,000
2,500,000
4
5
6
Plastic
sack
Filled soil
to plastic
sack
Insentive
for
workers
Total Cost
cm seedling height 2.8-3 meter, and biomass 506-702
g/ind for 2 years old) (Figure 4). Surprisingly, this
technique can also facilitate natural sucession in
guludan, such as Sonneratia spp, Avicennia spp, etc
(Figure 5). For constructing a Guludan of 4.5 m
(width) x 6 m (lenght) x 1 m (height) planted by 200
seedlings needs a budget amounted to Rp 10,938,000
(Table 12).
10,938,000
Note : for the spacing 0.5x0.5 m, cost for planting one seedling
using Guludan Technique is Rp 101,000
3. Result and discussion
3.1. Cases of Mangrove Rehabilitation Programs in
Indonesia
a. Case (1): Mangrove planting using Guludan
Technique in coastal area of Angke Kapuk, North
Jakarta
Angke Kapuk coastal area lost of about 70 %
mangrove area in the periode between 1977 – now,
because of conversion to airport, high way, urban
facilities, resettlements, and fish ponds. Now, those
conversion of mangrove remain only 372 hectares of
degraded mangrove – vegetated – land, in which about
95 hectares mainly covered by neglected fish ponds
submerged by deep water ranging from one to four
meters.
Some mangrove planting techniques have been
applied for rehabiliting the area, i.e bamboo basket,
big can or drum filled soil as a media for growing
seedlings, but those techniques fail in growing
seedlings. So that, at 2005 Faculty of Forestry IPB
introduced Guludan Techniques (Figure 3) for
mangrove planting using four to six months seedlings
of bakau (Rhizophora spp) with the spacing 0.5x0.5 m.
Fortunately, this planting technique success to grow
mangrove seedlings well with the survival rate of more
than 80 % showing the good performance of seedling
growth (at 3 years old, steam diameters reached 2.5-3
(a)
(b)
Figure 3. Performance of Guludan.
Figure 4. Well growth seedlings in Guludan.
95
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824
JPSL Vol. 7 (1): 89-97
Figure 5. Develope succsession of 10 years mangrove
planted by Guludan.
From the experience of applying guludan
technique, we got some lesson learns such as
follows:
a. Mangrove can be planted in the mineral soils
b. The appropriate media for growing mangrove
seedlings is the mixed soil between 60% mineral
soil and 40 % mud
c. In order to avoid abundant weeds, planted
mangrove seedlings in the guludan should be
submerged about 10-20 cm by waters
d. R. mucronata seedlings show grow well at the
water salinity less then 20 ppt
e. More denser the spacings, more higher the height
growth of seedlings and vice versa for stem
diameter growth
f. Spacings of 0.5 x 0.5 m resulted in the good
growth of R. mucronata seedlings planted in
guludan
g. Lateral Root Manipulation (LRM) with the
fertilization of Rock Phospat combined with
Humic Substance Complex and Terabuster can
be applied to improve the neglected growth of
seedlings
h. Planted seedlings in the guludan should be
maintained until 3 years old from the weeds,
snails and caterpillar.
b. Case (2): Mangrove planting in the over-logged
forest area
This action research carried out at over-logged
forest area of PT. Bina Lestari Riau by Division of
Research and Development of the company for 2
years measurment period (1996-1998) sampled 60
trees of Rhizophora apiculata and Bruguira
gymnorhiza with spacing of 1 x 1 m, 1.5 x 1.5 m,
and 2 x 2 m, each starting at 6 years old tree and
ending at 8 years old ones. Measurement of stem
96
diameter and seedling height steam of sampled trees
was done twice in a year (June and December) in
two research plots comprising of three measurment
plots of 50 x 30 m each for both Rhizophora
apiculata and Bruguire gymnorrhiza.
Obtained action research results as lesson learn
were:
a. Based on considering survival rate, volume
increment and budget spending, the best spacing
is 1.5x1.5 m which showing the increment of
steam diameter 0.987-1.464 cm per year, height
0.478-0.689 m per year, and tree volume 10.3310.78 m3/ha/year
b. For chipwoods production, the felled trees
should be at least 10 cm at DBH, rotation
(cutting cycle) 10 years with the forest
management period 25 years and the minimal
forest area to be managed about 20,140 hectars
c. For managing the forest area 20,140 ha for
chipwoods production needs about 2,026
workers consisting of 47 person at Forest
Management Unit (KPH), 76 persons at SubKPH Level (BKPH), 100 persons at Sub-BKPH
level (RPH), 628 persons for silviculture
activities (nursery, planting, maintenance), and
1,175 for forest harvesting.
c. Case 3: Mangrove Rehabilitation Using
Agroforestry
Techniques
(Sylvofishery,
Agrosilvofishery,
Agrosilvofishery
Pastoral
System).
At 1970s Perum Perhutani (Forest State
Company) introduced the system of Tambak
Tumpangsari (Sylvofishery System) using design of
empang parit (mangrove forest stand in the middle
surrounded by pond channal for culturing
fish/shrimp) with the ratio area in one unit fish pond
about 80 % forest and 20 % pond channal. In
accordance with the passage time, sylvofishery
system developed to become various system such as
agrosilvofishery
and
agrosilvofisherypastoral
systems which have been applied by local coastal
communities (Figure 6).
Those kinds of techniques better to be applied for
mangrove rehabilitation on the mangrove degraded
areas borderline or surrounded by landless poor
community. The Farmer at least obtain the net profit
amounted to Rp. 4,500,000 in cultivating fish of
bandeng/milk fish (Chanos chanos) for one ha fish
pond using sylvofishery system (Table 12).
The profit increases if the farmer applied
agrosilvofisherypastoral system for (chicken, oil
palm, milk fish, fuelwood) for once harvesting
period (6 months), about Rp. 12,641,000 per ha
(Bapak Ginting, personal communication).
JPSL Vol. 7 (1): 89-97, April 2017
Silvofishery Empang Parit
System
Agrosylvopasturalfishery System
Empang Parit System
Sylvopasturalfishery System
Figure 6. Various agroforestry system in mangrove ecosystem
Table 7. Expenditure, income, and profit in cultivating milk fish for one ha fish pond sylvofishery system for 4 to 5 months cultivating
period of fish
No
Items
Volume
Unit price (Rp)
Total
(Rp)
I
EXPENDITURE
Juvenil fish
5000 ind
110
550,000
Fish feed (pellet)
400 Kg
7,000
2,800,000
Saponin
100 Kg
5,000
500,000
Pond maintenance
500,000
500,000
Fish harvesting
750,000
750,000
Total
5,100,000
II
INCOME
Fish (milk fish)
700 kg
13,000
9,100,000
Natural fish, shrimp sand crabs
500,000
500,000
Total
9,600,00
PROFIT
4,500,000
References
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
Nasional, 2009. Peta Mangroves Indonesia. Cibinong:
Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut Badan Koordinasi
Survey dan Pemetaan Nasional.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United
Nations, 2005. Global Forest Resources Assesmen. 2005
thematic study on mangroves, Thailand: DRAFT,
AUGUST 2005. FAO Forestry Departement, Rome.
Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren, and L. Scholten,
2006. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and
Wetlands International.
Harger, J. R. E, 1982. Major problems in the functional
analysis of mangrove in Southeast Asia. Paper presented at
the symposium on mangrove forest ecosystem
productivity, April 20-22, 1982, Bogor.
Kusmana, C., 1993. A study on mangrove forest
management based on ecological data in East Sumatra,
Indonesia. PhD. Dissertion, Kyoto University, Japan.
, 2010. Konservasi dan Pengelolaan
Mangrove. Presented on: Konferensi dan Pameran
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
Nasional “Penyelamatan Hutan Pantai dan Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat Pesisir”, 23 November 2010.
Lewis, R. R., 2001. Mangrove Restoration. Cost and
Benefits of Successful Ecological Restoration.
Proccedings of the Mangrove Valuation Workshop,
University Sains, Malaysia, Penang, 4-8 April 2001. Cohosted by the Beijer International Institute of Ecological
Economics, Stockholm, Sweden.
Lewis, R.R. and B. Strever. 2000. Restoration of mangrove
habitat. WRP Technical Notes Collection (EDRCTNWRP-VN-RS-3.2), US Army Enginer Research and
Development
Centre,
Vicksburg,
MS.
www.wes.army.mil/mil/el/wrp.
Saenger, P., E. J. Hegerl, and J. D. S. Davie. 1983. Global
status of mangrove ecosystems. IUCN. Commision on
Ecology Number 3.
Snedaker, S. C., 1978.
Mangrove: their value and
perpetuation. Nature and Resources 14:6-13.
Soegiarto, A., 1984. The Mangrove Ecosystem in
Indonesia: Its Problems and Management. In: Teas HJ.
(Ed.). Physiology and Management of Mangroves: 69-78.
W. Junk Publishers, The Hague.
Tomlinson, P. B., 1986. The botany of mangroves.
Cambridge University Press.
97
Download