perlindungan sumber daya genetik melalui sistem hak kekayaan

advertisement
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
PERLINDUNGAN SUMBER DAYA GENETIK MELALUI
SISTEM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
DEDE MIA YUSANTI
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual – Departemen Hukum dan HAM RI
Jalan Daan Mogot Km 24, Tangerang – Banten 15119
PENDAHULUAN
Sumber daya genetik (SDG) mencakup
semua spesies tanaman, hewan maupun
mikroorganisme, serta ekosistem dimana
spesies tersebut menjadi bagian daripadanya.
Sementara Pengetahuan Tradisional (PT) yang
terkait dengan sumber daya biologi tersebut
adalah merupakan komponen intangible dari
sumber daya itu sendiri. Kombinasi dari
pengetahuan tradisional dan sumber daya
genetik berpotensi untuk diambil keuntungannya
secara
komersial
yaitu
dengan
mengembangkannya menjadi produk dan
proses yang bermanfaat.
Potensi komersial yang melibatkan sumber
daya genetik dan pengetahuan tradisional
terkait telah berkembang sangat cepat dalam
dua
dekade
terakhir
seiring
dengan
perkembangan yang pesat dari industri
bioteknologi. Perkembangan ilmu bioteknologi
telah mendorong pengembangan potensi
ekonomi, pemanfaatan dan komersialisasi
SDG. Dalam hal ini, Indonesia dan negaranegara berkembang lainnya, yang biasanya
merupakan negara-negara beriklim tropis
dengan kekayaan sumber daya genetik yang
melimpah, seharusnya ada dalam posisi yang
kuat untuk memperoleh keuntungan dalam
pemanfaatan sumber daya genetik. Namun
demikian kenyataannya memang jauh dari
yang diharapkan. Biopiracy menjadi hal yang
sering terjadi yang menimpa negara-negara
berkembang dengan kekayaan sumber daya
genetik yang melimpah. Negara maju dengan
kemampuan teknologinya cenderung telah
mengambil keuntungan yang tidak adil dari
sumber daya genetika dan pengetahuan
tradisional dari negara-negara berkembang.
Pemanfaatan ekonomi dari SDG dengan
menggunakan bioteknologi, khususnya di
bidang Farmasi dan Bioteknologi tidak dapat
54
dipungkiri berkembang dengan dukungan
sistem HKI, khususnya paten dan Perlindungan
Varietas Tanaman (PVT). Dari data yang ada
di kantor-kantor paten di dunia termasuk di
Indonesia, maka akan tampak adanya
pergeseran permohonan paten bidang farmasi
dari invensi bidang kimia menjadi bidang
bioteknologi.
Potensi ekonomi dari pemanfaatan dan
komersialisasi SDG biasanya melibatkan
pengetahuan tradisional dan mendorong
terjadinya biopiracy dimana pengambilan
keuntungan yang tidak adil dari SDG dan
pengetahuan tradisional terkait saat ini
dilakukan setidaknya dengan dua cara berikut:
1. Pencurian, penyalahgunaan, atau freeriding sumber daya genetika dan/atau
pengetahuan tradisional melalui sistem
paten.
2. Pengambilan, pengumpulan tanpa izin
untuk tujuan komersial dari sumber
daya genetika dan/atau pengetahuan
tradisional.
Dari uraian di atas kita dapat melihat
bahwa sebenarnya apabila SDG dimanfaatkan
dengan semestinya bersama-sama dengan
sistem HKI dan dimanfaatkan untuk
kepentingan bangsa sendiri hal ini merupakan
sinergi yang saling mendukung dalam
memperoleh manfaat dari potensi SDG.
Dengan melihat kondisi yang ada saat ini, yang
umumnya terjadi di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, ternyata sistem HKI
belum mampu mendorong potensi ekonomi
nasional dari pemanfaatan SDG dan justru
semakin meningkatkan terjadinya suatu
misappropriation atau biopioracy.
Dengan demikian, pertanyaan apakah
sistem HKI dapat mendorong potensi ekonomi
suatu negara, atau justru semakin meningkatkan terjadinya misappropriation dan/atau
biopiracy? Jawabannya adalah: Ya atau Tidak,
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
tergantung dari bagaimana kita mampu
memanfaatkan peluang, karena bagaimanapun
sistem HKI masih dapat dimanfaatkan sebagai
alternatif dalam mendukung perlindungan
Sumber Daya Genetik.
Sistem paten dan isu pemanfaatan SDG
Paten merupakan salah satu jenis Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) yang paling erat
kaitannya
dengan
pemanfaatan
SDG.
Ketentuan dalam sistem paten yang terkait
dengan pemanfaatan SDG dan Pengetahuan
Tradisional terkait adalah:
1. Paten diberikan untuk setiap invensi,
baik produk maupun proses, dalam
semua bidang teknologi sepanjang
invensi tersebut baru, mempunyai
langkah inventif dan dapat diterapkan
dalam industri {TRIPs Pasal 27(1) dan
Undang-undang Paten no. 14, 2001)}.
2. Bahwa Mikroorganisme baik yang telah
ada di alam atau hasil rekayasa
genetika merupakan subject matter yang
patentable (lihat TRIPs Pasal 27(3).
Kedua Pasal di atas menjadi penting dalam
kaitannya dengan pemanfaatan SDG karena:
a. Perjanjian
TRIPS
memungkinkan
diberikannya paten untuk material
genetika (dan produk-produk turunannya) dan juga varietas tanaman tertentu
(dengan sistem sui generis). Perjanjian
TRIPs tidak mengatur bagaimana hak
paten atau varietas tanaman diperoleh,
apakah konsisten atau tidak dengan hak
negara (sovereignty) asal dari sumber
daya genetik tersebut Æ ada ketidak
seimbangan antara negara berkembang
sebagai pemilik sumber daya genetik
dan negara maju dengan kemampuan
teknologinya.
b. Perjanjian TRIPS tidak mempunyai
pembatasan bagi paten yang dihasilkan
dari pengetahuan tradisional yang
berarti bertentangan dengan Pasal 8(j)
dari CBD.
c. Perjanjian TRIPS menyediakan perlindungan material genetika (dan
produk-produk turunannya) melalui
paten, tanpa memastikan bahwa ketentuan dari CBD, yang meliputi prior
informed consent dan benefit sharing
dipertimbangkan.
Isu internasional
Saat ini, kondisi Indonesia dan negara
berkembang lain secara umum adalah:
o Kaya akan SDG,
o Relatif rendah akan kemampuan
teknologi,
o Relatif rendah akan sumber daya
finansial,
o Banyak invensi yang dipatenkan oleh
perusahaan dari negara maju dengan
menggunakan sumber daya genetika
dan pengetahuan tradisional dari negara
berkembang.
Dengan
telah
banyaknya
kejadian
misappropriation dan pemanfaatan yang tidak
semestinya dari SDG, berkembang isu
internasional yaitu:
Sistem paten tidak sejalan dengan CBD
karena:
o Tidak ada pembatasan bagi paten dari
pengetahuan tradisional
o Sistem paten tidak menjamin Prior
Informed Consent (PIC) dan Benefit
Sharing
o Tidak adanya suatu penghormatan atas
kedaulatan (sovereignty) suatu negara
dimana SDG berasal
Selain itu, mikroorganisme dinilai bukan
merupakan suatu invensi, sehingga seharusnya
merupakan subject matter yang tidak dapat
dipatenkan.
Dari isu-isu tersebut di atas, muncul
beberapa usulan sebagai upaya pemecahan
masalah di atas:
1. Amandemen Pasal 27.3 (b) TRIPs yang
menentukan bahwa mikroorganisme
tidak boleh dikecualikan dari subject
matter yang tidak dapat diberi paten
2. Kewajiban untuk mengungkapkan asal
dari SDG (disclosure of origin) yang
digunakan dalam suatu permohonan
paten
3. Kewajiban untuk mengungkapkan bukti
adanya PIC (Prior Informed Consent)
dan Benefit Sharing dalam suatu
permohonan paten
Butir-butir usulan pemecahan masalah
tersebut di atas, di antaranya bertujuan untuk
55
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
menjamin terjadinya pembagian keuntungan
yang adil antara penyedia dan pengguna dari
SDG.
Isu mengenai hal ini diangkat dalam
berbagai forum HKI internasional dan sejauh
ini posisi akhir Indonesia yang disepakati
secara nasional belum ada. Walaupun
Indonesia telah juga menyampaikan posisi di
beberapa forum internasional namun masih
terdapat hal-hal yang belum sepenuhnya
disepakati di tingkat nasional.
Usulan pertama mengenai amandemen
terhadap TRIPs Pasal 27.3 (b), dimana Pasal
27.3 (b) berbunyi:
Members may also exclude from
patentability: plants and animals other than
microorganisms, and essentially biological
procesee for the production of plants or
animals other than non-biological and
microbiological process.
Sebagian Negara berkembang menginginkan agar ketentuan ini diubah yaitu tidak
diperbolehkan mempatenkan mikroorganisme
dengan pertimbangan bahwa:
a. Pematenan makhluk hidup bertentangan
dengan moralitas;
b. Untuk mikroorganisme yang sudah ada
disekitar alam, mikroorganisme tersebut
merupakan discovery;
c. Tanaman dan hewan telah dikecualikan
dari patentabilitas, sementara tidak ada
batasan definisi yang jelas dari
perbedaan
antara
mikroorganisme
dengan tanaman/hewan itu sendiri,
karenanya mikroorganisme juga sudah
seharusnya dikecualikan dari patentabilitas.
Untuk hal ini, posisi Indonesia sejauh ini
adalah:
Tidak mendukung dihapuskannya/diubahnya ketentuan ini dengan mempertimbangkan
bahwa SDG disadari mempunyai potensi
ekonomi yang sebetulnya apabila dimanfaatkan
dengan baik dengan dukungan sistem HKI
maka pasal ini juga merupakan peluang yang
besar dalam pengembangan SDG yang bernilai
ekonomi.
Usulan yang berikutnya adalah adanya
kewajiban untuk mengungkapkan asal dari
SDG yang digunakan, serta bukti PIC dan
benefit sharing dalam suatu permohonan paten
(Disclosure of Origin).
56
Pembahasan mengenai isu-isu ini telah
dilakukan pada forum-forum antara lain:
1. DOHA Ministerial Declaration
2. The Council for TRIPs of the WTO
3. WIPO:
o Intergovernmental Committee of
Genetic Resources, Traditional
Knowledge and Folklore (IGC
GRTKF)
o The Standing Committee on the
Law of Patent (SCP)
o The Working Group on Reform of
the Patent Cooperation Treaty
(PCT).
Tingkatan posisi dari disclosure of origin
adalah:
1. Kuat: pengungkapan asal SDG dalam
permohonan paten harus sesuai dengan
pengaturan akses dan benefit sharing
dan bahkan mengusulkan amandemen
Pasal 27.3 (b) dan Pasal 29 TRIPs.
2. Sedang: pengungkapan asal SDG dalam
permohonan paten wajib dilakukan,
dimana kegagalan dalam pengungkapannya berakibat pada validitas
patennya.
3. Lemah: pengungkapan asal SDG hanya
mendorong/menyarankan, tetapi tidak
mensyaratkan
4. Tidak mendukung sama sekali
Dari forum terkait HKI mengenai SDG ini,
diamati terdapat empat Grup utama, yaitu:
Grup 1: Negara berkembang yang kaya
akan sumber daya hayati dan pengetahuan
tradisional (Grup Afrika, Brazil, Peru dan
India), mendukung tingkat posisi kuat dan
sedang
Grup 2: Beberapa Negara mendukung
adanya amandemen untuk mengimplementasikan CBD (didominasi oleh Negara-negara
Uni Eropa, diantaranya Switzerland), mendukung tingkat posisi sedang dan lemah
Grup 3: Negara yang sama sekali tidak
mendukung pengungkapan asal SDG karena
menganggap bahwa hal ini merupakan hal
yang bertentangan dengan tujuan sistem paten
sebagai pendorong inovasi. Yang termasuk
dalam kelompok ini diantaranya adalah Jepang,
Amerika, Canada, Australia). Grup ini lebih
mendorong pada dilakukannya Mutual
Transfer Agreement dalam setiap pemanfaatan
SDG.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Grup 4; Negara yang tidak mengambil
posisi apapun (Malaysia, Singapura).
Sejauh ini, Indonesia mengambil tingkatan
posisi kuat, namun demikian masih perlu
kiranya ditelaah lebih lanjut mengenai posisi
ini dengan mempertimbangkan beberapa hal:
1. Apakah pengaturan pengungkapan PIC
dan benefit sharing dalam permohonan
paten akan justru menjadi kendala bagi
pemohon paten dimana hal ini sebenarnya tidak berkaitan dengan kriteria
pemberian paten yang menilai suatu
pemberian paten dari aspek kebaruan,
langkah inventif dan dapat diterapkan
dalam industri?. Sejalan dengan alasan
di atas, perlu ditelaah juga sejauh mana
diperlukan untuk melampirkan sejenis
International Certificate of origin of
genetic resources.
2. Apakah tidak sebaiknya kita mengambil
posisi sedang, dimana pengaturan hanya
untuk disclosure of origin. Untuk PIC
dan benefit sharing, hal ini sebaiknya
tetap diatur dalam peraturan tersendiri
(Undang-undang Pengelolaan Sumber
Daya Genetik/PSDG) dimana salah satu
pertimbangannya adalah apakah hal ini
akan mempersulit peneliti atau bahkan
pemohon paten dalam negeri yang ingin
memanfaatkan SDG dan mempatenkan
invensinya.
3. Walaupun pengungkapan asal SDG juga
bukan merupakan hal substansi dalam
pemeriksaan paten, namun demikian
kita tetap dapat berpegang pada Article
29 TRIPs yang mensyaratkan adanya
kewajiban untuk menguraikan secara
lengkap dan jelas invensinya (beberapa
Negara menginginkan adanya suatu
amandemen Article 29 TRIPs agar
dengan secara lebih eksplisit menyebutkan perlunya pengungkapan asal SDG
dan/atau pengetahuan tradisional dalam
permohonan paten)
4. Apakah definisi dari disclosure of
origin sebagaimana yang dinyatakan
dalam CBD, sudah cukup memadai
untuk melindungi SDG yang ada di
Indonesia, karena sebagaimana yang
kita ketahui bahwa banyak tanaman
yang tumbuh di Indonesia dan telah
diketahui
manfaatnya
sebenarnya
bukanlah tanaman asli Indonesia tetapi
berasal dari Negara lain. Keberhasilan
penerapan prinsip disclosure of origin
sangat ditentukan oleh definisi yang
tepat dari disclosure of origin tersebut.
5. Karena itu, siapa sebenarnya yang harus
mendefinisikan istilah “disclosure of
origin”, “disclosure of source”,
“disclosure of provider”, “disclosure of
legal provenance” ?
Hal-hal yang telah dijelaskan di atas
merupakan usulan yang muncul secara
internasional yang perlu disikapi bersama
secara nasional. Setiap posisi yang diambil
Indonesia harus disikapi secara hati-hati dan
mewakili kepentingan bersama.
Selain dari hal tersebut selanjutnya perlu
saya sampaikan mengenai alternatif perlindungan hukum lain untuk SDG yaitu:
1. Penguatan database mengenai kekayaan
keanekaragaman
hayati
termasuk
pengetahuan tradisional Indonesia,
2. Dibentuknya suatu mekanisme untuk
melakukan tindakan apabila terjadi
penyalahgunaan pemanfaatan SDG,
baik nasional maupun internasional.
KESIMPULAN
Sebagai akhir dari presentasi ini dapat
disimpulkan bahwa:
1. Sistem HKI dapat dimanfaatkan sebagai
pendukung dan pemanfaatan ekonomi
dari SDG. Namun demikian, HKI juga
membuka peluang terjadinya suatu
misappropriation dari pemanfaatan
tersebut.
2. Di satu sisi HKI dapat merupakan
hambatan tetapi disisi lain HKI juga
merupakan peluang yang harus
dimanfaatkan.
3. Dalam kesempatan ini, masukan dan
usulan bagi posisi Indonesia di forum
Internasional akan sangat dihargai,
karena terbukti bahwa pengaturan
secara nasional tidak cukup efektif
karena biopiracy berlangsung secara
global, sehingga pengaturan yang
mengikat secara internasional sangat
diperlukan.
57
Download