BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Bullying Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam waktu yang cukup panjang dan berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, dimana terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan korban tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya. Sullivan (2000) menjelaskan bahwa bullying termasuk ke dalam bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau sekelompok orang yang lain dengan tujuan menyakiti. Rigby (2008) menyatakan bahwa bullying merupakan penyalahgunaan kekuatan secara sistematis dalam berhubungan dengan orang lain. Olweus (2003) melengkapi definisi bullying dengan menambahkan bentuk dalam bullying. Menurutnya bullying dapat terjadi dalam bentuk verbal, fisik dan relasional. Perilaku bullying merupakan perilaku agresif yang serius. Perilaku agresif dapat terjadi karena berbagai faktor. Menurut teori General Aggression Model (GAM), faktorfaktor tersebut dapat berasal dari luar individu (situasional) dan personal (Anderson & Carnagey, 2004). Dalam teorinya, Anderson menyatakan agresi disebabkan oleh adanya sekumpulan faktor yang kemudian diterima, dipersepsi, dan dimaknai oleh seseorang berdasarkan sikap dan ketrampilan masing-masing. Kemudian individu tersebut akan menghubungkannya dengan keadaan sosial di sekitar individu lalu mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku agresi. Faktor-faktor situasional yang dapat memicu terbentuknya perilaku agresi antara lain budaya sekolah (bullying yang dilakukan guru atau teman sebaya), teknologi dan norma kelompok (O’Connell, 2003). Faktor situasional lain yang juga mempengaruhi perilaku bullying adalah media. Perry (1987 dalam O’Connell, 2003) menyatakan bahwa media juga dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku bullying pada anak. Tayangan televisi yang menampilkan candaan yang kasar, menghina, dan mengandung kekerasan ditampilkan sebagai perilaku yang menghibur dan dapat diterima oleh orang lain sehingga hal ini dapat dianggap pembaca sebagai perilaku yang wajar dalam hubungan sosial dengan orang lain. Faktor yang turut mempengaruhi perilaku bullying selain faktor situasional adalah faktor personal meliputi harga diri (Anderson & Carnagey, 2004), temperamen (Olweus, 2003), dan keluarga (O’Connell, 2003) yang memberikan kecenderungan individu untuk menampilkan perilaku agresi. Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku dapat dikatakan sebagai bullying apabila (a) dilakukan secara sadar dan sengaja, (b) berulang kali dalam waktu yang relatif lama, (c) terdapat ketidakseimbangankekuatan, (d) sistematis dan terorganisir, (e) bertujuan untuk meyakiti orang lain dalam hal ini korban, (f) dan dapat terjadi dalam beberapa bentuk, yaitu dalam bentuk verbal, fisik dan mental. 2.1.1. Bentuk-bentuk Bullying Berdasarkan bentuknya menurut Olweus (dalam Sari, 2011) bullying dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu bullying secara verbal, fisik dan relasional. 1. Verbal Bentuk bullying ini berhubungan dengan verbal atau kata-kata. Tindakan yang termasuk di dalamnya adalah memaki, menghina, mengejek, memfitnah, memberi julukan yang tidak menyenangkan, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menyebarkan gosip yang negatif dan membentak. 2. Fisik Bentuk bullying ini yang paling terlihat karena bersifat langsung dan terdapat kontak fisik antara korban dan pelaku. Contoh perilakunya seperti memukul, meludahi, menampar, mendorong, menjambak, menjewer, menimpuk, menendang, dan berbagai ancam kontak fisik lainnya. 3. Relasional. Bentuk bullying ini berhubungan dengan semua perilaku yang bersifat merusak hubungan dengan orang lain. Tindakan yang termasuk dengan sengaja mendiamkan seseorang, mengucilkan seseorang, penolakan kelompok, pemberian gesture yang tidak menyenangkan seperti memandang sinis, merendahkan dan penuh ancaman. Astuti (2008) juga mengemukakan mengenai bentuk-bentuk bullying, antara lain: 1. Fisik. Contohnya adalah menggigit, menarik rambut, memukul, menendang, mengunci, dan mengintimidasi korban di ruangan atau dengan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan merusak barang-barang milik korban, penggunaan senjata dan perbuatan kriminal. 2. Non-fisik. Terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal. Verbal contohnya panggilan telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan, mengancam, atau intimidasi, menghasut, berkata jorok pada korban, berkata menekan, dan menyebarluaskan kejelekan korban. Sedangkan non-verbal terbagi menjadi langsung dan tidak langsung. Non-verbal tidak langsung diantaranya adalah manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut, curang, dan sembunyisembunyi. Non-verbal langsung contohnya gerakan kasar atau mengancam, menatap, muak mengancam, menggeram, hentakan mengancam atau menakuti. 2.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying Perilaku bullying dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun secara umum ada dua faktor yang berinteraksi, yaitu: faktor personal dan faktor situasional (Anderson & Carnagey, 2004). Faktor personal meliputi pola asuh ibu dan ayah serta harga diri (self-esteem). Sedangkan faktor situasional meliputi norma kelompok dan sekolah. O’Connell (2003) menguraikan faktor-faktor tersebut di atas sehingga dapat menyebabkan timbulnya perilaku bullying. 1. Pola Asuh Orangtua Pola asuh dari orangtua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku seorang anak. Orangtua yang menggunakan bullying sebagai cara untuk proses belajar anak akan membuat anak beranggapan bahwa bullying adalah perilaku yang wajar dan bisa diterima dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam mendapatkan apa yang mereka inginkan. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmed dan Braithwaite (2004) menyatakan bahwa keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan keterlibatan seseorang pada perilaku bullying. Selain itu, penelitian Olweus (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan dengan perilaku agresif pada remaja. 2. Harga Diri Harga diri dikatakan dapat mempengaruhi perilaku bullying. Seorang anak yang memiliki harga diri negatif atau harga diri rendah, anak tersebut akan memandang dirinya sebagai orang yang tidak berharga. Rasa tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan fisiknya. Harga diri rendah dapat membuat seorang anak merasa tidak mampu menjalin hubungan dengan temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung dan marah. Akibatnya anak tersebut akan melakukan perbuatan yang menyakiti temannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Septrina, Liow, Sulistiyawati, dan Andrian (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri dengan perilaku bullying dimana semakin tinggi harga diri maka semakin rendah perilaku bullying. 3. Norma kelompok Menurut O’Connell (2003), norma kelompok dapat membuat perilaku bullying sebagai perilaku yang wajar dan dapat diterima. Biasanya anak yang terlibat dalam perilaku bullying agar dapat diterima dalam kelompok. Jika kelompoknya melakukan perilaku bullying terhadap siswa lain biasanya siswa yang tergabung dalam kelompok itu akan mendukung anggota kelompoknya yang melakukan perilaku bullying. Selain itu, kelompok menggunakan perilaku bullying sebagai cara untuk mengajarkan norma-norma yang dianut dalam kelompok pada siswa lain yang ingin bergabung dengan kelompok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astari (2008) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara norma kelompok dengan perilaku bullying yang dilakukan siswa SMA. 4. Sekolah Budaya sekolah juga dapat mempengaruhi perilaku bullying. Menurut O’Connell (2003), guru dan pihak sekolah yang bersikap tidak peduliterhadap kekerasan yang dilakukan oleh para siswa dapat meningkatkan perilaku bullying di sekolah. Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Djuwita (2009) menunjukkan bahwa faktor situasional yang berperan secara signifikan adalah bullying yang dilakukan guru di sekolah. 2.1.3. Karakteristik Pelaku Bullying Karakteristik yang umum dimiliki oleh pelaku bullying adalah (a) memiliki keinginan untuk mendominasi orang lain, (b) kurang atau tidak berempati terhadap perasaan orang lain, (c) hanya peduli dengan keinginannya sendiri, (d) sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, (e) tingkah lakunya cenderung impulsif, (f) agresif, (g) intimidatif, (h) dan suka memukul (Olweus, 2003). Dari beberapa karakteristik ini, dapat disimpulkan bahwa motivasi seseorang melakukan bullying bisa berdasarkan kebencian, perasaan iri dan dendam atau bisa juga untuk menyembunyikan rasa malu dan gelisah serta mendorong rasa percaya diri dengan menganggap orang lain tidak ada artinya. 2.2. Pengertian Konformitas Myers (1999) mengemukakan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan kelompok. Ini terlihat dari kecenderungan remaja untuk selalu menyamakan perilakunya dengan kelompok acuan sehingga dapat terhindar dari celaan maupun keterasingan. Sears (1994) berpendapat bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena disebabkan oleh orang lain menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Konformitas terhadap kelompok teman sebaya ternyata merupakan suatu hal yang paling banyak terjadi pada masa remaja. Agar remaja dapat diterima dalam kelompok acuan maka penampilan fisik merupakan potensi yang dimanfaatkan untuk memperoleh hasil yang menyenangkan yaitu merasa terlihat menarik atau merasa mudah berteman. Zebua dan Nurdjayadi (2001) mengemukakan bahwa konformitas pada remaja umumnya terjadi karena mereka tidak ingin dipandang berbeda dengan teman-temannya. Pada remaja, tekanan teman sebaya lebih dominan. Hal ini disebabkan oleh besarnya keinginan untuk menjaga harmonisasi dan penerimaan sosial dalam kelompok. Berundt, dkk (Steinberg, 1989) mengungkapkan bahwa konformitas remaja dengan teman sebayanya menguat pada masa remaja awal (12-14 tahun) dan remaja tengah (15-17 tahun) dibandingkan pada usia sebelum remaja dan remaja akhir. Konformitas muncul pada masa remaja awal yaitu antara 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, yang ditunjukkan dengan cara menyamakan diri dengan teman sebaya dalam hal berpakaian, bergaya, berperilaku, berkegiatan dan sebagainya. Sebagian remaja beranggapan bila mereka berpakaian atau menggunakan aksesoris yang sama dengan yang sedang diminati kelompok acuan, maka timbul rasa percaya diri dan kesempatan diterima kelompok lebih besar. Oleh karena itu, remaja cenderung menghindari penolakan dari teman sebaya dengan bersikap konform atau sama dengan teman sebaya. Myers, (1993) menyatakan bahwa konformitas mengarah pada suatu perubahan tingkah laku ataupun kepercayaan seseorang sebagai hasil dari tekanan kelompok baik secara nyata maupun tidak nyata. Dari beberapa penjelasan para ahli di atas, dapat diambil tiga hal pokok dari konformitas, yaitu: 1. Penyesuaian Penyesuaian ini dilakukan individu terhadap norma yang berlaku dalam kelompok tertentu. 2. Perubahan Perubahan yang terjadi sebagai hasil dari penyesuaian individu terhadap suatu norma kelompok tertentu. Perubahan meliputi keyakinan, sikap maupun perilaku. 3. Tekanan kelompok. Tekanan kelompok ini sebagai penyebab individu melakukan penyesuaian. Tekanan kelompok ini dapat bersifat nyata maupun imajinasi. Dari uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku remaja sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok acuan baik ada maupun tidak ada tekanan secara langsung yang berupa suatu tuntutan tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada remaja anggota kelompok tersebut. Konformitas terhadap teman sebaya adalah kecenderungan berperilaku sama dengan orang lain akibat adanya tekanan individu atau kelompok. Tekanan tersebut dapat berupa tekanan secara langsung atau tidak langsung dengan tujuan supaya individu diterima orang lain atau terhindar dari masalah. 2.2.1. Jenis Konformitas Menurut Myers (2005) terdapat dua jenis konformitas, yaitu compliance dan acceptance. 1. Compliance Individu bertingkah laku sesuai dengan tekanan kelompok, sementara secara pribadi ia tidak menyetujui tingkah laku tersebut. 2. Acceptance Tingkah laku dan keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok yang diterimanya. 2.2.2. Aspek-aspek Konformitas Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya ciriciri yang khas. Sears (dalam Mahardhika, 2010). mengemukakan secara eksplisit bahwa konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal sebagai berikut: 1. Kekompakan Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut. Kekompakan tersebut dapat dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut: a. Penyesuaian Diri Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita. kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu. b. Perhatian terhadap Kelompok Peningkatan konformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut sebagai orang yang menyimpang. Seperti yang telah kita ketahui, penyimpangan menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering menyimpang pada saatsaat yang penting diperlukan, tidak menyenangkan, dan bahkan bias dikeluarkan dari kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak meyetujui kelompok. 2. Kesepakatan Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok. Kesepakatan tersebut dapat di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut: a. Kepercayaan Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka hal ini dapat mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok sebagai sebuah kesepakatan. b. Persamaan Pendapat Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun. Kehadiran orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan yang dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi dengan persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan semakin tinggi. c. Penyimpangan terhadap pendapat kelompok Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain maka orang tersebut akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Jadi kesimpulan bahwa orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan, ini merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas. 3. Ketaatan Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga. Ketaatan tersebut dapat di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut: a. Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah perilaku seseorang. b. Harapan Orang Lain Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila permintaan diajukan secara langsung. Harapan-harapan orang lain dapat menimbulkan ketaatan, bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam situasi yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul. 2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas Ada empat faktor yang perlu diperhatikan yang dapat mempengaruhi konformitas (Baron dan Byrne,1994), yaitu: 1. Kohesivitas Semakin besar kohesivitas, maka akan tinggi keinginan individu untuk melakukan konformitas terhadap kelompok. Sarwono (2001) menambahkan kohesivitas adalah perasaan keterpaduan, antar anggota kelompok. Semakin besar keterpaduan atau cohesiveness maka semakin besar pula pengaruhnya pada perilaku individu. 2. Ukuran kelompok. Sehubungan dengan hal ini masih terdapat perdebatan mengenai besar kecilnya jumlah anggota dalam suatu kelompok yang mempengaruhi konformitas. Namun jika jumlah anggota melebihi tiga orang akan meningkatkan konformitas. Besarnya kelompok, kelompok yang kecil lebih memungkinkan melakukan konformitas daripada kelompok yang besar Sarwono (2001). 3. Ada-tidaknya dukungan sosial. Penelitian Ash’s (dalam Zebua dan Nurdjayadi, 2001) memperlihatkan bahwa subjek penelitiannya ternyata terbuka terhadap tekanan sosial dari kelompok yang selalu sepakat dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya individu akan menolak untuk melakukan konformitas jika ia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang tidak sependapat dengan dirinya. 4. Perbedaan jenis kelamin. Perempuan lebih tinggi intensitasnya dalam melakukan konformitas daripada pria, karena pada perempuan lebih melekat keinginan untuk mengubah penampilan yang berhubungan dengan mode. Para perempuan lebih menginginkan penampilan yang selalu berubah-ubah sesuai perkembangan mode yang terbaru. Sedangkan pria tidak terlalu memusingkan hal tersebut sebagai suatu prioritas utama. Hal ini dapat dibuktikan bahwa perempuan cenderung lebih sering ditemukan di Mall untuk belanja yang berlebihan. 2.2.4. Konformitas Teman Sebaya Konformitas dapat terjadi dalam beberapa bentuk dan mempengaruhi aspekaspek kehidupan remaja. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain di karenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja. Konformitas terhadap tekanan teman sebaya ada remaja dapat menjadi positif dan negatif. Orang tua, guru dan orang dewasa lainnya dapat membantu remaja untuk menghadai tekanan teman sebaya (Brown, 1990; Clasen & Brown, 1987). Para remaja membutuhkan banyak kesempatan untuk berbicara dengan teman sebaya dan orang dewasa tentang dunia sosial mereka dan tekanan-tekanan yang ada. Perubahan perkembangan yang terjadi pada remaja kadang membawa rasa tidak aman. Para remaja muda sangat mudah terganggu karena rasa tidak aman tersebut dan banyaknya perubahan perkembangan yang terjadi dalam kehiduan mereka. Untuk mengatasi tekanan ini, remaja muda perlu mengalami kesempatan untuk sukses, baik di dalam maupun di luar sekolah, yang meningkatkan rasa kepemilikan akan kontrol atas dirinya sendiri. Remaja mempelajari bahwa dunia sosial dapat dikontrol. Orang lain mungkin berusaha untuk mengontrolnya, tapi para remaja ini dapat memunculkan kontrol pribadi atas tindakan mereka dan pengaruh orang lain (Bandura, 1989, 1991). 2.2.5. Fungsi Kelompok Teman Sebaya Sifat dasar dari hubungan antar teman sebaya melalui perubahan yang penting pada masa remaja. Teman sebaya adalah individu dan tingkat kematangan dan umumnya kurang lebih sama. Teman sebaya menyediakan sarana untuk perbandingan secara sosial dan sumber informasi tentang dunia di luar keluarga. Hubungan teman sebaya yang baik mungkin diperlukan untuk perkembangan sosial yang normal pada masa remaja. Ketidakmampuan remaja untuk ’masuk’ ke dalam suatu lingkungan sosial pada masa kanak-kanak atau masa remaja dihubungkan dengan berbagai masalah dan gangguan. Jadi, pengaruh teman sebaya dapat positif dan negatif. Salah satu aspek kepribadian yang akan sangat mewarnai perilaku individu adalah adalah konsep diri. Terdapat berbagai rumusan yang berbeda tentang definisi konsep diri menurut para ahli. Hal ini diakibatkan oleh sudut pandang yang digunakan untuk melihat konsep diri oleh para ahli berbeda. Berikut beberapa definisi tentang konsep diri. 2.3. Penelitian yang Relevan Menurut penelitian Faradila Kartika Sari (2011) mengenai “Hubungan antara konformitas kelompok teman sebaya dan perilaku bullying pada siswa SMK X Jakarta Barat” diketahui melalui perhitungan korelasi Gamma. Berdasarkan analisis statistik tabel diperoleh koefisien nilai value sebesar 0,724 dengan t = 0,002 < 0,01. Dengan demikian, maka dapat dibuat interpretasi bahwa terdapat hubungan positif yang cukup dan signifikan antara konformitas kelompok teman sebaya dan perilaku bullying pada taraf signifikansi 5%. Berdasarkan koefisien korelasi Gamma sebesar 0,724, menunjukkan bahwa semakin tinggi konformitas, maka semakin sering perilaku bullying pada siswa SMK X Jakarta Barat terwakili oleh sebanyak 26 siswa pada item nomor 36 mereka suka ikut-ikutan apa yang dilakukan oleh teman kelompok dan item nomor 32 mereka menolak sekelompok dengan teman yang bodoh. Artinya siswa ikut-ikutan dalam hal memilih teman kelompok dan ikut-ikutan tidak mau sekolompok dengan teman yang bodoh memiliki kecenderungan konformitas kelompok teman sebaya yang tinggi dan cenderung sering melakukan perilaku bullying di sekolah. Sebaliknya semakin rendah konformitas kelompok teman sebaya, maka semakin jarang perilaku bullying pada siswa SMK X Jakarta Barat yang terwakili oleh 12 siswa pada item nomor 17 mereka menolak bolos sekolah, meskipun mereka dimusuhi teman kelompoknya dan item nomor 18 yaitu, mereka berteman dengan siapapun meskipun teman tidak populer. Artinya siswa akan menolak membolos sekolah meskipun dijauhi teman kelompoknya dan mereka juga berteman dengan siapapun, maka kecenderungan memiliki konformitas kelompok teman sebayanya rendah dan jarang melakukan perilaku bullying di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian Mahardayani (2012) diketahui dari 180 orang remaja 94 % menyatakan pernah melakukan tindakan tidak menyenangkan terhadap orang lain. Tindakan tidak menyenangkan yang paling sering dilakukan adalah mengejek dan memberi julukan. Sasaran atau kepada siapa tindakan tidak menyenangkan tersebut dilakukan adalah 50 % kepada teman sekelas, 16 % adik kelas, 14 % kepada anak dari sekolah lain, 7 % kepada kakak kelas, 5 % kepada guru dan 8 % lain-lain. Selain sebagai pelaku bullying juga diketahui dari 180 orang remaja 96 % menyatakan pernah menerima perilaku bullying. Bentuk perilaku bullying yang pernah diterima adalah 18 % responden menjawab ejekan, 15 % julukan, 10 % pukulan, 7 % fitnah, 7 % tuduhan, 6 % dilempar barang, 6 % ancaman, 6 % celaan, 5 % tendangan, 5 % makian, 4 % dijegal, 3 % dipermalukan di depan umum, 2 % dipalak, 2 % diludahi, 2 % dikucilkan, 1 % dicekik, dan 1 % lain-lain. Pelaku dari perilaku bullying tersebut adalah 49 % responden menjawab yang melakukan perilaku bullying terhadapnya adalah teman sekelas, 18 % anak dari sekolah lain, 13 % kakak kelas, 7 % adik kelas, 4 % guru, dan 9 % lain-lain. Sedangkan apa yang dilakukan terhadap perilaku bullying yang diterima, 34 % respon menjawab membalas perilaku bullying yang diterima, 16 % diam, 13 % bicara pada pelaku, 11 % tidak menghiraukan tindakan tersebut, 10 % menganggap lucu situasi, 6 % menghindar, 5 % meminta pertolongan orang lain, 5 % lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Sukma (2009) analisis regresi sederhana menunjukkan seberapa besar hubungan antara konsep diri dengan konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing melalui rxy = -0,340 dengan p = 0,021 (p<0,05). Arah hubungan negatif menunjukkan bahwa semakin positif konsep diri maka konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing semakin rendah, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara konsep diri dengan konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing siswa kelas XI SMA Negeri 1 Purwokerto dapat diterima. 2.4. Hipotesis Berdasarkan hasil uji hipotesis yang diperoleh, maka hipotesis yang dikemukakan penulis pada bab 2 akan diuji, yaitu : Ada hubungan yang signifikan antara konformitas teman sebaya dan perilaku bullying pada siswa kelas VIII SMP Negri 08 Salatiga. Hasil analisis : Diperoleh koefisien korelasi sebesar rxy= 0,512** , p= 0,000 < 0,05 dengan demikian ada hubungan yang signifikan antara Konformitas Teman Sebaya dengan Perilaku Bullying Siswa. Maka hipotesis DITERIMA.