Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681 MENGURANGI PERILAKU BULLYING KELAS X-4 MELALUI PEMBERIAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK ROLE PLAYING DI SMA NEGERI 12 MEDAN TAHUN AJARAN 2012/2013 Oleh : Dra. Robiah Flora*) *) Guru Bimbingan Konseling SMA Negeri 12 Medan Abstract The problems of this research are Tutoring Service Delivery Group Role Playing Techniques in Reducing Bullying Behavior SMA Negeri 12 North Sumatera Students Academic Year 2012/2013. This study aims to determine whether the provision of guidance services group role playing techniques can reduce bullying behavior in SMA Negeri 12 North Sumatera Academic Year 2012/2013. Subjects in this study 20 students of class X-4 SMA Negeri 12 North Sumatera Academic Year 2012/2013. This research is TOD. The data collection technique used was a questionnaire. Initial test data (pre-test) cycle I gained an average 78.75 of group counseling while after administration of role playing techniques (post-test). Cycle I gained an average 69.3, meaning that the average student after obtaining the services of role playing techniques of group guidance is lower than before gets (78.75 >69.3), meaning that there is a decrease in bullying behavior in kelas X-4 Academic Year 2012/2013. But the decline has not been significant. There is a weakness that occurs in the first cycle, so the researchers conducted Cycle II. In the second cycle the average obtained (pretest) and a 56.6 second cycle in post-test Cycle II gained an average of 43.25. This means that reads hypothesis service delivery role playing group counseling techniques can reduce bullying behavior class X-4 in SMAN 12 North Sumatera Academic Year 2012/2013 received. Conclusions obtained in this study is the role playing group counseling techniques can reduce bullying behavior class X-4 in SMAN 12 North Sumatera Academic Year 2012/2013. Keywords: Bullying Behavior, Guidance engineering group Role Playing I. Pendahuluan Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis. Remaja juga merupakan tahapan perkembangan yang harus dilewati dengan berbagai kesulitan. Dalam tugas perkembangannya, remaja akan melewati beberapa fase dengan berbagai tingkat kesulitan permasalahannya sehingga dengan mengetahui tugas-tugas perkembangan remaja dapat mencegah konflik yang ditimbulkan oleh remaja dalam keseharian yang sangat menyulitkan masyarakat. Pada masa ini juga 34 kondisi psikis remaja sangat labil. Karena masa ini merupakan fase pencarian jati diri. Biasanya mereka selalu ingin tahu dan mencoba sesuatu yang baru dilihat atau diketahuinya dari lingkungan sekitarnya, mulai lingkungan keluarga, sekolah, teman sepermainan dan masyarakat. Semua pengetahuan yang baru diketahuinya baik yang bersifat positif maupun negatif akan diterima dan ditanggapi oleh remaja sesuai dengan kepribadian masing-masing. Remaja dituntut untuk menentukan dan membedakan yang terbaik dan yang buruk dalam kehidupannya. Disinilah peran lingkungan sekitar sangat diperlukan untuk membentuk kepribadian seorang remaja. Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681 Setiap remaja sebenarnya memiliki potensi untuk dapat mencapai kematangan kepribadian yang memungkinkan mereka dapat menghadapi tantangan hidup secara wajar di dalam lingkungannya, namun potensi ini tentunya tidak akan berkembang dengan optimal jika tidak ditunjang oleh faktor fisik dan faktor lingkungan yang memadai. Lemahnya emosi seseorang akan berdampak pada terjadinya masalah dikalangan remaja, misalnya bullying yang sekarang kembali mencuat di media. Kekerasan di sekolah ibarat fenomena gunung es yang nampak ke permukaan hanya bagian kecilnya saja. Akan terus berulang, jika tidak ditangani secara tepat dan berkesinambungan dari akar persoalannya. Budaya bullying (kekerasan) atas nama senioritas masih terus terjadi di kalangan peserta didik. Bullying adalah suatu bentuk kekerasan anak (child abuse) yang dilakukan teman sebaya kepada seseorang (anak) yang lebih ‘rendah’ atau lebih lemah untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan tertentu. Biasanya bullying terjadi berulang kali. Bahkan ada yang dilakukan secara sistematis. Bullying secara sederhana diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tidak berdaya. Perilaku bullying yang ditemukan di SMA Negeri 12 Medan ialah, pelaku memalak adik kelas atau teman sebaya, pelaku mengajak adik kelas atau teman sebaya (korban) ke kantin dan meminta dibayarin, pelaku megambil buku PR korban dengan paksa, pelaku mengambil pena korban dengan paksa, pelaku menindas dengan cara tidak mengijinkan korban tersebut berbicara, dan pelaku mengejek korban (berbicara kasar) hal tersebut hampir dilakukan setiap hari. Jika korban tidak sengaja menyenggol pelaku maka pelaku tidak segan-segan langsung memukul atau mendorong korban sambil berbicara kasar kepada korban. Bullying merupakan masalah kesehatan publik yang perlu mendapatkan perhatian karena orang-orang yang menjadi korban bullying kemungkinan akan menderita depresi dan kurang percaya diri serta akan mengalami kesulitan dalam bergaul. Bagaimana anak bisa belajar kalau dia dalam keadaan tertekan? Bagaimana bisa berhasil kalau ada yang mengancam dan memukulnya setiap hari? Sehingga amat wajar jika dikatakan bahwa bullying sangat mengganggu proses belajar mengajar.Semua orang bisa menjadi korban atau malah menjadi pelaku bullying. Bullying ternyata tidak hanya memberi dampak negatif pada korban, melainkan juga pada para pelaku. Bullying, ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. bullying juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para siswa. Para pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal, jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan bullying. Bagi si korban biasanya akan merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun mereka masih berada di sekolah itu, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah, yang paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri. Berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan peserta didik disebabkan kurangnya pemahaman anak terhadap nilai diri yang positif sehingga berdampak pula pada kurangnya pemahaman moral atau nilai yang di terimanya, seperti akrab dengan kekerasan, kebohongan, licik dan sebagainya yang merupakan perilaku negatif. Dalam bertindak, bukan berarti anak tidak tau apa yang dilakukan salah tapi pemahaman baik buruk anak masih mengacu pada suatu tingkah laku benar bila tidak dihukum dan salah bila dihukum. Diperlukan Kebijakan menyeluruh yang melibatkan seluruh komponen sekolah mulai dari guru, siswa, kepala sekolah sampai orang tua murid, yang tujuannya adalah untuk dapat menyadarkan seluruh komponen sekolah tentang bahaya dari perilaku bullying. Kebijakan tersebut dapat berupa program anti 35 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681 bullying di sekolah antara lain dengan cara menggiatkan pengawasan, pemahaman konsekuensi serta komunikasi yang bisa dilakukan efektif antaralain dengan Kampaye Stop Bullying di Lingkungan sekolah dengan spanduk, slogan, stiker dan workshop bertemakan stop bulying serta memberikan layanan bimbingan kelompok melaui teknik role playing. Semuanya dilakukan dengan tujuan paling tidak dapat meminimalisir atau bahkan meniadakan sama sekali perilaku bullying di sekolah. Diharapkan dengan adanya kebijakan itu sekolah bukan lagi tempat yang menakutkan dan membuat trauma tapi justru menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi siswa, merangsang keinginan untuk belajar, bersosialisasi dan mengembangkan semua potensi siswa baik akademik, sosial ataupun emosinal. Sekolah dapat menjadi tempat yang paling aman bagi anak serta guru untuk belajar dan mengajar serta menjadikan anak didik yang mandiri, berilmu, berprestasi dan berakhlak mulia. Bukan malah sebaliknya mencetak siswa-siswa yang siap pakai menjadi tukang jagal dan preman. Mengingat pentingnya upaya untuk menanggulangi perilaku bullying di kalangan siswa, maka perlu adanya solusi yang efektif untuk menanggulanginya. Sehingga peneliti mengambil salah satu solusi yang dapat dilakukan ialah melalui pemberian layanan bimbingan kelompok teknik role playing. Role playing dalam penelitian adalah mendramatisasi tingkah laku untuk mengurangi perilaku bullying dengan cara memainkan peran dalam sebuah cerita. Sehingga memungkinkan siswa untuk memahami dan menafsirkan perannya masingmasing, serta pencarian solusi terhadap masalah yang dihadapi. Dalam pelaksanaannya peneliti berperan sebagai fasilitator, serta membantu siswa membina hubungan dengan orang lain, mengembangkan empati, bertanggung jawab, dan mengendalikan diri. Role playing yang dirancang bertujuan untuk mengelola emosi siswa sehingga perilaku bullying dapat teratasi. Sesuai dengan batasan masalah di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “ Apakah pemberian layanan bimbingan kelompok teknik role playing dapat mengurangi perilaku bullying di sekolah SMA Negeri 12 Medan Tahun Ajaran 2012/2013?”. 36 Berdasarkan rumusan masalah yang telah di kemukakan, maka tujuan utama dari penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah bimbingan kelompok teknik role playing dapat mengurangi perilaku bullying di sekolah SMA Negeri 12 Tahun Ajaran 2012/2013. II. Tinjuan Pustaka Menurut Erman Amti (2004:98) bimbingan adalah :“proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan norma-norma yang berlaku”. Menurut Gadza, 1978 (dalam Prayitno dan Erman Amti, 1994:309) “mengemukakan bahwa bimbingan kelompok di sekolah merupakan kegiatan informasi kepada sekelompok siswa untuk membantu mereka menyusun rencana dan keputusan yang tepat. Gadza juga mengemukakan bahwa “bimbingan kelompok diselenggarakan untuk memberikan informasi yang bersifat personal, vokasional, dan social. Damayanti, (2012:40-41) mengungkapkan bimbingan kelompok adalah salah satu teknik dalam bimbingan konseling untuk memberikan bantuan kepada peserta didik/siswa yang dilakukan oleh seorang pembimbing/konselor melalui kegiatan kelompok yang berguna untuk mencegah berkembangnya masalahmasalah yang dihadapi anak. Pengertian role playing Role Playing merupakan metode bimbingan konseling kelompok yang dilakukan secara sadar dan diskusi tentang peran dalam kelompok. Di dalam kelas, suatu masalah diperagakan secara singkat sehingga siswa dapat mengenali tokohnya. Dalam bidang pendidikan (termasuk bimbingan dan konseling), role playing merupakan model pembelajaran di mana individu (siswa) memerankan situasi yang imajinatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri sendiri, meningkatkan keterampilan-keterampilan (termasuk keterampilan problem solving), Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681 menganalisis perilaku, atau menunjukkan pada orang lain bagaimana perilaku seseorang atau bagaimana seseorang harus berperilaku http://paul(Arjanto, 2011 dalam arjanto.blogspot.com/2011/06/ permainanperan-role-playing-model.html). Dalam teknik role playing berakar pada dua dimensi yaitu dimensi pribadi dan sosial. Dimensi pribadi membantu anak menemukan makna dari lingkungan sosial yang bermanfaat bagi dirinya dan belajar memecahkan masalah pribadi yang sedang dihadapi dengan bantuan kelompok sosial. Dari dimensi kelompok atau sosial, yaitu teknik role playing memberikan peluang kepada anak untuk bekerjasama dalam menganalisis situasi sosial terutama mengenai hubungan antar pribadi. Muhibbin Syah (2010:193) mengungkapkan “bermain peran merupakan upaya pemecahan masalah, khususnya yang bertalian dengan kehidupan sosial melalui peragaan tindakan. Proses pemecahan masalah tersebut dilakukan melalui tahapan-tahapan: 1). identifikasi/pengenalan masalah, 2). uraian masalah, 3). pemeranan/peragaan tindakan, 4). diskusi dan evaluasi”. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan, pengertian role playing ialah mendramatisasikan tingkah laku untuk mengembangkan konsep diri siswa menjadi positif dan meningkatkan stabilitas emosional siswa. Dengan dramatisasi, siswa berkesempatan melakukan, menafsirkan dan memerankan suatu peranan tertentu. Melalui role playing, siswa diharapkan memiliki kesempatan untuk mengembangkan seluruh pikiran dan minatnya dan juga perilakunya yang negatif menjadi positif, emosinya yang meledak-ledak menjadi halus dan tidak emosian, siswa yang tidak dapat berempati menjadi dapat bersikap empati, yang kurang bertanggung jawab menjadi bisa lebih bertanggung jawab, siswa yang kendali dirinya lemah dapat menjadi terkendali, siswa yang interpersonal skillnya rendah bisa menjadi bagus. Menurut shaftel & shaftel (dalam Muhibbin Syah, 2010:193-195), ada sembilan langkah yang perlu ditempuh dalam melaksanakan model bermain peran, yaitu: 1. Memotivasi kelompok, dalam merangsang minat siswa terhadap kegiatan bermain peran, guru perlu menawarkan masalah yang baik. Masalah-masalah yang baik harus memiliki kriteria sebagai berikut. • Masalah-masalah itu aktual • Masalah itu berkaitan dengan kehidupan siswa • Masalah itu merangsang rasa ingin tahu siswa • Masalah itu bersifat problematika dan memungkinkan terpakainya berbagai alternatif pemecahan 2. Memilih pemeran (pemegang peranan / aktor). Pada tahap kedua ini, bersamasama para siswa, guru mendiskusikan gambaran karakter-karakter yang akan diperankan. Seusai karakter-karakter ini disepakati, selanjutnya guru menawarkan peran-peran tersebut kepada siswa yang layak. Dalam hal ini guru dapat juga menggunakan jasa satu dua orang siswa yang dianggap cakap untuk memilih siapasiapa saja yang pantas menjadi aktor ”X”, aktor “Y”, dan seterusnya. 3. Mempersiapkan pengamat. Dalam melangsungkan model bermain peran diperlukan adanya pengamat yang diambil dari kalangan siswa sendiri. Pengamat ini sebaiknya terlibat dalam cerita yang dimainkan. Agar seorang pengamat merasa terlibat, ia perlu diberi penjelasan mengenai tugas-tugasnya. Tugas-tugas ini meliputi: • Menilai sejauh mana kecocokan peran yang dimainkan dengan masalah yang sesungguhnya. • Menilai sejauh mana efektifitas perilaku yang ditunjukkan pemeran. • Menilai sejauh mana penghayatan pemeranan terhadap tokoh (peran yang dimainkan). 4. Mempersiapkan tahapan peranan. Dalam bermain peran tidak diperlukan adanya dialog-dialog khusus seperti dalam sinetron, sebab apa yang dibutuhkan para siswa aktor itu adalah dorongan untuk berbicara dan bertindak secara kreatif dan spontan. Walaupun begitu, garis besar adegan yang akan dimainkan perlu disusun secara tertulis. Selanjutnya, sebagai pendukung suksesnya permainan, lokasi tempat bermain peran seperti ruang kelas, aula, lapangan terbuka perlu 37 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681 5. 6. 7. 8. 9. 38 dilengkapi dengan sarana-sarana yang dibutuhkan oleh cerita yang hendak dimainkan. Pemeranan, setelah segala sesuatunya siap, para aktor mulai memainkan peran masing-masing secara spontan sesuai denagn garis besar dan tahapan-tahapan yang telah ditentukan. Berapa lama sebuh role playing dimainkan dilihat dari kompleksitas situasi masalah yang diperankan. Diskusi dan evaluasi, seusai semua peran dimainkan, diskusi dan evaluasi perlu diadakan. Dalam hal ini guru bersama para aktor dan pengamat hendaknya melakukan pertukaran pikiran dalam rangka menilai bagian-bagian-bagian peran mana yang belum sempurna dimainkan. Pengulangan pemeranan, dari diskusi dan evaluasi biasanya muncul gagasan baru mengenai alternatif-alternatif lain pemeranan. Alternatif-alternatif tersebut kemudian digunakan untuk memainkan lagi topik cerita bermain peran secara lebih baik. Dalam pengulangan peran dimungkinkan berubahnya sebuah karakter peran yang berakibat berubahnya peran-peran lainnya. Kejadian seperti ini bukan masalah, karena dalam kehidupan sehari-hari hal-hal yang sama (perubahan tersebut) juga biasa terjadi di tengahtengah masyarakat. Diskusi dan evaluasi ulang, tahapan ini dimaksudkan untuk mengkaji kembali hasil pemeranan ulang pada langkah ketujuh. Diskui dan evalusi pada tahap ini berlangsung seperti diskusi dan evaluasi pada tahap keenam. Namun, dari diskusi dan evaluasi ulangan ini diharapkan akan muncul strategi-strategi pemecahan masalah yang lebih jelas. Dari diskusi dan evaluasi ulangan ini juga diharapkan timbul kesepakatan yang bulat mengenai strategi tertentu untuk memecahkan masalah yang tertuang dalam bermain peran. Membagi pengalaman dan menarik generalisasi, tahapan terakhir ini dilaksanakan untuk menarik faidah pokok yang terkandung dalam bermain peran, yakni membantu para siswa memperoleh pengalaman-pengalaman baru yang berharga melalui aktifitas interaksi dengan orang lain. Perilaku Bullying Perilaku identik dengan tingkah laku, akhlak, budi pekerti, dari keempat pengertian diatas pada dasarnya mempunyai makna sama yaitu perbuatan yang terlihat dalam kenyataan. Dengan kata lain perilaku merupakan keseluruhan tabiat dan sifat seseorang yang tercermin dalam ucapan dan tindak tanduknya. (Amirrasa, 2013 dalam http://amirrasabou.blogspot.com/2013/04/peng ertian-perilaku.html). Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena school bullying mulai mendapat perhatian peneliti, pendidik, organisasi perlindungan, dan tokoh masyarakat. Pelopornya adalah Professor Dan Olweus dari University of Begen yang sejak 1970-an di Skandinavia mulai memikirkan secara serius tentang fenomena bullying di sekolah, yang kemudian di sebut dengan istilah school bullying. Kata bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari. Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan suatu tindakan destruktif. Berbeda dengan negara lain seperti Norwegia, Finlandia, dan Denmark yang menyebut bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal dari bahasa Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak serta terlibat kekerasan. Dalam bahasa Indonesia, secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia bisa menggunakan menyakat (berasal dari kata sakat) dan pelakunya (bully) disebut penyakat. Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan merintangi orang lain. Secara terminologi menurut Tattum (dalam Ardy Wiyani, 2012:12) bullying adalah “..... the willful, concious desire to hurt another and put him/her under stress” (“...... sengaja, secara sadar ingin melukai orang lain atau membuat orang lain tertekan”). Kemudian, Dan Olweus (dalam Ardy Wiyani, 2012:12) juga mengatakan hal serupa bahwa bullying adalah perilaku negatif yang mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681 nyaman/terluka dan biasanya terjadi berulangulang, repeated during successive encounters (dilakukan berulang kali). Menurut Roland (dalam Ardy Wiyani, 2012:12) definisi bullying ialah “long standing violence, physical or psychological, perpetrated by an individual or group directed against an individual who can not defend himself or herself” (kekerasan terus menerus, baik secara fisik maupun psikologi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang ditujukan terhadap seseorang yang tidak bisa membela darinya).Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya bullying adalah perilaku negatif yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat merugikan orang lain. Contoh perilaku bullying antaralain mengejek, menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti (intimidasi), mengancam, menindas, memalak, atau menyerang secara fisik (mendorong, menampar, atau memukul). Perilaku bullying merupakan learned behaviors karena manusia tidak terlahir sebagai penggertak dan pengganggu yang lemah. Bullying merupakan perilaku tidak normal, tidak sehat, dan secara sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepele pun jika dilakukan secara berulang kali pada akhirnya dapat menimbulkan dampak serius dan fatal. Dengan membiarkan atau menerima perilaku bullying, kita berarti memberikan bullies power kepada perilaku bullying, menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan meningkatkan budaya kekerasan. Interaksi sosial yang tidak sehat dapat menghambat pengembangan potensi diri secara optimal sehingga memandulkan budaya unggul. Dan Olweus pada, 1993 dalam (Ardy Wiyani, 2012:13) mendefinisikan bullying yang mengandung tiga unsur mendasar dari perilaku bullying sebagai berikut. • Bersifat menyerang (agresif) dan negatif. • Dilakukan secara berulang kali. • Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Dan Olweus (dalam Ardy Wiyani, 2012:13) mengidentifikasikan dua subtipe bullying, yaitu perilaku secara langsung (Direct bullying), misalnya penyerangan secara fisik dan perilaku secara tidak langsung (Indirect bullying), misalnya pengucilan secara sosial. Underwood, Galen,Paqutte, 2001 (dalam Ardy Wiyani, 2012:13), mengusulkan istilah Sosial Aggression untuk perilaku menyakiti secara langsung. Bentuk bullying tidak langsung, seperti pengucilan atau penolakan secara sosial, lebih sering digunakan oleh perempuan daripada laki-laki. Sementara anak laki-laki menggunakan atau menjadi korban tipe bullying secara langsung, misalnya penyerangan secara fisik. Menurut Ardy Wiyani (2013:20) bullying adalah suatu bentuk kekerasan anak (child abuse) yang dilakukan oleh teman sebaya kepada seseorang (anak) yang lebih rendah atau lebih lemah untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan tertentu. Biasanya bullying terjadi berulang kali. Bahkan ada yang dilakukan secara sistematis. Sementara child abuse menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) (dalam Ardy Wiyani 2012:20) adalah seluruh bentuk perlakuan buruk, baik secara fisik, emosional dan/atau seksual, penelantaran atau, perlakuan lalai maupun eksploitasi terhadap anak. Dalam kasus bullying, ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan korbannya menghalangi keduanya untuk menyelesaikan konflik mereka sendiri sehingga perlu kehadiran pihak ketiga. Sebagai contoh, anak kecil yang mendapat perlakuan bullying dari teman sebayanya, perlu bantuan orang dewasa. Dalam konteks school bullying, pihak ketiga tersebut adalah guru, sebagai orang dewasa atau orangtua yang sedang membimbing pertumbuhan fisik dan psikis mereka. Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku agresif dan negatif seseorang atau sekelompok orang secara berulang kali yang menyalahgunakan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menyakiti targetnya (korban) secara mental atau secara fisik. Jika hanya kadang-kadang, biasanya tidak dianggap sebagai bullying, kecuali jika sangat serius. Misalnya, kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik yang membuat korban merasa tidak aman secara permanen. Ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan target (korban) bisa bersifat nyata maupun bersifat perasaan. Contoh yang bersiafat real berupa ukuran badan, kekuatan fisik, gender (jenis kelamin), dan status sosial. 39 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681 Contoh yang bersifat perasaan, misalnya perasaan lebih superior dan kepandaian berbicara atau pandai bersilat lidah. Unsur ketidakseimbangan kekuatan inilah yang membedakan bullying dengan bentuk konflik lain. Dalam konflik antara dua orang yang kekuatannya sama, masing-masing memilki kemampuan untuk menawarkan solusi dan kompromi untuk menyelesaikan masalah. Fenomena Bullying Salah satu fenomena yang menyita perhatian di dunia pendidikan zaman sekarang adalah kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, maupun oleh siswa terhadap siswa lainnya. Maraknya aksi tawuran dan kekerasan (bullying) yang dilakukan oleh siswa di sekolah yang semakin banyak menghiasi deretan berita di halaman media cetak maupun elektronik menjadi bukti telah tercabutnya nilai-nilai kemanusiaan. Tentunya kasus-kasus kekerasan tersebut tidak saja mencoreng citra pendidikan yang selama ini dipercaya oleh banyak kalangan sebagai sebuah tempat di mana proses humanisasi berlangsung, tetapi juga menimbulkan sejumlah pertanyaan, bahkan gugatan dari berbagai pihak yang semakin kritis mempertanyakan esensi pendidikan di sekolah dewasa ini. Hasil konsultasi Komisi Nasional Perlindungan Anak dengan anak-anak di 18 provinsi di Indonesia pada 2007 (dalam Ardy Wiyani, 2012:17) memperlihatkan bahwa sekolah juga bisa menjadi tempat yang cukup berbahaya bagi anak-anak, jika ragam kekerasan di situ tidak diantisipasi. Bahkan, Hironimus Sugi dari Plan International (dalam Ardy Wiyani, 2012:17) menyimpulkan, kasus kekerasan terhadap anak-anak di sekolah menduduki peringkat kedua setelah kekerasan pada anak-anak dalam keluarga. Padahal, jika siswa-siswa kerap menjadi korban kekerasan, mereka dapat memilki watak keras di masa depan. Hal ini secara kolektif akan berdampak buruk terhadap kehidupan bangsa. Fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah. Umumnya orang lebih mengenalnya dengan istilah-istilah seperti penggencetan, pemalakan, pengucilan, intimidasi, dan lain-lain. Istilah bullying sendiri memiliki makna lebih luas, mencakup berbagai bentuk penggunaan kekuasaan atau 40 kekuatan untuk menyakiti oranglain sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya. Terminologi bullying mengacu pada penggunaan kekuasaan atau kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bullying merupakan perilaku verbal atau perilaku fisik yang dimaksudkan untuk mengganggu orang lain yang lebih lemah. Bullying adalah suatu bentuk kekerasan anak (child abuse) yang dilakukan oleh teman sebaya kepada seseorang (anak) yang lebih lemah untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan tertentu. Biasanya bullying terjadi berulang kali. Bahkan ada yang dilakukan secara sistematis. Sementara child abuse menurut organisasi kesehatan dunia (World Health Organization) adalah seluruh bentuk perlakuan buruk, baik secara fisik, emosional dan/atau seksual, penelantaran atau, perlakuan lalai maupun eksploitasi terhadap anak. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, kekerasan (bullying) seolah-olah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak-anak di zaman yang penuh persaingan ini. Kiranya, perlu dipikirkan mengenai resiko yang di hadapi anak, dan selanjutnya dapat dicarikan jalan keluar untuk memutus rantai kekerasan yang saling berkelindan tanpa habis-habisnya. Tentunya, berbagai pihak bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak, karena anak-anak juga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh negara, orang tua, guru, dan masyarakat. Diperlukan komitmen bersama dan langkah nyata untuk mencegah perilaku bullying. Pihak sekolah masih sangat terbatas dalam menyikapi dan menangani bullying. sedangkan di pihak orang tua siswa, masih belum banyak yang mengetahui tentang bullying beserta dampak yang ditimbulkan. Dampak negatif yang disebabkan oleh bullying telah menyebabkan pentingnya bagi kita untuk mengenali perilaku ini. Sumber School Bullying Dalam penelitiannya mengenai fenomena bullying di SD Negeri di Semarang, Siswati dan Costrie Ganes Widayanti (dalam Ardy Wiyanti, 2012:57) mengungkapkan: Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681 “beberapa respon yang ditunjukkan oleh subjek yang menjadi korban bullying dipengaruhi oleh pengalaman dan proses belajar yang dilakukan oleh subjek sehingga subjek akan bereaksi pada perilaku bullying yang dilakukan oleh teman-temannya. Beberapa subjek menyatakan penolakannya saat diminta untuk melakukan suatu tindakan tertentu kepada pelaku bullying dan ada pula yang merasa tidak berdaya sehingga memilih untuk menuruti permintaan pelaku. Adanya learned helplessness pada subjek yang memenuhi permintaan pelaku tersebut mengakibatkan siklus bullying terusmenerus terjadi sehingga subjek terus berada dalam kondisi tertekan dan takut apabila mereka akan mengalami suatu hal yang buruk apabila menolak untuk mengikuti permintaan pelaku”. Ardy Wiyani, (2012:57) mengungkapkan: “pelaku bullying antara lain adalah kakak kelas, di mana hal ini sesuai dengan pengertian bullying yaitu bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi sehingga mereka dapat mengatur orang lain yang dianggap lebih rendah. Korban yang sudah merasa menjadi bagian dari kelompok dan ketidakseimbangan pengaruh atau kekuatan lain akan mempengaruhi intensitas perilaku bullying ini”. Semakin subjek yang menjadi korban tidak bisa menghindar atau melawan, semakin sering perilaku bullying terjadi. Selain itu, pelaku bullying dapat juga dilakukan oleh teman sekelas; baik yang dilakukan perseorangan maupun kelompok. Sementara berdasarkan penelitian lainnya disimpulkan bahwa jika subjek menghargai dirinya dengan baik maka ia dapat menghindari dirinya dari dampak tindakan bullying. Faktor-faktor berikut juga berpotensi menjadi sasaran tindakan bullying, yakni: (1). siswa baru di sekolah, (2). latar belakang sosial-ekonomi, (3). latar belakang budaya atau agama, (4). warna kulit atau warna rambut, (5). faktor intelektual. Berdasarkan penelitian Bernstein dan Watson (dalam Ardy Wiyani, 2012:56) disimpulkan bahwa karakteristik eksternal korban sasaran tindakan bullying adalah cenderung lebih kecil atau lebih lemah daripada teman sebayanya. Dengan kata lain, ukuran badan lebih besar, terutama di antara anak laki-laki cenderung mendominasi teman sebaya berbadan lebih kecil. Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas dapat kita siapkan cara untuk mengurangi kemungkinan atau pencegahan agar tidak menjadi sasaran tindakan bullying. Pertama, bantulah anak kecil dan remaja menumbuhkan self-esteem (harga diri) yang baik. Anak berself esteem baik akan bersikap dan berpikir positif, menghargai dirinya sendiri, menghargai orang lain, percaya diri, optimis, dan berani mengatakan haknya. Kedua, mempunyai banyak teman. Bergabung dengan grup berkegiatan positif atau berteman dengan siswa yang sendirian. Ketiga, kembangkan keterampilan sosial untuk menghadapi bullying, baik sebagai sasaran atau sebagai saksi, dan bagaimana mencari bantuan jika mendapat perlakuan bullying. III. Metodelogi Penelitian A. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di SMA Negeri 12 Medan, Jln. Cempaka No. 75 P.Helvetia Medan. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2012. B. Subyek Penelitian Yang menjadi subyek Penelitian ini adalah kelas X-4 SMA Negeri 12 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013 yang terdiri dari 30 siswa. C. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengetahui perilaku bullying siswa adalah angket. Menurut Arikunto (2009:102), angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain dengan maksud agar orang yang diberi tersebut bersedia memberikan respons sesuai dengan permintaan pengguna. Angket digunakan oleh peneliti karena dapat mengumpulkan data yang banyak dalam waktu 41 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681 yang relatif singkat, dibandingkan teknik-teknik lain. Angket yang digunakan berpandukan pada skala Likert, dimodifikasi. Masing-masing item mempunyai alternatif jawaban dalam dan skor sebagai berikut: Tabel 1. Skala Likert Item positif Jawaban Skor Selalu 4 Biasanya 3 Jarang 2 Tidak pernah 1 dengan adalah yang angket bentuk Item negatife Jawaban Skor Selalu 1 Biasanya 2 Jarang 3 Tidak 4 pernah D. Jenis dan Prosedur Penelitian Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian tindakan kelas yang berlangsung sebanyak beberapa periode, dan masingmasing periode terdiri atas beberapa siklus. Proses dari masing-masing siklus mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) rencana tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) pemantauan, dan (4) Refleksi. IV. Hasil Dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian Kegiatan untuk mengetahui kondisi awal siswa dilakukan dengan pengumpulan data melalui pemberian angket untuk 46 siswa di kelas X-4 SMA Negeri 12 Medan. Setelah angket terkumpul maka dilakukan analisis terhadap angket. Pengumpulan data ini bertujuan untuk mengetahui kondisi awal perilaku bullying dimiliki siswa. Berdasarkan hasil angket diperoleh 30 siswa yang memiliki perilaku bullying yang tinggi. Tiga puluh siswa tersebut dikumpulkan untuk dilakukan bimbingan. Hasil pengumpulan data awal disajikan dalam lampiran. A. Data Siklus I Setelah semua perangkat yang diperlukan untuk Siklus I tersusun dalam diskusi bersama pembimbing penelitian yang merupakan fase perencanaan Siklus I, maka peneliti melaksanakan pembimbingan Siklus I sebagai tahap tindakan Siklus I. 42 Dalam tahap refleksi Siklus I dan perencanaan Siklus II peneliti melakukan pertemuan diskusi kembali untuk mengidentifikasi kelemahan Siklus I dan aktivitas belajar yang perlu diperbaiki serta merancang tindakan perbaikan pada perencanaan Siklus II. Pre-test Siklus I Pre-test diberikan untuk menjaring responden yang memiliki perilkau bullying. Berdasarkan data dari hasil pre-test diambil 20 responden yang memiliki skor tertinggi perilaku bullying. Dari 20 responden didapat skor tertinggi 85 dan skor terendah 73, dengan rata-rata (M) = 78,75. Hasil perhitungan data pretest yang diperoleh dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Pre-test Siklus I No 1 Statistik N Kelas Eksperimen 20 2 Rata-rata 78,75 3 Maksimum 85 4 Minimum 73 Post-test Siklus I Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan jumlah responden 20 orang terdapat skor tertinggi 75 dan skor terendah 64, dengan rata-rata (M) = 69,3. Hasil perhitungan data post-test yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Hasil Post-test Siklus I No Statistik Kelas Eksperimen 20 1 N 2 Rata-rata 3 Maksimum 75 4 Minimum 64 69,3 Berdasarkan tabel 2 dan tabel 3, rata-rata data Pre-test lebih tinggi dari pada rata-rata data Post-test. Jadi, ada penurunan perilaku bullying siswa. Tetapi penurunan yang terjadi hanya sedikit saja. Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681 B. Data Siklus II Dalam tahap refleksi Siklus I dan perencanaan Siklus II peneliti melakukan pertemuan diskusi kembali untuk mengidentifikasi kelemahan Siklus I dan yang perlu diperbaiki serta merancang tindakan perbaikan. Hasil dari perilaku bullying yang didapat masih belum mencapai target yang diinginkan, serta terdapat beberapa kelemahan pada siklus I, yaitu: 1. Peserta didik masih kurang mengeluarkan pendapatnya pada saat bimbingan berlangsung, hal tersebut membuat kegiatan bimbingan dalam pengungkapan masalah kurang maksimal sehingga pengatasan masalahnya juga tidak maksimal. 2. Pada siklus I terdapat kelemahan siswa belum mampu jujur atau bertindak seperti keadaan yang sebenarnya. Ada sebagian siswa yang masih takut jika peneliti mengetahui kelakuannya selama ini, kurangnya keterbukaan. Setelah didapat kendala pada siklus I maka peneliti berdiskusi dengan pendamping untuk melakukan perbaikan pada siklus II, perbaikan yang dibuat ialah, 1. Dalam kegiatan bimbingan peneliti lebih mendalam lagi menjelaskan azas kerahasiaan yang ada dalam kegiatan tersebut agar peserta didik tidak tahu kelakuan atau rahasianya diketahui pihak luar terkecuali peserta bimbingan saja. 2. Dan jika masih sulit bagi peserta didik untuk mengeluarkan pendapatnya, mengeluarkan solusi yang menurutnya benar maka peneliti menyiapkan media kertas bagi masing-masing peserta didik agar peserta didik dapat menuliskan semua pendapatnya dalam kertas tersebut sehingga peneliti paham dasar masalah yang dibahasa sehingga pemecahan masalahnya lebih tepat dan maksimal dengan melakukan konseling individual. Pre-test Siklus II Setelah siklus I berakhir, maka peneliti menyusun kembali proses bimbingan yang akan dilakukan agar penurunan perilaku bullying siswa sesuai denagn yang diharapkan. Peneliti kembali menyebarkan angket untuk mengetahui tingkat perilaku bullying siswa. Dari 20 responden didapat skor tertinggi 67 dan skor terendah 50, dengan rata-rata (M) = 56,6. Hasil perhitungan data pretest yang diperoleh dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 4. Hasil Pre-test Siklus II No Statistik 1 N 2 Rata-rata 3 Maksimum 4 Minimum Kelas Eksperimen 20 56,6 67 50 Post-test Siklus II Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan jumlah responden 20 orang terdapat skor tertinggi 57 dan skor terendah 36, dengan rata-rata (M) = 43,25. Hasil perhitungan data post-test yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5. Hasil Post-test Siklus I No Statistik 1 N 2 Rata-rata 3 Maksimum 4 Minimum Kelas Eksperimen 20 43,25 57 36 Berdasarkan tabel 4 dan tabel 5, rata-rata data Pre-test lebih tinggi dari pada rata-rata data Post-test. Jadi, ada penurunan perilaku bullying siswa. Tetapi penurunan yang terjadi hanya sedikit saja. Pembahasan Jika dilihat dari hasil perhitungan rata-rata telah diketahui bahwa pada test Siklus I perilaku bullying siswa berada pada rata-rata 69,3. Setelah diberikan layanan bimbingan kelompok teknik role playing Siklus II diperoleh rata-rata. Tampak bahwa rata-rata perilaku bullying siswa lebih rendah setelah diberikan perlakuan bimbingan kelompok teknik role playing, dengan selisih 26,05. Dengan demikian dinyatakan layanan bimbingan kelompok teknik role playing mempunyai kontribusi terhadap penurunan 43 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681 perilaku bullying 2012/2013. siswa tahun pelajaran V. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan kelompok teknik role playing dapat mengurangi perilaku bullying siswa di kelas X-4 SMA Negeri 12 Medan Tahun Ajaran 2012/2013. Daftar Pustaka Amirrasa, 2013. http://amirrasabou.blogspot.com/2013/0 4/pengertian-perilaku.html) (diakses 16 Mei 2013) Arikunto, S. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. http://paulArjanto, 2011. arjanto.blogspot.com/2011/06/permaina n-peran-role-playing-model.html. (diakses 14 Februari 2013). Damayanti, N. 2012. Buku Pintar Panduan Bimbingan Konseling. Yogyakarta: Araska. Fakultas Ilmu Pendididkan. 2013. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan FIP Universitas Negeri Medan. Syah, M. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Natawidjaja, R. 1987. Pendekatan Pendekatan dalam Penyuluhan Kelompok.. Jakarta: P2LPTK Depdikbud. Wiyani, A. 2012. Save Our Children from School Bullying. Jogjakarta: Ar-ruzz Media. Prayitno & Erman Amti. 1994. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: P2LPTK Depdikbud. Prayitno & Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta 44 Tri, M. S. 2012. Efektifitas Bimbingan Kelompok melalui Teknik Role Playing untuk Menangani Perilaku Bullying. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.