BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Konformitas Teman Sebaya a. Pengertian Teman Sebaya Teman sebaya adalah sekelompok orang yang memiliki usia yang sama dengan kita, dan memiliki kelompok sosial yang sama pula, misalnya teman sekolah (Mu’tadin 2002). Teman sebaya juga dapat diartikan sebagai kelompok orang yang mempunyai latar belakang, usia, pendidikan, dan status sosial yang sama, dan teman sebaya biasanya dapat mempengaruhi perilaku dan keyakinan masing-masing anggotanya. Kelompok teman sebaya biasanya saling bercerita tentang kesenangan dan latar belakang anggotanya. Selain tingkat usia yang sama, teman sebaya juga memiliki tingkat kedewasaan yang sama. Jadi dapat disimpulkan bahwa teman sebaya adalah sekelompok orang yang seumuran, berlatar belakang, berpendidikan, dan dalam status sosial yang relatif sama, di mana dalam kelompok tersebut biasanya terjadi pertukaran informasi yang mungkin saja dapat mempengaruhi perilaku dan keyakinan dari anggota lainnya. b. Pengertian Konformitas Asch (dalam Feldman, 1995) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan dalam sikap dan perilaku yang dibawa seseorang sebagai hasrat untuk mengikuti kepercayaan atau standar yang ditetapkan orang lain. Konformitas juga diartikan sebagai bujukan untuk merasakan tekanan kelompok meskipun tidak ada permintaan langsung untuk tunduk pada kelompok (Deux, Dane & Wrigthsman, 1993). Sedangkan Feldman (1995) mengatakan: “a change in behavior or attitudes brought about by a desire to follow belief or standards of others.” Konformitas adalah perubahan perilaku atau sikap yang disesuaikan untuk mengikuti keyakinan atau standar kelompok. 7 8 Berdasarkan pengertian yang dipaparkan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa konformitas adalah perubahan sikap dan perilaku individu sesuai dengan standar ataupun harapan yang dibentuk kelompok agar individu dapat diterima dan dipertahankan di dalam kelompok tersebut dan sebagai bentuk interaksi yang terjadi di dalam kelompok. c. Pengertian Konformitas Teman Sebaya Baron & Byrne (2005) mendefinisikan konformitas sebagai suatu perubahan sikap dan tingkah dari seorang individu akibat adanya pengaruh sosial agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Santrock (2007) menambahkan bahwa konformitas terjadi saat individu mengadopsi sikap dan tingkah laku orang lain karena merasa adanya desakan, ini cenderung sangat kuat selama masa remaja. Pengertian lain dari konformitas juga dikemukakan oleh Myers (2012), merupakan suatu perubahan perilaku serta kepercayaan atau belief yang disebabkan oleh adanya tekanan kelompok yang dirasakan secara nyata atau hanya sebagai suatu imajinasi dari individu tersebut. Santrock (2003) mendifinisikan teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama yang memiliki peran penting dalam kehidupan remaja. Buhrmester, Gecas & Seff, Laursen (Papalia, Old, Feldman, 2008) menyebutkan bahwa kelompok teman sebaya adalah suatu sumber dari afeksi, simpati, pemahaman dan panduan moral. Beberapa definisi mengenai konformitas dan juga teman sebaya yang sudah disebutkan oleh para ahli sebelumnya menjadi dasar dalam penelitian ini untuk mendefinisikan konformitas teman sebaya, dimana konformitas teman sebaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah suatu kecenderungan dari dalam diri individu untuk melakukan tingkah laku, serta keyakinannya sesuai dengan anak-anak yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama dalam satu kelompok sosial yang sama. Individu terkadang melakukan konformitas karena merasakan adanya desakan atau pengaruh sosial 9 dari teman sebayanya yang dirasakan secara nyata maupun hanya imajinasi dari individu tersebut. d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konformitas Teman Sebaya Baron dan Bryne (2005) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas teman sebaya terdiri dari kohesivitas kelompok, besar kelompok, dan jenis norma sosial yang berlaku pada situasi tersebut. Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 1) Kohesivitas Kelompok Kohesivitas adalah sejauh mana kita tertarik pada kelompok sosial tertentu dan ingin menjadi bagian darinya. Semakin menarik suatu kelompok, maka semakin besar kemungkinan orang untuk melakukan konformasi terhadap norma-norma dalam kelompok tersebut. 2) Besar Kelompok Begitu juga dengan ukuran kelompok. Semakin besar ukuran kelompok, berarti semakin banyak orang yang berperilaku dengan cara-cara tertentu, sehingga semakin banyak yang mau mengikutinya. 3) Jenis Norma Sosial yang Berlaku pada Situasi Tertentu Norma sosial yang berlaku dapat berupa norma deskriptif atau norma injungnitif. Norma deskriptif yaitu norma yang hanya mengindikasikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma injungtif yaitu norma yang menetapkan tingkah laku apa yang diterima atau tidak diterima pada situasi tertentu. e. Aspek-Aspek Konformitas Teman Sebaya Sears, dkk (1994) menjelaskan bahwa aspek-aspek dalam konformitas pada teman sebaya terdiri dari perilaku, penampilan, dan pandangan. Aspek tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 1) Perilaku Menjelaskan bahwa bila individu dihadapkan pada pendapat yang telah disepakati oleh anggota-anggota lainnya, tekanan yang dihasilkan oleh 10 pihak mayoritas akan mampu menimbulkan konformitas. Semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok, maka semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. 2) Penampilan Individu yang tidak mau mengikuti apa yang berlaku dalam kelompok akan menanggung resiko mengalami akibat yang tidak menyenangkan. Peningkatan konformitas ini terjadi karena anggotanya enggan disebut sebagai individu menyimpang atau terkucil. 3) Pandangan Individu mulai mempertanyakan pendangan individu lain tentang dirinya, sehingga individu tersebut harus mempunyai ciri khas sendiri baik dari pandangan maupun perilaku. Adanya perbedaan ciri khas yang dimiliki individu lain karena individu individu tersebut merasa ada ciri khas yang dimiliki. Berdasarkan penjelasan di atas, aspek tersebut yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan angket konformitas teman sebaya adalah aspek yang dikemukakan oleh Sears, dkk (1994) yang terdiri dari tiga aspek yaitu perilaku, penampilan, dan pandangan. f. Tipe-Tipe Konformitas Teman Sebaya Sarwono (2001) memaparkan ada dua tipe konformitas pada teman sebaya yaitu menurut dan penerimaan. Dua tipe tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 1) Menurut (compliance) Konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju. Misalnya, turis asing memakai selendang dipinggangnya agar dapat masuk ke pura di Bali, menyantap makanan yang disuguhkan nyonya rumah walaupun tidak suka, memeluk cium rekan arab walaupun merasa risih. Kalau perilaku menurut ini adalah terhadap suatu perintah, namanya adalah ketaatan (obedience), misalnya anggota tentara yang menembak musuh atas perintah komandannya, dan 11 mahasiswa baru memakai baju compang camping dalam acara perpeloncoaan atas perintah seniornya. 2) Penerimaan (acceptance) Konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial. Misalnya, berganti agama sesuai dengan keyakinannya sendiri, belajar bahasa daerah atau Negara dimana ia ditugaskan atau tinggal, memenuhi ajakan teman-teman untuk membolos. 2. Harga Diri (Self Esteem) a. Pengertian Harga Diri (Self-Esteem) Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian terhadap diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain yang menjadi pembanding. Coopersmith (1967) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai dirinya sendiri, di mana evaluasi tersebut merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya serta perlakuan orang lain terhadap dirinya. Evaluasi ini diekspresikan dengan sikap setuju atau tidak setuju, tingkat keyakinan individu terhadap dirinya sendiri sebagai orang yang mampu, penting, berhasil, dan berharga atau tidak. Rosenberg dalam (Burn, 1993) mengemukakan harga diri adalah perasaan harga diri di dalam nada yang serupa sehingga suatu sikap positif atau negatif terhadap objek khusus yaitu diri. Brecht dalam (Sulistyawati, 2002) mengungkapkan bahwa harga diri adalah sikap menerima diri sendiri apa adanya, kapanpun dalam hidup kita, dimana kita memfokuskan diri apa adanya yang telah kita lakukan dan apa yang dapat kita lakukan, Brecht menambahkan bahwa harga diri dapat dikenali melalui cara kita bertindak dan berperilaku melalui sikap dan keyakinan serta cara kita memandang diri kita. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, harga diri adalah sikap menilai kemampuan diri sendiri dengan pembanding perilaku orang lain. Penilaian ini ditunjukkan dengan sikap setuju atau tidak setuju, 12 tingkat keyakinan individu terhadap dirinya sendiri sebagai orang yang mampu, penting, berhasil, dan berharga atau tidak. b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Koentjoro (1989) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sosial, faktor psikologis, dan jenis kelamin. Harga diri yang dimiliki oleh individu selalu mengalami perkembangan. Hal-hal yang mempengaruhi harga diri adalah: 1) Lingkungan Keluarga Lingkungan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis didapat pada anak yang memiliki harga diri tinggi. 2) Lingkungan Sosial Lingkungan sosial tempat individu mempengaruhi bagi pembentukan harga diri. Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga sebagai individu dengan lingkungannya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan, dan dijauhi teman sebaya akan menurunkan harga diri. Sebaliknya pengalaman, keberhasilan, persahabatan, dan kemasyuran akan meningkatkan harga diri. 3) Faktor Psikologis Penerimaan diri akan mengarahkan individu mampu menentukan arah dirinya pada saat mulai memasuki hidup bermasyarakat sebagai anggota masyarakat yang sudah dewasa. 4) Jenis Kelamin Perbedaan jenis kelamin mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam pola pikir, cara berpikir, dan bertindak antara laki-laki dan perempuan. c. Karakteristik Harga Diri Coopersmith (dalam Rahmawati, 2006) mengemukakan bahwa harga diri dibedakan menjadi tiga jenis jika dilihat dari karakteristik individu, yakni harga diri rendah, harga diri sedang, harga diri tinggi. 1) Individu dengan harga diri tinggi (high self esteem) 13 Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki karakteristik 1) aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik, 2) berhasil dalam bidang akademik, terlebih dalam mengadakan hubungan sosial, 3) dapat menerima kritik dengan baik, 4) percaya terhadap presepsi dan dirinya sendiri, 5) tidak terpaku pada dirinya sendiri atau tidak hanya memikirkan kesulitannya sendiri, 6) keyakinan akan dirinya tidak berdasarkan pada fantasinya, karena memang mempunyai kemampuan, kecakapan sosial dan kualitas yang tinggi, 7) tidak terpengaruh pada penilaian diri dari orang lain tentang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif ataupun negatif, 8) akan menyesuaikan diri dengan mudah pada suatu lingkungan yang belum jelas, dan 9) akan lebih banyak menghasilkan suasana yang berhubungan dengan kesukaan sehingga tercipta tingkat kecemasan dan perasaan tidak aman yang rendah serta memiliki daya pertahanan yang seimbang. 2) Individu dengan harga diri sedang (medium self esteem) Karakteristik individu dengan harga diri yang sedang hampir sama dengan karakteristik individu yang memiliki harga diri tinggi, terutama dalam kualitas, perilaku, dan sikap. Pernyataan diri mereka memang positif, namun cenderung kurang moderat/kurang menghindari sikap atau tindakan yang ekstreem. 3) Individu dengan harga diri rendah (low self esteem) Individu yang memiliki harga diri rendah memiliki karakteristik meliputi 1) memiliki perasaan inferior, 2) takut dan mengalami kegagalan dalam mengadakan hubungan sosial, 3) terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi, 4) merasa diasingkan dan tidak diperhatikan, 5) kurang dapat mengekspresikan diri, 6) sangat tergantung pada lingkungan, 7) tidak konsisten, 8) secara pasif akan selalu mengikuti apa yang ada di lingkungannya, 9) menggunakan banyak taktik pertahanan diri, dan 10) mudah mengakui kesalahan. Kebutuhan untuk diperhatikan diperolehnya perhatian dari orang lain yang merupakan pengakuan terhadap harga diri, apabila kebutuhan gagal 14 terpenuhi maka akan timbul perilaku seperti minum-minum, penyalahgunaan obat-obatan, dan tawuran. d. Aspek-Aspek Harga Diri Menurut Coopersmith (1967) megungkapkan aspek-aspek harga diri meliputi self values, leadership popularity, family parents, dan achievement. Aspekaspek tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 1) Self Values, diartikan sebagai nilai-nilai pribadi individu yaitu isi diri sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa harga diri ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang diyakini individu sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya. 2) Leadership Popularity, Coopersmith menunjukkan bahwa individu memiliki harga diri yang tinggi cenderung mempunyai kemampuan yang dituntut dalam kepemimpinan (leadership). Popularitas merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan pengalaman keberhasilan yang diperoleh dalam kehidupan sosialnya dan tingkat popularitasnya mempunyai hubungan dalam harga diri, oleh sebab itu semakin populer individu diharapkan mempunyai harga diri yang tinggi. 3) Family Parents, Coopersmith dalam membahas harga diri sangat menekankan perasaan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Penerimaan keluarga yang positif pada anak-anak akan memberi dasar bagi pembentukan rasa harga diri yang tinggi pada masa dewasanya kelak. 4) Achievement, individu dengan harga diri yang tinggi cenderung memiliki karakteristik kepribadian yang dapat mengarahkan pada kemandirian sosial dan kreativitas yang tinggi. Berdasarkan penjelasan di atas, aspek tersebut yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan angket harga diri adalah aspek yang dikemukakan oleh Coopersmith (1967) yang terdiri dari empat aspek yaitu self values, leadership popularity, family parents, dan achievement. 15 e. Perkembangan Harga Diri Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir tetapi merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman individu (Tjahjaningsih & Nuryoto, 1994). Menurut Pudjijogyanti (1985) bahwa pembentukkan harga diri diawali ketika seorang anak mampu melakukan presepsi dalam interaksinya dengan lingkungan. Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dari hubungannya dengan orang lain. Setiap siswa dalam berinteraksi dengan orang lain ini akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan dijadikan cermin bagi siswa untuk menilai dan memandang dirinya sendiri. Meichati (1983) menyatakan bahwa harga diri pada seorang individu akan terbentuk dengan baik apabila didukung adanya kasih sayang dalam keluarga dan adanya penghargaan dari lingkungan. Perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis terdapat pada siswa yang memiliki harga diri yang tinggi. Kebutuhan akan dimengerti dan memahami diri sendiri bagi siswa sangat erat kaitannya dengan kematapan harga diri. Mengerti diri sendiri merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengetahui sikap, sifat, dan kemampuannya. Menurut Coopersmith (1967) perkembangan harga diri pada individu akan berpengaruh terhadap proses pemikiran, perasaan-perasaan, keinginankeinginan, nilai-nilai, dan tujuan-tujuannya. Hal ini merupakan kunci utama dalam tingkah laku yang membawa kea rah keberhasilan atau kegagalan. Harga diri pada siswa terbentuk dari pengalaman-pengalaman sosial bukan faktor yang dibawa sejak lahir. Apabila seorang siswa memperoleh tanggapan yang baik dari lingkungannya maka akan terbentuk harga diri yang baik dalam siswa tersebut. Sebaliknya, harga diri siswa akan mengalami gangguan atau rendah apabila siswa memperoleh tanggapan yang kurang baik dari lingkungan sosialnya. 16 3. Hubungan Antara Harga Diri (Self Esteem) dan Konformitas Teman Sebaya Siswa yang sedang duduk dibangku SMP adalah siswa yang sedang dalam masa peralihan dari anak-anak menuju remaja awal. Pada masa peralihan tersebut biasanya sering muncul masalah-masalah baru yang belum mereka pahami betul bagaimana cara megatasinya. Pada masa inilah peran orang tua dan guru sangat dibutuhkan untuk membantu siswa mengalami masalahnya. Masalah-masalah yang muncul sangat bervariasi, ada yang berhubungan dengan fisik maupun psikis (psikologi) siswa. Masalah psikologis yang tarafnya masih ringan seperti: rendah diri, rasa kuatir yang berlebihan, merasa bersalah, kurang percaya diri, mudah marah-marah, mudah tersinggung, putus asa, dan tidak mampu menghargai dirinya sendiri. Siswa SMP yang sedang dalam masa peralihan sering kali kurang mampu untuk menghargai dirinya sendiri, tidak mengetahui seberapa besar kemampuan yang dia miliki, dan sedang mencari identitas diri. Siswa mencari identitas dirinya dan segala pertanyaan yang sedang dialami dengan cara melakukan interaksi dengan orang lain, khususnya dengan teman sebaya. Bagi siswa pengaruh lingkungan teman sebaya memegang peranan yang cukup besar dalam pembentukan tingkah laku yang dianut. Semakin bertambah kuatnya hubungan kelompok teman sebaya maka semakin besar pula perubahan yang ditimbulkan oleh anggota kelompok. Siswa akan merasa lebih nyaman berada dalam kelompok teman sebayanya karena merasa memiliki nasib yang sama. Agar dapat diterima dalam suatu kelompok tersebut siswa cenderung melakukan konformitas. Siswa dapat dengan mudah menerima pengaruh dari teman-temannya tanpa memikirkan resiko yang akan muncul. Tingkat konformitas pada teman sebaya dapat memberikan dampak positif dan dampak negatif bagi siswa. Siswa yang memiliki harga diri rendah memiliki sikap inferior, canggung, lemah, rendah diri dalam bergaul, dan pasif. Orang-orang yang melakukan penyalahgunaan obat-obatan, memiliki prestasi sekolah yang buruk, mengalami depresi, dan melakukan tindak kekerasan (termasuk terorisme) adalah orang-orang yang memiliki harga diri yang rendah (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). 17 Namun, dari serangkaian penelitian ditemukan bahwa harga diri yang tinggi tidak selalu berpengaruh positif terhadap tingkah laku. Bullying, narsisme, dan eksibisionisme adalah contoh tingkah laku negatif yang dilakukan oleh orang dengan harga diri tinggi. Mengapa orang dengan harga diri tinggi melakukan hal tersebut? Harga diri tinggi mencerminkan superioritas terhadap orang lain dan orang termotivasi untuk terus mempertahankannya. Ketika ada situasi yang dipresepsikan mengancam superioritas tersebut, maka muncul tingkah laku agresif yang bertujuan unutk mempertahankannya. Penelitian ini dilakukan oleh Ratna Tazkia, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2008. Penelitian yang dilakukan tazkia (2008), secara spesifik mengukur harga diri dalam setting kelompok yang mengukur tingkat identifikasi individu dengan kelompok. Hasil yang ditemukan tentang adanya hubungan yang signifikan antara kebutuhan akan identitas kelompok dan perilaku bullying menunjukkan bahwa semakin individu mengidentifikasi diri dengan kelompok akan diikuti dengan meningkatnya perilaku diskriminasi untuk memperoleh harga diri kelompok yang lebih baik. Perilaku diskriminasi ditampilkan dengan melakukan bullying terhadap orang lain yang bukan anggota kelompoknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara personal self-esteem dan collective self-esteem dengan perilaku bullying. Namun, ada hubungan positif antara komponen kebutuhan akan identitas kelompok dengan perilaku bulllying yang artinya semakin tinggi kebutuhan seseorang akan identitas kelompok semakin tinggi pula perilaku bullying yang ditampilkan. Sementara hasil penelitian Indria dan Nindyati (2007) menunjukkan walaupun remaja perlu melakukan konformitas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, namun tingkat konformitas yang tinggi dapat membuat remaja tidak percaya diri dengan keunikan dirinya, kurang imajinatif dalam menciptakan hal-hal baru, serta mudah dipengaruhi orang lain. Penelitian ini dilakukan oleh Hairul Anwar, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Antropologi, Program Studi Antropologi Sosial Universitas 18 Hasanuddin tahun 2013. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pertumbuhan nilai-nilai sosial dan norma-norma punk pada ruang interaksi sesama anggota kelompok disetiap kali mereka berkumpul atau berjalan bersama menghadiri gigs (pertemuan punker) di luar kota Makassar. Tindakan-tindakan penyesuaian yang dilakukan individu punker meliputi: penggunaan aksesoris punk, mengikuti kebiasaan kelompok, dan penyesuaian cara berpikir. Punker mempresepsikan dirinya sebgai pribadi yang unik, bebas tanpa pengekangan, memiliki otoritas akan tubuh dan hidupnya. 4. Penelitian yang Relevan Peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian terdahulu. Dari hasil penelitian terdahulu diperoleh penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu: a. Hubungan antara Personal Self-Esteem dan Collective Self-Esteem dengan Perilaku Bullying pada Siswa kelas XII SMA. Penelitian ini dilakukan oleh Ratna Tazkia, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2008. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara personal self-esteem dan collective selfesteem dengan perilaku bullying. Namun, ada hubungan positif antara komponen kebutuhan akan identitas kelompok dengan perilaku bulllying yang artinya semakin tinggi kebutuhan seseorang akan identitas kelompok semakin tinggi pula perilaku bullying yang ditampilkan. b. Konformitas dalam Kelompok Teman Sebaya (Studi Kasus Dua Kelompok Punk Di Kota Makassar). Penelitian ini dilakukan oleh Hairul Anwar, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Antropologi, Program Studi Antropologi Sosial Universitas Hasanuddin tahun 2013. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pertumbuhan nilai-nilai sosial dan norma-norma punk pada ruang interaksi sesama anggota kelompok disetiap kali mereka berkumpul atau berjalan bersama menghadiri gigs (pertemuan punker) di luar kota Makassar. Tindakan-tindakan penyesuaian yang dilakukan individu punker meliputi: penggunaan 19 aksesoris punk, mengikuti kebiasaan kelompok, dan penyesuaian cara berpikir. Punker mempresepsikan dirinya sebgai pribadi yang unik, bebas tanpa pengekangan, memiliki otoritas akan tubuh dan hidupnya. (diakses 18 Juni 2015) B. Kerangka Berfikir Berdasarkan teori-teori yang sudah dijelaskan di depan beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas teman sebaya adalah sikap harga diri. Teman sebaya merupakan tempat siswa mendapat dukungan di luar dukungan dari keluarga serta adanya perasaan senasib sehingga siswa bisa saling menerima kondisi yang dialaminya. Sikap harga diri yang rendah cenderung membuat konformitas pada teman sebaya menjadi tinggi. Begitu pula sikap harga diri yang tinggi akan cenderung membuat konformitas pada teman sebaya menjadi rendah. Karena dengan melakukan konformitas pada teman sebaya siswa mendapat dukungan emosional dari teman sebayanya, sehingga individu merasa lebih diakui dalam sebuah kelompok, lebih percaya diri, dan lebih dihargai jika hal yang dilakukannya sesuai dengan yang dilakukan teman sebaya dalam suatu kelompok. Secara sistematis kerangka berfikir dapat digambarkan sebagai berikut: Siswa Kelas VIII SMPN 17 Surakarta Harga Diri (Self Esteem) Konformitas pada Teman Sebaya Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran 20 C. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap penelitian atau suatu permasalahan. Berdasarkan urutan tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: Terdapat hubungan antara harga diri dan konformitas pada siswa kelas VIII SMP Negeri 17 Surakarta.