Download, PDF

advertisement
PARASITOSTATIC EFFECT OF ARTEMISININ TO Plasmodium falciparum
INTRAERYTROCYTIC STAGES IN-VITRO
Lilik Maslachah1, Loeki Enggar Fitri2
1.
Bagian Kedokteran Dasar, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Jl. Mulyorejo,
Kampus “C” UNAIR, Surabaya 60115. Telp 031 5992785.
2.
Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universirtas Brawijaya Malang
ABSTRACT
This research aims were to give evidences that parasitostatic effect of artemisinin
to growth of Plasmodium falcifarum 3D7 strain intraerythrocytic stages in vitro. This
research was done in three stages., as follows; 1. In-vitro culture of P. falciparum 3D7
strains and synchronize 2. Treated Plasmodium falciparum 3D7 strains by exposure of
artemisinin (IC50 concentration) 3. Observed for growth of P. falciparum 3D7 strain with
Flow cytometry. The result research was as follows; the normal growth of P. falciparum
3D7 strain intraerythrocytic stages in control group with increase parasitemia. In treated
with exposure of IC50 artemisinin after 24 and 48 hours incubation showed decrease
growth parasite with decrease parasitemia. As a conclusion, the artemisinin has
a
parasitostatic effect to growth of Plasmodium falcifarum 3D7 strain intraerythrocytic
stages in vitro.
Key words : Plasmodium falciparum, artemisinin, flow cytometry, parasitemia
PENDAHULUAN
Peningkatan resistensi klorokuin dan sulfadoksin–pirimetamin pada Plasmodium
menjadikan antimalaria artemisinin dan derivatnya menjadi obat utama untuk pengobatan
malaria falciparum. Artemisinin ini mempunyai efek kerja lebih cepat daripada obat
antimalaria yang lain karena mempunyai mekanisme kerja yang lebih kompleks, tetapi
telah ada indikasi bahwa parasit Plasmodium telah resisten pada obat ini (Afonso et al.,
40
2006). Hasil klinik sudah ditunjukkan pada dua pasien terinfeksi P.falciparum yang telah
resisten pada
artesunate di Cambodia (Noedl et al., 2008).
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Wongsrichanalai and Meshnick (2008) menunjukkan adanya penurunan
efikasi malaria falciparum pada kombinasi artesunat-meflokuin di Cambodia. Laporan
terbaru mengenai penurunan sensitifitas artemisinin terhadap P.falciparum terjadi juga di
Myanmar dan Vietnam yang ditandai adanya penurunan efikasi pada ACT (Dondorp et
al., 2009). Oleh karena ACT mempunyai peran yang sangat penting dalam mengontrol
dan eliminasi
malaria maka diperlukan surveillance yang terus menerus tentang
resistensi apakah resistensi artemisinin sudah menyebar atau tidak, khususnya di
Indonesia belum ada data dari semua daerah endemik tentang pekembangan resistensi
artemisinin dan derivatnya. Perkembangan parasit P. falciparum resisten dan penurunan
efikasi pada artemisinin dan derivatnya pada level molekular genetik mengakibatkan
masalah malaria menjadi semakin bertambah kompleks dan membahayakan. Hal ini
menjadi salah satu permasalahan kesehatan di dunia yang belum dapat diselesaikan
sampai saat ini, karena belum ada obat baru pengganti artemisinin. Kegagalan terapi
malaria dengan artemisinin dan derivatnya akan muncul era untreatable malaria.
Perkembangan percepatan Plasmodium resisten
pada artemisinin dibandingkan
penemuan obat antimalaria baru menjadi suatu pemikiran untuk mencari solusi
penatalaksanaan terapi pada malaria. yang akurat dan efisien dan
menjadikan
pencegahan resistensi artemisinin harus menjadi prioritas utama di seluruh dunia.
Mekanisme terjadinya resistensi obat artemisinin belum diketahui dengan pasti tetapi
diduga bahwa resistensi obat antimalaria terjadi sangat kompleks karena mutasi pada gen
pfcrt, pfmdr1 dan pfatpase6, juga adanya SNPs dan peningkatan regulasi dari ekspresi
41
gen transporter sehingga perlu dilakukan penelitian, khususnya secara in vitro mengenai
efek parasitostatik artemisinin terhadap
P.falciparum dengan menggunakan flow
cytometry. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bukti dasar dalam
pengujian efektifitas suatu obat khususnya artemisinin yang dapat dilakukan dengan
menggunakan flow cytometry. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan efek
parasitostatik artemisinin terhadap perkembangan P.falciparum stadium intraeritositik
in vitro dengan menggunakan Flow cytometry.
METODE
Kultur
Biakan In Vitro
P.
3D7 (Trager, Jensen, 1976; Schuster, 2002).
Plasmodium falciparum galur 3D7 yang telah disimpan dalam nitrogen cair dilakukan
thawing dengan metode rowe. Diambil setiap 1ml larutan suspensi eritrosit tersebut dan
dicampurkan dengan 9 ml medium komplit plus 15 % serum manusia golongan O dan
dimasukkan kedalam botol biakan (cultur flask) dan diinkubasi di dalam inkubator CO2
pada suhu 37 ºC, 5% CO2, 5 % O2 dan 90% N2. Penggantian medium dilakukan setiap 48
jam sekali dengan hati-hati menggunakan pipet Pasteur yang steril. Diambil sedikit
sedimen untuk dibuat hapusan untuk melihat parasitemia, kemudian ditambahkan 9 ml
medium untuk
setiap botol biakan dan diinkubasi kembali.Untuk mengetahui
pertumbuhan parasit, dibuat hapusan darah tipis dan dihitung tingkat parasitemianya.
Hapusan darah tipis difiksasi dengan metanol dan diwarnai dengan giemsa 20 % selama
20 menit. Pertumbuhan parasit secara teratur diamati tiap 48 jam. Untuk memperbanyak
parasit dilakukan sub-biakan dan untuk penyimpanan dapat dilakukan freezing sampai
akan digunakan lagi.
42
Sinkronisasi P. falciparum galur 3D7.. Suspensi eritrosit 1 ml dimasukkan dalam
tabung sentrifuge 15 ml dan dipusingkan 1500 rpm selama 5 menit pada suhu 4
◦
C.
Supernatannya dibuang dan packed cell ditambah dengan larutan sorbitol sebanyak 5 kali
volume dan dibiarkan selama 5-10 menit pada temperatur kamar, disentrifuge lagi dengan
kecepatan sama dan supernatannya dibuang dan dicuci dengan medium lengkap
ditambah 10% serum manusia sebanyak 3-4 kali volume dan diulangi 2-3 kali. Packed
cell yang terbentuk masukkan dalam flask baru ditambahkan dengan medium komplit
10% 8 – 9cc, sehingga konsentrasi hematokrit 10 % dan ditambahkan dengan RBC 50 %
sebanyak 1cc. Diinkubasi dalam inkubator CO2 dan diganti mediummya setiap 48 jam.
Paparan artemisinin Pada kultur P. falciparum galur 3D7. Sebelumnya disiapkan
dulu flask, kelompok perlakuan pemaparan artemisinin tiap flask berisi 0.5 ml RBC
ditambah 1ml pellet terinfeksi (hematokrit 15 %) ditambahkan medium kultur sampai 10
ml yang mengandung obat antimalaria artemisinin sesuai konsentrasi IC50. Pada kontrol
tiap flask berisi
0.5 ml RBC ditambah 1ml pellet terinfeksi (hematokrit 15 %)
ditambahkan medium kultur sampai 10 ml yang tidak mengandung artemisinin,
kemudian di inkubasi di dalam inkubator CO2 pada suhu 37 ºC 5% CO2, 5 % O2 dan 90 %
N2 selama 48 jam.
Flow cytomerty Sampel yang telah disinkronisasi dan dilakukan perlakuan dilakukan
preparasi, dilisiskan dengan saponin dan diwarnai dengan propidium iodide dengan
volume yang sama, diinkubasi selama 15 menit
dilakukan pengenceran dengan
kosentrasi 0,1 % hematokrit dalam PBS dan diinkubasi selama 30 menit sebelum
dilakukan pengukuran.
43
DISKUSI DAN KESIMPULAN
Hasil pemeriksaan dengan flow cytometry menunjukkan bahwa paparan obat
artemisinin dengan konsentrasi IC50 (10-8 M) yang diamati 24 jam dan 48 jam dapat
memperlambat stadium perkembangan Plasmodium falciparum galur 3D7 dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang hasilnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
A
B
10.5 %
12.7 %
C
3.4 %
Gambar 1.
D
5.8%
Hasil Flow cytometry P.falciparum galur 3D7 yang disinkronisasi pada
kelompok kontrol (A dan B) dan setelah paparan artemisinin dengan
konsentrasi 10-8 M (C dan D) dalam waktu 24 jam menggunakan
pewarnaan propidium iodide
Pada gambar 1 hasil Flow cytometry P. falciparum galur 3D7 yang disinkronisasi
pada kelompok kontrol (A dan B) dan setelah paparan artemisinin dengan konsentrasi 1044
8
M (C dan D) dalam waktu 24 jam menggunakan pewarnaan propidium iodide secara
duplo. Propidium iodide suatu pewarna DNA yang digunakan untuk menunjukkan
eritrosit yang terinfeksi parasit, karena pewarna ini dapat masuk dalam DNA parasit
yang menunjukkan parasitemia yang dapat diamati. Pada penelitian ini kelompok kontrol
(A dan B) menunjukkan parasitemia sekitar 12.7 % dan 10.5 % sedangkan pada
kelompok perlakuan paparan artemisinin dengan konsentrasi 10-8 M (C dan D)
parasitemia lebih rendah 3.4
% dan 5.8 %. Hal ini menunjukkan bahwa paparan
artemisinin dapat menurunkan persentase parasitemia.
A
23.7%
23.1 %
B
26.3 %
C
18.1 %
D
Gambar 2. Hasil Flow cytometry P.falciparum galur 3D7 yang disinkronisasi pada
kelompok kontrol (A dan B) dan setelah paparan artemisinin dengan
konsentrasi 10-8 M (C dan D) dalam waktu 48 jam menggunakan
pewarnaan propidium iodide
45
Pada gambar 2. Hasil Flow cytometry P.falciparum galur 3D7 yang disinkronisasi
pada kelompok kontrol (A dan B) dan setelah paparan artemisinin dengan konsentrasi
10-8 M (C dan D) dalam waktu 48 jam menggunakan pewarnaan propidium iodide
menunjukkan parasitemia sekitar 23.7 % dan 26.3 % sedangkan pada kelompok
perlakuan paparan artemisinin dengan konsentrasi 10-8 M (C dan D) parasitemia lebih
rendah 23.1 % dan 18.1%. Hal ini menunjukkan bahwa paparan artemisinin dapat
menurunkan
persentase parasitemia.
Paparan artemisinin menyebabkan tingkat
parasitemia menurun. Hal ini menunjukkan bahwa artemisinin dapat menghambat
pertumbuhan parasit malaria pada kelompok perlakuan yang diberi artemisinin pada
P.falciparum galur 3D7. Penelitian yang dilakukan oleh Teuscher et al. (2012) pada P.
falciparum galur W2 dan W2AL80 juga menunjukkan penurunan parasitemia hingga
tinggal 1 % sampai 8 hari setelah pemberian obat dan setelah 8 hari mulai menunjukkan
peningkatan parasitemia yang akan mencapai lebih dari 10 % setelah hari ke 12.
Penurunan parasitemia karena paparan artemisinin pada P.falciparum galur 3D7 karena
artemisinin dapat menyebabkan kematian parasit, gangguan pada stadium perkembangan
dan morfologi parasit sehingga menyebabkan perlambatan pada pertumbuhan parasit.
Kematian parasit akibat paparan artemisinin setelah inkubasi 24 dan 48 jam disebabkan
oleh efek artemisinin terhadap Plasmodium yang diawali dengan dihasilkan radikal
oksigen sebagai penyusun radikal bebas karbon (carbon center radical) yang akan
mengalkilasi molekul heme dan mempengaruhi detoksifikasinya (O’Neill et al., 2004 ;
Ding et al., 2011). Ikatan heme-artemisinin dapat menghambat proses polimerisasi heme,
sehingga pelepasan heme yang toksik menyebabkan kematian dari parasit malaria
(Kannan et al., 2002). Artemisinin hybrid (Artemisinin dipeptydil vinyl solfon hybrid)
46
juga dapat menghambat falcipain, famili papain protease sistein yang membantu dalam
pemecahan hemoglobin menjadi globin yang selanjutnya menjadi peptida (oligo
peptidase) dan heme. Proses hidrólisis hemoglobin yang berperan penting dalam siklus
hidup parasit malaria sebagai nutrisi parasit sehingga hambatan artemisinin pada protease
(plasmepsin, falcipain dan falcilisin) menyebabkan proses penguraian hemoglobin
menjadi terganggu dan asam amino tidak terbentuk sehingga menyebabkan kematian
parasit atau perlambatan pada pertumbuhan parasit (Na et al., 2004). Lisisnya eritrosit
sehingga letak trofosoit berada diluar eritrosit yang menunjukkan kematian parasit telah
dilaporkan oleh Salmon et al, (2001).
Artemisinin
dapat menginaktifasi fungsi
mitokondria bergantung pada produksi Reactive Oxygen Species (ROS) atau radikal
bebas. Adanya gangguan pada Electron Transport Chain (ETC) mitokondria melalui
penghambatan dari elektron donor NADPH dehidrogenase. Electron Transport Chain
mitokondria
Plasmodium
secara
langsung
mengaktifasi
artemisinin
sehingga
menimbulkan akumulasi dari ROS yang akan menginduksi depolarisasi membran
mitokondria yang menyebabkan disfungsi mitokondria akhirnya menyebabkan kematian
parasit
(Wang, 2010). Artemisinin juga dapat menghambat SERCA dengan
menginduksi pelepasan kalsium kedalam sitosol dari simpanan intraseluler endoplasmic
reticulum melalui penghambatan pada PfATPase6. PfATPase6 sangat penting untuk
homeostasis kalsium P.falciparum. Siknaling Ca2+ melalui second messenger IP3 yang
terlibat dalam perkembangan dari siklus sel parasit. Kalsium (Ca2+) juga sangat penting
untuk mengontrol fungsi sel, termasuk proliferasi, maturasi, pembelahan sel dan
deferensiasi sel (Varroti et al., 2003; Gazarini et al.,2007).
47
Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa artemisinin
mempunyai efek
parasitostatik pada perkembangan P.falciparum galur 3D7 stadium intraeritrositik in
vitro. Lebih lanjut saran dari penelitian adalah (1) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
pada tataran proteomik untuk mengetahui profil protein akibat paparan artemisinin pada
P.falciparum P.falciparum galur 3D7 in vitro, (2) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
pada level transkripsi gen (mRNA) akibat paparan artemisinin pada P. falciparum galur
3D7 in vitro, (3) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut gambaran ultrastruktur target
obat akibat paparan artemisinin pada P. falciparum galur 3D7 in vitro.
DAFTAR PUSTAKA
Afonso A, Hunt P, Cheesman S, Alves AC, Cunha CV, Do Rosario V, and Cravo P,
2006. Malaria parasites can develop stable resistance to artemisinin but lack
mutations in candidate genes atp6 (encoding the sarcoplasmic and endoplasmic
reticulum Ca2+ ATPase) tctp, mdr1 and cg10. Antimicrobial Agents And
Chemotherapy. 50 (2) : 480-489
Dahlstrom S, Veiga MI, Ferreira P, Martensson A, Kaneko A, Anderson B, Bjorkman A,
Gil JP. 2008. Diversity of the sarco/endoplasmic reticulum Ca(2+) ATPase6
orthologue of Plasmodium falciparum (PfATP6).Infect Genet6 Evol . 8:340-345
Ding XC, Beck HP and Raso G, 2011. Plasmodium sensitivity to artemisinins: magic
bullets hit elusive targets. Trends in Parasitology.27(2): 73-81
Dondrorp AM, Nosten F, YiP, Das D, Phyo AP, Taming J, Twin KM, Ariey F,
Hanpithakponh W, Lee SJ, 2009. Artemisinin resistance in Plasmodium falciparum
malaria. N Engl J. Med. 361: 455-467
Gazarini ML, Sigolo CAO, Markus RP,Thomas AP,Garcia CRS. 2007. Antimalarial
drugs disrupt ion homeostasis in malarial parasit.Mem Ist Oswaldo Cruz, Rio de
Janeiro 102(3). 329-334.
Kannan R, Kumar K, Sahal D, Kukreti S, Chauhan VS, 2005. Reaction of artemisinin
with hemoglobin : Implication for antimlarial activity. Biochem J. 385 : 409-418.
48
Na BK, Shenai BR, Sijwali PS, Choe Y, Pandey KC, Singh A, Craik CS and Rosental PJ,
2004. Identification and biochemical characterization of vivapains, systeine
protease of malaria parasit Plasmodium vivax. Biochemistry 378 : 529-538.
Noedl H, seY, Schaecher K. et al. 2008. Evidence of artemisinin resisntant malaria in
Western Cambodia. N. Engl J. Med 359 (24) : 2619-2620.
O’Neill PM, Posner GH, 2004. A medicinal chemistry perspective on artemisinin and
related endoperoxide. J. Med Chem. 47: 2945-2964
Salmon BL,Oksman A, Goldberg DE, 2001. Malaria parasite exit from host erythrocyte:
A two–step process requiring extraerythrocytic proteolysis. Proceed National Acad
of Sci (PNAS) 98 (1): 271-276.
Schuster FL, 2002. Cultivation of Plasmodium spp. Clinical Microbiology Review
July. 355-364
Teuscher F, Chen N, Kyle DE, GattonML, Cheng Q. 2012. Phenotypic changes in
artemisinin resistant Plasmodium falciparum lineIn Vitro: Evidence for decreased
sensitivity to dormancy and growth inhibition. Antimicrobial agent and
Chemotherapy: 56 (1) : 428-431.
Trager W and Jensen JB, 1976. Human malaria parasites in continuous culture. Science
193: 673-675
Varotti FP, Beraldo FH, Gazarini MI, Garcia CRS, 2003. P.falciparum malaria parasites
display a THG sensitive Ca2+ pool. Cell Calcium 33:137-144
Wang J, 2010. Artemisinin directly targets malarial mitochondria through its specific
mitochondrial activation. Plos One 5 : e9582
Wongsrichanalai C and Meshnick SR, 2008. Declining artesunat-mefloquine efficacy
against falciparum malaria on Cambodia-Thailand Border. Emerging Infectious
Diseases 4 (5) : 716-718.
49
Download