PERLINDUNGAN ANAK DALAM KONFLIK PERANG: ANALISA

advertisement
M. Syafi’ie
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
PERLINDUNGAN ANAK DALAM KONFLIK PERANG:
ANALISA HUKUM HUMANITER
Oleh:
M. Syafi’ie, S.H
Peneliti PUSHAM UII
Mahasiswa Magister Fakultas Hukum UII
Alamat :
Jeruk Legi, RT 13, RW 35, Gang Bakung No. 157A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta
Email : [email protected]
Abstrak
Age children are sacred. They are the future assets. But the conflict has always made
them as victims. One of the children who drowned in the darkness of future war is a
conflict. We witnessed how cruel conflict in Palestine-Israel war, the war in Iraq, the
war in Yemen, War in the Congo, Conflict in Aceh, and several other areas. Thousands
of children have been victims. Some are dead, wounded, lost relatives, and or
disability. Their future is bleak. Therefore, the regulations, the children are always
privileged protection. Included in the Geneva Convention, which is an international
war rules. Children must be protected, and not involved in the conflict of war. If there
is a violation, then the appropriate parties involved need to be prosecuted and tried
according mikanisme fair trial. One of the trial is the International Criminal Court
(ICC).
Kata Kunci: Hukum Humaniter Internasional, Konflik Perang, Anak
PENDAHULUAN
Kita
selalu
sedih
ketika
mendengar atau melihat kecamuk
peperangan dan konflik bersenjata di
banyak
tempat.
Mayat-mayat
bergelimpangan, orang-orang terluka
dan berlumuran darah, rumah tempat
berteduh hancur porak poranda.
Kesedihan itu semakin bertambah
ketika melihat wajah lugu anak-anak
kecil yang tidak tahu apa-apa menjadi
korban peperangan dan konflik
bersenjata. Peperangan telah mejadi
medan
hilangnya
masa
depan
kemanusiaan mereka. Di antara
SPEKTRUM
mereka
ada
yang
meninggal,
kehilangan orang tua, saudara, kerabat
dan sahabat-sahabatnya. Kalaupun
mereka masihi hidup, mayoritas
mereka
dipastikan
mengalami
problematika berantai.
Salah satu yang sekarang lagi
ramai ialah konflik negara Palestina
dan Israel. Pertikaian yang berlarutlarut telah menyebabkan banyak
korban terutama anak-anak. Data
dalam konflik di penghujung tahun
2008 saja sekitar 700 gempuran Israel
di Gaza telah menyebabkan 75 anakanak meninggal, 436 warga Palestina
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
tewas, dan sedikitnya 2.290 orang
cedera.
Organisasi
kemanusiaan
mendata bahwa anak-anak korban
perang di Palestina-Israel mencatat,
sejak 29 September 2000, ketika
intifada Palestina meletus, hingga 1
Mei 2012, setidaknya terdapat 1.477
anak Palestina dan 129 dari Israel di
bawah usia 18 tahun telah tewas.
Ribuan lainnya terluka, banyak yang
menderita cacat seumur hidup. 1
Apalagi kita tahu, konflik IsraelPalestina belum berhenti sampai
sekarang. Bahkan tahun-tahun terakhir
ini kita menyaksikan Israel dengan
kebiadabannya memblogade Gaza dan
menutup semua akses bantuan
kemanusiaan internasional. Blogade
tersebut berdampak kelaparan rakyat
Palestina dan ribuan anak-anak.
Selain itu kita melihat bagaimana
anak-anak pasca perang di Irak.
Berdasarkan data UNICEF pada tahun
2007, sedikitnya 2 juta anak-anak Irak
hidup dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan, mulai dari busung
lapar,
kekuarangan
gizi,
sakit,
mengalami
kekerasan
hingga
minimnya fasilitas pendidikan. Setiap
bulannya, rata-rata 25 ribu anak-anak
Irak terpaksa harus meninggalkan
tempat tinggal mereka. bahkan akibat
penggunaan senjata non konvensional
AS
ketika
perang
Irak
telah
mangakibatkan
aneka
penyakit
kanker. Penyakit kanker di Irak
jumlahnya 7 hingga 10 kali lebih
banyak dibandingkan dengan penyakit
ini di dunia lainnya. Sekitar 67% bayi
1
http://internasional.kompas.com/read/2012/11/1
9/13043985/Ingat.1.477.Bocah.Palestina.Telah.
Tewas. Diakses pada 11 Januari 2013
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
Irak lahir tidak sehat. Mayoritas
mereka mengidap berbagai penyakit
mulai dari masalah darah, pernafasan,
ginjal,
hati,
hancurnya
sistem
kekebalan tubuh, keguguran yang
berulang kali, terganggunya sistem
syaraf dan persendian. Penyakit
diperkirakan akan berpindah dari satu
generasi ke generasi selanjutnya.
Juga konflik di Yaman, lebih dari
100.000 orang di negara ini mayoritas
adalah anak-anak. Mereka terpaksa
meninggalkan rumah mereka akibat
berkobarnya
pertempuran
antara
pasukan pemerintah dan gerilyawan
Syiah. Konflik di Afganistan juga besar
sebagaimana laporan PBB disebutkan
bahwa sekitar 346 anak-anak menjadi
korban aksi-aksi kekerasan sepanjang
tahun 2009 dan kebanyakan dari
mereka adalah korban operasi militer
yang dilakukan pasukan koalisi asing.
Bahkan serangan udara pasukan
NATO telah menyerang membabi buta
dan sekitar 131 orang meninggal, 22
anak menjadi korban operasi pencarian
dan penyerbuan yang dilakukan
Pasukan Khusus dan 128 anak tewas
oleh
serangan
yang
dilakukan
kelompok-kelompok anti pemerintah
seperti serangan bom bunuh diri dan
pembunuhan.
Selain itu di negara yang tercatat
aktif mengeksploitasi anak ialah
negara ripublik Demokratik Kongo
(RDK). Negara ini tercatat sebagai
salah satu negara yang menjadikan
tentara anak-anak dalam peperangan
maupun konflik-konflik internalnya.
Di Puncak peperangan UNICEF
mencatat sekitar 30. 000 anak-anak
ikut bertempur atau hidup sebagai
bagian dari tentara ataupun kelompok
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
milisi. Sekitar 30 – 40% yang terlibat
dalam
kelompok
atau
tentara
bersenjata RDK ialah berjenis kelamin
perempuan. Anak-anak itu tidak
hanya dijadikan tentara tetapi juga
sebagai kurir, pembawa barang,
safeguards,
mata-mata
dan
juga
dijadikan sebagai budak seks. 2 Selain
di Kongo masih ada negara lainnya
seperti Somalia, Myanmar, Filipina,
Kolombia, Sudan dan Uganda.3
Di Indonesia korban anak-anak
akibat konflik juga tidak kalah dengan
negara-negara bertikai di atas. Konflik
di Aceh, perang di Papua tahun 2002,
konflik Sampit dan Tim-Tim telah
menyebabkan
ratusan
anak-anak
terlantar
dan
terpisah
dari
keluarganya. Data akibat konflik
perang Papua tahun 2002, ratusan
anak-anak telah diungsikan oleh TNI
di beberapa tempat seperti Jombang,
Ciputat dan Tangerang. Kondisi
mereka sangat menyedihkan saat ini.
Akibat hidup terlantar dan tidak
beresnya tanggungjawab pemerintah
akhirnya selama 7 tahun mereka
terpaksa menjadi pencuri, pengemis
serta pemulung untuk bertahan
hidup.4
Berbagai peperangan dan konflik
di beberapa negara dalam dua
dasawarsa terakhir dilaporkan bahwa
ratusan juta anak hidup dalam
penderitaan dan mayoritas dari
Prawindya Puspita, Tentara Anak
dalam Konflik di Kongo, Jurnal Dinamika HAM,
Pusham Universitas Surabaya, 2009
3 Lihat Kompas, 18 Juni 2010
4
Lihat
di
http://tangerangonline.com/berita/headline/200
9/11/16/anak korban perang papua 2002
masih terlantar di Jombang. Diakses pada 20
Juli 2012
2
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
mereka tewas ketika berlangsung
kecamuk peperangan. Sebagaimana
laporan UNICEF tahun 1996, Perang
Dunia I korban sipil dicatatkan sebesar
14%, Perang Dunia II naik hingga 70%
dan pada tahun 1990-an korban perang
dari warga sipil dan didalamnya
termasuk anak-anak naik pesat
mencapai 90%. Data ini sungguh
mencengangkan betapa peperangan
dan konflik bersenjata bukanlah
konflik biasa tetapi di dalamnya penuh
dengan kekerasan dan hukum yang
tidak
berfungsi.
Perang
telah
menghanguskan
masa
depan
kemanusiaan anak-anak.
Berangkat dari latar belakang di
atas, tulisan ini ingin menjawab
pertanyaan
berikut,
pertama,
bagaimana sebenarnya definisi, tujuan,
asas dan prinsip hukum humaniter.
Kedua, bagaimanakah relasi antara
hukum humaniter dengan hak asasi
manusia.
Ketiga,
bagaimana
perlindungan
hukum
humaniter
terhadap anak-anak dan kelompok
sipil lainnya yang tidak terlibat dalam
peperangan.
Keempat,
bagaimana
penegakan hukum humaniter yang
didalamnya terdapat sanksi bagi
pelanggar
ketentuan
hukum
humaniter dan lembaga-lembaga apa
yang akan memberikan sanksi?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting
dijawab untuk menjawab keraguan
banyak pihak soal semakin tidak
terkontrolnya perang yang terjadi
dalam dasawarsa terakhir.
PEMBAHASAN
Definisi Hukum Humaniter
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
Secara historis hukum humaniter
sebelumnya dikenal dengan hukum
perang (laws of war). Setelah itu
berkembang menjadi hukum sengketa
bersenjata (laws of arms conflict), sampai
akhirnya dikenal dengan istilah
hukum
humaniter
(International
Humanitarian Law Applicable in Armed
Conflict). Hukum humaniter dalam
kepustakaan hukum internasional
merupakan istilah relatif baru karena
baru muncul sekitar tahun 1970-an
setelah terselenggaranya Conference of
Government Expert on the Reaffirmation
and Development in Armed Conflict pada
tahun 1971.
Banyak
intelektual
yang
berpendapat berbeda mendefinisikan
hukum
humaniter
walaupun
substansinya sama. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja hukum humaniter
ialah bagian hukum yang mengatur
ketentuan-ketentuan
perlindungan
korban perang, berlainan dengan
hukum perang yang mengatur perang
itu sendiri dan segala sesuatu yang
menyangkut cara melakukan perang
itu sendiri. Sedangkan S.R Sianturi
menyebutkan
bahwa
hukum
humaniter
ialah
hukum
yang
mengatur mengenai satu sengketa
bersenjata yang timbul antara dua atau
lebih pihak-pihak yang bersengketa,
walaupun keadaan sengketa tersebut
tidak diakui oleh salah satu pihak.
Panitia tetap hukum humaniter
Departemen hukum dan PerundangUndangan
merumuskan
hukum
humaniter sebagai aturan yang
meliputi keseluruhan asas, kaedah dan
ketentuan internasional, baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang mencakup
hukum perang dan hak asasi manusia,
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
bertujuan
untuk
menjamin
penghormatan terhadap harkat dan
martabat seseorang. Berangkat dari
pemikiran di atas maka hukum
humaniter bisa dikatakan sebagai
seperangkat aturan yang, karena
alasan kemanusiaan dibuat untuk
membatasi
akibat-akibat
dari
pertikaian senjata. Hukum humaniter
melindungi mereka yang tidak atau
tidak lagi terlibat dalam pertikaian,
dan membatasi cara-cara dan metode
berperang.5
Tujuan Hukum Humaniter
Keberadaan hukum humaniter
tidak dimaksudkan untuk meniadakan
peperangan ataupun konflik bersenjata
yang terjadi di banyak negara. Perang
dan konflik bersenjata pasti akan selalu
hadir sebagai akibat pertentangan dan
dialektika politik negara dengan
negara, rakyat dengan negara ataupun
rakyat dengan rakyat sendiri. Perang
dan konflik bersenjata seperti akan
menjadi takdir yang tidak akan
berhenti berkobar. Karena itulah,
hukum humaniter dibentuk yang
bertujuan untuk memanusiawikan
perang dan konflik bersenjata. Hukum
humaniter menjadi pijakan bagaimana
suatu
perang
ataupun
konflik
bersenjata bisa dilakukan dengan
memperhatikan terhadap asas-asas
dan prinsip kemanusiaan.
Secara historis perkembangan
hukum perang yang kemudian
menjadi hukum sengketa bersenjata
sampai akhirnya menjadi hukum
humaniter sebenarnya tidak terlepas
dari tujuan yang hendak dicapai oleh
Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter
dan Hak Asasi Manusia, Elsam, Jakarta, 2005
5
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
hukum
humaniter
diantaranya,
pertama, hukum humaniter ingin
memberikan perlindungan terhadap
kombatan maupun penduduk sipil
dari penderitaan yang tidak perlu
(unnecessary suffering). Kedua, hukum
humaniter ingin menjamin hak asasi
manusia yang sangat fundamental bagi
mereka yang jatuh ke tangan musuh.
Kombatan yang jatuh ke tangan
musuh harus dilindungi dan dirawat
serta berhak diperlakukan sebagai
tawanan perang. Sedangkan tujuan
yang ketiga ialah hukum humaniter
ingin mencegah dilakukannya perang
secara kejam tanpa mengenal batas.6
Membaca dari beberapa tujuan di
atas
maka
keberadaan
hukum
humaniter sekali lagi tidak bisa
menghapuskan terhadap keberadaan
perang ataupun konflik bersenjata.
hukum humaniter sebatas menjadi
rambu-rambu
bagaimana
situasi
perang dan konflik bersenjata tidak
membabi
buta
dan
membumi
hanguskan setiap manusia yang ada
dalam
arena
perang.
Hukum
humaniter mengatur siapa dan apa
yang
dapat
diperangi
dan
dihancurkan, termasuk mengatur juga
siapa dan apa yang harus dilindungi
dan tidak boleh dihancurkan.
Asas-asas Hukum Humaniter
Dalam situasi perang dan konflik
bersenjata satu hal yang tidak boleh
dilupakan dari para pihak bertikai
ialah bahwa mereka harus taat pada
asas-asas dan prinsip dalam perang.
Secara umum para pakar hukum
humaniter
berpendapat
bahwa
pembentukan
hukum
humaniter
6
Ibid, hlm 7
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
dibangun dengan asas-asas yang
kemudian menjadi prinsip dari
pemberlakuan hukum humaniter di
dunia. Asas-asas itu meliputi yaitu ;7
Pertama, asas kepentingan militer
(militer necessity). Asas ini menegaskan
bahwa para pihak yang berperang
harus menentukan kekuatan yang
diperlukan untuk menaklukan musuh
dalam
waktu
yang
sesingkatsingkatnya dengan menekan biaya
yang
serendah-rendahnya
dan
mendorong korban yang sekecilkecilnya. Walaupun di satu sisi asas ini
tidak melarang hak para pihak yang
berperang untuk memiliki alat atau
senjata untuk menaklukan musuh
karena itu ialah hak yang tidak tak
terbatas.
Kedua,
asas
kemanusiaan
(humanity). Asas ini menegaskan
pelarangan penggunaan semua macam
atau tingkat kekerasan (violence) yang
tidak diperlukan untuk mencapai
tujuan perang. Orang-orang yang luka
atau sakit, serta mereka yang telah
menjadi tawanan perang, tidak lagi
merupakan ancaman, dan oleh karena
itu mereka harus dirawat dan
dilindungi. Termasuk perlindungan
prinsip dalam asas ini ialah para
penduduk sipil yang tidak turut serta
dalam konflik mereka harus dilindungi
dari akibat perang dan tidak boleh
diserang.
Ketiga, asas kesatriaan (chivalry).
Asas ini menegaskan tentang prinsip
tidak membenarkannya pemakaian
alat atau senjata dan cara berperang
yang
dilakukan
dengan
tidak
terhormat. Prinsip ini merupakan
pelajaran historis dari sifat-sifat
7
Ibid , hlm 12
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
ksatriaan yang dijunjung tinggi oleh
para ksatria pada masa silam. Asas ini
seakan menjadi hukum kebiasaan
hukum perang internasional dimana
perang sekedar bertujuan untuk
melumpuhkan musuh tidak untuk
menghancurkannya secara total.
Keempat,
asas
pembedaan
(distinction). Asas ini menegaskan
tentang satu prinsip atau asas yang
membedakan
atau
membagi
penduduk dari suatu negara yang
sedang berlangsung perang atau
sedang
terlibat
dalam
konflik
bersenjata ke dalam dua golongan.
Pertama
golongan
kombatan
(combatan) dan kedua penduduk sipil
(civilian). Kombatan adalah golongan
penduduk yang secara aktif turut serta
dalam
permusuhan
(hostilities),
sedangkan penduduk sipil adalah
golongan penduduk yang tidak turut
serta dalam permusuhan. Perlunya
prinsip pembedaan ini adalah untuk
mengetahui
mana
yang
boleh
dijadikan
sasaran
atau
obyek
kekerasan dan mana yang tidak boleh
dijadikan obyek kekerasan.
Prinsip
pembedaan
diatas
kemudian
dijabarkan
secara
operasional meliputi, pertama, bahwa
para pihak yang bersengketa setiap
saat wajib membedakan
antara
kombatan dan penduduk sipil guna
menyelamatkan penduduk sipil dan
obyek-obyek sipil. Kedua, penduduk
sipil baik itu perorangan atau
berkerumun tidak boleh dijadikan
obyek serangan walaupun dalam
kondisi pembalasan (reprisals). Ketiga,
tindakan maupun ancaman kekerasan
yang
tujuan
utamanya
untuk
menyebarkan
teror
terhadap
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
penduduk sipil sangat dilarang.
Keempat, para pihak yang bersengketa
harus mengambil segala langkah
pencegahan yang memungkinkan
untuk menyelamatkan penduduk sipil
atau, setidak-tidaknya untuk menekan
kerugian
atau
kerusakan
yang
ditimbulkan yang tidak disengaja
menjadi sangat kecil. Kelima, hanya
anggota angkatan bersenjata yang
berhak menyerang dan menahan
musuh.
Sedangkan asas yang kelima ialah
Rule of Engagement (ROE). Asas ini
menegaskan
prinsip
tentang
pentingnya
seorang
komandan
angkatan bersenjata untuk mengetahui
adanya suatu petunjuk yang memuat
hal-hal apa yang boleh dan apa yang
dapat ia lakukan apabila menghadapi
situasi yang gawat, terlebih lagi dalam
masa damai. Petunjuk atau pedoman
fundamental dipahami oleh para
komandan dalam semua tingkatan
agar dalam
menjalankan tugasnya
tidak
berbuat
hal-hal
yang
bertentangan
dengan
hukum.
Petunjuk itu meliputi unsur petunjuk
(objectives),
perintah (orders) dan
pembatasan
(restrainst).
Integrasi
ketiga petunjuk ini dalam istilah
angkatan bersenjata di negara-negara
barat dikenal sebagai
rules of
engagement (ROE).
Relasi Hukum Humaniter dengan
HAM
Membaca
terhadap
definisi,
tujuan dan asas-asas hukum humaniter
sebelumnya maka tidak susah untuk
mengkaitkan substansi pengaturan
hukum humaniter dengan muatan
perlindungan hak asasi manusia.
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
Kemanusiaan menjadi esensi dan
semangat
pengaturan
hukum
humaniter, karena itu
banyak
pengamat mengatakan bahwa hukum
humaniter
ialah
bermaksud
memanusiawikan perang ataupun
konflik bersenjata. Walaupun kalau
kita runut tidak akan ada sebenarnya
perang atau konflik bersenjata yang
manusiawi. Keduanya pasti menelan
korban, jiwa dan ataupun raga.
awalnya tidak ada pemikiran
bahwa ada relasi antara hukum
humaniter dengan hak asasi manusia.
Sebab keduanya mempunyai bidang
bahasan dan anasir masing-masing.
Kondisi ini bisa dibaca secara tekstual
dalam perumusan UDHR 1948 dan
Konvensi Jenewa tahun 1949; dalam
UDHR tidak menyinggung tentang
hak asasi manusia pada waktu
sengketa perang demikian juga dalam
Konvensi
Jenewa
tidak
ada
menyinggung soal hak asasi manusia.
Walaupun secara substansi UDHR
1948 dan Konvensi Jenewa 1949
sebenarnya telah memuat keterkaitan
nilai
dan
esensi
aturan-aturan
kemanusiaan dalam kerangka masingmasing.
Kesadaran masyarakat bahwa ada
hubungan antara hukum humaniter
dan hak asasi manusia terjadi sekitar
tahun 1960-an. Kesadaran itu muncul
setelah diawali oleh berbagai peristiwa
sengketa bersenjata seperti perang
kemerdekaan di Afrika dan di berbagai
negara lainnya yang menyebabkan
masalah-masalah
kemanusiaan.
Kesedaran
itu
menguat
setelah
pelaksanaan konferensi internasional
mengenai hak asasi manusia yang
diselenggarakan PBB di Teheran tahun
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
1968. Dalam konferensi itu secara
resmi dibangun jalinan antara Hak
Asasi Manusia dengan Hukum
Humaniter Internasional (HHI). Dalam
Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968
mengenai penghormatan HAM pada
waktu pertikaian bersenjata diminta
agar
konvensi-konvensi
tentang
pertikaian bersenjata diterapkan secara
lebih sempurna dan supaya disepakati
perjanjian baru mengenai hal ini.
Kandungan-kandungan
HAM
dalam hukum humaniter bisa dibaca
semisal dalam konvensi Jenewa yang
tidak hanya mengatur soal kewajibankewajiban bagi negara-negara yang
berkonflik tetapi juga mengatur hak
orang-perorangan sebagai pihak yang
harus diindungi. Bahkan keempat
Konvensi Jenewa 1949 menegaskan
bahwa tidak diperbolehkan negaranegara bertikai menolak hak-hak yang
diatur dalam konvensi. Apalagi dalam
Pasal 3 tentang ketentuan yang
bersamaan pada Keempat Konvensi
Jenewa mewajibkan setiap negara
peserta untuk menghormati peraturanperaturan dasar kemanusiaan pada
sengketa bersenjata yang tidak bersifat
internasional. Pasal 3 ini mengatur
hubungan antara pemerintah dengan
warga negaranya yang mencakup
bidang tradisional dari hak asasi
manusia.
Dalam konvensi yang lain juga
diatur semisal dalam Konvensi Eropa
tahun 1950 pasal 15 menyatakan
bahwa apabila terjadi perang atau
bahaya
umum
lainnya
yang
mengancam stabilitas nasional, hakhak berikut tidak boleh dilanggar
melioputi
hak
atas
kehidupan,
kebebasan, integritas fisik, status
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
sebagai subyek hukum, kepribadian,
perlakuan tanpa diskriminasi dan hak
atas keamanan. Ketentuan ini terdapat
juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB
mengenai hak-hak sipil dan politik dan
Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain hak-hak tertulis di atas juga
terdapat beberapa hak yang tidak
boleh dicabut ataupun dikurangi (non
derogable right) dalam masa perang
ataupun damai yaitu hak hidup, hak
non diskriminasi, larangan penyiksaan
(torture), larangan berlaku surutnya
hukum pidana seperti yang ditetapkan
dalam konvensi sipil dan politik, hak
untuk tidak dipenjarakan karena
ketidakmampuan
melaksanakan
ketentuan
perjanjian
(kontrak),
perbudakanb(slavery),
perhambaan
(servitude), larangan penyimpangan
berkaitan dengan dengan penawanan,
pengakuan seseorang sebagai subyek
hukum,
kebebasan
berpendapat,
keyakinan dan agama, larangan
penjatuhan hukum tanpa putusan
yang dimumkan lebih dahulu oleh
pengadilan yang lazim, larangan
menjatuhkan hukuman mati dan
melaksanakan eksekusi dalam keadaan
yang ditetapkan pada Pasal 3 ayat (1)
huruf (d) yang bersamaan pada
keempat Konvensi Jenewa.8
Pasal di atas membebankan
kewajiban kepada para pihak bertikai
(peserta agung) untuk tetap menjamin
perlindungan
kepada
orangperorangan dengan mengesampingkan
status belligerent menurut hukum atau
sifat dari pertikaian yang terjadi.
Unsur-unsur
perlindungan
kemanusiaan harus dijamin dalam
situasi dan kondisi perang dan
8
Ibid, hlm 8
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
ataupun konflik bersenjata. Walaupun
demikian secara umum ada beberapa
pemikiran yang melihat relasi antara
hukum humaniter dengan hak asasi
manusia, yaitu meliputi ;9
Pertama,
aliran
integrationis
berpendapat bahwa sistem hukum
yang satu berasal dari hukum yang
lain. Pendapat ini berarti pertama
bahwa hak asasi manusia menjadi
dasar
bagi
hukum
humaniter
internasional, dalam arti bahwa
hukum humaniter merupakan cabang
dari hak asasi manusia. Pendapat ini
antara lain dianut oleh Robertson,
yang menyatakan bahwa hak asasi
manusia merupakan hak dasar bagi
setiap orang, setiap waktu dan berlaku
di segala tempat. Kedua, hukum
Humaniter Internasional merupakan
dasar dari Hak Asasi Manusia yang
berarti bahwa hak asasi
manusia
merupakan bagian dari hukum
humaniter. Pendapat ini didasarkan
pada alasan bahwa hukum humaniter
lahir lebih dahulu daripada hak-hak
asasi manusia.
Kedua, aliran separatis. Kelompok
ini berpendapat bahwa hak asasi
manusia dan hukum humaniter
internasional sebagai sistem hukum
yang sama sekali tidak berkaitan.
Keduanya berbeda dalam obyek, sifat
dan masa berlakunya. Pertama,
berbeda obyeknya. Hukum Humaniter
Internasional
mengatur
sengketa
bersenjata antara negara dengan
kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya
hak asasi manusia mengatur hubungan
antara pemerintah dengan warga
negaranya di dalam negara tersebut.
Kedua, berbeda sifatnya. Hukum
9
Ibid, hlm 8-9
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
Humaniter
Internasional
bersifat
mandatory a political serta peremptory.
Sedangkan perbedan ketiga ialah saat
berlakuny.
Hukum
Humaniter
Internasional berlaku pada saat perang
atau
masa
sengketa
bersenjata,
sedangkan hak asasi manusia berlaku
pada saat damai.
Ketiga ialah aliran Komplementaris.
Aliran ini cenderung pada pendapat
aliran pertama yang melihat bahwa
hukum Hak Asasi Manusia dan
Hukum
Humaniter
Internasional
dinbagun dengan melalui proses yang
bertahap, berkembang sejajar dan
saling melengkapi. Salah seorang dari
penganut
teori
ini
adalah
Cologeropoulus. Ia menentang pendapat
aliran separatis yang dianggapnya
menentang kenyataan bahwa kedua
sistem hukum tersebut memiliki tujuan
yang sama, yakni perlindungan
pribadi orang. Hak asasi manusia
melindungi pribadi orang pada masa
damai, sedangkan hukum humaniter
memberikan perlindungan pada masa
perang atau sengketa bersenjata.
Mendasarkan pada tiga pendapat
di atas serta perkembangan mutaakhir
eksistensi
hukum
humaniter
internasional maka posisi relasi antara
hak asasi manusia dan hukum
humaniter keduanya saling berkaitan
dan bahkan cenderung tidak dapat
dipisahkan karena keduanya memuat
substansi
kemanusiaan
sebagai
muaranya.
Hukum
humaniter
mengatur substansi soal perlindungan
hak-hak asasi manusia baik kepada
mereka yang terlibat perang ataupun
tidak terlibat. Walaupun fokus obyek,
sifat dan masa berlakunya hukum
humaniter ditegakkan dalam situasi
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
perang, tetapi ruh pengaturannya
tidak bisa dilepaskan dari substansi
perlindungan hak asasi manusia.
Perlindungan Anak dalam Hukum
Humaniter
Dalam hukum internasional anakanak diklasifikasikan sebagai salah
satu kelompok rentan yang harus
diberlakukan
khusus
dalam
penegakan hukum internasional dan
nasional. 10 Dalam konteks terjadinya
perang dan berbagai konflik bersenjata
anak selalu menjadi korban bahkan
tidak sedikit dari mereka harus
menanggung kebiadaban militer di
saat berkecamuknya perang ataupun
konflik bersenjata di berbagai tempat.
Ilustrasi dalam pengantar di atas
menegaskan bagaimana anak-anak
selalu menjadi korban dari berbagai
kejahatan kemanusiaan perang dan
konflik bersenjata.
Dalam
hukum
humaniter
perlindungan terhadap anak-anak
dijamin cukup serius. Kita bisa
membacanya dalam beberapa pasal di
Konvensi
Jenewa
IV
tentang
Perlindungan Orang Sipil di Waktu
Perang. Pasal 17 menegaskan bahwa
10
Dalam
hukum
internasional
kelompok rentan itu meliputi, refugees,
internally displaced persons (IDPS), national
minorities, migrant workers, indigenous
peoples, children; dan women. Sedangkan
dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
Indonesia dalam penjelasannya disebutkan
bahwa kelompok rentan itu meliputi orang
lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita
hamil dan penyandang cacat. Lihat juga
Willen van Genugten J. M (Ed), Human
Rights Reference, Netherlands Ministry of
Foregn Affair, The Hague, 1994, hlm 73
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
para pihak dituntut untuk membuat
perjanjian
lokalistik
untuk
mengamankan zona yang nantinya
akan dilewati atau ditempati orangorang yang terluka akibat perang,
orang yang sakit, orang yang lemah,
para orang tua, anak-anak, persalinan,
para medis dan termasuk harus
mengamankan alat-alat medis dalam
perjalanannya menuju lokasi-lokasi
tempat berkumpulnya kelompok sipil
yang dilindungi di atas. Anak-anak
dilindungi secara khusus dalam pasal
ini sama seperti kelompok rentan
lainnya.
Dalam pasal 24 ditegaskan bahwa
anak-anak korban perang haruslah
dipermudah untuk diterima di negaranegara netral dan mereka harus
difasilitasi layaknya seperti anak yang
lainnya dalam segala situasi. Perang
ataupun konflik bersenjata tidak boleh
mengucilkan dan mendiskriminasi
posisi mereka. Pasal 38 (5) dalam
konvensi ini juga menegaskan bahwa
di masa damai, anak-anak yang
dibawah 15 tahun serta ibu hamil yang
mempunyai anak di bawah 7 tahun
haruslah
diberlakukan
secara
istimewa, mereka harus diberlakukan
sebagai warga negara sama seperti
pemenang perang.
Perlakuan khusus terhadap anak
juga ditegaskan dalam Protokol
Tambahan I Konvensi Jenewa 1949
tentang Perlindungan Korban Konflik
Bersenjata Internasional. Konvensi ini
menegasan secara serius bahwa para
pihak yang terlibat konflik harus setiap
saat membedakan antara subyek dan
obyek sipil dan kombatan. Para pihak
harus patuh pada asas rule of
engagement, satu asas yang menjadi
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
petujuk bagi para pihak yang bertikai
untuk menentukan siapa dan apa yang
harus dilindungi dan apa dan siapa
yang bisa diperangi. Para pihak
dilarang
membabi
buta
dalam
melakukan peperangan.
Pada protokol tambahan I dalam
pasal 77 juga ditegaskan secara jelas
bagaimana
perlindungan
dan
perlakuan khusus bagi anak-anak.
Dalam pasal ini dinyatakan bahwa
anak-anak
harus
diberikan
penghormatan yang khusus, mereka
harus dilindungi dari segala serangan
yang tidak senonoh dalam konflik
perang. Para pihak harus memberikan
perhatian khusus dan memberikan
segala bantuan untuk melindungi
keberadaan mereka. Dalam pasal ini
juga ditegaskan bahwa anak-anak
dibawah 15 tahun tidak boleh direkrut
untuk menjadi kombatan. Kalaupun
mereka terlibat dalam kombatan, para
pihak
harus
tetap
memberikan
perlindungan khusus kepada anakanak.
Pada Protokol Tambahan inipun
dalam pasal 78
juga mengatur
bagaimana perlindungan terhadap
anak-anak korban perang harus
dilakukan berkesinambungan dan
negara negara pihak harus melakukan
evaluasi terhadap situasi dan kondisi
hak anak terkait dengan pendidikan,
agama, moral bahkan mereka harus
difasilitasi untuk kembali kepada
famili dan keluarga mereka ketika
dalam situasi damai. Sehingga negara
pihak harus bertanggungjawab untuk
mendata secara obyektif identitas
anak-anak korban perang untuk
mempermudah bersatunya anak-anak
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
korban
perang
dengan
para
keluarganya.
Perlakuan khusus terhadap anakanakpun juga berlaku dalam konflik
bersenjata non internasional. Dalam
pasal 4 (3.3) Protokol Tambahan II
Konvensi
Jenewa
1949
tentang
Perlindungan Korban Non Konflik
Bersenjata Internasional menyatakan
bahwa anak-anak harus diberikan
perawatan dan bantuan yang mereka
butuhkan demi keselamatan mereka.
Dalam
konflik
bersenjata
non
internasional juga diatur bahwa anakanak yang masih dibawah 15 tahun
tidak diperbolehkan direkrut untuk
terlibat dalam permusuhan. Kalau
anak-anak
tetap
terlibat
dalam
permusuhan yang ada, status mereka
harus tetap diberlakukan istimewa,
anak-anak itu harus dilindungi dari
segala
serangan
yang
tidak
11
berprikemanusiaan.
Anak-anak
dalam
hukum
humaniter
diberlakukan
secara
istimewa.
Posisi
mereka
bagaimanapun
tidak
boleh
diberlakukan
secara
sewenangwenang
apalagi
ditembaki
dan
dibombardir secara membabi buta.
Apa yang sering kita saksikan dalam
11 Dalam
Konvensi Jenewa dan
Protokol tambahannya yang dimaksud anakanak ialah mereka yang dibawah umur 15
tahun, tetapi dalam aturan yang lain semisal
di Optional Protocol to the CRC dan
Konvensi ILO 182 tentang Pekerja AnakAnak, yang dimaksud anak-anak ialah
mereka yang umurnya di bawah 18 tahun.
Aturan dalam Optional to the CRC dan
Konvensi ILO inilah yang biasanya dijadikan
rujukan oleh UNICEF dan dianggap
menghapus terhadap aturan konvensi
Jenewa tentang batas minimum umur
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
peristiwa anak-anak di Palestina, anak
di Irak, anak di Yaman, Kongo, anakanak di Afganistan, anak-anak korban
perang di Papua, Aceh dan Tim-Tim,
jelas ialah fakta-fakta betapa para
pihak berkonflik tidak mengindahkan
sama sekali terhadap konvensikonvensi Jenewa. Tindakan Israel di
Gaza, tentara NATO di Afganistan
serta serangan tidak
manusiawi
tentara Amerika di Irak jelas adalah
bentuk pelanggaran hukum humaniter
internasional.
Instrumentasi
terhadap
perlindungan istimewa terhadap hakhak anak tidak hanya berhenti dalam
hukum humaniter saja tetapi pada
tahun 1974, Majelis Umum PBB juga
telah mengesahkan The Declaration on
the Protection of Women and Children in
Emergency and Armed Conflict (Res 3318
(XXIX)). Deklarasi ini memberikan
perlindungan kepada anak dan
perempuan dari segala serangan dan
pengeboman
yang
menggunakan
senjata kimia dan bakteri. Maka
dengan ini sudah sangat jelas bahwa
Dewan Keamanan PBB harusnya
bertindak dengan khusus
yang
dimilikinya seperti memberikan sanksi
kepada
negara-negara
yang
melakukan
kejahatan-kejahatan
kemanusiaan terhadap anak. Baik
sanksi ekonomi, memerangi negara
bersangkutan, ataupun mendirikan
pengadilan internasional seperti ICTY
dan ICTR untuk mengadili pelanggarpelanggar aturan hukum humaniter.
Penegakan hukum humaniter dan
resolusi PBB
tahun 1974 sangat
penting sehingga tidak terjadi lagi
kebiadaban-kebiadaban
terhadap
anak-anak
diberbagai
negara.
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
Sebagaimana dikatakan Melanie Gow
dalam The Right to Peace-Children and
Armed Conflict bahwa sudah sekitar 2
juta anak-anak terbunuh, 6 juta
mengalami luka seius atau cacat
permanen, 12 juta kehilangan rumah.
Selain itu 1 juta anak menjadi yatim
piatu atau terpisah dari otangtuanya,
10 juta menderita trauma psikologis
yang serius sebagai dampak perang,
300 ribu anak menjadi serdadu. Sekitar
90% korban perang adalah masyarakat
sipil, utamanya anak dan perempuan.
Separuh dari 21 juta pengungsi di
seluruh dunia adalah anak-anak, dan
setiap tahun antara 8.000 hingga 10.000
anak menjadi korban ranjau darat. 12
Perang dan konflik bersenjata
mutaakhir lebih parah lagi karena
perang tidak bisa dipisahkan lagi
dengan teknologi-teknologi modern.
Resiko anak-anak yang tidak tahu
menahu soal sosial politik terjadi lebih
gawat lagi. Anak-anak perempuan
juga
direkrut,
kendati
mereka
cenderung dipakai untuk memasak
atau bahkan 'melayani' serdadu di
basis.
Mereka
juga
seringkali
dipergunakan
dalam
berperang.
Misalnya,
bekas
serdadu
anak
(perempuan) Kolumbia yang direkrut
pada usia 13 tahun dan sudah biasa
menggunakan senapan AK-47, M-16,
R-15 juga Magnum 357. 13 Tentu ini
ialah satu kenyataan yang sangat tragis
dan biadab.
Penegakan Hukum Humaniter
Lihat
di
http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=AQ
FdUlpXVAZU. Diakses pada 21 Juli 2012
12
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
Hukum akan menjadi mati tanpa
ada proses penegakan. Dalam konteks
hukum humaniter bagi pelaku-pelaku
yang melanggar dan melakukan
kejahatan
perang maka dalam
konvensi Jenewa diatur bahwa negaranegara yang menandatangani konvensi
hukum
humaniter
mempunyai
kewajiban untuk
memeriksa dan
mengadili individu-individu yang
diduga
melakukan
pelanggaran
konvensi.
Negara
bahkan
berkewajiban untuk mencari tersangka
pelanggar konvensi dan membawanya
ke pengadilan untuk dilakukan
penegakan hukum, dimanapun warga
negaranya14.
Pelanggaran terhadap konvensi
Jenewa
merupakan
kejahatan
kemanusiaan yang serius. Karena
dalam konvensi ini sudah dengan jelas
siapa dan apa yang harus dilindungi
dan diperangi. Subyek dan obyek
perang diatur dengan tegas dalam
konvensi Jenewa. Karena itu pada
tahun 1949 ketika konvensi dibahas
dan diratifikasi banyak negara, mereka
sudah mempersiapkan pengadilannya
dalam
negeri
atau
dengan
mengekstradisi pelaku pelanggaran ke
negara-negara
pihak
yang
siap
mengadili.
Pasca perang dunia II selesai
banyak negara-negara yang mengadili
terhadap
pelanggar-pelanggar
kejahatan kemanusian sewaktu perang
dunia II yang dunia internasional saat
ini kenal dengan Nurenberg Tribunal
dan International Military Tribunal for
the Far East. Sedangkan pada tahun
1990-an telah diselenggarakan juga
Wahu Wagiman, hukum humaniter…
op. cit, hlm 28
14
13
Ibid
SPEKTRUM
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
pengadilan internasional Ad hoc yang
memeriksa dan mengadili pelakupelaku kejahatan kemanusiaan di
bekas negara Yugoslavia yang dikenal
ICTY dan kejahatan di Rwanda yang
pengadilan ad hocnya dikenal dengan
ICTR.15
Setelah dirumuskannya statu
roma dan dibentuknya pengadilan ICC
(International Criminal Court) pada
tahun 1998 dimana salah satu
kewenangannya ialah memeriksa dan
mengadili terhadap pelaku-pelaku
kejahatan perang baik pelanggarannya
berdimensi
sengketa
bersenjata
internasional
ataupun
sengketa
bersenjata non internasional. Dalam
statuta roma pasal 8 cukup tegas
bahwa ICC mempunyai yurisdiksi
dalam kasus tersebut khususnya
apabila kejahatan itu dilakukan
sebagai bagian dari satu rencana atau
kebijakan atau sebagai bagian dari
suatu pelaksanaan secara besarbesaran kejahatan perang tersebut.
Pelanggaran kejahatan perang
berarti meliputi pelanggaran berat
sebagaimana diatur dalam konvensi
Jenewa, pelanggaran serius lain
terhadap hukum dan kebiasaan yang
dapat diterapkan dalam sengketa
bersenjata internasional dan ataupun
sengketa bersenjata yang bukan
internasional
sebagaimana
diatur
dalam pasal 3 common article Konvensi
Jenewa. Maka dalam konteks ini
pelanggaran hukum perang dan atau
konflik
bersenjata
ke
depan
penyelesaiannya bisa lewat ICC setelah
Sefriani, Yurisdiksi ICC terhadap
Negara Non Anggota Statuta Roma, hlm, 318,
dalam Jurnal Hukum, Vol 14, Yogyakarta April
2007
15
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
ditemukannya unsur bahwa negara
yang terlibat konflik dianggap tidak
mau dan tidak mampu (an willing and
an able) untuk mengadili kasus-kasus
kejahatan kemanusiaan perang dalam
pengadilan HAM domestiknya.
Kesimpulan
Berangkat dari paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa sampai hari
ini terdapat banyak fakta kejahatan
kemanusiaan dalam perang dan
ataupun konflik bersenjata. Anak-anak
yang semestinya dilindung dan
diberlakukan secara khusus karena
dijamin dalam konvensi Jenewa,
protokol tambahan dan resolusi PBB
tetapi
kondisi
mereka
masih
memprihatinkan.
Kekerasan
dan
kejahatan kemanusiaan kepada mereka
kerapkali terjadi. Bahkan dalam
beberapa dasawarsa terakhir anak
yang menjadi korban perang dan
konflik bersenjata meningkat tajam.
Mereka
menjadi
korban
kesewenangan-wenangan
dan
pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam
hukum
humaniter
perlindungan hukum terhadap anakanak sangat jelas dalam konvensikonvensi Jenewa 1949 yang dilengkapi
dengan
protokol-protokol
tambahannya.
Termasuk,
perlindungan dari Majelis Umum PBB
yang mengeluarkan satu resolusi
tentang perlindungan terhadap anak
dan wanita dalam situasi perang dan
atau konflik bersenjata. Konvensi
Jenewa
dan
protokol-protokol
tambahannya mengatur dengan sangat
tegas perlindungan dan perlakuan
yang istimewa terhadap anak-anak
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
dan beberapa kelompok rentan korban
perang atau konflik bersenjata lainnya.
Tidak dibenarkan sama sekali
menjadikan anak-anak korban perang
dan konflik bersenjata diserang secara
membabi buta, tidak dibenarkan
menjadikan anak di bawah 15 tahun
direkrut dan dilibatkan dalam perang.
Kalau anak-anak tetap terlibat dalam
konflik permusuhan merekapun hasus
tetap dilindungi dan diberlakukan
secara istimewa. Bahkan mereka harus
dibantu demi perlindungan dan
pemenuhan hak-hak mereka baik
pendidikan, agama, moral dan hak
mereka untuk berkumpu bersama
keluarganya. Dalam hukum humaniter
berlaku
asas-asas
dan
batasan
kombatan dan non kombatan yang
menjadi pijakan aturan perang dan
konflik bersenjata.
Pelanggaran terhadap konvensi
Jenewa penyelesaiannya ialah lewat
pengadilan, sebab pengadilan ialah
salah satu tempat kepastian dan
keadilan
hukum.
Dalam
kasus
kejahatan
kemanusiaan
perang,
terdahulu
penyelesaiannya
lewat
pengadilan ad hoc seperti Nurenberg
Tribunal dan International Military
Tribunal for the Far East pada kasus
pelanggaran perang dunia II, bisa
lewat pengadilan ad hoc seperit ICTY di
Yugoslavia dan ICTR di Rwanda.
Untuk saat ini diselesaikan lewat
pengadilan tetap ICC setelah negara
yang berperang ataupun terlibat
konflik bersenjata dianggap tidak mau
dan tidak mampu (an willing dan an
able) untuk mengadili pelaku-pelaku
pelanggaran kejahatan kemanusiaan
perang dalam pengadilan
HAM
domestiknya.
SPEKTRUM
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
DAFTAR PUSTAKA :
Buku-Buku :
Asplund, Knut D., Suparman Marzuki
dan Eko Riyadi (Ed), Hukum Hak
Asasi Manusia, PUSHAM UII,
Yogyakarta, 2008
Alkostar, Artidjo, Pengadilan HAM,
Indonesia
dan
Peradaban,
PUSHAM UII, Yogyakarta, 2004
Baihaqi, MIF, Anak Indonesia Teraniaya
(Potret Buram Anak Bangsa), PT
Remaja Rosdakarya, Bandung,
1999
Donnely, Jack, Universal Human Rights
in Theory and Practice, Cornel
University Press, Ithaca and
London, 2003
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter,
ICRC, Jakarta, 1999.
Kusumaatmadja, Mochtar, S.H, LLM,
Konvensi-Konvensi Palang Merah
1949,Alumni, Bandung, 2002.
KGPH
Haryomataram,
Pengantar
Hukum
Humaniter,
Rajawali
Press, Jakarta, 2007
Muchtar,
Fachuddin, Situasi Anak
Yang Berkonflik Dengan Hukum di
Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Semarang, Samin dan Yayasan
SETARA, Yogyakarta, 2006
Nowak, Manfred, Pengantar pada Rezim
HAM Internasional, Pustaka Hak
Asasi
Manusia
Wallenberg
Institute, 2003
Pitaloka, Rieke Diah, Kekerasan Negara
Menular ke Masyarakat, Galang
Press, Yogyakarta, 2004
Purnianti dkk, Analisasi Situasi Sistem
Peradilan
Pidana
Anak
di
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
Indonesia, UNICEF Indonesia,
Tanpa Tahun
Prasetyohadi
dan
Savitri
Wisnuwadhani (Ed), Penegakan
Hak Asasi Manusia dalam 10
Tahun
Reformasi,
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia,
Jakarta, 2008
Robertson,
Geoffrey,
Kejahatan
Terhadap
Kemanusiaan
:
Perjuangan
untuk
MewujudkanKeadilan
Global,
Komnas HAM, Jakarta, 2002.
Riyadi,
Eko
(Ed.),
Mengurai
Kompleksitas Hak Asasi Manusia :
Kajian Multi Perspektif, PUSHAM
UII, Yogyakarta, 2007
Sefriani, Hukum Internasional : Suatu
Pengantar, Rajawali Press, Jakarta,
2010
Soeady, Sholeh dan Zulkhair, Dasar
Hukum Perlidungan Anak, CV
Novindo
Pustaka
Mandiri,
Jakarta, 2001
Simon, Mengenal ICC : Mahkamah
Pidana International, Koalisi
Masyarakat
Sipil
untuk
Mahkamah
Pidana
Internasional, 2009
Thamrin, M. Irsyad dan M. Farid,
Panduan Bantuan Hukum Bagi
Paralegal, LBH Yogyakarta dan
Tifa Foundation, Yogyakarta,
2010
Wagiman, Wahyu, Hukum Humaniter
dan Hak Asasi Manusia, Elsam,
Jakarta, 2005
Willen van Genugten J. M (Ed),
Human Rights Reference, Netherlands
Ministry of Foregn Affair, The Hague,
1994
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
http://tangerangonline.com/berita/head
line/2009/11/16/anak korban perang
papua 2002 masih terlantar di Jombang
http://www.infoanda.com/linksfollow.
php?lh=AQFdUlpXVAZU
http://indonesian.irib.ir/index.php?opti
on=com_content&task=view&id=28&It
emid=47
http://cetak.kompas.com/read/xml/200
9/01/08/00260816/anakanak.korban.perang
http://www.unisosdem.org/kliping_de
tail.php?aid=1645&coid=1&caid=53
-http://www.suaramedia.com
http://fahmihizza.blogspot.com/seperti
ga korban perang Israel
-http://www.eramuslim.com/bukan
taliban tapi anak-anak yang menjadi
korban NATO
-http://www.erabaru.net/opini/65opini/4330-gadis-prajurit-korbanperang-terabaikan
http://www.balitbangham.go.id/jurnaljurnal HAM
-Kompas, 18 Juni 2010
- Sefriani, Yurisdiksi ICC terhadap
Negara Non Anggota Statuta Roma,
Jurnal Hukum, Vol 14, Yogyakarta
April 2007
-Prawindya Puspita, Tentara Anak
dalam Konflik di Kongo, Jurnal
Dinamika HAM, Pusham Universitas
Surabaya, 2009
Website dan Jurnal :
SPEKTRUM
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
M. Syafi’ie
Perlindungan Anak
dalam Konflik Perang
Instrumen-Instrumen :
- Konvensi Jenewa I, II, III dan IV
tahun 1949
- Protokol Tambahan I, II dan III
Konvensi Jenewa
- Statuta Roma
- UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
- UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM
SPEKTRUM
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Download