BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menipisnya cadangan energi fosil di Indonesia dan kenyataan yang harus kita terima bahwa pemakaian energi berbahan dasar dari fosil telah menjadi salah satu penyebab terjadinya kelangkaan energi, maka sudah saatnya untuk menggalakkan pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan yang dimiliki. Indonesia memiliki potensi dan cadangan energi terbarukan yang besar, seperti tenaga matahari, panas bumi, dan air, termasuk lautan. Pada pengembangan energi terbarukan di Indonesia untuk menggantikan energi konvensional ditandai dengan banyak pengembangan energi alternatif untuk menggantikan energi konvensional, seperti: pembangunan PLTU, PLTS, dan PLTA yang menggantikan pembangkit listrik berasal dari bahan bakar minyak dan batu bara. Indonesia mengoptimalkan pengembangan sumber energi alternatif supaya mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi yang tak dapat diperbaharui (fosil). Pemanfaatan energi pada tahun 2012 masih relatif kecil dibandingkan dengan sumber-sumber energi berbasis fosil. Pemanfaatan energi terbarukan hanya 4,4%, batu bara 30,7%, minyak bumi 43,9%, dan gas bumi 21%. Melalui Peraturan Presiden Nomor 05 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) telah menetapkan target pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 17% dari total Bauran Energi Nasional (BEN) pada tahun 2025. Target ini 1 akan diperbaharui melalui penetapan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang telah disiapkan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dengan jumlah target pemanfaatan EBT ditetapkan sebesar 25% dari jumlah BEN di tahun 2025. Pemerintah mencanangkan 0,2 sampai 0,3 persen dalam keseluruhan energi nasional pada tahun 2025 berasal dari tenaga surya atau setara dengan 1.000 Megawatt peak (MWp). Artinya, perlu penambahan 65 Megawatt peak (MWp) per tahun.(www.ebtke.esdm.com). Indonesia menerima energi surya yang radiasi energi harian rata-rata per satuan luas per satuan waktu sebesar kira-kira 4,8 kilowatt/m2. Energi surya adalah salah satu sumber energi terbarukan yang melimpah, bebas polusi, dan dapat dieksplorasi secara optimal. Indonesia yang terletak di daerah tropis sangat cocok dan berpotensi dalam mengembangkan energi surya. Dalam pemanfaatan energi surya, perlu dikembangkan suatu teknologi yang mampu mengubah energi matahari menjadi energi yang diinginkan yakni energi listrik. Teknologi ini dikenal dengan istilah sel surya atau dalam dunia internasional lebih dikenal dengan solar cell atau photovoltaic. Sel surya adalah piranti untuk mengubah energi matahari menjadi energi listrik. Energi listrik tersebut diperoleh dari sel surya yang menerima cahaya langsung dari matahari dan memunculkan efek fotovoltaik. Efek fotovoltaik pertama kali ditemukan oleh Edmond Becquerel pada tahun 1839. Pada tahun 1912 Einstein menjelaskan secara teori mekanisme fenomena tersebut namun hanya sebatas eksperimen di laboratorium. 2 Teknologi sel surya telah mengubah cara pandang manusia terhadap energi dan memberi solusi baru bagi manusia untuk memperoleh energi listrik tanpa perlu membakar bahan bakar fosil sebagaimana pada minyak bumi, gas alam, dan batu bara serta tidak pula dengan menempuh jalan reaksi fisi nuklir. Berkembangnya teknologi sel surya ini tidak terlepas dari kemajuan teknologi semikonduktor. Pada dasarnya sel surya merupakan persambungan antara semikonduktor tipe-p dan semikonduktor tipe-n. Penelitian dan pengembangan sel surya terbagi menjadi 3 (tiga) generasi (Brian Yuliarto, 2007: 1-4). Generasi pertama sel surya yang berhasil dikembangkan adalah jenis wafer. Jenis wafer yang pertama adalah wafer silikon kristal tunggal. Dalam perkembangannya, jenis ini mampu menghasilkan efisiensi yang sangat tinggi. Masalah terbesar yang dihadapi dalam pengembangan silikon kristal tunggal untuk dapat diproduksi secara komersial adalah harga yang sangat tinggi sehingga membuat panel sel surya menjadi tidak efisien sebagai sumber energi alternatif. Jenis sel surya yang kedua adalah wafer silikon polikristal. Jenis sel surya ini memiliki harga pembuatan yang lebih murah meskipun tingkat efisiensinya lebih rendah jika dibandingkan dengan silikon kristal tunggal. Kedua jenis silikon wafer ini dikenal sebagai generasi pertama dari sel surya yang memiliki ketebalan pada kisaran 180-240 µm. Generasi kedua sel surya adalah sel surya jenis lapisan tipis (thin film). Jenis sel surya lapisan tipis ini mengurangi biaya pembuatan sel surya, mengingat jenis lapisan tipis hanya menggunakan kurang dari 1% dari bahan baku silikon jika dibandingkan dengan bahan baku untuk jenis silikon wafer. Saat ini, efisiensi 3 tertinggi yang dapat dihasilkan oleh jenis sel surya lapisan tipis adalah 19,5% yang berasal dari sel surya Copper Indium Gallium Selenide (CIGS). Keunggulan lain dari sel surya jenis lapisan tipis adalah semikonduktor sebagai lapisan sel surya bisa dideposisi pada substrat yang lentur sehingga menghasilkan piranti sel surya yang fleksibel. Kedua generasi dari solar sel ini masih mendominasi pasaran solar sel di seluruh dunia dengan silikon kristal tunggal dan multi kristal memiliki lebih dari 84% solar sel yang ada di pasaran. Generasi ketiga bertujuan agar harga sel surya menjadi lebih murah. Jenis sel surya ini bertipe polimer atau sel surya organik dan jenis sel surya foto elektrokimia. Sel surya organik dibuat dari bahan semikonduktor organik seperti polyphenylene vinylene, dan fullerene. Berbeda dengan tipe solar sel generasi pertama dan kedua yang menjadikan pembangkitan pasangan elektron dan hole dengan datangnya photon dari sinar matahari sebagai proses utamanya, pada solar sel generasi ketiga ini photon yang datang tidak harus menghasilkan pasangan muatan tersebut melainkan membangkitkan exciton. Exciton inilah yang kemudian berdifusi pada dua permukaan bahan konduktor (yang biasanya di rekatkan dengan organik semikonduktor berada di antara dua keping konduktor) untuk menghasilkan pasangan muatan dan akhirnya menghasilkan efek arus foto (photocurrent). Jenis sel surya fotokimia merupakan sel surya eksiton yang terdiri dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya titanium dioksida) yang diendapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Graetzel pada tahun 1991 sehingga jenis sel surya ini sering juga disebut dengan 4 Graetzel sel atau Dye-Sensitized Solar Cells (DSSC). Graetzel sel dilengkapi dengan pasangan reduksi-oksidasi (redoks) yang diletakkan dalam sebuah elektrolit (bisa berupa padat atau cairan). Komposisi penyusun sel surya seperti ini memungkinkan bahan baku pembuat Graetzel sel lebih fleksibel dan dapat dibuat dengan metode yang sangat sederhana. Meskipun sel surya generasi ketiga ini masih memiliki masalah besar dalam hal efisiensi dan usia aktif sel yang terlalu singkat, sel surya jenis ini akan memberi pengaruh besar dalam beberapa tahun ke depan mengingat harga dan proses pembuatannya yang sangat murah (http://www.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/4034-solar-cell-sumber-energiterbarukan-masa-depan-.html). Walaupun demikian, dalam pembuatan dan pemanfaatan sel surya saat ini masih menyimpan permasalahan yang harus diselesaikan. Pertama, masalah polusi. Meskipun saat penggunaan sel surya tidak menyebabkan polusi, akan tetapi saat pembuatannya tetap menimbulkan limbah atau polusi. Kedua, masalah lamanya waktu yang diperlukan oleh sel surya untuk menghasilkan energi yang sama dengan energi yang dipakai saat pembuatan sel surya itu sendiri. Terhadap dua hal di atas, sel surya lapisan tipis ternyata lebih unggul dibandingkan dengan sel surya lainnya sehingga sel surya yang marak dikembangkan saat ini adalah sel surya jenis lapisan tipis menggunakan berbagai bahan semikonduktor dan paduannya. Bahan semikonduktor yang menjadi perhatian utama saat ini adalah Cadmium Teleide (CdTe), Cadmium Sulfide (CdS), dan Cadmium Selenide (CdSe). Ketiganya mempunyai kesamaan yakni merupakan bahan semikonduktor 5 tipe-n yang dibuat dari perpaduan antara golongan II (Cd) dengan golongan VI (Te, S, Se). Material tersebut hanya membutuhkan ketebalan sekitar satu mikron untuk membentuk sel surya yang efisien. Ini disebabkan karena daya serap cahayanya yang besar. CdSeTe adalah bahan semikonduktor yang telah menjadi paduan tiga unsur (ternary) yang memiliki energi gap sebesar 1 sampai 1,8 eV paduan golongan IIVI. Pita energi (band gap) bahan semikonduktor CdSe memiliki energi gap sebesar 1,74 eV dan bahan semikonduktor CdTe memiliki energi gap sebesar 1,44 eV (Edy Wibowo, 2008: 70-72). Maka, melihat dari energi gap CdSeTe yang lebih besar dari 1 eV sehingga dapat di aplikasikan sebagai sel surya . Komponen semikonduktor (zat padat) memberikan banyak sifat-sifat listrik yang unik, yang hampir dapat memecahkan semua persoalan elektronika sehingga dikembangkan piranti elektronika yang dibuat dari bahan semikonduktor yang memilki efisiensi tinggi (Reka Rio, 1982: 51). Pembuatan lapisan tipis sejauh ini terus berkembang sampai sekarang dan bahkan sudah menjangkau semua bidang aplikasi, antara lain pada bidang elektronika (pembuatan foto detektor, kapasitor dan mikroelektronika), optika (pembuatan filter dan interferensi) dan bidang optoelektronika (pembuatan sel surya dan thin film display). Metode yang dikembangkan dan digunakan untuk teknologi pembuatan lapisan tipis ini adalah CVD (Chemical Vapour Deposition), PVD (Physical Vapour Deposition), dan lain-lain. Teknik penumbuhan kristal dalam bentuk lapisan tipis yang sering digunakan adalah sputtering, evaporasi klasik, dan Close Spaced Vapour Transport atau sering dikenal dengan CSVT. 6 Dalam penelitian ini menggunakan metode Close Spaced Vapour Transport (CSVT). Metode CSVT merupakan modifikasi dari metode Chemical Vapour Deposition (CVD) yang konvensional sehingga tergolong sederhana baik peralatan maupun pengoperasiannya. Proses pembuatan lapisan tipis dengan metode CSVT terjadi di dalam tabung vertikal reaktor tertutup yang memiliki diameter 20 mm dengan panjang reaktor 10-20 cm dengan derajat kevakuman -3 5 yang tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 10 Torr (1 Bar = 10 Pa = 1 Torr, maka 10 -3 2 Torr = 10 Pa) yang bisa dicapai dengan pompa vakum biasa (rottary pump). (Djessas K dan Masse G, 2000: 2135). Agar uap dari sumber sebanyak mungkin terdeposisi pada substrat diperlukan derajad kevakuman pada tabung reaktor yang tidak terlalu tinggi yaitu 10-3 Torr yang bisa dicapai dengan pompa vakum biasa (rottary pump). Penghampaan tabung vertikal reaktor dilakukan untuk memperbesar ruang bebas molekul gas dan untuk menjaga tidak terjadi proses oksidasi. Prinsip utama dari metode CSVT adalah kedekatan jarak antara sumber dengan substrat dan keberadaan gas pembawa yang pada umumnya merupakan gas Iodine (I2). Hasil deposisi lapisan tipis dengan teknik CSVT dapat dipengaruhi oleh beberapa parameter deposisi, diantaranya waktu deposisi, tekanan gas argon, jenis material, jarak antara substrat dan sumber dan lain-lain. Pada tugas akhir ini dilakukan pembuatan lapisan tipis Cd(Se0.2Te0.8) yang dideposisikan pada substrat kaca dengan teknik CSVT. Setelah lapisan tipis Cd(Se0.2Te0.8) kemudian dikarakteristik struktur kristal, morfologi permukaan dan komposisi kimia lapisan tipis yang dihasilkan. Dalam pembuatan lapisan tipis 7 Cd(Se0.2Te0.8) divariasi jarak sumber agar diperoleh lapisan tipis Cd(Se0.2Te0.8) terbentuk hasil yang baik. Untuk mengetahui bahan hasil preparasi dilakukan karakterisasi menggunakan X-Ray Difraction (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM), dan Energy Dispersive Analysis X-Ray (EDAX). XRD digunakan untuk mengetahui struktur kristal dan SEM digunakan untuk meneliti struktur morfologi permukaan yaitu butiran kristalnya. EDAX dimanfaatkan untuk mengetahui komposisi kimia secara kuantitatif dengan memanfaatkan interaksi tumbukan elektron dengan material. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut: 1. Teknik yang digunakan untuk deposisi lapisan tipis (thin film) dalam pembuatan preparasi lapisan tipis Cd(Se0.2Te0.8) adalah teknik Physical Vapour Deposition (PVD), Chemical Vapour Deposition (CVD), Sputtering, Evaporasi Klasik dan CSVT. 2. Suhu subtrat, waktu deposisi, dan jarak penyangga (spacer) berpengaruh terhadap hasil lapisan tipis Cd(Se0.2Te0.8) yang terbentuk. 3. Belum diketahuinya pengaruh variasi jarak penyangga (spacer) tertentu terhadap struktur kristal, komposisi kimia, dan morfologi permukaan lapisan tipis Cd(Se0.2Te0.8) hasil deposisi dengan teknik CSVT. 8 C. Batasan Masalah Dalam penelitian ini dibuat lapisan tipis Cd(Se0.8Te0.2) dengan teknik CSVT. Terdapat beberapa parameter CSVT yang menentukan kualitas dari lapisan tipis yang terbentuk, maka dalam penelitian ini dibatasi permasalahan pada: 1. Teknik pendeposisi lapisan tipis Cd(Se0.2Te0.8) dengan menggunakan CSVT. 2. Melakukan variasi Jarak penyangga (spacer) pada jarak tertentu. 3. Teknik karakterisasi lapisan tipis Cd(Se0.2Te0.8) diamati menggunakan: a. X-Ray Diffraction (XRD) untuk mengetahui struktur kristal lapisan tipis yang terbentuk. b. Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui gambar struktur mikro dari butiran (grain) yang membentuk lapisan. c. Energy Dispersive Analysis X-Ray (EDAX) untuk mengetahui komposisi kimia yang terdeposisi pada substrat. D. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah diuraikan pada identifikasi masalah dan batasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pendeposisian lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) pada substrat kaca dapat dilakukan dengan teknik CSVT? 2. Bagaimana struktur dan parameter kisi lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) hasil deposisi dengan CSVT? 9 3. Bagaimana pengaruh jarak penyangga (spacer) terhadap kualitas lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) yang terbentuk? 4. Bagaimana morfologi permukaan lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) hasil deposisi dengan CSVT? 5. Bagaimana komposisi kimia lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) hasil deposisi dengan CSVT? E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan suatu bahan lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) pada substrat kaca yang dideposisi dengan teknik CSVT. 2. Mengetahui struktur dan parameter kisi lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) hasil deposisi dengan CSVT untuk 2 jarak penyangga (spacer) yang berbeda. 3. Mengetahui pengaruh jarak penyangga (spacer) terhadap kualitas kristal lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) yang terdeposisi. 4. Mengetahui morfologi permukaan lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) hasil deposisi dengan CSVT. 5. Mengetahui komposisi kimia lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) hasil deposisi dengan CSVT F. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Memperoleh preparasi lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) menggunakan teknik CSVT. 10 2. Mengetahui pendeposisian lapisan tipis Cd(Se0,2Te0,8) dengan teknik CSVT dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar sel surya. 3. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan referensi untuk penelitian lebih lanjut. 11