LAPORAN I STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI GORONTALO BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN DAERAH (BALITBANGPEDALDA) PROVINSI GORONTALO 2003 0 STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI GORONTALO ABSTRAK DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2 Isu Utama Lingkungan Hidup I.3 Tingkat Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Lingkungan Hidup BAB II. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN 2.1 Visi dan Misi Provinsi Gorontalo 2.2 Strategi/Kebijakan Pembangunan (Arahan Kebijakan) 2.3 Bidang-Bidang Kebijakan Pembangunan : Kebikanan Pembangunan LH, Tata Ruang, Sosial Ekonomi, dan Budaya (5 Tahun Ke Depan) BAB III. ANALISIS ISU LINGKUNGAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN 3.1 Pendekatan dan Kerangka Analisis 3.2 Kegiatan Pembangunan yang Menimbulkan Teknanan pada Lingkungan (5 Tahun Sebelumnya) 3.3 Degradasi Lingkungan dan Dampaknya (ABC) : Sekarang 3.4 Program dan Aksi Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Hidup (Sektoral – Multisektor – LSM dan Masyarakat) : Ke depan BAB IV. REKOMENDASI (Rencana Tindak Lanjut – Program dan Aksi Pembangunan). REFERENCE 1 ABSTRAK Provinsi Gorontalo terletak di Pulau Sulawesi bagian utara, terdiri atas 1 kota dan 2 kabupaten serta 21 kecamatan dan 369 desa/kelurahan. Ibu kota provinsi Gorontalo adalah Kota Gorontalo. Luas wilayah Provinsi Gorontalo berkisar 12.215,45 km2, meliputi Kota Gorontalo 64,80 km2 (1 %), Kabupaten Gorontalo 5.388,98 km2 (44 %), dan Kabupaten Boalemo 6.761,67 km2 (55 %). Wilayah Provinisi Gorontalo berbatasan dengan Kabupaten Boul dan Toli-Toli (Sulawesi Tengah dan Laut Sulawesi) pada bagian utara, Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah) pada bagian barat, Kabupaten Bolang Mangondow (Sulawesi Utara) pada bagian timur, dan Teluk Tomini pada bagian selatan. Penduduk Provinsi Gorontalo diperkirakan 840.386 jiwa (tahun 2000) dengan kepadatan penduduk 69 jiwa per km2. Dari jumlah penduduk tersebut, 418.200 jiwa (49,8 %) berjenis kelamin laki-laki dan 422.186 jiwa (50,2 %) berjenis kelamin perempuan. Tersebar di Kota Gorontalo (laki-laki 64.464 jiwa dan perempuan 70.610 jiwa), Kabupaten Gorontalo (laki-laki 257.292 jiwa dan perempuan 257.741 jiwa), dan Kabupaten Boalemo (laki-laki 96.444 jiwa dan perempuan 93.835 jiwa). Provinsi Gorontalo memiliki garis pantai di bagian selatan sepanjang 320 km dan dibagian utara sepanjang 270 km. Memiliki pelabuhan udara (Bandara Djalaluddin) dan pelabuhan laut yang cukup baik, yakni Pelabuhan Anggrek dan Pelabuhan Kwandang dan Pelabuhan Gorontalo di Teluk Tomini. Baik Pelabuhan udara maupun pelabuhan laut keduanya memungkinkan percepatan arus barang dan manusia ke luar – masuk Provinsi Gorontalo, yang berarti pula berpeluang menarik investor untuk melakukan kegiatan usaha di Gorontalo. Ke depan Provinsi Gorontalo telah mencanankan visi pada “terwujudnya masyarakat Provinsi Gorontalo yang mandiri, berbudaya entrepreneur, dan bersandar pada moralitas agama”. Dalam pewujudannya ditetapkan tiga misi utama, yakni : (1) mewujudkan sistem demokrasi dan supremasi hukum melalui praktik penyelenggaraan pemerintahan yang bersih transparan, dan profesional; (2) melakukan restrukturisasi, refungsionalisasi, revitalisasi, reaktualisasi lembaga-lembaga pemerintahan, kemasyarakatan, adat, sebagai wahana ke arah terwujudnya entrepreneurial government dan masyarakat yang mandiri; dan (3) meningkatkan peran masyarakat sebagai mitra dan pelaku utama pembangunan daerah. Berbagai kebijakan dan strategi pembangunan juga telah ditetapkan pada berbagai bidang, begitu pula program maupun rencana aksi-aksi pembangunan. Pada bidang kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup telah ditetapkan lima program utama dan masing-masing sejumlah proyekproyek strategis atau rencana aksi pembangunan sebagai penjabaran 2 aplikatifnya. Sampai berapa jauh keberhasilan penerapan proyek-proyek strategis yang dimaksud masih terlalu dini untuk menilainya mengingat Provinsi Gorontalo masih berusia belia. Tetapi jika dilihat kerusakan lingkungan yang terjadi dalam wilayah Provinsi Gorontalo sepatutnyalah jika Provinsi ini cepat berbenah diri sebelum sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya terlampau parah. Sedikitnya ada enam permasalahan lingkungan utama yang dihadapi Provinsi Gorontalo, yaitu : (1) rusaknya habitat ekosistem terumbu karang terutama di Kecamatan Kwandang dan Anggrek yang dipicu oleh kegiatan penambangan batu karang dan kegiatan pemboman yang masih tetap berlansung hingga kini; (2) rusaknya habitat ekosistem bakau yang dipicu oleh kegiatan ekspansi tambak dan penebangan atau pun penjualan kayu bakau yang juga masih tetap berlangsung hingga kini; (3) sedimentasi yang terus berlangsung menuju DAS dan Danau Limboto yang pada umumnya kini dipicu oleh kegiatan pengembangan tanaman jagung hibrida yang tidak memperhatikan kaedah lingkungan; (4) pendangkalan danau Limboto yang selain dipicu oleh sedimentasi yang juga masih terus berlangsung adalah juga disebabkan oleh kegiatan budidaya perikanan yang tidak ramah lingkungan dalam wilayah Danau Limboto; (5) kondisi tempat pembuangan sampah akhir yang sangat tidak layak dari segi lingkungan dan sudah cukup lama membawa dampak pada air laut yang berada di bawahnya; dan (6) semakin porak-porandanya tebing sungai dan kaki bukit akibat penambangan liar yang hingga kini juga belum terkendali. Terhadap permasalahan lingkungan utama tersebut, Laporan SLHD ini telah menetapkan sejumlah rekomendasi tindak lanjut, sekurang-sekurangnya dapat mempertajam program-program dan proyek-proyek strategis yang ditetapkan disetiap bidang kebijakan. Lapran ini telah merekomendir lima butir program utama dan 3 butir program penunjang. Kelima butir program utama: (PU-1) perlunya program pengendalian kerusakan habitat ekosistem terumbu karang dan bakau; (PU-2) perlunya program pengendalian erosi dan sedimentasi pada areal pengembangan jabung hibrida (agropolitan); (PU-3) perlunya program pengendalian pendangkalan Danau Limboto; (PU-4) perlunya pengendalian aktivitas penambangan galian C; dan (PU-5) perlunya program pemindahan lokasi TPA ke tempat yang layak baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Tiga program penunjang berikutnya adalah : (PP-1) perlunya program peningkatan kepedulian stakeholders; (PP-2) perlunya program perumusan dan penegakan hukum lingkungan; dan (PP-3) perlunya program penciptaan atau perluasan lapangan kerja sebagai sumber pendapatan alternatif bagi perusak lingkungan. Baik program utama maupun program penunjang terhadapnya juga telah ditetapkan sejumlah proyek-proyek strategis bagi pewujudannya. 3 BAB I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development – UNICED) di Rio de Jeneiro, 1992 menghasilkan beberapa strategi yang dituangkan dalam Agenda 21, yaitu sejumlah deklarasi isu utama lintas sektoral yang saling berkaitan. Salah satu isu penting tersebut dituangkan dalam Chapter 40 tentang Informasi Bagi Pengambil Keputusan yang menggaris bawahi pentingnya kemampuan pemerintah baik pada tingkat lokal/daerah, nasional, regional, maupun internasional untuk mengumpulkan dan memanfaatkan informasi multisektoral dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan ketersedian dan analisis data serta penyajian informasi segala aspek lingkungan hidup bagi pengambil keputusan dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka pengelolaan lingkungan hidup dengan segala aspeknya menjadi salah satu kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah (provinsi/kota/kabupaten). Salah satu stretegi dalam rangka mendorong peningkatan kemampuan daerah provinsi, kota, dan kabupaten dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good environmental governance) adalah dilaksanakan melalui Program Tata Praja Lingkungan Hidup, Program Warga Madani, dan Program Kerja sama dengan DPRD dalam pembangunan berkelanjutan yang dimulai sejak tahun 2002. Pembangunan berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa memasukkan unsur konservasi lingkungan ke dalam kerangka proses pembangunan. Agenda 21 telah mengekspresikan bahwa secara global sangat penting meningkatkan pemahaman terhadap keterkaitan antara ekosistem lingkungan dan manusia serta resultante sebab akibatnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya Laporan Pengelolaan Lingkungan Hidup disusun baik pada tingkat lokal/daerah, regional, nasional, maupun global, guna peningkatan pemahaman termaksud (Asdep Urusan Informasi Kementrian LH, 2003). Pentingnya penyusunan informasi tentang lingkungan hidup di daerah adalah karena informasi itu merupakan bagian dari akuntabilitas publik, sarana pendidikan dan pengawasan bagi publik, serta sarana keterlibatan publik untuk ikut berperan serta dalam penentuan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup daerah. Informasi tentang pengelolaan lingkungan hidup daerah Provinsi Gorontalo disusun dalam dua bentuk. Pertama dalam bentuk Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Gorontalo dan kedua dalam bentuk Laporan Basis Data Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Gorontalo. 4 I.2 Isu Utama Lingkungan Hidup Penetapan isu utama lingkungan hidup daerah Provinsi Gorontalo dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi sejumlah kegiatan pembangunan yang secara empirik telah memberi tekanan pada keseluruhan komponen lingkungan hidup. Jenis pembangunan di Provinsi Gorontalo yang telah memberi tekanan yang dimaksud di antaranya adalah : (1) kegiatan pembangunan pertanian dan kehutanan; (2) kegiatan pembangunan perikanan; (3) kegiatan pembangunan transportasi; (4) kegiatan pembangunan kehutanan; (5) kegiatan pembangunan pemukiman; (6) kegiatan pertambangan; (7) kegiatan perindustrian; dan (8) kegiatan pembangunan kesehatan masyarakat. Kedelapan kegiatan pembangunan ini telah memberi tekanan baik pada komponen lingkungan abiotic (fisik-kimia), komponen lingkungan biotic (biota darat dan perairan), maupun pada komponen lingkungan culture (sosial ekonomi budaya dan kesehatan masyarakat). Bagaimana kedelapan kegiatan pembangunan itu berdampak pada keseluruhan komponen lingkungan hidup dapat dilihat pada kerangka analisis penetapan isu utama lingkungan hidup (Gambar 1). Kerangka analisis ini juga menunjukkan bagaimana isu utama itu kemudian mengganngu keberlanjutan pembangunan. Melalui penggunaan kerangka analisis penetapan isu utama tersebut dan hasil pengamatan langsung di lapangan, selanjutnya dapat diidentifkasi sejumlah isu utama lingkungan hidup daerah Provinsi Gorontalo. Isu utama yang dimaksud akan dipaparkan berikut : • IU -1 : Perubahan komponen lingkungan abiotic-biotic aquatik (perairan) atau tepatnya kerusakan Habitat ekosistem terumbu karang sebagai akibat kegiatan pemboman (perikanan) dan penambangan batu karang (pertambangan) yang telah berlangsung lama di Kecamatan Kwandang dan Anggrek. Kerusakan habitat ekosistem terumbu karang ini diperkirakan telah sangat parah karena dapat dikatakan hampir seluruh pembangunan rumah penduduk di Kwandang dan Anggrek menggunakan batu karang sebagai fondasi bangunan. Disamping itu kegiatan pemboman ikan juga telah berlangsung cukup lama baik yang dilakukan oleh nelayan luar maupun oleh nelayan Kwandang dan Anggrek sendiri. 5 Gambar 1. kerusakan Habitat ekosistem terumbu karang sebagai akibat kegiatan pemboman (perikanan) dan penambangan batu • IU-2 : Perubahan komponen lingkungan biotic aquatik (perairan) atau tepatnya kerusakan habitat ekosistem bakau (mangrove) sebagai akibat perluasan tambak (perikanan) di sekitar pesisir pantai Kwandang dan Anggrek. Kerusakan habitat bakau ini diperkirakan telah mencapai 65 % dari total luas areal bakau yang tumbuh secara alami. Gambar 2. Kerusakan habitat ekosistem bakau (mangrove) sebagai akibat perluasan tambak (perikanan) di sekitar pesisir pantai 6 KEGIATAN PEMBANGUNAN GRTLO PERTANIAN, KEHUT-KEBUN PETERNAKAN PERTAMBANGAN PERIKANAN PEMUKIMAN & PERSAMPAHAN INDUSTRI TRANSPORTASI KESEHATAN KOMPONEN LINGKUNGAN ABIOTIC BIOTIC CULTURE ISU UTAMA LINGKUNGAN HIDUP Gambar 3. Kerangka Analisis Penetapan Isu Utama Lingkungan Provinsi Gorontalo 7 • IU-3 : Perubahan komponen lingkungan abiotic terestrial khususnya pada daerah pengembangan tanaman jagung atau tepatnya terjadinya erosi dan sedimentasi pada lahan-lahan pengembangan tanaman jagung (Agropolitan). Pengembangan tanaman jagung (pertanian) yang umumnya berlangsung pada ladang-ladang masyarakat yang selama ini diolah secara tradisional di daerah-daerah berlereng tanpa disertai dengan kegiatan konservasi tanah (terasering). Dampak erosi dan sedimentasi ini telah berlangsung lama dan telah berdampak lanjut (turunan) bersama dengan kegiatan lainnya secara sinergis pada pendangkalan sungai dan danau. Gambar 4. Perubahan komponen lingkungan abiotic terestrial khususnya pada daerah pengembangan tanaman jagung 8 • IU-4 : Perubahan komponen lingkungan abiotic-terestrial khususnya pada wilayah ekosistem Danau Limboto atau tepatnya pendangkalan Danau Limboto sebagai dampak turunan dari intensitas erosi dan sedementasi. Pendangkalan ini umumnya dipicu oleh semakin tingginya erosi dan sedimentasi akibat kegiatan pertanian ladang yang tidak mengindahkan konservasi tanah dan kegiatan pembukaan hutan (kehutanan dan perkebunan) pada daerah hulu sungai (tangkapan air). Jika pada tahun 1932 rerata kedalaman Danau Limboto 30 meter dengan luas 7000 ha, pada tahun 1961 rerata kedalamanya telah berkurang menjadi 10 meter dan luasnya menjadi 4.250 ha. 29 tahun kemudian atau tepatnya tahun 1990, rerata kedalaman Danau Limboto terus mengalami pengurangan hingga mencapai 2,5 meter, begitu pula luasnya juga terus berkurang menjadi 3000 ha (Bappeda Gorontalo, 1994). Gambar 5. Perubahan komponen lingkungan abiotic-terestrial khususnya pada wilayah ekosistem Danau Limboto 9 • IU-5 : Perubahan komponen lingkungan abiotic terestrial khusunya pada Daerah Aliran Sungai Bone atau tepatnya porak-porandanya tebing Sungai Bone sebagai akibat ketidaktertiban dalam kegiatan penambangan galian C. Akibat kegiatan penambangan galian C ini disamping telah mengubah aliran sungai juga – bersama dengan kegiatan lainnya - telah menimbulkan pendangkalan pada muara sungai. Dampak kegiatan inilah yang sesungguhnya menimbulkan banjir di berbagai pemukiman di Kota Gorontalo. Dampak kegiatan penambangan lainnya yang serupa adalah kerusakan bentang alam dan sekaligus estetika alam pada sejumlah kaki bukit Gorontalo. Dampak kegiatan kerusakan bentang alam kaki bukit ini selain pada estetika alam adalah juga yang paling dikhawatirkan adalah kemungkinan longsor dan bahaya kecelakaan pada masyarakat sekitar atau yang melintasi lokasi yang bersangkutan. Juga tidak kalah pentingnya limbah B3 (logam berat) dari penambangan emas di daerah hulu Sungai Bone. Gambar 6. Perubahan komponen lingkungan abiotic terestrial khusunya pada Daerah Aliran Sungai Bone 10 • IU-6 : Kondisi tempat pembuangan sampah akhir yang diperkirakan telah mengganggu komponen lingkungan abiotik dan biotic akuatif (perairan laut) di sekitarnya. Tempat pembuangan sampah akhir (TPA) sangat tidak layak dari segi lingkungan mengingat berada di atas bukit – Pohe Tanjung Keramat – yang pada bagian kaki bukit yang bersangkutan adalah pesisir pantai, sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan pembuangan sampah ini tidak ubahnya dengan pembuangan sampah ke laut. TPA ini sangat berbahaya karena penuh dengan limbah bahan bahan beracun (B3) yang pada akhirnya akan mengganggu kehidupan biota laut dan kesehatan masyarakat yang nantinya mengkonsumsi biota laut yang dimaksud. Gambar 7. Kondisi tempat pembuangan sampah akhir yang diperkirakan telah mengganggu komponen lingkungan 11 Keenam isu utama tersebut di atas dinilai besar dan penting untuk ditelusuri dan ditindak lanjuti. Tentu isu-isu lainnya juga akan tetap ditelusuri melalui data-data yang ada dan hasil-hasil pengamatan langsung di lapangan. Tetapi isu-isu lainnya tidak sebesar dan sepenting keenam isu utama yang telah dipaparkan di atas. I.3 Tingkat Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kelestarian Lingkungan Hidup Pengertian kesadaran dan kepedulian masyarakat di sini tidak dalam pengertian sempit (masyarakat awam) tetapi dalam pengertian luas (stakeholders) atau apa yang disebut pihak-pihak yang berkepentingan (masyarakat, LSM, dan eksekutif pemerintahan dan legislatif) terhadap pengelolaan atau pelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan terhadap keenam isu utama - sebagaimana dipaparkan di atas – dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kelestrain lingkungan hidup masih tergolong rendah. Sebagai indikator rendahnya kesadaran dan kepedulian stakeholders Gorontalo terhadap kelestarian lingkungan hidup adalah : (1) masih berlangsungnya kegiatan pemboman dan kegiatan penambangan batu karang di Kecamatan Kwandang dan Anggrek hingga sekarang; (2) masih berlangsungnya kegiatan perusakan hutan bakau; (3) dibiarkannya kegiatan penanaman jagung pada lahan berlereng tanpa kegiatan konservasi; (4) dibiarkannya kegiatan penambangan Galian C (sungai dan kaki bukit) dan Galian A (limbah merkuri atau logam berat) yang tidak ramah lingkungan; dan (5) ditempatkannya TPA pada lokasi yang sangat tidak layak lingkungan. Diakui bahwa sejumlah stakeholders (khususnya LSM dan eksekutif pemerintahan) telah merencanakan sejumlah program maupun rencana aksi terhadap kelestarian lingkungan hidup, tetapi aksi-aksi di lapangan khususnya yang bertalian dengan penangangan keenam isu utama tersebut di atas dinilai masih kurang, terlebih keenam isu utama termaksud menuntut program dan rencana aksi yang jitu untuk penanggulangannya. Terhadapnya tidak cukup dengan program sektoral tetapi harus multi sektor dan terpadu. Seluruh pihak yang berkepentingan harus “duduk bersanding” dan bekerja secara “sinergis (interkoneksitas)” dalam suatu ekosistem yang dinyatakan telah terdegradasi. 12 BAB II. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN 2.1 Visi dan Misi Provinsi Gorontalo Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Daerah Provinsi Gorontalo disusun berlandaskan pada visi dan misi penyelenggaraan pemerintahan. Visi penyelenggaraan pemerintahan Gorontalo adalah “Terwujudnya Masyarakat Provinsi Gorontalo yang Mandiri, Berbudaya Entrepreneur, dan Bersandar pada Moralitas Agama”. Mandiri atau kemandirian diukur dengan kemampuan untuk mempertahankan otonomi Provinsi Gorontalo agar tidak kembali ke provinsi induk (Sulawesi Utara). Berbudaya entrepreneur diukur dengan kemampuan masyarakat melakukan perubahan, pengorganisasian, penciptaan sesuatu yang ditujukan untuk mencapai kemakmuran, yang disertai dengan perhitungan risiko. Selanjutnya mralitas agama didasarkan pada nilainilai kebenaran dan kebaikan yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana yang termuat dalam falsafah budaya Gorontalo yang berbunyi “adat bersendi sara’ dan sara’ bersendi kitabullah” (Renstrada Provinsi Gorontalo, 2002 – 2006). Untuk mewujudkan visi penyelenggaran pemerintahan tersebut, pemerintah Provinsi Gorontalo telah menetapkan sejumlah misi berikut : (1) mewujudkan sistem demokrasi dan supremasi hukum melalui praktik penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, dan profesional; (2) melakukan restrukturisasi, refungsionalisasi, revitalisasi, reaktulisasi lembaga-lembaga pemerintahan, kemasyarakatan, adat, sebagai wahana ke arah terwujudnya entrepreneurial government dan masyarakat yang mandiri; dan (3) meningkatkan peran masyarakat sebagai mitra dan pelaku utama pembangunan daerah. 2.2 Strategi/Kebijakan Pembangunan Dalam rangka pewujudan ketiga misi pemerintahan termaksud, pemerintah Provimnsi Gorontalo menetapkan tiga strategi pembangunan yang selanjutnya disebut kebijakan. Strategi ini kemudian dituangkan ke dalam bidang, program, dan rencana aksi pembangunan. Strategi pembangunan yang dimaksud adalah sebagai beikut : • • SP-1: Mendayagunakan dan menghasilgunakan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan nilai-nilai budaya. SP-2: Meningkatkan kinerja bidang sosial budaya, ekonomi, hukum, pemerintahan, keamanan, dan ketertiban yang memiliki spirit, nilai, dan budaya entrepreneur. 13 • SP-3: Melembagakan nilai-nilai bersih, transparan, dan profesional sebagai pola tindak di lingkungan pemerintahan, swasta, dan masyarakat. 2.3 Bidang Kebijakan, Program, dan Aksi Pembangunan Pembahasan tentang bidang kebijakan, program, dan aksi pembangunan Provinsi Gorontalo di sini dibatasi pada : (1) bidang kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (2) bidang kebijakan Investasi dan pengembangan kawasan; (3) bidang kebijakan ekonomi dan pembangunan; dan (4) bidang sosial budaya. Rincian keempat bidang kebijakan ini ke dalam program dan rencana aksi pembangunan akan dipaparkan berikut. Bidang Kebijakan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Dibidang kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup terdapat lima program utama, yakni : (1) program pengembangan usaha pertambangan rakyat secara terpadu, pemanfaatan sumberdaya mineral dan pengembangan tenaga listrik dan energi; (2) peningkatan efektivitas pengelolaan konservasi dan rehabilitasi SDA dan lingkungan hidup; (3) pencegahan dan pengendalian kerusakan pencemaran lingkungan hidup; (4) penataan kelembagaan dan penegakan hukum pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup; dan (5) peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan hidup. Setiap program utama tersebut juga telah ditetapkan sejumlah rencana aksi (kegiatan) pembangunan. Pada program pengembangan usaha pertambangan rakyat secara terpadu, pemanfaatan sumberdaya mineral dan pengembangan tenaga listrik dan energi ditetapkan sembilan butir rencana aksi, yakni : (a) pembinaan terhadap potensi usaha pertambangan terpadu; (b) penelitian dan pengkajian pertambangan usaha kecil; (c) penyuluhan dan sosialisasi pertambangan rakyat; (d) penyelidikan dan eksplorasi berbagai jenis tambang dan bahan galian; (e) peningkatan sumberdaya mineral; (f) pengembangan tenaga listrik (PLTD); (g) pengembangan listrik pedesaan; (h) pembangunan Waduk Bumbaya Bulan yang menghasilkan PLTA; dan (i) peningkatan sumberdaya bahan galian industri dan pemungutan pajak bahan bakar minyak dan kendaraan. Pada program peningkatan efektivitas pengelolaan konservasi dan rehabilitasi SDA dan lingkungan hidup telah ditetapkan enam butir rencana aksi, yakni : (a) mengkaji kebijakan pengelolaan, konservasi, dan rehabilitasi sumberdaya alam; (b) mengelola sumberdaya hutan dan sumberdaya air dengan pendekatan DAS dalam kerangka penataan ruang; (c) melaksanakan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan kritis serta wilayah pesisir; (d) penyebarluasan 14 serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi yang berbasis masyarakat melalui pembentukan daerah perlindungan laut dan hutan. ; (e) pembuatan dan evaluasi sumberdaya alam dan neraca spasial; dan (f) penyusunan status kualitas lingkungan hidup daerah. Pada program pencegahan dan pengendalian kerusakan pencemaran lingkungan hidup telah ditetapkan empat butir rencana aksi, yakni : (a) mengembangkan teknologi pengelolaan limbah rumah tangga, industri dan transportasi; (b) pembentukan lembaga pendanaan pengelolaan lingkungan hidup; (c) pembinaan pengendalian dampak lingkungan; dan (d) penetapan aturan-aturan baku mutu lingkungan daerah dan penetapan AMDAL yang efektif dan efisien. Pada program penataan kelembagaan dan penegakan hukum pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup telah ditetapkan lima butir rencana aksi, yakni : (a) penyusunan peraturan daerah serta perangkat perarturan lainnya; (b) penguatan institusi dan aparatur penegak hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam; (c) penataan kebijakan yang membuka akses dan kontrol masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (d) evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan perundangan nasional dan peraturan daerah yang berkaitan dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; dan (e) pengendalian pencemaran lingkungan hidup. . Selanjutnya, pada program peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan hidup telah ditetapkan tiga butir rencana aksi, yakni : (a) peningkatan jumlah dan kualitas anggota masyarakat yang peduli lingkungan; (b) pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; dan (c) pembentukan lembaga yang melibatkan berbagai pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Bidang Kebijakan Investasi dan Pengembangan Kawasan Dibidang kebijakan investasi dan pengembangan kawasan ditetapkan sebuah program utama dengan delapan butir rencana aksi. Program utama yang dimaksud adalah Program Investasi dan Promosi Potensi Ekonomi Daerah. Sedang delapan rencana aksinya adalah mencakup : (a) mengidentifikasi sektor usaha prospektif untuk investasi; (b) menawarkan kemudahan investasi yang berdampak pada perluasan kesempatan kerja dan berusaha; (c) menetapkan kawasan pertumbuhan sebagai prioritas investasi; (d) promosi dan roadshow peluang investasi di Gorontalo; (e) merintis transparansi perizinan untuk investasi yang dapat diakses secara terbuka; (f) pengembangan perkotaan yang dititikberatkan pada pengembangan sistem jaringan pelayanan umum untuk kelancaran mobilitas arus manusia dan barang; (g) penyusunan rencana tata ruang wilayah dan kawasan serta penjabarannya ke dalam kebijakan dan 15 rekomendasi pemanfaatan ruang; dan (h) menciptakan forum koordinasi dan konsultasi untuk mensinergikan dan mensingkronisasikan rencana tata ruang provinsi, kota, dan kabupaten, serta wilayah-wilayah pengembangan lainnya. . Bidang Kebijakan Ekonomi dan Pembangunan. Dibidang kebijakan ekonomi dan pembangunan ditetapkan lima belas program utama dan sejumlah rencana aksi pada setiap program utama. Kelima belas program utama itu mencakup : (1) program pembangunan, pemeliharaan, dan pengoptimalan infrastruktur untuk peningkatan dan kelancaran kegiatan ekonomi (arus barang dan manusia) serta peningkatan daya saing komoditas utama; (2) program pembangunan waduk dan bendungan untuk pengairan dan tenaga listrik guna meningkatkan kinerja sektor pertanian dan industri yang berhubungan dengan sektor pertanian; (3) program penguatan kompetensi inti Provinsi Gorontalo dengan fokus di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan dengan model keterkaitan hulu-hilir dengan menempatkan pemerintah sebagai penggerak utama; (4) program penguatan landasan pengembangan ekonomi yang berkelanjutan; (5) program pengembangan wilayah strategis dan kerjasama antar daerah/wilayah; (6) program pengembangan wilayah tertinggal dan transmigrasi; (7) program pengembangan tanaman pangan, diversifikasi pangan, dan ketahanan pangan; (8) program pengembangan perikanan dan kelautan; (9) program pengembangan dan pemberdayaan industri kecil dan rumahtangga; (10) program pengembangan perkebunan rakyat; (11) program pembangunan kehutanan dan pengembangan hutan rakyat; (12) program pembangunan peternakan; (13) program pembangunan pariwisata; (14) program pengembangan ketenagakerjaan; dan (15) program peningkatan pendapatan asli dan keuangan daerah. Pada program pembangunan, pemeliharaan, dan pengoptimalan infrastruktur untuk peningkatan dan kelancaran kegiatan ekonomi (arus barang dan manusia) serta peningkatan daya saing komoditas utama ditetapkan enam butir rencana aksi, yakni : (a) peningkatan kinerja dan penambahan infrastruktur Pelabuhan Anggrek; (b) peningkatan kinerja dan penambahan infrastruktur Bandar Udara Djalaluddin; (c) pembangunan pelabuhan perikanan; (d) pembangunan, peningkatan, dan pemeliharaan jalan dan jembatan; (e) peningkatan dan perluasan jaringan telepon; dan (f) pembangunan Pelabuhan Libuo. Pada program pembangunan waduk dan bendungan untuk pengairan dan tenaga listrik guna meningkatkan kinerja sektor pertanian dan industri yang berhubungan dengan sektor pertanian ditetapkan tiga butir rencana aksi, yakni : (a) pembangunan, pemeliharaan, dan peningkatan kinerja irigasi di Kota Gorontalo dan Kabupaten Boalemo; (b) pengendalian banjir, pengembangan dan pendayagunaan sumberdaya air di Kota Gorontalo dan Kabupaten Boalemo; dan (c) pengamanan garis pantai dari abrasi. 16 Pada program penguatan kompetensi inti Provinsi Gorontalo dengan fokus di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan dengan model keterkaitan hulu-hilir dengan menempatkan pemerintah sebagai penggerak utama ditetapkan lima butir rencana aksi, yakni : (a) mengembangkan unit agroindustri di pedesaan dalam skala corporate farming; (b) menyediakan infastruktur pertanian, alat/mesin pertanian untuk pengolahan lahan, pasca panen, penyimpanan, dan transportasi; (c) membangun sistem distribusi saprotan/sapronak yang efektif dan efisien; (d) merintis pendirian Gorontalo Inc sebagai holding yang mensinergikan BUMD, usaha swasta, koperasi dan UKM dan berperan sebagai BUMD, usaha swasta, koperasi, dan UKM dan berperan sebagai penyangga dan stabilisator harga komoditas pertanian andalan Provinsi Gorontalo; dan (e) meningkatkan budidaya perikanan laut dan pemanfaatan potensi perikanan lestari. Pada program penguatan landasan pengembangan ekonomi yang berkelanjutan ditetapkan lima butir rencana aksi, yakni : (a) menciptakan iklim investasi denga mewujudkan kepastian hukum dan rasa aman berusaha, pemberian insentif untuk menarik investasi, dan promosi potensi usaha; (b) mendirikan lembaga keuangan syariah non bank yang menfasilitasi usaha kecil agar mampu mengakses sumber keuangan; (c) mengembangkan kewirausahaan masyarakat; (d) memberdayakan UKM, Koperasi dan BUMD; dan (e) mengembangkan kemitraan antar pelaku usaha atas dasar profesionalisme dan skala usaha. Pada program pengembangan wilayah strategis dan kerjasama antar daerah/wilayah ditetapkan lima butir rencana aksi, yakni : (a) menetapkan beberapa daerah tertentu sebagai titik pusat pengembangan ekonomi; (b) menyediakan infrastruktur dan meningkatkan kualitas SDM di daerah yang dijadikan titik pengembangan ekonomi dan wilayah ; (c) mempriritaskan penataan ruang pada daerah yang ditetapkan sebagai titik pengembangan ekonomi dan wilayah; (d) merintis kerjasama antardaerah di Mandala Teluk Tomini; dan (e) merintis kerjasama “Utara – Utara” di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan menjadikan Gorontalo sebagai pusat dan penggerak utama. Pada program pengembangan wilayah tertinggal dan transmigrasi ditetapkan lima butir rencana aksi, yakni ; (a) peningkatan penyediaan prasarana; (b) penataan ruang termasuk pengaturan pemanfaatan potensi wilayah pada kawasan pedalaman, pesisir, dan pulau; (c) pengembangan ekonomi lokal yang bertumpu pemanfaatan sumberdaya alam, budaya, adat istiadat, dan kearifan tradisional secara berkelanjutan; (d) advokasi dan perlindungan masyarakat adat; dan (e) penataan masyarakat perambah hutan dan wilayah kumum (resetlemet). Pada program pengembangan tanaman pangan, diversifikasi pangan, dan ketahanan pangan ditetapkan lima butir rencana aksi, yakni : (a) melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi tanaman pangan (prioritas jagung dan beras); (b) 17 pengembangan dan rehabilitasi lahan pertanian; (c) pengembangan produksi pangan pokok, beras, karbohidrat non beras dan sumber protein; (d) memberdayakan kembali sistem logistik rakyat dengan mengaktifkan lumbung desa; dan (e) mengembangkan sistem perlindungan dan budidaya tanaman dan ternak unggul daerah. Pada program pengembangan perikanan dan kelautan ditetapkan sebelas butir rencana aksi, yakni : (a) pengadaan jaring pengaman ekonomi nelayan berupa infrastruktur perikanan (pelabuhan pendaratan, cold storage, pabrik es, peralatan penangkapan ikan, dan pengolahan pasca panen ikan); (b) melakukan up grade teknologi untuk peningkatan kualitas produksi perikanan; (c) mengajukan usulan kepada pemerintah pusat untuk pemberian insentif fiskal dan perdagangan sarana produksi perikanan; (d) membangun ketahanan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan; (e) pelatihan kewirausahan masyarakat pantai dan nelayan ke arah pembentukan jiwa wirausaha yang inovatif; (f) merintis pilot project pembangunan desa nelayan yang merupakan unit ekonomi yang berbasis pada kegiatan perikanan dan kelautan; (g) merintis pendirian balai benih ikan laut dan payau yang bernilai ekonomi tinggi; (h) merintis pendirian pasar ikan regional yang berbasis di Gorontalo; (i) merintis pendirian pendidikan perikanan yang berstandar internasional; (j) merintis pendirian balai pengembangan potensi pesisir dan kelautan dengan kegiatan utama dibidang litbang, workshop dan kerjasama dengan pemerintah, swasta, dan pendidikan tinggi untuk melakukan economic empowerment sumberdaya pesisir dan laut termasuk di dalamnya peningkatan kualitas sumberdaya manusianya; dan (k) melakukan konservasi kawasan pantai dan laut teritorial untuk menjaga terpeliharanya tangkapan lestari sumberdaya kelautan. Pada program pengembangan dan pemberdayaan industri kecil dan rumahtangga ditetapkan lima butir rencana aksi, yakni : (a) mengidentifikasi berbagai potensi jenis kegiatan industri kecil dan rumahtangga yang potensial bagi income generating, penciptaan dan perluasan kesempatan kerja dan berusaha; (b) merintis pendirian pilot project sentra industri kecil yang berbasis pada kerajinan rakyat dalam satu kawasan (kain krawang, kerajinan rotan, dsb); (c) mengidentifikasi dan mendokumentasikan desain tradisional kerajinan tangan, hasi industri, dan proses industri untuk keperluan pemberian hak paten dan hak cipta; (d) merintis “Gorontalo Fair” sebagai wahana untuk promosi industri, perdagangan dan pariwisata dan temu investor – pengusaha; dan (e) mengembangkan data base profil usaha kecil dan rumah tangga. 18 Pada program pengembangan perkebunan rakyat ditetapkan tiga butir rencana aksi, yakni : (a) peremajaan dan penggantian tanaman kelapa jenis unggul; (b) perluasan dan peningkatan kualitas perkebunan rakyat; dan (c) introduksi tanaman perkebunan yang memiliki ekonomi tinggi. Pada program pembangunan kehutanan dan pengembangan hutan rakyat ditetapkan empat butir rencana aksi, yakni : (a) konservasi dan reboisasi hutan dan tanah kritis dengan tanaman cepat tumbuh dan memiliki nilai ekonomis tinggi; (b) merintis hutan tanaman industri yang mampu menciptakan keterkaitan dengan kegiatan ekonomi usaha kecil, menengah, dan koperasi; (c) mengembangkan dan membina hutan rakyat dengan mengintrodusir jenis tanaman (jati emas dan sejenisnya) yang bernilai ekonomi tinggi dan berumur pendek; dan (d) membina dan meningkatkan kesadaran ekologi dan konservasi pada masyarakat tepian hutan. Pada program pembangunan peternakan ditetapkan enam butir rencana aksi, yakni : (a) mengenalkan budidaya ternak besar terutama sapi dengan model keterkaitan dengan usahatani terpadu; (b) meningkatkan kualitas bibit ternak rakyat (sapi, kuda, dan kambing); (c) merintis bursa dan pasar ternak regional; (d) membrantas penyakit menular/berbahaya pada ternak; dan (e) mengatur lalu lintas perdagangan ternak. Pada program pembangunan pariwisata ditetapkan empat butir rencana aksi, yakni : (a) mengidentifikasi potensi wisata alam, budaya/adat, dan wisata bahari; (b) membanbangun dan menyediakan infrastruktur; (c) mengadakan promosi bersama dengan pemda se Sulawesi; dan (d) membangun akomodasi pariwisata dan mengarahkan Kota Gorontalo sebagai tempat konvensi di Kawasan Timur Indonesia. Pada program pengembangan ketenagakerjaan ditetapkan enam butir rencana aksi, yakni : (a) menciptakan dan mengembangkan kesempatan kerja dengan membangun kerjasama dan keterkaitan antar sektor; (b) meningkatkan kualitas da produktivitas tenaga kerja melalui sertifikasi dan standardisasi profesi; (c) melaksanakan perlindungan tenaga kerja dan pengembangan lembaga ketenagakerjaan; (d) menetapkan pedoman jaminan kesejahteraan purna kerja; (e) menetapkan dan melakukan pengawasan penerapan upah minimum regional; dan (f) melaksanakan perlindungan tenaga kerja wanita dan anak dari diskriminasi, pekerjaan berbahaya, dan pelecehan martabat. Selanjutnya, pada program peningkatan pendapatan asli dan keuangan daerah ditetapkan enam butir rencana aksi, yakni : (a) ekstensifikasi dan intensifikasi objek pajak dan retribusi; (b) penyuluhan dan sosialisasi hukum tentang objek pajak dan retribusi daerah; (c) penyesuaian terhadap produk hukum daerah yang mengatur keuangan daerah; (d) pemberian penghargaan terhadap wajib pajak dan retribusi daerah; (e) pengadaan sarana dan prasarana 19 untuk menunjang pengelolaan PAD; dan (f) penerapan sistem komputerisasi Samsat dan sistem akuntansi keuangan daerah. Bidang Kebijakan Sosial Budaya, Pendidikan, dan Agama Dibidang kebijakan sosial budaya, pendidikan, dan agama ditetapkan tujuh program utama dengan sejumlah rencana aksi pada setiap program utama. Ketujuh program utama yang dimaksud adalah : (1) program peningkatan perluasan dan pemerataan pendidikan serta kesempatan belajar; (2) program peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta akuntabilitas pendidikan; (3) program peningkatan kualitas profesionalisme pendidikan tinggi dalam pembangunan daerah; (4) program peningkatan pemahaman dan kerukunan beragama; (5) program peningkatan kesejahteraan sosial; (6) program peningkatan peran pemuda dan pengembangan olahraga; dan (7) program pembangunan kebudayaan dan pelestarian adat-istiadat, budaya, dan bahasa Gorontalo. Pada program peningkatan perluasan dan pemerataan pendidikan serta kesempatan belajar ditetapkan tiga butir rencana aksi, yakni : (a) peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan terutama di daerah atau desa-desa tertinggal atau terpencil; (b) pemberian bea siwa untuk siswa berprestasi dan rawan ekonomi; dan (c) meningkatkan peran serta dan swadaya masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan dan kesempatan belajar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat/daerah. Pada program peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta akuntabilitas pendidikan ditetapkan sembilan butir rencana aksi, yakni : (a) mengembangkan kurikulum yang berbasis pada kompetensi dasar sesuai dengan kebutuhan daerah, nasional, dan internasional; (b) mengembangkan lomba karya inovatif yang mempunyai nilai ekonomi; (c) mengembangkan program-program keterampilan sesuai dengan kondisi daerah; (d) meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas proses belajar dan mengajar; (e) meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas kinerja lembaga pengelola pendidikan; (f) melaksanakan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah; (g) mendorong dan menfasilitasi para guru/dosen untuk meningkatkan pendidikan formal dalam dan luar negeri; dan (h) melakukan pembinaan etika dan moral guru secara intensif dan optimal sehingga bisa menjadi panutan peserta didik dan masyarakat. Pada program peningkatan kualitas profesionalisme pendidikan tinggi dalam pembangunan daerah ditetapkan empat butir rencana aksi, yakni : (a) meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana (S2 dan S3); (b) meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan tinggi (perpustakaan, laboratorium, ruang kuliah, dan fasilitas belajar mengajar); (c) meningkatkan kerjasama perguruan 20 tinggi dengan pemda untuk mendukung percepatan dan pemerataan pembangunan; dan (d) mengembangkan kerjasama dengan pemda dalam bidang litbang dan peningkatan kualitas aparatur pemerintah daerah. Pada program peningkatan pemahaman dan kerukunan beragama ditetapkan lima butir rencana aksi, yakni : (a) menfasilitasi peningkatan pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh umat beragama; (b) menfasilitasi terpeliharanya kebebasan umat beragama dalam menjalankan ibadah sesuai dengan iman dan kepercayaan masing-masing; (c) menfasilitasi kerukunan dan kerjasama yang harmonis yang dilandasi semangat saling menghormati dan mengasihi sebagai hambah Tuhan antar umat beragama; (d) meningkatkan kualitas program pendidikan agama; dan (e) meningkatkan peran lembagalembaga keagamaan dalam memelihara keserasian kehidupan sosial, tolenransi dan saling menghormati dan mengasihi antar sesama umat beragama. Pada program peningkatan kesejahteraan sosial ditetapkan lima butir rencana aksi, yakni : (a) mengembangkan pelayanan sosial terutama yatim piatu, anak terlantar, manula, masyarakat dan desa tertinggal, dan penyandang cacat; (b) mengembangkan potensi kesejahteraan sosial melalui peran swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga sosial keagamaan; (c) mengembangkan kesetiakawanan dan partisipasi sosial masyarakat; (d) mengembangkan sistem jaminan sosial dan perlindungan kelompok minoritas; dan (e) memberdayakan perempuan. Pada program peningkatan peran pemuda dan pengembangan olahraga ditetapkan empat butir rencana aksi, yakni : (a) meningkatkan swadaya dan swadana masyarakat untuk pengadaan fasilitas olah raga, penjaringan potensi dan bakat, dan untuk atlit dan olahragawan; (b) mengembangkan pendidikan jasmani di sekolah dan perguruan tinggi; (c) mengembangkan dan memodifikasi olah raga tradisional; dan (d) meningkatkan peran serta pemuda dalam kegiatan pembangunan. Selanjutnya, pada program pembangunan kebudayaan dan pelestarian adatistiadat, budaya, dan bahasa Gorontalo dietapkan dua butir rencana aksi, yakni : (a) menginventarisasi adat-istiadat, seni tradisional, suaka peninggalan purbakala, bahasa dan dialek Bahasa Gorontalo; dan (b) menggali nilai-nilai budaya/tradisi yang dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam pembanmgunan. Pada keempat bidang kebijakan beserta program-program utama dan rencana aksi pembangunannya masing-masing – sebagamana yang dipaparkan di atas – terlihat bahwa terdapat sejumlah rencana aksi pembangunan yang tumpang tindih dari satu program ke program lainnya. Selain itu juga terlihat bahwa pada keseluruhan rencana aksi pembangunan yang telah ditetapkan tidak terlihat mana yang prioritas (harus didahukukan) dan mana yang seharusnya dilaksanakan secara sektoral dan mana yang lintas sektoral. Hal ini terutama 21 disebabkan karena pada keseluruhan bidang kebijakan yang kemudian dituangkan pada sejumlah program dan rencana aksi pembangunan seluruhnya masih bersifat parsial – sektoral dan sama sekali belum memperlihatkan adanya payung program sebagai acuan atau pun landasan seluruh program dan rencana aksi pembangunan termaksud. Untuk itu keseluruhan program dan rencana aksi pada setiap bidang kebijakan – sebagaimana yang dipaparkan dalam Renstrada Provinsi Gorontalo 2002 – 2006 – terhadapnya masih perlu direkonstruksi ke dalam sebuah Rencana Strategis Pembangunan Provinsi Gorontalo yang Berwasan Ekonomi (Community Base Entrepreneur) dan Lingkungan Hidup. Dalam renstra ini harus dipertegas mana program dan rencana aksi pembangunan yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikerjakan secara sektoral dan mana pula yang harus dikerjakan secara lintas sektoral. Lebih baik lagi jika rincian pendanaan dan sumber-sumber pendanaan serta rentang waktu pelaksanaannya telah dimuat secara rinci dalam renstra yang dimaksud. 22 BAB III. ANALISIS ISU LINGKUNGAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN 3.1 Pendekatan dan Kerangka Analisis Analisis isu lingkungan dan evaluasi kebijakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan PSR (Pressure – State – Response). Pendekatan ini menekankan pentingnya terlebih dahulu mengungkapkan pressure (penyebab atau tekanan) yang menekankan terjadinya perubahan komponen lingkungan. Dalam konteks Provinsi Gorontalo, pressure ini ditafsirkan ke dalam kegiatan pembangunan yang selama berlangsungnya memberi beban atau merusak komponen lingkungan hidup. Seiring dengan itu state (kondisi lingkungan abiotic-bioticculture) yang terdegradasi dengan segala impact (dampak) yang ditimbulkan oleh keseluruhan kegiatan pembangunan yang dimaksud juga perlu diidentifikasi dan dirumuskan. Bertalian dengan itu pula response (program dan aksi penanggulangan dampak) baik yang dilakukan oleh instansi terkait secara sektoral maupun yang dilakukan oleh sejumlah instansi terkait dalam bentuk program dan aksi lintas sektoral, termasuk yang dilakuakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat pada umumnya, juga perlu dievaluasi dan dianalisis sampai berapa jauh response tersebut relevan dengan penanganan dampak kegiatan pembangunan, tingkat keberhasilannya, beserta hambatan-hambatan yang dialaminya. Secara sederhana pendekatan PSR ini dapat divisualisasikan melalui Gambar 2.. Secara elementer, pendekatan PSR sebagaimana yang dipaparkan pada Gambar 2 dapat dikembangkan dengan mengkombinasikan antara Pendekatan PSR (Gambar 2) dengan Kerangka Analisis Isu Utama – sebagaimana yang dipaparkan pada Bab I (Gambar 1). Kombinasi kedua pendekatan ini dapat divisualisasikan melalui Gambar 3. Gambar 3 tersebut menunjukkan bahwa terdapat delapan kegiatan pembangunan di Provinsi Gorontalo disinyalir memberi tekanan (pressure) pada komponen lingkungan. Kedelapan kegiatan pembangunan yang dimaksud adalah : (1) kegiatan pertanian; (2) kegiatan perikanan dan kelautan; (3) kegiatan kehutanan dan perkebunan; (4) kegiatan transportasi; (5) kegiatan pemukiman dan persampahan; (6) kegiatan pertambangan; (7) kegiatan industri; dan (8) kegiatan kesehatan masyarakat. Kedelapan kegiatan pembangunan Provinsi Gorontalo tersebut disinyalir telah memberi tekanan pada lingkungan, baik pada komponen lingkungan abiotic, komponen llingkungan biotic, maupun komponen lingkungan culture, baik itu yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Akibat tekanan itu juga disinyalir telah memberi dampak pada setiap perubahan komponen lingkungan termaksud. 23 Dampak-dampak itu secara geografis dapat dibedakan, yakni baik pada daerah terestrial (di darat) maupun pada daerah akuatik (di perairan). Pada daerah terestrial disinyalir telah terjadi erosi dan sedimentasi secara besar-besaran dalam waktu yang cukup lama yang kini menjadikan Danau Limboto dan sungaisungai di Gorontalo mendangkal. Perusakan tebing sungai dan kaki bukit sebagai akibat kegiatan penambangan juga disinyalir telah berlangsung lama dan kini telah merusak bentang alam dan sekaligus estetika alam, bahkan telah menimbulkan rawan longsor. Begitu pula tempat pembuangan sampah yang berada tepat di atas puncak Bukit Pohe-Tanjung Keramat juga disinyalir memberi dampak (lkhususnya limbah B3) yang tidak sedikit terhadap perairan laut yang berada tepat di kaki bukit yang bersangkutan. Begitu pula pada daerah akuatik (perairan) juga dsinyalir telah terjadi perusakan habitat ekosistem terumbu karang secara besar-besaran sebagai akibat kegiatan pemboman dan kegiatan penambangan batu karang yang telah berlangsung hingga kini, termasuk biodiversity yang ada di dalamnya. Begitu pula kegiatan perluasan tambak di Kwandang dan Anggrek juga disinyalir telah merusak habitat bakau dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. PRESSURE (KEGIATAN PEMBANGUNAN) STATE (KONDISI LINGK TERDEGRADASI) RESPONSE (PROGRAM DAN AKSI PENANGGULANGAN) = Kegiatan Pembangunan = Sumberdaya dan LH = Informasi (Kegiatan & Dampak) = Program dan Aksi Penanggulangan Gambar 2. Pendekatan PSR dalam Pengkajian Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Gorontalo : Sumber OECD, 1993. 24 KEGIATAN PEMBANGUNAN GRTLO PETERNAKAN PERIKANAN TRANSPORTASI PERTANIAN, KEHUT-KEBUN PERTAMBANGAN PEMUKIMAN & PERSAMPAHAN INDUSTRI KESEHATAN KOMPONEN LINGKUNGAN ABIOTIC BIOTIC CULTURE PROGRAM & AKSI PENANGGULANGAN IMPACT (DAMPAK) PROGRAM & AKSI SEKTORAL (Erosi & Sedementasi,Pendangkalan, Longsor, Estetika & Limbah B3) PROGRAM & AKSI MULTI SEKTORAL PROGRAM & AKSI LSM & MASYARAKAT = Tekanan pada Komponen Lingkungan = Gangguan thd Kegiatan Pembangunan TERESTRIAL AKUATIK – PERAIRAN (Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang, Bakau, & Biodiversity) = Dampak/Impact = Program & R. Aksi Gambar 1. Keterkaitan Tekanan Pembangunan dgn Degradasi Lingkungan dan Program serta Aksi Penanggulangan Provinsi Gorontalo 25 Diakui bahwa selama ini pemerintah, LSM, dan Masyarakat Gorontalo telah berbuat banyak untuk menanggulangi perusakan lingkungan, melalui programprogram sektoral dari setiap instansi terkait dan LSM maupun yang dilakukan secara bersama-sama atau lintas sektoral oleh sejumlah intansi terkait dan LSM, tetapi sampai berapa jauh keberhasilan program dan aksi (response) mereka masih merupakan misteri yang perlu disingkapkan. 3.2 Kegiatan Pembangunan yang Menimbulkan Tekanan pada Lingkungan 3.2.1 Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Sektor pertanian merupakan sektor andalan Provinsi Gorontalo dimana pemanfaatan areal untuk sektor ini berkisar 26 % dari total luas wilayah Provinsi Gorontalo. Sehubungan dengan dicanangkannya Program Agropolitan di Provinsi Gorontalo, maka pengembangan sektor pertanian di daerah ini dilakukan baik secara intensif mapun secara ekstensif sehingga pada tahun 2002 sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Gorontalo masih tetap mendominasi dibanding dengan sektor lain. Terdapat 7 (tujuh) jenis komoditas pertanian yang dominan diusahakan di Provinsi Gorontalo, yaitu : padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Perkembangan Luas tanam masing-masing komoditas tersebut tampak semakin mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 tercatat 2 (dua) jenis komoditas yang memiliki luas tanam paling tinggi, yakni komoditas jagung (46.276 ha), kemudian komoditas padi (40.343 ha). Areal pertanaman padi sawah tersebar di Kabupaten Boalemo seluas 4.151 ha, Kabupten Gorontalo seluas 17.661 ha dan Kota Gorontalo seluas 1.032 ha. Sawah yang telah beririgasi teknis di Kabupaten Boalemo seluas 963 ha, beririgasi setengah teknis 828 ha, dan beririgasi sederhana 247,25 ha. Sedang sawah yang beririgasi teknis di Kabupaten Gorontalo berkisar 5.775 ha, beririgasi setengah teknis 5.890 ha. Sawah yang beririgasi sederhana hanya terdapat di Kabuapten Gorontalo dan Kabupaten Boalemo yaitu masing-masing seluas 2.209 ha dan 1.408 ha. Kebijakan pemerintah Provinsi Gorontalo dalam meningkatkan produktivitas di sektor pertanian dilakukan dengan pencanangan Program Agropolitan. Kebijakan ini mendapat respon positif dari masyarakat tani melalui pengembangan usaha pertanian padi sawah dan padi ladang serta jagung baik dengan sistim intensifikasi maupun ekstensifikasi. Respon ini terlihat pada peningkatan luas areal usaha pertanaman padi dan jagung. Pada tahun 2002 tercatat luas areal pertanaman padi sawah seluas 46.652 ha dengan sasaran produksi 257.146,8 ton/ha, padi padang seluas 481 ha dengan sasaran produksi 26 1.443,0 ton/ha serta luas areal pertanaman komoditas jagung sekitar 40.424 ha dengan sasaran produksi 215.096,1 ton/ha. Sehubungan dengan Program Agropolitan tersebut, maka untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian, petani melakukan pemupukan dan pengendalian hama dengan berbagai jenis pestisida. Namun sampai saat ini belum ada data mengenai jumlah pupuk dan pestisida yang digunakan di Provinsi Gorontalo. Jika petani mengaplikasikan pupuk dan pestisida dengan dosis yang tidak terkontrol, residu pupuk yang berlebihan pada usaha pertanian sawah, sebagian besar akan masuk ke sungai, melalui Danau Limboto dan terus mengalir ke muara sungai. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi badan air danau dan estuaria yang memicu terjadinya blooming fitopalnkton. Sedang residu pestisida dan herbisida yang masuk ke badan air akan terakumulasi melalui bioakumulasi dan biomagnifikasi hingga mencapai konsentrasi lethal yang mematikan biota perairan. Khusus komoditas jagung dan beberapa jenis tanaman pangan lainnya umumnya dilakukan pada lahan berbukit atau berlereng. Hasil observasi lapang, terlihat bahwa sekitar 90 % areal pertanaman jagung dilakukan di lokasi dengan kemiringan lereng di atas 75%. Penanaman tanaman jagung ini dilakukan tanpa memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air, dengan kata lain tidak membuat terasering. Dampak lingkungan yang terjadi dari pengembangan areal pertanaman jagung adalah peningkatan laju erosi tanah dan sedimentasi, penurunan kesuburan tanah, dan peningkatan kekeruhan air permukaan. Dampak ini berlanjut pada penurunan kualitas air berupa peningkatan kekeruhan air dan pendangkalan ekosistem sungai, danau (Danau Limboto) dan muara yang menerima limpasan air dari areal pertanian ini. Selain itu, kehidupan biota perairan di sungai dan danau serta estuaria akan mengalami gangguan akibat adanya peningkatan kekeruhan air dan pendangkalan perairan. Selain pertanian, potensi lahan perkebunan di Provinsi Gorontalo juga cukup luas yaitu berkisar 180.019,81 ha yang tersebar pada 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Gorontalo sekitar 115.061,51 ha dan Kabupaten Boalemo sekitar 64.958,30 ha. Potensi areal tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan. Areal perkebunan yang belum dimanfaatkan di Provinsi Kabupaten Gorontalo adalah seluas 100.701,85 ha ( 56 %) yaitu 66.610,24 ha (37 %) di Kabupaten Gorontalo dan 34.091,61 ha (19 %) di Kabupaten Boalemo. Terdapat beberapa jenis tanaman perkebunan yang diusahakan oleh petani di Provinsi Gorontalo antara lain kelapa, kemiri, kakao, jambu mente, kopi, cengkeh tebu, pala, vanili, casiavera, kapuk dan aren. Dari sekian komoditas tersebut, hanya 7 (tujuh) jenis yang dominan dikembangkan oleh petani yaitu kelapa, kemiri, kakao, jambu mente, kopi, cengkeh tebu. 27 Penggunaan pupuk pada kegiatan perkebunan hanya dengan dosis yang rendah sehingga tidak terjadi degrdasi lingkungan akibat penggunaan pupuk. Namun karena kegiatan perkebunan pada umumnya dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng di atas 50 %, dan petani tidak memahami kaidah konservasi tanah dan air, sehingga kegiatan ini menyebabkan erosi, hilangnya lapisan top soil dan penurunan kandungan unsur hara tanah. Sektor lainnya adalah Sektor Kehutanan. Berdasarkan Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo (2002), luas hutan di Provinsi Gorontalo adalah sekitar 826.376,12 ha yang terdiri atas hutan lindung 165.488,67 ha (20,03 %), hutan swaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam 1987.586,85 ha (23,91 %), hutan produksi terbatas 342.449,55 ha (41,44 %), hutan produksi tetap 150.684,45 ha (12,18 %), dan hutan produksi konversi 20.188,60 ha (2,44 %). Selain itu, juga terdapat hutan bakau seluas 10.418 ha. Eksploitasi hutan di Provinsi Gorontalo nampaknya sudah relative tinggi. Eksploitasi yang dilakukan adalah berupa penebangan kayu untuk kebutuhan konsumen lokal dan konsumen di luar Provinsi Gorontalo. Tingginya eksploitasi hutan di Provinsi Gorontalo nampak pada produksi kayu yang mengalami peningkatan sangat nyata setiap tahunnya. Data produksi kayu yang tercatat pada tahun 2000, adalah kayu bulat (LOG) 9.372,04 m3, kayu gergajian 937,20 m3 dan rotan 785.059,21 ton, sedang produksi kayu pada tahun 2001 adalah kayu LOG 166.068,78 m3, kayu gergajian 16.606,87 m3 dan rotan 785.059,21 ton. Indikator lainnnya yaitu sebagian hutan dikonversi menjadi lahan pertanian, perkebunan dan tambak budidaya ikan serta sebagian untuk pemukiman. Untuk mempertahankan kelestarian ekosistem hutan, pada tahun 2001 pemerintah melakukan reboisasi namun luas areal reboisasi ini masih sangat kecil yakni, sekitar 1.250 ha. Di antaranya 600 ha di Kabupaten Boalemo dan 650 ha di Kabupaten Gorontalo. Permasalahan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi hutan adalah sebabaia berikut: (a) Penebangan hutan secara terus menerus tanpa disertai dengan reboisasi akan mengakibatkan penurunan kenakekaragaman hayati; (b) Lahan yang terbuka akibat penebangan tidak segera dihijaukan sehingga lahan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian tanpa memperhatikan kaidah kelestarian lingkungan, sehingga terjadi erosi dan penurunan unsur hara. Peningkatan erosi menimbulkan dampak lanjutan terhadap pendangkalan dan penyempitan luas sungai dan danau serta gangguan kehidupan biota perairan sungai atau pun danau; (c) Peubahan iklim mikro utamanya suhu udara meningkat; dan (d) Dalam jangka waktu tertentu, produksi kayu akan terus menurun. 28 3.2.2 Perikanan dan Kelautan Potensi perikanan di Provinsi Gorontalo relative besar, mencakup : potensi perikanan darat, payau dan perikanan laut. Kegiatan perikanan darat lebih dominan dilakukan di Danau Limboto berupa budidaya ikan dengan menggunakan jaring apung, karamba dan jaring tancap serta penangkapan dengan menggunakan alat tangkap berupa pancing, jaring dan bibilo. Kegiatan perikanan darat yang dominan di Danau Limboto sebenarnya telah banyak memberikan sumbangan terhadap degradasi lingkungan danau. Luas Danau Limboto pada tahun 1932 adalah sekitar 7.000 ha dengan kedalaman rata-rata 30 m. Namun pada tahun-tahun selanjutnya, kondisi danau semakin mengalami degradasi berupa laju penyempitan dan pendangkalan danau semakin cepat hingga pada tahun 1990 luas efektif danau yang tercatat hanya sekitar 2.700 ha dengan kedalaman rata-rata 2,5 m. Kondisi Danau Limboto saat ini sebetulnya sudah berada pada fase eutrofi. Hal ini ditandai dengan laju aktivitas biologis yang sangat tinggi, tingkat kesuburan tinggi, populasi beberapa jenis organisme yang sangat tinggi (ganggang dan tumbuhan air), beberapa jenis biota (ikan asli danau) menunjukkan tanda-tanda kepunahan seperti ikan manggabai dan payangka), akibatnya keragaman jenis biota semakin menurun. Beberapa jenis ikan asli danau telah punah, dengan demikian, danau Limboto sebetulnya sudah tidak layak untuk dimanfaatkan sebagai pengembangan usaha budidaya perikanan. Namun, ironisnya di Danau Limboto masih dilakukan kegiatan budidaya ikan dengan metoda jaring apung, keramba dan jaring tancap sebanyak 2.000 unit tanpa melalui kajian daya dukung danau untuk kegiatan tersebut. Jumlah tersebut telah melewati carryng capacity (daya dukung) dan daya lenting danau. Sisa pakan yang tidak termanfaatkan oleh ikan budidaya akan mengalami pembusukan dan pada akhirnya menurunkan mutu air danau berupa penurunan DO, pH, peningkatan BOD dan COD serta timbulnya senyawa beracun berupa CO2, H2S, NH3 dan CH4. Oleh karena itu, pemanfaatan danau Limboto untuk kegiatan budidaya ikan merupakan salah satu sumber penyebab penurunan kualitas lingkungan danau tersebut. Penangkapan ikan dengan menggunakan bibilo adalah salah satu cara penangkapan dengan memanfaatkan pulau terapung berupa tanaman air. Pada bibilo ikan akan berkumpul kemudian ditangkap dengan jaring insang. Kelemahan dari metoda ini adalah penguapan air semakin meningkat, mempercepat laju pendangkalan danau dan terjadinya eutrofikasi serta timbulnya senyawa-senyawa beracun di dasar danau akibat dekomposisi bibilo yang mati. Oleh karena itu, penangkapan ikan dengan cara ini adalah salah satu penyebab peningkatan laju degradasi ekosistem Danau Limboto. 29 Penangkapan ikan dengan menggunakan aliran listrik dan bius adalah salah satu cara penangkapan yang mengancam kelestarian biota perairan Danau Limboto. Metoda penangkapan ini selain mematikan ikan-ikan besar, telur dan larva ikan, juga mematikan biota lainnya berupa plankton dan benthos sehingga rantai makanan dan jaring makanan terputus yang berimplikasi pada rusaknya sistim aliran energi pada ekosistem danau. Limpasan air Danau Limboto yang kualitasnya rendah masuk ke estuaria melalui sungai Bolango dan Sungai Bone berakibat pada penurunan kualitas air muara Sungai Bone. Akibat lebih lanjut adalah kehidupan beberapa jenis biota perairan estuaria (muara) Sungai Bone dan sekitarnya yang tidak toleran terhadap perubahan kondisi lingkungan hidupnya mengalami gangguan sehingga keragaman jenisnya pada ekosistem ini berkurang. Selanjutnya kegiatan perikanan payau merupakan usaha perikanan yang dilakukan pada perairan payau yaitu perairan dengan salinitas berkisar antara 5 – 30 promil. Kegiatan perikanan di lokasi ini berupa budidaya ikan pada kolam (empang/tambak). Budidaya ikan payau atau tambak di Provinsi Gorontalo dominan dilakukan di Kecamatan Anggrek dan Kecamatan Kwandang Kabuapten Gorontalo. Pada umumnya areal tambak tersebut merupakan hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak. Luas hutan mangrove di Provinsi Gorontalo berkisar 11.585 ha yang menyebar di dua kabupaten yaitu sekitar 5.100 ha di Kabupaten Gorontalo dan 6.481 ha di Kabupaten Boalemo (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Gorontalo, 2002). Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap tokoh masyarakat di Kecamatan Kwandang dan Kecamatan Angrek Kabupaten Gorontalo, ternyata hutan mangrove yang dikonversi menjadi areal pertambakan diperkirakan sudah seluas 70 % dari luas total semula. Tingkat teknologi budidaya air payau (tambak) yang dilakukan di Provinsi Gorontalo masih tergolong tradisional, sehingga dampaknya terhadap penurunan kualitas lingkungan belum nyata. Namun kegiatan ini menimbulkan dampak terhadap degradasi hutan bakau (karena ekspansi ke areal bakau) sehingga fungsi ekologis ekosistem tersebut semakin berkurang dan berakibat pada peningkatan laju erosi dan sedimentasi ke laut serta terjadinya abrasi pantai, terputusnya siklus unsur hara, hilangnya daerah pemijahan dan nursery ground (daerah pembesaran) dan feeding ground (daerah mencari makan) beberapa biota laut. Jika kegiatan pembukaan hutan mangrove dibiarkan berlangsung terus menerus, maka akan berimplikasi pada penurunan produktivitas perairan pantai dan berdampak lanjut terhadap penurunan pendapatan nelayan. Berikut, kegiatan perikanan laut di Provinsi Gorontalo dilakukan di Teluk Tomini dan Laut Sulawesi. Jenis kegiatan perikanan laut yang dominan adalah penangkapan dan budidaya laut. Usaha budidaya laut yang dilakukan di Provinsi Gorontalo adalah budidaya rumput laut dan budidaya ikan sistim keramba apung. Usaha ini perlu dikembangkan mengingat potensi areal untuk 30 pengembangan usaha ini masih sangat mendukung utamanya di Kabupaten Gorontalo dan Boalemo. Kegiatan perikanan tangkap di laut yang mengancam kelestarian komoditas perikanan adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom, penggunaan bahan beracun berupa cyanide dan penggunaan pukat harimau. Penggunaan alat tangkap ini selain mematikan ikan target, juga memtikan ikan non target seperti larva ikan dan biota laut lainnya (karang dan organisme yang bersimbiose dengan terumbuh karang). Hal ini lebih lanjut akan berimplikasi negative terhadap penurunan stock populasi ikan meskipun dalam jangka waktu yang relatif lama. Kegiatan lainnya di wilayah perikanan yang justru berdampak sangat parah adalah kegiatan penambangan terumbu karang untuk keperluan bahan bangunan; Kegiatan penambangan ini sudah berlangsung cukup lama dan dilakukan oleh penduduk di Provinsi Gorontalo. Kegiatan ini dilakukan pada semua kecamatan yang terletak di pantai. 3.2.3 Peternakan Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat Gorontalo adalah sapi, kuda, kambing dan babi. Data Profil Provinsi Gorontalo (2002) menunjukkan bahwa jenis ternak yang paling banyak dipelihara adalah sapi berkisar 159.334 ekor, kemudian menyusul berturut-turut : kambing sebanyak 83.931 ekor, kuda 9.997 ekor dan babi 8.432 ekor. Selain ternak besar, penduduk setempat juga beternak unggas seperti ayam ras, ayam buras, itik dan burung puyuh. Pada tahun 2002 jenis peternakan unggas yang paling banyak diusahakan adalah buras sebanyak 641.897 ekor, ayam ras 131.168 ekor dan itik 47.093 ekor. Usaha peternakan ini tersebar di tiga kabupaten, dan belum ada usaha peternakan skala besar, sehingga dampak kegiatan terhadap lingkungan relative kecil. Kotoran ternak piaraan justru dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pupuk organik. 3.2.4 Pertambangan Kegiatan pertambangan sangat potensil menimbulkan degradasi lingkungan hidup jika tidak dilakukan secara hati-hati. Kegiatan pertambangan di Provinsi Gorontalo sebagian besar adalah tambang golongan C yaitu tambang pasir, kerikil dan batu. Kegiatan pertambangan ini dominan dilakukan di alur sungai utamanya Sungai Bone, Sungai Bolango. Permasalahan lingkungan yang timbul dari kegiatan ini adalah perubahan pola aliran sungai Bone dan semakin dalamnya dasar sungai, yang akhirnya dapat merusak pondasi beberapa jembatan serta pintu air irigasi. 31 Kegiatan pertambangan lainnya adalah pertambangan emas. Kegiatan pertambangan emas di Provinsi Gorontalo tersebar di beberapa wilayah yaitu Wilayah Marisa Kabupaten Pohuwato, wilayah Pasolo Desa Buladu, Kecamatan Sumalata dan wilayah tambang Mopuya Desa Kaidundu, Kecamatan Bone Pantai Kabupaten Gorontalo, Wilayah Suwawa Kabupaten Gorontalo, dan wilayah Boliohuto Kabupaten Gorontalo. Hasil penelitian PSL IKIP Gorontalo (2002) menunjukkan bahwa penambangan emas di Desa Buladu dan Desa Kaidundu telah menyebabkan kandungan logam berat Hg (merkuri) pada badan air sungai Dubalango dan Sungai Mopuyo telah melewati ambang batas baku mutu (0,001 mg/l). Kadar Hg pada badan air dan sedimen Sungai Dubalango (sungai sekitar penambangan Pasolo) adalah masing-masing berkisar antara 0,0002 – 0,016038 mg/l dan 104,2172 – 927,2519 mg/l, Sedang konsentrasi Hg pada badan air dan sediment Sungai Mopuya (sungai sekitar penambangan Mopuya) adalah masing-masing berkisar antara 0,0002 – 0,2457 mg/l dan 22,7798 – 53,1579 mg/l. Permasalahan yang terjadi akibat kegiatan pertambangan emas adalah pencemaran logam berat Hg pada badan air sungai. Kandungan merkuri pada air sungai tersebut kemudian akan mengalir menuju ke muara dan akhirnya akan masuk ke perairan laut. Pencemaran merkuri pada air sungai Dubalango akan mencemari perairan Laut Sulawesi dan pencemaran merkuri pada air sungai Mopuya akan mencemari perairan Teluk Tomini. Karena logam ini termasuk unsur yang nondegradable sehingga akan terakumulasi pada badan air yang selanjutnya akan terjadi bioakumulasi dan biomagnifikasi melalui rantai makan pada tumbuhan dan hewan laut yang selanjutnya akan berdampak pada kesehatan manusia yang mengkonsumsi tumbuhan dan hewan laut yang telah terkontaminasi logam merkuri tersebut. Dampak lingkungan lainnya yang disebabkan dari kegiatan pertambangan ini adalah berubahnya bentang alam, hilangnya vegetasi dan flora yang ada di atasnya. Akibat terbukanya lahan akan meningkatkan erosi dan sedimentasi di sungai. 3.2.5 Industri Jumlah Industri yang ada di Provinsi Gorontalo cukup banyak dan telah memberikan kontribusi yang cukup besar pada PDRB Provinsi Gorontalo. Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang direkrut, Industri tersebut dibagi ke dalam 4 (empat) golongan besar yaitu industri besar, industri sedang dan industri rumah tangga. Data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Provinsi Gorontalo (2002), menunjukkan jumlah industri kecil dan menengah yang kini sedang beroperasi di Provinsi Gorontalo adalah sebanyak 640 buah. 32 Jenis industri yang potensil menimbulkan dampak terhadap degradasi lingkungan adalah industri batu bata sebanyak 31 buah, industri kapur tembok sebanyak 19 buah, industi Cold Storage (pembekuan ikan) sebanyak 7 (tujuh) buah, meubel kayu 46 buah, meuble rotan 6 (enam) buah dan molding 19 buah, industri makanan, minuman dan tembakau 43 buah. Selain Jumlahnya yang cukup besar, industri itu tersebar sehingga diperkirakan potensil menimbulkan permasalahan lingkungan, di antaranya adalah sebagai berikut : a. Industri batu bata • • Industri batu bata menggunakan bahan baku berupa tanah liat dan kayu bakar pada proses pembakaran batu bata. Penggalian tanah liat pada beberapa lokasi mengakibatkan perubahan bentang alam, erosi dan penurunan kesuburan tanah. Pembakaran batu bata melalui tungku mengeluarkan asap dan selanjutnya berdampak pada penurunan kualitas udara berupa peningkatan NO2 dan SO2. b. Industri kapur tembok • • Penambangan batu kapur di Provinsi Gorontalo tersebar di kelurahan Pilolodaa, Buliide, dan Lekobalo Kecamatan Kota Barat. Industri pengolahan kapur tembok dapat menimbulkan dampak berupa perubahan bentang alam, ancaman longsor, erosi dan sedimen. Akibat lebih jauh adalah penurunan kualitas dan badan air di sekitar lokasi penambangan batu kapur. Pembakaran batu kapur juga menimbulkan dampak pada penurunan kualitas udara berupa peningkatan NO2 dan SO2. c. Industri Pembekuan Ikan Lokasi industri pembekuan ikan tersebar pada daerah di sepanjang Pantai Teluk Tomini yaitu di sekitar Kelurahan Leato Utara, Leato Selatan. Pada umumnya industri pembekuan ikan yang ada belum melakukan pengelolaan limbah cair hasil pencucian bahan baku ikan yang dibekukan. Limbah-limbah hasil pengolahan ikan langsung dibuang ke lingkungan. Hal ini berdampak pada: • Pencemaran air permukaan dan tanah serta pencemaran udara berupa bau yang busuk. • Air yang tercemar memicu munculnya bakteri phatogen yang mematikan biota perairan penerima limbah cair dari industri sehingga populasi dan keragaman jenisnya berkurang • Air yang tercemar memicu munculnya bakteri phatogen, akibatnya dapat memicu timbulnya beberapa jenis penyakit yang akan diderita oleh penduduk sekitar lokasi industri. 33 3.2.6 Pemukiman dan Persampahan Pemukiman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan. Permasalahan lingkungan akan muncul jika pada suatu lokasi dihuni oleh jumlah penduduk yang terlalu padat. Kondisi demikian umumnya ditemukan di perkotaan. Di Provinsi Gorontalo, lokasi pemukiman yang terpadat adalah di Kelurahan Bugis, dan Kelurahan Biawao Kota Gorontalo. Kelurahan ini terletak di bagian hilir kawasan DAS Bone dan DAS Bolango, sehingga kontribusinya terhadap penurunan kualitas air kedua sungai tersebut sangat besar. Limbah rumah tangga berupa limbah padat dan limbah cair dibuang langsung ke sungai. Selain itu, rata-rata penduduk pada kedua kelurahan itu dan kelurahan lainnya pada sepanjang muara sungai termaksud memanfaatkan badan sungai sebagai lokasi buang air besar (BAB). Jelas hal ini mengakibatkan pencemaran pada badan air Sungai Bone dan Sungai Bolango hingga Teluk Gorontalo. Pencemaran tersebut berupa meningkatnya jumlah bakteri patogen, menurunnya kandungan oksigen terlarut pada air, terganggunya kehidupan biota perairan. Secara umum, penanganan limbah domestik di Provinsi Gorontalo belum dilakukan secara baik. Limbah padat dan limbah cair dibuang secara tidak teratur, tidak mempunyai jamban yang memenuhi persyaratan. Jumlah penduduk yang memiliki jamban (BAB) yang memenuhi persyaratan hanya sekitar 94.362 kk (36,96 %). Permasalahan lingkungan yang timbul dari pemukiman adalah: • Pencemaran badan air sungai dan laut yang menerima buangan limbah dari pemukiman • Gangguan kehidupan biota perairan sungai dan Teluk Gorontalo • Gangguan kesehatan penduduk yang menggunakan badan air sungai untuk keperluan MCK utamanya penduduk Kelurahan Bugis Kota Gorontalo. Besarnya limbah pemukiman tersebut khususnya limbah padat telah membuat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) juga telah melampaui daya tampung. Diperkirakan tidak kurang dari 15 truk perhari sampah padat yang dibuang ke TPA termaksud. Selain daya tampungnya yang sudah melampaui kapasitas adalah juga tempatnya yang sangat tidak layak dari segi lingkungan. TPA tersebut berada di atas puncak bukit yang pada kaki bukitnya secara vertikal tepat berada tepat di pinggir pantai. Akibatnya di musim hujan sampah-sampah yang bertumpuk-tumpuk di TPA secara langsung mengalir ke tepi pantai. 3.2.7 Transportasi Mobilisasi kendaran trasnportasi potensil menimbulkan dampak terhadap penurunan kualitas udara dan gangguan kesehatan masyarakat. Jumlah kendaraan yang tercatat di Provinsi Gorontalo pada tahun 2000 berkisar 10.100 34 unit, terdiri atas 3.161 mobil penumpang/pribadi, 1.095 unit bus, 3.479 unit mobil barang serta kendaraan roda dua dengan konsumsi bahan bakar selama 7 bulan (Juni s/d Desember 2002) sebanyak 22.545.000 liter premium dan 10.498.000 solar. Jenis pencemaran yang timbul akibat kegiatan transportasi adalah pencemaran udara berupa peningkatan kandungan karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), nitrogen oksida (NOx) dan logam Pb akibat proses pembakaran kendaraan yang tidak sempurna utamanya kendaraan yang umur teknisnya sudah tua. Penurunan kualitas udara akan berdampak lanjut terhadap gangguan kesehatan masyarakat yang bermukim di sekitar jalur lalu lintas. Gambaran kualitas udara di Kota Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Kualitas Udara di Kota Gorontalo Tahun 2003 Lokasi No Parameter Satuan Baku Mutu PP 41 Th.1999 24 jam U-1 U-2 U-3 U-4 U-5 °C 32,1 32,7 32,9 32,9 33,2 normal 1 Temperatur 2 Total debu/ partikel µg/Nm3 148 131 174 196 218 230 Karbon Monoksida (CO) Sulfur Dioksida (SO2) Oksida Nitrogen (NOx) µg/Nm3 565 452 904 1017 1243 10.000 µg/Nm3 91,0 72,8 109,2 124,8 135,2 365 µg/Nm3 20,4 11,1 27,8 29,6 53,6 150 3 4 5 6 Bising dBA 46~69 32~40 49~71 51~79 58~82 65 *) 7 Kelembaban %H 53~55 54~56 60~62 52~54 51~53 - 8 Kecepatan Angin m/det 1,3~3,9 0,6~4, 1,3~3,9 0,5~3,6 2,0~5,1 - Sumber: Data ANDAL PKPP Tahun 2003 Jenis pencemaran lainnya dari kendaraan adalah dari penggunaan minyak pelumas mesin kendaraan. Buangan minyak pelumas ini potensial menimbulakn dampak terhadap pencemaran ekosistem perairan. Jumlah minyak pelumas yang terjual di Provinsi Gorontalo selama 7 bulan berkisar 127.564 liter. Dengan demikian jumlah minyak pelumas bekas juga berkisar 127.564 liter. Jika limbah tersebut tidak dikelola dengan baik pada akhirnya (via aliran permukaan) akan dapat mencemari ekosistem perairan, dan akibat lebih lanjut adalah pada gangguan kehidupan biota yang hidup di ekosistem termaksud. 35 3.2.8 Kesehatan Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di Provinsi Gorontalo cukup memadai. Pada tahun 2002, Sarana kesehatan di Provinsi Gorontalo adalah berupa : rumah sakit 5 (lima) buah, poliklinik 2 (dua) buah, puskesmas 281 buah, pondok bersalin 305 buah dan posyandu 973 buah. Sedang jumlah tenaga kesehatan yang tercatat adalah sebanyak 1.474 orang. Dari jumlah tersebut terdapat dokter spesialis sebanyak 7 (tujuh) orang, dokter umum 117 orang, dokter giggi 19 orang sarjana kesehatan masyarakat 19 orang dan apoteker sebanyak 6 (enam) orang. Pada umumnya rumah sakit yang ada di Provinsi Gorontalo belum melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik. Limbah padat dan limbah infeksius rumah sakit (tepatnya limbah medis) pada umumnya hanya ditampung di tempat sampah dan dibuang ke tempat pembuangan akhir. Jika kegiatan pelayanan kesehatan tidak dilakukan dengan baik, maka hal ini jelas akan menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Dampak lingkungan yang terjadi adalah: • Pencemaran badan air dan tanah. Limbah cair yang tidak dialirkan ke instalasi pengolahan limbah cair akan terbuang ke saluran air, selanjutnya sebagian merembes ke sumur penduduk dan sebagian lainnya masuk ke badan air (sungai, laut) dan mencemari ekosistem perairan tersebut. Dampak ini akan berlanjut pada gangguan kesehatan penduduk sekitar rumah sakit yang mengkonsumsi air sumur yang telah tercemar. • Rumah sakit maupun puskesmas pada umumnya tidak dilengkapi dengan incinerator, sehingga limbah padat berupa sisa makanan, jarum suntik dan perban bekas yang tidak sempat diangkut ke TPA bertumpuk pada suatu tempat yang tidak aman. Limbah ini merupakan media berkembangnya bakteri phatogen yang berbahaya bagi pasien dan pengunjung rumah sakit serta penduduk yang bermukim di sekitarnya. 36 Tabel 2. Jenis Limbah Rumah Sakit Islam Gorontalo dan Cara Penanganannya No 1 2 3 4 5 6 7 Kegiatan yang Jenis Limbah Jumlah/volume (per menghasilkan bulan) limbah Cair: 100m3/bln Cair, padat, Perawatan Infeksius Padat: 1860 kg/bln infeksius Cair dan Dapur Cair: 100m3/bln Padat Sampah:4800 kg/bln Cair: 5 m3/bln Cair Laundry Cair: 2m3/bln Padat: 300 kg/bl Laboratorium Cair Cair: 3,14 m3/bln Cair , padat OK Padat: 600 kg/bln infeksius Infeksius KIA/KB UGD Cair dan padat Cair, padat Infeksius Cair: 2 m3/bln Padat: 600 kg/bln Cair: 2 m3/bln Padat: 600 kg/bln Cara Penanganan Limbah Septik Tank pengangkutan pembakaran Drainase, Pengangkutan Septik tank, Drainase Septik Tank Pengangkutan Septik Tank Pengangkutan, Pembakaran Septik tank, drainase, pengangkutan Septik tank, drainase, pengangkutan Sumber: Data UKL/UPL RSI Tahun 2002 37 3.3 Degradasi Lingkungan dan Dampaknya (ABC) Sebagai akibat tekanan (pressure) dari kedelapan kegiatan pembangunan sebagaimana yang dipaparkan pada sub bab 3.1, maka komponen lingkungan yang telah mengalami degradasi adalah terutama komponen lingkungan abiotic dan biotic, berikut culture sebagai degradasi lanjutan dari perubahan kedua komponen lingkungan sebelumnya. Degradasi lingkungan khususnya pada komponen lingkungan abiotic adalah terutama bersumber dari : (1) kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan khususnya erosi dan sedimentasi sebagai akibat langsung dari kegiatan pembangunan tersebut yang tidak mengindahkan kaedah konservasi tanah. Jenis dampak ini berlanjut pada penurunan kualitas air sungai dan khususnya pendangkalan yang kini dialami oleh Danau Limboto; (2) kegiatan perikanan danau maupun laut khususnya pada kegiatan budidaya keramba dan penggunaan bahan-bahan kimia dalam penangkapan ikan di laut; (3) kegiatan pertambangan yang kini telah merusak badan sungai (dasar maupun tebing sungai) dan bentang alam di sejumlah kaki bukit di Kota Gorontalo, juga tambang emas yang kini juga telah mencemari lingkungan akibat pembuangan merkuri yang telah melampaui ambang batas; (4) kegiatan industri batu bata dan kapur yang pada umumnya telah merusak bentang alam dan juga turut memberi kontribusi terhadap penurunan kualitas udara sebagai akibat langsung kegiatan pembakaran kedua jenis industri termaksud; (5) kegiatan pemukiman dan persampahan yang selain telah mengotori langsung badan air di sungai melalui comberan dan tinja juga telah memberi dampak yang utama terhadap permasalahan TPA yang kini lokasinya sangat tidak layak dari segi lingkungan; (6) transportasi khususnya terhadap penurunan kualitas udara dan limbah pelumas bekas; serta (7) kegiatan kesehatan khususnya pada penanganan limbah medis maupun cair yang dibuang langsung ke lingkungan tanpa melalui proses pengolahan (untuk limbah cair) atau proses incinerator (untuk limbah padat/infeksius). Gambar 8. Salah satu contoh Degradasi lingkungan khususnya pada komponen lingkungan abiotik 38 Selanjutnya Degradasi lingkungan khususnya pada komponen lingkungan biotic yang pada umumnya merupakan dampak lanjut dari perubahan (degradasi) komponen lingkungan abotic, adalah terutama bersumber dari : (1) penurunan kualitas air khususnya pada badan dan muara Sungai Bone dan Bolango sebagai akibat lanjut dari peristiwa erosi dan sedimentasi serta buangan limbah domestik yang terus berangsung dengan intensitas yang cukup tinggi di musim hujan, walaupun perubahan komponen lingkungan bitotik ini masih pada tarap gangguan kehidupan, (2) rusaknya ekosistem bakau (mangrove) sebagai akibat ekspansi tambak yang berlebihan khususnya di Kecamatan Anggrek dan Kwandang, kerusakanan ekosistem mangrove ini jelas berdampak negatif pada kehidupan biota-biota tertentu seperti : kepinting, nener, kerang-kerangan dan jenis ikan bakau lainnya, dan (3) rusaknya ekosistem terumbu karang sebagai akibat lanjut dari penggunaan bom ikan dan penambangan batu karang yang hingga kini masih terus berlangsung di Kecamatan Anggrek dan Kwandang. Penduduk pada kedua kecamatan ini pada umumnya menggunakan batu karang sebagai pondasi rumah, termasuk di dalamnya bangunan kantor-kantor dinas pemerintah. Gambar 9. Degradasi lingkungan khususnya pada komponen lingkungan biotic Gambar 10. Degradasi lingkungan khususnya pada komponen lingkungan culture 39 Berikut, degradasi lingkungan khususnya pada komponen lingkungan culture. Perubahan pada komponen lingkungan culture pada garis besarnya dapat dibedakan atas dua, yakni berupa dampak positif dan dampak negatif. Tetapi dampak positif tersebut pada umumnya diperkirakan hanya terjadi dalam jangka pendek pada hampir seluruh kegiatan pembangunan di Kota Gorontalo, mengingat kegiatan pembangunan yang dimaksud khususnya pada periode sebelum resmi menjadu provinsi pada umumnya kurang mempertimbangkan aspek lingkungan. Sedang dampak negatif dari aspek culture diperkirakan akan semakin terasa atau terlihat seiring dengan semakin parahnya perubahan komponen lingkungan abitic dan biotic sumberdaya alam dan lingkungan hidup Provinsi Gorontalo. Perubahan dampak culture ini dapat berupa perubahan sumber – sumber pendapatan masyarakat, peraturan daerah, keindahan kota, konflik social (kepentingan), dsb. 3.4 Program dan Aksi Penanggulangan Kerusakan Lingkungan (Sektoral-multisektoral-LSM dan Masyarakat). Berdasarkan pelaku utamanya, secara umum program-program dan aksi-aksi penanggulangan kerusakan lingkungan dapat dibedakan atas tiga, yakni : (1) program dan aksi penanggulangan yang bersifat sektoral yang umumnya dilakukan oleh instansi pemerintah atau LSM secara parsial; (2) program dan aksi penanggulangan yang bersifat multi-sektor atau lintas sektor yang dilakukan secara bersama-sama atau terpadu dari sejumlah instansi terkait dengan LSM dan masyarakat; dan (3) program dan aksi penanggulangan yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat atau LSM. Program-program yang dimaksud akan diuraikan berikut. Mengacu pada Rencana Strategis Daerah (RENSTRADA) Provinsi Gorontalo Tahun 2002 – 2006, sesunguhnya telah direncanakan sejumlah program dan aksi-aksi pembangunan yang di arahkan pada pengelolaan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan hidup, meskipun tidak secara tajam dan spesifik ditujukan pada permasalahan lingkungan. Program dan aksi-aksi pembangunan itu disebar ke dalam berbagai bidang kebijakan, di antaranya pada : (1) bidang kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (2) bidang kebijakan investasi dan pengembangan kawasan; (3) bidang kebijakan ekonomi dan pembangunan; dan (4) bidang kebijakan sosial budaya, pendidikan dan agama. Dalam pewujudannya, seluruh konsep program dan aksi-aksi pembangunan yang direncanakan dan ditetapkan pada setiap bidang kebijakan termaksud sebagaimana yang telah dipaparkan pada Bab I di muka – ditindak lanjuti dalam bentuk penjabaran dan penerapan program dan aksi-aksi di lapangan oleh setiap badan dan dinas terkait dalam wilayah Provinsi Gorontalo. Badan dan dinas yang dimaksud adalah antara lain : (1) Dinas Pertanian; (2) Dinas Perikanan dan Kelautan; (3) Dinas Kehutanan dan Perkebunan; (4) Dinas 40 Perhubungan; (5) Dinas Pemukiman dan Persampahan (Kimpraswil); (6) Dinas Pertambangan; (7) Dinas Perindustrian; (8) Dinas Kesehatan; dan (9) Badan Penelitian, Pengembangan, dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Balitbangpedalda). Dari seluruh program dan aksi-aksi pembangunan yang dipaparkan pada keempat bidang yang dimaksud tidak secara eksplisit dikemukakan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap program dan rencana aksi pembangunan yang tersebut. Tampaknya disetiap program dalam satu bidang didalamnya terdapat rencana aksi pembangunan yang bersifat sektoral, multi sektor maupun yang dapat dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Tetapi dari rumusan program dan rencana aksi penbangunan pada keempat bidang tersebut sebagaimana yang dipaparkan pada Bab II di muka dapat dinyatakan bahwa keseluruhan program utama dan rencana aksi yang dimaksud umumnya lebih bersifat multisektor atau lintas sektoral atau dikerjakan bersama intansi terkait maupun dengan lembaga swadaya masyarakat dan atau dengan keterlibatan masyarakat di mana rencana aksi itu akan dilakukan. Sampai berapa jauh aplikasi program utama dan seluruh rencana aksi yang terumuskan itu masih menunggu hasil evaluasi dari setiap sektor atau pun koordinator sektor yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk itu. Sampai penyusunan Laporan Status Lingkungan Hidup ini dilaksanakan belum ditemukan adanya laporan yang menjelaskan penerapan dan hasil-hasil yang dicapai dari keseluruhan program dan rencana aksi yang dimaksud. Mungkin sekali terjadi karena Provinsi Gorontalo masih dalam berbenah diri menata kelembagaannya sebagaimana halnya provinsi lain yang baru saja memisahkan diri dari provinsi induknya (Provinsi Sulawesi Utara). 41 BAB IV. REKOMENDASI (Rencana Tindak Lanjut Respon – Program dan Aksi Pembangunan) Berdasarkan kondisi degradasi lingkungan sebagaimana yang dipaparkan pada Bab I dan III dan belum berhasilnya program-program dan aksi-aksi yang direncanakan, maka dalam rangkan peningkatan kualitas lingkungan di Provinsi Gorontalo, termasuk didalamnya pengelolaan sumberdaya alamnya, terhadapnya direkomendasikan sejumlah program dan aksi-aksi pembangunan sebagai respon tindak lanjut dari rencana program dan aksi-aksi yang telah ada. Rencana program dan aksi-aksi pembangunan yang direkomendir adalah ditekankan pada persoalan lingkungan yang kini telah berdampak luas dan penting di Provinsi Gorontalo. Persoalan lingkungan yang dimaksud antara lain : (1) semakin rusaknya habitat ekosistem terumbu karang dan bakau (mangrove) khususnya di Kecamatan Kuandang dan Anggrek akibat aktivitas penambangan, dan pemboman serta perluasan areal pertambakan; (2) semakin meningkatnya erosi dan sedimentasi pada areal pertanian agropolitan sebagai akibat dari kegiatan pertanian tanpa konservasi lahan; (3) semakin mendangkalnya kawasan Danau Limboto akibat erosi dan sedimentasi yang terus menerus dari daerah hulu DAS; (4) semakin porak-porandanya sempadan Sungai Bone dan Kaki Bukit Gorontalo akibat penambangan galian C yang tidak ramah lingkungan; dan (5) tidak layaknya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota yang tepat berada di atas posisi atau tebing pantai. Atas dasar persoalan besar dan dampak penting itu maka ditetapkan sejumlah butir rekomendasi dalam dua bentuk yakni program utama dan program pendamping/pendukung. Jenis program utama yang dimaksud adalah sebagai berikut : RPU-1 : Perlunya program pengendalian kerusakan habitat ekosistem terumbu karang dan bakau di Kecamatan Kwandang dan Anggrek. Pada program ini dapat ditetapkan sejumlah proyek-proyek strategis (aksi pembangunan), di antaranya : (1) proyek penghentian dan pengawasan penggunaan batu karang sebagai bahan pondasi bangunan; (2) proyek pengalihan pekerjaan penambang batu karang ke jenis batu lain (batu tebing pantai atau batu kali); (3) proyek pengawasan penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan; (4) proyek penetapan zonasi peruntukan kawasan pantai (bakau dan tambak); dan (5) proyek penerapan system pengelolaan tambak tadisional plus. RPU-2 : Perlunya program pengendalian erosi dan sedimentasi pada areal pengembangan jagung hibrida (agropolitan). Pada program ini dapat ditetapkan sejumlah proyek-proyek strategis, di antaranya : (1) proyek pembuatan terasering pada areal pertanian berlereng; (2) proyek penanaman jenis tanaman tahunan yang memiliki system perakaran yang kuat khususnya 42 daerah yang terjal dan telanjur dibuka untuk areal pertanaman jagung, proyek ini dapat dikombinasikan atau dipadukan dengan proyek terasering; dan (3) proyek pergiliran tanaman (rotasi tanaman) pada areal pertanaman jagung termaksud. RPU-3 : Perlunya program pengendalian pendangkalan Danau Limboto. Program ini sesungguhnya bertalian erat dengan rekomendasi program kedua, namun disamping proyek-proyek strategis yang ditawarkan pada program pengendalian erosi dan sedimentasi dapat ditetapkan sejumlah proyek strategis lainnya, yakni : (1) proyek penetapan zonasi peruntukan kawasan ekosistem Danau Limboto yang berawal di daerah hulu dari seluruh daerah aliran sungai yang bermuara pada Danau Limboto, termasuk di areal Danau Limboto termaksud; (2) proyek penghijauan daerah hulu DAS yang telah diperuntukan sesuai dengan tetapan zonasi; (3) proyek penertiban pemanfaatan areal Danau Limboto (kawasan budidadya ikan, kawasan pengendalian banjir, kawasan persawahan, dsb.) sesuai dengan tetapan zonasi RPU-4 : Perlunya program pengendalian aktivitas penambangan galian C khususnya pada sepanjang badan Sungai Bone dan kaki bukit Gorontalo. Pada program ini juga dapat ditetapkan sejumlah proyek-proyek strategis berikut, yakni : (1) proyek pembangunan penangkal sedimen pada areal penambangan galian C di sepanjang badan Sungai Bone; dan (2) proyek penertibangan penambangan pada kaki bukit Gorontalo. RPU-5 : Perlunya program pemindahan lokasi TPA ke tempat yang lebih layak dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pada program ini dapat ditetapkan sejumlah proyek strategis berikut : (1) proyek penetapan lokasi TPA baru melalui studi kelayakan social, ekonomi, dan lingkungan (AMDAL); (2) proyek pendaur ulangan limbah padat; (3) proyek pembuatan kompos dari limbah organic; dan (4) proyek-proyek penciptaan mekanisme angkutan sampah di setiap kelurahan yang dapat mempermudah pengangkutan sampah dan bahkan mengurangi sampah terangkut ke TPA. Selain kelima program utama tersebut di atas, juga diperlukan sejumlah program pendamping atau penunjang. Program ini dimaksudkan untuk memperlancar program utama, dan karena itu tingkat keperluannya juga dinilai sama dengan program utama. Program penunjang yang dimaksud adalah sebagai berikut : RPP-1: Perlunya program peningkatan kepedulian masyarakat (stakeholders) melalui proyek-proyek strategis sosialisasi dan advokasi pada kalangan mubalig, guru, dan pemerimtah kecamatan dan kelurahan. Sosialisasi dan advokasi pada kalangan guru dimaksudkan untuk menyadarkan masyarakat lewat mimbar khotbah dan pengajian atas akibat-akibat dampak lingkungan dari kegiatan mereka. Pada kalangan guru dimaksudkan untuk menumbuhkan perilaku ramah lingkungan di kalangan anak sekolahan, dan pada kalangan 43 pemerimtah kecamatan dan kelurahan dimaksudkan untuk meningkatkan pengawasan pembangunan di wilayah kerjanya masing-masing. RPP-2 : Perlunya program perumusan dan penegakan hukum lingkungan melalui penerapan proyek-proyek strategis : (1) proyek perumusan hukum lingkungan berbasis stakeholders; (2) proyek penegakan hukum lingkungan bekerja sama dengan lembaga adat desa/kelurahan bekerjasama dengan kepolisian dan angkatan laut; dan (3) proyek pemberian insentif pada daerahdaerah atau komunitas yang berjasa besar dalam pengendalian kerusakan ligkungan hidup, termasuk di dalamnya pemberian disinsentif bagi pelanggarnya. RPP-3 : Perlunya program penciptaan atau perluasan lapangan kerja, khususnya bagi masyarakat yang sumber penghidupan utamanya dari aktivitas yang berkecenderungan merusak lingkungan, seperti : penambang galian C (batu karang, sirtu, batu gunung) dan penangkapan ikan dengan penggunaan bahan peledak. KEPUSTAKAAN Asdep Urusan Informasi, 2003. Panduan Penyusunan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara, 1998. Informasi Kawasan Konservasi di Provinsi Sulawesi Utara. Manado. Balibangpedalda Provinsi Gorontalo, 2003. Konsep Rencana Strategis Pembangunan Balibangpedalda Provinsi Gorontalo. Gorontalo. Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2002. Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo. Gorontalo. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Penanaman Modal, 2002. Data Industri Kecil dan Menengah Provinsi Gorontalo. Gorontalo. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Penanaman Modal, 2002. Data Perusahaan Komoditas Industri Dagang Kecil dan Menengah Provinsi Gorontalo. Gorontalo. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Penanaman Modal, 2002. Data Profil Komoditi Andalan Provinsi Gorontalo. Gorontalo. Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2002. Statistik Dinas kehutanan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo. Gorontalo. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo, 2001. Laporan Tahunan. Gorontalo. Lembaga Pengkajian Pembangunan Gorontalo bekerjasama dengan Kelompok Kerja Pengelolaan DAS Limboto Berbasis Multipihak, 2003. Menggagas Pengelolaan DAS Limboto Secara Terpadu dan Sinergis. Laporan Tidak Dipublikasikan. Gorontalo. 44 Pemerintah Provinsi Gorontalo, 2002. Rencana Startegis Daerah (Restrada) 2002 – 2006) Provinsi Gorontalo. Badan Perencanaan Pembangunan dan Percepatan Ekonomi Daerah Provinsi Gorontalo. Gorontalo. Pusat Studi Lingkungan IKIP Gorontalo, 2002. Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah (NKLD) Provinsi Gorontalo. Laporan tidak dipublikasikan. Pusat Studi Lingkungan IKIP Gorontalo bekerjasama dengan Bappeda Provinsi Gorontalo, 2002. Kajian Pencemaran Lingkungan pada Kawasan Penambangan Emas di Provinsi Gorontalo. Laporan tidak dipublikasikan. Gorontalo. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Lembaga Penelitian UNSRAT, 2002. Laporan Utama Analisis Dampak Lingkungan Pengendalian Banjir Das Limboto – Bolango – Bone Provinsi Gorontalo. Gorontalo. 45