HISTOPATOLOGI ORGAN HATI DAN MATA PADA TIKUS PENDERITA DIABETES MELITUS EKSPERIMENTAL PRITTA MAHARANI B04103114 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 HISTOPATOLOGI ORGAN HATI DAN MATA PADA TIKUS PENDERITA DIABETES MELITUS EKSPERIMENTAL PRITTA MAHARANI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 Judul Skripsi : Histopatologi Organ Hati dan Mata Pada Tikus Penderita Diabetes Melitus Eksperimental. Nama : Pritta Maharani NRP : B04103114 Disetujui drh.Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D Pembimbing Diketahui Dr.drh.I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan Tanggal Lulus : ABSTRAK PRITTA MAHARANI. Histopatologi Organ Hati dan Mata Pada Tikus Penderita Diabetes Melitus Eksperimental. Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia. DM dapat menyebabkan komplikasi pada berbagai organ tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ hati dan mata pada tikus penderita diabetes melitus eksperimental. Sebanyak 6 ekor tikus jantan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok pertama (A) adalah kelompok yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dan kelompok kedua (B) adalah kelompok yang diinduksi streptozotosin (STZ) secara intra peritoneal dengan dosis 50 mg/kgBB (diabetes). Pada hari ke19 pasca induksi STZ, kadar glukosa darah pada masing-masing kelompok diukur kemudian diambil organ hati dan matanya dengan melakukan nekropsi selanjutnya, dibuat preparat histopatologi dan diamati di bawah mikroskop pada pembesaran 400 kali dalam 10 lapang pandang untuk dihitung pada setiap lapang pandang jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa, jumlah sel Kupffer serta melihat lesio yang terjadi pada organ mata secara deskriptif. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Kolmorgof-Smirnov dan dilanjutkan dengan uji-T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok tikus diabetes mengalami peningkatan glukosa darah yang melebihi kadar normal (hiperglikemia), pada hati ditemukan lesio berupa degenerasi hingga nekrosa hepatosit, rataan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa pada kelompok diabetes memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol begitu pula dengan rataan jumlah sel Kupffer dan secara deskriptif ditemukan adanya lesio pada retina mata kelompok diabetes. Lesio yang terjadi berupa degenerasi pada retina yaitu retinopati, secara mikroskopis struktur sel penyusun retina terlihat tidak teratur. Pada retina ditemukan adanya degenerasi pada sel batang, sel kerucut, lapisan nukleus luar dan lapis sel ganglion. Kata kunci : Diabetes melitus eksperimental, hati dan mata. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 8 januari 1985. Penulis adalah putri pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Drs. H. Hasanurdin dan Ibu Hj. Rohayati. Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK ALIstiqomah Bandung (1990-1991), Sekolah Dasar di SD Terang Bandung (19911997), kemudian penulis melanjutkan studi di SLTPN 30 Bandung (1997-2000). Setelah lulus dari SMUN 2 Cimahi (2000-2003) penulis diterima di Fakultas kedokteran Hewan Instutut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi masuk IPB). Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa organisasi intra dan ekstra kampus antara lain : Sekretaris KOMTI angkatan 40 periode 2003-2005, BEM FKH-IPB periode 2004-2005/2005-2006 sebagai sekretaris Departemen Sosial dan Kemahasiswaan, IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) periode 2004-2006 sebagai staf litbang, Himpro Ruminansia periode 2004-2005, DKM An-Nahl periode 2005-2007 sebagai tim Media Pers Islami, KSR (Korps Sukarela) PMI UNIT I IPB periode 2004-2005 sebagai Bendahara umum. Himpunan Mahasiswa Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG) sebagai anggota Departemen PSDM, serta pernah menjadi asisten mata kuliah PAI (Pendidikan Agama Islam) semester ganjil (2006-2007). PRAKATA Alhamdulillahirabbil'alamiin. Tiada kata terindah selain ucap syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sholawat serta salam semoga terlimpah kapada Rasulallah SAW. Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : • Kedua orangtua tercinta Drs. H. Hasanurdin dan Hj. Rohayati yang selalu memberikan do'a, semangat, dan kasihsayangnya kepada penulis, adik-adikku tersayang Luthfia Hastiani Muharam, Rizki Maulana Muhammad, dan Shifa Karima Hayati. • Drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D Sebagai dosen pembimbing atas didikan, arahan, bimbingan, perhatian, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis. • Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi. Sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan semangat, motivasi dan nasehat selama penulis kuliah. • Drh. Agus Wijaya. MSi, Ph.D atas masukannya. • Drh. Adi Winarto Ph.D atas bantuannya dalam pengambilan gambar. • Pak sholeh, Pak Kasnadi dan Pak Ndang (Staf Patologi) yang telah banyak membantu di laboratorium Patologi selama penelitian. • Keluarga di Cempaka 13 (Ramlah, Ucu, Iya, Nariza, Kakek, Mba Ade, Mba Tarmi, Mas Dedi, K' Ibnu, Timon, Jiun). • My little family; M'vina, M' Nur, M'hafsari, nie-penk, wied, atin, kx. • Teman-teman Wisma Satelit, Wisma Malea, Wisma andhika, Wisma Hatory, Green house, Hammas kost, famdy kost., GREEN GONJRENG. • Patologi crew, HIMADIKA Crew (Chandra, Uliel, kenshin, Iwid, Supri & Sabto), G-V. • Barudak PAMAUNG (Paguyuban Mahasiswa Bandung), teman-teman KSR PMI UNIT I IPB, DKM An-Nahl, Ruminer's 04, Kabinet kebersamaan BEM FKH (2005-2006), IMAKAHI. • Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) • Kakak-kakakku di FKH (B'39, B'38, B'37, B'36, B'35) • Teman-teman Gymnolaemata (B'40), Asteroidea (B'41), (B'42) yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas segala dukungan, semangat dan ukhuwah yang luar biasa. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Agustus 2007 Pritta Maharani Karya ilmiah ini penulis persembahkan untuk kedua orangtua tercinta, almamater, dan semoga dapat bermabfaat bagi semua pihak Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan lagi setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Luqman : 31) DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL......................................................................................... x DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xi PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................................ 1 Tujuan Penelitian......................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA Diabetes melitus Sejarah...................................................................................................... 3 Etiologi..................................................................................................... 3 Klasifikasi................................................................................................. 4 Gejala klinik dan komplikasi.................................................................... 6 Diagnosa................................................................................................... 7 Patologi..................................................................................................... 8 Pengobatan............................................................................................... 9 Hati Anatomi hati............................................................................................. 10 Histologi hati............................................................................................ 11 Fungsi hati................................................................................................ 12 Patologi hati.............................................................................................. 13 Mata Anatomi dan fungsi mata......................................................................... 15 Histologi mata.......................................................................................... 16 Pengaruh diabetes terhadap mata............................................................. 19 Streptozotosin (STZ)................................................................................... 20 BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian....................................................................... 21 Peralatan dan bahan penelitian.................................................................... 21 Hewan percobaan........................................................................................ 21 Metode penelitian Pengelompokan tikus............................................................................... 21 Pemberian STZ......................................................................................... 22 Pengukuran kadar glukosa dalam darah................................................... 22 Pengambilan organ hati dan mata............................................................ 22 Pembuatan preparat histopatologi............................................................ 22 Pengamatan histopatologi........................................................................ 24 Analisia data............................................................................................. 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Histopatologi hati..................................................................................... 27 Histopatologi mata................................................................................... 32 KESIMPULAN........................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 37 LAMPIRAN................................................................................................. 41 ix DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Rataan kadar glukosa darah kedua kelompok tikus........................ 25 Tabel 2. Rataan jumlah hepatosit pada kedua kelompok tikus..................... 27 Tabel 3. Rataan jumlah sel Kupffer pada kedua kelompok tikus.................. 30 x DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Sekresi insulin........................................................................... 4 Gambar 2. Anatomi hati.............................................................................. 11 Gambar 3. Histologi hati............................................................................. 12 Gambar 4. Anatomi mata............................................................................ 16 Gambar 5. Gambaran histologi kornea mata............................................... 17 Gambar 6. Gambaran histologi retina mata................................................ 19 Gambar 7. Perbandingan kadar glukosa darah pada kelompok tikus......... 25 Gambar 8. Transpor glukosa....................................................................... 26 Gambar 9. Perbandingan rataan jumlah hepatosit degenerasi hingga nekrosa........................................................ Gambar 10. Perbandingan rataan junlah sel Kupffer.................................. 28 Gambar 11. Gambaran histopatologi hati kelompok kontrol Pewarnaan HE, bar 40µm........................................................ Gambar 12. Gambaran histopatologi hati kelompok kontrol Pewarnaan HE, bar 40µm........................................................ Gambar 13. Gambaran normal retina tikus.................................................. 31 Gambar 14. Gambaran histopatologi mata kelompok kontrol. pewarnaan HE, bar 40 µm........................................................ Gambar 15a. Gambaran histopatologi mata kelompok diabetes Pewarnaan HE, bar 40 µm...................................................... Gambar 15b. Gambaran histopatologi mata kelompok diabetes Pewarnaan HE, bar 40 µm...................................................... 30 31 32 33 33 34 xi PENDAHULUAN Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yaitu kondisi tubuh dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal. Kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl (Misnadiarly 2006). Diabetes melitus atau disebut juga penyakit kencing manis merupakan keadaan patologis yang sering terjadi akibat defisiensi insulin. Dallimunthe (2004) menuliskan bahwa menurut laporan International Diabetes Federation (IDF) jumlah penderita diabetes melitus telah meningkat secara mengkhawatirkan. Global Diabetes Statitistic melaporkan bahwa pada tahun 2003 ada 194 juta jiwa di dunia penderita diabetes melitus dan diperkirakan akan menjadi 333 juta jiwa pada tahun 2025. Prevalensi diabetes melitus pada penduduk Indonesia berusia 15 tahun sekitar 1,2-2,3%. Penyebab terjadinya diabetes melitus karena aktivitas insulin yang tak memadai baik karena sekresi insulin yang berkurang atau karena adanya resistensi insulin pada jaringanjaringan yang peka insulin (Suharmiati 2003). Penyakit ini dapat terjadi sekunder akibat defisiensi atau gangguan sekresi insulin atau akibat respon abnormal jaringan perifer terhadap insulin. Kasus-kasus diabetes sekunder misalnya akibat pankreatitis kronik, pankreatektomi total. Gejala awal yang terlihat berupa, poliuri, polidipsi dan polifagi, penglihatan menjadi kabur, penurunan berat badan, dan hiperglikemia. Diabetes melitus sering dijumpai pada manusia, namun tidak jarang pula penyakit ini dapat dijumpai pada spesies lain seperti anjing dan kucing. Ras yang umum terkena adalah Miniatur poodles, Crain terriers, Cocker spaniels, German shepred, Collies dan Bokser. Pada hewan percobaan keadaan diabetes melitus dapat ditimbulkan dengan pankreatomi atau dengan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induktor (diabetogen) yang bisa digunakan yaitu aloksan, streptozotozin, diaksosida, adrenalin, glukagon, EDTA yang diberikan secara parenteral (Suharmiati 2003). 2 Secara klinis diabetes melitus dibedakan menjadi tipe 1 diabetes melitus tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Dependen-Insulin (IDDM) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh rusaknya sel-sel beta penghasil insulin (Ganong 2002). Biasanya produksi insulin ada atau tidak ada sama sekali seperti pada juvenil diabetik (Dallimunthe 2004). Hal ini terjadi karena ada reaksi autoimun berupa reaksi peradangan pada sel beta. Tipe 2 diabetes tidak tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin (NIDDM) konsentrasi insulin dapat normal atau berkurang hal ini dapat terjadi karena kebutuhan insulin tidak dapat dipenuhi oleh sel beta pankreas. DM mendapat gelar The Silent Killer karena komplikasi yang dapat ditimbulkannya, dan hingga kini masih belum tuntas penanganannya. Diabetes melitus dapat menyebabkan komplikasi pada organ tubuh yang lain jika tidak segera ditangani dengan baik. Komplikasi akut disebabkan karena terganggunya proses metabolisme karbohidrat yang menyebabkan kadar glukosa darah sangat tinggi atau rendah. Menurut Mistra (2004), secara umum asupan glukosa dalam darah disimpan dalam hati dan akan diolah menjadi glikogen. Jika tubuh memerlukan, hati akan mengeluarkan dan mengubahnya kembali menjadi glukosa namun tidak demikian pada penderita diabetes melitus glukosa di dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel (tubuh) akibatnya akan terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam pembuluh darah, sehingga lambat laun akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah secara global selanjutnya berujung pada komplikasi kronis yaitu kerusakan organ-organ tubuh bagian dalam akibat rusaknya pembuluh darah besar (makrovaskular) dan pembuluh darah kecil (mikrovaskular). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ hati dan mata pada tikus penderita diabetes melitus eksperimental. TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus Sejarah Diabetes Melitus Kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin disebut diabetes melitus (Ganong 2002). Menurut Dallimunthe (2004), penyakit diabetes melitus telah diketahui sejak ribuan tahun sebelum masehi. Ebers Papyrus menuliskan bahwa di Mesir sekitar tahun 1550 Sebelum Masehi (SM) ditemukan suatu penyakit yang ditandai dengan banyak kencing. Di India dalam buku Aryuveda (600 SM) menjumpai penyakit yang sama dimana urin penderita terasa manis dan disebut urin madu. Aretaceus menulis bahwa ditemukan suatu penyakit yang ditandai dengan urin yang banyak, Willis adalah orang pertama pada tahun 1674 yang menuliskan penderita dengan urin banyak dan seperti madu disebut diabetes melitus kemudian pada tahun 1921, Frederich Grant Banting, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran di Toronto, Canada mengangkat pankreas anjing kemudian mengestrak pankreas tersebut. Anjing yang telah diangkat pankreasnya mengalami peningkatan kadar glukosa darah, kemudian setelah disuntik dengan ekstrak pankreas kadar glukosa darahnya turun, oleh karena ekstrak pankreas itu mengandung hormon yang disebut insulin. Ternyata hormon insulin inilah yang mengatur kadar glukosa dalam darah. Etiologi Diabetes Melitus Sebagian besar kasus diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sel beta pankreas sehingga produksi insulin menjadi terhambat atau tidak ada sama sekali. Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada usia lanjut berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan sehingga terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin (Misnadiarly 2006). Diabetes melitus merupakan penyakit yang diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Faktor herediter sering kali pula menyebabkan timbulnya diabetes melalui 4 peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta, sehingga mengarah pada penghancuran sel-sel beta. Gambar 1 Sekresi insulin (Anonim 2007a) Klasifikasi Diabetes Melitus Menurut Misnadiarly (2006), diabetes melitus diklasifikasikan kedalam dua tipe yaitu diabetes tipe 1 diabetes melitus tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Dependen-Insulin (IDDM) dan Tipe 2 diabetes tidak tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin (NIDDM); a. Tipe 1 diabetes melitus tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Dependen-Insulin (IDDM) disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas, sehingga sel beta pankreas tidak mampu membuat dan mengeluarkan insulin dalam kuantitas dan/atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak terdapat sekresi insulin sama sekali. Dalam hal ini reseptor untuk insulin pada IDDM jumlah dan kualitasnya dalam keadaan normal. Berbagai faktor penentu etiopatologis IDDM telah dapat diidentifikasi, misalnya konstitusi genetik, immunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta endokrinologi. Menurut PERKENI (2002), diabetes melitus tipe 1 memiliki karakteristik mudah terjadi ketoasidosis, pengobatannya harus dengan insulin, onset akut, penderita 5 biasanya kurus, terjadi pada umur muda, di dapatkan antibodi sel islet, 10% ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% terjadi pada kembar identik. b. Tipe 2 diabetes tidak tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Non- Dependen Insulin (NIDDM) diduga terjadi akibat sekresi insulin yang insufisien dan retensi jaringan terhadap insulin. Pada penderita NIDDM dapat dijumpai kadar insulin lebih tinggi akan tetapi karena ada gangguan pada reseptor insulin, maka transpor glukosa ke dalam sel terganggu akibatnya kadar glukosa darah akan terus meningkat. Pada keadaan ini penderita NIDDM sama dengan diabetes melitus tipe 1, perbedaannnya adalah diabetes melitus tipe 2 disamping kadar gulanya meninggi, kadar insulinnya normal. Keadaan ini yang disebut resisten terhadap insulin (Delimunthe 2004). Menurut PERKENI (2002), karakteristik dari diabetes melitus tipe 2 yaitu; sukar terjadi ketoasidosis, pengobatannya tidak harus menggunakan insulin, onsetnya lambat, penderitanya gemuk atau tidak gemuk, biasanya terjadi pada umur tua, tidak ada antibodi sel islet, 30% ada riwayat diabetes pada keluarga, 100% terjadi pada kembar identik. Menurut Seohadi (1989), berdasarkan letaknya, kelainan yang menyebabkan NIDDM terdapat dibeberapa tempat sebagai berikut : 1. Faktor pankreas : o Karena adanya mutasi gen insulin, akan terbentuk molekul-molekul insulin yang abnormal dan secara biologis kurang aktif. o Terlalu banyak proinsulin yang tidak dapat dirubah menjadi insulin. o Terjadi keterlambatan sekresi insulin, meskipun mungkin produksi insulin cukup, sehingga glukosa sudah diabsorpsi masuk darah tetapi insulin belum memadai jumlahnya. 2. Faktor darah : o Adanya insulin angiotensin antagonisme, misalnya antibodi terhadap insulin. o Meningkatnya pengikatan insulin oleh protein plasma. o Meningkatnya enzim yang merusak insulin atau mekanisme lain yang merusak insulin. o Peningkatan hormon-hormon kontra insulin seperti kortisol, hormon pertumbuhan, katekolamin, dan lain-lain. 6 o Meningkatnya lemak darah. 3. Faktor perifer : o Jumlah reseptor insulin di sel berkurang (antara 20.000-30.000 buah): pada obesitas bahkan berkurang hingga 20.000 buah, pada orang normal jumlah reseptor 35.000 buah/sel. o Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor buruk sehingga insulin tidak dapat bekerja secara efektif. o Terdapat kelainan post-reseptor, sehingga proses glikolisis intraseluler terganggu. 4. Adanya kelainan campuran diantara faktor-faktor yang terdapat pada 1,2 dan 3. Peninggian kadar glukosa darah pada diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 akan terus berlanjut, apabila kadar glukosa darah ini terus meninggi hingga melewati ambang batas ginjal, maka glukosa tersebut akan dikeluarkan melalui urin. Kejadian ini yang sering dilihat pada penderita diabetes melitus, yaitu poliuria dan glukosuria. Gejala klinis dan Komplikasi Diabetes Melitus Gejala klinis diabetes melitus meliputi gejala-gejala pada staduim kompensasi dan dekompensasi pankreas, serta gejala-gejala kronik lainnya. Gejala-gejala pada stadium kompensasi misalnya polifagi, polidipsi, poliuri dan penurunan berat badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan tekanan osmotik di dalam tubuli ginjal naik dan menghambat reabsorbsi air karena terhambatnya reabsorbsi air ini menyebabkan penderita diabetes melitus mengalami poliuria dan akibat adanya poliuria terus menerus akan menyebabkan dehidrasi tingkat jaringan. Penderita diabetes melitus tidak dapat memecah glukosa dalam darah sehingga akan menggunakan lemak tubuhnya untuk pengganti energi atau makanan bagi sel sehingga akan terjadi ketonemia dan ketonuria dan tubuh terlihat kurus. Adanya benda-benda keton di dalam darah akan menimbulkan terjadinya asidosis sehingga frekuensi nafas meningkat dan penderita mengalami koma (Ressang 1984). Pada keadaan koma kulit mukosa dan lidah tampak keringan, bulbus mata menjadi lunak, pernapasan 7 menjadi lebih dalam dan lebih lambat serta napas bau aseton (Mutschler 1991). Gejala-gejala kronik yang sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia, semutan, mata kabur, mialgia, artralgia, kemampuan seksual berkurang dan lainlain (Seohadi 1989). Diabetes melitus mempunyai sejumlah komplikasi karena vaskulopati dan neuropati atau campuran keduanya. Komplikasi yang terjadi misalnya penyakit jantung, serangan otak yang biasanya diikuti kelumpuhan dan struk, kerusakan pembuluh-pembuluh darah periperal biasanya mempengaruhi bagian tubuh bawah dan kaki, kerusakan ginjal (nepropati), kerusakan saraf (neuropati) yang dapat menyebabkan kelumpuhan (paralisis), impoten dan penyakit mata (retinopati), retina mata terganggu sehingga terjadi kehilangan sebagian atau keseluruhan penglihatannya, penderita retinopati diabetik mengalami gejala penglihatan kabur sampai kebutaan. Menurut laporan Komisi Diabetes Melitus, penderita diabetes melitus dapat mengalami 2 kali lebih mudah terkena trombosis serebri, 24 kali mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali rentan terhadap kegagalan ginjal, 5 kali lebih mudah terkena ganggren, bila dibandingkan dengan orang non-diabetes mellitus. Meskipun gejala-gejala diabetes melitus dapat diatasi, namun komplikasi diabetes melitus kronis jangka panjang dapat mengurangi lama perkiraan hidup sampai sepertiganya (Notkins dalam soehadi 1989). Diagnosa Diabetes Melitus Kriteria diagnosa diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985 dalam tulisan Misnadiarly (2006); 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) = 200 mg/dl atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) = 126 mg/dl atau 3. Kadar glukosa darah plasma = 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Cara umum yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit diabetes didasarkan pada berbagai tes kimiawi terhadap urin dan darah (Guyton 1997). Pemeriksaan glukosa urin melalui tes sederhana atau tes kuantitatif laboratorium yang lebih rumit, yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah glukosa yang 8 hilang dalam urin. Pada umumnya jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin orang normal sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes, glukosa yang dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali sesuai dengan berat penyakitnya dan asupan karbohidratnya. Kadar glukosa darah puasa sewaktu pagi hari normalnya adalah 80 sampai 90 mg/dl, dan 110 mg/dl dipertimbangkan sebagai batas atas kadar normal. Pada penderita diabetes, konsentrasi glukosa darah puasa hampir selalu diatas 110 mg/dl dan sering diatas 140 mg/dl, dan uji toleransi glukosa hampir selalu abnormal. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan mencium bau pernafasan penderita diabetes melitus yang cenderung bau aseton akibat jumlah asam asetat yang meningkat pada penderita diabetes berat yang diubah menjadi aseton, aseton ini mudah menguap dan dikeluarkan dalam udara ekspirasi sehingga bau aseton dapat tercium pada nafas penderita diabetes. Asam keto juga dapat ditemukan dalam urin melalui cara kimia dan jumlah asam keto ini dipakai untuk menentukan tingkat penyakit diabetes. Patologi Diabetes Melitus Menurut Ressang (1984), gambaran patologis anatomi penderita diabetes melitus yang paling mencolok adalah terjadinya infiltrasi lemak pada hati dan ginjal sehingga hati dan ginjal terlihat membengkak dan berwarna kekuningan juga pada miokard sering kali berwarna kekuningan karena infiltrasi lemak dan degenerasi albuminoid. Infiltrasi lemak ini terjadi karena adanya gangguan metabolisme di dalam tubuh penderita diabetes, pada penderita diabetes sel kekurangan asupan nutrisi sehingga sel akan mencari energi dari sumber lain dari selain karbohidrat yaitu dengan memecah lemak, glikogen, protein yang akan mengakibatkan peningkatan mobilisasi lemak ke dalam hati dan menyebabkan infiltrasi lemak di dalam hati, jika hal ini terus berlanjut maka akan terjadi kerusakan pada hati dan secara makroskopis hati akan terlihat berwarna kekuningan. Pankreas mengecil dan tidak memperlihatkan perubahan-perubahan makroskopik. Secara mikroskopis gambaran organ pankreas menunjukkan adanya perubahan secara kualitatif pada pulau-pulau langerhans. pulaunya berkurang Jumlah sedangkan sel-sel lainnya menunjukkan memperlihatkan degenerasi hidrofobik. Disamping itu terlihat sklerosis pada pulau-pulau pankreas 9 yang disebabkan oleh peradangan atau didahului dengan degenerasi. Pada hewan percobaan pemberian zat-zat yang yang mempunyai efek toksik seperti alloksan dan ditizon atau derivatnya pada sel-sel pulau langerhans dapat menimbulkan perubahan pada sel-sel yang menyerupai perubahan-perubahan pada sel-sel pada diabetes yaitu: pengecilan pulau-pulau pankreas, pengurangan jumlah sel-sel B degranulasi dan vaskuolisasi pada sel-sel tersebut. Pengobatan Diabetes Melitus Diabetes melitus dapat ditanggulangi dengan pemberian obat, pengaturan diet secara maksimal untuk mengembalikan kadar glukosa darah dan pemberian preparat hormonal. Pemberian obat hanya merupakan pelengkap diet, obat diberikan bila pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengembalikan glukosa darah. o Antidiabetik oral Menurut Ganiswarna (1995), antidiabetik oral tidak diindikasikan bagi penderita yang cenderung mendapat ketoasidosis. terkontrol dengan Bila hiperglikemia sudah antidiabetik oral dosis rendah maka dapat dilakukan pengaturan diet saja dan kerja fisik. Penderita yang membutuhkan dosis antidiabetik oral yang makin meningkat untuk mengontrol peninggian gula darahnya mungkin menunjukkan adanya kegagalan sekunder. o Insulin Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan, menaikan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikan pembentukan glikogen dalam hati dan otot dan mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan lemak dan protein dari glukosa. Semua proses ini menyebabkan kadar glukosa darah menurun akibat pengaruh insulin. Kerja insulin lainnya adalah menaikkan pengambilan ion kalium ke dalam sel dan menurunkan kerja katabolik glukokortikoid dan hormon kelenjar tiroid (Mutschler 1991). 10 o Glukagon Glukagon adalah suatu polipeptida yang terdiri dari 29 asam amino. Hormon ini dihasilkan oleh sel alpha pulau langerhans. Glukagon meningkatkan glukoneogenesis efek ini mungkin sekali disebabkan oleh menyusutnya simpanan glikogen dalam hati, karena dengan berkurangnya glikogen dalam hati proses deaminasi dan transaminasi menjadi lebih aktif. Dengan meningkatnya proses tersebut maka pembentukan kalori juga semakin besar. Glukagon terutama digunakan pada pengobatan hipoglikemia yang ditimbulkan oleh insulin. Hormon tersebut dapat diberikan secara intravena, intramuscular, atau subkutan. Bila 20 menit setelah pemberian glukagon subkutan penderita koma hipoglikemik tetap tidak sadar, maka glukosa intravena harus segera diberikan karena mungkin glikogen dalam hati telah habis atau telah terjadi kerusakan otak yang menetap (Ganiswarna 1995). Hati Anatomi hati Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh. Hati memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Dibawah peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yang dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatis di permukaan inferior melanjutkan diri ke dalam masa hati, membentuk rangka untuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu (Wilson dan Lester 1992). Hati bersama dengan jaringan ekstra hepatik dan beberapa hormon berperan dalam menjaga homeostatik pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah (Suharmiati 2003). 11 Gambar 2 Anatomi organ hati ( Halime Kenar 2007 ) Histologi hati Hati adalah organ terbesar di dalam tubuh (Ressang 1984). Unit fungsional dasar hati adalah lobus hati, yang berbentuk silindris. Lobus terdiri dari sel hati. Masing-masing lempeng hati tebalnya satu sampai dua sel, dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanakuli basilaris kecil yang mengalir ke ductus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobus hati yang berdekatan. Di dalam septum juga terdapat vena porta kecil yang menerima darah terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Dari venula ini darah mengalir ke sinusoid hati dan bercabang yang terletak diantara lempeng-lempeng hati dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian sel hati terus-menerus terpapar oleh darah vena porta, selain vena porta juga terdapat arteriol hati di dalam septum interlobularis. Sinusoid vena dan sel-sel hati dilapisi oleh dua tipe sel yaitu sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag jaringan yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus ( Guyton 1997). Sel Kupffer merupakan makrofag spesifik dalam organ hati yang berasal dari monosit (Dellman 1989). Hati merupakan organ yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian terbesar dari organ hati. Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara 12 sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel Kupffer malapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial tubuh. Gambar 3 Gambaran histologi hati, cv (vena centralis), s (sinosoid) (Anonim 2007b) Fungsi hati Hati adalah suatu organ yang besar, dapat meluas, dan organ venosa yang mampu bekerja sebagai suatu tempat penampungan darah yang bermakna disaat volume darah berlebihan dan mampu mensuplai darah ekstra disaat kekurangan volume darah (Guyton 1997). Beberapa fungsi hati menurut Ressang (1984) adalah : - Sekresi empedu - Metabolisme lemak - Metabolisme hidrat arang - Fungsi detoksikasi - Pembentukan sel darah merah - Metabolisme dan penyimpanan vitamin Menurut Ganiswara (1995), hati berperan dalam pengaturan kadar glukosa dalam darah. Setelah makanan diabsorbsi di usus, glukosa dialirkan ke hati melalui vena porta. Sebagian lagi glukosa disimpan dalam bentuk glikogen. Setelah absorbsi selesai, glikogen dalam hati dipecah lagi menjadi glukosa. 13 Dalam keadaan biasa persediaan glikogen dalam hati cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa jam namun jika hati terganggu fungsinya akan mudah terjadi hiperglikemia atau hipoglikemia. Hati juga berfungsi sebagai organ penawar racun, sehingga hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut dikarenakan pertama, hati menerima 80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal. Kedua, hati menghasilkan enzimenzim yang mempunyai kemampuan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Proses ini juga mengaktifkan beberapa zat menjadi bersifat lebih toksik dan menyebabkan terjadinya perlukaan hati (Carlton 1995). Patologis hati Hati merupakan organ yang terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Oleh karena itu hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan karena salah satu fungsi hati adalah sebagai organ penawar racun. Sebagian besar toksik memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal kemudian diserap dan masuk ke dalam peredaran darah. Aliran darah yang membawa toksik tersebut melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan dan menimbulkan kerusakan. Beberapa jenis kerusakan hati yang terjadi yaitu; • Degenerasi Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel. Dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel terkadang merupakan indikasi gangguan metabolisme yang meluas. Jenis umum degenerasi sel disebut perubahan melemak. Disini globuli lemak (terutama trigliserida) dideposisikan pada sitoplasma dalam jumlah besar. melitus, malagizi, iskhemik dan Hal ini terjadi pada kondisi diabetes anemi hebat (Spector 1993). Degenerasi suram (cloudy swelling), berbutir, albuminoid atau parenkim sering terlihat pada kejadian keracunan (Ressang 1984). 14 • Nekrosis Nekrosis hati adalah kematian sel hati. dengan pecahnya membran plasma. Kematian sel terjadi bersama Tidak ada perubahan ultrastruktural membran yang dapat dideteksi sebelum pecah, namun ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel. Perubahan morfologik awal antara lain berupa edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserid sebagai butiran lemak dalam sel. Perubahan yang terjadi merupakan pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan kista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan inti dan pecahnya membran plasma. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif (Lu 1995). Nekrosis hati merupakan manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Pada umumnya nekrosa toksopatik hanya memerlukan waktu singkat untuk menimbulkan gejala klinis. • Steatosis (Perlemakan hati) Secara patologis hal yang dapat menyebabkan perlemakan adalah hipoksemi oleh karena hati tidak dapat membakar lemak atau karena adanya toksin yang menyebabkan penurunan fungsi lipolitik hati. Toksin yang dapat menyebabkan perlemakan toksik adalah antimon, arsen, alkohol dan racun lain yang memerlukan banyak oksigen sehingga lemak tidak terbakar. • Sirosis hati Sirosis adalah pengerasan pada hati. Sirosis hati dicirikan dengan permukaan nodular, granular dan irregular, konsistensinya keras dan terjadi fibrosis difus. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal, akan tetapi dapat juga kausanya tidak diketahui. Pada umumnya bahan-bahan toksik dan parasit dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984). Menurut Spector (1993), sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroplastik dan pambentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hati menjadi salah satu faktor pendukung. 15 Mata Anatomi dan fungsi mata Mata adalah alat indra kompleks yang penting bagi penglihatan. Dalam bungkus pelindungnya, mata memiliki lapisan reseptor, sistem lensa yang membiaskan cahaya ke reseptor tersebut, dan sistem saraf yang menghantarkan impuls dari resptor ke otak (Ganong 2002). Anatomi organ ma ta dikelompokkan menjadi dua (Anonimous 2006), yaitu : A. Adneksa mata merupakan jaringan pendukung mata yang teriri dari : kelopak mata yang berfungsi melindungi mata, melicinkan dan membasahi mata. Konjungtiva adalah bagian yang melapisi bola mata bagian luar. Sistem saluran air mata (lakrimal) menghasilkan cairan air mata. Rongga orbita yang merupakan rongga tempat bola mata yang dilindungi oleh tulang-tulang yang kokoh dan Otototot bola mata, masing-masing bola mata mempunyai 6 (enam) buah otot yang berfungsi menggerakan kedua bola mata. B. Bola mata terdiri dari : kornea disebut juga selaput bening mata, jika selaput ini mengalami kekeruhan akan mengganggu penglihatan. Sklera merupakan lapisan berwarna putih di bawah konjungtiva serta merupakan bagian dengan konsistensi yang relatif lebih keras untuk membentuk bola mata. Bilik mata depan, suatu rongga berisi cairan yang memudahkan iris untuk bergerak. Uvea terdiri dari 3 bagian yaitu iris, badan silliari, dan koroid, iris adalah lapisan yang dapat bergerak untuk mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata, badan siliari berfungsi menghasilkan cairan yang mengisi bilik mata, koroid merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah untuk memberi nutrisi pada bagianbagian mata. Pupil merupakan suatu tempat cahaya masuk ke dalam mata, dimana lebarnya diatur oleh gerakan iris. Lensa yang berfungsi untuk memfokuskan cahaya yang masuk agar diperoleh penglihatan yang jelas, jika lensa mengalami kekeruhan akan menyebabkan kaburnya penglihatan seperti pada penyakit katarak. Vitreus humor (badan kaca) merupakan bagian terbesar yang mengisi bola mata, disebut sebagai “badan kaca” karena konsistensinya yang menyerupai gel dan bening dapat meneruskan cahaya yang masuk ke retina. 16 Menurut Ilyas (2006), retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor saraf yang peka terhadap cahaya (fotoreseptor). Ragsangan cahaya akan diubah menjadi arus listrik untuk disalurkan melalui saraf optik. Retina tersusun dari sel kerucut yang bertanggung jawab untuk penglihatan warna dan sel batang yang bertanggung jawab untuk melihat di tempat gelap. Suplai darah untuk nutrisi lapisan dalam retina berasal dari arteri sentralis retina yang memasuki bagian dalam mata kemudian bercabang untuk menyuplai seluruh permukaan retina. Gambar 4 Anatomi mata (Anonim 2006) Histologi Mata Kornea Mata Menurut Dellman (1898), kornea bersifat tembus cahaya dan merupakan lensa konveks konkaf. Kornea terdiri dari lima lapis; (1) Epitel anterior, berbentuk pipih banyak lapis tidak berkeratin. Sel-sel epitel berhubungan sangat erat dan bertaut melalui banyak desmosom. Hubungan kuat antar sel ini untuk mempertahankan kornea yang tembus cahaya. Lapis sel-sel basal mengandung banyak glikogen. (2) Membran basal terdiri dari lamina basalis dan lapis serabut retikular. (3) Substansia propria, terdiri dari serabut kolagen membentuk lamel yang bervariasi sel-sel yang paling dominan dalam substansia propria adalah 17 fibroblas. (4) Membran limitans posterior. (5) Epitel kornea, fungsi epitel adalah untuk mempertahankan sifat tembus cahaya kornea dengan demikian kerusakan pada epitel menyebabkan terjadinya edema serta kekeruhan kornea. Gambar 5 Gambaran histologi kornea mata (Anonim 2007c) Lensa Mata Lensa berbentuk bikonveks terletak antara iris dan corpus vitreum. Lensa terdiri dari kapsula lensa, epitel lensa dan serabut lensa. Seluruh lensa dibalut kapsula lensa yang terdiri dari beberapa lapis fibril kolagen diselingi oleh bahan lamina basalis. Kapsula ini merupakan membran basal epitel lensa dan tampak lebih tebal di permukaan anterior daripada posterior. Di bawah kaspula lensa anterior terdapat epitel lensa, yaitu epitel kubus sebaris. Basisnya menghadap kapsula lensa dan bagian apeks menghadap serabut lensa. Sel-selnya saling menjalin sangat kuat. Serabut lensa berbentuk prisma panjang, heksagonal pada sayatan melintang. Serabut lensa yang telah berkembang penuh akan kehilangan intinya (Dellman 1898). Menurut Ilyas (2006), secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu; kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi cembung, jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan dan terletak di tempatnya. Keadaan patologik lensa ini dapat berupa tidak kenyalnya lensa pada orang dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia, 18 keruh atau apa yang disebut katarak, tidak ada di tempat atau subluksasi atau dislokasi. Retina Mata Retina merupakan bagian sensori (Dellman 1898). Selama perkembangan embrionik gelembung optik yang berasal dari penjuluran keluar susunan saraf pusat (diencefalon) melekuk membentuk cawan optik. Lapis luar bagian posterior cawan optik membentuk epitel berpigmen retina, sedangkan lapis dalam berdiferensiasi ke dalam lapis tersisa dari retina. Bagian anterior cawan menjadi epitel badan siliari dan iris. Menurut Ilyas (2006), retina terdiri dari beberapa lapis yaitu; (1) epitel berpigmen, Epitel berpigmen retina berbentuk pipih selapis. Fungsi epitel berpigmen cukup kompleks. Mencakup transpor gizi dari darah ke sel-sel batang dan kerucut, fagositosis dengan degradasi lisosom, dan daur ulang segmen luar yang lepas dari fotoreseptor dan menyerap cahaya oleh melanin, (2) lapis sel batang dan kerucut, merupakan lapis fotoreseptor (3) membrana limitans eksterna, merupakan membrana ilusi, (4) lapis nuklear luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis di atas avaskuler dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid, (5) lapis pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal, (6) lapis nuklear dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel muller lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral, (7) lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselullar tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion, (8) lapis sel ganglion, merupakan lapis badan sel dari neuron kedua, (9) lapis serabut nervus optikus, merupakan lapis akson sel ganglion menuju kearah saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina, dan (10) membrana limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca. Gambaran histologi retina dapat dilihat pada Gambar 6. Menurut Dellman (1898), Pola pemberian darah pada retina bervariasi antar spesies. Pada pola holangiotik (kucing, anjing, sapi, babi, dan domba) pembuluh darah terdapat pada permukaan lapis serabut nervus optikus sedangkan kapiler terdapat pada bagian tepi retina. Pada pola paurangiotik (kuda) pembuluh 19 darah terbatas pada papilari terdekat. Jika dilihat dari pola pemberian darah pada retina maka pada kondisi diabetes melitus, pola holangiostik lebih rentan mengalami kerusakan retina dibandingankan pola paurangiostik. Gambar 6 Gambaran histologi retina mata (Anonim 2007d) Pengaruh Diabetes Melitus terhadap mata Menurut Soedarman (2005), diabetes melitus yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah atau kapiler. Kerusakan ini akan mengganggu aliran darah ke jaringan. Bagian tubuh yang tidak mendapat aliran darah tersebut akan mengalami kematian akibat kekurangan zat asam. Kerusakan dinding kapiler menyebabkan kebocoran cairan dan darah dari kapiler. Kebocoran ini menyebabkan pembengkakan jaringan. Jika tidak segera ditangani, maka diabetes militus dapat menyebabkan komplikasi pada organ tubuh yang lain. Salah satunya adalah mata. Bentuknya adalah glaukoma merupakan penyakit yang merusak syaraf mata atau syaraf optik sebagai akibat adanya tekanan bola mata atau tekanan intra ocular yang tinggi. Akibatnya, penderita glaukoma akan mengalami kerusakan pada serabut syaraf mata yang menimbulkan skotoma (kehilangan lapang pandang). Bila seluruh serabut syaraf rusak, maka akan terjadi 20 kebutaan total. Menurut Misnadiarly (2006), diabetes melitus dapat menyebabkan lensa mata menjadi keruh (tampak putih) atau disebut dengan katarak diabetes (Ilyas 2006), katarak diabetes merupakan katarak yang terjadi akibat penyakit diabetes melitus. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keadaan hiperglikemia terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa sehingga penglihatan menjadi kabur dan komplikasi yang paling penting adalah retinopati diabetik yaitu perubahan pembuluh darah dalam mata atau retina. Retinopati merupakan gejala diabetes melitus utama pada mata, dimana pada retina ditemukan mikroaneurismata, yaitu penonjolan dinding kapiler, dilatasi pembuluh darah akibat kelainan sirkulasi, neovaskularisasi akibat proliferasi sel endotel pembuluh darah, edema retina sehingga mengganggu penglihatan (Ilyas 2006). Di Amerika Serikat terdapat 5000 orang pertahun mengalami kebutaan akibat retinopati diabetes sedangkan di Inggris retinopati diabetes merupakan penyebab kebutaan nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan. Streptrozotosin (STZ) Streptozotosin merupakan senyawa hasil sintesis Streptomycetes achromogenes dan digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan coba, baik diabetes melitus tergantung insulin (IDDM) atau tidak tergantung insulin (NIDDM). Menurut Gordon (1991), tikus yang diberi streptozotosin akan mengalami kerusakan pada sel beta pankreas yang menyebabkan perubahan yang nyata dalam metabolisme hepatik fase I dan fase II. Menurut Szkudelski (2001), dosis yang digunakan pada tikus untuk menginduksi IDDM secara intravena diantara 40-60 mg/kg BB, dapat juga diberikan secara intraperitoneal dengan dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang efektif jika diberikan dibawah 40 mg/dl. Pemberian STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intraperitoneal pada tikus dapat meningkatkan kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dl) setelah 2 minggu. STZ adalah donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel pankreas, dengan cara meningkatkan aktivitas guanilil siklase. STZ dapat menghambat siklus Krebs, dan akibatnya konsumsi oksigen berkurang. Hal ini menyebabkan pembatasan produksi ATP dalam mitikondria yang menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel β. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juli 2006 sampai bulan Februari 2007 di laksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB. Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 %, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90 %, alkohol 95%, alkohol absolut, xilol, parafin, aquades, pewarnaan histologi hematoksilin eosin, dan streptozotosin (STZ). Peralatan yang digunakan antara lain spoit, kandang tikus, skalpel, gunting, pinset, mikrotom, gelas objek, cover glass, timbangan, digital blood glucose meter dan mikroskop. Hewan percobaan Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah 6 ekor tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sparague-Dawley, umur 2 bulan dengan berat badan 250 gram. Metode Penelitian Pengelompokan Tikus Tikus diadaptasikan selama 7 hari sebelum di berikan perlakuan. Tikus di kelompokkan menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas tiga ekor. - Kelompok A adalah kelompok kontrol, yaitu kelompok tikus yang tidak diinduksi sterptozotosin (STZ). - Kelompok B adalah kelompok diabetes, yaitu kelompok tikus yang diinduksi streptozotosin (STZ). 22 Pemberian Streptozotosin (STZ) Induksi streptozotosin (STZ) dilakukan pada tikus kelompok B. STZ diberikan secara intraperitoneal dengan dosis tunggal 50 mg/kgBB. Pengukuran kadar glukosa darah Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada kedua kelompok tikus pada hari ke-19 pasca induksi streptozotosin dengan menggunakan digital blood glucose meter. Pengambilan organ hati dan mata Pengambilan organ hati dan mata dilakukan pada hari ke-19 setelah induksi streptozotosin. Pengambilan organ hati dan mata dilakukan dengan melaksanakan nekropsi pada kedua kelompok tikus. Selanjutnya organ hati dan mata diproses untuk pembuatan preparat histopatologi. Pembuatan preparat Histopatologi Pembuatan preparat histopatologi pada organ hati dan mata dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : Fiksasi Sediaan organ mata dan hati direndam dalam laruran Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 %. Kemudian dipotong dengan ketebalan ± 3mm dan potongannya dimasukkan ke dalam kaset jaringan. Dehidrasi Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukkan kedalam gelas-gelas mesin Autotechnician untuk dilakukan dehidrasi. Dehidrasi ini dilakukan bertahap dengan menggunakan alkohol yang konsentrasinya berbeda, dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut I, alkohol absolut II Setelah itu dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan memasukkan sediaan kedalam xilol 1 dan 2. 23 Perendaman (Embedding) dan pencetakan (block) Sediaan yang telah didehidrasi ditanam dalam cetakan yang telah berisi parafin cair setengah dari dinding cetakan kemudian setelah mulai membeku ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh. Proses ini sebaiknya dilakukan di dekat sumber panas agar parafin cair tidak cepat membeku. Sedian tersebut diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan dalam refrigerator untuk memudahkan pemotongan. Pemotongan Jaringan dipotong 5-6 µm dan hasil potongan diletakkan diatas air hangat untuk mencegah terjadinya lipatan akibat pemotongan. Sediaan diletakkan diatas gelas objek, kemudian dikeringkan dalam inkubator. Pewarnaan Hematoksilin Eosin Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) termasuk dalam jenis pewarnaan ganda (double staining) karena menggunakan dua jenis zat warna. Pada pewarnaan ganda umumnya pewarnan yang digunakan satu bersifat asam dan yang lain bersifat basa. Paduan sifat tersebut menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik dapat ditonjolkan. Penggunaan pewarna ganda bertujuan agar terjadi kekontrasan antara bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik, sehingga pengenalan bagian tertentu dapat lebih cepat dan jelas terlihat . Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinasi dengan menggunakan xilol 1 dan 2 masing-masing selama 2-3 menit. Kemudian dilanjutkan dengan proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol absolut, 95%, dan 70% secara berurutan masing-masing selama 2-3 menit setelah itu dimasukkan kedalam lugol selama 3 menit. Kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya dimasukkan ke dalam 5% sodium thiosulfate 2-3 menit. Sediaan dicuci kembali dalam air mengalir selama 3-5 menit. Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin selama 8 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir, direndam dalam lithium selama 15-30 detik, kemudian dicuci kembali dalam air mengalir. Sediaan diwarnai dengan pewarna eosin selama 2-3 menit, setelah itu sediaan dicuci dalam air mengalir untuk membersihkkan warna eosin yang berlebihan, selanjutnya 24 sediaan dimasukkan kedalam alkohol 70 %, alkohol 95%, alkohol absolut 1, alkohol absolut 2 selama 2-3 menit, xilol 1 dan xilol 2 selama 2 menit setelah semuanya selesai sediaan dikeringkan kemudian ditetesi dengan entellan dan ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk diperiksa dibawah mikroskop. Pengamatan Histopatologi Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 400 kali. Pengamatan dilakukan dalam 10 lapang pandang untuk dihitung pada setiap lapang pandang jumlah sel Kupffer, jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa pada organ hati serta melihat lesio yang terjadi pada organ mata secara deskriptif. Analisis data Data yang diperoleh dianalisa dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui kenormalan sebaran data kemudian dilanjutkan dengan uji-T untuk mengetahui keragaman antara kelompok kontrol dan kelompok diabetes. diolah dengan menggunakan menggunakan software SPSS 12. Data HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian pada Gambar 7 terlihat kadar glukosa kelompok diabetes (B) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (A). Rataan kadar glukosa darah kelompok B pada Tabel 1 yaitu 202 mg/dl, nilai tersebut menunjukkan keadaan hiperglikemia. Kadar glukosa darah normal pada tikus berkisar antara 50-135 mg/dl (Malole dan Utami 1989). Tabel 1 Rataan kadar glukosa darah kedua kelompok tikus Kelompok Jumlah Kadar glukosa darah (mg/dl) Tikus (n) A (kontrol) 3 84,3 B (diabetes) 3 202,0 Kondisi hiperglikemia disebabkan oleh pemberian STZ yang dapat merusak sel beta pankreas (Gordon 1991), sehingga menghambat sekresi insulin dalam plasma darah (Cooperstein 1981). Menurut Szkuldeski (2001), pemberian STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intra peritoneal pada tikus dapat meningkatkan kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dl) setelah 2 minggu. Perbandingan kadar glukosa darah 250 200 kadar glukosa 150 darah 100 (mg/dl) 50 Kontrol Diabetes 0 1 kelompok Gambar 7 Perbandingan kadar glukosa darah kedua kelompok tikus 26 Gejala klinis yang nampak pada kelompok B diantaranya adanya polidipsi, poliuria yang ditandai dengan basahnya rambut tikus pada semua bagian badan terutama daerah abdomen, tikus terlihat kusam, rambutnya berdiri, dan tubuhya tremor. Menurut Misnadiarly (2006), gejala klinis yang muncul pada penderita diabetes melitus adalah polifagia, polidipsi, dan poliuria. Kondisi klinis ini terjadi karena glukosa merupakan zat yang bersifat hidrofilik sehingga peningkatan glukosa darah akan meningkatkan osmotik diuresis dari sel di sekitarnya, akhirnya terjadi dehidrasi intraselluler diikuti poliuria dan polidipsi. Menurut Linder (1992) apabila kadar glukosa darah telah melebihi ambang batas ginjal (180 ml/dl), maka glukosa tidak dapat diserap lagi oleh ginjal dan akan keluar bersama urin (glukosuria). Karena glukosa hilang bersama urin maka tikus akan kehilangan kalori sehingga tikus tampak bergemetar (tremor). Pada kasus DM, glukosa dalam darah tidak dapat digunakan sebagai sumber energi. Untuk dapat mengubah glukosa menjadi energi, glukosa harus di transfer terlebih dahulu ke dalam sel dan melalui proses oksidasi dalam sel. Peranan insulin adalah membantu mengubah glukosa menjadi energi bagi sel dengan cara mentransfer glukosa ke dalam sel-sel yang membutuhkan dan mengubah glukosa menjadi energi cadangan (glikogen dan lemak) jika produksi insulin terhambat atau tidak ada sama sekali maka glukosa akan tetap bertahan dalam darah (hiperglikemia). Gambar 8 Transpor glukosa (Anonim 2007e) 27 Glukosa yang tidak dapat masuk ke dalam sel mengakibatkan penggunaan glukosa sebagai energi terhambat dan sel akan kekurangan energi sehingga pada akhirnya tubuh akan mencari energi dari sumber lain yaitu dengan memecah glikogen (glikogenolisis) dan pembentukan glukosa dari bahan-bahan selain karbohidrat (glukoneogenesis) di dalam hati, oksidasi lemak dalam sel lemak, dan katabolisme protein sehingga semakin mempertinggi kadar glukosa di dalam darah. Oksidasi lemak menghasilkan energi disertai badan keton (asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton). Secara klinis peningkatan badan keton di dalam tubuh dapat mengakibatkan adanya ketosis, ketonemia. Badan-badan keton yang terbentuk akan mengikat ion natrium sehingga kadar ion hidrogen meningkat dan terjadi gangguan keseimbangan elektrolit, asidosis dan diikuti koma serta kematian. Histopatologis organ hati Hati merupakan organ yang berperan dalam menjaga keseimbangan kadar glukosa di dalam tubuh. Dari hasil pengamatan secara histopatologis kelompok tikus diabetes ditemukan adanya lesio pada organ hati berupa degenerasi hingga nekrosa hepatosit. Berdasarkan hasil analisis didapatkan rataan jumlah hepatosit pada kedua kelompok tikus dalam Tabel 2 sebagai berikut; Tabel 2 Rataan jumlah hepatosit pada kedua kelompok tikus Kelompok tikus Jumlah hepatosit degenerasi-nekrosa A (kontrol) 18.267 ± 4.719a B (diabetes) 51.200 ± 7.512b Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan (P < 0.05). Pada kelompok diabetes, jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Perbandingan rataan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa kedua kelompok tikus dapat dilihat pada Gambar 9. Hal ini disebabkan tikus penderita diabetes tidak mampu memobilisasi glukosa di dalam darah dan 28 mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme sel. Glukosa dalam darah tidak dapat digunakan sebagai sumber energi. Untuk dapat mengubah glukosa menjadi energi, glukosa harus ditransfer terlebih dahulu ke dalam sel dan melalui proses oksidasi dalam sel. Peranan insulin adalah membantu mengubah glukosa menjadi energi bagi sel dengan cara mentransfer glukosa ke dalam sel-sel yang membutuhkan dan mengubah glukosa menjadi energi cadangan (glikogen dan lemak). Pada tikus penderita diabetes, produksi insulin terhambat sehingga glukosa akan tetap bertahan dalam darah. Glukosa yang tidak dapat masuk ke dalam sel mengakibatkan penggunaan glukosa sebagai energi terhambat dan sel akan kekurangan energi. Akibat abnormalitas proses metabolisme ini, sel akan kehilangan struktur dan fungsi normalnya (degenerasi) kemudian diikuti oleh nekrosa, yaitu kematian sel (Spector 1993). Rataan jumlah hepatosit degenerasi-nekrosa Diabetes 60 50 40 Jumlah 30 Kontrol Kontrol Diabetes 20 10 0 1 Kelompok Grafik 9 Perbandingan rataan jumlah hepatosit degenerasi hingga nekrosa Untuk memenuhi kebutuhan energinya, sel akan memperoleh energi dari sumber lain yaitu dengan memecah glikogen (glikogenolisis) dan pembentukan glukosa dari bahan-bahan selain karbohidrat (glukoneogenesis) di dalam hati, oksidasi lemak dalam sel lemak, dan katabolisme protein. Dari hasil glikogenolisis dan glukoneogenesis akan dihasilkan badan-badan keton sebagai produk samping. Badan-badan keton merupakan salah satu radikal bebas. Radikal bebas yang jumlahnya berlebihan akan berikatan makromolekul dan dapat 29 menyebabkan kerusakan dan kematian sel (Wresdiati 2005). Radikal bebas merupakan molekul atau atom yang mengandung satu elektron (bebas). Perusakan oleh radikal bebas didahului oleh kerusakan membran sel akibat adanya ikatan kovalen antara radikal bebas dengan komponen-komponen membran, oksidasi pada komponen membran sel, proses peroksidasi lipid. Hasil peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas berefek langsung terhadap kerusakan membran sel (Wresdiati 2005) sehingga degenerasi hingga nekrosa yang terjadi pada hepatosit tikus penderita diabetes selain akibat kekurangan nutrisi juga akibat dari pengaruh radikal bebas. Pembatas antara degenerasi sel dan kamatian sel sulit didefinisikan. Degenerasi sel merupakan kerusakan sel yang bersifat reversibel atau dapat pulih kembali, namun apabila kerusakan ini terus berlanjut maka akan berakhir pada kematian sel yang bersifat irreversibel atau tidak dapat pulih kembali. Kematian sel eksperimental menunjukkan bahwa tidak adanya oksigen dan substrat enzim menjurus kepada hilangnya secara cepat fosporilasi oksidatif, ketidakmampuan mengoksidasi zat antara siklus Krebs (trikarboksilat) dan hilangnya kofaktor enzim. Hilangnya produksi energi yang bergantung kepada oksigen menyebabkan perubahan secara besar-besaran mekanisme transpor ion dengan kehilangan potensial membran dan gradien ion normal. Secara mikroskopik perubahan yang terjadi pada hepatosit diantaranya piknosis (inti sel menjadi padat dan mengecil akibat degenerasi), karioreksis (pecahnya inti sel yang disertai dengan hancurnya kromatin), kariolisis (nekrobiosis yang tampak sebagai pembengkakan inti sel disusul dengan hilangnya kromatin) (Ressang 1984). Nekrosa jaringan hati atau kematian sel merupakan proses lanjutan dari degenerasi. Menurut Lu (1995), ada beberapa perubahan yang mendahului nekrosa. Perubahan itu antara lain adalah edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma, penghancuran inti dan organel sel serta pecahnya membran plasma. Degenerasi dan nekrosa yang terjadi pada kelompok kontrol bukan merupakan suatu perubahan patologis. Kematian sel dapat terjadi pada jaringan dewasa normal. Hilangnya beberapa sel dalam jaringan yang terjadi secara teratur dan terkontrol disebut apoptosis (Spector 1993). 30 Secara mikroskopis juga ditemukan adanya peningkatan jumlah sel Kupffer pada tikus kelompok diabetes. Berdasarkan analisis diperoleh rataan jumlah sel Kupffer pada Tabel 3 sebagai berikut : Tabel 3 Rataan jumlah sel Kupffer Kelompok tikus Jumlah sel Kupffer A (kontrol) 6.367 ± 1.991a B (diabetes) 15.467 ± 3.256b Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan (P < 0.05). Pada Gambar 10, rataan jumlah sel Kupffer pada kelompok diabetes menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Keadaan ini terjadi karena adanya respon pertahanan non spesifik di dalam tubuh akibat terjadinya peradangan yang ditandai oleh adanya degenerasi hingga nekrosa pada hepatosit. Sel Kupffer merupakan makrofag dalam hati yang berperan dalam sistem pertahanan nonspesifik. Kerusakan sel yang terjadi menyebabkan diapedesis sehingga sel-sel radang akan keluar dari pembuluh darah dan akan menginfiltrasi jaringan untuk melakukan opsonisasi atau membersihkan sel-sel yang rusak (Tizard 1988). Meningkatnya jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa pada tikus penderita diabetes juga menyebabkan peningkatan jumlah sel Kupffer Rataan jumlah sel Kupffer Diabetes 16 14 12 10 Jumlah 8 6 4 2 0 Kontrol Kontrol Diabetes 1 Kelompok Grafik 10 Perbandingan rataan junlah sel Kupffer 31 a b Gambar 11 Gambaran histopatologi hati kelompok kontrol. (a) hepatosit, (b) sel Kupffer. Pewarnaan HE, bar 40µm f b e d a c Gambar 12 Gambaran histopatologi hati kelompok diabetes. (a) degenerasi lemak pada hepatosit, (b) sel Kupffer, (c) pembengkakan inti hepatosit, (d) karioreksis, (e) piknosis, (f) kariolisis. Pewarnaan HE, bar 40µm 32 Histopatologis organ mata Mata merupakan organ kompleks yang berperan dalam penglihatan. Dari hasil pengamatan histopatologis secara deskriptif pada organ mata, terlihat adanya lesio pada retina kelompok tikus diabetes. Retina merupakan bagian dari organ mata, yang berperan sebagai reseptor rangsang cahaya. Gambaran normal retina pada tikus dapat dilihat pada Gambar 13, retina terdiri dari beberapa lapis yaitu; (1) epitel berpigmen, (2) lapis sel batang dan kerucut, (3) lapis nuklear luar, (4) lapis pleksiform luar, (5) lapis nuklear dalam, (6) lapis pleksiform dalam, (7) lapis sel ganglion, (8) lapis serabut nervus optikus. Pembuluh darah dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retinal sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid. 1 2 3 4 5 6 7 8 Gambar 13 Gambaran normal retina tikus (Anonim 2007f) Degenerasi yang terjadi pada retina akibat kondisi diabetes melitus disebut dengan retinopati diabetes. Secara mikroskopis struktur sel penyusun retina pada kelompok diabetes terlihat tidak teratur. Dalam gambar 15a ditemukan adanya degenerasi pada lapisan sel nuklear luar yang mana lapisan sel ini terdiri dari nukleus sel batang dan nukleus sel kerucut selain itu juga terlihat adanya degenerasi pada sel ganglion. Pada gambar 15b ditemukan adanya lesio berupa 33 degenerasi pada lapis sel batang, sel kerucut dan lapis sel ganglion. Lesio yang terjadi pada retina berkaitan dengan kondisi hiperglikemia yang terjadi pada tikus kelompok diabetes melitus eksperimental. Tingginya kadar glukosa di dalam pembuluh darah akan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah akibat peningkatan glikoprotein. Penebalan dinding pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menuju retina menjadi terhambat sehingga retina kekurangan suplai nutrisi dan apabila aliran darah menuju retina terhambat maka akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada nukleus di retina. Retina luar (sel batang, sel kerucut, lapis nuklear luar) memperoleh aliran darah dari koroid dan retina bagian dalam (lapis pleksiform luar, lapis nuklear dalam, lapis pleksiform dalam, dan lapis sel ganglion) memperoleh aliran darah dari arteriola retina sehingga dengan terhambatnya aliran darah dari koroid menuju retina bagian luar menyebabkan degenerasi pada sel batang, sel kerucut dan lapis nukleus luar begitu pula dengan terhambatnya arteriola retina yang mensuplai darah menuju retina bagian dalam menyebabkan terjadinya degenerasi pada sel ganglion sedangkan retina pada kelompok kontrol terlihat teratur, dan tidak ditemukan adanya lesio patologis (Gambar 14). 1 2 3 4 5 6 Gambar 14 Gambaran histopatologi retina kelompok kontrol. (1) lapis sel batang dan kerucut, (2) lapis nuklear luar, (3) lapis pleksiform luar, (4) lapis nuklear dalam, (5) lapis pleksiform dalam, (6) lapis sel ganglion. Pewarnaan HE, bar 40 µm 34 1 1 2 Gambar 15a Gambaran histopatologi retina kelompok diabetes. (1) degenerasi nuklei sel batang dan sel kerucut pada lapis nuklear luar retina, (2) degenerasi sel ganglion. Pewarnaan HE, bar 40 µm 1 1 2 Gambar 15b Gambaran histopatologi retina kelompok diabetes. (1) degenerasi sel batang dan sel kerucut, (2) degenerasi sel ganglion. Pewarnaan HE, bar 40 µm 35 Menurut Wijayakusuma (2006), tingginya kadar glukosa dapat menimbulkan lesio patologis pada saraf, pembuluh darah dan merusak sejumlah jaringan tubuh yang berdampak pada komplikasi. Retina merupakan bagian dari mata yang tersusun dari banyak syaraf sehingga peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok diabetes merupakan salah satu penyebab kerusakan yang terjadi pada retina. Glukosa merupakan satu-satunya zat gizi yang dapat digunakan oleh otak, retina, sel germinativum untuk mensuplai energi (Guyton 1990). Tingginya kadar glukosa dalam darah akan menyebabkan terjadinya penebalan pada arteriola retina akibat peningkatan glikoprotein, selain itu senyawa kimia pada membran dasar tersusun dari glukosa (Schteingart 1995) sehingga kondisi hiperglikemia dapat meningkatkan pertumbuhan sel-sel pada membran dasar, akibatnya menyebabkan terjadinya penyempitan pada arteri. Menurut Schteingart (1995), ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan kejadian retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sekular yang kecil) dari arteriola retina, akibatnya terjadi perdarahan, neovaskularisasi dan terbentuk jaringan parut retina yang dapat mengakibatkan kebutaan. Menurut Mistra (2004), diabetes melitus dapat menimbulkan kompliksi pada berbagai organ tubuh salah satunya yaitu pada organ mata, bentuknya yaitu glaukoma (peningkatan tekanan bola mata), katarak (kekeruhan pada lensa mata), dan komplikasi yang paling penting adalah retinopati diabetik yaitu perubahan pembuluh darah dalam mata atau retina. KESIMPULAN Dari hasil penelitian pada kondisi hiperglikemia, hari ke-19 pasca induksi STZ secara histopatologis ditemukan: 1. Lesio pada organ hati berupa degenerasi hingga nekrosa hepatosit, rataan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa kelompok diabetes memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol begitu pula dengan rataan jumlah jumlah sel Kupffer 2. Secara deskriptif terlihat adanya lesio pada retina kelompok diabetes. Lesio yang terjadi berupa degenerasi pada retina yaitu retinopati, secara mikroskopis struktur sel penyusun retina terlihat tidak teratur. Dalam retina ditemukan degenerasi pada sel batang, sel kerucut, lapisan nukleus luar (nukleus sel batang dan sel kerucut) dan lapis sel ganglion. 42 Uji Kenormalan (Hepatosit_Kontrol) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Kontrol 30 18,2667 4,71924 ,128 ,105 -,128 ,698 ,714 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Uji kenormalan denga Uji Kolmogorov-Smirnov pada data kontrol menunjukkan nilai asymp sig(2-tailed)=0,714 pada taraf 5%, ini menunjukkan data menyebar normal. Asumsi kenormalan untuk uji-t terpenuhi ======================================================== Uji Kenormalan (Hepatosit_Diabetes) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Diabetes 30 51,2000 7,51275 ,111 ,111 -,084 ,606 ,856 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Uji kenormalan denga Uji Kolmogorov-Smirnov pada data diabetes menunjukkan nilai asymp sig(2-tailed)=0,856 pada taraf 5%, ini menunjukkan data menyebar normal. Asumsi kenormalan untuk uji-t terpenuhi 43 Uji T Hepatosit Group Statistics Respon_Hepatosit Grup 1,00 2,00 N Mean 18,2667 51,2000 30 30 Std. Deviation 4,71924 7,51275 Std. Error Mean ,86161 1,37163 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Respon_HepatositEqual variances assumed Equal variances not assumed 7,298 Sig. ,009 t-test for Equality of Means t Mean Std. Error Sig. (2-tailed) Difference Difference df 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -20,332 58 ,000 -32,93333 1,61980 -36,17572 -29,69095 -20,332 48,803 ,000 -32,93333 1,61980 -36,18878 -29,67789 Keterangan: Grup 1 : Kontrol Group 2 : Diabetes Dari levene’s test for equality f variances : Baris pertama(Uji kehomogenan ragam kontrol&diabetes) dengan nilai sig=0,009 (<5%) menunjukkan kelompok yaitu kontrol & diabetes memiliki ragam yang berbeda. Hipotesis H1 µ1?µ 2 : (nilai t=-20,332 dan df=48,803) terlihat nilai sig (2-tailed)=0,00 menunjukkan kedua kelompok heapatosit (kontrol dan diabetes) memiliki rataan yang berbeda 44 Uji Kenormalan (SelKupffer_Kontrol) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parametersa,b Most Extreme Differences Kontrol 30 6,3667 1,99107 ,209 ,209 -,117 1,142 ,147 Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Uji kenormalan denga Uji Kolmogorov-Smirnov pada data kontrol menunjukkan nilai asymp sig(2-tailed)=0,147 pada taraf 5%, ini menunjukkan data menyebar normal. Asumsi kenormalan untuk uji-t terpenuhi Uji Kenormalan (SelKupffer _Diabetes) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parametersa,b Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Diabetes 30 15,4667 3,25612 ,124 ,124 -,115 ,677 ,749 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Uji kenormalan denga Uji Kolmogorov-Smirnov pada data diabetes menunjukkan nilai asymp sig(2-tailed)=0,749 pada taraf 5%, ini menunjukkan data menyebar normal. Asumsi kenormalan untuk uji-t terpenuhi 45 Uji T SelKupffer Group Statistics Respon_Sel_kupffer Grup 1,00 2,00 N 30 30 Mean 6,3667 15,4667 Std. Deviation 1,99107 3,25612 Std. Error Mean ,36352 ,59448 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Respon_Sel_kupffer Equal variances 11,223 assumed Equal variances not assumed Sig. ,001 t-test for Equality of Means t 95% Confidence Interval of the Difference Mean Std. Error Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper df -13,059 58 ,000 -9,10000 ,69682-10,49483 -7,70517 -13,059 48,027 ,000 -9,10000 ,69682-10,50103 -7,69897 Keterangan: Grup 1 : Kontrol Group 2 : Diabetes Dari levene’s test for equality f variances : Baris pertama(Uji kehomogenan ragam kontrol&diabetes) dengan nilai sig=0,001 (<5%) menunjukkan kelompok yaitu kontrol & diabetes memiliki ragam yang berbeda. Hipotesis H1 µ1?µ 2 : (nilai t=-13,059 dan df=48, 027) terlihat nilai sig (2-tailed)=0,00 menunjukkan kedua kelompok sel kupffer (kontrol dan diabetes) memiliki rataan yang berbeda DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2006. Anatomi Mata. http://www.indo.net.id/perdami/anatomi.html. [7 Juli 2006]. [Anonim]. 2007a. Sistem Endokrin. http://www. fortune star indonesia/health/ info penyakit/diabetes melitus.htm [5 Agustus 2007]. [Anonim]. 2007b. Histologi Hati. http://www.cancerci.com/content/5/1/16/figure/F2?highres=y [5 Agustus 2007]. [Anonim]. 2007c. Kornea Mata. http://www.images.google.co.id [5 Agustus 2007]. [Anonim]. 2007d. Retina. http://www.anatomy.unimelb.edu.au/researchlabs/rees/images/retina.jpg&i mgrefurl. [5 Agustus 2007] [Anonim]. 2007e. 2007] Transpor Glukosa. http://www. google.co.id. [5 Agustus [Anonim]. 2007f. Normal Rat Retina. http://www.ihcworld.com/imagegallery/albums/userpics/10003/normal_ratretina-he-m1.jpg. [5 Agustus 2007]. Carlton WW and Gavin. 1995. Special Veteinary Pathology. 2nd Edition. St. Louis, Missouri : Mosby-Year Book, Inc. Cooperstein SJ and watkins. 1981. The Islents of Langerhans. New York : Academic Press. Inc. hlm : 411-418. Dalimunthe D. 2004. Diabetes Mellitus: Peranan Insulin, Reseptor Insulin dan Penanganannya. Medan : Universitas Sumatera Utara. hlm: 2-11. Dellman HD and Brown. 1989. Buku Teks Histologi Vetriner. Ed ke-3. Jakarta : UI Press. hlm: 393-410 & 650-675 Damjanov I. 1998. Buku Teks dan Atlas Histopatologi. Diterjemahkan oleh Brahm U. Pendit. Jakarta : Widya Medika. hlm: 245-246. Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Diterjemahkan oleh Rianto Setiabudy, dkk. Jakarta : FKUI. hlm: 480-481. Ganong WF; alih bahasa, Brahm U.pendit, et al. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Djauhari Widjajakusumah. Jakarta : EGC. hlm: 340-341. 38 Gordon GG. dan Skett. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Diterjemahkan oleh Iis Aisyah B. Jakarta : UI-Press. hlm: 144-146. Guyton AC. 1997. Bukua Ajar Fisiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Irawati setiawan. Jakarta : EGC. hlm: 1103-1105,1234-1237. Guyton AC. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit . Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh Pertus Andrianto. Terjemahan dari Human Physiology and Mechanisms of Disease. Jakarta : EGC. hlm: 1103-1105,1234-1237. Halim Kenar. 2007. Liver Anatomy. http://www.atlas.or.kr/donation/donation_files/Dscn0907.jpg. [5 Agustus 2007]. Ilyas S. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Ed ke-3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Diterjemahkan oleh Aminuddin Parakkasi. Terjemahan dari Nutritional Biochemistry and Metabolism. Jakarta : UI-Press. hlm: 27-56 Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Ed ke-2. Jakarta : UI Press. hlm: 208-220 & 253-262 Malole MBM dan Pranomo. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Ganggren, Ulcer, Infeksi, Mengenal Gejala, Menaggulangi dan Mencegah Komplikasi. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Mistra. 2004. 3 Jurus Melawan Diabetes Mellitus. Jakarta : Puspa Swara. hlm : 56. Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Edisi ke-5. Diterjemahkan oleh Mathilda B. Widianto & Anna Setiadi ranti. Bandung : ITB. hlm: 343-345. Notkins 1985 dalam Soehadi, Koentjoro. 1989. Pengaruh Regulasi Diabetes Mellitus Terhadap Profil Spermiogram, Hormon Reproduksi dan Potensi Seks Pria. Disertasi. Universitas Airlangga. PERKENI. 2002. Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. 39 Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Denpasar : Bali Cattle Desease Investigation Unit. hlm: 45-50 & 86-87 Schteingart DE. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku 2. Ed ke-4. Diedit oleh Sylvia AP & Lorraine MW. Diterjemahkan oleh Peter A. Terjema han dari Pathophysiologi Clinical Concepts of Disease Processes. Jakarta : EGC. hlm: 1109-1119 Soedarman. 2005. Pengaruh Diabetes Mellitus Terhadap Penglihatan. http://www. republika.co.id. [7 juli 2006]. Soehadi K. 1989. Pengaruh Regulasi Diabetes Mellitus Terhadap Profil Spermiogram, Hormon Reproduksi dan Potensi Seks Pria. Disertasi. Universitas Airlangga. Hlm: 14-16. Spector WG. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Diterjemahkan oleh Soecipto, harsoyo, Amelia hana, Pudji astuti. Yogyakarta : Gadjah mada university press. hlm: 198-206 Suharmiati. 2003. Pengujian Bioaktivitas Anti Diabetes Mellitus Tumbuhan Obat. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Surabaya. Cermin Dunia Kedokteran No. 140. Szkudelski T. 2001. The Mecanism of Alloxan and Streptozotocin Action in Beta Cell of The Rat Pancreas. Physiol . hlm : 50: 536-546 Tizard. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press. hlm : 18-36 Wijayakusuma H. 2006. Bebas Diabetes mellitus ala Hembing. Jakarta : Puspa Swara. WHO 1985 dalam Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Ganggren, Ulcer, Infeksi, Mengenal Gejala, Menaggulangi dan Mencegah Komplikasi. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Wresdiati T dan Astawan. 2005. Deteksi Secara Imunohistokimia antioksidan dan Super Oksida Dismutase (SOD) Pada Jaringan Tikus Hiperkolesteromia yang Diberi Pakan Rumput Laut. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan: Institut Pertanian Bogor. Wilson dan Lester. 1992. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku 1. Ed ke-4. Diedit oleh Sylvia AP & Lorraine MW. Diterjemahkan 40 oleh Peter A. Terjemahan dari Pathophysiologi Clinical Concepts of Disease Processes. Jakarta : EGC. hlm: 426-457. Yusnita. Mata dan Penglihatan. republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp. [7 Juli 2006]. http://www.