abstrak baru

advertisement
HISTOPATOLOGI ORGAN HATI DAN MATA PADA TIKUS
PENDERITA DIABETES MELITUS EKSPERIMENTAL
PRITTA MAHARANI
B04103114
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
HISTOPATOLOGI ORGAN HATI DAN MATA PADA TIKUS
PENDERITA DIABETES MELITUS EKSPERIMENTAL
PRITTA MAHARANI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan di
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Skripsi
: Histopatologi Organ Hati dan Mata Pada Tikus Penderita
Diabetes Melitus Eksperimental.
Nama
: Pritta Maharani
NRP
: B04103114
Disetujui
drh.Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D
Pembimbing
Diketahui
Dr.drh.I Wayan Teguh Wibawan, MS
Wakil Dekan
Tanggal Lulus :
ABSTRAK
PRITTA MAHARANI. Histopatologi Organ Hati dan Mata Pada Tikus
Penderita Diabetes Melitus Eksperimental. Dibimbing oleh EKOWATI
HANDHARYANI.
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia. DM dapat menyebabkan komplikasi pada berbagai organ
tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ
hati dan mata pada tikus penderita diabetes melitus eksperimental. Sebanyak 6
ekor tikus jantan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam dua kelompok
yaitu kelompok pertama (A) adalah kelompok yang tidak diberi perlakuan
(kontrol) dan kelompok kedua (B) adalah kelompok yang diinduksi streptozotosin
(STZ) secara intra peritoneal dengan dosis 50 mg/kgBB (diabetes). Pada hari ke19 pasca induksi STZ, kadar glukosa darah pada masing-masing kelompok diukur
kemudian diambil organ hati dan matanya dengan melakukan nekropsi
selanjutnya, dibuat preparat histopatologi dan diamati di bawah mikroskop pada
pembesaran 400 kali dalam 10 lapang pandang untuk dihitung pada setiap lapang
pandang jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa, jumlah sel
Kupffer serta melihat lesio yang terjadi pada organ mata secara deskriptif. Data
yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Kolmorgof-Smirnov
dan dilanjutkan dengan uji-T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok
tikus diabetes mengalami peningkatan glukosa darah yang melebihi kadar normal
(hiperglikemia), pada hati ditemukan lesio berupa degenerasi hingga nekrosa
hepatosit, rataan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa
pada kelompok diabetes memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok
kontrol begitu pula dengan rataan jumlah sel Kupffer dan secara deskriptif
ditemukan adanya lesio pada retina mata kelompok diabetes. Lesio yang terjadi
berupa degenerasi pada retina yaitu retinopati, secara mikroskopis struktur sel
penyusun retina terlihat tidak teratur. Pada retina ditemukan adanya degenerasi
pada sel batang, sel kerucut, lapisan nukleus luar dan lapis sel ganglion.
Kata kunci : Diabetes melitus eksperimental, hati dan mata.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 8 januari 1985. Penulis adalah
putri pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Drs. H. Hasanurdin dan Ibu
Hj. Rohayati. Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK ALIstiqomah Bandung (1990-1991), Sekolah Dasar di SD Terang Bandung (19911997), kemudian penulis melanjutkan studi di SLTPN 30 Bandung (1997-2000).
Setelah lulus dari SMUN 2 Cimahi (2000-2003) penulis diterima di Fakultas
kedokteran Hewan Instutut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi masuk IPB).
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa organisasi
intra dan ekstra kampus antara lain : Sekretaris KOMTI angkatan 40 periode
2003-2005, BEM FKH-IPB periode 2004-2005/2005-2006 sebagai sekretaris
Departemen
Sosial
dan
Kemahasiswaan,
IMAKAHI
(Ikatan
Mahasiswa
Kedokteran Hewan Indonesia) periode 2004-2006 sebagai staf litbang, Himpro
Ruminansia periode 2004-2005, DKM An-Nahl periode 2005-2007 sebagai tim
Media Pers Islami, KSR (Korps Sukarela) PMI UNIT I IPB periode 2004-2005
sebagai
Bendahara umum. Himpunan Mahasiswa Paguyuban
Mahasiswa
Bandung (PAMAUNG) sebagai anggota Departemen PSDM, serta pernah
menjadi asisten mata kuliah PAI (Pendidikan Agama Islam) semester ganjil
(2006-2007).
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil'alamiin. Tiada kata terindah selain ucap syukur
kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor. Sholawat serta salam semoga terlimpah kapada Rasulallah SAW.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada :
• Kedua orangtua tercinta Drs. H. Hasanurdin dan Hj. Rohayati yang selalu
memberikan do'a, semangat, dan kasihsayangnya kepada penulis, adik-adikku
tersayang Luthfia Hastiani Muharam, Rizki Maulana Muhammad, dan Shifa
Karima Hayati.
• Drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D Sebagai dosen pembimbing atas
didikan, arahan, bimbingan, perhatian, waktu dan kesabaran yang telah
diberikan kepada penulis.
•
Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi. Sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan semangat, motivasi dan nasehat selama penulis kuliah.
•
Drh. Agus Wijaya. MSi, Ph.D atas masukannya.
•
Drh. Adi Winarto Ph.D atas bantuannya dalam pengambilan gambar.
•
Pak sholeh, Pak Kasnadi dan Pak Ndang (Staf Patologi) yang telah banyak
membantu di laboratorium Patologi selama penelitian.
•
Keluarga di Cempaka 13 (Ramlah, Ucu, Iya, Nariza, Kakek, Mba Ade, Mba
Tarmi, Mas Dedi, K' Ibnu, Timon, Jiun).
•
My little family; M'vina, M' Nur, M'hafsari, nie-penk, wied, atin, kx.
• Teman-teman Wisma Satelit, Wisma Malea, Wisma andhika, Wisma Hatory,
Green house, Hammas kost, famdy kost., GREEN GONJRENG.
•
Patologi crew, HIMADIKA Crew (Chandra, Uliel, kenshin, Iwid, Supri &
Sabto), G-V.
•
Barudak PAMAUNG (Paguyuban Mahasiswa Bandung), teman-teman KSR
PMI UNIT I IPB, DKM An-Nahl, Ruminer's 04, Kabinet kebersamaan BEM
FKH (2005-2006), IMAKAHI.
•
Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA)
•
Kakak-kakakku di FKH (B'39, B'38, B'37, B'36, B'35)
• Teman-teman Gymnolaemata (B'40), Asteroidea (B'41), (B'42) yang tidak
bisa disebutkan satu persatu.
Terimakasih atas segala dukungan, semangat dan ukhuwah yang luar biasa.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan.
Penulis
menyadari bahwa banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Agustus 2007
Pritta Maharani
Karya ilmiah ini penulis persembahkan untuk
kedua orangtua tercinta, almamater, dan semoga
dapat bermabfaat bagi semua pihak
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi
pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh lautan lagi setelah (kering)nya,
niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan)
kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
(Q.S. Luqman : 31)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR....................................................................................
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang............................................................................................
1
Tujuan Penelitian.........................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes melitus
Sejarah......................................................................................................
3
Etiologi.....................................................................................................
3
Klasifikasi................................................................................................. 4
Gejala klinik dan komplikasi....................................................................
6
Diagnosa...................................................................................................
7
Patologi..................................................................................................... 8
Pengobatan...............................................................................................
9
Hati
Anatomi hati.............................................................................................
10
Histologi hati............................................................................................
11
Fungsi hati................................................................................................
12
Patologi hati..............................................................................................
13
Mata
Anatomi dan fungsi mata.........................................................................
15
Histologi mata..........................................................................................
16
Pengaruh diabetes terhadap mata.............................................................
19
Streptozotosin (STZ)...................................................................................
20
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat penelitian.......................................................................
21
Peralatan dan bahan penelitian....................................................................
21
Hewan percobaan........................................................................................
21
Metode penelitian
Pengelompokan tikus...............................................................................
21
Pemberian STZ.........................................................................................
22
Pengukuran kadar glukosa dalam darah...................................................
22
Pengambilan organ hati dan mata............................................................
22
Pembuatan preparat histopatologi............................................................
22
Pengamatan histopatologi........................................................................
24
Analisia data.............................................................................................
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Histopatologi hati.....................................................................................
27
Histopatologi mata...................................................................................
32
KESIMPULAN...........................................................................................
36
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
37
LAMPIRAN.................................................................................................
41
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Rataan kadar glukosa darah kedua kelompok tikus........................
25
Tabel 2. Rataan jumlah hepatosit pada kedua kelompok tikus.....................
27
Tabel 3. Rataan jumlah sel Kupffer pada kedua kelompok tikus..................
30
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Sekresi insulin...........................................................................
4
Gambar 2. Anatomi hati..............................................................................
11
Gambar 3. Histologi hati.............................................................................
12
Gambar 4. Anatomi mata............................................................................
16
Gambar 5. Gambaran histologi kornea mata...............................................
17
Gambar 6. Gambaran histologi retina mata................................................
19
Gambar 7. Perbandingan kadar glukosa darah pada kelompok tikus.........
25
Gambar 8. Transpor glukosa.......................................................................
26
Gambar 9. Perbandingan rataan jumlah hepatosit
degenerasi hingga nekrosa........................................................
Gambar 10. Perbandingan rataan junlah sel Kupffer..................................
28
Gambar 11. Gambaran histopatologi hati kelompok kontrol
Pewarnaan HE, bar 40µm........................................................
Gambar 12. Gambaran histopatologi hati kelompok kontrol
Pewarnaan HE, bar 40µm........................................................
Gambar 13. Gambaran normal retina tikus..................................................
31
Gambar 14. Gambaran histopatologi mata kelompok kontrol.
pewarnaan HE, bar 40 µm........................................................
Gambar 15a. Gambaran histopatologi mata kelompok diabetes
Pewarnaan HE, bar 40 µm......................................................
Gambar 15b. Gambaran histopatologi mata kelompok diabetes
Pewarnaan HE, bar 40 µm......................................................
30
31
32
33
33
34
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia yaitu kondisi tubuh dengan kadar glukosa darah melebihi
nilai normal. Kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl dan kadar glukosa darah
puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl (Misnadiarly 2006). Diabetes melitus
atau disebut juga penyakit kencing manis merupakan keadaan patologis yang
sering terjadi akibat defisiensi insulin.
Dallimunthe (2004) menuliskan bahwa menurut laporan International
Diabetes Federation (IDF) jumlah penderita diabetes melitus telah meningkat
secara mengkhawatirkan. Global Diabetes Statitistic melaporkan bahwa pada
tahun 2003 ada 194 juta jiwa di dunia penderita diabetes melitus dan diperkirakan
akan menjadi 333 juta jiwa pada tahun 2025. Prevalensi diabetes melitus pada
penduduk Indonesia berusia 15 tahun sekitar 1,2-2,3%.
Penyebab terjadinya
diabetes melitus karena aktivitas insulin yang tak memadai baik karena sekresi
insulin yang berkurang atau karena adanya resistensi insulin pada jaringanjaringan yang peka insulin (Suharmiati 2003). Penyakit ini dapat terjadi sekunder
akibat defisiensi atau gangguan sekresi insulin atau akibat respon abnormal
jaringan perifer terhadap insulin. Kasus-kasus diabetes sekunder misalnya akibat
pankreatitis kronik, pankreatektomi total.
Gejala awal yang terlihat berupa,
poliuri, polidipsi dan polifagi, penglihatan menjadi kabur, penurunan berat badan,
dan hiperglikemia.
Diabetes melitus sering dijumpai pada manusia, namun tidak jarang pula
penyakit ini dapat dijumpai pada spesies lain seperti anjing dan kucing. Ras yang
umum terkena adalah Miniatur poodles, Crain terriers, Cocker spaniels, German
shepred, Collies dan Bokser. Pada hewan percobaan keadaan diabetes melitus
dapat ditimbulkan dengan pankreatomi atau dengan pemberian zat kimia.
Zat
kimia sebagai induktor (diabetogen) yang bisa digunakan yaitu aloksan,
streptozotozin, diaksosida, adrenalin, glukagon, EDTA yang diberikan secara
parenteral (Suharmiati 2003).
2
Secara klinis diabetes melitus dibedakan menjadi tipe 1 diabetes melitus
tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Dependen-Insulin (IDDM) adalah suatu
penyakit autoimun yang ditandai oleh rusaknya sel-sel beta penghasil insulin
(Ganong 2002). Biasanya produksi insulin ada atau tidak ada sama sekali seperti
pada juvenil diabetik (Dallimunthe 2004). Hal ini terjadi karena ada reaksi
autoimun berupa reaksi peradangan pada sel beta.
Tipe 2 diabetes tidak
tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin (NIDDM)
konsentrasi insulin dapat normal atau berkurang hal ini dapat terjadi karena
kebutuhan insulin tidak dapat dipenuhi oleh sel beta pankreas.
DM mendapat gelar The Silent Killer karena komplikasi yang dapat
ditimbulkannya, dan hingga kini masih belum tuntas penanganannya.
Diabetes
melitus dapat menyebabkan komplikasi pada organ tubuh yang lain jika tidak
segera ditangani dengan baik. Komplikasi akut disebabkan karena terganggunya
proses metabolisme karbohidrat yang menyebabkan kadar glukosa darah sangat
tinggi atau rendah. Menurut Mistra (2004), secara umum asupan glukosa dalam
darah disimpan dalam hati dan akan diolah menjadi glikogen.
Jika tubuh
memerlukan, hati akan mengeluarkan dan mengubahnya kembali menjadi glukosa
namun tidak demikian pada penderita diabetes melitus glukosa di dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam sel (tubuh) akibatnya akan terjadi peningkatan kadar
glukosa di dalam pembuluh darah, sehingga lambat laun akan menyebabkan
penyempitan pembuluh darah secara global selanjutnya berujung pada komplikasi
kronis yaitu kerusakan organ-organ tubuh bagian dalam akibat rusaknya
pembuluh
darah
besar
(makrovaskular)
dan
pembuluh
darah
kecil
(mikrovaskular).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ
hati dan mata pada tikus penderita diabetes melitus eksperimental.
TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes Melitus
Sejarah Diabetes Melitus
Kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin disebut diabetes melitus
(Ganong 2002). Menurut Dallimunthe (2004), penyakit diabetes melitus telah
diketahui sejak ribuan tahun sebelum masehi. Ebers Papyrus menuliskan bahwa
di Mesir sekitar tahun 1550 Sebelum Masehi (SM) ditemukan suatu penyakit yang
ditandai dengan banyak kencing.
Di India dalam buku Aryuveda (600 SM)
menjumpai penyakit yang sama dimana urin penderita terasa manis dan disebut
urin madu. Aretaceus menulis bahwa ditemukan suatu penyakit yang ditandai
dengan urin yang banyak, Willis adalah orang pertama pada tahun 1674 yang
menuliskan penderita dengan urin banyak dan seperti madu disebut diabetes
melitus kemudian pada tahun 1921, Frederich Grant Banting, seorang mahasiswa
Fakultas Kedokteran di Toronto, Canada mengangkat pankreas anjing kemudian
mengestrak pankreas tersebut.
Anjing yang telah diangkat pankreasnya
mengalami peningkatan kadar glukosa darah, kemudian setelah disuntik dengan
ekstrak pankreas kadar glukosa darahnya turun, oleh karena ekstrak pankreas itu
mengandung hormon yang disebut insulin. Ternyata hormon insulin inilah yang
mengatur kadar glukosa dalam darah.
Etiologi Diabetes Melitus
Sebagian besar kasus diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sel beta
pankreas sehingga produksi insulin menjadi terhambat atau tidak ada sama sekali.
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka intoleransi
terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada usia lanjut berkaitan
dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, penyakit
penyerta, penggunaan obat-obatan sehingga terjadi penurunan sekresi insulin dan
resistensi insulin (Misnadiarly 2006). Diabetes melitus merupakan penyakit yang
diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Para ahli kesehatan juga
menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin.
Faktor herediter sering
kali pula menyebabkan timbulnya diabetes melalui
4
peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau
mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta, sehingga
mengarah pada penghancuran sel-sel beta.
Gambar 1 Sekresi insulin
(Anonim 2007a)
Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut Misnadiarly (2006), diabetes melitus diklasifikasikan kedalam
dua tipe yaitu diabetes tipe 1 diabetes melitus tergantung insulin atau Diabetes
Mellitus Dependen-Insulin (IDDM) dan Tipe 2 diabetes tidak tergantung insulin
atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin (NIDDM);
a.
Tipe 1 diabetes melitus tergantung insulin atau Diabetes Mellitus
Dependen-Insulin (IDDM) disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas, sehingga
sel beta pankreas tidak mampu membuat dan mengeluarkan insulin dalam
kuantitas dan/atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak terdapat
sekresi insulin sama sekali. Dalam hal ini reseptor untuk insulin pada IDDM
jumlah dan kualitasnya dalam keadaan normal.
Berbagai faktor penentu
etiopatologis IDDM telah dapat diidentifikasi, misalnya konstitusi genetik,
immunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta endokrinologi.
Menurut PERKENI (2002), diabetes melitus tipe 1 memiliki karakteristik mudah
terjadi ketoasidosis, pengobatannya harus dengan insulin, onset akut, penderita
5
biasanya kurus, terjadi pada umur muda, di dapatkan antibodi sel islet, 10% ada
riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% terjadi pada kembar identik.
b.
Tipe 2 diabetes tidak tergantung insulin atau Diabetes Mellitus Non-
Dependen Insulin (NIDDM) diduga terjadi akibat sekresi insulin yang insufisien
dan retensi jaringan terhadap insulin. Pada penderita NIDDM dapat dijumpai
kadar insulin lebih tinggi akan tetapi karena ada gangguan pada reseptor insulin,
maka transpor glukosa ke dalam sel terganggu akibatnya kadar glukosa darah
akan terus meningkat. Pada keadaan ini penderita NIDDM sama dengan diabetes
melitus tipe 1, perbedaannnya adalah diabetes melitus tipe 2 disamping kadar
gulanya meninggi, kadar insulinnya normal. Keadaan ini yang disebut resisten
terhadap insulin (Delimunthe 2004). Menurut PERKENI (2002), karakteristik
dari diabetes melitus tipe 2 yaitu; sukar terjadi ketoasidosis, pengobatannya tidak
harus menggunakan insulin, onsetnya lambat, penderitanya gemuk atau tidak
gemuk, biasanya terjadi pada umur tua, tidak ada antibodi sel islet, 30% ada
riwayat diabetes pada keluarga, 100% terjadi pada kembar identik.
Menurut
Seohadi
(1989),
berdasarkan
letaknya,
kelainan
yang
menyebabkan NIDDM terdapat dibeberapa tempat sebagai berikut :
1. Faktor pankreas :
o Karena adanya mutasi gen insulin, akan terbentuk molekul-molekul
insulin yang abnormal dan secara biologis kurang aktif.
o Terlalu banyak proinsulin yang tidak dapat dirubah menjadi insulin.
o Terjadi keterlambatan sekresi insulin, meskipun mungkin produksi insulin
cukup, sehingga glukosa sudah diabsorpsi masuk darah tetapi insulin
belum memadai jumlahnya.
2. Faktor darah :
o Adanya insulin angiotensin antagonisme, misalnya antibodi terhadap
insulin.
o Meningkatnya pengikatan insulin oleh protein plasma.
o Meningkatnya enzim yang merusak insulin atau mekanisme lain yang
merusak insulin.
o Peningkatan hormon-hormon kontra insulin seperti kortisol, hormon
pertumbuhan, katekolamin, dan lain-lain.
6
o Meningkatnya lemak darah.
3. Faktor perifer :
o Jumlah reseptor insulin di sel berkurang (antara 20.000-30.000 buah):
pada obesitas bahkan berkurang hingga 20.000 buah, pada orang normal
jumlah reseptor 35.000 buah/sel.
o Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor buruk sehingga insulin tidak
dapat bekerja secara efektif.
o Terdapat kelainan post-reseptor, sehingga proses glikolisis intraseluler
terganggu.
4. Adanya kelainan campuran diantara faktor-faktor yang terdapat pada 1,2 dan 3.
Peninggian kadar glukosa darah pada diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2
akan terus berlanjut, apabila kadar glukosa darah ini terus meninggi hingga
melewati ambang batas ginjal, maka glukosa tersebut akan dikeluarkan melalui
urin.
Kejadian ini yang sering dilihat pada penderita diabetes melitus, yaitu
poliuria dan glukosuria.
Gejala klinis dan Komplikasi Diabetes Melitus
Gejala klinis diabetes melitus meliputi gejala-gejala pada staduim
kompensasi dan dekompensasi pankreas, serta gejala-gejala kronik lainnya.
Gejala-gejala pada stadium kompensasi misalnya polifagi, polidipsi, poliuri dan
penurunan berat badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glukosuria akan
menyebabkan tekanan osmotik di dalam tubuli ginjal naik dan menghambat
reabsorbsi air karena terhambatnya reabsorbsi air ini menyebabkan penderita
diabetes melitus mengalami poliuria dan akibat adanya poliuria terus menerus
akan menyebabkan dehidrasi tingkat jaringan. Penderita diabetes melitus tidak
dapat memecah glukosa dalam darah sehingga akan menggunakan lemak
tubuhnya untuk pengganti energi atau makanan bagi sel sehingga akan terjadi
ketonemia dan ketonuria dan tubuh terlihat kurus. Adanya benda-benda keton di
dalam darah akan menimbulkan terjadinya asidosis sehingga frekuensi nafas
meningkat dan penderita mengalami koma (Ressang 1984). Pada keadaan koma
kulit mukosa dan lidah tampak keringan, bulbus mata menjadi lunak, pernapasan
7
menjadi lebih dalam dan lebih lambat serta napas bau aseton (Mutschler 1991).
Gejala-gejala kronik yang sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia,
semutan, mata kabur, mialgia, artralgia, kemampuan seksual berkurang dan lainlain (Seohadi 1989).
Diabetes melitus mempunyai sejumlah komplikasi karena vaskulopati dan
neuropati atau campuran keduanya. Komplikasi yang terjadi misalnya penyakit
jantung, serangan otak yang biasanya diikuti kelumpuhan dan struk, kerusakan
pembuluh-pembuluh darah periperal biasanya mempengaruhi bagian tubuh
bawah dan kaki, kerusakan ginjal (nepropati), kerusakan saraf (neuropati) yang
dapat menyebabkan kelumpuhan (paralisis), impoten dan penyakit mata
(retinopati), retina mata terganggu sehingga terjadi kehilangan sebagian atau
keseluruhan penglihatannya, penderita retinopati diabetik mengalami gejala
penglihatan kabur sampai kebutaan. Menurut laporan Komisi Diabetes Melitus,
penderita diabetes melitus dapat mengalami 2 kali lebih mudah terkena trombosis
serebri, 24 kali mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali rentan terhadap
kegagalan ginjal, 5 kali lebih mudah terkena ganggren, bila dibandingkan dengan
orang non-diabetes mellitus.
Meskipun gejala-gejala diabetes melitus dapat
diatasi, namun komplikasi diabetes melitus kronis jangka panjang dapat
mengurangi lama perkiraan hidup sampai sepertiganya (Notkins dalam soehadi
1989).
Diagnosa Diabetes Melitus
Kriteria diagnosa diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa
menurut WHO 1985 dalam tulisan Misnadiarly (2006);
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) = 200 mg/dl atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) = 126 mg/dl atau
3. Kadar glukosa darah plasma = 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral).
Cara umum yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit diabetes
didasarkan pada berbagai tes kimiawi terhadap urin dan darah (Guyton 1997).
Pemeriksaan glukosa urin melalui tes sederhana atau tes kuantitatif laboratorium
yang lebih rumit, yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah glukosa yang
8
hilang dalam urin. Pada umumnya jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin
orang normal sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes, glukosa yang
dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali sesuai dengan berat
penyakitnya dan asupan karbohidratnya. Kadar glukosa darah puasa sewaktu pagi
hari normalnya adalah 80 sampai 90 mg/dl, dan 110 mg/dl dipertimbangkan
sebagai batas atas kadar normal. Pada penderita diabetes, konsentrasi glukosa
darah puasa hampir selalu diatas 110 mg/dl dan sering diatas 140 mg/dl, dan uji
toleransi glukosa hampir selalu abnormal. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan
mencium bau pernafasan penderita diabetes melitus yang cenderung bau aseton
akibat jumlah asam asetat yang meningkat pada penderita diabetes berat yang
diubah menjadi aseton, aseton ini mudah menguap dan dikeluarkan dalam udara
ekspirasi sehingga bau aseton dapat tercium pada nafas penderita diabetes. Asam
keto juga dapat ditemukan dalam urin melalui cara kimia dan jumlah asam keto
ini dipakai untuk menentukan tingkat penyakit diabetes.
Patologi Diabetes Melitus
Menurut Ressang (1984), gambaran patologis anatomi penderita diabetes
melitus yang paling mencolok adalah terjadinya infiltrasi lemak pada hati dan
ginjal sehingga hati dan ginjal terlihat membengkak dan berwarna kekuningan
juga pada miokard sering kali berwarna kekuningan karena infiltrasi lemak dan
degenerasi albuminoid.
Infiltrasi lemak ini terjadi karena adanya gangguan
metabolisme di dalam tubuh penderita diabetes, pada penderita diabetes sel
kekurangan asupan nutrisi sehingga sel akan mencari energi dari sumber lain dari
selain karbohidrat yaitu dengan memecah lemak, glikogen, protein yang akan
mengakibatkan peningkatan mobilisasi lemak ke dalam hati dan menyebabkan
infiltrasi lemak di dalam hati, jika hal ini terus berlanjut maka akan terjadi
kerusakan pada hati dan secara makroskopis hati akan terlihat berwarna
kekuningan. Pankreas mengecil dan tidak memperlihatkan perubahan-perubahan
makroskopik.
Secara mikroskopis gambaran organ pankreas menunjukkan
adanya perubahan secara kualitatif pada pulau-pulau langerhans.
pulaunya berkurang
Jumlah
sedangkan sel-sel lainnya menunjukkan memperlihatkan
degenerasi hidrofobik. Disamping itu terlihat sklerosis pada pulau-pulau pankreas
9
yang disebabkan oleh peradangan atau didahului dengan degenerasi. Pada hewan
percobaan pemberian zat-zat yang yang mempunyai efek toksik seperti alloksan
dan ditizon atau derivatnya pada sel-sel pulau langerhans dapat menimbulkan
perubahan pada sel-sel yang menyerupai perubahan-perubahan pada sel-sel pada
diabetes yaitu: pengecilan pulau-pulau pankreas, pengurangan jumlah sel-sel B
degranulasi dan vaskuolisasi pada sel-sel tersebut.
Pengobatan Diabetes Melitus
Diabetes melitus dapat ditanggulangi dengan pemberian obat, pengaturan
diet secara maksimal untuk mengembalikan kadar glukosa darah dan pemberian
preparat hormonal.
Pemberian obat hanya merupakan pelengkap diet, obat
diberikan bila pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengembalikan
glukosa darah.
o Antidiabetik oral
Menurut Ganiswarna (1995), antidiabetik oral tidak diindikasikan bagi
penderita yang cenderung mendapat ketoasidosis.
terkontrol dengan
Bila hiperglikemia sudah
antidiabetik oral dosis rendah maka dapat dilakukan
pengaturan diet saja dan kerja fisik.
Penderita yang membutuhkan dosis
antidiabetik oral yang makin meningkat untuk mengontrol peninggian gula
darahnya mungkin menunjukkan adanya kegagalan sekunder.
o Insulin
Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan.
Hormon ini
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin menaikkan
pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan, menaikan
penguraian glukosa secara oksidatif, menaikan pembentukan glikogen dalam hati
dan otot dan mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan lemak
dan protein dari glukosa. Semua proses ini menyebabkan kadar glukosa darah
menurun akibat pengaruh insulin.
Kerja insulin lainnya adalah menaikkan
pengambilan ion kalium ke dalam sel dan menurunkan kerja katabolik
glukokortikoid dan hormon kelenjar tiroid (Mutschler 1991).
10
o Glukagon
Glukagon adalah suatu polipeptida yang terdiri dari 29 asam amino. Hormon
ini dihasilkan oleh sel alpha pulau langerhans.
Glukagon meningkatkan
glukoneogenesis efek ini mungkin sekali disebabkan oleh menyusutnya simpanan
glikogen dalam hati, karena dengan berkurangnya glikogen dalam hati proses
deaminasi dan transaminasi menjadi lebih aktif. Dengan meningkatnya proses
tersebut maka pembentukan kalori juga semakin besar.
Glukagon terutama
digunakan pada pengobatan hipoglikemia yang ditimbulkan oleh insulin. Hormon
tersebut dapat diberikan secara intravena, intramuscular, atau subkutan. Bila 20
menit setelah pemberian glukagon subkutan penderita koma hipoglikemik tetap
tidak sadar, maka glukosa intravena harus segera diberikan karena mungkin
glikogen dalam hati telah habis atau telah terjadi kerusakan otak yang menetap
(Ganiswarna 1995).
Hati
Anatomi hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh.
Hati memiliki dua lobus
utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior
oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi
menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat
dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding
depan abdomen.
Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali
daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma.
Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong
hati. Dibawah peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yang dinamakan
kapsula Glisson, yang meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus
atau porta hepatis di permukaan inferior melanjutkan diri ke dalam masa hati,
membentuk rangka untuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran
empedu (Wilson dan Lester 1992). Hati bersama dengan jaringan ekstra hepatik
dan beberapa hormon berperan dalam menjaga homeostatik pengaturan kadar
glukosa yang stabil dalam darah (Suharmiati 2003).
11
Gambar 2 Anatomi organ hati
( Halime Kenar 2007 )
Histologi hati
Hati adalah organ terbesar di dalam tubuh (Ressang 1984).
Unit
fungsional dasar hati adalah lobus hati, yang berbentuk silindris. Lobus terdiri
dari sel hati. Masing-masing lempeng hati tebalnya satu sampai dua sel, dan
diantara sel yang berdekatan terdapat kanakuli basilaris kecil yang mengalir ke
ductus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobus hati yang
berdekatan. Di dalam septum juga terdapat vena porta kecil yang menerima darah
terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Dari venula ini darah
mengalir ke sinusoid hati dan bercabang yang terletak diantara lempeng-lempeng
hati dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian sel hati terus-menerus
terpapar oleh darah vena porta, selain vena porta juga terdapat arteriol hati di
dalam septum interlobularis. Sinusoid vena dan sel-sel hati dilapisi oleh dua tipe
sel yaitu sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag jaringan
yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus
hepatikus ( Guyton 1997). Sel Kupffer merupakan makrofag spesifik dalam organ
hati yang berasal dari monosit (Dellman 1989).
Hati merupakan organ yang
terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Hepatosit (sel
parenkim hati) merupakan bagian terbesar dari organ hati. Hepatosit bertanggung
jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara
12
sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel Kupffer malapisi sinusoid hati
dan merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial tubuh.
Gambar 3 Gambaran histologi hati, cv (vena centralis), s (sinosoid)
(Anonim 2007b)
Fungsi hati
Hati adalah suatu organ yang besar, dapat meluas, dan organ venosa yang
mampu bekerja sebagai suatu tempat penampungan darah yang bermakna disaat
volume darah berlebihan dan mampu mensuplai darah ekstra disaat kekurangan
volume darah (Guyton 1997).
Beberapa fungsi hati menurut Ressang (1984) adalah :
- Sekresi empedu
- Metabolisme lemak
- Metabolisme hidrat arang
- Fungsi detoksikasi
- Pembentukan sel darah merah
- Metabolisme dan penyimpanan vitamin
Menurut Ganiswara (1995), hati berperan dalam pengaturan kadar glukosa
dalam darah.
Setelah makanan diabsorbsi di usus, glukosa dialirkan ke hati
melalui vena porta.
Sebagian lagi glukosa disimpan dalam bentuk glikogen.
Setelah absorbsi selesai, glikogen dalam hati dipecah lagi menjadi glukosa.
13
Dalam
keadaan
biasa
persediaan
glikogen
dalam
hati
cukup
untuk
mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa jam namun jika hati
terganggu fungsinya akan mudah terjadi hiperglikemia atau hipoglikemia.
Hati juga berfungsi sebagai organ penawar racun, sehingga hati
merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut
dikarenakan pertama, hati menerima 80% suplai darah dari vena porta yang
mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal. Kedua, hati menghasilkan enzimenzim yang mempunyai kemampuan biotransformasi pada berbagai macam zat
eksogen dan endogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Proses ini juga mengaktifkan
beberapa zat menjadi bersifat lebih toksik dan menyebabkan terjadinya perlukaan
hati (Carlton 1995).
Patologis hati
Hati merupakan organ yang terlibat dalam metabolisme zat makanan serta
sebagian besar obat dan toksikan. Oleh karena itu hati merupakan organ yang
paling sering mengalami kerusakan karena salah satu fungsi hati adalah sebagai
organ penawar racun. Sebagian besar toksik memasuki tubuh melalui sistem
gastrointestinal kemudian diserap dan masuk ke dalam peredaran darah. Aliran
darah yang membawa toksik tersebut melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan
dan menimbulkan kerusakan. Beberapa jenis kerusakan hati yang terjadi yaitu;
•
Degenerasi
Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel
sebelum kematian sel. Dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai
kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif yang tidak ditimbulkan
oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel terkadang merupakan indikasi
gangguan metabolisme yang meluas.
Jenis umum degenerasi sel disebut
perubahan melemak. Disini globuli lemak (terutama trigliserida) dideposisikan
pada sitoplasma dalam jumlah besar.
melitus,
malagizi,
iskhemik
dan
Hal ini terjadi pada kondisi diabetes
anemi
hebat
(Spector
1993).
Degenerasi suram (cloudy swelling), berbutir, albuminoid atau parenkim sering
terlihat pada kejadian keracunan (Ressang 1984).
14
•
Nekrosis
Nekrosis hati adalah kematian sel hati.
dengan pecahnya membran plasma.
Kematian sel terjadi bersama
Tidak ada perubahan ultrastruktural
membran yang dapat dideteksi sebelum pecah, namun ada beberapa perubahan
yang mendahului kematian sel. Perubahan morfologik awal antara lain berupa
edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom.
Terjadi akumulasi trigliserid sebagai butiran lemak dalam sel. Perubahan yang
terjadi merupakan pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan kista,
pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan inti dan pecahnya membran
plasma. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif
(Lu 1995). Nekrosis hati merupakan manifestasi toksik yang berbahaya tetapi
tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang
luar biasa. Pada umumnya nekrosa toksopatik hanya memerlukan waktu singkat
untuk menimbulkan gejala klinis.
•
Steatosis (Perlemakan hati)
Secara patologis hal yang dapat menyebabkan perlemakan adalah
hipoksemi oleh karena hati tidak dapat membakar lemak atau karena adanya
toksin yang menyebabkan penurunan fungsi lipolitik hati. Toksin yang dapat
menyebabkan perlemakan toksik adalah antimon, arsen, alkohol dan racun lain
yang memerlukan banyak oksigen sehingga lemak tidak terbakar.
•
Sirosis hati
Sirosis adalah pengerasan pada hati.
Sirosis hati dicirikan dengan
permukaan nodular, granular dan irregular, konsistensinya keras dan terjadi
fibrosis difus. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal, akan tetapi dapat juga
kausanya tidak diketahui. Pada umumnya bahan-bahan toksik dan parasit dapat
menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984).
Menurut Spector (1993), sirosis
berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme perbaikan.
Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroplastik dan pambentukan
jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hati menjadi salah satu faktor
pendukung.
15
Mata
Anatomi dan fungsi mata
Mata adalah alat indra kompleks yang penting bagi penglihatan. Dalam
bungkus pelindungnya, mata memiliki lapisan reseptor, sistem lensa yang
membiaskan cahaya ke reseptor tersebut, dan sistem saraf yang menghantarkan
impuls dari resptor ke otak (Ganong 2002).
Anatomi organ ma ta dikelompokkan menjadi dua (Anonimous 2006),
yaitu :
A. Adneksa mata merupakan jaringan pendukung mata yang teriri dari : kelopak
mata yang berfungsi melindungi mata, melicinkan dan membasahi mata.
Konjungtiva adalah bagian yang melapisi bola mata bagian luar. Sistem saluran
air mata (lakrimal) menghasilkan cairan air mata. Rongga orbita yang merupakan
rongga tempat bola mata yang dilindungi oleh tulang-tulang yang kokoh dan Otototot bola mata, masing-masing bola mata mempunyai 6 (enam) buah otot yang
berfungsi menggerakan kedua bola mata.
B. Bola mata terdiri dari : kornea disebut juga selaput bening mata, jika selaput ini
mengalami kekeruhan akan mengganggu penglihatan. Sklera merupakan lapisan
berwarna putih di bawah konjungtiva serta merupakan bagian dengan konsistensi
yang relatif lebih keras untuk membentuk bola mata. Bilik mata depan, suatu
rongga berisi cairan yang memudahkan iris untuk bergerak. Uvea terdiri dari 3
bagian yaitu iris, badan silliari, dan koroid, iris adalah lapisan yang dapat bergerak
untuk mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata, badan siliari
berfungsi menghasilkan cairan yang mengisi bilik mata, koroid merupakan lapisan
yang banyak mengandung pembuluh darah untuk memberi nutrisi pada bagianbagian mata.
Pupil merupakan suatu tempat cahaya masuk ke dalam mata,
dimana lebarnya diatur oleh gerakan iris.
Lensa yang berfungsi untuk
memfokuskan cahaya yang masuk agar diperoleh penglihatan yang jelas, jika
lensa mengalami kekeruhan akan menyebabkan kaburnya penglihatan seperti pada
penyakit katarak. Vitreus humor (badan kaca) merupakan bagian terbesar yang
mengisi bola mata, disebut sebagai “badan kaca” karena konsistensinya yang
menyerupai gel dan bening dapat meneruskan cahaya yang masuk ke retina.
16
Menurut Ilyas (2006), retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
saraf yang peka terhadap cahaya (fotoreseptor). Ragsangan cahaya akan diubah
menjadi arus listrik untuk disalurkan melalui saraf optik. Retina tersusun dari sel
kerucut yang bertanggung jawab untuk penglihatan warna dan sel batang yang
bertanggung jawab untuk melihat di tempat gelap. Suplai darah untuk nutrisi
lapisan dalam retina berasal dari arteri sentralis retina yang memasuki bagian
dalam mata kemudian bercabang untuk menyuplai seluruh permukaan retina.
Gambar 4 Anatomi mata
(Anonim 2006)
Histologi Mata
Kornea Mata
Menurut Dellman (1898), kornea bersifat tembus cahaya dan merupakan
lensa konveks konkaf.
Kornea terdiri dari lima lapis; (1) Epitel anterior,
berbentuk pipih banyak lapis tidak berkeratin. Sel-sel epitel berhubungan sangat
erat dan bertaut melalui banyak desmosom. Hubungan kuat antar sel ini untuk
mempertahankan kornea yang tembus cahaya. Lapis sel-sel basal mengandung
banyak glikogen. (2) Membran basal terdiri dari lamina basalis dan lapis serabut
retikular. (3) Substansia propria, terdiri dari serabut kolagen membentuk lamel
yang bervariasi sel-sel yang paling dominan dalam substansia propria adalah
17
fibroblas. (4) Membran limitans posterior. (5) Epitel kornea, fungsi epitel adalah
untuk mempertahankan sifat tembus cahaya kornea dengan demikian kerusakan
pada epitel menyebabkan terjadinya edema serta kekeruhan kornea.
Gambar 5 Gambaran histologi kornea mata
(Anonim 2007c)
Lensa Mata
Lensa berbentuk bikonveks terletak antara iris dan corpus vitreum. Lensa
terdiri dari kapsula lensa, epitel lensa dan serabut lensa. Seluruh lensa dibalut
kapsula lensa yang terdiri dari beberapa lapis fibril kolagen diselingi oleh bahan
lamina basalis. Kapsula ini merupakan membran basal epitel lensa dan tampak
lebih tebal di permukaan anterior daripada posterior. Di bawah kaspula lensa
anterior terdapat epitel lensa, yaitu epitel kubus sebaris. Basisnya menghadap
kapsula lensa dan bagian apeks menghadap serabut lensa.
Sel-selnya saling
menjalin sangat kuat. Serabut lensa berbentuk prisma panjang, heksagonal pada
sayatan melintang. Serabut lensa yang telah berkembang penuh akan kehilangan
intinya (Dellman 1898).
Menurut Ilyas (2006), secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu,
yaitu; kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi
untuk menjadi cembung, jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media
penglihatan dan terletak di tempatnya. Keadaan patologik lensa ini dapat berupa
tidak kenyalnya lensa pada orang dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia,
18
keruh atau apa yang disebut katarak, tidak ada di tempat atau subluksasi atau
dislokasi.
Retina Mata
Retina merupakan bagian sensori (Dellman 1898). Selama perkembangan
embrionik gelembung optik yang berasal dari penjuluran keluar susunan saraf
pusat (diencefalon) melekuk membentuk cawan optik. Lapis luar bagian posterior
cawan optik membentuk epitel berpigmen retina, sedangkan lapis dalam
berdiferensiasi ke dalam lapis tersisa dari retina. Bagian anterior cawan menjadi
epitel badan siliari dan iris. Menurut Ilyas (2006), retina terdiri dari beberapa lapis
yaitu; (1) epitel berpigmen, Epitel berpigmen retina berbentuk pipih selapis.
Fungsi epitel berpigmen cukup kompleks. Mencakup transpor gizi dari darah ke
sel-sel batang dan kerucut, fagositosis dengan degradasi lisosom, dan daur ulang
segmen luar yang lepas dari fotoreseptor dan menyerap cahaya oleh melanin, (2)
lapis sel batang dan kerucut, merupakan lapis fotoreseptor (3) membrana limitans
eksterna, merupakan membrana ilusi, (4) lapis nuklear luar, merupakan susunan
lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis di atas avaskuler dan mendapat
metabolisme dari kapiler koroid, (5) lapis pleksiform luar, merupakan lapis
aselular dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel
horizontal, (6) lapis nuklear dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal
dan sel muller lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral, (7) lapis
pleksiform dalam, merupakan lapis aselullar tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin
dengan sel ganglion, (8) lapis sel ganglion, merupakan lapis badan sel dari neuron
kedua,
(9) lapis serabut nervus optikus, merupakan lapis akson sel ganglion
menuju kearah saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar
pembuluh darah retina, dan (10) membrana limitan interna, merupakan membran
hialin antara retina dan badan kaca. Gambaran histologi retina dapat dilihat pada
Gambar 6.
Menurut Dellman (1898), Pola pemberian darah pada retina bervariasi
antar spesies. Pada pola holangiotik (kucing, anjing, sapi, babi, dan domba)
pembuluh darah terdapat pada permukaan lapis serabut nervus optikus sedangkan
kapiler terdapat pada bagian tepi retina. Pada pola paurangiotik (kuda) pembuluh
19
darah terbatas pada papilari terdekat. Jika dilihat dari pola pemberian darah pada
retina maka pada kondisi diabetes melitus, pola holangiostik lebih rentan
mengalami kerusakan retina dibandingankan pola paurangiostik.
Gambar 6 Gambaran histologi retina mata
(Anonim 2007d)
Pengaruh Diabetes Melitus terhadap mata
Menurut Soedarman (2005), diabetes melitus yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah atau kapiler.
Kerusakan ini
akan mengganggu aliran darah ke jaringan. Bagian tubuh yang tidak mendapat
aliran darah tersebut akan mengalami kematian akibat kekurangan zat asam.
Kerusakan dinding kapiler menyebabkan kebocoran cairan dan darah dari kapiler.
Kebocoran ini menyebabkan pembengkakan jaringan. Jika tidak segera ditangani,
maka diabetes militus dapat menyebabkan komplikasi pada organ tubuh yang lain.
Salah satunya adalah mata.
Bentuknya adalah glaukoma merupakan penyakit
yang merusak syaraf mata atau syaraf optik sebagai akibat adanya tekanan bola
mata atau tekanan intra ocular yang tinggi. Akibatnya, penderita glaukoma akan
mengalami kerusakan pada serabut syaraf mata yang menimbulkan skotoma
(kehilangan lapang pandang). Bila seluruh serabut syaraf rusak, maka akan terjadi
20
kebutaan total. Menurut Misnadiarly (2006), diabetes melitus dapat menyebabkan
lensa mata menjadi keruh (tampak putih) atau disebut dengan katarak diabetes
(Ilyas 2006), katarak diabetes merupakan katarak yang terjadi akibat penyakit
diabetes melitus.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keadaan
hiperglikemia terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa sehingga
penglihatan menjadi kabur dan komplikasi yang paling penting adalah retinopati
diabetik yaitu perubahan pembuluh darah dalam mata atau retina.
Retinopati
merupakan gejala diabetes melitus utama pada mata, dimana pada retina
ditemukan mikroaneurismata, yaitu penonjolan dinding kapiler, dilatasi pembuluh
darah akibat kelainan sirkulasi, neovaskularisasi akibat proliferasi sel endotel
pembuluh darah, edema retina sehingga mengganggu penglihatan (Ilyas 2006).
Di Amerika Serikat terdapat 5000 orang pertahun mengalami kebutaan akibat
retinopati diabetes sedangkan di Inggris retinopati diabetes merupakan penyebab
kebutaan nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan.
Streptrozotosin (STZ)
Streptozotosin
merupakan
senyawa
hasil
sintesis
Streptomycetes
achromogenes dan digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan coba, baik
diabetes melitus tergantung insulin (IDDM) atau tidak tergantung insulin
(NIDDM).
Menurut Gordon
(1991), tikus yang diberi streptozotosin akan
mengalami kerusakan pada sel beta pankreas yang menyebabkan perubahan yang
nyata dalam metabolisme hepatik fase I dan fase II. Menurut Szkudelski (2001),
dosis yang digunakan pada tikus untuk menginduksi IDDM secara intravena
diantara 40-60 mg/kg BB, dapat juga diberikan secara intraperitoneal dengan
dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang efektif jika diberikan dibawah 40
mg/dl. Pemberian STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intraperitoneal pada tikus
dapat meningkatkan kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dl)
setelah 2 minggu. STZ adalah donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan sebagai
penyebab kerusakan sel pankreas, dengan cara meningkatkan aktivitas guanilil
siklase. STZ dapat menghambat siklus Krebs, dan akibatnya konsumsi oksigen
berkurang. Hal ini menyebabkan pembatasan produksi ATP dalam mitikondria
yang menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel β.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari bulan Juli 2006 sampai bulan Februari
2007 di laksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan
Patologi FKH IPB.
Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain larutan Buffer
Neutral Formalin (BNF) 10 %, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90 %, alkohol
95%, alkohol absolut, xilol, parafin, aquades, pewarnaan histologi hematoksilin
eosin, dan streptozotosin (STZ).
Peralatan yang digunakan antara lain spoit,
kandang tikus, skalpel, gunting, pinset, mikrotom, gelas objek, cover glass,
timbangan, digital blood glucose meter dan mikroskop.
Hewan percobaan
Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah 6 ekor tikus
putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sparague-Dawley, umur 2 bulan dengan
berat badan 250 gram.
Metode Penelitian
Pengelompokan Tikus
Tikus diadaptasikan selama 7 hari sebelum di berikan perlakuan. Tikus di
kelompokkan menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas tiga
ekor.
-
Kelompok A adalah kelompok kontrol, yaitu kelompok tikus yang tidak
diinduksi sterptozotosin (STZ).
-
Kelompok B adalah kelompok diabetes, yaitu kelompok tikus yang diinduksi
streptozotosin (STZ).
22
Pemberian Streptozotosin (STZ)
Induksi streptozotosin (STZ) dilakukan pada tikus kelompok B.
STZ
diberikan secara intraperitoneal dengan dosis tunggal 50 mg/kgBB.
Pengukuran kadar glukosa darah
Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada kedua kelompok tikus
pada hari ke-19 pasca induksi streptozotosin dengan menggunakan digital blood
glucose meter.
Pengambilan organ hati dan mata
Pengambilan organ hati dan mata dilakukan pada hari ke-19 setelah
induksi streptozotosin.
Pengambilan organ hati dan mata dilakukan dengan
melaksanakan nekropsi pada kedua kelompok tikus. Selanjutnya organ hati dan
mata diproses untuk pembuatan preparat histopatologi.
Pembuatan preparat Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi pada organ hati dan mata dapat
dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
Fiksasi
Sediaan organ mata dan hati direndam dalam laruran Buffer Neutral
Formalin (BNF) 10 %.
Kemudian dipotong dengan ketebalan ± 3mm dan
potongannya dimasukkan ke dalam kaset jaringan.
Dehidrasi
Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukkan kedalam gelas-gelas
mesin Autotechnician untuk dilakukan dehidrasi. Dehidrasi ini dilakukan bertahap
dengan menggunakan alkohol yang konsentrasinya berbeda, dimulai dari
konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut I, alkohol absolut II Setelah itu
dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan memasukkan sediaan kedalam
xilol 1 dan 2.
23
Perendaman (Embedding) dan pencetakan (block)
Sediaan yang telah didehidrasi ditanam dalam cetakan yang telah berisi
parafin cair setengah dari dinding cetakan kemudian setelah mulai membeku
ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh.
Proses ini sebaiknya
dilakukan di dekat sumber panas agar parafin cair tidak cepat membeku. Sedian
tersebut diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan dalam refrigerator
untuk memudahkan pemotongan.
Pemotongan
Jaringan dipotong 5-6 µm dan hasil potongan diletakkan diatas air hangat
untuk mencegah terjadinya lipatan akibat pemotongan. Sediaan diletakkan diatas
gelas objek, kemudian dikeringkan dalam inkubator.
Pewarnaan Hematoksilin Eosin
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) termasuk dalam jenis pewarnaan
ganda (double staining) karena menggunakan dua jenis zat warna.
Pada
pewarnaan ganda umumnya pewarnan yang digunakan satu bersifat asam dan
yang lain bersifat basa. Paduan sifat tersebut menyebabkan bagian-bagian yang
bersifat asidofilik dan basofilik dapat ditonjolkan. Penggunaan pewarna ganda
bertujuan agar terjadi kekontrasan antara bagian yang bersifat asidofilik dan
basofilik, sehingga pengenalan bagian tertentu dapat lebih cepat dan jelas terlihat .
Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinasi dengan menggunakan
xilol 1 dan 2 masing-masing selama 2-3 menit. Kemudian dilanjutkan dengan
proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol absolut, 95%, dan 70% secara
berurutan masing-masing selama 2-3 menit setelah itu dimasukkan kedalam lugol
selama 3 menit. Kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya dimasukkan
ke dalam 5% sodium thiosulfate 2-3 menit. Sediaan dicuci kembali dalam air
mengalir selama 3-5 menit.
Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin
selama 8 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir, direndam dalam lithium
selama 15-30 detik, kemudian dicuci kembali dalam air mengalir.
Sediaan
diwarnai dengan pewarna eosin selama 2-3 menit, setelah itu sediaan dicuci dalam
air mengalir untuk membersihkkan warna eosin yang berlebihan, selanjutnya
24
sediaan dimasukkan kedalam alkohol 70 %, alkohol 95%, alkohol absolut 1,
alkohol absolut 2 selama 2-3 menit, xilol 1 dan xilol 2 selama 2 menit setelah
semuanya selesai sediaan dikeringkan kemudian ditetesi dengan entellan dan
ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk diperiksa dibawah mikroskop.
Pengamatan Histopatologi
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya pada
pembesaran 400 kali.
Pengamatan dilakukan dalam 10 lapang pandang untuk
dihitung pada setiap lapang pandang jumlah sel Kupffer, jumlah hepatosit yang
mengalami degenerasi hingga nekrosa pada organ hati serta melihat lesio yang
terjadi pada organ mata secara deskriptif.
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisa dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk
mengetahui kenormalan sebaran data kemudian dilanjutkan dengan uji-T untuk
mengetahui keragaman antara kelompok kontrol dan kelompok diabetes.
diolah dengan menggunakan menggunakan software SPSS 12.
Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian pada Gambar 7 terlihat kadar glukosa kelompok
diabetes (B) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (A).
Rataan kadar glukosa darah kelompok B pada Tabel 1 yaitu 202 mg/dl, nilai
tersebut menunjukkan keadaan hiperglikemia. Kadar glukosa darah normal pada
tikus berkisar antara 50-135 mg/dl (Malole dan Utami 1989).
Tabel 1 Rataan kadar glukosa darah kedua kelompok tikus
Kelompok
Jumlah
Kadar glukosa darah (mg/dl)
Tikus
(n)
A (kontrol)
3
84,3
B (diabetes)
3
202,0
Kondisi hiperglikemia disebabkan oleh pemberian STZ yang dapat
merusak sel beta pankreas (Gordon 1991), sehingga menghambat sekresi insulin
dalam plasma darah (Cooperstein 1981). Menurut Szkuldeski (2001), pemberian
STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intra peritoneal pada tikus dapat
meningkatkan kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dl) setelah 2
minggu.
Perbandingan kadar glukosa darah
250
200
kadar
glukosa 150
darah 100
(mg/dl)
50
Kontrol
Diabetes
0
1
kelompok
Gambar 7 Perbandingan kadar glukosa darah kedua kelompok tikus
26
Gejala klinis yang nampak pada kelompok B diantaranya adanya polidipsi,
poliuria yang ditandai dengan basahnya rambut tikus pada semua bagian badan
terutama daerah abdomen, tikus terlihat kusam, rambutnya berdiri, dan tubuhya
tremor. Menurut Misnadiarly (2006), gejala klinis yang muncul pada penderita
diabetes melitus adalah polifagia, polidipsi, dan poliuria. Kondisi klinis ini terjadi
karena glukosa merupakan zat yang bersifat hidrofilik sehingga peningkatan
glukosa darah akan meningkatkan osmotik diuresis dari sel di sekitarnya, akhirnya
terjadi dehidrasi intraselluler diikuti poliuria dan polidipsi.
Menurut Linder
(1992) apabila kadar glukosa darah telah melebihi ambang batas ginjal (180
ml/dl), maka glukosa tidak dapat diserap lagi oleh ginjal dan akan keluar bersama
urin (glukosuria).
Karena glukosa hilang bersama urin maka tikus akan
kehilangan kalori sehingga tikus tampak bergemetar (tremor). Pada kasus DM,
glukosa dalam darah tidak dapat digunakan sebagai sumber energi. Untuk dapat
mengubah glukosa menjadi energi, glukosa harus di transfer terlebih dahulu ke
dalam sel dan melalui proses oksidasi dalam sel.
Peranan insulin adalah
membantu mengubah glukosa menjadi energi bagi sel dengan cara mentransfer
glukosa ke
dalam sel-sel yang membutuhkan dan mengubah glukosa menjadi
energi cadangan (glikogen dan lemak) jika produksi insulin terhambat atau tidak
ada sama sekali maka glukosa akan tetap bertahan dalam darah (hiperglikemia).
Gambar 8 Transpor glukosa
(Anonim 2007e)
27
Glukosa yang tidak dapat masuk ke dalam sel mengakibatkan penggunaan
glukosa sebagai energi terhambat dan sel akan kekurangan energi sehingga pada
akhirnya tubuh akan mencari energi dari sumber lain yaitu dengan memecah
glikogen (glikogenolisis) dan pembentukan glukosa dari bahan-bahan selain
karbohidrat (glukoneogenesis) di dalam hati, oksidasi lemak dalam sel lemak, dan
katabolisme protein sehingga semakin mempertinggi kadar glukosa di dalam
darah.
Oksidasi lemak menghasilkan energi disertai badan keton (asetoasetat,
hidroksibutirat dan aseton).
Secara klinis peningkatan badan keton di dalam
tubuh dapat mengakibatkan adanya ketosis, ketonemia. Badan-badan keton yang
terbentuk akan mengikat ion natrium sehingga kadar ion hidrogen meningkat dan
terjadi gangguan keseimbangan elektrolit, asidosis dan diikuti koma serta
kematian.
Histopatologis organ hati
Hati merupakan organ yang berperan dalam menjaga keseimbangan kadar
glukosa di dalam tubuh. Dari hasil pengamatan secara histopatologis kelompok
tikus diabetes ditemukan adanya lesio pada organ hati berupa degenerasi hingga
nekrosa hepatosit. Berdasarkan hasil analisis didapatkan rataan jumlah hepatosit
pada kedua kelompok tikus dalam Tabel 2 sebagai berikut;
Tabel 2 Rataan jumlah hepatosit pada kedua kelompok tikus
Kelompok tikus
Jumlah hepatosit degenerasi-nekrosa
A (kontrol)
18.267 ± 4.719a
B (diabetes)
51.200 ± 7.512b
Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata dengan (P < 0.05).
Pada kelompok diabetes, jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi
hingga nekrosa memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol.
Perbandingan rataan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa
kedua kelompok tikus dapat dilihat pada Gambar 9. Hal ini disebabkan tikus
penderita diabetes tidak mampu memobilisasi glukosa di dalam darah dan
28
mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme sel. Glukosa dalam darah tidak
dapat digunakan sebagai sumber energi. Untuk dapat mengubah glukosa menjadi
energi, glukosa harus ditransfer terlebih dahulu ke dalam sel dan melalui proses
oksidasi dalam sel. Peranan insulin adalah membantu mengubah glukosa menjadi
energi bagi sel dengan cara mentransfer glukosa ke
dalam sel-sel yang
membutuhkan dan mengubah glukosa menjadi energi cadangan (glikogen dan
lemak). Pada tikus penderita diabetes, produksi insulin terhambat sehingga
glukosa akan tetap bertahan dalam darah. Glukosa yang tidak dapat masuk ke
dalam sel mengakibatkan penggunaan glukosa sebagai energi terhambat dan sel
akan kekurangan energi. Akibat abnormalitas proses metabolisme ini, sel akan
kehilangan struktur dan fungsi normalnya (degenerasi) kemudian diikuti oleh
nekrosa, yaitu kematian sel (Spector 1993).
Rataan jumlah hepatosit
degenerasi-nekrosa
Diabetes
60
50
40
Jumlah 30
Kontrol
Kontrol
Diabetes
20
10
0
1
Kelompok
Grafik 9 Perbandingan rataan jumlah hepatosit degenerasi hingga nekrosa
Untuk memenuhi kebutuhan energinya, sel akan memperoleh energi dari
sumber lain yaitu dengan memecah glikogen (glikogenolisis) dan pembentukan
glukosa dari bahan-bahan selain karbohidrat (glukoneogenesis) di dalam hati,
oksidasi lemak dalam sel lemak, dan katabolisme protein.
Dari hasil
glikogenolisis dan glukoneogenesis akan dihasilkan badan-badan keton sebagai
produk samping.
Badan-badan keton merupakan salah satu radikal bebas.
Radikal bebas yang jumlahnya berlebihan akan berikatan makromolekul dan dapat
29
menyebabkan kerusakan dan kematian sel (Wresdiati 2005).
Radikal bebas
merupakan molekul atau atom yang mengandung satu elektron (bebas).
Perusakan oleh radikal bebas didahului oleh kerusakan membran sel akibat
adanya ikatan kovalen antara radikal bebas dengan komponen-komponen
membran, oksidasi pada komponen membran sel, proses peroksidasi lipid. Hasil
peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas berefek langsung terhadap
kerusakan membran sel (Wresdiati 2005) sehingga degenerasi hingga nekrosa
yang terjadi pada hepatosit tikus penderita diabetes selain akibat kekurangan
nutrisi juga akibat dari pengaruh radikal bebas.
Pembatas antara degenerasi sel dan kamatian sel sulit didefinisikan.
Degenerasi sel merupakan kerusakan sel yang bersifat reversibel atau dapat pulih
kembali, namun apabila kerusakan ini terus berlanjut maka akan berakhir pada
kematian sel yang bersifat irreversibel atau tidak dapat pulih kembali. Kematian
sel eksperimental menunjukkan bahwa tidak adanya oksigen dan substrat enzim
menjurus kepada hilangnya secara cepat fosporilasi oksidatif, ketidakmampuan
mengoksidasi zat antara siklus Krebs (trikarboksilat) dan hilangnya kofaktor
enzim. Hilangnya produksi energi yang bergantung kepada oksigen menyebabkan
perubahan secara besar-besaran mekanisme transpor ion dengan kehilangan
potensial membran dan gradien ion normal.
Secara mikroskopik perubahan yang terjadi pada hepatosit diantaranya
piknosis (inti sel menjadi padat dan mengecil akibat degenerasi), karioreksis
(pecahnya inti sel yang disertai dengan hancurnya kromatin), kariolisis
(nekrobiosis yang tampak sebagai pembengkakan inti sel disusul dengan
hilangnya kromatin) (Ressang 1984).
Nekrosa jaringan hati atau kematian sel
merupakan proses lanjutan dari degenerasi. Menurut Lu (1995), ada beberapa
perubahan yang mendahului nekrosa.
Perubahan itu antara lain adalah edema
sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma, penghancuran inti dan organel sel serta
pecahnya membran plasma. Degenerasi dan nekrosa yang terjadi pada kelompok
kontrol bukan merupakan suatu perubahan patologis. Kematian sel dapat terjadi
pada jaringan dewasa normal. Hilangnya beberapa sel dalam jaringan yang terjadi
secara teratur dan terkontrol disebut apoptosis (Spector 1993).
30
Secara mikroskopis juga ditemukan adanya peningkatan jumlah sel
Kupffer pada tikus kelompok diabetes.
Berdasarkan analisis diperoleh rataan
jumlah sel Kupffer pada Tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3 Rataan jumlah sel Kupffer
Kelompok tikus
Jumlah sel Kupffer
A (kontrol)
6.367 ± 1.991a
B (diabetes)
15.467 ± 3.256b
Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata dengan (P < 0.05).
Pada Gambar 10, rataan jumlah sel Kupffer pada kelompok diabetes
menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
Keadaan
ini terjadi karena adanya respon pertahanan non spesifik di dalam tubuh akibat
terjadinya peradangan yang ditandai oleh adanya degenerasi hingga nekrosa pada
hepatosit.
Sel Kupffer merupakan makrofag dalam hati yang berperan dalam
sistem pertahanan nonspesifik. Kerusakan sel yang terjadi menyebabkan
diapedesis sehingga sel-sel radang akan keluar dari pembuluh darah dan akan
menginfiltrasi jaringan untuk melakukan opsonisasi atau membersihkan sel-sel
yang rusak (Tizard 1988). Meningkatnya jumlah hepatosit yang mengalami
degenerasi hingga nekrosa pada tikus penderita diabetes juga menyebabkan
peningkatan jumlah sel Kupffer
Rataan jumlah sel Kupffer
Diabetes
16
14
12
10
Jumlah 8
6
4
2
0
Kontrol
Kontrol
Diabetes
1
Kelompok
Grafik 10 Perbandingan rataan junlah sel Kupffer
31
a
b
Gambar 11 Gambaran histopatologi hati kelompok kontrol. (a) hepatosit, (b) sel
Kupffer. Pewarnaan HE, bar 40µm
f
b
e
d
a
c
Gambar 12 Gambaran histopatologi hati kelompok diabetes. (a) degenerasi lemak
pada hepatosit, (b) sel Kupffer, (c) pembengkakan inti hepatosit, (d)
karioreksis, (e) piknosis, (f) kariolisis. Pewarnaan HE, bar 40µm
32
Histopatologis organ mata
Mata merupakan organ kompleks yang berperan dalam penglihatan. Dari
hasil pengamatan histopatologis secara deskriptif pada organ mata, terlihat adanya
lesio pada retina kelompok tikus diabetes. Retina merupakan bagian dari organ
mata, yang berperan sebagai reseptor rangsang cahaya. Gambaran normal retina
pada tikus dapat dilihat pada Gambar 13, retina terdiri dari beberapa lapis yaitu;
(1) epitel berpigmen, (2) lapis sel batang dan kerucut, (3) lapis nuklear luar, (4)
lapis pleksiform luar, (5) lapis nuklear dalam, (6) lapis pleksiform dalam, (7) lapis
sel ganglion, (8) lapis serabut nervus optikus.
Pembuluh darah dalam retina
merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retinal sentral masuk retina melalui
papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar
retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid.
1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 13 Gambaran normal retina tikus
(Anonim 2007f)
Degenerasi yang terjadi pada retina akibat kondisi diabetes melitus disebut
dengan retinopati diabetes. Secara mikroskopis struktur sel penyusun retina pada
kelompok diabetes terlihat tidak teratur. Dalam gambar 15a ditemukan adanya
degenerasi pada lapisan sel nuklear luar yang mana lapisan sel ini terdiri dari
nukleus sel batang dan nukleus sel kerucut selain itu juga terlihat adanya
degenerasi pada sel ganglion. Pada gambar 15b ditemukan adanya lesio berupa
33
degenerasi pada lapis sel batang, sel kerucut dan lapis sel ganglion. Lesio yang
terjadi pada retina berkaitan dengan kondisi hiperglikemia yang terjadi pada tikus
kelompok diabetes melitus eksperimental.
Tingginya kadar glukosa di dalam
pembuluh darah akan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah akibat
peningkatan glikoprotein.
Penebalan dinding pembuluh darah ini akan
menyebabkan aliran darah menuju retina menjadi terhambat sehingga retina
kekurangan suplai nutrisi dan apabila aliran darah menuju retina terhambat maka
akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada nukleus di retina. Retina luar (sel
batang, sel kerucut, lapis nuklear luar) memperoleh aliran darah dari koroid dan
retina bagian dalam (lapis pleksiform luar, lapis nuklear dalam, lapis pleksiform
dalam, dan lapis sel ganglion) memperoleh aliran darah dari arteriola retina
sehingga dengan terhambatnya aliran darah dari koroid menuju retina bagian luar
menyebabkan degenerasi pada sel batang, sel kerucut dan lapis nukleus luar
begitu pula dengan terhambatnya arteriola retina yang mensuplai darah menuju
retina bagian dalam menyebabkan terjadinya degenerasi pada sel ganglion
sedangkan retina pada kelompok kontrol terlihat teratur, dan tidak ditemukan
adanya lesio patologis (Gambar 14).
1
2
3
4
5
6
Gambar 14 Gambaran histopatologi retina kelompok kontrol. (1) lapis sel batang
dan kerucut, (2) lapis nuklear luar, (3) lapis pleksiform luar, (4) lapis
nuklear dalam, (5) lapis pleksiform dalam, (6) lapis sel ganglion.
Pewarnaan HE, bar 40 µm
34
1
1
2
Gambar 15a Gambaran histopatologi retina kelompok diabetes. (1) degenerasi
nuklei sel batang dan sel kerucut pada lapis nuklear luar retina, (2)
degenerasi sel ganglion. Pewarnaan HE, bar 40 µm
1
1
2
Gambar 15b Gambaran histopatologi retina kelompok diabetes. (1) degenerasi sel
batang dan sel kerucut, (2) degenerasi sel ganglion. Pewarnaan HE,
bar 40 µm
35
Menurut
Wijayakusuma
(2006),
tingginya
kadar
glukosa
dapat
menimbulkan lesio patologis pada saraf, pembuluh darah dan merusak sejumlah
jaringan tubuh yang berdampak pada komplikasi. Retina merupakan bagian dari
mata yang tersusun dari banyak syaraf sehingga peningkatan kadar glukosa darah
pada kelompok diabetes merupakan salah satu penyebab kerusakan yang terjadi
pada retina. Glukosa merupakan satu-satunya zat gizi yang dapat digunakan oleh
otak, retina, sel germinativum untuk mensuplai energi (Guyton 1990). Tingginya
kadar glukosa dalam darah akan menyebabkan terjadinya penebalan pada arteriola
retina akibat peningkatan glikoprotein, selain itu senyawa kimia pada membran
dasar tersusun dari glukosa (Schteingart 1995) sehingga kondisi hiperglikemia
dapat meningkatkan pertumbuhan sel-sel pada membran dasar, akibatnya
menyebabkan terjadinya penyempitan pada arteri. Menurut Schteingart (1995),
ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan kejadian retinopati. Manifestasi
dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sekular yang kecil) dari arteriola
retina, akibatnya terjadi perdarahan, neovaskularisasi dan terbentuk jaringan parut
retina yang dapat mengakibatkan kebutaan.
Menurut Mistra (2004), diabetes
melitus dapat menimbulkan kompliksi pada berbagai organ tubuh salah satunya
yaitu pada organ mata, bentuknya yaitu glaukoma (peningkatan tekanan bola
mata), katarak (kekeruhan pada lensa mata), dan komplikasi yang paling penting
adalah retinopati diabetik yaitu perubahan pembuluh darah dalam mata atau
retina.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pada kondisi hiperglikemia, hari ke-19 pasca induksi
STZ secara histopatologis ditemukan:
1. Lesio pada organ hati berupa degenerasi hingga nekrosa hepatosit, rataan
jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hingga nekrosa kelompok
diabetes memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol begitu
pula dengan rataan jumlah jumlah sel Kupffer
2. Secara deskriptif terlihat adanya lesio pada retina kelompok diabetes. Lesio
yang terjadi berupa degenerasi pada retina yaitu retinopati, secara mikroskopis
struktur sel penyusun retina terlihat tidak teratur.
Dalam retina ditemukan
degenerasi pada sel batang, sel kerucut, lapisan nukleus luar (nukleus sel
batang dan sel kerucut) dan lapis sel ganglion.
42
Uji Kenormalan (Hepatosit_Kontrol)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
Normal Parameters a,b
Most Extreme
Differences
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Kontrol
30
18,2667
4,71924
,128
,105
-,128
,698
,714
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Uji kenormalan denga Uji Kolmogorov-Smirnov pada data kontrol menunjukkan
nilai asymp sig(2-tailed)=0,714 pada taraf 5%, ini menunjukkan data menyebar
normal. Asumsi kenormalan untuk uji-t terpenuhi
========================================================
Uji Kenormalan (Hepatosit_Diabetes)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
Normal Parameters
a,b
Most Extreme
Differences
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Diabetes
30
51,2000
7,51275
,111
,111
-,084
,606
,856
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Uji kenormalan denga Uji Kolmogorov-Smirnov pada data diabetes menunjukkan
nilai asymp sig(2-tailed)=0,856 pada taraf 5%, ini menunjukkan data menyebar
normal. Asumsi kenormalan untuk uji-t terpenuhi
43
Uji T Hepatosit
Group Statistics
Respon_Hepatosit
Grup
1,00
2,00
N
Mean
18,2667
51,2000
30
30
Std. Deviation
4,71924
7,51275
Std. Error
Mean
,86161
1,37163
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances
F
Respon_HepatositEqual variances
assumed
Equal variances
not assumed
7,298
Sig.
,009
t-test for Equality of Means
t
Mean
Std. Error
Sig. (2-tailed) Difference Difference
df
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
-20,332
58
,000 -32,93333
1,61980 -36,17572 -29,69095
-20,332
48,803
,000 -32,93333
1,61980 -36,18878 -29,67789
Keterangan:
Grup 1 : Kontrol
Group 2 : Diabetes
Dari levene’s test for equality f variances :
Baris pertama(Uji kehomogenan ragam kontrol&diabetes) dengan nilai sig=0,009
(<5%) menunjukkan kelompok yaitu kontrol & diabetes memiliki ragam yang
berbeda.
Hipotesis
H1
µ1?µ 2
:
(nilai t=-20,332 dan df=48,803) terlihat nilai sig (2-tailed)=0,00 menunjukkan
kedua kelompok heapatosit (kontrol dan diabetes) memiliki rataan yang berbeda
44
Uji Kenormalan (SelKupffer_Kontrol)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
Normal Parametersa,b
Most Extreme
Differences
Kontrol
30
6,3667
1,99107
,209
,209
-,117
1,142
,147
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Uji kenormalan denga Uji Kolmogorov-Smirnov pada data kontrol menunjukkan
nilai asymp sig(2-tailed)=0,147 pada taraf 5%, ini menunjukkan data menyebar
normal. Asumsi kenormalan untuk uji-t terpenuhi
Uji Kenormalan (SelKupffer _Diabetes)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
Normal Parametersa,b
Most Extreme
Differences
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Diabetes
30
15,4667
3,25612
,124
,124
-,115
,677
,749
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Uji kenormalan denga Uji Kolmogorov-Smirnov pada data diabetes menunjukkan
nilai asymp sig(2-tailed)=0,749 pada taraf 5%, ini menunjukkan data menyebar
normal. Asumsi kenormalan untuk uji-t terpenuhi
45
Uji T SelKupffer
Group Statistics
Respon_Sel_kupffer
Grup
1,00
2,00
N
30
30
Mean
6,3667
15,4667
Std. Deviation
1,99107
3,25612
Std. Error
Mean
,36352
,59448
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances
F
Respon_Sel_kupffer
Equal variances
11,223
assumed
Equal variances
not assumed
Sig.
,001
t-test for Equality of Means
t
95% Confidence
Interval of the
Difference
Mean
Std. Error
Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower
Upper
df
-13,059
58
,000
-9,10000
,69682-10,49483 -7,70517
-13,059
48,027
,000
-9,10000
,69682-10,50103 -7,69897
Keterangan:
Grup 1 : Kontrol
Group 2 : Diabetes
Dari levene’s test for equality f variances :
Baris pertama(Uji kehomogenan ragam kontrol&diabetes) dengan nilai sig=0,001
(<5%) menunjukkan kelompok yaitu kontrol & diabetes memiliki ragam yang
berbeda.
Hipotesis
H1
µ1?µ 2
:
(nilai t=-13,059 dan df=48, 027) terlihat nilai sig (2-tailed)=0,00 menunjukkan
kedua kelompok sel kupffer (kontrol dan diabetes) memiliki rataan yang berbeda
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2006. Anatomi Mata. http://www.indo.net.id/perdami/anatomi.html.
[7 Juli 2006].
[Anonim]. 2007a. Sistem Endokrin. http://www. fortune star indonesia/health/
info penyakit/diabetes melitus.htm [5 Agustus 2007].
[Anonim].
2007b.
Histologi
Hati.
http://www.cancerci.com/content/5/1/16/figure/F2?highres=y [5 Agustus
2007].
[Anonim]. 2007c. Kornea Mata. http://www.images.google.co.id [5 Agustus
2007].
[Anonim].
2007d.
Retina.
http://www.anatomy.unimelb.edu.au/researchlabs/rees/images/retina.jpg&i
mgrefurl. [5 Agustus 2007]
[Anonim]. 2007e.
2007]
Transpor Glukosa.
http://www. google.co.id. [5 Agustus
[Anonim].
2007f.
Normal
Rat
Retina.
http://www.ihcworld.com/imagegallery/albums/userpics/10003/normal_ratretina-he-m1.jpg. [5 Agustus 2007].
Carlton WW and Gavin. 1995. Special Veteinary Pathology. 2nd Edition. St.
Louis, Missouri : Mosby-Year Book, Inc.
Cooperstein SJ and watkins. 1981. The Islents of Langerhans. New York :
Academic Press. Inc. hlm : 411-418.
Dalimunthe D. 2004. Diabetes Mellitus: Peranan Insulin, Reseptor Insulin dan
Penanganannya. Medan : Universitas Sumatera Utara. hlm: 2-11.
Dellman HD and Brown. 1989. Buku Teks Histologi Vetriner. Ed ke-3. Jakarta :
UI Press. hlm: 393-410 & 650-675
Damjanov I. 1998. Buku Teks dan Atlas Histopatologi. Diterjemahkan oleh
Brahm U. Pendit. Jakarta : Widya Medika. hlm: 245-246.
Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Diterjemahkan oleh
Rianto Setiabudy, dkk. Jakarta : FKUI. hlm: 480-481.
Ganong WF; alih bahasa, Brahm U.pendit, et al. 2002. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Diterjemahkan oleh Djauhari Widjajakusumah. Jakarta :
EGC. hlm: 340-341.
38
Gordon GG. dan Skett. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Diterjemahkan
oleh Iis Aisyah B. Jakarta : UI-Press. hlm: 144-146.
Guyton AC. 1997. Bukua Ajar Fisiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh
Irawati setiawan. Jakarta : EGC. hlm: 1103-1105,1234-1237.
Guyton AC. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit . Edisi ke-3.
Diterjemahkan oleh Pertus Andrianto. Terjemahan dari Human Physiology
and Mechanisms of Disease. Jakarta : EGC. hlm: 1103-1105,1234-1237.
Halim
Kenar.
2007.
Liver
Anatomy.
http://www.atlas.or.kr/donation/donation_files/Dscn0907.jpg. [5 Agustus
2007].
Ilyas S. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Ed ke-3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Diterjemahkan oleh
Aminuddin Parakkasi. Terjemahan dari Nutritional Biochemistry and
Metabolism. Jakarta : UI-Press. hlm: 27-56
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Ed ke-2. Jakarta : UI Press. hlm: 208-220 &
253-262
Malole MBM dan Pranomo. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Ganggren, Ulcer, Infeksi, Mengenal
Gejala, Menaggulangi dan Mencegah Komplikasi. Jakarta : Pustaka
Populer Obor.
Mistra. 2004. 3 Jurus Melawan Diabetes Mellitus. Jakarta : Puspa Swara. hlm : 56.
Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Edisi ke-5. Diterjemahkan oleh Mathilda
B. Widianto & Anna Setiadi ranti. Bandung : ITB. hlm: 343-345.
Notkins 1985 dalam Soehadi, Koentjoro. 1989. Pengaruh Regulasi Diabetes
Mellitus Terhadap Profil Spermiogram, Hormon Reproduksi dan Potensi
Seks Pria. Disertasi. Universitas Airlangga.
PERKENI. 2002. Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2.
39
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Denpasar : Bali
Cattle Desease Investigation Unit. hlm: 45-50 & 86-87
Schteingart DE. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Buku 2. Ed ke-4. Diedit oleh Sylvia AP & Lorraine MW. Diterjemahkan
oleh Peter A. Terjema han dari Pathophysiologi Clinical Concepts of
Disease Processes. Jakarta : EGC. hlm: 1109-1119
Soedarman.
2005.
Pengaruh Diabetes Mellitus Terhadap Penglihatan.
http://www. republika.co.id. [7 juli 2006].
Soehadi K. 1989. Pengaruh Regulasi Diabetes Mellitus Terhadap Profil
Spermiogram, Hormon Reproduksi dan Potensi Seks Pria.
Disertasi.
Universitas Airlangga. Hlm: 14-16.
Spector WG. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Diterjemahkan oleh
Soecipto, harsoyo, Amelia hana, Pudji astuti. Yogyakarta : Gadjah mada
university press. hlm: 198-206
Suharmiati. 2003. Pengujian Bioaktivitas Anti Diabetes Mellitus Tumbuhan Obat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan Departemen Kesehatan
RI, Surabaya. Cermin Dunia Kedokteran No. 140.
Szkudelski T. 2001. The Mecanism of Alloxan and Streptozotocin Action in
Beta Cell of The Rat Pancreas. Physiol . hlm : 50: 536-546
Tizard. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press. hlm
: 18-36
Wijayakusuma H. 2006. Bebas Diabetes mellitus ala Hembing. Jakarta : Puspa
Swara.
WHO 1985 dalam Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Ganggren, Ulcer,
Infeksi, Mengenal Gejala, Menaggulangi dan Mencegah Komplikasi. Jakarta
: Pustaka Populer Obor.
Wresdiati T dan Astawan. 2005. Deteksi Secara Imunohistokimia antioksidan
dan Super Oksida Dismutase (SOD) Pada Jaringan Tikus Hiperkolesteromia
yang Diberi Pakan Rumput Laut. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran
Hewan: Institut Pertanian Bogor.
Wilson dan Lester. 1992. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Buku 1. Ed ke-4. Diedit oleh Sylvia AP & Lorraine MW. Diterjemahkan
40
oleh Peter A. Terjemahan dari Pathophysiologi Clinical Concepts of
Disease Processes. Jakarta : EGC. hlm: 426-457.
Yusnita.
Mata
dan
Penglihatan.
republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp. [7 Juli 2006].
http://www.
Download