BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Kabupaten Aceh Singkil Wilayah Kabupaten Aceh Singkil terletak di sebelah selatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu pada posisi antara 2o02’- 2o27’30” LU dan 97o04’ - 97o45’00” BT. Luas wilayah Kabupaten Aceh Singkil adalah 2.187 Km2 (BPS Aceh Singkil, 2010). Bagian utara Kabupaten Aceh Singkil merupakan daerah dengan fisiografi wilayah perbukitan yang didominasi oleh sistem perbukitan berupa bukit lipatan. Diantara bukit-bukit terdapat sungai dan anak-anak sungai yang bermuara ke Samudera Hindia. Pada bagian selatan, fisiografi terdiri atas dataran aluvial sungai dan endapan pasir laut yang sebagian besar merupakan ekosistem rawa yang unik. Disamping itu, terdapat juga bahan induk tanah berupa bahan organik yang sebagiannya telah terdekomposisi membentuk gambut. Pada bagian selatan juga terdapat daerah kepulauan yang umumnya didominasi oleh bahan induk bukit kapur dan endapan pasir (BPS dan Bappeda Aceh Singkil, 2005). Kawasan rawa gambut dalam yang terdapat di bagian barat Kabupaten Aceh Singkil berfungsi sebagai daerah transisi antara daratan dan lautan sehingga berpotensi untuk mencegah rembesan air laut ke darat dan sekaligus sebagai sumber cadangan air tanah. Di samping itu, sebagian besar daerah rawa-rawa Universitas Sumatera Utara gambut tersebut adalah bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai Kawasan Suaka Alam (KSA) atau Kawasan Pelestarian Alam (KPA) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Iklim di wilayah Kabupaten Aceh Singkil termasuk dalam tipe iklim tropis. Keadaan iklim sangat dipengaruhi oleh angin musim yang bertiup dari arah Barat Laut dan Barat Daya, dan biasanya berlangsung dari bulan Nopember sampai bulan Mei setiap tahunnya. Ciri umum iklim tropis adalah keadaan suhu yang relatif tinggi, kelembaban udara tinggi dan intensitas hujan yang tinggi juga. Suhu udara bulanan berkisar antara 29,6 – 33,2 oC; Kelembaban udara relatif bulanan berkisar antara 97 – 100% dengan kelembaban maksimum terjadi pada bulan Juli – September dan Nopember – Desember; Curah hujan rerata tahunan agak bervariasi antara wilayah selatan dengan intensitas lebih dari 34,8 mm/hr/thn, wilayah Timur dengan intensitas 20,7 – 27,7 mm/hr/thn, dan wilayah Tengah dan Utara dengan intensitas 27 – 34,8 mm/hr/thn (BPS dan Bappeda Aceh Singkil, 2005 ). Berdasarkan peta topografi, sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Singkil adalah dataran. Bentuk wilayah yang datar ini umumnya terletak di bagian selatan. Sedangkan daerah berbukit berada di bagian utara. Bentuk muka bumi yang relatif datar di wilayah Kabupaten Aceh Singkil memberikan implikasi ketersediaan lahan untuk pengembangan secara ekstensif berbagai kegiatan ekonomi produktif, khususnya pertanian lahan basah. Disamping itu, sebagian Universitas Sumatera Utara wilayah yang berada di pesisir pantai serta daerah kepulauan memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata alam dan perikanan laut. Daerah-daerah yang berpotensi untuk pengembangan wisata alam dan perikanan laut meliputi kecamatan: Singkil; Singkil Utara; Kuala Baru; dan Kepulauan Banyak. Secara hidrologis, Kabupaten Aceh Singkil memiliki potensi sumberdaya air yang sangat besar bersumber dari air sungai, danau, rawa-rawa dan mata air. Potensi sumberdaya air terbesar bersumber dari air sungai. Sungai Krueng Singkil (Lae Singkil) adalah sungai utama yang bermuara ke Samudera Hindia dan merupakan pertemuan dari dua sungai, yaitu: Lae Cinendang dan Lae Soraya. Lae Cinendang memiliki hulu di Pakpak Bharat Sumatera Utara, sedangkan Lae Soraya berhulu di Lawe Alas Aceh Tenggara. Di samping itu terdapat beberapa sungai lainnya yang relatif lebih kecil, diantaranya: Lae Siragian dan Lae Silabuhan (BPS dan Bappeda Aceh Singkil, 2005). 2.2. Ekosistem Sungai Defenisi sungai menurut Asdak (2004), adalah suatu aliran air yang melintasi permukaan bumi dan membentuk alur aliran atau morfologi aliran air. Morfologi sungai menggambarkan keterpaduan antara karakteristik abiotik (fisik, hidrologi, sedimen) dan karakteristik biotik (biologi atau ekologi flora dan fauna) daerah yang dilaluinya. Faktor yang berpengaruh pada morfologi sungai tidak hanya faktor biotik dan abiotik saja, namun juga campur tangan manusia dalam Universitas Sumatera Utara kehidupannya. Pengaruh campur tangan manusia ini dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai yang lebih cepat dari sebelumnya. Sungai merupakan tempat berkumpulnya air dari lingkungan sekitarnya yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Daerah sekitar sungai yang mensuplai air ke sungai dikenal dengan daerah tangkapan air atau daerah penyangga. Kondisi suplai air dari daerah penyangga dipengaruhi aktifitas dan perilaku penghuninya. Pada umumnya daerah hulu mempunyai kualitas air yang lebih baik dari pada daerah hilir. Dari sudut pemanfaatan lahan, daerah hulu relatif sederhana dan bersifat alami seperti hutan dan perkampungan kecil. Semakin kearah hilir keragaman pemanfaatan lahan meningkat. Pada akhirnya daerah hilir merupakan tempat akumulasi dari proses pembuangan limbah cair yang dimulai dari hulu (Wiwoho, 2005). Hendrawan (2005) menyatakan bahwa pencemaran sungai dan situ dapat berasal dari (1) tingginya kandungan sedimen yang berasal dari erosi, kegiatan pertanian, penambangan, konstruksi, pembukaan lahan dan aktivitas lainnya; (2) limbah organik dari manusia, hewan dan tanaman (3) kecepatan pertambahan senyawa kimia yang berasal dari aktivitas industri yang membuang limbahnya ke perairan. Ketiga hal tersebut merupakan dampak dari meningkatnya populasi manusia, kemiskinan dan industrialisasi. Penurunan kualitas air akan menurunkan dayaguna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumberdaya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumberdaya Universitas Sumatera Utara alam. Untuk menjaga kualitas air agar tetap pada kondisi alamiahnya, perlu dilakukan pengelolaan dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana. 2.3. Ekologi Makrozoobentos Benthos adalah organisme air yang hidup dan tinggal diendapan dasar perairan, baik yang ada didasar maupun yang berada di bawah permukaan sedimen. Selain itu benthos juga merupakan organisme dasar perairan yang mempunyai habitat relatif tetap sehingga perubahan-perubahan yang terjadi atas lingkungannya sangat mempengaruhi kehidupannya (odum, 1993). Menurut Barus (2004), umumnya benthos yang sering dijumpai di suatu perairan adalah dari taksa Crustacea, molllusca, Insekta dan sebagainya. Benthos tidak saja berperan sebagai penyusun komunitas perairan, tetapi juga dapat digunakan dalam studi kuantitatif untuk mengetahui kualitas suatu perairan. Menurut Hutabarat dan Evans (1984), dilihat secara ekologis hewan benthos di dalam suatu perairan dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: a. Menurut habitatnya : • Epifauna, hewan benthos yang sedang atau dalam berasosiasi dengan permukaan dasar perairan baik yang merayap, melekat ataupun merangkak • Infauna, hewan benthos yang hidup di substrat lunak dengan membenamkan diri atau membuat lubang pada dasar perairan. Universitas Sumatera Utara b. Menurut ukurannya : • Mikrobenthos, yang memiliki ukuran < 0.1 mm • Meiobenthos, yang memiliki ukuran 0.1 – 1 mm • Makrobenthos, yang memiliki ukuran > 1 mm Selanjutnya menurut Barnes (1978) pembagiannya berdasarkan pola-pola makannya benthos dibedakan menjadi tiga macam. Pertama sebagai suspension feeder yang memperoleh makanannya dengan menyaring partikel-partikel melayang di perairan. Kedua sebagai deposit feeder yang mencari makanan pada sedimen dan mengasimilasikan material organik yang dapat dicerna dari sedimen. Material organik dalam sedimen biasanya disebut detritus. Ketiga sebagai detritus feeder tersebut khusus hanya makan detritus saja. Daya toleransi bentos terhadap pencemaran bahan organik dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Intoleran, Toleran dan Fakultatif (Lee et al, 1978). Menurut Fachrul (2007) secara umum berdasarkan derajat toleransinya terhadap pencemaran, bentos dikelompokkan menjadi tiga, yaitu seperti terlihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. No. Kelompok benthos berdasarkan derajat toleransinya terhadap pencemaran Kelompok Contoh Organisme 1. Jenis yang tahan terhadap pencemar Cacing-cacing Tubificid, larva nyamuk, terutama Masculium sp., dan Psidium sp. 2. Jenis yang lebih jernih (bersih) Siput-siput yang senang arus, Bryozoa, serangga air dan crustacea siput, Universitas Sumatera Utara 3. 2.4. Jenis yang hanya senang bersih Siput dari suku iVivinatidae dan Amnicolidae, serangga (larva/nimfa) dari bangsa Ephemeridae, Odonata, Hemiptera, dan Coleoptera Ekologi Plankton Menurut Muhammadsuin (2002) plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif. Berdasarkan ukurannya plankton dibagi atas : 1) ultra nanoplankton yang ukurannya < 2 μm; 2) nano plankton yang ukurannya berkisar antara 2-20 μm; 3) mikroplankton berukuran 20-200 μm; 4) mesoplankton berukuran 200-2000 μm dan 5) mega plankton yang ukurannya di atas 2000 μm. Plankton di muara sangat sedikit dalam jumlah jenis dan pada umumnya didominasi oleh jenis Diatom. Genera Diatom yang mendominiasi adalah Skeletonema sp., Asterionella sp., Chaetoceros sp., Nitzchia sp. Zooplankton di muara merupakan gambaran fitoplankton dalam keterbatasan dengan komposisi spesies. Komposisi spesies juga bervariasi, baik secara musiman mengikuti gradien salinitas ke arah hulu. Zooplankton laut yang khas yang terbawa ke luar dan masuk bersama pasang surut meliputi spesies dari genera Copepoda Eurytemora sp., Acartia sp., Pseudodioptomus sp., dan Centropeges sp. sementara dari Amfipoda, yaitu Gammarus sp. (Nybakken, 1988). Menurut Barus (2004), kualitas suatu perairan terutama perairan menggenang dapat ditentukan berdasarkan fluktuasi populasi plankton yang akan Universitas Sumatera Utara mempengaruhi tingkatan trofik perairan tersebut. Fluktuasi dari populasi plankton sendiri dipengaruhi terutama oleh perubahan berbagai faktor lingkungan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi populasi plankton adalah ketersediaan nutrisi di suatu perairan. Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor yang terakumulasi dalam suatu perairan akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi fitoplankton dan proses ini akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi yang dapat menurunkan kualitas perairan. Penggunaan plankton sebagai indikator kualitas lingkungan perairan dapat dipakai dengan mengetahui keseragaman jenisnya yang disebut juga keheterogenan jenis. Komunitas dikatakan mempunyai keseragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi, Sebaliknya, keanekaragaman jenis rendah jika hanya terdapat beberapa jenis yang melimpah (Fachrul, 2007). 2.5. Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman, Keseragaman Dan Dominansi Komponen lingkungan, baik yang hidup (biotik) maupun yang mati (abiotik) akan mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman biota air yang ada pada suatu perairan, sehingga tingginya kelimpahan individu tiap jenis yang dipakai untuk menilai kualitas suatu perairan. Perairan yang berkualitas baik biasanya memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan sebaliknya pada perairan buruk atau tercemar (Fachrul, 2007). Beberapa kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener (Barus, 2004) dapat dilihat pada Tabel 2.2. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2. Kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) Indeks Keanekaragaman Kualitas >2,0 1,6 – 2,0 1,0 – 1,5 < 1,0 Tidak tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat Brower et.al, (1990) menyatakan bahwa keseragaman adalah komposisi jumlah individu dalam setiap genus atau species yang terdapat dalam komunitas. Nilai keseragaman suatu populasi akan berkisar antara 0–1 dengan kreteria : 0,4≤ E ≤0,6 dengan keseragaman populasi kecil; Keseragaman populasi sedang; sampai dengan keseragaman tinggi. Zahidin (2008), menambahkan bahwa Indeks keseragaman adalah perbandingan keanekaragaman maksimal dalam suatu komunitas. Nilai indeks keseragaman antara 0 – 1, makin besar nilainya berarti penyebaran individu tiap jenis atau genera semakin merata dan tidak ada spesies yang mendominasi, begitu pula sebaliknya. 2.6. INDEKS BIOTIK Pada dasarnya indeks biotik merupakan nilai dalam bentuk scoring (1-10) yang dibuat atas dasar tingkat toleransi organisme atau kelompok organisme terhadap cemaran. Indeks tersebut juga memperhitungkan keragaman organisme dengan mempertimbangkan kelompok-kelompok tertentu dalam kaitannya dengan tingkat pencemaran (Trihadiningrum & Tjondonegoro, 1998). Nilai indeks biotik Universitas Sumatera Utara dari suatu lokasi dapat diketahui dengan menghitung nilai skoring dari semua kelompok biota yang ada dalam unit sampling. Indeks biotik telah dikembangkan didaerah-daerah maju terutama dieropa. Salah satu metoda adalah Biological Monitoring Working Party-Average Score Per Taxon (BMWP-ASPT) yang dikembangkan di Inggris. Sistem tersebut mengelompokkan atau membagi biota bentik menjadi 10 tingkatan berdasarkan kemampuannya dalam merespon cemaran di habitatnya (Wardhana, 2006). Tabel 2.3. Nilai skoring indeks biotik dengan metode BMSP-ASPT Kelompok Biota Aquatik Skor Crustaceae (udang galah), Ephemeroptera (larva lalat sehari penggali), Plecoptera (larva lalat batu) 10 Gastropoda (limpet air tawar), Odonata (kini-kini) 8 Tricoptera (larva pita-pita berumah) 7 Bivalvia (Kijing), Crustacea (udang air tawar), Ephemeroptera (larva lalat sehari perenang), Odonata (larva sibar-sibar) 6 Diptera (larva lalat hitam), Coleoptera (Kalajengking air, kumbang air), Trichoptera (larva pita-pita tak berumah), Hemiptera (kepik perenang punggung, ulir-ulir) 5 Platyhelminthes (cacing pipih), Arachnida (tugau air) 4 Hirudinea (lintah), Gastropoda (siput), Bivalvia (Kerang), Gamaridae (kutu babi air), Shyirpidae (belatung ekor tikus) 3 Chironomidae (larva nyamuk) 2 Oligochaeta (cacing) 1 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan tabel di atas, nilai indeks biotik dapat diperoleh dengan cara merata-ratakan seluruh jumlah nilai skoring dari masing-masing kelompok biota yang diperoleh. Nilai indeks akan berkisar antara 0 – 10 dan sangat bervariasi bergantung pada musim. Semakin tinggi nilai yang diperoleh akan semakin rendah tingkat cemaran yang ada. Range indeks Biotik Perairan Bersih > 10 Perairan tercemar sedang : 3 – 9 Perairan tercemar berat : 0 - 2 Kualitas air sungai juga dapat dinilai berdasarkan tabel 2.4 dengan ketentuan sebagai berikut (Trihadiningrum & Tjondronegoro, 1998): 1. Air sungai akan tergolong tidak tercemar, jika dan hanya jika terdapat Tricoptera (Sericosmatidae, Lepidosmatidae, Glossosomatidae) dan planaria, tanpa kehadiran jenis indikator yang terdapat pada kelas 2-6. 2. Air sungai tergolong agak tercemar, tercemar ringan, tercemar, tercemar agak berat dan sangat tercemar, bila terdapat salah satu atau campuran jenis makroinvertebrata indikator yang terdapat dalam kelas masing-masing. 3. Apabila makroinvertebrata terdiri atas campuran antara indikator dari kelaskelas yang berlainan, maka berlaku ketentuan berikut: Universitas Sumatera Utara a. Air sungai dikategorikan sebagai agak tercemar apabila terdapat campuran organisme indikator dari kelas 1 & 2 atau dari kelas 1, 2 & 3. b. Air sungai dikategorikan tercemar ringan apabila terdapat campuran organisme indikator dari kelas 2 & 3, atau kelas 2, 3 & 4 c. Air sungai dikategorikan tercemar apabila terdapat campuran organisme indikator dari kelas 3 & 4, atau kelas 3, 4 & 5. Tabel 2.4. Makroinvertebrata indikator untuk menilai kualitas air Tingkat Cemaran Makrozoobentos Indikator 1. Tidak Tercemar Tricoptera (sericosmatidae, Glossosomatidae); Planaria 2. Tercemar ringan Plecoptera (perlidae, Peleodidae); 3. Tercemar sedang Molusca (Pulmonata, Bivalvia); Crustacea (Gammaridae); Odonanta (Libellilidae, Cordulidae) 4. Tercemar Hirudinea (Glossiphonidae, Hirudidae); Hemiptera 5. Tercemar agak berat Oligochaeta (Ubificidiae); Diptera (Chironomus thumni-plumossus); Shyrpidae 6. Sangat tercemar Tidak terdapat Makrozoobentos. Besar kemungkinan dijumpai lapisan bakteri yang sangat toleran terhadap limbah organik (Sphaerotilus) di permukaan 2.7. lepidosmatidae, Faktor Fisika-Kimia 2.7.1. Faktor fisika air Universitas Sumatera Utara Menurut Muhammadsuin (2002), faktor fisika air yang sering merupakan faktor pembatas bagi organisme air adalah suhu, cahaya, dan kecepatan arus, sehingga faktor fisika tersebut selalu diukur dalam studi ekologi perairan. 2.7.1.1. Suhu air Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme aquatik terhadap suhu juga relatif sempit dibandingkan dengan organisme daratan. Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas aquatik. Naiknya suhu perairan dari kisaran biasa, karena pencemaran perairan dapat menyebabkan organisme aquatik terganggu, sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitas berubah. 2.7.1.2. Kecerahan Pengukuran kecerahan air bisa dilakukan dengan keping secchi (secchi disk). Prinsip penentuan kecerahan air dengan keping secchi adalah berdasarkan batas pandangan kedalam air untuk melihat warna putih yang berada didalam air. Semakin keruh suatu badan air akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya kalau air jernih akan jauh batas pandangan tersebut. Pengukuran kecerahan air dengan keping secchi dilakukan sebagai berikut, keping dimasukkan kedalam air secara perlahan-lahan sambil diperhatikan sampai warna putih dari piringan itu tidak terlihat lagi, dan dicatat berapa kedalamnnya. Seterusnya piringan itu diturunkan lagi kedalam air beberapa meter dan berangsur-angsur ditarik keatas Universitas Sumatera Utara sampai warna putih terlihat kembali, dan dicatat kedalamnnya. Dari kedua kedalaman itu dihitung rata-ratanya, dan angka itulah merupakan tingkat kecerahan badan air yang diukur itu yang dinyatakan sebagai kecerahan keping secchi. 2.7.1.3. Arus air Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup dibadan air tersebut. Penyebaran Plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton, paling ditentukan oleh aliran air. Selain itu, aliran air juga ikut berpengaruh terhadap kelarutan udara dan garam-garam dalam air, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air. 2.7.2. Faktor Kimia Air 2.7.2.1. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen. Kondisi tersebut akan menunjukkan suasana air itu bereaksi asam atau basa. Nilai pH berkisar mulai dari angka 0 hingga 14, nilai 7 menunjukkan kondisi bersifat netral. Nilai pH di bawah 7 menunjukkan kondisi bersifat asam dan nilai di atas 7 bersifat basa (Boyd, 1991). Universitas Sumatera Utara Menurut Effendi (2003) sebagian besar organisme air peka terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7 – 7,5. Apabila nilai pH 6,0 – 6,5 akan menyebabkan keanekaragaman plankton dan hewan makrobenthos akan menurun. 2.7.2.2. Salinitas Salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme baik secara horisontal maupun secara vertikal (Odum, 1971). Salinitas juga akan mempengaruhi penyebaran plankton, makrozoobentos dan organisme perairan lainnya. Penurunan salinitas dapat menentukan distribusi dari invertebrata perairan, khususnya kelas Polychaeta di muara sungai. Menurut Gross (1972) menyatakan bahwa hewan benthos umumnya dapat mentoleransi salinitas berkisar antara 25 – 40 ‰. Menurut Budiman dan Dwiono (1986) bahwa gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama. Selain itu reproduksi dari jenis-jenis gastropoda seperti Littorina scabra sangat dipengaruhi oleh salinitas. Muara sungai merupakan ekosistem yang mempunyai fluktuasi salinitas yang tinggi dan gradien salinitas akan tampak pada saat tertentu. Salinitas di muara sungai berkisar antara 5‰ – 30‰. Pola gradien salinitas bervariasi bergantung pada musim, topografi muara, pasang surut dan jumlah dan air tawar. Distribusi Polychaeta dapat dipengaruhi oleh perubahan salinitas terutama di Universitas Sumatera Utara daerah muara sungai. Perubahan salinitas yang sangat besar akan mengakibatkan jumlah makrobenthos sedikit (Nybakken, 1988). 2.7.2.3. Oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan biota air sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota. Daya larut oksigen dapat berkurang disebabkan naiknya suhu air dan meningkatnya salinitas. Konsentrasi oksigen terlarut dipengaruhi oleh proses respirasi biota air dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Pengaruh ekologi lain yang menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut menurun adalah penambahan zat organik (buangan organik) (Connel dan Miller, 1995). Berkurangnya oksigen terlarut mengakibatkan masalah yang cukup serius pada kehidupan hewan makrobenthos. Demikian pula berkurangnya oksigen terlarut biasanya dikaitkan dengan tingginya bahan organik yang masuk ke dalam perairan. Besarnya kandungan oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh laju fotosintesis, respirasi, temperatur, salinitas, dan dekomposisi (Odum, 1971). 2.7.2.4. Kebutuhan Oksigen Biologis (Biological Oxygen Demand /BOD) Menurut Wardhana (2004) bahwa Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan kebutuhan oksigen biologis untuk memecah bahan buangan di dalam air oleh mikroorganisme yang ada dalam perairan tersebut. BOD dapat pula Universitas Sumatera Utara digambarkan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air oleh mikroba aerob. Menurut Effendi (2003) BOD dapat menggambarkan jumlah bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologi dan bahan organik tersebut berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau merupakan hasil buangan limbah domestik dan industri. 2.7.2.5. Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid /TSS) Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel anorganik (Tarigan dan Edward, 2003). TSS merupakan material yang halus di dalam air yang mengandung lanau, bahan organik, mikroorganisme, limbah industri dan limbah rumah tangga yang dapat diketahui beratnya setelah disaring dengan kertas filter ukuran 0.042 mm. Nilai konsentrasi TSS yang tinggi dapat menurunkan aktivitas fotosintesa dan penambahan panas di permukaan air sehingga oksigen yang dilepaskan tumbuhan air menjadi berkurang dan mengakibatkan ikan-ikan menjadi mati (Murphy, 2007 dalam Herfinalis, 2008). Selanjutnya Wirasatriya (2011) menambahkan bahwa kandungan TSS juga sangat menentukan kondisi kesuburan suatu perairan. Universitas Sumatera Utara