Upaya Peserta KTT Keamanan Nuklir Dalam Mengantisipasi

advertisement
Upaya Peserta KTT Keamanan Nuklir Dalam Mengantisipasi Ancaman
Terorisme Nuklir
Anindya Novitasari
20110510325
Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Abstract
End of the Cold War marked by the demolition of the Berlin Wall located between West
Germany and East Germany. Although the end of the Cold War, international issues
emerging changes, where international issues concerning security shift leads to the issue of
the threat of terrorism.There is an indication that the threat of nuclear terrorism emerged after
the Cold War ended. During the cold war lasted, the stronghold of the West and East camps
mutually reinforce their weapons one to develop nuclear weapons. After the end of the Cold
War marked by the collapse of the Berlin Wall would lead to new threats, namely terrorism.
This research will review about international community's efforts to prevent terrorist groups
that may be made to access nuclear weapons. The international community has made some
efforts to prevent nuclear terrorism by cooperating in maintaining international security by
holding the Nuclear Security Summit.
Keywords: Nuclear
International Community
Weapons
International Organization
Summit
Terrorism
1
I.
PENDAHULUAN
Pada tahun 1990, Perang Dingin berakhir yang ditandai dengan adanya
peruntuhan tembok Berlin yang berada di antara Jerman Barat dan Jerman Timur.
Walaupun Perang Dingin berakhir, isu internasional yang sedang berkembang pun
berubah, dimana isu internasional mengenai keamanan bergeser mengarah ke isu
ancaman terorisme.
Menurut kaum realis, dominasi actor negara pada awal perkembangan HI tidak
hanya didominasi oleh Negara saja tetapi juga dilakukan oleh MNC, individu, NGO,
serta kelompok teroris. Sementara pendekatan strukturalisme lebih memandang
interaksi hubungan internasional sebagai ketergantungan Negara kecil terhadap Negara
besar dan didominasi oleh Negara kuat terhadap Negara lemah. (Wiraatmaja, 1996)
Terorisme merupakan salah satu realitas sosial politik yang telah berlangsung
sejak lama. Terorisme bisa didefinisikan sebagai kegiatan negara atau non-negara yang
mempergunakan teknik kekerasan dalam usahanya menggapai tujuan politik. (Olton,
1999) Terorisme dilakukan dengan aksi kekerasan yang secara psikologis dapat
menimbulkan rasa takut pada pihak lain dengan motif politik atau tujuan tertentu.
Terorisme dapat dipahami sebagai ancaman atau penggunaan kekerasan untuk
mencapai tujuan-tujuan politik, agama, atau lainnya dengan cara intimidasi,
menimbulkan ketakutan dan sebagainya yang diarahkan terhadap target mereka.
(Noam, 1991)
Sejak tahun 1988 kelompok terorisme mulai meluncurkan serangan. Serangan
terorisme pertama terjadi di kota Pan Am 103, dalam tragedy tersebut 270 jiwa tewas.
Semenjak itu kelompok teroris berkembang. Berikut data serangan terorisme dunia
mulaidari 1988 hingga 2013.
Tahun
Tempat
Korban
1988
Pan Am 103
270 Jiwa meninggal
1992
Bom mobil di Buenos Aires
242 jiwa meninggal
1993
Bom truk di World Trade Center
6 meninggal dan 1.042 terluka
1995
Bom truk di kota Oklahoma
168 meninggal dan 500 terluka
1996
Bom truk di Sri Lanka
90 meninggal dan 1.400 terluka
1996
Bom truk di Saudi Arabia
19 meninggal dan 515 terluka
2
1998
Bom truk di Kedutaan Besar AS di Negaranegara Kenya
212 meninggal dan 4.022 terluka
1999
Bom di Moskow
200 meninggal
2001
WTC, Pentagon dan Pennysylvania
3.062 meninggal
2002
Bali, Indonesia
190 meninggal dan 300 terluka
2004
Madrid
191 meninggal dan 1.800 terluka
2005
London, Inggris
korban 56 jiwa
2005
Jimbaran, Kuta, Bali, Indonesia
29 tewas dan 129 terluka
2008
Mumbai, India
188 tewas dan 370 terluka
2009
Jakarta, Indonesia
9 tewas dan 41 terluka
2013
Boston, AS
3 tewas dan 176 terluka
2013
Volgograd, Rusia
10 tewas dan 19 terluka
*Dirangkum dari berbagai sumber
Jika dilihat dari data tersebut terlihat bahwa puncak dari serangan terorisme yang
terbesar ialah pada tahun 2001 di WTC, Pentagon dan Pennsylvania yang telah
menewaskan 3.062 jiwa. Peristiwa tersebut menyerang beberapa fasilitas penting yang
dianggap sebagai lambang superioritas Amerika Serikat sebagai negara superpower
dengan segala kehebatannya di bidang ekonomi, intelijen, pertahanan dan kekuatan
militer. (Potter, 2004)
Pada saat abad ke dua puluh hingga memasuki abad ke dua puluh satu, tindakan
organisasi terorisme meningkat dan berkembang dengan mengadopsi kemajuan
teknologi komunikasi, elektronik, transportasi, perkembangan ilmu pengetahuan di
bidang kimiawi dan juga persenjataan. Dengan adanya perkembangan organisasi teroris
dalam hal persenjataan menjadikan para teroris tertarik menggunakan senjata nuklir
yang sangat berbahaya. Selama beberapa tahun terakhir, prospek kelompok terorisme
yang bersenjata nuklir menjadi ancaman yang nyata dan utama bagi keamanan
internasional. (Montgomery, 2009)
Pada awalnya, terdapat lima negara yang memiliki senjata nuklir (Nuclear
Weapon States/NWS). Kelima negara tersebut ialah China, Perancis, Rusia, Inggris dan
Amerika Serikat. Kelima negara tersebut telah menandatangani NPT. Namun sejak
tahun 1998, muncul India dan Pakistan yang mengklaim memiliki senjata nuklir.
Setelah itu, mulai banyak negara yang mencoba mengembangkan teknologi nuklir baik
3
untuk tujuan damai maupun mengarah pada perkembangan dan pembuatan senjata
nuklir. Kelima negara yang telah menandatangani perjanjian NPT ditetapkan sebagai
negara yang diperbolehkan untuk memiliki senjata nuklir. Namun pada kenyataannya,
Israel, India, Pakistan dan Korea Utara telah memiliki senjata nuklir secara terbuka,
serta Iran yang diduga memiliki senjata nuklir. Permasalahan mulai berkembang
dimana adanya kekhawatiran aktor non-state, yang merujuk pada kelompok teroris
yang akan mendapatkan material nuklir yang nantinya akan membahayakan keamanan
Internasional. Selain itu adanya indikasi bahwa ancaman terorisme nuklir muncul
setelah perang dingin berakhir. Setelah perang dingin berakhir yang ditandai dengan
runtuhnya tembok Berlin justru menimbulkan ancaman baru yaitu terorisme. Masih
banyak bekas tempat penyimpanan senjata maupun bahan nuklir dan sumber radioaktif
yang dulunya digunakan selama perang dingin berlangsung. Tempat-tempat tersebut
masih menyimpan bahan nuklir dan sumber radioaktif namun sistem keamanannya
sangat rendah. Bahan maupun senjata nuklir tersebut masih berada di negara bekas Uni
Soviet seperti Ukraina, Belarus dan Kazakhstan. Dengan adanya bahan nuklir maupun
persenjataan nuklir yang masih tersebar di tempat bekas penyimpanan senjata di masa
perang Dingin, membuat para terorisme menarik perhatian ke tempat-tempat tersebut di
tambah sistem keamanannya terbilang masih rendah sehingga memberikan kemudahan
bagi para terorisme untuk mendapatkan senjata maupun bahan nuklir.
Dengan adanya prospek terorisme nuklir yang meningkat, membuat negaranegara di dunia mulai mencari strategi pencegahan terorisme nuklir. Terorisme nuklir
dapat diartikan sebagai sebuah ancaman ataupun tindakan yang memiliki unsur
kekerasan dan bertujuan untuk menyebarkan terror sehingga menyebabkan ketakutan di
tengah masyarakat dengan menggunakan senjata nuklir, dimana senjata nuklir tersebut
merupakan alat peledak yang mendapatkan hasil reaksi nuklir, baik fisi atau kombinasi
dari fisi dan fusi. Keduanya melepaskan sejumlah besar energi dari sejumlah kecil
massa, bahkan kecil alat peledak nuklir untuk menghancurkan sebuah kota dengan
sebuah ledakan, kebakaran dan radiasi. ( Sejarah Perkembangan Nuklir di Dunia, 2004)
Maka dari itu, diperlukan kesadaran dan kerjasama dari semua negara untuk
bekerjasama dalam mencapai tujuan dimana bahan-bahan nuklir dan senjata nuklir
tidak jatuh ke tangan terorisme. Diawali dengan pidato Presiden Amerika Serikat
Obama, pada tahun 2009 menyampaikan pidato di Praha di mana ia menyebut bahwa
terorisme nuklir salah satu ancaman terbesar bagi keamanan internasional. Dengan
4
adanya ancaman yang berasal dari terorisme nuklir tersebut, membuat kekhawatiran di
seluruh negara yang ada di dunia. Dengan adanya kekahawatiran tersebut, maka pada
tahun 2010, Amerika Serikat memulai dengan mengadakan sebuah Konferensi Tingkat
Tinggi Keamanan Nuklir. Tujuan utama dari konferensi tersebut untuk meningkatkan
kerjasama internasional dalam mengamankan senjata nuklir dari pihak yang tidak
bertanggung jawab. (NSS, 2014)
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dianalisis mengenai upaya para peserta
KTT Keamanan Nuklir dalam mengantisipasi ancaman terorisme nuklir.
II.
Kerjasama
Internasional
dan
Rejim
Internasional
Sebagai
Dasar
dari
Pembentukan KTT Keamanan Nuklir
Semua negara di dunia ini tidak dapat berdiri sendiri. Perlu adanya kerjasama
dengan negara lain karena adanya saling ketergantungan sesuai dengan kebutuhan
negara masing-masing. Kerjasama di bidang ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan
juga keamanan dapat dijalin oleh suatu negara dengan satu atau lebih negara lainnya.
Kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan kerjasama secara bersama-sama.
Hubungan kerjasama antar negara dapat mempercepat dalam mencapai tujuan maupun
kepentingannya. Menurut K.J Holsti, proses kerjasama dapat terbentuk dari perpaduan
keanekaragaman masalah nasional, regional maupun global yang muncul dan
memerlukan perhatian dari lebih satu negara. Masing-masing pemerintah saling
melakukan pendekatan yang membawa usul penanggulangan masalah, mengumpulkan
bukti-bukti tertulis untuk membenarkan suatu usul atau lainnya dan mengakhiri
perundingan dengan suatu perjanjian atau pengertian yang memuaskan semua pihak.
(Holsti, 1988) Pada dasarnya tujuan dari adanya kerjasama antar negara yang dilakukan
oleh dua negara atau lebih ialah memenuhi kebutuhan masing-masing dan mencapai
kepentingan mereka yang terlibat. Sehingga, dengan adanya kerjasama internasional
berbagai Negara yang ada di dunia ini membentuk suatu KTT internasional yang
menangani permasalahan keamanan nuklir demi mencapai kepentingan bersama.
Rezim internasional didefinisikan sebagai seperangkat prinsip, norma, aturan dan
tata cara pengambilan keputusan yang digunakan oleh negara-negara dalam menyikapi
berbagai macam fenomena dalam hubungan internasional. Rezim merupakan salah satu
alat yang dianggap cukup efektif dalam menangani fenomena-fenomena tertentu yang
5
terjadi dalam hubungan internasional. Keohane mendefinisikan rezim sebagai sebuah
institusi dengan aturan-aturan yang sifatnya eksplisit dan memuat sebuah persoalan
spesifik terkait hubungan internasional. Aturan-aturan yang ada pada rezim terkait juga
merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota,
sehingga sesungguhnya aturan-aturan tersebut tidak bisa dikatakan sifatnya memaksa
karena aturan-aturan tersebut merupakan aturan yang telah disepakati bersama.
Rezim internasional seringkali disamakan dengan institusi internasional, yang
mana sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara rezim internasional dan institusi
internasional. Pembeda paling mendasar yang membedakan antara rezim dan institusi
ialah bahwa rezim tidak lebih dari seperangkat prinsip, norma, aturan dan prosedur
pengambilan keputusan, sementara institusi internasional mengatur hingga kepada
kapasitas dan perilaku anggota-anggotanya. (Andreas Hasenclever, 1996) Dengan
diselenggarakannya KTT Keamanan Nuklir tersebut menghasilkan suatu rejim nuklir
internasional dalam mencegah ancaman terorisme nuklir.
III. Munculnya Ancaman Terorisme Nuklir
Definisi terorisme menurut Webster’s New School and Office Dictionary,
“terrorism is the use of violence, intimidation, to gain to end, especially a system of
government ruling by terror”, sedangkan pelakunya disebut sebagai terrorist.
Selanjutnya “terrorize is to fill with dread or terror, terrify; to intimidate or coerce by
terror or by threats of terror.” (Wilder, 1962) Sedangkan menurut Enssiklopedia
Indonesia, pengertian terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang
diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptakan suasana ketakutan dan bahaya
dengan tujuan menarik perhatian nasional maupun internasional terhadap suatu aksi
atau tuntutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian teror ialah rasa takut
yang ditimbulkan oleh orang atau sekelompok orang. Terorisme berarti suatu kegiatan
yang menimbulkan tekanan dan ketakutan. (Indonesia, 1991)
Tujuan-tujuan teroris secara umum diantaranya memublikasikan suatu alasan
lewat aksi kekejaman, karena dengan demikian publikasi mereka akan dapat
terpublikasikan dengan cepat dan masif, katalisator bagi aksi militerisme atau
mobilisasi massa, menebar kebencian dan konflik intern komunal, mengumumkan
musuh atau kambing hitam, menciptakan iklim panik massa, menghancurkan
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sebagainya.
6
Paradigma terorisme saat ini telah mengalami transformasi dari pengertian
awalnya seperti yang diutarakan oleh Professor linguistik Noam Chomsky dari
Massachussetts Institute of Technology (MIT) dalam bukunya “International Terorism
in Real World”. Dia mengatakan bahwa konsep terorisme telah berkembang menjadi
“pembalasan” oleh individu dan kelompok-kelompok terhadap pemegang kekuasaan
(negara), dari yang awalnya merupakan konsep kekerasan yang dilakukan oleh
pemerintah negara pada akhir abad ke 18 untuk menjamin ketaatan rakyat. (Chomsky,
2006)
Terorisme nuklir dapat diartikan sebagai sebuah ancaman ataupun tindakan yang
memiliki unsur kekerasan dan bertujuan untuk menyebarkan terror sehingga
menyebabkan ketakutan di tengah masyarakat dengan menggunakan senjata nuklir,
dimana senjata nuklir tersebut merupakan alat peledak yang mendapatkan hasil reaksi
nuklir, baik fisi atau kombinasi dari fisi dan fusi. (Potter, The Four Faces of Nuclear
Terrorism, 2004) Dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi, elektronik,
transportasi, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kimiawi dan juga persenjataan,
membuat organisasi terorisme berkembang dengan cepat. Hal ini membuat terorisme
tertarik menggunakan senjata nuklir yang sangat berbahaya bahkan mengancam
keselamatan dunia. Organisasi teroris internasional berusaha untuk melakukan
Weapons of Mass Destruction (WMD) sebagai sarana untuk mempengaruhi kebijakan
nasional di seluruh dunia. Juru bicara Al Qaida Suleiman Abu Gheith menyatakan
bahwa untuk menyeimbangkan ketidakadilan yang telah dijatuhkan pada populasi
Muslim di seluruh dunia, tujuan baru al-Qaida adalah "membunuh 4 juta orang
Amerika termasuk 2 juta anak-anak." Dan menurut Graham Alison hal tersebut dapat
dilakukan dengan 1.334 serangan sama besarnya dengan peristiwa 9/11, atau sama
dengan satu bom nuklir. (Michael Levi and Graham Allison, 2008)
Adanya kemungkinan senjata nuklir dapat jatuh ke tangan terorisme. Terdapat
beberapa negara yang rawan akan perampasan senjata nuklir oleh para terorisme.
Negara-negara tersebut merupakan negara yang kondisi dan situasi yang tidak stabil
namun negara tersebut memiliki program persenjataan nuklir, sehingga terdapat
kemungkinan adanya perampasan senjata nuklir oleh para actor yang tidak bertanggung
jawab seperti terorisme. (Emily Diez, Terrance Clark, and Caroline Zaw-Mon, 2010)
Menurut senator Ricard Lugar seorang ketua dari komite hubungan luar negeri
Amerika Serikat mengatakan bahwa negara Rusia (bekas Uni Soviet) memiliki
persenjataan nuklir terbesar namun system keamanannya paling rendah, sehingga ini
7
dapat memudahkan teroris untuk mendapatkan senjata pemusnah masal tersebut. Pada
akhir perang dingin, 80% senjata yang dimiliki Rusia adalah senjata nuklir, senjatasenjata tersebut berada di Ukraina, Belarus, dan Kazakhstan. Rusia memiliki cadangan
terbesar di dunia bahan fisil senjata dapat digunakan, termasuk setidaknya 950 metrik
ton highly enriched uranium (HEU) dan sekitar 145 ton persenjataan kelas plutonium
(plus or minus 30 percent). Sehingga dari jumlah tersebut, Rusia memiliki 350 ton HEU
dan 55 ton dimuat di hulu ledak nuklir. (Emily Diez, Terrance Clark, and Caroline
Zaw-Mon, 2010)
Pakistan adalah negara kedua yang memiliki resiko yang sangat tinggi dalam
proliferasi nuklirnya. Negara ini sedang dilanda ketidakstabilan dalam hal politik
maupun ekonomi menjadikan negara ini rawan akan lahirnya terorisme nuklir. Di tahun
2004 telah terungkap seorang ilmuwan nuklir asal Pakistan Dr Abdul Qadeer Khan
melakukan perdagangan bahan nuklir secara illegal dengan kelompok teroris Al-Qaeda.
(Potter, The Four Faces of Nuclear Terrorism, 2004) Menurut data dari ISIS, Pakistan
memiliki 55-90 senjata nuklir dan meningkatkan stok HEU dan plutonium. (Security,
2009)
Korea Utara tetap menjadi negara yang menjadi perhatian bagi masyarakat
internasional. Dengan keberhasilannya mengembangkan senjata nuklir yang ditentang
oleh beberapa negara namun tidak menyurutkan negara tersebut dalam perkembangan
teknologi persenjataan nuklirnya. Para pakar persenjataan nuklir beranggapan bahwa
Korea Utara telah mengembangkan satu atau dua senjata nuklir dan memiliki
kemampuan untuk menghasilkan 6-8 lainnya untuk pemrosesan kembali pada stok
bahan bakar yang sudah bekas. Korea Utara sudah menjadi negara eksportir utama
rudal balistik sejak tahun 1980-an. Belum ada kepastian mengenai data jumlah bahan
maupun senjata nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara, namun adanya ketidakstabilan
negara tersebut dalam hal ekonomi yang membuat negara tersebut kemungkinan akan
terus mengembangkan dan memproduksi rudal balistik dengan jangkauan yang unggul
dan kecanggihan untuk menjaga perdagangan dan meningkatkan stabilitas ekonomi.
Adanya kekhawatiran dimana Korea Utara melakukan perdagangan persenjataan nuklir
dengan kelompok terorisme secara illegal, meskipun sampai saat ini, tidak ada bukti
bahwa Korea Utara telah dijual atau mengalihkan bahan plutonium ke negara-negara
lain maupun pihak lain, tapi kemungkinan masih menjadi perhatian. (Emily Diez,
Terrance Clark, and Caroline Zaw-Mon, 2010)
8
Selain bahan nuklir maupun senjata nuklir yang menjadi incaran para terorisme,
pembangkit listrik bertenaga nuklir juga dapat menjadi target operasi terorisme.
Terdapat kasus di Ekuador, pada bulan Desember 2002, adanya kasus pencurian bahan
radioaktif sebanyak 5 buah dan bahan tersebut diyakini berada di pasar gelap yang
mungkin dibeli oleh kelompok terorisme. Selain itu, Agustus 2003, adanya
penangkapan 19 orang di Ontario, Kanada atas tuduhan pengahancuran pembangkit
listrik bertenaga nuklir di tepi Danau Ontario. (Potter, The Four Faces of Nuclear
Terrorism, 2004)
Dari beberapa kasus tersebut, terdapat beberapa cara yang mungkin dilakukan
terorisme nuklir menurut Ferguson dan Potter yaitu dengan cara pencurian dan
peledakan senjata nuklir secara utuh, pencurian atau pembelian bahan radioaktif mentah
yang mengarah ke pembuatan senjata peledak nuklir (Improvised Nuclear Device),
penyerangan atau sabotase terhadap fasilitas nuklir, seperti pembangkit listrik bertenaga
nuklir dan dengan cara memproduksi sendiri bahan radioaktif yang akan dijadikan
“Dirty Bomb” atau Radiation Emission Device (RED). (Potter, The Four Faces of
Nuclear Terrorism, 2004)
IV. Rejim Nuklir
Dengan adanya permasalahan nuklir tersebut membuat negara-negara hingga
masyarakat internasional menciptakan suatu aturan yang berbentuk traktat, hukum,
perjanjian, hingga pada tahap menciptakan sebuah rezim. Rezim dalam hal ini disebut
sebagai rezim Non-Proliferasi Nuklir Internasional. NPT merupakan salah satu bentuk
rezim Non-Proliferasi Nuklir. Sedangkan KTT Keamanan Nuklir diadakan untuk
menegaskan kembali mengenai keseriusan negara-negara yang memiliki bahan maupun
persenjataan nuklir dalam hal keamanannya yang didasari oleh rezim NPT yang
sebelumnya telah ditetapkan.
NPT atau traktat pelarangan penyebaran senjata nuklir ini dipelopori oleh menteri
luar negeri Irlandia, Frank Aiken. NPT pertama kali diadakan di London pada tanggal 1
Juli 1968. Perjanjian tersebut berisi 146 poin kesepakatan tentang penggunaan nuklir
dan hingga saat ini telah disepakati oleh 191 negara. Hanya ada lima negara saja yang
mempunyai senjata nuklir pada awal kesepakatn yakni RRC, Inggris, Amerika Serikat,
Uni Soviet (Rusia) dan Perancis. NPT berperan sebagai upaya untuk mecegah
penyebaran senjata nuklir ke negara-negara yang belum memiliki teknologi nuklir.
(Thakur, 1998) Traktat NPT merupakan perjanjian yang mengikat secara hukum
9
Internasional terhadap negara-negar yang menandatangani atau meratifikasi perjanjian
multilateral tersebut dan bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir,
mendorong penggunaan energi nuklir secara damai dan pelucutan secara umum dan
menyeluruh. (Zaenudin, 1996)
Perjanjian NPT ini terdiri dari 11 artikel dengan garis besar mengatur tentang Nonproliferasi nuklir, perlucutan senjata, dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai. (Andreas
Hasenclever P. M., 1996)
1.
Non-Proliferasi Nuklir
Terdapat lima negara yang diperbolehkan memiliki senjata nuklir yaitu
Perancis, RRC, Uni Soviet (Rusia), Inggris dan Amerika Serikat. Kelima negara
tersebut juga merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Lima negara
pemiliki senjata nuklir (Nuclear Weapons Sates/ NWS) ini setuju untuk tidak
mentransfer teknologi senjata nuklir maupun hulu ledak nuklir ke negara lain dan
negara-negara non-NWS setuju untuk tidak meneliti atau mengembangkan senjata
nuklir.
2.
Perlucutan Senjata Nuklir
Dalam pasal VI dan pada pembukaan perjanjian menerangkan bahwa kelima negara
NWS berusaha untuk mencapai rencana pengurangan dan pembekuan senjata simpanan
mereka. Dalam pasal VI juga adanya pernyataan “....Perjanjian dalam perlucutan umum
dan lengkap di bawah kendali Internasional yang tegas dan efektif.”
Dalam Pasal I, negara-negara NWS menyatakan untuk tidak “membujuk negara nonNWS manapun untuk mendapatkan senjata nuklir.” Doktrin serangan pre-emptive dan
bentuk ancaman lainnya bisa dianggap sebagai bujukan/godaan oleh negara-negara nonNWS. Dan pada pasal X menyatakan bahwa negara manapun dapat mundur dari perjanjian
jika mereka merasakan adanya “hal-hal aneh”, contohnya ancaman yang memaksa
mereka keluar.
3.
Penggunaan Nuklir Untuk Tujuan Damai
Karena sangat sedikit dari negara-negara NWS dan negara-negara pengguna
energi nuklir yang mau benar-benar membuang kepemilikan bahan bakar nuklir,
pokok ketiga dari perjanjian ini memberikan negara-negara lainnya kemungkinan
untuk melakukan hal yang sama, namun dalam kondisi-kondisi tertentu yang
membuatnya tidak mungkin mengembangkan senjata nuklir.
10
Bagi beberapa negara, pokok ketiga perjanjian ini, yang memperbolehkan
penambangan uranium dengan alasan bahan bakar, merupakan sebuah keuntungan.
Namun perjanjian ini juga memberikan hak pada setiap negara untuk menggunakan
tenaga nuklir untuk kepentingan damai, dan karena populernya pembangkit tenaga
nuklir yang menggunakan bahan bakar uranium, maka perjanjian ini juga
menyatakan bahwa pengembangan uranium maupun perdagangannya di pasar
Internasional diperbolehkan. Pengembangan uranium secara damai dapat dianggap
sebagai awal pengembangan hulu ledak nuklir, dan ini dapat dilakukan dengan cara
keluar dari NPT. Tidak ada negara yang diketahui telah berhasil mengembangkan
senjata nuklir secara rahasia, jika dalam pengawasan NPT.
NPT merupakan tonggak utama bagi pencegahan senjata nuklir di dunia.
Traktat ini telah diratifikasi oleh 191 negara, namun ada beberapa negara yang
tidak menandatangani bahkan ada ula yang keluar dari traktat ini. Seperti India dan
Pakistan hingga saat ini belum juga bersedia meratifikasi NPT dan Korea Utara
merupakan anggota NPT sejak 12 desember 1985 namun negara tersebut keluar
dari NPT pada tanggal 10 April 2003. (Goldsmicdht, 2006)
International Atomic Energy Agency atau lebih dikenal sebagai IAEA adalah
badan yang mengurusi masalah tentang nuklir. Peran utama IAEA adalah untuk
membantu perlucutan dan pemusnahan senjata nuklir dari muaka bumi, serta untuk
membantu negara-negara di dunia mengembangkan energi nuklir untuk tujuan
damai. NPT dibentuk untuk menentukan kerangka aktivitas IAEA di bidang
pemanfaatan energi nuklir secara damai oleh negara-negara di dunia dan mencegah
perluasan senjata nuklir. IAEA memiliki tiga pilar yang mendasari pelaksanaan
kegiatannya sebagaimana dimandatkan oleh Statuta IAEA. Berkaitan dengan hal
tersebut, Statuta IAEA menetapkan tiga pilar yaitu: Keselamatan dan Keamanan
(Safety and Security), Ilmu dan Teknologi (Scienceand Technology) dan
Pengamanan dan Verifikasi (Safeguards and Verification). (IAEA)
NPT Review Conference (Konferensi Peninjauan Kembali) diselenggarakan untuk
meninjau pengoperasian Traktat NPT. Koonferensi tersebut diadakan lima tahun sekali
sejak Traktat NPT mulai berlaku pada tahun 1970. NPT Review Conference diadakan untuk
menemukan kesepakatan untuk memperkuat langkah-langkah yang akan diambil yang
sesuai dengan Traktat NPT. Dan dengan berkembangnya teknologi seperti sekarang ini,
negara-negara dengan mudah mampu mengembangkan teknologi nuklir karena teknologi
nuklir memiliki banyak manfaat. Namun tidak dipungkiri bahwa perdagangan teknologi
11
nuklir berupa bahan-bahan nuklir maupun persenjataan nuklir belum dapat dikontrol
sepenuhnya oleh NPT. Karena itulah, beberapa negara di dunia ikut dalam Konferensi
Tingkat Tinggi Keamanan Nuklir yang dipelopori oleh Amerika Serikat dalam
menyelesaikan permasalahan proliferasi nuklir agar tidak sampai jatuh ke tangan yang
salah, khususnya teroris. Karena terorisme merupakan ancaman bagi keamanan dunia.
V.
Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan Nuklir
Awal mula sebelum diselenggarakannya KTT Keamanan Nuklir ini, bermula
pada tahun 2009, dimana pada saat itu Presiden Amerika Serikat Barack Obama
menyampaikan pidato di Praha di mana dalam pidatonya ia menyebut bahwa terorisme
nuklir merupakan salah satu ancaman terbesar bagi keamanan internasional. Dengan
pernyataan tersebut, maka AS memprakarsai KTT Keamanan Nuklir yang pertama dan
diselenggarakan di Washington DC pada tahun 2010. (NSS, About The NSS, 2014)
KTT Keamanan Nuklir (Nuclear Security Summit) merupakan konferensi tingkat
tinggi dunia yang memfokuskan pada keamanan nuklir agar tidak jatuh ke pihak yang
tidak bertanggung jawab dan secara umum tujuan dari KTT Keamanan Nuklir adalah
mengamankan bahan nuklir dari terorisme nuklir.
47 negara dan 3 organisasi
internasional telah berpartisipasi dalam KTT Keamanan Nuklir 2010 yang
diselenggarakan pada tanggal 12-13 April 2010. Hasil KTT ini ditetapkan dalam
Washington Work Plan yang berisi mengenai bentuk rencana yang konkrit dan
Washington Communiquè yang berisi tentang komitmen dan deklarasi dari negaranegara peserta KTT. Isi pokok dari hasil kesepakatan KTT Keamanan Nuklir tahun
2010, terlihat adanya kesepakatan dan rencana kerja tentang bagaimana masing-masing
negara peserta dalam mencegah terorisme nuklir secara bersama-sama, bekerja sama
dalam pengamanan bahan nuklir, tanggung jawab dalam mengamankan bahan-bahan
nuklir di seluruh dunia dan membentuk suatu komunitas internasional untuk
meningkatkan keamanan nuklir dunia. (NSS, About The NSS, 2014)
KTT Keamanan Nuklir 2012 merupakan konferensi tingkat tinggi kedua yang
diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan pada tanggal 26 dan 27 Maret 2012. Dalam
KTT ini dihadiri oleh 53 negara dan 4 organisasi internasional. Pada KTT tersebut isuisu utama yang diangkat adalah langkah-langkah untuk memerangi ancaman terorisme
nuklir, perlindungan bahan dan fasilitas nuklir, dan pencegahan perdagangan gelap
bahan nuklir. (Summit, 2014) Mereka fokus dalam pembahasan tentang isu-isu
keamanan nuklir seperti meminimalisasi dan pengelolaan uranium, ratifikasi konvensi
12
keamanan nuklir, informasi penguatan dan keamanan transportasi, peran IAEA,
mencegah perdagangan gelap bahan nuklir, sistem pengamanan bahan nuklir,
kerjasama dan bantuan internasional mengenai pengamanan bahan nuklir. Selain itu,
adanay pembahasan mengenai keamanan radiologi dan keamanan keselamatan nuklir
sebagai agenda baru karena dilatarbelakangi oleh tragedi Fukushima pada Maret 2011.
Di KTT 2012 juga membahas mengenai perlindungan terhadap “Dirty Bomb” dan
sabotase fasilitas nuklir. (Summit, 2014) Dalam Seoul Communiqué telah
mengidentifikasi 11 bidang dalam keamanan nuklir serta menjelaskan mengenai
tindakan yang perlu dilakukan secara spesifik. 11 bidang tersebut terdiri dari arsitektur
keamanan nuklir secara global, peran IAEA, bahan nuklir, sumber-sumber radioaktif,
keamanan dan keselamatan nuklir, keamanan transportasi, mencegah perdagangan
gelap, badan forensic nuklir, sistem keamanan nuklir, keamanan informasi nuklir, dan
kerjasama internasional.
KTT Keamanan Nuklir ketiga diselenggarakan di Den Hag, Belanda pada tanggal
24 dan 25 Maret 2014. KTT ini merupakan edisi ketiga dari konferensi tersebut,
lanjutan dari KTT Keamanan Nuklir 2012 di Seoul. Tujuan umum dari KTT Keamanan
Nuklir 2014 adalah meningkatkan kerja sama internasional dan lebih khususnya
menilai kemajuan dari komitmen yang sudah ditetapkan pada KTT sebelumnya di
Washington DC dan Seoul serta menreview ketetapan yang belum dapat dicapai dalam
empat tahun sebelumnya dan mencari cara untuk mencapai ketetapan tersebut. (NSS,
About The NSS, 2014)
Dalam acara penutupan KTT Keamanan Nuklir 2014, rancangan The Hague
Communique yang telah disusun oleh para Sherpa KTT Keamanan Nuklir berhasil
disahkan sebagai outcome dari NSS. Rancangan The Hague Communique terdiri dari
komitmen untuk memajukan kerjasama internasional dan memperkuat arsitektur
keamanan nuklir internasional (penguatan instrumen hukum, pemajuan peran IAEA,
PBB dan inisiatif-inisiatif internasional lain), persetujuan untuk mendorong negara
secara sukarela mengambil beberapa langkah yang dapat memperkuat keamanan nuklir
dan kesadaran akan pentingnya pengawasan yang lebih baik akan uranium diperkaya
tinggi (HEU), mendorong pengawasan yang lebih baik kepada zat radioaktif,
peningkatan kemampuan dan peran keselamatan dan industri nuklir serta kesepakatan
para pemimpin bahwa KTT Keamanan Nuklir berikutnya akan diadakan di Amerika
Serikat tahun 2016. (Indonesia K. L., 2014)
13
Dengan hasil yang telah disepakati dalam KTT Keamanan Nuklir di Den Hag
yang dikemas dalam The Hague Communique, negara peserta KTT diharapkan dapat
mengimplementasikannya agar tujuan mereka dapat tercapai secara bersama-sama
dalam menjaga keamanan internasional dari ancaman nuklir khususnya terorisme
nuklir.
Keamanan nuklir merupakan tantangan global yang serius yang membutuhkan
respon global untuk mengelola ancaman yang muncul. Sistem keamanan nuklir global
saat ini adalah perbaikan dalam hal hukum yang inisiatif secara sukarela dan dijadikan
sebagai rekomendasi. KTT 2014 di Den Haag akan menjadi tonggak penting bagi
proses KTT dan evolusi rezim keamanan nuklir.
Berdasarkan keputusan dalam KTT Keamanan Nuklir, maka adanya upaya-upaya
yang dilakukan oleh Negara peserta KTT dalam mencegah terorisme nuklir, yaitu:
(Michelle Cann, Kelsey Davenport and Sarah Williams, 2014)
1.
Memperkuat Arsitektur Keamanan Nuklir secara Global
Dalam memperkuat pondasi keamanan nuklir secara global, peserta KTT
Keamanan Nuklir didorong untuk mematuhi Convention on the Physical
Protection of Nuclear Material (CPPNM) dan juga International Convention for
the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism (ICSANT). Negara peserta KTT juga
didesak untuk meratifikasi CPPNM ke dalam aturan hukum di masing-masing
negara. Peserta KTT akan berusaha untuk menerapkan IAEA Physical Protection of
Nuclear Material and Nuclear Facilities (INFCIRC/225/Rev.5) dan merealisasikan
Nuclear Security Series ke dalam aturan hukum di wilayah negara peserta.
Sesuai dengan dasar dari hasil kesepakatan KTT Keamanan Nuklir 2010,
negara peserta didorong untuk bergabung dan bekerjasama dengan Global
Initiative to Combat Nuclear Terrorism (GICNT) dan Global Partnership dalam
Spread of Weapons and Materials of Mass Destruction. Melihat pentingnya
penguatan koordinasi dalam kegiatan keamanan nuklir, maka negara peserta
didorong untuk menerapkan aturan yang sudah diusulkan oleh IAEA yaitu
menerima kontribusi dari industri, akademisi, lembaga dan masyarakat sipil yang
mempromosikan keamanan nuklir.
2.
Peran dari IAEA
Ditegaskan kembali terkait tanggung jawab dan peran utama IAEA dalam
memperkuat kerangka keamanan nuklir internasional dan mengakui nilai Rencana
14
IAEA dalam Keamanan Nuklir 2010-2013. Peserta KTT 2012 akan bekerja untuk
memastikan bahwa IAEA terus memiliki struktur yang tepat, sumber daya dan
keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan tujuan keamanan nuklir.
Untuk tujuan ini, peserta KTT didorong untuk membantu kegiatan IAEA dalam
membangun dan meningkatkan infrastruktur keamanan nuklir melalui berbagai
program dukungan, dan mendorong negara-negara untuk memanfaatkan sumber
daya IAEA.
3.
Bahan Nuklir
Menyadari bahwa Highly Enriched Uranium (HEU) dipisahkan dari
plutonium memerlukan tindakan pencegahan khusus, adanya penekankan kembali
pentingnya pengamanan dengan tepat, memperhitungkan dan mengkonsolidasikan
bahan-bahan tersebut. Mendorong negara-negara peserta untuk mempertimbangkan
tempat penyimpanan yang aman dan tepat, dan konsisten dengan pertimbangan
keamanan nasional dan tujuan pembangunan.
Mendorong bagi negara peserta untuk mengurangi penggunaan HEU dengan
melalui konversi reactor dari HEU menjadi LEU (Low Enriched Uranium).
4.
Sumber Radioaktif
Dengan mempertimbangkan bahwa sumber radioaktif yang banyak digunakan
dan rentan terhadap tindakan yang berbahaya, maka negara peserta didesak untuk
mengamankan bahan-bahan tersebut dan diharapkan penggunaan bahan radioaktif
digunakan secara damai seperti industri, medis, pertanian dan penelitian. Maka dari
itu, peserta KTT Keamanan Nuklir didorong untuk meratifikasi ICSANT yang
sesuai dengan IAEA Nuclear Security Series, IAEA Code of Conduct on the Safety
and Security of Radioactive Sources dan IAEA Guidance on the Import and Export
of Radioactive Sources. Selain itu akan ada upaya nasional dan kerjasama
internasional untuk memperbaiki bahan-bahan radioaktif yang rusak maupun
hilang karena dicuri dan mengontrol sumber-sumber radioaktif yang tidak terpakai.
5.
Keamanan dan Pengamanan Nuklir
Mengakui
bahwa
langkah-langkah
keamanan
dan
langkah-langkah
pengamanan memiliki kesamaan tujuan untuk melindungi kehidupan manusia dan
lingkungan, ditegaskan kembali bahwa keamanan nuklir dan langkah-langkah
15
keselamatan nuklir harus dirancang, dilaksanakan dan dikelola di fasilitas nuklir
dengan cara yang koheren dan sinergis. Dalam hal ini, adanya upaya IAEA untuk
memberikan rekomendasi yang relevan pada negara peserta KTT dalam membahas
keamanan nuklir dan keselamatan nuklir.
6.
Keamanan Transportasi
Mengingat pentingnya keamanan teransportasi maka akan dilanjutkan upaya
untuk meningkatkan keamanan bahan radioaktif nuklir dan lainnya saat berada di
transportasi domestik maupun internasional dan mendorong negara-negara untuk
berbagi praktik terbaik dan bekerja sama dalam memperoleh teknologi yang
diperlukan untuk tujuan ini. Menyadari pentingnya pertahanan berlapis nasional
terhadap kehilangan atau pencurian bahan radioaktif nuklir dan lainnya, adanya
dorongan pembentukan manajemen yang efektif dalam persediaan bahan nuklir
dan mekanisme pelacakan bahan nuklir.
7.
Memberantas Perdagangan Gelap
Sangat diperlukannya kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan nasional
untuk mencegah, mendeteksi, menanggapi dan menuntut perdagangan nuklir
secara ilegal. Maka peserta KTT Keamanan Nuklir diharapkan akan bekerja untuk
meningkatkan kemampuan teknis di bidang pemeriksaan nasional dan deteksi
bahan radioaktif nuklir dan lainnya di perbatasan. Mencatat bahwa beberapa negara
telah lulus undang-undang kontrol ekspor untuk mengatur transfer nuklir, kami
mendorong pemanfaatan lebih lanjut dari hukum, intelijen dan alat keuangan untuk
secara efektif mengadili pelanggaran, sesuai dan konsisten dengan hukum nasional.
Selain itu, mendorong bagi negara-negara untuk berpartisipasi dalam program
IAEA mengenai Perdagangan Nuklir Ilegal dan memberikan informasi yang
diperlukan berkaitan dengan bahan radioaktif nuklir dan lain di luar kendali
regulasi. Negara peserta KTT akan bekerja untuk memperkuat kerjasama antar
negara dan mendorong mereka untuk berbagi informasi, sesuai dengan peraturan
nasional, pada individu yang terlibat dalam pelanggaran perdagangan bahan
radioaktif nuklir dan lainnya, termasuk melalui INTERPOL’s Radiological and
Nuclear Terrorism Prevention Unit and the World Customs Organization.
16
8.
Nuclear Forensics
Forensik nuklir dapat menjadi alat yang efektif dalam menentukan asal
terdeteksi nuklir dan bahan radioaktif lainnya dan memberikan bukti untuk
penuntutan tindak perdagangan gelap. Dalam hal ini, adanya dorongan bagi
negara-negara untuk bekerja dengan satu sama lain, serta dengan IAEA, untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan forensik nuklir. Sehingga
pentingnya kerjasama internasional baik dalam teknologi dan pengembangan
sumber daya manusia untuk memajukan forensik nuklir.
9.
Nuclear Security Culture
Menyadari bahwa investasi dalam pengembangan sumber daya manusia
sangat penting untuk mempromosikan dan mempertahankan budaya keamanan
nuklir yang kuat, maka Negara peserta KTT diharapkan untuk berbagi praktek
terbaik dan membangun kemampuan nasional, termasuk melalui kerjasama
bilateral dan multilateral. Negara-negara peserta KTT Keamanan NUklir 2012
diharapkan dapat mempromosikan pengembangan sumber daya manusia melalui
pendidikan dan pelatihan.
Selain itu, adanya upaya yang dilakukan oleh IAEA untuk mempromosikan
jaringan antara pusat-pusat tersebut untuk berbagi pengalaman dan pelajaran yang
diterima dan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia.
10. Keamanan Informasi
Pentingnya keamanan informasi untuk mencegah aktor non-negara untuk
memperoleh informasi, teknologi atau keahlian yang diperlukan untuk memperoleh
atau menggunakan bahan nuklir untuk tujuan jahat, atau untuk mengganggu sistem
kontrol berbasis teknologi informasi di fasilitas nuklir. Oleh karena itu negaranegara peserta KTT 2012 didorong untuk: terus mengembangkan dan memperkuat
keamanan nasional dalam memanajemenkan informasi yang efektif, termasuk
informasi tentang prosedur dan protokol untuk melindungi bahan nuklir dan
fasilitas; untuk mendukung proyek-proyek pengembangan kapasitas yang relevan;
dan untuk meningkatkan langkah-langkah keamanan cyber mengenai fasilitas
nuklir, konsisten dengan IAEA General Conference Resolution on Nuclear Security
(GC(55)/Res/10) dan dengan mengingat International Telecommunication Union
Resolution 174. Dan juga mendorong negara peserta KTT untuk: mempromosikan
17
budaya keamanan yang menekankan kebutuhan untuk melindungi keamanan
informasi terkait nuklir yang melibatkan masyarakat ilmiah, industri dan
akademisi.
11. Kerjasama Internasional
Kerjasama internasional diharapkan dilakukan oleh semua negara peserta KTT
untuk meningkatkan perlindungan fisik mereka dan sistem akuntansi untuk bahan
nuklir, kesiapsiagaan darurat dan kemampuan respon dan kerangka hukum dan
peraturan yang relevan. Dalam konteks ini, negara peserta KTT mendorong
masyarakat internasional untuk meningkatkan kerjasama internasional dan
memberikan bantuan kepada negara-negara yang membutuhkan pada tingkat
bilateral, regional, maupun multilateral. Secara khusus, IAEA akan terus
memimpin upaya untuk membantu negara-negara peserta KTT sesuai dengan
permintaan. Ditegaskan kembali perlunya berbagai diplomasi dan pendekatan
publik upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang tindakan yang
diambil dan kapasitas dibangun untuk mengatasi ancaman terhadap keamanan
nuklir, termasuk ancaman terorisme nuklir.
VI. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bagian-bagian sebelumnya, maka penulis
mengambil kesimpulan bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh negara peserta KTT
Keamanan Nuklir dalam mencegah ancaman terorisme nuklir yaitu dengan cara
memperkuat rejim nuklir (NPT) yang terdiri dari pengurangan jumlah bahan nuklir
yang berbahaya di dunia, peningkatkan system keamanan bahan nuklir, dan sumber
radioaktif, serta peningkatkan kerjasama internasional dengan organisasi internasional
dan negara lain secara bilateral maupun multilateral.
Bibliography
Sejarah Perkembangan Nuklir di Dunia. (2004). Retrieved November 14, 2014, from Info Nuklir:
http://www.infonuklir.com/read/detail/198/sejarah-perkembangan-nuklir-di-dunia.
Andreas Hasenclever, P. M. (1996). Interests, Power, Knowledge: The Study of International
Regimes. Mershon International Studies Review , 40, 177-228.
18
Andreas Hasenclever, P. M. (1996). Interests, Power, Knowledge: The Study of International
Regimes. Mershon International Studies Review , 40, 177-228.
Chomsky, N. (2006). Pirates and Emperors: International Terrorism In The Real World.
Massachusets: Black Rose Books.
Emily Diez, Terrance Clark, and Caroline Zaw-Mon. (2010). Global Risk of Nuclear Terrorism.
Scholarcommons , 19.
Goldsmicdht, P. (2006). The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation Regime-. 4.
Holsti, K. (1988). Politik Internasional, Kerangka Untuk Analisis, Jilid II. . (M. T. Azhari, Trans.)
Jakarta : Erlangga Press.
IAEA. (n.d.). Statuta IAEA. Retrieved from http://www.nuclearfiles.org/menu/library/treaties/atomicenergyact/trty_atomic-energy-st
Indonesia, K. L. (2014). Perkuat Arsitektur Keamanan Nuklir, The Hague Communique Disahkan.
http://www.kemlu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=6874&l=id.
Indonesia, P. B. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Michael Levi and Graham Allison. (2008). How Likely is a Nuclear Terrorist Attack on the United
States? A Discussion. The Intelligencer , 26.
Michelle Cann, Kelsey Davenport and Sarah Williams. (2014). The Nuclear Security Summit:
Progress
Report.
Seoul:
http://uskoreainstitute.org/wp-
content/uploads/2012/01/USKI_NSS2012_Pomper.pdf.
Montgomery, E. B. (2009). Nuclear Terrorism: Assessing the Threat, Developing A Response
Strategy For The Long Haul. CSBA (Center for Strategic and Budgetary Assessments) , 9.
Noam, C. (1991). Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris? Bandung: Mizan Pustaka.
NSS. (2014). About The NSS. Retrieved from NSS: https://www.nss2014.com/en/nss-2014/about-thenss
NSS. (2014). NSS 2014. Retrieved November 14, 2014, from Nuclear Security Summit:
https://www.nss2014.com/en/nss-2014/about-the-nss
Olton, J. C. (1999). Kamus Hubungan Internasional. (W. Juanda, Trans.) Bandung:: CV Abardin
Press.
19
Potter, C. D. (2004). The Four Faces of Nuclear Terrorism. California, USA: Monterery Institute of
International Studies.
Potter, C. D. (2004). The Four Faces of Nuclear Terrorism. California: Monetey Institute of
International Studies.
Security, I. f. (2009). Pakistan Nuclear Overview. Retrieved November 17, 2014, from ISIS:
http://www.nti.org/e_research/profiles/Pakistan/Nuclear/index.html.
Summit,
N.
S.
(2014).
Overview
of
2012
Summit.
Retrieved
from
NSS:
https://www.nss2014.com/en/nss-2014/about-the-nss
Thakur, R. (1998). Keeping Proliferation At Bay. Jakarta: Center for Strategic an International
Studies.
Wilder, N. (1962). Webster's New School & Office Dictionary. New York: The world publishing
company.
Wiraatmaja, S. (1996). Pengantar Hubungan Internasional. Bandung: Rafika Adikarya.
Zaenudin, D. (1996). Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan.
Jakarta: Pustaka Jaya.
20
Download