Upaya Peserta KTT Keamanan Nuklir Dalam Mengantisipasi Ancaman Terorisme Nuklir Anindya Novitasari 20110510325 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Abstract End of the Cold War marked by the demolition of the Berlin Wall located between West Germany and East Germany. Although the end of the Cold War, international issues emerging changes, where international issues concerning security shift leads to the issue of the threat of terrorism.There is an indication that the threat of nuclear terrorism emerged after the Cold War ended. During the cold war lasted, the stronghold of the West and East camps mutually reinforce their weapons one to develop nuclear weapons. After the end of the Cold War marked by the collapse of the Berlin Wall would lead to new threats, namely terrorism. This research will review about international community's efforts to prevent terrorist groups that may be made to access nuclear weapons. The international community has made some efforts to prevent nuclear terrorism by cooperating in maintaining international security by holding the Nuclear Security Summit. Keywords: Nuclear International Community Weapons International Organization Summit Terrorism 1 I. PENDAHULUAN Pada tahun 1990, Perang Dingin berakhir yang ditandai dengan adanya peruntuhan tembok Berlin yang berada di antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Walaupun Perang Dingin berakhir, isu internasional yang sedang berkembang pun berubah, dimana isu internasional mengenai keamanan bergeser mengarah ke isu ancaman terorisme. Menurut kaum realis, dominasi actor negara pada awal perkembangan HI tidak hanya didominasi oleh Negara saja tetapi juga dilakukan oleh MNC, individu, NGO, serta kelompok teroris. Sementara pendekatan strukturalisme lebih memandang interaksi hubungan internasional sebagai ketergantungan Negara kecil terhadap Negara besar dan didominasi oleh Negara kuat terhadap Negara lemah. (Wiraatmaja, 1996) Terorisme merupakan salah satu realitas sosial politik yang telah berlangsung sejak lama. Terorisme bisa didefinisikan sebagai kegiatan negara atau non-negara yang mempergunakan teknik kekerasan dalam usahanya menggapai tujuan politik. (Olton, 1999) Terorisme dilakukan dengan aksi kekerasan yang secara psikologis dapat menimbulkan rasa takut pada pihak lain dengan motif politik atau tujuan tertentu. Terorisme dapat dipahami sebagai ancaman atau penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik, agama, atau lainnya dengan cara intimidasi, menimbulkan ketakutan dan sebagainya yang diarahkan terhadap target mereka. (Noam, 1991) Sejak tahun 1988 kelompok terorisme mulai meluncurkan serangan. Serangan terorisme pertama terjadi di kota Pan Am 103, dalam tragedy tersebut 270 jiwa tewas. Semenjak itu kelompok teroris berkembang. Berikut data serangan terorisme dunia mulaidari 1988 hingga 2013. Tahun Tempat Korban 1988 Pan Am 103 270 Jiwa meninggal 1992 Bom mobil di Buenos Aires 242 jiwa meninggal 1993 Bom truk di World Trade Center 6 meninggal dan 1.042 terluka 1995 Bom truk di kota Oklahoma 168 meninggal dan 500 terluka 1996 Bom truk di Sri Lanka 90 meninggal dan 1.400 terluka 1996 Bom truk di Saudi Arabia 19 meninggal dan 515 terluka 2 1998 Bom truk di Kedutaan Besar AS di Negaranegara Kenya 212 meninggal dan 4.022 terluka 1999 Bom di Moskow 200 meninggal 2001 WTC, Pentagon dan Pennysylvania 3.062 meninggal 2002 Bali, Indonesia 190 meninggal dan 300 terluka 2004 Madrid 191 meninggal dan 1.800 terluka 2005 London, Inggris korban 56 jiwa 2005 Jimbaran, Kuta, Bali, Indonesia 29 tewas dan 129 terluka 2008 Mumbai, India 188 tewas dan 370 terluka 2009 Jakarta, Indonesia 9 tewas dan 41 terluka 2013 Boston, AS 3 tewas dan 176 terluka 2013 Volgograd, Rusia 10 tewas dan 19 terluka *Dirangkum dari berbagai sumber Jika dilihat dari data tersebut terlihat bahwa puncak dari serangan terorisme yang terbesar ialah pada tahun 2001 di WTC, Pentagon dan Pennsylvania yang telah menewaskan 3.062 jiwa. Peristiwa tersebut menyerang beberapa fasilitas penting yang dianggap sebagai lambang superioritas Amerika Serikat sebagai negara superpower dengan segala kehebatannya di bidang ekonomi, intelijen, pertahanan dan kekuatan militer. (Potter, 2004) Pada saat abad ke dua puluh hingga memasuki abad ke dua puluh satu, tindakan organisasi terorisme meningkat dan berkembang dengan mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi, elektronik, transportasi, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kimiawi dan juga persenjataan. Dengan adanya perkembangan organisasi teroris dalam hal persenjataan menjadikan para teroris tertarik menggunakan senjata nuklir yang sangat berbahaya. Selama beberapa tahun terakhir, prospek kelompok terorisme yang bersenjata nuklir menjadi ancaman yang nyata dan utama bagi keamanan internasional. (Montgomery, 2009) Pada awalnya, terdapat lima negara yang memiliki senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS). Kelima negara tersebut ialah China, Perancis, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat. Kelima negara tersebut telah menandatangani NPT. Namun sejak tahun 1998, muncul India dan Pakistan yang mengklaim memiliki senjata nuklir. Setelah itu, mulai banyak negara yang mencoba mengembangkan teknologi nuklir baik 3 untuk tujuan damai maupun mengarah pada perkembangan dan pembuatan senjata nuklir. Kelima negara yang telah menandatangani perjanjian NPT ditetapkan sebagai negara yang diperbolehkan untuk memiliki senjata nuklir. Namun pada kenyataannya, Israel, India, Pakistan dan Korea Utara telah memiliki senjata nuklir secara terbuka, serta Iran yang diduga memiliki senjata nuklir. Permasalahan mulai berkembang dimana adanya kekhawatiran aktor non-state, yang merujuk pada kelompok teroris yang akan mendapatkan material nuklir yang nantinya akan membahayakan keamanan Internasional. Selain itu adanya indikasi bahwa ancaman terorisme nuklir muncul setelah perang dingin berakhir. Setelah perang dingin berakhir yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin justru menimbulkan ancaman baru yaitu terorisme. Masih banyak bekas tempat penyimpanan senjata maupun bahan nuklir dan sumber radioaktif yang dulunya digunakan selama perang dingin berlangsung. Tempat-tempat tersebut masih menyimpan bahan nuklir dan sumber radioaktif namun sistem keamanannya sangat rendah. Bahan maupun senjata nuklir tersebut masih berada di negara bekas Uni Soviet seperti Ukraina, Belarus dan Kazakhstan. Dengan adanya bahan nuklir maupun persenjataan nuklir yang masih tersebar di tempat bekas penyimpanan senjata di masa perang Dingin, membuat para terorisme menarik perhatian ke tempat-tempat tersebut di tambah sistem keamanannya terbilang masih rendah sehingga memberikan kemudahan bagi para terorisme untuk mendapatkan senjata maupun bahan nuklir. Dengan adanya prospek terorisme nuklir yang meningkat, membuat negaranegara di dunia mulai mencari strategi pencegahan terorisme nuklir. Terorisme nuklir dapat diartikan sebagai sebuah ancaman ataupun tindakan yang memiliki unsur kekerasan dan bertujuan untuk menyebarkan terror sehingga menyebabkan ketakutan di tengah masyarakat dengan menggunakan senjata nuklir, dimana senjata nuklir tersebut merupakan alat peledak yang mendapatkan hasil reaksi nuklir, baik fisi atau kombinasi dari fisi dan fusi. Keduanya melepaskan sejumlah besar energi dari sejumlah kecil massa, bahkan kecil alat peledak nuklir untuk menghancurkan sebuah kota dengan sebuah ledakan, kebakaran dan radiasi. ( Sejarah Perkembangan Nuklir di Dunia, 2004) Maka dari itu, diperlukan kesadaran dan kerjasama dari semua negara untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan dimana bahan-bahan nuklir dan senjata nuklir tidak jatuh ke tangan terorisme. Diawali dengan pidato Presiden Amerika Serikat Obama, pada tahun 2009 menyampaikan pidato di Praha di mana ia menyebut bahwa terorisme nuklir salah satu ancaman terbesar bagi keamanan internasional. Dengan 4 adanya ancaman yang berasal dari terorisme nuklir tersebut, membuat kekhawatiran di seluruh negara yang ada di dunia. Dengan adanya kekahawatiran tersebut, maka pada tahun 2010, Amerika Serikat memulai dengan mengadakan sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan Nuklir. Tujuan utama dari konferensi tersebut untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam mengamankan senjata nuklir dari pihak yang tidak bertanggung jawab. (NSS, 2014) Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dianalisis mengenai upaya para peserta KTT Keamanan Nuklir dalam mengantisipasi ancaman terorisme nuklir. II. Kerjasama Internasional dan Rejim Internasional Sebagai Dasar dari Pembentukan KTT Keamanan Nuklir Semua negara di dunia ini tidak dapat berdiri sendiri. Perlu adanya kerjasama dengan negara lain karena adanya saling ketergantungan sesuai dengan kebutuhan negara masing-masing. Kerjasama di bidang ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan juga keamanan dapat dijalin oleh suatu negara dengan satu atau lebih negara lainnya. Kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan kerjasama secara bersama-sama. Hubungan kerjasama antar negara dapat mempercepat dalam mencapai tujuan maupun kepentingannya. Menurut K.J Holsti, proses kerjasama dapat terbentuk dari perpaduan keanekaragaman masalah nasional, regional maupun global yang muncul dan memerlukan perhatian dari lebih satu negara. Masing-masing pemerintah saling melakukan pendekatan yang membawa usul penanggulangan masalah, mengumpulkan bukti-bukti tertulis untuk membenarkan suatu usul atau lainnya dan mengakhiri perundingan dengan suatu perjanjian atau pengertian yang memuaskan semua pihak. (Holsti, 1988) Pada dasarnya tujuan dari adanya kerjasama antar negara yang dilakukan oleh dua negara atau lebih ialah memenuhi kebutuhan masing-masing dan mencapai kepentingan mereka yang terlibat. Sehingga, dengan adanya kerjasama internasional berbagai Negara yang ada di dunia ini membentuk suatu KTT internasional yang menangani permasalahan keamanan nuklir demi mencapai kepentingan bersama. Rezim internasional didefinisikan sebagai seperangkat prinsip, norma, aturan dan tata cara pengambilan keputusan yang digunakan oleh negara-negara dalam menyikapi berbagai macam fenomena dalam hubungan internasional. Rezim merupakan salah satu alat yang dianggap cukup efektif dalam menangani fenomena-fenomena tertentu yang 5 terjadi dalam hubungan internasional. Keohane mendefinisikan rezim sebagai sebuah institusi dengan aturan-aturan yang sifatnya eksplisit dan memuat sebuah persoalan spesifik terkait hubungan internasional. Aturan-aturan yang ada pada rezim terkait juga merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota, sehingga sesungguhnya aturan-aturan tersebut tidak bisa dikatakan sifatnya memaksa karena aturan-aturan tersebut merupakan aturan yang telah disepakati bersama. Rezim internasional seringkali disamakan dengan institusi internasional, yang mana sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara rezim internasional dan institusi internasional. Pembeda paling mendasar yang membedakan antara rezim dan institusi ialah bahwa rezim tidak lebih dari seperangkat prinsip, norma, aturan dan prosedur pengambilan keputusan, sementara institusi internasional mengatur hingga kepada kapasitas dan perilaku anggota-anggotanya. (Andreas Hasenclever, 1996) Dengan diselenggarakannya KTT Keamanan Nuklir tersebut menghasilkan suatu rejim nuklir internasional dalam mencegah ancaman terorisme nuklir. III. Munculnya Ancaman Terorisme Nuklir Definisi terorisme menurut Webster’s New School and Office Dictionary, “terrorism is the use of violence, intimidation, to gain to end, especially a system of government ruling by terror”, sedangkan pelakunya disebut sebagai terrorist. Selanjutnya “terrorize is to fill with dread or terror, terrify; to intimidate or coerce by terror or by threats of terror.” (Wilder, 1962) Sedangkan menurut Enssiklopedia Indonesia, pengertian terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptakan suasana ketakutan dan bahaya dengan tujuan menarik perhatian nasional maupun internasional terhadap suatu aksi atau tuntutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian teror ialah rasa takut yang ditimbulkan oleh orang atau sekelompok orang. Terorisme berarti suatu kegiatan yang menimbulkan tekanan dan ketakutan. (Indonesia, 1991) Tujuan-tujuan teroris secara umum diantaranya memublikasikan suatu alasan lewat aksi kekejaman, karena dengan demikian publikasi mereka akan dapat terpublikasikan dengan cepat dan masif, katalisator bagi aksi militerisme atau mobilisasi massa, menebar kebencian dan konflik intern komunal, mengumumkan musuh atau kambing hitam, menciptakan iklim panik massa, menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sebagainya. 6 Paradigma terorisme saat ini telah mengalami transformasi dari pengertian awalnya seperti yang diutarakan oleh Professor linguistik Noam Chomsky dari Massachussetts Institute of Technology (MIT) dalam bukunya “International Terorism in Real World”. Dia mengatakan bahwa konsep terorisme telah berkembang menjadi “pembalasan” oleh individu dan kelompok-kelompok terhadap pemegang kekuasaan (negara), dari yang awalnya merupakan konsep kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah negara pada akhir abad ke 18 untuk menjamin ketaatan rakyat. (Chomsky, 2006) Terorisme nuklir dapat diartikan sebagai sebuah ancaman ataupun tindakan yang memiliki unsur kekerasan dan bertujuan untuk menyebarkan terror sehingga menyebabkan ketakutan di tengah masyarakat dengan menggunakan senjata nuklir, dimana senjata nuklir tersebut merupakan alat peledak yang mendapatkan hasil reaksi nuklir, baik fisi atau kombinasi dari fisi dan fusi. (Potter, The Four Faces of Nuclear Terrorism, 2004) Dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi, elektronik, transportasi, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kimiawi dan juga persenjataan, membuat organisasi terorisme berkembang dengan cepat. Hal ini membuat terorisme tertarik menggunakan senjata nuklir yang sangat berbahaya bahkan mengancam keselamatan dunia. Organisasi teroris internasional berusaha untuk melakukan Weapons of Mass Destruction (WMD) sebagai sarana untuk mempengaruhi kebijakan nasional di seluruh dunia. Juru bicara Al Qaida Suleiman Abu Gheith menyatakan bahwa untuk menyeimbangkan ketidakadilan yang telah dijatuhkan pada populasi Muslim di seluruh dunia, tujuan baru al-Qaida adalah "membunuh 4 juta orang Amerika termasuk 2 juta anak-anak." Dan menurut Graham Alison hal tersebut dapat dilakukan dengan 1.334 serangan sama besarnya dengan peristiwa 9/11, atau sama dengan satu bom nuklir. (Michael Levi and Graham Allison, 2008) Adanya kemungkinan senjata nuklir dapat jatuh ke tangan terorisme. Terdapat beberapa negara yang rawan akan perampasan senjata nuklir oleh para terorisme. Negara-negara tersebut merupakan negara yang kondisi dan situasi yang tidak stabil namun negara tersebut memiliki program persenjataan nuklir, sehingga terdapat kemungkinan adanya perampasan senjata nuklir oleh para actor yang tidak bertanggung jawab seperti terorisme. (Emily Diez, Terrance Clark, and Caroline Zaw-Mon, 2010) Menurut senator Ricard Lugar seorang ketua dari komite hubungan luar negeri Amerika Serikat mengatakan bahwa negara Rusia (bekas Uni Soviet) memiliki persenjataan nuklir terbesar namun system keamanannya paling rendah, sehingga ini 7 dapat memudahkan teroris untuk mendapatkan senjata pemusnah masal tersebut. Pada akhir perang dingin, 80% senjata yang dimiliki Rusia adalah senjata nuklir, senjatasenjata tersebut berada di Ukraina, Belarus, dan Kazakhstan. Rusia memiliki cadangan terbesar di dunia bahan fisil senjata dapat digunakan, termasuk setidaknya 950 metrik ton highly enriched uranium (HEU) dan sekitar 145 ton persenjataan kelas plutonium (plus or minus 30 percent). Sehingga dari jumlah tersebut, Rusia memiliki 350 ton HEU dan 55 ton dimuat di hulu ledak nuklir. (Emily Diez, Terrance Clark, and Caroline Zaw-Mon, 2010) Pakistan adalah negara kedua yang memiliki resiko yang sangat tinggi dalam proliferasi nuklirnya. Negara ini sedang dilanda ketidakstabilan dalam hal politik maupun ekonomi menjadikan negara ini rawan akan lahirnya terorisme nuklir. Di tahun 2004 telah terungkap seorang ilmuwan nuklir asal Pakistan Dr Abdul Qadeer Khan melakukan perdagangan bahan nuklir secara illegal dengan kelompok teroris Al-Qaeda. (Potter, The Four Faces of Nuclear Terrorism, 2004) Menurut data dari ISIS, Pakistan memiliki 55-90 senjata nuklir dan meningkatkan stok HEU dan plutonium. (Security, 2009) Korea Utara tetap menjadi negara yang menjadi perhatian bagi masyarakat internasional. Dengan keberhasilannya mengembangkan senjata nuklir yang ditentang oleh beberapa negara namun tidak menyurutkan negara tersebut dalam perkembangan teknologi persenjataan nuklirnya. Para pakar persenjataan nuklir beranggapan bahwa Korea Utara telah mengembangkan satu atau dua senjata nuklir dan memiliki kemampuan untuk menghasilkan 6-8 lainnya untuk pemrosesan kembali pada stok bahan bakar yang sudah bekas. Korea Utara sudah menjadi negara eksportir utama rudal balistik sejak tahun 1980-an. Belum ada kepastian mengenai data jumlah bahan maupun senjata nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara, namun adanya ketidakstabilan negara tersebut dalam hal ekonomi yang membuat negara tersebut kemungkinan akan terus mengembangkan dan memproduksi rudal balistik dengan jangkauan yang unggul dan kecanggihan untuk menjaga perdagangan dan meningkatkan stabilitas ekonomi. Adanya kekhawatiran dimana Korea Utara melakukan perdagangan persenjataan nuklir dengan kelompok terorisme secara illegal, meskipun sampai saat ini, tidak ada bukti bahwa Korea Utara telah dijual atau mengalihkan bahan plutonium ke negara-negara lain maupun pihak lain, tapi kemungkinan masih menjadi perhatian. (Emily Diez, Terrance Clark, and Caroline Zaw-Mon, 2010) 8 Selain bahan nuklir maupun senjata nuklir yang menjadi incaran para terorisme, pembangkit listrik bertenaga nuklir juga dapat menjadi target operasi terorisme. Terdapat kasus di Ekuador, pada bulan Desember 2002, adanya kasus pencurian bahan radioaktif sebanyak 5 buah dan bahan tersebut diyakini berada di pasar gelap yang mungkin dibeli oleh kelompok terorisme. Selain itu, Agustus 2003, adanya penangkapan 19 orang di Ontario, Kanada atas tuduhan pengahancuran pembangkit listrik bertenaga nuklir di tepi Danau Ontario. (Potter, The Four Faces of Nuclear Terrorism, 2004) Dari beberapa kasus tersebut, terdapat beberapa cara yang mungkin dilakukan terorisme nuklir menurut Ferguson dan Potter yaitu dengan cara pencurian dan peledakan senjata nuklir secara utuh, pencurian atau pembelian bahan radioaktif mentah yang mengarah ke pembuatan senjata peledak nuklir (Improvised Nuclear Device), penyerangan atau sabotase terhadap fasilitas nuklir, seperti pembangkit listrik bertenaga nuklir dan dengan cara memproduksi sendiri bahan radioaktif yang akan dijadikan “Dirty Bomb” atau Radiation Emission Device (RED). (Potter, The Four Faces of Nuclear Terrorism, 2004) IV. Rejim Nuklir Dengan adanya permasalahan nuklir tersebut membuat negara-negara hingga masyarakat internasional menciptakan suatu aturan yang berbentuk traktat, hukum, perjanjian, hingga pada tahap menciptakan sebuah rezim. Rezim dalam hal ini disebut sebagai rezim Non-Proliferasi Nuklir Internasional. NPT merupakan salah satu bentuk rezim Non-Proliferasi Nuklir. Sedangkan KTT Keamanan Nuklir diadakan untuk menegaskan kembali mengenai keseriusan negara-negara yang memiliki bahan maupun persenjataan nuklir dalam hal keamanannya yang didasari oleh rezim NPT yang sebelumnya telah ditetapkan. NPT atau traktat pelarangan penyebaran senjata nuklir ini dipelopori oleh menteri luar negeri Irlandia, Frank Aiken. NPT pertama kali diadakan di London pada tanggal 1 Juli 1968. Perjanjian tersebut berisi 146 poin kesepakatan tentang penggunaan nuklir dan hingga saat ini telah disepakati oleh 191 negara. Hanya ada lima negara saja yang mempunyai senjata nuklir pada awal kesepakatn yakni RRC, Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet (Rusia) dan Perancis. NPT berperan sebagai upaya untuk mecegah penyebaran senjata nuklir ke negara-negara yang belum memiliki teknologi nuklir. (Thakur, 1998) Traktat NPT merupakan perjanjian yang mengikat secara hukum 9 Internasional terhadap negara-negar yang menandatangani atau meratifikasi perjanjian multilateral tersebut dan bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir, mendorong penggunaan energi nuklir secara damai dan pelucutan secara umum dan menyeluruh. (Zaenudin, 1996) Perjanjian NPT ini terdiri dari 11 artikel dengan garis besar mengatur tentang Nonproliferasi nuklir, perlucutan senjata, dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai. (Andreas Hasenclever P. M., 1996) 1. Non-Proliferasi Nuklir Terdapat lima negara yang diperbolehkan memiliki senjata nuklir yaitu Perancis, RRC, Uni Soviet (Rusia), Inggris dan Amerika Serikat. Kelima negara tersebut juga merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Lima negara pemiliki senjata nuklir (Nuclear Weapons Sates/ NWS) ini setuju untuk tidak mentransfer teknologi senjata nuklir maupun hulu ledak nuklir ke negara lain dan negara-negara non-NWS setuju untuk tidak meneliti atau mengembangkan senjata nuklir. 2. Perlucutan Senjata Nuklir Dalam pasal VI dan pada pembukaan perjanjian menerangkan bahwa kelima negara NWS berusaha untuk mencapai rencana pengurangan dan pembekuan senjata simpanan mereka. Dalam pasal VI juga adanya pernyataan “....Perjanjian dalam perlucutan umum dan lengkap di bawah kendali Internasional yang tegas dan efektif.” Dalam Pasal I, negara-negara NWS menyatakan untuk tidak “membujuk negara nonNWS manapun untuk mendapatkan senjata nuklir.” Doktrin serangan pre-emptive dan bentuk ancaman lainnya bisa dianggap sebagai bujukan/godaan oleh negara-negara nonNWS. Dan pada pasal X menyatakan bahwa negara manapun dapat mundur dari perjanjian jika mereka merasakan adanya “hal-hal aneh”, contohnya ancaman yang memaksa mereka keluar. 3. Penggunaan Nuklir Untuk Tujuan Damai Karena sangat sedikit dari negara-negara NWS dan negara-negara pengguna energi nuklir yang mau benar-benar membuang kepemilikan bahan bakar nuklir, pokok ketiga dari perjanjian ini memberikan negara-negara lainnya kemungkinan untuk melakukan hal yang sama, namun dalam kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya tidak mungkin mengembangkan senjata nuklir. 10 Bagi beberapa negara, pokok ketiga perjanjian ini, yang memperbolehkan penambangan uranium dengan alasan bahan bakar, merupakan sebuah keuntungan. Namun perjanjian ini juga memberikan hak pada setiap negara untuk menggunakan tenaga nuklir untuk kepentingan damai, dan karena populernya pembangkit tenaga nuklir yang menggunakan bahan bakar uranium, maka perjanjian ini juga menyatakan bahwa pengembangan uranium maupun perdagangannya di pasar Internasional diperbolehkan. Pengembangan uranium secara damai dapat dianggap sebagai awal pengembangan hulu ledak nuklir, dan ini dapat dilakukan dengan cara keluar dari NPT. Tidak ada negara yang diketahui telah berhasil mengembangkan senjata nuklir secara rahasia, jika dalam pengawasan NPT. NPT merupakan tonggak utama bagi pencegahan senjata nuklir di dunia. Traktat ini telah diratifikasi oleh 191 negara, namun ada beberapa negara yang tidak menandatangani bahkan ada ula yang keluar dari traktat ini. Seperti India dan Pakistan hingga saat ini belum juga bersedia meratifikasi NPT dan Korea Utara merupakan anggota NPT sejak 12 desember 1985 namun negara tersebut keluar dari NPT pada tanggal 10 April 2003. (Goldsmicdht, 2006) International Atomic Energy Agency atau lebih dikenal sebagai IAEA adalah badan yang mengurusi masalah tentang nuklir. Peran utama IAEA adalah untuk membantu perlucutan dan pemusnahan senjata nuklir dari muaka bumi, serta untuk membantu negara-negara di dunia mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai. NPT dibentuk untuk menentukan kerangka aktivitas IAEA di bidang pemanfaatan energi nuklir secara damai oleh negara-negara di dunia dan mencegah perluasan senjata nuklir. IAEA memiliki tiga pilar yang mendasari pelaksanaan kegiatannya sebagaimana dimandatkan oleh Statuta IAEA. Berkaitan dengan hal tersebut, Statuta IAEA menetapkan tiga pilar yaitu: Keselamatan dan Keamanan (Safety and Security), Ilmu dan Teknologi (Scienceand Technology) dan Pengamanan dan Verifikasi (Safeguards and Verification). (IAEA) NPT Review Conference (Konferensi Peninjauan Kembali) diselenggarakan untuk meninjau pengoperasian Traktat NPT. Koonferensi tersebut diadakan lima tahun sekali sejak Traktat NPT mulai berlaku pada tahun 1970. NPT Review Conference diadakan untuk menemukan kesepakatan untuk memperkuat langkah-langkah yang akan diambil yang sesuai dengan Traktat NPT. Dan dengan berkembangnya teknologi seperti sekarang ini, negara-negara dengan mudah mampu mengembangkan teknologi nuklir karena teknologi nuklir memiliki banyak manfaat. Namun tidak dipungkiri bahwa perdagangan teknologi 11 nuklir berupa bahan-bahan nuklir maupun persenjataan nuklir belum dapat dikontrol sepenuhnya oleh NPT. Karena itulah, beberapa negara di dunia ikut dalam Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan Nuklir yang dipelopori oleh Amerika Serikat dalam menyelesaikan permasalahan proliferasi nuklir agar tidak sampai jatuh ke tangan yang salah, khususnya teroris. Karena terorisme merupakan ancaman bagi keamanan dunia. V. Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan Nuklir Awal mula sebelum diselenggarakannya KTT Keamanan Nuklir ini, bermula pada tahun 2009, dimana pada saat itu Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyampaikan pidato di Praha di mana dalam pidatonya ia menyebut bahwa terorisme nuklir merupakan salah satu ancaman terbesar bagi keamanan internasional. Dengan pernyataan tersebut, maka AS memprakarsai KTT Keamanan Nuklir yang pertama dan diselenggarakan di Washington DC pada tahun 2010. (NSS, About The NSS, 2014) KTT Keamanan Nuklir (Nuclear Security Summit) merupakan konferensi tingkat tinggi dunia yang memfokuskan pada keamanan nuklir agar tidak jatuh ke pihak yang tidak bertanggung jawab dan secara umum tujuan dari KTT Keamanan Nuklir adalah mengamankan bahan nuklir dari terorisme nuklir. 47 negara dan 3 organisasi internasional telah berpartisipasi dalam KTT Keamanan Nuklir 2010 yang diselenggarakan pada tanggal 12-13 April 2010. Hasil KTT ini ditetapkan dalam Washington Work Plan yang berisi mengenai bentuk rencana yang konkrit dan Washington Communiquè yang berisi tentang komitmen dan deklarasi dari negaranegara peserta KTT. Isi pokok dari hasil kesepakatan KTT Keamanan Nuklir tahun 2010, terlihat adanya kesepakatan dan rencana kerja tentang bagaimana masing-masing negara peserta dalam mencegah terorisme nuklir secara bersama-sama, bekerja sama dalam pengamanan bahan nuklir, tanggung jawab dalam mengamankan bahan-bahan nuklir di seluruh dunia dan membentuk suatu komunitas internasional untuk meningkatkan keamanan nuklir dunia. (NSS, About The NSS, 2014) KTT Keamanan Nuklir 2012 merupakan konferensi tingkat tinggi kedua yang diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan pada tanggal 26 dan 27 Maret 2012. Dalam KTT ini dihadiri oleh 53 negara dan 4 organisasi internasional. Pada KTT tersebut isuisu utama yang diangkat adalah langkah-langkah untuk memerangi ancaman terorisme nuklir, perlindungan bahan dan fasilitas nuklir, dan pencegahan perdagangan gelap bahan nuklir. (Summit, 2014) Mereka fokus dalam pembahasan tentang isu-isu keamanan nuklir seperti meminimalisasi dan pengelolaan uranium, ratifikasi konvensi 12 keamanan nuklir, informasi penguatan dan keamanan transportasi, peran IAEA, mencegah perdagangan gelap bahan nuklir, sistem pengamanan bahan nuklir, kerjasama dan bantuan internasional mengenai pengamanan bahan nuklir. Selain itu, adanay pembahasan mengenai keamanan radiologi dan keamanan keselamatan nuklir sebagai agenda baru karena dilatarbelakangi oleh tragedi Fukushima pada Maret 2011. Di KTT 2012 juga membahas mengenai perlindungan terhadap “Dirty Bomb” dan sabotase fasilitas nuklir. (Summit, 2014) Dalam Seoul Communiqué telah mengidentifikasi 11 bidang dalam keamanan nuklir serta menjelaskan mengenai tindakan yang perlu dilakukan secara spesifik. 11 bidang tersebut terdiri dari arsitektur keamanan nuklir secara global, peran IAEA, bahan nuklir, sumber-sumber radioaktif, keamanan dan keselamatan nuklir, keamanan transportasi, mencegah perdagangan gelap, badan forensic nuklir, sistem keamanan nuklir, keamanan informasi nuklir, dan kerjasama internasional. KTT Keamanan Nuklir ketiga diselenggarakan di Den Hag, Belanda pada tanggal 24 dan 25 Maret 2014. KTT ini merupakan edisi ketiga dari konferensi tersebut, lanjutan dari KTT Keamanan Nuklir 2012 di Seoul. Tujuan umum dari KTT Keamanan Nuklir 2014 adalah meningkatkan kerja sama internasional dan lebih khususnya menilai kemajuan dari komitmen yang sudah ditetapkan pada KTT sebelumnya di Washington DC dan Seoul serta menreview ketetapan yang belum dapat dicapai dalam empat tahun sebelumnya dan mencari cara untuk mencapai ketetapan tersebut. (NSS, About The NSS, 2014) Dalam acara penutupan KTT Keamanan Nuklir 2014, rancangan The Hague Communique yang telah disusun oleh para Sherpa KTT Keamanan Nuklir berhasil disahkan sebagai outcome dari NSS. Rancangan The Hague Communique terdiri dari komitmen untuk memajukan kerjasama internasional dan memperkuat arsitektur keamanan nuklir internasional (penguatan instrumen hukum, pemajuan peran IAEA, PBB dan inisiatif-inisiatif internasional lain), persetujuan untuk mendorong negara secara sukarela mengambil beberapa langkah yang dapat memperkuat keamanan nuklir dan kesadaran akan pentingnya pengawasan yang lebih baik akan uranium diperkaya tinggi (HEU), mendorong pengawasan yang lebih baik kepada zat radioaktif, peningkatan kemampuan dan peran keselamatan dan industri nuklir serta kesepakatan para pemimpin bahwa KTT Keamanan Nuklir berikutnya akan diadakan di Amerika Serikat tahun 2016. (Indonesia K. L., 2014) 13 Dengan hasil yang telah disepakati dalam KTT Keamanan Nuklir di Den Hag yang dikemas dalam The Hague Communique, negara peserta KTT diharapkan dapat mengimplementasikannya agar tujuan mereka dapat tercapai secara bersama-sama dalam menjaga keamanan internasional dari ancaman nuklir khususnya terorisme nuklir. Keamanan nuklir merupakan tantangan global yang serius yang membutuhkan respon global untuk mengelola ancaman yang muncul. Sistem keamanan nuklir global saat ini adalah perbaikan dalam hal hukum yang inisiatif secara sukarela dan dijadikan sebagai rekomendasi. KTT 2014 di Den Haag akan menjadi tonggak penting bagi proses KTT dan evolusi rezim keamanan nuklir. Berdasarkan keputusan dalam KTT Keamanan Nuklir, maka adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh Negara peserta KTT dalam mencegah terorisme nuklir, yaitu: (Michelle Cann, Kelsey Davenport and Sarah Williams, 2014) 1. Memperkuat Arsitektur Keamanan Nuklir secara Global Dalam memperkuat pondasi keamanan nuklir secara global, peserta KTT Keamanan Nuklir didorong untuk mematuhi Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (CPPNM) dan juga International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism (ICSANT). Negara peserta KTT juga didesak untuk meratifikasi CPPNM ke dalam aturan hukum di masing-masing negara. Peserta KTT akan berusaha untuk menerapkan IAEA Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities (INFCIRC/225/Rev.5) dan merealisasikan Nuclear Security Series ke dalam aturan hukum di wilayah negara peserta. Sesuai dengan dasar dari hasil kesepakatan KTT Keamanan Nuklir 2010, negara peserta didorong untuk bergabung dan bekerjasama dengan Global Initiative to Combat Nuclear Terrorism (GICNT) dan Global Partnership dalam Spread of Weapons and Materials of Mass Destruction. Melihat pentingnya penguatan koordinasi dalam kegiatan keamanan nuklir, maka negara peserta didorong untuk menerapkan aturan yang sudah diusulkan oleh IAEA yaitu menerima kontribusi dari industri, akademisi, lembaga dan masyarakat sipil yang mempromosikan keamanan nuklir. 2. Peran dari IAEA Ditegaskan kembali terkait tanggung jawab dan peran utama IAEA dalam memperkuat kerangka keamanan nuklir internasional dan mengakui nilai Rencana 14 IAEA dalam Keamanan Nuklir 2010-2013. Peserta KTT 2012 akan bekerja untuk memastikan bahwa IAEA terus memiliki struktur yang tepat, sumber daya dan keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan tujuan keamanan nuklir. Untuk tujuan ini, peserta KTT didorong untuk membantu kegiatan IAEA dalam membangun dan meningkatkan infrastruktur keamanan nuklir melalui berbagai program dukungan, dan mendorong negara-negara untuk memanfaatkan sumber daya IAEA. 3. Bahan Nuklir Menyadari bahwa Highly Enriched Uranium (HEU) dipisahkan dari plutonium memerlukan tindakan pencegahan khusus, adanya penekankan kembali pentingnya pengamanan dengan tepat, memperhitungkan dan mengkonsolidasikan bahan-bahan tersebut. Mendorong negara-negara peserta untuk mempertimbangkan tempat penyimpanan yang aman dan tepat, dan konsisten dengan pertimbangan keamanan nasional dan tujuan pembangunan. Mendorong bagi negara peserta untuk mengurangi penggunaan HEU dengan melalui konversi reactor dari HEU menjadi LEU (Low Enriched Uranium). 4. Sumber Radioaktif Dengan mempertimbangkan bahwa sumber radioaktif yang banyak digunakan dan rentan terhadap tindakan yang berbahaya, maka negara peserta didesak untuk mengamankan bahan-bahan tersebut dan diharapkan penggunaan bahan radioaktif digunakan secara damai seperti industri, medis, pertanian dan penelitian. Maka dari itu, peserta KTT Keamanan Nuklir didorong untuk meratifikasi ICSANT yang sesuai dengan IAEA Nuclear Security Series, IAEA Code of Conduct on the Safety and Security of Radioactive Sources dan IAEA Guidance on the Import and Export of Radioactive Sources. Selain itu akan ada upaya nasional dan kerjasama internasional untuk memperbaiki bahan-bahan radioaktif yang rusak maupun hilang karena dicuri dan mengontrol sumber-sumber radioaktif yang tidak terpakai. 5. Keamanan dan Pengamanan Nuklir Mengakui bahwa langkah-langkah keamanan dan langkah-langkah pengamanan memiliki kesamaan tujuan untuk melindungi kehidupan manusia dan lingkungan, ditegaskan kembali bahwa keamanan nuklir dan langkah-langkah 15 keselamatan nuklir harus dirancang, dilaksanakan dan dikelola di fasilitas nuklir dengan cara yang koheren dan sinergis. Dalam hal ini, adanya upaya IAEA untuk memberikan rekomendasi yang relevan pada negara peserta KTT dalam membahas keamanan nuklir dan keselamatan nuklir. 6. Keamanan Transportasi Mengingat pentingnya keamanan teransportasi maka akan dilanjutkan upaya untuk meningkatkan keamanan bahan radioaktif nuklir dan lainnya saat berada di transportasi domestik maupun internasional dan mendorong negara-negara untuk berbagi praktik terbaik dan bekerja sama dalam memperoleh teknologi yang diperlukan untuk tujuan ini. Menyadari pentingnya pertahanan berlapis nasional terhadap kehilangan atau pencurian bahan radioaktif nuklir dan lainnya, adanya dorongan pembentukan manajemen yang efektif dalam persediaan bahan nuklir dan mekanisme pelacakan bahan nuklir. 7. Memberantas Perdagangan Gelap Sangat diperlukannya kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan nasional untuk mencegah, mendeteksi, menanggapi dan menuntut perdagangan nuklir secara ilegal. Maka peserta KTT Keamanan Nuklir diharapkan akan bekerja untuk meningkatkan kemampuan teknis di bidang pemeriksaan nasional dan deteksi bahan radioaktif nuklir dan lainnya di perbatasan. Mencatat bahwa beberapa negara telah lulus undang-undang kontrol ekspor untuk mengatur transfer nuklir, kami mendorong pemanfaatan lebih lanjut dari hukum, intelijen dan alat keuangan untuk secara efektif mengadili pelanggaran, sesuai dan konsisten dengan hukum nasional. Selain itu, mendorong bagi negara-negara untuk berpartisipasi dalam program IAEA mengenai Perdagangan Nuklir Ilegal dan memberikan informasi yang diperlukan berkaitan dengan bahan radioaktif nuklir dan lain di luar kendali regulasi. Negara peserta KTT akan bekerja untuk memperkuat kerjasama antar negara dan mendorong mereka untuk berbagi informasi, sesuai dengan peraturan nasional, pada individu yang terlibat dalam pelanggaran perdagangan bahan radioaktif nuklir dan lainnya, termasuk melalui INTERPOL’s Radiological and Nuclear Terrorism Prevention Unit and the World Customs Organization. 16 8. Nuclear Forensics Forensik nuklir dapat menjadi alat yang efektif dalam menentukan asal terdeteksi nuklir dan bahan radioaktif lainnya dan memberikan bukti untuk penuntutan tindak perdagangan gelap. Dalam hal ini, adanya dorongan bagi negara-negara untuk bekerja dengan satu sama lain, serta dengan IAEA, untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan forensik nuklir. Sehingga pentingnya kerjasama internasional baik dalam teknologi dan pengembangan sumber daya manusia untuk memajukan forensik nuklir. 9. Nuclear Security Culture Menyadari bahwa investasi dalam pengembangan sumber daya manusia sangat penting untuk mempromosikan dan mempertahankan budaya keamanan nuklir yang kuat, maka Negara peserta KTT diharapkan untuk berbagi praktek terbaik dan membangun kemampuan nasional, termasuk melalui kerjasama bilateral dan multilateral. Negara-negara peserta KTT Keamanan NUklir 2012 diharapkan dapat mempromosikan pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan. Selain itu, adanya upaya yang dilakukan oleh IAEA untuk mempromosikan jaringan antara pusat-pusat tersebut untuk berbagi pengalaman dan pelajaran yang diterima dan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia. 10. Keamanan Informasi Pentingnya keamanan informasi untuk mencegah aktor non-negara untuk memperoleh informasi, teknologi atau keahlian yang diperlukan untuk memperoleh atau menggunakan bahan nuklir untuk tujuan jahat, atau untuk mengganggu sistem kontrol berbasis teknologi informasi di fasilitas nuklir. Oleh karena itu negaranegara peserta KTT 2012 didorong untuk: terus mengembangkan dan memperkuat keamanan nasional dalam memanajemenkan informasi yang efektif, termasuk informasi tentang prosedur dan protokol untuk melindungi bahan nuklir dan fasilitas; untuk mendukung proyek-proyek pengembangan kapasitas yang relevan; dan untuk meningkatkan langkah-langkah keamanan cyber mengenai fasilitas nuklir, konsisten dengan IAEA General Conference Resolution on Nuclear Security (GC(55)/Res/10) dan dengan mengingat International Telecommunication Union Resolution 174. Dan juga mendorong negara peserta KTT untuk: mempromosikan 17 budaya keamanan yang menekankan kebutuhan untuk melindungi keamanan informasi terkait nuklir yang melibatkan masyarakat ilmiah, industri dan akademisi. 11. Kerjasama Internasional Kerjasama internasional diharapkan dilakukan oleh semua negara peserta KTT untuk meningkatkan perlindungan fisik mereka dan sistem akuntansi untuk bahan nuklir, kesiapsiagaan darurat dan kemampuan respon dan kerangka hukum dan peraturan yang relevan. Dalam konteks ini, negara peserta KTT mendorong masyarakat internasional untuk meningkatkan kerjasama internasional dan memberikan bantuan kepada negara-negara yang membutuhkan pada tingkat bilateral, regional, maupun multilateral. Secara khusus, IAEA akan terus memimpin upaya untuk membantu negara-negara peserta KTT sesuai dengan permintaan. Ditegaskan kembali perlunya berbagai diplomasi dan pendekatan publik upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang tindakan yang diambil dan kapasitas dibangun untuk mengatasi ancaman terhadap keamanan nuklir, termasuk ancaman terorisme nuklir. VI. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan pada bagian-bagian sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh negara peserta KTT Keamanan Nuklir dalam mencegah ancaman terorisme nuklir yaitu dengan cara memperkuat rejim nuklir (NPT) yang terdiri dari pengurangan jumlah bahan nuklir yang berbahaya di dunia, peningkatkan system keamanan bahan nuklir, dan sumber radioaktif, serta peningkatkan kerjasama internasional dengan organisasi internasional dan negara lain secara bilateral maupun multilateral. Bibliography Sejarah Perkembangan Nuklir di Dunia. (2004). Retrieved November 14, 2014, from Info Nuklir: http://www.infonuklir.com/read/detail/198/sejarah-perkembangan-nuklir-di-dunia. Andreas Hasenclever, P. M. (1996). Interests, Power, Knowledge: The Study of International Regimes. Mershon International Studies Review , 40, 177-228. 18 Andreas Hasenclever, P. M. (1996). Interests, Power, Knowledge: The Study of International Regimes. Mershon International Studies Review , 40, 177-228. Chomsky, N. (2006). Pirates and Emperors: International Terrorism In The Real World. Massachusets: Black Rose Books. Emily Diez, Terrance Clark, and Caroline Zaw-Mon. (2010). Global Risk of Nuclear Terrorism. Scholarcommons , 19. Goldsmicdht, P. (2006). The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation Regime-. 4. Holsti, K. (1988). Politik Internasional, Kerangka Untuk Analisis, Jilid II. . (M. T. Azhari, Trans.) Jakarta : Erlangga Press. IAEA. (n.d.). Statuta IAEA. Retrieved from http://www.nuclearfiles.org/menu/library/treaties/atomicenergyact/trty_atomic-energy-st Indonesia, K. L. (2014). Perkuat Arsitektur Keamanan Nuklir, The Hague Communique Disahkan. http://www.kemlu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=6874&l=id. Indonesia, P. B. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Michael Levi and Graham Allison. (2008). How Likely is a Nuclear Terrorist Attack on the United States? A Discussion. The Intelligencer , 26. Michelle Cann, Kelsey Davenport and Sarah Williams. (2014). The Nuclear Security Summit: Progress Report. Seoul: http://uskoreainstitute.org/wp- content/uploads/2012/01/USKI_NSS2012_Pomper.pdf. Montgomery, E. B. (2009). Nuclear Terrorism: Assessing the Threat, Developing A Response Strategy For The Long Haul. CSBA (Center for Strategic and Budgetary Assessments) , 9. Noam, C. (1991). Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris? Bandung: Mizan Pustaka. NSS. (2014). About The NSS. Retrieved from NSS: https://www.nss2014.com/en/nss-2014/about-thenss NSS. (2014). NSS 2014. Retrieved November 14, 2014, from Nuclear Security Summit: https://www.nss2014.com/en/nss-2014/about-the-nss Olton, J. C. (1999). Kamus Hubungan Internasional. (W. Juanda, Trans.) Bandung:: CV Abardin Press. 19 Potter, C. D. (2004). The Four Faces of Nuclear Terrorism. California, USA: Monterery Institute of International Studies. Potter, C. D. (2004). The Four Faces of Nuclear Terrorism. California: Monetey Institute of International Studies. Security, I. f. (2009). Pakistan Nuclear Overview. Retrieved November 17, 2014, from ISIS: http://www.nti.org/e_research/profiles/Pakistan/Nuclear/index.html. Summit, N. S. (2014). Overview of 2012 Summit. Retrieved from NSS: https://www.nss2014.com/en/nss-2014/about-the-nss Thakur, R. (1998). Keeping Proliferation At Bay. Jakarta: Center for Strategic an International Studies. Wilder, N. (1962). Webster's New School & Office Dictionary. New York: The world publishing company. Wiraatmaja, S. (1996). Pengantar Hubungan Internasional. Bandung: Rafika Adikarya. Zaenudin, D. (1996). Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: Pustaka Jaya. 20