RABIES Asih Rahayu Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Rabies adalah penyakit zoonosis yang membentuk sebagai penyakit akut virus dalam sistem saraf pusat. gejala biasa adalah sebuah sindrom kelumpuhan progresif, dan itu biasanya fatal. Kasus rabies di Indonesia masih cukup tinggi jumlahnya. Dalam dekade terakhir, ada beberapa kasus kematian yang disebabkan oleh Rabies, dan ribu kasus gigitan anjing di beberapa daerah Indonesia seperti: Flores, Ambon dan Bali. Untuk mencegah penyakit dan membawa Indonesia ke negara bebas rabies, berbagai upaya harus diletakkan dan difasilitasi oleh semua pihak terkait. RABIES Asih Rahayu Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Rabies is a zoonosis disease that forms as a viral acute illness in the central nervous system. Its regular symptom is a progressive paralysis syndrome, and it is commonly fatal. The rabies case in Indonesia is still high in number. In the last decades, there are several mortality cases caused by Rabies, and thousand cases of dog’s bite in some Indonesia’s region such as: Flores, Ambon and Bali. To prevent the disease and bring Indonesia to a rabies-free country , many efforts should be put and facilitated by all related parties. Keyword: Rabies,zoonosis. PENDAHULUAN Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang berupa penyakit viral akut pada Susunan Saraf Pusat dengan gejala berupa kelumpuhan progresif serta seringkali berakhir dengan kematian. Penyakit ini ditularkan umumnya melalui gigitan hewan pembawa Rabies. SEJARAH EPIDEMIOLOGI Rabies telah dikenal sejak jaman Raja Hammurabi pada 2300 SM di Babilonia.Di Inggris dikenal sejak tahun 1026. Di Indonesia, kasus Rabies pada kerbau pernah ditemukan oleh Esser di JawaBarat pada tahun 1884 , pada anjing tercatat oleh Penning pada tahun 1889 , dan pada manusia tercatat oleh EV de Haan pada tahun 1894 . Pada kurun waktu 1945-1980 tercatat terjadi Rabies di Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953, di Sulawesi Utara tahun 1956, di Sumatera Selatan tahun 1959, di Lampung tahun 1969,di Aceh tahun 1970, di Jambi dan Yogjakarta tahun 1971, di DKI Jaya dan Bengkulu tahun tahun 1972, di Kalimantan Timur tahun 1974, di Riau tahun 1975, di Kalimantan Tengah tahun 1978, di Kalimantan Selatan pada tahun 1983, di Pulau Flores NTT pada tahun 1977. Kasus gigitan oleh Hewan Pembawa Rabies di Indonesia akhir – akhir ini semakin marak. Bahkan di Bali dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini terjadi banyak kasus gigitan oleh Anjing penderita Rabies. Berikut adalah sebagian kasus Rabies yang terjadi di Indonesia dalam dasawarsa akhir ini: Menurut Kabag P2P Dinkes Banjar drg. Yasna Khairina, sepanjang tahun 2005 dilaporkan terjadi 27 kasus gigitan anjing tersangka Rabies, namun berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium hanya 8 diantaranya yang positif Rabies sedangkan pada tahun 2006 tercatat 13 kasus gigitan anjing tersangka Rabies dan hanya 2 diantaranya yang positif Rabies ( Banjarkab.go.id, 2006). Pada tahun 2000 di Palangkaraya dilaporkan terdapat tujuh belas kematian karena Rabies dalan kurun waktu delapan bulan. Pada kurun waktu antara tahun 2000 sampai 2003, di Ngada – Flores tercatat limapuluh enam kematian akibat Rabies dan seribu sembilanratus limabelas kasus gigitan anjing. Pada awal tahun 2003 hingga 25 September 2003 di Ambon tercatat duabelas kematian dan sekitar limaratus kasus gigitan anjing. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Manggarai Barat, IG Ngurah Harijaya dalam laporan tertulisnya yang di terima di Kupang, Rabu 6 februari 2008 menyebutkan bahwa dalam empat pecan terakhir terjadi 13 kasus gigitan dan satu diantaranya meninggal dunia. Sementara jumlah kasus sejak tahun 1977 mencapai lebih dari 8.300 dengan korban tewas terbanyak berasal dari Kabupaten Ngada 1 yakni 60 orang, Flores Timur 28 orang, Sikka 17 orang, Manggarai dan Manggarai Barat 17 orang, Ende 8 orang dan Lembata 2 orang. Pemerintah Propinsi NTT menyebutkan jumlah kasus Rabies dalam 10 tahun terakhir mencapai 620 kasus dengan jumlah korban tewas 132 orang. (Tempointeraktif.com, 2008). Di Jawa Barat pada tahun 2005 tidak terdapat penderita Rabies dari 427 kasus gigitan, 200 diantaranya mendapat VAR (Vaksin Anti Rabies), tetapi terdapat 2 spesimen hewan positif Rabies dilaporkan dari Kabupaten Garut. Pada tahun 2006 terdapat 2 orang meninggal akibat Rabies masing – masing dari Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya diantara 453 kasus gigitan di Jawa Barat, 334 diantaranya mendapat VAR, terdapat pula 2 spesimen hewan positif dari Kabupaten Tasikmalaya dan Garut. Tahun 2007 terdapat 1 orang meninggal akibat Rabies dari Kabupaten Ciamis diantara 528 kasus gigitan di Jawa Barat, 331 diantaranya mendapat VAR, tidak ada laporan hasil pemeriksaan specimen hewan penular Rabies. Pada tahun 2008 ( sampai dengan April 2008) dilaporkan 1 orang meningga akibat Rabies dari Kabupaten Cianjur diantara 52 kasus gigitan di Jawa Barat, 41 diantaranya mendapat VAR , dan belum ada laporan pemeriksaan specimen hewan penular Rabies. ( Patriawati B & Rosemary F, 2008) Kasus Rabies terjadi di Kampung Ka kelurahan Wali Kecamatan Ruteng Kabupaten Manggarai pada Balita yang digigit anjing pada 13 Juni 2009 dan berakhir dengan kematian pada 17 September 2009. (PosKupang.com 17 September 2009). Di Bali pada kurun waktu akhir 2008 hingga 23 September 2009 terjadi kematian akibat Rabies sejumlah 11 orang. Dengan kejadian Rabies yang makin marak di beberapa wilayah Indonesia akhir – akhir ini, penulis berusaha memberikan informasi secara lengkap mengenai Rabies sehingga dapat lebih dimengerti dan diwaspadai serta dapat diambil tindakan secara tepat apabila terjadi kasus Rabies. ETIOLOGI Rabies disebut juga Lyssa, Tollwut atau Penyakit Anjing gila. Penyebabnya adalah virus Rabies yang merupakan Virion dengan genome RNA . Berdasarkan struktur genom dan model replikasinya Rabies diklasifikasikan famili Rhabdoviridae ( dalam bahasa Yunani, rhabdo berarti batang) dalam ordo Mononegavirales yang merupakan kelompok famili dengan genom linear negative ssRNA. Rhabdoviridae dikenal sebagai virus berbentuk peluru dengan salah satu ujungnya datar. Ukurannya berkisar 170-180 nm x 65-75 nm dengan Berat molekul 3,5-4,6 x 106 Dalton atau 13-16 kb.Virion atau virus ini terdiri dari nucleocapsid helix dan envelope yang tersusun atas 50% protein (Glikoprotein = Protein -G) dan 50% lipid. Virus ini bereplikasi pada Sitoplasma sel. (Joklik et al, 1992) EPIDEMIOLOGI : Sembilan puluh persen kasus Rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan anjing. Anjing dan kucing merupakan sumber penularan Rabies yang paling penting, karena dua jenis hewan inilah yang paling dikenal sebagai pet animal sehingga kedua hewan ini pula yang paling sering kontak dengan manusia. Semua mamalia pada dasarnya peka terhadap infeksi virus Rabies tetapi terdapat urutan kepekaan dari berbagai species dari mamalia. Mamalia yang paling peka dan seringkali merupakan kasus rabies spontan adalah golongan anjing misalnya anjing domestikasi (anjing peliharaan), anjing hutan, serigala dan rubah. Beberapa species lain digolongkan ke dalam kepekaan sedang yaitu raccoon, sigung dan kelelawar vampire. Sedangkan yang kurang kepekaannya adalah golongan tupai. Manusia umumnya tertular karena gigitan hewan penderita Rabies , karena virus Rabies akan berada dalam kelenjar ludah hewan yang terinfeksi sekitar lima sampai tujuh hari sebelum gejala klinis terlihat. Terdapat dua bentuk epizootic Rabies yaitu urban rabies yang terjadi pada jenis mamalia pet animal dan sylvatic rabies yang terjadi pada jenis mamalia liar . Kepekaan terhadap infeksi rabies dan masa inkubasinya tergantung pada latar belakang genetic dari host, strain virus Rabies, konsentrasi receptor virus pada sel host, jumlah inokulum, serta jarak antara tempat masuknya virus ke sel host dengan central nervous system. 2 PORT DE’ENTRY DAN PATOGENESA Penularan Rabies pada manusia umumnya melalui luka gigitan hewan penderita Rabies , walaupun dapat juga terjadi melalui kulit yang lecet akibat cakaran hewan penderita Rabies. Virus rabies yang ada pada ludah penderita rabies akan masuk ke host melalui luka. Replikasi awal Virion ini terjadi pada jaringan otot bergaris atau jaringan subepithel dan akan berlangsung terus hingga konsentrasi virus mencapai maksimal yang berakhir sampai ujung saraf yang sensitive atau sampai ke neuron. Virus Rabies ini rupanya mengikat diri pada receptor cel berupa Ach-receptor ( Acetylcholine esterase) pada sel neuron sampai ke daerah axon.Pada fase berikutnya terjadi perpindahan infeksi pasif asam inti virus secara centripetal di dalam axon menuju ke Central Nervus system. Daerah pertama yang dicapai pada masa perpindahan ini adalah sumsum tulang dan segera mengadakan replikasi. Apabila hasil dari replikasi ini semakin banyak pada sel saraf , maka akan terjadi kerusakan sistim saraf terutama sistim saraf perifer. Perubahan perilaku dapat terjadi pada fase ini, hal ini kemungkinan karena terjadi kerusakan sel saraf akibat replikasi virus yang sangat banyak sehingga terjadi pula kerusakan pada sel saraf / cortex yang mengatur perilaku. Hal ini pula yang dikatakan sebagai ciri spesifik dari infeksi virus Rabies. Pada Central Nervus System juga terjadi infeksi oleh virus Rabies ini, sehingga kemungkinan dapat terjadi depresi, coma bahkan kematian. Selain itu , pada saat yang sama juga terjadi replikasi virus Rabies yang sangat banyak pada sistim saraf perifer, virus ini bergerak secara centrifugal di dalam sistim saraf perifer dan berjalan secara pasif lagi di dalam axon. (Rantam FA,2005) GEJALA KLINIS Pada hewan ataupun manusia, masa inkubasi rabies umumnya panjang berkisar dari sekitar satu minggu hingga lebih dari satu tahun semenjak masuknya virus Rabies, umumnya sekitar satu bulan. Pada intinya masa inkubasi tergantung dari jarak lokasi gigitan dengan Central Nervous system, semakin jauh lokasi port d’entry dari virus Rabies ini dari otak maka semakin lama masa inkubasinya. Pada hewan , khususnya anjing, gejala klinis dapat dikategorikan dalam beberapa fase yaitu fase prodromal yang berupa demam dan terjadi perubahan perilaku, selanjutnya memasuki fase eksitasi berupa kegelisahan, respons yang berlebihan terhadap suara ataupun cahaya dan anjing cenderung menggigit. Fase berikutnya adalah paralitik yang ditandai dengan kejang, dysphagia, hydrophobia, hypersalivasi, kelumpuhan otot termasuk otot pernafasan dan diakhiri dengan kematian. Beberapa literature mengatakan Rabies terdiri dari dua bentuk yaitu dumb rabies dan furious rabies. Pada dumb rabies umumnya terjadi gangguan menelan, bersembunyi dan jarang menggigit, selanjutnya dalam kurun waktu sekitar empat hari akan terjadi paralisa progresif yang berakhir dengan kematian. Bentuk ini umumnya jarang menular ke manusia. Sebaliknya pada bentuk furious umumnya terlihat gejala umum misalnya menurunnya nafsu makan, gelisah, bersembunyi, sensitive dan agresif , menyerang segala sesuatu yang berada disekitarnya, kejang – kejang yang berakibat dysphagia, hydrophobia, hypersalivasi , selanjutnya terjadi paralisa dan kematian. Bentuk furious ini yang biasanya menular ke manusia akibat gigitan hewan penderita. (Soeharsono,2002) Pada manusia , Fase prodromal berlangsung pendek sekitar dua sampai empat hari yang ditandai dengan malaise, anorexia, sakit kepala, nausea, vomit, sakit tenggorokan dan demam. Selanjutnya memasuki fase sensorik yang berupa terjadinya sensasi abnormal di sekitar tempat infeksi yang kemudian berlanjut ke fase exitasi berupa ketegangan, ketakutan, hyperlacrimasi, dilatasi pupil, keringat berlebihan, halusinasi, kaku otot, keinginan melawan, dysphagia sehingga hypersalivasi dan hydrophobia. Kematian biasanya diakibatkan karena paralisa otot pernafasan. DIAGNOSIS : Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan observasi laboratorium berupa pembuatan preparat jaringan otak hewan yang menggigit dengan pewarnaan Seller, untuk menemukan inclusion bodies / Negri bodies yang terdapat terutama pada medulla spinalis. Cara lain adalah dengan imunofluoresensi langsung dengan menggunakan serum anti rabies hamster. 3 TINDAKAN : Pada hewan yang menggigit dan dicurigai menderita rabies harus dikarantina selama dua minggu. Apabila terjadi kematian perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan Negri bodies dengan cara mengirim hipocampusnya ke BPPH yang mempunyai fasilitas mendiagnosis rabies. Apabila tidak terjadi kematian maka hewan tersebut dinyatakan bebas rabies. Pada manusia yang tergigit hewan di daerah tertular rabies perlu diwaspadai . Luka gigitan harus sesegera mungkin dicuci dengan detergent selama 5 – 10 menit di bawah air yang mengalir sebagai upaya untuk merusak envelope dari virus rabies. Selanjutnya diberi alcohol 70% atau iodium tincture. Luka sebaiknya tidak dijahit, bila harus dijahit maka dilakukan setelah diberi local antiserum dan jahitan tidak boleh terlalu erat sehingga menghalangi pendarahan atau drainase. (Depkes RI,2000) Pencegahan imunologis terhadap rabies pada manusia adalah dengan memberikan Human Rabies Immunoglobulin (HRIG) secepat mungkin setelah terpajan untuk menetralisir virus pada luka gigitan, dengan dosis tunggal 20IU/kg BB, setengahnya diinjeksikan ke dalam dan di sekitar luka dan setengahnya diberikan IM. Selanjutnya diberikan vaksin pada tempat yang berbeda untuk mendapatkan imunitas aktif dengan HDCV atau RVA dalam 5 dosis 0,5 atau 1,0 cc IM pada daerah deltoid. Dosis pertama diberikan segera setelah gigitan (pada saat yang sama diberikan dosis tunggal HRIG) dan dosis selanjutnya pada hari ke 3, 7, 14 dan 28 setelah dosis pertama. ( Chin,J. 2006) PENCEGAHAN Perlu dilakukan imunisasi dengan vaksin rabies pada hewan peliharaan yang peka terutama pada anjing , kucing dan kera. Perlu pelaporan kepada dinas yang terkait apabila terjadi kasus gigitan hewan tersangka rabies atau di wilayah terpapar rabies. Imunisasi prapajanan terhadap orang yang berisiko tinggi terkena rabies mungkin perlu dilakukan dengan HDCV (Human diploid cell rabies vaccine), RVA (rabies vaccine adsorbed) atau PCBC (purified chick embryo cell vaccine) misalnya pada orang – orang yang bekerja sebagai dokter hewan, petugas suaka alam pada daerah anzootik atau epizootic, petugas karantina hewan, petugas laboratorium atau petugas lapangan yang bekerja dengan rabies atau wisatawan yang berkunjung dalam waktu lama pada daerah endemis rabies. SARAN Dengan masih banyaknya ditemukan kasus Rabies di wilayah Indonesia maka: Perlu dilakukan kerjasama yang lebih baik antar dinas yang terkait yaitu Pemberantasan Rabies pada hewan menjadi tanggung jawab Departemen Pertanian , Penanggulangan Rabies pada manusia menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan dan Koordinasi data pembebasan Rabies menjadi taggung jawab Departemen Dalam Negeri. Perlu melaksanakan kegiatan pembebasan Rabies secara terpadu dibawah koordinasi Pemerintah Daerah yang meliputi : Melakukan pencegahan kematian akibat Rabies dengan penanganan kasus gigitan hewan penular Rabies secara benar dengan cara meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam tatalaksana kasus gigitan hewan penualr Rabies . Melakukan penyuluhan secara berkala kepada masyarakat perlu dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat agar lebih memperhatikan hal – hal yang dapat memicu terjadinya Rabies diantaranya memperhatikan dan mengawasi kesehatan hewan peliharaan terutama anjing , kucing dan kera dengan cara secara teratur melakukan vaksinasi Rabies dan tidak membiarkan hewan peliharaannya berkeliaran. Pemerintah melalui Dinas Peternakan perlu menggalakkan kembali program vaksinasi murah ataupun gratis terhadap hewan peliharaan anjing, kucing dan kera. DAFTAR PUSTAKA : CHIN J.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.Infomedika.Edisi 17,cetakan II, 497507. DEPKES RI, DIRJEN PPM & PL. 2000.Petunjuk Perencanaan & Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hwean Tersangka /Rabies di Indonesia. JOKLIK WK, WILLET HP, AMOS DB, WILFERT CM. 1992. Zinsser Microbiology.20thEd.1028-1033. PATRIAWATI B dan ROSEMARY F, 2008.Rabies. 4 WWW.portalkomunikasi.jabarprov.go.id, Senin 21 Juli 2008. RANTAM FA. 2005.Virologi.167-168 SOEHARSONO.2002.Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia.Penerbit Kanisius Yogyakarta, 115-121. WWW.Kompas.co.id .September 2003 WWW.Pos-Kupang.com .17 September 2009 WWW.tempointeraktif.com. 2008. Rabies Kembali Mengganas di Flores. Rabu 06 Pebruari 2008. WWW.banjarkab.go.id, 2006. Ditemukan 2 Kasus Rabies.Rabu 13 Desember 2006. 5 OSTEOARTRITIS Inawati Departemen Patologi Anatomi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Osteoartritis adalah jenis artritis yang paling sering didapatkan. Osteoartritis disebabkan oleh kerusakan dan hilangnya tulang rawan dari satu atau lebih sendi. Di sebut juga penyakit sendi degenerative atau osteoartrosis. Di bedakan osteoarthritis primer dan sekunder. Gejala yang menonjol adalah adanya nyeri sendi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keterbatasan dalam pergerakan, krepitasi dan pembengkakan sendi. Pada pemeriksaan dengan X-ray menunjukan hilangnya ruang sendi atau bisa juga nampak taji (bony spurs). Pengobatannya meliputi medikamentosa, perubahan gaya hidup, terapi fisik, pemakaian alat penyangga sendi dan pembedahan. OSTEOARTHRITIS Inawati Department of Anatomical Pathology Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Osteoarthritis is a type of arthritis that most often obtained. Osteoarthritis is caused by damage and loss of cartilage of one or more joints. Also called degenerative joint disease or osteoarthritis. To differentiate primary and secondary osteoarthritis. Prominent symptom is the presence of joint pain. On physical examination found limitations in movement, krepitasi and swelling of joints. On examination with X-ray showed loss of joint space or spurs may also appear (Bony spurs). Treatment includes medical, lifestyle changes, physical therapy, the use of joint brace and surgery. Definisi Osteoartritis adalah jenis arthritis yang disebabkan oleh kerusakan dan hilangnya tulang rawan dari satu atau lebih sendi. Tulang rawan adalah substansi protein yang berfungsi sebagai bantal antara tulang-tulang pada persendian. Osteoartritis juga dikenal sebagai artritis degeneratif. Di antara lebih dari 100 jenis yang berbeda dari arthritis, osteoarthritis adalah yang paling umum, yang mempengaruhi lebih dari 20 juta orang di Amerika Serikat. Osteoarthritis lebih sering terjadi saat kita bertambah usia. Sebelum usia 45 tahun, osteoartritis lebih sering terjadi pada laki-laki. Setelah 55 tahun, osteorhtritis lebih sering terjadi pada wanita. Di Amerika Serikat, semua ras muncul sama banyak. Sebuah kejadian osteoartritis ada yang lebih tinggi pada populasi Jepang, sementara orang kulit hitam Afrika Selatan, India Timur, dan Selatan Cina memiliki tingkat yang lebih rendah. Osteoartritis umumnya mempengaruhi tangan, kaki , tulang belakang , dan sendi yang menahan beban besar, seperti pinggul dan lutut. Kebanyakan kasus osteoartritis tidak diketahui penyebabnya dan disebut sebagai osteoarthritis primer. Ketika penyebab osteoartritis diketahui, kondisi ini disebut sebagai osteoarthritis sekunder.. Osteoartritis sering disingkat OA. Nama Lain Osteoartritis disebut juga: Hipertrofik osteoartritis; Osteoarthrosis; penyakit sendi degenerative (PSD); DJD (Degenerative Joint Disease), OA; Arthritis - osteoarthritis Penyebab Pada osteoartritis, bantalan (tulang rawan) antara tulang akan menipis dalam sendi. Jika osteoartritis semakin memburuk, tulang rawan hilang dan menggosok tulang pada tulang. Tulang tumbuh taji (bony spurs) atau biasanya membentuk sekitar sendi. Ligamen dan mengendurkan otot di sekitar sendi dan menjadi lemah. Seringkali, penyebab OA tidak diketahui. Hal ini terutama berkaitan dengan penuaan, tetapi faktor lain juga dapat menyebabkan OA. Osteoarthritis cenderung menurun dalam keluarga untuk 6 Kelebihan berat badan meningkatkan risiko Fraktur atau cedera sendi lainnya bisa menyebabkan osteoartritis di kemudian hari Pemakaian sendi berlebihan jangka panjang di tempat kerja atau dalam olahraga dapat menyebabkan osteoarthritis kondisi medis yang dapat menyebabkan osteoarthritis meliputi: Gangguan pendarahan yang menyebabkan pendarahan pada sendi, seperti hemofilia Gangguan yang menghambat pasokan darah dekat persendian, seperti nekrosis avascular Jenis lain arthritis, seperti gout kronis, pseudogout , atau rheumatoid arthritis Gejala-gejala osteoarthritis meliputi: Nyeri sendi yang semakin buruk setelah latihan atau meletakkan beban di atasnya, dan hilang dengan istirahat Rasa sakit yang lebih buruk ketika memulai aktivitas setelah jangka waktu tidak ada aktivitas Seiring waktu, nyeri hadir bahkan ketika sedang istirahat Krepitasi dari sendi dengan gerakan Rasa nyeri meningkat saat cuaca lembab atau basah Sendi mengalami pembengkakan Gerakan Terbatas Kelemahan otot sekitar sendiyang mengalami artritis Beberapa orang mungkin tidak memiliki gejala. Pemeriksaan dan Tes Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan: Gerakan sendi dapat menyebabkan krepitasi (kisi) suara Pembengkakan sendi (tulang di sekitar sendi mungkin merasa lebih besar dari biasanya) Gerakan sendi menjadi terbatas Pelunakan ketika sendi ditekan Gerakan normal sering menimbulkan rasa nyeri Tidak ada tes darah yang membantu dalam mendiagnosis osteoarthritis. Pemeriksan x-ray dari sendi yang terkena akan menunjukkan hilangnya ruang sendi. Dalam kasus lanjut, akan nampak tulang taji.(bony spurs) Pengobatan Tujuan pengobatan adalah untuk: Gejala Meningkatkan kekuatan sendi Memelihara atau meningkatkan gerakan sendi Mengurangi keterbatasan akibat penyakit Mengurangi rasa nyeri Pengobatan ini tergantung pada sendi yang terlibat. 1. Medikamentosa Penghilang rasa sakit bisa membantu dengan gejala.. Kebanyakan dokter merekomendasikan acetaminophen (Tylenol), karena memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat lain. Jika rasa sakit Anda berlanjut, dokter mungkin merekomendasikan obat anti-inflammatory (NSAIDs). Obat ini membantu meredakan nyeri dan bengkak. Jenis NSAID termasuk aspirin, ibuprofen dan naproxen. Namun, penggunaan jangka panjang NSAID dapat menyebabkan masalah perut, seperti ulkus dan pendarahan. Obat ini juga dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke. Obat resep, Celebrex (a COX-2 inhibitor) dapat bekerja seperti NSAID lainnya. Karena risiko serangan jantung dan stroke, itu hanya diberikan pada dosis terendah untuk periode waktu yang sesingkat mungkin. 7 Kortikosteroid disuntikkan langsung ke sendi juga dapat digunakan untuk mengurangi pembengkakan dan nyeri.. Namun, bantuan hanya berlangsung untuk waktu yang singkat. mengobati osteoarthritis. Jika terapi tidak membuat pasien merasa lebih baik setelah 3 6 minggu, maka kemungkinan tidak akan bekerja sama sekali. Banyak orang menggunakan obat seperti glucosamine dan chondroitin sulfat. Ada beberapa bukti bahwa suplemen ini dapat membantu mengontrol rasa nyeri, meskipun mereka tampaknya tidak tumbuh tulang rawan baru. Beberapa dokter menyarankan masa percobaan 3 bulan untuk melihat apakah glukosamin dan kondroitin kerja. ALAT PENYANGGA SENDI (splints dan braces) Krim kulit Capsaicin (Zostrix) dapat membantu mengurangi rasa nyeri. Pasien mungkin merasakan sensasi, hangat menyengat ketika pertama kali memakai krim. Sensasi ini hilang setelah beberapa hari penggunaan. Rasa nyeri akan mulai berkurang dalam waktu 1 - 2 minggu. Cairan sendi buatan Buatan bersama (Synvisc, Hyalgan) dapat disuntikkan ke lutut. Ini mungkin menghilangkan rasa sakit selama 3 6 bulan. Splints dan kawat penyangga kadang-kadang dapat mendukung sendi yang lemah. Some prevent the joint from moving; others allow some movement. Beberapa mencegah sendi dari pergerakan; lain memungkinkan beberapa gerakan. Pasien harus menggunakan alat penyangga hanya bila dokter atau terapis merekomendasikan. Menggunakan penjepit dengan cara yang salah dapat menyebabkan kerusakan sendi, kekakuan, dan rasa sakit. BEDAH Kasus yang parah dari osteoarthritis mungkin memerlukan pembedahan untuk mengganti sendi yang rusak atau perbaikan. Pilihan Bedah mencakup: PERUBAHAN GAYA HIDUP Latihan membantu menjaga gerakan sendi dan keseluruhan. Latihan air, seperti berenang, sangat membantu. Rekomendasi gaya hidup lainnya termasuk: Menerapkan panas dan dingin Makan makanan yang sehat dan seimbang Istirahat Menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan Melindungi sendi Orang-orang yang pekerjaannya menyebabkan stres pada persendian tertentu harus mencari cara untuk mengurangi trauma. Mungkin perlu menyesuaikan area kerja atau tugas-tugas perubahan kerja. TERAPI FISIK Terapi fisik dapat membantu meningkatkan kekuatan otot dan gerakan pada sendi kaku. Terapis memiliki banyak teknik untuk Operasi arthroskopi untuk memangkas robek dan tulang rawan yang rusak Mengganti alignment tulang untuk menghilangkan stress pada tulang atau sendi (osteotomy) Bedah fusi tulang, biasanya di tulang belakang ( arthrodesis ) Penggantian parsial atau total sendi yang rusak dengan sendi buatan (arthroplasti lutut , arthroplasti pinggul) Prognosis Gerakan penderita mungkin menjadi sangat terbatas. Pengobatan umumnya meningkatkan fungsi. Kemungkinan Komplikasi Efek samping obat yang digunakan untuk pengobatan Penurunan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti kebersihan pribadi, pekerjaan rumah tangga, atau memasak 8 Berkurangnya kemampuan untuk berjalan Komplikasi pembedahan Pencegahan Berat badan dapat mengurangi risiko osteoartritis lutut pada wanita gemuk. 9 Daftar Pustaka http://arthritis.about.com/od/oa/Osteoarthri tis_Causes_Diagnosis_Symptoms_Treatmen t Gregory PJ, Sperry M, Wilson AF. Gregory PJ, M Sperry, AF Wilson. Dietary supplements for osteoarthritis. Am Fam Physician. Hunter DJ. Hunter DJ. In the clinic: Osteoarthritis. Ann Intern Med . 2007;147(3):ITC8-1-ITC8-16. 2008;77:177184. <http://www.arthritis.org/conditions/Fact_She ets/OA_Fact_Sheet.asp> <http://www.arthritis.org/conditions/Fact_She ets/OA_Fact_Sheet.asp> "Disease Center - Osteoarthritis." Arthritis Foundation.. 3 May 2007 <http://www.arthritis.org/conditions/diseasece nter/OA/oa_overview.asp> Sources: Sumber: http://www.emedicinehealth.com/osteoarthritis /article_em.htm http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/osteoart hritis.html Osteoarthritis of KneeTreatment Options, Latest Advances. Trustworthy, Current Report.www.kneeosteoarthritis-info.com http://www.niams.nih.gov/Funding/Funded_R esearch/Osteoarthritis_Initiative/default.asp. "Osteoarthritis." American College of Rheumatology.. June 2006.. 3 May 2007 <http://www.rheumatology.org/public/factshee ts/oa_new.asp?aud=pat> National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS) Information Clearinghouse National Institutes of Health Website: http://www.niams.nih.gov "Osteoarthritis Fact Sheet." "Osteoartritis LI." Arthritis Foundation. Arthritis Foundation.. 2005. 3 May 2007 http://www.arthritis.org 10 http://nihseniorhealth.gov/osteoarthritis/whatis osteoarthritis/02.html Klippel, John H., et al., eds. Primer on the Rheumatic Diseases . Klippel, John H., et al., Eds New York: Springer and Arthritis Foundation, 2008. Ruddy, Shaun, et al., eds. Kelley's Textbook of Rheumatology , 6th ed. Ruddy, Shaun, et al., Eds.'s Textbook Kelley dari Rematologi, 6th ed. Philadelphia: Saunders, 2001. Philadelphia: Saunders, 2001. //www.medicinenet.com/osteoarthritis/articl e.htm From Wikipedia, the free encyclopedia Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas. 11 D1 SIKLIN EKSPRESI PROTEIN DALAM MELANOMA GANAS DAN NEVI MELANOCYTIC Lusiani Tjandra Departemen Farmasi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Latar Belakang: Melanoma adalah bentuk kanker kulit yang memiliki perilaku agresif dan ketahanan terhadap terapi konvensional. Perilaku yang tidak biasa ini mencerminkan proses karsinogenesis yang unik yang melibatkan beberapa mutasi kromosom dan genom yang mengatur proliferasi dan proses apoptosis. Yang bermutasi gen yang paling umum di tumor ganas siklin D1. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan memainkan peranan penting dalam karsinogenesis melanoma dari ekspresi gen. Metode: blok parafin pasien melanoma dari Departemen patologis dikumpulkan dari periode Juli 2007 sampai Juni 2008. Lima kasus Nevi melanocytic ditambahkan sebagai kelompok kontrol. blok kemudian dipotong dengan mikrotom, ditempatkan pada slide mikroskopik yang diwarnai dengan antibodi monoklonal terhadap siklin D1 masing-masing. Hasil: spesimen melanoma menunjukkan 80% kasus positif untuk siklin D1. Data kemudian dianalisis secara statistik Mann Whitney dan hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna dalam ekspresi siklin D1 (p = 0.013; p <0,05) pada melanoma ganas dibandingkan dengan nevus melanocytic. Kesimpulan: D1 siklin bermain peranan penting dalam karsinogenesis melanoma menyarankan bahwa ada satu gen supresor tumor yang telah bermutasi dalam sel melanoma. Kata kunci: melanoma ganas, siklin D1. CYCLIN D1 PROTEIN EXPRESSION IN MALIGNANT MELANOMA AND MELANOCYTIC NEVI Lusiani Tjandra Farmasi Department Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Background: Melanoma is the form of skin cancer that has an aggressive behavior and resistance to conventional therapy. These unusual behaviors reflecting its unique carcinogenesis process which involve several mutations in chromosomes and genome that regulate proliferation and apoptotic process. The most common mutated genes in malignant tumors cyclin D1. The object of this study is to determine play an important role in melanoma carcinogenesis of the expression of these genes. Methods: block paraffin of melanoma patients from Pathologic Department were collected from the period of July 2007 until June 2008. Five cases of melanocytic nevi were added as a control groups. The block then cut by microtome, placed on microscopic slides which stained with monoclonal antibody against cyclin D1 respectively. Results: melanoma specimen show 80% cases positive for cyclin D1. The data then statistically analyzed Mann Whitney and the result shows that there were significance difference in expression of cyclin D1 ( p = 0,013 ; p < 0,05 ) in malignant melanoma compared with melanocytic nevus. Conclusions: cyclin D1 play an important role in melanoma carcinogenesis suggesting that there was another tumor suppressor genes that was mutated in melanoma cells. Keywords: malignant melanoma, cyclin D1. PENDAHULUAN Melanoma maligna merupakan tumor ganas sel melanosit dengan pertumbuhan agresif dan resisten terhadap terapi. Sel melanosit merupakan sel normal yang terdapat pada lapisan basal epidermis kulit. Sel ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari paparan sinar matahari terutama sinar UV yang dapat merusak komposisi DNA sel normal. Paparan sinar ultraviolet B serta terjadinya mutasi gen yang berperan dalam proliferasi dan apoptosis sel, dapat meningkatkan pertumbuhan sel melanosit dan menghasilkan tumor, baik tumor jinak yang disebut nevus melanositik atau tumor ganas yang dikenal sebagai melanoma maligna. Sampai saat ini peran cyclin D1 pada melanoma maligna belum dapat dijelaskan. Melanoma maligna merupakan tumor ganas kulit yang paling banyak menimbulkan kematian di Amerika Serikat dan Eropa 12 (Ugurel, 2009). Di Australia, insiden dan mortalitas masih terus meningkat. Di Indonesia menurut data histopatologis, kanker kulit merupakan kanker ketiga tersering dan melanoma maligna menyebabkan 1% sampai 2% dari semua kematian akibat kanker (Harahap, 2000 ; Djuanda, 1999). Proses berkembangnya sel melanosit menjadi nevus ataupun melanoma maligna terjadi melalui banyak tahapan dan melibatkan banyak perubahan pada gen maupun kromosom. Penelitian dengan teknik Comparative genomic Hybridization pada melanoma telah mengidentifikasi beberapa perubahan kromosom baik berupa penambahan maupun pengurangan jumlah nukleotida pada melanoma maligna dibandingkan dengan sel melanosit maupun nevus melanositik. Perubahan tersebut melibatkan mutasi berbagai macam gen yang berperan pada karsinogenesis melanoma maligna (Bastian, 1998). Pola pertumbuhan melanoma yang agresif dan resisten terhadap terapi konvensional berkaitan dengan proses karsinogenesis tumor. Proses karsinogenesis melanoma melibatkan mutasi beberapa gen yang berfungsi sebagai gen pengatur pertumbuhan sel (cyclin D1). Mutasi pada gen tersebut akan menghasilkan pertumbuhan neoplastik sel melanosit baik berupa neoplasma jinak (nevus melanositik) maupun neoplasma ganas (melanoma maligna). Pemahaman karsinogenesis melanoma diperlukan untuk mengungkap perilaku biologi tumor serta cara untuk menghambat pertumbuhan tumor. Walaupun sudah banyak diiteliti tetapi karsinogenesis melanoma masih belum dapat diungkap secara menyeluruh. . Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada peningkatan yang bermakna dari ekspresi protein cyclin D1 pada melanoma maligna dibanding dengan nevus melanositik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam terapi melanoma maligna. BAHAN DAN CARA KERJA A.Sampel penelitian Kasus melanoma dari 1 Juli 2007 sampai dengan 31 Juli 2008 di Instalasi Patologi Anatomi RSU Dr. Soetomo sebanyak 26 kasus, yang memenuhi kriteria inkusi dan eksklusi penelitian sebanyak 10 kasus dan 5 kasus nevus melanositik sebagai pembanding. Rancangan penelitian ini adalah eksplanatori dan jenis penelitian adalah observasional analitik. B.Pemeriksaan Immunohistokimia Ekspresi protein cyclin D1 merupakan jumlah sel tumor dengan sitoplasma berwarna merah (pada pemeriksaan imunohistokimia) dan dihitung dari 100 sel tumor. Pada setiap kasus diberikan skor berdasarkan hasil penghitungan jumlah sel tumor yang memberikan reaksi positif dan negatif terhadap antibodi Cyclin D dengan ketentuan (Burnworth, 2006) : Skor 0 = inti sel tumor tidak terwarnai atau berwarna < 5% Skor +1 = inti sel tumor terwarnai antara 5 - 20 % Skor +2 = inti sel tumor terwarnai antara 20 - 50 % Skor +3 = inti sel tumor terwarnai > 50 % HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN Hasil pemeriksaan immunohistokimia sel tumor yang mengekspresikan protein cyclin D1 pada melanoma maligna dan nevus melanositik. Pemeriksaan jumlah sel tumor yang mengekspresikan protein cyclin D1 pada melanoma maligna dilakukan dengan teknik immunohistokimia Biotin Streptavidin Amplified. Satu sampel diamati dan dihitung jumlah sel tumor yang mengekspresikan protein cyclin D1 dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x. diamati pada seluruh lapang pandang dan dihitung jumlah sel tumor yang memberikan reaksi positif dan negatif terhadap antibodimonoklonal cyclin D1. Hasil perhitungan kemudian dihitung persentase dan diberi skor, hasil dapat dilihat pada gambar 1 13 Ekspresi cyclin D1 pada Nevus dan Melanoma 6 Negatif 4 Positif 1 2 Positif 2 0 Positif 3 Nevus Melanoma Gambar 1: Ekspresi cyclin D1 pada nevus dan melanoma Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat 10 kasus melanoma maligna didapatkan 8 kasus dengan ekspresi cyclin D1 positif dan 2 kasus negatif dengan rincian : Positif 20 – 50% (skor 2) sebanyak : 5 kasus, Positif ≥ 50% (skor 3) : sebanyak :3 kasus. Sedangkan untuk kasus nevus : tidak didapatkan kasus positif (semua negatif). Gambar 2 : Fotomikroskopi Melanoma maligna dengan pewarnaan antibodi anti cyclin D1 ; 400 X Tampak kelompok sel tumor yang memberikan reaksi positif dengan sitoplasma berwarna merah 14 Pengujian peningkatan ekspresi protein cyclin D1 pada melanoma maligna dibandingkan nevus melanositik. Dari hasil analisis statistika dengan mengunakan uji Mann Whitney didapatkan peningkatan yang bermakna pada melanoma maligna dibandingkan dengan nevus melanositik ( p = 0,013 ; p < 0,05 ). DISKUSI Jumlah kasus melanoma dari 1 Juli 2007 sampai dengan 31 Juli 2008 di Instalasi Patologi Anatomi RSU Dr. Soetomo sebanyak 26 kasus. Dari 26 kasus, 10 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan digunakan dalam penelitian ini, sedangkan untuk nevus melanositik diambil 5 kasus sebagai pembanding. Kriteria pemilihan kasus nevus adalah proliferasi sel yang mengandung pigmen melanin dan secara jelas menunjukkan perilaku jinak pada gambaran histologi (nevus intradermal). Sampel penelitian melanoma terdiri dari 7 orang penderita wanita dan 3 orang penderita pria dengan rentang usia antara 28 – 80 tahun. Menurut literatur melanoma maligna dapat menyerang semua umur dengan insiden paling banyak pada usia di atas 40 tahun, tanpa adanya predileksi jenis kelamin (Harahap, 2000). Lokasi melanoma yang sering ditemukan (7 dari 10 kasus) adalah melanoma pada daerah telapak kaki dan jari kaki (acral melanoma). Melanoma jenis ini faktor paparan sinar matahari kurang berperan dalam proses terjadinya tumor, karena telapak kaki relatif terlindung dari sinar matahari. Dua kasus yang lain adalah penderita wanita dengan melanoma pada daerah perineum / vulva dan kulit abdomen yang juga terlindung dari sinar matahari, hanya satu penderita melanoma di kulit regio cruris dimana paparan sinar matahari ikut berperan pada proses karsinogenesis. Gambaran mikroskopis penderita melanoma maligna di RSU Dr. Soetomo Surabaya adalah semua kasus menunjukkan sel melanosit anaplastik yang menghasilkan pigmen dan tidak didapatkan kasus amelanotik melanoma. Derajad invasi tumor semuanya tergolong Clark level 5 dengan kedalaman invasi tumor menurut Breslow pada level 4 serta pertumbuhan tumor secara vertikal (Vertical Growth Phase). Tidak ditemukannya kasus melanoma tahap awal disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tenaga medis dan masyarakat akan gejala melanoma secara dini. Gejala melanoma awal serupa dengan lesi kulit lain yang berpigmen seperti nevus melanositik, nevus biru (blue nevus) serta pigmented basal cell carcinoma sedangkan melanoma amelanotik dapat memberikan gejala yang serupa dengan pyogenic granuloma, hemangioma atau basal cell carcinoma (Paek, 2008). Ditemukannya kasus melanoma pada stadium lanjut disebabkan oleh jenis pertumbuhan melanoma yang termasuk pola pertumbuhan vertikal (Vertical Growth Phase) sehingga tumor dapat melakukan invasi pada struktur kulit bagian bawah dalam waktu singkat, tanpa atau belum melakukan penyebaran secara horisontal. Hal ini berbeda dengan kasus yang ditemukan di negara barat dimana sebagian besar berupa melanoma dengan penyebaran superfisial (Superficial Spreading Melanoma) yang menunjukkan pola penyebaran secara horisontal. Berkembangnya sel melanosit menjadi nevus melanositik dan melanoma maligna yang tumbuh secara vertikal melalui beberapa tahapan. Mutasi paling awal ditemukan pada gen NRAS dan BRAF yang tergolong dalam jalur MAP kinase. Mutasi ini menyebabkan sel melanosit berproliferasi dan membentuk nevus melanositik. Proliferasi sel nevus bersifat terbatas dimana pada suatu titik tertentu akan berhenti karena sel mengalami senescence. Proses senescence dipengaruhi oleh gen p16INK4a yang merupakan tumor supresor gen, yang berperan dalam jalur gen retinoblastoma (Rb). Tahap berikut dalam terjadinya melanoma adalah 15 Nevus displastik yang memiliki kemampuan menghindar dari proses senescence. Proses terjadinya nevus displatik melibatkan mutasi pada gen p16INK4a dan CDK4 yang berperan dalam jalur Rb. Kedua gen ini dikenal sebagai gen susceptibilitas melanoma. Aktivasi telomerase pada nevus displastik menghasilkan perubahan menjadi melanoma dengan pertumbuhan radial / horisontal yang menghasilkan sel melanosit imortal (dapat berproliferasi terus tanpa mengalami proses senescence) akan tetapi pertumbuhan sel tumor masih bergantung pada sel keratinosit di sekitarnya. Tahap akhir dari progresi melanoma adalah melanoma dengan pola pertumbuhan vertikal yang bersifat invasif dan tidak bergantung pada keratinosit. Proses ini melibatkan mutasi pada jalur penghambat apoptosis. (Ha Linan, 2008; Bennet C Dorothy 2003). Ekspresi protein cyclin D1 pada melanoma maligna Melanoma maligna kulit dapat terjadi di semua tempat, pada lokasi yang terpapar oleh sinar matahari maupun lokasi yang tertutup. Distribusi anatomis melanoma kulit dipengaruhi oleh variasi etnis (Pathak, 1982). Ras kaukasia dengan warna kulit terang, melanoma didapatkan pada tubuh dan ekstremitas yang berhubungan dengan paparan sinar matahari (Elwood, 1998). Tipe histologis yang paling banyak adalah melanoma dengan penyebaran superfisial. Sebaliknya pada ras nonkaukasian insiden melanoma sangat rendah dan sebagian melanoma timbul pada tempat yang terlindung dari sinar matahari seperti telapak kaki dan telapak tangan yang tergolong sebagai acral melanoma dengan tipe histologis berupa nodular melanoma (Ishihara, 2001). Proses perkembangan awal melanoma melibatkan jalur MAP kinase, dimana gen yang sering mengalami mutasi adalah NRAS dan BRAF. Mutasi kedua gen ini ternyata sedikit ditemukan pada acral melanoma. Pada acral melanoma perubahan gen yang didapatkan adalah amplifikasi gen cyclin D1 yang merupakan efektor downstream dari jalur MAPK (Takata, 2005). Amplifikasi gen cyclin D1 didapatkan pada 50% kasus acral melanoma (Sauter, 2002). Pada penelitian ini didapatkan ekspresi protein cyclin D1 pada 8 dari 10 kasus melanoma (80%) sedangkan untuk nevus melanositik tidak didapatkan satu sampel dengan ekspresi cyclin D1 yang positif. Deteksi ekspresi protein cyclin D1 pada melanoma maligna menggunakan teknik imunohistokimia dilaporkan oleh Burnwoth yang telah mendapatkan hasil positif pada 25 dari 31 kasus melanoma maligna (80,65%) (Burnwoth, 2006), tidak berbeda jauh dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa cyclin D1 merupakan gen yang banyak mengalami mutasi pada acral melanoma. Penelitian Takata juga menunjukkan bahwa pada acral melanoma terjadi aktivasi jalur MAP kinase tanpa mutasi NRAS maupun BRAF.seperti yang terjadi pada melanoma uvea. Penelitian dengan menggunakan tehnik hibridisasi genomik komparatif menunjukkan bahwa sebagian besar acral melanoma menunjukkan amplifikasi pada kromsom 11q13 yang sesuai dengan gen cyclin D1 (Bastian, 2000). Analisis statistik menunjukkan peningkatan yang bermakna ekspresi protein cyclin D1 pada melanoma dibandingkan dengan nevus (p = 0,013 ; p < 0,05 ). Stefanaki mendapatkan peningkatan bermakna dari ekspresi berbagai gen yang meliputi cyclin D1, Ki-67, p53, p21 dan Rb pada melanoma dibandingkan dengan nevus melanositik. Peningkatan ekspresi cyclin D1 memicu terjadinya siklus sel, progresi tumor serta menurunkan survival pada penderita melanoma. Menurut penelitian Bachmann 2005, ekspresi Cyclin D1 banyak didapatkan pada acral melanoma yang memiliki pertumbuhan vertikal dan terbukti memiliki hubungan yang kuat dengan jalur Rb dan p16. Hal ini menunjukkan bahwa jalur p16-Rb memainkan peran penting dalam 16 progresi tumor pada melanoma pertumbuhan vertikal dibandingkan dengan mutasi p53 (Bachmann 2005). Curtin 2005 menunjukkan perubahan genetik yang berbeda pada 4 kelompok melanoma yang terdiri dari : melanoma kulit dengan kerusakan kronis oleh sinar matahari, melanoma kulit tanpa kerusakan kronis oleh sinar matahari, melanoma kulit dari telapak tangan dan kaki yang tidak terpapar oleh sinar matahari (acral melanoma) serta melanoma pada mukosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didapatkan perubahan genetik yang berbeda pada berbagai kelompok melanoma dengan gen CDK4 dan cyclin D1 sebagai onkogen independen tanpa adanya mutasi dari gen NRAS atau BRAF (Curtin, 2005). PENUTUP Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa didapatkan peningkatan yang bermakna ekspresi protein cyclin D1 pada melanoma maligna dibanding dengan nevus melanositik yang menunjukkan bahwa cyclin D1 sangat berperan pada karsinogenesis melanoma. Daftar Pustaka Bachmann IM, 2005. Melanoma : Role of cell cycle regulator alterations in nodular melanomas determined . Life Science Weekly 22 : 1046-1059. Bastian C Boris, LeBoit E Phillip, Hamm Henning, Brocker Eva-Bettina and Pinkel Dan, 1998. Chromosomal Gains and Losses in Primary Cutaneous Melanomas Detected by Comparative Genomic Hybridization. Cancer Research 58 : 2170-2175. Bennett C Dorothy, 2003. Human melanocyte senescence and melanoma susceptibility genes, Oncogene 22: 3063-3069. Burnworth B, Popp S, Stark H-J, Steinkraus V, Brocker EB, 2006. Gain of 11q/ cyclin D1 overexpression is an essential early step in skin cancer development and causes abnormal tissue organization and differentiation. Oncogene 25.Iss32 : 4399-4412. Curtin J.A, Fridlyand J, Kageshita, 2005. Distinct sets of genetic alterations in melanoma. N Engl J Med 353 (20): 2135-2147. Djarwanto, 2007 : Statistik Nonparametrik Edisi 4, Yogyakarta. 3035, 75-80. Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti, 1999 : Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin Edisi 3, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 221-223. Elwood J.M, Gallagher R.P,1998, Body site distribution of cutaneous malignant melanoma in relationship to patterns of sun exposure, Int J Cancer 78: 276-280 Ewanowich C, Brynes KR, Mederiors LJ, 2001. Cyclin D1 expression in dysplastic nevi : An immunohistochemical study. Archives of Pathology & Lab Med 125. Iss.2 : 208 –210. Georgieva J, Sinha P, Schadendorf D, 2001. Expression of cyclins and cyclin dependent kinases in human benign and malingnant melanocytic lesions. J Clin Path 54, Iss. 3 : 229 – 235. Goldstein, Beth G, 2001,Practical Dermatology, Mosby-Year Book, 146154. Ha Linan, Merlino Glenn, and Sviderskaya V Elena, 2008. Melanomagenesis : Overcoming the Barrier of Melanocyte Senescence, Cell Cycle, Juli I; 7(13); 1944-1948. Harahap M, 2000. Ilmu Penyakit Kulit, Hipokrates. Jakarta, 228-235 Ishihara K, Saida T, Yamamoto A, 2001, Updated statistical data for malignant melanoma in Japan. Int J Clin Oncol 6 : 109-116. Key Marc, 2006. Immunohistochemical Straining Methods, Fourth Edition, DAKO, 1 – 23, 47 – 53. Kumar V, Abbas AK, Fauston N, 2005. Robbins and Cotran : Pathologic Basis of Disease, 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders, 269-342;.1227-1271. Paek SC, Sober AJ, Tsao H, 2008, Cutaneous melanoma in : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K editor, Fitzpatricks 17 Dermatologyin general medicine 7th ed New York: Mc Grow Hill, p 1134-1157. Panka J David, Atkins B Michael and Mier W James, 2006: Targeting the Mitogen-Activated Protein Kinase Pathway in the Treatment of malignant Melanoma, Clin Cancer Res; 12(7 Suppl)April 1,2006:p 2371s-2375s. Pathak D.R, Samet J.M, Howord C.A, Key C.R, 1982,Malignant Melanoma of the skin in New Mexico 1969-1977. Cancer 50; 1440-1446. Rosai I, 2004. Rosai and Ackerman’s: Surgical Pathology, 9 th ed St louis, Missouri: Mosby, p 154-176. Sauter ER, Takemoto R, Litwin S, Herlyn M, 2002. p53 alone or in combination with antisense cyclin D1 induces apoptosis and reduces tumor size in human melanoma. Cancer Gene Therapy 9: 807 –812. Senderowicz M Adrian, 2003. Novel direct and indirect cyclin-dependent kinase modulators for the prevention and treatment of human neoplasms. Cancer Chemother Pharmacol 52 (Suppl 1); S61-S73. Stefanaki, 2008, G1 cell cycle regulators in congenital melanocytic nevi. Comparison with acquired nevi and melanoma.Journal of Cutaneous Pathology35(9): 799-808. Takata Minoru, Goto Yasufumi, Ichii Nami, Yamaura Maki, Murata Hiroshi, Koga Hiroshi, Fujimoto Akihide, and Saida Toshiaki, 2005. Constitutive Activation of the Mitogen-Activated Protein Kinase Signaling Pathway in Acralmelanomas, J InvestvDermatol 125: 318-322. Takata M, Saida T, 2005. Early cancers of the skin : clinical, histopathological, and molecular characteristics. Int J Clin Oncol 10 : 391 – 397. Ugurel Selma, Utikal Jochen, and Becker C Jurgen, 2009. Tumor Biomarkers in Melanoma, Cancer Control Juli, 16 (3), 219 – 224. 18 PERANAN TNF, IL-1, DAN IL-6 PADA RESPON IMUN TERHADAP PROTOZOA Kartika Ishartadiati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak: Salah satu reaksi awal dari hospes terhadap infeksi parasit protozoa adalah mensekresi serangkaian sitokin yang poten termasuk tumor necrosis factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), dan interleukin 6 (IL-6). Aktivitas bersama dari sitokin-sitokin ini menyebabkan demam, leukositosis, dan produksi dari protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP). Respon-respon awal ini berperan secara nyata terhadap hasil akhir infeksi dengan cara mempengaruhi perjalanan infeksi secara langsung dan mengatur respon imun spesifik terhadap parasit. Kata kunci: protozoa, IL-1, IL-6, TNF ROLE OF TNF, IL-1, AND IL-6 IN PROTOZOA IMMUNE RESPONSE AGAINST Kartika Ishartadiati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract: One of the initial reaction of the host of the protozoan parasite infection is to secrete a series of potent cytokines including tumor necrosis factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), and interleukin 6 (IL-6). Joint activity of these cytokines cause fever, leukocytosis, and production of acute phase proteins like C-reactive protein (CRP). These early responses contribute significantly towards the end result of infection by affecting travel directly infection and regulate specific immune response against the parasite. Key words: protozoa, IL-1, IL-6, TNF Pendahuluan Sitokin adalah mediator (berupa protein atau glikoprotein dengan berat molekul 8-80kDa) yang dihasilkan oleh sel dalam reaksi radang atau imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antara selsel untuk membentuk jaringan komunikasi dalam respon imun. Sitokin tersebut mempengaruhi peradangan dan imunitas melalui pengaturan pertumbuhan, mobilitas dan diferensiasi lekosit dan sel-sel jenis lain. Sitokin dapat bersifat autokrin atau berefek pada sel yang menghasilkannya maupun parakrin atau bekerja pada sel yang berdekatan. Sitokin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik pada membran sel , memulai kaskade yang menyebabkan induksi, dan peningkatan atau penghambatan berbagai respon imun. Sitokin hampir tidak pernah diproduksi atau bekerja sendirian, tetapi selalu dalam suatu jaringan kerja yang kompleks. Yang termasuk dalam sitokin adalah berbagai interleukin (IL-1, IL-2, dan seterusnya), interferon (IFN α, β, dan γ), faktor nekrosis tumor (tumour necrosis factor, TNF), faktor perangsang koloni (colony stimulating factor, CSF), faktor pertumbuhan (growth factor), dan khemokin (sitokin khemotaktik), dll. Berbagai macam interaksi antar-sitokin, adalah (1) sinergistik atau antagonistik, beberapa sitokin bekerja secara sinergistik atau secara antagonistik terhadap suatu aktivitas tertentu; (2) induksi atau inhibisi, beberapa sitokin dapat menginduksi atau menghambat produksi sitokin yang lain, dalam suatu bentuk sinergi atau antagonisme berurutan (efek kaskade); (3) regulasi ekspresi reseptor, beberapa sitokin meregulasi ekspresi reseptornya sendiri maupun reseptor sitokin yang lain (Samik & Madarina, 2002). Hampir semua proses peradangan mengakibatkan aktivasi makrofag jaringan dan infiltrasi monosit darah. Aktivasi menyebabkan banyak perubahan-perubahan dalam sel, di antaranya adalah produksi TNF, IL-1, dan 19 IL-6, sitokin-sitokin yang meyebabkan efek multipel pada hospes. Efek-efek ini meliputi (1) induksi demam, (2) respon fase akut hepatik, yang disertai lekositosis dan produksi protein fase akut seperti CRP, dan (3) diferensiasi dan/atau aktivasi dari sel T, sel B dan makrofagmakrofag (Tabel 1). TNF, IL-1, dan IL-6 adalah hasil dari gen-gen berbeda yang menyandikan protein-protein non homolog dan mengikat reseptor-reseptor berbeda, walaupun ada tumpang tindih pada sumber seluler dan aktifitas biologi dari ketiga sitokin tersebut. TNF dan IL- 1 dapat menginduksi biosintesis mereka sendiri, dan satu dengan yang lain serta IL-6, dan ketiganya sering bekerja secara sinergistik. Misalnya IL-1 dan IL-6 bersinergi dalam induksi dari aktivasi sel T. Banyak efek dari TNF, IL-1, dan IL-6 (Tabel 1) yang memungkinkan hospes kebal terhadap suatu patogen. Demam dapat meningkatkan respon imun terhadap suatu patogen, sebab responrespon tertentu meningkat pada temperatur sekitar 2ºC di atas normal; pengaktifan IL-1 dari limfosit dan respon antibodi adalah contohnya. Sebagai tambahan, respon demam menggambarkan sebuah mekanisme pertahanan hospes, sebab-contohnyatahap perkembangan tertentu dari parasit malaria akan rusak pada peningkatan temperatur (Titus et al., 1991). TNF, IL-1, dan IL-6 merangsang hati untuk mensintesis dan melepas sejumlah protein plasma yang disebut protein fase akut seperti CRP yang dapat meningkat 1000 kali. CRP dikenal bertindak sebagai opsonin yang membantu melenyapkan patogen. Pengukuran CRP berguna untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. Secara keseluruhan, respon fase akut memberikan efek yang menguntungkan melalui peningkatan resistensi hospes, mengurangi cidera jaringan dan meningkatkan resolusi dan perbaikan cidera inflamasi (Baratawidjaja, 2006). Aktivasi dari sel T, sel B, dan makrofag oleh TNF, IL-1 atau IL-6 dapat meningkatkan sel T spesifik dan respon antibodi terhadap patogen dan mempercepat pelenyapan patogen yang dicerna oleh makrofag. Bagaimanapun, meskipun setiap sitokin ini dapat melindungi hospes yang terinfeksi, produksi yang berlebihan dapat meningkatkan patologi dan dapat menyebabkan kematian hospes. Ini terutama ditandai dengan produksi berlebih dari TNF. Beberapa contoh yang paling jelas dari efek ’pedang bermata dua’ dapat dilihat dari analisis respon imun terhadap patogen protozoa (Titus et al., 1991). Tabel 1. Sebagian daftar dari sumber seluler dan aktivitas biologi dari TNF, IL-1 dan IL-6 TNF IL-1 IL-6 Sumber Makrof Makrofa Makrofag ag g Sel T Sel T Keratinos Sel B Sel NK it Sel endotel Sel Sel epitel endotel Fibroblas Sel dendritik Sel NK Fibroblas Induksi Ya Ya (+++) Ya (+) demam (++) Induksi Ya Ya Ya protein fase akut Induksi TNF Ya Ya Tidak Induksi IL-1 Ya Ya Tidak Induksi IL-6 Ya Ya Tidak Diferensiasi/a Ya Ya Ya ktivasi sel T/B atau makrofag (Baratawidjaja, 2006; Detrick et al., 2008; Titus, 1991) Tumor Necrosis Factor TNF merupakan sitokin utama pada respons inflamasi akut. Infeksi yang berat dapat memicu produksi TNF dalam 20 jumlah besar yang menimbulkan reaksi sistemik. TNF disebut TNF-α atas dasar historis dan untuk membedakannya dari TNF-β atau limfotoksin (Baratawidjaja, 2006). TNF-α dan –β secara struktur berhubungan, mengikat reseptor seluler yang sama, dan menghasilkan perubahan biologi yang mirip pada berbagai sel. TNF-α diproduksi oleh neutrofil, limfosit yang diaktifkan, makrofag sel NK, dan beberapa sel non limfoid seperti astrosit, sel endotel dan sel otot polos, sementara TNF-β nampaknya hanya diproduksi oleh sel T (Detrick et al., 2008). LPS merupakan rangsangan poten untuk mensekresi TNF. IFN-γ yang diproduksi oleh sel T dan sel NK juga merangsang makrofag antara lain meningkatkan sintesis TNF. Pada kadar rendah, TNF bekerja terhadap leukosit dan endotel, menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF berperan dalam inflamasi sistemik. Pada kadar tinggi, TNF menimbulkan kelainan patologik syok septik. TNF antara lain : memiliki efek biologik Pengerahan neutrofil dan monosit ke tempat infeksi serta mengaktifkan sel-sel tersebut untuk menyingkirkan mikroba. Memacu ekspresi molekul adhesi sel endotel vaskular terhadap leukosit. Merangsang makrofag mensekresi kemokin dan menginduksi kemotaksis dan pengerahan leukosit. Merangsang fagosit mononuklear untuk mensekresi IL-1 dengan efek seperti TNF. Merangsang hipotalamus yang menginduksi panas dan oleh karena itu disebut pirogen endogen. Panas ditimbulkan atas pengaruh prostaglandin yang diproduksi sel hipotalamus yang dirangsang TNF dan IL-1. Inhibitor sintesis prostaglandin seperti aspirin, menurunkan panas. TNF seperti halnya dengan IL-1 dan IL-6 meningkatkan sintesis protein serum tertentu oleh hepatosit (Baratawidjaja, 2006). TNF memegang peran penting pada malaria dan Ian Clark mencatat bahwa ”efek samping yang diamati pada penderita kanker yang mendapat infus TNF rekombinan sangat mirip dengan klinis malaria”. Di antara efek samping ini adalah demam, kekakuan, sakit kepala, myalgia, mual-muntah dan trombositopenia. Sebagai tambahan, level serum TNF sering berkaitan dengan keparahan penyakit (Titus et al., 1991). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-α yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-α, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral (Chen et al., 2006). Jadi, apakah TNF menguntungkan atau merugikan pada hospes yang terinfeksi malaria? Jawabannya tidak sederhana. Walaupun pada kondisi tertentu TNF dapat melindungi, tetapi produksi yang berlebih dari TNF merusak hospes dan berperan pada patologi penyakit. Sebagai contoh, TNF telah diketahui menghambat ketahanan parasit malaria rodent, dan meningkatkan pembunuhan neutrofil manusia dari Plasmodium falciparum. Sebaliknya, injeksi TNF pada tikus dengan parasitemia rendah dari P. vinckei, dengan cepat (4-8 jam sesudah injeksi) menyebabkan banyak ciri patologis dari stadium akhir infeksi (ketika parasitemia 70-80%). Pada malaria serebral juga, TNF sebagian besar bertanggung-jawab terhadap patologi penyakit. Ketika tikus yang rentan CBA/Ca diinfeksi dengan P. berghei ANKA, terjadi akumulasi sel-sel mononuklear darah dalam kapiler otak yang dikelilingi oleh daerah perdarahan. 21 Keadaan ini menyerupai malaria serebral pada manusia, yang dapat dicegah dengan injeksi antibodi neutralizing anti-mouse TNF, sebuah regimen kombinasi dari anti IL-3 dan antibodi anti-granulocytemonocyte colony-stimulating factor (GMCSF) atau antibodi anti-gamma-interferon (IFN-γ). Hasil ini diinterpretasikan sebagai, pertama, antibodi anti-TNF bertindak secara langsung mencegah efek merusak dari TNF; kedua, antibodi anti IL-3 ditambah anti-GM-CSF mencegah multiplikasi dan akumulasi fagosit mononuklear pada kapiler otak, dan ketiga, antibodi anti IFN-γ mencegah aktivasi fagosit mononuklear dan selanjutnya mencegah pelepasan TNF. Pada pasien dengan malaria falciparum, ada korelasi langsung antara level serum TNF dan kematian. Selain itu, penelitian pada anak-anak Gambian yang terinfeksi P. falciparum, level serum TNF diperiksa pada pasien malaria tanpa komplikasi dan pasien dengan malaria serebral. Level serum TNF meningkat pada semua anak, tetapi tertinggi pada pasien malaria serebral yang kemudian meninggal, intermediet pada pasien malaria serebral yang tidak meninggal, dan terendah pada pasien malaria tanpa komplikasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa level serum TNF dapat digunakan untuk memprediksi keparahan malaria falciparum, meskipun fakta menunjukkan bahwa TNF yang diproduksi oleh monosit pada lesi otak lebih berperan dalam patologi serebral daripada TNF dalam serum. Stimulasi makrofag murine in vitro, dengan antigen larut dan stabil terhadap panas dari P. yoelii atau P. berghei menyebabkan sekresi TNF dan demikian pula injeksi antigen yang sama pada tikus menyebabkan sekresi TNF in vivo. Antigen analog dari parasit P. falciparum manusia juga menginduksi sekresi TNF oleh monosit darah manusia dan kultur eritrosit P. falciparum menginduksi sekresi TNF oleh sel mononuklear manusia, dengan angka peningkatan yang paling tajam dari sekresi terjadi segera setelah skizon ruptur (Titus et al., 1991). Banyak bukti mengarah pada glycosylphosphatidylinositol dari Plasmodium sebagai faktor patogenik penting dalam kemampuannya menginduksi TNF-α dan IL-1 (Angulo et al., 2002). Gejala khas malaria terjadi pada saat skizon ruptur, di mana toksin parasit menyebabkan sel hospes melepaskan sitokin, seperti TNF. TNF mungkin sebagian yang paling bertanggung-jawab terhadap demam yang terjadi setelah skizon ruptur pada pasien malaria, sebab demam pada malaria akut dapat berkurang dengan antibodi anti-TNF (Biggs et al., 2001). Demam mungkin adalah mekanisme pertahanan, sebab ketika kulur eritrosit P. falciparum dikenai suhu 40ºC (suhu yang sering dijumpai pada pasien malaria), parasit pada separuh pertama lingkaran pertumbuhan (cincintropozoit) bertumbuh hampir sebaik parasit pada suhu 37ºC, tetapi parasit pada separuh kedua dari siklus (tropozoitskizoncincin) menghasilkan skizon piknotik dan cincin yang lebih sedikit. Jadi, ketika demam meningkat pada pasien malaria, parasitparasit yang tidak dalam tahap cincintropozoit terbunuh, dan sisa parasit melanjutkan siklus pertumbuhan. Fenomena ini dapat ditiru in vitro; pada kultur eritrosit asinkron dari P. falciparum di mana suhu diatur antara 37ºC dan 40ºC pada hari berikutnya, parasit menjadi sinkron (pada suhu 37ºC didominasi cincin, pada suhu 40ºC didominasi tropozoit). Seperti perannya pada malaria, TNF dapat menguntungkan dan merugikan pada tripanosomiasis, tergantung pada level TNF yang diproduksi selama infeksi. Level TNF yang tinggi dideteksi dalam serum tikus yang terinfeksi Trypanosoma cruzi yang dihadapkan dengan lipopolisakarida dan TNF diketahui menghambat replikasi T. Cruzi dalam makrofag in vitro, tetapi, ketika tikus yang terinfeksi T. Cruzi diberi 22 TNF, hewan mati lebih cepat daripada hewan kontrol yang tidak diberi TNF. dengan penurunan BB, demam, dan anemia yang semuanya adalah tanda dari cachexia yang diinduksi TNF. Kelinci-kelinci yang diinfeksi T. brucei brucei mengalami sindrom cachexia berat yang ditandai oleh hipertrigliseridemia (akumulasi dari very low density lipoprotein dalam plasma) (Titus et al., 1991) . Cachexia hampir pasti karena TNF, sebab cachectin dan TNF diidentifikasi sebagai molekul yang sama, yang sekarang dikenal sebagai TNF-α (Detrick et al., 2008). Hipertrigliseridemia yang diamati pada kelinci-kelinci yang diinfeksi T. brucei brucei dapat pula diperantarai TNF, sebab TNF dapat menghambat enzim lipoprotein lipase (Detrick et al., 2008; Titus et al.,1991), tetapi pemikiran yang lain adalah bahwa hipertrigliseridemia karena peningkatan produksi lipoprotein hepatik. Menariknya, lipogenesis hepatik distimulasi oleh IL-6 dan TNF diketahui menginduksi IL-6 (Kishimoto, 2003; Titus et al., 1991). TNF telah diketahui memainkan peran perlindungan pada percobaan leshmaniasis cutaneous murine. Injeksi TNF pada tikus terbukti menguntungkan, sementara pemberian antibodi anti-TNF pada tikus memperburuk penyakit. Selain itu, secara genetik tikus yang resisten memproduksi TNF saat terinfeksi Leishmania major, sedangkan tikus yang rentan tidak memproduksi TNF saat terinfeksi Leishmania major. TNF mengaktifkan makrofag, in vitro, menghancurkan L. major intraseluler dan mungkin ini adalah mekanisme TNF untuk melindungi tikus dari infeksi L. major. Makrofag murine yang terinfeksi baik L. major maupun L. donovani melepaskan TNF, kemudian makrofag yang tidak terinfeksi juga, saat diaktifkan dengan lipopolisakarida. Level TNF meningkat pada serum pasien leishmaniasis visceral, dan dengan keberhasilan pengobatan akan turun dengan cepat. Tidak jelas apakah TNF melindungi pasien-pasien ini, karena – sebagai contoh aktivasi makrofag- tercatat bahwa leishmaniasis visceral dikaitkan 23 Tabel 2. Peran TNF pada malaria, tripanosomiasis dan leishmaniasis Penyakit Hal yang mungkin penting pada penyakit Malaria Diproduksi untuk merespon infeksi malaria, berkaitan dengan keparahan penyakit dan hipoglikemia Dapat melindungi tikus dari infeksi dan meningkatkan pembunuhan parasit Berperan penting pada malaria serebral dan patologi yang berkaitan Diinduksi oleh antigen parasit yang larut dan tahan panas dan eritrosit yang terinfeksi parasit Menyebabkan demam yang merupakan perlindungan hospes Menghambat erythropoiesis Menyebabkan aborsi Tripanosomiasis Diproduksi sebagai respon terhadap infeksi, dapat melindungi bila produksinya tidak berlebihan Leishmaniasis Diproduksi sebagai respon terhadap infeksi, dapat memberi perlindungan pada leishmaniasis cutaneous kemungkinan melalui kemampuannya mengaktifkan makrofag untuk membunuh Leishmania hilangnya respon-respon sel T. Tetapi, Interleukin 1 makrofag dari tikus yang terinfeksi T. cruzi tidak dapat dibedakan dari makrofag normal IL-1 juga berperan penting pada dalam kemampuannya mengekspresikan malaria, meskipun laporan-laporan dalam bentuk membran IL-1 dan mensekresi IL-1 in literatur bertentangan. Walaupun level serum vitro. Sebagai tambahan, saat IL-1 secara langsung berkaitan dengan monosit/makrofag manusia terinfeksi T. keparahan penyakit pada pasien yang cruzi, in vitro, parasit menyebabkan sel terinfeksi P. falciparum, namun level serum memproduksi level IL-1 yang signifikan. IL-1 tidak meningkat pada tikus yang Jadi, imunoregulasi pada T. cruzi tidak terinfeksi P. berghei. Meskipun penemuan ini sesederhana yang nampak. IL-1 diketahui mencegah malaria serebral dan mengurangi menginduksi produksi sitokin yang lain, parasitemia pada tikus yang terinfeksi P. seperti TNF dan IL-6, yang penting pada berghei yang ditangani dengan IL-1. infeksi protozoa. Oleh karena itu, level IL-1 yang diproduksi oleh hewan-hewan yang Selama infeksi T. cruzi, penekanan terinfeksi T. cruzi, tidak menjadi sekritis efek respon sel T dapat terjadi. Kurang secara keseluruhan yang dipunyai IL-1 pada beresponnya sel T pada tikus yang terinfeksi respon imun dan sitokin lain yang T. cruzi dapat dipulihkan dengan penanganan diinduksinya. sel hewan dengan IL-1 in vitro, atau pemberian IL-1 pada hewannya sendiri. Meskipun T. brucei tidak berelasi Hasilnya menunjukkan bahwa kekurangan dekat dengan T. cruzi, tetapi kemiripan pada produksi IL-1 pada hewan-hewan yang respon IL-1 didapatkan pada infeksi terinfeksi T. cruzi bertanggung-jawab atas keduanya. Supresi respon sel T terjadi pada 24 infeksi dengan T. brucei, meskipun fakta menunjukkan bahwa makrofag dari tikus yang terinfeksi T. brucei brucei mampu melepaskan lebih banyak IL-1 pada respon stimulasi dengan lipopolisakarida in vitro, daripada makrofag tikus normal. Sebagai tambahan, makrofag splenik dari tikus yang terinfeksi T. brucei rhodesiense menghasilkan level IL-1 yang sama dengan makrofag dari tikus normal atau tikus terinfeksi T. brucei rhodesiense yang telah disembuhkan obat. Oleh karena itu, mungkin bahwa bentuk imunoregulasi yang diterapkan pada trypanosomiasis Amerika juga diterapkan pada infeksi dengan tripanosoma Afrika. Pada kasus leshmaniasis, efek yang dipunyai parasit pada produksi IL-1 oleh makrofag tergantung pada spesies dari mana makrofag berasal. Sementara monosit manusia yang terinfeksi L. major atau L. donovani menunjukkan penurunan produksi IL-1, makrofag tikus yang terinfeksi L. major memproduksi lebih banyak IL-1. Pengamatan selanjutnya, terutama sekali berhubungan pada perkembangan respon sel T spesifik L. major pada tikus yang terinfeksi parasit. IL1 adalah co-factor untuk aktivasi subset TH2 dari sel T CD4+ murine dan aktivasi selektif dari sel TH1 atau TH2 spesifik L. major yang memainkan peranan penting dalam penentuan hasil akhir infeksi. Interleukin 6 dan CRP Berbeda dengan TNF dan IL-1, peran IL-6 pada malaria, tripanosomiasis dan leishmaniasis sedikit diketahui. Hal ini niscaya akan berubah, sebab TNF dan IL-1 terbukti sangat penting pada penyakitpenyakit ini dan ketiga sitokin ini mempunyai hubungan dalam bioaktivitas. Level serum IL-6, dilaporkan meningkat baik pada tikus yang terinfeksi P. berghei maupun pada pasien malaria P. falciparum. Hasil ini telah dipastikan pada penelitan yang dilakukan oleh Grau yang juga meneliti peranan IL-6 pada malaria serebral. Mereka mendapati bahwa pada tikus yang terinfeksi P. berghei dan diterapi dengan antibodi anti IL-6, insiden dari malaria serebral tidak berubah, menunjukkan bahwa IL-6 tidak terlibat dalam patogenesa malaria serebral (Titus et al., 1991). Pada infeksi dengan Leishmania major, lesi yang lebih besar dikaitkan dengan kehadiran parasit dan level yang tinggi dari sitokin proinflamatori IL-6 dan TNF-α (Louzir et al., 1998). Karena IL-1 menghambat perkembangan P. falciparum pada kultur hepatosit dan menyebabkan sekresi CRP oleh hepatosit, maka peran CRP pada malaria juga telah diselidiki. Tikus dengan peningkatan level serum CRP terlindung dari infeksi P. yoelii dan perlindungan ini dapat dihilangkan dengan antiserum anti-CRP. Level CRP juga meningkat pada serum pasien malaria, tetapi level ini tidak lebih tinggi dari pasien dengan penyakit demam lainnya (Titus et al., 1991). Kesimpulan Jelaslah bahwa respon imun terhadap parasit prokariotik adalah komplek. Pemotongan respon menjadi lebih sulit karena banyak sitokin yang diinduksi oleh parasit protozoa mempunyai efek pleiotropik dan berinteraksi satu dengan lainnya pada multipel level. Daftar Pustaka Angulo I, Fresno M. Cytokines in the Pathogenesis and Protection against Malaria. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology Vol. 9 2002; 6: 1145-1152. Balakrishnan I, Zumla A. African Trypanosomiasis. IN: Gillespie SH, Pearson RD. (Eds). Principles and Practice of Clinical Parasitology. John Wiley & Sons Ltd, 2001. Baratawidjaja K. Imunologi Dasar. Ed. 7. Jakarta: Penerbit FKUI, 2006. Biggs BA, Brown GV. Malaria. IN: Gillespie SH, Pearson RD. (Eds). Principles and Practice of Clinical Parasitology. John Wiley & Sons Ltd, 2001. 25 Chen K, Suhendro, Nainggolan L. Malaria. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.(Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed. 4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. Detrick B, Nagineni CN, Hooks J. Cytokines: Regulators of Immune Responses and Key Therapeutic Targets. IN: Gorman MRG ,Donnenberg AD. (Eds). Handbook of Human nd Imunology. 2 ed. CRC Press, 2008. Kishimoto T. Interleukin-6. IN: Thomson WA, Lotse MT. (Eds). The Cytokine Handbook. 4th ed. San Diego: Academic Press, 2003. Louzir H, Melby PC, Salah AB, Marrakci H, Aoun K, Ismail RB, Dellagi Koussay. Immunologic Determinants of Disease Evolution in Localized Cutaneous Leishmaniasis due to Leishmania major. The Journal of Infectious Disease 1998; 177: 16871695. Pearson RD, Jeronimo SMB, Sousa A. Leishmaniasis. IN: Gillespie SH, Pearson RD. (Eds). Principles and Practice of Clinical Parasitology. John Wiley & Sons Ltd, 2001. Titus RG, Sherry B, Cerami A. The involvement of TNF, IL-1 and IL-6 in the immune response to protozoan parasites. Parasitology Today 1991; A13-A16. Wahab, A.S, Julia M. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika, 2002. 26 BAYI KEMBAR SIAM CEPHALOTHORACO OMPHALOPHAGUS Harry Kurniawan Gondo PPDS I SMF/ Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar – Bali Dosen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Telah ditemukan satu kasus kembar siam tipe cephalothoraco omphalophagus di RS Sanglah Denpasar Bali, pada bulan Desember 2009. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis: Satu kepala, sepasang ektremitas atas (4 tangan) dan sepasang ekstremitas bawah (4 kaki). Pada pemeriksaan USG antenatal ditemukan gambaran scanning kepala yang berbentuk oval, dengan 2 orbita, pada scan tampak jantung satu, dan thorax dan abdomen satu bagian. Pemeriksaan penunjang lain tidak sempat dilakukan karena kondisi fisik yang memburuk. Sehingga kemungkinan adanya malformasi pada jantung dan organ dalam lainnya tidak diketahui dengan jelas. Pada kasus ini bayi hanya dapat bertahan hidup selama 2 jam 10 menit. BABY CEPHALOTHORACO OMPHALOPHAGUS CONJOINED TWINS Harry Kurniawan Gondo PPDS I SMF / Department of Obstetrics and Gynecology Faculty of Medicine Udayana, Sanglah General Hospital Center Denpasar - Bali Lecturer of Anatomy Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Have found one case of conjoined twins in a hospital type omphalophagus cephalothoraco Sanglah Denpasar, Bali, in December 2009. Diagnosis based on clinical features: One head, a pair ektremitas above (four hands) and a pair of lower limb (4 feet). Found on antenatal ultrasound image of the scanning head is oval, with two orbital, in a single scan of the heart appear, and the thorax and abdomen, one part. Other investigations could not be done because of the deteriorating physical condition. So the possibility of a malformation of the heart and other organs are not clearly known. In this case the baby can only survive for two hours 10 minutes. PENDAHULUAN Kehamilan multifetus adalah kehamilan dengan janin lebih dari satu. Dua puluh tahun terakhir ini, di Amerika Serikat terjadi peningkatan kejadian persalinan kembar dua , triplet atau lebih. Antara tahun 1980 sampai 1997 jumlah persalinan kembar meningkat 77 % dan persalinan kembar triplet atau lebih meningkat 459 %. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan peningkatan usia ibu hamil dan peningkatan penggunaan teknologi reproduksi bantuan. Kehamilan multifetus menyebabkan peningkatan yang nyata dari morbiditas dan mortalitas perinatal. Wanita dengan kehamilan multifetus memerlukan pengawasan dan perhatian khusus sehingga digolongkan sebagai kehamilan dengan komplikasi. 1,2,3 Bila pembelahan terjadi lebih belakangan lagi yaitu sesudah diskus embrionik terbentuk, pada hari ke 9-12 setelah fertilisasi maka akan timbul 1 korion 1 amnion. Pembelahan berlangsung tidak lengkap dan akan terbentuk kembar siam. Kembar siam sangat jarang dijumpai, hanya sekitar 1: 70.0000 – 100.0000 persalinan. Kembar siam dapat dibagi atas beberapa jenis sesuai dengan lokasi anatomis dempetnya, yaitu torakopagus, sifoomfalopagus, pigopagus, ischiopagus dan kraniopagus. 1-5 27 TINJAUAN PUSTAKA Kehamilan multifetus atau ganda atau kembar adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau embrio atau lebih dalam satu gestasi. Kehamilan dengan dua janin disebut kehamilan kembar, tiga janin disebut triplet, empat janin disebut kuadriplet dan lima janin disebut quintiplet Insiden kehamilan kembar monozigotik di USA cenderung konstan berkisar 4 dari 1000 kelahiran dan sebagian besar tidak berhubungan dengan usia ibu, ras atau paritas dan terjadi secara random genetik. Hal ini berlawanan dengan kembar dizigotik yang insidennya bervariasi diantara berbagi macam ras, dan berpengaruh juga dari usia ibu (peningkatan dari yang usia >20 tahun insidennya 3 per 1000 sampai 14 per 1000 pada wanita usia 35-40 tahun) serta jumlah paritas. Angka kelahiran kembar dizigotik tertinggi pada African Americans (10-40 per 1000 kelahiran), diikuti oleh Caucasians (7-10 per 1000 kelahiran) and Asian Americans (3 per 1000 kelahiran 1-5 Janin yang kembar lebih sering terjadi akibat fertilisasi dua buah ovum yang terpisah (ovum ganda, kembar dizigot atau kembar "fraternal"). Sekitar sepertiga di antara kehamilan kembar berasal dari ovum tunggal yang dibuahi, dan selanjutnya membagi diri menjadi dua buah struktur serupa, masing-masing dengan kemampuan untuk berkembang menjadi ovum tunggal tersendiri (kehamilan monozigot atau kembar "identik"). Salah satu atau kedua proses dapat terlibat dalam pembentukan fetus dengan jumlah yang lebih besar. Faktor resiko untuk kemungkinan terjadinya kehamilan kembar dapat dibagi menjadi secara natural dan hasil induksi. Secara natural faktor resiko tersebut adalah riwayat keluarga yang merupakan kembar dizigotik, ras, bertambahnya paritas dan usia maternal, dan ukuran fisik ibu. Sedangkan yang secara induksi adalah induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro.1,3,5 Pada wanita dengan faktor risiko tertentu dapat dicurigai sebagai kehamilan kembar. Sebagai faktbor penentu kehamilan kembar, genotip ibu jauh lebih penting daripada genotip ayah. Frekuensi kelahiran janin multipel memperlihatkan variasi yang nyata di antara berbagai ras yang berbeda. Kehamilan kembar di antara orang-orang Timur atau Oriental tak begitu sering terjadi. Sebagai contoh, di antara lebih dari 10 juta kehamilan yang diperiksa di Jepang, ternyata kehamilan kembar ditemukan hanya satu pada setiap 155 kelahiran. Perbedaan ras yang nyata ini merupakan akibat keragaman pada frekuensi terjadinya kehamilan kembar dizigot. 1,3 Bertambahnya usia maternal dan paritas pada insiden kehamilan kembar telah diperlihatkan dengan jelas oleh Waterhouse (1950). Untuk setiap peningkatan usia sampai sekitar 40 tahun atau paritas sampai 7, frekuensi kehamilan kembar akan meningkat. Kehamilan kembar lebih sering terjadi sebagai akibat fertilisasi dua ovum yang terpisah, yang dikenal dengan kembar dizigot. Walaupun beberapa ahli mengatakan bahwa kembar dizigot bukanlah kembar sejati oleh karena berasal dari maturasi dan fertilisasi dua buah ovum selama siklus ovulatoir tunggal. Sedangkan sekitar sepertiga diantara kehamilan kembar berasal dari ovum tunggal yang dibuahi, dan selanjutnya membagi diri menjadi dua buah struktur serupa, masing-masing dengan kemampuan untuk berkembang menjadi ovum tunggal tersendiri (kehamilan monozigot atau kembar identik). Kembar monozigot terjadi saat 1 telur yang dibuahi membelah selama 2 minggu pertama setelah konsepsi yang akan menghasilkan bayi dengan rupa yang sama atau bayangan cermin dimana mata, kuping, gigi, rambut, kulit dan ukuran antropologik pun sama. Satu bayi kembar mungkin kidal dan yang lainnya kanan karena lokasi daerah motorik di korteks serebri pada kedua bayi berlawanan.1,3 Jenis kembar monozigotik berhubungan dengan waktu terjadinya faktor penghambat dalam segmentasi atau pembelahan, misalnya hambatan dalam tingkat segmentasi (2-4 hari), hambatan dalam tingkat blastula (4-7 hari)serta hambatan setelah amnion dibentuk tapi sebelum primitif streak. 1,3,5 Kembar monozigot timbul dari pembelahan ovum yang sudah dibuahi pada berbagai tahap perkembangan awal sebagai berikut: 1-5,14-17 1. Bila pembelahan terjadi sebelum inner cell mass terbentuk. dan lapisan luar blastokist belum berubah menjadi korion, yaitu dalam 72 jam pertama setelah fertilisasi, maka akan terbentuk dua embrio dengan dua amnion dan dua korion. Keadaan ini 28 menghasilkan kehamilan kembar monozigot dengan diamnion dan dikorion. Bisa terdapat dua plasenta yang berbeda atau satu plasenta. Sekitar sepertiga dari kembar monozigotik memiliki 2 amnion 2 korion dan 2 plasenta yang kadangkadang 2 plasenta tersebut menjadi satu. Keadaan ini tidak dapat dibedakan dengan kembar dizigotik. 2. Jika pembelahan terjadi antara hari keempat dan kedelapan yaitu setelah inner cell mass dibentuk dan sel-sel yang akan menjadi korion sudah mengalami diferensiasi namun sel-sel yang akan menjadi amnion belum, maka akan terbentuk dua buah embrio, masing-masing dalam kantong ketuban yang terpisah. Kedua kantong ketuban akhirnya akan diselubungi oleh satu korion bersama, sehingga terjadi kehamilan kembar monozigot diamnion, monokorion. Sekitar 70 persen kembar monozigotik adalah seperti ini. 3. Namun, jika amnion sudah terbentuk, yang terjadi sekitar hari ke-8 sesudah fertilisasi, pembelahan akan menghasilkan dua embrio di dalam satu kantong ketuban bersama atau mengakibatkan kehamilan kembar monozigot monoamnion, monokorion. 4. Bila pembelahan terjadi lebih belakangan lagi yaitu sesudah diskus embrionik terbentuk, pada hari ke 912 setelah fertilisasi maka akan timbul 1 korion 1 amnion. Pembelahan berlangsung tidak lengkap dan akan terbentuk kembar siam. Kembar siam sangat jarang dijumpai, hanya sekitar 1:100.000 persalinan. Kembar siam dapat dibagi atas beberapa jenis sesuai dengan lokasi anatomis menjadi satu bagian tubuh, yaitu torakopagus (40%), sifoomfalopagus (34%), pigopagus (18%), iskiopagus(6%) dan kraniopagus (2%). 3,5 Kurang lebih duapertiga kehamilan kembar adalah dizigotik yang berasal dari 2 telur, disebut juga heterolog, binovuler atau fraternal. Jenis kelamin keduanya bisa sama bisa berbeda, mereka berbeda seperti anakanak lain dalam keluarga. Kembar dizigotik mempunyai 2 plasenta, 2 korion dan 2 amnion. Kadang-kadang 2 plasenta menjadi satu.1,3,5 Kembar triplet bisa berasal dari monozigotik, dizigotik, atau trizigotik. Kembar triplet trizigotik bisa terjadi dari 3 sperma membuahi 3 obvum.5 Gambar 1 : Struktur plasenta kembar dalam hubungannya dengan perbedaan pada waktu embrionik. 29 LAPORAN KASUS Anamnesis Seorang ibu berusia 20 tahun datang ke RSUP Sanglah Denpasar dengan rujukan dari salah satu RS swasta di Gianyar, pada tanggal 30 Desember 2009, G1P0000 Polihidramnion, Cojoint Twin, Partus Kala I. Ibu mengeluh sakit perut mau melahirkan sejak pukul 22.00 WITA (29/12/2009), dengan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) 20 Juni 2009. Ibu datang ke salah satu RS swasta di Gianyar pada tanggal 30 Desember 2009 pukul 18.15 WITA, diperiksa oleh specialis obstetri ginekologi dengan pembukaan serviks 5 cm, effacement 50%. Kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah, karena saat ANC dicurigai kembar siam dari gambaran USG, tiba di RSUP Sanglah pukul 20.30 WITA. Ibu melakukan ANC (Ante Natal Care) di Bidan teratur, dan dokter spesialis obstetri pertama kali pada tanggal 25 Agustus 2009, dilakukan USG dan belum diketahui kehamilan kembar. Kemudian ibu melakukan ANC ke-2 di dokter spesialis obstetri pada tanggal 28 Desember 2009, dan dilakukan USG, dengan kecurigaan kembar siam. Pada tanggal 29 Desember 2009, ibu melakukan ANC ke-3 di spesialis obstetri konsultan fetomaternal atas anjuran dokter sebelumnya, dilakukan diUSG, dan sangat dicurigai kembar siam cephalothoracophagus dan polihidramnion. Ibu disarankan untuk melakukan pemeriksaan USG 4 Dimensi pada tanggal 30 Desember 2009, tetapi pada tanggal 30 Desember 2009 ibu sudah dalam keadaan inpartu. Dalam keluarga Ibu, tidak ada riwayat kehamilan kembar, selama kehamilan ibu tidak minum obat-obatan selain dari bidan dan dokter, tidak minum obat atau jamu tradisional. Ini merupakan kehamilan yang diinginkan. Ini merupakan pernikahan yang pertama, dan usia suami penderita 24 tahun, pekerjaan petani. Gambar 2 : Gambar USG pertama kali, tampak fetal pole. Saat ini belum dicurigai kembar, dikarenakan hanya tampak 1 fetal pole. Gambar 3 : Gambar USG saat ANC ke-3 di Spesialis obstetri kandungan fetomaternal, saat ini dicurigai kembar siam cephalothoraco omphalophagus, dikarenakan saat USG hanya ditemukan satu kepala, dengan bentuk oval dan cavum orbita hanya 2, dengan kesan satu septum pellucidum pada scanning otak. Pada USG kasus ini juga didapatkan diameter BPD yang lebih lebar dari umur kehamilan. 30 Gambar 4 : Tampak USG extremitas bawah, berjumlah 2 pasang (4 buah kaki), tidak tampak penyatuan pada daerah pelvis (ischiophagus) Gambar 5 : Tampak USG bagian yang menyatu, dan extremitas superior, tampak scanning bagain telapak tangan dibagian belakang (lingkaran putih). Pada bagian thorax dan abdomen terdapat kontinuitas kulit. Kronologis Persalinan di RS Sanglah Penderita datang dengan ambulace dari salah satu RS swasta di Gianyar, tiba di ruang bersalin RS Sanglah pukul 20.30 WITA (29 Desember 2009). Surat rujukan dengan G1P0A0 Polihidramnion, conjoint twin, Partus kala I. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Tensi Status General Status Obstetri VT : Baik, Tinggi Badan 140 cm, Berat Badan 50 kg : 120/80 mmHg Nadi : 88x/mnt RR : 20x/mnt Temp : 36,7˚C : Kesan dbn : TFU 40 cm, letak bujur, teraba 1 bagian padat, 1 bagian lunak Punggung sebelah janin sebelah kanan, P ↓ O 5/5 DJJ + 148x/menit, dengan puctum maximum tunggal His + 3-4 x/10 mnt ~ 40” : P Ø 8 cm, effacement 75%, Ket (+), menonjol Teraba bagian keras, denominator tidak jelas Tidak teraba bagian kecil dan atau tali pusat Ultrasonogarfi di kamar bersalin Janin kesan kembar siam, hidup, dengan fetal biometeri : BPD : 82,2 mm ~ 27W 2D AVE : 29W 4D HC : 291 mm ~ 30W 0D EFW : 1290 gram AC : 239,2 mm ~ 29W 1D HR : 162x/menit FL : 51,8 mm ~ 27W 2D AFI : 356,7 mm 31 Gambar 5 : Tampak USG M Mode, menunjukkan DJJ 182x/mnt, saat USG hanya ditemukan 1 jantung. dengan kesan satu tulang punggung (os spinalis) Hasil Laboratorium : Hb : 12,6 g/dl WBC : 21.200/ dl Plt : 442.000/ dl Diagnosa Kerja : G1P0000 27-28 mg, conjoint twin (suspect cephalothoracophagus), Partus Kala I Penatalaksanaan : Diputuskan untuk melahirkan dengan Sectio Sesarea (SC), melakukan informed consent dengan pihak keluarga pasien, dan persiapan operasi SC. Pukul 21.38 WITA, lahir bayi perempuan kembar siam, dengan dempet pada bagian kepala, thorax dan abdomen, dengan berat badan 1250 gram, tidak segera menangis, APGAR score 2-2. Satu placenta, dengan 2 tali pusat, insersi satu tali pusat velamentosa, A C pada janin didapatkan 2 umbilicus yang letaknya saling berdekatan. Diagnosa bagian Pediatri dengan bayi kurang bulan, dengan BBLR, SMK, conjoint twin cephalothoraco omphalophagus. Pada Pukul 23.18 WITA, bayi dinyatakan meninggal dunia oleh bagian Pediatri. B Gambar 6 : Gambar 6A dan 6B, tampak bayi kembar siam cephalothoraco omphalophagus tampak satu kepala yang menjadi satu, bagian thorax dan abdomen yang menjadi satu. Gambar 6A tampak dari belakang, dan gambar 6B tampak dari depan. Gambar 6C, satu placenta dengan 2 tali pusat, satu dengan insersi velamentosa. 32 DISKUSI Secara embriologis terdapat dua macam kembar yaitu kembar fraternal atau dizigot dan kembar identik atau monozigot. Kembar dizigot berasal dari fertilisasi dua ovum yang berbeda, sedangkan kembar monozigot berasal dari fertilisasi sebuah ovum yang kemudian membelah dan berkembang menjadi dua individu. Pada kasus ini, tidak ada riwayat keturunan kembar dari keluarg. Kasus kembar siam ini adalah kembar monozigot, dimana yang terjadi adalah kelainan perkembangan dari embrio itu sendiri, yang gagal berpisah diatas 12 hari setelah pembuahan. Kembar siam terjadi kurang lebih satu dalam 50.000-100.000 kelahiran atau satu dalam 400 kembar monozigot dan lebih sering pada terjadi pada jenis kelamin perempuan (70-80%).3,4,7,8 Kasus yang dilaporkan juga adalah bayi perempuan. Kembar siam biasanya diklasifikasikan berdasarkan pada bagian tubuh yang menyatu dengan penambahan akhiran pagus.5,6 Berdasarkan dari sisi tubuh dimana penyatuan terjadi, maka secara garis besar kembar siam dibagi menjadi tiga: 1. Penyatuan dari bagian ventral, misalnya thoracopagus (menyatu dibagian dada). 2. Penyatuan dari bagian lateral, misalnya parapagus (menyatu dibagian pelvis). 3. Penyatuan dari bagian dorsal, misalnya pygopagus (menyatu dibagian bokong). Pada kasus ini bayi menyatu dari bagian kepala, thorax dan abdomen. Ada satu kepala yang menyatu dengan 2 pasang telinga (Sepasang dibagian belakang kepala, gambar 6A), sepasang ekstremitas superior dan sepasang ekstremitas inferior. Pada literatur, disebutkan kembar siam yang terjadi pada kepala dan thorax dapat disebut dengan janiceps. Kasus ini berdasarkan anatomi bersatunya bagian tubuh yang menyatu maka ini adalah kembar siam cephalothoraco omphalophagus. Placenta pada kasus ini satu placenta, dengan 2 tali pusat, dimana salah satunya dengan insersi velamentosa, dan pada bagian umbilicus janin ada 2, dengan letak yang bersebelahan (Gambar 6B). Etiologi kembar siam tidak diketahui secara pasti, namun fenomena ini terjadi akibat pembagian zigot yang tidak sempurna, setelah diskus embrionik terbentuk, pembelahan terjadi 12 hari steleh pembuahan.1,3,7,8 Proses terbentuknya kembar siam, terjadi pada stadium permulaan embriogenesis. Bila pemisahan zigot terjadi pada empat hari pertama setelah fertilisasi, maka akan terbentuk kembar monozigot dengan dua korion dan dua amnion. Bila pemisahan terjadi antara hari keempat sampai hari kedelapan setelah fertilisasi, maka akan terbentuk kembar monozigot dengan satu korion dan dua amnion. Bila pemisahan terjadi antara hari kesembilan sampai hari ke-13 setelah fertilisasi, maka akan menghasilkan kembar monozigot dengan hanya satu korion dan satu amnion. Diskus embrionik mulai berdiferensiasi pada hari ke-13 setelah fertilisasi. Pemisahan yang terjadi setelah hari ke-13 akan menghasilkan pemisahan yang tidak sempurna, karena diskus embrionik sudah terbentuk dan berdiferensiasi.1,6,7,9 Semakin lama waktu dimulainya pemisahan embrio, maka akan semakin berat kelainan yang akan terjadi.1,7 Pemeriksaan USG adalah pemeriksaan penunjang yang paling baik untuk mendiagnosis kembar siam sebelum persalinan. Diagnosis kembar siam sudah harus dicurigai, bila pada kehamilan kembar hanya terlihat satu plasenta dan satu amnion. Apabila tanda penyatuan dari bayi kembar siam tidak jelas terlihat pada USG, maka diagnosis kembar siam dapat ditunjang oleh adanya hal-hal sebagai berikut: Tidak adanya membran korion atau amnion yang memisahkan kedua janin Tubuh janin ada bagian yang tidak terpisahkan Terdapat kelainan bawaan pada salah satu janin Terdapat lebih dari tiga pembuluh darah didalam talipusat 33 Kedua kepala selalu dalam posisi level yang sama Ekstensi pada servikal dan vertebra torakal bagian atas Posisi kedua janin selalu sama (tidak dapat berubah), walaupun sudah dicoba dimanipulasi secara manual. Kesalahan diagnosis pada pemeriksaan USG, mungkin pula disebabkan bila posisi kedua kepala bayi berada dibawah, dimana kepala salah satu bayi sudah masuk kedalam pintu atas panggul, dan karena keterbatasan rongga panggul, maka kepala bayi kedua tidak dapat masuk ke rongga panggul, sehingga tetap berada diatas pintu atas. Pemeriksa USG yang pertama pada umur kehamilan 9-10 minggu, tidak mencermati adanya tanda kehamilan ganda, dikarena hanya tamapk 1 fetal pole, dan tidak tampak gambaran chorion dan amnion, karena kasus kembar siam merupakan monozigote dengan monochorion dan monoamnion. Persalinan dipilih sectio sesarea dengan pertimbangan bayi sudah diketahui kembar siam dan masih dalam keadaan hidup dengan umur kehamilan 28-29 minggu, dengan pertimbangan mengurangi trauma persalinan pervaginam pada premature dan mengantisipasi kesulitan persalinan pervaginam, dikarenakan bayi belum jelas deskriptif kembar siamnya pada saat inpartu. Pada kasus kembar siam, sering disertai dengan kelainan kongenital pada organ bagian dalam. Pada kasus ini ditemukan polihidramnion (), kemungkinan ditemukan kelainan pada saluran cerna, secara makros ada penyatuan di bagian dada, sangat dimungkinkan ada kelainan pada esophagus dan saluran cerna lainnya dibagian abdomen. Saat dilakukan evaluasi USG sebelumnya tampak ditemukan satu septum pelucidum pada otak, kemungkinan besar pada kembar ini juga terdapat hanya satu otak, pada bagaian thorax hanya tampak satu jantung. Tetapi pada kasus ini belum sempat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui secara pasti kelainan kongenital organ bagian dalam, misal pemeriksaan radiologi thorax, barium esophagus, dan echocardiofrafi, sehingga evaluasi untuk kelainan kongenital organ dalam pada kasus ini belum dapat ditegakkan secara pasti. Kembar siam sering disertai malformasi berat lainnya. Kadang malformasi tersebut berkaitan dengan bagian tubuh yang menyatu, tetapi kadang pula letaknya bukan didaerah tersebut dan tidak berhubungan dengan proses pemisahan janin. Biasanya kembar siam torakopagus memiliki jantung yang juga saling menyatu (±90%) dan sering disertai malformasi jantung lainnya.6,9,10 Kelainan jantung bawaan ditemukan ± 75% dan 90% menyatu pada perikardium. Kelainan yang paling sering yaitu penyatuan jantung, yang terdiri dari dua ventrikel disertai jumlah atrium yang bervariasi (1 sampai 4). Saat ini pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) fetus intrauterine mulai dilakukan di Negara maju, dikarenakan MRI tidak memberikan radiasi sinar X. MRI memberikan gambaran imaging radiologis yang lebih jelas secara anatomis dibandingkan USG tetapi untuk pemeriksaan saat ini masih mahal. Setelah 2 jam 10 menit perawatan, bayi mengalami sianosis yang menetap walaupun oksigen headbox terpasang. Hal ini menunjukkan mungkin terdapat pula kelainan pada sistem respirasi dan kardiovaskuler. Atresia esofagus harus dipikirkan bila ada riwayat polihidramnion. Prognosis tergantung dari tipe kembar siam, luasnya penyatuan, banyaknya atau beratnya derajat penyatuan organ dalam, dan kelainan bawaan lainnya.6,10 Kebanyakan (60%) kembar siam lahir mati atau abortus dan hanya 35% lahir hidup, tetapi meninggal dalam 24 jam pertama kehidupan.8 Penyebab kematian bayi kembar siam ini mungkin disebabkan oleh kelainan sistem respirasi dan atau kelainan sistem kardiovaskuler. Autopsi dapat mengetahui penyebab kematian secara pasti dan dapat melihat secara langsung malformasi pada organ dalam. 34 DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Haunt JC, Wenstrom KD. Williams obstetrics, 22 edition. New York, McGrawHill, 2007, p 766-804. 2. Oleszczuk J. Conjoined Twins. Isaac B, Louis GK. Eds. In : Multiple Pregnancy Epidemiology, Gestation And Perinatal Outcome 2nd edition. United Of Kingdom, Informa Healtcare, 2005, p 233 – 45. 3. Barnes EG, Spicer DD. Nultiple Gestations And Cojoined Twins. In : Embrio And Fetal Pathology Color Atlas With Ultrasound Correlation, United Of Kingdom, Cambridge University Press, 2004, p 622 – 33. 4. Sadler TW. Langman’s Medical Embryology 9th edition. McGrawHill Medical Publishing Division, United Stated Of America, 2007. 5. Stoll BJ, Kliegman RM. Multiple pregnancies. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson textbook of pediatrics 17th edition. Philadelphia: Saunders, 200, p 475-507. 6. Yaron Z, Zvi Y. Ultrasound In Multiple Gestation. Mark IE, Mark PJ, Yuval Y, et al, eds, In : Prenatal Diagnosis. McGrawHill Medical Publishing Division, United Stated Of America, 2006, p 349 – 57. 7. Gul A, Aslan H, Ceylan Y. Case Report : Prenatal Diagnosis Of Pyopagus Tetrapus Parasitic Twins. Biomed Central (BMC) Pregnancy And Children Journal, July 2004. 8. Madjid DA. Laporan kasus : Bayi Kembar Siam Dicepahlus DiBrachius Dipus. Jurnal Medicine Nusantara, volume 26 no 3, Periode Juli – September 2005, halaman 195 – 99. 9. Michelle SL, Daniel WS, Frank AC. Multiple Pregancy Epidemiology, Clinical Characteristic, And Management. Reece EA, Hobbins JC, eds, In : Clinical Obstetrics The Fetus And Mother, 3rd edition. 10. 11. 12. 13. Blackwell publishing, United Of Kingdom, 2007, p 177 – 202. Levine D. Atlas Of Fetal MRI, Taylor Francis, United States Of America, 2005. Bendon RW. Pathology Of Twinning, Jeeling KW, Khong TY, eds. In : Fetal And Neonatal Pathology 4th edition. Springer Verlag, London, 2007, p 297 – 326. Pernoll ML. Benson And Pernoll Handbook Of Obastetrics And Gynecology 10th edition : Multiple Pregnancy. McGraw-Hill Medical Publishing Division, Philadelphia, 2001, p 367 – 78. Perni SC. Ultrasound Evaluation Of Multifetal Gestation. Kurjak A, Chervenak FA eds, In : Donald School Textbook Of UltrasoundIn Obstetri And Gynecology. Pathernon Publishing Group, New Dehli, 2003, p 349 -64. 35 OLAHRAGA PADA WANITA – PERTIMBANGAN GINEKOLOGIS Akmarawita Kadir Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Banyak orang beranggapan bahwa olahraga pada seorang wantia, khususnya sedang menstruasi sangat mengganggu. Hal ini juga ditakutkan oleh para atlit, apakah dengan menstruasi maka performance mereka terganggu, dan bahkan bisa menurunkan performance. Banyak penelitian yang membahas tentang hal ini, bahkan dari berbagai aspek. Kajian berikut membahas aspek Ginekologis pada seorang wanita yang melakukan olahraga. EXERCISE AND TRAINING IN FEMALES – GYNECOLOGICAL CONSIDERATIONS Akmarawita Kadir Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Many people think that exercise on a the girl, especially her menstrual periods are very disturbing. It is also feared by the athletes, whether with their performance so disturbed menstruation, and may even reduce performance. Many studies that discuss this, even from various aspects. The following study discusses the gynecological aspects of a woman who did exercise. Pendahuluan Permasalahan pokok pada seorang atlit wanita adalah sering di dapatkan siklus menstruasi yang panjang / jarang (oligomenorrhea ) maupun tidak haid selama 3 bulan atau lebih (amenorrhea). Amenorrhea primer di didefinisikan bila seorang wanita belum pernah mendapat menstruasi (menarche) dan tidak boleh di diagnosa sebelum wanita mencapai usia 18 tahun. Amenorrhea sekunder adalah hilangnya haid setelah menarche.(Fox 1993, Sastrawinata 1983). Beberapa tipe Amenorrhea sekunder: (1) Hypothalamic chronic an ovulation, (2) pituitary chronic an ovulation, (3) inaprotirate feedback to the hypothalamus or pituitary, and (4) other endocrine or metabolic dysfunction. Atlit amenorrhea adalah termasuk pada tipe chronic an ovulation. Adanya faktor psikogologis dan organic yang mungkin menyebabkan amenorrhea sekunder pada atlit wanita masih diselidiki, dan sulit menunjukkan suatu sebab yang jelas antara faktor yang spesifik partisipasi olahraga dengan terjadinya amenorrhea sekunder. (Fox 1993) Age Menarche ( umur menstruasi untuk pertama kali) Bukti-bukti menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara bertambahnya aktivitas olahraga yang berat dengan meningkatnya kejadian menarche yang terlambat (Amenorrhea primer) . Perbandingan Menarche antara atlit wanita Amerika dan yang non atlit dapat dilihat pada gambar 1. berikut. Tampak bahwa High school athletes dan College athletes mengalami keterlambatan menarche yang signifikan di bandingkan dengan non atlit. Malina (1978), dan Prokop (1976) menunjukkan adanya menarche yang terlambat pada remaja yang berlatih keras sebelum menarche. Menurut Manila, menarche diperoleh paling lambat pada atlit Olympic dan diperoleh paling dini pada mereka yang bukan atlit. Pada suatu studi kejuaraan renang, didapatkan laporan terjadinya keterlambatan menarche dibandingkan dengan non atlit. (Fox 1993, Harsuki 2003) Dengan fakta di atas semakin tinggi keahlian seorang atlit wanita, semakin menyebabkan keterlambatan menarche. Sehubungan dengan ini ada 2 pertanyaan : (1) apa penyebab dari keterlambatan menarche dan (2) apakah keadaan ini signifikan? Sehubungan dengan ini diketahui bahwa latihan dapat meningkatkan hormon prolaktin yang dihasilkan oleh hipofisis anterior dan bertanggungjawab akan produksi ASI (gambar 2). Pada atlit remaja prolaktin mempengaruhi kematangan ovarium, yang berefek menekan dan menghambat kematangan ovarium yang dilakukan oleh 36 hormon lain yang disebut FSH, hal ini mengakibatkan keterlambatan menarche atau transient amenorrhic (absence of the menses) kondisi ini sama seperti keadaan ibu yang sedang menyusui. (Fox 1993) Gambar 1. Umur dimulainya Menarche mempunyai perbedaan yang nyata apabila dibandingkan antara atlit dan non atlit. High school & Collage athlete mempunyai menarchenya terlambat dibandingkan dengan yang non atlit. Dan atlit nasional serta alti olimpiade ada tendensi menarchenya lebih terlambat dibandingkan dengan High school & Collage athlete. (Fox 1993) Keberhasilan menarche, dan kesuksesan dalam olahraga dipengaruhi oleh 2 aspek, yaitu aspek fisiologis dan aspek sosiologis.(Fox 1993) 1. Banyak yang mengatakan bahwa fisik dan karakteristik fisiologis pada wanita dengan kematangan yang terlambat (later maturation female), biasanya lebih sukses dalam athletics performance (penampilannya). Pada wanita ini mempunyai ciri - ciri seperti; kaki yang lebih panjang, panggul yang lebih sempit, berat badan yang lebih rendah per unit tinggi badan, lebih sedikit kadar lemak tubuh dibandingkan dengan wanita yang kematangannya terjadi lebih awal (earlier maturation females). Hal sebaliknya pada perenang, dikatakan bahwa earlier maturation female lebih diuntungkan, hal ini dikarenakan bentuk badan dan kekuatannya lebih besar bila dibandingkan dengan later maturation female. Keadaan ini juga ditemukan pada perenang wanita Swedia, dan juga pada finalis-finalis atlit renang wanita yang lain. 2. Pada budaya Amerika, seorang wanita yang matang sering dikatakan jauh dari olahraga. Wanita dengan kematangan yang terlambat ada tendensi mempunyai performance yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang kematangannya datang lebih awal jika dibandingkan dengan wanita remaja pada usia yang sama. Dengan kata lain, sekali seorang wanita tumbuh menjadi dewasa dengan perubahan karakteristik seksual keseluruhan, ia akan lebih tertari pada keluarga ataupun karir dari pada menjadi atlit (berolahraga). 37 Latihan Berat Hormon Prolaktin Menggagalkan “Positif Estrogen Mechanism” – LH Feedback Sekresi LH dihambat Ovulasi Ө Menarche Tertunda Gambar 2. Sebab tertundanya Menarche (Asnar E, 2004) Latihan dan Gangguan Menstruasi Informasi dasar beberapa tahun lalu menyatakan bahwa, latihan tidak menyebabkan terjadinya gangguan menstruasi, misalnya pada tahun 1963 dilaporkan bahwa atlit perenang wanita Swedia, 81 % tetap mengalami siklus menstruasi yang teratur. Pada tahun 1964, 557 atlit wanita Hungaria, 84 % dilaporkan tidak tampak adanya perubahan siklus menstruasi. Siklus menstruasi yang teratur juga didapat pada 61 dari 66 atlit wanita yang mengikuti Olympic Games pada tahun 1964. Khusus pada atlit wanita dengan latihan dan kompetisi dengan intensitas yang tinggi seperti lari jarak jauh, senam,, renang dan tari ballet profesional, dapat menyebabkan gangguan menstruasi, misalnya pada atlit lari jarak jauh; 1 dari 3 atlit tersebut mengalami amenorrhea selama latihan dan kompetisi. Hal ini tampak pada gambar 3. A. Angka kejadian amenorrhea 34 % pada Runners, dan 23 % pada joggers, dan 4 % pada kontrol non running. Pada penelitian ini Runners didefinisikan wanita yang lari lebih dari 30 mile per minggu dengan kombinasi long, slow-distance running with speed work. Joggers didefinisikan wanita yang lari dengan lambat dan mudah dan hanya 5 – 10 miles per minggu. Jumlah Haid per tahun untuk kontrol didapatkan 11,85 untuk kontrol, 10,32 untuk joggers, dan 9,16 untuk runners (gambar 3B). Gambar 3 (Fox 1993) 38 Penyebab pasti terjadinya amenorrhea pada atlit wanita belum diketahui, tetapi kejadian ini selalu berhubungan dengan intensitas latihan dan defisiensi nutrisi. Untuk intensitas latihan dapat dilihat pada gambar 3. angka kejadian amenorrhea akan meningkat sebanding dengan peningkatan latihan dalam tiap Minggunya (weekly training distance). Ini dapat dikatakan bahwa amenorrhea disebabkan oleh latihan / kompetisi itu sendiri, atau faktor relatif yaitu chronic exercise training, seperti latihan yang menyebabkan menurunnya berat badan, atau stress psikologi, dalam kasus ini semakin berat intensitas latihan untuk meningkatkan performance maka dapat menyebabkan amenorrhea karena ini merupakan suatu stress. Gambar. 4 Insidens amenorrhea pada atlit wanita pelari jarak sedang berhubungan langsung dengan jarak yang ditempuh. (Fox 1993) Hilangnya / berkurangnya berat badan akan menurunkan simpanan lemak tubuh, dapat diikuti dengan amenorrhea. Penyimpanan lemak tubuh yang rendah pada seorang atlit wanita memungkinkan merupakan salah satu sebab terjadinya amenorrhea. Faktor lain yang mungkin menyebabkan terjadinya amenorrhea adalah chronic malnutrition pada atlit wanita. Ketika dibandingkan antara pelari amenorrhea dengan pelari eumenorrhea dilihat dari intake kalorinya, ternyata pelari eumenorrhea intake kalorinya lebih tinggi dibandingkan dengan pelari amenorrhea. Resting metabolic rate juga berbeda antara pelari amenorrhea dengan eumenorrhea, dimana pelari amenorrhea mempunyai resting metabolic rate lebih rendah dibandingkan dengan eumenorrhea. (Fox, 1993) Akhirnya apa yang terjadi apabila seorang atlit wanita yang mengalami gangguan siklus menstruasi latihannya diberhentikan? Dalam suatu penelitian atlit renang wanita yang mengalami gangguan siklus menstruasi, ketika latihannya di berhenti kan maka siklus akan menjadi normal kembali serta fungsi reproduksi juga akan kembali normal. Keadaan ini juga berlaku pada jenis olahraga yang lain.(Fox 1993) 39 Dysmenorrhea (rasa sakit saat haid di daerah perut) mungkin didapatkan pada atlit wanita, informasi mengenai dysmenorrhea ini masih banyak diteliti. Penyebab biolgisnya adalah pelepasan prostaglandin dari endometrium. Wanita dysmenorrhea mempunyai kadar prostaglandin yang tinggi di dalam darah dibandingkan dengan wanita yang tidak dysmenorrhea. Dysmenorrhea ini bisa dicegah dengan penggunaan kontrasepsi oral; bila Ovulasi dihambat, maka terjadi hypoplasia endometrium, mengurangi kemampuan endometrium untuk memproduksi prostaglandin. Dan dapat juga dicegah dengan obat-obat anti prostaglandin (Mefenamic Acid) (gambar 5). Rendahnya kejadian dan juga rendahnya keparahan gejala dysmenorrhea pada atlit dapat disebabkan oleh rendahnya kadar prostaglandin, yang disebabkan oleh tingginya siklus anovulasi atau perubahan pola endokrin (berkurangnya LH, fase luteal yang pendek, kadar estradiol / progesterone yang rendah). Di samping itu atlit mungkin mempunyai ambang rasa sakit yang tinggi. Tetapi faktor psikologis juga harus diperhitungkan mengenai dysmenorrhea ini. (Harzuki 2003, Fox 1993) Prostaglandin (hormone-like organic acid), diproduksi oleh banyak jaringan (termasuk endometrium). Prostaglandin ini menyebabkan (1) vasokonstriksi; (2) kontraksi otot polos uterus. Wanita dengan dysmenorrhea yang berat mempunyai kadar prostaglandin yang tinggi dalam darahnya. Prostaglandin yang tinggi menyebabkan kontraksi hebat pada otot polos uterus sehingga oxygen blood supply menurun yang menyebabkan terjadinya Temporary Ischemia yang akhirnya menimbulkan nyeri. Prostaglandin mensensitifkan nerve ending receptor nyeri. Adanya Kontraksi, Ischemia, Peningkatan sensitif, kesemuanya menyebabkan nyeri pada saat haid (dysmenorrhea). (Asnar E. 2004) Endometrial Cell Destruction Arachidonic Acid Pain Mediators Inhibiting (Histamin & Badykinin) Mefenamic Acid Prostaglandin Drugs = Abnormally Elevated Prostaglandin Pain Receptors Pressure Abnormally Increased Uterine Contractions and Dysmenorrhea Gambar. 5. Prostaglanding inhibiting drugs (Asnar E. 2004) 40 LH Follicle . Primordial Sampai terbentuk Sel granulose & Sel Theca (ada rec. LH) FSH Mengeluarkan Estrogen Rec. LH bertambah pada sel Granulosa Sekresi FSH Follicle yang lain berhenti Follicle. Lebih peka thd LH. LH mengambil alih FSH Estrogen (oleh Follicle) Estrogen (300% dari Normal) = Estrogen Surge Latihan Positive Feedback Prolaktin Sekresi LH = LH Surge Merangsang ezim collagenase Dinding Follicle Pecah OVULASI Gambar 6. Proses terjadinya Ovulasi (Asnar E. 2004) Performance dan Menstruasi 41 Pada tabel 1 memperlihatkan performance atlit wanita selama haid. Secara umum hasil ini memperlihatkan tidak ada pengaruhnya antara performance dengan menstruasi. Secara umum siklus menstruasi tidak mempengaruhi performance, tetapi hal ini tergantung pada variasi individu masing-masing dan jenis olahraganya. Atlit endurance seperti pemain tennis, pendayung menunjukkan performance yang sangat jelek saat haid, sedikit pemain bola basket, perenang, dan senam menunjukkan penurunan kinerja, dan beberapa di antara mereka memperlihatkan peningkatan kinerja. Perbedaan pengaruh ini mungkin dikarenakan dua hal, yaitu : usaha yang keras dan lama kerja yang diperlukan saat olahraga. Hipotesanya adalah bahwa pemain tennis dan pendayung memerlukan usaha keras dalam jangka waktu yang lama, sedangkan pemain bola basket, perenang, dan pesenam hanya bekerja keras dalam tempo yang pendek. Performance cenderung jelek apabila ada unsur daya tahan, sedang pada olahraga di mana explosive power sangat penting, kinerja bisa meningkat saat haid. Gold medal performance telah di laporkan pada atlit perenang dan track and field.(Marsuki 2003, Fox 1993) Pengaruh metabolic, cardiovascular response saat istirahat, selama sub maximal exercise, dan selama maximal exercise tidak terlalu signifikan berpengaruh selama perubahan fase siklus menstruasi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7. Di mana meneliti 8 atlit wanita yang terlatih dengan 9 atlit wanita yang tak terlatih selama perubahan fase siklus menstruasi. (1) 7 hari setelah ovulasi (premenstrual phase), (2) 3 hari setelah fase sekresi (menstrual phase) dan (3) 13 hari setelah fase sekresi (postmenstrual phase). (Fox 1993) 42 Gambar 7. Respon metabolisme dan kardiovaskuler. A. istirahat, B saat latihan maksimal tidaklah secara sistematis terpengaruh akibat haid. (Fox 1993) Latihan dan kompetisi selama Menstruasi Biasanya menstruasi itu berlangsung 5-7 hari. Oleh karena itu tidak dapat di hindarkan bahwa wanita harus berlatih atau berlomba dalam periode ini. Tampak pada tabel 2. Dari hasil survey pada Olympic sportswomen Tokyo didapatkan sebanyak 69 % yang sedang haid mengikuti kompetisi, 34 % atlit yang sedang haid mengikuti latihan, dan 31 % atlit yang sedang haid kadang-kadang mengikuti kompetisi, 54 % kadang-kadang mengikuti latihan. Tabel 2, (Fox 1993) Hasil yang serupa juga didapatkan pada kelompok perenang wanita muda; dari 27 wanita, hanya 7 wanita mengalami haid saat latihan, dan sisinya mengalami haid saat berkompetisi. Masih kontroversi dari seorang dokter antara boleh tidaknya atlit wanita ikut dalam latihan dan kompetisi. Beberapa dokter menyarankan untuk tidak ikut berpartisipasi pada jenis olahraga yang sangat berpengaruh terhadap gangguan menstruasi, misalnya pada olahraga tennis, lari jarak jauh, senam. Tetapi juga ada yang menyarankan boleh berpartisipasi pada atlit perenang, cuma masalahnya apakah menstruasi saat 43 olahraga renang bisa menyebabkan bacterial kontaminasi di kolam renang? Dr. A.J. Ryan menyarankan untuk memakai intravaginal tampon yang dirancang secara nyaman dan menyenangkan untuk atlit perenang selama menstruasi. (Fox 1993) Dari informasi-informasi ini, beralasan bila menyarankan kepada atlit wanita untuk mengikuti latihan ataupun kompetisi saat menstruasi bila ia tidak merasakan adanya gangguan pada dirinya. Tetapi juga beralasan untuk menyarankan kepada atlit wanita tidak ikut latihan atau kompetisi apabila atlit wanita tersebut merasakan gelisah, tidak nyaman akibat menstruasi nya. Semuanya ini bergantung pada pengalaman masing-masing atlit.(Fox 1993) Ed. Boston-USA. WCB/Mcgrawhill. Harsuki. 2003. Perkembangan olahraga terkini, kajian para pakar. Jakarta. Rajawali sport. Soekarman R. 1986. Dasar Olahraga untuk Pembina, Pelatih, dan Atlit. Jakarta. CV. Haji Masagung. Sastrawinata S. 1983. Ginekologi. Bandung. Elstar Offset. Menstruasi dan Defisiensi Zat Besi Hemoglobin (Hb) mempunyai kemampuan berikatan dengan oksigen, yang terdiri dari komponen zat besi (hame). Zat besi dibutuhkan oleh tubuh terutama untuk pembentukan hemoglobin, apabila kekurangan zat besi maka dapat menyebabkan terjadinya anemia kekurangan besi (iron-deficiency anemia). Sehingga dapat menyebabkan kurangnya Hb yang pada akhirnya mengakibatkan jumlah seldarah marah juga berkurang (anemia).(Fox 1993) Perlu diperhatikan bahwa kekurangan zat besi pada menstruasi dapat mengganggu performance, apabila performance menurun atau ada gejalagejala kurang darah pada atlit wanita (iron defiseinsi anemia) perlu dilakukan tes Hb. Tetapi kebanyakan atlit wanita juga mengkonsumsi zat besi dalam diitnya. (Fox 1993, Soekarman, 1986) Kepustakaan Asnar E. 2004. Handout Kuliah. Wanita & Olahraga. Lab. Faal. FK – Unair. Surabaya Fox E.L., Bowers R.W., Foss M.L. 1993. The Physiological Basis for Exercise and Sport, 5th. 44 TINGKAT KONSENTRASI DALAM PLASMA ANTARA ISONIAZID GENERIK DIBANDINGKAN ISONIAZID NON-GENERIK Muzaijadah Retno Arimbi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Kematian akibat penyakit tuberkulosa paru tetap tinggi, meskipun Obat Anti Tuberkulosa (OAT) yang dapat diperoleh secara gratis melalui program WHO, yaitu melalui program Directly Observed Treatment Short course Chemotherapy (DOTS), namun keterlambatan diagnose, terapi yang tidak adekwat, putus berobat, resistensi terhadap OAT dan adanya penyakit yang menyertai,merupakan penyebab utama kegagalan terapi, disamping faktor rendahnya kesadaran akan pentingnya kesehatan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Mengetahui perbedaan kadar dalam plasma darah vena cubiti antara Isoniazid ( INH ) generik/ paket DOTS / Kombipak dan INH Non generik. Penelitian dilakukan pada 2 kelompok sampel, masing-masing kelompok sampel darahnya diambil sebanyak 3 kali yakni sesaat sebelum diberi INH 300 mg (t0), 1 jam setelah diberikan INH 300 mg (t1), dan 2 jam setelah diberi INH 300 mg (t2).selanjutnya diamati kadar INH nya. Dari hasil Penelitian ini, dibuktikan bahwa tidak dijumpai adanya perbedaan kadar INH dalam plasma antara INH Paket Kombipak ( Generik / Indofarma ) dibanding INH ( Non Generik /CIBA ), pada jam 1 maupun jam 2 setelah pemberian PO. Kata kunci: Tuberkulosa , INH generik dan INH non generik, . LEVEL OF CONCENTRATION IN PLASMA COMPARED ISONIAZID INH GENERIC NON-GENERIC Retno Muzaijadah Arimbi Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT The high mortality cause of pulmonary Tuberkulosa, although Anti Tuberculose drug very easy to take free from WHOs program ( DOTS ), but the late of diagnosis, no adeqwat of theraphy, resistency of TB drug and others diseases go with TB, that cause tratment failure , beside knowledge and economic factors. To know differentiation betwen ( INH ) generik/ paket DOTS / Kombipak dan INH Non generik. The experimental have taken 2 samples groups , every group take the blood 3 times, there are: First take the blood before give INH 300 mg (t0), second take the blood 1 hour after give INH 300 mg (t1), and third take the blood 2 hours after give INH 300 mg (t2). And than measure consentration of INH in the plasma From this study experimental, so no different plasma concentration betwen INH Kombipak / Generik pakage and INH CIBA / Non Generik, in 1 hour or 2 hours after take per oral. Key Words: Tuberculousa, INH generik and INH non generik, . 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kematian akibat penyakit tuberkulosa paru tetap tinggi, meskipun Obat Anti Tuberkulosa (OAT), bisa didapat melalui program WHO, yaitu Directly Observed Treatment Short course Chemotherapy (DOTS), pemakaian OAT terbukti efektif untuk sebagian besar kasus, namun kegagalan cukup banyak kasus yang kita jumpai walaupun terapi yang diberikan sudah adekwat . Program DOTS telah diadopsi oleh 119 negara dan berhasil meningkatkan penemuan kasus baru dan mempertahankan angka kesembuhan, tetapi tidak dapat menghapus besarnya angka kematian akibat penyakit tuberkulosa paru. Berdasarkan laporan WHO tahun 2000 di Genewa, total presentasi kematian dan kegagalan akibat penyakit tuberkulosa paru dengan basil tahan asam ( BTA) positif di 22 negara yang mempunyai prevelensi tinggi terhadap tuberkulosa adalah 3,8 % dan 1,4 % dari yang mendapat pengobatan pada tahun 1997, sedangkan di Indonesia adalah 1,1 % dan 1,0%. Beberapa peneliti mengemukakan berbagai penyebab kegagalan,yaitu keterlambatan diagnose, terapi yang tidak adekwat, putus berobat, resistensi terhadap OAT dan adanya penyakit yang menyertai, misalnya Human Infected of Viral ( HIV ). Dalam hal kegagalan, akibat terapi yang tidak adekwat dan putus berobat diduga adanya faktor 45 rendahnya kesadaran akan pentingnya kesehatan,disamping keadaan sosial ekonomi. Sejak tahun 1960 Pemerintah Indonesia berupaya memenuhi kebutuhan obat dalam negeri. Direktur Jendral Pengawasan Obat Makanan ( Dir.Jen.POM ) mengatakan, bahwa harga obat generik lebih murah daripada harga obat paten, serta mempunyai nilai terapiutik yang sama. Pada tahun 1995 bersamaan dengan dicanangkan nya program DOTS, maka dikeluarkan sebuah paket Kombipak, yang diberikan kepada penderita Tuberkulosa. Satu paket Kombipak terdiri atas 114 blister yang terbagi 60 blister, diberikan pada fase intensif selama 2 bulan dan diberikan setiap hari yang terdiri : Rifampisin 450 mg, Isoniazid 300 mg, Pirazinzmid 500 mg ( 3 tablet), Ethambutol 250 mg (3 tablet ) . Sedangkan sisanya yakni 45 blister yang diberikan pada fase lanjutan 4 bulan dan diberikan 3 kali seminggu, yang terdiri dari Rifampisin 450 mg dan Isoniazid 300 mg. 2.TINJAUAN PUSTAKA Isoniazid, Isonicotinic acid Hidrazide (INH), merupakan komponen sintesis yang ditemukan pada tahun 1953 yang mempunyai struktur N C NH 1.2. Rumusan Masalah Apakah terdapat perbedaan kadar isoniazid Paket Kombipak dan Isoniazid CIBA, pada penderita Tuberkulosa paru? 1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan kadar dalam plasma darah vena cubiti antara Isoniazid Paket Kombipak dan Isoniazid CIBA pada penderita tuberkulosa paru yang mendapat obat anti tuberkulosa (OAT). 1.4. Manfaat Penelitian 1. Untuk menghilangkan keraguan masyarakat terhadap kadar Isoniazid Paket Kombipak dalam plasma darah vena. 2. Menyumbangkan wawasan pentingnya obat generik masyarakat tentang kepada formula seperti di bawah ini yang mudah diidentifikasi secara fisik, karena merupakan bubuk kristal putih, mudah larut dalam air. NH 2 O Gambar.21.Struktur Formula Isonicotinic acid Hidrazide ( INH ) 2.1. Kerja Obat Menghambat kerja sintesa mycolic acid lewat hambatan pada enzym mycolase sintetase, yang berperan dalam pembentukan dinding sel Mycobacyerium, sehingga sangat efektif melawan multiplikasi yang cepat dari kuman M. Tuberkulosa yang ada dalam kavitas lesi paru, juga cukup efektif melawan multiplikasi lambat kuman M. Tuberkulosa Intraseluler. 2.2. Indikasi INH bersifat bakterisidal, sehingga dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang (mengadakan replikasi), MIC nya sekitar 0,025 - 0,05 µg/ml. INH mengadakan penetrasi kedalam dinding sel, seperti halnya menghentikan pertumbuhan kuman dalam media kultur. 2.3. Farmakokinetik a. Pemberian INH diabsorbsi dengan baik didalam GIT setelah pemberian peroral dan distribusikan keseluruh tubuh.Makanan ataupun antasid akan menurunkan bioaviabilitasnya.Kadar puncak dalam serum berhubungan dengan dosis obat yang diberikan. Kadar puncak dalam serum tercapai dalam waktu 1 - 2 jam setelah pemberian peroral dan konsentrasi efektif dijumpai 24 jam setelah obat ditelan. Kadar puncak dalam serum setelah 1 - 2 jam pemberian adalah hampir sama untuk semua penderita , namun kadar dalam serum setelah pemberian INH 4 - 6 jam adalah berbeda, hal ini tergantung pada golongan penderita, yakni digolongkan dalam slow 46 inactivator dalam 2 - 4 jam , sedangkan pada rapid inactivator adalah 0,5 – 1,5 jam b. Dosis INH 5 mg/kg bb/hari pada orang dewasa (dosis maksimal 300 mg/hari) diberikan single dose. INH 10 mg/kg bb/hari (dosis maksimal 600 mg/hari) diberikan pada keadaan penyakit berat misalnya Tuberkulosa meningitis atau Tuberkulosa milier. INH diberikan sebagai terapi setiap hari selama 2 bulan dengan dosis 5 mg/kg bb/hari dalam fase intensif yang dikombinasi dengan Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol, selanjutnya diberikan 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg/kg bb/hari selama 4 bulan dalam fase lanjuta yang dikombinasi dengan Rifampisin saja. Sedangkan piridoxin (10 mg INH/hari) diberikan untuk mengatasi neuritis perifer. c. Distribusi Di dalam tubuh INH terikat protein plasma 10 % didistribusikan dengan cepat dalam cairan tubuh dan jaringan-jaringan, serta dijumpai kadarnya yang cukup dalam fokus caseous.Konsentrasi INH dalam cairan cerebospinal dan CNS + 20% dibandingkan INH dalam serum. Konsentrasi intraseluler hampir sama dengan konsentrasi ekstraseluler. INH mudah melewati plasenta menuju sirkulasi fetus dan diekskresikan dalam air susu . d. Metabolisme INH dimetabolisme dalam hati dalam bentuk tidak aktif. Inaktivasi INH terjadi dalam hati oleh enzim N-acetyl transferase yang mengubah isoniazid menjadi acetyl isoniazid, yang mempunyai 2 bentuk yaitu monoacetyl hidrazine dan Isonicotinic acid. Monoacetyl hidrazine kemudian diasetilas menjadi diacetyl hidrazine dan Isonicotinic acid, yang bersatu secara langsung membentuk Isonicotinyl glicine. Isoniazid juga bergabung secara langsung membentuk acid labile hydrazone. INH yang tidak diasetilasi dikeluarkan lewat urin dalam bentuk tidak berubah atau terikat dengan hydrazone. Berdasarkan kecepatan rata-rata asetilasi enzim hepatik (N acetyl transferase), maka dibuat pembagian atas dua kelompok, yakni slow inactivator dan rapid inactivator. Dua kelompok tersebut,dijumpai secara genetik,yaitu pada slow inactivator merupakan autosomal homozigote resesif, dijumpai pada bangsa Indian Selatan, Eropa,Negro,Cina, Eskimo dan Jepang. Sedangkan Rapid Inactivator merupakan heterozigot / homozigot dominan, dijumpai pada bangsa Kaukasia, Mesir, Skandinavia dan Amerika kulit hitam / putih. Pada kelompok slow inactivator relatif kekurangan enzim hepatic transferase, memerlukan dosis pengobatan isoniazid yang lebih kecil, dengan waktu paruh rata-rata 3+ 0,8 jam.Sedangkan rapid inactivator relatif kelebihan enzim hepatic transferase, memerlukan dosis lebih besar dan mempunyai waktu paruh rata-rata 1,1 + 0,2 jam. Rata-rata kecepatan asetilasi pada rapid inactivator heterozigot dominan > 5X dibanding slow inactivator, sedangkan pada rapid inactivator homozigot dominan > 10X dibanding slow inactivator. e. Ekskresi 70% INH keluar lewat ginjal dalam bentuk tidak aktif dan sisanya dalam bentuk aktif. Pada slow inactivator dikeluarkan sebesar > 10 X INH aktif dibandingkan rapid inactivator setelah 6 jam INH diberikan secara peroral. Sisa substansi inaktif yang dikeluarkan adalan acetyl Isoniazid, Isonicotinic acid dan hydrazone isoniazid. Pada rapid inactivator mengeluarkan + 94% Isoniazid sebagai acetyl Isoniazid dan metabolit yaitu 2,8% sebagai free Isoniazid dan 3,6% sebagai Isoniazid hydrazone. Sebaliknya Slow inactivator mengeluarkan hampir 37% Free Isoniazid / Hydrazone conjugate dan hampir 63% sebagai acetyl Isoniazid dan monoacetyl hydrazone. f. Efek Samping Peningkatan serum transaminase yang asimptomatis dapat terjadi pada 10-20% penderita yang mendapat terapi INH. Severe hepatitis jarang dijumpai pada umur > 20 tahun dan insidennya meningkat dengan bertambahnya usia, biasanya terjadi pada bulan I dan II setelah pemakaian INH, dapat pula terjadi multilobular necrosis. Keluhan mual. Muntah,diare dan mulut terasa kering sering terjadi pada penderita yang mendapat INH 20 mg/kg bb/hari single dose atau diminum dalam keadaan puasa.Nephrotoxic sering terjadi pada pemberian INH yang dikombinasi dengan Rifampisin dan Streptomisin atau terjadi pada penderita yang hipersensitif. Efek samping pada saraf, antara lain neuropathy perifer ( parestesia stoving glove distribution), terjadi setelah pemakaian INH dosis tinggi > 300 mg/hari atau > 15 mg/kg BB / 3X minggu , disamping itu 47 dijumpai pula efek shoulder arm syndroma, optic neuritis, encephalopathy dan mental disorders. g. Interaksi Obat INH absorbsinya dihambat oleh adanya makanan dan aluminium hidroksida (antasida). INH penghambat enzym hepatyc transferase yang mempengaruhi metabolisme beberapa macam obat seperti: trizolam,barbiturat,phenitoin, warfarin, antipirin dan ketoconazole.Proses asetilasi INH dapat menurun, bila diberikan bersamaan dengan pemberian PAS, sehingga INH yang aktif dapat dijumpai dalam jumlahyang cukup banyak dalam plasma. Konsentrasi INH dalam plasma menurun, bila pemberiannya bersamaan dengan pemberian prednisolon, penurunan konsentrasi yang terjadi sebesar 25% pada slow inactivator dan 40% pada rapid inactivator. Waktu paruh INH meningkat, bila diberikan bersamaan dengan obat-obatan golongan paramino salisilid acid (PAS), procainamide dan clorpromazine, sebaliknya waktu paruh INH menurun dengan pemberian etanol dan obat-obatan yang meningkatkan mikrosomal enzym activity dalam hati. Golongan obat-obatan phenitoin, warfarin dan carbamazepine akan meningkatkan kadar INH dalam serum serta, memperpanjang half live diazepam dengan menghambat metabolismenya dalam hati. 2. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN 3.1. Kerangka Konseptual INH Oral INH GIT INH DARAH Kadar Puncak INH Plasma Jam I Proses Enzimatik Kadar Puncak INH Plasma Jam II Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual 3.2. Hipotesa Penelitian H0: Tidak ada perbedaan kadar Isoniazid dalam plasma darah vena cubiti pada jam I dan Jam II antara Isoniazid Paket Kombipak dan non generik. H1: Ada perbedaan kadar Isoniazid dalam plasma darah vena cubuti pada jam I dan Jam II antara Isoniazid Paket Kombipak dan non generik. 4. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Rancang Bangun Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental pretest posttest design. 4.2. Bagan Alir penelitian Penderita Tuberkulosa memenuhi kriteria sampling Hari I: Kelompok Perlakuan A Diukur kadar Isoniasid 300 mg Paket Kombipak dalam Plasma pada: 0 jam sebelum pemberian INH 1 jam sebelum pemberian INH 2 jam sebelum pemberian INH Pementasan Hasil Penelitian Hari I: Kelompok Perlakuan B Diukur kadar Isoniasid 300 mg Paket CIBA dalam Plasma pada: 0 jam sebelum pemberian INH 1 jam sebelum pemberian INH 2 jam sebelum pemberian INH Hasil analisa Hari III Kelompok Perlakuan B Diukur kadar Isoniasid 300 mg Paket CIBA dalam Plasma pada: 0 jam sebelum pemberian INH 1 jam sebelum pemberian INH 2 jam sebelum pemberian INH Hari III: Kelompok Perlakuan A Diukur kadar Isoniasid 300 mg Paket Kombipak dalam Plasma pada: 0 jam sebelum pemberian INH 1 jam sebelum pemberian INH 2 jam sebelum pemberian INH Gambar 4.1 : Bagan Alir Penelitian 48 4.3. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah short course study 4.4. Pendekaatan Penelitian : Pendekatan penelitian digunakan uji klinis 4.5. Tempat dan Waktu Tempat penelitian dilakukan di ruang paru laboratorium SMF Ilmu Penyakit Paru RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian dilakukan selama 1 bulan ( 1 januari 2003 s/d 3 Pebruari 2003 ) 4.6. Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah total sampling, yaitu seluruh populasi yang memenuhi kriteria, diambil seluruhnya sebagai sampel penelitian. 4.7. Cara Pengambilan Sampel Penderita yang termasuk dalam kriteria sampel, dibagi atas 2 kelompok berdasarkan nomor urut ganjil dan genap. Untuk penderita dengan nomor urut ganjil (kelompok I) mendapat perlakuan A (INH 300 mg Kombipak), selanjutnya mendapatkan perlakuan B (INH 300 mg CIBA). Sedangkan untuk penderita dengan nomor urut genap (kelompok II) mendapatkan perlakuan A (INH 300 mg kombipak). 4.8. Kriteria Sampling Penderita tuberkulosa paru yang dirawat di Ruang Paru RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Usia antara 20 - 45 tahun, berat badan antara 33 - 50 kg. Dengan hasil pemeriksaan BTA (Batang Tahan Asam) sputum positip, tidak mengalami ganguan pencernakan dan liver, tidak sedang dalam pengobatan dengan obatobatan yang berinteraksi dengan INH, Obat INH diminum 2 jam sebelum makan, penderita bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani inform concernt. 4.9. Alat dan Bahan Catatan medik penderita dan formulir observasi. Alat pemeriksaan fisik berupa stetoskop (merk Litzman), tensimeter (merk Anova), timbangan berat badan (merk Terumo), heparin 5000 U dan darah vena cubiti, kit pemeriksaan foto toraks (bagian Radiologi), Spectrophotometer Ultraspec Instructions Manual Type 4050 LKB Biochrom, alat tulis, komputer, dan kalkulator serta obat INH 300 mg generik dari paket Kombipak dan obat INH 300 mg non generik dari CIBA 4.10. Cara Pengamatan Penderita dibagi 2 kelompok. Penderita tuberkulosa paru dengan sputum BTA Positif, masing-masing kelompok diamati, antara lain : a. Anamnesa b. Pemeriksaan fisik ( umur (tahun), tinggi badan (cm), berat badan (kg), tekanan darah (mm Hg), nadi ( /mt) c. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, kimia darah ( SGOT, SGPT, BUN, Serum kreatinin. d. INH diberikan 2 jam sebelum makan e. Pemeriksaan kadar INH dalam darah vena cubiti sebanyak 3 kali yakni sesaat sebelum diberi INH 300 mg (t0), 1 jam setelah diberikan INH 300 mg (t1), dan 2 jam setelah diberi INH 300 mg (t2). Sampel darah diambil dari vena cubiti lengan kiri sebanyak 6 ml dan ditambah larutan heparin 5000 U/ml sebanyak 0,2 ml setiap pengambilan sampel. Sampel darah ditampung dalam tabung, kemudian dipusingkan dan serumnya disimpan dalam lemari es dengan suhu -200 C sampai penentuan kadar dilakukan. f. Cara pengukuran kadar INH : Penentuan kadar INH dalam serum dilakukan dengan alat Spektrofotometri Ultra Spec Instrukction Manual Type 4050 LKB Biochron. Pengukuran dikerjakan Oleh laboratorium Biofarmaseutika Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. 4.11. Indentifikasi Variabel a. Variabel bebas : Isoniazid b. Variabel tergantung : Kadar INH dalam plasma darah vena cubiti c. Variabel Kendali : Umur, dana dan berat ringannya penyakit. 4.12. Batasan Operasional a.Penderita Tuberkulosa paru adalah penderita yang dirawat inap dengan hasil pemeriksaan bakteriologi sputum positif. b.INH kombipak, adalah INH 3000 mg, yang diproduksi oleh perusahaan farmasi tertentu yang telah ditujuk oleh Pemerintah yang merupakan program DOTS. c.INH CIBA adalah INH 300 mg, yang diproduksi oleh perusahaan farmasi CIBA. 49 d.Kadar INH dalam plasma, yaitu kadar INH yang diambil dari darah vena cubiti dan diukur dengan metode Spektrofotometri dan menggunakan alat Spektrofotometer, Ultraspec Intruction Manual Type 4050 LKB Biochrom. d.Pemeriksaan bakteriologi BTA sputum, dilakukan dengan pengecatan Ziehl Neelsen dan pembacaan hasil sediaan sputum dilakukan dengan memakai skala IUTLD, Yaitu : 1.Tidak ditemukan BTA / 100 lapangan pandangan, disebut negatif. 2. 1 - 9 BTA / 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang ada. 3. >10 - 99 / 100 lapangan pandang, disebut positif 1. 4.14. Analisa Statistik Analisa Statistik yang dipergunakan adalah: Uji t untuk sampel yang berpasangan Paired t Test ) 4. 1 - 10 BTA / lapangan pandang, disebut positif 2. 5. > 10 BTA / lapangan pandaqng, disebut positif 3. g.Penderita yang megalami gangguan pencernaan ialah penderita dengan gastritis ataupun diare. h.Penderita yang mengalami gangguan faal hati ialah penderita dengan SGOT / SGPT meningkat > 5X harga normal 4.13. Pengolahan Data Pengolahan dan analisa data, membanding kan kadar INH dalam Plasma darah vena pada jam I dan jam II. X1= Rata – rata sampel 1 X2= Rata – rata sampel 2 S1= Simpangan baku sampel 1 S2= Simpangan baku sampel 2 S12= Varians sampel 1 S22= Varians sampel 2 R= Korelasi antara 2 sampel 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dengan uji t independent test , untuk uji homogenitas karakteristik penderita antara masing-masing kelompok, ternyata tidak didapatkan perbedaan yang bermakna terhadap umur, berat badan, kadar Haemoglobin, kadar serum kreatinin, BUN, kadar SGOT, SGPT, albumin, globulin, gula puasa dan 2 jam sesudah makan ( lihat tabel 5.1 ) 50 Tabel 5.1. Perbedaan karakteristik penderita menurut umur, berat badan, kadar haemoglobin, kadar serum kreatinin, BUN, kadar SGOT, SGPT, albumin, globulin, gula puasa dan 2 jam sesudah makan. Kriteria Kel I Rata2 / Kel I / St deviasi Kel II / Rata2 Kel II / St deviasi T P* Keterangan Umur 30.000 12.2719 35.2727 3.4008 0.066 0.800 Tak berrmakna 43.3636 10.3177 43.4545 6.6236 0.385 0.542 Tak berrmakna 12.0909 2.2744 12.2091 2.0012 0.162 0.692 Tak berrmakna 9.0636 2.1063 9.3818 2.9264 3.196 0.089 Tak berrmakna 0,7518 0.1655 0.7509 0.2728 0.141 0.771 Tak berrmakna 30.1909 18.3161 30.4273 18.5291 0.025 0.875 Tak berrmakna 32.0818 30.5102 32.5727 27.8368 0.032 0.861 Tak berrmakna 3.5245 0.3863 3.4945 0.4724 5.220 0.099 Tak berrmakna 3.8655 0.7724 4.3100 0.8409 2.264 0.148 Tak berrmakna 9.3254 79.2727 18.4233 0.367 0.551 Tak berrmakna 8.5216 105.000 24.7265 0.005 0.945 Tak berrmakna Berat badan Haemoglobin BUN S.Creatinin SGOT SGPT Albumin Globulin Gula Puasa 78.8182 Gula 2jam 99.7273 setelah makan P* > 0.05 adalah tidak bermakna Tabel 5.2. Hasil Perhitungan Statistik Sampel Berpasangan Mean Pair 1 Pair 2 Kadar I ( INH Gen ) 1 jam Pasca PO Kadar I ( INH Non Gen ) 1 jam Pasca PO Kadar I ( INH Gen ) 2 jam Pasca PO Kadar I ( INH Gen ) 2 jam Pasca PO Kadar isoniazid Paket Kombipak dibanding isoniazid CIBA 1 jam setelah pemberian PO, nampak bahwa terdapat kenaikan dan penurunan kadar isoniazid dalam plasma yang hampir sama, scara statistik diperoleh perbedaan yang tidak bermakna pad keduanya ( p > 0,05 ) Kadar Isoniazid Paket Kombipak dan Isoniazid CIBA 2 jam setelah pemberian PO, juga nampak kenaikan dan penurunan kadar Isoniazid dalam plasma hampir sama, 3.7136 3.7500 3.7000 3.5091 N St.Deviasi 22 22 22 22 0.9498 0.9850 3.7000 3.5091 St.Error Mean 0.2025 0.2100 0.2303 0.2018 secara statistik diperoleh perbedaan ini tidak bermakna ( p > 0,05 ) Dengan uji t berpasangan terhadap kadar isoniazid Paket Kombipak jika dibanding isoniazid CIBA 1 jam setelah pemberian PO, diperoleh p = 0,816 lebih besar dari tingkat kemaknaan (p > 0,05), tidak perbedaan yang bermakna. Kemudian dengan uji t berpasangan terhadap kadar isoniazid Paket Kombipak jika dibanding isoniazid CIBA 2 jam setelah pemberian PO, diperoleh p = 0,544 lebih besar dari tingkat kemaknaan (p > 0,05), tidak perbedaan yang bermakna ( lihat tabel 5.3). 51 Tabel 5.3. Analisa Statistik Dengan Uji t Berpasangan Pair diff Mean Std Dev Std Error Mean 95% Confidence interval of the diff. Lower Upper T Df Sig Pair 1: Kadar INH Paket Kombipak 1 jam pasca PO Kadar INH CIBA 1 jam pasca PO - 3.64E-02 0.7241 0.1544 Pair 2: Kadar INH Paket Kombipak 2 jam pasca PO Kadar INH CIBA 2 jam pasca PO 0.1909 1.4514 0.3094 -0.3574 0.2847 -0.4526 0.8344 -0.236 21 0.816 0.617 21 0.544 Isoniazid, Isonicotinic acid hidrazide (INH), merupakan komponen sintetis, merupakan obat anti tuberkulosa yang bersifat bakterisidal. INH diserap dengan baik di dalam GIT setelah pemberian per oral dan didistribusikan keseluruh tubuh. Makanan ataupun antasida akan menurunkan bioavailibilitasnya. Kadar puncak dalam serum tercapai dalam waktu 1 - 2 jam setelah pemberian per oral dan konsentrasi efektif bertahan sampai 14 jam. Pada penelitian ini dipilih penderita TB paru baru dan tenggang waktu antara pemberian INH paket Kombipak dan INH CIBA lamanya 24 Jam, dengan alasan bahwa agar tidak dijumpai kadar sisa INH dalam plasma penderita yang dijadikan sampel penelitian. Dosis pemakaian INH antara 5 - 10 mg/kg berat badan/single dose. Pada penelitian ini dipilih penderita dengan berat badan antera 35 kg s/d 50 kg, dengan pertimbangan agar dosis yang diberikan pada penderita seragam, yakni 300 mg. Didalam tubuh INH terikat pada protein plasma < 10%, didistribusikan dengan cepat dalam cair tubuh dan jaringan. INH dimetabolisme dalam hati dalam bentuk tidak aktif, inaktifasi INH dilakukan oleh enzym N acetyl tranferase yang merubah INH menjadi acetyl isoniazid (monoacetyul hidrazine dan isonicotinic acid). Monoacetyl hidrazine kemudian di asetilasi menjadi diacetyl hidrazine dan isonicotinic acid,yang bersatu membentuk acid labili hydrazone. INH yang tak diasetilasi, dikeluarkan lewat urine dalam bentuk tak berubah atau terikat dengan hydrazone. Pada pemberian INH dosis 300 mg (5-10 mg/kg berat badan/singel dose), dijumpai kadar INH dalam plasma sebesar 3-5 ug/ml. Sedangkan pada dosis 800 mg/single dose, dijumpai kadar INH dalam plasma sebesar 1015 ug/ml. Kadar puncak dalam serum setelah 1-2 jam pemberian adalah hampir sama untuk semua penderita, namuan kadar plasma setelah pemberian INH 4-6 jam adalah berbeda, tergantung pada golongan penderita, yakni slow inactivator atau rapid inactivator. 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil Penelitian ini tidak dijumpai adanya perbedaan kadar INH dalam plasma antara INH Paket Kombipak ( Indofarma ) dibanding INH CIBA, pada jam 1 maupun jam 2 setelah pemberian PO. 7.2. Saran Paket Kombipak yang dikeluarkan oleh WHO yang dipergunakan untuk pengobatan penderita TB secara Nasional, memiliki konsentrasi obat dalam plasma yang besarnya sama dengan obat TB yang dikeluarkan oleh perusahaan farmasi PT. Novartis Biochemie /CIBA (khususnya tablet INH). 52 DAFTAR PUSTAKA Asgaard DS, Wilke T, et al. 1995.Hepatotoxicity cauced by the combine action of Isoniazid and Rifampicin Thoraks. Bennet N , Kucers A dan Kemp RJ. 1986.Isoniazid In: The use of antibiotics 4th edition William Heinemann Medical Books, London. Departemen Kesehatan RI. Pengobatan Tuberkulosis.2000.Pedoman Nasional penanggulangan Tuberkulosis. Dep. Kes. RI. Jakarta Dipalma JR and Digregorio GJ.1996. Anti infectie agent. In: basic Farmacology in medicine, 3 rd edition, Mc graw Hill pubishing Company. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.2000. Kelayakan penulisan resep atau penggunaan obat generik di fasilitas kesehatan. Informatorium obat generik. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Dep kes RI.Jakarta. Grollman A and Ghrollman EF.1970. Chemotherapy in: pharmacology and therapiutics. 7 th editon, Lea and Febiger Philadelphia. Israel HL,Gottier JE et al.1992.Perspective isoniazid therapy and the liver. Chest. Jawets E. 1978.A Antimikrobial agents: drugs used in TB, MAC and Leprosy. The Lange Medical book. Kimerling ME, Philips P. Patterson P. Et al.1998. Low serum antimycobacterial drug level in on HIV infekted tuberkulosa patiens. Leven Bewger P, Meyer H, et al. 1992. Drug use in tuberculosis and leprosy. In: Meyers side effects of drug 12th edition elsevier Amsterdam, London, New York, Tokyo. Liorens J, Serrano RJ and Sanchez R. 1978. Pharmakodynamic Interference between Rifampicin and Isoniazid. Chemotherapy. Mandell Gc and Petri WA Jr.1996. Antimicrobial agent. Goodman and Gilman s. In: the Pharmakological basic of therapeutics. 9 th edition . MC graw Hill Company, new York. Morehead RS.2000. Delayed death from pulmonary tuberculosis. Unsuspected subtherapeutic drug levels. South Med J Mouton RP, Mattie N, et al. 1979.Blood levels of Rifampicin, Deacetiyl Rifampicin and Isoniazid during combined therphy. J. Antimicrobial Chemotherapy Nisar M, Watkin SW, et al. 1990.Exacerbation of Isoniazid inducd peripheral Neuropathy by pyridoxine. Obat generik. Buletin Penelitian Kesehatan, Dep. Kes. RI.2000. Badan penelitian dan Pengembangan kesehatan , Jakarta Siswandoyo and Soekarjo B.1995. Obat anti infeksi. Dalam: kimia Medisinal . Edisi 1, Airlangga Universitas Press,Surabaya Sorrenso Dj, Mehta , et al.1982. Underutilization of Isoniazid chemoprophilaksis in tuberkulosa Contact. In:basic and clinical Pharmacology 2ed. Ed. Bectram G. Katzung. WHO: Global Tuberkulosis control. 2000. WHO report.Geneva 53 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 t1 5.10 4.00 2.00 2.90 4.80 5.10 4.90 2.80 4.80 5.40 3.70 3.10 3.20 4.30 3.10 3.30 3.80 3.20 3.20 3.50 2.70 2.80 Lekosit 10.50 22.40 9.90 6.60 5.00 7.70 6.90 7.80 5.80 12.00 4.70 7.80 8.80 12.80 10.90 10.80 13.70 7.50 8.70 6.60 9.70 7.20 t2 4.80 3.60 2.80 2.60 4.40 4.00 5.50 4.20 6.50 5.10 3.20 3.00 3.80 3.20 3.50 3.50 3.00 3.00 2.90 3.40 3.00 3.50 t11 4.80 6.20 5.20 4.90 4.40 3.80 5.30 2.60 2.50 2.50 5.10 2.80 3.10 3.20 3.10 3.20 3.30 3.20 3.00 2.80 3.20 3.20 Trombosit 370.00 360.00 501.00 350.00 620.00 500.00 303.00 375.00 300.00 235.00 291.00 442.00 306.00 572.00 410.00 472.00 411.00 438.00 234.00 270.00 255.00 364.00 BUN 7.50 12.00 9.00 6.70 8.60 10.00 6.50 10.50 8.00 13.00 7.90 13.00 11.00 12.00 9.00 8.00 5.00 7.00 6.00 12.00 7.20 13.00 t22 5.20 3.80 3.70 2.90 4.40 2.90 2.90 5.20 3.80 6.20 3.30 2.70 3.00 3.20 2.80 3.40 3.30 2.50 2.80 3.20 3.00 3.00 Sex 1.00 2.00 2.00 1.00 1.00 1.00 1.00 2.00 1.00 2.00 2.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 2.00 1.00 1.00 2.00 S.creat 0.98 0.69 0.43 0.80 0.93 0.94 0.73 0.74 0.70 0.78 0.55 0.92 0.78 0.80 0.80 0.92 0.75 0.01 0.71 0.75 1.11 0.71 Umur 45.00 30.00 42.00 36.00 20.00 40.00 26.00 35.00 25.00 35.00 32.00 45.00 35.00 45.00 36.00 25.00 40.00 26.00 32.00 25.00 32.00 22.00 SGOT 17.00 48.00 17.00 14.50 29.40 25.00 40.90 14.70 15..00 37.00 17.90 17.00 20.00 45.00 17.00 15.00 20.00 21.00 20.00 64.00 22.70 64.00 SGPT 16.40 15.00 25.00 21.00 30.30 8.00 40.30 23.30 15.00 48.00 10.60 21.00 12.00 38.00 9.00 6.00 40.00 16.00 21.00 83.00 86.00 26.30 TB 163.00 150.00 155.00 160.00 152.00 160.00 165.00 146.00 169.00 148.00 130.00 167.00 165.00 150.00 165.00 155.00 155.00 165.00 156.00 170.00 159.00 150.00 BSN 66.00 90.00 80.00 95.00 80.00 75.00 67.00 75.00 88.00 80.00 71.00 96.00 65.00 90.00 38.00 85.00 86.00 67.00 90.00 65.00 90.00 90.00 BB 45.00 42.00 48.00 45.00 48.00 45.00 47.00 38.00 64.00 35.00 33.00 50.00 43.00 47.00 37.00 35.00 36.00 45.00 54.00 45.00 50.00 36.00 HB 12.40 12.30 12.20 11.30 10.60 14.20 12.50 12.70 16.10 10.00 15.10 15.30 11.10 11.10 10.40 13.80 13.80 14.80 12.00 12.00 13.30 11.20 2JPP 90.00 100.00 90.00 100.00 95.00 120.00 100.00 99.00 98.00 109.00 96.00 101.00 100.00 161.00 100.00 125.00 656.00 101.00 99.00 102.00 100.00 110.00 Albumin 3.54 3.10 3.29 3.52 3.69 4.20 3.13 3.20 4.20 3.30 3.60 3.70 3.70 3.20 2.80 2.80 3.50 4.20 3.20 3.54 4.20 3.60 Paired Samples Statistik Pair Generik jam II 1 Non Generik Jam II Mean N St.Deviation 3.7000 3.5091 22 22 1.0801 0.9466 St.Error Mean 0.2303 0.2018 Paired Samples Correlation Pair 1 Generik jam II Non Generik Jam II N Correlation Sig 22 -.021 .925 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval Of The Difference Std.Deviation Std.Deviation Std. Error 54 Pair 1 Generik jam II Non Generik Jam II .1909 Mean Mean 1.4514 .3094 -.4526 .8344 Paired Samples Test Pair 1 Generik jam II Non Generik Jam II t df Sig.( 2 – tailed ) .617 21 .544 Paired Samples Statistik Pair Generik jam II 1 Non Generik Jam II Mean N St.Deviation 3.7136 3.7500 22 22 .9498 .9850 St.Error Mean 0.2025 0.2100 Paired Samples Correlation Pair 1 Generik jam II Non Generik Jam II N Correlation Sig 22 .720 .000 Paired Samples test Paired Differences 95% Confidence Interval Of The Difference Std.Deviation Pair 1 Generik jam II Non Generik Jam II -3.64E-02 Std.Deviation Mean Std. Error Mean .7241 .1544 -.3574 .2847 Paired Samples test Pair 1 Generik jam II Non Generik Jam II t df Sig.( 2 – tailed ) -.236 21 .816 55 LEGIONELLA Indah Widyaningsih Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK lLegionela merupakan penyakit lingkungan yang ditularkan melalui udara. Legionella Penyakit Legionella adalah pertama kali ditemukan karena adanya kejadian luar biasa pada 27 Juli 1976 di Beellevue Stratford Hotel Philadelphia, Pennsylvania, dimana para purnawirawan tentara Amerika ( legion ) sedang mengadakan pertemuan di hotel tersebut. Setelah dua hari pertemuan tiba – tiba kurang lebih 221 purnawirawan ( Legion ) mengalami gejala sakit yang mirip pneumonia lalu mereka mendapatka pengobatan tetapi 34 orang meninggal dunia, setelah diteliti dan diperiksa dari sample para legion tersebut pada januari 1997 ditemukan adanya bakteri pada pembiakkan sample tersebut yaitu Legionella pneumophila. Itulah sebabnya penyakit ini dinamakan Legioenella disease.(1) Keywords: Legionella, bakteri aerob,nonspora, berbentuk batang,gram negatif LEGIONELLA Indah Widyaningsih Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT lLegionela an environmental disease that is transmitted through the air. Legionella Legionella disease was first discovered because of the outbreak on July 27, 1976 at Beellevue Stratford Hotel, Philadelphia, Pennsylvania, where the retired American soldiers (legion) are holding a meeting at the hotel. After two days of meetings arrive - arriving approximately 221 retirees (Legion) experience symptoms similar to pneumonia and then they mendapatka treatment but 34 people died, having researched and examined from a sample of the legion was in January 1997 found the bacteria in these samples are breeding Legionella pneumophila. That is why the disease is called Legioenella disease. (1) Keywords: Legionella, aerobic bacteria, nonspora, rod-shaped, gram-negative PENDAHULUAN Penyakit Legionella adalah pertama kali ditemukan karena adanya kejadian luar biasa pada 27 Juli 1976 di Beellevue Stratford Hotel Philadelphia, Pennsylvania, dimana para purnawirawan tentara Amerika ( legion ) sedang mengadakan pertemuan di hotel tersebut. Setelah dua hari pertemuan tiba – tiba kurang lebih 221 purnawirawan ( Legion ) mengalami gejala sakit yang mirip pneumonia lalu mereka mendapatka pengobatan tetapi 34 orang meninggal dunia, setelah diteliti dan diperiksa dari sample para legion tersebut pada januari 1997 ditemukan adanya bakteri pada pembiakkan sample tersebut yaitu Legionella pneumophila. Itulah sebabnya penyakit ini dinamakan Legioenella disease.(1) Legionella adalah nama dari bakteri yang mempunyai sifat dan cirri yaitu, merupakan bakteri aerobik, non spora, berbentuk batang, gram negative, dan mempunyai ukuran panjang 2 – 20 µ dengan garis tengah 0,5 – 0,7 µ. Legionella sudah diidentifikasi mempunyai kurang lebih 39 spesies dan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. (1) Legionellosis adalah kumpulan dari gejala klinis yang disebabkab ole kuman Legionella. Penyakit legionella dan Pontiac fever adalah bentuk legionellosis yang sering terjadi. Penyakit legionella mempunyai gejala klinis yang lebih berat dari Pontiac fever. Legionella merupakan penakit yang disebabkan oleh lingkungan dimana penularannya dari sumber air atau tanah yang tercemar oleh bakteri ini. Penularannya bukan dari manusia ke manusia. (1,2) Penyakit Legionella jumlanya kurang lebih 5 – 15 % dari semua penderita pneumonia yang ada di masyarakat. Tanpa pemberian antibiotik yang tepat penyakit legionella ini akan menjadi berat dan akan menimbulkan komplikasi yang serius bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penyakit legionella ini mempunyai gejala klinis mirip 56 dengan penuomonia yang diakibatkan oleh kuman pneumonia yang lain dan diagnosis tidak dapat ditegakkan tanpa adanya pemeriksaan diagnostik yang khusus. Banyak antibiotik yang digunakan untuk pengobatan pada infeksi pneumonia yang terjadi pada masyarakat, tetapi hanya antibiotik tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan pada penyakit Legionella ini. (2) Penyakit legionella adalah infeksi bakteri akut pad saluran pernafasan bawah yang disebabkan oleh Legionella pneumophila. Penyakit ini berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian 15 – 20%. Penyakit Legionella merupakan penyakit nomer 3 di Amerika. Dilaporkan 15 – 30% paseien yang masuk ke unit gawat darurat dengan gejala seperti pneumonia ternyata menderita Legionellosis ( ). Legionella juga bisa disebabkan karena infeksi nasoklonia. Banyak kasus Legioenlla tidak dapat didiagnosis disebabkan oleh karena gejala klinisnya mirip dengan pneumonia (1, ) Kelompok populasi yang merupakan resiko terbesar untuk mendapat infeksi penyakit Legionella ini antara lain : mereka yang mendapat terapi imunosupresif pada pasien – pasien yang alami transpalantasi sum – sum tulang, transplantasi organ, pasien dengan keganasan dimana mereka mendapatkan kemoterapi, penderita yang meminum kortikosteroid ( >20mg/hari ). Peningkatan resiko juga didapatkan pada usia > 65 tahun, perokok, mereka yang menderita penyakit paru menular kronis atau menderita penyakit jantung kongesti. Pada anak – anak jarang ditemukan penyaki Legionella ini. (1,2) 70 % dari kasus legionelosis ini merupakan 15 serogroup. Legionella pneumophila termasuk serotype 1 ( Lp-1). (1,2,3) Legionelosis adalah kumpulan dari gambaran penyakit yang disebabkan oleh bakteri pathogen Legionalla. Penyakit legionella dan Pontiac fever adalah tipe yang sering menyebabkan legionelosis, penyakit legionella lebih beratdibanding Pontiac fever. Penyakit Legionella tidak ditularkan dari manusia ke manusia, kuman ini masuk kedalam tubuh manusia melalui sumber – sumber air seperti tower pendingin udara, serta sumber – sumber air yang tercemar oleh legionella. Legionella dapat masuk kedalam tubuh manusia dengan cara menghirup udara yang tercemar. Semua orang bisa terkena penyakit ini tetapi terutama usia pertengahan dan yang terbanyak adalah usia yang lebih tua, perokok, penderita penyakit jantung kongestif, mereka yang mendapat terapi iminokompromise. Faktor kerentanan dari penderita juga merupakan salah satu resiko untuk tertular Legionella. Infeksi Legionella dapat sporadik atau epidemik, bisa terjadi pada masyarakat ataupun oleh karena infeksi nosoklonial. Biasanya terjadi pada musim panas atau awal musim gugur. (3) II. 2. TAKSONOMI, ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI TINJAUAN PUSTAKA II. 2. 1. TAKSONOMI (4) Kingdom : Bakteri Phylum : Proteobakteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Legionellaceae Genus : Legionella Species : Legionella pneumophila ( L.pneumophila ) II. 1. EPIDEMIOLOGI II. 2. 2. ETIOLOGI Penyakit legionella adalah pemyakit infeksi bakteri akut yang menyerang saluran pernafasan bawah akut. Penyakit Legionella ini menyerang sistem pernafasan secara umum dan rata – rata angka kematiannya kurang lebih 15 – 20 % (2). Legionella pneumophila adalah salah satu spesies dari Legionella dan 90 % menyebabkan kasus legionelosis. Kurang lebih Penyakit Legionella disebabkan oleh Legionella pneumophila dimana bakteri ini merupakan bakteri aerob, serta merupakan organisme uniseluler, bakteri berbentuk batang, bakteri gram negative mempunyai ukuran panjang 2 – 20 µm lebar 0,5 – 0,7 µm, bergerak dengan flagella untuk perkembangbiakkan harus dengan media khusus 57 gambar L.pneumophila ( ditunjuk tanda panah ) ( diambil dari Medmicro Chapter 40 ) genus yang ditemukan sekarang ini adalah 39 II. 2. 3. KLASIFIKASI spesies berdasarkan studi DNAnya. Karakteristik molekuler yang didapat L.pneumophila adalah legonella pertama yang dari darah penderita legionella Pensylvania, ditemukan dan mempunyai 14 serotipe.(4 ) 58 II. 3 PATOGENESIS Patogenesis dari infeksi Legionella dimulai dari penyediaan air yang mengandung bakteri yang dapat menginfeksi manusia. Infeksi legionella terbanyak melalui dua cara yaitu : ( 7 ) 1. Inhalasi : aerosol, semprotan air, kabut atau bentukan halus dari air yang terhirup langsung. 2. Aspirasi ( tersedak ) : melalui makanan atau terminum atau tersedak dengan air yang terkontaminasi dengan Legionella. Sumber bakteri Legionella bisa berasal dari alam atau buatan manusia. Dari alam seperti : danau, sungai, lumpur, uap panas serta tanah. Seadngkan yang berasal dari buatan manusia : menara pendingin, keran air panas atau dingin, tangki pemanas air, spa, shower, sauna, whirpool, industri system pendingin, air terjun buatan dan lain – lain. Bakteri legionella dapat bertahan dan tumbuh pada suhu 25 - 42ºC. Legionella akan mati pada suhu 55ºC dalam 1 jam. (2,5) Infeksi dimulai pada saluran pernafasan bawah yaitu makrofag alveolar dimana ini merupakan pertahanan tubuh pertama jika tubuh terinfeksi oleh bakteri pada paru – paru. Bakteri akan diikat pada makrofag melalui reseptor komplemen dan kemudian ditelan oleh fagosom. Jika bakteri tidak mati maka bakteri akan mengalami multiplikasi dan sel akan mati lalu menginfeki sel sehat yang lain. ( 2,5,7) Legionella terdapat pada permukaan air atau tempat – tempat air yang sudah terkontamisi oleh L. pneumonia dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup. Tempat – tempat yang dapat menjadi sumber dari kontaminasi adalah sistem pendingin udara yang terkontaminasi, pancuran air untuk mandi atau dari sumber air yang lain. Udara yang mengandung uap air yang sudah terkontaminasi oleh legionella masuk kedalam tubuh manusia melalui inhalasi dan menetap di makrofag alveolar. Sel fagosit akan membunuh atau menghambat dari pertumbuhan dari L.pneumophila di paru – paru. gambar patogenesis Legionelosis ( diambil dari Medmicro 40 ) 59 - II. 4 GEJALA KLINIS Gejala klinis dibagi dua yaitu : Pontiac fever : (1,3,7,9) - gejala klinis mirip dengan influenza - Masa inkubasi 24 – 48 jam - Demam, sakit kepala - Akan sembuh sendiri dalam 2 – 5 hari Penyakit Legionella : - Gejala klinis seperti pneumonia - Masa inkubasi 2 – 10 hari - Demam, sakit kepala, anorexia, myalgia Kematian Sulit untuk mendiagnosis Legionella dari gejala klinis dan fototoraks karena gejala klinis dan foto rontgennya mirip dengan pneumonia. Oleh karenanya harus ditegakkan melaui pemeriksaan laboratorium yang khusus. Infeksi legionella yang disebabkan oleh L.pneumophila bias juga menyebabkan Pontiac fever dumana gejala lebih ringan dan lebih cepat sembuh. Clinical Manifestation Legionella disease sumber dari medmicro II. 5 DIAGNOSIS Karena gejala klinis dan rontgen paru mempunyai gejala klinis yang mirip dengan pneumonia, maka diperlukan pemeriksaan laboratorium yang khusus. Metode laboratorium untuk menegakkan diagnosis dari Legionella : ( 10,11 ) 1. Kultur, terdapat pertumbuhan bakteri dari sample antara lain sputum pada media Buffered Charcoal Yeast Extract agar ( BCYE ), BCYE/PVA ( terdiri polimixin B, vancomisin, anisomisin ), BCYE/PAC ( terdiri polimixin B, anisomisin, cefamandol ) lalu diinkubasi pada suhu 35 - 37º C . Sensitivitas 80%, spesitivitas 100% waktu yang dibutuhkan 3 – 5 hari. 2. Direct Fluorescent Antibody (DFA) dari sputum atau cairan tubuh yang lain. Sensitivitas 33 – 70%, spesitivitas 95 - 100% waktu yang dibutuhkan dalam beberapa jam 3. Urinari Antigen Test, untuk deteksi antigen Legionella pada urin. Sensitivitas 80%, spesitivitas 95%. Waktu yang dibutuhkan beberapa jam. 4. Tes Serologis, sample dari darah. Sensitivitas 40 – 60%, spesitivitas 95 – 100%. Waktu yang dibutuhkan 2 – 8 minggu. 60 II. 6 PENATALAKSANAAN ( 12 ) 1. Golongan quinolone ( levofloksasin, moxiflokacin, gemifloksasin ) 2. Golongan macrolide ( azitromisin, clarithromiscin, roxithromicin 3. Rifampisisn juga dapat digunakan sebagai kombinsai dengan quinolone / macrolide 4. Antibiotik lain yang bekerja secara intraseluler ( eritromisin dan tetrasiklin ) II.7 PENCEGAHAN DAN PENGAWASAN ( 4, 5, 11 ) Penyakit legionella merupakan interaksi dari kuman Legionella, lingkungan dan penjamu ( host ). Kejadian dari penyakit legionella ini dapat dikontrol melalui beberapa cara. Bakteri Legionella dapat ditemukan dimana saja seperti hotel, rumah tangga, kantor, sekolahan, tempat – tempat umum dan fasilitas pelayanan kesehatan Legionella dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan – keadaan sebagai berikut : 1. Air yang menggenang dan tidak mengalir 2. Suhu air antara 20 – 50 ºC, bakteri akan tumbuh optimal pada suhu 35 45ºC. 3. PH air 5,0 – 8,5 4. Endapan, biofilm dapat menjadi media tempat berkembangnya bakteri Legionella 5. Ganggang, bakteri dapat memberi makanan yang penting terhadap perkembangan Legionella 6. Protozoa dapat bersimbiaosis dengan Legionella sehingga bakteri ini dapat tumbuh dan berkembang Jenis – jenis air yang dapat menjadi tempat hidupnyaLegionella : 1. Sistem peyediaan air panas di rumah – rumah 2. Menara pendingin air 3. Whirpool dan spa 4. Air terjun buatan 5. Pendingin udara 6. Peralatan dokter gigi 7. Peralatan respirasi Faktor host yang terkait adalah tidak semua orang yang menghirup air / uap air yang mengandung legionella bisa menderita penyakit Legionella, tetapi berhubungan dengan faktor kerentanan dari hostnya sendiri. Ukuran Legionella yang kecil < 5 mikron yang menyebabkan bakteri ini dapat masuk kebagian yang terdalam dari paru – paru. Faktor – faktor lain yang meningkatkan resiko manusia menderita penyakit Legionella: 1. Usia lebih dari 50 tahun 2. Penderita penyakit paru menahun 3. Orang yang menerima donor 4. Pada orang yang tinggal pada daerah yang terinfeksi Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendisinfektan sistem air yang akan di gunakan yaitu : ( 4,5,11 ) 1. Panaskan dan di bilas. Metode ini adalah yaitu meningkatkan suhu pada tangki lebih dari 60ºC, dan kemudian air tersebut di bilas ( digrojok ) sampai 30 menit. Metode ini bersifat sementara, membutuhkan biaya yang tinggi dan kurang efektif 2. Chlorinisasi. Chlorin ditambahkan kedalam tangki 20 – mg/l dan kemudian dibilas. Dengan chlotin dapat mengakibatkan pipa menjadi cepat korosif dan kadar yang tinggi dalam air menyebabkan air tidak bisa diminum. 3. Radiasi Ultra Violet. Sinar UV yang digunakan mempunyai panjang gelombang 250 – 280 nm. Lampu UV ini di pasang dimana air mengalir. Keuntungan dengan UV adalah tidak menyebabkan zat – zat sisa. Biaya yang dibutuhkan mahal. 4. Ozonisasi. Dosis ozon yang dibutuhkan adalah 1 – ppm. Karena ozon merupakan oksidasi yang kuat maka sangat baik untuk membunuh bakteri, tetapi mudah merusak pipa dan waktu paruhnya pendek. 5. Ionisasi tembaga – silver. Kombinasi dari dua macam logam ini sangat efektif sebagai antimikroba. 6. Chlorine dioxide. Efektif untuk dosis legionella kurang dari 0,2 mg/l 61 Ada beberapa rekomendasi yang praktis untuk dikerjakan antara lain : 1. Hindari air tidak mengalir atau berjalan lambat 2. Periksa secara rutin tangki air panas 3. Simpan air panas dalam suhu > 60ºC dan alirkan ke keran – keran dengan suhu tidak kurang dari 50ºC. 4. Simpan air dingin dan salurkan pada suhu kurang dari 20ºC. Jika tidak memungkinkan periksa sample air secara rutin 5. Lakukan perawatan rutin pada air untuk diminum KESIMPULAN Penyakit legionella bukan merupakan penyakit baru, dikenal pertama kali pada saat para veteran perang sedang mengadakan pertemuan di Philadelphia pada tahun 1976 dan secara mendadak banyak yang menderita sakit mirip dengan pneumonia. Setelah di periksa lebih lanjut maka ditemukan bakteri Legionella pneumophila pada tahun 1977. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. and species causing human illness. J. Infect. Dis. 1984; 149 – 154 Wikipedia. Legionella pneumophila. 7/12/2007 Breiman, RF and Butler. Legionnaires disease : Clinical epidemiology of Legionella. 1998. 7/12/2007 Wikipedia, free encyclopedia. Legionellosis. 7/12/2007 Waashington C. Winn, jr. Legionella. Medmicro chapter 40. 7/12/2007 Moselio Schaeter, PhD. Legionella : parasite of Cells. Mechanism of Disease. William and Wilkins Tokyo. First edition. 1993. Soedarto. Sinopsis kedokteran tropis. Airlangga University press. Cetakan I. 2007. Stoutt, JE Laboratory diagnosis of legionnaires disease. Clin Microbiol. 2000. ; 22: 62 – 64 Arnow, pm., Chou, T. Nosoklonial legionnaires disease. Appl. Eviron. Microbiol. 1985;49:221 - 228 Bakteri Legionella ini menular dari lingkungan ( air ) yang telah tercemar oleh bakteri tersebut. Penularan bukan dari manusia ke manusia. Bakteri ini menempati makrofag alveolus dan berkembang di sana. Orang yang mempunyai resiko tinggi dapat menderita penyakit Legionella antara lain usia, penderita penyakit paru yang menahun, penderita yang menjalani transplantasi organ serta kerentanan dari penderita juga termasuk didalamnya. Faktor – faktor yang mendukung air dapat tercemar Legionella adalah kondisi air yang menggenang atau tidak lancar (mengalir), suhu optimum berkembangnya bakteri ini adalah 35 – 45ºC. DAFTAR PUSTAKA 1. Association of Water Technologies. An Update and AWT Stetement. 2003. 7/10/2007 2. Robert L. Ehrilch, jr. Report Maryland Scientific Working Group Study Legionella in Water System in Healthcare. June 14, 2000. 7/12/2007 3. Reingold AL., Thomason BM. Legionella pneumonia in United States : the distribution of serogroups 62 HUBUNGAN KASUS DIARE DENGAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI DAN PERILAKU Atik Sri Wulandari Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian. Dalam upaya menurunkan angka kematian dan kesakitan akibat diare perlu diketahui faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian diare. Dari beberapa penelitia yang pernah dilakukan terutama dinegara berkembang ternyata banyak faktor yang secara langsung dan tidak langsung dapat mendorong terjadinya diare, faktor-faktor tersebut antara lain adalah keadaan gizi, kependudukan, lingkungan dan perilaku. Faktor yang diduga sangat berkaitan erat dengan kejadian diare adalah faktor tersedianya air bersih baik dari segi kualitas maupun kuantitas, pembuangan tinja dan air limbah, perilaku, hygiene perorangan, dan kependudukan.Penyebab utama adanya kejadian diare berkaitan dengan pola hidup sehat yang ada dalam kegidupan sehari-hari . DIARRHEA CASE RELATIONSHIP WITH SOCIOECONOMIC FACTORS AND BEHAVIOR Atik Sri Wulandari Department of Public Health Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT Diarrhea is still one major public health problem, because the high morbidity and mortality. In an effort to reduce mortality and morbidity due to diarrhea need to know the factors associated with occurrence of diarrhea. Of the few empirically ever undertaken mainly in developing countries there are many factors that directly and indirectly to encourage the incidence of diarrhea, these factors include the state of nutrition, population, environment and behavior. The factors that allegedly are intimately associated with the incidence of diarrhea is a factor the availability of clean water both in quality and quantity, sewage treatment and waste water, behavior, personal hygiene, and major kependudukan.Penyebab the incidence of diarrhea associated with a healthy lifestyle that exists in daily kegidupan to-day. I. PERMASALAHAN Di negara berkembang kebanyakan kematian Balita disebabkan oleh lima hal, atau kombinasi dari beberapa macam penyakit, diantaranya : Pnumonia, diare, campak, malaria dan malnutrisi. Di seluruh dunia 3 dari 4 anak yang pergi ke sentral pengobatan penderita setidaknya satu dari kondisi di atas. Banyak dari kematian ini dapat dicegah dengan manajemen kesehatan yang lebih baik (WHO, 1997). Diare adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak dengan perkiraan 1,3 milyar dan 3,2 kematian tiap tahun pada balita. Di Indonesia penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang mendapatkan prioritas program pemberantasan karena tingginya angka kesakitan dan menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan balita. Dalam upaya menurunkan angka kematian dan kesakitan akibat diare perlu diketahui faktor-faktor yang berkaitandengan kejadian diare. Banyak factor yang secara langsung dan tidak langsung dapat mendorong terjadinya diare, faktor-faktor tersebut antara lain adalah keadaan gizi, kependudukan, lingkungan dan perilaku. Faktor yang diduga sangat berkaitan erat dengan kejadian diare adalah faktor tersedianya air bersih baik dari segi kualitas maupun kuantitas, pembuangan tinja dan air limbah, perilaku, hygiene perorangan, dan kependudukan. 1 Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinja. Berbagai faktor mempengaruhi kejadian diare, diantaranya adalah faktor lingkungan, gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan perilaku masyarakat. 11 63 Penyakit diare di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan diare yang menimbulkan banyak kematian terutama pada balita. Angka kesakitan diare di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Angka kesakitan diare pada tahun 2006 yaitu 423 per 1000 penduduk, denganjumlah kasus 10.980 penderita dengan jumlah kematian 277 (CFR 2,52%). DiIndonesia dilaporkan terdapat 1,6 sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita,sehingga secara keseluruhan diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta setahun dengan kematian sebanyak 200.000400.000 balita. Pada survei tahun 2000 yang dilakukan oleh Ditjen P2MPL Depkes di 10 provinsi, didapatkan hasil bahwa dari 18.000 rumah tangga yang disurvei diambil sampel sebanyak 13.440 balita, dan kejadian diare pada balita yaitu 1,3 episode kejadian diare pertahun 8 Diare merupakan suatu sebutan untuk buang air besar yang konsistensinya cair, baik berampas sedikit maupun banyak yang terjadi lebih dari tiga kali dalam 24 jam. Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di negara yang sedang berkembang. Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena infeksi seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan keseimbangan asam basa.1 PEMBAHASAN Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.6,9 Diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dan frekuensinya lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali. Sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak dikatakan diare bila frekuensinya lebih dari 3 kali. 11 Berbagai faktor mempengaruhi kejadian diare, diantaranya adalah faktor lingkungan, gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan perilaku masyarakat.Faktor Pendidikan,menurut penelitian, ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan SLTP ke atas mempunyai kemungkinan 1,25 kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik pada balita dibanding dengan kelompok ibu dengan status pendidikan SD ke bawah. Diketahui juga bahwa pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas anak balita. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin baik tingkat kesehatan yang diperoleh si anak. Faktor Pekerjaan Ayah dan ibu yang bekerja Pegawai negeri atau Swasta rata-rata mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja sebagai buruh atau petani.5 Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar dengan penyakit. Faktor Umur Balita,sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Balita yang berumur 12-24 bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23 kali dibanding anak umur 25-59 bulan.Faktor Lingkungan Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu: sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manbusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.Faktor Gizi Diare menyebabkan gizi kurang dan 64 memperberat diarenya. Oleh karena itu, pengobatan dengan makanan yang baik merupakan komponen utama penyembuhan diare tersebut. Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare. Hal ini disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Faktor gizi dilihat berdasarkan status gizi yaitu baik = 10090, kurang = <90-70, buruk = <70 dengan BB perTB.Faktor sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor penyebab diare.16 Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan.Faktor Makanan/minuman yang dikonsumsi Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air minum yang tidak dimasak dapat juga terjadi sewaktu mandi dan berkumur. Kontak kuman pada kotoran dapat langsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan dan kemudian dimasukkan ke mulut dipakai untuk memegang makanan. Kontaminasi alatalat makan dan dapur.5,17 Bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan: Bakteri : Etamuba coli, salmonella, sigella.Virus : Enterovirus, rota virus.Parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris) Jamur (Candidaalbikan).Faktor terhadap Laktosa(Susukaleng).Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. Pada bayi yang tidak diberi ASI resiko untuk menderita diarelebih besar dari pada bayi yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman sehingga menyebabkan diare. Dalam ASI mangandung antibodi yang dapat melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti Sigella dan V. Cholerae. Menurut American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan diare dengan karakterisitik peningkatan frekuensi dan/atau perubahan konsistensi, dapat disertai atau tanpa gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut yang berlangsung selama 3-7 hari.8 ,16 Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering disertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa. Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan elektrolit. Dehidrasi ringan bila penurunan berat badan kurang dari 5%,dehidrasi sedang bila penurunan berat badan antara 5%-10% dan dhidrasi berat bila penurunan lebih dari 10%.2 Diare secara garis besar dibagi atas radang dan non radang. Diare radang dibagi lagi atas infeksi dan non infeksi. Diare non radang bisa karena hormonal, anatomis, obat-obatan dan lain-lain. Penyebab infeksi bisa virus, bakteri, parasit dan jamur, sedangkan non infeksi karena alergi, radiasi.3 Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi.15 Peradangan usus oleh agen penyebab : 1. Faktor infeksi a. Infeksi enteral yaitu : Infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, meliputi : 1) Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella, Champylobacter, Yersinia, Aeromonas dan sebagainya. 2) Infeksi virus : Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan sebagainya2. 3) Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), Protozoa (E.histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur (C.albicans). b. Infeksi parenteral yaitu : 2. Faktor Malabsorbsi a. Malabsorbsi KH : disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa). b. Malabsorbsi lemak c. Malabsorbsi protein 3. Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan. 65 4. Faktor psikologis : rasa takut, cemas. Etiologi diare menurut Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR RSU dr. Soetomo berdasar klasifikasi diare salah satu diantaranya karena ada factor penderita:2,3 - Usia kurang dari 3 bulan - Gizi buruk - Depresi sistem immunologic - Enzim-enzim yang berkurang Dan beberapa faktor-faktor lain : - Kejadian diare akut yang terdahulu merupakan resiko terjadinya diare kronik - Penanganan yang tidak efektif menambah resiko terjadinya diare kronik. Meskipun ada Diare akut sendiri menurut derajat dehidrasinya (Haroen Noersaid) dibedakan menjadi: Diare tanpa dehidrasi (kehilangan cairan < 5% BB),diare dengan dehidrasi ringansedang (kehilangan cairan 5-10% BB),diare dengan dehidrasi berat (kehilangan cairan >10% BB),klasifikasi ini berhubungan dengan rencana pengobatan yang sesuai untuk menanggulangi diare.(5.6) Diare hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utamakesakitan dan kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semuakelompok usia bisa diserang oleh diare, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Di negara berkembang, anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini yang menjadi penyebab kematian sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian. Di negara berkembang, anak-anak balita mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per tahun tetapi di beberapa tempat terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare.9 Kejadian diare di negara berkembang antara 3,5- 7 episode setiap anak pertahun dalam dua tahun pertama dan 2-5 episode pertahun dalam 5 tahun pertama kehidupan. Departemen kesehatan RI dalam surveinya tahun 2000 mendapatkan angka kesakitan diare sebesar 301/ 1000 penduduk, berarti meningkat dibanding survei tahun 1996 sebesar 280/ 1000 penduduk, diare masih merupakan penyebab kematian utama bayi dan balita. Hasil Surkesnas 2001 mendapatkan angka kematian bayi 9,4% dan kematian balita 13,2%.10 Penyakit yang dikenal juga dengan penyakit muntah dan berakberak (muntaber) itu menyumbang kematian bayi terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 31,4% dari total kematian bayi. Diare juga menjadi penyebab kematian terbesar balita, yaitu sekitar 25% dari kematian balita Indonesia.Hal itu terungkap dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tanggal 2 Desember 2008 di Jakarta.10 Distribusi Penyakit Diare Berdasarkan Orang (umur) Sekitar 80% kematian diare tersebut terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. data terakhir menunjukkan bahwa dari sekitar 125 juta anak usia 0- 11 bulan, dan 450 juta anak usia 1-4 tahun yang tinggal di negara berkembang, total episode diare pada balita sekitar 1,4 milyar kali pertahun. dari jumlah tersebut total episode diare pada bayi usia di bawah 0-11 bulan sebanyak 475 juta kali dan anak usia 1-4 tahun sekitar 925 juta kali pertahun.10 Berdasarkan hasil penelitian Yulisa , diketahui bahwa ada pengaruh tingkat pendidikan, sumber air minum, kualitas fisik air minum, jenis jamban keluarga, jenis lantai rumah serta tidak ada pengaruh jenis pekerjaan dengan kejadian diare pada anak balita5 Sebuah studi tentang masalah diare akut yang terjadi karena infeksi pada anak di bawah 3 tahun di Cina, India, Meksiko, Myanmar, Burma dan Pakistan, hanya tiga agen infektif yang secara konsisten atau secara pokok ditemukan meningkat pada anak penderita diare. Diare juga berhubungan dengan penyakit lain misalnya malaria, schistosomiasis, campak atau pada infeksi sistemik lainnya misalnya, pneumonia, radang tenggorokan, dan otitis media.2,7Hal tersebut menunjukkan bahwa kejadia diare tidak terlepas jauh 66 dari kondisi social ekonomi yang ada disekitarnya. Karena banyak berkaitan dengan penyakit infeksi, yang mana pada umumnya penyakit infeksi banyak menduduki peringkat pertama didunia berkembang. Pada survei tahun 2000 yang dilakukan oleh Ditjen P2MPL Depkes di 10 provinsi, didapatkan hasil bahwa dari 18.000 rumah tangga yang disurvei diambil sampel sebanyak 13.440 balita, dan kejadian diare pada balita yaitu 1,3 episode kejadian diare pertahun 4. Pengantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi efektif diare akut. Beratnya dehidrasi secara akurat dinilai berdasarkan berat badan yang hilang sebagai persentasi kehilangan total berat badan dibandingkan berat badan sebelumnya sebagai baku emas. Amatlah penting untuk tetap memberikan nutrisi yang cukup selama diare, terutama pada anak dengan gizi yang kurang. Minuman dan makanan jangan dihentikan lebih dari 24 jam, karena pulihnya mukosa usus tergantung dari nutrisi yang cukup.Bila tidak makalah ini akan merupakan faktor yang memudahkan terjadinya diare kronik. Pemberian kembali makanan atau minuman (refeeding) secara cepat sangatlah penting bagi anak dengan gizi kurang yang mengalami diare akut dan hal ini akan mencegah berkurangnya berat badan lebih lanjut dan mempercepat kesembuhan. Air susu ibu dan susu formula serta makanan pada umumnya harus dilanjutkan pemberiannya selama diare penelitian yang dilakukan oleh Lama more RA dkk menunjukkan bahwa suplemen nukleotida pada susu formula secara signifikan mengurangi lama dan beratnya diare pada anak oleh karena nucleotide adalah bahan yang sangat diperlukan untuk replikasi sel termasuk sel epitel usus dan sel imunokompeten. Pada anak lebih besar makanan yang direkomendasikan meliputi tajin ( beras, kentang, mi, dan pisang) dan gandum ( beras, gandum, dan cereal). Makanan yang harus dihindarkan adalah makanan dengan kandungan tinggi, gula sederhana yang dapat memperburuk diare seperti minuman kaleng dan sari buah apel. Juga makanan tinggi lemak yang sulit ditoleransi karena karena menyebabkan lambatnya pengosongan lambung.3,8 Diare merupakan penyakit menular berbasis lingkungan yang dapat menyebabkan kematian pada anak usia dibawah lima tahun setelah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Penularan diare pada anak balita melalui jalur faecal oral pada makanan/minuman yang terkontaminasi oleh bakteri. Tujuan daripada penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan dan praktik kesehatan ibu dengan kejadian penyakit diare pada anak balita. Dan diperolah kesimpulan: kondisi yang berhubungan dengan kejadian penyakit diare pada anak balita meliputi kondisi lantai rumah (p=0,000; OR=13,75), keberadaan bakteri E.coli pada SGL (p=0,007;OR=4,49) dan praktik mencuci tangan(p=0,028; OR=3,43). Sedangkan kondisi yang tidak ada hubungannya dengan kejadian penyakit diare pada anak balita antara lain meliputi: sarana pembuangan tinja (p=0,0559; OR=1,68), Praktik mencuci bahan makanan(p=0,263; OR=2,23), Praktik menyajikan makanan (p=0,783; OR=1,35)dan minuman (p=0,305; OR=1,94) serta praktik merebus air minum(p=0,353;OR=4,40. Saran: Perlunya perbaikan terhadap penyediaan sarana air bersih (SGL) dan kondisi lantai rumah agar memenuhi syarat kesehatan; membiasakan mencuci tangan sebelum makan/menyuapi balita dengan air bersih dan sabun serta para petugas puskesmas hendaknya secara rutin mengambil sampel air bersih untuk diperiksa secara laboratorium sebagai langkah pemantauan terhadap sanitasi lingkungan. Kata 17 Menanggulangi Penyakit Penyerta Anak yang menderita diare mungkin juga disertai dengan penyakit 67 lain. Sehingga dalam menangani diarenya juga perlu diperhatikan penyakit penyerta yang ada. Beberapa penyakit penyerta yang sering terjadi bersamaan dengan diare antara lain : infeksi saluran nafas, infeksi susunan saraf pusat, infeksi saluran kemih, infeksi sistemik lain (sepsis,campak ), kurang gizi, penyakit jantung dan penyakit ginjal 8 II. 5. Yulisa. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita (Studi pada Masyarakat Etnis Dayak Kelurahan Kasongan Baru Kecamatan Kentingan Hilir Kabupaten Kentingan Kalimantan Tengah). (Skripsi) Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro. 2008 6. Irwanto,Roim A, Sudarmo SM.Diare akut anak dalam ilmu penyakit anak diagnosa dan penatalaksanaan ,Ed Soegijanto S : edisi ke 1 jakarta 2002 : Salemba Medika hal 73-103 Lung E. Acute diarrheal Diseases dalam Current diagnosis abd treatment in gastroenterology.Ed.Friedman S ; edisi ke 2 New Tork 2003 :McGraw Hill,hal 131-49 Kliegman, RM., Greenbaum, LA., Lye, PS (eds). 2004. Practical Strategies in Pediatric Diagnosis and Therapy, 2nd ed. Philadelphia, Elsevier, p 274. Mansjoer A et al (editor). Diare Akut. Dalam buku Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1, Edisi III. Media Aesculapius. FKUI. Jakarta. 2001; hal : 470-476. Marto S., Subijanto., Reza Gunadi R., Alpha Farda Aniyah., 2008. Diare. Dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1, Edisi III. RSUD Dokter Soetomo. Surabaya; hal : 2-14. Norasid H,Surratmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis (Diare ) akut dalam: Gastroenterologi anak praktis, Ed Suharyono, Aswitha B,EM Halimun : edisi ke2 Jakarta 1994: Balai penerbit FK-UI hal 51-76 Putra, Satriya D. 2009. Diare Akut Pada Anak. Available from : www.Dr.Rocky.com Soebagyo, 2008. Diare Akut pada Anak. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Press. Stefano Guandalini, MD available from: http://www.emedicine.com www.library.usu.ac.id Sunoto et Al (editor). Pengelolaan Kasus Diare. Dalam Buku Ajar Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Departemen Kesehatan R.I. Ditjen PPM & PLP.Jakarta: 1990 KESIMPUALAN Diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian. Penyebab utama adanya kejadian diare berkaitan dengan pola hidup sehat yang ada dalam kegidupan sehari-hari . Upaya rehidrasi menggunakan cairan rehidrasi oral merupakan satu-satunya pendekatan terapi yang paling dianjurkan. Penggantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi diare akut. Kefatalan akibat diare banyak disebabkan karena dehidrasi yang terlambat penanganannya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemberian makanan atau nutrisi yang cukup selama diare dan mengobati penyakit penyerta 7. 8. 9. 10. DAFTAR PUSTAKA Mansyah, Bacgtiar.Faktor yang berhubungan dengan kejadian diare Balita Sigayam Puskesmas Wonotunggal Batang. 2005. 11. Purwidiana, Anjar .Hubungan Faktor Lingkungan dan Sosiodemografi dengan kejadian diare pada Balita Desa Blimbing Kec.Sambirejo Sragen.2009. 12. Behrman, Kliegman, Arvin. A.S Wahab editors. Gastroenteritis. Dalam buku Ilmu kesehatan Anak Nelson. Vol 2, Edisi 15. Jakarta; kedokteran EGC. 1996. Hal 889-893 4. Soebagyo, Diare Akut pada Anak. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Press. 2008. 14. 1. 2. 3. 13. 15. 16. 68 17. Ningsih, Retno Edi, Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Praktek Kesehatan Ibu dengan Kejadian Penyakit Diare pada Anak Balita di desa SAambeng Kec. Bantarbolang Kab. Pemalang Diponegoro University. 69 SINDROMA KLINEFELTER Ernawati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Sindroma Klinefellter adalah suatu kelainan kromosompadapria, dimana orang yang dilahirkan dengan kondisi seperti ini mengalami kelebihan sedikitnya satu kromosom X. Pada keadaan normal, manusia mempunyai total 46 kromosom dalam setiap selnya, dimana dua dari kromosom tadi bertanggung jawab untuk menentukan jenis kelaminnya yaitu kromosom X dan Y. Wanita mempunyai kromosom XX dan pria mempunyai kromosom XY. Pada sindroma Klinefellter seringkali seorang pria mempunyai 47 kromosom pada setiap selnya, kelebihan satu kromosom X, sehingga mempunyai kombinasi kromosom XXY.Pria dengan sindroma Klinefellter nampak normal saat dilahirkan dan mempunyai genitalia pria yang normal, tetapi dalam perkembangannya terjadi perubahan seperti ginekomastia, testis dan penis menjadi lebih kecil dibanding normal serta proporsi tubuh yang abnormal Diagnosa dari sindroma Klinefellter ditegakkan bilater dapat kelebihan satu atau lebih kromosom X pada pria yang dapat diketahui sejak masa kehamilan dengan pemeriksaan prenatal seperti sampel villi chorionic atau amniosintesis. Kata kunci :sindromaklinefellter, kromosom X, kromosom Y, kromosom XXY KLINEFELTER SYNDROME Ernawati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Klinefellter syndrome is a disorder kromosompadapria, where people are born with this condition have at least one extra X chromosome In normal circumstances, humans have a total of 46 chromosomes in every cell, where two of the chromosome was responsible for determining the sex chromosomes X and Y. Women have XX chromosomes and males have an XY chromosome. In Klinefellter syndrome is often a man has 47 chromosomes in each cell, an excess of one X chromosome, so has the combination of chromosomes XXY.Pria with Klinefellter syndrome appear normal at birth and have normal male genitalia, but there is a change in its development, such as gynecomastia, testicular and penile be smaller than normal and abnormal body proportions Diagnosis of the syndrome Klinefellter enforced bilater to one or more extra X chromosome in males is known from the time of pregnancy with prenatal examination, such as chorionic villi sampling or amniocentesis. Keywords: sindromaklinefellter, chromosome X, chromosome Y, chromosome XXY PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu proses dengan mana individu akan dilahirkan mengalami kelainan jumlah kromosom telah diketahui secara eksperimen untuk lebih dari 50 tahun dan dalam kenyataannya merupakan salah satu puncak kejadian dalam sejarah genetika. Yang akhirnya membawa semua itu kecuali keyakinan umum bahwa gen-gen tentu saja terdapat dalam kromosom, adalah penemuan non disjunction dan hubungan antara gambaran sitologi dan rasio genetik. Pada saat meiosis, sepasang kromosom dapat gagal utuk berpisah satu sama lain atau lebih mungkin gagal untuk berhubungan. Apabila pandangan terakhir ini benar, maka kromosom pada pasangan itu kemudian akan terletak bebas dan memisah satu sama lain secara random ( acak ). Apabila suatu kromosom pergi ke masing-masing kutub gelendong, maka akan terbentuk gamet normal. Tetapi apabila kedua kromosom pergi ke satu kutub, maka mungkin dua jenis komplementer dari gamet abnormal dapat dibentuk, baik gamet dengan dua kromosom dari sepasang kromosom dan bukan satu kromosom atau gamet tanpa kromosom tersebut. Fenomena ini disebut non disjunction, yang mencerminkan pandangan lain bahwa pasangan kromoson gagal untuk memisah. Apabila non disjunction terjadi pada wanita normal, maka kedua kromosom X mungkin tetap berada dalam ovum. Sebaliknya dapat juga kedua kromosom dapat menuju badan kutub ( polar body ) sehingga menyebabkan terbentuknya satu sel telur tanpa kromosom X Hal yang sama, non disjunction pada pria akan menyebabkan terbentuknya spermatozoon yang mengandung kromosom X dan kromosom Y, atau akan terbentuk 70 spermatozoon yang tanpa kromosom X dan kromosom Y, apabila kejadian tersebut terjadi pada pembelahan meiosis pertama, non disjunction pada pembelahan meiosis kedua menghasilkan spermatozoon yang mengandung dua kromosom X atau dua kromosom Y atau sebaliknya tanpa kromosom X atau tanpa kromosom Y. Jadi non disjunction pada pria maupun pada wanita akan menghasilkan individu abnormal dengan konstitusi kromosom 47 XYY, 47 XXX, atau 45 X. Non disjunction pada pihak wanita akan menghasilkan satu jenis lagi dari konstitusi kromosom yang abnormal yaitu 45 Y. Rupanya pasti zigot yang mengandung kromosom kelamin OY tidak mampu hidup. Non disjunction pada pihak pria juga menghasilkan konstitusi kromosom XYY pada zigot. Konstitusi 47 XXY diidentifikasi pada orang orang yang menderita sindroma Klinefelter. Orang-orang yang menderita sindroma ini penampilan luarnya normal, tetapi testisnyaa selalu kecil saat pubertas dan menderita azoospermia yang komplit atau hampir komplit. Sangat sering terdapat ginekomastia. Pada biopsi menunjukan adanya hialinisasi yang nyata pada tubulus seminiferus. Sering kelainan ini tidak tampak sebelum pubertas, dan perkembangan umum yang meliputi perkembangan genitalia eksterna adalah relatif normal. Pasien kadang-kadang secara kebetulan mengeluhkan hal ini karena adanya ginekomastia. Sering tidak dicurigai adanya kelainan, penderita ini dapat kawin dan kemudian sadar akan keadaannya karena adanya infertilitas. Kelainan mental biasanya dalam derajat yang lebih ringan ( kebanyakan mempunyai IQ 60 – 80 ) adalah lebih sering dibandingkan populasi umum, walaupun sebagian besar penderitapenderita tadi keadaan mentalnya benar-benar normal, bahkan apabila inteligensinya di bawah rata-rata dari saudara-saudara kandung mereka yang normal. 1.2 Tujuan Memberikan informasi pada para pembaca apa yang dimaksud dengan sindroma Klinefelter, penyebab sindroma Klinefelter dan gambaran klinisnya. PEMBAHASAN 2.1 Definisi Sindroma Klinefelter ( Seminiferous Tubule Dysgenesis, Testicular Dysgenesis, Medullary Gonadal Dysgenesis, Chromatin Positive Micro-orchidism ) adalah suatu kelainan kromosom pada pria. Orang-orang yang dilahirkan dengan kondisi seperti ini mengalami sedikitnya kelebihan satu kromosom X. Nama Sindroma Klinefelter diberikan setelah Dr. Henry Klinefelter, orang yang pertama kali menemukan gejala-gejala yang ditemukan pada beberapa orang pria yang mempunyai kelebihan kromosom X, pada tahun 1942. 2.2 Deskripsi Sindroma Klinefelter adalah suatu kondisi, dimana kelebihan satu atau lebih kromosom X pada pria. Anak laki-laki yang dilahirkan dengan kelebihan kromosom X nampak normal saat dilahirkan. Ketika mulai memasuki masa pubertas penampilan mereka masih nampak normal, tetapi saat memasuki pertengahan masa pubertas kadar testosteron yang rendah menyebabkan testis yang kecil dan ketidakmampuan untuk menghasilkan spermatozoon. Pria dengan sindroma Klinefelter juga mempunyai gangguan pembelajaran dan problem perilaku seperti pemalu. 2.3 Profil genetik Kromosom terdapat di dalam sel dalam tubuh kita. Kromosom mengandung gen-gen, struktur yang memberitakan bagaimana tubuh kita akan tumbuh dan berkembang. Kromosom bertanggung jawab untuk mewariskan sifat dari orang tua kepada anakanaknya. Kromosom juga menentukan apakah seorang anak yang akan dilahirkan berjenis kelamin perempuan atau pria. Pada keadaan normal, manusia mempunyai total 46 kromosom dalam setiap selnya, dimana dua dari kromosom tadi akan bertanggung jawab untuk menentukan jenis kelaminnya. Dua kromosom seks ini disebut kromosom X dan Y. Kombinasi dari kedua kromosom seks ini menentukan jenis kelamin dari seorang anak Wanita mempunyai dua kromosom X ( XX ), pria mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y ( XY ). Pada sindroma Klinefelter, masalahnya adalah hasil dari perkembangan jumlah kromosom yang tidak normal, seringkali seorang pria 71 dengan sindroma Klinefelter dilahirkan dengan 47 kromosom pada setiap selnya. Kelebihan satu kromosom tersebut adalah kromosom X. Hal ini berarti dibanding keadaan normal yaitu kombinasi kromosom XY, pria ini mempunyai kombinasi kromosom XXY. Karena orang dengan sindroma Klinefelter mempunyai kromosom Y, maka mereka semuanya adalah seorang pria. Kira-kira 1-3 dari semua pria dengan sindroma Klinefelter mempunyai perubahan kromosom lain termasuk kelebihan satu kromosom X. Mozaic Klinefelter sindrom terjadi ketika beberapa sel dari tubuh mendapatkan tambahan kromosom X dan bagian yang lain mempunyai kromosom pria normal. Pria-pria ini dapat mempunyai gejala yang sama atau lebih ringan dibandingkan dengan Non Mozaic Klinefelter sindrom. Pria dengan tambahan lebih dari satu kromosom X, seperti 48 XXXY, biasanya mempunyai kelainan yang lebih berat dibanding pria dengan 47 XXY. Rata-rata usia ibu hamil yang melahirkan anak dengan sindroma Klinefelter adalah 32,3 tahun. 2.4 Demografis Sindroma Klinefelter merupakan salah satu kelainan kromosom yang sering terjadi. Ratarata setiap 500 – 800 pria yang dilahirkan ada satu yang menderita sindroma Klinefelter. Kira-kira 3 persen dari populasi pria yang infertil menderita sindroma Klinefelter. 2.5 Tanda dan gejala Gejala dari sindroma Klinefelter bervariasi dan tidak setiap orang dengan sindroma Klinefelter mempunyai gejala yang lengkap. Pria dengan sindroma Klinefelter tampak normal saat dilahirkan dan mempunyai genitalia pria yang normal. Sejak masa kanak-kanak pria dengan sindroma Klinefelter mempunyai tinggi badan yang lebih tinggi dari rata-rata dan lengan yang lebih panjang. Rata-rata 20-50% mempunyai tremor ringan, suatu pergerakan yang tidak terkontrol. Banyak pria dengan sindroma Klinefelter mempunyai kekuatan tubuh bagian atas yang lemah. Sindroma Klinefelter tidak menyebabkan kelainan homoseksual. Kira-kira 1-3 dari pria dengan sindroma Klinefelter mengalami pembesaran payudara ( ginekomastia ). Ginekomastia ini timbul pada sekitar 80% kasus. Kebanyakan anak laki-laki memasuki masa puber yang normal, tetapi beberapa ada yang mengalami keterlambatan. Sel-sel Leydig di testis biasanya memproduksi testosteron. Pada sindroma Klinefelter, sel Leydig gagal bekerja dengan semestinya menyebabkan produksi testosteron yang lambat saat pertengahan masa puber produksi testosteron menurun sampai kira-kira setengahnya. Hal ini akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan rambut di wajah dan pubis. Genitalia internal dan eksternal secara makroskopis tampak normal, kecuali testis tampak lebih kecil dan mrskipun pada keadaan normal libido menurun, pria dengan sindroma Klinefelter tetap mempunyai kemampuan untuk ereksi dan melakukan intercourse. Penurunan testosteron juga menyebabkan peningkatan dua hormon yang lain, foliccle stimulating hormone ( FSH ) dan luteinizing hormone ( LH ) . Pada keadaan normal FSH dan LH membantu sel-sel sperma yang immatur tumbuh dan berkembang. Pada sindroma Klinefelter, sel-sel sperma tersebut hanya sedikit atau bahkan tidak ada Peningkatan FSH dan LH menyebabkan hialinisasi dan fibrosis dari tubulus seminiferus dimana tempat spermatozoon diproduksi. Hasilnya testis menjadi lebih kecil dibanding normal. Pria dengan sindroma Klinefelter menjadi infertil karena tidak dapat memproduksi spermatozoon. Dulu dipercaya bahwa anak laki-laki dengan sindroma Klinefelter akan menjadi retardasi mental, dokter tidak mengetahui bahwa kelainan tersebut dapat timbul tanpa adanya retardasi mental. Bagaimanapun, anak-anak dengan sindroma Klinefelter seringkali mengalami kesulitan berbicara, termasuk cara belajar berbicara, membaca dan menulis. Kirakira 50% pria dengan sindroma Klinefelter mengalami dyslexia. Beberapa orang dengan sindroma Klinefelter mempunyai kesulitan sosialisasi dan cenderung lebih pemalu, mudah cemas dan depresi. 72 Clinical features in patients with Klinefelter’s Syndrome Including 47,XXY and variant Karyotypes Range of hormone values in men with Klinefelter’s Syndrome with healthy men Klinefelter’s Syndrome Healthy men Serum LH (mIU/ml) 4.25 -12.7 (7.8) 0.62 – 2.81 (1.8) Serum FSH (mIU/ml) 12.1 – 61.2 (29.4) 0.51 – 5.2 (2.7) Plasma testosterone (ng/dl) 81 – 849 (316) 346 – 1075 (990) Plasma estradiol (pg/ml) 3 – 65 (34) UD – 34 (16) From Wang C, Baker HWG, Burger HG, et al: Hormonal studies in Klinefelter’s syndrome. Clin BIRTH CHILDHOOD PUBERTY Cryptorchidsm X Microphallus X Hypospadias X Somatic anomalies X Learning disabilities x x Behavioral disorder X x Mental retardation x x Tall stature X Eunuchoid habitus x Delayed puberty X Small testes X Delayed sex characteristics X Gynecomastia x Infertility Impaire dlibido Thyroid dysfunction Endocrinol 4:399-411, 1975. Value in parentheses are population means. 2.6 Diagnosis Diagnosis dari sindroma Klinefelter ditegakkan bila terdapat kelebihan satu atau lebih kromosom X pada pria. Hal ini dapat diketahui sejak masa kehamilan dengan pemeriksaan prenatal seperti sample villi chorionic atau amniosintesis. Prosedur sample villi chorionic dapat dilakukan pada usia kehamilan 10-12 minggu untuk mengambil sedikit sample dari plasenta untuk diperiksa. Amniosintesis dapat dilalukan pada usia kehamilan 16-18 minggu dengan mengambil sedikit cairan amnion untuk diperiksa. Kedua prosedur pemeriksaan tersebut mempunyai resiko terjadinya abortus. Biasanya prosedur pemeriksaan ini dilakukan bila ada perkiraan terjadinya sindroma Klinefelter . Misalnya, prosedur diagnostik prenatal dapat dilakukan pada seorang wanita tua untuk menentukan jika bayinya menderita sindroma Down. Jika diagnosis dari sindroma Klinefelter diharapkan pada seorang anak lakilaki atau pria dewasa, pemeriksaan kromosom dapat juga dilakukan melalui pemeriksaan darah atau sample kulit sesudah dilahirkan. ADULTHOOD X x X x X X X X X X X 2.7 Magemen terapi Tidak ada pengobatan yang tersedia untuk merubah kromosom. Anak-anak dengan sindroma Klinefelter mungkin membutuhkan terapi wicara atau pelatihan pembelajaran yang lain. Injeksi testosteron dimulai saat masa pubertas dapat membantu pekembangan yang normal termasuk masa otot, pertumbuhan rambut, dan meningkatkan kemampuan seksual. Pemberian suplemen testosteron tidak dapat menambah ukuran testis, menurunkan pertumbuhan payudara atau memperbaiki infertilitas. 2.8 Prognosa Penderita dengan sindroma Klinefelter dapat mempunyai kehidupan seks yang normal , tetapi mereka biasanya hanya memproduksi sedikit atau bahkan tidak ada spermatozoon sama sekali. Antara 95% dan 99% dari pria XXY adalah infertil, karena mereka tidak dapat menghasilkan spermatozoon. Pria dengan sindroma Klinefelter mempuyai resiko yang meningkat untuk terjadinya osteoporosis, kelainan autoimun seperti lupus dan arthritis, 73 diabetes dan tumor payudara maupun tumor germ cell Kesimpulan 1. Sindroma Klinefelter yang juga dikenal dengan sindroma XXY, adalah suatu keadaan dimana kelebihan kromosom X pada seorang pria 2. Sindroma Klinefelter ditemukan pertama kali oleh Dr. Henry Klinefelter. 3. Tidak semua pria dengan sindroma Klinefelter mempunyai gejala yang sama atau derajat kelainan yang sama. Beratnya gejala tergantung dari berapa banyak jumlah XXY pada sel-sel yang dimiliki pria tersebut. 4. Sindroma Klinefelter menyebabkan gangguan perkembangan : a. Perkembangan fisik : lemahnya otot dan penurunan kekuatan, rendahnya kadar testosteron, 95%-99% infertil b. Perkembangan berbicara : keterlambatan berbicara, kesulitan dalam berbahasa, kesulitan membaca, kesulitan memproses apa yang mereka dengar. c. Perkembangan sosial : kurang percaya diri, kurang aktif 5. Gambaran klinis : a. Testis kecil, konsistensi keras b. Penis kecil c. Rambut pubis, ketiak dan wajah sedikit d. Gynekomastia e. Proporsi tubuh yang abnormal ( rentang tangan > tinggi badan ) 6. Pada pemeriksaan lebih lanjut didapatkan : a. Karyotiping menunjukkan gambaran kromosom 47XXY b. Jumlah spermatozoon yang rendah c. Kadar testosteron yang rendah d. Kadar LH meningkat e. Kadar FSH meningkat f. Total plasma testosterone menurun pada 60% pasien 7. Managemen terapi : a. Terapi edukasi : terapi wicara, terapi psikologis seperti perkembangan mental, terapi keluarga b. Terapi medikamentosa : testosterone replascement therapy ( TRT ) dapat membantu meningkatkan kadar testosteron, peningkatan kadar testosteron ini akan membantu meningkatkan perkembangan otot, pertumbuhan rambut tubuh, perubahan suara menjadi lebih berat. c. Intracytoplasmic sperm injection ( ICSI ) DAFTAR PUSTAKA 1. Blachford L. Stacey, The Gale Encyclopedia of Genetic Disorders, 2001 2. Burns W George, The Science of Genetics an Introdution to Heredity, 1983 3. Bouloux P, Diagnostic Tests in Endocrinology and Diabetes, 1994 4. Degroot LJ, Endocrinology, 1995 5. Levitan M, Textbook of Human Genetics, 1988 6. Pai C Anna, Dasar-dasar Genetika Manusia, 1992 7. Roberts Fraser & Pembrey E Marcus, Pengantar genetika Kedokteran, 1995 8. Sigman M, Howard S, Male Infertility, Cambell’s Urology 1998 74 AMENORE PADA ATLET Mariyani Handjaja Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Perempuan semakin menjadi peserta aktif dalam kegiatan fisik yang kompetitif dan rekreasi. Hal ini tidak biasa bagi atlet menderita penyakit seperti fraktur stres, lutut runner's, bunions dan lecet. Namun atlet wanita menghadapi masalah tambahan amenore. Kekhawatiran telah timbul tentang efek latihan fisik pada fisiologi siklus menstruasi. Sebagai perempuan lebih banyak berpartisipasi dan program pelatihan menjadi lebih berat, dokter telah melihat lebih banyak keluhan gangguan siklus haid. Prevalensi disfungsi menstruasi lebih besar di antara atlet daripada di populasi umum. Banyak faktor yang mengalami perubahan selama program pelatihan atletik dan setiap atau semua ini dapat menyebabkan gangguan dalam cyclicity menstruasi (menarche tertunda, oligomenore, dan amenorrhea). Amenore pada atlet, kadang-kadang disebut amenore olahraga terkait, terjadi ketika seorang wanita tidak memiliki periode reguler entah karena dia terlalu banyak latihan, makan kalori terlalu sedikit atau keduanya. Kata kunci: atlet wanita, disfungsi menstruasi, amenore olahraga terkait AMENORRHEA IN ATHLETES Mariyani Handjaja Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT Women are increasingly becoming active participants in competitive and recreational physical activity. It is not uncommon for athletes to suffer such ailments as stress fracture, runner’s knee, bunions and blisters. But female athletes face the additional problem of amenorrhea. Concerns has arisen regarding the effect of physical training on the physiology of the menstrual cycle. As more women participate and training programs become more strenuous, physicians have seen more complaints of menstrual cycle disturbances. The prevalence of menstrual dysfunction is greater among athletes than in the general population. Many factors undergo change during the course of an athletic training program and any or all of these may contribute to disturbances in menstrual cyclicity (delayed menarche, oligomenorrhea, dan amenorrhea). Amenorrhea in athletes, sometimes called exercise-associated amenorrhea, occurs when a woman doesn’t have a regular period either because she exercises too much, eats too few calories or both. Keywords: female athlete, menstrual dysfunction, exercise-associated amenorrhea Semakin hari semakin banyak wanita yang terjun dalam dunia olahraga dengan menjadi atlet profesional. Sebagai seorang atlet adalah hal yang biasa bila mengalami berbagai gangguan fisik karena cedera. Tetapi, khusus untuk atlet wanita seringkali mengalami gangguan kesehatan yang tidak akan dialami oleh para atlet pria. Gangguan tersebut adalah gangguan pada sistem reproduksi wanita yang meliputi delayed menarche, oligomenorrhea, dan amenorrhea. Amenore lebih banyak dialami oleh wanita atlet daripada non atlet. Hal ini berhubungan dengan penggunaan energi yang berlebihan oleh atlet pada saat latihan akan mengganggu fungsi sistem reproduksi wanita yang normal. Oleh karenanya amenore pada atlet bisa disebut exercise-associated amenorrhea. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pemakaian energi yang berlebihan pada atlet wanita dengan timbulnya gangguan fungsi reproduksi. Michelle P. Warren (1979) melakukan penelitian terhadap para pebalet (ballet dancer) selama 4 tahun yaitu15 pebalet berusia 13-15 tahun dengan level latihan fisik yang tinggi sejak usia belia. Kelompok pebalet ini mengalami delayed menarche (rata-rata menarche pada usia 15,4 tahun; normal kontrol menarche pada usia 12,5 tahun). Pada dua orang pebalet berusia 18 tahun terjadi amenore primer. Pada kelompok wanita lain yang berusia 15-18 tahun dengan riwayat diet dan penurunan berat badan mengalami amenore sekunder. FISIOLOGI SIKLUS MENSTRUASI Sistem reproduksi wanita dapat dibagi dalam 4 kompartemen yaitu: * Kompartemen I: outflow tract yang terdiri dari : uterus, cervix dan vagina. 75 * Kompartemen II : ovarium pematangan folikel, kadar FSH mulai menurun * Kompartemen III : Hipofise ( kelenjar sedangkan kadar estrogen makin meninggi. pituitary) Estrogen pada mulanya meninggi secara * Kompartemen IV : Hipotalamus berangsur-angsur kemudian dengan cepat Fisiologi menstruasi merupakan hasil mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan kerjasama yang sangat kompleks antara balik positip terhadap pusat siklik ( di bagian keempat kompartemen tersebut. Faktor yang depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik) memegang kendali dalam kerjasama antara sehingga terjadi lonjakan LH (LH surge) pada keempat kompartemen tersebut adalah sistem pertengahan siklus dan mengakibatkan endokrin yaitu hubungan antara hipotalamus, terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu hipofise dan ovarium (hypothalamic-pituitarymenetap kira-kira 24 jam dan menurun pada ovarian axis). Siklus menstruasi dibagi dalam fase luteal. 3 fase yaitu: fase folikular, ovulasi dan fase Pada fase luteal, setelah ovulasi, luteal. folikel berkembang menjadi corpus luteum. Hipotalamus menghasilkan GnRH Luteinized granulosa cells dalam corpus (Gonadotropin Releasing Hormone). GnRH ini luteum membuat progesterone banyak dan merangsang hipofise untuk mengeluarkan luteinized theca cells membuat pula estrogen gonadotropin yaitu FSH (Follicle Stimulating yang banyak, sehingga kedua hormon itu Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone). meningkat tinggi pada fase luteal. Progesteron FSH menyebabkan perkembangan beberapa menyebabkan proliferasi endometrium (yang folikel di dalam ovarium. Hanya satu folikel terjadi pada fase proliferasi, distimulasi oleh yang akan mengalami pematangan ( Folikel de estrogen) berubah menjadi fase sekresi. Bila Graaf) dan berovulasi, sedangkan sisanya tidak terjadi fertilisasi maka mulai 10-12 hari akan mengalami atresia. Pada waktu ini LH setelah ovulasi korpus luteum berangsurjuga akan meningkat untuk membantu angsur mengalami regresi diikuti oleh pembuatan estrogen di dalam folikel. Sejalan menurunnya sekresi progesterone dan dengan pematangan folikel, kadar estrogen estrogen. Penurunan kadar progesteron dan semakin meningkat. Estrogen akan estrogen akan menyebabkan pelepasan menyebabkan proliferasi dari endometrium. endometrium, sehingga terjadilah menstruasi Oleh karena itu, fase folikular juga disebut yang dikeluarkan melewati vagina. sebagai fase proliferasi. Pada fase akhir Gambar 1. Siklus Menstruasi 76 Lamanya masing-masing fase bervariasi pada wanita yang satu dengan wanita yang lain, juga bervariasi pada siklus yang satu ke siklus berikutnya. Namun, ratarata siklus menstruasi yang normal adalah 28 hari. Siklus menstruasi dimulai dari hari pertama keluarnya darah menstruasi. Bila terdapat gangguan atau kelainan dari salah satu organ tersebut, maka akan terjadi pula gangguan pada siklus menstruasi yang dapat memberikan gejala klinik antara lain amenore. AMENORE Amenore yang terjadi bisa berupa amenore primer maupun sekunder. Amenore primer terjadi bila belum pernah mendapatkan menstruasi sama sekali. Menarche adalah menstruasi yang terjadi pertama kali pada seorang wanita. Menarche biasanya terjadi pada umur 10-14 tahun. Amenore primer didefinisikan sebagai berikut: 1. Gadis yang pada usia 14 tahun belum tampak adanya tanda-tanda seks sekunder dan juga belum pernah mendapatkan menstruasi (menarche). 2. Gadis yang pada usia16 tahun sudah tampak adanya pertumbuhan tandatanda seks sekunder tetapi belum pernah mendapatkan menstruasi (menarche). Amenore sekunder terjadi pada wanita setelah mengalami menarche. Amenore sekunder didefinisikan sebagai: 1. Tidak mengalami menstruasi selama 3 bulan berturut-turut pada wanita dengan menstruasi yang normal sebelumnya. 2. Tidak mengalami menstruasi selama 9 bulan berturut-turut pada wanita dengan riwayat oligomenore sebelumnya. Penyebab dari amenore dapat terletak pada salah satu kompartemen seperti yang telah diuraikan di atas: * Kompartemen I : vagina dan uterus * Kompartemen II : ovarium * Kompartemen III : hipofise * Kompartemen IV : hipotalamus Tabel di bawah ini dapat menunjukkan pengelompokan amenore berdasarkan letak kompartemen yang mengalami gangguan. Tabel 1. Pengelompokan Amenore Pituitary and Outflow tract P/S Gonadal/end-organ disorders hypothalamic/central anomalies/obstruction regulatory disorders The ovary or gonad does not respond to pituitary stimulation. Generally, inadequate levels of Gonadal dysgenesis or FSH lead to inadequately premature menopause are stimulated ovaries which then possible causes. Chromosome fail to produce enough The hypothalamictesting is usually indicated in oestrogen to stimulate the Overview pituitary-ovarian axis is younger individuals with endometrium (uterine lining), functional. hypergonadotropic hence amenorrhoea. In general, amenorrhoea. Low oestrogen women with hypogonadotropic levels are seen in these patients amenorrhoea are potentially and the hypo-oestrogenism may fertile. require treatment. FSH Outflow tract abnormalities tend to be normogonadotropic and FSH levels are in the normal range. Primary Uterine: Mullerian agenesis Gonadal, usually ovarian, abnormalities tend to be linked to elevated FSH levels or hypergonadotropic amenorrhoea. FSH levels are typically in the menopausal range. Gonadal dysgenesis, including Turner Syndrome. Most Both hypothalamic and pituitary disorders are linked to low FSH levels leading to hypogonadotropic amenorrhoea. Hypothalamic: Kallmann syndrome. 77 (Second most common cause, 15% of primary amenorrhoea)[5] Vaginal: Vaginal atresia, cryptomenorrho ea, imperforate hymen. common cause. Androgen insensitivity syndrome (Testicular feminization syndrome). Receptor abnormalities for hormones FSH and LH. Specific forms of congenital adrenal hyperplasia Swyer syndrome Galactosaemia Aromatase deficiency Prader-Willi syndrome Male pseudohermaphroditism (about 1 in every 150,000 births) Other intersexed conditions Secondary Intrauterine adhesions (Asherman's Syndrome) Pregnancy (most common cause) Anovulation Menopause Premature menopause Polycystic ovary syndrome (PCO-S) Drug-induced AMENORE PADA ATLET Amenore pada atlet terjadi diduga karena pemakaian energi yang berlebihan pada atlet dan simpanan energi yang rendah menyebabkan gangguan pada hormon-hormon sistem reproduksi yang terlibat dalam fisiologi menstruasi. Amenore pada atlet disebabkan karena gangguan pada level hipotalamus (kompartemen IV). Gangguan terutama terletak pada sekresi pulsatil dari GnRH. Terjadi penekanan terhadap sekresi pulsatil GnRH yang normalnya berlangsung tiap 60-90 menit, yang berupa penurunan frekuensi maupun amplitudo pulsatil sekresinya. Hypothalamic: Exercise amenorrhoea, related to physical exercise, Stress amenorrhoea, Eating disorders and weight loss (obesity, anorexia nervosa, or bulimia Pituitary: Sheehan syndrome, Hyperprolactinaemia, Haemochromatosis Other central regulatory: hypothyroidism, hyperthyroidism, arrhenoblastoma Penekanan terhadap GnRH terjadi karena pengaruh dari penurunan berat badan, asupan energi yang rendah, maupun gangguan terhadap energy balanced dimana terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan dan pemakaian energi. Pada atlet terjadi pemakaian energi yang berlebih dengan adanya porsi latihan fisik yang berat sedangkan asupan energinya tidak mencukupi. Biasanya berat badan atlet tidak terlalu di bawah standard walaupun atlet tergolong kurus dan sangat memperhatikan pola makanan. Pola makanan yang dijalani adalah makanan rendah lemak dan sedikit sekali asupan daging berwarna merah bahkan 78 seringkali vegetarian. Kekurangan energy juga mempengaruhi sekresi pulsatil dari LH. Pola sekresi dari LH terganggu dan biasanya penekanan pada LH lebih besar daripada FSH. Penekanan terhadap siklus bias ringan dan intermiten yang ditandai dengan kadar estrogen yang masih dalam batas normal dan umpan balik positif terhadap progestin. Atlet dengan kadar estrogen rendah dan beberapa bahkan memiliki kadar gonadotropins (terutama LH) yang sangat rendah, biasanya sangat kurus dan terobsesi dengan diet dan athletic training. Pada kelompok atlet ini tidak mengalami umpan balik terhadap estrogen. Amenore yang terjadi pada atlet bisa berupa amenore primer maupun sekunder. Amenore primer terjadi pada wanita yang telah menjadi atlet sejak usia belia jauh sebelum mendapatkan menarche (premenarche-trained athlete). Amenore sekunder terjadi pada wanita yang menjadi atlet setelah mengalami menarche (postmenarche-trained athlete). Atlet yang masih sangat muda, terutama pebalet (ballet dancer) yang memulai latihan sebagai atlet sejak berumur 8 atau 9 tahun, ada kemungkinan mengalami amenore primer hingga memasuki usia 20-an tahun. Masalah ini sehubungan dengan beban latihan yang berat. Bagaimanapun mereka pada umumnya memiliki pertumbuhan yang normal. Biasanya mereka tidak mengalami kelainan short stature dan tidak akan mengalami keterlambatan pada masa pubertas. Atlet dengan amenore sekunder pada umumnya bisa dibedakan dari penyebab yang lain melalui penelusuran yang teliti. Bagaimanapun, terkadang susah untuk mengetahui masalah gangguan makan kecuali dengan pertanyaan yang spesifik tentang diet (misalnya: konsumsi makanan rendah kalori; diet soda; dll) pada wanita dengan berat badan normal atau hanya sedikit di bawah standard. Ada bukti yang menarik bahwa exerciseassociated hypothalamic amenorrhea berhubungan dengan kekurangan asupan kalori yang kronis terhadap beban latihan yang sangat berat. Exercise induced amenorrhea dialami oleh atlet muda yang sebelum muncul masalah amenore sudah mengalami beberapa peristiwa metabolis dan fisiologis yang menghambat sekresi pulsatil yang normal dari LH dan FSH. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak kentara hingga terjadi berulang-ulang dan kronis sampai akhirnya menstruasi berhenti. Sistem buffer yang melindungi sistem reproduksi menjadi terpengaruh: berat badan, lemak tubuh dan kadar leptin. Atlet dengan amenore yang terkait latihan fisik atau penurunan berat badan selalu dibawah berat badan ideal dan biasanya mempunyai kadar lemak tubuh dan Body Mass Index (BMI) yang rendah. Atlet tersebut kehilangan berat badan secara berarti ketika menjalani latihan fisik dan terobsesi diet makanan rendah lemak dan menghindari makan daging berwarna merah dan semua bentuk makanan penutup (dessert). Diagnosis bisa ditegakkan pada competitive athlete dengan kadar gonadotropin yang rendah, terutama kadar LH yang rendah, kadar prolaktin normal, tes kehamilan negative, dan tidak adanya tanda-tanda androgenisasi seperti: akne, tumbuhnya rambut, atau riwayat onset menarche pada gangguan menstruasi yang terkait tanda-tanda androgen excess. Tipe atlet tersebut akan menolak merubah perilakunya, terutama untuk menaikkan berat badan atau mengurangi beban latihan fisiknya. Hal ini terjadi pada pebalet (ballet dancer) atau competitive athlete. Bagaimanapun, perubahan pola makan, pola latihan, dan peningkatan berat badan merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi masalah ini. Atlet dengan exercise associated amenorrhea pada awalnya mengalami gangguan pada sistem reproduksi secara tak kentara yang berupa pemendekan siklus menstruasi. Hal ini juga terjadi pada wanita muda normal dengan latihan atletik intensif. Kadang-kadang, fase folikular bisa memanjang. Gangguan ini bisa disertai dengan perdarahan yang sering dan/atau tak teratur. Bila tanpa kehamilan, masalah ini bisa dikendalikan dengan pengurangan latihan fisik atau dengan penggunaan kontrasepsi oral. SIMPULAN Salah satu resiko yang harus ditanggung oleh atlet wanita adalah gangguan pada sistem reproduksi wanita diantaranya amenore. Amenore pada atlet terjadi karena pemakaian energi yang berlebihan pada saat latihan fisik tidak diimbangi dengan asupan energi yang seimbang dikarenakan pola makanan yang rendah rendah lemak bahkan seringkali vegetarian. Karenanya amenore pada atlet disebut juga exercise associated amenorrhea. 79 Ketidakseimbangan antara beban latihan fisk yang berat dengan asupan energi yang tidak mencukupi mengakibatkan gangguan terhadap hormon-hormon sistem reproduksi yang terlibat dalam fisiologi menstruasi. Gangguan terletak pada level hipotalamus (kompartemen IV), dimana terjadi penekanan pada sekresi pulsatil dari GnRH sehingga terjadi gangguan pada sekresi gonadotropin (FSH dan LH) terutama LH. FSH berfungsi untuk pematangan folikel dalam ovarium yang akan berovulasi. Lonjakan LH akan mengakibatkan terjadinya ovulasi. Kira-kira 14 hari setelah ovulasi terjadilah menstruasi. Jadi, bila terjadi gangguan pada sekresi hormon-hormon tersebut di atas maka siklus menstruasi juga akan terganggu, salah satunya berupa amenore. DAFTAR PUSTAKA Warren,MP.1999. Health Issues for Women Athletes: Exercise-induced Amenorrhea. J of Clinical Endocrinology & Metabolism. Vol.84 No.6:1892-6. Warren,MP.1980. The Effects of Exercise on Pubertal Progression and Reproductive Function in Girls. J of Clinical Endocrinology & Metabolism. Vol.51 No.5:1150-7. Fox ,EL; Bowers,RW;Foss,ML. 1993. The Physiological Basic for Exercise and Sport. Edisi ke-5. Wm.C.Brown communications, Inc. Wiknjosastro,H.1997. Ilmu Kandungan.Edisi ke-2 Cetakan ke-2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Pritchard, MacDonald, Gant. Penerjemah: Hariadi,R,dkk.1991.Obstetri Williams. Cetakan ke-1.Airlangga University Press.Surabaya. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Imu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Dr.Soetomo.Surabaya. Wikipedia. Menstrual Cycle.(cited 21 September 2010). Available from: http://en.wikipedia.org/wiki Wikipedia. Amenorrhoea.(cited 24 September 2010). Available from: http://en.wikipedia.org/wiki 80