Isi Jurnal Edisi Juli 2010(11)

advertisement
RABIES
Asih Rahayu
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Rabies adalah penyakit zoonosis yang membentuk sebagai penyakit akut virus dalam sistem saraf pusat. gejala
biasa adalah sebuah sindrom kelumpuhan progresif, dan itu biasanya fatal. Kasus rabies di Indonesia masih
cukup tinggi jumlahnya. Dalam dekade terakhir, ada beberapa kasus kematian yang disebabkan oleh Rabies, dan
ribu kasus gigitan anjing di beberapa daerah Indonesia seperti: Flores, Ambon dan Bali. Untuk mencegah
penyakit dan membawa Indonesia ke negara bebas rabies, berbagai upaya harus diletakkan dan difasilitasi oleh
semua pihak terkait.
RABIES
Asih Rahayu
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Rabies is a zoonosis disease that forms as a viral acute illness in the central nervous system. Its regular
symptom is a progressive paralysis syndrome, and it is commonly fatal. The rabies case in Indonesia is still high
in number. In the last decades, there are several mortality cases caused by Rabies, and thousand cases of dog’s
bite in some Indonesia’s region such as: Flores, Ambon and Bali. To prevent the disease and bring Indonesia to
a rabies-free country , many efforts should be put and facilitated by all related parties.
Keyword: Rabies,zoonosis.
PENDAHULUAN
Rabies merupakan salah satu penyakit
zoonosis yang berupa penyakit viral akut pada
Susunan Saraf Pusat dengan gejala berupa
kelumpuhan
progresif serta seringkali
berakhir dengan kematian. Penyakit ini
ditularkan umumnya melalui gigitan hewan
pembawa Rabies.
SEJARAH EPIDEMIOLOGI
Rabies telah dikenal sejak jaman Raja
Hammurabi pada 2300 SM di Babilonia.Di
Inggris dikenal sejak tahun 1026.
Di Indonesia, kasus Rabies pada
kerbau pernah ditemukan oleh Esser di
JawaBarat pada tahun 1884 , pada anjing
tercatat oleh Penning pada tahun 1889 , dan
pada manusia tercatat oleh EV de Haan pada
tahun 1894 . Pada kurun waktu 1945-1980
tercatat terjadi Rabies di Sumatera Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur tahun 1953, di
Sulawesi Utara tahun 1956, di Sumatera
Selatan tahun 1959, di Lampung tahun 1969,di
Aceh tahun 1970, di Jambi dan Yogjakarta
tahun 1971, di DKI Jaya dan Bengkulu tahun
tahun 1972, di Kalimantan Timur tahun 1974,
di Riau tahun 1975, di Kalimantan Tengah
tahun 1978, di Kalimantan Selatan pada tahun
1983, di Pulau Flores NTT pada tahun 1977.
Kasus gigitan oleh Hewan Pembawa
Rabies di Indonesia akhir – akhir ini semakin
marak. Bahkan di Bali dalam kurun waktu 2
tahun terakhir ini terjadi banyak kasus gigitan
oleh Anjing penderita Rabies.
Berikut adalah sebagian kasus Rabies
yang terjadi di Indonesia dalam dasawarsa
akhir ini:
Menurut Kabag P2P Dinkes Banjar
drg. Yasna Khairina, sepanjang tahun 2005
dilaporkan terjadi 27 kasus gigitan anjing
tersangka Rabies, namun berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium hanya 8 diantaranya
yang positif Rabies sedangkan pada tahun
2006 tercatat 13 kasus gigitan anjing tersangka
Rabies dan hanya 2 diantaranya yang positif
Rabies ( Banjarkab.go.id, 2006).
Pada tahun 2000 di Palangkaraya dilaporkan
terdapat tujuh belas kematian karena Rabies
dalan kurun waktu delapan bulan. Pada kurun
waktu antara tahun 2000 sampai 2003, di
Ngada – Flores tercatat limapuluh enam
kematian
akibat
Rabies
dan
seribu
sembilanratus limabelas kasus gigitan anjing.
Pada awal tahun 2003 hingga 25 September
2003 di Ambon tercatat duabelas kematian dan
sekitar limaratus kasus gigitan anjing.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Manggarai
Barat, IG Ngurah Harijaya dalam laporan
tertulisnya yang di terima di Kupang, Rabu 6
februari 2008 menyebutkan bahwa dalam
empat pecan terakhir terjadi 13 kasus gigitan
dan satu diantaranya meninggal dunia.
Sementara jumlah kasus sejak tahun 1977
mencapai lebih dari 8.300 dengan korban
tewas terbanyak berasal dari Kabupaten Ngada
1
yakni 60 orang, Flores Timur 28 orang, Sikka
17 orang, Manggarai dan Manggarai Barat 17
orang, Ende 8 orang dan Lembata 2 orang.
Pemerintah Propinsi NTT menyebutkan
jumlah kasus Rabies dalam 10 tahun terakhir
mencapai 620 kasus dengan jumlah korban
tewas 132 orang. (Tempointeraktif.com,
2008).
Di Jawa Barat pada tahun 2005 tidak terdapat
penderita Rabies dari 427 kasus gigitan, 200
diantaranya mendapat VAR (Vaksin Anti
Rabies), tetapi terdapat 2 spesimen hewan
positif Rabies dilaporkan dari Kabupaten
Garut. Pada tahun 2006 terdapat 2 orang
meninggal akibat Rabies masing – masing dari
Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya
diantara 453 kasus gigitan di Jawa Barat, 334
diantaranya mendapat VAR, terdapat pula 2
spesimen hewan positif dari Kabupaten
Tasikmalaya dan Garut. Tahun 2007 terdapat 1
orang meninggal akibat Rabies dari Kabupaten
Ciamis diantara 528 kasus gigitan di Jawa
Barat, 331 diantaranya mendapat VAR, tidak
ada laporan hasil pemeriksaan specimen
hewan penular Rabies. Pada tahun 2008 (
sampai dengan April 2008) dilaporkan 1 orang
meningga akibat Rabies dari Kabupaten
Cianjur diantara 52 kasus gigitan di Jawa
Barat, 41 diantaranya mendapat VAR , dan
belum ada laporan pemeriksaan specimen
hewan penular Rabies. ( Patriawati B &
Rosemary F, 2008)
Kasus Rabies terjadi di Kampung Ka
kelurahan Wali Kecamatan Ruteng Kabupaten
Manggarai pada Balita yang digigit anjing
pada 13 Juni 2009 dan berakhir dengan
kematian pada 17 September 2009. (PosKupang.com 17 September 2009). Di Bali
pada kurun waktu akhir 2008 hingga 23
September 2009 terjadi kematian akibat
Rabies sejumlah 11 orang.
Dengan kejadian Rabies yang makin
marak di beberapa wilayah Indonesia akhir –
akhir ini, penulis berusaha memberikan
informasi secara lengkap mengenai Rabies
sehingga dapat lebih dimengerti dan
diwaspadai serta dapat diambil tindakan secara
tepat apabila terjadi kasus Rabies.
ETIOLOGI
Rabies disebut juga Lyssa, Tollwut
atau Penyakit Anjing gila.
Penyebabnya adalah virus Rabies yang
merupakan Virion dengan genome RNA .
Berdasarkan struktur genom dan model
replikasinya Rabies diklasifikasikan famili
Rhabdoviridae ( dalam bahasa Yunani, rhabdo
berarti batang) dalam ordo Mononegavirales
yang merupakan kelompok famili dengan
genom linear negative ssRNA. Rhabdoviridae
dikenal sebagai virus berbentuk peluru dengan
salah satu ujungnya datar. Ukurannya berkisar
170-180 nm x 65-75 nm dengan Berat molekul
3,5-4,6 x 106 Dalton atau 13-16 kb.Virion atau
virus ini terdiri dari nucleocapsid helix dan
envelope yang tersusun atas 50% protein
(Glikoprotein = Protein -G) dan 50% lipid.
Virus ini bereplikasi pada Sitoplasma sel.
(Joklik et al, 1992)
EPIDEMIOLOGI :
Sembilan puluh persen kasus Rabies
ditularkan ke manusia melalui gigitan anjing.
Anjing dan kucing merupakan sumber
penularan Rabies yang paling penting, karena
dua jenis hewan inilah yang paling dikenal
sebagai pet animal sehingga kedua hewan ini
pula yang paling sering kontak dengan
manusia.
Semua mamalia pada dasarnya peka
terhadap infeksi virus Rabies tetapi terdapat
urutan kepekaan dari berbagai species dari
mamalia. Mamalia yang paling peka dan
seringkali merupakan kasus rabies spontan
adalah golongan anjing misalnya anjing
domestikasi (anjing peliharaan), anjing hutan,
serigala dan rubah. Beberapa species lain
digolongkan ke dalam kepekaan sedang yaitu
raccoon, sigung dan
kelelawar vampire.
Sedangkan yang kurang kepekaannya adalah
golongan tupai.
Manusia umumnya tertular karena
gigitan hewan penderita Rabies , karena virus
Rabies akan berada dalam kelenjar ludah
hewan yang terinfeksi sekitar lima sampai
tujuh hari sebelum gejala klinis terlihat.
Terdapat dua bentuk epizootic Rabies
yaitu urban rabies yang terjadi pada jenis
mamalia pet animal dan sylvatic rabies yang
terjadi pada jenis mamalia liar .
Kepekaan terhadap infeksi rabies dan
masa inkubasinya tergantung pada latar
belakang genetic dari host, strain virus Rabies,
konsentrasi receptor virus pada sel host,
jumlah inokulum, serta jarak antara tempat
masuknya virus ke sel host dengan central
nervous system.
2
PORT DE’ENTRY DAN PATOGENESA
Penularan Rabies pada manusia
umumnya melalui luka gigitan hewan
penderita Rabies , walaupun dapat juga terjadi
melalui kulit yang lecet akibat cakaran hewan
penderita Rabies. Virus rabies yang ada pada
ludah penderita rabies akan masuk ke host
melalui luka. Replikasi awal Virion ini terjadi
pada jaringan otot bergaris atau jaringan
subepithel dan akan berlangsung terus hingga
konsentrasi virus mencapai maksimal yang
berakhir sampai ujung saraf yang sensitive
atau sampai ke neuron. Virus Rabies ini
rupanya mengikat diri pada receptor cel
berupa Ach-receptor ( Acetylcholine esterase)
pada sel neuron sampai ke daerah axon.Pada
fase berikutnya terjadi perpindahan infeksi
pasif asam inti virus secara centripetal di
dalam axon menuju ke Central Nervus system.
Daerah pertama yang dicapai pada masa
perpindahan ini adalah sumsum tulang dan
segera mengadakan replikasi. Apabila hasil
dari replikasi ini semakin banyak pada sel
saraf , maka akan terjadi kerusakan sistim
saraf terutama sistim saraf perifer. Perubahan
perilaku dapat terjadi pada fase ini, hal ini
kemungkinan karena terjadi kerusakan sel
saraf akibat replikasi virus yang sangat banyak
sehingga terjadi pula kerusakan pada sel saraf /
cortex yang mengatur perilaku. Hal ini pula
yang dikatakan sebagai ciri spesifik dari
infeksi virus Rabies. Pada Central Nervus
System juga terjadi infeksi oleh virus Rabies
ini, sehingga kemungkinan dapat terjadi
depresi, coma bahkan kematian. Selain itu ,
pada saat yang sama juga terjadi replikasi
virus Rabies yang sangat banyak pada sistim
saraf perifer, virus ini bergerak secara
centrifugal di dalam sistim saraf perifer dan
berjalan secara pasif lagi di dalam axon.
(Rantam FA,2005)
GEJALA KLINIS
Pada hewan ataupun manusia, masa
inkubasi rabies umumnya panjang berkisar
dari sekitar satu minggu hingga lebih dari satu
tahun semenjak masuknya virus Rabies,
umumnya sekitar satu bulan. Pada intinya
masa inkubasi tergantung dari jarak lokasi
gigitan dengan Central Nervous system,
semakin jauh lokasi port d’entry dari virus
Rabies ini dari otak maka semakin lama masa
inkubasinya.
Pada hewan , khususnya anjing,
gejala klinis dapat dikategorikan dalam
beberapa fase yaitu fase prodromal yang
berupa demam dan terjadi perubahan perilaku,
selanjutnya memasuki fase eksitasi berupa
kegelisahan, respons yang berlebihan terhadap
suara ataupun cahaya dan anjing cenderung
menggigit. Fase berikutnya adalah paralitik
yang ditandai dengan kejang, dysphagia,
hydrophobia, hypersalivasi, kelumpuhan otot
termasuk otot pernafasan dan diakhiri dengan
kematian.
Beberapa
literature
mengatakan
Rabies terdiri dari dua bentuk yaitu dumb
rabies dan furious rabies. Pada dumb rabies
umumnya
terjadi
gangguan
menelan,
bersembunyi
dan
jarang
menggigit,
selanjutnya dalam kurun waktu sekitar empat
hari akan terjadi paralisa progresif yang
berakhir dengan kematian. Bentuk ini
umumnya jarang menular ke manusia.
Sebaliknya pada bentuk furious umumnya
terlihat gejala umum misalnya menurunnya
nafsu makan, gelisah, bersembunyi, sensitive
dan agresif , menyerang segala sesuatu yang
berada disekitarnya, kejang – kejang yang
berakibat
dysphagia,
hydrophobia,
hypersalivasi , selanjutnya terjadi paralisa dan
kematian. Bentuk furious ini yang biasanya
menular ke manusia akibat gigitan hewan
penderita. (Soeharsono,2002)
Pada manusia , Fase prodromal
berlangsung pendek sekitar dua sampai empat
hari yang ditandai dengan malaise, anorexia,
sakit kepala, nausea, vomit, sakit tenggorokan
dan demam. Selanjutnya memasuki fase
sensorik yang berupa terjadinya sensasi
abnormal di sekitar tempat infeksi yang
kemudian berlanjut ke fase exitasi berupa
ketegangan, ketakutan, hyperlacrimasi, dilatasi
pupil, keringat berlebihan, halusinasi, kaku
otot, keinginan melawan, dysphagia sehingga
hypersalivasi dan hydrophobia. Kematian
biasanya diakibatkan karena paralisa otot
pernafasan.
DIAGNOSIS :
Diagnosis pasti dapat ditegakkan
dengan observasi laboratorium berupa
pembuatan preparat jaringan otak hewan yang
menggigit dengan pewarnaan Seller, untuk
menemukan inclusion bodies / Negri bodies
yang terdapat terutama pada medulla spinalis.
Cara lain adalah dengan imunofluoresensi
langsung dengan menggunakan serum anti
rabies hamster.
3
TINDAKAN :
Pada hewan yang menggigit dan
dicurigai menderita rabies harus dikarantina
selama dua minggu. Apabila terjadi kematian
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk menemukan Negri bodies dengan cara
mengirim hipocampusnya ke BPPH yang
mempunyai fasilitas mendiagnosis rabies.
Apabila tidak terjadi kematian maka hewan
tersebut dinyatakan bebas rabies.
Pada manusia yang tergigit hewan di
daerah tertular rabies perlu diwaspadai . Luka
gigitan harus sesegera mungkin dicuci dengan
detergent selama 5 – 10 menit di bawah air
yang mengalir sebagai upaya untuk merusak
envelope dari virus rabies. Selanjutnya diberi
alcohol 70% atau iodium tincture. Luka
sebaiknya tidak dijahit, bila harus dijahit maka
dilakukan setelah diberi local antiserum dan
jahitan tidak boleh terlalu erat sehingga
menghalangi pendarahan atau drainase.
(Depkes RI,2000)
Pencegahan imunologis terhadap
rabies pada manusia adalah dengan
memberikan Human Rabies Immunoglobulin
(HRIG) secepat mungkin setelah terpajan
untuk menetralisir virus pada luka gigitan,
dengan
dosis tunggal
20IU/kg BB,
setengahnya diinjeksikan ke dalam dan di
sekitar luka dan setengahnya diberikan IM.
Selanjutnya diberikan vaksin pada tempat
yang berbeda untuk mendapatkan imunitas
aktif dengan HDCV atau RVA dalam 5 dosis
0,5 atau 1,0 cc IM pada daerah deltoid. Dosis
pertama diberikan segera setelah gigitan (pada
saat yang sama diberikan dosis tunggal HRIG)
dan dosis selanjutnya pada hari ke 3, 7, 14 dan
28 setelah dosis pertama.
( Chin,J. 2006)
PENCEGAHAN
Perlu dilakukan imunisasi dengan
vaksin rabies pada hewan peliharaan yang
peka terutama pada anjing , kucing dan kera.
Perlu pelaporan kepada dinas yang
terkait apabila terjadi kasus gigitan hewan
tersangka rabies atau di wilayah terpapar
rabies.
Imunisasi prapajanan terhadap orang
yang berisiko tinggi terkena rabies mungkin
perlu dilakukan dengan HDCV (Human
diploid cell rabies vaccine), RVA (rabies
vaccine adsorbed) atau PCBC (purified chick
embryo cell vaccine) misalnya pada orang –
orang yang bekerja sebagai dokter hewan,
petugas suaka alam pada daerah anzootik atau
epizootic, petugas karantina hewan, petugas
laboratorium atau petugas lapangan yang
bekerja dengan rabies atau wisatawan yang
berkunjung dalam waktu lama pada daerah
endemis rabies.
SARAN
Dengan masih banyaknya ditemukan
kasus Rabies di wilayah Indonesia maka:
Perlu dilakukan kerjasama yang lebih baik
antar dinas yang terkait yaitu Pemberantasan
Rabies pada hewan menjadi tanggung jawab
Departemen Pertanian , Penanggulangan
Rabies pada manusia menjadi tanggung jawab
Departemen Kesehatan dan Koordinasi data
pembebasan Rabies menjadi taggung jawab
Departemen Dalam Negeri.
Perlu melaksanakan kegiatan pembebasan
Rabies secara terpadu dibawah koordinasi
Pemerintah Daerah yang meliputi :
Melakukan pencegahan kematian akibat
Rabies dengan penanganan kasus gigitan
hewan penular Rabies secara benar dengan
cara
meningkatkan
pengetahuan
dan
ketrampilan petugas dalam tatalaksana kasus
gigitan hewan penualr Rabies .
Melakukan penyuluhan secara berkala kepada
masyarakat perlu dilakukan untuk menggugah
kesadaran
masyarakat
agar
lebih
memperhatikan hal – hal yang dapat memicu
terjadinya Rabies diantaranya memperhatikan
dan mengawasi kesehatan hewan peliharaan
terutama anjing , kucing dan kera dengan cara
secara teratur melakukan vaksinasi Rabies dan
tidak membiarkan hewan peliharaannya
berkeliaran.
Pemerintah melalui Dinas Peternakan perlu
menggalakkan kembali program vaksinasi
murah ataupun gratis terhadap hewan
peliharaan anjing, kucing dan kera.
DAFTAR PUSTAKA :
CHIN J.2006.Manual Pemberantasan Penyakit
Menular.Infomedika.Edisi 17,cetakan II, 497507.
DEPKES RI, DIRJEN PPM & PL.
2000.Petunjuk Perencanaan &
Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hwean
Tersangka /Rabies di Indonesia.
JOKLIK WK, WILLET HP, AMOS DB,
WILFERT CM. 1992. Zinsser
Microbiology.20thEd.1028-1033.
PATRIAWATI B dan ROSEMARY F,
2008.Rabies.
4
WWW.portalkomunikasi.jabarprov.go.id,
Senin 21 Juli 2008.
RANTAM FA. 2005.Virologi.167-168
SOEHARSONO.2002.Zoonosis Penyakit
Menular dari Hewan ke Manusia.Penerbit
Kanisius Yogyakarta, 115-121.
WWW.Kompas.co.id .September 2003
WWW.Pos-Kupang.com .17 September 2009
WWW.tempointeraktif.com. 2008. Rabies
Kembali Mengganas di Flores. Rabu 06
Pebruari 2008.
WWW.banjarkab.go.id, 2006. Ditemukan 2
Kasus Rabies.Rabu 13 Desember 2006.
5
OSTEOARTRITIS
Inawati
Departemen Patologi Anatomi
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Osteoartritis adalah jenis artritis yang paling sering didapatkan. Osteoartritis disebabkan oleh kerusakan dan
hilangnya tulang rawan dari satu atau lebih sendi. Di sebut juga penyakit sendi degenerative atau osteoartrosis.
Di bedakan osteoarthritis primer dan sekunder. Gejala yang menonjol adalah adanya nyeri sendi. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keterbatasan dalam pergerakan, krepitasi dan pembengkakan sendi. Pada
pemeriksaan dengan X-ray menunjukan hilangnya ruang sendi atau bisa juga nampak taji (bony spurs).
Pengobatannya meliputi medikamentosa, perubahan gaya hidup, terapi fisik, pemakaian alat penyangga sendi
dan pembedahan.
OSTEOARTHRITIS
Inawati
Department of Anatomical Pathology
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Osteoarthritis is a type of arthritis that most often obtained. Osteoarthritis is caused by damage and loss of
cartilage of one or more joints. Also called degenerative joint disease or osteoarthritis. To differentiate primary
and secondary osteoarthritis. Prominent symptom is the presence of joint pain. On physical examination found
limitations in movement, krepitasi and swelling of joints. On examination with X-ray showed loss of joint space
or spurs may also appear (Bony spurs). Treatment includes medical, lifestyle changes, physical therapy, the use
of joint brace and surgery.
Definisi
Osteoartritis adalah jenis arthritis yang
disebabkan oleh kerusakan dan hilangnya
tulang rawan dari satu atau lebih sendi. Tulang
rawan adalah substansi protein yang berfungsi
sebagai bantal antara tulang-tulang pada
persendian. Osteoartritis juga dikenal sebagai
artritis degeneratif. Di antara lebih dari 100
jenis yang berbeda dari arthritis, osteoarthritis
adalah
yang
paling
umum,
yang
mempengaruhi lebih dari 20 juta orang di
Amerika Serikat. Osteoarthritis lebih sering
terjadi saat kita bertambah usia. Sebelum usia
45 tahun, osteoartritis lebih sering terjadi pada
laki-laki. Setelah 55 tahun, osteorhtritis lebih
sering terjadi pada wanita. Di Amerika
Serikat, semua ras muncul sama banyak.
Sebuah kejadian osteoartritis ada yang lebih
tinggi pada populasi Jepang, sementara orang
kulit hitam Afrika Selatan, India Timur, dan
Selatan Cina memiliki tingkat yang lebih
rendah.
Osteoartritis umumnya mempengaruhi tangan,
kaki , tulang belakang , dan sendi yang
menahan beban besar, seperti pinggul dan
lutut. Kebanyakan kasus osteoartritis tidak
diketahui penyebabnya dan disebut sebagai
osteoarthritis primer. Ketika penyebab
osteoartritis diketahui, kondisi ini disebut
sebagai osteoarthritis sekunder.. Osteoartritis
sering disingkat OA.
Nama Lain
Osteoartritis
disebut
juga:
Hipertrofik
osteoartritis; Osteoarthrosis; penyakit sendi
degenerative (PSD); DJD (Degenerative Joint
Disease), OA; Arthritis - osteoarthritis
Penyebab
Pada osteoartritis, bantalan (tulang rawan)
antara tulang akan menipis dalam sendi. Jika
osteoartritis semakin memburuk, tulang rawan
hilang dan menggosok tulang pada tulang.
Tulang tumbuh taji (bony spurs) atau biasanya
membentuk sekitar sendi. Ligamen dan
mengendurkan otot di sekitar sendi dan
menjadi lemah.
Seringkali, penyebab OA tidak diketahui. Hal
ini terutama berkaitan dengan penuaan, tetapi
faktor lain juga dapat menyebabkan OA.

Osteoarthritis
cenderung
menurun dalam keluarga
untuk
6



Kelebihan berat badan meningkatkan
risiko
Fraktur atau cedera sendi lainnya bisa
menyebabkan
osteoartritis
di
kemudian hari
Pemakaian sendi berlebihan jangka
panjang di tempat kerja atau dalam
olahraga
dapat
menyebabkan
osteoarthritis
kondisi medis yang dapat menyebabkan
osteoarthritis meliputi:



Gangguan
pendarahan
yang
menyebabkan pendarahan pada sendi,
seperti hemofilia
Gangguan yang menghambat pasokan
darah dekat persendian, seperti
nekrosis avascular
Jenis lain arthritis, seperti gout kronis,
pseudogout , atau rheumatoid arthritis
Gejala-gejala osteoarthritis meliputi:







Nyeri sendi yang semakin buruk
setelah latihan atau meletakkan beban
di atasnya, dan hilang dengan istirahat
Rasa sakit yang lebih buruk ketika
memulai aktivitas setelah jangka
waktu tidak ada aktivitas
Seiring waktu, nyeri hadir bahkan
ketika sedang istirahat
Krepitasi dari sendi dengan gerakan
Rasa nyeri meningkat saat cuaca
lembab atau basah
Sendi mengalami pembengkakan
Gerakan Terbatas
Kelemahan otot sekitar sendiyang
mengalami artritis
Beberapa orang mungkin tidak memiliki
gejala.
Pemeriksaan dan Tes
Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan:


Gerakan sendi dapat menyebabkan
krepitasi (kisi) suara
Pembengkakan sendi (tulang di sekitar
sendi mungkin merasa lebih besar dari
biasanya)
Gerakan sendi menjadi terbatas
Pelunakan ketika sendi ditekan
Gerakan normal sering menimbulkan
rasa nyeri
Tidak ada tes darah yang membantu dalam
mendiagnosis osteoarthritis.
Pemeriksan x-ray dari sendi yang terkena
akan menunjukkan hilangnya ruang sendi.
Dalam kasus lanjut, akan nampak tulang
taji.(bony spurs)
Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk:




Gejala




Meningkatkan kekuatan sendi
Memelihara atau meningkatkan
gerakan sendi
Mengurangi keterbatasan akibat
penyakit
Mengurangi rasa nyeri
Pengobatan ini tergantung pada sendi yang
terlibat.
1.
Medikamentosa
Penghilang rasa sakit bisa membantu dengan
gejala..
Kebanyakan
dokter
merekomendasikan acetaminophen (Tylenol),
karena memiliki efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan obat lain.
Jika rasa sakit Anda berlanjut, dokter mungkin
merekomendasikan obat anti-inflammatory
(NSAIDs). Obat ini membantu meredakan
nyeri dan bengkak. Jenis NSAID termasuk
aspirin, ibuprofen dan naproxen.
Namun, penggunaan jangka panjang NSAID
dapat menyebabkan masalah perut, seperti
ulkus dan pendarahan. Obat ini juga dapat
meningkatkan risiko serangan jantung dan
stroke.
Obat resep, Celebrex (a COX-2 inhibitor)
dapat bekerja seperti NSAID lainnya. Karena
risiko serangan jantung dan stroke, itu hanya
diberikan pada dosis terendah untuk periode
waktu yang sesingkat mungkin.
7
Kortikosteroid disuntikkan langsung ke sendi
juga dapat digunakan untuk mengurangi
pembengkakan dan nyeri.. Namun, bantuan
hanya berlangsung untuk waktu yang singkat.
mengobati osteoarthritis. Jika terapi tidak
membuat pasien merasa lebih baik setelah 3 6 minggu, maka kemungkinan tidak akan
bekerja sama sekali.
Banyak orang menggunakan obat seperti
glucosamine dan chondroitin sulfat. Ada
beberapa bukti bahwa suplemen ini dapat
membantu mengontrol rasa nyeri, meskipun
mereka tampaknya tidak tumbuh tulang rawan
baru. Beberapa dokter menyarankan masa
percobaan 3 bulan untuk melihat apakah
glukosamin dan kondroitin kerja.
ALAT PENYANGGA SENDI (splints dan
braces)
Krim kulit Capsaicin (Zostrix) dapat
membantu mengurangi rasa nyeri. Pasien
mungkin
merasakan
sensasi,
hangat
menyengat ketika pertama kali memakai krim.
Sensasi ini hilang setelah beberapa hari
penggunaan. Rasa nyeri akan mulai berkurang
dalam waktu 1 - 2 minggu.
Cairan sendi buatan Buatan bersama (Synvisc,
Hyalgan) dapat disuntikkan ke lutut. Ini
mungkin menghilangkan rasa sakit selama 3 6 bulan.
Splints dan kawat penyangga kadang-kadang
dapat mendukung sendi yang lemah. Some
prevent the joint from moving; others allow
some movement. Beberapa mencegah sendi
dari pergerakan; lain memungkinkan beberapa
gerakan. Pasien harus menggunakan alat
penyangga hanya bila dokter atau terapis
merekomendasikan. Menggunakan penjepit
dengan cara yang salah dapat menyebabkan
kerusakan sendi, kekakuan, dan rasa sakit.
BEDAH
Kasus yang parah dari osteoarthritis mungkin
memerlukan pembedahan untuk mengganti
sendi yang rusak atau perbaikan. Pilihan
Bedah mencakup:

PERUBAHAN GAYA HIDUP
Latihan membantu menjaga gerakan sendi dan
keseluruhan. Latihan air, seperti berenang,
sangat membantu.


Rekomendasi gaya hidup lainnya termasuk:





Menerapkan panas dan dingin
Makan makanan yang sehat dan
seimbang
Istirahat
Menurunkan berat badan jika
kelebihan berat badan
Melindungi sendi
Orang-orang yang pekerjaannya menyebabkan
stres pada persendian tertentu harus mencari
cara untuk mengurangi trauma. Mungkin perlu
menyesuaikan area kerja atau tugas-tugas
perubahan kerja.
TERAPI FISIK
Terapi fisik dapat membantu meningkatkan
kekuatan otot dan gerakan pada sendi kaku.
Terapis memiliki banyak teknik untuk

Operasi arthroskopi untuk
memangkas robek dan tulang rawan
yang rusak
Mengganti alignment tulang untuk
menghilangkan stress pada tulang atau
sendi (osteotomy)
Bedah fusi tulang, biasanya di tulang
belakang ( arthrodesis )
Penggantian parsial atau total sendi
yang rusak dengan sendi buatan
(arthroplasti lutut , arthroplasti
pinggul)
Prognosis
Gerakan penderita mungkin menjadi sangat
terbatas. Pengobatan umumnya meningkatkan
fungsi.
Kemungkinan Komplikasi


Efek samping obat yang digunakan
untuk pengobatan
Penurunan kemampuan untuk
melakukan kegiatan sehari-hari,
seperti kebersihan pribadi, pekerjaan
rumah tangga, atau memasak
8


Berkurangnya kemampuan untuk
berjalan
Komplikasi pembedahan
Pencegahan
Berat badan dapat mengurangi risiko
osteoartritis lutut pada wanita gemuk.
9
Daftar Pustaka
http://arthritis.about.com/od/oa/Osteoarthri
tis_Causes_Diagnosis_Symptoms_Treatmen
t
Gregory PJ, Sperry M, Wilson AF. Gregory
PJ, M Sperry, AF Wilson. Dietary
supplements for osteoarthritis. Am Fam
Physician.
Hunter DJ. Hunter DJ. In the clinic:
Osteoarthritis. Ann Intern Med .
2007;147(3):ITC8-1-ITC8-16. 2008;77:177184.
<http://www.arthritis.org/conditions/Fact_She
ets/OA_Fact_Sheet.asp>
<http://www.arthritis.org/conditions/Fact_She
ets/OA_Fact_Sheet.asp>
"Disease Center - Osteoarthritis." Arthritis
Foundation.. 3 May 2007
<http://www.arthritis.org/conditions/diseasece
nter/OA/oa_overview.asp> Sources: Sumber:
http://www.emedicinehealth.com/osteoarthritis
/article_em.htm
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/osteoart
hritis.html
Osteoarthritis of KneeTreatment Options,
Latest Advances. Trustworthy, Current
Report.www.kneeosteoarthritis-info.com
http://www.niams.nih.gov/Funding/Funded_R
esearch/Osteoarthritis_Initiative/default.asp.
"Osteoarthritis." American College of
Rheumatology.. June 2006.. 3 May 2007
<http://www.rheumatology.org/public/factshee
ts/oa_new.asp?aud=pat>
National Institute of Arthritis and
Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS)
Information Clearinghouse
National Institutes of Health Website:
http://www.niams.nih.gov
"Osteoarthritis Fact Sheet." "Osteoartritis LI."
Arthritis Foundation. Arthritis Foundation..
2005. 3 May 2007
http://www.arthritis.org
10
http://nihseniorhealth.gov/osteoarthritis/whatis
osteoarthritis/02.html
Klippel, John H., et al., eds. Primer on the
Rheumatic Diseases . Klippel, John H., et al.,
Eds New York: Springer and Arthritis
Foundation, 2008.
Ruddy, Shaun, et al., eds. Kelley's Textbook of
Rheumatology , 6th ed. Ruddy, Shaun, et al.,
Eds.'s Textbook Kelley dari Rematologi, 6th
ed. Philadelphia: Saunders, 2001.
Philadelphia: Saunders, 2001.
//www.medicinenet.com/osteoarthritis/articl
e.htm
From Wikipedia, the free encyclopedia Dari
Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia
bebas.
11
D1 SIKLIN EKSPRESI PROTEIN DALAM MELANOMA GANAS DAN NEVI
MELANOCYTIC
Lusiani Tjandra
Departemen Farmasi
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Latar Belakang: Melanoma adalah bentuk kanker kulit yang memiliki perilaku agresif dan ketahanan terhadap
terapi konvensional. Perilaku yang tidak biasa ini mencerminkan proses karsinogenesis yang unik yang
melibatkan beberapa mutasi kromosom dan genom yang mengatur proliferasi dan proses apoptosis. Yang
bermutasi gen yang paling umum di tumor ganas siklin D1. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan
memainkan peranan penting dalam karsinogenesis melanoma dari ekspresi gen.
Metode: blok parafin pasien melanoma dari Departemen patologis dikumpulkan dari periode Juli 2007 sampai
Juni 2008. Lima kasus Nevi melanocytic ditambahkan sebagai kelompok kontrol. blok kemudian dipotong
dengan mikrotom, ditempatkan pada slide mikroskopik yang diwarnai dengan antibodi monoklonal terhadap
siklin D1 masing-masing.
Hasil: spesimen melanoma menunjukkan 80% kasus positif untuk siklin D1. Data kemudian dianalisis secara
statistik Mann Whitney dan hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna dalam ekspresi siklin
D1 (p = 0.013; p <0,05) pada melanoma ganas dibandingkan dengan nevus melanocytic.
Kesimpulan: D1 siklin bermain peranan penting dalam karsinogenesis melanoma menyarankan bahwa ada satu
gen supresor tumor yang telah bermutasi dalam sel melanoma.
Kata kunci: melanoma ganas, siklin D1.
CYCLIN D1 PROTEIN EXPRESSION IN MALIGNANT MELANOMA AND
MELANOCYTIC NEVI
Lusiani Tjandra
Farmasi Department
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Background: Melanoma is the form of skin cancer that has an aggressive behavior and resistance to
conventional therapy. These unusual behaviors reflecting its unique carcinogenesis process which involve
several mutations in chromosomes and genome that regulate proliferation and apoptotic process. The most
common mutated genes in malignant tumors cyclin D1. The object of this study is to determine play an
important role in melanoma carcinogenesis of the expression of these genes.
Methods: block paraffin of melanoma patients from Pathologic Department were collected from the period of
July 2007 until June 2008. Five cases of melanocytic nevi were added as a control groups. The block then cut by
microtome, placed on microscopic slides which stained with monoclonal antibody against cyclin D1
respectively.
Results: melanoma specimen show 80% cases positive for cyclin D1. The data then statistically analyzed Mann
Whitney and the result shows that there were significance difference in expression of cyclin D1 ( p = 0,013 ; p <
0,05 ) in malignant melanoma compared with melanocytic nevus.
Conclusions: cyclin D1 play an important role in melanoma carcinogenesis suggesting that there was another
tumor suppressor genes that was mutated in melanoma cells.
Keywords: malignant melanoma, cyclin D1.
PENDAHULUAN
Melanoma maligna merupakan tumor ganas
sel melanosit dengan pertumbuhan agresif dan
resisten terhadap terapi. Sel melanosit
merupakan sel normal yang terdapat pada
lapisan basal epidermis kulit. Sel ini berfungsi
untuk melindungi tubuh dari paparan sinar
matahari terutama sinar UV yang dapat
merusak komposisi DNA sel normal. Paparan
sinar ultraviolet B serta terjadinya mutasi gen
yang berperan dalam proliferasi dan apoptosis
sel, dapat meningkatkan pertumbuhan sel
melanosit dan menghasilkan tumor, baik
tumor jinak yang disebut nevus melanositik
atau tumor ganas yang dikenal sebagai
melanoma maligna. Sampai saat ini peran
cyclin D1 pada melanoma maligna belum
dapat dijelaskan.
Melanoma maligna merupakan tumor ganas
kulit yang paling banyak menimbulkan
kematian di Amerika Serikat dan Eropa
12
(Ugurel, 2009). Di Australia, insiden dan
mortalitas masih terus meningkat. Di
Indonesia menurut data histopatologis, kanker
kulit merupakan kanker ketiga tersering dan
melanoma maligna menyebabkan 1% sampai
2% dari semua kematian akibat kanker
(Harahap, 2000 ; Djuanda, 1999).
Proses berkembangnya sel melanosit menjadi
nevus ataupun melanoma maligna terjadi
melalui banyak tahapan dan melibatkan
banyak perubahan pada gen maupun
kromosom.
Penelitian
dengan
teknik
Comparative genomic Hybridization pada
melanoma telah mengidentifikasi beberapa
perubahan
kromosom
baik
berupa
penambahan maupun pengurangan jumlah
nukleotida
pada
melanoma
maligna
dibandingkan dengan sel melanosit maupun
nevus melanositik. Perubahan tersebut
melibatkan mutasi berbagai macam gen yang
berperan pada karsinogenesis melanoma
maligna (Bastian, 1998). Pola pertumbuhan
melanoma yang agresif dan resisten terhadap
terapi konvensional berkaitan dengan proses
karsinogenesis tumor. Proses karsinogenesis
melanoma melibatkan mutasi beberapa gen
yang berfungsi sebagai gen pengatur
pertumbuhan sel (cyclin D1). Mutasi pada gen
tersebut akan menghasilkan pertumbuhan
neoplastik sel melanosit baik berupa
neoplasma jinak (nevus melanositik) maupun
neoplasma ganas (melanoma maligna).
Pemahaman
karsinogenesis
melanoma
diperlukan untuk
mengungkap perilaku
biologi tumor serta cara untuk menghambat
pertumbuhan tumor. Walaupun sudah banyak
diiteliti tetapi karsinogenesis melanoma masih
belum dapat diungkap secara menyeluruh.
. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
apakah ada peningkatan yang bermakna dari
ekspresi protein cyclin D1 pada melanoma
maligna dibanding dengan nevus melanositik.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
panduan dalam terapi melanoma maligna.
BAHAN DAN CARA KERJA
A.Sampel penelitian
Kasus melanoma dari 1 Juli 2007 sampai
dengan 31 Juli 2008 di Instalasi Patologi
Anatomi RSU Dr. Soetomo sebanyak 26
kasus, yang memenuhi kriteria inkusi dan
eksklusi penelitian sebanyak 10 kasus dan 5
kasus nevus melanositik sebagai pembanding.
Rancangan penelitian ini adalah eksplanatori
dan jenis penelitian adalah observasional
analitik.
B.Pemeriksaan Immunohistokimia
Ekspresi protein cyclin D1 merupakan jumlah
sel tumor dengan sitoplasma berwarna merah
(pada pemeriksaan imunohistokimia) dan
dihitung dari 100 sel tumor. Pada setiap kasus
diberikan skor berdasarkan hasil penghitungan
jumlah sel tumor yang memberikan reaksi
positif dan negatif terhadap antibodi Cyclin D
dengan ketentuan (Burnworth, 2006) :
Skor 0 = inti sel tumor tidak terwarnai atau
berwarna < 5%
Skor +1 = inti sel tumor terwarnai antara 5
- 20 %
Skor +2 = inti sel tumor terwarnai antara 20
- 50 %
Skor +3 = inti sel tumor terwarnai > 50 %
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
Hasil pemeriksaan immunohistokimia sel
tumor yang mengekspresikan protein cyclin
D1 pada melanoma maligna dan nevus
melanositik.
Pemeriksaan jumlah sel tumor yang
mengekspresikan protein cyclin D1 pada
melanoma maligna dilakukan dengan teknik
immunohistokimia
Biotin
Streptavidin
Amplified. Satu sampel diamati dan dihitung
jumlah sel tumor yang mengekspresikan
protein cyclin D1 dengan menggunakan
mikroskop cahaya pembesaran 400x. diamati
pada seluruh lapang pandang dan dihitung
jumlah sel tumor yang memberikan reaksi
positif
dan
negatif
terhadap
antibodimonoklonal
cyclin
D1.
Hasil
perhitungan kemudian dihitung persentase
dan diberi skor, hasil dapat dilihat pada
gambar 1
13
Ekspresi cyclin D1 pada Nevus dan
Melanoma
6
Negatif
4
Positif 1
2
Positif 2
0
Positif 3
Nevus
Melanoma
Gambar 1: Ekspresi cyclin D1 pada nevus dan melanoma
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat 10
kasus melanoma maligna didapatkan 8 kasus
dengan ekspresi cyclin D1 positif dan 2 kasus
negatif dengan rincian : Positif 20 – 50% (skor
2) sebanyak : 5 kasus, Positif ≥ 50% (skor 3) :
sebanyak :3 kasus. Sedangkan untuk kasus
nevus : tidak didapatkan kasus positif (semua
negatif).
Gambar 2 : Fotomikroskopi Melanoma maligna
dengan pewarnaan antibodi anti cyclin D1 ; 400 X
Tampak kelompok sel tumor yang memberikan
reaksi positif dengan sitoplasma berwarna merah
14
Pengujian
peningkatan
ekspresi
protein cyclin D1 pada melanoma
maligna
dibandingkan nevus melanositik.
Dari hasil analisis statistika dengan
mengunakan
uji Mann Whitney
didapatkan peningkatan yang bermakna
pada melanoma maligna dibandingkan
dengan nevus melanositik ( p = 0,013 ; p
< 0,05 ).
DISKUSI
Jumlah kasus melanoma dari 1 Juli 2007
sampai dengan 31 Juli 2008 di Instalasi
Patologi Anatomi RSU Dr. Soetomo
sebanyak 26 kasus. Dari 26 kasus, 10
kasus yang memenuhi kriteria inklusi
dan digunakan dalam penelitian ini,
sedangkan untuk nevus melanositik
diambil 5 kasus sebagai pembanding.
Kriteria pemilihan kasus nevus adalah
proliferasi sel yang mengandung pigmen
melanin dan secara jelas menunjukkan
perilaku jinak pada gambaran histologi
(nevus intradermal).
Sampel penelitian melanoma terdiri dari
7 orang penderita wanita dan 3 orang
penderita pria dengan rentang usia
antara 28 – 80 tahun. Menurut literatur
melanoma maligna dapat menyerang
semua umur dengan insiden paling
banyak pada usia di atas 40 tahun, tanpa
adanya
predileksi jenis
kelamin
(Harahap, 2000).
Lokasi
melanoma
yang
sering
ditemukan (7 dari 10 kasus) adalah
melanoma pada daerah telapak kaki dan
jari kaki (acral melanoma). Melanoma
jenis ini faktor paparan sinar matahari
kurang berperan dalam proses terjadinya
tumor,
karena telapak kaki relatif
terlindung dari sinar matahari. Dua
kasus yang lain adalah penderita wanita
dengan melanoma pada daerah perineum
/ vulva dan kulit abdomen yang juga
terlindung dari sinar matahari, hanya
satu penderita melanoma di kulit regio
cruris dimana paparan sinar matahari
ikut
berperan
pada
proses
karsinogenesis.
Gambaran
mikroskopis
penderita
melanoma maligna di RSU Dr. Soetomo
Surabaya adalah
semua kasus
menunjukkan sel melanosit anaplastik
yang menghasilkan pigmen dan tidak
didapatkan kasus amelanotik melanoma.
Derajad invasi tumor semuanya
tergolong Clark level 5 dengan
kedalaman invasi tumor menurut
Breslow pada level 4 serta pertumbuhan
tumor secara vertikal (Vertical Growth
Phase). Tidak ditemukannya kasus
melanoma tahap awal disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan tenaga medis
dan masyarakat akan gejala melanoma
secara dini. Gejala melanoma awal
serupa dengan lesi kulit lain yang
berpigmen seperti nevus melanositik,
nevus biru (blue nevus) serta pigmented
basal cell carcinoma sedangkan
melanoma
amelanotik
dapat
memberikan gejala yang serupa dengan
pyogenic granuloma, hemangioma atau
basal cell carcinoma (Paek, 2008).
Ditemukannya kasus melanoma pada
stadium lanjut disebabkan oleh jenis
pertumbuhan melanoma yang termasuk
pola pertumbuhan vertikal (Vertical
Growth Phase) sehingga tumor dapat
melakukan invasi pada struktur kulit
bagian bawah dalam waktu singkat,
tanpa atau belum melakukan penyebaran
secara horisontal. Hal ini berbeda
dengan kasus yang ditemukan di negara
barat dimana sebagian besar berupa
melanoma
dengan
penyebaran
superfisial
(Superficial
Spreading
Melanoma) yang menunjukkan pola
penyebaran secara horisontal.
Berkembangnya sel melanosit menjadi
nevus melanositik dan melanoma
maligna yang tumbuh secara vertikal
melalui beberapa tahapan. Mutasi paling
awal ditemukan pada gen NRAS dan
BRAF yang tergolong dalam jalur MAP
kinase. Mutasi ini menyebabkan sel
melanosit berproliferasi dan membentuk
nevus melanositik. Proliferasi sel nevus
bersifat terbatas dimana pada suatu titik
tertentu akan berhenti
karena sel
mengalami
senescence.
Proses
senescence dipengaruhi oleh gen
p16INK4a yang merupakan tumor
supresor gen, yang berperan dalam jalur
gen retinoblastoma (Rb). Tahap berikut
dalam terjadinya melanoma adalah
15
Nevus
displastik
yang
memiliki
kemampuan menghindar dari proses
senescence. Proses terjadinya nevus
displatik melibatkan mutasi pada gen
p16INK4a dan CDK4 yang berperan
dalam jalur Rb. Kedua gen ini dikenal
sebagai gen susceptibilitas melanoma.
Aktivasi
telomerase pada
nevus
displastik menghasilkan perubahan
menjadi melanoma dengan pertumbuhan
radial / horisontal yang menghasilkan
sel
melanosit
imortal
(dapat
berproliferasi terus tanpa mengalami
proses
senescence)
akan
tetapi
pertumbuhan
sel
tumor
masih
bergantung pada sel keratinosit di
sekitarnya. Tahap akhir dari progresi
melanoma adalah melanoma dengan
pola pertumbuhan vertikal yang bersifat
invasif dan tidak bergantung pada
keratinosit. Proses ini melibatkan mutasi
pada jalur penghambat apoptosis. (Ha
Linan, 2008; Bennet C Dorothy 2003).
Ekspresi protein cyclin D1 pada
melanoma maligna
Melanoma maligna kulit dapat terjadi di
semua tempat,
pada lokasi yang
terpapar oleh sinar matahari maupun
lokasi yang tertutup. Distribusi anatomis
melanoma kulit
dipengaruhi oleh
variasi etnis (Pathak, 1982). Ras
kaukasia dengan warna kulit terang,
melanoma didapatkan pada tubuh dan
ekstremitas yang berhubungan dengan
paparan sinar matahari (Elwood, 1998).
Tipe histologis yang paling banyak
adalah melanoma dengan penyebaran
superfisial. Sebaliknya pada ras nonkaukasian insiden melanoma sangat
rendah dan sebagian melanoma timbul
pada tempat yang terlindung dari sinar
matahari seperti telapak kaki dan telapak
tangan yang tergolong sebagai acral
melanoma dengan tipe histologis berupa
nodular melanoma (Ishihara, 2001).
Proses perkembangan awal melanoma
melibatkan jalur MAP kinase, dimana
gen yang sering mengalami mutasi
adalah NRAS dan BRAF. Mutasi kedua
gen ini ternyata sedikit ditemukan pada
acral melanoma. Pada acral melanoma
perubahan gen yang didapatkan adalah
amplifikasi gen cyclin D1 yang
merupakan efektor downstream dari
jalur MAPK (Takata, 2005). Amplifikasi
gen cyclin D1 didapatkan pada 50%
kasus acral melanoma (Sauter, 2002).
Pada penelitian ini didapatkan ekspresi
protein cyclin D1 pada 8 dari 10 kasus
melanoma (80%) sedangkan untuk
nevus melanositik tidak didapatkan satu
sampel dengan ekspresi cyclin D1 yang
positif. Deteksi ekspresi protein cyclin
D1
pada
melanoma
maligna
menggunakan teknik imunohistokimia
dilaporkan oleh Burnwoth yang telah
mendapatkan hasil positif pada 25 dari
31 kasus melanoma maligna (80,65%)
(Burnwoth, 2006), tidak berbeda jauh
dengan hasil yang didapatkan pada
penelitian ini. Hal ini menunjukkan
bahwa cyclin D1 merupakan gen yang
banyak mengalami mutasi pada acral
melanoma. Penelitian Takata juga
menunjukkan
bahwa pada
acral
melanoma terjadi aktivasi jalur MAP
kinase tanpa mutasi NRAS maupun
BRAF.seperti yang terjadi pada
melanoma uvea. Penelitian dengan
menggunakan
tehnik
hibridisasi
genomik
komparatif
menunjukkan
bahwa sebagian besar acral melanoma
menunjukkan amplifikasi pada kromsom
11q13 yang sesuai dengan gen cyclin D1
(Bastian, 2000).
Analisis
statistik
menunjukkan
peningkatan yang bermakna ekspresi
protein cyclin D1 pada melanoma
dibandingkan dengan nevus (p = 0,013 ;
p < 0,05 ). Stefanaki mendapatkan
peningkatan bermakna dari ekspresi
berbagai gen yang meliputi cyclin D1,
Ki-67, p53, p21 dan Rb pada melanoma
dibandingkan dengan nevus melanositik.
Peningkatan ekspresi cyclin D1 memicu
terjadinya siklus sel, progresi tumor
serta menurunkan survival pada
penderita melanoma. Menurut penelitian
Bachmann 2005, ekspresi Cyclin D1
banyak didapatkan pada acral melanoma
yang memiliki pertumbuhan vertikal dan
terbukti memiliki hubungan yang kuat
dengan jalur Rb dan p16. Hal ini
menunjukkan bahwa jalur p16-Rb
memainkan peran penting dalam
16
progresi
tumor
pada
melanoma
pertumbuhan vertikal dibandingkan
dengan mutasi p53 (Bachmann 2005).
Curtin 2005 menunjukkan perubahan
genetik yang berbeda pada 4 kelompok
melanoma yang terdiri dari : melanoma
kulit dengan kerusakan kronis oleh sinar
matahari, melanoma kulit tanpa
kerusakan kronis oleh sinar matahari,
melanoma kulit dari telapak tangan dan
kaki yang tidak terpapar oleh sinar
matahari (acral melanoma) serta
melanoma
pada
mukosa.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
didapatkan perubahan genetik yang
berbeda pada berbagai kelompok
melanoma dengan gen CDK4 dan cyclin
D1 sebagai onkogen independen tanpa
adanya mutasi dari gen NRAS atau
BRAF (Curtin, 2005).
PENUTUP
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa
didapatkan
peningkatan yang bermakna ekspresi
protein cyclin D1
pada melanoma
maligna dibanding dengan nevus
melanositik yang menunjukkan bahwa
cyclin D1 sangat berperan pada
karsinogenesis melanoma.
Daftar Pustaka
Bachmann IM, 2005. Melanoma : Role
of cell cycle regulator alterations in
nodular melanomas determined . Life
Science Weekly 22 : 1046-1059.
Bastian C Boris, LeBoit E Phillip,
Hamm Henning, Brocker Eva-Bettina
and Pinkel Dan, 1998. Chromosomal
Gains and Losses in Primary Cutaneous
Melanomas Detected by Comparative
Genomic
Hybridization.
Cancer
Research 58 : 2170-2175.
Bennett C Dorothy, 2003. Human
melanocyte senescence and melanoma
susceptibility genes, Oncogene 22:
3063-3069.
Burnworth B, Popp S, Stark H-J,
Steinkraus V, Brocker EB, 2006. Gain
of 11q/ cyclin D1 overexpression is an
essential early step in skin cancer
development and causes abnormal tissue
organization
and
differentiation.
Oncogene 25.Iss32 : 4399-4412.
Curtin J.A, Fridlyand J, Kageshita,
2005. Distinct sets of genetic alterations
in melanoma. N Engl J Med 353 (20):
2135-2147.
Djarwanto,
2007
:
Statistik
Nonparametrik Edisi 4, Yogyakarta. 3035, 75-80.
Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah
Siti, 1999 : Ilmu Penyakit Kulit dan
kelamin Edisi 3, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 221-223.
Elwood J.M, Gallagher R.P,1998, Body
site distribution of cutaneous malignant
melanoma in relationship to patterns of
sun exposure, Int J Cancer 78: 276-280
Ewanowich C, Brynes KR, Mederiors
LJ, 2001. Cyclin D1 expression in
dysplastic
nevi
:
An
immunohistochemical study. Archives
of Pathology & Lab Med 125. Iss.2 :
208 –210.
Georgieva J, Sinha P, Schadendorf D,
2001. Expression of cyclins and cyclin
dependent kinases in human benign and
malingnant melanocytic lesions. J Clin
Path 54, Iss. 3 : 229 – 235.
Goldstein, Beth G, 2001,Practical
Dermatology, Mosby-Year Book, 146154.
Ha Linan, Merlino Glenn, and
Sviderskaya
V
Elena,
2008.
Melanomagenesis : Overcoming the
Barrier of Melanocyte Senescence, Cell
Cycle, Juli I; 7(13); 1944-1948.
Harahap M, 2000. Ilmu Penyakit Kulit,
Hipokrates. Jakarta, 228-235
Ishihara K, Saida T, Yamamoto A,
2001, Updated statistical data for
malignant melanoma in Japan. Int J Clin
Oncol 6 : 109-116.
Key Marc, 2006. Immunohistochemical
Straining Methods, Fourth Edition,
DAKO, 1 – 23, 47 – 53.
Kumar V, Abbas AK, Fauston N, 2005.
Robbins and Cotran : Pathologic Basis
of Disease, 7th ed. Philadelphia: W.B.
Saunders, 269-342;.1227-1271.
Paek SC, Sober AJ, Tsao H, 2008,
Cutaneous melanoma in : Freedberg IM,
Eisen AZ, Wolff K editor, Fitzpatricks
17
Dermatologyin general medicine 7th ed
New York: Mc Grow Hill, p 1134-1157.
Panka J David, Atkins B Michael and
Mier W James, 2006: Targeting the
Mitogen-Activated
Protein
Kinase
Pathway in the Treatment of malignant
Melanoma, Clin Cancer Res; 12(7
Suppl)April 1,2006:p 2371s-2375s.
Pathak D.R, Samet J.M, Howord C.A,
Key C.R, 1982,Malignant Melanoma of
the skin in New Mexico 1969-1977.
Cancer 50; 1440-1446.
Rosai I, 2004. Rosai and Ackerman’s:
Surgical Pathology, 9 th ed St louis,
Missouri: Mosby, p 154-176.
Sauter ER, Takemoto R, Litwin S,
Herlyn M, 2002. p53 alone or in
combination with antisense cyclin D1
induces apoptosis and reduces tumor
size in human melanoma. Cancer Gene
Therapy 9: 807 –812.
Senderowicz M Adrian, 2003. Novel
direct and indirect cyclin-dependent
kinase modulators for the prevention
and treatment of human neoplasms.
Cancer Chemother Pharmacol 52 (Suppl
1); S61-S73.
Stefanaki, 2008, G1 cell cycle regulators
in
congenital
melanocytic
nevi.
Comparison with acquired nevi and
melanoma.Journal
of
Cutaneous
Pathology35(9): 799-808.
Takata Minoru, Goto Yasufumi, Ichii
Nami, Yamaura Maki, Murata Hiroshi,
Koga Hiroshi, Fujimoto Akihide, and
Saida Toshiaki, 2005. Constitutive
Activation of the Mitogen-Activated
Protein Kinase Signaling Pathway in
Acralmelanomas, J InvestvDermatol
125: 318-322.
Takata M, Saida T, 2005. Early cancers
of the skin : clinical, histopathological,
and molecular characteristics. Int J Clin
Oncol 10 : 391 – 397.
Ugurel Selma, Utikal Jochen, and
Becker C Jurgen, 2009. Tumor
Biomarkers in Melanoma, Cancer
Control Juli, 16 (3), 219 – 224.
18
PERANAN TNF, IL-1, DAN IL-6 PADA RESPON IMUN TERHADAP
PROTOZOA
Kartika Ishartadiati
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak: Salah satu reaksi awal dari hospes terhadap infeksi parasit protozoa adalah mensekresi
serangkaian sitokin yang poten termasuk tumor necrosis factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), dan
interleukin 6 (IL-6). Aktivitas bersama dari sitokin-sitokin ini menyebabkan demam, leukositosis,
dan produksi dari protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP). Respon-respon awal ini
berperan secara nyata terhadap hasil akhir infeksi dengan cara mempengaruhi perjalanan infeksi
secara langsung dan mengatur respon imun spesifik terhadap parasit.
Kata kunci: protozoa, IL-1, IL-6, TNF
ROLE OF TNF, IL-1, AND IL-6 IN PROTOZOA IMMUNE RESPONSE
AGAINST
Kartika Ishartadiati
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract: One of the initial reaction of the host of the protozoan parasite infection is to secrete a
series of potent cytokines including tumor necrosis factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), and
interleukin 6 (IL-6). Joint activity of these cytokines cause fever, leukocytosis, and production of
acute phase proteins like C-reactive protein (CRP). These early responses contribute significantly
towards the end result of infection by affecting travel directly infection and regulate specific
immune response against the parasite.
Key words: protozoa, IL-1, IL-6, TNF
Pendahuluan
Sitokin adalah mediator (berupa
protein atau glikoprotein dengan berat
molekul 8-80kDa) yang dihasilkan oleh
sel dalam reaksi radang atau imunologik
yang berfungsi sebagai isyarat antara selsel
untuk
membentuk
jaringan
komunikasi dalam respon imun. Sitokin
tersebut mempengaruhi peradangan dan
imunitas
melalui
pengaturan
pertumbuhan, mobilitas dan diferensiasi
lekosit dan sel-sel jenis lain. Sitokin dapat
bersifat autokrin atau berefek pada sel
yang menghasilkannya maupun parakrin
atau bekerja pada sel yang berdekatan.
Sitokin bekerja dengan cara berikatan
dengan reseptor spesifik pada membran
sel , memulai kaskade yang menyebabkan
induksi,
dan
peningkatan
atau
penghambatan berbagai respon imun.
Sitokin hampir tidak pernah diproduksi
atau bekerja sendirian, tetapi selalu dalam
suatu jaringan kerja yang kompleks. Yang
termasuk dalam sitokin adalah berbagai
interleukin (IL-1, IL-2, dan seterusnya),
interferon (IFN α, β, dan γ), faktor
nekrosis tumor (tumour necrosis factor,
TNF), faktor perangsang koloni (colony
stimulating
factor,
CSF),
faktor
pertumbuhan (growth factor), dan
khemokin (sitokin khemotaktik), dll.
Berbagai macam interaksi antar-sitokin,
adalah (1) sinergistik atau antagonistik,
beberapa sitokin bekerja secara sinergistik
atau secara antagonistik terhadap suatu
aktivitas tertentu; (2) induksi atau inhibisi,
beberapa sitokin dapat menginduksi atau
menghambat produksi sitokin yang lain,
dalam suatu bentuk sinergi atau
antagonisme berurutan (efek kaskade);
(3) regulasi ekspresi reseptor, beberapa
sitokin meregulasi ekspresi reseptornya
sendiri maupun reseptor sitokin yang lain
(Samik & Madarina, 2002).
Hampir semua proses peradangan
mengakibatkan
aktivasi
makrofag
jaringan dan infiltrasi monosit darah.
Aktivasi
menyebabkan
banyak
perubahan-perubahan dalam sel, di
antaranya adalah produksi TNF, IL-1, dan
19
IL-6, sitokin-sitokin yang meyebabkan
efek multipel pada hospes. Efek-efek ini
meliputi (1) induksi demam, (2) respon
fase akut hepatik, yang disertai lekositosis
dan produksi protein fase akut seperti
CRP, dan (3) diferensiasi dan/atau
aktivasi dari sel T, sel B dan makrofagmakrofag (Tabel 1).
TNF, IL-1, dan IL-6 adalah hasil
dari gen-gen berbeda yang menyandikan
protein-protein
non
homolog dan
mengikat
reseptor-reseptor
berbeda,
walaupun ada tumpang tindih pada
sumber seluler dan aktifitas biologi dari
ketiga sitokin tersebut. TNF dan IL- 1
dapat menginduksi biosintesis mereka
sendiri, dan satu dengan yang lain serta
IL-6, dan ketiganya sering bekerja secara
sinergistik. Misalnya IL-1 dan IL-6
bersinergi dalam induksi dari aktivasi sel
T.
Banyak efek dari TNF, IL-1, dan
IL-6 (Tabel 1) yang memungkinkan
hospes kebal terhadap suatu patogen.
Demam dapat meningkatkan respon imun
terhadap suatu patogen, sebab responrespon
tertentu
meningkat
pada
temperatur sekitar 2ºC di atas normal;
pengaktifan IL-1 dari limfosit dan respon
antibodi adalah contohnya. Sebagai
tambahan,
respon
demam
menggambarkan
sebuah
mekanisme
pertahanan hospes, sebab-contohnyatahap perkembangan tertentu dari parasit
malaria akan rusak pada peningkatan
temperatur (Titus et al., 1991).
TNF, IL-1, dan IL-6 merangsang
hati untuk mensintesis dan melepas
sejumlah protein plasma yang disebut
protein fase akut seperti CRP yang dapat
meningkat 1000 kali. CRP dikenal
bertindak
sebagai
opsonin
yang
membantu
melenyapkan
patogen.
Pengukuran CRP berguna untuk menilai
aktivitas penyakit inflamasi. Secara
keseluruhan,
respon
fase
akut
memberikan efek yang menguntungkan
melalui peningkatan resistensi hospes,
mengurangi
cidera
jaringan
dan
meningkatkan resolusi dan perbaikan
cidera inflamasi (Baratawidjaja, 2006).
Aktivasi dari sel T, sel B, dan
makrofag oleh TNF, IL-1 atau IL-6 dapat
meningkatkan sel T spesifik dan respon
antibodi
terhadap
patogen
dan
mempercepat pelenyapan patogen yang
dicerna oleh makrofag. Bagaimanapun,
meskipun setiap sitokin ini dapat
melindungi hospes yang terinfeksi,
produksi
yang
berlebihan
dapat
meningkatkan patologi dan dapat
menyebabkan kematian hospes. Ini
terutama ditandai dengan produksi
berlebih dari TNF. Beberapa contoh yang
paling jelas dari efek ’pedang bermata
dua’ dapat dilihat dari analisis respon
imun terhadap patogen protozoa (Titus et
al., 1991).
Tabel 1. Sebagian daftar dari sumber
seluler dan aktivitas biologi dari TNF,
IL-1 dan IL-6
TNF
IL-1
IL-6
Sumber
Makrof Makrofa Makrofag
ag
g
Sel T
Sel T
Keratinos Sel B
Sel NK it
Sel endotel
Sel
Sel epitel
endotel
Fibroblas
Sel
dendritik
Sel NK
Fibroblas
Induksi
Ya
Ya (+++) Ya (+)
demam
(++)
Induksi
Ya
Ya
Ya
protein fase
akut
Induksi TNF Ya
Ya
Tidak
Induksi IL-1
Ya
Ya
Tidak
Induksi IL-6
Ya
Ya
Tidak
Diferensiasi/a Ya
Ya
Ya
ktivasi sel
T/B atau
makrofag
(Baratawidjaja, 2006; Detrick et al., 2008;
Titus, 1991)
Tumor Necrosis Factor
TNF merupakan sitokin utama
pada respons inflamasi akut. Infeksi yang
berat dapat memicu produksi TNF dalam
20
jumlah besar yang menimbulkan reaksi
sistemik. TNF disebut TNF-α atas dasar
historis dan untuk membedakannya dari
TNF-β atau limfotoksin (Baratawidjaja,
2006). TNF-α dan –β secara struktur
berhubungan, mengikat reseptor seluler
yang sama, dan menghasilkan perubahan
biologi yang mirip pada berbagai sel.
TNF-α diproduksi oleh neutrofil, limfosit
yang diaktifkan, makrofag sel NK, dan
beberapa sel non limfoid seperti astrosit,
sel endotel dan sel otot polos, sementara
TNF-β nampaknya hanya diproduksi oleh
sel T (Detrick et al., 2008). LPS
merupakan rangsangan poten untuk
mensekresi TNF. IFN-γ yang diproduksi
oleh sel T dan sel NK juga merangsang
makrofag antara lain meningkatkan
sintesis TNF. Pada kadar rendah, TNF
bekerja terhadap leukosit dan endotel,
menginduksi inflamasi akut. Pada kadar
sedang, TNF berperan dalam inflamasi
sistemik. Pada kadar tinggi, TNF
menimbulkan kelainan patologik syok
septik.
TNF
antara lain :
memiliki
efek
biologik

Pengerahan neutrofil dan monosit
ke
tempat
infeksi
serta
mengaktifkan sel-sel tersebut
untuk menyingkirkan mikroba.

Memacu ekspresi molekul adhesi
sel endotel vaskular terhadap
leukosit.

Merangsang makrofag mensekresi
kemokin
dan
menginduksi
kemotaksis
dan
pengerahan
leukosit.

Merangsang fagosit mononuklear
untuk mensekresi IL-1 dengan
efek seperti TNF.

Merangsang hipotalamus yang
menginduksi panas dan oleh
karena itu disebut pirogen
endogen. Panas ditimbulkan atas
pengaruh prostaglandin yang
diproduksi sel hipotalamus yang
dirangsang TNF dan IL-1.
Inhibitor sintesis prostaglandin
seperti
aspirin,
menurunkan
panas. TNF seperti halnya dengan
IL-1 dan IL-6 meningkatkan
sintesis protein serum tertentu
oleh hepatosit (Baratawidjaja,
2006).
TNF memegang peran penting
pada malaria dan Ian Clark mencatat
bahwa ”efek samping yang diamati pada
penderita kanker yang mendapat infus
TNF rekombinan sangat mirip dengan
klinis malaria”. Di antara efek samping ini
adalah demam, kekakuan, sakit kepala,
myalgia,
mual-muntah
dan
trombositopenia. Sebagai tambahan, level
serum TNF sering berkaitan dengan
keparahan penyakit (Titus et al., 1991).
Dari beberapa penelitian dibuktikan
bahwa penderita malaria serebral yang
meninggal atau dengan komplikasi berat
seperti hipoglikemia mempunyai kadar
TNF-α yang tinggi. Demikian juga
malaria tanpa komplikasi kadar TNF-α,
IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria
serebral (Chen et al., 2006). Jadi, apakah
TNF menguntungkan atau merugikan
pada hospes yang terinfeksi malaria?
Jawabannya tidak sederhana. Walaupun
pada kondisi tertentu TNF dapat
melindungi, tetapi produksi yang berlebih
dari TNF merusak hospes dan berperan
pada patologi penyakit. Sebagai contoh,
TNF telah diketahui menghambat
ketahanan parasit malaria rodent, dan
meningkatkan pembunuhan neutrofil
manusia dari Plasmodium falciparum.
Sebaliknya, injeksi TNF pada tikus
dengan parasitemia rendah dari P. vinckei,
dengan cepat (4-8 jam sesudah injeksi)
menyebabkan banyak ciri patologis dari
stadium akhir infeksi (ketika parasitemia
70-80%).
Pada malaria serebral juga, TNF
sebagian
besar
bertanggung-jawab
terhadap patologi penyakit. Ketika tikus
yang rentan CBA/Ca diinfeksi dengan P.
berghei ANKA, terjadi akumulasi sel-sel
mononuklear darah dalam kapiler otak
yang dikelilingi oleh daerah perdarahan.
21
Keadaan ini menyerupai malaria serebral
pada manusia, yang dapat dicegah dengan
injeksi antibodi neutralizing anti-mouse
TNF, sebuah regimen kombinasi dari anti
IL-3 dan antibodi anti-granulocytemonocyte colony-stimulating factor (GMCSF) atau antibodi anti-gamma-interferon
(IFN-γ). Hasil ini diinterpretasikan
sebagai, pertama, antibodi anti-TNF
bertindak secara langsung mencegah efek
merusak dari TNF; kedua, antibodi anti
IL-3 ditambah anti-GM-CSF mencegah
multiplikasi dan akumulasi fagosit
mononuklear pada kapiler otak, dan
ketiga, antibodi anti IFN-γ mencegah
aktivasi fagosit mononuklear dan
selanjutnya mencegah pelepasan TNF.
Pada pasien dengan malaria
falciparum, ada korelasi langsung antara
level serum TNF dan kematian. Selain itu,
penelitian pada anak-anak Gambian yang
terinfeksi P. falciparum, level serum TNF
diperiksa pada pasien malaria tanpa
komplikasi dan pasien dengan malaria
serebral. Level serum TNF meningkat
pada semua anak, tetapi tertinggi pada
pasien malaria serebral yang kemudian
meninggal, intermediet pada pasien
malaria serebral yang tidak meninggal,
dan terendah pada pasien malaria tanpa
komplikasi. Penelitian ini menunjukkan
bahwa level serum TNF dapat digunakan
untuk memprediksi keparahan malaria
falciparum, meskipun fakta menunjukkan
bahwa TNF yang diproduksi oleh monosit
pada lesi otak lebih berperan dalam
patologi serebral daripada TNF dalam
serum.
Stimulasi makrofag murine in
vitro,
dengan antigen larut dan stabil
terhadap panas dari P. yoelii atau P.
berghei menyebabkan sekresi TNF dan
demikian pula injeksi antigen yang sama
pada tikus menyebabkan sekresi TNF in
vivo. Antigen analog dari parasit P.
falciparum manusia juga menginduksi
sekresi TNF oleh monosit darah manusia
dan kultur eritrosit P. falciparum
menginduksi sekresi TNF oleh sel
mononuklear manusia, dengan angka
peningkatan yang paling tajam dari
sekresi terjadi segera setelah skizon ruptur
(Titus et al., 1991). Banyak bukti
mengarah
pada
glycosylphosphatidylinositol
dari
Plasmodium sebagai faktor patogenik
penting
dalam
kemampuannya
menginduksi TNF-α dan IL-1 (Angulo et
al., 2002).
Gejala khas malaria terjadi pada
saat skizon ruptur, di mana toksin parasit
menyebabkan sel hospes melepaskan
sitokin, seperti TNF. TNF mungkin
sebagian yang paling bertanggung-jawab
terhadap demam yang terjadi setelah
skizon ruptur pada pasien malaria, sebab
demam pada malaria akut dapat berkurang
dengan antibodi anti-TNF (Biggs et al.,
2001).
Demam
mungkin
adalah
mekanisme pertahanan, sebab ketika kulur
eritrosit P. falciparum dikenai suhu 40ºC
(suhu yang sering dijumpai pada pasien
malaria), parasit pada separuh pertama
lingkaran
pertumbuhan
(cincintropozoit) bertumbuh hampir
sebaik parasit pada suhu 37ºC, tetapi
parasit pada separuh kedua dari siklus
(tropozoitskizoncincin)
menghasilkan skizon piknotik dan cincin
yang lebih sedikit. Jadi, ketika demam
meningkat pada pasien malaria, parasitparasit yang tidak dalam tahap
cincintropozoit terbunuh, dan sisa
parasit melanjutkan siklus pertumbuhan.
Fenomena ini dapat ditiru in vitro; pada
kultur eritrosit asinkron dari P. falciparum
di mana suhu diatur antara 37ºC dan 40ºC
pada hari berikutnya, parasit menjadi
sinkron (pada suhu 37ºC didominasi
cincin, pada suhu 40ºC didominasi
tropozoit).
Seperti perannya pada malaria,
TNF
dapat
menguntungkan
dan
merugikan
pada
tripanosomiasis,
tergantung pada level TNF yang
diproduksi selama infeksi. Level TNF
yang tinggi dideteksi dalam serum tikus
yang terinfeksi Trypanosoma cruzi yang
dihadapkan dengan lipopolisakarida dan
TNF diketahui menghambat replikasi T.
Cruzi dalam makrofag in vitro, tetapi,
ketika tikus yang terinfeksi T. Cruzi diberi
22
TNF, hewan mati lebih cepat daripada
hewan kontrol yang tidak diberi TNF.
dengan penurunan BB, demam, dan
anemia yang semuanya adalah tanda dari
cachexia yang diinduksi TNF.
Kelinci-kelinci yang diinfeksi T.
brucei brucei mengalami sindrom
cachexia berat yang ditandai oleh
hipertrigliseridemia (akumulasi dari very
low density lipoprotein dalam plasma)
(Titus et al., 1991) . Cachexia hampir
pasti karena TNF, sebab cachectin dan
TNF diidentifikasi sebagai molekul yang
sama, yang sekarang dikenal sebagai
TNF-α
(Detrick
et
al.,
2008).
Hipertrigliseridemia yang diamati pada
kelinci-kelinci yang diinfeksi T. brucei
brucei dapat pula diperantarai TNF, sebab
TNF
dapat
menghambat
enzim
lipoprotein lipase (Detrick et al., 2008;
Titus et al.,1991), tetapi pemikiran yang
lain adalah bahwa hipertrigliseridemia
karena peningkatan produksi lipoprotein
hepatik. Menariknya, lipogenesis hepatik
distimulasi oleh IL-6 dan TNF diketahui
menginduksi IL-6 (Kishimoto, 2003;
Titus et al., 1991).
TNF telah diketahui memainkan
peran perlindungan pada percobaan
leshmaniasis cutaneous murine. Injeksi
TNF pada tikus terbukti menguntungkan,
sementara pemberian antibodi anti-TNF
pada tikus memperburuk penyakit. Selain
itu, secara genetik tikus yang resisten
memproduksi TNF saat terinfeksi
Leishmania major, sedangkan tikus yang
rentan tidak memproduksi TNF saat
terinfeksi Leishmania major. TNF
mengaktifkan
makrofag,
in
vitro,
menghancurkan L. major intraseluler dan
mungkin ini adalah mekanisme TNF
untuk melindungi tikus dari infeksi L.
major. Makrofag murine yang terinfeksi
baik L. major maupun L. donovani
melepaskan TNF, kemudian makrofag
yang tidak terinfeksi juga, saat diaktifkan
dengan lipopolisakarida.
Level TNF meningkat pada serum
pasien leishmaniasis visceral, dan dengan
keberhasilan pengobatan akan turun
dengan cepat. Tidak jelas apakah TNF
melindungi pasien-pasien ini, karena –
sebagai contoh aktivasi makrofag- tercatat
bahwa leishmaniasis visceral dikaitkan
23
Tabel 2. Peran TNF pada malaria, tripanosomiasis dan leishmaniasis
Penyakit
Hal yang mungkin penting pada penyakit
Malaria
Diproduksi untuk merespon infeksi malaria, berkaitan dengan keparahan
penyakit dan hipoglikemia
Dapat melindungi tikus dari infeksi dan meningkatkan pembunuhan parasit
Berperan penting pada malaria serebral dan patologi yang berkaitan
Diinduksi oleh antigen parasit yang larut dan tahan panas dan eritrosit
yang terinfeksi parasit
Menyebabkan demam yang merupakan perlindungan hospes
Menghambat erythropoiesis
Menyebabkan aborsi
Tripanosomiasis
Diproduksi sebagai respon terhadap infeksi, dapat melindungi bila
produksinya tidak berlebihan
Leishmaniasis
Diproduksi sebagai respon terhadap infeksi, dapat memberi perlindungan
pada leishmaniasis cutaneous kemungkinan melalui kemampuannya
mengaktifkan makrofag untuk membunuh Leishmania
hilangnya respon-respon sel T. Tetapi,
Interleukin 1
makrofag dari tikus yang terinfeksi T. cruzi
tidak dapat dibedakan dari makrofag normal
IL-1 juga berperan penting pada
dalam kemampuannya mengekspresikan
malaria, meskipun laporan-laporan dalam
bentuk membran IL-1 dan mensekresi IL-1 in
literatur bertentangan. Walaupun level serum
vitro.
Sebagai
tambahan,
saat
IL-1 secara langsung berkaitan dengan
monosit/makrofag manusia terinfeksi T.
keparahan penyakit pada pasien yang
cruzi, in vitro, parasit menyebabkan sel
terinfeksi P. falciparum, namun level serum
memproduksi level IL-1 yang signifikan.
IL-1 tidak meningkat pada tikus yang
Jadi, imunoregulasi pada T. cruzi tidak
terinfeksi P. berghei. Meskipun penemuan ini
sesederhana yang nampak. IL-1 diketahui
mencegah malaria serebral dan mengurangi
menginduksi produksi sitokin yang lain,
parasitemia pada tikus yang terinfeksi P.
seperti TNF dan IL-6, yang penting pada
berghei yang ditangani dengan IL-1.
infeksi protozoa. Oleh karena itu, level IL-1
yang diproduksi oleh hewan-hewan yang
Selama infeksi T. cruzi, penekanan
terinfeksi T. cruzi, tidak menjadi sekritis efek
respon sel T dapat terjadi. Kurang
secara keseluruhan yang dipunyai IL-1 pada
beresponnya sel T pada tikus yang terinfeksi
respon imun dan sitokin lain yang
T. cruzi dapat dipulihkan dengan penanganan
diinduksinya.
sel hewan dengan IL-1 in vitro, atau
pemberian IL-1 pada hewannya sendiri.
Meskipun T. brucei tidak berelasi
Hasilnya menunjukkan bahwa kekurangan
dekat dengan T. cruzi, tetapi kemiripan pada
produksi IL-1 pada hewan-hewan yang
respon IL-1 didapatkan pada infeksi
terinfeksi T. cruzi bertanggung-jawab atas
keduanya. Supresi respon sel T terjadi pada
24
infeksi dengan T. brucei, meskipun fakta
menunjukkan bahwa makrofag dari tikus
yang terinfeksi T. brucei brucei mampu
melepaskan lebih banyak IL-1 pada respon
stimulasi dengan lipopolisakarida in vitro,
daripada makrofag tikus normal. Sebagai
tambahan, makrofag splenik dari tikus yang
terinfeksi
T.
brucei
rhodesiense
menghasilkan level IL-1 yang sama dengan
makrofag dari tikus normal atau tikus
terinfeksi T. brucei rhodesiense yang telah
disembuhkan obat. Oleh karena itu, mungkin
bahwa bentuk imunoregulasi yang diterapkan
pada
trypanosomiasis
Amerika
juga
diterapkan pada infeksi dengan tripanosoma
Afrika.
Pada kasus leshmaniasis, efek yang
dipunyai parasit pada produksi IL-1 oleh
makrofag tergantung pada spesies dari mana
makrofag berasal. Sementara monosit
manusia yang terinfeksi L. major atau L.
donovani menunjukkan penurunan produksi
IL-1, makrofag tikus yang terinfeksi L. major
memproduksi lebih banyak IL-1. Pengamatan
selanjutnya, terutama sekali berhubungan
pada perkembangan respon sel T spesifik L.
major pada tikus yang terinfeksi parasit. IL1 adalah co-factor untuk aktivasi subset TH2
dari sel T CD4+ murine dan aktivasi selektif
dari sel TH1 atau TH2 spesifik L. major yang
memainkan
peranan
penting
dalam
penentuan hasil akhir infeksi.
Interleukin 6 dan CRP
Berbeda dengan TNF dan IL-1, peran
IL-6 pada malaria, tripanosomiasis dan
leishmaniasis sedikit diketahui. Hal ini
niscaya akan berubah, sebab TNF dan IL-1
terbukti sangat penting pada penyakitpenyakit ini dan ketiga sitokin ini
mempunyai hubungan dalam bioaktivitas.
Level serum IL-6, dilaporkan
meningkat baik pada tikus yang terinfeksi P.
berghei maupun pada pasien malaria P.
falciparum. Hasil ini telah dipastikan pada
penelitan yang dilakukan oleh Grau yang
juga meneliti peranan IL-6 pada malaria
serebral. Mereka mendapati bahwa pada tikus
yang terinfeksi P. berghei dan diterapi
dengan antibodi anti IL-6, insiden dari
malaria serebral tidak berubah, menunjukkan
bahwa IL-6 tidak terlibat dalam patogenesa
malaria serebral (Titus et al., 1991).
Pada infeksi dengan Leishmania
major, lesi yang lebih besar dikaitkan dengan
kehadiran parasit dan level yang tinggi dari
sitokin proinflamatori IL-6 dan TNF-α
(Louzir et al., 1998).
Karena
IL-1
menghambat
perkembangan P. falciparum pada kultur
hepatosit dan menyebabkan sekresi CRP oleh
hepatosit, maka peran CRP pada malaria juga
telah diselidiki. Tikus dengan peningkatan
level serum CRP terlindung dari infeksi P.
yoelii dan perlindungan ini dapat dihilangkan
dengan antiserum anti-CRP. Level CRP juga
meningkat pada serum pasien malaria, tetapi
level ini tidak lebih tinggi dari pasien dengan
penyakit demam lainnya (Titus et al., 1991).
Kesimpulan
Jelaslah bahwa respon imun terhadap
parasit
prokariotik
adalah
komplek.
Pemotongan respon menjadi lebih sulit
karena banyak sitokin yang diinduksi oleh
parasit protozoa mempunyai efek pleiotropik
dan berinteraksi satu dengan lainnya pada
multipel level.
Daftar Pustaka
Angulo I, Fresno M. Cytokines in the
Pathogenesis and Protection against
Malaria. Clinical and Diagnostic
Laboratory Immunology Vol. 9 2002;
6: 1145-1152.
Balakrishnan I, Zumla A. African
Trypanosomiasis. IN: Gillespie SH,
Pearson RD. (Eds). Principles and
Practice of Clinical Parasitology.
John Wiley & Sons Ltd, 2001.
Baratawidjaja K. Imunologi Dasar. Ed. 7.
Jakarta: Penerbit FKUI, 2006.
Biggs BA, Brown GV. Malaria. IN: Gillespie
SH, Pearson RD. (Eds). Principles
and
Practice
of
Clinical
Parasitology. John Wiley & Sons
Ltd, 2001.
25
Chen K, Suhendro, Nainggolan L. Malaria.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S.(Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Ed. 4. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006.
Detrick B, Nagineni CN, Hooks J. Cytokines:
Regulators of Immune Responses and
Key Therapeutic Targets. IN:
Gorman MRG ,Donnenberg AD.
(Eds).
Handbook
of
Human
nd
Imunology. 2 ed. CRC Press, 2008.
Kishimoto T. Interleukin-6. IN: Thomson
WA, Lotse MT. (Eds). The Cytokine
Handbook. 4th ed. San Diego:
Academic Press, 2003.
Louzir H, Melby PC, Salah AB, Marrakci H,
Aoun K, Ismail RB, Dellagi Koussay.
Immunologic
Determinants
of
Disease Evolution in Localized
Cutaneous Leishmaniasis due to
Leishmania major. The Journal of
Infectious Disease 1998; 177: 16871695.
Pearson RD, Jeronimo SMB, Sousa A.
Leishmaniasis. IN: Gillespie SH,
Pearson RD. (Eds). Principles and
Practice of Clinical Parasitology.
John Wiley & Sons Ltd, 2001.
Titus RG, Sherry B, Cerami A. The
involvement of TNF, IL-1 and IL-6 in
the immune response to protozoan
parasites. Parasitology Today 1991;
A13-A16.
Wahab,
A.S, Julia M. Sistem Imun,
Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta:
Widya Medika, 2002.
26
BAYI KEMBAR SIAM CEPHALOTHORACO OMPHALOPHAGUS
Harry Kurniawan Gondo
PPDS I SMF/ Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar – Bali
Dosen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Telah ditemukan satu kasus kembar siam tipe cephalothoraco omphalophagus di RS Sanglah
Denpasar Bali, pada bulan Desember 2009. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis: Satu kepala,
sepasang ektremitas atas (4 tangan) dan sepasang ekstremitas bawah (4 kaki). Pada pemeriksaan USG
antenatal ditemukan gambaran scanning kepala yang berbentuk oval, dengan 2 orbita, pada scan tampak
jantung satu, dan thorax dan abdomen satu bagian. Pemeriksaan penunjang lain tidak sempat dilakukan
karena kondisi fisik yang memburuk. Sehingga kemungkinan adanya malformasi pada jantung dan organ
dalam lainnya tidak diketahui dengan jelas. Pada kasus ini bayi hanya dapat bertahan hidup selama 2 jam 10
menit.
BABY CEPHALOTHORACO OMPHALOPHAGUS CONJOINED TWINS
Harry Kurniawan Gondo
PPDS I SMF / Department of Obstetrics and Gynecology
Faculty of Medicine Udayana, Sanglah General Hospital Center
Denpasar - Bali
Lecturer of Anatomy Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Have found one case of conjoined twins in a hospital type omphalophagus cephalothoraco Sanglah Denpasar,
Bali, in December 2009. Diagnosis based on clinical features: One head, a pair ektremitas above (four hands)
and a pair of lower limb (4 feet). Found on antenatal ultrasound image of the scanning head is oval, with two
orbital, in a single scan of the heart appear, and the thorax and abdomen, one part. Other investigations could
not be done because of the deteriorating physical condition. So the possibility of a malformation of the heart
and other organs are not clearly known. In this case the baby can only survive for two hours 10 minutes.
PENDAHULUAN
Kehamilan
multifetus
adalah
kehamilan dengan janin lebih dari satu. Dua
puluh tahun terakhir ini, di Amerika Serikat
terjadi peningkatan kejadian persalinan
kembar dua , triplet atau lebih. Antara tahun
1980 sampai 1997 jumlah persalinan kembar
meningkat 77 % dan persalinan kembar
triplet atau lebih meningkat 459 %. Hal ini
diperkirakan berkaitan dengan peningkatan
usia ibu hamil dan peningkatan penggunaan
teknologi reproduksi bantuan. Kehamilan
multifetus menyebabkan peningkatan yang
nyata dari morbiditas dan mortalitas
perinatal.
Wanita
dengan
kehamilan
multifetus memerlukan pengawasan dan
perhatian khusus sehingga
digolongkan
sebagai kehamilan dengan komplikasi. 1,2,3
Bila pembelahan terjadi lebih
belakangan lagi yaitu sesudah diskus
embrionik terbentuk, pada hari ke 9-12
setelah fertilisasi maka akan timbul 1 korion
1 amnion. Pembelahan berlangsung tidak
lengkap dan akan terbentuk kembar siam.
Kembar siam sangat jarang dijumpai, hanya
sekitar 1: 70.0000 – 100.0000 persalinan.
Kembar siam dapat dibagi atas beberapa jenis
sesuai dengan lokasi anatomis dempetnya,
yaitu
torakopagus,
sifoomfalopagus,
pigopagus, ischiopagus dan kraniopagus. 1-5
27
TINJAUAN PUSTAKA
Kehamilan multifetus atau ganda
atau kembar adalah suatu kehamilan dengan
dua janin atau embrio atau lebih dalam satu
gestasi. Kehamilan dengan dua janin disebut
kehamilan kembar, tiga janin disebut triplet,
empat janin disebut kuadriplet dan lima janin
disebut quintiplet
Insiden
kehamilan
kembar
monozigotik di USA cenderung konstan
berkisar 4 dari 1000 kelahiran dan sebagian
besar tidak berhubungan dengan usia ibu, ras
atau paritas dan terjadi secara random
genetik. Hal ini berlawanan dengan kembar
dizigotik yang insidennya bervariasi diantara
berbagi macam ras, dan berpengaruh juga
dari usia ibu (peningkatan dari yang usia >20
tahun insidennya 3 per 1000 sampai 14 per
1000 pada wanita usia 35-40 tahun) serta
jumlah paritas. Angka kelahiran kembar
dizigotik tertinggi pada African Americans
(10-40 per 1000 kelahiran), diikuti oleh
Caucasians (7-10 per 1000 kelahiran) and
Asian Americans (3 per 1000 kelahiran 1-5
Janin yang kembar lebih sering
terjadi akibat fertilisasi dua buah ovum yang
terpisah (ovum ganda, kembar dizigot atau
kembar "fraternal"). Sekitar sepertiga di
antara kehamilan kembar berasal dari ovum
tunggal yang dibuahi, dan selanjutnya
membagi diri menjadi dua buah struktur
serupa, masing-masing dengan kemampuan
untuk berkembang menjadi ovum tunggal
tersendiri (kehamilan monozigot atau
kembar "identik"). Salah satu atau kedua
proses dapat terlibat dalam pembentukan
fetus dengan jumlah yang lebih besar. Faktor
resiko untuk kemungkinan terjadinya
kehamilan kembar dapat dibagi menjadi
secara natural dan hasil induksi. Secara
natural faktor resiko tersebut adalah riwayat
keluarga yang merupakan kembar dizigotik,
ras, bertambahnya paritas dan usia maternal,
dan ukuran fisik ibu. Sedangkan yang secara
induksi adalah induksi ovulasi dan fertilisasi
in vitro.1,3,5
Pada wanita dengan faktor risiko
tertentu dapat dicurigai sebagai kehamilan
kembar. Sebagai faktbor penentu kehamilan
kembar, genotip ibu jauh lebih penting
daripada genotip ayah. Frekuensi kelahiran
janin multipel memperlihatkan variasi yang
nyata di antara berbagai ras yang berbeda.
Kehamilan kembar di antara orang-orang
Timur atau Oriental tak begitu sering terjadi.
Sebagai contoh, di antara lebih dari 10 juta
kehamilan yang diperiksa di Jepang, ternyata
kehamilan kembar ditemukan hanya satu
pada setiap 155 kelahiran. Perbedaan ras
yang nyata ini merupakan akibat keragaman
pada frekuensi terjadinya kehamilan kembar
dizigot. 1,3 Bertambahnya usia maternal dan
paritas pada insiden kehamilan kembar telah
diperlihatkan dengan jelas oleh Waterhouse
(1950). Untuk setiap peningkatan usia sampai
sekitar 40 tahun atau paritas sampai 7,
frekuensi kehamilan kembar akan meningkat.
Kehamilan kembar lebih sering
terjadi sebagai akibat fertilisasi dua ovum
yang terpisah, yang dikenal dengan kembar
dizigot. Walaupun beberapa ahli mengatakan
bahwa kembar dizigot bukanlah kembar
sejati oleh karena berasal dari maturasi dan
fertilisasi dua buah ovum selama siklus
ovulatoir tunggal. Sedangkan sekitar
sepertiga diantara kehamilan kembar berasal
dari ovum tunggal yang dibuahi, dan
selanjutnya membagi diri menjadi dua buah
struktur serupa, masing-masing dengan
kemampuan untuk berkembang menjadi
ovum
tunggal
tersendiri
(kehamilan
monozigot atau kembar identik).
Kembar monozigot terjadi saat 1
telur yang dibuahi membelah selama 2
minggu pertama setelah konsepsi yang akan
menghasilkan bayi dengan rupa yang sama
atau bayangan cermin dimana mata, kuping,
gigi, rambut, kulit dan ukuran antropologik
pun sama. Satu bayi kembar mungkin kidal
dan yang lainnya kanan karena lokasi daerah
motorik di korteks serebri pada kedua bayi
berlawanan.1,3 Jenis kembar monozigotik
berhubungan dengan waktu terjadinya faktor
penghambat
dalam
segmentasi
atau
pembelahan, misalnya hambatan dalam
tingkat segmentasi (2-4 hari), hambatan
dalam tingkat blastula (4-7 hari)serta
hambatan setelah amnion dibentuk tapi
sebelum primitif streak. 1,3,5 Kembar
monozigot timbul dari pembelahan ovum
yang sudah dibuahi pada berbagai tahap
perkembangan awal sebagai berikut: 1-5,14-17
1. Bila pembelahan terjadi sebelum
inner cell mass terbentuk. dan lapisan
luar blastokist belum berubah
menjadi korion, yaitu dalam 72 jam
pertama setelah fertilisasi, maka akan
terbentuk dua embrio dengan dua
amnion dan dua korion. Keadaan ini
28
menghasilkan kehamilan kembar
monozigot dengan diamnion dan
dikorion. Bisa terdapat dua plasenta
yang berbeda atau satu plasenta.
Sekitar sepertiga dari kembar
monozigotik memiliki 2 amnion 2
korion dan 2 plasenta yang kadangkadang 2 plasenta tersebut menjadi
satu. Keadaan ini tidak dapat
dibedakan dengan kembar dizigotik.
2. Jika pembelahan terjadi antara hari
keempat dan kedelapan yaitu setelah
inner cell mass dibentuk dan sel-sel
yang akan menjadi korion sudah
mengalami diferensiasi namun sel-sel
yang akan menjadi amnion belum,
maka akan terbentuk dua buah
embrio,
masing-masing
dalam
kantong ketuban yang terpisah.
Kedua kantong ketuban akhirnya
akan diselubungi oleh satu korion
bersama, sehingga terjadi kehamilan
kembar
monozigot
diamnion,
monokorion.
Sekitar 70 persen
kembar monozigotik adalah seperti
ini.
3. Namun, jika amnion sudah terbentuk,
yang terjadi sekitar hari ke-8 sesudah
fertilisasi,
pembelahan
akan
menghasilkan dua embrio di dalam
satu kantong ketuban bersama atau
mengakibatkan kehamilan kembar
monozigot
monoamnion,
monokorion.
4. Bila pembelahan terjadi lebih
belakangan lagi yaitu sesudah diskus
embrionik terbentuk, pada hari ke 912 setelah fertilisasi maka akan
timbul 1 korion 1 amnion.
Pembelahan
berlangsung
tidak
lengkap dan akan terbentuk kembar
siam. Kembar siam sangat jarang
dijumpai, hanya sekitar 1:100.000
persalinan. Kembar siam dapat dibagi
atas beberapa jenis sesuai dengan
lokasi anatomis menjadi satu bagian
tubuh, yaitu torakopagus (40%),
sifoomfalopagus (34%), pigopagus
(18%),
iskiopagus(6%)
dan
kraniopagus (2%). 3,5
Kurang lebih duapertiga kehamilan
kembar adalah dizigotik yang berasal dari 2
telur, disebut juga heterolog, binovuler atau
fraternal. Jenis kelamin keduanya bisa sama
bisa berbeda, mereka berbeda seperti anakanak lain dalam keluarga. Kembar dizigotik
mempunyai 2 plasenta, 2 korion dan 2
amnion. Kadang-kadang 2 plasenta menjadi
satu.1,3,5 Kembar triplet bisa berasal dari
monozigotik, dizigotik, atau trizigotik.
Kembar triplet trizigotik bisa terjadi dari 3
sperma
membuahi
3
obvum.5
Gambar 1 :
Struktur plasenta kembar dalam hubungannya dengan perbedaan pada waktu embrionik.
29
LAPORAN KASUS
Anamnesis
Seorang ibu berusia 20 tahun datang
ke RSUP Sanglah Denpasar dengan rujukan
dari salah satu RS swasta di Gianyar, pada
tanggal 30 Desember 2009, G1P0000
Polihidramnion, Cojoint Twin, Partus Kala I.
Ibu mengeluh sakit perut mau melahirkan
sejak pukul 22.00 WITA (29/12/2009),
dengan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)
20 Juni 2009. Ibu datang ke salah satu RS
swasta di Gianyar pada tanggal 30 Desember
2009 pukul 18.15 WITA, diperiksa oleh
specialis
obstetri
ginekologi
dengan
pembukaan serviks 5 cm, effacement 50%.
Kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah, karena
saat ANC dicurigai kembar siam dari
gambaran USG, tiba di RSUP Sanglah pukul
20.30 WITA.
Ibu melakukan ANC (Ante Natal
Care) di Bidan teratur, dan dokter spesialis
obstetri pertama kali pada tanggal 25 Agustus
2009, dilakukan USG dan belum diketahui
kehamilan kembar. Kemudian ibu melakukan
ANC ke-2 di dokter spesialis obstetri pada
tanggal 28 Desember 2009, dan dilakukan
USG, dengan kecurigaan kembar siam. Pada
tanggal 29 Desember 2009, ibu melakukan
ANC ke-3 di spesialis obstetri konsultan
fetomaternal atas anjuran dokter sebelumnya,
dilakukan diUSG, dan sangat dicurigai
kembar siam cephalothoracophagus dan
polihidramnion. Ibu disarankan untuk
melakukan pemeriksaan USG 4 Dimensi
pada tanggal 30 Desember 2009, tetapi pada
tanggal 30 Desember 2009 ibu sudah dalam
keadaan inpartu.
Dalam keluarga Ibu, tidak ada
riwayat kehamilan kembar, selama kehamilan
ibu tidak minum obat-obatan selain dari
bidan dan dokter, tidak minum obat atau
jamu tradisional. Ini merupakan kehamilan
yang diinginkan. Ini merupakan pernikahan
yang pertama, dan usia suami penderita 24
tahun, pekerjaan petani.
Gambar 2 :
Gambar USG pertama kali, tampak fetal pole. Saat ini belum
dicurigai kembar, dikarenakan hanya tampak 1 fetal pole.
Gambar 3 :
Gambar USG saat ANC ke-3 di Spesialis obstetri kandungan
fetomaternal, saat ini dicurigai kembar siam cephalothoraco
omphalophagus, dikarenakan saat USG hanya ditemukan satu
kepala, dengan bentuk oval dan cavum orbita hanya 2, dengan
kesan satu septum pellucidum pada scanning otak. Pada USG
kasus ini juga didapatkan diameter BPD yang lebih lebar dari
umur kehamilan.
30
Gambar 4 :
Tampak USG extremitas bawah, berjumlah 2 pasang (4
buah kaki), tidak tampak penyatuan pada daerah pelvis
(ischiophagus)
Gambar 5 :
Tampak USG bagian yang menyatu, dan extremitas
superior, tampak scanning bagain telapak tangan dibagian
belakang (lingkaran putih). Pada bagian thorax dan
abdomen terdapat kontinuitas kulit.
Kronologis Persalinan di RS Sanglah
Penderita datang dengan ambulace
dari salah satu RS swasta di Gianyar, tiba di
ruang bersalin RS Sanglah pukul 20.30
WITA (29 Desember 2009). Surat rujukan
dengan G1P0A0 Polihidramnion, conjoint
twin, Partus kala I.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Tensi
Status General
Status Obstetri
VT
: Baik, Tinggi Badan 140 cm, Berat Badan 50 kg
: 120/80 mmHg Nadi : 88x/mnt RR : 20x/mnt
Temp : 36,7˚C
: Kesan dbn
: TFU 40 cm, letak bujur, teraba 1 bagian padat, 1 bagian lunak
Punggung sebelah janin sebelah kanan, P ↓ O 5/5
DJJ + 148x/menit, dengan puctum maximum tunggal
His + 3-4 x/10 mnt ~ 40”
: P Ø 8 cm, effacement 75%, Ket (+), menonjol
Teraba bagian keras, denominator tidak jelas
Tidak teraba bagian kecil dan atau tali pusat
Ultrasonogarfi di kamar bersalin
Janin kesan kembar siam, hidup, dengan fetal biometeri :
BPD : 82,2 mm ~ 27W 2D AVE : 29W 4D
HC
: 291 mm ~ 30W 0D EFW : 1290 gram
AC
: 239,2 mm ~ 29W 1D HR
: 162x/menit
FL
: 51,8 mm ~ 27W 2D AFI
: 356,7 mm
31
Gambar 5 :
Tampak USG M Mode, menunjukkan DJJ
182x/mnt, saat USG hanya ditemukan 1
jantung. dengan kesan satu tulang punggung (os
spinalis)
Hasil Laboratorium :
Hb : 12,6 g/dl
WBC : 21.200/ dl
Plt : 442.000/ dl
Diagnosa Kerja
:
G1P0000 27-28 mg, conjoint twin (suspect cephalothoracophagus), Partus Kala I
Penatalaksanaan
:
Diputuskan untuk melahirkan dengan Sectio Sesarea (SC), melakukan informed consent dengan
pihak keluarga pasien, dan persiapan operasi SC.
Pukul 21.38 WITA, lahir bayi perempuan
kembar siam, dengan dempet pada bagian
kepala, thorax dan abdomen, dengan berat
badan 1250 gram, tidak segera menangis,
APGAR score 2-2. Satu placenta, dengan 2
tali pusat, insersi satu tali pusat velamentosa,
A
C
pada janin didapatkan 2 umbilicus yang
letaknya saling berdekatan.
Diagnosa bagian Pediatri dengan bayi kurang
bulan, dengan BBLR, SMK, conjoint twin
cephalothoraco omphalophagus. Pada Pukul
23.18 WITA, bayi dinyatakan meninggal
dunia oleh bagian Pediatri.
B
Gambar 6 :
Gambar 6A dan 6B, tampak bayi kembar siam
cephalothoraco omphalophagus tampak satu kepala
yang menjadi satu, bagian thorax dan abdomen yang
menjadi satu. Gambar 6A tampak dari belakang, dan
gambar 6B tampak dari depan. Gambar 6C, satu
placenta dengan 2 tali pusat, satu dengan insersi
velamentosa.
32
DISKUSI
Secara embriologis terdapat dua
macam kembar yaitu kembar fraternal atau
dizigot dan kembar identik atau
monozigot. Kembar dizigot berasal dari
fertilisasi dua ovum yang berbeda,
sedangkan kembar monozigot berasal dari
fertilisasi sebuah ovum yang kemudian
membelah dan berkembang menjadi dua
individu. Pada kasus ini, tidak ada riwayat
keturunan kembar dari keluarg. Kasus
kembar siam ini adalah kembar
monozigot, dimana yang terjadi adalah
kelainan perkembangan dari embrio itu
sendiri, yang gagal berpisah diatas 12 hari
setelah pembuahan.
Kembar siam terjadi kurang lebih
satu dalam 50.000-100.000 kelahiran atau
satu dalam 400 kembar monozigot dan
lebih sering pada terjadi pada jenis
kelamin perempuan (70-80%).3,4,7,8
Kasus yang dilaporkan juga adalah bayi
perempuan. Kembar siam biasanya
diklasifikasikan berdasarkan pada bagian
tubuh yang menyatu dengan penambahan
akhiran pagus.5,6 Berdasarkan dari sisi
tubuh dimana penyatuan terjadi, maka
secara garis besar kembar siam dibagi
menjadi tiga:
1. Penyatuan dari bagian ventral,
misalnya thoracopagus (menyatu
dibagian dada).
2. Penyatuan dari bagian lateral,
misalnya parapagus (menyatu
dibagian pelvis).
3. Penyatuan dari bagian dorsal,
misalnya pygopagus (menyatu
dibagian bokong).
Pada kasus ini bayi menyatu dari
bagian kepala, thorax dan abdomen. Ada
satu kepala yang menyatu dengan 2
pasang telinga (Sepasang dibagian
belakang kepala, gambar 6A), sepasang
ekstremitas superior dan sepasang
ekstremitas inferior. Pada literatur,
disebutkan kembar siam yang terjadi pada
kepala dan thorax dapat disebut dengan
janiceps. Kasus ini berdasarkan anatomi
bersatunya bagian tubuh yang menyatu
maka
ini
adalah
kembar
siam
cephalothoraco omphalophagus. Placenta
pada kasus ini satu placenta, dengan 2 tali
pusat, dimana salah satunya dengan insersi
velamentosa, dan pada bagian umbilicus
janin ada 2, dengan letak yang
bersebelahan (Gambar 6B).
Etiologi kembar siam tidak
diketahui secara pasti, namun fenomena
ini terjadi akibat pembagian zigot yang
tidak sempurna, setelah diskus embrionik
terbentuk, pembelahan terjadi 12 hari
steleh
pembuahan.1,3,7,8
Proses
terbentuknya kembar siam, terjadi pada
stadium permulaan embriogenesis. Bila
pemisahan zigot terjadi pada empat hari
pertama setelah fertilisasi, maka akan
terbentuk kembar monozigot dengan dua
korion dan dua amnion. Bila pemisahan
terjadi antara hari keempat sampai hari
kedelapan setelah fertilisasi, maka akan
terbentuk kembar monozigot dengan satu
korion dan dua amnion. Bila pemisahan
terjadi antara hari kesembilan sampai hari
ke-13 setelah fertilisasi, maka akan
menghasilkan kembar monozigot dengan
hanya satu korion dan satu amnion. Diskus
embrionik mulai berdiferensiasi pada hari
ke-13 setelah fertilisasi. Pemisahan yang
terjadi
setelah
hari
ke-13
akan
menghasilkan pemisahan yang tidak
sempurna, karena diskus embrionik sudah
terbentuk
dan
berdiferensiasi.1,6,7,9
Semakin
lama
waktu
dimulainya
pemisahan embrio, maka akan semakin
berat kelainan yang akan terjadi.1,7
Pemeriksaan
USG
adalah
pemeriksaan penunjang yang paling baik
untuk mendiagnosis kembar siam sebelum
persalinan. Diagnosis kembar siam sudah
harus dicurigai, bila pada kehamilan
kembar hanya terlihat satu plasenta dan
satu amnion. Apabila tanda penyatuan dari
bayi kembar siam tidak jelas terlihat pada
USG, maka diagnosis kembar siam dapat
ditunjang oleh adanya hal-hal sebagai
berikut:
 Tidak adanya membran korion
atau amnion yang memisahkan
kedua janin
 Tubuh janin ada bagian yang tidak
terpisahkan
 Terdapat kelainan bawaan pada
salah satu janin
 Terdapat lebih dari tiga pembuluh
darah didalam talipusat
33
 Kedua kepala selalu dalam posisi
level yang sama
 Ekstensi pada servikal dan
vertebra torakal bagian atas
 Posisi kedua janin selalu sama
(tidak dapat berubah), walaupun
sudah dicoba dimanipulasi secara
manual.
Kesalahan diagnosis pada pemeriksaan
USG, mungkin pula disebabkan bila posisi
kedua kepala bayi berada dibawah, dimana
kepala salah satu bayi sudah masuk
kedalam pintu atas panggul, dan karena
keterbatasan rongga panggul, maka kepala
bayi kedua tidak dapat masuk ke rongga
panggul, sehingga tetap berada diatas
pintu atas.
Pemeriksa USG yang pertama
pada umur kehamilan 9-10 minggu, tidak
mencermati adanya tanda kehamilan
ganda, dikarena hanya tamapk 1 fetal pole,
dan tidak tampak gambaran chorion dan
amnion, karena kasus kembar siam
merupakan
monozigote
dengan
monochorion dan monoamnion.
Persalinan dipilih sectio sesarea
dengan pertimbangan bayi sudah diketahui
kembar siam dan masih dalam keadaan
hidup dengan umur kehamilan 28-29
minggu, dengan pertimbangan mengurangi
trauma persalinan pervaginam pada
premature dan mengantisipasi kesulitan
persalinan pervaginam, dikarenakan bayi
belum jelas deskriptif kembar siamnya
pada saat inpartu.
Pada kasus kembar siam, sering
disertai dengan kelainan kongenital pada
organ bagian dalam. Pada kasus ini
ditemukan
polihidramnion
(),
kemungkinan ditemukan kelainan pada
saluran cerna, secara makros ada
penyatuan di bagian dada, sangat
dimungkinkan
ada
kelainan
pada
esophagus dan saluran cerna lainnya
dibagian abdomen. Saat dilakukan
evaluasi USG sebelumnya tampak
ditemukan satu septum pelucidum pada
otak, kemungkinan besar pada kembar ini
juga terdapat hanya satu otak, pada
bagaian thorax hanya tampak satu jantung.
Tetapi pada kasus ini belum sempat
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
mengetahui
secara
pasti
kelainan
kongenital organ bagian dalam, misal
pemeriksaan radiologi thorax, barium
esophagus, dan echocardiofrafi, sehingga
evaluasi untuk kelainan kongenital organ
dalam pada kasus ini belum dapat
ditegakkan secara pasti.
Kembar siam sering disertai
malformasi berat lainnya. Kadang
malformasi tersebut berkaitan dengan
bagian tubuh yang menyatu, tetapi kadang
pula letaknya bukan didaerah tersebut dan
tidak
berhubungan
dengan
proses
pemisahan janin. Biasanya kembar siam
torakopagus memiliki jantung yang juga
saling menyatu (±90%) dan sering disertai
malformasi
jantung
lainnya.6,9,10
Kelainan jantung bawaan ditemukan ±
75% dan 90% menyatu pada perikardium.
Kelainan yang paling sering yaitu
penyatuan jantung, yang terdiri dari dua
ventrikel disertai jumlah atrium yang
bervariasi (1 sampai 4). Saat ini
pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance
Imaging)
fetus
intrauterine
mulai
dilakukan di Negara maju, dikarenakan
MRI tidak memberikan radiasi sinar X.
MRI memberikan gambaran imaging
radiologis yang lebih jelas secara anatomis
dibandingkan
USG
tetapi
untuk
pemeriksaan saat ini masih mahal.
Setelah 2 jam 10 menit perawatan,
bayi mengalami sianosis yang menetap
walaupun oksigen headbox terpasang. Hal
ini menunjukkan mungkin terdapat pula
kelainan pada sistem respirasi dan
kardiovaskuler. Atresia esofagus harus
dipikirkan
bila
ada
riwayat
polihidramnion.
Prognosis tergantung dari tipe
kembar
siam,
luasnya
penyatuan,
banyaknya
atau
beratnya
derajat
penyatuan organ dalam, dan kelainan
bawaan lainnya.6,10 Kebanyakan (60%)
kembar siam lahir mati atau abortus dan
hanya 35% lahir hidup, tetapi meninggal
dalam 24 jam pertama kehidupan.8
Penyebab kematian bayi kembar siam ini
mungkin disebabkan oleh kelainan sistem
respirasi dan atau kelainan sistem
kardiovaskuler. Autopsi dapat mengetahui
penyebab kematian secara pasti dan dapat
melihat secara langsung malformasi pada
organ dalam.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno
KJ, Gilstrap III LC, Haunt JC,
Wenstrom KD. Williams obstetrics,
22 edition. New York, McGrawHill, 2007, p 766-804.
2. Oleszczuk J. Conjoined Twins. Isaac
B, Louis GK. Eds. In : Multiple
Pregnancy Epidemiology, Gestation
And Perinatal Outcome 2nd edition.
United Of Kingdom, Informa
Healtcare, 2005, p 233 – 45.
3. Barnes EG, Spicer DD. Nultiple
Gestations And Cojoined Twins. In :
Embrio And Fetal Pathology Color
Atlas With Ultrasound Correlation,
United Of Kingdom, Cambridge
University Press, 2004, p 622 – 33.
4. Sadler TW. Langman’s Medical
Embryology
9th
edition.
McGrawHill Medical Publishing
Division, United Stated Of America,
2007.
5. Stoll BJ, Kliegman RM. Multiple
pregnancies. In: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, Eds.
Nelson textbook of pediatrics 17th
edition. Philadelphia: Saunders, 200,
p 475-507.
6. Yaron Z, Zvi Y. Ultrasound In
Multiple Gestation. Mark IE, Mark
PJ, Yuval Y, et al, eds, In : Prenatal
Diagnosis. McGrawHill Medical
Publishing Division, United Stated
Of America, 2006, p 349 – 57.
7. Gul A, Aslan H, Ceylan Y. Case
Report : Prenatal Diagnosis Of
Pyopagus Tetrapus Parasitic Twins.
Biomed Central (BMC) Pregnancy
And Children Journal, July 2004.
8. Madjid DA. Laporan kasus : Bayi
Kembar
Siam
Dicepahlus
DiBrachius Dipus. Jurnal Medicine
Nusantara, volume 26 no 3, Periode
Juli – September 2005, halaman 195
– 99.
9. Michelle SL, Daniel WS, Frank AC.
Multiple Pregancy Epidemiology,
Clinical
Characteristic,
And
Management. Reece EA, Hobbins
JC, eds, In : Clinical Obstetrics The
Fetus And Mother, 3rd edition.
10.
11.
12.
13.
Blackwell publishing, United Of
Kingdom, 2007, p 177 – 202.
Levine D. Atlas Of Fetal MRI,
Taylor Francis, United States Of
America, 2005.
Bendon
RW.
Pathology
Of
Twinning, Jeeling KW, Khong TY,
eds. In : Fetal And Neonatal
Pathology 4th edition. Springer
Verlag, London, 2007, p 297 – 326.
Pernoll ML. Benson And Pernoll
Handbook Of Obastetrics And
Gynecology 10th edition : Multiple
Pregnancy. McGraw-Hill Medical
Publishing Division, Philadelphia,
2001, p 367 – 78.
Perni SC. Ultrasound Evaluation Of
Multifetal Gestation. Kurjak A,
Chervenak FA eds, In : Donald
School Textbook Of UltrasoundIn
Obstetri
And
Gynecology.
Pathernon Publishing Group, New
Dehli, 2003, p 349 -64.
35
OLAHRAGA PADA WANITA – PERTIMBANGAN GINEKOLOGIS
Akmarawita Kadir
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Banyak orang beranggapan bahwa olahraga pada seorang wantia, khususnya sedang menstruasi sangat
mengganggu. Hal ini juga ditakutkan oleh para atlit, apakah dengan menstruasi maka performance
mereka terganggu, dan bahkan bisa menurunkan performance. Banyak penelitian yang membahas
tentang hal ini, bahkan dari berbagai aspek. Kajian berikut membahas aspek Ginekologis pada seorang
wanita yang melakukan olahraga.
EXERCISE AND TRAINING IN FEMALES – GYNECOLOGICAL
CONSIDERATIONS
Akmarawita Kadir
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Many people think that exercise on a the girl, especially her menstrual periods are very disturbing. It is
also feared by the athletes, whether with their performance so disturbed menstruation, and may even
reduce performance. Many studies that discuss this, even from various aspects. The following study
discusses the gynecological aspects of a woman who did exercise.
Pendahuluan
Permasalahan pokok pada seorang
atlit wanita adalah sering di dapatkan
siklus menstruasi yang panjang / jarang
(oligomenorrhea ) maupun tidak haid
selama 3 bulan atau lebih (amenorrhea).
Amenorrhea primer di didefinisikan bila
seorang wanita belum pernah mendapat
menstruasi (menarche) dan tidak boleh di
diagnosa sebelum wanita mencapai usia
18 tahun. Amenorrhea sekunder adalah
hilangnya haid setelah menarche.(Fox
1993, Sastrawinata 1983).
Beberapa
tipe
Amenorrhea
sekunder: (1) Hypothalamic chronic an
ovulation, (2) pituitary chronic an
ovulation, (3) inaprotirate feedback to the
hypothalamus or pituitary, and (4) other
endocrine or metabolic dysfunction. Atlit
amenorrhea adalah termasuk pada tipe
chronic an ovulation. Adanya faktor
psikogologis dan organic yang mungkin
menyebabkan amenorrhea sekunder pada
atlit wanita masih diselidiki, dan sulit
menunjukkan suatu sebab yang jelas
antara faktor yang spesifik partisipasi
olahraga dengan terjadinya amenorrhea
sekunder. (Fox 1993)
Age Menarche ( umur menstruasi
untuk pertama kali)
Bukti-bukti menunjukkan adanya
hubungan
sebab
akibat
antara
bertambahnya aktivitas olahraga yang
berat dengan meningkatnya kejadian
menarche yang terlambat (Amenorrhea
primer) . Perbandingan Menarche antara
atlit wanita Amerika dan yang non atlit
dapat dilihat pada gambar 1. berikut.
Tampak bahwa High school athletes dan
College athletes mengalami keterlambatan
menarche yang signifikan di bandingkan
dengan non atlit. Malina (1978), dan
Prokop (1976) menunjukkan adanya
menarche yang terlambat pada remaja
yang berlatih keras sebelum menarche.
Menurut Manila, menarche diperoleh
paling lambat pada atlit Olympic dan
diperoleh paling dini pada mereka yang
bukan atlit. Pada suatu studi kejuaraan
renang, didapatkan laporan terjadinya
keterlambatan menarche dibandingkan
dengan non atlit. (Fox 1993, Harsuki
2003)
Dengan fakta di atas semakin
tinggi keahlian seorang atlit wanita,
semakin menyebabkan keterlambatan
menarche. Sehubungan dengan ini ada 2
pertanyaan : (1) apa penyebab dari
keterlambatan menarche dan (2) apakah
keadaan ini signifikan? Sehubungan
dengan ini diketahui bahwa latihan dapat
meningkatkan hormon prolaktin yang
dihasilkan oleh hipofisis anterior dan
bertanggungjawab akan produksi ASI
(gambar 2). Pada atlit remaja prolaktin
mempengaruhi kematangan ovarium,
yang berefek menekan dan menghambat
kematangan ovarium yang dilakukan oleh
36
hormon lain yang disebut FSH, hal ini
mengakibatkan keterlambatan menarche
atau transient amenorrhic (absence of the
menses) kondisi ini sama seperti keadaan
ibu yang sedang menyusui. (Fox 1993)
Gambar 1. Umur dimulainya Menarche
mempunyai perbedaan yang nyata apabila
dibandingkan antara atlit dan non atlit.
High school & Collage athlete mempunyai
menarchenya terlambat dibandingkan
dengan yang non atlit. Dan atlit nasional
serta alti olimpiade ada tendensi
menarchenya
lebih
terlambat
dibandingkan dengan High school &
Collage athlete.
(Fox 1993)
Keberhasilan
menarche,
dan
kesuksesan dalam olahraga dipengaruhi
oleh 2 aspek, yaitu aspek fisiologis dan
aspek sosiologis.(Fox 1993)
1. Banyak yang mengatakan bahwa
fisik dan karakteristik fisiologis
pada wanita dengan kematangan
yang terlambat (later maturation
female), biasanya lebih sukses
dalam
athletics
performance
(penampilannya). Pada wanita ini
mempunyai ciri - ciri seperti; kaki
yang lebih panjang, panggul yang
lebih sempit, berat badan yang
lebih rendah per unit tinggi badan,
lebih sedikit kadar lemak tubuh
dibandingkan dengan wanita yang
kematangannya terjadi lebih awal
(earlier maturation females). Hal
sebaliknya
pada
perenang,
dikatakan
bahwa
earlier
maturation
female
lebih
diuntungkan, hal ini dikarenakan
bentuk badan dan kekuatannya
lebih besar bila dibandingkan
dengan later maturation female.
Keadaan ini juga ditemukan pada
perenang wanita Swedia, dan juga
pada finalis-finalis atlit renang
wanita yang lain.
2. Pada budaya Amerika, seorang
wanita yang matang sering
dikatakan jauh dari olahraga.
Wanita dengan kematangan yang
terlambat ada tendensi mempunyai
performance yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita yang
kematangannya datang lebih awal
jika dibandingkan dengan wanita
remaja pada usia yang sama.
Dengan kata lain, sekali seorang
wanita tumbuh menjadi dewasa
dengan perubahan karakteristik
seksual keseluruhan, ia akan lebih
tertari pada keluarga ataupun karir
dari
pada
menjadi
atlit
(berolahraga).
37
Latihan Berat
Hormon Prolaktin
Menggagalkan
“Positif Estrogen
Mechanism”
–
LH
Feedback
Sekresi LH dihambat
Ovulasi Ө
Menarche Tertunda
Gambar 2. Sebab tertundanya Menarche (Asnar E, 2004)
Latihan dan Gangguan Menstruasi
Informasi dasar beberapa tahun
lalu menyatakan bahwa, latihan tidak
menyebabkan
terjadinya
gangguan
menstruasi, misalnya pada tahun 1963
dilaporkan bahwa atlit perenang wanita
Swedia, 81 % tetap mengalami siklus
menstruasi yang teratur. Pada tahun 1964,
557 atlit wanita Hungaria, 84 %
dilaporkan tidak tampak adanya perubahan
siklus menstruasi. Siklus menstruasi yang
teratur juga didapat pada 61 dari 66 atlit
wanita yang mengikuti Olympic Games
pada tahun 1964.
Khusus pada atlit wanita dengan
latihan dan kompetisi dengan intensitas
yang tinggi seperti lari jarak jauh, senam,,
renang dan tari ballet profesional, dapat
menyebabkan
gangguan
menstruasi,
misalnya pada atlit lari jarak jauh; 1 dari 3
atlit tersebut mengalami amenorrhea
selama latihan dan kompetisi. Hal ini
tampak pada gambar 3. A. Angka
kejadian amenorrhea 34 % pada Runners,
dan 23 % pada joggers, dan 4 % pada
kontrol non running. Pada penelitian ini
Runners didefinisikan wanita yang lari
lebih dari 30 mile per minggu dengan
kombinasi long, slow-distance running
with speed work. Joggers didefinisikan
wanita yang lari dengan lambat dan mudah
dan hanya 5 – 10 miles per minggu.
Jumlah Haid per tahun untuk kontrol
didapatkan 11,85 untuk kontrol, 10,32
untuk joggers, dan 9,16 untuk runners
(gambar 3B).
Gambar 3 (Fox 1993)
38
Penyebab pasti terjadinya amenorrhea
pada atlit wanita belum diketahui, tetapi
kejadian ini selalu berhubungan dengan
intensitas latihan dan defisiensi nutrisi.
Untuk intensitas latihan dapat dilihat pada
gambar 3. angka kejadian amenorrhea
akan meningkat sebanding dengan
peningkatan latihan dalam tiap Minggunya
(weekly training distance). Ini dapat
dikatakan bahwa amenorrhea disebabkan
oleh latihan / kompetisi itu sendiri, atau
faktor relatif yaitu chronic exercise
training,
seperti
latihan
yang
menyebabkan menurunnya berat badan,
atau stress psikologi, dalam kasus ini
semakin berat intensitas latihan untuk
meningkatkan performance maka dapat
menyebabkan amenorrhea karena ini
merupakan suatu stress.
Gambar. 4 Insidens amenorrhea pada atlit wanita pelari jarak sedang berhubungan langsung
dengan jarak yang ditempuh. (Fox 1993)
Hilangnya / berkurangnya berat badan
akan menurunkan simpanan lemak tubuh,
dapat
diikuti
dengan
amenorrhea.
Penyimpanan lemak tubuh yang rendah
pada seorang atlit wanita memungkinkan
merupakan salah satu sebab terjadinya
amenorrhea.
Faktor lain yang mungkin
menyebabkan terjadinya amenorrhea
adalah chronic malnutrition pada atlit
wanita. Ketika dibandingkan antara pelari
amenorrhea dengan pelari eumenorrhea
dilihat dari intake kalorinya, ternyata
pelari eumenorrhea intake kalorinya lebih
tinggi dibandingkan dengan pelari
amenorrhea. Resting metabolic rate juga
berbeda antara pelari amenorrhea dengan
eumenorrhea, dimana pelari amenorrhea
mempunyai resting metabolic rate lebih
rendah
dibandingkan
dengan
eumenorrhea. (Fox, 1993)
Akhirnya apa yang terjadi apabila
seorang atlit wanita yang mengalami
gangguan siklus menstruasi latihannya
diberhentikan? Dalam suatu penelitian atlit
renang wanita yang mengalami gangguan
siklus menstruasi, ketika latihannya di
berhenti kan maka siklus akan menjadi
normal kembali serta fungsi reproduksi
juga akan kembali normal. Keadaan ini
juga berlaku pada jenis olahraga yang
lain.(Fox 1993)
39
Dysmenorrhea (rasa sakit saat
haid di daerah perut) mungkin didapatkan
pada atlit wanita, informasi mengenai
dysmenorrhea ini masih banyak diteliti.
Penyebab biolgisnya adalah pelepasan
prostaglandin dari endometrium. Wanita
dysmenorrhea
mempunyai
kadar
prostaglandin yang tinggi di dalam darah
dibandingkan dengan wanita yang tidak
dysmenorrhea. Dysmenorrhea ini bisa
dicegah dengan penggunaan kontrasepsi
oral; bila Ovulasi dihambat, maka terjadi
hypoplasia endometrium, mengurangi
kemampuan
endometrium
untuk
memproduksi prostaglandin. Dan dapat
juga dicegah dengan obat-obat anti
prostaglandin (Mefenamic Acid) (gambar
5). Rendahnya kejadian dan juga
rendahnya keparahan gejala dysmenorrhea
pada atlit dapat disebabkan oleh
rendahnya kadar prostaglandin, yang
disebabkan oleh tingginya siklus anovulasi
atau
perubahan
pola
endokrin
(berkurangnya LH, fase luteal yang
pendek, kadar estradiol / progesterone
yang rendah). Di samping itu atlit
mungkin mempunyai ambang rasa sakit
yang tinggi. Tetapi faktor psikologis juga
harus
diperhitungkan
mengenai
dysmenorrhea ini. (Harzuki 2003, Fox
1993)
Prostaglandin
(hormone-like
organic acid), diproduksi oleh banyak
jaringan
(termasuk
endometrium).
Prostaglandin ini menyebabkan
(1)
vasokonstriksi; (2) kontraksi otot polos
uterus. Wanita dengan dysmenorrhea yang
berat mempunyai kadar prostaglandin
yang tinggi dalam darahnya. Prostaglandin
yang tinggi menyebabkan kontraksi hebat
pada otot polos uterus sehingga oxygen
blood supply menurun yang menyebabkan
terjadinya Temporary Ischemia yang
akhirnya
menimbulkan
nyeri.
Prostaglandin
mensensitifkan
nerve
ending receptor nyeri. Adanya Kontraksi,
Ischemia,
Peningkatan
sensitif,
kesemuanya menyebabkan nyeri pada saat
haid (dysmenorrhea). (Asnar E. 2004)
Endometrial Cell Destruction
Arachidonic Acid
Pain Mediators
Inhibiting
(Histamin & Badykinin)
Mefenamic Acid
Prostaglandin
Drugs
=
Abnormally Elevated Prostaglandin
Pain Receptors
Pressure
Abnormally
Increased
Uterine
Contractions
and
Dysmenorrhea
Gambar. 5. Prostaglanding inhibiting drugs (Asnar E. 2004)
40
LH
Follicle . Primordial
Sampai terbentuk
Sel granulose & Sel Theca (ada rec. LH)
FSH
Mengeluarkan Estrogen
Rec. LH bertambah pada sel Granulosa
Sekresi FSH
Follicle yang lain berhenti
Follicle. Lebih peka thd LH.
LH mengambil alih FSH
Estrogen (oleh Follicle)
Estrogen
(300% dari Normal)
= Estrogen Surge
Latihan
 Positive Feedback
Prolaktin
Sekresi LH
= LH Surge
Merangsang ezim collagenase
Dinding Follicle Pecah
OVULASI
Gambar 6. Proses terjadinya Ovulasi (Asnar E. 2004)
Performance dan Menstruasi
41
Pada tabel 1 memperlihatkan performance atlit wanita selama haid. Secara umum
hasil ini memperlihatkan tidak ada pengaruhnya antara performance dengan menstruasi.
Secara umum siklus menstruasi tidak mempengaruhi performance, tetapi hal ini tergantung
pada variasi individu masing-masing dan
jenis olahraganya. Atlit endurance seperti
pemain tennis, pendayung menunjukkan
performance yang sangat jelek saat haid,
sedikit pemain bola basket, perenang, dan
senam menunjukkan penurunan kinerja,
dan
beberapa
di antara
mereka
memperlihatkan peningkatan kinerja.
Perbedaan
pengaruh
ini
mungkin
dikarenakan dua hal, yaitu : usaha yang
keras dan lama kerja yang diperlukan saat
olahraga. Hipotesanya adalah bahwa
pemain tennis dan pendayung memerlukan
usaha keras dalam jangka waktu yang
lama, sedangkan pemain bola basket,
perenang, dan pesenam hanya bekerja
keras dalam tempo yang pendek.
Performance cenderung jelek apabila ada
unsur daya tahan, sedang pada olahraga di
mana explosive power sangat penting,
kinerja bisa meningkat saat haid. Gold
medal performance telah di laporkan pada
atlit perenang dan track and field.(Marsuki
2003, Fox 1993)
Pengaruh
metabolic,
cardiovascular response saat istirahat,
selama sub maximal exercise, dan selama
maximal exercise tidak terlalu signifikan
berpengaruh selama perubahan fase siklus
menstruasi. Hal ini dapat dilihat pada
gambar 7. Di mana meneliti 8 atlit wanita
yang terlatih dengan 9 atlit wanita yang
tak terlatih selama perubahan fase siklus
menstruasi. (1) 7 hari setelah ovulasi
(premenstrual phase), (2) 3 hari setelah
fase sekresi (menstrual phase) dan (3) 13
hari setelah fase sekresi (postmenstrual
phase). (Fox 1993)
42
Gambar 7. Respon metabolisme dan kardiovaskuler. A. istirahat, B saat latihan maksimal
tidaklah secara sistematis terpengaruh akibat haid. (Fox 1993)
Latihan
dan
kompetisi
selama
Menstruasi
Biasanya
menstruasi
itu
berlangsung 5-7 hari. Oleh karena itu tidak
dapat di hindarkan bahwa wanita harus
berlatih atau berlomba dalam periode ini.
Tampak pada tabel 2. Dari hasil survey
pada Olympic sportswomen Tokyo
didapatkan sebanyak 69 % yang sedang
haid mengikuti kompetisi, 34 % atlit yang
sedang haid mengikuti latihan, dan 31 %
atlit yang sedang haid kadang-kadang
mengikuti kompetisi, 54 % kadang-kadang
mengikuti latihan.
Tabel 2, (Fox 1993)
Hasil yang serupa juga didapatkan pada
kelompok perenang wanita muda; dari 27
wanita, hanya 7 wanita mengalami haid
saat latihan, dan sisinya mengalami haid
saat berkompetisi.
Masih kontroversi dari seorang
dokter antara boleh tidaknya atlit wanita
ikut dalam latihan dan kompetisi.
Beberapa dokter menyarankan untuk tidak
ikut berpartisipasi pada jenis olahraga
yang sangat berpengaruh terhadap
gangguan menstruasi, misalnya pada
olahraga tennis, lari jarak jauh, senam.
Tetapi juga ada yang menyarankan boleh
berpartisipasi pada atlit perenang, cuma
masalahnya apakah menstruasi saat
43
olahraga renang bisa menyebabkan
bacterial kontaminasi di kolam renang?
Dr. A.J. Ryan menyarankan untuk
memakai intravaginal tampon yang
dirancang
secara
nyaman
dan
menyenangkan
untuk atlit perenang
selama menstruasi. (Fox 1993)
Dari informasi-informasi ini,
beralasan bila menyarankan kepada atlit
wanita untuk mengikuti latihan ataupun
kompetisi saat menstruasi bila ia tidak
merasakan adanya gangguan pada dirinya.
Tetapi juga beralasan untuk menyarankan
kepada atlit wanita tidak ikut latihan atau
kompetisi apabila atlit wanita tersebut
merasakan gelisah, tidak nyaman akibat
menstruasi nya. Semuanya ini bergantung
pada
pengalaman
masing-masing
atlit.(Fox 1993)
Ed.
Boston-USA.
WCB/Mcgrawhill.
Harsuki. 2003. Perkembangan
olahraga terkini, kajian
para
pakar.
Jakarta.
Rajawali sport.
Soekarman R. 1986. Dasar
Olahraga untuk Pembina,
Pelatih, dan Atlit. Jakarta.
CV. Haji Masagung.
Sastrawinata S. 1983. Ginekologi.
Bandung. Elstar Offset.
Menstruasi dan Defisiensi Zat Besi
Hemoglobin (Hb) mempunyai
kemampuan berikatan dengan oksigen,
yang terdiri dari komponen zat besi
(hame). Zat besi dibutuhkan oleh tubuh
terutama untuk pembentukan hemoglobin,
apabila kekurangan zat besi maka dapat
menyebabkan
terjadinya
anemia
kekurangan besi (iron-deficiency anemia).
Sehingga dapat menyebabkan kurangnya
Hb yang pada akhirnya mengakibatkan
jumlah seldarah marah juga berkurang
(anemia).(Fox 1993)
Perlu
diperhatikan
bahwa
kekurangan zat besi pada menstruasi dapat
mengganggu
performance,
apabila
performance menurun atau ada gejalagejala kurang darah pada atlit wanita (iron
defiseinsi anemia) perlu dilakukan tes Hb.
Tetapi kebanyakan atlit wanita juga
mengkonsumsi zat besi dalam diitnya.
(Fox 1993, Soekarman, 1986)
Kepustakaan
Asnar E. 2004. Handout Kuliah.
Wanita & Olahraga. Lab.
Faal. FK – Unair.
Surabaya
Fox E.L., Bowers R.W., Foss
M.L.
1993.
The
Physiological Basis for
Exercise and Sport, 5th.
44
TINGKAT KONSENTRASI DALAM PLASMA ANTARA ISONIAZID GENERIK
DIBANDINGKAN ISONIAZID NON-GENERIK
Muzaijadah Retno Arimbi
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Kematian akibat penyakit tuberkulosa paru tetap tinggi, meskipun Obat Anti Tuberkulosa (OAT) yang
dapat diperoleh secara gratis melalui program WHO, yaitu melalui program Directly Observed Treatment Short
course Chemotherapy (DOTS), namun keterlambatan diagnose, terapi yang tidak adekwat, putus berobat,
resistensi terhadap OAT dan adanya penyakit yang menyertai,merupakan penyebab utama kegagalan terapi,
disamping faktor rendahnya kesadaran akan pentingnya kesehatan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat.
Mengetahui perbedaan kadar dalam plasma darah vena cubiti antara Isoniazid ( INH ) generik/ paket DOTS
/ Kombipak dan INH Non generik.
Penelitian dilakukan pada 2 kelompok sampel, masing-masing kelompok sampel darahnya diambil
sebanyak 3 kali yakni sesaat sebelum diberi INH 300 mg (t0), 1 jam setelah diberikan INH 300 mg (t1), dan 2
jam setelah diberi INH 300 mg (t2).selanjutnya diamati kadar INH nya.
Dari hasil Penelitian ini, dibuktikan bahwa tidak dijumpai adanya perbedaan kadar INH dalam plasma
antara INH Paket Kombipak ( Generik / Indofarma ) dibanding INH ( Non Generik /CIBA ), pada jam 1
maupun jam 2 setelah pemberian PO.
Kata kunci: Tuberkulosa , INH generik dan INH non generik, .
LEVEL OF CONCENTRATION IN PLASMA COMPARED ISONIAZID INH
GENERIC NON-GENERIC
Retno Muzaijadah Arimbi
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
The high mortality cause of pulmonary Tuberkulosa, although Anti Tuberculose drug very easy to take free
from WHOs program ( DOTS ), but the late of diagnosis, no adeqwat of theraphy, resistency of TB drug and
others diseases go with TB, that cause tratment failure , beside knowledge and economic factors.
To know differentiation betwen ( INH ) generik/ paket DOTS / Kombipak dan INH Non generik.
The experimental have taken 2 samples groups , every group take the blood 3 times, there are: First take
the blood before give INH 300 mg (t0), second take the blood 1 hour after give INH 300 mg (t1), and third take
the blood 2 hours after give INH 300 mg (t2). And than measure consentration of INH in the plasma
From this study experimental, so no different plasma concentration betwen INH Kombipak / Generik
pakage and INH CIBA / Non Generik, in 1 hour or 2 hours after take per oral.
Key Words: Tuberculousa, INH generik and INH non generik, .
1.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Kematian akibat penyakit tuberkulosa paru
tetap tinggi, meskipun Obat Anti Tuberkulosa
(OAT), bisa didapat melalui program WHO,
yaitu Directly Observed Treatment Short
course Chemotherapy (DOTS), pemakaian
OAT terbukti efektif untuk sebagian besar
kasus, namun kegagalan cukup banyak kasus
yang kita jumpai walaupun terapi yang
diberikan sudah adekwat . Program DOTS
telah diadopsi oleh 119 negara dan berhasil
meningkatkan penemuan kasus baru dan
mempertahankan angka kesembuhan, tetapi
tidak dapat menghapus besarnya angka
kematian akibat penyakit tuberkulosa paru.
Berdasarkan laporan WHO tahun 2000 di
Genewa, total presentasi kematian dan
kegagalan akibat penyakit tuberkulosa paru
dengan basil tahan asam ( BTA) positif di 22
negara yang mempunyai prevelensi
tinggi
terhadap tuberkulosa adalah 3,8 % dan 1,4
%
dari yang mendapat pengobatan pada
tahun 1997, sedangkan di Indonesia adalah
1,1 % dan 1,0%.
Beberapa peneliti mengemukakan berbagai
penyebab
kegagalan,yaitu
keterlambatan
diagnose, terapi yang tidak adekwat, putus
berobat, resistensi terhadap OAT dan adanya
penyakit yang menyertai, misalnya Human
Infected of Viral ( HIV ). Dalam hal
kegagalan, akibat terapi yang tidak adekwat
dan putus berobat diduga adanya faktor
45
rendahnya kesadaran akan pentingnya
kesehatan,disamping keadaan sosial ekonomi.
Sejak tahun 1960
Pemerintah Indonesia
berupaya memenuhi kebutuhan obat dalam
negeri. Direktur Jendral Pengawasan Obat
Makanan ( Dir.Jen.POM ) mengatakan, bahwa
harga obat generik lebih murah daripada harga
obat paten, serta mempunyai nilai terapiutik
yang sama.
Pada tahun 1995 bersamaan dengan
dicanangkan nya program DOTS, maka
dikeluarkan sebuah paket Kombipak, yang
diberikan kepada penderita Tuberkulosa. Satu
paket Kombipak terdiri atas 114 blister yang
terbagi 60 blister, diberikan pada fase intensif
selama 2 bulan dan diberikan setiap hari yang
terdiri : Rifampisin 450 mg, Isoniazid 300 mg,
Pirazinzmid 500 mg ( 3 tablet), Ethambutol
250 mg (3 tablet ) . Sedangkan sisanya yakni
45 blister yang diberikan pada fase lanjutan 4
bulan dan diberikan 3 kali seminggu, yang
terdiri dari Rifampisin 450 mg dan Isoniazid
300 mg.
2.TINJAUAN PUSTAKA
Isoniazid, Isonicotinic acid Hidrazide (INH),
merupakan komponen sintesis yang ditemukan
pada tahun 1953 yang mempunyai struktur
N
C
NH
1.2. Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan kadar isoniazid
Paket Kombipak dan Isoniazid CIBA, pada
penderita Tuberkulosa paru?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbedaan kadar dalam
plasma darah vena cubiti antara Isoniazid
Paket Kombipak dan Isoniazid CIBA pada
penderita tuberkulosa paru yang mendapat
obat anti tuberkulosa (OAT).
1.4. Manfaat Penelitian
1. Untuk
menghilangkan
keraguan
masyarakat terhadap kadar Isoniazid
Paket Kombipak dalam plasma darah
vena.
2.
Menyumbangkan
wawasan
pentingnya
obat
generik
masyarakat
tentang
kepada
formula seperti di bawah ini yang mudah
diidentifikasi secara fisik, karena merupakan
bubuk kristal putih, mudah larut dalam air.
NH
2
O
Gambar.21.Struktur Formula Isonicotinic acid Hidrazide ( INH )
2.1. Kerja Obat
Menghambat kerja sintesa mycolic acid lewat
hambatan pada enzym mycolase sintetase,
yang berperan dalam pembentukan dinding sel
Mycobacyerium, sehingga sangat efektif
melawan multiplikasi yang cepat dari kuman
M. Tuberkulosa yang ada dalam kavitas lesi
paru, juga cukup efektif melawan multiplikasi
lambat kuman M. Tuberkulosa Intraseluler.
2.2. Indikasi
INH bersifat bakterisidal, sehingga dapat
membunuh 90% populasi kuman dalam
beberapa hari pengobatan. Obat ini sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang (mengadakan replikasi), MIC nya
sekitar 0,025 - 0,05 µg/ml. INH mengadakan
penetrasi kedalam dinding sel, seperti halnya
menghentikan pertumbuhan kuman dalam
media kultur.
2.3. Farmakokinetik
a. Pemberian
INH diabsorbsi dengan baik didalam GIT
setelah pemberian peroral dan distribusikan
keseluruh tubuh.Makanan ataupun antasid
akan menurunkan bioaviabilitasnya.Kadar
puncak dalam serum berhubungan dengan
dosis obat yang diberikan. Kadar puncak
dalam serum tercapai dalam waktu 1 - 2 jam
setelah pemberian peroral dan konsentrasi
efektif dijumpai 24 jam setelah obat ditelan.
Kadar puncak dalam serum setelah 1 - 2
jam pemberian adalah hampir sama untuk
semua penderita , namun kadar dalam serum
setelah pemberian INH 4 - 6 jam adalah
berbeda, hal ini tergantung pada golongan
penderita, yakni digolongkan dalam
slow
46
inactivator dalam 2 - 4 jam , sedangkan
pada rapid inactivator adalah 0,5 – 1,5 jam
b. Dosis
INH 5 mg/kg bb/hari pada orang dewasa
(dosis maksimal 300 mg/hari) diberikan
single dose. INH 10 mg/kg bb/hari (dosis
maksimal 600 mg/hari) diberikan pada
keadaan penyakit berat misalnya Tuberkulosa
meningitis atau Tuberkulosa milier. INH
diberikan sebagai terapi setiap hari selama 2
bulan dengan dosis 5 mg/kg bb/hari dalam
fase intensif yang dikombinasi dengan
Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol,
selanjutnya diberikan 3 kali seminggu dengan
dosis 10 mg/kg bb/hari selama 4 bulan dalam
fase lanjuta yang dikombinasi dengan
Rifampisin saja. Sedangkan piridoxin (10 mg
INH/hari) diberikan untuk mengatasi neuritis
perifer.
c. Distribusi
Di dalam tubuh INH terikat protein plasma 10
% didistribusikan dengan cepat dalam cairan
tubuh dan jaringan-jaringan, serta dijumpai
kadarnya
yang
cukup
dalam
fokus
caseous.Konsentrasi INH dalam cairan
cerebospinal dan CNS + 20% dibandingkan
INH dalam serum. Konsentrasi intraseluler
hampir sama dengan konsentrasi ekstraseluler.
INH
mudah melewati plasenta menuju
sirkulasi fetus dan diekskresikan dalam air
susu .
d. Metabolisme
INH dimetabolisme dalam hati dalam bentuk
tidak aktif. Inaktivasi INH terjadi dalam hati
oleh enzim N-acetyl transferase yang
mengubah isoniazid menjadi acetyl isoniazid,
yang mempunyai 2 bentuk yaitu monoacetyl
hidrazine dan Isonicotinic acid. Monoacetyl
hidrazine kemudian diasetilas menjadi diacetyl
hidrazine dan Isonicotinic acid, yang bersatu
secara langsung membentuk Isonicotinyl
glicine. Isoniazid juga bergabung secara
langsung membentuk acid labile hydrazone.
INH yang tidak diasetilasi dikeluarkan lewat
urin dalam bentuk tidak berubah atau terikat
dengan hydrazone. Berdasarkan kecepatan
rata-rata asetilasi enzim hepatik (N acetyl
transferase), maka dibuat pembagian atas dua
kelompok, yakni slow inactivator dan rapid
inactivator. Dua kelompok tersebut,dijumpai
secara genetik,yaitu pada slow inactivator
merupakan autosomal homozigote resesif,
dijumpai pada bangsa Indian Selatan,
Eropa,Negro,Cina, Eskimo dan Jepang.
Sedangkan Rapid Inactivator merupakan
heterozigot / homozigot dominan, dijumpai
pada bangsa Kaukasia, Mesir, Skandinavia dan
Amerika kulit hitam / putih. Pada kelompok
slow inactivator relatif kekurangan enzim
hepatic transferase, memerlukan dosis
pengobatan isoniazid yang lebih kecil, dengan
waktu paruh rata-rata 3+ 0,8 jam.Sedangkan
rapid inactivator relatif kelebihan enzim
hepatic transferase, memerlukan dosis lebih
besar dan mempunyai waktu paruh rata-rata
1,1 + 0,2 jam. Rata-rata kecepatan asetilasi
pada rapid
inactivator heterozigot dominan
> 5X
dibanding slow inactivator, sedangkan pada
rapid inactivator homozigot dominan > 10X
dibanding slow inactivator.
e. Ekskresi
70% INH keluar lewat ginjal dalam bentuk
tidak aktif dan sisanya dalam bentuk aktif.
Pada slow inactivator dikeluarkan sebesar >
10 X INH aktif dibandingkan rapid inactivator
setelah 6 jam INH diberikan secara peroral.
Sisa substansi inaktif yang
dikeluarkan
adalan
acetyl
Isoniazid,
Isonicotinic acid dan hydrazone isoniazid.
Pada rapid inactivator mengeluarkan + 94%
Isoniazid sebagai acetyl Isoniazid dan
metabolit yaitu
2,8% sebagai free Isoniazid dan 3,6% sebagai
Isoniazid hydrazone. Sebaliknya Slow
inactivator mengeluarkan hampir 37% Free
Isoniazid / Hydrazone conjugate dan hampir
63% sebagai acetyl Isoniazid dan monoacetyl
hydrazone.
f. Efek Samping
Peningkatan serum transaminase yang
asimptomatis dapat terjadi pada 10-20%
penderita yang mendapat terapi INH. Severe
hepatitis jarang dijumpai pada umur > 20
tahun dan insidennya meningkat dengan
bertambahnya usia, biasanya terjadi pada
bulan I dan II setelah pemakaian INH, dapat
pula terjadi multilobular necrosis. Keluhan
mual. Muntah,diare dan mulut terasa kering
sering terjadi pada penderita yang mendapat
INH 20 mg/kg bb/hari single dose atau
diminum dalam keadaan puasa.Nephrotoxic
sering terjadi pada pemberian INH yang
dikombinasi
dengan
Rifampisin
dan
Streptomisin atau terjadi pada penderita yang
hipersensitif. Efek samping pada saraf, antara
lain neuropathy perifer ( parestesia stoving
glove distribution), terjadi setelah pemakaian
INH dosis tinggi > 300 mg/hari atau > 15
mg/kg BB / 3X minggu , disamping itu
47
dijumpai pula efek shoulder arm syndroma,
optic neuritis, encephalopathy dan mental
disorders.
g. Interaksi Obat
INH absorbsinya dihambat oleh adanya
makanan
dan
aluminium
hidroksida
(antasida). INH penghambat
enzym
hepatyc transferase yang mempengaruhi
metabolisme beberapa macam obat seperti:
trizolam,barbiturat,phenitoin,
warfarin,
antipirin dan ketoconazole.Proses asetilasi
INH dapat menurun, bila diberikan bersamaan
dengan pemberian PAS, sehingga INH yang
aktif dapat dijumpai dalam jumlahyang cukup
banyak dalam plasma. Konsentrasi INH dalam
plasma
menurun,
bila
pemberiannya
bersamaan dengan pemberian prednisolon,
penurunan konsentrasi yang terjadi sebesar
25% pada slow inactivator dan 40% pada rapid
inactivator. Waktu paruh INH meningkat, bila
diberikan bersamaan dengan obat-obatan
golongan paramino salisilid acid (PAS),
procainamide dan clorpromazine, sebaliknya
waktu paruh INH menurun dengan pemberian
etanol dan obat-obatan yang meningkatkan
mikrosomal enzym activity dalam hati.
Golongan obat-obatan phenitoin, warfarin dan
carbamazepine akan meningkatkan kadar INH
dalam serum serta, memperpanjang half live
diazepam
dengan
menghambat
metabolismenya dalam hati.
2. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual
INH Oral
INH GIT
INH DARAH
Kadar Puncak INH
Plasma Jam I
Proses Enzimatik
Kadar Puncak INH
Plasma Jam II
Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual
3.2. Hipotesa Penelitian
H0: Tidak ada perbedaan kadar Isoniazid dalam plasma darah vena cubiti pada jam I
dan Jam II antara Isoniazid Paket Kombipak dan non generik.
H1: Ada perbedaan kadar Isoniazid dalam plasma darah vena cubuti pada jam I
dan Jam II antara Isoniazid Paket Kombipak dan non generik.
4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Rancang Bangun
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental pretest posttest design.
4.2. Bagan Alir penelitian
Penderita Tuberkulosa memenuhi kriteria sampling
Hari I:
Kelompok Perlakuan A
Diukur kadar Isoniasid 300 mg Paket
Kombipak dalam Plasma pada:
0 jam sebelum pemberian INH
1 jam sebelum pemberian INH
2 jam sebelum pemberian INH
Pementasan Hasil Penelitian
Hari I:
Kelompok Perlakuan B
Diukur kadar Isoniasid 300 mg Paket
CIBA dalam Plasma pada:
0 jam sebelum pemberian INH
1 jam sebelum pemberian INH
2 jam sebelum pemberian INH
Hasil analisa
Hari III
Kelompok Perlakuan B
Diukur kadar Isoniasid 300 mg Paket
CIBA dalam Plasma pada:
0 jam sebelum pemberian INH
1 jam sebelum pemberian INH
2 jam sebelum pemberian INH
Hari III:
Kelompok Perlakuan A
Diukur kadar Isoniasid 300 mg Paket
Kombipak dalam Plasma pada:
0 jam sebelum pemberian INH
1 jam sebelum pemberian INH
2 jam sebelum pemberian INH
Gambar 4.1 : Bagan Alir Penelitian
48
4.3. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah short course study
4.4. Pendekaatan Penelitian :
Pendekatan penelitian digunakan uji klinis
4.5. Tempat dan Waktu
Tempat penelitian dilakukan di ruang paru
laboratorium SMF Ilmu Penyakit Paru RSUD
Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian dilakukan
selama 1 bulan ( 1 januari 2003 s/d 3 Pebruari
2003 )
4.6. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah total sampling, yaitu
seluruh populasi yang memenuhi kriteria,
diambil seluruhnya sebagai sampel penelitian.
4.7. Cara Pengambilan Sampel
Penderita yang termasuk dalam kriteria
sampel, dibagi atas 2 kelompok berdasarkan
nomor urut ganjil dan genap. Untuk penderita
dengan nomor urut ganjil (kelompok I)
mendapat perlakuan A (INH 300 mg
Kombipak),
selanjutnya
mendapatkan
perlakuan B (INH 300 mg CIBA). Sedangkan
untuk penderita dengan nomor urut genap
(kelompok II) mendapatkan perlakuan A (INH
300 mg kombipak).
4.8. Kriteria Sampling
Penderita tuberkulosa paru yang dirawat di
Ruang Paru RSUD Dr. Soetomo Surabaya,
Usia antara 20 - 45 tahun, berat badan antara
33 - 50 kg. Dengan hasil pemeriksaan BTA
(Batang Tahan Asam) sputum positip, tidak
mengalami ganguan pencernakan dan liver,
tidak sedang dalam pengobatan dengan obatobatan yang berinteraksi dengan INH, Obat
INH diminum 2 jam sebelum makan, penderita
bersedia
ikut
dalam
penelitian
dan
menandatangani inform concernt.
4.9. Alat dan Bahan
Catatan medik penderita dan formulir
observasi. Alat pemeriksaan fisik berupa
stetoskop (merk Litzman), tensimeter (merk
Anova), timbangan
berat badan (merk
Terumo), heparin 5000 U dan darah vena
cubiti, kit pemeriksaan foto toraks (bagian
Radiologi), Spectrophotometer Ultraspec
Instructions Manual Type 4050 LKB
Biochrom, alat tulis, komputer, dan kalkulator
serta obat INH 300 mg generik dari paket
Kombipak dan obat INH 300 mg non generik
dari CIBA
4.10. Cara Pengamatan
Penderita dibagi 2 kelompok.
Penderita tuberkulosa paru dengan sputum
BTA Positif, masing-masing kelompok
diamati, antara lain :
a. Anamnesa
b. Pemeriksaan fisik ( umur (tahun),
tinggi badan (cm), berat badan (kg),
tekanan darah (mm Hg), nadi ( /mt)
c. Pemeriksaan laboratorium : darah
lengkap, kimia darah ( SGOT, SGPT,
BUN, Serum
kreatinin.
d. INH diberikan 2 jam sebelum makan
e. Pemeriksaan kadar INH dalam darah
vena cubiti sebanyak 3 kali yakni
sesaat sebelum diberi INH 300 mg
(t0), 1 jam setelah diberikan INH 300
mg (t1), dan 2 jam setelah
diberi INH 300 mg (t2). Sampel darah
diambil dari vena cubiti lengan kiri
sebanyak 6 ml dan ditambah larutan
heparin 5000 U/ml sebanyak 0,2 ml
setiap pengambilan sampel. Sampel
darah ditampung dalam tabung,
kemudian dipusingkan dan serumnya
disimpan dalam lemari es dengan suhu
-200 C sampai penentuan kadar
dilakukan.
f. Cara pengukuran kadar INH :
Penentuan kadar INH dalam serum
dilakukan
dengan
alat
Spektrofotometri Ultra Spec
Instrukction Manual Type 4050 LKB
Biochron.
Pengukuran dikerjakan
Oleh laboratorium Biofarmaseutika
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
4.11. Indentifikasi Variabel
a. Variabel bebas : Isoniazid
b. Variabel tergantung : Kadar INH dalam
plasma darah vena cubiti
c. Variabel Kendali : Umur, dana dan berat
ringannya penyakit.
4.12. Batasan Operasional
a.Penderita Tuberkulosa paru adalah
penderita yang dirawat inap dengan
hasil pemeriksaan bakteriologi sputum
positif.
b.INH kombipak, adalah INH 3000 mg,
yang diproduksi oleh perusahaan farmasi
tertentu yang telah ditujuk oleh
Pemerintah yang merupakan program
DOTS.
c.INH CIBA adalah INH 300 mg, yang
diproduksi oleh perusahaan farmasi
CIBA.
49
d.Kadar INH dalam plasma, yaitu kadar
INH yang diambil dari darah vena cubiti
dan
diukur dengan metode
Spektrofotometri dan menggunakan alat
Spektrofotometer,
Ultraspec
Intruction Manual Type 4050 LKB
Biochrom.
d.Pemeriksaan bakteriologi BTA sputum,
dilakukan dengan pengecatan Ziehl
Neelsen dan pembacaan hasil sediaan
sputum dilakukan dengan memakai skala
IUTLD, Yaitu :
1.Tidak ditemukan BTA / 100 lapangan
pandangan, disebut negatif.
2. 1 - 9 BTA / 100 lapangan pandang,
ditulis jumlah kuman yang ada.
3. >10 - 99 / 100 lapangan pandang,
disebut positif 1.
4.14. Analisa Statistik
Analisa Statistik yang dipergunakan adalah:
Uji t untuk sampel yang berpasangan Paired t Test )
4. 1 - 10 BTA / lapangan pandang,
disebut positif 2.
5. > 10 BTA / lapangan pandaqng,
disebut positif 3.
g.Penderita yang megalami gangguan
pencernaan ialah penderita dengan
gastritis ataupun diare.
h.Penderita yang mengalami gangguan faal
hati ialah penderita dengan SGOT /
SGPT meningkat > 5X harga normal
4.13. Pengolahan Data
Pengolahan dan analisa data, membanding
kan kadar INH dalam Plasma darah vena pada
jam I dan jam II.
X1= Rata – rata sampel 1
X2= Rata – rata sampel 2
S1= Simpangan baku sampel 1
S2= Simpangan baku sampel 2
S12= Varians sampel 1
S22= Varians sampel 2
R= Korelasi antara 2 sampel
5.
HASIL
PENELITIAN
DAN
PEMBAHASAN
Dengan uji t independent test , untuk uji
homogenitas karakteristik penderita antara
masing-masing kelompok, ternyata tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna terhadap
umur, berat badan, kadar Haemoglobin, kadar
serum kreatinin, BUN, kadar SGOT, SGPT,
albumin, globulin, gula puasa dan 2 jam
sesudah makan ( lihat tabel 5.1 )
50
Tabel 5.1. Perbedaan karakteristik penderita menurut umur, berat badan, kadar
haemoglobin, kadar serum kreatinin, BUN, kadar SGOT, SGPT, albumin,
globulin, gula puasa dan 2 jam sesudah makan.
Kriteria
Kel I
Rata2
/ Kel I /
St deviasi
Kel II /
Rata2
Kel II /
St deviasi
T
P*
Keterangan
Umur
30.000
12.2719
35.2727
3.4008
0.066
0.800
Tak berrmakna
43.3636
10.3177
43.4545
6.6236
0.385
0.542
Tak berrmakna
12.0909
2.2744
12.2091
2.0012
0.162
0.692
Tak berrmakna
9.0636
2.1063
9.3818
2.9264
3.196
0.089
Tak berrmakna
0,7518
0.1655
0.7509
0.2728
0.141
0.771
Tak berrmakna
30.1909
18.3161
30.4273
18.5291
0.025
0.875
Tak berrmakna
32.0818
30.5102
32.5727
27.8368
0.032
0.861
Tak berrmakna
3.5245
0.3863
3.4945
0.4724
5.220
0.099
Tak berrmakna
3.8655
0.7724
4.3100
0.8409
2.264
0.148
Tak berrmakna
9.3254
79.2727
18.4233
0.367
0.551
Tak berrmakna
8.5216
105.000
24.7265
0.005
0.945
Tak berrmakna
Berat badan
Haemoglobin
BUN
S.Creatinin
SGOT
SGPT
Albumin
Globulin
Gula Puasa
78.8182
Gula
2jam
99.7273
setelah makan
P* > 0.05 adalah tidak bermakna
Tabel 5.2. Hasil Perhitungan Statistik Sampel Berpasangan
Mean
Pair 1
Pair 2
Kadar I ( INH Gen ) 1 jam Pasca PO
Kadar I ( INH Non Gen ) 1 jam Pasca PO
Kadar I ( INH Gen ) 2 jam Pasca PO
Kadar I ( INH Gen ) 2 jam Pasca PO
Kadar isoniazid Paket Kombipak dibanding
isoniazid CIBA 1 jam setelah pemberian PO,
nampak bahwa terdapat kenaikan dan
penurunan kadar isoniazid dalam plasma yang
hampir sama, scara statistik diperoleh
perbedaan yang tidak bermakna pad keduanya
( p > 0,05 )
Kadar Isoniazid Paket Kombipak dan
Isoniazid CIBA 2 jam setelah pemberian PO,
juga nampak kenaikan dan penurunan kadar
Isoniazid dalam plasma hampir sama,
3.7136
3.7500
3.7000
3.5091
N
St.Deviasi
22
22
22
22
0.9498
0.9850
3.7000
3.5091
St.Error
Mean
0.2025
0.2100
0.2303
0.2018
secara statistik diperoleh perbedaan ini tidak
bermakna ( p > 0,05 )
Dengan uji t berpasangan terhadap kadar
isoniazid Paket Kombipak jika dibanding
isoniazid CIBA 1 jam setelah pemberian PO,
diperoleh p = 0,816 lebih besar dari tingkat
kemaknaan (p > 0,05), tidak perbedaan yang
bermakna. Kemudian dengan uji t berpasangan
terhadap kadar isoniazid Paket Kombipak jika
dibanding isoniazid CIBA 2 jam setelah
pemberian PO, diperoleh p = 0,544 lebih besar
dari tingkat kemaknaan (p > 0,05), tidak
perbedaan yang bermakna ( lihat tabel 5.3).
51
Tabel 5.3. Analisa Statistik Dengan Uji t Berpasangan
Pair diff
Mean
Std Dev
Std Error Mean
95% Confidence interval of the
diff.
Lower
Upper
T
Df
Sig
Pair 1:
Kadar INH Paket Kombipak
1 jam pasca PO
Kadar INH CIBA
1 jam pasca PO
- 3.64E-02
0.7241
0.1544
Pair 2:
Kadar INH Paket Kombipak
2 jam pasca PO
Kadar INH CIBA
2 jam pasca PO
0.1909
1.4514
0.3094
-0.3574
0.2847
-0.4526
0.8344
-0.236
21
0.816
0.617
21
0.544
Isoniazid, Isonicotinic acid hidrazide (INH),
merupakan komponen sintetis, merupakan
obat
anti
tuberkulosa
yang
bersifat
bakterisidal. INH diserap dengan baik di
dalam GIT setelah pemberian per oral dan
didistribusikan keseluruh tubuh. Makanan
ataupun
antasida
akan
menurunkan
bioavailibilitasnya. Kadar puncak dalam serum
tercapai dalam waktu 1 - 2 jam setelah
pemberian per oral dan konsentrasi efektif
bertahan sampai 14 jam.
Pada penelitian ini dipilih penderita TB paru
baru dan tenggang waktu antara pemberian
INH paket Kombipak dan INH
CIBA
lamanya 24 Jam, dengan alasan bahwa agar
tidak dijumpai kadar sisa INH dalam plasma
penderita yang dijadikan sampel penelitian.
Dosis pemakaian INH antara 5 - 10 mg/kg
berat badan/single dose. Pada penelitian ini
dipilih penderita dengan berat badan antera 35
kg s/d 50 kg, dengan pertimbangan agar dosis
yang diberikan pada penderita seragam, yakni
300 mg.
Didalam tubuh INH terikat pada protein
plasma < 10%, didistribusikan dengan cepat
dalam cair tubuh dan jaringan. INH
dimetabolisme dalam hati dalam bentuk tidak
aktif, inaktifasi INH dilakukan oleh enzym N
acetyl tranferase yang merubah INH menjadi
acetyl isoniazid (monoacetyul hidrazine dan
isonicotinic acid). Monoacetyl hidrazine
kemudian di asetilasi
menjadi diacetyl
hidrazine dan isonicotinic acid,yang bersatu
membentuk acid labili hydrazone. INH yang
tak diasetilasi, dikeluarkan lewat urine dalam
bentuk tak berubah atau terikat dengan
hydrazone.
Pada pemberian INH dosis 300 mg (5-10
mg/kg berat badan/singel dose), dijumpai
kadar INH dalam plasma sebesar 3-5 ug/ml.
Sedangkan pada dosis 800 mg/single dose,
dijumpai kadar INH dalam plasma sebesar 1015 ug/ml. Kadar puncak dalam serum setelah
1-2 jam pemberian adalah hampir sama untuk
semua penderita, namuan kadar plasma setelah
pemberian INH 4-6 jam adalah berbeda,
tergantung pada golongan penderita, yakni
slow inactivator atau rapid inactivator.
7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Dari hasil Penelitian ini tidak dijumpai adanya
perbedaan kadar INH dalam plasma antara
INH Paket Kombipak ( Indofarma ) dibanding
INH CIBA, pada jam 1 maupun jam 2 setelah
pemberian PO.
7.2. Saran
Paket Kombipak yang dikeluarkan oleh WHO
yang
dipergunakan
untuk
pengobatan
penderita TB secara Nasional, memiliki
konsentrasi obat dalam plasma yang besarnya
sama dengan obat TB yang dikeluarkan oleh
perusahaan farmasi PT. Novartis Biochemie
/CIBA (khususnya tablet INH).
52
DAFTAR PUSTAKA
Asgaard
DS,
Wilke
T,
et
al.
1995.Hepatotoxicity cauced by the
combine action of Isoniazid and
Rifampicin Thoraks.
Bennet N , Kucers A dan Kemp RJ.
1986.Isoniazid In: The use of antibiotics 4th
edition William
Heinemann Medical Books, London.
Departemen Kesehatan RI. Pengobatan
Tuberkulosis.2000.Pedoman Nasional
penanggulangan Tuberkulosis. Dep.
Kes. RI. Jakarta
Dipalma JR and Digregorio GJ.1996. Anti
infectie agent. In: basic Farmacology
in medicine, 3 rd edition, Mc graw
Hill pubishing Company.
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan.2000. Kelayakan penulisan
resep atau
penggunaan
obat
generik
di
fasilitas
kesehatan.
Informatorium
obat
generik.
Direktorat Jendral Pengawasan Obat
dan Makanan Dep kes RI.Jakarta.
Grollman A and Ghrollman EF.1970.
Chemotherapy in: pharmacology and
therapiutics. 7 th editon, Lea and
Febiger Philadelphia.
Israel HL,Gottier JE et al.1992.Perspective
isoniazid therapy and the liver. Chest.
Jawets E. 1978.A Antimikrobial agents: drugs
used in TB, MAC and Leprosy. The Lange
Medical book.
Kimerling ME, Philips P. Patterson P. Et
al.1998. Low serum antimycobacterial
drug level in on HIV
infekted
tuberkulosa patiens.
Leven Bewger P, Meyer H, et al. 1992. Drug
use in tuberculosis and leprosy. In:
Meyers side effects of drug 12th
edition elsevier Amsterdam, London,
New York, Tokyo.
Liorens J, Serrano RJ and Sanchez R. 1978.
Pharmakodynamic
Interference
between Rifampicin
and Isoniazid.
Chemotherapy.
Mandell Gc and Petri WA Jr.1996.
Antimicrobial agent. Goodman and
Gilman s. In: the Pharmakological
basic of therapeutics. 9 th edition . MC
graw Hill Company, new York.
Morehead RS.2000. Delayed death from
pulmonary tuberculosis. Unsuspected
subtherapeutic drug levels. South Med
J
Mouton RP, Mattie N, et al. 1979.Blood levels
of Rifampicin, Deacetiyl Rifampicin and
Isoniazid during
combined therphy. J. Antimicrobial
Chemotherapy
Nisar M, Watkin SW, et al. 1990.Exacerbation
of Isoniazid inducd peripheral Neuropathy by
pyridoxine.
Obat generik. Buletin Penelitian
Kesehatan, Dep. Kes. RI.2000. Badan
penelitian
dan
Pengembangan
kesehatan , Jakarta
Siswandoyo and Soekarjo B.1995. Obat anti
infeksi. Dalam: kimia Medisinal .
Edisi 1, Airlangga Universitas
Press,Surabaya
Sorrenso Dj, Mehta , et al.1982.
Underutilization
of
Isoniazid
chemoprophilaksis
in tuberkulosa
Contact. In:basic
and clinical
Pharmacology 2ed. Ed. Bectram G.
Katzung.
WHO: Global Tuberkulosis control. 2000.
WHO report.Geneva
53
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
t1
5.10
4.00
2.00
2.90
4.80
5.10
4.90
2.80
4.80
5.40
3.70
3.10
3.20
4.30
3.10
3.30
3.80
3.20
3.20
3.50
2.70
2.80
Lekosit
10.50
22.40
9.90
6.60
5.00
7.70
6.90
7.80
5.80
12.00
4.70
7.80
8.80
12.80
10.90
10.80
13.70
7.50
8.70
6.60
9.70
7.20
t2
4.80
3.60
2.80
2.60
4.40
4.00
5.50
4.20
6.50
5.10
3.20
3.00
3.80
3.20
3.50
3.50
3.00
3.00
2.90
3.40
3.00
3.50
t11
4.80
6.20
5.20
4.90
4.40
3.80
5.30
2.60
2.50
2.50
5.10
2.80
3.10
3.20
3.10
3.20
3.30
3.20
3.00
2.80
3.20
3.20
Trombosit
370.00
360.00
501.00
350.00
620.00
500.00
303.00
375.00
300.00
235.00
291.00
442.00
306.00
572.00
410.00
472.00
411.00
438.00
234.00
270.00
255.00
364.00
BUN
7.50
12.00
9.00
6.70
8.60
10.00
6.50
10.50
8.00
13.00
7.90
13.00
11.00
12.00
9.00
8.00
5.00
7.00
6.00
12.00
7.20
13.00
t22
5.20
3.80
3.70
2.90
4.40
2.90
2.90
5.20
3.80
6.20
3.30
2.70
3.00
3.20
2.80
3.40
3.30
2.50
2.80
3.20
3.00
3.00
Sex
1.00
2.00
2.00
1.00
1.00
1.00
1.00
2.00
1.00
2.00
2.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
2.00
1.00
1.00
2.00
S.creat
0.98
0.69
0.43
0.80
0.93
0.94
0.73
0.74
0.70
0.78
0.55
0.92
0.78
0.80
0.80
0.92
0.75
0.01
0.71
0.75
1.11
0.71
Umur
45.00
30.00
42.00
36.00
20.00
40.00
26.00
35.00
25.00
35.00
32.00
45.00
35.00
45.00
36.00
25.00
40.00
26.00
32.00
25.00
32.00
22.00
SGOT
17.00
48.00
17.00
14.50
29.40
25.00
40.90
14.70
15..00
37.00
17.90
17.00
20.00
45.00
17.00
15.00
20.00
21.00
20.00
64.00
22.70
64.00
SGPT
16.40
15.00
25.00
21.00
30.30
8.00
40.30
23.30
15.00
48.00
10.60
21.00
12.00
38.00
9.00
6.00
40.00
16.00
21.00
83.00
86.00
26.30
TB
163.00
150.00
155.00
160.00
152.00
160.00
165.00
146.00
169.00
148.00
130.00
167.00
165.00
150.00
165.00
155.00
155.00
165.00
156.00
170.00
159.00
150.00
BSN
66.00
90.00
80.00
95.00
80.00
75.00
67.00
75.00
88.00
80.00
71.00
96.00
65.00
90.00
38.00
85.00
86.00
67.00
90.00
65.00
90.00
90.00
BB
45.00
42.00
48.00
45.00
48.00
45.00
47.00
38.00
64.00
35.00
33.00
50.00
43.00
47.00
37.00
35.00
36.00
45.00
54.00
45.00
50.00
36.00
HB
12.40
12.30
12.20
11.30
10.60
14.20
12.50
12.70
16.10
10.00
15.10
15.30
11.10
11.10
10.40
13.80
13.80
14.80
12.00
12.00
13.30
11.20
2JPP
90.00
100.00
90.00
100.00
95.00
120.00
100.00
99.00
98.00
109.00
96.00
101.00
100.00
161.00
100.00
125.00
656.00
101.00
99.00
102.00
100.00
110.00
Albumin
3.54
3.10
3.29
3.52
3.69
4.20
3.13
3.20
4.20
3.30
3.60
3.70
3.70
3.20
2.80
2.80
3.50
4.20
3.20
3.54
4.20
3.60
Paired Samples Statistik
Pair
Generik jam II
1 Non Generik Jam II
Mean
N
St.Deviation
3.7000
3.5091
22
22
1.0801
0.9466
St.Error
Mean
0.2303
0.2018
Paired Samples Correlation
Pair
1
Generik jam II
Non Generik Jam II
N
Correlation
Sig
22
-.021
.925
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence Interval
Of The Difference
Std.Deviation
Std.Deviation
Std. Error
54
Pair
1
Generik jam II
Non Generik Jam II
.1909
Mean
Mean
1.4514
.3094
-.4526
.8344
Paired Samples Test
Pair
1
Generik jam II
Non Generik Jam II
t
df
Sig.( 2 – tailed )
.617
21
.544
Paired Samples Statistik
Pair
Generik jam II
1 Non Generik Jam II
Mean
N
St.Deviation
3.7136
3.7500
22
22
.9498
.9850
St.Error
Mean
0.2025
0.2100
Paired Samples Correlation
Pair
1
Generik jam II
Non Generik Jam II
N
Correlation
Sig
22
.720
.000
Paired Samples test
Paired Differences
95% Confidence Interval
Of The Difference
Std.Deviation
Pair
1
Generik jam II
Non Generik Jam II
-3.64E-02
Std.Deviation
Mean
Std. Error
Mean
.7241
.1544
-.3574
.2847
Paired Samples test
Pair
1
Generik jam II
Non Generik Jam II
t
df
Sig.( 2 – tailed )
-.236
21
.816
55
LEGIONELLA
Indah Widyaningsih
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
lLegionela merupakan penyakit lingkungan yang ditularkan melalui udara. Legionella
Penyakit Legionella adalah pertama kali ditemukan karena adanya kejadian luar biasa pada 27 Juli 1976
di Beellevue Stratford Hotel Philadelphia, Pennsylvania, dimana para purnawirawan tentara Amerika ( legion )
sedang mengadakan pertemuan di hotel tersebut. Setelah dua hari pertemuan tiba – tiba kurang lebih 221
purnawirawan ( Legion ) mengalami gejala sakit yang mirip pneumonia lalu mereka mendapatka pengobatan
tetapi 34 orang meninggal dunia, setelah diteliti dan diperiksa dari sample para legion tersebut pada januari 1997
ditemukan adanya bakteri pada pembiakkan sample tersebut yaitu Legionella pneumophila. Itulah sebabnya
penyakit ini dinamakan Legioenella disease.(1)
Keywords: Legionella, bakteri aerob,nonspora, berbentuk batang,gram negatif
LEGIONELLA
Indah Widyaningsih
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
lLegionela an environmental disease that is transmitted through the air. Legionella
Legionella disease was first discovered because of the outbreak on July 27, 1976 at Beellevue Stratford Hotel,
Philadelphia, Pennsylvania, where the retired American soldiers (legion) are holding a meeting at the hotel.
After two days of meetings arrive - arriving approximately 221 retirees (Legion) experience symptoms similar
to pneumonia and then they mendapatka treatment but 34 people died, having researched and examined from a
sample of the legion was in January 1997 found the bacteria in these samples are breeding Legionella
pneumophila. That is why the disease is called Legioenella disease. (1)
Keywords: Legionella, aerobic bacteria, nonspora, rod-shaped, gram-negative
PENDAHULUAN
Penyakit Legionella adalah pertama kali
ditemukan karena adanya kejadian luar biasa
pada 27 Juli 1976 di Beellevue Stratford Hotel
Philadelphia, Pennsylvania, dimana para
purnawirawan tentara Amerika ( legion )
sedang mengadakan pertemuan di hotel
tersebut. Setelah dua hari pertemuan tiba –
tiba kurang lebih 221 purnawirawan ( Legion )
mengalami gejala sakit yang mirip pneumonia
lalu mereka mendapatka pengobatan tetapi 34
orang meninggal dunia, setelah diteliti dan
diperiksa dari sample para legion tersebut pada
januari 1997 ditemukan adanya bakteri pada
pembiakkan sample tersebut yaitu Legionella
pneumophila. Itulah sebabnya penyakit ini
dinamakan Legioenella disease.(1)
Legionella adalah nama dari bakteri
yang mempunyai sifat dan cirri yaitu,
merupakan bakteri aerobik, non spora,
berbentuk batang, gram negative, dan
mempunyai ukuran panjang 2 – 20 µ dengan
garis tengah 0,5 – 0,7 µ. Legionella sudah
diidentifikasi mempunyai kurang lebih 39
spesies dan dapat menyebabkan penyakit pada
manusia. (1)
Legionellosis adalah kumpulan dari
gejala klinis yang disebabkab ole kuman
Legionella. Penyakit legionella dan Pontiac
fever adalah bentuk legionellosis yang sering
terjadi. Penyakit legionella mempunyai gejala
klinis yang lebih berat dari Pontiac fever.
Legionella
merupakan
penakit
yang
disebabkan
oleh
lingkungan
dimana
penularannya dari sumber air atau tanah yang
tercemar oleh bakteri ini. Penularannya bukan
dari manusia ke manusia. (1,2)
Penyakit Legionella jumlanya kurang
lebih 5 – 15 % dari semua penderita
pneumonia yang ada di masyarakat. Tanpa
pemberian antibiotik yang tepat penyakit
legionella ini akan menjadi berat dan akan
menimbulkan komplikasi yang serius bahkan
bisa mengakibatkan kematian.
Penyakit
legionella ini mempunyai gejala klinis mirip
56
dengan penuomonia yang diakibatkan oleh
kuman pneumonia yang lain dan diagnosis
tidak dapat ditegakkan tanpa adanya
pemeriksaan diagnostik yang khusus. Banyak
antibiotik yang digunakan untuk pengobatan
pada infeksi pneumonia yang terjadi pada
masyarakat, tetapi hanya antibiotik tertentu
yang dapat digunakan untuk pengobatan pada
penyakit Legionella ini. (2)
Penyakit legionella adalah infeksi
bakteri akut pad saluran pernafasan bawah
yang
disebabkan
oleh
Legionella
pneumophila. Penyakit ini berbahaya dan
dapat mengakibatkan kematian 15 – 20%.
Penyakit
Legionella
merupakan
penyakit nomer 3 di Amerika. Dilaporkan 15
– 30% paseien yang masuk ke unit gawat
darurat dengan gejala seperti pneumonia
ternyata menderita Legionellosis ( ).
Legionella juga bisa disebabkan karena infeksi
nasoklonia. Banyak kasus Legioenlla tidak
dapat didiagnosis disebabkan oleh karena
gejala klinisnya mirip dengan pneumonia (1, )
Kelompok populasi yang merupakan
resiko terbesar untuk mendapat infeksi
penyakit Legionella ini antara lain : mereka
yang mendapat terapi imunosupresif pada
pasien – pasien yang alami transpalantasi sum
– sum tulang, transplantasi organ, pasien
dengan
keganasan
dimana
mereka
mendapatkan kemoterapi, penderita yang
meminum kortikosteroid ( >20mg/hari ).
Peningkatan resiko juga didapatkan pada usia
> 65 tahun, perokok, mereka yang menderita
penyakit paru menular kronis atau menderita
penyakit jantung kongesti. Pada anak – anak
jarang ditemukan penyaki Legionella ini. (1,2)
70 % dari kasus legionelosis ini merupakan 15
serogroup. Legionella pneumophila termasuk
serotype 1 ( Lp-1). (1,2,3)
Legionelosis adalah kumpulan dari
gambaran penyakit yang disebabkan oleh
bakteri pathogen Legionalla.
Penyakit
legionella dan Pontiac fever adalah tipe yang
sering menyebabkan legionelosis, penyakit
legionella lebih beratdibanding Pontiac fever.
Penyakit Legionella tidak ditularkan dari
manusia ke manusia, kuman ini masuk
kedalam tubuh manusia melalui sumber –
sumber air seperti tower pendingin udara, serta
sumber – sumber air yang tercemar oleh
legionella. Legionella dapat masuk kedalam
tubuh manusia dengan cara menghirup udara
yang tercemar. Semua orang bisa terkena
penyakit ini tetapi terutama usia pertengahan
dan yang terbanyak adalah usia yang lebih tua,
perokok, penderita penyakit jantung kongestif,
mereka
yang
mendapat
terapi
iminokompromise.
Faktor kerentanan dari penderita juga
merupakan salah satu resiko untuk tertular
Legionella. Infeksi Legionella dapat sporadik
atau epidemik, bisa terjadi pada masyarakat
ataupun oleh karena infeksi nosoklonial.
Biasanya terjadi pada musim panas atau awal
musim gugur. (3)
II. 2. TAKSONOMI, ETIOLOGI DAN
KLASIFIKASI
TINJAUAN PUSTAKA
II. 2. 1. TAKSONOMI (4)
Kingdom : Bakteri
Phylum : Proteobakteria
Class
: Gamma Proteobacteria
Order
: Legionellales
Family : Legionellaceae
Genus
: Legionella
Species
: Legionella pneumophila (
L.pneumophila )
II. 1. EPIDEMIOLOGI
II. 2. 2. ETIOLOGI
Penyakit legionella adalah pemyakit
infeksi bakteri akut yang menyerang saluran
pernafasan bawah akut. Penyakit Legionella
ini menyerang sistem pernafasan secara umum
dan rata – rata angka kematiannya kurang
lebih 15 – 20 % (2).
Legionella pneumophila adalah salah
satu spesies dari Legionella dan 90 %
menyebabkan kasus legionelosis. Kurang lebih
Penyakit Legionella disebabkan oleh
Legionella pneumophila dimana bakteri ini
merupakan bakteri aerob, serta merupakan
organisme uniseluler, bakteri berbentuk
batang, bakteri gram negative mempunyai
ukuran panjang 2 – 20 µm lebar 0,5 – 0,7 µm,
bergerak
dengan
flagella
untuk
perkembangbiakkan harus dengan media
khusus
57
gambar L.pneumophila ( ditunjuk tanda panah )
( diambil dari Medmicro Chapter 40 )
genus yang ditemukan sekarang ini adalah 39
II. 2. 3. KLASIFIKASI
spesies
berdasarkan
studi
DNAnya.
Karakteristik molekuler yang didapat
L.pneumophila adalah legonella pertama yang
dari darah penderita legionella Pensylvania,
ditemukan dan mempunyai 14 serotipe.(4 )
58
II. 3 PATOGENESIS
Patogenesis dari infeksi Legionella
dimulai dari penyediaan air yang mengandung
bakteri yang dapat menginfeksi manusia.
Infeksi legionella terbanyak melalui dua cara
yaitu : ( 7 )
1. Inhalasi : aerosol, semprotan air,
kabut atau bentukan halus dari air
yang terhirup langsung.
2. Aspirasi ( tersedak ) : melalui
makanan atau terminum atau tersedak
dengan air yang terkontaminasi
dengan Legionella.
Sumber bakteri Legionella bisa berasal
dari alam atau buatan manusia. Dari alam
seperti : danau, sungai, lumpur, uap panas
serta tanah. Seadngkan yang berasal dari
buatan manusia : menara pendingin, keran air
panas atau dingin, tangki pemanas air, spa,
shower, sauna, whirpool, industri system
pendingin, air terjun buatan dan lain – lain.
Bakteri legionella dapat bertahan dan
tumbuh pada suhu 25 - 42ºC. Legionella akan
mati pada suhu 55ºC dalam 1 jam. (2,5)
Infeksi dimulai pada saluran pernafasan
bawah yaitu makrofag alveolar dimana ini
merupakan pertahanan tubuh pertama jika
tubuh terinfeksi oleh bakteri pada paru – paru.
Bakteri akan diikat pada makrofag melalui
reseptor komplemen dan kemudian ditelan
oleh fagosom. Jika bakteri tidak mati maka
bakteri akan mengalami multiplikasi dan sel
akan mati lalu menginfeki sel sehat yang lain.
( 2,5,7)
Legionella terdapat pada permukaan air
atau tempat – tempat air yang sudah
terkontamisi oleh L. pneumonia dapat masuk
kedalam tubuh manusia melalui udara yang
dihirup. Tempat – tempat yang dapat menjadi
sumber dari kontaminasi adalah sistem
pendingin udara
yang terkontaminasi,
pancuran air untuk mandi atau dari sumber air
yang lain.
Udara yang mengandung uap air yang
sudah terkontaminasi oleh legionella masuk
kedalam tubuh manusia melalui inhalasi dan
menetap di makrofag alveolar. Sel fagosit
akan membunuh atau menghambat dari
pertumbuhan dari L.pneumophila di paru –
paru.
gambar patogenesis Legionelosis
( diambil dari Medmicro 40 )
59
-
II. 4 GEJALA KLINIS
Gejala klinis dibagi dua yaitu :
Pontiac fever : (1,3,7,9)
- gejala klinis mirip dengan influenza
- Masa inkubasi 24 – 48 jam
- Demam, sakit kepala
- Akan sembuh sendiri dalam 2 – 5
hari
Penyakit Legionella :
- Gejala klinis seperti pneumonia
- Masa inkubasi 2 – 10 hari
- Demam, sakit kepala, anorexia,
myalgia
Kematian
Sulit untuk mendiagnosis Legionella dari
gejala klinis dan fototoraks karena gejala
klinis dan foto rontgennya mirip dengan
pneumonia.
Oleh karenanya harus ditegakkan melaui
pemeriksaan laboratorium yang khusus.
Infeksi legionella yang disebabkan oleh
L.pneumophila bias juga menyebabkan
Pontiac fever dumana gejala lebih ringan dan
lebih cepat sembuh.
Clinical Manifestation Legionella disease
sumber dari medmicro
II. 5 DIAGNOSIS
Karena gejala klinis dan rontgen paru
mempunyai gejala klinis yang mirip dengan
pneumonia, maka diperlukan pemeriksaan
laboratorium yang khusus.
Metode laboratorium untuk menegakkan
diagnosis dari Legionella : ( 10,11 )
1. Kultur, terdapat pertumbuhan bakteri
dari sample antara lain sputum pada
media Buffered Charcoal Yeast
Extract agar ( BCYE ), BCYE/PVA (
terdiri polimixin B, vancomisin,
anisomisin ), BCYE/PAC ( terdiri
polimixin B, anisomisin, cefamandol )
lalu diinkubasi pada suhu 35 - 37º C .
Sensitivitas 80%, spesitivitas 100%
waktu yang dibutuhkan 3 – 5 hari.
2. Direct Fluorescent Antibody (DFA)
dari sputum atau cairan tubuh yang
lain. Sensitivitas 33 – 70%,
spesitivitas 95 - 100% waktu yang
dibutuhkan dalam beberapa jam
3. Urinari Antigen Test, untuk deteksi
antigen
Legionella
pada
urin.
Sensitivitas 80%, spesitivitas 95%.
Waktu yang dibutuhkan beberapa jam.
4. Tes Serologis, sample dari darah.
Sensitivitas 40 – 60%, spesitivitas 95
– 100%. Waktu yang dibutuhkan 2 –
8 minggu.
60
II. 6 PENATALAKSANAAN ( 12 )
1. Golongan quinolone ( levofloksasin,
moxiflokacin, gemifloksasin )
2. Golongan macrolide ( azitromisin,
clarithromiscin, roxithromicin
3. Rifampisisn juga dapat digunakan
sebagai kombinsai dengan quinolone /
macrolide
4. Antibiotik lain yang bekerja secara
intraseluler
(
eritromisin
dan
tetrasiklin )
II.7 PENCEGAHAN DAN PENGAWASAN
( 4, 5, 11 )
Penyakit legionella merupakan interaksi
dari kuman Legionella, lingkungan dan
penjamu ( host ). Kejadian dari penyakit
legionella ini dapat dikontrol melalui beberapa
cara.
Bakteri Legionella dapat ditemukan
dimana saja seperti hotel, rumah tangga,
kantor, sekolahan, tempat – tempat umum dan
fasilitas pelayanan kesehatan
Legionella dapat tumbuh dan berkembang
pada keadaan – keadaan sebagai berikut :
1. Air yang menggenang dan tidak
mengalir
2. Suhu air antara 20 – 50 ºC, bakteri
akan tumbuh optimal pada suhu 35 45ºC.
3. PH air 5,0 – 8,5
4. Endapan, biofilm dapat menjadi media
tempat
berkembangnya
bakteri
Legionella
5. Ganggang, bakteri dapat memberi
makanan yang penting terhadap
perkembangan Legionella
6. Protozoa dapat bersimbiaosis dengan
Legionella sehingga bakteri ini dapat
tumbuh dan berkembang
Jenis – jenis air yang dapat menjadi tempat
hidupnyaLegionella :
1. Sistem peyediaan air panas di rumah –
rumah
2. Menara pendingin air
3. Whirpool dan spa
4. Air terjun buatan
5. Pendingin udara
6. Peralatan dokter gigi
7. Peralatan respirasi
Faktor host yang terkait adalah tidak semua
orang yang menghirup air / uap air yang
mengandung legionella bisa menderita
penyakit Legionella, tetapi berhubungan
dengan
faktor kerentanan dari hostnya sendiri. Ukuran
Legionella yang kecil < 5 mikron yang
menyebabkan bakteri ini dapat masuk
kebagian yang terdalam dari paru – paru.
Faktor – faktor lain yang meningkatkan
resiko manusia menderita penyakit Legionella:
1. Usia lebih dari 50 tahun
2. Penderita penyakit paru menahun
3. Orang yang menerima donor
4. Pada orang yang tinggal pada daerah
yang terinfeksi
Ada beberapa metode yang dapat digunakan
untuk mendisinfektan sistem air yang akan di
gunakan yaitu : ( 4,5,11 )
1. Panaskan dan di bilas. Metode ini
adalah yaitu meningkatkan suhu pada
tangki lebih dari 60ºC, dan kemudian
air tersebut di bilas ( digrojok ) sampai
30 menit.
Metode ini bersifat
sementara, membutuhkan biaya yang
tinggi dan kurang efektif
2. Chlorinisasi.
Chlorin ditambahkan
kedalam tangki 20 – mg/l dan
kemudian dibilas. Dengan chlotin
dapat mengakibatkan pipa menjadi
cepat korosif dan kadar yang tinggi
dalam air menyebabkan air tidak bisa
diminum.
3. Radiasi Ultra Violet. Sinar UV yang
digunakan
mempunyai
panjang
gelombang 250 – 280 nm. Lampu UV
ini di pasang dimana air mengalir.
Keuntungan dengan UV adalah tidak
menyebabkan zat – zat sisa. Biaya
yang dibutuhkan mahal.
4. Ozonisasi.
Dosis ozon yang
dibutuhkan adalah 1 – ppm. Karena
ozon merupakan oksidasi yang kuat
maka sangat baik untuk membunuh
bakteri, tetapi mudah merusak pipa
dan waktu paruhnya pendek.
5. Ionisasi tembaga – silver. Kombinasi
dari dua macam logam ini sangat
efektif sebagai antimikroba.
6. Chlorine dioxide. Efektif untuk dosis
legionella kurang dari 0,2 mg/l
61
Ada beberapa rekomendasi yang praktis untuk
dikerjakan antara lain :
1. Hindari air tidak mengalir atau
berjalan lambat
2. Periksa secara rutin tangki air panas
3. Simpan air panas dalam suhu > 60ºC
dan alirkan ke keran – keran dengan
suhu tidak kurang dari 50ºC.
4. Simpan air dingin dan salurkan pada
suhu kurang dari 20ºC. Jika tidak
memungkinkan periksa sample air
secara rutin
5. Lakukan perawatan rutin pada air
untuk diminum
KESIMPULAN
Penyakit legionella bukan merupakan
penyakit baru, dikenal pertama kali pada saat
para veteran perang sedang mengadakan
pertemuan di Philadelphia pada tahun 1976
dan secara mendadak banyak yang menderita
sakit mirip dengan pneumonia. Setelah di
periksa lebih lanjut maka ditemukan bakteri
Legionella pneumophila pada tahun 1977.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
and species causing human illness. J.
Infect. Dis. 1984; 149 – 154
Wikipedia. Legionella pneumophila.
7/12/2007
Breiman, RF and Butler. Legionnaires
disease : Clinical epidemiology of
Legionella. 1998. 7/12/2007
Wikipedia,
free
encyclopedia.
Legionellosis. 7/12/2007
Waashington C. Winn, jr. Legionella.
Medmicro chapter 40. 7/12/2007
Moselio Schaeter, PhD. Legionella :
parasite of Cells.
Mechanism of
Disease. William and Wilkins Tokyo.
First edition. 1993.
Soedarto. Sinopsis kedokteran tropis.
Airlangga University press. Cetakan
I. 2007.
Stoutt, JE Laboratory diagnosis of
legionnaires disease. Clin Microbiol.
2000. ; 22: 62 – 64
Arnow, pm., Chou, T. Nosoklonial
legionnaires disease. Appl. Eviron.
Microbiol. 1985;49:221 - 228
Bakteri Legionella ini menular dari
lingkungan ( air ) yang telah tercemar oleh
bakteri tersebut.
Penularan bukan dari
manusia ke manusia. Bakteri ini menempati
makrofag alveolus dan berkembang di sana.
Orang yang mempunyai resiko tinggi dapat
menderita penyakit Legionella antara lain usia,
penderita penyakit paru yang menahun,
penderita yang menjalani transplantasi organ
serta kerentanan dari penderita juga termasuk
didalamnya.
Faktor – faktor yang mendukung air
dapat tercemar Legionella adalah kondisi air
yang menggenang atau tidak lancar
(mengalir), suhu optimum berkembangnya
bakteri ini adalah 35 – 45ºC.
DAFTAR PUSTAKA
1. Association of Water Technologies.
An Update and AWT Stetement. 2003.
7/10/2007
2. Robert L.
Ehrilch, jr.
Report
Maryland Scientific Working Group
Study Legionella in Water System in
Healthcare. June 14, 2000. 7/12/2007
3. Reingold AL., Thomason BM.
Legionella pneumonia in United
States : the distribution of serogroups
62
HUBUNGAN KASUS DIARE DENGAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI DAN
PERILAKU
Atik Sri Wulandari
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, karena masih tingginya angka
kesakitan dan kematian. Dalam upaya menurunkan angka kematian dan kesakitan akibat diare perlu diketahui
faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian diare. Dari beberapa penelitia yang pernah dilakukan terutama
dinegara berkembang ternyata banyak faktor yang secara langsung dan tidak langsung dapat mendorong
terjadinya diare, faktor-faktor tersebut antara lain adalah keadaan gizi, kependudukan, lingkungan dan perilaku.
Faktor yang diduga sangat berkaitan erat dengan kejadian diare adalah faktor tersedianya air bersih baik dari
segi kualitas maupun kuantitas, pembuangan tinja dan air limbah, perilaku, hygiene perorangan, dan
kependudukan.Penyebab utama adanya kejadian diare berkaitan dengan pola hidup sehat yang ada dalam
kegidupan sehari-hari .
DIARRHEA CASE RELATIONSHIP WITH SOCIOECONOMIC FACTORS AND
BEHAVIOR
Atik Sri Wulandari
Department of Public Health
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
Diarrhea is still one major public health problem, because the high morbidity and mortality. In an effort to
reduce mortality and morbidity due to diarrhea need to know the factors associated with occurrence of diarrhea.
Of the few empirically ever undertaken mainly in developing countries there are many factors that directly and
indirectly to encourage the incidence of diarrhea, these factors include the state of nutrition, population,
environment and behavior. The factors that allegedly are intimately associated with the incidence of diarrhea is a
factor the availability of clean water both in quality and quantity, sewage treatment and waste water, behavior,
personal hygiene, and major kependudukan.Penyebab the incidence of diarrhea associated with a healthy
lifestyle that exists in daily kegidupan to-day.
I.
PERMASALAHAN
Di negara berkembang kebanyakan
kematian Balita disebabkan oleh lima hal,
atau kombinasi dari beberapa macam
penyakit, diantaranya : Pnumonia, diare,
campak, malaria dan malnutrisi.
Di
seluruh dunia 3 dari 4 anak yang pergi ke
sentral pengobatan penderita setidaknya
satu dari kondisi di atas. Banyak dari
kematian ini dapat dicegah dengan
manajemen kesehatan yang lebih baik
(WHO, 1997). Diare adalah penyebab
utama kesakitan dan kematian pada anak
dengan perkiraan 1,3 milyar dan 3,2
kematian tiap tahun pada balita.
Di Indonesia penyakit diare
merupakan salah satu penyakit yang
mendapatkan
prioritas
program
pemberantasan karena tingginya angka
kesakitan dan menimbulkan banyak
kematian terutama pada bayi dan balita.
Dalam upaya menurunkan angka kematian
dan kesakitan akibat diare perlu diketahui
faktor-faktor
yang
berkaitandengan
kejadian diare. Banyak factor yang secara
langsung dan tidak langsung dapat
mendorong terjadinya diare, faktor-faktor
tersebut antara lain adalah keadaan gizi,
kependudukan, lingkungan dan perilaku.
Faktor yang diduga sangat berkaitan erat
dengan kejadian diare adalah faktor
tersedianya air bersih baik dari segi
kualitas maupun kuantitas, pembuangan
tinja dan air limbah, perilaku, hygiene
perorangan, dan kependudukan. 1
Penyebab utama kematian karena
diare adalah dehidrasi sebagai akibat
kehilangan cairan dan elektrolit melalui
tinja. Berbagai faktor
mempengaruhi
kejadian diare, diantaranya adalah faktor
lingkungan,
gizi,
kependudukan,
pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan
perilaku masyarakat. 11
63
Penyakit
diare
di
Indonesia
merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama, hal ini disebabkan
karena masih tingginya angka kesakitan
diare yang menimbulkan banyak kematian
terutama pada balita. Angka kesakitan
diare di Indonesia dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Angka kesakitan
diare pada tahun 2006 yaitu 423 per 1000
penduduk, denganjumlah kasus 10.980
penderita dengan jumlah kematian 277
(CFR 2,52%). DiIndonesia dilaporkan
terdapat 1,6 sampai 2 kejadian diare per
tahun
pada
balita,sehingga
secara
keseluruhan diperkirakan kejadian diare
pada balita berkisar antara 40 juta setahun
dengan kematian sebanyak 200.000400.000 balita. Pada survei tahun 2000
yang dilakukan oleh Ditjen P2MPL
Depkes di 10 provinsi, didapatkan hasil
bahwa dari 18.000 rumah tangga yang
disurvei diambil sampel sebanyak 13.440
balita, dan kejadian diare pada balita yaitu
1,3 episode kejadian diare pertahun 8
Diare merupakan suatu sebutan untuk
buang air besar yang konsistensinya cair,
baik berampas sedikit maupun banyak
yang terjadi lebih dari tiga kali dalam 24
jam. Diare masih merupakan salah satu
penyebab utama morbilitas dan mortalitas
anak di negara yang sedang berkembang.
Sebagian besar diare akut disebabkan oleh
infeksi. Banyak dampak yang terjadi
karena infeksi seluran cerna antara lain
pengeluaran
toksin
yang
dapat
menimbulkan gangguan sekresi dan
reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan
akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan
elektrolit dan keseimbangan asam basa.1
PEMBAHASAN
Diare adalah buang air besar
(defekasi) dengan tinja berbentuk cair
atau setengah cair (setengah padat),
kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24
jam. Definisi lain memakai kriteria
frekuensi, yaitu buang air besar encer
lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar
encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir
dan darah.6,9
Diare diartikan sebagai buang air
besar yang tidak normal atau bentuk
tinja yang encer dan frekuensinya lebih
banyak dari biasanya. Neonatus
dinyatakan diare bila frekuensi buang air
besar sudah lebih dari 4 kali. Sedangkan
untuk bayi berumur lebih dari satu bulan
dan anak dikatakan diare bila
frekuensinya lebih dari 3 kali. 11
Berbagai faktor mempengaruhi
kejadian diare, diantaranya adalah faktor
lingkungan,
gizi,
kependudukan,
pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan
perilaku
masyarakat.Faktor
Pendidikan,menurut
penelitian,
ditemukan bahwa kelompok ibu dengan
status pendidikan SLTP ke atas
mempunyai kemungkinan 1,25 kali
memberikan cairan rehidrasi oral dengan
baik pada balita dibanding dengan
kelompok ibu dengan status pendidikan
SD ke bawah. Diketahui juga bahwa
pendidikan merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap morbiditas anak
balita.
Semakin
tinggi
tingkat
pendidikan orang tua, semakin baik
tingkat kesehatan yang diperoleh si
anak.
Faktor
Pekerjaan
Ayah dan ibu yang bekerja Pegawai
negeri atau Swasta rata-rata mempunyai
pendidikan
yang
lebih
tinggi
dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja
sebagai buruh atau petani.5 Jenis
pekerjaan umumnya berkaitan dengan
tingkat pendidikan dan pendapatan.
Tetapi ibu yang bekerja harus
membiarkan anaknya diasuh oleh orang
lain, sehingga mempunyai resiko lebih
besar untuk terpapar dengan penyakit.
Faktor Umur Balita,sebagian besar diare
terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun.
Balita yang berumur 12-24 bulan
mempunyai resiko terjadi diare 2,23 kali
dibanding anak umur 25-59 bulan.Faktor
Lingkungan Penyakit diare merupakan
salah satu penyakit yang berbasis
lingkungan.
Dua faktor yang dominan, yaitu:
sarana air bersih dan pembuangan tinja.
Kedua faktor ini akan berinteraksi
bersama dengan perilaku manbusia.
Apabila faktor lingkungan tidak sehat
karena tercemar kuman diare serta
berakumulasi dengan perilaku manusia
yang tidak sehat pula, yaitu melalui
makanan dan minuman, maka dapat
menimbulkan
kejadian
penyakit
diare.Faktor
Gizi
Diare menyebabkan gizi kurang dan
64
memperberat diarenya. Oleh karena itu,
pengobatan dengan makanan yang baik
merupakan
komponen
utama
penyembuhan diare tersebut. Bayi dan
balita yang gizinya kurang sebagian
besar meninggal karena diare. Hal ini
disebabkan karena dehidrasi dan
malnutrisi.
Faktor
gizi
dilihat
berdasarkan status gizi yaitu baik = 10090, kurang = <90-70, buruk = <70
dengan BB perTB.Faktor sosial ekonomi
mempunyai pengaruh langsung terhadap
faktor-faktor
penyebab
diare.16
Kebanyakan anak mudah menderita
diare berasal dari keluarga besar dengan
daya beli yang rendah, kondisi rumah
yang
buruk,
tidak
mempunyai
penyediaan air bersih yang memenuhi
persyaratan
kesehatan.Faktor
Makanan/minuman yang dikonsumsi
Kontak antara sumber dan host dapat
terjadi melalui air, terutama air minum
yang tidak dimasak dapat juga terjadi
sewaktu mandi dan berkumur. Kontak
kuman pada kotoran dapat langsung
ditularkan pada orang lain apabila
melekat pada tangan dan kemudian
dimasukkan ke mulut dipakai untuk
memegang makanan. Kontaminasi alatalat makan dan dapur.5,17 Bakteri yang
terdapat pada saluran pencernaan:
Bakteri : Etamuba coli, salmonella,
sigella.Virus
:
Enterovirus,
rota
virus.Parasit
:
Cacing
(Ascaris,
Trichuris)
Jamur
(Candidaalbikan).Faktor
terhadap
Laktosa(Susukaleng).Tidak memberikan
ASI secara penuh 4-6 bulan pada
pertama kehidupan. Pada bayi yang
tidak diberi ASI resiko untuk menderita
diarelebih besar dari pada bayi yang
diberi ASI penuh dan kemungkinan
menderita dehidrasi berat juga lebih
besar. Menggunakan botol susu,
penggunaan botol ini memudahkan
pencemaran oleh kuman sehingga
menyebabkan diare. Dalam ASI
mangandung antibodi yang dapat
melindungi kita terhadap berbagai
kuman penyebab diare seperti Sigella
dan V. Cholerae. Menurut American
Academy
of
Pediatrics
(AAP)
mendefinisikan
diare
dengan
karakterisitik peningkatan frekuensi
dan/atau perubahan konsistensi, dapat
disertai atau tanpa gejala dan tanda
seperti mual, muntah, demam atau sakit
perut yang berlangsung selama 3-7 hari.8
,16
Diare menyebabkan hilangnya
sejumlah besar air dan elektrolit
dan sering disertai dengan asidosis
metabolik karena kehilangan basa.
Dehidrasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan defisit air dan atau
keseimbangan elektrolit. Dehidrasi
ringan bila penurunan berat badan
kurang dari 5%,dehidrasi sedang
bila penurunan berat badan antara
5%-10% dan dhidrasi berat bila
penurunan lebih dari 10%.2
Diare secara garis besar dibagi
atas radang dan non radang. Diare
radang dibagi lagi atas infeksi dan non
infeksi. Diare non radang bisa karena
hormonal, anatomis, obat-obatan dan
lain-lain. Penyebab infeksi bisa virus,
bakteri, parasit dan jamur, sedangkan
non infeksi karena alergi, radiasi.3
Dari penyebab diare yang terbanyak
adalah diare infeksi.15
Peradangan usus oleh agen penyebab :
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral yaitu :
Infeksi
saluran
pencernaan
yang
merupakan penyebab utama diare pada
anak, meliputi :
1) Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli,
Salmonella,
Shigella,
Champylobacter, Yersinia, Aeromonas
dan sebagainya.
2) Infeksi
virus
:
Enterovirus,
Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan
sebagainya2.
3) Infeksi parasit : Cacing (Ascaris,
Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides),
Protozoa
(E.histolytica,
Giardia
lamblia, Trichomonas hominis), jamur
(C.albicans).
b. Infeksi parenteral yaitu :
2. Faktor Malabsorbsi
a. Malabsorbsi
KH
:
disakarida
(intoleransi laktosa, maltosa, dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi
glukosa, fruktosa, dan galaktosa).
b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein
3. Faktor makanan : makanan basi, beracun,
alergi terhadap makanan.
65
4. Faktor psikologis : rasa takut, cemas.
Etiologi diare menurut Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR RSU dr. Soetomo
berdasar klasifikasi diare salah satu
diantaranya karena ada factor penderita:2,3
- Usia kurang dari 3 bulan
- Gizi buruk
- Depresi sistem immunologic
- Enzim-enzim yang berkurang
Dan beberapa faktor-faktor lain :
- Kejadian
diare
akut
yang
terdahulu
merupakan
resiko
terjadinya diare kronik
- Penanganan yang tidak efektif
menambah resiko terjadinya diare
kronik.
Meskipun ada Diare akut sendiri
menurut derajat dehidrasinya (Haroen
Noersaid) dibedakan menjadi: Diare
tanpa dehidrasi (kehilangan cairan < 5%
BB),diare dengan dehidrasi ringansedang (kehilangan cairan 5-10%
BB),diare dengan dehidrasi berat
(kehilangan cairan >10% BB),klasifikasi
ini berhubungan dengan rencana
pengobatan
yang
sesuai
untuk
menanggulangi diare.(5.6)
Diare hingga saat ini masih
merupakan salah satu penyebab
utamakesakitan dan kematian hampir
di seluruh daerah geografis di dunia
dan semuakelompok usia bisa diserang
oleh diare, tetapi penyakit berat
dengan kematian yang tinggi terutama
terjadi pada bayi dan anak balita. Di
negara
berkembang,
anak-anak
menderita diare lebih dari 12 kali per
tahun dan hal ini yang menjadi
penyebab kematian sebesar 15-34%
dari semua penyebab kematian. Di
negara berkembang, anak-anak balita
mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian
diare per tahun tetapi di beberapa
tempat terjadi lebih dari 9 kali
kejadian diare per tahun atau hampir
15-20% waktu hidup anak dihabiskan
untuk diare.9
Kejadian diare di negara
berkembang antara 3,5- 7 episode
setiap anak pertahun dalam dua tahun
pertama dan 2-5 episode pertahun
dalam 5 tahun pertama kehidupan.
Departemen kesehatan RI dalam
surveinya tahun 2000 mendapatkan
angka kesakitan diare sebesar 301/
1000 penduduk, berarti meningkat
dibanding survei tahun 1996 sebesar
280/ 1000 penduduk, diare masih
merupakan penyebab kematian utama
bayi dan balita. Hasil Surkesnas 2001
mendapatkan angka kematian bayi
9,4% dan kematian balita 13,2%.10
Penyakit yang dikenal juga
dengan penyakit muntah dan berakberak (muntaber) itu menyumbang
kematian bayi terbesar di Indonesia,
yaitu mencapai 31,4% dari total
kematian bayi. Diare juga menjadi
penyebab kematian terbesar balita,
yaitu sekitar 25% dari kematian balita
Indonesia.Hal itu terungkap dari hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tanggal 2 Desember 2008 di Jakarta.10
Distribusi
Penyakit
Diare
Berdasarkan Orang (umur) Sekitar
80% kematian diare tersebut terjadi
pada anak dibawah usia 2 tahun. data
terakhir menunjukkan bahwa dari
sekitar 125 juta anak usia 0- 11 bulan,
dan 450 juta anak usia 1-4 tahun yang
tinggal di negara berkembang, total
episode diare pada balita sekitar 1,4
milyar kali pertahun. dari jumlah
tersebut total episode diare pada bayi
usia di bawah 0-11 bulan sebanyak
475 juta kali dan anak usia 1-4 tahun
sekitar 925 juta kali pertahun.10
Berdasarkan
hasil
penelitian
Yulisa , diketahui bahwa ada pengaruh
tingkat pendidikan, sumber air minum,
kualitas fisik air minum, jenis jamban
keluarga, jenis lantai rumah serta tidak ada
pengaruh jenis pekerjaan dengan kejadian
diare pada anak balita5
Sebuah studi tentang masalah
diare akut yang terjadi karena infeksi
pada anak di bawah 3 tahun di Cina,
India, Meksiko, Myanmar, Burma dan
Pakistan, hanya tiga agen infektif yang
secara konsisten atau secara pokok
ditemukan meningkat pada anak
penderita diare. Diare juga berhubungan
dengan penyakit lain misalnya malaria,
schistosomiasis, campak atau pada
infeksi sistemik lainnya misalnya,
pneumonia, radang tenggorokan, dan
otitis media.2,7Hal tersebut menunjukkan
bahwa kejadia diare tidak terlepas jauh
66
dari kondisi social ekonomi yang ada
disekitarnya. Karena banyak berkaitan
dengan penyakit infeksi, yang mana
pada umumnya penyakit infeksi banyak
menduduki peringkat pertama didunia
berkembang.
Pada survei tahun 2000 yang
dilakukan oleh Ditjen P2MPL Depkes di 10
provinsi,
didapatkan hasil bahwa dari 18.000 rumah
tangga yang disurvei diambil sampel
sebanyak 13.440 balita, dan kejadian diare
pada balita yaitu 1,3 episode kejadian
diare pertahun 4.
Pengantian cairan dan elektrolit
merupakan elemen yang penting dalam
terapi efektif diare akut. Beratnya
dehidrasi
secara
akurat
dinilai
berdasarkan berat badan yang hilang
sebagai persentasi kehilangan total berat
badan dibandingkan berat badan
sebelumnya sebagai baku emas.
Amatlah penting untuk tetap
memberikan nutrisi yang cukup selama
diare, terutama pada anak dengan gizi
yang kurang. Minuman dan makanan
jangan dihentikan lebih dari 24 jam,
karena pulihnya mukosa usus tergantung
dari nutrisi yang cukup.Bila tidak
makalah ini akan merupakan faktor yang
memudahkan terjadinya diare kronik.
Pemberian kembali makanan atau
minuman (refeeding) secara cepat
sangatlah penting bagi anak dengan gizi
kurang yang mengalami diare akut dan
hal ini akan mencegah berkurangnya
berat
badan
lebih
lanjut
dan
mempercepat kesembuhan. Air susu ibu
dan susu formula serta makanan pada
umumnya
harus
dilanjutkan
pemberiannya selama diare penelitian
yang dilakukan oleh Lama more RA dkk
menunjukkan
bahwa
suplemen
nukleotida pada susu formula secara
signifikan mengurangi lama dan
beratnya diare pada anak oleh karena
nucleotide adalah bahan yang sangat
diperlukan untuk replikasi sel termasuk
sel epitel usus dan sel imunokompeten.
Pada anak lebih besar makanan yang
direkomendasikan meliputi tajin ( beras,
kentang, mi, dan pisang) dan gandum (
beras, gandum, dan cereal). Makanan
yang harus dihindarkan adalah makanan
dengan
kandungan
tinggi,
gula
sederhana yang dapat memperburuk
diare seperti minuman kaleng dan sari
buah apel. Juga makanan tinggi lemak
yang sulit ditoleransi karena karena
menyebabkan lambatnya pengosongan
lambung.3,8
Diare
merupakan
penyakit
menular berbasis lingkungan yang dapat
menyebabkan kematian pada anak usia
dibawah lima tahun setelah infeksi
saluran
pernafasan
atas
(ISPA).
Penularan diare pada anak balita melalui
jalur faecal oral pada makanan/minuman
yang terkontaminasi oleh bakteri.
Tujuan daripada penelitian ini untuk
mengetahui hubungan antara sanitasi
lingkungan dan praktik kesehatan ibu
dengan kejadian penyakit diare pada
anak balita. Dan diperolah kesimpulan:
kondisi yang berhubungan dengan
kejadian penyakit diare pada anak balita
meliputi kondisi lantai rumah (p=0,000;
OR=13,75), keberadaan bakteri E.coli
pada SGL (p=0,007;OR=4,49) dan
praktik
mencuci
tangan(p=0,028;
OR=3,43). Sedangkan kondisi yang
tidak ada hubungannya dengan kejadian
penyakit diare pada anak balita antara
lain meliputi: sarana pembuangan tinja
(p=0,0559; OR=1,68), Praktik mencuci
bahan makanan(p=0,263; OR=2,23),
Praktik menyajikan makanan (p=0,783;
OR=1,35)dan
minuman
(p=0,305;
OR=1,94) serta praktik merebus air
minum(p=0,353;OR=4,40.
Saran:
Perlunya perbaikan terhadap penyediaan
sarana air bersih (SGL) dan kondisi
lantai rumah agar memenuhi syarat
kesehatan;
membiasakan
mencuci
tangan sebelum makan/menyuapi balita
dengan air bersih dan sabun serta para
petugas puskesmas hendaknya secara
rutin mengambil sampel air bersih untuk
diperiksa secara laboratorium sebagai
langkah pemantauan terhadap sanitasi
lingkungan. Kata 17
Menanggulangi Penyakit Penyerta
Anak yang menderita diare
mungkin juga disertai dengan penyakit
67
lain. Sehingga dalam menangani
diarenya juga perlu diperhatikan
penyakit penyerta yang ada. Beberapa
penyakit penyerta yang sering terjadi
bersamaan dengan diare antara lain :
infeksi saluran nafas, infeksi susunan
saraf pusat, infeksi saluran kemih,
infeksi sistemik lain (sepsis,campak ),
kurang gizi, penyakit jantung dan
penyakit ginjal 8
II.
5.
Yulisa.
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak
Balita (Studi pada
Masyarakat Etnis Dayak Kelurahan
Kasongan Baru Kecamatan Kentingan
Hilir
Kabupaten Kentingan Kalimantan
Tengah). (Skripsi) Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Diponegoro.
2008
6.
Irwanto,Roim A, Sudarmo SM.Diare
akut anak dalam ilmu penyakit anak
diagnosa dan penatalaksanaan ,Ed
Soegijanto S : edisi ke 1 jakarta 2002 :
Salemba Medika hal 73-103
Lung E. Acute diarrheal Diseases dalam
Current diagnosis abd treatment in
gastroenterology.Ed.Friedman S ; edisi
ke 2 New Tork 2003 :McGraw Hill,hal
131-49
Kliegman, RM., Greenbaum, LA., Lye,
PS (eds). 2004. Practical Strategies in
Pediatric Diagnosis and Therapy, 2nd
ed. Philadelphia, Elsevier, p 274.
Mansjoer A et al (editor). Diare Akut.
Dalam buku Kapita Selekta Kedokteran.
Jilid 1, Edisi III. Media Aesculapius.
FKUI. Jakarta. 2001; hal : 470-476.
Marto S., Subijanto., Reza Gunadi R.,
Alpha Farda Aniyah., 2008. Diare.
Dalam buku Pedoman Diagnosis dan
Terapi BAG/SMF Ilmu Kesehatan
Anak. Jilid 1, Edisi III. RSUD Dokter
Soetomo. Surabaya; hal : 2-14.
Norasid H,Surratmadja S, Asnil PO.
Gastroenteritis (Diare ) akut dalam:
Gastroenterologi anak praktis, Ed
Suharyono, Aswitha B,EM Halimun :
edisi ke2 Jakarta 1994: Balai penerbit
FK-UI hal 51-76
Putra, Satriya D. 2009. Diare Akut Pada
Anak.
Available
from
:
www.Dr.Rocky.com
Soebagyo, 2008. Diare Akut pada Anak.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret
Press.
Stefano Guandalini, MD available
from: http://www.emedicine.com
www.library.usu.ac.id
Sunoto et Al (editor). Pengelolaan
Kasus Diare. Dalam Buku Ajar
Pendidikan
Medik
Pemberantasan
Diare. Departemen Kesehatan R.I.
Ditjen PPM & PLP.Jakarta: 1990
KESIMPUALAN
Diare masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang
utama, karena masih tingginya angka
kesakitan dan kematian. Penyebab
utama adanya kejadian diare berkaitan
dengan pola hidup sehat yang ada dalam
kegidupan sehari-hari . Upaya rehidrasi
menggunakan cairan rehidrasi oral
merupakan satu-satunya pendekatan
terapi
yang
paling
dianjurkan.
Penggantian cairan dan elektrolit
merupakan elemen yang penting dalam
terapi diare akut. Kefatalan akibat diare
banyak disebabkan karena dehidrasi
yang terlambat penanganannya. Hal lain
yang
perlu
diperhatikan
adalah
pemberian makanan atau nutrisi yang
cukup selama diare dan mengobati
penyakit penyerta
7.
8.
9.
10.
DAFTAR PUSTAKA
Mansyah,
Bacgtiar.Faktor
yang
berhubungan dengan kejadian diare
Balita
Sigayam
Puskesmas
Wonotunggal Batang. 2005.
11.
Purwidiana, Anjar .Hubungan Faktor
Lingkungan dan Sosiodemografi dengan
kejadian
diare pada Balita Desa Blimbing
Kec.Sambirejo Sragen.2009.
12.
Behrman, Kliegman, Arvin. A.S Wahab
editors. Gastroenteritis. Dalam buku
Ilmu kesehatan Anak Nelson. Vol 2,
Edisi 15. Jakarta; kedokteran EGC.
1996. Hal 889-893
4. Soebagyo,
Diare Akut pada Anak.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret
Press. 2008.
14.
1.
2.
3.
13.
15.
16.
68
17. Ningsih, Retno Edi, Hubungan Sanitasi
Lingkungan dan Praktek Kesehatan Ibu
dengan Kejadian Penyakit Diare pada
Anak Balita di desa SAambeng Kec.
Bantarbolang Kab. Pemalang Diponegoro
University.
69
SINDROMA KLINEFELTER
Ernawati
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Sindroma Klinefellter adalah suatu kelainan kromosompadapria, dimana orang yang dilahirkan dengan
kondisi seperti ini mengalami kelebihan sedikitnya satu kromosom X. Pada keadaan normal, manusia
mempunyai total 46 kromosom dalam setiap selnya, dimana dua dari kromosom tadi bertanggung jawab untuk
menentukan jenis kelaminnya yaitu kromosom X dan Y. Wanita mempunyai kromosom XX dan pria
mempunyai kromosom XY.
Pada sindroma Klinefellter seringkali seorang pria mempunyai 47 kromosom pada setiap selnya,
kelebihan satu kromosom X, sehingga mempunyai kombinasi kromosom XXY.Pria dengan sindroma
Klinefellter nampak normal saat dilahirkan dan mempunyai genitalia pria yang normal, tetapi dalam
perkembangannya terjadi perubahan seperti ginekomastia, testis dan penis menjadi lebih kecil dibanding normal
serta proporsi tubuh yang abnormal
Diagnosa dari sindroma Klinefellter ditegakkan bilater dapat kelebihan satu atau lebih kromosom X
pada pria yang dapat diketahui sejak masa kehamilan dengan pemeriksaan prenatal seperti sampel villi chorionic
atau amniosintesis.
Kata kunci :sindromaklinefellter, kromosom X, kromosom Y, kromosom XXY
KLINEFELTER SYNDROME
Ernawati
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Klinefellter syndrome is a disorder kromosompadapria, where people are born with this condition have at least
one extra X chromosome In normal circumstances, humans have a total of 46 chromosomes in every cell, where
two of the chromosome was responsible for determining the sex chromosomes X and Y. Women have XX
chromosomes and males have an XY chromosome.
In Klinefellter syndrome is often a man has 47 chromosomes in each cell, an excess of one X
chromosome, so has the combination of chromosomes XXY.Pria with Klinefellter syndrome appear normal at
birth and have normal male genitalia, but there is a change in its development, such as gynecomastia, testicular
and penile be smaller than normal and abnormal body proportions
Diagnosis of the syndrome Klinefellter enforced bilater to one or more extra X chromosome in males is
known from the time of pregnancy with prenatal examination, such as chorionic villi sampling or amniocentesis.
Keywords: sindromaklinefellter, chromosome X, chromosome Y, chromosome XXY
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu proses dengan mana individu akan
dilahirkan mengalami kelainan jumlah
kromosom telah diketahui secara eksperimen
untuk lebih dari 50 tahun dan dalam
kenyataannya merupakan salah satu puncak
kejadian dalam sejarah genetika. Yang
akhirnya membawa semua itu kecuali
keyakinan umum bahwa gen-gen tentu saja
terdapat dalam kromosom, adalah penemuan
non disjunction dan hubungan antara
gambaran sitologi dan rasio genetik.
Pada saat meiosis, sepasang kromosom dapat
gagal utuk berpisah satu sama lain atau lebih
mungkin gagal untuk berhubungan. Apabila
pandangan terakhir ini benar, maka kromosom
pada pasangan itu kemudian akan terletak
bebas dan memisah satu sama lain secara
random ( acak ). Apabila suatu kromosom
pergi ke masing-masing kutub gelendong,
maka akan terbentuk gamet normal. Tetapi
apabila kedua kromosom pergi ke satu kutub,
maka mungkin dua jenis komplementer dari
gamet abnormal dapat dibentuk, baik gamet
dengan dua kromosom dari sepasang
kromosom dan bukan satu kromosom atau
gamet tanpa kromosom tersebut.
Fenomena ini disebut non disjunction, yang
mencerminkan pandangan lain bahwa
pasangan kromoson gagal untuk memisah.
Apabila non disjunction terjadi pada wanita
normal, maka kedua kromosom X mungkin
tetap berada dalam ovum. Sebaliknya dapat
juga kedua kromosom dapat menuju badan
kutub ( polar body ) sehingga menyebabkan
terbentuknya satu sel telur tanpa kromosom X
Hal yang sama, non disjunction pada pria
akan
menyebabkan
terbentuknya
spermatozoon yang mengandung kromosom X
dan kromosom Y, atau akan terbentuk
70
spermatozoon yang tanpa kromosom X dan
kromosom Y, apabila kejadian tersebut terjadi
pada pembelahan meiosis pertama, non
disjunction pada pembelahan meiosis kedua
menghasilkan
spermatozoon
yang
mengandung dua kromosom X atau dua
kromosom Y atau sebaliknya tanpa kromosom
X atau tanpa kromosom Y.
Jadi non disjunction pada pria maupun pada
wanita akan menghasilkan individu abnormal
dengan konstitusi kromosom 47 XYY, 47
XXX, atau 45 X. Non disjunction pada pihak
wanita akan menghasilkan satu jenis lagi dari
konstitusi kromosom yang abnormal yaitu 45
Y. Rupanya pasti zigot yang mengandung
kromosom kelamin OY tidak mampu hidup.
Non disjunction pada pihak pria juga
menghasilkan konstitusi kromosom XYY pada
zigot.
Konstitusi 47 XXY diidentifikasi pada orang
orang yang menderita sindroma Klinefelter.
Orang-orang yang menderita sindroma ini
penampilan luarnya normal, tetapi testisnyaa
selalu kecil saat pubertas dan menderita
azoospermia yang komplit atau hampir
komplit. Sangat sering terdapat ginekomastia.
Pada biopsi menunjukan adanya hialinisasi
yang nyata pada tubulus seminiferus. Sering
kelainan ini tidak tampak sebelum pubertas,
dan perkembangan umum yang meliputi
perkembangan genitalia eksterna adalah relatif
normal.
Pasien kadang-kadang secara kebetulan
mengeluhkan hal ini karena adanya
ginekomastia. Sering tidak dicurigai adanya
kelainan, penderita ini dapat kawin dan
kemudian sadar akan keadaannya karena
adanya infertilitas.
Kelainan mental biasanya dalam derajat yang
lebih ringan ( kebanyakan mempunyai IQ 60 –
80 ) adalah lebih sering dibandingkan populasi
umum, walaupun sebagian besar penderitapenderita tadi keadaan mentalnya benar-benar
normal, bahkan apabila inteligensinya di
bawah rata-rata dari saudara-saudara kandung
mereka yang normal.
1.2 Tujuan
Memberikan informasi pada para pembaca apa
yang dimaksud dengan sindroma Klinefelter,
penyebab sindroma Klinefelter dan gambaran
klinisnya.
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sindroma Klinefelter ( Seminiferous Tubule
Dysgenesis, Testicular Dysgenesis, Medullary
Gonadal Dysgenesis, Chromatin Positive
Micro-orchidism ) adalah suatu kelainan
kromosom pada pria. Orang-orang yang
dilahirkan dengan kondisi seperti ini
mengalami
sedikitnya
kelebihan
satu
kromosom X.
Nama Sindroma Klinefelter diberikan setelah
Dr. Henry Klinefelter, orang yang pertama kali
menemukan gejala-gejala yang ditemukan
pada beberapa orang pria yang mempunyai
kelebihan kromosom X, pada tahun 1942.
2.2 Deskripsi
Sindroma Klinefelter adalah suatu kondisi,
dimana kelebihan satu atau lebih kromosom X
pada pria. Anak laki-laki yang dilahirkan
dengan kelebihan kromosom X nampak
normal saat dilahirkan. Ketika mulai
memasuki masa pubertas penampilan mereka
masih nampak normal, tetapi saat memasuki
pertengahan masa pubertas kadar testosteron
yang rendah menyebabkan testis yang kecil
dan ketidakmampuan untuk menghasilkan
spermatozoon.
Pria
dengan
sindroma
Klinefelter juga mempunyai gangguan
pembelajaran dan problem perilaku seperti
pemalu.
2.3 Profil genetik
Kromosom terdapat di dalam sel dalam tubuh
kita. Kromosom mengandung gen-gen,
struktur yang memberitakan bagaimana tubuh
kita akan tumbuh dan berkembang.
Kromosom
bertanggung
jawab
untuk
mewariskan sifat dari orang tua kepada anakanaknya. Kromosom juga menentukan apakah
seorang anak yang akan dilahirkan berjenis
kelamin perempuan atau pria.
Pada keadaan normal, manusia mempunyai
total 46 kromosom dalam setiap selnya,
dimana dua dari kromosom tadi akan
bertanggung jawab untuk menentukan jenis
kelaminnya. Dua kromosom seks ini disebut
kromosom X dan Y. Kombinasi dari kedua
kromosom seks ini menentukan jenis kelamin
dari seorang anak Wanita mempunyai dua
kromosom X ( XX ), pria mempunyai satu
kromosom X dan satu kromosom Y ( XY ).
Pada sindroma Klinefelter, masalahnya adalah
hasil dari perkembangan jumlah kromosom
yang tidak normal, seringkali seorang pria
71
dengan sindroma Klinefelter dilahirkan
dengan 47 kromosom pada setiap selnya.
Kelebihan satu kromosom tersebut adalah
kromosom X. Hal ini berarti dibanding
keadaan normal yaitu kombinasi kromosom
XY, pria ini mempunyai kombinasi kromosom
XXY. Karena orang dengan sindroma
Klinefelter mempunyai kromosom Y, maka
mereka semuanya adalah seorang pria.
Kira-kira 1-3 dari semua pria dengan sindroma
Klinefelter mempunyai perubahan kromosom
lain termasuk kelebihan satu kromosom X.
Mozaic Klinefelter sindrom terjadi ketika
beberapa sel dari tubuh mendapatkan
tambahan kromosom X dan bagian yang lain
mempunyai kromosom pria normal. Pria-pria
ini dapat mempunyai gejala yang sama atau
lebih ringan dibandingkan dengan Non Mozaic
Klinefelter sindrom. Pria dengan tambahan
lebih dari satu kromosom X, seperti 48
XXXY, biasanya mempunyai kelainan yang
lebih berat dibanding pria dengan 47 XXY.
Rata-rata usia ibu hamil yang melahirkan anak
dengan sindroma Klinefelter adalah 32,3
tahun.
2.4 Demografis
Sindroma Klinefelter merupakan salah satu
kelainan kromosom yang sering terjadi. Ratarata setiap 500 – 800 pria yang dilahirkan ada
satu yang menderita sindroma Klinefelter.
Kira-kira 3 persen dari populasi pria yang
infertil menderita sindroma Klinefelter.
2.5 Tanda dan gejala
Gejala dari sindroma Klinefelter bervariasi dan
tidak setiap orang dengan sindroma Klinefelter
mempunyai gejala yang lengkap. Pria dengan
sindroma Klinefelter tampak normal saat
dilahirkan dan mempunyai genitalia pria yang
normal. Sejak masa kanak-kanak pria dengan
sindroma Klinefelter mempunyai tinggi badan
yang lebih tinggi dari rata-rata dan lengan
yang lebih panjang. Rata-rata 20-50%
mempunyai tremor ringan, suatu pergerakan
yang tidak terkontrol.
Banyak pria dengan sindroma Klinefelter
mempunyai kekuatan tubuh bagian atas yang
lemah.
Sindroma
Klinefelter
tidak
menyebabkan kelainan homoseksual. Kira-kira
1-3 dari pria dengan sindroma Klinefelter
mengalami
pembesaran
payudara
(
ginekomastia ). Ginekomastia ini timbul pada
sekitar 80% kasus.
Kebanyakan anak laki-laki memasuki masa
puber yang normal, tetapi beberapa ada yang
mengalami keterlambatan. Sel-sel Leydig di
testis biasanya memproduksi testosteron. Pada
sindroma Klinefelter, sel Leydig gagal bekerja
dengan semestinya menyebabkan produksi
testosteron yang lambat saat pertengahan masa
puber produksi testosteron menurun sampai
kira-kira setengahnya. Hal ini akan
menyebabkan
menurunnya
pertumbuhan
rambut di wajah dan pubis. Genitalia internal
dan eksternal secara makroskopis tampak
normal, kecuali testis tampak lebih kecil dan
mrskipun pada keadaan normal libido
menurun, pria dengan sindroma Klinefelter
tetap mempunyai kemampuan untuk ereksi
dan melakukan intercourse.
Penurunan testosteron juga menyebabkan
peningkatan dua hormon yang lain, foliccle
stimulating hormone ( FSH ) dan luteinizing
hormone ( LH ) . Pada keadaan normal FSH
dan LH membantu sel-sel sperma yang
immatur tumbuh dan berkembang. Pada
sindroma Klinefelter, sel-sel sperma tersebut
hanya sedikit atau bahkan tidak ada
Peningkatan FSH dan LH menyebabkan
hialinisasi dan fibrosis dari tubulus
seminiferus dimana tempat spermatozoon
diproduksi. Hasilnya testis menjadi lebih kecil
dibanding normal. Pria dengan sindroma
Klinefelter menjadi infertil karena tidak dapat
memproduksi spermatozoon.
Dulu dipercaya bahwa anak laki-laki dengan
sindroma Klinefelter akan menjadi retardasi
mental, dokter tidak mengetahui bahwa
kelainan tersebut dapat timbul tanpa adanya
retardasi mental. Bagaimanapun, anak-anak
dengan sindroma Klinefelter seringkali
mengalami kesulitan berbicara, termasuk cara
belajar berbicara, membaca dan menulis. Kirakira 50% pria dengan sindroma Klinefelter
mengalami dyslexia.
Beberapa orang dengan sindroma Klinefelter
mempunyai
kesulitan
sosialisasi
dan
cenderung lebih pemalu, mudah cemas dan
depresi.
72
Clinical features in patients with Klinefelter’s Syndrome Including 47,XXY and variant Karyotypes
Range of hormone values in men with Klinefelter’s Syndrome with healthy men
Klinefelter’s Syndrome
Healthy men
Serum LH (mIU/ml)
4.25 -12.7 (7.8)
0.62 – 2.81 (1.8)
Serum FSH (mIU/ml)
12.1 – 61.2 (29.4)
0.51 – 5.2 (2.7)
Plasma testosterone (ng/dl)
81 – 849 (316)
346 – 1075 (990)
Plasma estradiol (pg/ml)
3 – 65 (34)
UD – 34 (16)
From Wang C, Baker HWG, Burger HG, et al: Hormonal studies in Klinefelter’s syndrome. Clin
BIRTH
CHILDHOOD
PUBERTY
Cryptorchidsm
X
Microphallus
X
Hypospadias
X
Somatic anomalies
X
Learning disabilities
x
x
Behavioral disorder
X
x
Mental retardation
x
x
Tall stature
X
Eunuchoid habitus
x
Delayed puberty
X
Small testes
X
Delayed sex characteristics
X
Gynecomastia
x
Infertility
Impaire dlibido
Thyroid dysfunction
Endocrinol 4:399-411, 1975. Value in parentheses are population means.
2.6 Diagnosis
Diagnosis
dari
sindroma
Klinefelter
ditegakkan bila terdapat kelebihan satu atau
lebih kromosom X pada pria. Hal ini dapat
diketahui sejak masa kehamilan dengan
pemeriksaan prenatal seperti sample villi
chorionic atau amniosintesis. Prosedur sample
villi chorionic dapat dilakukan pada usia
kehamilan 10-12 minggu untuk mengambil
sedikit sample dari plasenta untuk diperiksa.
Amniosintesis dapat dilalukan pada usia
kehamilan 16-18 minggu dengan mengambil
sedikit cairan amnion untuk diperiksa. Kedua
prosedur pemeriksaan tersebut mempunyai
resiko terjadinya abortus. Biasanya prosedur
pemeriksaan ini dilakukan bila ada perkiraan
terjadinya sindroma Klinefelter .
Misalnya, prosedur diagnostik prenatal dapat
dilakukan pada seorang wanita tua untuk
menentukan jika bayinya menderita sindroma
Down. Jika diagnosis dari sindroma
Klinefelter diharapkan pada seorang anak lakilaki atau pria dewasa, pemeriksaan kromosom
dapat juga dilakukan melalui pemeriksaan
darah atau sample kulit sesudah dilahirkan.
ADULTHOOD
X
x
X
x
X
X
X
X
X
X
X
2.7 Magemen terapi
Tidak ada pengobatan yang tersedia untuk
merubah kromosom. Anak-anak dengan
sindroma Klinefelter mungkin membutuhkan
terapi wicara atau pelatihan pembelajaran yang
lain. Injeksi testosteron dimulai saat masa
pubertas dapat membantu pekembangan yang
normal termasuk masa otot, pertumbuhan
rambut, dan meningkatkan kemampuan
seksual. Pemberian suplemen testosteron tidak
dapat menambah ukuran testis, menurunkan
pertumbuhan payudara atau memperbaiki
infertilitas.
2.8 Prognosa
Penderita dengan sindroma Klinefelter dapat
mempunyai kehidupan seks yang normal ,
tetapi mereka biasanya hanya memproduksi
sedikit atau bahkan tidak ada spermatozoon
sama sekali. Antara 95% dan 99% dari pria
XXY adalah infertil, karena mereka tidak
dapat menghasilkan spermatozoon. Pria
dengan sindroma Klinefelter mempuyai resiko
yang meningkat untuk terjadinya osteoporosis,
kelainan autoimun seperti lupus dan arthritis,
73
diabetes dan tumor payudara maupun tumor
germ cell
Kesimpulan
1. Sindroma Klinefelter yang juga
dikenal dengan sindroma XXY, adalah
suatu keadaan dimana kelebihan
kromosom X pada seorang pria
2. Sindroma
Klinefelter
ditemukan
pertama kali oleh Dr. Henry
Klinefelter.
3. Tidak semua pria dengan sindroma
Klinefelter mempunyai gejala yang
sama atau derajat kelainan yang sama.
Beratnya gejala tergantung dari berapa
banyak jumlah XXY pada sel-sel yang
dimiliki pria tersebut.
4. Sindroma Klinefelter menyebabkan
gangguan perkembangan :
a. Perkembangan
fisik
:
lemahnya otot dan penurunan
kekuatan, rendahnya kadar
testosteron, 95%-99% infertil
b. Perkembangan berbicara :
keterlambatan
berbicara,
kesulitan dalam berbahasa,
kesulitan membaca, kesulitan
memproses apa yang mereka
dengar.
c. Perkembangan sosial : kurang
percaya diri, kurang aktif
5. Gambaran klinis :
a. Testis kecil, konsistensi keras
b. Penis kecil
c. Rambut pubis, ketiak dan
wajah sedikit
d. Gynekomastia
e. Proporsi tubuh yang abnormal
( rentang tangan > tinggi
badan )
6. Pada pemeriksaan lebih lanjut
didapatkan :
a. Karyotiping
menunjukkan
gambaran kromosom 47XXY
b. Jumlah spermatozoon yang
rendah
c. Kadar testosteron yang rendah
d. Kadar LH meningkat
e. Kadar FSH meningkat
f. Total plasma testosterone
menurun pada 60% pasien
7. Managemen terapi :
a. Terapi edukasi : terapi wicara,
terapi
psikologis
seperti
perkembangan mental, terapi
keluarga
b. Terapi medikamentosa :
testosterone
replascement
therapy ( TRT ) dapat
membantu
meningkatkan
kadar testosteron, peningkatan
kadar testosteron ini akan
membantu
meningkatkan
perkembangan
otot,
pertumbuhan rambut tubuh,
perubahan suara menjadi lebih
berat.
c. Intracytoplasmic
sperm
injection ( ICSI )
DAFTAR PUSTAKA
1. Blachford L. Stacey, The Gale
Encyclopedia of Genetic Disorders,
2001
2. Burns W George, The Science of
Genetics an Introdution to Heredity,
1983
3. Bouloux P, Diagnostic Tests in
Endocrinology and Diabetes, 1994
4. Degroot LJ, Endocrinology, 1995
5. Levitan M, Textbook of Human
Genetics, 1988
6. Pai C Anna, Dasar-dasar Genetika
Manusia, 1992
7. Roberts Fraser & Pembrey E Marcus,
Pengantar genetika Kedokteran, 1995
8. Sigman M, Howard S, Male
Infertility, Cambell’s Urology 1998
74
AMENORE PADA ATLET
Mariyani Handjaja
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Perempuan semakin menjadi peserta aktif dalam kegiatan fisik yang kompetitif dan rekreasi. Hal ini tidak biasa
bagi atlet menderita penyakit seperti fraktur stres, lutut runner's, bunions dan lecet. Namun atlet wanita
menghadapi masalah tambahan amenore. Kekhawatiran telah timbul tentang efek latihan fisik pada fisiologi
siklus menstruasi. Sebagai perempuan lebih banyak berpartisipasi dan program pelatihan menjadi lebih berat,
dokter telah melihat lebih banyak keluhan gangguan siklus haid. Prevalensi disfungsi menstruasi lebih besar di
antara atlet daripada di populasi umum. Banyak faktor yang mengalami perubahan selama program pelatihan
atletik dan setiap atau semua ini dapat menyebabkan gangguan dalam cyclicity menstruasi (menarche tertunda,
oligomenore, dan amenorrhea). Amenore pada atlet, kadang-kadang disebut amenore olahraga terkait, terjadi
ketika seorang wanita tidak memiliki periode reguler entah karena dia terlalu banyak latihan, makan kalori
terlalu sedikit atau keduanya.
Kata kunci: atlet wanita, disfungsi menstruasi, amenore olahraga terkait
AMENORRHEA IN ATHLETES
Mariyani Handjaja
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
Women are increasingly becoming active participants in competitive and recreational physical activity.
It is not uncommon for athletes to suffer such ailments as stress fracture, runner’s knee, bunions and blisters.
But female athletes face the additional problem of amenorrhea. Concerns has arisen regarding the effect of
physical training on the physiology of the menstrual cycle. As more women participate and training programs
become more strenuous, physicians have seen more complaints of menstrual cycle disturbances. The prevalence
of menstrual dysfunction is greater among athletes than in the general population. Many factors undergo change
during the course of an athletic training program and any or all of these may contribute to disturbances in
menstrual cyclicity (delayed menarche, oligomenorrhea, dan amenorrhea). Amenorrhea in athletes, sometimes
called exercise-associated amenorrhea, occurs when a woman doesn’t have a regular period either because she
exercises too much, eats too few calories or both.
Keywords: female athlete, menstrual dysfunction, exercise-associated amenorrhea
Semakin hari semakin banyak wanita
yang terjun dalam dunia olahraga dengan
menjadi atlet profesional. Sebagai seorang
atlet adalah hal yang biasa bila mengalami
berbagai gangguan fisik karena cedera. Tetapi,
khusus untuk atlet wanita seringkali
mengalami gangguan kesehatan yang tidak
akan dialami oleh para atlet pria. Gangguan
tersebut adalah gangguan pada sistem
reproduksi wanita yang meliputi delayed
menarche, oligomenorrhea, dan amenorrhea.
Amenore lebih banyak dialami oleh wanita
atlet daripada non atlet. Hal ini berhubungan
dengan penggunaan energi yang berlebihan
oleh atlet pada saat latihan akan mengganggu
fungsi sistem reproduksi wanita yang normal.
Oleh karenanya amenore pada atlet bisa
disebut exercise-associated amenorrhea.
Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara pemakaian
energi yang berlebihan pada atlet wanita
dengan timbulnya gangguan fungsi reproduksi.
Michelle P. Warren (1979) melakukan
penelitian terhadap para pebalet (ballet dancer)
selama 4 tahun yaitu15 pebalet berusia 13-15
tahun dengan level latihan fisik yang tinggi
sejak usia belia. Kelompok pebalet ini
mengalami delayed menarche (rata-rata
menarche pada usia 15,4 tahun; normal kontrol
menarche pada usia 12,5 tahun). Pada dua
orang pebalet berusia 18 tahun terjadi amenore
primer. Pada kelompok wanita lain yang
berusia 15-18 tahun dengan riwayat diet dan
penurunan berat badan mengalami amenore
sekunder.
FISIOLOGI SIKLUS MENSTRUASI
Sistem reproduksi wanita dapat dibagi
dalam 4 kompartemen yaitu:
* Kompartemen I: outflow tract yang terdiri
dari : uterus, cervix dan vagina.
75
* Kompartemen II : ovarium
pematangan folikel, kadar FSH mulai menurun
* Kompartemen III : Hipofise ( kelenjar
sedangkan kadar estrogen makin meninggi.
pituitary)
Estrogen pada mulanya meninggi secara
* Kompartemen IV : Hipotalamus
berangsur-angsur kemudian dengan cepat
Fisiologi
menstruasi
merupakan
hasil
mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan
kerjasama yang sangat kompleks antara
balik positip terhadap pusat siklik ( di bagian
keempat kompartemen tersebut. Faktor yang
depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik)
memegang kendali dalam kerjasama antara
sehingga terjadi lonjakan LH (LH surge) pada
keempat kompartemen tersebut adalah sistem
pertengahan siklus dan mengakibatkan
endokrin yaitu hubungan antara hipotalamus,
terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu
hipofise dan ovarium (hypothalamic-pituitarymenetap kira-kira 24 jam dan menurun pada
ovarian axis). Siklus menstruasi dibagi dalam
fase luteal.
3 fase yaitu: fase folikular, ovulasi dan fase
Pada fase luteal, setelah ovulasi,
luteal.
folikel berkembang menjadi corpus luteum.
Hipotalamus menghasilkan GnRH
Luteinized granulosa cells dalam corpus
(Gonadotropin Releasing Hormone). GnRH ini
luteum membuat progesterone banyak dan
merangsang hipofise untuk mengeluarkan
luteinized theca cells membuat pula estrogen
gonadotropin yaitu FSH (Follicle Stimulating
yang banyak, sehingga kedua hormon itu
Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone).
meningkat tinggi pada fase luteal. Progesteron
FSH menyebabkan perkembangan beberapa
menyebabkan proliferasi endometrium (yang
folikel di dalam ovarium. Hanya satu folikel
terjadi pada fase proliferasi, distimulasi oleh
yang akan mengalami pematangan ( Folikel de
estrogen) berubah menjadi fase sekresi. Bila
Graaf) dan berovulasi, sedangkan sisanya
tidak terjadi fertilisasi maka mulai 10-12 hari
akan mengalami atresia. Pada waktu ini LH
setelah ovulasi korpus luteum berangsurjuga akan meningkat untuk membantu
angsur mengalami regresi diikuti oleh
pembuatan estrogen di dalam folikel. Sejalan
menurunnya sekresi progesterone dan
dengan pematangan folikel, kadar estrogen
estrogen. Penurunan kadar progesteron dan
semakin
meningkat.
Estrogen
akan
estrogen akan menyebabkan pelepasan
menyebabkan proliferasi dari endometrium.
endometrium, sehingga terjadilah menstruasi
Oleh karena itu, fase folikular juga disebut
yang dikeluarkan melewati vagina.
sebagai fase proliferasi. Pada fase akhir
Gambar 1. Siklus Menstruasi
76
Lamanya
masing-masing
fase
bervariasi pada wanita yang satu dengan
wanita yang lain, juga bervariasi pada siklus
yang satu ke siklus berikutnya. Namun, ratarata siklus menstruasi yang normal adalah 28
hari. Siklus menstruasi dimulai dari hari
pertama keluarnya darah menstruasi.
Bila terdapat gangguan atau kelainan
dari salah satu organ tersebut, maka akan
terjadi pula gangguan pada siklus menstruasi
yang dapat memberikan gejala klinik antara
lain amenore.
AMENORE
Amenore yang terjadi bisa berupa
amenore primer maupun sekunder. Amenore
primer terjadi bila belum pernah mendapatkan
menstruasi sama sekali. Menarche adalah
menstruasi yang terjadi pertama kali pada
seorang wanita. Menarche biasanya terjadi
pada umur 10-14 tahun. Amenore primer
didefinisikan sebagai berikut:
1. Gadis yang pada usia 14 tahun belum
tampak adanya tanda-tanda seks
sekunder dan juga belum pernah
mendapatkan menstruasi (menarche).
2. Gadis yang pada usia16 tahun sudah
tampak adanya pertumbuhan tandatanda seks sekunder tetapi belum
pernah
mendapatkan
menstruasi
(menarche).
Amenore sekunder terjadi pada wanita setelah
mengalami menarche. Amenore sekunder
didefinisikan sebagai:
1. Tidak mengalami menstruasi selama 3
bulan berturut-turut pada wanita
dengan menstruasi yang normal
sebelumnya.
2. Tidak mengalami menstruasi selama 9
bulan berturut-turut pada wanita
dengan
riwayat
oligomenore
sebelumnya.
Penyebab dari amenore dapat terletak pada
salah satu kompartemen seperti yang telah
diuraikan di atas:
* Kompartemen I : vagina dan uterus
* Kompartemen II : ovarium
* Kompartemen III : hipofise
* Kompartemen IV : hipotalamus
Tabel di bawah ini dapat menunjukkan
pengelompokan amenore berdasarkan letak
kompartemen yang mengalami gangguan.
Tabel 1. Pengelompokan Amenore
Pituitary
and
Outflow
tract
P/S
Gonadal/end-organ disorders hypothalamic/central
anomalies/obstruction
regulatory disorders
The ovary or gonad does not
respond to pituitary stimulation. Generally, inadequate levels of
Gonadal
dysgenesis
or FSH lead to inadequately
premature
menopause
are stimulated ovaries which then
possible causes. Chromosome fail to produce enough
The
hypothalamictesting is usually indicated in oestrogen to stimulate the
Overview pituitary-ovarian axis is
younger
individuals
with endometrium (uterine lining),
functional.
hypergonadotropic
hence amenorrhoea. In general,
amenorrhoea. Low oestrogen women with hypogonadotropic
levels are seen in these patients amenorrhoea are potentially
and the hypo-oestrogenism may fertile.
require treatment.
FSH
Outflow
tract
abnormalities tend to be
normogonadotropic and
FSH levels are in the
normal range.

Primary
Uterine:
Mullerian
agenesis
Gonadal,
usually
ovarian,
abnormalities tend to be linked
to elevated FSH levels or
hypergonadotropic
amenorrhoea. FSH levels are
typically in the menopausal
range.
 Gonadal
dysgenesis,
including
Turner
Syndrome.
Most
Both
hypothalamic
and
pituitary disorders are linked to
low FSH levels leading to
hypogonadotropic
amenorrhoea.

Hypothalamic:
Kallmann syndrome.
77
(Second
most
common cause,
15% of primary
amenorrhoea)[5]

Vaginal: Vaginal
atresia,
cryptomenorrho
ea, imperforate
hymen.









common cause.
Androgen insensitivity
syndrome (Testicular
feminization
syndrome).
Receptor abnormalities
for hormones FSH and
LH.
Specific
forms
of
congenital
adrenal
hyperplasia
Swyer syndrome
Galactosaemia
Aromatase deficiency
Prader-Willi syndrome
Male
pseudohermaphroditism (about
1 in every 150,000
births)
Other
intersexed
conditions



Secondary
Intrauterine
adhesions
(Asherman's
Syndrome)





Pregnancy
(most
common cause)
Anovulation
Menopause
Premature menopause
Polycystic
ovary
syndrome (PCO-S)
Drug-induced
AMENORE PADA ATLET
Amenore pada atlet terjadi diduga
karena pemakaian energi yang berlebihan pada
atlet dan simpanan energi yang rendah
menyebabkan gangguan pada hormon-hormon
sistem reproduksi yang terlibat dalam fisiologi
menstruasi.
Amenore pada atlet disebabkan karena
gangguan
pada
level
hipotalamus
(kompartemen IV). Gangguan terutama
terletak pada sekresi pulsatil dari GnRH.
Terjadi penekanan terhadap sekresi pulsatil
GnRH yang normalnya berlangsung tiap 60-90
menit, yang berupa penurunan frekuensi
maupun amplitudo pulsatil sekresinya.


Hypothalamic:
Exercise amenorrhoea,
related to physical
exercise,
Stress
amenorrhoea, Eating
disorders and weight
loss (obesity, anorexia
nervosa, or bulimia
Pituitary:
Sheehan
syndrome,
Hyperprolactinaemia,
Haemochromatosis
Other
central
regulatory:
hypothyroidism,
hyperthyroidism,
arrhenoblastoma
Penekanan terhadap GnRH terjadi karena
pengaruh dari penurunan berat badan, asupan
energi yang rendah, maupun gangguan
terhadap energy balanced dimana terjadi
ketidakseimbangan antara pemasukan dan
pemakaian energi. Pada atlet terjadi
pemakaian energi yang berlebih dengan
adanya porsi latihan fisik yang berat
sedangkan asupan energinya tidak mencukupi.
Biasanya berat badan atlet tidak terlalu di
bawah standard walaupun atlet tergolong
kurus dan sangat memperhatikan pola
makanan. Pola makanan yang dijalani adalah
makanan rendah lemak dan sedikit sekali
asupan daging berwarna merah bahkan
78
seringkali vegetarian. Kekurangan energy juga
mempengaruhi sekresi pulsatil dari LH. Pola
sekresi dari LH terganggu dan biasanya
penekanan pada LH lebih besar daripada FSH.
Penekanan terhadap siklus bias ringan dan
intermiten yang ditandai dengan kadar
estrogen yang masih dalam batas normal dan
umpan balik positif terhadap progestin. Atlet
dengan kadar estrogen rendah dan beberapa
bahkan memiliki kadar gonadotropins
(terutama LH) yang sangat rendah, biasanya
sangat kurus dan terobsesi dengan diet dan
athletic training. Pada kelompok atlet ini tidak
mengalami umpan balik terhadap estrogen.
Amenore yang terjadi pada atlet bisa
berupa amenore primer maupun sekunder.
Amenore primer terjadi pada wanita yang
telah menjadi atlet sejak usia belia jauh
sebelum
mendapatkan
menarche
(premenarche-trained
athlete).
Amenore
sekunder terjadi pada wanita yang menjadi
atlet
setelah
mengalami
menarche
(postmenarche-trained athlete).
Atlet yang masih sangat muda,
terutama pebalet (ballet dancer) yang memulai
latihan sebagai atlet sejak berumur 8 atau 9
tahun, ada kemungkinan mengalami amenore
primer hingga memasuki usia 20-an tahun.
Masalah ini sehubungan dengan beban latihan
yang berat. Bagaimanapun mereka pada
umumnya memiliki pertumbuhan yang
normal. Biasanya mereka tidak mengalami
kelainan short stature dan tidak akan
mengalami keterlambatan pada masa pubertas.
Atlet dengan amenore sekunder pada
umumnya bisa dibedakan dari penyebab yang
lain melalui penelusuran yang teliti.
Bagaimanapun, terkadang susah untuk
mengetahui masalah gangguan makan kecuali
dengan pertanyaan yang spesifik tentang diet
(misalnya: konsumsi makanan rendah kalori;
diet soda; dll) pada wanita dengan berat badan
normal atau hanya sedikit di bawah standard.
Ada bukti yang menarik bahwa exerciseassociated
hypothalamic
amenorrhea
berhubungan dengan kekurangan asupan
kalori yang kronis terhadap beban latihan yang
sangat berat.
Exercise induced amenorrhea dialami
oleh atlet muda yang sebelum muncul masalah
amenore sudah mengalami beberapa peristiwa
metabolis dan fisiologis yang menghambat
sekresi pulsatil yang normal dari LH dan FSH.
Peristiwa-peristiwa tersebut tidak kentara
hingga terjadi berulang-ulang dan kronis
sampai akhirnya menstruasi berhenti. Sistem
buffer yang melindungi sistem reproduksi
menjadi terpengaruh: berat badan, lemak
tubuh dan kadar leptin. Atlet dengan amenore
yang terkait latihan fisik atau penurunan berat
badan selalu dibawah berat badan ideal dan
biasanya mempunyai kadar lemak tubuh dan
Body Mass Index (BMI) yang rendah. Atlet
tersebut kehilangan berat badan secara berarti
ketika menjalani latihan fisik dan terobsesi
diet makanan rendah lemak dan menghindari
makan daging berwarna merah dan semua
bentuk makanan penutup (dessert). Diagnosis
bisa ditegakkan pada competitive athlete
dengan kadar gonadotropin yang rendah,
terutama kadar LH yang rendah, kadar
prolaktin normal, tes kehamilan negative, dan
tidak adanya tanda-tanda androgenisasi
seperti: akne, tumbuhnya rambut, atau riwayat
onset menarche pada gangguan menstruasi
yang terkait tanda-tanda androgen excess. Tipe
atlet tersebut akan menolak merubah
perilakunya, terutama untuk menaikkan berat
badan atau mengurangi beban latihan fisiknya.
Hal ini terjadi pada pebalet (ballet dancer) atau
competitive
athlete.
Bagaimanapun,
perubahan pola makan, pola latihan, dan
peningkatan berat badan merupakan cara yang
paling efektif untuk mengatasi masalah ini.
Atlet dengan exercise associated
amenorrhea pada awalnya mengalami
gangguan pada sistem reproduksi secara tak
kentara yang berupa pemendekan siklus
menstruasi. Hal ini juga terjadi pada wanita
muda normal dengan latihan atletik intensif.
Kadang-kadang,
fase
folikular
bisa
memanjang. Gangguan ini bisa disertai dengan
perdarahan yang sering dan/atau tak teratur.
Bila tanpa kehamilan, masalah ini bisa
dikendalikan dengan pengurangan latihan fisik
atau dengan penggunaan kontrasepsi oral.
SIMPULAN
Salah satu resiko yang harus
ditanggung oleh atlet wanita adalah gangguan
pada sistem reproduksi wanita diantaranya
amenore. Amenore pada atlet terjadi karena
pemakaian energi yang berlebihan pada saat
latihan fisik tidak diimbangi dengan asupan
energi yang seimbang dikarenakan pola
makanan yang rendah rendah lemak bahkan
seringkali vegetarian. Karenanya amenore
pada atlet disebut juga exercise associated
amenorrhea.
79
Ketidakseimbangan antara beban
latihan fisk yang berat dengan asupan energi
yang tidak mencukupi mengakibatkan
gangguan terhadap hormon-hormon sistem
reproduksi yang terlibat dalam fisiologi
menstruasi. Gangguan terletak pada level
hipotalamus (kompartemen IV), dimana terjadi
penekanan pada sekresi pulsatil dari GnRH
sehingga terjadi gangguan pada sekresi
gonadotropin (FSH dan LH) terutama LH.
FSH berfungsi untuk pematangan folikel
dalam ovarium yang akan berovulasi.
Lonjakan LH akan mengakibatkan terjadinya
ovulasi. Kira-kira 14 hari setelah ovulasi
terjadilah menstruasi. Jadi, bila terjadi
gangguan pada sekresi hormon-hormon
tersebut di atas maka siklus menstruasi juga
akan terganggu, salah satunya berupa
amenore.
DAFTAR PUSTAKA
Warren,MP.1999. Health Issues for Women
Athletes: Exercise-induced Amenorrhea.
J of Clinical Endocrinology &
Metabolism. Vol.84 No.6:1892-6.
Warren,MP.1980. The Effects of Exercise on
Pubertal Progression and Reproductive
Function in Girls. J of Clinical
Endocrinology & Metabolism. Vol.51
No.5:1150-7.
Fox ,EL; Bowers,RW;Foss,ML. 1993. The
Physiological Basic for Exercise and Sport.
Edisi
ke-5.
Wm.C.Brown
communications, Inc.
Wiknjosastro,H.1997. Ilmu Kandungan.Edisi
ke-2 Cetakan ke-2. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
Pritchard, MacDonald, Gant. Penerjemah:
Hariadi,R,dkk.1991.Obstetri Williams.
Cetakan ke-1.Airlangga University
Press.Surabaya.
Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr.
Soetomo.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Lab/UPF Imu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan RSUD Dr.Soetomo.Surabaya.
Wikipedia.
Menstrual
Cycle.(cited
21
September 2010). Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki
Wikipedia. Amenorrhoea.(cited 24 September
2010). Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki
80
Download