BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses globalisasi mengakibatkan persaingan antar bangsa semakin tajam terutama dalam bidang ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Hanya negara yang unggul dalam bidang ekonomi dan IPTEK serta didukung dengan nilai-nilai budaya yang kondusif, yang akan membawa dampak besar bagi globalisasi dan keunggulan tersebut dapat dicapai terutama dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Upaya untuk menjawab tantangan tersebut merupakan perjuangan kita dengan masa depan agar bangsa Indonesia dapat lebih dihargai dan diperhitungkan dalam percaturan global. Kesadaran ini telah mendorong setiap negara untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang bersamaan dengan penguatan indentitas, kebudayaan, dan kebangsaannya (Supriadi 1995). Pemerintahpun mulai membenahi sistem pendidikan di Indonesia untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Hal ini telah tercantum pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang berisikan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi negara yang demokratis, serta bertanggung jawab (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, 2003) Sistem pendidikan di Indonesia mempunyai jenjang pendidikan dengan tingkatan ilmu yang akan dipelajari, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah menengah Atas (SMA), ataupun sekolah yang sama tingkatannya seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah baik negeri ataupun swasta, serta perguruan tinggi. Pada setiap tingkatan pendidikan ini akan berlangsung proses belajar mengajar didalamnya dan seorang pendidik akan memberikan materi pelajaran kepada peserta didik (siswa). Para siswa ini tentunya akan mengalami pengalaman-pengalaman yang baru dan berbeda setiap hari. Untuk mengetahui apakah siswa telah dapat menguasai pelajaran yang telah diberikan, maka pihak sekolah akan mengadakan ujian setiap pertengahan semester dan akhir semester. Oleh sebab itu diharapkan para siswa sebaiknya menguasai materi pelajaran yang telah diberikan kepadanya selama proses pembelajaran di sekolah. Menurut Mahmud (1998), ujian adalah suatu penilaian yang dilakukan sebagai tes hasil dari suatu proses belajar mengajar. Hasil tes akan memberikan informasi sejauh mana pelajaran dapat diterima oleh siswa selama berlangsungnya proses belajar-mengajar. Hal senada dikemukakan pula oleh Sudjana (2005), bahwa ujian adalah hasil belajar siswa yang merupakan akibat dari suatu proses belajar siswa selama menjalani pendidikannya. Shadily (2002) juga mengatakan bahwa ujian merupakan suatu pemeriksaan mengenai pengetahuan, keahlian dan kecerdasan seseorang (siswa) untuk diperkenankan atau tidak dalam mengikuti pendidikan tingkat tertentu. Hal ini berarti optimalnya atau tidaknya hasil belajar siswa tergantung pada bagaimana proses belajar serta kesungguhan siswa dalam menjalani ujian sehingga siswa diperkenankan untuk mengikuti pendidikan selanjutnya. Bagi para siswa-siswi kelas X tahun ajaran 2010/2011 yang baru masuk ajaran baru, dapat dikatakan ujian semester ini adalah ujian pertama yang akan mereka hadapi selama duduk di bangku SMK, sehingga mereka mendapatkan materi pelajaran yang lebih tinggi tingkatannya dari SMP, yang memungkinkan ada kecenderungan mereka merasa khawatir akan kemampuan mereka menghadapi ujian karena sistem penilaian dan sistem pengajaran yang berbeda dari tingkat SMP ketingkat SMK. Melalui hasil wawancara yang diperoleh dengan siswa-siswi ini ada sebagian siswa-siswi yang tetap santai meskipun belum siap menghadapi ujian, sebagian lagi mengaku belajar sehari sebelum ujian dilaksanakan yang memungkinkan mereka akan mengalami ketakutan akan mendapatkan nilai yang kurang baik, dan ada juga sebagian yang mengaku mempersiapkan diri dengan belajar jauh sebelum ujian dilaksanakan akan tetapi masih banyak juga yang tetap ketakutan menghadapi ujian dan tidak akan dapat nilai yang baik meskipun mereka sudah mempersiapkan diri dengan belajar secara sungguhsungguh. Kondisi seperti ini umumnya menimbulkan gejala kecemasan bagi siswa-siswi SMK kelas X yang ditandai dengan kegelisahan, ketegangan,banyak berkeringat, tangan yang dingin, susah tidur, dan khawatir akan mendapatkan nilai yang tidak baik. Menurut Albin (2003), bahwa kecemasan merupakan manifestasi emosi yang bercampur baur dan dialami oleh individu sebagai suatu reaksi terhadap ancaman, tekanan, kekhawatiran yang mempengaruhi fisik dan psikis. Salah satu yang dapat menimbulkan ancaman, tekanan, kekhawatiran pada diri siswa adalah ujian, karena ujian merupakan suatu proses pemeriksaan mengenai pengetahuan dan keahlian siswa sebagai akibat dari suatu proses belajarnya selama menjalani pendidikan, sekaligus menjadi tolak ukur bagi keberhasilan siswa dalam menempuh proses pendidikannya selama ini. Rasa cemas yang muncul biasanya ditandai dengan munculnya gejala-gejala kecemasan yang terlihat dari fisiknya misalnya berkeringat maupun psikis, misalnya rasa takut atau khawatir terhadap kemampuan dalam menjawab soal ujian. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Atkinson (1996), bahwa kecemasan itu timbul akibat adanya situasi yang mengancam kesejahteraan individu. Konflik dan bentuk prustrasi lainnya merupakan salah satu sumber kecemasan. Ancaman fisik, ancaman harga diri, dan tekanan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan, juga akan menimbulkan kecemasan. Jika siswa-siswi mengalami kecemasan saat menghadapi ujian, maka mereka tidak akan optimal dalam menjawab soal-soal ujian, karena rasa cemas akan menghilangkan konsentrasi siswa. Sehingga mereka tidak akan mendapatkan hasil atau nilai yang baik pula. Kecemasan yang dialami siswa-siswi disaat menghadapi ujian mungkin tidak sama karena tingkat kecemasan mereka berbeda-beda. Ada sebagian siswa- siswi yang tingkat kecemasannya mungkin saja rendah atau bahkan tidak cemas meskipun merasa belum siap menghadapi ujian, ada juga sebagian siswa-siswi cemas tetapi mereka berusaha dengan belajar dan optimis bisa menjawab soal-soal ujian, sehingga sedikit menetralisir rasa cemasnya. Adapula sebagian siswa-siswi yang cemas, serta berpikir akan sulit menjawab soal-soal ujian dan mendapat nilai yang kurang baik walau sudah belajar. Hal ini dikarenakan siswa-siswi ini merasa dirinya bodoh ataupun tidak mampu mengerjakan soal ujian tersebut, sehingga rasa cemas yang dimilikinya semakin bertambah. Semua tergantung dari bagaimana mereka memandang diri mereka atau bagaimana konsep diri yang mereka miliki. Menurut Hurlock (1993) konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, Segala hal yang berkaitan dengan penilaian kita tentang diri kita sendiri merupakan konsep diri yang telah kita bentuk untuk diri kita sendiri. Konsep diri yang positif akan berkembang jika seseorang mengembangkan sifat-sifat yang berkaitan dengan harga diri baik, kepercayaan diri yang baik, dan kemampuan melihat diri secara realistik. Sifat-sifat ini memungkinkan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain secara akurat dan mengarah pada penyesuaian diri yang baik. Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu. Branden (2000) menjelaskan bahwa konsep diri adalah apa dan siapa kita yang sebenarnya baik secara sadar dan tidak sadar tentang sifat-sifat fisik dan psikologis, kelebihan dan kekurangan kita. Penerimaan diri yang positif baik kekurangan dan kelebihan yang terbentuk di dalam diri siswa akan membantu mereka untuk mampu menghadapi ujian, dimana siswa tersebut meyakini kekurangannya dan berusaha mengatasinya dengan cara mengenali kelebihannya serta mempertahankan konsep diri yang positif yang telah dibentuk didalam dirinya. Siswa tersebut akan berusaha mengatasi rasa cemas dan rasa tidak mampu yang ada pada dirinya. Namun sebaliknya jika siswa tidak menyadari kekurangan dan kelebihannya serta mempunyai penerimaan diri yang negatif, hal ini akan membuat seorang siswa mengalami tekanan dan kecemasan yang tinggi setiap kali akan berhadapan dengan ujian, merasa tegang dan tidak nyaman mengerjakan soal-soal ujian dan tanpa disadari siswa akan menanamkan perasaan tidak mampu dalam dirinya, dengan kata lain kalah sebelum berjuang. Padahal belum tentu mereka gagal dalam ujian tersebut. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang, "Hubungan antara konsep diri dengan kecemasan menghadapi ujian semester pada siswa-siswi kelas X di SMK Brigjen Katamso Medan". B. Rumusan Masalah Sebuah masalah perlu dirumuskan dengan jelas serta ruang lingkup yang sifatnya terbatas sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun yang menjadi rumusan masalah ini adalah: Apakah ada hubungan antara konsep diri terhadap kecemasan menghadapi ujian semester pada siswa-siswi kelas X SMK Brigjend Katamso Medan? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris hubungan antara konsep diri dengan kecemasan menghadapi ujian semester pada siswa-siswi kelas X SMK Brigjen Katamso Medan D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis terhadap perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan terutama dalam mengkaji tentang konsep diri dan kecemasan siswa-siswi dalam menghadapi ujian. 2. Manfaat praktis Melalui penelitian ini diharapkan bagi semua pihak yang terkait, seperti: a. Siswa-siswi Bagi siswa-siswi, penelitian dapat menjadi tolak ukur dalam kemampuan mereka untuk meminimalisir kecemasan menghadapi ujian dan dapat mengembangkan kemampuan mereka dalam memahami bidang studi yang diajarkan di sekolah. b. Sekolah Bagi pihak sekolah diharapkan dari hasil penelitian ini juga dapat memberikan masukan tentang kondisi kecemasan yang dialami siswa-siswi dalam menghadapi ujian. c. Keluarga Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk mengetahui kondisi psikologis anak dalam menghadapi ujian, sehingga orang tua atau keluarga dapat memberi pertimbangan untuk menciptakan alternatif-alternatif bimbingan yang dapat menumbuhkan kemampuan remaja dalam mengurangi kecemasan yang mereka alami dalam menghadapi ujian. d. Peneliti selanjutnya Diharapkan agar peneliti selanjutnya dapat mengembangkan hasil penelitian ini dan dapat menjadi bahan masukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya. BAB II LANDASAN TEORI A. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan Semua situasi yang akan mengancam kesejahteraan organisme dapat menimbulkan kecemasan. Konflik, frustasi, ancaman fisik, ancaman terhadap harga diri, dan tekanan untuk melakukan sesuatu diluar kemampuan akan menimbulkan kecemasan (Atkinson, 1996) Trismiati (dalam purba, 2008) menjelaskan bahwa kecemasan adalah perasaan waswas, khawatir atau tidak nyaman seakan-akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernapasan. Kecemasan adalah satu gejala yang dialami oleh semua orang dalam hidupnya. Menjadi cemas pada tingkat tertentu dapat dianggap sebagai bagian dari respon normal yang mengatasi masalah sehari-hari. Tetapi, bila kecemasan berlebihan dan tak sebanding dengan situasi, hal ini dianggap sebagi hambatan atau masalah. Kecemasan merupakan reaksi psikis terhadap kondisi mental individu yang tertekan. Apabila orang menyadari bahwa hal-hal yang tidak bisa berjalan dengan baik pada situasi tertentu akan berakhir tidak menyenangkan, maka mereka akan merasa cemas. Kondisi-kondisi atau situasi yang menekan akan menimbulkan kecemasan. Nevid (2003) juga menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa suatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal yang di cemaskan misalnya, kesehatan kita, relasi sekolah, ujian, dan kondisi lingkungan adalah beberapa hal yang dapat menjadi sumber kekhawatiran. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang di alami idividu, bukan hanya kekhawatiran tetapi juga rasa takut. Pada kecemasan perasaan ini bersifat kabur, tidak realistis atau objeknya tidak jelas, ketidak beranian individu dalam menghadapi suatu masalah dan adanya kerisauan terhadap hal-hal yang tidak jelas merupakan tanda-tanda kecemasan pada individu. Freud (dalam Atkinson, 1996) mengatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang di sertai dengan sensasi fisik yang mengingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaan yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit menunjuk dengan tepat, tetapi keadaan itu sendiri selalu dirasakan. Kecemasan melibatkan presepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atau situasi yang dianggap berbahaya. Istilah kecemasan mengacu kepada perasaan tidak nyaman dan ketakutan, ditambah dengan beberapa gejala fisik yang tidak menyenangkan, termasuk ketegangan, denyut jantung bertambah cepat, nafas memburu, mulut kering, berkeringat dan gemetar. Apabila rasa cemas semakin parah, berbagai hal yang lebih buruk bisa muncul, misalnya rasa pusing, pingsan, sakit dada, pandangan buram, badan terasa panas dan dingin, mual dan sering buang air. Menurut Chaplin (2004) kecemasan adalah perasaan cemas mengenai masa-masa yang akan datang tanpa mengalami sebab khusus dalam menghadapi kecemasan tersebut. Seseorang akan merasa sesuatu yang buruk akan menimpa dirinya, padahal semua itu belum tentu terjadi. Seperti siswa yang cemas saat ujian hampir dekat, siswa tersebut takut jika dirinya tidak dapat menjawab soal-soal ujian dengan benar dan akhirnya tidak mendapatkan nilai yang baik. Siswa pun merasa dirinya terancam dengan situasi ini. Bukan terancam pada fisik tetapi mereka di hadapkan pada ancaman harga diri jika mereka tidak mendapat nilai yang baik. Mulailah mereka merasakan kecemasan, apakah mereka bisa melewati ujian dengan mendapat nilai yang baik. Berdasarkan uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang dialami individu yang mengkhawatirkan sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan merupakan suatu reaksi psikis ketika individu merasakan ancaman bagi dirinya atau saat kondisi mental individu tertekan. Apabila individu menyadari akan hal-hal yang tidak berjalan dengan baik pada situasi tertentu akan berakhir tidak menyenangkan, maka mereka akan merasa cemas. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Yaitu : Grainger (1995) menjelaskan bahwa individu membuat keputusan kecemasan yang berdasarkan: a. Faktor lingkungan, dimana kita menemukan diri kita sendiri. Hal ini terdiri dari tuntutan terhadap diri kita di rumah, di sekolah,dan di kehidupan kita pribadi. b. Faktor individu, yaitu berkaitan dengan individu termasuk ciri kepribadian (misalnya, apakah pada dasarnya individu tersebut adalah seorang yang pencemas) dan sikap (misalnya, kepercayaan yang menyatakan saya tidak tahu, adalah suatu kelemahan). Faktor individu lainnya meliputi usia dan tingkat sosial. Pada umumnya, semakin semakin percaya diri dan semakin merasa bertambah usia, maka kemampuan dalam menangani keadaan semakin baik. Selain itu, Nevid (2003) juga menjelaskan beberapa faktor kecemasan yang berkaitan dengan individu yaitu: a. Faktor-faktor kognitif yang dapat mempengaruhi kecemasan, yaitu : 1. Prediksi berlebihan terhadap rasa takut. Orang yang mengalami kecemasan sering kali memprediksi secara berlebihan beberapa besar ketakutan atau kecemasan yang akan dialami dalam tentang situasi-situasi pembangkit kecemasan. 2. Keyakinan yang self-deating atau irasional Pikiran-pikiran irasional dapat meningkatkan dan mengekalkan kecemasan, pikiran- pikiran semacam mengganggu rencana, mendorong tingkah laku menghindar, dan menurunnya harapan untuk self-efficacy sehubungan dengan kempuan seseorang untuk mengendalikan situasi. 3. Sensitivitas berlebihan terhadap ancaman. Suatu sensitivitas terhadap sinyal ancaman adalah ciri utama dari kecemasan. 4. Sensitivitas kecemasan Sensitivitas kecemasan biasanya didefenisikan sebagai ketakutan terhadap kecemasan dari simtom-simtom yang terkait dengan kecemasan. 5. Salah mengatribusikan sinyal-sinyal tubuh Para teoritis kognitif menunjukkan peran dari salah interpretasi yang bencana, seperti peran palpitasi jantung, pusing tujuh keliling, dari sintom-sintom panik menjadi serangan 6. membawa kepala-enteng dalam eskalasi panik yang parah. Self-Efficacy yang rendah Bila anda percaya anda tidak punya kemampuan untuk menanggulangi tantangan penuh stres yang Anda hadapi dalam hidup, Anda tantangan- akan merasa semakin cemas bila Anda berhadapan dengan tantangan- tantangan itu. b. Faktor-faktor biologis yang dapat mempengaruhi kecemasan, yaitu : 1. Faktor-faktor genetis Para peneliti memperkirakan bahwa separuh variabilitas dari masyarakat dalam populasi umum yang mempunyai trait mendasar ini berasal faktor- faktor genetis, dan faktor lingkungan menjelaskan yang separuhnya. 2. Neurotransmiter Sejumlah neurotransmiter berpengaruh pada reaksi kecemasan, gammaaminobutyric acid (GABA). GABA adalah neurotransmiter yang yang berarti meredakan aktifitas yang berlebih dari sistem saraf dan termasuk inhibitory, membantu untuk meredam respon-respon stres. 3. Aspek-aspek biokimia pada ganguan panik Komponen fisik yang kuat pada gangguan panik telah membawa beberapa teoritikus untuk berspekulasi bahwa serangan-serangan panik mempunyai dasar biologis, kemungkinan melibatkan sistem alarm yang disfungsional di otak. 4. Aspek-aspek biologis dari gangguan obsestif-kompulsif Pada OCD; otak dapat secara konstan mengirim pesan bahwa ada sesuatu yang salah dan memerlukan perhatian segera, hal ini membawa kepada pikiran-pikiran kecemasan obsesional dan tingkah laku kompulsif repetitif. Berdasarkan uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan dapat di bagi menjadi dua, yaitu faktor lingkungan dan faktor individu. Faktor lingkungan adalah tuntutan terhadap diri sendiri yang berasal dari masyarakat. Sedangkan faktor individu adalah kehidupan pribadi seseorang tentang penilaian terhadap dirinya. 3. Ciri-ciri kecemasan Menurut Nevid (2003) kecemasan memiliki ciri-ciri sebagai beikut : a. Ciri-ciri fisik dari kecemasan : 1. Kegelisahan, kegugupan. 2. Tangan atau anggota tubuh yang bergetar atau gemetar. 3. Banyak keringat 4. Sulit bicara 5. Sulit bernafas 6. Jantung berdetak kencang 7. Terdapat gangguan sakit perut atau mual 8. Sering buang air kecil b. Ciri-ciri behavioral dari kecemasan 1. Perilaku menghindar 2. Perilaku melekat dan dependen 3. Perilaku terguncang c. Ciri-ciri kognitif dari kecemasan : 1. Khawatir tentang sesuatu 2. Berpikir dunia akan mengalami keruntuhn 3. Berpikir bahwa semua tidak dapat dikendalikan 4.Mengalami kebingungan 5. Sulit berkonsentrasi dan memfokuskan pikiran Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa ciri-ciri kecemasan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: ciri-ciri fisik, ciri-ciri behavioral dan ciri-ciri kognitif. 4.Aspek-Aspek Kecemasan Menurut Davidson (1994) terdapat dua aspek kecemasan yaitu : a. Aspek biologis Gerakan otomatis meningkat : misalnya, berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering. b. Aspek psikologis 1. Suasana hati : Kecemasan, mudah marah, perasaan sangat tegang. 2. Pikiran : khawatir, sukar berkonsentarasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitif, merasa tidak berdaya. 3. Motivasi : Menghindari situasi, ketergantungan tinggi, ingin melarikan diri. 4. Perilaku : gelisah, gugup, kewaspadaan yang berlebihan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecemasan dapat dibagi 2, yaitu : aspek biologis dan aspek psikologis. 5.Jenis-Kenis Kecemasan Menurut Sundari (2005) jenis jenis kecemasan dapat di bagi menjadi tiga, yaitu : a. Kecemasan karena merasa berdosa atau bersalah b. Kecemasan karena melihat dan mengetahui bahaya yang mengancam dirinya c. Kecemasan dalam bentuk yang kurang jelas, yaitu apa yang ditakuti tidak seimbang, bahkan yang di takuti itu hal atau benda yang tidak berbahaya. Pendapat lainnya di kemukakan oleh Freud (dalam Corey, 2005) yang membedakan kecemasan menjadi tiga, yaitu : a. Kecemasan realistik, merupakan kecemasan terhadap adanya tantangan atau bahaya dari luar. b. Kecemasan neurotis, yaitu rasa cemas yang timbul akibat rasa takut terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan yang bias mendatangkan hukuman bagi dirinya. Kecemasan ini di dasarkan oleh pengalaman kecemasan realistik. c. Kecemasan moral, yaitu kecemasan terhadap hati nurani sendiri. Seseorang yang hati nuraninya berkembangan dengan baik cenderung merasa berdosa bila ia melakukan yang berlawanan dengan moral yang dimilikinya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis kecemasan dapat dibagi 3, yaitu: kecemasan realistik, kecemasan neurotis dan kecemasan moral. B. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri Setiap individu pastilah memiliki konsep diri yang telah terbentuk dalam dirinya. Masalah-masalah rumit yang dialami manusia, sering kali dan bahkan hampir semua, sebenarnya berasal dari dalam diri. Tanpa sadar mereka menciptakan permasalahan yang berakar dari problem konsep diri. Dengan memiliki kemampuan berpikir dan menilai, manusia malah suka menilai yang tidak sesuai terhadap diri sendiri maupun sesuatu atau orang lain dan bahkan meyakini presepsinya yang belum tentu objektif. Dari situlah muncul problem seperti kurang percaya diri, pesimis, takut gagal dan hobi mengkritik diri sendiri. Burns (1993) menjelaskan konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan orang-orang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa konsep diri yang dimiliki individu dapat diketahui lewat informasi, pendapat, penilaian atau evaluasi dari orang lain mengenai dirinya. Individu akan mengetahui dirinya cantik, pandai, atau ramah jika ada informasi dari orang lain mengenai dirinya. Menurut Centi (1993), konsep diri adalah suatu gagasan tetang diri sendiri, dimana gagasan itu sendiri terdiri dari bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi dan bagaimana individu menginginkan dirinya menjadi manusia sebagaimana yang di harapkan. Menurut Hurlock (1993), konsep diri adalah sebagai hasil observasi terhadap dirinya sendiri secara keseluruhan sebagai hasil obsevasi terhadap dirinya dimasa lalu dan sekarang ini. Konsep diri terbentuk sesuai dengan keinginan individu dan dari pengamatan individu tersebut tentang dirinya. Jika individu tersebut membentuk konsep diri yang positif maka ia akan menjadi individu yang optimis dalam menyelesaikan permasalahan dan dapat mencapi kesuksesan yang diharapkannya. Sebaliknya, individu yang membentuk konsep dirinya negatif maka ia akan menjadi individu yang pesimis atau tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehingga ia akan mengalami tekanan dan akhirnya akan timbul kecemasan. Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya. 2. Pembentukan Konsep Diri Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap terbentuknya konsep diri. Menurut Hurlock (1999) konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan kontak individu dengan orang lain. Cara seseorang memperlakukan individu tersebut, dan status individu dalam kelompok tempat individu mengidentifikasikan diri pertama-tama orang yang paling berarti dalam kehidupan seseorang adalah keluarga. Anggota keluarga memiliki peraturan dan peraruh yang dominan dalam perkembangan konsep diri. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gunarsa (2002) yang mengatakan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan konsepsi seseorang mengenai sikap-sikap orang lain terhadap dirinya. Seorang anak akan mulai berpikir dan merasakan dirinya seperti apa yang telah ditentukan oleh orang lain dalam lingkungannya misalnya orang tua, guru, ataupun teman-teman. Gunarsa (2002) juga menambahkan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan pengaruh lingkungan. Bagaimana reaksi orang lain terhadap dirinya ataupun tingkah lakunya, bagaimanapun pujian-pujian atas segala prestasi yang telah dicapai ataupun segala hukuman atas kesalahan-kesalahan yang akan membentuk suatu konsep diri tentang dirinya. Konsep diri ini juga mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali lupa sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang yang merasa dirinya pandai dan selalu mendapat nilai baik, namun suatu ketika ia mendapat angka merah. Bisa saja pada saat itu ia merasa bodoh, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar dari sejak pertumbuhan seseorang dengan lingkungan sekitarnya. 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri Menurut Hurlock (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah : a. Usia kematangan b. Penampilan diri c. Nama dan julukan d. Hubungan keluarga e. Teman-teman sebaya f. Kreatifitas g. Cita-cita Pendapat lainnya dari Fitts (dalam Agustiani, 2006) yang menyatakan konsep diri dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : a. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal, yang memunculkan perasaan positif dan perasaan berharga. b. Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain. c. Aktualisasi diri, realisasi dari potensi pribadi yang sebenarnya. 4. Aspek-aspek Konsep Diri Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Fitts (dalam Agustiani, 2006) menyatakan bahwa konsep diri memiliki aspek-aspek, antara lain: a. Aspek diri fisik, yaitu cara seseorang dalam memandang dirinya dari sudut pandang fisik, kesehatan, penampilan keluar, dan gerak motoriknya. Konsep diri seseorang dianggap positif apabila ia memiliki pandangan yang positif terhadap kondisi fisiknya, penampilannya, kondisi kesehatannya, kulitnya, tampan atau cantiknya, serta ukuran tubuh yang ideal. b. Aspek diri pribadi, yaitu cara seseorang dalam menilai kemampuan yang ada pada dirinya dan menggambarkan identitas dirinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya. c. Aspek diri sosial, yaitu persepsi, pikiran, perasaan, dan evaluasi seseorang terhadap kecenderungan sosial yang ada pada dirinya sendiri, berkaitan dengan kapasitasnya dalam berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosialnya. d. Aspek diri moral etik, berkaitan dengan persepsi, pikiran, perasaan, serta penilaian seseorang terhadap moralitas dirinya terkait dengan relasi personalnya dengan Tuhan, dan segala hal yang bersifat normatif, baik nilai maupun prinsip yang memberi arti dan arah bagi kehidupan seseorang. e. Aspek diri keluarga, berkaitan dengan perspesi, perasaan, pikiran, dan penilaian seseorang terhadap keluarganya sendiri, dan keberadaan dirinya sendiri sebagai bagian integral dari sebuah keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konsep diri dapat dibagi menjadi 5, yaitu: aspek diri fisik, aspek diri pribadi, aspek diri sosial, aspek diri moral etik dan aspek diri keluarga. 5. Karakteristik Konsep Diri Menurut Brooks (dalam Rakhmat, 2001) karakteristik dari konsep diri yang positif adalah: a. Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya mengatasi masalah. b. Individu merasa setara dengan orang lain c. Individu menerima pujian tanpa rasa malu. d. Individu menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan, dan perilaku yang seluruhnya disetujui oleh masyarakat. e. Individu mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengunakan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya. Sedangkan karakteristik yang negatif menurut Brooks dan Emmenrt (dalam Rakhmat, 2001) adalah: a. Peka terhadap kritikan. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam. b. Responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. c. Individu bersifat hiperaktif terhadap orang lain. Selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun dan siapapun, mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. d. Cendrung merasa tidak disenangi orang lain. Merasa tidak diperhatikan, karena itu ia bereaksi kepada orang lain sebagai musuh. e. Bersifat pesimis terhadap kopetensi seperti terungkap dalam keenganan untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi individu menggangap tidak berdaya melawan persaingan yang merugikan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa karakteristik konsep diri ada 2, yaitu: karakteristik positif dan karakteristik negatif. C. Ujian 1. Pengertian Ujian Ujian berarti suatu tindakan untuk menentukan nilai sesuatu. Dalam arti luas, ujian adalah suatu proses dalam merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan yang dilaksanakan sebagai persyaratan siswa-siswi dinyatakan lulus dari jejang pendidikan sebelum kejenjang pendidikan berikutnaya dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemeritah (Mehrens dan Lelman, dalam Djiwandono,2006) Shadily (2002) mengatakan bahwa ujian merupakan suatu pemeriksaan mengenai pengetahuan, keahlian atau kecerdasan seseorang (siswa) untuk diperkenankan atau tidak dalam mengikuti pendidikan tingkat tertentu. Hal ini berarti optimalnya hasil belajar siswa dalam menjalani ujian sehingga siswa diperkenankan untuk mengikuti pendidikan selanjutnya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ujian adalah pemeriksaan pengetahuan dari hasil pelajaran yang selama ini telah dipelajari. 2. Manfaat Ujian a. Menurut Purwanto (1999), manfaat dari ujian adalah: 1. Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan siswa setelah menjalani atau melakukan kegiatan belajar selama dalam jangka waktu tertentu. 2. Untuk melakukan tingkat keberhasilan dalam proses pengajaran bagi pendidik. b. Menurut Mahmud (1999) manfaat ujian dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1. Meramalkan keberhasilan siswa dalam suatu mata pelajaran 2. Mendiagnosis kesulitan-kesulitan yang dialami siswa 3. Mengukur kemajuan siswa 4. Mengukur hasil belajar siswa D. Hubungan Konsep Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Ujian Ujian merupakan patokan untuk siswa-siswi apakah mereka bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Ujian juga menjadi penentu apakah materi pelajaran pada proses belajar mengajar yang telah berlangsung berhasil dikuasai oleh siswa atau sebaliknya siswa belum menguasai materi pelajaran yang telah diberikan. Jika mereka belum menguasai materi mereka akan sulit menjawab soal-soal ujian dan akhirnya memperoleh nilai yang kurang baik. Hal ini memungkinkan akan dapat menimbulkan kecemasan bagi siswa siswi. Sigmund Tobias (dalam Djiwandono,2006) menjelaskan bagaimana kecemasan mempengaruhi siswa yang sedang belajar dan mempengaruhi siswa yang sedang menjalankan tes untuk mencapai prestasi. Ketika siswa sedang belajar materi baru, perhatian sangat diperlukan. Siswa yang memiliki kecemasan yang tinggi secara jelas membagi perhatian mereka pada materi yang baru dan pada perasaan nervous mereka, jadi sejak siswa mulai merasa cemas, dia telah kehilangan banyak informasi yang disampaikan guru, masalahpun tidak berakhir disini. Siswa yang memiliki kecemasan yang tinggi tidak dapat mengorganisasi pelajaran dengan baik, Sehingga tes menimbulkan kecemasan pada setiap siswa. Anak yang mempunyai kecemasan mungkin saja kurang kebebasannya untuk memeriksa tingkah laku dan konsepsi-konsepsi dirinya sendiri yang mungkin menghalangi upaya untuk mendapatkan sebuah konsepsi diri yang realistis. Feldhusen dan Thurston (dalam Burns, 1993) Hubungan diantara tingkat kecemasan dan konsep diri diperkeruh oleh sifat-sifat yang diinginkan oleh masyarakat. Hubungan di antara konsep diri yang negatif dan kecemasan dapat juga bersumber dari dalam proses mempelajari sifat- sifat yang negatif. Sebagai contohnya, bila seorang anak diberitahu bahwa dia bodoh dan perangsangan verbal ini disertai dengan anak-anak yang lainya ataupun orang tua mengejeknya dengan tidak baik, tindakan-tindakan yang terakhir ini mungkin mengakibatkan respon-respon kecemasan tidak aman. Dengan suatu paradigma pengkondisian yang klasik adalah merupakan sebuah langkah yang sederhana untuk memperlihatkan bahwa perangsangan pikiran 'saya seorang yang bodoh' akan mendatangkan respon kecemasan yang sama. Sehingga situasi belajar yang melibatkan konotasi-konotasi negatif juga biasanya melibatkan respon-respon kecemasan yang negatif. Seperti yang dikatakan oleh Mitchell (dalam Burns,1993), semakin positif konsep diri semakin kurang kecemasan yang diperlihatkan. Untuk mengurangi rasa cemas dalam menghadapi ujian, diharapkan para siswa dapat mengembangkan konsep diri mereka dengan positif. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri positif sangat diperlukan bagi para siswa-siswi, terutama dalam menghadapi ujian. Sebab dengan dimilikinya konsep diri positif, maka hal ini akan mengakibatkan para siswa mampu meredakan kecemasan dalam menghadapi ujian. E. Hipotesis Berdasarkan penjelasan diatas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis, yaitu “ada hubungan negatif antara konsep diri dengan kecemasan siswa-siswi dalam menghadapi ujian. Dengan asumsi bahwa semakin positif konsep diri yang dimiliki siswa-siswi maka semakin rendah tingkat kecemasan mereka, sebaliknya semakin negatif konsep diri yang di miliki siswasiswi terhadap dirinya, maka semakin tinggi tingkat kecemasan mereka dalam menghadapi ujian.