Karya Tulis

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses globalisasi mengakibatkan persaingan antar bangsa semakin tajam terutama
dalam bidang ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Hanya negara yang
unggul dalam bidang ekonomi dan IPTEK serta didukung dengan nilai-nilai budaya yang
kondusif, yang akan membawa dampak besar bagi globalisasi dan keunggulan tersebut dapat
dicapai terutama dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Upaya untuk menjawab
tantangan tersebut merupakan perjuangan kita dengan masa depan agar bangsa Indonesia
dapat lebih dihargai dan diperhitungkan dalam percaturan global. Kesadaran ini telah
mendorong setiap negara untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang bersamaan dengan
penguatan indentitas, kebudayaan, dan kebangsaannya (Supriadi 1995).
Pemerintahpun mulai membenahi sistem pendidikan di Indonesia untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusianya. Hal ini telah tercantum pada Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang berisikan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi negara yang demokratis, serta bertanggung
jawab (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, 2003)
Sistem pendidikan di Indonesia mempunyai jenjang pendidikan dengan tingkatan ilmu
yang akan dipelajari, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah menengah Atas (SMA),
ataupun sekolah yang sama tingkatannya seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan
Madrasah Aliyah baik negeri ataupun swasta, serta perguruan tinggi. Pada setiap tingkatan
pendidikan ini akan berlangsung proses belajar mengajar didalamnya dan seorang pendidik
akan memberikan materi pelajaran kepada peserta didik (siswa). Para siswa ini tentunya akan
mengalami pengalaman-pengalaman yang baru dan berbeda setiap hari. Untuk mengetahui
apakah siswa telah dapat menguasai pelajaran yang telah diberikan, maka pihak sekolah akan
mengadakan ujian setiap pertengahan semester dan akhir semester. Oleh sebab itu diharapkan
para siswa sebaiknya menguasai materi pelajaran yang telah diberikan kepadanya selama
proses pembelajaran di sekolah.
Menurut Mahmud (1998), ujian adalah suatu penilaian yang dilakukan sebagai tes hasil
dari suatu proses belajar mengajar. Hasil tes akan memberikan informasi sejauh mana
pelajaran dapat diterima oleh siswa selama berlangsungnya proses belajar-mengajar. Hal
senada dikemukakan pula oleh Sudjana (2005), bahwa ujian adalah hasil belajar siswa yang
merupakan akibat dari suatu proses belajar siswa selama menjalani pendidikannya.
Shadily (2002) juga mengatakan bahwa ujian merupakan suatu pemeriksaan mengenai
pengetahuan, keahlian dan kecerdasan seseorang (siswa) untuk diperkenankan atau tidak
dalam mengikuti pendidikan tingkat tertentu. Hal ini berarti optimalnya atau tidaknya hasil
belajar siswa tergantung pada bagaimana proses belajar serta kesungguhan siswa dalam
menjalani ujian sehingga siswa diperkenankan untuk mengikuti pendidikan selanjutnya.
Bagi para siswa-siswi kelas X tahun ajaran 2010/2011 yang baru masuk ajaran baru,
dapat dikatakan ujian semester ini adalah ujian pertama yang akan mereka hadapi selama
duduk di bangku SMK, sehingga mereka mendapatkan materi pelajaran yang lebih tinggi
tingkatannya dari SMP, yang memungkinkan ada kecenderungan mereka merasa khawatir akan
kemampuan mereka menghadapi ujian karena sistem penilaian dan sistem pengajaran yang
berbeda dari tingkat SMP ketingkat SMK. Melalui hasil wawancara yang diperoleh dengan
siswa-siswi ini ada sebagian siswa-siswi yang tetap santai meskipun belum siap menghadapi
ujian, sebagian lagi mengaku belajar sehari sebelum ujian dilaksanakan yang memungkinkan
mereka akan mengalami ketakutan akan mendapatkan nilai yang kurang baik, dan ada juga
sebagian yang mengaku mempersiapkan diri dengan belajar jauh sebelum ujian dilaksanakan
akan tetapi masih banyak juga yang tetap ketakutan menghadapi ujian dan tidak akan dapat
nilai yang baik meskipun mereka sudah mempersiapkan diri dengan belajar secara sungguhsungguh. Kondisi seperti ini umumnya menimbulkan gejala kecemasan bagi siswa-siswi SMK
kelas X yang ditandai dengan kegelisahan, ketegangan,banyak berkeringat, tangan yang dingin,
susah tidur, dan khawatir akan mendapatkan nilai yang tidak baik.
Menurut Albin (2003), bahwa kecemasan merupakan manifestasi emosi yang
bercampur baur dan dialami oleh individu sebagai suatu reaksi terhadap ancaman, tekanan,
kekhawatiran yang mempengaruhi fisik dan psikis. Salah satu yang dapat menimbulkan
ancaman, tekanan, kekhawatiran pada diri siswa adalah ujian, karena ujian merupakan suatu
proses pemeriksaan mengenai pengetahuan dan keahlian siswa sebagai akibat dari suatu
proses belajarnya selama menjalani pendidikan, sekaligus menjadi tolak ukur bagi keberhasilan
siswa dalam menempuh proses pendidikannya selama ini. Rasa cemas yang muncul biasanya
ditandai dengan munculnya gejala-gejala kecemasan yang terlihat dari fisiknya misalnya
berkeringat maupun psikis, misalnya rasa takut atau khawatir terhadap kemampuan dalam
menjawab soal ujian.
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Atkinson (1996), bahwa kecemasan itu
timbul akibat adanya situasi yang mengancam kesejahteraan individu. Konflik dan bentuk
prustrasi lainnya merupakan salah satu sumber kecemasan. Ancaman fisik, ancaman harga diri,
dan tekanan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan, juga akan menimbulkan
kecemasan. Jika siswa-siswi mengalami kecemasan saat menghadapi ujian, maka mereka tidak
akan optimal dalam menjawab soal-soal ujian, karena rasa cemas akan menghilangkan
konsentrasi siswa. Sehingga mereka tidak akan mendapatkan hasil atau nilai yang baik pula.
Kecemasan yang dialami siswa-siswi disaat menghadapi ujian mungkin tidak sama
karena tingkat kecemasan mereka berbeda-beda. Ada sebagian siswa- siswi yang tingkat
kecemasannya mungkin saja rendah atau bahkan tidak cemas meskipun merasa belum siap
menghadapi ujian, ada juga sebagian siswa-siswi cemas tetapi mereka berusaha dengan belajar
dan optimis bisa menjawab soal-soal ujian, sehingga sedikit menetralisir rasa cemasnya.
Adapula sebagian siswa-siswi yang cemas, serta berpikir akan sulit menjawab soal-soal ujian
dan mendapat nilai yang kurang baik walau sudah belajar. Hal ini dikarenakan siswa-siswi ini
merasa dirinya bodoh ataupun tidak mampu mengerjakan soal ujian tersebut, sehingga rasa
cemas yang dimilikinya semakin bertambah. Semua tergantung dari bagaimana mereka
memandang diri mereka atau bagaimana konsep diri yang mereka miliki.
Menurut Hurlock (1993) konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang tentang
dirinya, Segala hal yang berkaitan dengan penilaian kita tentang diri kita sendiri merupakan
konsep diri yang telah kita bentuk untuk diri kita sendiri. Konsep diri yang positif akan
berkembang jika seseorang mengembangkan sifat-sifat yang berkaitan dengan harga diri baik,
kepercayaan diri yang baik, dan kemampuan melihat diri secara realistik. Sifat-sifat ini
memungkinkan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain secara akurat dan mengarah
pada penyesuaian diri yang baik. Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat
optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu.
Branden (2000) menjelaskan bahwa konsep diri adalah apa dan siapa kita yang
sebenarnya baik secara sadar dan tidak sadar tentang sifat-sifat fisik dan psikologis, kelebihan
dan kekurangan kita. Penerimaan diri yang positif baik kekurangan dan kelebihan yang
terbentuk di dalam diri siswa akan membantu mereka untuk mampu menghadapi ujian,
dimana siswa tersebut meyakini kekurangannya dan berusaha mengatasinya dengan cara
mengenali kelebihannya serta mempertahankan konsep diri yang positif yang telah dibentuk
didalam dirinya. Siswa tersebut akan berusaha mengatasi rasa cemas dan rasa tidak mampu
yang ada pada dirinya. Namun sebaliknya jika siswa tidak menyadari kekurangan dan
kelebihannya serta mempunyai penerimaan diri yang negatif, hal ini akan membuat seorang
siswa mengalami tekanan dan kecemasan yang tinggi setiap kali akan berhadapan dengan
ujian, merasa tegang dan tidak nyaman mengerjakan soal-soal ujian dan tanpa disadari siswa
akan menanamkan perasaan tidak mampu dalam dirinya, dengan kata lain kalah sebelum
berjuang. Padahal belum tentu mereka gagal dalam ujian tersebut.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka peneliti bermaksud melakukan
penelitian tentang, "Hubungan antara konsep diri dengan kecemasan menghadapi ujian
semester pada siswa-siswi kelas X di SMK Brigjen Katamso Medan".
B. Rumusan Masalah
Sebuah masalah perlu dirumuskan dengan jelas serta ruang lingkup yang sifatnya
terbatas sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun yang menjadi rumusan masalah ini adalah:
Apakah ada hubungan antara konsep diri terhadap kecemasan menghadapi ujian
semester pada siswa-siswi kelas X SMK Brigjend Katamso Medan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris hubungan antara konsep
diri dengan kecemasan menghadapi ujian semester pada siswa-siswi kelas X SMK Brigjen
Katamso Medan
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis
terhadap perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan dan psikologi
perkembangan terutama dalam mengkaji tentang konsep diri dan kecemasan siswa-siswi
dalam menghadapi ujian.
2. Manfaat praktis
Melalui penelitian ini diharapkan bagi semua pihak yang terkait, seperti:
a. Siswa-siswi
Bagi siswa-siswi, penelitian dapat menjadi tolak ukur dalam kemampuan mereka untuk
meminimalisir kecemasan menghadapi ujian dan dapat mengembangkan kemampuan mereka
dalam memahami bidang studi yang diajarkan di sekolah.
b. Sekolah
Bagi pihak sekolah diharapkan dari hasil penelitian ini juga dapat memberikan masukan
tentang kondisi kecemasan yang dialami siswa-siswi dalam menghadapi ujian.
c. Keluarga
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk mengetahui kondisi psikologis
anak dalam menghadapi ujian, sehingga orang tua atau keluarga dapat memberi
pertimbangan untuk menciptakan alternatif-alternatif bimbingan yang dapat menumbuhkan
kemampuan remaja dalam mengurangi kecemasan yang mereka alami dalam menghadapi
ujian.
d. Peneliti selanjutnya
Diharapkan agar peneliti selanjutnya dapat mengembangkan hasil penelitian ini dan dapat
menjadi bahan masukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Semua situasi yang akan mengancam kesejahteraan organisme dapat menimbulkan
kecemasan. Konflik, frustasi, ancaman fisik, ancaman terhadap harga diri, dan tekanan untuk
melakukan sesuatu diluar kemampuan akan menimbulkan kecemasan (Atkinson, 1996)
Trismiati (dalam purba, 2008) menjelaskan bahwa kecemasan adalah perasaan waswas, khawatir atau tidak nyaman seakan-akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman.
Kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi
fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernapasan.
Kecemasan adalah satu gejala yang dialami oleh semua orang dalam hidupnya. Menjadi
cemas pada tingkat tertentu dapat dianggap sebagai bagian dari respon normal yang mengatasi
masalah sehari-hari. Tetapi, bila kecemasan berlebihan dan tak sebanding dengan situasi, hal
ini dianggap sebagi hambatan atau masalah. Kecemasan merupakan reaksi psikis terhadap
kondisi mental individu yang tertekan. Apabila orang menyadari bahwa hal-hal yang tidak bisa
berjalan dengan baik pada situasi tertentu akan berakhir tidak menyenangkan, maka mereka
akan merasa cemas. Kondisi-kondisi atau situasi yang menekan akan menimbulkan kecemasan.
Nevid (2003) juga menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa suatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal yang di cemaskan
misalnya, kesehatan kita, relasi sekolah, ujian, dan kondisi lingkungan adalah beberapa hal
yang dapat menjadi sumber kekhawatiran.
Kecemasan merupakan suatu perasaan yang di alami idividu, bukan hanya
kekhawatiran tetapi juga rasa takut. Pada kecemasan perasaan ini bersifat kabur, tidak realistis
atau objeknya tidak jelas, ketidak beranian individu dalam menghadapi suatu masalah dan
adanya kerisauan terhadap hal-hal yang tidak jelas merupakan tanda-tanda kecemasan pada
individu.
Freud (dalam Atkinson, 1996) mengatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan
perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang di sertai dengan sensasi fisik yang
mengingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaan yang tidak menyenangkan itu
sering kabur dan sulit menunjuk dengan tepat, tetapi keadaan itu sendiri selalu dirasakan.
Kecemasan melibatkan presepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi
fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atau situasi yang dianggap berbahaya.
Istilah kecemasan mengacu kepada perasaan tidak nyaman dan ketakutan, ditambah dengan
beberapa gejala fisik yang tidak menyenangkan, termasuk ketegangan, denyut jantung bertambah
cepat, nafas memburu, mulut kering, berkeringat dan gemetar. Apabila rasa cemas semakin
parah, berbagai hal yang lebih buruk bisa muncul, misalnya rasa pusing, pingsan, sakit dada,
pandangan buram, badan terasa panas dan dingin, mual dan sering buang air.
Menurut Chaplin (2004) kecemasan adalah perasaan cemas mengenai masa-masa yang
akan datang tanpa mengalami sebab khusus dalam menghadapi kecemasan tersebut. Seseorang
akan merasa sesuatu yang buruk akan menimpa dirinya, padahal semua itu belum tentu terjadi.
Seperti siswa yang cemas saat ujian hampir dekat, siswa tersebut takut jika dirinya tidak dapat
menjawab soal-soal ujian dengan benar dan akhirnya tidak mendapatkan nilai yang baik.
Siswa pun merasa dirinya terancam dengan situasi ini. Bukan terancam pada fisik tetapi
mereka di hadapkan pada ancaman harga diri jika mereka tidak mendapat nilai yang baik.
Mulailah mereka merasakan kecemasan, apakah mereka bisa melewati ujian dengan mendapat
nilai yang baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa kecemasan adalah emosi
yang tidak menyenangkan yang dialami individu yang mengkhawatirkan sesuatu yang buruk
akan segera terjadi. Kecemasan merupakan suatu reaksi psikis ketika individu merasakan
ancaman bagi dirinya atau saat kondisi mental individu tertekan. Apabila individu menyadari
akan hal-hal yang tidak berjalan dengan baik pada situasi tertentu akan berakhir tidak
menyenangkan, maka mereka akan merasa cemas.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Yaitu :
Grainger (1995) menjelaskan bahwa individu membuat keputusan kecemasan yang
berdasarkan:
a. Faktor lingkungan, dimana kita menemukan diri kita sendiri. Hal ini terdiri dari tuntutan
terhadap diri kita di rumah, di sekolah,dan di kehidupan kita pribadi.
b. Faktor individu, yaitu berkaitan dengan individu termasuk ciri kepribadian (misalnya,
apakah pada dasarnya individu tersebut adalah seorang yang pencemas) dan sikap (misalnya,
kepercayaan yang menyatakan saya tidak tahu, adalah suatu kelemahan). Faktor individu
lainnya meliputi usia dan tingkat sosial. Pada umumnya, semakin
semakin percaya diri dan semakin merasa
bertambah usia, maka
kemampuan dalam
menangani
keadaan
semakin baik.
Selain itu, Nevid (2003) juga menjelaskan beberapa faktor kecemasan yang berkaitan
dengan individu yaitu:
a. Faktor-faktor kognitif yang dapat mempengaruhi kecemasan, yaitu :
1. Prediksi berlebihan terhadap rasa takut.
Orang yang mengalami kecemasan sering kali memprediksi secara berlebihan
beberapa besar ketakutan atau kecemasan yang akan
dialami
dalam
tentang
situasi-situasi
pembangkit kecemasan.
2. Keyakinan yang self-deating atau irasional
Pikiran-pikiran irasional dapat meningkatkan dan mengekalkan
kecemasan,
pikiran-
pikiran semacam mengganggu rencana, mendorong tingkah laku menghindar, dan menurunnya
harapan untuk self-efficacy
sehubungan dengan kempuan seseorang untuk mengendalikan
situasi.
3. Sensitivitas berlebihan terhadap ancaman.
Suatu sensitivitas terhadap sinyal ancaman adalah ciri utama dari
kecemasan.
4. Sensitivitas kecemasan
Sensitivitas kecemasan biasanya didefenisikan sebagai ketakutan terhadap kecemasan
dari simtom-simtom yang terkait dengan kecemasan.
5. Salah mengatribusikan sinyal-sinyal tubuh
Para teoritis kognitif menunjukkan peran dari salah interpretasi yang
bencana, seperti peran palpitasi jantung, pusing tujuh keliling,
dari sintom-sintom panik menjadi serangan
6.
membawa
kepala-enteng dalam eskalasi
panik yang parah.
Self-Efficacy yang rendah
Bila anda percaya anda tidak punya kemampuan untuk menanggulangi
tantangan penuh stres yang Anda hadapi dalam hidup, Anda
tantangan-
akan merasa semakin cemas
bila Anda berhadapan dengan tantangan- tantangan itu.
b. Faktor-faktor biologis yang dapat mempengaruhi kecemasan, yaitu :
1. Faktor-faktor genetis
Para peneliti memperkirakan bahwa separuh variabilitas dari masyarakat dalam
populasi umum yang mempunyai trait mendasar ini berasal faktor- faktor genetis, dan faktor
lingkungan menjelaskan yang separuhnya.
2. Neurotransmiter
Sejumlah
neurotransmiter
berpengaruh
pada
reaksi
kecemasan,
gammaaminobutyric acid (GABA). GABA adalah neurotransmiter yang
yang berarti meredakan aktifitas yang berlebih dari sistem saraf
dan
termasuk
inhibitory,
membantu
untuk
meredam respon-respon stres.
3. Aspek-aspek biokimia pada ganguan panik
Komponen fisik yang kuat pada gangguan panik telah membawa beberapa
teoritikus untuk berspekulasi bahwa serangan-serangan panik mempunyai dasar biologis,
kemungkinan melibatkan sistem alarm yang disfungsional di otak.
4. Aspek-aspek biologis dari gangguan obsestif-kompulsif
Pada OCD; otak dapat secara konstan mengirim pesan bahwa ada sesuatu yang salah dan
memerlukan perhatian segera, hal ini membawa kepada
pikiran-pikiran
kecemasan
obsesional dan tingkah laku kompulsif repetitif.
Berdasarkan uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan dapat di bagi menjadi dua, yaitu faktor lingkungan dan faktor individu. Faktor
lingkungan adalah tuntutan terhadap diri sendiri yang berasal dari masyarakat. Sedangkan faktor
individu adalah kehidupan pribadi seseorang tentang penilaian terhadap dirinya.
3. Ciri-ciri kecemasan
Menurut Nevid (2003) kecemasan memiliki ciri-ciri sebagai beikut :
a. Ciri-ciri fisik dari kecemasan :
1. Kegelisahan, kegugupan.
2. Tangan atau anggota tubuh yang bergetar atau gemetar.
3. Banyak keringat
4. Sulit bicara
5. Sulit bernafas
6. Jantung berdetak kencang
7. Terdapat gangguan sakit perut atau mual
8. Sering buang air kecil
b. Ciri-ciri behavioral dari kecemasan
1. Perilaku menghindar
2. Perilaku melekat dan dependen
3. Perilaku terguncang
c. Ciri-ciri kognitif dari kecemasan :
1. Khawatir tentang sesuatu
2. Berpikir dunia akan mengalami keruntuhn
3. Berpikir bahwa semua tidak dapat dikendalikan
4.Mengalami kebingungan
5. Sulit berkonsentrasi dan memfokuskan pikiran
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa ciri-ciri kecemasan dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu: ciri-ciri fisik, ciri-ciri behavioral dan ciri-ciri kognitif.
4.Aspek-Aspek Kecemasan
Menurut Davidson (1994) terdapat dua aspek kecemasan yaitu :
a. Aspek biologis
Gerakan otomatis meningkat : misalnya, berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar,
mual, mulut kering.
b. Aspek psikologis
1. Suasana hati : Kecemasan, mudah marah, perasaan sangat tegang.
2. Pikiran : khawatir, sukar berkonsentarasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman,
memandang diri sebagai sangat sensitif, merasa tidak berdaya.
3. Motivasi : Menghindari situasi, ketergantungan tinggi, ingin melarikan diri.
4. Perilaku : gelisah, gugup, kewaspadaan yang berlebihan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecemasan dapat dibagi 2, yaitu :
aspek biologis dan aspek psikologis.
5.Jenis-Kenis Kecemasan
Menurut Sundari (2005) jenis jenis kecemasan dapat di bagi menjadi tiga, yaitu :
a. Kecemasan karena merasa berdosa atau bersalah
b. Kecemasan karena melihat dan mengetahui bahaya yang mengancam dirinya
c. Kecemasan dalam bentuk yang kurang jelas, yaitu apa yang ditakuti tidak seimbang,
bahkan yang di takuti itu hal atau benda yang tidak berbahaya.
Pendapat lainnya di kemukakan oleh Freud (dalam Corey, 2005) yang
membedakan
kecemasan menjadi tiga, yaitu :
a. Kecemasan realistik, merupakan kecemasan terhadap adanya tantangan atau bahaya dari
luar.
b. Kecemasan neurotis, yaitu rasa cemas yang timbul akibat rasa takut terhadap tidak
terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan yang
bias mendatangkan hukuman bagi dirinya. Kecemasan ini di dasarkan oleh pengalaman
kecemasan realistik.
c. Kecemasan moral, yaitu kecemasan terhadap hati nurani sendiri. Seseorang yang hati
nuraninya berkembangan dengan baik cenderung merasa berdosa bila ia melakukan yang
berlawanan dengan moral yang dimilikinya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis kecemasan dapat dibagi 3, yaitu:
kecemasan realistik, kecemasan neurotis dan kecemasan moral.
B. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Setiap individu pastilah memiliki konsep diri yang telah terbentuk dalam dirinya.
Masalah-masalah rumit yang dialami manusia, sering kali dan bahkan hampir semua, sebenarnya
berasal dari dalam diri. Tanpa sadar mereka menciptakan permasalahan yang berakar dari
problem konsep diri. Dengan memiliki kemampuan berpikir dan menilai, manusia malah suka
menilai yang tidak sesuai terhadap diri sendiri maupun sesuatu atau orang lain dan bahkan
meyakini presepsinya yang belum tentu objektif. Dari situlah muncul problem seperti kurang
percaya diri, pesimis, takut gagal dan hobi mengkritik diri sendiri.
Burns (1993) menjelaskan konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang
kita pikirkan orang-orang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita
inginkan. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa konsep diri yang dimiliki individu dapat
diketahui lewat informasi, pendapat, penilaian atau evaluasi dari orang lain mengenai dirinya.
Individu akan mengetahui dirinya cantik, pandai, atau ramah jika ada informasi dari orang lain
mengenai dirinya.
Menurut Centi (1993), konsep diri adalah suatu gagasan tetang diri sendiri, dimana
gagasan itu sendiri terdiri dari bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi dan
bagaimana individu menginginkan dirinya menjadi manusia sebagaimana yang di harapkan.
Menurut Hurlock (1993), konsep diri adalah sebagai hasil observasi terhadap dirinya
sendiri secara keseluruhan sebagai hasil obsevasi terhadap dirinya dimasa lalu dan sekarang ini.
Konsep diri terbentuk sesuai dengan keinginan individu dan dari pengamatan individu tersebut
tentang dirinya. Jika individu tersebut membentuk konsep diri yang positif maka ia akan menjadi
individu yang optimis dalam menyelesaikan permasalahan dan dapat mencapi kesuksesan yang
diharapkannya. Sebaliknya, individu yang membentuk konsep dirinya negatif maka ia akan
menjadi individu yang pesimis atau tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya
sehingga ia akan mengalami tekanan dan akhirnya akan timbul kecemasan.
Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara
pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan
yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.
2. Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang manusia
dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap terbentuknya konsep diri.
Menurut Hurlock (1999) konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan kontak
individu dengan orang lain. Cara seseorang memperlakukan individu tersebut, dan status
individu dalam kelompok tempat individu mengidentifikasikan diri pertama-tama orang yang
paling berarti dalam kehidupan seseorang adalah keluarga. Anggota keluarga memiliki peraturan
dan peraruh yang dominan dalam perkembangan konsep diri.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gunarsa (2002) yang mengatakan bahwa konsep
diri terbentuk berdasarkan konsepsi seseorang mengenai sikap-sikap orang lain terhadap dirinya.
Seorang anak akan mulai berpikir dan merasakan dirinya seperti apa yang telah ditentukan oleh
orang lain dalam lingkungannya misalnya orang tua, guru, ataupun teman-teman.
Gunarsa (2002) juga menambahkan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan pengaruh
lingkungan. Bagaimana reaksi orang lain terhadap dirinya ataupun tingkah lakunya,
bagaimanapun pujian-pujian atas segala prestasi yang telah dicapai ataupun segala hukuman atas
kesalahan-kesalahan yang akan membentuk suatu konsep diri tentang dirinya.
Konsep diri ini juga mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan.
Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah
sekali lupa sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang yang merasa dirinya pandai dan selalu
mendapat nilai baik, namun suatu ketika ia mendapat angka merah. Bisa saja pada saat itu ia
merasa bodoh, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar
dari sejak pertumbuhan seseorang dengan lingkungan sekitarnya.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Hurlock (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah :
a. Usia kematangan
b. Penampilan diri
c. Nama dan julukan
d. Hubungan keluarga
e. Teman-teman sebaya
f. Kreatifitas
g. Cita-cita
Pendapat lainnya dari Fitts (dalam Agustiani, 2006) yang menyatakan konsep diri dapat
di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal, yang memunculkan perasaan positif
dan perasaan berharga.
b. Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain.
c. Aktualisasi diri, realisasi dari potensi pribadi yang sebenarnya.
4. Aspek-aspek Konsep Diri
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Fitts (dalam Agustiani, 2006) menyatakan
bahwa konsep diri memiliki aspek-aspek, antara lain:
a. Aspek diri fisik, yaitu cara seseorang dalam memandang dirinya dari sudut pandang fisik,
kesehatan, penampilan keluar, dan gerak motoriknya. Konsep diri seseorang dianggap
positif apabila ia memiliki pandangan yang positif terhadap kondisi fisiknya,
penampilannya, kondisi kesehatannya, kulitnya, tampan atau cantiknya, serta ukuran
tubuh yang ideal.
b. Aspek diri pribadi, yaitu cara seseorang dalam menilai kemampuan yang ada pada
dirinya dan menggambarkan identitas dirinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik
atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa
puas terhadap pribadinya.
c. Aspek diri sosial, yaitu persepsi, pikiran, perasaan, dan evaluasi seseorang terhadap
kecenderungan sosial yang ada pada dirinya sendiri, berkaitan dengan kapasitasnya
dalam berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan mampu dan berharga dalam
lingkup interaksi sosialnya.
d. Aspek diri moral etik, berkaitan dengan persepsi, pikiran, perasaan, serta penilaian
seseorang terhadap moralitas dirinya terkait dengan relasi personalnya dengan Tuhan,
dan segala hal yang bersifat normatif, baik nilai maupun prinsip yang memberi arti dan
arah bagi kehidupan seseorang.
e. Aspek diri keluarga, berkaitan dengan perspesi, perasaan, pikiran, dan penilaian
seseorang terhadap keluarganya sendiri, dan keberadaan dirinya sendiri sebagai bagian
integral dari sebuah keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa
adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi
yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konsep diri dapat dibagi menjadi
5, yaitu: aspek diri fisik, aspek diri pribadi, aspek diri sosial, aspek diri moral etik dan aspek diri
keluarga.
5. Karakteristik Konsep Diri
Menurut Brooks (dalam Rakhmat, 2001) karakteristik dari konsep diri yang positif
adalah:
a. Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya mengatasi masalah.
b. Individu merasa setara dengan orang lain
c. Individu menerima pujian tanpa rasa malu.
d. Individu menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan, dan perilaku
yang seluruhnya disetujui oleh masyarakat.
e. Individu mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengunakan aspek-aspek
kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Sedangkan karakteristik yang negatif menurut Brooks dan Emmenrt (dalam Rakhmat,
2001) adalah:
a. Peka terhadap kritikan.
Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam.
b. Responsif sekali terhadap pujian.
Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan
antusiasmenya pada waktu menerima pujian.
c. Individu bersifat hiperaktif terhadap orang lain.
Selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun dan siapapun, mereka tidak pandai
dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang
lain.
d. Cendrung merasa tidak disenangi orang lain.
Merasa tidak diperhatikan, karena itu ia bereaksi kepada orang lain sebagai musuh.
e. Bersifat pesimis terhadap kopetensi seperti terungkap dalam keenganan untuk bersaing
dengan orang lain dalam membuat prestasi individu menggangap tidak berdaya melawan
persaingan yang merugikan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa karakteristik konsep diri ada 2, yaitu:
karakteristik positif dan karakteristik negatif.
C. Ujian
1. Pengertian Ujian
Ujian berarti suatu tindakan untuk menentukan nilai sesuatu. Dalam arti luas, ujian adalah
suatu proses dalam merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang diperlukan
untuk membuat alternatif-alternatif keputusan yang dilaksanakan sebagai persyaratan siswa-siswi
dinyatakan lulus dari jejang pendidikan sebelum kejenjang pendidikan berikutnaya dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemeritah (Mehrens dan Lelman, dalam Djiwandono,2006)
Shadily (2002) mengatakan bahwa ujian merupakan suatu pemeriksaan mengenai
pengetahuan, keahlian atau kecerdasan seseorang (siswa) untuk diperkenankan atau tidak dalam
mengikuti pendidikan tingkat tertentu. Hal ini berarti optimalnya hasil belajar siswa dalam
menjalani ujian sehingga siswa diperkenankan untuk mengikuti pendidikan selanjutnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ujian adalah pemeriksaan pengetahuan dari
hasil pelajaran yang selama ini telah dipelajari.
2. Manfaat Ujian
a. Menurut Purwanto (1999), manfaat dari ujian adalah:
1. Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan siswa setelah
menjalani atau melakukan kegiatan belajar selama dalam jangka waktu tertentu.
2. Untuk melakukan tingkat keberhasilan dalam proses pengajaran bagi pendidik.
b. Menurut Mahmud (1999) manfaat ujian dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Meramalkan keberhasilan siswa dalam suatu mata pelajaran
2. Mendiagnosis kesulitan-kesulitan yang dialami siswa
3. Mengukur kemajuan siswa
4. Mengukur hasil belajar siswa
D. Hubungan Konsep Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Ujian
Ujian merupakan patokan untuk siswa-siswi apakah mereka bisa melanjutkan ke jenjang
pendidikan berikutnya. Ujian juga menjadi penentu apakah materi pelajaran pada proses belajar
mengajar yang telah berlangsung berhasil dikuasai oleh siswa atau sebaliknya siswa belum
menguasai materi pelajaran yang telah diberikan. Jika mereka belum menguasai materi mereka
akan sulit menjawab soal-soal ujian dan akhirnya memperoleh nilai yang kurang baik. Hal ini
memungkinkan akan dapat menimbulkan kecemasan bagi siswa siswi.
Sigmund Tobias (dalam Djiwandono,2006) menjelaskan bagaimana kecemasan
mempengaruhi siswa yang sedang belajar dan mempengaruhi siswa yang sedang menjalankan
tes untuk mencapai prestasi. Ketika siswa sedang belajar materi baru, perhatian sangat
diperlukan. Siswa yang memiliki kecemasan yang tinggi secara jelas membagi perhatian mereka
pada materi yang baru dan pada perasaan nervous mereka, jadi sejak siswa mulai merasa cemas,
dia telah kehilangan banyak informasi yang disampaikan guru, masalahpun tidak berakhir disini.
Siswa yang memiliki kecemasan yang tinggi tidak dapat mengorganisasi pelajaran dengan baik,
Sehingga tes menimbulkan kecemasan pada setiap siswa. Anak yang mempunyai kecemasan
mungkin saja kurang kebebasannya untuk memeriksa tingkah laku dan konsepsi-konsepsi dirinya
sendiri yang mungkin menghalangi upaya untuk mendapatkan sebuah konsepsi diri yang
realistis. Feldhusen dan Thurston (dalam Burns, 1993)
Hubungan diantara tingkat kecemasan dan konsep diri diperkeruh oleh sifat-sifat yang
diinginkan oleh masyarakat. Hubungan di antara konsep diri yang negatif dan kecemasan dapat
juga bersumber dari dalam proses mempelajari sifat- sifat yang negatif. Sebagai contohnya, bila
seorang anak diberitahu bahwa dia bodoh dan perangsangan verbal ini disertai dengan anak-anak
yang lainya ataupun orang tua mengejeknya dengan tidak baik, tindakan-tindakan yang terakhir
ini mungkin mengakibatkan respon-respon kecemasan tidak aman. Dengan suatu paradigma
pengkondisian yang klasik adalah merupakan sebuah langkah yang sederhana untuk
memperlihatkan bahwa perangsangan pikiran 'saya seorang yang bodoh' akan mendatangkan
respon kecemasan yang sama. Sehingga situasi belajar yang melibatkan konotasi-konotasi
negatif juga biasanya melibatkan respon-respon kecemasan yang negatif.
Seperti yang dikatakan oleh Mitchell (dalam Burns,1993), semakin positif konsep diri
semakin kurang kecemasan yang diperlihatkan. Untuk mengurangi rasa cemas dalam
menghadapi ujian, diharapkan para siswa dapat mengembangkan konsep diri mereka dengan
positif.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri positif sangat
diperlukan bagi para siswa-siswi, terutama dalam menghadapi ujian. Sebab dengan dimilikinya
konsep diri positif, maka hal ini akan mengakibatkan para siswa mampu meredakan kecemasan
dalam menghadapi ujian.
E. Hipotesis
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis, yaitu “ada
hubungan negatif antara konsep diri dengan kecemasan siswa-siswi dalam menghadapi ujian.
Dengan asumsi bahwa semakin positif konsep diri yang dimiliki siswa-siswi maka semakin
rendah tingkat kecemasan mereka, sebaliknya semakin negatif konsep diri yang di miliki siswasiswi terhadap dirinya, maka semakin tinggi tingkat kecemasan mereka dalam menghadapi ujian.
Download