PERAN ISOLAT BAKTERI PENCERNA SERAT DALAM PENCERNAAN NUTRIEN PADA PEDET LEPAS SAPIH YANG DIBERI PAKAN PERIODE PERTUMBUHAN SKRIPSI NINUK SRI YUNITASARI DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 RINGKASAN NINUK SRI YUNITASARI. D24062793. 2011. Peran Isolat Bakteri Pencerna Serat dalam Pencernaan Nutrien pada Pedet Lepas Sapih yang Diberi Pakan Periode Pertumbuhan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS., MSc. Periode pemeliharaan pedet sejak lahir hingga penyapihan merupakan salah satu periode kritis dalam pembesaran anak. Kendala utama penyapihan dini adalah perkembangan mikroba dan kemampuan konsumsi nutrien yang secara alami berkembang cukup lamban. Inokulasi bakteri rumen pencerna serat terpilih yang berasal dari rumen kerbau ke dalam rumen pedet memungkinkan rumen berkembang lebih awal sehingga mempercepat kemampuan pedet mengkonsumsi pakan padat. Upaya tersebut diharapkan mengoptimalkan fermentasi rumen serta menjaga keseimbangan komposisi mikroorganisme rumen, meningkatkan kecernaan pakan dan menjaga kesehatan ternak. Perkembangan rumen yang lebih cepat diharapkan dapat mendorong penyapihan dini. Penelitian ini bertujuan membandingkan pengaruh inokulasi isolat bakteri pencerna serat selama periode pra-sapih terhadap konsumsi, fermentasi, dan kecernaan nutrien pada pedet lepas sapih yang mendapat ransum pertumbuhan. Penelitian menggunakan tujuh ekor pedet peranakan FH (Friesian Holstein) yang berumur delapan minggu. Selama periode pra-sapih, tiga ekor pedet diinokulasi dengan isolat bakteri pencerna serat asal rumen kerbau sedangkan empat ekor pedet dipelihara tanpa diberi inokulan sebagai kontrol. Setelah memasuki periode lepas sapih, inokulasi bakteri dihentikan. Kedua perlakuan tersebut diterapkan pada pedet dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Kedua kelompok pedet mendapatkan pakan periode pertumbuhan yang sama. Pakan dan air minum diberikan setiap hari ad libitum. Peubah yang diamati adalah: (1) konsumsi nutrien ransum, (2) kecernaan bahan kering dan bahan organik, (3) konsentrasi NH3, (4) produksi VFA, dan (5) Total Digestible Nutrient (TDN). Data pedet yang dinokulasi dibandingkan dengan data pedet kontrol menggunakan Uji-t pada α=0,05. Rataan konsumsi harian bahan kering ransum mencapai 920 g/ekor/hr untuk kelompok pedet kontrol sedangkan konsumsi pedet yang diinokulasi mencapai 1683 g/ekor/hr. Inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata dalam menaikkan konsumsi nutrien ransum seperti bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, lemak dan BETN pada pedet. Kecernaan bahan kering berada pada kisaran 75,15-83,80% sedangkan kecernaan bahan organik berada pada kisaran 84,61-89,54%. Kecernaan bahan organik lebih tinggi daripada kecernaan bahan kering. Inokulasi bakteri selama periode menyusu tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, lemak dan BETN pasca sapih. Konsentrasi NH3 berada pada kisaran 1,85-13,375 mM. Inokulasi bakteri ke dalam rumen tidak berpengaruh nyata pada konsentrasi NH3 cairan rumen baik ketika pedet masih diberi inokulan maupun ketika pedet sudah tidak diberi inokulan. Kisaran produksi VFA adalah 60-230 mM. Inokulasi bakteri berpengaruh nyata pada produksi VFA cairan rumen ketika pedet sudah tidak diberi inokulan. Inokulasi bakteri dapat meningkatkan produksi VFA secara berkelanjutan. Rataan konsumsi TDN pada pedet kontrol mencapai 753 g/ekor/hr sedangkan rataan konsumsi TDN pada pedet inokulasi mencapai 1357 g/ekor/hr. Inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata pada konsumsi TDN ransum. Korelasi antara konsumsi TDN dan PBB menunjukkan bahwa semakin tinggi konsumsi TDN ransum maka semakin tinggi pula PBB pedet. Inokulasi bakteri pencerna serat belum mampu meningkatkan konsumsi dan kecernaan nutrien ransum, namun dapat meningkatkan fermentasi serat secara berkelanjutan. Kebutuhan TDN meningkat seiring dengan meningkatnya pertambahan bobot badan. Kata kunci: konsumsi, nutrien, bakteri, kecernaan, amonia, volatile fatty acids. ABSTRACT Nutrient Digestibility in Weaned Calves Inoculated Previously with Fiber Degrading Bacteria Isolates N. S. Yunitasari, T. Toharmat, D. E. Amirroenas In Indonesia, milk and beef production do not meet the needs. High calves mortality is one of the factors related to the problem. Reducing calf mortality and shortening weaning period are necessary to improve the population and farmers profit. The research was designed to evaluate the effect of inoculation of fiber degrading bacteria during pre-weaning period of dairy calves on nutrient intake and digestibility in post-weaning. The treatments were control and inoculation of bacteria isolates that applied in four and three Frisian Holstein calves, respectively. Both treatments were applied to the calf by a complete randomized design. Variables measured were nutrient intake, dry and organic matter digestibility, and the concentration of ruminal ammonia (NH3) and volatile fatty acids (VFA). Dry matter intake was determined from the beginning of the experimental period. Nutrient digestibility, ruminal NH 3 and VFA concentration were determined four weeks after weaning. The data obtained were analyzed statistically using t-test method with α = 0.05. The results showed that the inoculation of bacteria isolates affected the concentration of ruminal VFA of weaned calves. Inoculation of bacteria isolates had no significant effect on nutrient intake, nutrient digestibility and concentrations of ruminal ammonia. It was concluded that inoculation of fiber degrading bacteria into the rumen of calves in milk feeding period improved nutrient fermentability but not improved nutrient intake and its digestibility in post-weaning period. Keywords: intake, nutrient, bacteria, digestibility, ammonia, volatile fatty acids PERAN ISOLAT BAKTERI PENCERNA SERAT DALAM PENCERNAAN NUTRIEN PADA PEDET LEPAS SAPIH YANG DIBERI PAKAN PERIODE PERTUMBUHAN NINUK SRI YUNITASARI D24062793 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Judul : Peran Isolat Bakteri Pencerna Serat dalam Pencernaan Nutrien pada Pedet Lepas Sapih yang Diberi Pakan Periode Pertumbuhan Nama : Ninuk Sri Yunitasari NIM : D24062793 Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, (Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, MAgrSc.) (Dr.Ir. Dwierra Evvyernie A., MS.,MSc.) NIP. 19590902 198303 1 003 NIP. 19610602 198603 2 001 Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP: 19670506 199103 1 001 Tanggal ujian : 30 November 2010 Tanggal Lulus : 5 Januari 2011 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Juni 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, terlahir dari pasangan Bapak M. Suwardi dan Ibu Martinah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di kota Bogor. Penulis memulai pendidikan di bangku taman kanak-kanak pada tahun 1992 di TK Tunas Rimba 3 Bogor. Setelah penulis menyelesaikan pendidikan di bangku TK, penulis melanjutkan sekolah di SDN Bangka 3 Bogor dan penulis berhasil menyelesaikannya pada tahun 2000, kemudian penulis menyelesaikan sekolah menengah pertama di SLTPN 2 Bogor pada tahun 2003, setelah itu penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMAN 3 Bogor pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB), melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Kemudian, pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswi di Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sejak masih TPB penulis bergabung dalam Unit Kegiatan Kampus (UKM) Koperasi Mahasiswa (KOPMA) dan aktif menjadi anggotanya hingga tahun 2009. KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis ucapkan salawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya sampai akhir zaman nanti. Skripsi berjudul “Peran Isolat Bakteri Pencerna Serat dalam Pencernaan Nutrien pada Pedet Lepas Sapih yang Diberi Pakan Periode Pertumbuhan” ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis mulai bulan Desember 2009 sampai Maret 2010 di kandang A sapi perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu solusi dari masalah yang banyak terjadi pada peternakan sapi perah maupun sapi pedaging yaitu tingginya tingkat kematian dini pada pedet. Inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau pada pedet diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi diri penulis dan para pembaca serta bermanfaat bagi perkembangan dalam dunia pendidikan dan peternakan di Indonesia. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah bersedia membantu demi kelancaran pembuatan skripsi ini. Bogor, Januari 2011 Penulis DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................ i ii ABSTRACT ................................................................................................... iii 1 LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv1 LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... v2 RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vi3 KATA PENGANTAR ................................................................................... vii 3 DAFTAR ISI .................................................................................................. viii 3 DAFTAR TABEL .......................................................................................... x5 DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi5 DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii 5 PENDAHULUAN ......................................................................................... 15 Latar Belakang .................................................................................... Tujuan ................................................................................................ 16 25 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 34 Keunggulan Rumen Kerbau ............................................................... Potensi Sapi Fries Holland ................................................................. Performa dan Penyapihan Pedet ........................................................ Penggunaan dan Manfaat Probiotik ................................................... Peran Rumen dalam Pencernaan Pakan ............................................. Perkembangan Rumen ....................................................................... Mikroba Rumen ................................................................................. Proses Pencernaan .............................................................................. Energi ...................................................................................... Protein ..................................................................................... Kebutuhan Nutrien Pakan .................................................................. Konsentrat ........................................................................................... Serat Kasar Pakan .............................................................................. Pencernaan Serat pada Ruminansia ................................................... Konsumsi Ransum ............................................................................. Kecernaan Nutrien ............................................................................. Produksi Amonia ................................................................................ Produksi VFA .................................................................................... Total Digestible Nutrient (TDN) ........................................................ 33 33 34 45 57 68 78 78 88 98 10 8 11 8 12 8 10 12 13 13 15 15 15 MATERI DAN METODE ............................................................................... 16 13 Lokasi dan Waktu .............................................................................. Materi ................................................................................................. Ternak yang Digunakan ........................................................... 11 16 11 16 16 Kandang dan Peralatan ............................................................. Ransum Penelitian .................................................................... Metode ............................................................................................... Perlakuan .................................................................................. Pembuatan Ransum dan Pemberian Pakan .............................. Persiapan Isolat Bakteri ........................................................... Koleksi Feses ........................................................................... Pengambilan Sampel Cairan Rumen ........................................ Peubah yang Diamati ......................................................................... Konsumsi Calf Grower ............................................................ Total Digestible Nutrient ......................................................... Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ......................... Konsentrasi NH3 ...................................................................... Produksi VFA ......................................................................... Analisis Data ...................................................................................... 16 17 11 18 18 18 19 19 20 20 20 14 21 21 21 12 22 22 15 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 23 15 Konsumsi Nutrien Ransum ................................................................ Total Digestible Nutrient (TDN) ........................................................ Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ................................... Konsentrasi NH3 ................................................................................ Produksi VFA .................................................................................... 16 23 37 25 24 26 28 29 30 32 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 46 Kesimpulan ........................................................................................ 46 32 32 Saran ................................................................................................... 46 UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... 47 33 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 48 34 LAMPIRAN ................................................................................................... 52 37 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum ............................................ 17 2. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian ............................................. 17 3. Rataan Konsumsi Nutrien Ransum pada Pedet yang Mendapat Ransum tanpa atau dengan Inokulan Selama Pasca Sapih .…............ 24 Rataan Kecernaan Nutrien pada Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri .. 27 Rataan Konsentrasi NH3 dan VFA Total Cairan Rumen Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri ...................................................................... 29 4. 5. DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Contoh Pedet yang Digunakan dalam Penelitian ………………….. 16 2. Kandang Penelitian dan Tempat Pakan …………………………….. 16 3. Pemberian Isolasi Bakteri Pencerna Serat pada Pedet dengan Cara Dicekok …………………………………………………………....... 18 4. Pembuatan Ransum Calf Grower …………………………………... 19 5. Isolat Bakteri yang Sudah Dibiakkan pada Susu Segar Steril ……… 19 6. Koleksi Total Feses untuk Pengukuran Kecernaan Nutrien ………... 20 7. Pengambilan Cairan Rumen Menggunakan Selang yang Dimasukkan Melalui Mulut Pedet ………………………………….. 20 Konsumsi Bahan Kering Ransum Pedet Percobaan Selama Periode Pasca Sapih ......................................................................................... 24 Hubungan Konsumsi TDN dan PBB Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri .. 25 8. 9. DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Hasil Uji-t Konsumsi Calf Grower (g/ekor/hr) …………………….. 38 2. Hasil Uji-t Kecernaan Calf Grower (%) ............................................ 38 3. Hasil Uji-t VFA dan NH3 (mM) ……………………………………. 39 PENDAHULUAN Latar Belakang Pedet adalah anak sapi yang baru lahir sampai berumur 3-4 bulan atau sampai lepas sapih. Sistem pemeliharaan pedet sangat menentukan daya hidup pedet. Blakely & Bade (1991) melaporkan bahwa pedet yang baru lahir harus diberi kolostrum sesegera mungkin hingga hari keempat sedangkan hari-hari berikutnya pedet dapat diberi susu yang diperah dari induknya. Pedet biasanya mulai diberi hijauan muda segar pada umur dua minggu sedangkan pemberian konsentrat mulai diberikan pada umur empat minggu. Tujuan pembesaran pedet sapi perah secara umum adalah untuk menyediakan pengganti induk dan meningkatkan populasi. Lamanya periode pemberiaan susu sangat menentukan biaya pemeliharaan. Saat penyapihan merupakan salah satu periode kritis dalam pembesaran anak. Pedet sapi perah umumnya disapih setelah berumur tiga bulan. Penyapihan dini pada umur satu bulan telah disarankan, namun memiliki resiko kematian pedet yang sangat tinggi. Menurut Blakely & Bade (1991), beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kematian pada pedet diantaranya adalah kurang makan/susu, penyakit pneumonia yang sering berkomplikasi dengan gangguan pencernaan dan infeksi pada pusar. Penyapihan sangat tergantung pada perkembangan rumen dan kemampuan pedet mengkonsumsi bahan kering. Perkembangan rumen sangat berkorelasi dengan kemampuan konsumsi dan pencernaan komponen pakan padat dalam rumen. Sistem pencernaan ruminansia sangat bergantung pada perkembangan populasi mikroba yang mendiami retikulorumen dalam mengolah setiap bahan pakan yang dikonsumsi. Mikroba tersebut berperan sebagai pencerna serat dan sumber protein. Adanya mikroba yang berperan dalam pencernaan pakan di dalam rumen menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan berserat yang berkualitas rendah (Sutardi, 1980). Parakkasi (1999) mengatakan bahwa pada umur enam minggu proporsi isi rumen-retikulum sekitar 60% dan pada umur 3-4 bulan hampir menyamai ternak dewasa yaitu lebih dari 80%. Mikroba rumen pun secara alami akan mencapai populasi seperti pada hewan dewasa pada umur empat bulan dan pedet dapat mengkonsumsi ransum seperti halnya pada ternak dewasa. Penyapihan dini sangat diperlukan untuk meningkatkan pendapatan peternak dan percepatan peningkatan populasi sapi perah. Kendala utama adalah perkembangan mikroba dan kemampuan konsumsi nutrien yang secara alami berkembang cukup lamban. Perkembangan mikroba rumen diperkirakan akan lebih cepat jika dilakukan inokulasi bakteri pada pedet muda. Inokulasi mikroba terpilih dengan kemampuan mencerna serat yang lebih tinggi diharapkan dapat memacu percepatan kemampuan pedet mengkonsumsi pakan padat. Inokulasi isolat bakteri rumen pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau ke dalam rumen pedet memungkinkan rumen berkembang lebih awal dan fermentasi rumen lebih optimal. Bakteri rumen yang diberikan kepada pedet tersebut merupakan bakteri pencerna serat terseleksi. Pemberian isolat bakteri tersebut diharapkan dapat menjaga keseimbangan komposisi mikroorganisme dalam sistem pencernaan pedet sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan dan menjaga kesehatan ternak. Perkembangan rumen yang lebih cepat diharapkan dapat mendorong penyapihan dini sehingga dapat menekan biaya pakan selama pembesaran pedet karena dapat mengurangi biaya susu yang harus dikeluarkan. Tujuan Penelitian ini bertujuan membandingkan pengaruh inokulasi isolat bakteri pencerna serat selama periode pra-sapih terhadap konsumsi, fermentasi, dan kecernaan nutrien pada pedet lepas sapih yang mendapat ransum pertumbuhan. TINJAUAN PUSTAKA Keunggulan Rumen Kerbau Kerbau merupakan ternak ruminansia yang mempunyai kemampuan tinggi dalam memanfaatkan jenis limbah berkualitas rendah. Hal itu disebabkan oleh tingginya populasi bakteri selulolitik (Cakra, 2001). Menurut Suryahadi (1996) aktifitas bakteri selulolitik dari ternak kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi. Pada percobaan in vitro pada berbagai kondisi menunjukkan bahwa pemecahan selulosa oleh inokulan rumen terjadi lebih awal pada inokulan rumen kerbau dari pada sapi. Persentase bakteri selulolitik pada sapi sebesar 19,5% dan pada kerbau 42,3% dari total bakteri. Kelompok utama bakteri selulolitik dalam rumen meliputi Ruminucoccus albus, Ruminococcus flavefaciens, dan Bacteroides succinogenes (Suryahadi, 1996). Potensi Sapi Fries Holland Sapi Fries Holland berasal dari Propinsi Belanda Utara dan Friesland Barat. Sapi bangsa ini di Amerika Serikat disebut Friesian Holstein (FH) atau disingkat Holstein dan di Eropa disebut Friesian. Tyler & Ensminger (2006) menjelaskan taksonomi dari sapi Fries Holland atau Friesian Holstein. Sapi FH termasuk Divisi Animalia, Filum Chordata, Kelas Mamalia, Ordo Artodactyla, Famili Bovidae, dan Spesies Bos taurus. Frandson (1992) menyatakan bahwa sapi FH tergolong ke dalam bangsa sapi yang paling rendah daya tahan panasnya, sehingga perlu dipertimbangkan iklim di sekitar daerah pemeliharaan. Cekaman panas dapat mempengaruhi suhu tubuh dan metabolisme yang selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh ternak. Performa dan Penyapihan Pedet Blakely & Bade (1991) menyatakan bahwa rata-rata bobot lahir anak sapi (pedet) keturunan Friesian Holstein adalah 42 kg. Bobot lahir pedet dipengaruhi oleh jenis kelamin, bangsa dan keturunan. Pedet yang baru lahir memiliki perut yang terbagi menjadi empat, sama seperti sapi dewasa tetapi hanya abomasum yang berfungsi, abomasum memiliki kapasitas dua kali lebih besar daripada bagian perut yang lain. Rumen berfungsi baik setelah pedet berumur dua bulan atau jika pedet telah makan pakan padat atau kering (Roy, 1980). Roy (1980) menyatakan bahwa pada pedet, air susu maupun pakan dalam bentuk cair dapat langsung masuk ke dalam abomasum melalui saluran khusus yang disebut oesophageal groove. Saluran ini terbentuk secara reflek saat protein susu terlarut diberikan. Sebelum pedet berumur dua bulan, refleks pembentukan oesophageal groove dapat dirangsang menggunakan air dan berfungsi sebaik menggunakan air susu. Akan tetapi setelah pedet berumur lebih dari dua bulan maka efeknya akan berkurang. Periode kritis pemeliharaan pedet adalah saat penyapihan (penghentian pemberian air susu pada pedet baik dari susu induk sendiri maupun induk lain). Perlakuan lepas sapih dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: 1) dengan melihat umur dari pedet tersebut, 2) dengan melihat bobot badan yang telah dicapai oleh pedet, dan 3) dengan melihat banyaknya konsumsi bahan kering (BK) dari ransum starter (Parakkasi, 1999). Konsumsi ransum pemula (calf starter) oleh pedet di usia dini sangat penting untuk pengembangan organ pencernaan yang berfungsi untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Ransum starter yang dikonsumsi sejak lepas kolostrum dapat mempercepat periode penyapihan. Penyapihan pada pedet dapat dilakukan saat konsumsi ransum calf starter mencapai 0,5-0,6 kg/ekor/hari (Parakkasi, 1999). Penggunaan dan Manfaat Probiotik Probiotik merupakan pakan tambahan dalam bentuk mikroba hidup yang berpengaruh positif bagi hewan inang dengan meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan tersebut. Probiotik lokal digunakan untuk memanipulasi ekosistem rumen yang bertujuan untuk mempertinggi efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan sintesis protein mikrobial serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein, dan fermentasi pati di dalam rumen (Amin, 1997). Mikroorganisme yang dijadikan sebagai probiotik, perkembangannya harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu (1) mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi asam sehingga koloni bakteri aktif akan tetap banyak pada saat samapi di duodenum maupun usus halus, (2) bersifat non patogenik, (3) bersifat gram positif karena gram positif lebih tahan terhadap pengrusakan kelenjar pencernaan, sehingga bertahan sampai ke usus halus, (4) tidak terserap selama dalam saluran pencernaan serta tidak menimbulkan residu dan tidak menyebabkan mutasi, dan (5) bersifat antagonis terhadap Escherichia coli karena bakteri probiotik sebagai penghasil asam (Shortt, 1999). Probiotik tidak hanya menjaga ekosistem rumen tetapi juga menyediakan enzim yang bisa mencerna serat kasar, protein, lemak, detoksifikasi zat beracun, dan metabolitnya. Keuntungan penggunaan probiotik antara lain: 1) meningkatkan utilisasi pakan, 2) meningkatkan pertumbuhan rata-rata, 3) menurunkan jumlah mikroba patogen, 4) menstimulasi konsumsi bahan kering, 5) meningkatkan sistem kekebalan tubuh, 6) merangsang pertumbuhan mikroba rumen seperti protozoa, bakteri amilolitik, selulolitik, maupun total bakteri, 7) sebagai pengganti antibiotika (Sakinah, 2005). Probiotik dapat diberikan melalui pakan, air minum, dan kapsul. Cara pemberian yang paling baik adalah melalui pakan untuk memperoleh jumlah dan proporsi yang tepat. Kunci utama untuk mempertahankan jumlah yang tinggi populasi probiotik secara permanen di dalam usus ialah pemberian yang berkesinambungan. Pemberian probiotik secara kontinyu bertujuan untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus (Amin, 1997). Keuntungan utama probiotik adalah tidak menimbulkan residu yang dapat membahayakan konsumen (Sakinah, 2005). Penggunaan probiotik dalam bentuk mix culture (kultur campuran antara mikroba-mikroba) pada ternak ruminansia lebih efisien apabila dibandingkan dengan bentuk mono culture (kultur tunggal). Efisiensi dapat terjadi karena pada proses biofermentasi di dalam rumen hasil degradasi suatu mikroba (intermediet product) akan digunakan oleh mikroba lain untuk pembentukan produk akhir yang berupa volatile fatty acids (VFA), metan, dan asam amino untuk pembentukan protein tubuh mikroba, sehingga biofermentasi akan berjalan dengan baik dan optimal bila mikroba yang disuplementasikan ke dalam rumen dapat bekerja secara sinergik dengan mikroba rumen (Sakinah, 2005). Peran Rumen dalam Pencernaan Pakan Rumen merupakan organ pencernaan yang berupa tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta yang merupakan media fermentasi oleh mikroba. Fermentasi nutrien oleh bakteri dan mikroba lain menghasilkan produk akhir yang dapat diasimilasi. Produk fermentasi diserap papille rumen yang berkembang dengan baik sehingga luas permukaan bertambah tujuh kalinya. Dari keseluruhan VFA atau asam lemak terbang yang diproduksi, 85% diabsorbsi melalui epithelium retikulo-rumen (Arora, 1989). Hungate (1966) menyatakan bahwa rumen merupakan bagian yang terbesar dari bagian-bagian lambung ruminansia, karena rumen dapat menampung bahan pakan yang mengalami pencernaan fermentatif. Perkembangan Rumen Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan rumen adalah pakan kasar yang merupakan stimulus fisik bagi perkembangan kapasitas rumen dan produk fermentasi yang merupakan stimulus kimia bagi perkembangan papille rumen. Ruminansia yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi, alat pencernaannya akan memiliki volume total yang lebih tinggi daripada ruminansia yang memperoleh pakan berserat kasar rendah. Setelah ternak mengkonsumsi pakan berserat kasar tinggi maka bobot rumennya menjadi lebih berat dari pada hewan yang tidak memakan hijauan (Hungate, 1966). Menurut Quigley (2001), hal yang menentukan perkembangan rumen yaitu (1) perkembangan bakteri dalam rumen, (2) ketersediaan nutrien, dan (3) tingkat absorpsi dan pemanfaatan nutrien oleh tubuh atau jaringan. Perkembangan papille akan lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh konsentrat daripada yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi. Dengan meningkatnya perkembangan papille maka luas dan kapasitasnya pun akan meningkat akibatnya penyerapan dan koefisien penggunaan nutrien akan bertambah (Wilson & Brigstocke, 1981). Wilson & Brigstocke (1981) menyatakan bahwa pemberian serat kasar dalam pakan kering selain akan meningkatkan kapasitas rumen-retikulum juga akan meningkatkan bobot jaringan rumen-retikulum. Namun peningkatan ketebalan dinding rumen-retikulum relatif kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan ketebalan mukosa akibat perkembangan papille. Perkembangan papille akan lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh pakan konsentrat daripada pakan berserat kasar tinggi, seperti rerumputan. Perkembangan papille akan meningkat akibatnya penyerapan dan serta efisiensi penggunaan nutrien akan bertambah. Mikroba Rumen Jenis-jenis mikroba penting yang menghuni rumen adalah bakteri, protozoa dan fungi. Bakteri merupakan penghuni terbesar dalam rumen. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi mikroba rumen adalah temperatur, pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan bahan kering dan potensial oksidasi reduksi cairan rumen (Dehority, 2004). Adanya bakteri dan protozoa yang hidup dalam rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna bahan pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Fermentasi merupakan proses penguraian bahan organik yang mampu menyediakan energi bagi mikroba rumen (dihasilkan ATP), maka rendahnya VFA mencerminkan rendahnya energi yang tersedia bagi mikroba rumen (Jayanegara et al., 2006). Proses Pencernaan Pencernaan merupakan proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Proses pencernaan meliputi : (1) pencernaan mekanik, (2) pencernaan hidrolitik, dan (3) pencernaan fermentatif. Pencernaan mekanik terjadi di mulut oleh gigi melalui proses mengunyah dengan tujuan untuk memperkecil ukuran, yang kemudian akan masuk ke dalam perut dan usus untuk melalui pencernaan hidrolitik, dimana nutrien akan diuraikan menjadi molekulmolekul sederhana oleh enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh hewan (Sutardi, 1980). Hasil pencernaan fermentatif berupa volatile fatty acids (VFA), NH3, dan air diserap sebagian di rumen dan sebagian lagi di omasum. Selanjutnya pakan yang tidak dicerna disalurkan ke dalam abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim-enzim pencernaan sama seperti yang terjadi pada hewan monogastrik. Pencernaan berlangsung dari suatu saluran yang terentang dari mulut ke anus (Frandson, 1992). Nutrien tersebut dalam saluran pencernaan mengalami perombakan menjadi molekul yang siap untuk diserap tubuh hewan. Peningkatan daya cerna suatu bahan pakan dapat dilakukan melalui pengaktifan mikroorganisme yang ada dalam rumen sehingga semua komponen nutrien dapat dimanfaatkan secara efisien oleh induk semang. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara penambahan jumlah maupun kemampuan mikroorganisme melalui sinergisme mikroorganisme (Nurachma et al., 2004). Energi Hasil akhir pencernaan selulosa oleh mikroba adalah asam lemak terbang (volatile fatty acids = VFA) yang terdiri dari campuran asam asetat, asam propionat, dan asam butirat. VFA dapat dimetabolisme menghasilkan energi dalam tubuh ternak ruminansia (Arora, 1989) dan Forbes & Frances (1993) menjelaskan bahwa hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah VFA, yang terdiri dari asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat, dan asam-asam lemak rantai cabang seperti iso butirat, 2-metil butirat dan iso valerat. Selain berasal dari karbohidrat, VFA juga berasal dari protein. Banyaknya produksi VFA dalam rumen mencirikan aktivitas mikroba rumen yang tinggi. Sebagian besar ransum ternak ruminansia mengandung polisakarida atau karbohidrat struktural seperti selulosa, hemiselulosa, dan karbohidrat lain yang tidak dapat dihidrolisa oleh enzim yang dihasilkan oleh alat pencernaan hewan (Ranjhan, 1980). Polisakarida akan dihidrolisa menjadi monosakarida terutama glukosa oleh enzim yang dihasilkan mikroba. Selanjutnya glukosa akan difermentasi menjadi VFA. VFA terutama yang berantai cabang, esensial untuk pertumbuhan mikroba rumen. Kadar asam lemak rantai cabang ini umumnya sedikit. Komponen VFA yang berkerangka karbon cabang, yaitu isobutirat dan isovalerat sangat efisien sebagai kerangka karbon yang sangat diperlukan mikroba dalam sintesis protein komponen selnya (Ranjhan, 1980). Ransum dengan komponen konsentrat tinggi akan menghasilkan perbandingan 45% asetat, 40% propionat, 5-10% butirat, dan 2-8% valerat. Apabila konsentrat dalam ransum meningkat, maka proporsi asetat menurun dan asam propionat meningkat (Ranjhan, 1980). Asam-asam lemak terbang yang merupakan 60% konsumsi energi tercerna, secara konstan masuk ke dalam aliran darah melalui dinding rumen (Arora, 1989). Sebagian asam lemak terbang dimetabolisasi dalam dinding rumen dan hasilnya menstimulasi perkembangan papille rumen, sehingga menambah luas permukaan absorpsi (Arora, 1989). Pakan biji-bijian juga mengakibatkan peningkatan produksi asam lemak terbang dan pengurangan aliran saliva, yang akan menimbulkan penebalan-penebalan keratin mukosa rumen (Arora, 1989). Protein Amonia merupakan nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein mikroba (Hungate, 1966). Faktor yang mempengaruhi konsentrasi N-NH3 adalah karbohidrat dalam ransum (Ranjhan, 1980). Peningkatan jumlah karbohidrat mudah difermentasi (readily available carbohydrate) akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan mikroba (Ranjhan, 1980). Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepat dengan pembentukan NH3. Konsentrasi amino dalam rumen tergantung pada kelarutan dan jumlah pakan. Protein pakan yang didegradasi menjadi asam amino akan mengalami proses deaminasi menjadi asam organik CO2 dan NH3. Molekul NH3 yang dihasilkan dapat diubah menjadi protein mikroba kemudian mengalir ke abomasum, usus halus dan hati. Namun NH3 yang masuk ke dalam darah dan hati diubah menjadi urea. Urea yang dihasilkan sebagian akan masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva maupun dinding rumen dan sebagian lagi diekskresikan melalui urin (Ranjhan, 1980; Arora, 1989). Mikroorganisme rumen menghasilkan enzim protease yang digunakan untuk menghidrolisa protein menjadi peptida dan asam amino, yang selanjutnya didegradasi menjadi CO2, NH3 dan VFA (Ranjhan, 1980). Amonia merupakan nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein mikroba (Hungate, 1966). Menurut Ranjhan (1980) batas minimum kadar amonia untuk pertumbuhan mikroba sebesar 2 mg%. Penyediaan protein dalam ransum sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi (Sutardi, 1980). Degradasi protein dalam rumen dipengaruhi oleh sumber protein, bentuk fisik dan kimia pakan, laju partikel pakan dalam rumen, jumlah konsumsi energi, pertumbuhan mikroba dan ukuran partikel pakan (Hubber & Kung, 1981). Kebutuhan Nutrien Pakan Nutrien yang dikonsumsi pedet dibutuhkan untuk hidup pokok dan pertambahan bobot badan dalam bentuk deposit protein dan mineral. Kebutuhan nutrien pedet antara lain bergantung kepada umur, bobot badan dan pertambahan bobot badan (NRC, 2001). Kebutuhan hidup pokok yaitu kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup. Jika sapi memperoleh pakan lebih dari kebutuhan hidup pokok, sebagian kelebihan nutrien tersebut akan diubah menjadi bentuk produksi, misalnya pertumbuhan atau kenaikan bobot badan, produksi air susu atau produksi tenaga (Parakkasi, 1999). Tingkat pertambahan bobot badan maksimum yang dapat diraih ditentukan oleh tingkat konsumsi energi (Roy, 1980). Menurut Cullison et al. (2003), fungsi nutrien bagi ternak adalah menyediakan energi untuk produksi panas dan deposit lemak, memelihara sel-sel tubuh, mengatur berbagai fungsi, proses dan aktivitas dalam tubuh. Nutrien yang diperlukan ternak dapat dipisahkan menjadi komponen utama antara lain energi, protein, mineral, dan vitamin. Orskov (2001) menyatakan bahwa ternak membutuhkan energi untuk pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh, dan untuk produksi. Kebutuhan energi pada ternak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, produksi, dan ukuran tubuh (NRC, 2001). Berdasarkan NRC (2001), pada saat pertumbuhan, seekor ternak membutuhkan kadar protein yang tinggi untuk proses pembentukan jaringan tubuh. Ternak muda memerlukan protein lebih tinggi dibandingkan dengan ternak dewasa karena untuk memaksimalkan pertumbuhannya. Mineral diperlukan oleh ternak dalam jumlah yang cukup. Pada ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral maka aktivitas fermentasi mikroba tidak berlangsung secara optimum sehingga akan berdampak pada menurunnya produktivitas ternak (McDowel, 1992). Beberapa mineral mempunyai fungsi untuk pertumbuhan, reproduksi, dan untuk memelihara kesehatan. Jika terjadi ketidakseimbangan hubungan antar mineral maka dapat berpengaruh terhadap penampilan ternak, ketidakseimbangan ini menurut Parakkasi (1999), dapat berkisar dari yang tidak terlihat gejalanya atau subklinis sampai yang sangat jelas gejalanya atau akut. Seiring dengan bertambahnya konsumsi pakan padat seperti rumput dan calf starter maka papille rumen akan berkembang yang diiringi dengan pertumbuhan mikroorganisme rumen (Rakhmanto, 2009). Jumlah mikroorganisme akan stabil jika pH rumen mendekati pH netral yang dicapai pada umur sekitar delapan minggu (Roy, 1980). Jumlah bahan kering yang dapat dikonsumsi pada pakan cair lebih banyak dibandingkan dengan pakan padat sampai anak sapi mempunyai berat hidup 70 kg dikarenakan energi dari susu dapat tercerna lebih efisien oleh pencernaan monogastrik dibanding dengan pencernaan pakan padat pada ruminan (Roy, 1980). Sapi akan mengkonsumsi bahan kering berkisar antara 1,4-2,7% dari bobot badannya (NRC, 2001). Konsentrat Pemberian konsentrat pada pedet harus dilakukan secara bertahap. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan kemampuan rumen yang belum berkembang dan kebiasaan pedet yang lebih menyukai pakan cair. Pakan padat yang diberikan pada awal pertumbuhan pedet dikenal dengan calf starter (ransum pemula). Ransum pemula yang diberikan biasanya berupa campuran dari berbagai jenis bahan pakan berenergi dan protein tinggi (Parakkasi, 1999). Konsentrat dapat merupakan sumber protein maupun sumber energi. Konsentrat sumber energi adalah bahan pakan yang mengandung protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar kurang dari 18%. Pemberian konsentrat yg terlampau banyak akan meningkatkan konsentrasi energi ransum dan dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat konsumsi berkurang (Parakkasi, 1999). Konsentrat biasanya tersusun dari berbagai bahan pakan biji-bijian dan hasil ikutan dari pengolahan hasil pertanian maupun industri. Pemberian konsentrat dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan sapi. Namun, pemberian pakan penguat berupa konsentrat harus memperhitungkan nilai ekonomisnya. Pemberian konsentrat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerugian bila tidak diiringi peningkatan pertumbuhan atau produksi yang sesuai (Parakkasi, 1999). Serat Kasar Pakan Menurut Sutardi (1980), dinding sel dapat dibagi menjadi fraksi yang larut dan tidak larut. Fraksi yang larut sebagian besar terdiri atas hemiselulosa dan sedikit protein dinding sel. Fraksi yang tidak larut adalah lignoselulosa yang lazim disebut acid detergent fiber (ADF), dan dari ADF dapat diperoleh selulosa dan lignin. Kandungan serat kasar yang tinggi akan menghambat gerak laju digesta di dalam alat pencernaan. Kandungan serat kasar tersebut menyebabkan daya cerna karbohidrat maupun nutrien lainnya menjadi turun (Parakkasi, 1999). Menurut Arora (1989), hasil akhir dari proses pencernaan golongan hemiselulosa dan selulosa berupa asam asetat, asam propionate dan asam butirat. Fungsi hemiselulosa dan selulosa dalam saluran pencernaan tidak spesifik, tetapi penting dalam meningkatkan gerak peristaltik pada pencernaan hewan golongan non ruminansia, juga merupakan sumber energi dari mikroorganisme dalam lambung dan sebagai bahan pengisi lambung. Golongan lignin tidak dapat dicerna dan tidak memiliki hasil akhir dari proses pencernaan serta keberadaannya dapat menghambat proses pencernaan pada ternak. Pencernaan Serat pada Ruminansia Kurang lebih 60-75% dari ransum yang biasa dimakan ruminansia terdiri dari karbohidrat struktural dan nonstruktural. Komponen karbohidrat struktural yang berupa serat kasar sebagian besar terdapat sebagai selulosa, hemiselulosa dan lignin, sedangkan karbohidrat nonstruktural dalam konsentrat umumnya terdapat sebagai pati. Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami tiga tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Pada tahap pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa. Hasil pencernaan tahap pertama tersebut segera memasuki jalur glikolisis EmbdenMeyerhoff untuk mengalami pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat kemudian akan diubah menjadi VFA (volatile fatty acid) yang umumnya terdiri dari asetat, butirat, propionat. Disamping VFA sebagai produk utama, hasil fermentasi di dalam rumen lain adalah CO2 dan CH4 yang dikeluarkan melalui proses eruktasi. VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama dari ternak ruminansia (Arora, 1989). Konsumsi Ransum Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak atau sekelompok ternak yang mengandung nutrien di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak tersebut. Menurut Parakkasi (1999) konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan menentukan produksi sehingga dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar nutrien dalam ransum yang dapat digunakan untuk memenuhi hidup pokok dan produksi. Konsumsi dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam ternak itu sendiri sedangkan faktor eksternal berasal dari pakan dan lingkungan sekitar dimana ternak tersebut hidup. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, sedangkan palatabilitas pakan tergantung pada bau, rasa, tekstur dan temperatur pakan yang diberikan (Church & Pond, 1988). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi ditentukan oleh: (1) berat atau besar badan, (2) jenis pakan (daya cerna), (3) umur dan kondisi ternak, (4) kadar energi bahan pakan, (5) cekaman (stress) dan (6) jenis kelamin. Kecernaan Nutrien Kecernaan adalah perubahan sifat fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan pakan menjadi butir-butir atau partikel kecil, atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Selain itu, dalam alat pencernaan terutama pada ruminansia bahan pakan mengalami pula perombakan sehingga sifat-sifat kimia bahan pakan berubah (Sutardi, 1980). Berdasarkan perubahan yang terjadi pada bahan pakan di dalam alat pencernaan, proses pencernaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu pencernaan mekanik, pencernaan hidrolitik, dan pencernaan fermentatif. Pencernaan fermentatif pada ternak ruminansia terjadi dalam rumen berupa perubahan senyawa-senyawa tertentu menjadi senyawa lain yang sama sekali berbeda dari molekul zat asalnya. Perbedaan prinsip antara pencernaan hidrolitik dengan pencernaan fermentatif adalah pada pencernaan hidrolitik nutrien yang berupa polimer dihidrolisa menjadi monomer-monomernya, sedangkan pada pencernaan fermentatif monomer-monomer tersebut segera dikatabolisasi lebih lanjut. Misalnya protein difermentasi menjadi amonia dan karbohidrat menjadi asam lemak terbang (VFA) (Sutardi, 1980). Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan pakan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Parakkasi (1999) mendefinisikan kecernaan sebagai bagian yang tidak dieksresikan dalam feses dimana bagian tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh ternak, dinyatakan dalam persen bahan kering. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa nutrien yang dicerna adalah bagian nutrien yang tidak dikeluarkan dan diperkirakan diserap oleh tubuh hewan. Selisih antara nutrien yang terkandung dalam pakan yang dimakan dan nutrien dalam feses adalah jumlah yang tinggal di dalam tubuh hewan atau jumlah dari nutrien yang dicerna (Parakkasi, 1999). Pakan yang mengandung serat kasar dapat menurunkan nilai kecernaan nutrien lainnya karena untuk mencerna serat kasar diperlukan banyak energi. Faktor–faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan yaitu aspek pakan, ternak dan lingkungan. Perlakuan terhadap pakan (pengolahan, penyimpanan, dan cara pemberian), jenis, jumlah, dan komposisi pakan yang diberikan pada ternak. Umur ternak, kemampuan mikroba rumen mencerna pakan, jenis hewan serta variasi hewan turut menentukan nilai kecernaan (Parakkasi, 1999). Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan dipengaruhi antara lain oleh jenis hewan, macam bahan pakan, jumlah ransum yang diberikan, cara penyediaan pakan, dan kadar nutrien yang terkandung (Ranjhan, 1980). Faktor yang berpengaruh lainnya, menurut Arora (1989) yaitu laju pengisian dan pengaliran rumen yang merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat dan tempat pencernaaan, tingkat konsumsi mikroba, produksi akhir fermentasi dan penggunaan nitrogen. Menurut Sutardi (1980) ada dua metode untuk menentukan koefisien cerna yaitu metode koleksi total dan metode indikator, sedangkan pengukurannya dapat dilakukan secara in vitro, in vivo dan perhitungan berdasarkan kadar nutrien hasil analisis kimia. Untuk memperoleh angka kecernaan suatu nutrien, diperlukan data mengenai banyaknya nutrien yang dikonsumsi dan yang terdapat dalam feses. Untuk mengetahui jumlah nutrien yang dikonsumsi yaitu dengan cara mengalikan jumlah bahan kering ransum dengan persentase kandungan nutrien dalam ransum, begitu juga untuk menghitung banyaknya nutrien didalam feses, sedangkan persentase nutrien dalam feses dan ransum diperoleh dari analisa proksimat. Produksi Amonia Tingkat kecernaan dan degradasi protein terkait dengan tinggi rendahnya kadar amonia dalam cairan rumen. Produksi amonia rumen dipengaruhi oleh pH rumen, kelarutan protein bahan pakan, daya tahan protein terhadap degradasi, dan lamanya bahan pakan dalam rumen. Amonia merupakan sumber nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi komponen protein mikroba (Hungate, 1966). Peningkatan jumlah karbohidrat mudah difermentasi (RAC) akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan mikroba (Ranjhan, 1980). Produksi VFA Kecernaan dan fermentasi karbohidrat terkait dengan kadar VFA dalam cairan rumen. Karohidrat yang mudah dicerna akan mudah mengalami fermentasi dalam rumen. Sebagian besar VFA diserap langsung melalui dinding rumen, dan sebagian kecil asetat dan propionat serta sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen (Parakkasi, 1999). Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan komponen pakan. Produksi VFA yang tinggi merupakan indikator kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Total Digestible Nutrient (TDN) Kecernaan komponen nutrien yang tinggi tergambarkan oleh nilai kecernaan nutrien yang tinggi. Tingkat kecernaan nutrien pakan biasanya diekspresikan dalam satuan nutrien total tercerna atau total digestible nutrien (TDN). TDN merupakan jumlah dari semua nutrien organik yang dapat dicerna, seperti protein, lemak, serat kasar, dan BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen). Konversi nilai TDN dari nilai kecernaan nutrien dilakukan dengan memperhitungkan kadar energi lemak sehingga lemak mempuyai nilai kesetaraan karbohidrat 2,25 karena nilai energi lemak 2,25 kali lebih tinggi daripada nilai energi karbohidrat dan protein (Sutardi, 1980). Konsumsi TDN berkaitan dengan suplai energi dapat dicerna yang sangat diperlukan oleh ternak, sehingga konsumsi TDN akan memberikan suplai energi yang digunakan dalam proses metabolisme dalam tubuh, namun proses pertumbuhan itu sendiri memerlukan suplai protein yang cukup (Utomo, 2003). MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2009 sampai dengan Maret 2010, bertempat di kandang A sapi perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak yang Digunakan Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah tujuh ekor pedet peranakan FH (Friesian Holstein) yang berumur delapan minggu dengan rataan bobot badan 43,11±7,13 kg. Gambar 1. Contoh Pedet yang Digunakan dalam Penelitian Kandang dan Peralatan Pedet dipelihara dalam kandang individu berukuran 2,0x1,5 m 2 yang diberi alas papan kayu dan dipagari dengan bambu. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum serta lampu penerangan. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan, kantong plastik, sekop dan kantong kain. (a) (b) Gambar 2. Kandang Penelitian dan Tempat Pakan Ransum Penelitian Ransum diformulasikan berdasarkan komposisi nutrien bahan pakan menurut hasil analisa di Laboratorium Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Air minum yang diberikan berasal dari air keran yang ada di kandang. Bahan pakan komponen ransum yang digunakan adalah jagung giling, bungkil kedelai, pollard, molases, onggok, bungkil kelapa, dan mineral. Komposisi bahan pakan dalam ransum ditunjukkan dalam Tabel 1 dan kandungan nutrien ransum ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum Bahan Pakan Komposisi dalam Ransum (%) Jagung giling 9,39 Bungkil kedelai 14,62 Pollard 14,33 Molases 7,21 Onggok 39,62 Bungkil kelapa 13,64 Mineral 1,19 Total 100,00 Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Nutrien Persentase dalam ransum Bahan kering (%) Abu (%BK) 80,55 6,47 Protein (%BK) 19,30 Serat kasar (%BK) 15,52 Lemak (%BK) 0,86 BETN (%BK) 57,85 Keterangan : Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2009) METODE Perlakuan Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah kontrol (pedet tanpa inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau) dan inokulasi (pedet dengan inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau). Semua pedet mendapat pakan yang sama yaitu calf grower. Sebanyak 20 ml cairan media biakan bakteri dengan konsentrasi 4,56 x 109 CFU/ml, digunakan sebagai inokulan dan diberikan pada tiga ekor pedet. Empat ekor pedet dipelihara tanpa mendapatkan inokulan. Pemberian inokulan dilakukan setiap pagi hari dengan dicekokan langsung pada setiap pedet. Pemberian inokulan dihentikan setelah dua minggu. Gambar 3. Pemberian Isolasi Bakteri Pencerna Serat pada Pedet dengan Cara Dicekok Pembuatan Ransum dan Pemberian Pakan Pembuatan ransum dilakukan secara manual dengan mencampurkan semua bahan pakan diatas lantai yang beralaskan terpal. Pencampuran masing-masing bahan pakan dilakukan secara bertahap yaitu dengan mencampurkannya satu persatu mulai dari yang bahan pakan yang jumlahnya paling kecil. Selama periode menyusu atau empat minggu percobaan, setiap pedet percobaan mendapatkan susu sesuai dengan jumlah berat badannya yang diberikan pada pukul 8.00 WIB dan pukul 15.00 WIB. Disamping mendapatkan susu, selama periode menyusu kedua kelompok pedet percobaan mendapatkan calf stater. Setelah disapih pedet diberi calf grower yang sama selama percobaan. Pakan padat dan air minum diberikan ad libitum, sesuai dengan kemampuan pedet mengkonsumsi pakan. Sisa pakan dari setiap pedet ditimbang setiap hari lalu dikumpulkan di dalam kantong plastik. Gambar 4. Pembuatan Ransum Calf Grower Persiapan Isolat Bakteri Isolat bakteri yang digunakan berjumlah tujuh isolat hasil isolasi mikroba rumen pencerna serat (Gayatri, 2010; Astuti, 2010) yang berasal dari rumen kerbau dan merupakan koleksi Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan IPB. Bakteri tersebut mampu hidup pada media sumber serat dan mampu mencerna serat dengan baik. Semua isolat bakteri ditumbuhkan di dalam satu media susu segar steril selama tiga hari. Bakteri tersebut dapat tumbuh dengan baik pada media yang berprotein tinggi walaupun tidak mengandung serat kasar. Gambar 5. Isolat Bakteri yang Sudah Dibiakkan pada Susu Segar Steril Koleksi Feses Koleksi feses dilakukan selama satu minggu pada minggu ke delapan atau empat minggu setelah disapih dan inokulasi bakteri dihentikan. Feses yang sudah dikumpulkan setiap harinya dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda untuk masing-masing pedet. Feses harian ditimbang berat totalnya lalu diambil 10% dan dimasukkan ke dalam kantong kain sebagai sampel untuk dikeringkan dan dianalisa di laboratorium. Gambar 6. Koleksi Total Feses untuk Pengukuran Kecernaan Nutrien Pengambilan Sampel Cairan Rumen Pengambilan sampel cairan rumen pedet dilakukan dua kali yaitu pada minggu ke dua setelah terakhir inokulasi bakteri dan pada akhir minggu ke empat yaitu pada hari setelah koleksi feses berakhir. Cairan rumen diambil menggunakan selang yang dimasukkan ke dalam mulut pedet lalu cairan rumen disedot dengan pompa vakum. Kadar NH3 dan VFA cairan rumen dianalisis. Gambar 7. Pengambilan Cairan Rumen Menggunakan Selang yang Dimasukkan Melalui Mulut Pedet Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) konsumsi nutrien ransum, (2) Total Digestible Nutrient (TDN), (3) kecernaan bahan kering dan bahan organik, (4) konsentrasi NH3, dan (5) produksi VFA. Konsumsi Calf Grower Konsumsi harian calf grower dihitung dari selisih jumlah calf grower yang diberikan dengan sisa calf grower yang tidak dikonsumsi dalam 24 jam. Penghitungan dilakukan dalam bahan kering (BK). Konsumsi BK ransum (g) = BK ransum pemberian (g) – BK ransum sisa (g) Total Digestible Nutrient Total digestible nutrient (TDN) merupakan nilai yang menunjukkan jumlah dari nutrien yang dapat dicerna ternak, yang merupakan jumlah dari semua nutrien organik yang dapat dicerna, seperti protein, lemak, serat kasar, dan BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen). Nilai TDN dihitung dengan menggunakan rumus: TDN = Proteint + (2,25x Lemakt) + SKt + BETNt Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pengukuran kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) dilakukan dengan metode oven. Feses yang telah dikumpulkan dikeringkan di bawah sinar matahari selama beberapa hari sampai feses kering. Setelah itu feses dimasukkan ke dalam oven 60°C sampai feses kering. Setelah itu feses dihaluskan lalu diambil sekitar 3-5 gram kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen lalu feses dimasukkan ke dalam oven 105°C sampai kering. Setelah itu feses dimasukkan ke dalam tanur 600°C selama kurang lebih 6 jam. Kecernaan dihitung dengan menggunakan rumus: Konsumsi BK-BK Feses KCBK (%) = KCBO (%) = Konsumsi BK x 100% Konsumsi BO-BO Feses Konsumsi BO x 100% Konsentrasi NH3 Pengukuran konsentrsi NH3 cairan rumen dilakukan dengan menggunakan metode mikrodifusi conway. Cawan conway yang dipakai terlebih dahulu diolesi vaselin pada kedua bibirnya. Sebanyak 1 ml supernatan ditempatkan pada salah satu sisi sekat cawan dan di sisi yang lain ditempatkan 1 ml larutan Na 2CO3 jenuh. Cawan diletakkan miring ke arah sekat sehingga kedua larutan tidak tercampur. Pada bagian tengah cawan ditempatkan 1 ml asam borat berindikator merah metil dan brom kreosol hijau. Kemudian cawan ditutup rapat sehingga kedap udara. Larutan Na 2CO3 dicampurkan dengan supernatan dengan cara menggoyangkan dan memiringkan cawan. Selanjutnya cawan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah tutup cawan dibuka asam borat dititrasi dengan 0,005 N H2SO4 sampai warnanya kembali menjadi merah muda. Perhitungan untuk konsentrasi NH3 menggunakan rumus: NH3 (mM) = ml H2SO4 x N-H2SO4 x 1000 Produksi VFA Pengukuran produksi VFA dilakukan dengan menggunakan teknik destilasi uap (steam destilation). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung destilasi Markham lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15% dan tabung segera ditutup. Proses destilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi air mendidih. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 00,5 N sampai volumenya mencapai 300 ml. Setelah itu ditambahkan indikator fenolptalin sebanyak 2-3 tetes dan kemudian dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titran berubah dari merah jambu menjadi bening. Perhitungan untuk konsentrasi VFA menggunakan rumus: VFA total (mM) = (ml titran blanko – ml titran sampel) x N-HCl x 1000/5 Analisis Data Perlakuan inokulasi dan kontrol diterapkan pada pedet dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pedet yang mendapatkan perlakuan kontrol berjumlah empat ekor dan pedet yang mendapatkan perlakuan inokulasi berjumlah tiga ekor. Setiap pedet merupakan ulangan dalam setiap perlakuan. Rataan konsumsi nutrien, kecernaan nutrien, konsentrasi NH3 dan VFA cairan rumen serta TDN dari pedet yang diinokulasi dibandingkan dengan dari pedet kontrol dengan Uji-t pada α=0,05 (Steel & Torrie, 1991) menggunakan rumus: Keterangan: = rataan perlakuan ke-1 = rataan perlakuan ke-2 Kriteria uji: Terima H0 jika –ttabel < thitung < ttabel HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Ransum Ternak mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrien. Ransum yang diberikan dalam penelitian ini merupakan ransum calf grower yang telah diperhitungkan kandungan nutriennya sesuai dengan kemampuan pedet mengkonsumsi pakan. Tingkat konsumsi merupakan jumlah pakan yang terkonsumsi ternak bila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Tingkat konsumsi dalam kajian inti telah dijadikan indikator perkembangan alat pencernaan pedet percobaan. Konsumsi bahan kering ransum menggambarkan tingkat aseptabilitas seekor ternak terhadap pakan. Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan pakan. Palatabilitas didefinisikan sebagai respon ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan (Church & Pond, 1988). Tingkat konsumsi pakan yang cukup tinggi menunjukkan bahwa pakan yang diberikan memiliki tingkat palatabilitas yang cukup tinggi. Konsumsi ransum pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Ternak akan berhenti makan apabila telah merasa tercukupi kebutuhan energinya. Namun apabila ransum tidak padat energi (tinggi serat), maka daya tampung alat pencernaan fermentatif akan menjadi faktor pembatas utama konsumsi ransum. Ternak akan berhenti makan setelah kapasitas rumennya terpenuhi, meskipun sesungguhnya kebutuhan energinya belum terpenuhi (Amin, 1997). Konsumsi bahan kering (BK) merupakan salah satu penentu ketersediaan nutrien dalam tubuh ternak yang akan menunjang hidup pokok dan produksi. Konsumsi bahan kering ransum selama pasca sapih disajikan pada Gambar 8 dan konsumsi nutrien ransum disajikan pada Tabel 3. Konsumsi BK (g/ekor/hr) 3000 2500 2000 Kontrol 1500 Inokulasi 1000 500 0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 Hari Gambar 8. Konsumsi Bahan Kering Ransum Pedet Percobaan Selama Periode Pasca Sapih Tabel 3. Rataan Konsumsi Nutrien Ransum pada Pedet yang Mendapat Ransum tanpa atau dengan Inokulan Selama Pasca Sapih Nutrien Ransum Perlakuan Kontrol Inokulasi --------------------------- (g/ekor/hr) ------------------------Bahan Kering (BK) 920 ± 390 1683 ± 393 Bahan Organik (BO) 861 ± 365 1574 ± 368 Protein 178 ± 75 325 ± 76 Serat Kasar 143 ± 61 261 ± 61 Lemak 7,88 ± 3,34 14,42 ± 3,37 BETN 532 ± 226 974 ± 227 TDN 753 ± 317 1357 ± 325 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05) Rataan konsumsi harian bahan kering ransum mencapai 920 g/ekor/hr untuk kontrol sedangkan kelompok yang mendapat inokulasi mencapai 1683 g/ekor/hr. Nilai tersebut sudah mencukupi kebutuhan bahan kering pedet berdasarkan Sutardi (1980) dan NRC (2001). Menurut Sutardi (1980), kebutuhan BK untuk pedet dengan bobot badan (BB) 30-64 kg dan umur 1-4 bulan adalah sebanyak 480-1800 g/ekor/hr (1,6%-2,8% BB), sedangkan menurut NRC (2001), kebutuhan BK untuk pedet dengan BB 30-60 kg dan PBB 0,4-0,6 kg adalah 560-1040 g/ekor/hr (1,4%-1,7% BB). Rataan konsumsi bahan kering ransum pada pedet yang diinokulasi isolat bakteri lebih tinggi daripada kontrol. Konsumsi bahan kering tersebut seiring dengan konsumsi bahan organik, protein, serat kasar, lemak dan BETN. Pemberian inokulan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi BK, BO, protein, serat kasar, lemak dan BETN. Menurut Amin (1997), peningkatan kecepatan kecernaan serat dan pembentukan protein mikroba akan menyebabkan laju aliran pakan ke usus halus lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan jumlah pakan yang dikonsumsi dan pasokan substrat ke usus halus. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan inokulasi isolat bakteri menyebabkan pedet lebih menyukai pakan sehingga konsumsi pun meningkat. Total Digestible Nutrient (TDN) Energi merupakan bagian terbesar yang disuplai oleh hampir semua bahan pakan. Nilai TDN merupakan nilai yang menunjukkan jumlah nutrien yang dapat dicerna hewan, dan merupakan jumlah semua nutrien organik yang dapat dicerna seperti protein, serat kasar, lemak dan BETN. Rataan konsumsi TDN pada penelitian ini adalah 753 ± 317 g/ekor/hr untuk kontrol dan 1.357 ± 325 g/ekor/hr untuk inokulasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi TDN. Konsumsi TDN kontrol lebih rendah daripada inokulasi. Hal ini dikarenakan bobot badan pedet yang berbeda dan konsumsi BK pedet kontrol lebih rendah dari inokulasi. Konsumsi TDN dipengaruhi oleh kualitas ransum, dimana semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum 900 800 PBB (g/ekor/hr) 700 600 500 y = 0.3331x + 275.18 R2 = 0.8326; P<0.05 400 300 200 100 0 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 TDN (g/ekor/hr) Gambar 9. Hubungan Konsumsi TDN dan PBB Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri maka TDN yang dikonsumsi semakin rendah dan semakin baik kualitas ransum yang diberikan maka TDN yang dikonsumsi semakin tinggi (Utomo, 2003). Gambar 9 menunjukkan hubungan antara konsumsi TDN dengan pertambahan bobot badan (PBB) pedet lepas sapih baik yang tidak maupun diinokulasi bakteri. Pertambahan bobot badan dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi pemanfaatan nutrien oleh ternak. Menurut Amin (1997), penambahan isolat bakteri dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Tingkat konsumsi yang tinggi biasanya diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula. Semakin tinggi PBB pedet maka semakin tinggi pula konsumsi TDN ransum. Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi PBB pedet maka semakin tinggi pula nutrien diantaranya energi yang dibutuhkan. Persamaan dalam Gambar 9 menunjukkan bahwa kebutuhan TDN untuk hidup pokok adalah 275,18 g/ekor/hr dan kebutuhan TDN untuk rataan pertumbuhan 612,24 g/ekor/hr adalah 479,12 g/ekor/hr. Jika energi yang masuk lebih rendah daripada kebutuhan hidup pokok, maka ternak akan mengalami penurunan pertambahan bobot badan karena ternak akan menggunakan jaringan tubuh untuk mempertahankan hidup. Sedangkan jika energi yang masuk berlebih akan mengarah pada produksi lemak tubuh yang lebih tinggi. Tidak semua energi yang dikonsumsi dapat dicerna dan diserap oleh tubuh, energi yang tidak terpakai akan dikeluarkan melalui feses dan urin (Parakkasi, 1999). NRC (2001) menyatakan bahwa kebutuhan energi pada ternak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, produksi, dan ukuran tubuh. Kondisi lingkungan seperti temperatur, kelembaban dan cuaca juga berpengaruh terhadap kebutuhan energi. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan merupakan peubah yang menunjukkan jumlah bagian pakan yang dikonsumsi yang dapat diserap oleh tubuh, karena dalam suatu proses pencernaan selalu ada bagian yang tidak dapat dicerna dan dikeluarkan dalam bentuk feses. Kecernaan nutrien yang biasa diukur adalah kecernaan bahan kering dan bahan organik karena keduanya dapat digunakan sebagai indikator bahwa pakan dapat difermentasi oleh mikroba rumen yang berperan dalam pencernaan fermentatif pada ruminansia. Kecernaan nutrien merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas dari pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering pakan maka semakin tinggi juga jumlah nutrien yang dapat dimanfaatkan ternak untuk hidup pokok dan pertumbuhannya. Kecernaan dan ketersediaan nutrien dalam bahan pakan dipengaruhi oleh status dan produktivitas serta fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Faktor yang mempengaruhi daya cerna ransum menurut Sutardi (1980) yaitu suhu lingkungan, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, dan rasio nutrien dalam bahan pakan. Sutardi (1980) menyatakan bahwa selain komposisi pakan yang diberikan mengandung nutrien lengkap, nilai kecernaan suatu pakan juga dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mencerna pakan. Semakin banyak bakteri dalam media cairan rumen maka enzim yang dikeluarkan bakteri untuk mendegradasi ransum semakin tinggi konsentrasinya sehingga kecernaan meningkat. Menurut Amin (1997) bakteri dapat ditambahkan ke dalam pakan sebagai probiotik. Probiotik merupakan mikroba hidup yang berpengaruh positif bagi hewan inang dengan meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan hewan tersebut. Pemberian probiotik pada ternak diharapkan dapat meningkatkan kecernaan nutrien ransum. Tabel 4. Rataan Kecernaan Nutrien Pada Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri Kecernaan Perlakuan Kontrol Inokulasi ------------------------------ (%) -----------------------------Bahan Kering 78,51 ± 3,83 76,67 ± 0,53 Bahan Organik 86,76 ± 2,06 85,25 ± 0,64 Protein 82,13 ± 3,38 82,41 ± 1,62 Serat Kasar 66,16 ± 7,50 65,30 ± 3,83 Lemak 76,84 ± 3,79 76,37 ± 4,45 BETN 93,97 ± 1,33 91,67 ± 1,21 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Rataan kecernaan bahan kering dan komponen nutrien dapat dilihat pada Tabel 4. Inokulasi bakteri selama periode menyusu tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, lemak, dan BETN pasca sapih. Kecernaan bahan kering pada penelitian ini berada pada kisaran 75,15-83,80%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering cukup tinggi. Sutardi (1980) menyatakan bahwa bila kadar lignin bahan pakan tinggi, maka kecernaan bahan pakan itu rendah. Namun dalam kajian ini pakan mengandung serat kasar yang rendah, sehinga pengaruh lignin terhadap kecernaan sangat rendah. Hal ini menggambarkan bahwa pedet telah mempunyai kemampuan mencerna yang tinggi. Kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda (Sutardi, 1980). Kecernaan bahan kering pada penelitian ini cukup tinggi karena kandungan lemak bahan pakan yang digunakan cukup rendah dan kandungan proteinnya pun cukup tinggi. Berdasarkan kecernaan bahan kering tersebut dapat diketahui bahwa mikroba rumen dapat berkembang dengan baik. Selain itu juga dapat membuktikan bahwa mikroba rumen tersebut dapat mencerna komponen nutrien yang ada dalam rumen. Namun, inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan kering dan bahan organik. Amin (1997) melaporkan bahwa penggunaan probiotik lokal bertujuan untuk memanipulasi ekosistem rumen yang bertujuan untuk mempertinggi efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan sintesis protein mikrobial serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein, dan fermentasi pati di dalam rumen. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa mikroba yang diinokulasikan pada rumen pedet lebih berperan dalam mempercepat proses pencernaan sehingga laju aliran nutrien menjadi lebih cepat dan meningkatkan konsumsi, sedangkan peningkatan laju aliran digesta mengakibatkan nutrien tersebut tidak sempat dicerna seluruhnya. Kecernaan bahan organik juga dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai kualitas ransum seperti halnya kecernaan bahan kering (Sutardi, 1980). Bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan pakan semakin banyak nutrien yang diserap tubuh (Silalahi, 2003). Kecernaan bahan organik pada penelitian berada pada kisaran 84,61-89,54%. Kecernaan bahan organik lebih tinggi daripada kecernaan bahan kering. Hasil analisa menunjukkan bahwa pemberian probiotik tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan organik yang tinggi membuktikan bahwa kelarutan bahan mineral atau abu cukup tinggi. Hasil kecernaan bahan organik ini sejalan dengan nilai kecernaan bahan kering. Hal ini karena bahan kering suatu bahan pakan sebagian besar terdiri dari bahan organik (Sutardi, 1980). Nilai kecernaan bahan organik merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas pakan, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pakan yang digunakan kualitasnya cukup baik karena nilai kecernaan bahan organiknya yang tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemberian inokulan tidak menunjukkan pengaruh yang berlanjut terhadap kecernaan nutrien pakan pada perode pasca penyapihan. Konsentrasi NH3 Amonia dalam cairan rumen merupakan hasil dari proses degradasi protein dan nitrogen bukan protein (NPN) yang masuk ke dalam rumen. Amonia merupakan senyawa nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein mikroba (Hungate, 1966). Konsentrasi NH3 merupakan indikator jumlah protein ransum yang didegradasi di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein ransum. Meningkatnya populasi mikroba dapat menyebabkan peningkatan penggunaan amonia, kecernaan serat dan sintesa protein mikroba (Amin, 1997). Tabel 5. Rataan Konsentrasi NH3 dan VFA Total Cairan Rumen Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri Peubah Perlakuan Kontrol Inokulasi ----------------------------- (mM) ----------------------------Saat masih diberi inokulasi NH3 5,71 ± 5,19 5,15 ± 1,84 VFA 125 ± 19 153 ± 15 Dua minggu setelah pemberian inokulasi dihentikan NH3 3,08 ± 2,24 2,60 ± 0,43 VFA 80 ± 22a 167 ± 60b Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05) Rataan konsentrasi NH3 yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Konsentrasi NH3 pada penelitian ini berada pada kisaran 1,85-13,375 mM. Menurut McDonald (2002), mikroba rumen dapat tumbuh dengan baik pada konsentrasi NH3 dengan kisaran 6-21 mM. Konsentrasi NH3 pada periode menyusu dan pedet masih diinokulasi isolat bakteri lebih tinggi daripada konsentrasi NH3 pada saat pedet sudah tidak diberi inokulan. Inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi konsentrasi NH3 cairan rumen. Kurang lebih 35% dari populasi mikroba rumen adalah bakteri proteolitik yang mampu mendegradasi protein ransum menjadi amonia yang selanjutnya dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya dan sisanya didaur ulang menjadi urea darah ataupun saliva atau disekresikan melalui urin (Putra, 2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya NH3 hasil fermentasi dipergunakan oleh mikroba rumen untuk sintesis protein mikroba, dengan demikian jumlah NH3 diantara kontrol dan perlakuan hampir sama. Produksi VFA Ruminan memproduksi VFA sebagai hasil fermentasi terutama karbohidrat (Parakkasi, 1999). Asam asetat, asam propionat dan asam butirat merupakan tiga komponen VFA tertinggi di dalam cairan rumen. Rataan konsentrasi VFA yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Kisaran produksi VFA dalam penelitian ini adalah 60-230 mM. Sebagian nilai produksi VFA tersebut berada diluar kisaran produksi VFA cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba yaitu pada 80-160 mM (Sutardi, 1980). VFA digunakan sebagai kerangka karbon untuk pertumbuhan mikroba rumen dan sebagai sumber energi bagi ternak (Arora, 1989). Produksi VFA di dalam rumen mencerminkan besarnya karbohidrat pakan dan protein yang mudah larut sehingga dapat menggambarkan fermentabilitas suatu pakan. Semakin sedikit VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula karbohidrat dan protein yang mudah larut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi tidak berpengaruh pada produksi VFA ketika pedet masih diberi isolat bakteri, tetapi pemberian isolat berpengaruh pada produksi VFA dua minggu setelah pemberian isolat dihentikan. Fermentasi merupakan proses penyediaan energi bagi mikroba rumen, maka rendahnya VFA mencerminkan rendahnya energi yang tersedia bagi mikroba rumen. Dalam penelitian ini, energi yang dibutuhkan oleh mikroba rumen sudah cukup tersedia. Hal tersebut dibuktikan dengan cukup tingginya konsentrasi VFA pada pedet perlakuan yaitu 167 mM dan konsentrasi VFA tersebut lebih tinggi daripada konsentrasi VFA pada pedet kontrol (78 mM). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bakteri rumen yang telah diinokulasikan dapat bertahan hidup dengan baik dan mampu berpartisipasi dengan mendegradasi karbohidrat dengan baik. Inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi konsentrasi VFA total cairan rumen pada saat masih diberi inokulan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya VFA hasil fermentasi dimanfaatkan oleh ternak inangnya sehingga jumlah VFA dalam cairan rumen tidak berbeda untuk pedet perlakuan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Inokulasi bakteri pencerna serat belum mampu meningkatkan konsumsi dan kecernaan nutrien ransum, namun dapat meningkatkan fermentasi serat secara berkelanjutan. Kebutuhan TDN meningkat seiring dengan meningkatnya pertambahan bobot badan. Saran Penggunakan isolat bakteri dalam konsentrasi yang lebih tinggi diperkirakan akan berpengaruh lebih baik terhadap kecernaan nutrien ransum dan pertumbuhan ternak. UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing utama serta Dr. Ir. Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS., MSc. selaku dosen pembimbing anggota yang telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan pengarahan dan bimbingannya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Peternakan IPB serta nasihat-nasihat yang sangat berharga dan jarang didapatkan oleh penulis di kampus maupun luar kampus. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. I Komang G. Wiryawan selaku dosen pembahas seminar, Ir. Widya Hermana, Msi. selaku panitia seminar, Ir. Kukuh Budi Satoto, MS. dan Ahmad Yani, STP., MSi. selaku dosen penguji sidang, serta Nur Rochmah Kumalasari, SPt., MSi. selaku perwakilan Departemen INTP pada saat ujian sidang penulis. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan tak terkira kepada kedua orang tua dan keluarga besar yang selalu mencurahkan kasih sayang yang tiada hentinya, do’a, kesabaran, dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis. Semoga penulis dapat memenuhi seluruh harapan, bisa dibanggakan dan memberikan yang terbaik serta selalu berbakti kepada kedua orang tua. Amin. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Iwan Prihantoro, SPt., MSi. yang telah membimbing penelitian dan kerjasamanya di kandang serta memberikan bantuan pemikiran kepada penulis, terima kasih kepada Ibu Dian Anggraeni selaku laboran yang telah membantu melakukan analisis di laboratorium. Kepada tim penelitian pedet: Hadziq, Ayu, Yue, dan Desra terima kasih atas kerjasamanya yang solid, serta Iki dan Ina terima kasih telah membantu menumbuhkan bakteri untuk probiotik. Terima kasih pula kepada teman-teman INTP’43 yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas bantuannya. Jasa kalian sangat berarti dan tidak akan dilupakan oleh penulis. Bogor, Januari 2011 Penulis DAFTAR PUSTAKA Amin, M. 1997. Pengaruh penggunaan Saccharomyces cerevisiae dan Aspergillus oryzae dalam ransum pada populasi mikroba, aktivitas fermentasi rumen, kecernaan dan pertumbuhan sapi perah dara. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Terjemahan: Retno Muwarni. UGM Press, Yogyakarta. Astuti, R. 2010. Isolat dan seleksi bakteri pencerna serat asal rumen kerbau berdasarkan pertumbuhannya pada berbagai pakan sumber serat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Blakely, J., & D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Terjemahan: B. Srigandono. UGM Press, Yogyakarta. Cakra, I. G. L. O. 2001. Pengaruh natrium bikarbonat dan natrium karbonat terhadap konsentrasi volatile fatty acid dan ammonia rumen kerbau. Majalah Ilmiah Peternakan. 4(1): 17-20. Church, D. C., & W. G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd Ed. John Willey and Sons, New York. Cullison, A. E., R. S. Lowrey, & T. W. Perry. 2003. Feeds and Feeding. 6 th Ed. Pearson Education Inc. Upper Saddle River, New York. Dehority, B. A. 2004. Rumen Microbiology. Nottingham University Press, Nottingham. Forbes, J. M. & J. France. 1993. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. CAB International, London. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologis Ternak. Terjemahan: B. Srigandono & K. Praseno. UGM Press, Yogyakarta. Gayatri, I. 2010. Kemampuan isolat bakteri asal rumen kerbau dalam mencerna komponen pakan serat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Huber, J. T. & J. R. L. Kung. 1981. Protein and non-protein nitrogen utilization in dairy cattle. J. Dairy Sci. 64 : 1170-1195. Hungate, R. E. 1966. The Rumen and It’s Microbes. Academic Press, New York. Jayanegara, A., A. S. Tjakradidjaja, & T. Sutardi. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi Kromium anorganik dan organik. Media Peternakan. 29(2): 54-62. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalg, & C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th ed. John Willey and Sons Inc., New York. National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle. 7th Ed. National Academy Press, Washington. Nurachma, S. D. Heriyadi, & Padang. 2004. Studi transfer cairan rumen kambing terhadap daya cerna bahan kering, protein kasar, dan serat kasar domba lokal jantan. Jurnal Ilmu Ternak. 4(1): 13-18. Orskov, E. R. 2001. The Feeding of Ruminant (Principle and Practices). Chalcombe Publications, Cambrige. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press, Jakarta. Putra, S. 2006. Pengaruh suplementasi agensia defaunasi segar dan waktu inkubasi terhadap degradasi bahan kering, bahan organik, dan produksi fermentasi secara in vitro. J. Protein. 13(2): 113-123. Quigley, J. 2001. Development of the rumen epithelium. Calf Note 20. Calf Notes. Com. http://www.calfnotes.com. [12 Maret 2010]. Rakhmanto, F. 2009. Pertambahan ukuran tubuh dan bobot badan pedet sapi FH jantan lepas sapih yang diberi ransum bersuplemen biomineral cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ranjhan., S. K. 1980. Animal Nutrition and Feeding practice in India. 2 nd Ed. Vikas Publishing House PVT Ltd., New Delhi. Roy, J. H. B. 1980. The Calf, Studies in Agriculture and Food Science. 4 th Ed. Butterworths, London. Sakinah, D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap produksi VFA, NH3 dan kecernaan zat makanan pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Shortt, C. 1999. The probiotic century: historical and current perspectives. Review on Trend Food Sci. and Tech. 10: 411-417. Silalahi, R. E. 2003. Uji Fermentabilitas dan kecernaan in vitro suplemen Zn anorganik dan Zn organik dalam ransum ruminansia. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian bogor, Bogor. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. Gramedia, Jakarta. Suryahadi, W. G. Piliang, L. Djuwita & Y. Widiastuti. 1996. DNA recombinant technique for producing transgenic rumen microbes in order to improve fiber utilization. Indonesian J. Trop. Agric. 7(1): 5-9. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tyler, H. D. & M. E. Ensminger. 2006. Dairy Cattle Science. 4th Ed. Pearson Education Inc. Upper Saddle River, New Jersey. Utomo, B. 2003. Tampilan produksi susu dan komponen metabolisme tubuh sapi perah friesian holstein (FH) akibat perbedaan kualitas ransum. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro, Semarang. Wilson, P. N. & T. D. A. Brigstocke. 1981. Improved Feeding of Cattle and Sheep. Granada Publishing, London. LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Uji-t Konsumsi Calf Grower (g/ekor/hr) Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan Konsumsi BK -2,55081 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Konsumsi BO -2,55081 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Konsumsi PK -2,55081 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Konsumsi SK -2,55081 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Konsumsi LK -2,55081 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Konsumsi BETN -2,55081 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Konsumsi TDN -2,47089 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Keterangan: thitung t0,05 = nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5%(α=0,05) t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1%(α=0,01) t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara pedet yang diberi inokulasi dengan kontrol Lampiran 2. Hasil Uji-t Kecernaan Calf Grower (%) Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan Kecernaan BK 0,80762 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Kecernaan BO 1,19988 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Kecernaan PK -0,13050 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Kecernaan SK 0,17744 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Kecernaan LK 0,15051 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Kecernaan BETN 2,34124 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Keterangan: thitung t0,05 = nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5%(α=0,05) t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1%(α=0,01) t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara pedet yang diberi inokulasi dengan kontrol Lampiran 3. Hasil Uji-t VFA dan NH3 (mM) Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan NH3 0,17411 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata VFA -2,09573 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata Saat masih diberi inokulan Dua minggu setelah pemberian inokulan dihentikan NH3 0,36151 2,57 4,03 Tidak Beda Nyata VFA -2,72554 2,57 4,03 Beda Nyata Keterangan: thitung t0,05 = nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5%(α=0,05) t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1%(α=0,01) t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara pedet yang diberi inokulasi dengan kontrol