D11nsy_BAB IV Hasil dan Pembahasan

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Nutrien Ransum
Ternak mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrien. Ransum
yang diberikan dalam penelitian ini merupakan ransum calf grower yang telah
diperhitungkan
kandungan
nutriennya
sesuai
dengan
kemampuan
pedet
mengkonsumsi pakan. Tingkat konsumsi merupakan jumlah pakan yang terkonsumsi
ternak bila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Tingkat
konsumsi dalam kajian inti telah dijadikan indikator perkembangan alat pencernaan
pedet percobaan. Konsumsi bahan kering ransum menggambarkan tingkat
aseptabilitas seekor ternak terhadap pakan. Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah pakan yang
tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan pakan.
Palatabilitas didefinisikan sebagai respon ternak terhadap pakan yang
diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga
dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang
diberikan (Church & Pond, 1988). Tingkat konsumsi pakan yang cukup tinggi
menunjukkan bahwa pakan yang diberikan memiliki tingkat palatabilitas yang cukup
tinggi.
Konsumsi ransum pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
energi. Ternak akan berhenti makan apabila telah merasa tercukupi kebutuhan
energinya. Namun apabila ransum tidak padat energi (tinggi serat), maka daya
tampung alat pencernaan fermentatif akan menjadi faktor pembatas utama konsumsi
ransum. Ternak akan berhenti makan setelah kapasitas rumennya terpenuhi,
meskipun sesungguhnya kebutuhan energinya belum terpenuhi (Amin, 1997).
Konsumsi bahan kering (BK) merupakan salah satu penentu ketersediaan
nutrien dalam tubuh ternak yang akan menunjang hidup pokok dan produksi.
Konsumsi bahan kering ransum selama pasca sapih disajikan pada Gambar 8 dan
konsumsi nutrien ransum disajikan pada Tabel 3.
Konsumsi BK (g/ekor/hr)
3000
2500
2000
Kontrol
1500
Inokulasi
1000
500
0
1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
Hari
Gambar 8. Konsumsi Bahan Kering Ransum Pedet Percobaan Selama Periode Pasca
Sapih
Tabel 3. Rataan Konsumsi Nutrien Ransum pada Pedet yang Mendapat Ransum
tanpa atau dengan Inokulan Selama Pasca Sapih
Nutrien Ransum
Perlakuan
Kontrol
Inokulasi
--------------------------- (g/ekor/hr) ------------------------Bahan Kering (BK)
920 ± 390
1683 ± 393
Bahan Organik (BO)
861 ± 365
1574 ± 368
Protein
178 ± 75
325 ± 76
Serat Kasar
143 ± 61
261 ± 61
Lemak
7,88 ± 3,34
14,42 ± 3,37
BETN
532 ± 226
974 ± 227
TDN
753 ± 317
1357 ± 325
Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05)
Rataan konsumsi harian bahan kering ransum mencapai 920 g/ekor/hr untuk
kontrol sedangkan kelompok yang mendapat inokulasi mencapai 1683 g/ekor/hr.
Nilai tersebut sudah mencukupi kebutuhan bahan kering pedet berdasarkan Sutardi
(1980) dan NRC (2001). Menurut Sutardi (1980), kebutuhan BK untuk pedet dengan
bobot badan (BB) 30-64 kg dan umur 1-4 bulan adalah sebanyak 480-1800 g/ekor/hr
(1,6%-2,8% BB), sedangkan menurut NRC (2001), kebutuhan BK untuk pedet
dengan BB 30-60 kg dan PBB 0,4-0,6 kg adalah 560-1040 g/ekor/hr (1,4%-1,7%
BB).
Rataan konsumsi bahan kering ransum pada pedet yang diinokulasi isolat
bakteri lebih tinggi daripada kontrol. Konsumsi bahan kering tersebut seiring dengan
konsumsi bahan organik, protein, serat kasar, lemak dan BETN. Pemberian inokulan
tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi BK, BO, protein, serat kasar, lemak dan
BETN. Menurut Amin (1997), peningkatan kecepatan kecernaan serat dan
pembentukan protein mikroba akan menyebabkan laju aliran pakan ke usus halus
lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan jumlah pakan yang dikonsumsi dan
pasokan substrat ke usus halus. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan inokulasi isolat
bakteri menyebabkan pedet lebih menyukai pakan sehingga konsumsi pun meningkat.
Total Digestible Nutrient (TDN)
Energi merupakan bagian terbesar yang disuplai oleh hampir semua bahan
pakan. Nilai TDN merupakan nilai yang menunjukkan jumlah nutrien yang dapat
dicerna hewan, dan merupakan jumlah semua nutrien organik yang dapat dicerna
seperti protein, serat kasar, lemak dan BETN. Rataan konsumsi TDN pada penelitian
ini adalah 753 ± 317 g/ekor/hr untuk kontrol dan 1.357 ± 325 g/ekor/hr untuk
inokulasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa inokulasi bakteri
tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi TDN. Konsumsi TDN kontrol lebih
rendah daripada inokulasi. Hal ini dikarenakan bobot badan pedet yang berbeda dan
konsumsi BK pedet kontrol lebih rendah dari inokulasi. Konsumsi TDN dipengaruhi
oleh kualitas ransum, dimana semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum
900
800
PBB (g/ekor/hr)
700
600
500
y = 0.3331x + 275.18
R2 = 0.8326; P<0.05
400
300
200
100
0
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
TDN (g/ekor/hr)
Gambar 9. Hubungan Konsumsi TDN dan PBB Pedet Pasca Sapih yang pada Periode
Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri
maka TDN yang dikonsumsi semakin rendah dan semakin baik kualitas ransum yang
diberikan maka TDN yang dikonsumsi semakin tinggi (Utomo, 2003).
Gambar 9 menunjukkan hubungan antara konsumsi TDN dengan
pertambahan bobot badan (PBB) pedet lepas sapih baik yang tidak maupun
diinokulasi bakteri. Pertambahan bobot badan dapat digunakan sebagai ukuran
efisiensi pemanfaatan nutrien oleh ternak. Menurut Amin (1997), penambahan isolat
bakteri dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Tingkat konsumsi yang tinggi
biasanya diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula. Semakin tinggi
PBB pedet maka semakin tinggi pula konsumsi TDN ransum. Hal tersebut
dikarenakan semakin tinggi PBB pedet maka semakin tinggi pula nutrien diantaranya
energi yang dibutuhkan. Persamaan dalam Gambar 9 menunjukkan bahwa kebutuhan
TDN untuk hidup pokok adalah 275,18 g/ekor/hr dan kebutuhan TDN untuk rataan
pertumbuhan 612,24 g/ekor/hr adalah 479,12 g/ekor/hr.
Jika energi yang masuk lebih rendah daripada kebutuhan hidup pokok, maka
ternak akan mengalami penurunan pertambahan bobot badan karena ternak akan
menggunakan jaringan tubuh untuk mempertahankan hidup. Sedangkan jika energi
yang masuk berlebih akan mengarah pada produksi lemak tubuh yang lebih tinggi.
Tidak semua energi yang dikonsumsi dapat dicerna dan diserap oleh tubuh, energi
yang tidak terpakai akan dikeluarkan melalui feses dan urin (Parakkasi, 1999). NRC
(2001) menyatakan bahwa kebutuhan energi pada ternak dipengaruhi oleh umur,
jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, produksi, dan ukuran tubuh.
Kondisi lingkungan seperti temperatur, kelembaban dan cuaca juga berpengaruh
terhadap kebutuhan energi.
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Kecernaan merupakan peubah yang menunjukkan jumlah bagian pakan yang
dikonsumsi yang dapat diserap oleh tubuh, karena dalam suatu proses pencernaan
selalu ada bagian yang tidak dapat dicerna dan dikeluarkan dalam bentuk feses.
Kecernaan nutrien yang biasa diukur adalah kecernaan bahan kering dan bahan
organik karena keduanya dapat digunakan sebagai indikator bahwa pakan dapat
difermentasi oleh mikroba rumen yang berperan dalam pencernaan fermentatif pada
ruminansia. Kecernaan nutrien merupakan salah satu ukuran dalam menentukan
kualitas dari pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering pakan maka semakin
tinggi juga jumlah nutrien yang dapat dimanfaatkan ternak untuk hidup pokok dan
pertumbuhannya.
Kecernaan dan ketersediaan nutrien dalam bahan pakan dipengaruhi oleh
status dan produktivitas serta fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Faktor yang
mempengaruhi daya cerna ransum menurut Sutardi (1980) yaitu suhu lingkungan,
laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi
ransum, dan rasio nutrien dalam bahan pakan. Sutardi (1980) menyatakan bahwa
selain komposisi pakan yang diberikan mengandung nutrien lengkap, nilai kecernaan
suatu pakan juga dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mencerna
pakan. Semakin banyak bakteri dalam media cairan rumen maka enzim yang
dikeluarkan bakteri untuk mendegradasi ransum semakin tinggi konsentrasinya
sehingga kecernaan meningkat.
Menurut Amin (1997) bakteri dapat ditambahkan ke dalam pakan sebagai
probiotik. Probiotik merupakan mikroba hidup yang berpengaruh positif bagi hewan
inang dengan meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan
hewan tersebut. Pemberian probiotik pada ternak diharapkan dapat meningkatkan
kecernaan nutrien ransum.
Tabel 4. Rataan Kecernaan Nutrien Pada Pedet Pasca Sapih yang pada Periode
Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri
Kecernaan
Perlakuan
Kontrol
Inokulasi
------------------------------ (%) -----------------------------Bahan Kering
78,51 ± 3,83
76,67 ± 0,53
Bahan Organik
86,76 ± 2,06
85,25 ± 0,64
Protein
82,13 ± 3,38
82,41 ± 1,62
Serat Kasar
66,16 ± 7,50
65,30 ± 3,83
Lemak
76,84 ± 3,79
76,37 ± 4,45
BETN
93,97 ± 1,33
91,67 ± 1,21
Keterangan:
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
Rataan kecernaan bahan kering dan komponen nutrien dapat dilihat pada
Tabel 4. Inokulasi bakteri selama periode menyusu tidak berpengaruh nyata pada
kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, lemak, dan BETN pasca
sapih. Kecernaan bahan kering pada penelitian ini berada pada kisaran 75,15-83,80%.
Nilai tersebut menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering cukup tinggi. Sutardi
(1980) menyatakan bahwa bila kadar lignin bahan pakan tinggi, maka kecernaan
bahan pakan itu rendah. Namun dalam kajian ini pakan mengandung serat kasar yang
rendah, sehinga pengaruh lignin terhadap kecernaan sangat rendah. Hal ini
menggambarkan bahwa pedet telah mempunyai kemampuan mencerna yang tinggi.
Kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan,
karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang
berbeda-beda (Sutardi, 1980). Kecernaan bahan kering pada penelitian ini cukup
tinggi karena kandungan lemak bahan pakan yang digunakan cukup rendah dan
kandungan proteinnya pun cukup tinggi.
Berdasarkan kecernaan bahan kering tersebut dapat diketahui bahwa mikroba
rumen dapat berkembang dengan baik. Selain itu juga dapat membuktikan bahwa
mikroba rumen tersebut dapat mencerna komponen nutrien yang ada dalam rumen.
Namun, inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan kering dan
bahan organik. Amin (1997) melaporkan bahwa penggunaan probiotik lokal
bertujuan untuk memanipulasi ekosistem rumen yang bertujuan untuk mempertinggi
efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan
sintesis protein mikrobial serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein,
dan fermentasi pati di dalam rumen. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa
mikroba yang diinokulasikan pada rumen pedet lebih berperan dalam mempercepat
proses pencernaan sehingga laju aliran nutrien menjadi lebih cepat dan meningkatkan
konsumsi, sedangkan peningkatan laju aliran digesta mengakibatkan nutrien tersebut
tidak sempat dicerna seluruhnya.
Kecernaan bahan organik juga dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai
kualitas ransum seperti halnya kecernaan bahan kering (Sutardi, 1980). Bahan
organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Semakin
tinggi nilai kecernaan suatu bahan pakan semakin banyak nutrien yang diserap tubuh
(Silalahi, 2003). Kecernaan bahan organik pada penelitian berada pada kisaran
84,61-89,54%. Kecernaan bahan organik lebih tinggi daripada kecernaan bahan
kering. Hasil analisa menunjukkan bahwa pemberian probiotik tidak berpengaruh
nyata pada kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan organik yang tinggi
membuktikan bahwa kelarutan bahan mineral atau abu cukup tinggi. Hasil kecernaan
bahan organik ini sejalan dengan nilai kecernaan bahan kering. Hal ini karena bahan
kering suatu bahan pakan sebagian besar terdiri dari bahan organik (Sutardi, 1980).
Nilai kecernaan bahan organik merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan
kualitas pakan, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pakan yang digunakan
kualitasnya cukup baik karena nilai kecernaan bahan organiknya yang tinggi. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa pemberian inokulan tidak menunjukkan pengaruh
yang berlanjut terhadap kecernaan nutrien pakan pada perode pasca penyapihan.
Konsentrasi NH3
Amonia dalam cairan rumen merupakan hasil dari proses degradasi protein
dan nitrogen bukan protein (NPN) yang masuk ke dalam rumen. Amonia merupakan
senyawa nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka
karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi
protein mikroba (Hungate, 1966). Konsentrasi NH3 merupakan indikator jumlah
protein ransum yang didegradasi di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi
oleh
kemampuan
mikroba
rumen
dalam
mendegradasi
protein
ransum.
Meningkatnya populasi mikroba dapat menyebabkan peningkatan penggunaan
amonia, kecernaan serat dan sintesa protein mikroba (Amin, 1997).
Tabel 5. Rataan Konsentrasi NH3 dan VFA Total Cairan Rumen Pedet Pasca Sapih
yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat
Bakteri
Peubah
Perlakuan
Kontrol
Inokulasi
----------------------------- (mM) ----------------------------Saat masih diberi inokulasi
NH3
5,71 ± 5,19
5,15 ± 1,84
VFA
125 ± 19
153 ± 15
Dua minggu setelah pemberian inokulasi dihentikan
NH3
3,08 ± 2,24
2,60 ± 0,43
VFA
80 ± 22a
167 ± 60b
Keterangan:
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05)
Rataan konsentrasi NH3 yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 5. Konsentrasi NH3 pada penelitian ini berada pada kisaran 1,85-13,375 mM.
Menurut McDonald (2002), mikroba rumen dapat tumbuh dengan baik pada
konsentrasi NH3 dengan kisaran 6-21 mM. Konsentrasi NH3 pada periode menyusu
dan pedet masih diinokulasi isolat bakteri lebih tinggi daripada konsentrasi NH3 pada
saat pedet sudah tidak diberi inokulan. Inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi
konsentrasi NH3 cairan rumen. Kurang lebih 35% dari populasi mikroba rumen
adalah bakteri proteolitik yang mampu mendegradasi protein ransum menjadi amonia
yang selanjutnya dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya dan sisanya
didaur ulang menjadi urea darah ataupun saliva atau disekresikan melalui urin (Putra,
2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya NH3 hasil fermentasi
dipergunakan oleh mikroba rumen untuk sintesis protein mikroba, dengan demikian
jumlah NH3 diantara kontrol dan perlakuan hampir sama.
Produksi VFA
Ruminan memproduksi VFA sebagai hasil fermentasi terutama karbohidrat
(Parakkasi, 1999). Asam asetat, asam propionat dan asam butirat merupakan tiga
komponen VFA tertinggi di dalam cairan rumen. Rataan konsentrasi VFA yang
diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Kisaran produksi VFA
dalam penelitian ini adalah 60-230 mM. Sebagian nilai produksi VFA tersebut
berada diluar kisaran produksi VFA cairan rumen yang mendukung pertumbuhan
mikroba yaitu pada 80-160 mM (Sutardi, 1980). VFA digunakan sebagai kerangka
karbon untuk pertumbuhan mikroba rumen dan sebagai sumber energi bagi ternak
(Arora, 1989).
Produksi VFA di dalam rumen mencerminkan besarnya karbohidrat pakan
dan protein yang mudah larut sehingga dapat menggambarkan fermentabilitas suatu
pakan. Semakin sedikit VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula karbohidrat
dan protein yang mudah larut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi tidak
berpengaruh pada produksi VFA ketika pedet masih diberi isolat bakteri, tetapi
pemberian isolat berpengaruh pada produksi VFA dua minggu setelah pemberian
isolat dihentikan. Fermentasi merupakan proses penyediaan energi bagi mikroba
rumen, maka rendahnya VFA mencerminkan rendahnya energi yang tersedia bagi
mikroba rumen. Dalam penelitian ini, energi yang dibutuhkan oleh mikroba rumen
sudah cukup tersedia. Hal tersebut dibuktikan dengan cukup tingginya konsentrasi
VFA pada pedet perlakuan yaitu 167 mM dan konsentrasi VFA tersebut lebih tinggi
daripada konsentrasi VFA pada pedet kontrol (78 mM). Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa bakteri rumen yang telah diinokulasikan dapat bertahan hidup
dengan baik dan mampu berpartisipasi dengan mendegradasi karbohidrat dengan
baik.
Inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi konsentrasi VFA total cairan
rumen pada saat masih diberi inokulan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh
banyaknya VFA hasil fermentasi dimanfaatkan oleh ternak inangnya sehingga
jumlah VFA dalam cairan rumen tidak berbeda untuk pedet perlakuan.
Download