HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Ransum Ternak mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrien. Ransum yang diberikan dalam penelitian ini merupakan ransum calf grower yang telah diperhitungkan kandungan nutriennya sesuai dengan kemampuan pedet mengkonsumsi pakan. Tingkat konsumsi merupakan jumlah pakan yang terkonsumsi ternak bila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Tingkat konsumsi dalam kajian inti telah dijadikan indikator perkembangan alat pencernaan pedet percobaan. Konsumsi bahan kering ransum menggambarkan tingkat aseptabilitas seekor ternak terhadap pakan. Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan pakan. Palatabilitas didefinisikan sebagai respon ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan (Church & Pond, 1988). Tingkat konsumsi pakan yang cukup tinggi menunjukkan bahwa pakan yang diberikan memiliki tingkat palatabilitas yang cukup tinggi. Konsumsi ransum pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Ternak akan berhenti makan apabila telah merasa tercukupi kebutuhan energinya. Namun apabila ransum tidak padat energi (tinggi serat), maka daya tampung alat pencernaan fermentatif akan menjadi faktor pembatas utama konsumsi ransum. Ternak akan berhenti makan setelah kapasitas rumennya terpenuhi, meskipun sesungguhnya kebutuhan energinya belum terpenuhi (Amin, 1997). Konsumsi bahan kering (BK) merupakan salah satu penentu ketersediaan nutrien dalam tubuh ternak yang akan menunjang hidup pokok dan produksi. Konsumsi bahan kering ransum selama pasca sapih disajikan pada Gambar 8 dan konsumsi nutrien ransum disajikan pada Tabel 3. Konsumsi BK (g/ekor/hr) 3000 2500 2000 Kontrol 1500 Inokulasi 1000 500 0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 Hari Gambar 8. Konsumsi Bahan Kering Ransum Pedet Percobaan Selama Periode Pasca Sapih Tabel 3. Rataan Konsumsi Nutrien Ransum pada Pedet yang Mendapat Ransum tanpa atau dengan Inokulan Selama Pasca Sapih Nutrien Ransum Perlakuan Kontrol Inokulasi --------------------------- (g/ekor/hr) ------------------------Bahan Kering (BK) 920 ± 390 1683 ± 393 Bahan Organik (BO) 861 ± 365 1574 ± 368 Protein 178 ± 75 325 ± 76 Serat Kasar 143 ± 61 261 ± 61 Lemak 7,88 ± 3,34 14,42 ± 3,37 BETN 532 ± 226 974 ± 227 TDN 753 ± 317 1357 ± 325 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05) Rataan konsumsi harian bahan kering ransum mencapai 920 g/ekor/hr untuk kontrol sedangkan kelompok yang mendapat inokulasi mencapai 1683 g/ekor/hr. Nilai tersebut sudah mencukupi kebutuhan bahan kering pedet berdasarkan Sutardi (1980) dan NRC (2001). Menurut Sutardi (1980), kebutuhan BK untuk pedet dengan bobot badan (BB) 30-64 kg dan umur 1-4 bulan adalah sebanyak 480-1800 g/ekor/hr (1,6%-2,8% BB), sedangkan menurut NRC (2001), kebutuhan BK untuk pedet dengan BB 30-60 kg dan PBB 0,4-0,6 kg adalah 560-1040 g/ekor/hr (1,4%-1,7% BB). Rataan konsumsi bahan kering ransum pada pedet yang diinokulasi isolat bakteri lebih tinggi daripada kontrol. Konsumsi bahan kering tersebut seiring dengan konsumsi bahan organik, protein, serat kasar, lemak dan BETN. Pemberian inokulan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi BK, BO, protein, serat kasar, lemak dan BETN. Menurut Amin (1997), peningkatan kecepatan kecernaan serat dan pembentukan protein mikroba akan menyebabkan laju aliran pakan ke usus halus lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan jumlah pakan yang dikonsumsi dan pasokan substrat ke usus halus. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan inokulasi isolat bakteri menyebabkan pedet lebih menyukai pakan sehingga konsumsi pun meningkat. Total Digestible Nutrient (TDN) Energi merupakan bagian terbesar yang disuplai oleh hampir semua bahan pakan. Nilai TDN merupakan nilai yang menunjukkan jumlah nutrien yang dapat dicerna hewan, dan merupakan jumlah semua nutrien organik yang dapat dicerna seperti protein, serat kasar, lemak dan BETN. Rataan konsumsi TDN pada penelitian ini adalah 753 ± 317 g/ekor/hr untuk kontrol dan 1.357 ± 325 g/ekor/hr untuk inokulasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi TDN. Konsumsi TDN kontrol lebih rendah daripada inokulasi. Hal ini dikarenakan bobot badan pedet yang berbeda dan konsumsi BK pedet kontrol lebih rendah dari inokulasi. Konsumsi TDN dipengaruhi oleh kualitas ransum, dimana semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum 900 800 PBB (g/ekor/hr) 700 600 500 y = 0.3331x + 275.18 R2 = 0.8326; P<0.05 400 300 200 100 0 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 TDN (g/ekor/hr) Gambar 9. Hubungan Konsumsi TDN dan PBB Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri maka TDN yang dikonsumsi semakin rendah dan semakin baik kualitas ransum yang diberikan maka TDN yang dikonsumsi semakin tinggi (Utomo, 2003). Gambar 9 menunjukkan hubungan antara konsumsi TDN dengan pertambahan bobot badan (PBB) pedet lepas sapih baik yang tidak maupun diinokulasi bakteri. Pertambahan bobot badan dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi pemanfaatan nutrien oleh ternak. Menurut Amin (1997), penambahan isolat bakteri dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Tingkat konsumsi yang tinggi biasanya diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula. Semakin tinggi PBB pedet maka semakin tinggi pula konsumsi TDN ransum. Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi PBB pedet maka semakin tinggi pula nutrien diantaranya energi yang dibutuhkan. Persamaan dalam Gambar 9 menunjukkan bahwa kebutuhan TDN untuk hidup pokok adalah 275,18 g/ekor/hr dan kebutuhan TDN untuk rataan pertumbuhan 612,24 g/ekor/hr adalah 479,12 g/ekor/hr. Jika energi yang masuk lebih rendah daripada kebutuhan hidup pokok, maka ternak akan mengalami penurunan pertambahan bobot badan karena ternak akan menggunakan jaringan tubuh untuk mempertahankan hidup. Sedangkan jika energi yang masuk berlebih akan mengarah pada produksi lemak tubuh yang lebih tinggi. Tidak semua energi yang dikonsumsi dapat dicerna dan diserap oleh tubuh, energi yang tidak terpakai akan dikeluarkan melalui feses dan urin (Parakkasi, 1999). NRC (2001) menyatakan bahwa kebutuhan energi pada ternak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, produksi, dan ukuran tubuh. Kondisi lingkungan seperti temperatur, kelembaban dan cuaca juga berpengaruh terhadap kebutuhan energi. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan merupakan peubah yang menunjukkan jumlah bagian pakan yang dikonsumsi yang dapat diserap oleh tubuh, karena dalam suatu proses pencernaan selalu ada bagian yang tidak dapat dicerna dan dikeluarkan dalam bentuk feses. Kecernaan nutrien yang biasa diukur adalah kecernaan bahan kering dan bahan organik karena keduanya dapat digunakan sebagai indikator bahwa pakan dapat difermentasi oleh mikroba rumen yang berperan dalam pencernaan fermentatif pada ruminansia. Kecernaan nutrien merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas dari pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering pakan maka semakin tinggi juga jumlah nutrien yang dapat dimanfaatkan ternak untuk hidup pokok dan pertumbuhannya. Kecernaan dan ketersediaan nutrien dalam bahan pakan dipengaruhi oleh status dan produktivitas serta fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Faktor yang mempengaruhi daya cerna ransum menurut Sutardi (1980) yaitu suhu lingkungan, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, dan rasio nutrien dalam bahan pakan. Sutardi (1980) menyatakan bahwa selain komposisi pakan yang diberikan mengandung nutrien lengkap, nilai kecernaan suatu pakan juga dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mencerna pakan. Semakin banyak bakteri dalam media cairan rumen maka enzim yang dikeluarkan bakteri untuk mendegradasi ransum semakin tinggi konsentrasinya sehingga kecernaan meningkat. Menurut Amin (1997) bakteri dapat ditambahkan ke dalam pakan sebagai probiotik. Probiotik merupakan mikroba hidup yang berpengaruh positif bagi hewan inang dengan meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan hewan tersebut. Pemberian probiotik pada ternak diharapkan dapat meningkatkan kecernaan nutrien ransum. Tabel 4. Rataan Kecernaan Nutrien Pada Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri Kecernaan Perlakuan Kontrol Inokulasi ------------------------------ (%) -----------------------------Bahan Kering 78,51 ± 3,83 76,67 ± 0,53 Bahan Organik 86,76 ± 2,06 85,25 ± 0,64 Protein 82,13 ± 3,38 82,41 ± 1,62 Serat Kasar 66,16 ± 7,50 65,30 ± 3,83 Lemak 76,84 ± 3,79 76,37 ± 4,45 BETN 93,97 ± 1,33 91,67 ± 1,21 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Rataan kecernaan bahan kering dan komponen nutrien dapat dilihat pada Tabel 4. Inokulasi bakteri selama periode menyusu tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, lemak, dan BETN pasca sapih. Kecernaan bahan kering pada penelitian ini berada pada kisaran 75,15-83,80%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering cukup tinggi. Sutardi (1980) menyatakan bahwa bila kadar lignin bahan pakan tinggi, maka kecernaan bahan pakan itu rendah. Namun dalam kajian ini pakan mengandung serat kasar yang rendah, sehinga pengaruh lignin terhadap kecernaan sangat rendah. Hal ini menggambarkan bahwa pedet telah mempunyai kemampuan mencerna yang tinggi. Kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda (Sutardi, 1980). Kecernaan bahan kering pada penelitian ini cukup tinggi karena kandungan lemak bahan pakan yang digunakan cukup rendah dan kandungan proteinnya pun cukup tinggi. Berdasarkan kecernaan bahan kering tersebut dapat diketahui bahwa mikroba rumen dapat berkembang dengan baik. Selain itu juga dapat membuktikan bahwa mikroba rumen tersebut dapat mencerna komponen nutrien yang ada dalam rumen. Namun, inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan kering dan bahan organik. Amin (1997) melaporkan bahwa penggunaan probiotik lokal bertujuan untuk memanipulasi ekosistem rumen yang bertujuan untuk mempertinggi efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan sintesis protein mikrobial serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein, dan fermentasi pati di dalam rumen. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa mikroba yang diinokulasikan pada rumen pedet lebih berperan dalam mempercepat proses pencernaan sehingga laju aliran nutrien menjadi lebih cepat dan meningkatkan konsumsi, sedangkan peningkatan laju aliran digesta mengakibatkan nutrien tersebut tidak sempat dicerna seluruhnya. Kecernaan bahan organik juga dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai kualitas ransum seperti halnya kecernaan bahan kering (Sutardi, 1980). Bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan pakan semakin banyak nutrien yang diserap tubuh (Silalahi, 2003). Kecernaan bahan organik pada penelitian berada pada kisaran 84,61-89,54%. Kecernaan bahan organik lebih tinggi daripada kecernaan bahan kering. Hasil analisa menunjukkan bahwa pemberian probiotik tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan organik yang tinggi membuktikan bahwa kelarutan bahan mineral atau abu cukup tinggi. Hasil kecernaan bahan organik ini sejalan dengan nilai kecernaan bahan kering. Hal ini karena bahan kering suatu bahan pakan sebagian besar terdiri dari bahan organik (Sutardi, 1980). Nilai kecernaan bahan organik merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas pakan, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pakan yang digunakan kualitasnya cukup baik karena nilai kecernaan bahan organiknya yang tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemberian inokulan tidak menunjukkan pengaruh yang berlanjut terhadap kecernaan nutrien pakan pada perode pasca penyapihan. Konsentrasi NH3 Amonia dalam cairan rumen merupakan hasil dari proses degradasi protein dan nitrogen bukan protein (NPN) yang masuk ke dalam rumen. Amonia merupakan senyawa nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein mikroba (Hungate, 1966). Konsentrasi NH3 merupakan indikator jumlah protein ransum yang didegradasi di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein ransum. Meningkatnya populasi mikroba dapat menyebabkan peningkatan penggunaan amonia, kecernaan serat dan sintesa protein mikroba (Amin, 1997). Tabel 5. Rataan Konsentrasi NH3 dan VFA Total Cairan Rumen Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri Peubah Perlakuan Kontrol Inokulasi ----------------------------- (mM) ----------------------------Saat masih diberi inokulasi NH3 5,71 ± 5,19 5,15 ± 1,84 VFA 125 ± 19 153 ± 15 Dua minggu setelah pemberian inokulasi dihentikan NH3 3,08 ± 2,24 2,60 ± 0,43 VFA 80 ± 22a 167 ± 60b Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05) Rataan konsentrasi NH3 yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Konsentrasi NH3 pada penelitian ini berada pada kisaran 1,85-13,375 mM. Menurut McDonald (2002), mikroba rumen dapat tumbuh dengan baik pada konsentrasi NH3 dengan kisaran 6-21 mM. Konsentrasi NH3 pada periode menyusu dan pedet masih diinokulasi isolat bakteri lebih tinggi daripada konsentrasi NH3 pada saat pedet sudah tidak diberi inokulan. Inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi konsentrasi NH3 cairan rumen. Kurang lebih 35% dari populasi mikroba rumen adalah bakteri proteolitik yang mampu mendegradasi protein ransum menjadi amonia yang selanjutnya dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya dan sisanya didaur ulang menjadi urea darah ataupun saliva atau disekresikan melalui urin (Putra, 2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya NH3 hasil fermentasi dipergunakan oleh mikroba rumen untuk sintesis protein mikroba, dengan demikian jumlah NH3 diantara kontrol dan perlakuan hampir sama. Produksi VFA Ruminan memproduksi VFA sebagai hasil fermentasi terutama karbohidrat (Parakkasi, 1999). Asam asetat, asam propionat dan asam butirat merupakan tiga komponen VFA tertinggi di dalam cairan rumen. Rataan konsentrasi VFA yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Kisaran produksi VFA dalam penelitian ini adalah 60-230 mM. Sebagian nilai produksi VFA tersebut berada diluar kisaran produksi VFA cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba yaitu pada 80-160 mM (Sutardi, 1980). VFA digunakan sebagai kerangka karbon untuk pertumbuhan mikroba rumen dan sebagai sumber energi bagi ternak (Arora, 1989). Produksi VFA di dalam rumen mencerminkan besarnya karbohidrat pakan dan protein yang mudah larut sehingga dapat menggambarkan fermentabilitas suatu pakan. Semakin sedikit VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula karbohidrat dan protein yang mudah larut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi tidak berpengaruh pada produksi VFA ketika pedet masih diberi isolat bakteri, tetapi pemberian isolat berpengaruh pada produksi VFA dua minggu setelah pemberian isolat dihentikan. Fermentasi merupakan proses penyediaan energi bagi mikroba rumen, maka rendahnya VFA mencerminkan rendahnya energi yang tersedia bagi mikroba rumen. Dalam penelitian ini, energi yang dibutuhkan oleh mikroba rumen sudah cukup tersedia. Hal tersebut dibuktikan dengan cukup tingginya konsentrasi VFA pada pedet perlakuan yaitu 167 mM dan konsentrasi VFA tersebut lebih tinggi daripada konsentrasi VFA pada pedet kontrol (78 mM). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bakteri rumen yang telah diinokulasikan dapat bertahan hidup dengan baik dan mampu berpartisipasi dengan mendegradasi karbohidrat dengan baik. Inokulasi isolat bakteri tidak mempengaruhi konsentrasi VFA total cairan rumen pada saat masih diberi inokulan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya VFA hasil fermentasi dimanfaatkan oleh ternak inangnya sehingga jumlah VFA dalam cairan rumen tidak berbeda untuk pedet perlakuan.