BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Titik tolak

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Titik tolak kemajuan dan perkembangan pesat bahasa Arab bermula sejak
penurunan al-Quran dalam bahasa Arab yang merupakan mukjizat yang paling agung
di dunia ini. Oleh karena itu, bahasa Arab secara tidak langsung menjadi bahasa
komunikasi seluruh umat Islam di dunia di samping hadits Rasulullah SAW yang
juga ditulis dalam bahasa Arab. Semua ilmu Islam pada dasarnya ditulis dalam
bahasa Arab dan penyebaran dakwah Islam di seluruh dunia juga menggunakan
bahasa Arab. Bahasa Arab saat ini adalah bahasa yang dituturkan lebih dari 300 juta
orang di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara walaupun dalam dialek yang
berbeda-beda (Azmi, 2010: 16). Representasi standar modern yang bentuknya
awalnya berasal dari idiom bahasa Arab klasik, secara resmi diadopsi sebagai bahasa
utama administrasi, pendidikan, dan wacana di berbagai negara Arab. Bahkan hingga
saat ini bangsa-bangsa Eropa Barat masih terdapat adanya pengaruh bahasa Arab
dalam pelbagai kata serapannya, di samping sistem alphabet Arab sebagai sistem
yang paling banyak digunakan dalam berbagai bahasa antara lain, bahasa Persia,
Afghanistan, Urdu, Turki, Barber dan Melayu (Hitti: 2005, 6).
Pada tahun 656 H, Dinasti Abbasiyah mengalami keruntuhan akibat serbuan
bangsa Tartar. Kerajaan Islam pun terpecah menjadi negeri-negeri kecil. Setiap negeri
dipimpin oleh raja. Di antara raja tadi terdapat raja yang berbangsa non Arab dan
1
sedikit sekali perhatiannya terhadap perkembangan bahasa Arab. Rasa fanatisme suku
pun tumbuh, hingga nasib sastra Arab mengalami kemunduran.
Pada masa pemerintahan Turki Ustmani (Ottoman Empire) tahun 923-1213
H, bahasa Arab makin bertambah redup, sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa
Arab ditutup dan bahasa Turki menjadi bahasa resmi negara. Namun demikian bahasa
Arab masih dapat diselamatkan oleh universitas Al Azhar Cairo, sebuah perguruan
tinggi Islam tertua yang masih menggunakan dan melestarikan bahasa Arab dengan
segala ilmunya, dari sana pula terbentuk lembaga 'Majma' al-Lughoh al-Arabiyah'.
Mungkin ilmu bahasa Arab akan sirna di jazirah Arab pada masa itu tanpa Al Azhar.
(Abdur Rahim, 2001: 103).
Berdasarkan sejarah dan asal-usul, bahasa Arab baik sebelum atau selepas
kedatangan Islam tetap sama. Bahasa Arab mempunyai persamaan dengan bahasa
yang dituturkan oleh orang-orang Ibri, Habasyi, Aramiyyah dan selainnya (Rafa'il
1986: 87). Bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa utama di seluruh dunia Arab
yaitu Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Maghribi, Algeria, Arab Saudi dan selainnya.
Bahkan bahasa Arab merupakan bahasa utama negara-negara bukan Arab seperti
Republik Chad di Afrika Tengah dan bahasa sebagian orang di Negara seperti
Nigeria, Iran dan Soviet Union (Bernard Comrie 1998: 24).
Perkembangan bahasa Arab yang sangat signifikan di seluruh pelosok dunia
membuat para kaum Orientalis merasa geram. Mereka khawatir dengan
berkembangnya bahasa Arab maka secara otomatis akan diikuti dengan
2
perkembangan agama Islam, karena bahasa Arab adalah bahasa kitab suci umat Islam
yaitu Al-Qur’an. Arkoun (1989: 524) menganggap bahwa al-Qur’an merupakan
sumber kebahasaan bagi umat Islam. Memahami keberadaan bahasa Arab akan
menjadi sisi sempurna untuk penguasaan tanda dan pesan al-Qur’an. Dari segi bahasa
jika diperhatikan, maka bahasa Arab dan al-Qur’an adalah kesatuan yang logis,
keserasian dan hubungan kata demi kata.
Orientalisme tidak dapat secara polos kita anggap terpisah dari imperialisme
Barat. Bahkan keduanya saling menunjang satu sama lain. Orientalisme adalah
pelayan imperialisme. Para orientalis memasok berbagai informasi kepada para
penjajah berupa informasi keagamaan, bahasa, politik, ekonomi, sejarah, budaya,
kekayaan alam, dan sebagainya dari negeri yang hendak dijajah. Penyebaran budaya
Barat (ats-tsaqafah al-gharbiyah) merupakan salah satu tujuan utama orientalisme,
seperti paham nasionalisme dan sekularisme. Di negeri-negeri Arab, misalnya, kaum
orientalis berusaha menyebarkan bahasa-bahasa Eropa, seperti bahasa Inggris dan
Perancis. Sebaliknya, mereka berusaha menggantikan posisi bahasa Arab yang fusha
(Muthabaqani, 6-9)
Studi orientalisme pada era kolonialis dan misionaris yang bertujuan mengkaji
peradaban Islam dan bahasa Arab, sebenarnya merupakan inspirasi dari generasi
masyarakat Eropa dan negara Barat, sekaligus sebagai tindak lanjut dan Perang Salib
seperti yang akan dijelaskan pada uraian tentang sejarah munculnya orientalisme.
Orientalisme, sebagaimana penuturan para orientalis, dikategorikan sebagai materi
3
ilmiah yang telah dikenal di dunia internasional dan menjadi isi wacana populer pada
dunia akademis. Orientalisme telah hampir dapat dijumpai pada setiap Universitas
Barat, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya jumlah sarjana dan pengkaji di berbagai
bidang spesifikasi Era ketimuran yang memperoleh dana sebagai jaminan masa depan
mereka dan kontribusi dalam menjaga keberlangsungan dunia akademik. Seluruh
praktisi di bidang ini merasakan bagaimana sempurnanya kekuasaan, kekuatan
Pemerintah, Dewan Parlemen, dan Seminaris Gereja yang memposisikan segala
kcmungkinan, di bawah payung undang-undang mereka demi terlaksananya kajiankajian, penelitian, interpolasi dan untuk memelihara minat dan pengetahuan serta
semangat praktisi terhadap kajian orientalisme pada era kolonial.
Kierman (1972) dalam Turner, mengemukakan bahwa Orientalisme adalah
sistem kesarjanaan yang muncul peratama kali pada awal abad ke-14 dengan
dibentuknya beberapa badan universitas oleh Dewan Gereja Wina dalam rangka
memahami bahasa dan kebudayaan Timur yang disebabkan adanya pertentangan
agama dan konflik militer (Turner, 2012: 44). Pada masa kolonial middle east studies
yang dipopulerkan oleh orieantalis berkaitan erat dengan proyek militer yang
bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang geopolitik di Timur Tengah. Selain itu
orang Barat yakin bahwa untuk mengalami kemajuan intelektual, budaya dan
ekonomi, harus menelusuri kembali rute yang diambil oleh orang-orang dari sebelah
timur, di mana mereka memulai pendirian sekolah, lembaga dan pusat untuk belajar
bahasa Arab, dan mencapai kepentingan mereka dalam mengadopsi ilmu orang Arab
4
(Smajlovic, 1980: 74-75). Perkembangan yang sama juga terjadi di Perancis dengan
didirikannya Napoleon’s Institute d’Egypte dan Societe Asiatique pada tahun 1821,
serta di Jerman pada tahun 1845 berdiri sebuah lembaga yang bernama Society
Oriental (Smajlovic: 1980: 45). Melalui institut-institut inilah pengetahuan tentang
masyarakat Timur, kajian filologi bahasa-bahasa Timur termasuk bahasa Arab
dikembangkan dan dilembagakan.
Menurut Tawaab (2010: 7-9), kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa lain
dibarengi dua hal; pertama, agama Islam yang toleran, dan kedua, adalah bahasa
Arab. Sejak bangsa Arab menetap di negara-negara yang dikuasainya dan tersebar di
kota-kota dan desa-desa, mereka menyebarkan bahasa Arab dengan kedudukannya
sebagai bahasa Al-Quran
Ada beberapa faktor sehingga bangsa non-Arab antusias mendalami bahasa
Arab (Fahmi, 1985: 25-27); Pertama, karena bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran
dan bahasa agama baru mereka (Islam), sebagaimana sholat yang diwajibkan kepada
mereka harus berbahasa Arab sehingga timbullah keinginan untuk lebih dalam
mengetahui maknanya. Hal ini menjadi modal mereka dalam mengkaji cabang ilmu
agama lainnya. Kedua, bagi penduduk yang belum muslim, mereka terpaksa harus
mempelajari bahasa Arab . Hal itu disebabkan karena situasi dan kondisi di mana
bahasa Arab telah menjadi bahasa negara di setiap sektor kehidupan. Ketiga,
beberapa bangsa, seperti Persia, Turki, India dan lainnya, mempelajari bahasa Arab
karena
didorong keinginan
mendapatkan
kedudukan
atau
pekerjaan
pada
5
pemerintahan Islam. Demikian pula para seniman dan pedagang yang datang ke
negeri Islam. Keempat, tersebarnya bangsa Arab ke beberapa negara seperti Iran,
Turkistan, India dan lainnya. Hal ini menunjang tersebarnya bahasa Arab pada
daerah-daerah baru.
Para orientalis menyadari bahwa bahasa Arab adalah salah satu alat
komunikasi dalam penyebaran pemikiran dan nilai-nilai Islam ke seluruh pelosok
dunia. Sebab, sekalipun bukan berbangsa Arab, tetapi karena muslim mereka merasa
berkewajiban mempelajari bahasa Arab dalam rangka mengkaji kandungan al-Quran.
Dengan demikian, meskipun setiap bangsa mempunyai logat masing-masing, tetapi
dalam penulisan mereka dapat saling mengerti karena dalam penulisan digunakan
bahasa Arab fasih (fusha). Philip K. Hitti (2005: 175) Jika bahasa Arab dapat cepat
tersebar dikalangan kaum muslimin dan terciptanya saling pengertian di antara
mereka karenanya, hal itu karena disebabkan kitab mereka; Al-Quran, karena dia-lah
yang mempersatukan lahjah-lahjah yang berbeda"
Bahasa Arab di negara-negara Timur Tengah, seperti: Arab Saudi, Mesir,
Syria, Iraq, Maroko, Yordania, Qatar, Kuwait, dapat dibedakan menjadi dua ragam,
yaitu Arab fusha dan Arab ammiyah. Keduanya digunakan dalam realitas sosial
dengan konteks dan nuansa yang berbeda. Bahasa Arab fusha digunakan dalam forum
resmi (kenegaraan, ilmiah, akademik, jurnalistik, termasuk khutbah); sedangkan
bahasa Arab ‘âmmiyah digunakan dalam komunikasi tidak resmi, intrapersonal, dan
dalam interaksi sosial di
berbagai tempat (rumah, pasar, kantor, bandara, dan
6
sebagainya). Frekuensi dan tendensi penggunaan bahasa Arab ‘âmmiyah tampaknya
lebih sering dan lebih luas, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, melainkan
juga kalangan masyarakat terpelajar dan pejabat (jika mereka berkomunikasi dengan
sesamanya). Mereka baru menggunakan bahasa Arab fushha jika audien bukan dari
kalangan mereka saja.
Menyadari adanya celah, para orientalis berusaha menyingkirkan bahasa Arab
fusha sebagai bahasa negara dan menggantikannya dengan bahasa ammiyah atau
bahasa asing. Di Maroko pernah ada upaya memberlakukan bahasa Perancis sebagai
pengganti bahasa Arab. 'Ilal al-Fasi mengutip ucapan seorang pengacara Mr. Backer
pada suatu pertemuan tentang sistem pengadilan bangsa Barbar tanggal 26 Pebruari
1930 : "Anggota komite telah sepakat untuk menghapus peraturan hukum adat yang
berbahasa Arab". Pada waktu itu telah terjadi penyobekan dokumen pengadilan yang
bertuliskan Arab oleh seorang pejabat pengawas sipil Benauth dan penerusnya
Cornby, hingga akte nikah diganti dengan bahasa Perancis (Duaidar, 1985: 82).
Usaha mereka tidak sebatas itu saja, mereka juga menerjemahkan al-Quran ke dalam
bahasa Perancis, bukan untuk orang Perancis, melainkan diperuntukkan bagi muslim
Maroko.
Di Palestina, pada masa Renaissance dan setelah proklamasi Konstitusi pada
tahun 1908, pasca lulusnya para pelajar Palestina yang dibiayai oleh para misionaris
Barat, terjadi pembaharuan dalam keragaman sastra dan bahasa setelah munculnya
pers, sehingga terjadi percampuran budaya dan bahasa Timur (Arab) dan Barat.
7
Koran-koran adalah sarana untuk pertumbuhan dan kelahiran ide baru para orientalis,
konsep dan nilai-nilai dan ekspresi budaya, serta struktur kosa kata dan bahasa yang
diserap dari bahasa lain dengan kutipan, melalui laporan pers, benang studi serta
penelitian (Rahman, 1968: 25-31). Sehingga di Palestina banyak terdapat bahasa
serapan yang diadopsi dari bahasa asing.
Di Mesir, seiring bangkitnya agama baru di Asia Barat yaitu Islam, bangsa
Arab mendirikan suatu negara bernama Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di
Suriah. Mereka dengan cepat menaklukan Mesir, sehingga seperti halnya dulu Mesir
dikuasai oleh Assyria, Persia, Yunani, dan Romawi kini Mesir dikuasai oleh bangsa
Arab Islam. Akibat penaklukan ini, secara berangsur-angsur sebagian besar bangsa
Mesir berpindah agama dari Kristen menjadi Islam dan mereka juga mulai
menuturkan bahasa Arab di mana sebelumnya menggunakan bahasa Koptik.
Sementara orang Mesir Kristen masih tetap disebut Koptik. Ibukota baru juga
didirikan di Mesir Utara, tepatnya di Kairo (Khalil, 2006: 115). Seiring dengan
perubahan bahasa Koptik ke bahasa Arab Apocalypse of Samuel of Qalamūn (ASQ)
berpendapat bahwa ini menandakan bahwa Kristen Koptik di Mesir kehilangan
identitas karena terjadi perubahan signifikan dari aspek kebahasaan mereka
(MacCoull, 1985: 64).
Penggambaran Islam yang ganas dan menyeramkan khususnya bagi bangsa
Eropa pada abad pertengahan merupakan bagian dari tujuan gerakan orientalisme
yang sudah dimulai tahun 1312 berdasarkan hasil keputusan dewan gereja Vienna
8
(Buchori, 2006: 48). Hal ini digambarkan oleh seorang orientalis W. Montgomery
Watt yang mengatakan: “Sesungguhnya akidah ajaran Islam terdiri atas bentuk
penyimpangan dari ajaran Kristen. Islam adalah sebuah agama yang ganas dan
tersebar melalui perang. Agama Islam mengajak manusia agar menyibukkan diri
dalam dunia nafsu, terutama nafsu seksual (Buchori, 2006: 49). Dalam salah satu
pengantar di bukunya W. Montgomery Watt juga mengatakan bahwa bagaimana
budaya Kristiani di Mesir, Suriah dan Irak diubah bentuk menjadi budaya Islami.
Perubahan ini adalah salah satu kegagalan besar Kristen (Watt, 1990: 2).
Inilah yang mendorong kaum orientalis di masa kolonial melakukan perang
terhadap bahasa Arab dilakukan dengan upaya memasyarakatkan bahasa 'ammiyah
(pasaran) dan tulisan latin sebagai pengganti tulisan Arab. Penggunaan bahasa
'ammiyah di kalangan bangsa Arab pada saat itu, khususnya Mesir dianggap sebagai
bentuk “penyelewengan” dari ragam Fusha oleh kaum intelektual Muslim yang telah
memperjuangkan bahasa Arab fusha. Namun, ketika pemakaiannya semakin meluas
hingga ke dalam forum-forum resmi, mau tak mau ada pengakuan akan kefasihannya.
Sehingga sampai saat sekarang ini bahasa 'ammiyah mendominasi hampir seluruh
ruang cakap pada tuturan bangsa Arab karena mereka menganggap bahasa fusha
sangatlah sulit untuk dipelajari dan terlalu ketinggalan zaman karena berbeda dengan
bahasa sehari-hari mereka yaitu 'ammiyah. Wilhelm Spitta (1880) menyusun buku
“The Grammar of Arabic Colloquial in Egypt”. (Kaidah-kaidah Bahasa Arab
'Ammiyah di Mesir). Dalam buku itu diungkapkan betapa sulitnya mempelajari
9
bahasa Arab fusha (benar), diusulkan pula tulisan latin sebagai pengganti tulisan Arab
(Spitta, 1880: 23).
Ketertarikan orientalis untuk mengkaji bahasa ammiyah berawal pada tahun
1727. Institut pertama yang memperkenalkan variasi bahasa ammiyah terdapat di
Napoli, kemudian pada tahun 1754 juga didirikan di Vienna yang dikelola oleh oleh
Hasan al-Masri. Pasca pendudukan Inggris pada tahun 1882, para pemikir dan sarjana
Barat menyarankan agar bangsa Mesir mengadopsi bahasa Ammiyah Mesir sebagai
bahasa resmi menggantikan bahasa Arab fusha. Di antara para sarjana tersebut adalah
William Wilcocks yang pada saat itu menjabat sebagai Insinyur di Mesir di mana dia
mempublikasikan artikelnya yang berjudul “Syria, Egypt, north Africa, and Malta
speak Punic, not Arabic” (Suriah, Mesir, Afrika Utara, dan Malta itu berbahasa
Punisia, bukan bahasa Arab) yang terbit pada tahun 1883. Dalam tulisan itu Wilcocks
berpendapat bahwa sebenarnya bahasa asli orang Mesir itu adalah bahasa Punisia
yang sekarang lebih dikenal dengan bahasa ammiyah Mesir. Selain itu dia juga
berpendapat bahwa bahasa Arab fusha mencegah orang Mesir untuk maju ke
peradaban barat yang modern, sehingga dia menyarankan agar orang-orang Mesir
menjadikan bahasa ammiyah sebagai bahasa resmi baik dalam bentuk tulisan maupun
penuturan (Wilcocks, 1883: 7-15).
Di sisi lain, seorang ilmuwan Mesir yang bernama Dr. Nasufa Zakariya Said
(1980: 9-13) berupaya membuktikan bahwa pelopor utama yang berkeinginan untuk
menjadikan bahasa ammiyah sebagai bahasa sastra dan mengganti huruf Arab dengan
10
huruf latin yaitu para Orientalis yang bertujuan untuk menghilangkan bahasa Arab
fusha, sehingga dengan adanya perbedaan dari segi bahasa, kesatuan Negara-negara
Islam dan Arab akan tercerai-berai. Karya-karya peneliti barat seperti Spitta,
Wilcocks, Wilmore, Vollers dan Powell tentang bahasa Ammiyah Mesir bertujuan
untuk membantu misi kolonialisme yaitu menciptakan identitas nasional berdasarkan
bahasa sehari-hari.
Pada abad 19 hingga awal abad 20, para Orientalis aktif dalam hal
modernisasi bahasa Arab fusha yang berawal di Malta kemudian berlanjut di
Beirut lalu di Kairo, mereka menerbitkan karya berdasarkan Alkitab dan
dijadikan buku pelajaran, dengan demikian hal tersebut mempengaruhi isi,
gaya dan bahkan bentuk penulisan sastra arab modern. Meskipun mayoritas
dari orientalis menyusun karya dengan menggunakan bahasa fusha, bahasa
resmi yang secara historis telah digunakan pada media dan wacana tertulis,
namun Orientalis di tahun 1920 dan 30-an juga menerbitkan beberapa karya
dalam bahasa Ammiyah yang sasarannya adalah kalangan non-elit dan rakyat
biasa. Hal tersebut mereka lakukan agar mempermudah penyebaran injil dan
kristenisasi, tetapi usaha yang mereka lakukan tersebut gagal. Sementara
usaha-usaha untuk mempromosikan bahasa ammiyah bertujuan untuk
memprovokasi kalangan yang masih konsisten menggunakan bahasa fusha
agar mengutamakan penggunaan bahasa ammiyah. Usaha ini dipicu oleh rasa
kebencian para orientalis, karena dengan menyebar luasnya bahasa Arab fusha
maka penyebaran ajaran Islam akan lebih mudah karena kitab suci orang
Islam yaitu Al-Qur’an menggunakan bahasa fusha, dengan demikian misi
penyebaran injil dan kristensasi di dunia Arab sulit untuk mereka realisasikan
(Glass, 1998: 45-79).
Penelitian ini akan menjelaskan tentang misi utama kaum orientalis dalam
mempromosikan bahasa ammiyah sebagai bahasa resmi, perbedaan antara bahasa
ammiyah dan bahasa Arab fusha, kontroversi yang terjadi di antara usaha kaum
orientalis dalam menjalankan misinya, serta akan menjelaskan dampak jangka
panjang dari usaha mereka dalam mempromosikan bahasa ammiyah. Fokus utama
11
penelitian ini yaitu di Mesir pada abad ke-20, di mana pada saat itu kaum orientalis
mencapai puncak kejayaannya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat mengetahui bahwa sejak zaman
dahulu tujuan utama kaum orientalis adalah mencemarkan nama baik Islam
(Muthabaqani, 6) dengan mendeskruktifkan bahasa Arab (fusha), karena bahasa Arab
fusha merupakan bahasa yang digunakan oleh kitab suci umat Islam yaitu Al-Qur’an.
Mesir adalah salah satu dari beberapa Negara Islam yang menjadi tempat para kaum
orientalis dan imperialisme Barat dalam menjalankan misinya, yaitu penginjilan,
kristenisasi dan perusakan Islam serta bahasa Arab, karena di Mesir terdapat banyak
peninggalan bersejarah Islam termasuk Universitas tertua di dunia yaitu Al-Azhar
yang didirikan pada masa dinasti Fatimiyyah. Selain itu juga terdapat banyak ulama
yang menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman dan ilmu tentang bahasa Arab Fusha. Untuk
mendalami masalah ini dan untuk lebih mengarahkan penelaahan, maka penelitian
senatiasa
memperhatikan
pembatasan
masalah
agar
tepat
sasaran
pokok
permasalahannya Kajian tentang masalah pokok tersebut dapat dielaborasi ke dalam
sub-sub masalah sebagai berikut.:
1. Bagaimana sejarah bahasa ammiyah dan pergumulan bahasa Arab fusha dan
bahasa ammiyah di Mesir?
12
2. Apa itu Orientalisme dan bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan
bahasa ammiyah di Mesir dan upaya apa yang dilakukan kaum orientalis
dalam mempopulerkan bahasa ammiyah dan menggeser peran bahasa fusha ?
3. Bagaimana polemik bahasa ammiyah di Mesir pasca Orientalisme?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan praktis penelitian ini adalah untuk menjawab tentang asal-muasal
munculnya bahasa ammiyah yang ada di Mesir serta perbedaannya dengan bahasa
fusha. Selain itu dalam penelitian ini juga akan dijelaskan tentang usaha kaum
orientalis dalam menggeser peran bahasa Arab fusha di Mesir serta motif orientalis
dalam mempopulerkan bahasa ammiyah sebagai bahasa resmi. Mengingat bahasa
adalah sesuatu yang sangat vital, karena jika bahasa keliru maka budaya dan pikiran
pasti akan keliru, sehingga untuk mendestruktifkan Islam kaum orientalis terlebih
dahulu mengkaji bahasanya yaitu bahasa Arab fusha. Sebagaimana yang kita ketahui
bahwasanya Al-Qur’an yang merupakan kitab suci dan pedoman umat Islam
menggunakan bahasa Arab (fusha). Selain itu tujuan dari tulisan ini juga ingin
mendeteksi dan membandingkan kaidah-kaidah bahasa ammiyah dengan kaidahkaidah bahasa fusha. Sedangkan tujuan teoritis dari penelitian ini ialah dapat
memberikan sumbangsih dalam menambah kekayaan khazanah ilmu pengetahuan di
bidang linguistik khususnya dalam bidang linguistik Arab.
13
1.4. Tinjauan Pustaka
Dalam tesis yang berjudul “Upaya-Upaya Orientalis dalam Mempopulerkan
Bahasa Ammiyah di Mesir : Tinjauan Historis pada Era Kolonialis dan Misionaris”
ini, peneliti menelaah berbagai literatur yang dapat menunjang penelitian. Peneliti
melakukan tinjauan kepustakaan dari berbagai referensi berupa buku, majalah dan
jurnal. Peneliti mengkaji isi literatur untuk mengidentifikasi permasalahan yang
berkaitan dengan penelitian ini, yaitu gambaran umum tentang pengaruh orientalisme
terhadap bahasa Arab, khususnya di Mesir. Selain itu, dengan kajian pustaka ini,
peneliti juga dapat memfokuskan penelitian sehingga dapat terlihat kedudukan
penelitian ini diantara penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan.
1.4.1. Kajian Tentang Sosiolinguistik
Penelitian mengenai sosiolinguistik merupakan kajian yang banyak diminati
oleh para linguis. Hal ini mungkin saja disebabkan adanya fenomena bahwa baik
bahasa maupun kehidupan sosial dan budaya dalam masyarakat bersifat dinamis dan
selalu bergerak. Nababan (1977) mengkaji pemakaian bahasa yang berkisar antara
bahasa daerah dan bahasa Indonesia, bahkan kadang-kadang bahasa asing. Kajian
Nababan itu masih sangat umum sebab faktor-faktor sosial, budaya dan kekuasaan
tidak diungkap secara mendalam dalam penelitian itu.
Suwito (1987) dalam disertasinya yang berjudul Berbahasa dalam Situasi
Diglosik mengangkat permasalahan pemilihan bahasa dan interferensi bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia pada masyarakat multibahasa di Surakarta. Hasil penelitiannya
14
mengemukakan bahwa kecenderungan pemilihan bahasa Jawa dibandingkan bahasa
Indonesia oleh masyarakat di Surakarta ditentukan oleh empat faktor, yaitu peserta
tutur, maksud tutur, sarana tutur dan urutan tutur sesuai dengan nilai sosial budaya
masyarakat itu.
1.4.2. Kajian tentang Bahasa Ammiyah
Diantara kajian tentang bahasa ammiyah yang pernah dilakukan yaitu oleh
Achmad Tohe tentang Bahasa Arab Fusha dan Ammiyah serta Problematikanya
(2012). Tohe dalam tulisannya lebih banyak mengemukakan tentang diglosia dan
perbedaan dialek-dialek (al-lahjat) meskipun sedikit menyinggung tentang masalah
historis bahasa Arab tapi kajian yang dilakukan kurang mendalam. Dari sini penulis
terinspirasi untuk mengkaji lebih dalam tentang histori dari bahasa ammiyah dan
menghubungkannya dengan orientalis pada masa kolonial.
1.4.3. Kajian tentang Orientalis
Kajian orientalisme mempunyai karakter khusus, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pemahaman orientalisme itu sendiri, diantaranya; pertama,
orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan sangat erat hubungannya
dengan kolonial Barat, khususnya kolonial Inggris dan Perancis, kedua, orientalisme
merupakan gerakan yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan gerakan
kristenisasi. Mereka dipersiapkan secara khusus, bekerja sama dengan orientalisme
Yahudi untuk mempelajari tentang bahasa Arab, Islam, dan kaum muslimin,dengan
tujuan yang beragam , ketiga, orientalisme merupakan kajian gabungan yang mesra
15
antara kolonilalisme dengan gerakan kristenisasi, yang validitas ilmiah dan
objektivitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara mutlak, terutama dalam
kajian tentang Islam, keempat, orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap
paling potensial dalam politik dunia Barat untuk melawan Islam dan kaum muslimin
(Arif, 2008: 6)
Diantara penelitian yang pernah dilakukan yaitu penelitian Edward W. Said
(1978), Orientalism. Tesis utama buku karya Said tersebut menggunakan pendekatan
hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Sebagaimana diantarkan oleh Michael
Foucault dalam bukunya, The Archeology of Knowledge (1972) dan Discipline and
Punish: The Birth of the Prison (1977), kaum orientalis berpendapat bahwa masalah
studi ilmiah Barat mengenai Timur tidaklah semata-mata didorong oleh kepentingan
pengetahuan, tetapi juga kepentingan kolonialisme. Pengetahuan bagi kaum
Orientalis adalah untuk mempertahankan kekuasaanya, yakni pengetahuan yang
dipenuhi dengan visi dan misi politis ideologis. Studi tersebut juga semata-mata
merupakan bentuk lain atau kelanjutan dari kolonialisme. Hal itu dilengkapi buku
Said berikutnya yang berjudul Culture and Imperialism pada 1993. Kajian Said
sendiri sebenarnya berangkat dari teori Gramsci tentang hegemoni dan Foucault
tentang diskursus. Namun studi yang dilakukan oleh Said lebih cenderung membahas
tentang pengaruh Orientalisme terhadap Arab dan Islam dalam aspek budaya dan
politik.
16
Tulisan Aschroft, Griffith, dan Tiffin dalam buku menelanjangi kuasa bahasa
(aslinya berjudul The Empire Writes Back) yang diterbitkan tahun 1989 merupakan
salah satu bentuk melanjutkan proyek Said. Aschroft memfokuskan kajiannya pada
teks-teks bahasa Inggris dalam kaitannya dengan wilayah bekas jajahan Inggris.
Meski demikian, berbagai temuan dan analisisnya juga dapat disejajarakan pada
kajian bahasa dan wilayah bekas jajahan Spanyol, Portugis dan Perancis (di mana
Mesir termasuk salah satu jajahannya yang utama).
Sejalan dengan beberapa paparan di atas, penulis mencoba membahas tentang
problematika yang terjadi seputar bahasa ammiyah di Mesir dalam hal sejarah dan
hegemoni orientalis dan kolonialis terhadap bangsa Arab dan bahasa Arab fusha,
termasuk faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya bahasa ammiyah di
kalangan masyarakat Mesir dan Timur Tengah. Penulis ingin memfokuskan
penelitian tentang pengaruh Orientalisme terhadap aspek bahasa di Timur Tengah
yaitu bahasa Arab. Kalangan Barat mengumpamakan bahasa Arab fusha sebagai
bahasa kuno yang butuh modernisasi dan bahasa Arab fusha juga merupakan bahasa
pemersatu Negara-negara di Semenanjung Arab, maka dengan mempopulerkan
bahasa ammiyah sebagai bahasa resmi akan terjadi kesenjangan antara Negara-negara
Arab sehingga mudah bagi kaum orientalis untuk memecah belah persatuan mereka
karena telah muncul perbedaan dari segi bahasa.
17
1.5. Landasan Teori
1.5.1. Teori Sosiolinguistik
Ditinjau dari nama, sosiolinguistik menyangkut sosiologi dan linguistik,
karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian
tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi kajian
sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi
kemasyarakatan (Sumarsono, 2004: 1). Pride dan Holmes (1972) merumuskan
sosiolinguistik secara sederhana: “The study of language as part of culture and
society”, yaitu kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat
Kajian tentang bahasa yang dihubungkan dengan faktor sosial merupakan
suatu kajian yang sangat menarik. Perkembangan penelitian tentang Sosiolinguistik
tersebut sangat meningkat pada akhir tahun 1960-an. Hal ini disebabkan oleh luasnya
objek penelitian yang menarik dan dapat terus dikaji. Hudson menyatakan bahwa
Sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang sangat luas, tidak hanya menyangkut
wujud formal bahasa dan variasinya, namun juga penggunaan bahasa di masyarakat.
Penggunaan bahasa tersebut mencakupi faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan, misalnya faktor hubungan antara penutur dan mitra tuturnya (Hudson,
1996:1-2).
Perbedaan dua ragam bahasa yang berbeda dalam satu bahasa kemudian
mengaitkan dengan gejala sosial juga merupakan kajian sosiolinguistik. Trudgill
mengungkapkan sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan
18
bahasa sebagai gejala sosial dan gejala kebudayaan. Bahasa bukan hanya dianggap
sebagai gejala sosial melainkan juga gejala kebudayaan (Sumarsono, 2004: 3).
Implikasinya adalah bahasa dikaitkan dengan kebudayaan masih menjadi cakupan
sosiolinguistik dan ini dapat dimengerti karena setiap masyarakat pasti memiliki
kebudayaan tertentu.
Meskipun sudah dikatakan di dalam sebuah bahasa itu hanya ada sebuah
ragam baku, ditemukan ada sesuatu yang unik dalam ragam bahasa, yaitu dalam
sebuah bahasa ditemukan ditemukan adanya dua ragam bahasa yang sama-sama
diakui dan dihormati. Hanya saja fungsi dan pemakaiannya berbeda. Situasi demikian
disebut diglosia (Chaer & Agustina, 1995: 23). Salah satu bahasa yang
mengidentifikasikan kondisi tersebut adalah bahasa Arab.
Dengan teori sosiolinguistik ini kita dapat menganalisis bahasa ammiyah dari
segi diglosia. Menurut Ferguson, diglosia adalah suatu situasi yang relatif stabil, di
mana selain terdapat sejumlah dialek utama dari suatu bahasa, dialek utama itu bisa
sebuah dialek standar atau sebuah standar regional yang sudah sangat kompleks
gramatikalnya dan terkodifikasi, merupakan wahana kesusasteraan tertulis yang
sangat luas dan dihormati, dipelajari melalui pendidikan formal, digunakan sebagai
bahasa tulisan dan bahasa lisan formal, tetapi tidak digunakan oleh masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari (Chaer & Agustina, 1995: 23).
Akibat interaksi sosial antara bangsa Arab dan bangsa Mesir yang berbahasa
Koptik terjadi kontak bahasa (language contact) dalam bentuk munculnya ragam
19
bahasa ammiyah yang digunakan oleh masyarakat tutur Mesir.
Setiap bahasa
digunakan oleh orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Masyarakat
bahasa Arab adalah semua orang yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa
Arab. Di Mesir, perbedaan antara bahasa Arab fusha dan bahasa ammiyah menjadi
salah satu penyebab munculnya kontroversi tentang bahasa di kalangan masyarakat
Arab sendiri. Di antara mereka ada yang sepakat dan adapula yang tidak sepakat
dengan penggunaan bahasa ammiyah. Kalangan yang tidak sepakat sebagian besar
berpendapat bahwa bahasa Arab fusha adalah bahasa yang paling tinggi tingkatannya
dan merupakan bahasa persatuan negeri Arab atau antar kaum muslimin di dunia ini.
Adapun mereka yang sepakat dengan digunakannya bahasa ammiyah mereka
berpendapat bahwa bahasa Arab akan mengalami stagnasi jika hanya bahasa fusha
yang berlaku.
Dalam kehidupan sehari-hari bangsa Mesir menggunakan bahasa ammiyah
untuk berkomunikasi. Frekuensi penggunaan bahasa ammiyah menyebabkan
terjadinya perubahan. Perubahan tersebut lebih banyak terjadi pada tataran fonologis
atau bunyi, leksikal maupun sintaksis. Kebanyakan kata-kata dalam tuturan bahasa
Arab ammiyah dialek Mesir berbeda dengan bahasa fusha secara fonologis. Fonologi
adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa, terbatas pada bunyi-bunyi yang
membedakan makna. Dilihat dari aspek fonologi dalam bahasa Arab dan bahasa lain
ada netralisasi yang berarti perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh
lingkungan. Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya
20
penghematan atau ekonomisasi pengucapan (Suardi, 2014: 39). Dengan kajian
fonologi penulis membedakan perbedaan variasi fonologis bahasa ammiyah dan
bahasa fusha berupa penggantian bunyi, penambahan bunyi, dan pelepasan bunyi.
1.5.2. Teori Hegemoni
1.5.2.1. Teori Hegemoni Gramsci
Konsep hegemoni secara sederhana adalah sistem dominasi politik atau
kekuasaan. Istilah ini menjadi luar biasa ketika kaum Marxis mencoba
mendefinisikan lain tentang konsep hegemoni yang memiliki pengertian kekuasaan
diantara kelas-kelas sosial, terkhusus kelas berkuasa. Hegemoni berasal dari kata
Yunani “hegeisthai”, “egemonia” (to lead atau shidouken) yang memiliki arti
memimpin, kepemimpinan (Nezar, 1999: 116). Dengan kata lain, hegemoni
merupakan sebuah cara kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi
kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari
kelompok berkuasa.
Konsep hegemoni Gramsci lebih lembut tetapi bisa sangat mematikan orang
yang dikuasai. Konsep ini berbahaya dalam artian yang dikuasai tidak sadar sedang
dikuasai, sehingga apa saya yang diserukan oleh penguasa dianggap sebagai hal yang
wajar dan melakukannya dengan suka rela, tanpa pemaksaan secara kekerasan fisik.
Konsep inilah yang banyak digemari oleh penguasa-penguasa dunia sekarang,
terutama dalam menguasai negara dunia ketiga. Hegemoni dapat menjelaskan
fenomena terjadinya upaya pelanggengan kekuasaan oleh kelompok penguasa dan
21
kelompok-kelompok lainnya juga. Tujuannya adalah menguasai wacana publik
terhadap kelompok yang didominasi sehingga diterima sebagai sesuatu yang wajar
(common sense) (Nezar, 1999: 116).
Keterkaitan bahasa dengan hegemoni yaitu bahasa menjadi alat penting
sebagai media pelayan fungsi hegemoni.
Moore dan Hendry (1982: 127)
mendefinisikan bahasa sebagai kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan
terjadi, sehingga dengan menelitinya kita bisa mengenali siapa yang mengendalikan
apa dan demi kepentingan siapa. Kekuatan bahasa terjadi apabila bahasa tersebut
mampu mengubah keadaan atau situasi tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat yang percaya akan kekuatan bahasa, mereka selalu menggunakan bahasa
untuk kelangsungan hidupnya. Mereka juga akan tahu bahwa bahasa dapat merubah
kualitas kehidupannya. Masa sekarang, penggunaan kebudayaan termasuk bahasa di
dalamnya menjadi alat meraih sekaligus mempertahankan kekuasan. Karena sarana
komunikasi yang paling penting pada masyarakat adalah bahasa.
Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk
berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
juga perasaan (Chaer dan Agustina, 1995:19). Oleh karena kedudukannya yang
sangat penting, maka membuat bahasa tidak akan pernah lepas dari kehidupan
manusia dan selalu ada dalam setiap aktivitas dan kehidupannya. Identitas budaya
seringkali tertumpu pada bahasa yang digunakan. Hak untuk menentukan bahasa dan
pengakuan lewat bahasa seringkali berperan sangat penting dalam konflik-konflik
22
sosial politik yang terjadi di seluruh dunia. Upaya untuk mempertahankan sebuah
bahasa seringkali terkait dengan keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai dan
identitas budaya. Oleh karena itu, matinya sebuah bahasa seringkali dikaitkan dengan
matinya identitas budaya (Thomas & Shan, 2007: 248).
Sebuah bahasa dapat mengalami kemunduran dan bahkan musnah karena 2
faktor. Pertama, karena penuturnya memutuskan untuk beralih ke bahasa lain karena
faktor perubahan sosial, kedua karena penuturnya dipaksa untuk menggunakan
bahasa lain karena adanya hegemoni dari kekuasaan yang lebih dominan (Fasold,
1984: 11). Praktik kebahasaan yang terhegemoni semacam ini, tentu terdapat dampak
yang positif dan tentu tidak jarang dampak yang destruktif yang muncul. Positif,
ketika hegemoni tersebut mencoba menghancurkan dominasi kekuasaan yang tidak
memperhatikan kepentingan banyak orang. Negatif, ketika hegemoni tersebut
mencoba menghancurkan hal-hal positif yang sudah terbangun atas dasar egosentris
kelompok tertentu yang akan cenderung menyesatkan dan hegemoni digunakan untuk
melanggengkan kekuasaan yang tidak merakyat, kekuasaan yang meraup keuntungan
demi segelintir orang bukan banyak orang, yang seperti ini pun menyebabkan
hegemoni tidak konstruktif pada tatanan sosial masyarakat, tetapi akan melahirkan
masyarakat yang terhegemoni semakin terbelakang dan terpinggirkan (Coupland,
1991: 98-103).
Kekuasaan seringkali ditunjukkan lewat bahasa, dan bahkan kekuasaan juga
diterapkan atau dilaksanakan lewat bahasa. Bahasa biasanya dimanfaatkan oleh
23
kelompok sosial yang dominan, karena orang-orang dalam kelompok sosial yang
dominan memegang kendali atas pemerintahan, politik dan hukum, serta sekaligus
memiliki perusahaan media internasional. Akibatnya penindasan yang terjadi
terhadap kelompok-kelompok yang lebih kecil kekuasaannya dan yang kurang
memiliki akses media dan kegiatan produksi tulisan akan terasa normal dan bahkan
tidak jelas (Thomas & Shan, 2007: 19).
1.5.2.2. Praktik Nyata Hegemoni Bahasa dalam Kehidupan Masyarakat
Mesir
Praktik hegemoni dengan media bahasa tentu bukan hal yang jarang kita
jumpai di kehidupan, misalnya yang terjadi terhadap bahasa Arab fusha di Mesir,
akibat hegemoni kaum orientalis dan kolonialis yang menyerukan untuk menjadikan
bahasa ammiyah sebagai bahasa administratif menggantikan kedudukan bahasa fusha,
di mana kaum orientalis menyerukan untuk melakukan pencetakan buku-buku
pelajaran dan karya-karya lainnya dengan menggunakan bahasa ammiyah. Langkah
orientalis untuk mencetak karya menggunakan bahasa ammiyah mendapat dukungan
dari kolonial pada saat itu
Masyarakat Mesir pada awalnya dikenal sebagai masyarakat yang menuturkan
bahasa Arab fusha. Seiring dengan masuknya orientalis, kolonialis dan misionaris
Barat yang menggunakan kekuasaan (power) dan hegemoni, maka mereka mulai
menekankan pencetakan bahasa ammiyah di beberapa Negara di Timur Tengah
menggantikan peran bahasa fusha sebagai bahasa administratif Negara.
24
Menurut Abd al-Shabur Syahin (2006 : 53-65), bahasa Arab dihadapkan pada
berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi, penggunaan bahasa Arab
fusha di kalangan masyarakat Arab sendiri mulai berkurang frekuensi dan
proporsinya, cenderung digantikan dengan bahasa ammiyah atau dialek lokal (allahajât al-mahalliyah). Jika jumlah negera Arab berjumlah 22 negera, berarti paling
tidak ada 22 ragam bahasa ammiyah. Hal ini belum termasuk dialek suku-suku dan
kawasan-kawasan tertentu. Misalnya, dialek lokal Iskandaria (Alexandria) tidak sama
dengan dialek Thantha, dan sebagainya. Gejala ini merupakan tantangan serius bagi
dunia pendidikan karena terjadi degramatisasi atau pengeleminasian
beberapa
gramatika (qawâ’id). Kaedah-kaedah bahasa yang baku kurang diperhatikan,
sementara pembelajaran qawâ’id pada umumnya tidak efektif.
Kedua, realitas bahasa Arab fusha di era modern ini juga dihadapkan pada
tantangan globalisasi, tepatnya tantangan pola hidup dan kolonialisasi Barat,
termasuk penyebarluasan bahasa Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini, jika memang
tidak sampai menggatikan bahasa Arab, minimal dapat mengurangi prevalensi
penggunaan minat belajar bahasa Arab di kalangan generasi muda.
Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan akidah, akhlak, dan penjauhan
generasi muda Islam dari sumber-sumber ajaran Islam melalui pencitraan buruk
terhadap bahasa Arab. Dalam waktu yang sama terjadi kampanye besar-besaran atas
nama globalisasi untuk menyebarkan dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa
yang paling kompatibel dengan kemajuan teknologi.
25
Farid al-Anshari menambahkan bahwa agenda neo-kolonialisasi globalisme
(al-isti’mar al-‘awlami al-jadid) yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam
dewasa ini memang dimaksudkan untuk “membunuh karakter dan identitas budaya”,
terutama Arab. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik
menyangkut kebijakan politik luar negerinya maupun perilaku politiknya, terhadap
dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Negara Adidaya ini seringkali mencampuri
urusan dalam negara-negara Islam, baik melalui “intervensi langsung” maupun
melalui operasi agen-agen rahasianya yang terkenal lihai dan licin. Salah satu agenda
yang “diselundupkan” ke dunia Arab adalah penghilangan atau pendangkalan
identitas bahasa dan budaya Arab, marjinalisasi sumber-sumber ajaran Islam dari
sistem pendidikan di dunia Islam, dan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Selain ada upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada
lembaga pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser meskipun belum sampai
digantikan oleh bahasa Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk
pembelajaran sains. Berbagai siaran langsung olah raga di dunia Arab, terutama sepak
bola, yang disiarkan dari Barat (liga Inggris, Spanyol, Italia, Perancis, atau Belanda)
sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Demikian pula, acara atau program
tayangan televisi di dunia Arab juga sudah banyak dipengaruhi oleh gaya dan pola
hidup Barat yang sekuler dan materialistik (Manshur ibn Shalih al-Yusuf, 2007).
Akibatnya, minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa Arab secara serius menjadi
menurun.
26
Tudingan sementara pihak bahwa upaya mengganti bahasa Arab fusha dengan
ammiyah merupakan usaha kaum orientalis agar umat Islam menjauhi atau tidak
dapat memahami al-Qur’an. Bahasa Arab fusha akan tetap lestari meskipun orangorang Arab sendiri lebih suka berbahasa Arab ammiyah. Namun demikian, maraknya
penggunaan bahasa Arab âmmiyah tetap merupakan sebuah tantangan yang dapat
mengancam atau setidak-tidaknya mengurangi mutu kefashihan bagi orang atau
bangsa Arab pada umumnya (Maktabi, 1991: 93-110).
1.6. Metodologi Penelitian
1.6.1. Sumber Data
Sumber data dari penelitian ini adalah buku-buku, majalah dan Korankoran seputar judul tesis tersebut.
1.6.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara
membaca, memahami dan menganalisis buku-buku dan majalah atau
jurnal karena penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library
research). Metode library research adalah teknik penggumpulan data
yang dilakukan dengan cara mencari data informasi dengan bantuan
macam-macam materi (buku, majalah, koran dan jurnal) yang ada dan
tentunya yang berkaitan dengan judul tesis ini (Hadi. 1986: 39).
Meskipun penelitian ini adalah penelitian pustaka, penulis juga
melakukan metode observasi lapangan (field studies) selama 4 bulan
27
(Oktober 2014 - Januari 2015) dan interview dengan beberapa
narasumber di Mesir untuk memperoleh data tambahan dalam tesis ini.
1.6.3. Teknik Analisis Data
Setelah rangkaian data terkumpul, dilakukan analisis data dengan
prosedur dan teknik pengolahan data berikut: (1) Melakukan pemilahan
dan penyusunan klasifikasi data; (2) Melakukan penyuntingan data dan
pemberian kode data untuk membangun kinerja analisis data; (3)
Melakukan verifikasi data dan pendalaman data; (4) Melakukan analisis
data sesuai dengan konstruksi pembahasan hasil penelitian (Hadi, 1986:
53).
1.7. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan tesis yang berjudul Problematika Bahasa Ammiyah di
Mesir, sistematika penulisan tersusun dalam lima bab:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II merupakan bab pembahasan yang menjelaskan tentang sejarah bahasa
ammiyah di Mesir dan perbedaan antara bahasa Arab fusha dan bahasa ammiyah.
Bab III merupakan bab pembahasan yang menjelaskan tentang keterkaitan antara
orientalisme pada era kolonialis dan imperialis dengan perkembangan bahasa
ammiyah di Mesir serta upaya orientalis untuk mempopulerkan bahasa ammiyah.
28
Bab IV merupakan bab yang menjelaskan tentang polemik bahasa ammiyah pasca
munculnya Orientalisme.
Bab V merupakan bab penutup yang menjelaskan kesimpulan dari tesis.
29
BAB II
SEJARAH BAHASA ARAB DAN PERGUMULAN BAHASA ARAB FUSHA
DAN BAHASA AMMIYAH DI MESIR
2.1. Mesir Pra Pendudukan Bangsa Arab
Mesir adalah tanah suci yang didirikan oleh para Pharao (raja Mesir).
Pemerintahan di Mesir kuno dipimpin oleh Fir’aun sebagai Raja yang diperoleh
secara turun temurun dan dibagi menjadi beberapa periode atau zaman. Mesir
menyimpan banyak sekali peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya dan
kebudayaan tersebut hanya dapat kita temui di Mesir. Hal ini dibuktikan dengan
adanya bangunan-bangunan kuno seperti kuil-kuil yang begitu indah dan megah,
Spinx, Mummi, dan Pyramid yang dibangun sekitar tahun 2613-2494 SM di Giza
oleh Sneferu yang merupakan raja pertama dari Dinasti ke-4 (Thompson, 2008: 31).
Peradaban Mesir Kuno dikenal sebagai peradaban kuno terlama di dunia, sekitar
tahun 3300 SM sampai 30 SM (Clayton, 1994: 217). Mereka juga membangun kotakota besar seperti Heliopolis, Luxor, Memphis, Karnak dan Thebes. Herodotus
seorang Filsuf Yunani mengatakan bahwa “peradaban Mesir adalah hadiah dari
sungai Nil”. Hal itu dikatakannya karena keadaan Mesir yang sebagian besar terdiri
dari padang pasir yang gersang. Daerah yang subur hanya terdapat di sepanjang
tepian sungai Nil sehingga orang-orang Mesir hidup dan membangun rumah di
sepanjang tepian Sungai Nil.
30
Download