212 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 KONDISI SOSIAL MASYARAKAT ARAB PRA-ISLAM : Peran Nabi Muhammad SAW, dalam Mendidik Masyarakat “Jahiliyah“ Menuju Masyarakat Madani Ahmad Jamini Abstract: Before the advent of Muhammad, known as the Arab society of ignorance, awesternized by Shaykh al-Nadwi as people who just hit by devastating earth quakes leaving rubble strewn and dead people were lying. When it plunged into the valley of the Arab community kesesata in almost all aspects of life. Withina fairly short time, approximately 23 years, Rasululah, Muhammad SAW, who successfully managed to build a society ravaged into an ideal future society that is dignified and civilized society that is now known by the public Madani. Educational perspective, the success the apostolic mission of Muhammad cannot be separated from the mission of education itself. Prophet Muhammad on the side as, while simultaneously acting as a teacher or educator. In his message of Prophet Muhammad, has really been giving considerable attention to advancing the field of education. Because education is the most strategic means to enhancehuman dignity. On this basis also the tradition of all products derived from him, either in the form of words, deeds, or statutes can not be separated from thecontext of the education community. In other words in the hadith that the Prophet Muhammad are the values of education in the broadest sense. Kata Kunci: Muhammad Sebagai Pendidik, Arab Pra Islam A. Latar Belakang Dalam sebuah risalah tentang Nabi Muhammad Saw., dan asal-usul agamaagama, Ernest Renan seperti dikutip Bernard Lewisii menyatakan, bahhwa tidak sebagai mana agama-agama lain yang dibuai dalam misteri, agama Islam telah lahir dalam sejarah yang terang benderang. “Akar-akarnya” tampak di permukaan lapisan bumi, kehidupan bangunannya jelas diketahui, sejelas kehidupan reformer abad ke enam belas”. Statemen Ini merupakan pengakuan tulus dan objektif dari seorang orientalis terhadap sosok Nabi Muhammad SAW., dan prestasi spektakuler yang telah dicapainya., sekaligus pengakuan terhadap orisinilitas dan otentisitas risalah (ajaran) yang dibawanya. Allah SWT, mengutus Muhammad SAW, untuk membawa agama yang suci dan mulia dengan ajarannya yang lengkap dan sempurna yang mampu membawa manusia ke puncak ketinggian moral dan amenghantarkan mereka 212 Ahmad Jamin, Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam 213 kepada keselamatan lahir dan batin, serta menjamin terwujudnya kebahagiaan mereka baik dalam kehidupannya di dunia kini maupun di akhirat kelak. Dalam menjalankan misi kerasulannya, Muhammad berhadapan dengan kedaan masyarakat yang chaoes (kacau),. Dalam sejarah, masyarakat Arab sebelum datangnya Muhammad SAW dikenal dengan masyarakat jahiliyah, masyarakat yang diliputi kebodohan, kesesatan dan kebobrokan hampir dalam semua aspek kehidupan seperti, agama, sosial, politik, ekonomi, moral, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dan dalam tempo lebih kurang 23 tahun yang dilalui Rasulullah SAW dalam mengemban misi dakwah dan pendidikannya, Muhammad berhasil merubah masyrakat yang chaoes dan jahiliyyah itu kepada sebuah tatanan masyarakat yang peradaban, menjunjung tinggi moralitas, keadilan, dan hak asai manusia. Dalam sejarah, masyarakat yang dibina Nabi Muhammad Saw, tersebut dikenal dengan Masyarakat Madinah. Potret Masyarakat Madinah inilah yang menjadi rujukan para tokoh intelektual muslim, seperti Nurcholish Majid, Dawam Raharjo, Adi Sasono dan sebagainya pada beberapa waktu yang lalu mengemukakan wacana tentang “masyarakat madani”, yang menjadi tujuan dari pembangaunan di negara Republik Indonesia. Dalam tulisan ini dikemukakan bagaimana peran seorang reformer Nabi Muhammad SAW, dalam menjalankan tugas kerasulannya, yang diawali dengan mengungkapkan fakta-fakta historis kondsi sosial masyarakat menjelang diutusnya Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya dikemukakan langkah-langkah dan upaya strategis Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan misi dakwah dan pendidikan. Literatur yang menjadi rujukan makalah ini adalah kitab-kitab hadis, bukubuku Sirah Nabawiyah dan buku-buku sejarah Islam lainnya baik literatur berbahasa Arab, Inggris dan juga literatur berbahasa Indonesia. B. Kondisi Geografis dan Antropologis 1. Kondisi Geografis, Arabia merupakan wilayah padang pasir yang terletak dibagian barat daya Asia. Ia merupakan padang pasir terluas dan tergersang di dunia. Luas wilayahnya 120.000 mil persegi yang berpenduduk rata-rata 5 jiwa setiap mil persegi. Arabia merupakan wilayah strategis dalam peta dunia zaman kuno, ketika 214 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 benua Australia dan Amerika belum di kenal orang, karena letaknya berada pada posisi pertemuan ketiga benua : Asia, Eropa dan Afrika.iii Jazirah Arab di bentuk oleh empat persegi panjang yang amat luas, meliputi kurang lebih seperempat juta mil persegi. Di sebelah utara dibatasi oleh mata rantai daerh-daerah yang terkenal dalam sejarah, disebut daerah ‘Bulan sabit yang subur’ (‘Fertile Crescent’) yaitu daerah Mesopotamia, Syiria dan Palestina, dengan tanah perbatasan yang berpadang pasir; disebelah timur dan selatan dibatasi oleh Teluk Parsi dan Samudera Hindia; sebelah barat dibatasi Laut Merah.iv Karena dikelilingi laut pada ketiga sisinya maka wilayah ini dikenal dengan Jazirah Arabia (Kepulauan Arab). Sebagian besar daerah Jazirah Arabia adalah padang pasir (Gurun) Sahara yang terletak di tengah dan memliki keadaan dan sifat yang berbeda-0beda, karena itu bisa dibagi menjadi tiga bagianv : 1. Sahara Langit memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga sahara Nufud. Oase dan air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu (badai pasir) yang membuat daerah ini sukar dilalui. 2. Sahara Selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus dan padang pasir bergelombang. 3. Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam ini menyebar di keluasan sahara ini, menurut riwayat berjumlah 29 buah. Menurut sebuah teori padang pasir Jazirah Arabia mulanya adalah tanah yang sangat subur dan merupakan tanah air pertama suku-suku bangsa Semit. Melaui masa ribuan tahun, derah-daerah tersebut kemudian tertimpa kekeringan yang melanda daerah-daerah subur. Sumber air dan daerah padang pasir yang luas yang pada mulanya dapat ditanami.vi Merosotnya hasil bumi yang dibarengi dengan peningkatan jumlah penghuni, menyebabkan timbulnya krisis kelebihan penduduk yang beruntun, konsekwensinya berulang kali terjadi keadaan saling serbu antar negeri tetangga suku bangsa Semit itu Suhu udara atau iklim Jazirah Arab sangat panas dan kering, kecuali kecuali sebagian wilayah pesisir dan lembah-lembah yang berair. Meskipun wilayah ini dikeliling lautan pada ketiga sisinya, namun wilayah ini nyaris tidak memiliki sungai, jika ada hanyalah sungai-sungai kecil yang tidak dapat berfungsi sebagai sarana pelayaran. Ahmad Jamin, Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam 215 Dengan kondisi alam yang keras telah membentuk masayarat di sini memliki kesehatan fisik yang prima, untuk dapat bertahan dari gangguan iklim tersebut. Kondisi ini pula yang menempa orang-orang Arab menjadi pemberanipemberani dan bersikap pantang menyerah.vii Watak pemberani inilah yang selanjutnya sangat mendukung perjuangan Islam. 2. Karakteristik Penduduk Arab Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk Jazirah Arab dapat menjadi dua golongan besar yaitu Qahtaniyyun (keturunan Qahthan) dan Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduki oleh golongan ‘Adnaniyun, dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyun. Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya. Menurut Ahmad Syalaby, Keistimewaan penduduk Arab ialah mereka mempunyai keturunan (nasab yang jelas dan murni. Hal ini disebabkan jazirah Arab tidak pernah dimasuki oleh orang asing.viii Bahasa mereka murni dan terpelihara,ix karena kerusakan bahasa terutama disebabkan oleh percampuran dengan bahasa-bahasa asing. Akan tetapa gurun Arab tidak pernah ditempuh oleh orang asing. Oleh karena itu bahsa Arab tetap terpelihara dan murni bahkan sampai saat ini. Masyarakat Arabia terbagi menjadi dua kelompok; penduduk kota dan penduduk gurun atau Badui.x Penduduk kota bertempat tinggal menetap, mereka telah mengenal cara mengenal tanah pertanian, juga telah mengenal tata cara perdagangan, bahkan hubungan perdagangan mereka sampai ke wilayah luar negeri. Di bandingkan dengan kelompok Badui, mereka lebih berbudi dan berperadaban. Kehidupan masyarakat Badui berpindah-pindah (nomadik) dari satu tempat ketempat lainnya. Dalam tengah perjalanan biasanya mereka beristirahat pada suatu tempat dengan mendirikan kemah atau tenda. Mengendarai unta, menggembalakan domba dan keledai, berburu dan menyerbu musuh, menurut adat mereka merupakan pekerjaan yang pantas untuk laki-laki. Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe) dan di pimpin oleh seorang syekh.xi Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga 216 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka suka berperang. Karena itu, peperangan antar suku sering kali terjadi. Sikap ini nampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi geografis Arabia besar pengaruhnya terhadap kejiwaan masyarakatnya. Arabia sebagai wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan masyarakatnya dari serbuan dan penindasan bangsa asing. Pada sisi lainnya kegersangan negeri ini mendorong mereka menjadi pedagangpedagang ke daerah lain. Keluasan dan kebebasan kehidupan mereka di padang Sahara juga menimbulkan semangat kebebesan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan akan kebebasan ini membuat mereka tidak pernah menerima dominasi pihak lain. Starbo, ahli sejarah dari Eropa, menyatakan, “masyarakat Arabia adalah satu-satunya masyarakat yang tidak mengirimkan duta kepada Alexander Agung yang pernah bercita-cita menjadikan Arabia sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya”. xii Sifat-sifat positif yang dimiliki masyarakat Arabia tersebut, setelah mereka memeluk Agama Islam, merupakan sumber daya manusia yang tangguh untuk mendirikan sebuah imperium dan peradaban Islam dalam sejarah dunia. C. Kondisi Pranata Sosial Kondisi pranata sosial bangsa Arab menjelang kelahiran Islam secara umum dikenal sebagai ‘zaman jahiliah’ atau zaman kebodohan. Dinamakan demikian di sebabkan kondisi sosial, politik, moralitas dan keagamaan di sana berada dalam kondisi kesesatan yang nyata.. Pada saat itu, tngkat keberagamaan mereka tidak jauh dengan masyarakat primitif. Gambaran tentang kondisi yang “kelam” tersebut duisinyalir dalam firman Allah SWT “ Thahara al-fasad fi albarr wa al-bahr bima kasabat ayd al-nas.”xiii Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia” . Kenyataan mereka dalam kesesatan sebelum datangnya Rasulullah SAW, menurut Prof Dr. Abuddin Nata, MA, xiv tidak hanya bersifat normatif teologis, yaitu ajaran atau informasi yang harus diyakini adanya, dan tida boleh ditolak, melainkan diperkuat oleh fakta sejarah Buku yang ditulis oleh Syaikh al-Nadwy yang berjudul Madza Khasira al-Alam bi Inhithath al-Muslimin, seperti dikutip Abuddin Nata banyak menginformasikan tentang kesasatan umat manusia sebelum sebelum kedatan Rasulullah SAW. Kesesatan tersebut dapat terlihat dalam bidang agama dan moral, ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan danlain-lain. Ahmad Jamin, Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam 217 1. Kesesatan dalam Bidang Agama Kesesatan dalam bidang agama terlihat dari keadaan mereka yang tidak lagi menganut agama tauhid dengan menyembah Allah. Mayoritas masyrakat Arab menurut Bernard Lewis menganut kepercayaan polidaemonisme yang terikat dengan paganisme (kafir) yang merupakan agama warisan bangsa Semit tempo dulu. kecuali sebagian kecil penganut agama Yahudi dan Nasrani.xv Mereka umumnya menyembah berhala.xvi Sebagian mereka juga menyembah matahari, api, air, pepohonan dan sebagainya Pada masing-masing daerah mempunya dewa yang banyak jumlahnya. Al-Uzza al-Latta, Manah dan Hubal merupakan dewa atau berhala mereka yang terbesar dan paling dimuliakan. Mereka mempunyai berhala yang banyak sebagai penggambaran dewa-dewa mereka. Tidak kurang 360 berhala di tata di sekeliling Ka’bah untuk sesembahan. Penyembahan yang merupakan perbuatan syirik ini pada hakikatnya telah merendahkan diri mereka sendiri sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT. Kemusrikan inilah yang selanjutnya membawa kepada timbulnya sistem perbudakan di kalangan bangsa Arab yang selanjutnya menimbulakan penjajahan dan penindasan hak-hak asasi manusia.xvii 2. Kesesatan dalam Bidang Ekonomi Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa Arabia merupakan wilayah gersang yang tidak menumbuhkan hasil pertanian. Keadaan demikian ini menyebabkan kondisi perekonomian mereka pada umumnya payah. Mata pencaharian sebagian besar mereka adalah berternak. Kelompok bangsawan biasanya menguasai hubungan perdagangan domestik bahkan hubungan perdagangan luar negeri.xviii Kesesatan dalam bidang ekonomi terlihat kebiasaan mereka mencuri, berjudi, merampok, menipu, memeras atau melipat gandakan uang (praktek riba) dan sebgainya. Praktek ekonomi yang demikian selanjutnya menciptakan kesenjangan sosial antara kaum kaya dan kaum yang tertindas. xix Dengan kondisi ekonomi yang demikian menderita mereka cendrung anarkis dan mengahalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 3. Kesesatan dalam Ssosial dan Moral Semenjak zaman jahiliah, sesngguhnya masyarakat Arab memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif, seperti sifat pemberani, ketahanan fisik yang prima, daya ingatan yang kuat, kesadaran akan harga diri dan martabat, cinta 218 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 kebebasan, setia terhadap suku dan pemimpinnya, pola kehidupan sederhana, ramah tamah dan mahir dalam bersyair. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik itu tersebut seakan tidak ada artinya karena suatu kondisi yang meyelimuti kehidupan mereka, yakni ketidak adilan, kejahatan dan keyakinan terhadap tahayul. Kesesatan dalam bidang sosial dan moral terlihat pada sikap mereka yang disktriminatif (membeda-bedakan) manusia atas dasar keturunan, suku, bahasa, warna kulit, jenis, kelamin dan status sosial. Pada masa itu, kaum wanita memempati kedudukan yang terendah sepanjang sejarah umat manusia. Mereka memandang wanita ibarat binatang piaraan, atau bahkan lebih hina. Mereka sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial dan tidak memiliki hak apa pun. Kaum laki-laki dapat mengawini wanita sesuka hatinya, demikian pula mereka gampang saja menceraikan sesuka hatinya. Bila mana seorang ayah diberitahukan atas kelahiranseorang anak perempuan, seketika wajahnya berubah pasi lantaran malu, terkadang mereka tega menguburkan bayi permpuan hidup-hidup.xx Mereka kebanyakan membunuhnya lantaran rasa malu dan khawatir bahwa anak perempuan hanya akan menimbulkan kemiskinan. Kondisi semacam ini dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai berikut ini: Dan apabila seorang di antara mereka diberi kabar atas kelahiran anak perempuan, hitam padam wajahnya dan dia sangat bersedih. Ia lalu menyembunyikan wajahnya dari orang banyak disebabkan buruknya beria tersebut. (dia berfikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan, atau menguburkannya kedalam tanah hidup-hidup, ketahuilah alangkah buruknya perbuatan mereka tersebut.xxi Pada masa itu, tidak hanya poligami yang berkembang dikalangan masyarakat Arab jahiliah. Tetapi juga praktek poliandri. Seorang laki-laki disamping mempunyai mempunyai banyak istri, mereka juga memiliki sejumlah gundik. Suami seringkali mengizinkan istrinya “bergaul” dengan laki-laki lain untuk mendapat tambahan penghasilan. Wanita-wanita lajang biasanya pergi ke luar kota untuk menjalin pergaulan bebas dengan pemuda kampung. Seorang ibu tiri dapat saja dikawini sesama saudara kandung. Pada saat perempuan tidak memiliki hak warisan terhadap harta kekayaan almarhum ayah dan suaminya, atau kerabatnya. Demikinlah, sungguh rendah dan hina kedudukan wanita sebelum Nabi Muhammad lahir. Nabi berjuan untuk mengentaskan jurang kehinaan wanita kepada kedudukan yang mulia dan terhormat. Ahmad Jamin, Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam 219 Sistem perbudakan merupakan sisi lain dari kemasyarakatan bangsa Arab pada saat itu. Budak diperlakukan majikannya secara tidak manusiawi. Para budak dilarang menikah baik dengan sesama budak maupun dengan orang merdeka. Para majikan tidak jarang menyiksanya secara kejam karena kesalahan kecil, bahkan mereka menentukan hidup dan mati mereka. Masyarakat Arabia sehari-hari hidup dalam kejahatan, kekejaman, dan keyakinan akan tahayul. Mereka senantiasa menghubungi berhala sesembahannya sebelum melaksanakan sesuatu yang dianggpnya penting. Bahkan untuk memuja dan meminta pertolongan berhala, mereka berkorban dengan menyembelih manusia didepan berhala. Selain itu kehidupan sehari-hari mereka diwarnai permusuhan, perjudian, bermabuk-mabukan, perampokan dan berbagi bentuk kejahatan lainnya. Kondisi sosial dan moral tersebut, khususnya yang melanda Jazirah Arabia dan umumnya yang terjadi pula diselruh penjuru dunia, sangat menyedihkan. Latar belakang kebobrokan moral dan sosial ini merupakan salah satu sebab Tuhan menurunkan Risalah atau ajaran agama. Kebobrokan yang dulu pernah terjadi sebelum Isa dilahirkan—kira-kira tujuh abad silam, sekarang terjadi kembali dalam bentuk kejahiliahan yang lebih hebat. Dalam kondisi semacam ini, Nabi Muhammad dilahirkan di Negeri Arabia. Jadi, tatkala seluruh pemjuru Jazirah Arabia merintih dalam kezaliman, ketidak adilan, kebengisan, kejahatan, dan keyakinan akan tahayul, Muhammad muncul sebagai pembawa rahmat (kebajikan) bagi bangsa Arab dan bagi alam semesta ini. Berkenan dengan kenyataan tersebut, maka di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat mengandung petunjuk tentang perlunya menegakkan sikap demokratis (syura), egaliter, (persamaan derajat), saling menghargai, tolong-menolong dan sebagainya. 4. Kesesatan dalam Bidang Politik Dalam bidang politik, kesesatan yang terjadi terlihat pada sikap penguasa yang diktator, otoriter, zalim, dan korup.xxii Dengan sikap yang demikian mereka menntukan apa saja yang dikehendakinya, tanpa mempertimbangkan akibat bagi masyarakat. Masyarakat Arab terpecah menjadi sejumlah suku yang masing-masing memiliki seorang kepala suku yang disebut ‘Syaikh”. Mereka terikat persaudaraan dengan sesama warga suku. Hubungan mereka yang berlainan suku bagaikan musuh. Mereka tidak segan-segan turun ke medan pertempuran untuk membela kehormatan sukunya, sekalipun harus mengorban jiwa. Peperangan dan 220 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 penyerbuan antar suku bagaikan kesibukan mereka setiap hari. Sebagian besar kehidupan mereka belum mengenal sistim hukum. Adapun hukum yang berlaku bagaikan hukum rimba, “yang kuat menindas yang lemah”. Dalam situasi politik seperti ini tampaklah bahwa politik masyarakat Arabia terpecah-pecah, retak menjadi kepingan-keoingan disebabkan permusuhan antar suku. Berkenaan dengan kenyataan ini, maka di dalam al-Qur’an dan hadis banyak ayat-ayat yang mengharuskan pemimpin bersikap adil, terhadap seluruh rakyatnya dengan tidak memandang status sosial ekonominya, dann tetap berupaya memelihara jabatan sebagai amanah guna menciptakan kesejahteraan bagi rakyat yang dipimpinnya. 5. Kesesatan dalam Bidang Budaya dan Ilmu Pengetahuan Meskipun belum terdapat sistem pendidikan sebagaiman layaknya pada zaman modern ini, masyarakat Arabia pada saat itu tidak mengabaikan kemajuan kebudayaan. Mereka sangat terkenal kemahirannya dalam bidang sastra: bahasa dan syair. Bahasa mereka sangat kaya sebanding dengan bahasa banhgsa Eropa sekarang ini. Keistimewaan bangsa Arabia di bidang bahasa merupakan kontribusi mereka yang cukup penting terhadap perkembangan dan penyebaran Islam. Dalam hal ini Philip K. Hitti berkomentar, ‘Keberhasilan penyebaran Islam diantaranya di dukung oleh keluasan bahasa Arab, khususnya bahasa Arab al-Qur’an.xxiii Tentang hal ini Ahmad Syalaby berkomentar, bahsa Arab adalah bahasa yang murni dan terpelihara, karena kerusakan bahsa terutama disebabkan oleh percampuran dengan bahsa-bahasa asing. Karena bangsa yang tidak pernah ditempuh (dijajah) oleh bangsa asing, dengan sendirinya bahasa mereka tetap murni dan xxiv terpelihara. Kemajuan kebudayaan mereka dalam bidang syair tidak diwarnai dengan semangat kebangsaan Arab, melainkan diwarnai dengan semangat kesukuan Arab. Pujangga-pujangga syair zaman jahiliah membanggakan suku, kemenangan dalam suatu pertempuran, membesarkan nama tokoh-tokoh dan pahlawan serta leluhur mereka. Selanjutnya kesesatan dalam bidang ilmu pengetahuan anatara lain terlihat pada sikap mereka yang memandang bahwa ilmu pengetahuan merupakan hak istimewa dan prerogatif kaum elit. Ilmu pengetahuan tidak boleh dibocorkan keppada rakyat jelata. Yang boleh pintar hanyalah orang-orang terhormat, sedangkan rakyat jelata dibiarkan bodoh. Dengan kebodohan tersebut mereka dapat dibodohi dan ditindas.xxv Sehubungan dengan kenyataan ini, maka di dalam Ahmad Jamin, Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam 221 al-Qur’an maupun hadis banyak dijumpai ayat-ayat maupun hadis-hadis yang menajurkan menuntut ilmu dan keutamaan orang-orang yang berilmu. Kemudian terdapat pula ayat dan hadis yangmenkankan bahwa pendidikan adalah untuk semua (education for all), dan berlangsung seumur hidup (long life education). Berdasarkan informasi di atas terlihat dengan jelas bahwa pada masa sebelum dan menjelang kedatangan Nabi Muhammad, Rasulullah SAW, keadaan masyarakat betul-betul dalam kesesatan yang nyata. Dengan kata lain keadaan masyarakat yang dihadapi oleh Muhammad SAW, dalam mengemban tugas kerasulannya adalah masyarakat yang chaoes atau kacau balau. Keadaan yang demikian menurut Syaikh al-Nadwy, tak obahnya seperti keadaan bumi yang baru saja dilanda gempa yang dahsyat, (disusul oleh tsunami) yang memporakporandakan kehidupan masyarakat. Di dalamnya terdapat puing-puing bangunan yang roboh, rata dengan tanah, tiang-tiaang yang bergeser, genteng dan kaca yang pecah berserakan, korban jiwa (mayat) yang bergelimpangan, kerugian harta benda dan sebagainya.xxvi Keadaan masyarakat inilah yang menjadi medan atau sasaran dakwah dan pendidikan Muhammad SAW. Melalui dakwah dan pendidikan tersebut, Rasulullah SAW telah berhasil membawa mereka dari kegelapan kepada keadaan yang terang benderang (min al-zhulumat ila al-nur). Keberhasilan tersebut melebihi prestasi yang dicapai oleh pemimpin manapun di dunia ini. xxvii Menurut ajaran al-Qur’an bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh risalah Muhammad atau misi Islam ialah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadah kepadaNya; dan mengokohkan hubungan antara manusia dengan menegakkanya di atas dasar kasih sayang, persamaan dan keadilan, hingga dengan demikian tercapailah kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup dan kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota msyarakat, sebagaimana firman Allah; “Dialah yang menutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya meraka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”xxviii. Al-Qur’an juga menjelaskan, diutusnya Muhammad sebagai rasul adalah pembawa rahmat untuk selouruh alam. Karena itu, tujuan risalahnya adalah memberikan kebahagiaan, kedamaian bagi umat manusia atau rahmat bagi alam semesta. Firman Allah dalam surah al-Anbiya, ayat 107; 222 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semsta alam”. (QS. 21: 107)xxix Dalam sebuah hadis, Rasulullah menyatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Beliau bersabda “Sesungguhnya aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (H.R. Malik). Pembentukan akhlak yang mulia itu selanjutnya menjadi tujuan dan jiwa dari pendidikan Islam.xxx Dengan kata lain bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW di muka bumi adalah untuk bertindak sebagai pendidik. D. Tradisi Keilmuan Masyarakat Arab Pra Islam Sebuah gambaran umum tentang pendidikan di Arabia, menggambarkan bagaimana tradisi keilmuan di kawasan itu pada masa Nabi berlangsung, setidaknya pada masa Nabi Muhammad Saw.,berlangsung, setidaknya pada masa awal kedatangan Islam. Dalam hal ini Bayard Dodge mengungkapkan seperti berikut; In the time of the Porphet Muhammad, no organizad system of education existed in Arabia. The Bedoin boys learned from their father how to tend the camel, to care for the tents and enggage in reading, while the boys of oasis mastered the art of date culture. As the girls married in the early teens, whatever they learned was from their mother. Although some of Christian and Jews, as well as scribes and few of the more proressive people of the town, knew how to read and write, most of the Arabs were illiterate.xxxi (Pada masa Nabi Muhammad di Arabia tidak terdapat sistem pendidikan yang terorganisir. Anak laki-laki Badui belajar dari ayah mereka bagaimana mengembala onta, membuat tenda-tenda dan belajar membaca, di samping itu mereka juga menguasa ilmu-ilmu penagnggalan (kalender). Anak-anak perempuan mereka menikah pada usia dini (umur sepuluh tahun). Mereka belajar segala sesuatu dari ibu mereka. Walaupun sebagian dari orang-orang Kristen dan Yahudi dan beberapa suku-suku dan penduduk kota yang sedikit lebih maju memiliki pengetahuan membaca dan menulis, namun yang jelas sebagian besar penduduk Arabia adalah buta huruf. Kondisi pendidikan bangsa Arab seperti yang digambarkan Dodge ini berlangsung hingga awal kedatangan Islam di Mekah. Mayoritas Bangsa Arab pra-Islam Hidup mengembaraxxxiidalam proses pertumbuhannya kearah kebudayaan yang lebih tinggi. Pada taraf ini, tingkat intelektual/kecerdasan mereka berjalan seiring dengan pertumbuhan kebudayaan itu. Kaitannya dengan pertumbuhan intelektual bangsa Arab. Dan bangsa-bangsa Ahmad Jamin, Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam 223 lin di dunia umumnya, Ahmad Amin menyebutkan ada dua faktor yang membentuk kecerdasan, yaitu faktor alam yang meliputinya dan faktor masyarakat yang mempengaruhi.xxxiiiSecara geografis, bangsa arab menghuni daerah gersang, panas, kering, dan sengat sepi. Alat transportasi di daerah dengan kondisi alam semacam itu hanyalah ontaxxxivdan kuda. Kesunyian sahara yang melingkungi bangsa Arab mengilhami penyair-penyairnya menciptakan syair dan puisi yang sangat mengagumkan.xxxv Bagi kebanyakan suku badawi/Badui, mengembara (nomadisme) adalah watak mereka,xxxvimeskipun ada sebagian kecil yang menjalani kehidupan menetap seperti suku Badui di Mekkah. Sebagai suku keturunan Semit, kaum Badawi sangat temperamental wataknya. Secara historis mereka terkondisikan oleh kehidupan yang keras disebabkan oleh kondisi gurun pasir yang tidak ramah dan miskin sumber alam. Namun terdapat perbedaan mendasar serta hubungan timbal balik antara kaum Badui nomad dan penduduk kota. Ibnu Khaldun (1322-1406 M) – sejarawan abad keempat belas dan penulis kitab Mukaddimah - menjelaskan perbedaan ini, seperti dikutip Asghar Ali E.; “Kami telah menjelaskan bahwa bangsa badui membatasi dirinya pada kebutuhan pokok dalam hidup mereka, sementara penduduk mukim mencari kesenangan hidup dan kemewahan dalam kehidupan dan kebiasaan mereka”.xxxvii Perbedaan ini dalam konteks interaksi antara penduduk kota (mukmin) dan nomad telah menimbulkan banyak masalah sosial, ekonomi,dan politik, sampai pada saat datangnya Islam. Tanda-tanda kecerdasan bangsa Arab terletak pada bahasa, syair, pepatah, dan cerita.xxxviii Sementara itu, di bidang ilmu dan filsafat mereka masih sangat sederhana dan dalam taraf permulaan. Pengetahuan yang mereka miliki adalah pengetahuan ketabiban, perbintangan, dan cuaca. Meskipun di dalam dunia intelektual dan pendidikan bangsa Arab pra-Islam dapat dikategorikan masih belum menemukan bentuknya, hal itu tidak akan menegasikan nilai lain yang diperjuangkan orang Arab awal. Dalam hal ini Toshihiko Izutsu seorang profesor pada Universitas keiko, Jepang menegaskan: Adalah benar dalam banyak hal penting Islam sama sekali bertentangan dengan ajaran penyembahan berhala yang berlaku dalam masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Walaupun demikian, di dalam al-Qur’an, kita banyak menjumpai ide-ide moral gurun pasir menggunakan pakaian Islam yang baru. Kita tidak melihat bahwa cita-cita etika jahiliyah yang tertinggi 224 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 adalah muruwwah, dan bahwa ke dalamnya termasuk berbagai nilai-nilai kebajikan seperti misalnya, kemurahan hati, gagah berani, sabar, sifat yang layak dipercayai, dan kejujuran.xxxix E. Muhammad Sebagai Pendidik yang Agung 1. Visi dan Misi Pendidikan Nabi Muhammad Saw. Untuk melaksanakan fungsi utamanya sebagai pendidik, Rasulullah SAW telah melakukan serangkaian kebijakan satrategis serta sesuai dengan situasi dan kondisi. Kebijakan pertama yang dilakukan oleh Rasullah adalah pembangunan masjid di Quba, sebuah kota yang terletak dengan Madinah. Masijd inilah yang selanjutnya digunakan sebagai pusat kegiatan pendidikan dan dakwah, sejalan berkembangnya Islam di Madinah yang semakin pesat. Pembangunan masjid pertama yang dilajkukan Nabi ini, tidak dilihat dari perspektif keagamaan saja. Penuturan Thomas W. Arnold menjelaskan bahwa di samping motivasi keagamaan, pembangunan masjid juga tidak terlepas dari nilai-nilai sosiologis politis yaitu sebagai tempat belangsungnya interaksi sosial politik umat khususnya penduduk Madinah.xl Melalui masjid Rasulullah SAW melakukan pembinaan moral spiritual, mengajarkan agama kepada kaum Muhajirin dan Anshar, membina sikap kebangsaan (nation building). Dengan kata lain masjid telah digunakan oleh Rasulullah SAW sebagai tempat yang paling efektif dalam menyusun dan menghimpun potensi umat Islam.xli Relevansi antar Masji dengan pendidikan pada masa permulaan islam di madinah digambarkan oleh a.l tibawi berikut ini: Dari keterangan di atas, terilahat bahwa masjid pada masa islam permulaan mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi dibandingkan dengan fungsinya sekarang.xlii Akan tetapi fungsi paling utamanya adalah sebagai tembagai tempat pembinaan jiwa ketakawaan. Pembangunan masjid di madinah memberi kesempatan yang sangat luas kepada kaum meslimin untuk beribadah juga belajar. Di masjid itu pula Muhammad Saw., menyediakan ruang khusus bagi para sahabat beliau yang miskin, yang disebut ahl al-suffah/ashab al-suffah. mengingat belum adanya tempat khusus untuk penyelenggaraan pendidikan. Ahl al-suffah terdiri dari para sahabat Nabi saw., yang tergolong miskin dan tidak memiliki keluarga. Mereka tinggal dan menetap di emperan masjid yang difungsikan sebagai madrasah untuk sarana menuntut ilmu khususnya mempelajari Ahmad Jamin, Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam 225 al-Qur’an. Di samping itu mereka juga melakukan rihlah (perjalanan ilmiyah), keseluruh penjuru Arabia untuk mengajarkan al-Qur’an. Demikian pula untuk tenaga gurunya, beliau sendiri tampil sebagai gurunya. Melalui upaya ini Nabi berhasil mencetak para guru yang siap dikirim ke berbagai wilayah yang telah dikuasai Islam.xliii Ubaid ibn al-Samit misalnya mengatakan bahwa Nabi Muhammad mengangkat dirinya sebgai guru di sekolah ahl- al-Suffah di Madinah untuk mengajrkan al-Qur’an.xliv Tradisi keilmuan di Madinah tidak hanya disimbolkan lewat aktivitas belajar masyarakat muslim di Masjid, tetapi umat muslim juga memiliki Kuttab sebagai lembaga pendidikan alternatif. Salah satu kuttab yang ada adalah kuttab al-Hakam Ibn Said. Rasul memerintahkan kepada al-Hakam untuk mengajar di kuttab ini.xlv Materi pokok yang diajarkan di kuttab berupa pelajaran baca tulis yang berkisar pada syair-syair dan pepatah-pepatah Arab. Pelajaran al-Qur’an tidak diberikan di kuttab tetapi diajarkan di rumah dan di Masjid. Di samping mendirikan Masjid, langkah strategis Nabi Saw, berikutnya yang juga memuat nilai-nilai pendidikan yaitu upaya mempersatukan berbagai potensi yang semula paling berserakan bahkan saling bermusuhan. Langkah ini di tuangkan dalam dokumen yang lebih populer disebut Piagam Madinah (Mitsaq alMadinah). Piagam Madinah ini sangat besar artinya dalam sejarah kehidupan sosial politi umat Islam. Menurut beberapa sejarawan, piagam Madinah dipandang sebagai undang-undang dasar terulis pertama sepanjang sejarah peradaban dunia. Sebelum Nabi Muhammad para penguasa dunia tidak mempunyai undang-undang tertulis yang mengatur kehidupan bernegara.xlvi Isi dari teks Piagam Madinah sebagaimana tersebut di atas secara substansial tampak tidak memiliki hubungan dengan pendidikan. Namun dilihat dari segi perannya, keberaan dengan pendidikan. Namun dilihat dari segi perannya,keberadaan Piagam Madinah tersebut sangat penting. Dengan adanya piagam tersebut terwujudlah keadaan masyarakat yang tenang, harmonis dan damai. Di dalam keadaan masyarakat yang demikian itulah kegiatan pendidikan dapat di laksanakan sebagaimana mestinya. 2. Materi Pendidikan Nabi Saw. Kegiatan belajar mengajar yang dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika berada di Madinah berpedoman kepada kurikulum yang ditetapkan oleh beliau sendiri. Sejarah mencatat, bahwa kurikulum (mata pelajaran) dalam pendidikan 226 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 yang di lakukan oleh Rasulullah SAW adalah al-Qur’an dan al-Hadis, dasar-dasar berhitung kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu alat bunyi (phonetik). Disamping materi tersebut Nabi Muhammad juga telah mengisyaratkan tentang pentingnya menjar materi keterampilan dan olah raga, seperti keterampilan menunggang kuda, berenang, memanah dan sebagainya. Sedang para pelajar atau para murid yang belajar di Suffah adalah orangorang yang ikut pindah bersama nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah (Muhajirin) dan orang-orang penduduk madinah (Anshar), selain itu banyak pula orang-orang yang datang dari jauh ke Madinah dengan tujuan untuk menuntut ilmu agama, mereka bermukim di Suffah,sehingga keadaan Suffah mirip asrama atau pondokan. Mereka banyak mencurahkan perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan terus menetap di dalam masjid untuk beribadah. Namun demikian, mereka tidaklah tetutup bagi masyarakat, bahkan diantara mereka ada yang berprestasi dalam kehidupan sosial dan perjuangan Islam. F. Kesimpulan Sebelum kedatangan Muhammad SAW, masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat jahiliyah, yang dibaratkan oleh Syaikh al-Nadwi seperti masyarakat yang baru saja tertimpa bencana gempa bumi dahsyat yang menyisakan puingpuing bangunan berserakan dan korban jiwa yang bergelimpangan. Ketika itu masyarakat Arab terperosok ke lembah kesesata dalam hampir semua aspek kehidupan. Dalam kurun waktu yang cukup singkat, lebih kurang 23 tahun, Rasululah, Muhammad SAW, berhasil berhasil membangun masyarakat yang porak-poranda tersebut menjadi sebuah tatanan masyarakat yang yang ideal yakni masyarakat bermartabat dan berperadaban yang sekarang dikenal dengan masyarakat Madani. Dalam perspektif pendidikan, keberhasilan misi kerasulan Muhammad SAW tersebut tidak dapat dapat dipisah dari misi pendidikan itu sendiri. Muhammad di samping sebagai Rasulullah, sekaligus bertindak sebagai guru atau pendidik. Dalam dakwahnya Nabi Muhammad SAW, benar-benar telah memberikan perhatian yang cukup besar untuk memajukan bidang pendidikan. Karena pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Atas dasar ini pula maka segala produk hadis yang berasal dari beliau, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan tidak dapat dilepaskan dari konteks pendidikan umat. Dengan kata lain di dalam hadis Rasulullah SAW itu terdapat nilai-nilai pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Ahmad Jamin, Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam 227 Penulis ; Ahmad Jamin adalah Dosen Tetap di STAIN Kerinci, Alumni Program S 3 IAIN Imam Bonjol Padang, Tamat 2010 DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata, Bahan Kuliyah, Dasar-dasar Pendidikan dalam Hadis Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo: Maktabag al-Nahdah al-Mishriyah, 1975 Ahmad Syalaby, Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid I, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997 Badri Yaitim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2002 Bernard Lewis, Islam dalam Lintasan Sejarah: Dari segi Geografi, Sosial Budaya, dan Peranan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1998 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Jakarta: Pstaka al-Husna, 2002) Al-Hamid al-Husaini, Sirah Mustafa: Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1996. K. Ali, Tarikh Pra-Modern, Penerjemah Gufron A. Masudi (Jakarta: Sri Gunting 1996 M. Quraish Syihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004). Muhammad al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985 Nurcholish Majid, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di MasaTransisi, Jakarta: Paramadina, 2002. Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, terj. Abuddin Nata. 228 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 i Penulis adalah Dosen STAIN Kerinci, Alumni Program S 3 IAIN Imam Bonol Padang, tamat 2010. ii Bernard Lewis, Islam dalam Lintasan Sejarah : Dari segi Geografi, Sosial Budaya, dan Peranan Islam, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1998, h. 19. iii K. Ali, Tarikh Pra-Modern, Penerjemah Gufron A. Masudi (Jakarta : Sri Gunting 1996, h. 33 iv Bernard Lewis, O.p., Cit., h. 1 v Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo : Maktabag al-Nahdah al-Mishriyah, 1975, h.1-2 vi Bernard Lewis, Op., Cit., h. 3 vii Menurut Ahamad Syalaby Orang Arab penduduk Padang Pasir pemberani-pemberani. Berani adalah sifat yang amatr menonjol pada mereka. Keberanian ini ditimbulkan oleh keadaan mereka yang hidup di alam yang keras. Mereka selamanya harus membawa senjata dan seringhkali menyendiri di tengah padang pasir. Tak ada perlindungan waktu itu kecuali keberanian. Ahmad Syalaby, Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid I, Jakarta : Al-Husna Zikra, 1997, h. 34 viii Ahmad Syalaby, Op., Cit., h. 33 ix Nurcholis Majid, menyatakan bahwa Bahsa Arab adalah bahasa yang paling tua di muka bumi. Ia lebih kuno dari bahsa Ibrani. Lebih dari itu Bahasa Arab adalah satu dari empat bahasa yang paling mempengaruhi manusia dan yang masih hidup. Yang lainnya adalah bahsa lLatin, Bahsa Yunani, dan bahsa Sanskerta. Jadi dari empat bahsa yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia itu semuanya telah mati kecuali bahsa Arab yang sampai sekarang masih hidup. Lihat Nurcholish Majid, Atas Nama Pengalaman : Beragama dan Berbangsa di MasaTransisi, Jakarta : Paramadina, 2002, h. 29 -30 x K. Ali, Op., Cit., h. 16 xi Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2002, h. 11 xii K. Ali, Op., Cit., h. 17 Q.S. Al-Rum : 41 xiv Abuddin Nata, Bahan Kuliyah, Dasar-dasar Pendidikan dalam Hadis, h. 21 xv Bernard Lewis¸Op., Cit., h. 11 xvi Tentang asal-usul penyembahan berhala ini terdapat berbagai versi di antaranya Menurut riwayat dalam Syirah Ibn Hisam seperti dikutip Al Hamid al- Husaini, bahwa seorang Arab ‘Amr bin Luhay al-Khuza’i. Dialah orang Arab yang pertama memancangkan berhalaberhala dan menyuruh orang lain menyembahnya.. Versi ke dua Dalam Syirah Ibn Ishaq, sebagian orang yang merasa tidak betah lagi tinggal di mekkah dan keluar meninggalkan kota itu , mereka membawa batu-batu yang berasal dari sekitar ka’bah. Hal itu dilakukan sebagai penghormatan terhadap ka’bah yang hendak mereka tinggalkan . Batu yang mereka bawa dari makkah itu, di tempat pemukiman yang baru mereka letakkan di tempat tertentu kemudian mereka berjalan mengitarinya seperti thawaf yang biasa mereka lakukan di sekeliling ka’bah. Hal itu kemudian berkembang menjadi tradisi dan menjadi peribadatan. Baca Al-Hamid al-Husaini, Sirah Mustafa : Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW, Jakarta : Pustaka Hidayah, 1996, h. 47-48 xvii Abuddin Nata, Op., Cit., h. 22 xviii K. Ali, Op. Cit., h. 19 xix Abuddin Nata, loc.Cit. xx K. Ali, Op., Cit,. h. 21 xxi Terjemahan QS. Al-Nahl : 58-59 xxii Abuddin Nata, Op., Cit., h. 23 xxiii K. Ali, h. 19 xxiv Ahmad Syalaby, Op., Cit., h. 33 xxv Abuddin Nata, Op., Cit., h. 24 xxvi Dikutip dari Abuddin Nata, bahan Kuliyah, Op., Cit., h. 25 xiii xxvii Ahmad Jamin, Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam 229 xxviii Q.S. Al-Jumu’ah : 2 Q.S. Al-Anbiya : 107 xxx Lihat Muhammad al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1985), hal. 12 xxix xxxi Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times, Washington, DC : The Midle East Institute, 1962, h. 1 xxxii Bangsa Arab pra-Islam yang dimaksud disini adalah bangsa Arab asli. Yaitu kaum Badawi. Bagi mereka mengembara tidak sekedar mengembara, akan tetapi dengan pengembaraan itu mereka memperlihatkan teknik adaptasi hidup yang dapat dilakukan oleh manusia di padang pasir. Hidup mengembara di padang pasir adalah juga suatu cara hidup yang berdasar ilmu pengetahuan seperti ilmu dan teknologi yang perlu di pelajari untuk industri di Detroid atau Manchester. (Baca Philip K. Hitti, Sejarah Ringkas dunia Arab,terj. Usuludin Hutagalung dan O.D.P. Hutagalung, Yogyakarta: Pustaka Iqra, 2001, Cet ke-1, hlm. 8); Baca juga Ahmad Amin, op. cit., hlm.25. xxxiii Ahmad Amin, op. cit., hlm. 70. xxxiv Menutut Hitti, kaum Bdawi menyebut diri mereka sendiri “bangsa Onta”. Uraian lebih lanjut tentang hal ini, baca Philip K. Hitti, op.cit., hlm. 13. xxxv Selanjutnya Hitti memuji kehebatan sastra Arab pra-Islam melalui ungkapannya: “Di seluruh dunia tak ada satu bangsa pun yang menunjukkan minat dan kekaguman yang lebih besar terhadap ucapan kata-kata secara seni sastra dan begitu halus perasaanya untuk bahasa lisan dan tertulis daripada orang Arab. Hampir tidak ada sesuatu bahasa lain yang sanggup menanamkan pengaruh yang tak terelakkan pada jiwa orang yang memakainya, selain bahasa Arab.(Philip K. Hitti, hlm. 25). Menyimak ungkapan pujian Hitti ini, dalam dzauqul lughah penulis terasa sekali nada pleonastisnya -, tapi itulah fakta sebenarnya keindahan satra Arab pra-Islam. xxxvi Asghar Ali E., Asal Usuldan Perkembangan Islam,terj. Imam Baehaqi, Yogyakarta: INSIST & Pustaka Pelajar, 1999, Cet. Ke-1, hlm. 20. xxxvii Ibid., hlm. 30. Baca QS. At Taubah: 97-98, QS. An-Nahl: 80. xxxviii Ahmad amin,op. cit., hlm. 75. Untuk diskusi lebih lanjut baca Ahmad Amin hlm. 78-98. xxxix Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Qur’an, terj. Mansuruddin Djoely, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, Cet. Ke-1, hlm. 111-112. xl Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, (Terj. A. nawawi Rambe : Jakarta : Widjaya, 1981, h. 24 xli Muhammad Natsir, Fiqh al-Da’wah, (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah, 1985), cet. 83 xlii Hasan Asa’ari , Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung : Mizan, 1994, 33 xliii Usaha lain yang di lakukan oleh nabi Mehammad SAW adalah mengirim guru-guru secara teratur ke berbagai wilayah yang baru masuk Islam dan telah menjadi salah satu kebijakan Nabi Muhammad SAW. Menurut catatan ahli sejarah , bahwa di mdinah terdapat sembilan Suffah yang di gunakan untuk melakukan kegiatan pendidikan dan da’wah Islamiyah. xliv Dikutip dari Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan islam pada Abad Klasik dan Pertengahan , terj. Abuddin Nata, h. 12 xlv Hasan al-Asa’ari, Op., Cit., h. 24 xlvi K. Ali, Op., Cit., h. 46