HUKUM DAN SUMBER-SUMBERNYA A. Sunber-Sumber Yang Bersifat Hukum Dan Sosial Sumber-sumber yang melahirkan hukum bisa digolongkan dalam dua kategori besar, yaitu sumber-sumber yang bersifat hokum dan yang bersifat social. Yang pertama merupakan sumber yang diakui oleh hokum sendiri sehingga secara langsung bias melahirkan atau menciptakan hukum. Adapun yang kedua merupakan sumber yang tidak mendapatkan pengakuan secara formal oleh hukum, sehingga tidak secara langsung bisa diterima sebagai hukum. Apabila kita melihatnya secara demikian, maka yang kita jadikan tolok ukur adalah keabsahan secara hukum dari substansi yang dikeluarkan oleh masing-masing sumber tersebut. Substansi yang dihasilkan oleh sumber-sumber adalah ipso jure, yang dengan sendirinya sah, sedang yang lain tidak dan dengan demikian hanya bias disebut sebagai sumber-sumber kesejarahan saja. Sebagai demikian, maka sumber social ini dapat disebut sebagai sumber bahan dan kekuatannya tidak otoritatif melainkan hanya persuasive. Situasi yang dihadapi oleh sumber-sumber hukum sebagai mana dikemukakan di atas tidak terlepas dari perkembangan masyarakat sendiri. Di muka telah dibicarakan model dikhotomi, yaitu yang membagi masyarakat ke dalam rezim tatanan primer dan sekunder. Pembedahan ini mengarah kepada pernyataan tentang adanya masyarakat dengan ciri-ciri hukum, atau masyarakat pra-hukum dan masyarakat yang sudah mengenal hukum. Pembedaan dalam sumber-sumber yang bersifat social dan hukum itu tentulah berada pada tingkat perkembangan masyarakat yang sudah memakai rezim tatanan sekunder. Di sini memang sudah dikenal pembedaan tajam antara yang social dan yang hukum dengan segala perkaitannya. Dengan demikian pula, pembedaan dalam sumber-sumber yang bersifat hukum dan social tentunya tidak berlaku pada masyarakat pra-hukum tersebut. B. Perundang-Undangan 1. Hakekat perundang-undangan Pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang untuk itu merupakan sumber yang bersifat hukum yang paling utama. Kegiatan dari badan tersebut disebut sebagai kegiatn perundang-undangan yang menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi kesahannya, yang ipso jure. Tindakan yang dapat digolongkan ke dalam kategori perundang-undangan ini cukup bermacam-macam, baik yang berupa penambahan terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada, maupun yang merubahnya. Hukum yang di hasilkan oleh proses seperti itu disebut sebagai hukum yang diundangkan (enacted law, statute law) berhadapan dengan hokum yang tidak diundangkan (unenacted law, common law). Orang Romawi menyebutnya jus scriptum dan jus non scriptum. Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memilki ciri-ciri sebagi berikut : 1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. 2. Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang kan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja. 3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. Dibandingkan dengan aturan kebiasaan, maka perundang-undangan memperlihatkan karakteristik suatu norma bagi kehidupan social yang labih matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastian. Hal ini tidak terlepas dari kaitannya dengan pertumbuhan negara itu sendiri. Aturan kebiasaan bisa dikatakan mengurusi hubungan antara orang dengan negara. Bentuk perundang-undangan itu tidak akan muncul sebelum pengertian Negara sebagai pengemban kekuasaan yang bersifat sentral dan tertinggi. Beberapa kelebihan dari perundang-undangan dibandingkan dengan norma-norma lain adalah : 1. Tingkat prediktibilitasnya yang besar. Hal ini berhubungan dengan sifat prospektif dari perundang-undangan, yaitu yang pengaturannya ditujukan kemasa depan. Oleh karena itu pula ia harus dapat memenuhi syarat agar orang-orang mengetahui apa atau tingkah laku yang diharapkan dari mereka pada waktu yang kan dating dan bukan yang sudah lewat. Dengan demikian, peraturan perundangundangan senantiasa dituntut untuk memeberitahu secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh masyarakat. Azas-azas hokum, seperti “Azas Tidak Berlaku Surut” memberikan jaminan, bahwa kelebihan yang demikian itu dapat dilaksanakan secara seksama. 2. Kecuali kepastian yang lebih mengarah kepada bentuk formal di atas, perundangundangan juga memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan, sekali peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan tersebut. Oleh karena itu orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu bias diterima atau tidak. Di samping kelebihan-kelebihan tersebut di atas, beberapa kelemahan yang terkandung dalam perundang-undangan adalah : 1. Kekakuannya, kelemahan ini sebetulnya sudah segera tampil sehubungan dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian. Apabila kepastian ini hendak dipenuhi, maka ia harus membayarnya dengan membuat rumusanrumusan yang jelas, terperinci dan tegar dengan risiko untuk menjadi normanorma yang kaku. 2. Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat umum mengandung risiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan demikian memperkosa perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan begitu saja. Terutama sekali dalam suasana kehidupan modern yang cukup kompleks dan specialistis ini, kita tidak mudah membuat perampatanperampatan. 2. Hakekat soaial dari perundang-undangan Sebagai sumber hukum, perundang-undangan mempunyai kelebihan dari normanorma social yang lain, karena ia dikaitkan pada kekuasaan yang tertinggi di suatu negara dan karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar sekali. Dengan demikian, adalah mudah bagi perundang-undangan untuk menentukan ukuran-ukurannya “sendiri” tanpa perlu menghiraukan tuntutan-tuntutan dari bawah. Namun demikian, cirri demokratis masyarakat-masyarakat dunia sekaran ini memberikan capnya sendiri terhadap cara-cara perundang-undangan itu diciptakan, yaitu yag menghendaki masuknya unsur-unsur social ke dalam perundang-undangan. Menghadapi perkembangan yang demikian itu tampaknya menjadi semakin kaburlah pemisahan secara ketat antara konsep sumber-sumber hukum yang atas bawah dan bawah atas tersebut di muka. Apabila batas-batas itu mulai merasuki satu sama lain, maka menjadi penting pulalah untuk mendekati masalah perundang-undangan ini secara social. Pertanyaan bukan hukum yang bisa diajukan di sini adalah : apakah perundangundangan itu memihak kepada nilai-nilai tertentu ataukah bebas nilai ? Seperti disebutkan di muka, kelebihan dari perundang-undangan di antaranya adalah karena ia bisa memberikan kepastian mengenai mengenai nilai tertentu yang dilindungi oleh hukum. Tetapi justru dengan menentukan nilai tertentu yang dilindungi oleh hokum. Tetapi justru dengan menentukan nilai tertentu secara demikian itu perundang-undangan terlibat ke dalam proses pembuatan pilihan-pilihan. Dengan demikian, maka secara sosiologis dapat dikatakan, bahwa penentuan nilai tersebut mengharuskan terjadinya pengutamaan terhadap suatu golongan tertentu di atas yang lain. Keadaan dan susunan masyarakat modern yang mengenal lapisan makin tajam menambah sulitnya usaha untuk mengatasi kecenderungan hukum atau perundangundangan untuk memihak tersebut. Dalam suasana kehidupan social yang demikian itu, mereka yang bertindak efektif adalah orang yang dapat menontrol intuisi-intuisi ekonomi dan politik dalam masyarakat. Oleh karena itu sulit untuk ditolak, bahwa perundangundangan itu lebih menguntungkan pihak yang makmur, yaitu mereka yang lebih aktif melakukan kegiatan politik. Kedaan yang demikian ini barang tentu berbeda dari satu negeri ke negeri yang lain. Masyarakat yang menjunjung liberalisme dan ekonominya kapitalis akan lebih menampilkan karakteristik social yang demikian itu daripada masyarakat yang menekankan pada unsur kebersamaan dalam kehidupan social dan politiknya. Di dalam masyarakat yang disebut pertama, perundang-undangan dilakukan untuk mendorong kepentingan golongan yang satu di atas yang lain. Dalam pertarungan demikian itu, tak dapat dihindari terjadinya kemajuan dalam pengutamaan kepentingan orang-orang tertentu, sedang golongan yang lain menjadi makin sengsara. 3. Bahasa perundang-undanagn Hukum di abad ke-duapuluh pada dasarnya adalah hukum yang dituliskan. Oleh karena itu, apabila dikatakan bahawa bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan hukum,maka disitu masih harus ditambahkan : bahasa yang dituliskan atau bahasa tertulis. Hukum dalam wujud bahasa tertulis ini tidak lain adalah perundangundangan. Bahasa dan ragam bahasa yang dipakai dalam perundang-undangan sekarang adalah unik untuk zamannya, karena dalam sejarah tidak selalu dijumpai penggunaan ragam bahasa yang sama dengan yang dipakai sekarang ini. Ragam bahasa perundang-undangan sekarang mempunyai cirinya sendiri yang khas, yaitu berusaha untuk memakai melalui penggunaan bahasa secara rasional. Oleh karena itulah kita bisa melihat perincian dari ciri utama tersebut ke dalam ciri-ciri berikut ini, yaitu : (1) Bebas dari emosi. (2) Tanpa perasaan dan (3) Datar seperti rumusan matematik. Dalam hubungan dengan masalah penggunaan bahasa ini, berikut ini dibicarakan dua fungsinya, yaitu : (1) sebagai alat komunikasi dan (2) sebagai suatu ragam tekhnis. (1) Sebagai sarana komunikasi, maka bahasa perundang-undangan harus dapat mengantarkan pikiran dan kehendak dari pembuat undang-undang kepada rakyat. Pada waktu dibicarakan mengenai azas-azas bagi suatu sistem hukum yang baik, kita telah mengutip pendapat Fuller yang diantaranya mensyaratkan, agar hukum itu dirumuskan dalam bahasa yang bisa dimengerti rakyat. Tetapi perkembangan dari hokum yang menjadi semakin formal dan rasional sekarang ini tampaknya tidak mudah untuk memenuhi persyaratan tersebut. Mengenai hal ini seorang pernah menulis sebagai berikut: “Sesudah membaca beberapa undang-undang, saya mempunyai perasaan, bahwa saya telah terkena racun kejiwaan. Saya berpendapat, bahwa pada beberapa rumusan perundang-undangan orang bertindak sangat sempit, terutama pada waktu membuat perincian peraturannya, sehingga hanya mereka yang mempunyai spesialisasi di bidang itu saja mengetahuinya. Terjadinya keterasingan antara undang-undang dan masyarakat yang merupakan akibat daripadanya, pada waktu nanti akan melakukan pembalasannya sendiri. Kita tidak bertanya, apakah undang-undang itu akan dapat bekerja efektif atau dapat dilaksanakan secara praktis dan dapat bekerja efektif atau dapat dilaksanakan secara praktis dan dapat pula dikontrol dengan baik. Tampaknya orang cukup puas dengan mengeluarkan undang-undang, tanpa memikirkan tentang kemungkinan pelaksanaannya. Dengan cara demikian itu, maka tindakan pembuat undang-undang lebih mudah dan layak untuk disebut simbolik, tidak efektif. Orang berpikir, bahwa dengan kata-kata di atas kertas kita dapat menyelesaikan persoalan-persoalan, sedang efektivitas sosialnya tetap berada dalam kegelapan.”. (2) Sebagai bahasa dengan ragam tekhnis, bahasa perundang-undangan merupakan sarana komunikasi di antara para ahli hukum. Di sini istilah-istilah diusahakan untuk dirumuskan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya untuk bisa memenuhi kebutuhan akan tuntutan kerja mereka itu. Istilah-istilah yang khusus diciptakan sebagai hasil dari consensus antara mereka, memudahkan mereka berhubungan satu sama lain dan menghindarkan kesalah-fahaman. Dengan demikian, apa yang dirasakan sebagai suatu yang memusingkan pada orang kebanyakan, di kalangan para ahli hukum justru merupakan sarana komunikasi yang dibutuhkan. Mereka ini tidak bisa bekerja dengan bahasa dan istilah-istilah yang umum dan samar-samar. Oleh karena itu untuk dapat memasuki dunia (para ahli) hukum, orang perlu memahirkan diri terlebih dahulu dalam ragam bahasa yang dipakai di situ. Pada saat kita membicarakan masalah interpretasi di belakang nanti, kita akan kembali kepada pembicaraan mengenai masalah ini. Bagaimanapun juga keadaan yang dihadapi dan pendapat orang mengenai perundangundangan dengan ragam bahasanya tersebut, perundang-undangan merupakan sarana yang diunggulkan dan sekaligus puncak dari perkembangan hukum. Ia tidak dapat dilepaskan dari peradaban manusia dan telah menjadi standar baginya sehingga lain-lain bentuk hukum sedikit banyak dianggap sebagai variasi yang abnormal. 4. Perundang-undangan sebagai instrumen kebijakan. Salah satu ciri dari hukum modern adalah penggunaannya secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kesadaran tersebut menyebabkan bahwa hukum modern itu menjadi begitu instrumental sifatnya dengan asumsinya, bahwa kehidupan social itu bisa dibentuk oleh kemauan social tertentu, seperti kemauan social dari golongan elit dalam masyarakat. Penggunaan hukum sebagai instrumen demikian itu merupakan perkembangan mutakhir dalam sejarah hukum. Untuk bisa samapai pada tingkat perkembangan mutakhir dalam sejarah hokum. Untuk bisa sampai pada tingkat perkembangan yang demikian itu memang diperlukan persyaratan tertentu, seperti timbulnya pengorganisasian social yang makin tertib dan sempurna. Pengoraganisasian yang demikian itu tentunya dimungkinkan oleh adanya kekuasaan di pusat yang makin efektif, dalam hal ini tidak lain adalah negara. Dari sejarah perkembangan bangsa-bangsa di Eropa, apa yang dikemukakan di atas memang tampak dengan jelas. Pada sekitar seratus tahun yang lalu oran masih beranggapan, bahwa pembuat undang-undang itu tugasnya tidak lain adalah untuk mencatat atauran-aturan yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat dan kemudian menuangkannya dalam bentuk undang-undang, itu pun hanya dalam keadaan-keadaan yang memang sangat memerlukan . Dengan demikian pola bawah-ke-atas merupakan konsep yang dominan dan hukum kebiasaan merupakan instrumen yang diunggulkan. Kalaupun kekuasaan tertinggi bisa menuangkannya dalam bentuk undang-undang merubahnya ia tak boleh. Secara pelan-pelan keadaan berubah dan pembuatan hukum dalam artian yang sesungguhnya mulai diambil alih oleh kekuasaan tertinggi dalam negara dan sebaliknya peranan hukum kebiasaan semakin mengecil. Perkembangan yang demikian itu pada akhirnya mencapai puncaknya pada akhir abad ke-delapanbelas dan permulaan abad kesembilanbelas. Pada waktu itu negara pun memperoleh monopoli kekuasaan dalam wujud pembuatan dan pelaksanaan hokum. Sejak saat itu keragu-raguan tentang kedudukan negara sebagai satu-satunya kekuasaan yang boleh membuat perundangundangan telah hilang. Sebagai kelanjutan dari perkembangan yang demikian itu, setiap kebijakan yang ingin dilaksanakan harus melalui satu atau lain bentuk perundang-undangan. Tanpa prosedur yang demikian itu kesahan dari tindakan pemerintah dan negarapun dipertanyakan. Perkembangan yang demikian ini menyuburkan pembicaraan tentang kemungkinankemungkinan. Sekalipun demikian, ada semacam pedoman yang umum sifatnya, yaitu agar pengadilan menerima litera legis itu sebagai bukti yang satu-satunya dan yang menentukan bagi sentential legis tersebut. Interpretasi oleh badan tersebut hendaknya dimulai dari pengandaian bahwa pembuat undang-undang telah mengutarakan apa yang dimaksudkannya dan menyatakan maksudnya sebagaimana diutarakannya. Prinsip interpretasi yang pertama, dengan demikian, adalah ita scriptum est. Para Hakim hendaknya mulai dengan percaya dan tidak dengan kecurigaan, bahwa sentetia legis itu tidak teruraikan secara lengkap dan jelas. Konsep interpretasi yang demikian itu sangat mirip dengan yang diajukan oleh Paul Scholten. Scholten juga memegang azas, bahwa hukum itu ada di dalam perundangundangan, sehingga orang harus memberikan tempat yang tinggi kepadanya. Sekalipun hukum itu ada di situ, tetapi ia masih harus dicari, karena kita tidak bias “memungutnya” begitu saja dari kata-kata dan kalimat-kalimat dari undang-undang tersebut. Di sinilah kita menemukan perpaduan anatara litera legis dan sententia legis sebagaimana disebutkan dimuka. “Hukum itu ada, tetapi ia harus ditemukan dalam penemuan itulah terdapat yang baru”. Perpaduan antara litera legis dan sentential legis itu dapat dilihat pada perkembangan langkah-langkah penafsiran berikut ini. Usaha ini dimulai dari penentuan mengenai arti harafiah dari perundang-undangan, yaitu yang lebih merupakan penerapan hukum dalam kerangka kebahasaan. Di sini artinya dicoba untuk ditarik dengan menggunakan norma. Keseluruhan kecenderungan zaman modern sekarang adalah ke arah proses yang, sejak zaman Bentham, dikenal sebagao kodifikasi, yaitu reduksi terhadap seluruh corpus juris, sejauh menjadi praktis, dalam bentuk hokum perundang-undangan. Dalam hal ini Inggeris sangat ketinggalan dibanding dengan Eropa Daratan. Sejak pertengahan abad kedelapanbelas proses itu telah berlangsung di negara-negara Eropa, dan sekarang ini telah sama sekali selesai. Hampir dimana-mana, kumpulan kuna yang tediri dari hukum-hukum sipil, gereja, kebiasaan dan perundang-undangan, telah memberikan tempat untuk peraturan-peraturan yang disusun dengan sedikit banyak ketrampilan dan sukses…”. Gambaran di atas menunjukan bagaimana kodifikasi itu dimulai dari permulaan sekali, yaitu pada waktu di Eropa masih terdapat bermacam-macam jenis hukum, yang oleh Salmond disebut sebagai “medley”. Kebutuhan untuk melakukan kodifikasi juga timbul pada saat hukum perundang-undangan sudah berkembang menjadi suatu badan yang demikian besar dan banyaknya, sehingga orang tidak bisa dengan mudah memperoleh orientasi. Tujuan umum dari kodifikasi adalah untuk membuat kumpulan perundangundangan itu sederhana dan mudah dikausai, tersusun secara logis, serasi dan pasti. Sukses yang sudah dicapai dalam kodifikasi ini membangkitkan kegembiraan dan optimisme, bahwa semua persoalan hukum telah diselesaikan dan bahwa setiap kejadian dapat diputus atas dasar deduksi dari peraturan yang tersedia. Tetapi segera tampak, anggapan bahwa kodifikasi itu cukup untuk mengatasi semua persoalan hukum adalah berlebih-lebihan. Apabila orang mengira, bahwa semuanya sudah tercakup di dalam kodifikasi, maka sesungguhnya ia hanya membuka jalan bagi terjadinya kesulitan-kesulitan di belakang hari. Hal ini desebabkan, oleh karena problemproblem akan timbul sesuai dengan perkembangan masa. Bagaimanapun, pembuat hukum tidak akan mampu untuk mengatasi adanya kekurangan-kekurangan dan kelemahan dalam dalam perundang-undangan pada umumnya dan kodifikasi pada pada khususnya. Kemenduaan (ambiguity), ketidakjelasan serta konflik-konflik antar bagian sendiri, merupakan sebagian dari kemungkinan kekurangan dan kelemahan yang demikian itu. Sesuai dengan Hukum proses social, yaitu bahwa problem (baru) senantiasa akan timbul, maka bagaimanapun sempurnanya pembuat hokum mengatasi kekurangakekurangan tersebut, ia tak dapat menolak timbulnya problem problem baru di kemudian hari. Dan apabila yang demikian itu timbul, maka yang sudah sempurnapun akan menjadi kurang. Berdasarkan gambaran keadaan dan perkembangan kodifikasi sebagaimana dikemukakan di atas, maka cara yang paling baik untuk mendaya-gunakan kodifikasi adalah mengusahakan agar ia tetap bisa dipakai untuk menjadi sandaran bagi pemecahan problem-problem hukum di belakang hari. Dengan kata lain perundang-undangan dan kodifikasi itu harus lentur, tidak boleh kaku. Salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam banyak tulisan atau litera scripta itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan sesuatu ide atau pikiran. Sehubungan dengan hal yang disebut belakangan ini orangpun suka menyebut tentang adanya semangat dari suatu peraturan. Oleh karena itu, usaha untuk menggali semangat yang demikan itu merupakan bagian dari keharusan yang melekat pada hukum perundang-undangan dan yang tidak diperlukan pada hukum kebiasaan. Usaha tersebut akan dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi atau konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan atau bentuk-bentuk otoritatif itu. Keadaan yang ideal sebetulnya adalah manakala interpretasi tersebut tidak diperlukan atau sangat kecil peranannya. Ia bisa tercapai apabila perundang-undangan itu bisa dituangkan dalam bentuk yang jelas. Pertama, kewajiban pengadilan untuk menyingkap dan mendasarkan tindakannya pada maksud yang sesungguhnya dari badan pembuat undang-undang, yaitu : mens atau sentitia legis-nya. Filsafat yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa inti dari undang undang terletak di dalam semangatnya, sedangkan kata-kata itu hanya dipakai untuk mengutarakan maksud yang terkandung di dalamnya. 5. Kodifikasi dan Interpretasi. Berulang kali telah dibicarakan, bahwa kelebihan dari hukum perundangundangan adalah dalam segi kepastiannya. Kepastian ini dijamin oleh adanya pembuatan hokum yang dilakukan ini dijamin oleh adanya pembuatan hukum yang dilakukan secara sistematis oleh badan-badan yang khusus untuk itu dan tekhnik-tekhnik perumusannya yang terpelihara dan dikembangkan secara baik. Inti dari kesemuanya adalah dipakainya bentuk pengutaraan secara tertulis, jus scriptum. Keadaan yang demikian itu menciptakan jalan perkembangan sendiri, yaitu berkembangnya peraturan-peraturan dalam bentuknya yang tertulis tersebut, suatu corpus juris. Manakala jumlah peraturan itu telah menjadi demikian banyak, maka orang pun mulai berusaha untuk mencari jalan bagaimana dapat menguasai badan perundangundangan itu dengan baik. Jalan ke luar ini disebut kodifikasi. C. K E B I A S A A N Peranan kebiasaan dalam kehidupan hukum pada masa sekarang ini memang sudah banyak merosot. Sebagaimana ditulis di muka, ia tidak lagi merupakan sumber yang penting sejak ia didesak oleh perundang-undangan dan sejak system hukum semakin didasarkan pada hukum perundang-undangan jus scriptum. Peranan kebiasaan yang besar telah kita bicarakan pada waktu dikemukakan dua model masyarakat dari Hart, yaitu masyarakat dengan tatanan aturan-aturan kewajiban primer dan sekunder. Pada tatanan yang disebut pertama, pedoman tingkah laku yang dibutuhkan masih sangat sederhana dan mampu dicukupi oleh norma-norma yang elementer sifatnya. Sifat elementer ini terlihat baik pada isi maupun bentuknya. Bagaimanapun juga, yang penting untuk dicatat disini adalah, bahwa norma-norma pada tatanan seperti itu sangatlah dekat dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Tidak seperti halnya pada perundang-undangan, waktu itu belum dijumpai usaha yang dilakukan secara sadar untuk membuat pedoman tingkah laku dalam bentuk yang formal definitive, yaitu tertulis. Sebagaimana diutarakan di muka, munculnya hukum perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari struktur pengorganisasian dalam masyarakat, yaitu tampilnya satu kekuasaan-kekuasaan lain di dalamnya. Kekuasaan yang demikian itu tidak bisa menerima adanya kekuasaan disampingnya. Berkembangnya hukum perundangundangan, yang hanya bersumber pada badan perundang-undangan yang berwenang itu, membawa serta timbulnya kelompok pemikiran serta ajaran yang mendukung perkembangan tersebut, yaitu para dogmatisi hukum atau ahli hokum dogmatic. Mengenai masalah ini, bagi ahli sejarah yang menekuni fakta-fakta, hokum kebiasaan merupakan hidangan yang lezat, tetapi bagi para dogmatisi merupakan suatu perkosaan, oleh karena itu ia tidak bisa membangun system hukumnya mulai dengan hokum kebiasaan. Tetapi bagaimanapun, kebiasaan tidak dapat sama sekali ditinggalkan, sekalipun suatu negara telah memakai system hukum perundang-undangan, Ini terutama terjadi apabila kita tetap tidak melepaskan dari pikiran kita mengenai adanya masyarakat di samping negara. Sekalipun negara telah menjadi organisasi yang bersifat nasional, namun berdirinya tidak bisa menghapuskan masyarakat, berati pada waktu yang bersamaan, pada satu wilayah, kita menjumpai dua macam “masyarakat”, masyarakat hukum dan masyarakat social. Masyarakat hukum dioraganisasi oleh hukum perundang-undangan, sedang lainnya oleh norma-norma social, termasuk didalamnya kebiasaan. “Kebiasaan bagi masyarakat adalah hukum bagi negara”. Keduanya tidak saling meniadakan. Masing-masing merupakan ekspresi dan perwujudan azas-azas hukum dan keadilan menurut pandangan dan kemampuan manusia. Perbedaannya terletak pada hukum yang membedakan azas-azas tersebut bukan melalui kekuasaan negara, melainkan melalui penerimaan dan persetujuan dari pendapat umum masyarakat keseluruhannya. Seperti diutarakan di muka, dengan diterimanya system hukum perundang-undangan sebagai system yang dominan maka masuknya kebiasaan ke dalam system hukum haruslah dengan sepengetahuan hukum perundang-undangan pula. Hal ini terjadi, misalnya, melalui suatu peraturan yang mengatakan, bahwa “Praktek-praktek yang diterima secara diam-diam termasuk dalam perjanjian, sekalipun hal itu tidak ditegaskan di dalamnya”, Perkembangan kedaan yang demikian ini sebetulnya menimbulkan persyaratan bagi berlakunya dan diterimanya kebiasaan, yaitu bahwa ia tidak bertentangan dengan hukum perundang-undangan. Kebiasaan serta praktek-praktek yang dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat memeng tak boleh dikesampingkan begitu saja, manakala kita ingin benar-benar mempelajari dan mengetahui hukum yang sungguh-sungguh berlaku dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Cukup banyak praktek-praktek yang dijalankan yang menyampingkan keharusan-keharusan yang dituntut oleh hukum perundang-undangan. Ini berarti bahaa di bawah permukaan kehidupan hokum perundang-undangan dapat dijumpai suatu tatanan kehidupan yang sedikit banyak mantap juga, tetapi yang didasarkan pola-pola tingkah laku yang bukan didasarkan pada hokum perundangundangan. Barangkali baik sekali apabila kita mengutip kalimat Vinogradoff yang mencoba merumuskan tatanan kehidupan yang demikian itu sebagai didasarkan pada : “….praktek-praktek dalam kehidupan sehari-hari yang dituntun oelh pertimbangan memberi dan menerimadalam lalu lintas hubungan antara orang-orang serta kerja sama antara orang-orang yang bersifat masuk akal…” Kita lihat dalam ungkapan tersebut, bahwa yang menjadi ukuran bukannya apakah perbuatan tersebut sesuai dengan peraturan hukum, melainkan dengan ukuran masuk akal atau pantas atau layak. Untuk memperjelas apa yang dikehendaki oleh Vinogradoff, berikut ini dimuat kelanjutan dari kutipan di atas. “Baik kewarisan, hak milik serta perjanjian tidak dimulai oleh perundangundangan atau pun konflik. Kewarisan mempunyai akar-akarnya pada keharusan untuk mengatur rumah tangga yang kepalanya meninggal dunia. Hak milik mulai dengan menduduki dan menguasai sesuatu (occupation). Asal usul kontrak dapat dilacak kembali samapai kepada tukar-menukar.” Dengan uraiannya itu Vinogradof hendak menunjukkan betapa kuatnya peranan tingkah lakau serta hubungan-hubungan yang bukan berdasar pada hukum perundang-undangan bagi timbulnya tatanan dalam masyarakat. Penelitian-penelitian sosiologi hukum juga banayak mengungkapakan berlakunya praktek-praktek yang demikian itu sekalipun suatu negara memakai sistem hukum perundang-undangan. D. PRESEDEN Preseden ini merupakan suatu lembaga yang lebih dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law System. Sejumlah besar jus non scriptum yang membentuk sistem common law itu sendiri hampi seluruhnya darai dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil ini dihimpun ke dalam sejumlah sanagat besar law report yang sudah mulai sejak akhir abad ke-tigabelas. Keadaan ini dimungkinkan karena sistemnya mengikuti azas stare decisis, yang artinya adalah “berhenti pada atau mengikuti keputusan-keputusan”. Apabila muncul situasi atau serangkaian fakta-fakta seperti pernah terjadi sebelumnya, maka keputusan yang akan diberikan oleh pengadilan dapat diharapkan sama dengan keputusan yang dijatuhkan pada waktu itu. Karakteristik dari sistem yang demikian ini dapat kita lihat pada rumusan hakim O.W. Holmes tentang hukum yang kemudian dikenal sebagai Holmesian Dictumberikut ini, “The prophecies of what the courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I mean by the law”. Salah satu esensi dari doktrin atau ajaran preseden dalam sistem common law adalah, bahwa ketentuan-ketentuan hukum itu dikembangkan dalam proses penerapannya. Hal ini berarti, bahwa ia merupakan hasil karya dari para Hakim dan bukan dari para ahli hukum yang lain, seperti pengajar-pengajar dari perguruan tinggi, bagaimana pun pandainya mereka ini. Sebaliknya, karya-karya hakim itu hanya diakui sebagai hukum manakala ia dihasilkan dalam suatu proses pengadilan..