BUKU MODUL INDUK NEUROVASKULAR KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA (KNI) PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA (PERDOSSI) 2009 1 MODUL INDUK NEUROVASKULAR 1. Stroke Iskemik (Trombosis, Emboli) 2. Stroke Perdarahan (Subarakhnoid, Intraserebral) 3. Trans Cranial Doppler (TCD) / Carotid Duplex Sonography (CDS) PENYUSUN Dr. Lyna Soertidewi Sp.S (K), M.Epid PENYUSUN PEMBANTU Prof. Dr. Yusuf Misbach Sp.S (K) Dr. Salim Harris Sp.S (K) Dr. Freddy Sitorus Sp.S (K) Dr. Mursyid Bustami Sp.S (K) Dr. Al Rasyid Sp.S Dr. Silvia Lumempouw Sp.S (K) DR. Jan Purba Zr. Enny Mulyatsih Modul ini telah dipresentasikan kepada seluruh Ketua Program Studi Institusi Pendidikan Dokter Spesialis Saraf . Para Ketua Program Studi tersebut adalah sebagai berikut : Dr. Abdul Muis, Sp.S(K) - KPS Unhas Makassar Dr. Ahmad Asmedi, Sp.S - KPS UGM Yogyakarta Dr. Endang Koestiowati, Sp.S(K) - KPS Undip Semarang Dr. Mohammad Saiful Islam, Sp.S(K) - KPS Unair Surabaya Dr. Jofizal Jannis, Sp.S(K) - KPS UI Jakarta Dr. Rusli Dhanu, Sp.S - KPS USU Medan Dr. Alwi Shahab, Sp.S(K) - KPS Unsri Palembang Dr. Thamrin Syamsudin, Sp.S(K),M.Kes - KPS Unpad Bandung Dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S - KPS Unand Padang Prof. DR. Dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) - KPS Unud Denpasar 2 1. ALOKASI WAKTU Mengembangkan Kompetensi Sesi di dalam kelas Waktu (selama 1 semester / 6 bulan) 8X 2 jam (classroom session) : 2 x 2 jam TCD / CDS 3 x 2 jam pengetahuan stroke iskemik & stroke perdarahan (epid, patofisiologi) 3 x 2 jam manajemen stroke iskemik & stroke perdarahan Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 1x per minggu/ 1jam (coaching session) dalam kurun waktu 1 bulan stase di TCD / CDS 1 bulan stase ruangan stroke unit 2 bulan stase ruang rawat 2 bulan stase poliklinik Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 1x per minggu / 1jam (facilitation and assessment) dalam kurun waktu 1 bulan stase di TCD / CDS 1 bulan stase ruangan stroke unit 2 bulan stase ruang rawat 2 bulan stase poliklinik 2. TUJUAN UMUM 1. Melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat 2. Mempersiapkan para kandidat dalam menangani masalah masalah penyakit secara klinis sehingga mampu mengatasi berbagai masalah dibidang neurologi terutama stroke yang akan dihadapi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta kompetensi sebagai spesialis saraf 3. TUJUAN KHUSUS 1. Mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penyakit terutama dari aspek ilmu-ilmu dasar untuk melaksanakan kegiatan promosi, prevensi, kurasi, rehabilitasi dan kegawatan. 2. Memiliki pengetahuan mendasar untuk melakukan analisis penyakit secara klinis. komunitas maupun science, dan mempunyai ketrampilan mengobati penderita sehingga menjadi lebih baik 3. Berpartisipasi aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan mempunyai ketrampilan dalam penerapan ilmu pada penderita yang memerlukan pertolongan 4. Dapat bekerja sama dengan profesi lain demi kepentingan pasien dan ilmu pengetahuan 5. Mampu menerapkan prinsip-prinsip dan metode berfikir ilmiah dalam menerapkan ilmu kedokteran, khususnya bidang neurologi 3 6. Mampu mengenal, merumuskan pendekatan penyelesaian dan menyusun prioritas masalah neurologi dengan cara penalaran ilmiah, melalui perencanaan, implementasi dan evaluasi terhadap upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan kegawat daruratan neurologi khususnya stroke 7. Mampu menangani kasus kasus dengan kemampuan profesional yang tinggi melalui pendekatan Evidance Base Medicine 8. Mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dasar, klinis dan lapangan serta mempunyai motivasi mengembangkan pengalaman belajar sehingga dapat mencapai tingkat akademis lebih tinggi 9. Bersifat terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu dan tehnologi atau masalah yang dihadapi masyarakat 4. STRATEGI PEMBELAJARAN Pembelajaran diselenggarakan di Rumah Sakit Pendidikan dan Rumah Sakit Lahan / Jejaring Pendidikan Pelatih memberi kuliah dengan topik yang relevan, mutakhir, dengan memperhatikan evidence-based medicine Pelatih memberi peluang / kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan diskusi, baik antara pelatih dengan peserta didik maupun antar peserta didik Pelatih memberi peluang / kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan simulasi pemeriksaan fisik lengkap (umum dan neurologik) sambil menulis hasil yang ditemukan dalam status pemeriksan fisik neurologik lengkap Pembelajaran ini difasilitasi oleh seorang atau lebih pelatih yang bertanggung jawab terhadap penyelesaian modul secara lengkap, sampai dengan evaluasi pencapaian kompetensi Pelatih menyiapkan kasus-kasus yang relevan dengan tujuan pembelajaran Peserta didik mengerjakan pre-test, evaluasi ditengah-tengah proses pembelajaran, dan ujian akhir yang berkaitan dengan kompetensi peserta didik RINCIAN STRATEGI PEMBELAJARAN, DENGAN MENGACU PADA TUJUAN AKHIR PEMBELAJARAN AGAR TERCAPAI KOMPETENSI, adalah sebagai berikut: Tujuan-1: Mengenali gejala dan tanda klinik (termasuk gejala dini) yang khas untuk stroke iskemik dan stroke perdarahan Menggunakan ceramah, diskusi interaktif, penayangan video, referat, tugas baca Peserta didik menjelaskan manfaat pengenalan gejala dan tanda klinik (termasuk gejala dini) yang khas untuk stroke iskemik dan stroke perdarahanan sehubungan dengan penegakan diagnosis, rencana pemeriksaan penunjang, pemberian terapi (suportif, medikamentosa, operatif, rehabilitatif) dan prognosis sampai dengan rencana kepulangan termasuk prevensi sekunder Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik Tujuan-2: Mengidentifikasi jenis stroke serta prakiraan lokasi kerusakan dalam otak Pembimbing menjelaskan langkah-langkah pengambilan anamnesis berdasarkan nilai-nilai humanistik, untuk memperoleh informasi yang relevan dengan keluhan pasien 4 Peserta didik melakukan anamnesis dengan metode role-play untuk kasus simulasi atau bed site teaching untuk kasus nyata Peserta didik menunjukkan tatacara anamnesis yang sesungguhnya pada pasien stroke (iskemik dan perdarahan) sesuai dengan keluhan pasien Peserta didik menunjukkan kemampuan untuk mengidentifikasi stroke iskemik atau stroke perdarahan serta prakiraan lokasi kerusakan otak (hemisfer kanan-kiri, kortikal – subkortikal – batang otak, anterior - posterior, lakunar, partial oklusi – total oklusi) berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan klinis lainnya termasuk penilaian Stroke Siriradj Score dan klasifikasi Bamford Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik Tujuan-3: Menunjukkan pemeriksaan fisik secara efektif Peserta didik menjelaskan cara pengisian dan mengisi STATUS NEUROLOGIS termasuk NIHSS, MMSE, indeks Barthel dan Modified Rankin Scale Peserta didik melakukan simulasi pemeriksaan fisik-neurologik (termasuk penggunaan alat bantu) untuk kasus simulasi atau pemeriksaan fisik saat bed site teaching dengan kasus nyata Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. Tujuan-4: Menunjukkan kemampuan dalam pendekatan diagnostik Peserta didik menjelaskan gejala dan tanda klinik yang dijumpai Peserta didik menjelaskan interpretasi hasil laboratorium, hasil pemeriksaan CT Scan, MRI, MRA, TCD/CDS, echocardiography,TTE dan TEE Peserta didik membuat diagnosis (klinis, topik, etiologik, dan patologi-anatomik) dan diagnosis banding Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching) atau kasus simulasi (role play) Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik Tujuan-5: Menunjukkan kecakapan dalam hal penalaran klinik Peserta didik merangkum hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik-neurologik secara sistematik Peserta didik menjelaskan perlunya dilakukan pemeriksaan penunjang (laboratorik, neuro-imaging, radiologik, dan lainya) sesuai dengan indikasi Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching) atau kasus simulasi (role play) Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik Tujuan-6: Membuat keputusan diagnostik dan terapetik yang tepat Peserta didik menjelaskan alasan keputusan diagnostik dan diagnostik banding yang dibuat berdasarkan hasil rangkuman anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Peserta didik menjelaskan alasan pemberian terapi yang berkaitan dengan diagnosis Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching) atau kasus simulasi (role play) Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik 5 Tujuan-7: Memahami keterbatasan pengetahuan seseorang Peserta didik menjelaskan alasan untuk membuat rujukan kepada departemen lain Peserta didik mengiterpretasi hasil rujukan Peserta didik mengambil keputusan diagnostik, pemeriksaan anjuran tambahan, terapetik dan prognosis setelah mempertimbangkan jawaban rujukan Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching) atau kasus simulasi (role play) Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik Tujuan-8: Memerhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang ditanggung oleh pasien Peserta didik menjelaskan alasan pemeriksaan penunjang dan rujukan Peserta didik menjelaskan pemberian terapi sesuai dengan guidelines nasional stroke dan evidence-based medicine Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching) atau kasus simulasi (role play) Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik Tujuan-9 :Menunjukkan kecakapan dalam hal rencana memulangkan pasien termasuk prevensi sekunder, KIE (Komuniasi, Informasi dan Edukasi) pada pasien dan keluarga, neurorestorasi/neurorehabilitasi Peserta didik merangkum dan menganalisi seluruh masalah sebagai dasar untuk penyusunan rencana memulangkan pasien termasuk rencana kontrol dan lanjutan terapi medikamentosa serta neurorestorasi/neurorehabilitasi Peserta didik melakukan komunikasi dan memotivasi pasien dan keluarga dalam hal informasi dan edukasi tentang stroke iskemik dan stroke perdarahan untuk pencegahan sekunder bagi penderita dan pencegahan primer bagi keluarganya. Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata (bed site teaching) atau kasus simulasi (role play) Pembimbing memberikan feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik 5. PERSIAPAN SESI Ruang Kuliah Peralatan Audiovisual Kasus : Stroke Iskemik (embolik) dengan Fibrilasi Atrial dan Stenosis Mitral Stroke Perdarahan di Lobus Frontal Stroke Perdarahan Subarakhnoid Stroke Iskemik dengan Faktor Risiko Multipel Alat Bantu Latih : Tensimeter, stetoskop, palu refleks, senter, garpu tala, jarum, oftalmoskop, kapas, kopi, teh, larutan KJ, tepung, selimut Video tentang Stroke (Pemeriksaan Neurologi, NIHSS) Computer Assisted Learning Material Materi presentasi termasuk VCD /DVD kasus stroke Status pemeriksaan neurologi klinik, status pemeriksaan penapisan neurobehavior (MMSE),lembar formulir indeks Barthel, lembar penilaian NIHSS, lembar penilaian Modified Rankin Scale, hasil laboratorium, gambaran pemeriksaan imajing, hasil TCD/CDS, hasil echocardiography 6 Penuntun Belajar Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Stroke termasuk kelengkapan referensi Daftar Tilik Kompetensi Penatalaksanaan Stroke 6. REFERENSI Buku Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf, Kolegium Neurologi Indonesia (KNI), PERDOSSI, 2006 Konsensus Nasional Stroke, PERDOSSI Guidelines Nasional Stroke seri pertama, PERDOSSI, 2000 Guidelines Nasional Stroke seri kedua, PERDOSSI, 2001 Guidelines Nasional Stroke (revisi), PERDOSSI, 2004 Gudelines Nasional Stroke, PERDOSSI, 2007 Adams and Victors. Principles of Neurology. 8th ed, Mc Graw Hill, 2005 Warlow CP dkk. Stroke. A Practical Giude to Management. 2nd ed, Blackwell Science, 2001 Bennett HJM, Stein BM. Stroke. Pathophysiology, Diagnosis and Management. 2nd ed, Churchill Livingstone, 1991 Fisher M, Bogousslausky J. Current Review of Cerebrovascular Disease. 3rd ed, Butterworth Heinemann, 1999. Perkin GD. Mosby’s Color Atlas and Text of Neurology 2nd ed, Elsevier Limited 2004 McCartney RVT et al. Handbook of Transcranial Doppler, Spinger, 1997 Aaslid R. Transcranial Doppler Sonography. Spinger-Verlag, New York, 1986 . 7. KOMPETENSI Setelah menyelesaikan modul neurovaskular ini diharapkan para peserta didik memiliki kompetensi menyeluruh dan terpadu tentang stroke iskemik, stroke perdarahan intraserebral (stroke PIS), stroke perdarahan subarakhnoid (stroke SAH), TCD (Trans Cranial Doppler) / CDS (Carotid Duplex Sonography) yang mencakup pengetahuan dan ketrampilan tentang epidemiologi, anatomi vaskular dan sirkulasi darah serebral, patofisiologi, patogenesis, biomolekular, faktor risiko, karakteristik dan jenis stroke, pemeriksaan klinik dan penunjang yang diperlukan serta manajemennya. Pencapaian kompetensi ini diselaraskan dengan prinsip kompetensi (Bab II angka 1) dan ruang lingkup kompetensi (Bab II angka 9) yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf tahun 2006. Indikator hasil pembelajaran yang diharapkan setelah menyelesaikan modul ini tercantum di dalam Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf, halaman 37 (2.1) tentang neurovaskular, halaman 84 (4.6.1) tentang Carotid Dopler, halaman 85 (4.6.2) tentang Transcranial Dopler, halaman 88 (4.9) tentang Trombolisis. 8. GAMBARAN UMUM Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan praktik ketrampilan dalam hal manajemen stroke secara komprehensif dengan memperhatikan azas cost-effectiveness dan evidence based medicine, melalui pendekatan pembelajaran berbasis kasus (case-based learning). Subyek yang 7 dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah sebagai berikut : Stroke (iskemik dan perdarahan) dasar dan klinik Evaluasi diagnostik (pemeriksaan fisik umum, neurologik, evaluasi stroke siriradj skor, NIHSS, Bamford classification, pemeriksaan CDS / TCD, Neurobehavior dan pemeriksaan penunjang lainnya yang terkait dengan stroke seperti CT Scan, MRI, MRA, TEE, TTE dan Laboratorium klinik) Evaluasi faktor risiko major dan minor Terapi farmakologik, indikasi terapi operasi serta terapi lainnya (termasuk trombolisis, neurorestorasi-neurobehavior) Preventif primer dan sekunder Rencana pulang – KIE keluarga dan pasien tentang diet, neurorehabilitasi, kontrol, medikamentosa, persiapan rumah 9.CONTOH KASUS Stroke (”Brain attack”) merupakan suatu istilah klinis dari gangguan fungsi otak yang terjadi mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menyebabkan kematian dan tidak ada penyebab lain selain vaskular. Secara patologi, stroke dibedakan menjadi iskemik dan perdarahan. Kasus 1 Seorang perempuan umur 43 tahun, ibu rumah tangga, mempunyai dua orang anak, datang di poliklinik saraf dengan keluhan tidak bisa bicara dan lengan kanan tidak bisa digerakkan. Sepuluh jam sebelum datang ke rumah sakit, saat keluar dari kamar mandi, tiba tiba pasien kesulitan mengenakan baju (lengan kanan terasa lemah dan berat saat diangkat) dan bicara menjadi tidak jelas. Pasien masih dapat berjalan dengan dipapah. Pasien tidak pernah menderita sakit sebelumnya kecuali kadang kadang mengeluhkan nyeri dada sebelah kiri dan sesak disertai jantung berdebar terutama bila kelelahan. Pasien minum obat oral kontrasepsi sejak usia 30 tahun tetapi telah berhenti sejak 5 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah kanan dan kiri 120/80 mmHg, freukensi nadi 80x/menit, irreguler dan isi cukup, frekuensi nafas 16x/menit dan suhu aksila 37º C. Tekanan jugular tidak meningkat (5-2cmH2O), tidak terdengar bruit karotis, oftalmika maupun temporal pada kedua sisi. Pada auskultasi paru, tidak terdapat ronki maupun mengi dan pada jantung terdengar bunyi jantung I-II irreguler dan terdenger murmur diastolik. Pada perkusi, tidak ada pembesaran jantung. Dari pemeriksaan neurologis, didapatkan pasien sadar, GCS : E4M6V afasia, paresis nervus VII dan XII sentral kanan, hemiparesis kanan kekuatan ekstremitas atas dan bawah 3/3/3/3 dan 4/4/4/4, hemihipestesi kanan, refleks fisiologis normal dan rekleks patologis (Babinsky) negatif. Fungsi otonom baik, fungsi luhur terdapat afasia motorik dan NIHSS saat masuk 9. Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 1 1). Faktor risiko apa yang didapatkan pada kasus ini? Gejala dan tanda klinis yang didapatkan? 2). Terangkan Patogenesisnya? 3). Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan pada kasus ini ? 8 Apa indikasinya? Terangkan tentang cara dan hasil pemeriksaan penunjang : Ekhokardiograpi (EKG) Pemeriksaan TCD/Carotid Duplex Sonography (CDS) Pemeriksaan MRI / MRA Pemeriksaan TEE dan TTE 4). Pemeriksaan laboratorium apa saja yang diperlukan? 5). Diagnosis kerja (termasuk penilaian Siriradj Skor- Bamford Classification) 6). Diagnosis klinis, topis, etiologis dan patologi-anatomik ? Diagnosis Banding? 7). Manajemen komprehensif – preventif - kuratif – rehabilitatif dan manajemen emergensi di UGD dan Ruang Rawat serta kerjasama / konsultasi dengan departemen terkait sesuai dengan kasusnya 8). Monitoring – evaluasi harian (Follow up yang ditekankan pada pemecahan masalah (problem solving)yang terjadi dari hari ke hari sampai pasien sembuh) 9). Cara pemeriksaan NIHSS untuk penilaian keluaran pasien stroke 10). Bagaimana prognosis kasus ini – ad vitam, ad functionam dan ad sanationam 11). Rencana pulang termasuk rencana : * Neurorehabilitasi * Evaluasi Neurobehavior * Prevensi sekunder * Cara dan Hasil pemeriksaan Barthel indeks dan Modified Rankin Scale serta evaluasi berkalanya dan kegunaannya * Pengetahuan apa saja yang akan diberikan dalam kegiatan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) pasien dan keluarga 12). Sistem Rujukan Diskusi kasus 1 Stroke Iskemik (embolik) dengan Fibrilasi Atrial dan Stenosis Mitral Kasus ini adalah stroke dengan emboli dan fibrilasi atrial serta stenosis mitral. Pemeriksaan penunjang untuk kasus ini adalah pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap, hemostasis lengkap, kimia darah dan elektrolit serta analisa gas darah, foto torak, EKG, TTE (trans torakal echocardiography) dan TEE (transesophageous echocardiography) yang dilakukan oleh bagian jantung / penyakit dalam dan skening otak (CT Scan) dan MRI yang dilakukan oleh bagian radiologi. Emboli yang dapat menyebabkan stroke adalah akibat dari partikel trombus yang mengoklusi pembuluh darah otak. Emboli biasanya berasal dari jantung, aorta, arteri karotis, a.vertebralis, dan sirkulasi serebri anterior yakni a.serebri media dan percabangannya. Pada kasus ini, stroke yang terjadi akibat emboli sangat jelas, oleh karena defisit neurologis fokal yang berlangsung tiba-tiba lebih dari 24 jam dan terdapat dugaan adanya sumber emboli. Dari hasil pemeriksaan penunjang, mengindikasikan ada gangguan irama dari jantung (AF normorespon) dengan kelainan katup (mitral stenosis) yang merupakan faktor predisposisi untuk stroke jenis ini. Diagnosis akhir dari pasien ini adalah Stroke Iskemik (tromboemboli) dengan Afasia dan faktor risiko Atrial Fibrilasi normorespon dan mitral stenosis (sumber emboli dari jantung). Terapi yang diberikan adalah antikoagulan (heparin), digoxin, aspilet, neuroprotektan. Terapi rehabilitatif yang diberikan adalah terapi wicara, fisioterapi, KIE pasien dan keluarga serta discharge 9 planning. Prognosis dari pasien ini, ad vitam bonam, ad fungsionam dubia ad bonam dan ad sanasionam dubia ad malam. Kasus 2 Seorang pria berusia 41 tahun, datang di unit gawat darurat dengan keluhan kejang yang diawali pada lengan kanan dan berlanjut ke seluruh tubuh. Saat kejang pasien tidak sadarkan diri dan lama kejang sekitar lima menit. Setelah berhenti, pasien tertidur dan mengompol. Saat terbangun, pasien menjadi sulit berbicara tapi masih memahami pembicaraan. Anggota gerak atas dan bawah pada sisi kanan pasien menjadi sulit untuk digerakkan serta mengalami kesulitan untuk menghitung. Riwayat stroke 6 bulan yang lalu, kelemahan yang terjadi pada saat itu pada anggota gerak sisi kanan, tidak bisa berbicara namun setelah 1 bulan keadaan pasien kembali normal.Riwayat hipertensi sejak 15 tahun yang lalu, pasien berobat tidak teratur, riwayat diabetes melitus dan jantung disangkal Pemeriksaan fisik yang didapat saat masuk rumah sakit adalah, kesadaran apatis, tekanan darah kanan dan kiri 220/110 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, reguler, isi cukup, frekuensi nafas 16x/menit, suhu 37º C, palpitasi jantung ada pembesaran jantung, auskultasi jantung, normal. Pemeriksaan paru normal. Dari pemeriksaan status neurologis E4M6Vdisfasia, paresis N.VII dan XII sentral kanan, gaze palsy kanan, hemiparesis kanan, refleks fisiologis normal, refleks patologis (Babinsky) negatif. Fungsi otonom normal dan fungsi luhur, kesan disfasia. Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 2 1). Faktor risiko apa yang didapatkan pada kasus ini? Gejala dan tanda klinis yang didapatkan? 2). Terangkan patogenesisnya? 3). Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan pada kasus ini ? Apa indikasinya? Terangkan tentang cara dan hasil pemeriksaan penunjang : Ekhokardiograpi (EKG) Pemeriksaan Trans Cranial Doppler (TCD)/Carotid Duplex Sonography (CDS) Pemeriksaan MRI / MRA Pemeriksaan TEE dan TTE 4). Pemeriksaan laboratorium apa saja yang diperlukan? 5). Diagnosis kerja (termasuk penilaian Siriradj Skor- Bamford Classification) 6). Diagnosis klinis, topis, etiologis dan patologi-anatomik ? Diagnosis Banding? 7). Manajemen komprehensif – preventif - kuratif – rehabilitatif dan manajemen emergensi di UGD dan Ruang Rawat serta kerjasama / konsultasi dengan departemen terkait sesuai dengan kasusnya 8). Monitoring – evaluasi harian (Follow up yang ditekankan pada pemecahan masalah (problem solving)yang terjadi dari hari ke hari sampai pasien sembuh) 9). Cara pemeriksaan NIHSS untuk penilaian keluaran pasien stroke 10). Bagaimana prognosis kasus ini – ad vitam, ad functionam dan ad sanationam 11). Rencana pulang termasuk rencana : * Neurorehabilitasi 10 * Evaluasi Neurobehavior * Prevensi sekunder * Cara dan Hasil pemeriksaan Barthel indeks dan Modified Rankin Scale serta evaluasi berkalanya dan kegunaannya * Pengetahuan apa saja yang akan diberikan dalam kegiatan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) pasien dan keluarga 12). Sistem Rujukan Diskusi Kasus 2 Stroke Perdarahan di Lobus Frontal Kasus ini adalah kasus stroke perdarahan di lobus frontal. Pemeriksaan penunjang yang direncanakan adalah pemeriksaan laboratorium darah meliputi, darah perifer lengkap, hemostasis, profil lipid, gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, elektrolit dan analisa gas darah. Pemeriksaan lainnya adalah EKG (Elektro Kardio Grafi), Foto torak, TCD, CDS, skening otak (CT Scan), serta EEG (Elektro Ensefalo Grafi). Pada stroke perdarahan, ada beberapa faktor penyebab perdarahan intraserebral : 1). Faktor anatomi yaitu lipohyalinosis dan mikroaneurisma, AVM (Aterio Venous Malformation), amiloid angiopati, aneurisma sakular, trombosis vena intrakranial, mikroangioma, fistula arterivena, aneurisma mikotik arteritis septik, moya-moya sindrom, diseksi arteri dan fistula karotikokavernosa; 2). Faktor hemodinamik yaitu hipertensi arterial, migraine; 3) Faktor Hemostatik yaitu antikoagulansia, terapi antiplatelet, terapi trombolotik, hemofili, leukemia dan trombositopenia; 4). Faktor lain yaitu tumor intraserebral, alkohol, amphetamine, kokain dan obat simpatomimetik lainnya, vaskulitis; 5). Hiperkolesterolamia. Tidak ada penyebab perdarahan intraserebral primer yang bersifat tunggal, melainkan kombinasi dari beberapa faktor. Pada perdarahan lobaris, hipertensi merupakan penyebab dominan meskipun menurut suatu penelitian hanya sekitar 50% kasus dengan hipertensi saat serangan dan setengahnya dengan riwayat hipertensi lama. Pada kasus ini, yang diduga merupakan faktor risiko dominan adalah hipertensi. Hipertensi kronik yang diderita oleh pasien ini akan menyebabkan perubahan degeneratif pada lumen pembuluh darah, berupa lipohialinosis dan mikroaneurisma. Akibat perubahan ini, akan menginduksi pecahmya pembuluh darah apabila ada kenaikan tekanan darah yang mencolok . Pada perdarahan intraserebral terdapat gejala klasik yaitu nyeri kepala, penurunan kesadaran, muntah dan kejang. Kejang yang terjadi pada pasien ini adalah oleh karena perdarahan lobaris yang menimbulkan perdarahan di antara lapisan abu abu dan putih yang mengakibatkan terisolasinya korteks dari subkorteks sehingga korteks yang terisolasi tersebut akan menghasilkan aktivitas paroksismal. Pada pasien ini juga terdapat lesi di area 8 (area premotorik lobus frontalis) yang ditandai dengan adanya gaze palsy kanan tipe paralitik sesuai dengan lokasi lesi di frontal kiri. Kerusakan lobus frontalis juga dapat ditemukan pada pasien ini yang terlihat mengalami gangguan kognitif (atensi, 11 eksekutif, bahasa, memori, visuospasial dan apraksia) yang sesuai dengan lesi di area medial frontal kiri. Terapi yang diberikan adalah obat anti hipertensi (cara pemberian mengacu pada guidelines stroke), anti kejang, neuroprotektan. Prognosis ad vitam bonam, ad fungsionam dubia ad bonam dan ad sanasionam dubia ad bonam. Kasus 3 Seorang pria berusia 57 tahun, datang di rumah sakit dengan keluhan secara tiba-tiba saat bangun pagi tidak bisa bicara tetapi masih mengerti isi pembicaraan dan terdapat kelemahan anggota gerak sebelah kanan. Kelemahan pada tangan kanan dirasakan lebih berat dari pada kaki kanan. Pada saat kejadian, pasien tidak mengeluh ada sakit kepala maupun muntah. Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 3 tahun yang lalu, kencing manis sejak 10 tahun yang lalu dan sakit jantung sejak 2 tahun yang lalu. Pasien selalu taat berobat dan mengaku minum obat secara teratur.Riwayat nyeri dada sejak 7 tahun yang lalu, dianjurkan minum obat jika terjadi serangan. Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut; Kesadaran komposmentis, Tekanan darah kanan 150 / 90 mmHg, kiri 140/90 mmHg, Frekuensi nadi 90 x / menit, Suhu 36,7 C, Respirasi 20 X/menit - regular, Jantung : batas jantung membesar, BJ I-II murni, murmur (-), gallop (-), Paru : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, Mata : konjunctiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, Abdomen lemas, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-), bising usus (+), Ekstremitas akral hangat dan tidak ada edema Status neurologik yang didapatkan adalah sebagai berikut; Kesadaran kompos mentis, Glasgow Coma Scale E 4 – V afasia motorik – M 6, Status fungsi kortikal luhur : afasia motorik, Tanda rangsangan meningeal negatif, Pupil isokor, reflek cahaya langsung dan tak langsung (+)/ (+)normal, Nervi kraniales: Paresis N. VII kanan sentral dan N. XII kanan sentral, Motorik: hemiparesis kanan dengan kekuatan ekstremitas atas 2/2/2/2 dan ekstremitas bawah 3/3/3/3, Sensorik : hemihipestesi dekstra, Refleks fisiologik kanan ++ meningkat dan kiri + normal, Refleks patologik Babinski kanan (+) dan kiri (-), Klonus kanan dan kiri (-) /(-), Saraf otonom: bab/bak dan keringat kesan baik Nilai NIHSS masuk 16. Skor Stroke Siriraj = -6 Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 3 1). Faktor risiko apa yang didapatkan pada kasus ini? Gejala dan tanda klinis yang didapatkan? 2). Terangkan patogenesisnya? 3). Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan pada kasus ini ? Apa indikasinya? Terangkan tentang cara dan hasil pemeriksaan penunjang : Echocardiography Pemeriksaan TCD/Carotid Duplex Sonography (CDS) Pemeriksaan MRI / MRA Pemeriksaan TEE dan TTE 4). Pemeriksaan laboratorium apa saja yang diperlukan? 5). Diagnosis kerja (termasuk penilaian Siriradj Skor- Bamford Classification) 6). Diagnosis klinis, topis, etiologis dan patologi-anatomik ? Diagnosis Banding? 7). Manajemen komprehensif – preventif - kuratif – rehabilitatif dan manajemen 12 emergensi di UGD dan Ruang Rawat serta kerjasama / konsultasi dengan departemen terkait sesuai dengan kasusnya 8). Monitoring – evaluasi harian (Follow up yang ditekankan pada pemecahan masalah (problem solving)yang terjadi dari hari ke hari sampai pasien sembuh) 9). Cara pemeriksaan NIHSS untuk penilaian keluaran pasien stroke 10). Bagaimana prognosis kasus ini – ad vitam, ad functionam dan ad sanationam 11). Rencana pulang termasuk rencana : * Neurorehabilitasi * Evaluasi Neurobehavior * Prevensi sekunder * Cara dan Hasil pemeriksaan Barthel indeks dan Modified Rankin Scale serta evaluasi berkalanya dan kegunaannya * Pengetahuan apa saja yang akan diberikan dalam kegiatan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) pasien dan keluarga 12). Sistem Rujukan Diskusi Kasus 3 Stroke Iskemik dengan Faktor Multipel Pada kasus ini, stroke dengan multifaktor risiko yaitu kencing manis, nyeri dada dan hipertensi. Skor Stroke Siriraj = (2,5 x S) + (2 x M) + (2 x N) + (0,1D) – (3 x A) – 12 = (2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0,1x 90) –(3 x 1) – 12 = -6 Skor Stroke Siriradj -6 yang berarti ada Infark Serebri Stroke Iskemik Hasil pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan laboratorium Hb 14,9 gr%, Ht 40, Erythrosit 4,8 juta, Leukosit 7400, Trombosit 262.000, Ureum 57, Kreatinin 2,8, Gula Darah sewaktu 156, Natrium 137, Kalium 3,8 Pemeriksaan foto toraks terdapat Bootshape, CTR > 50% Pemeriksaan EKG : VES Pemeriksaan CT Scan : Tidak tampak perdarahan maupun infark Pada kencing manis yang menahun akan mengganggu autoregulasi otak sehingga akan peka terhadap tekanan perfusi dan timbulnya stroke progresif. Salah satu teori paling kuat tentang patofisiologi komplikasi kronis dari diabetes melitus berupa vaskular dan nonvaskular komplikasi ialah kadar glukosa intrasel yang meningkat akan merangsang terbentuknya AGEs (advanced glycosylation endproduct) melalui jalur glikosilasi nonenzimatik dari protein sel. AGEs ini yang akan menyebabkan disfungsi endotel, mempercepat aterosklerois, disfungsi glomerular, mengganggu struktur komposisi matrik ekstrasel. Pada pasien ini kemungkinan telah terjadi proses aterosklerosis yang menjadi dasar penyebab timbulnya stroke, mengingat telah menderita diabetes melitus lama. .Disamping itu resistensi insulin berkaitan dengan ketebalan tunika media intima yang diduga ada keterkaitan dengan proses aterosklerosis, meskipun untuk membuktikan hal ini masih perlu penelitian yang lebih lanjut lagi. Karakteristik sindrom resistensi insulin ialah intoleransi glukosa, hiperinsulinisme, hipertrigliserida, penurunan HDL, hiper ApoB, LDL kecil-padat, hiperuresemia, peningkatan PAI-1, peningkatan fibrinogen, hipertensi, obesitas sentral/viseral. Pada pasien ini didapatkan adanya peningkatan yang 13 besar pada LDL, HDL yang rendah, peningkatan trigliserida, diabetes melitus yang sudah lama, dan peningkatan fibrinogen, yang kemungkinan merupakan petanda dari aterosklerosis atau karena sindrom resistensi insulin. Untuk riwayat nyeri dadanya dapat dianjurkan untuk monitoring dengan TTE (transthoracic echocardiography) dan transesophageal echocardigraphy (TEE), Untuk penatalaksanaan hipertensi mengacu pada guidelines stroke yakni tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. Selain itu diberikan terapi anti diabetes,simvastatin serta anti hperuresemia. Untuk pasien ini disarankan sebaiknya untuk modifikasi gaya hidup seperti kontrol berat badan, aktivitas fisik, diet natrium sedang ( 100 mmol/hari). Kasus 4 Seorang pria berusia 35 tahun, datang ke unit gawat darurat dengan keluhan sakit kepala hebat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak berkurang meskipun telah minum obat sakit kepala yang dibeli dari warung, sehingga pasien membenturkan kepalanya ke dinding. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, kondisi pasien memburuk, dan pasien menjadi gelisah, memberontak, seluruh badan pasien kaku. Pasien belum pernah mengalami sakit kepala seperti ini, tidak ditemukan riwayat demam dan trauma. Tidak ada riwayat diabetes melitus atau nyeri dada. Hasil pemeriksaan fisik adalah : Keadaan umum: gelisah, Tekanan darah kanan 110 / 80 mmHg dan kiri 120 / 80 mm Hg, Frekuensi nadi 92 x / menit, Suhu 37.3 º C, Respirasi 20 X/menit, regular, Jantung : BJ I-II murni, murmur (-), gallop (-), Paru : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, Mata : konjunctiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, Abdomen lemas, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-), bising usus (+), Ekstremitas akral hangat dan tidak ada edema. Status neurologik: Glasgow Coma Scale E 3–M6- V 4 = 13, Tanda rangsangan meningeal: kaku kuduk (+), Brudzinski I (+), Pupil isokor, reflek cahaya langsung dan tak langsung (+)/ (+)normal, FODS: papil batas tegas,cupping (+), aa/vv 2 :3, perdarahan (-),eksudat (-), Nervi kranialis: tidak ada tanda paresis, Motorik: tidak ada tanda paresis dengan kekuatan ekstremitas atas 5/5/5/5 dan kekuatan ekstremitas bawah 5/5/5/5, Sensorik : kesan dalam batas normal, Refleks fisiologik kanan + normal dan kiri + normal, Refleks patologik Babinski kanan (-) dan kiri (-), Klonus kanan dan kiri (-) / (-), Saraf otonom: bab/bak dan keringat kesan baik. Nilai NIHSS saat masuk 11. Skor Stroke Siriraj 0,5 Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 4 1). Faktor risiko apa yang didapatkan pada kasus ini? Gejala dan tanda klinis yang didapatkan? 2). Terangkan patogenesisnya? 3). Apakah diperlukan pemeriksaan pemeriksaan seperti tersebut dibawah ini untuk memastikan diagnosis ? Adakah indikasinya dan hasil apa yang diharapkan? Pemeriksaan EKG (ekhokardiographi) (?) Pemeriksaan TCD/Duplex Sonography (?) Pemeriksaan CT Scan / MRI / MRA (?) 4). Apa diagnosis kerja dan Diagnosis banding (?) 5). Apa diagnosis klinis, topis, etiologis dan patologi-anatomik (?) 14 6). Apa rencana penatalaksanaan – manajemen komprehensif, termasuk kerjasama / konsultasi dengan departemen terkait dan manajemen emergensi di UGD / Ruang Rawat 7). Perlukah dilakukan monitoring hal hal dibawah ini ?, berapa lama dan apa tindakan selanjutnya bila ada perburukan klinis? Kesadaran Tanda vital Defisit fokal 8) Bagaimana prognosis kasus ini – ad vitam, ad functionam dan ad sanationam 9) Bagaimana rencana pulang yang menyangkut hal hal sebagai berikut : * Prevensi sekunder (?) * Cara penilaian Barthel indeks, Modified Rankin Scale dan berapa lama harus diulang serta apa kegunaannya(?) * Pengetahuan apa saja yang diberikan pada KIE pasien dan keluarga (?), Apakah ada gunanya (?) 10). Sistem Rujukan Diskusi Kasus 4 Stroke Perdarahan Subarakhnoid Kasus ini adalah stroke dengan perdarahan sub arakhnoid. Skor Stroke Siriraj = (2,5 x S) + (2 x M) + (2 x N) + (0,1D) – (3 x A) – 12 = (2,5 x 1) + (2 x 0) + (2 x 1) + (0,1x 80) –(3 x 0) – 12 = 0,5 Skor Stroke Siriradj = 0,5 Meragukan apahak stroke iskemik atau perdarahan Hasil pemeriksaan penunjang: untuk pemeriksaan laboratorium Hb 14,4 g/dL, Ht 42% vol %, Leukosit 24100/uL, trombosit 266000, Ureum 28, Kreatini 0.8, Gula darah 128, Na 134 meq/L, K 3.5 meq/L dan pemeriksaan foto toraks dalam batas Normal Penyebab tersering perdarahan subarakhnoid adalah pecahnya aneurisma (70-75%) dan bentuk yang tersering adalah aneurisma sakular (berry). Penyebab pecahnya aneurisma ini multifaktor, Tetapi dahulu defek kongenital lah yang diduga sebagai salah satu penyebab pecahnya aneurisma. Pada literatur terbaru dijelaskan bahwa tidak ada evidence yang menjelaskan tentang pengaruh defek kongenital pada dinding pembuluh darah. Pecahnya aneurisma sering berkaitan dengan aktivitas seperti stres hemodinamik, hipertensi eksaserbasi atau kelainan jaringan ikat. Pada pasien ini sakit kepala timbul karena adanya vasospasme pada pembuluh darah yang muncul 3-5 hari pada saat onset perdarahan sub arakhnoid terjadi. Oleh karenanya, sering kali pasien mengabaikan gejala ini karena pada fase awal kebocoran pembuluh darah yang terjadi sedikit demi sedikit akan menggambarkan gejala sakit kepala yang tidak terlampau berat. Spasme ini terjadi karena adanya zat vasospastik hasil pemecahan sel darah merah seperti oksihemoglobin, angiotensin, histamin, serotonin, prostaglandin, oksida nitrit dan katekolamin pada ruangan subarakhnoid yang kemudian diikuti dengan nekrotik sel otot polos dan tunika adventisia yang diinfiltrasi oleh lekosit. Zat ini harus diwaspadai sebab dapat menimbulkan delayed neurologic deficit dan kematian. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda rangsang meningeal yang positif. Pada funduskopi dapat ditemukan perdarahan subhyaloid dan papil edema. 15 Pemeriksaan penunjang CT Scan akan terlihat adanya gambaran perdarahan di fisura Silvii, fisura interhemisfer, sisterna basal, tentorium serebeli, intra ventrikel dan pada permukaan hemisfer yangdapat membantu menunjukkan lokasi pembuluh darah yang pecah, walaupun untuk memastikan diperlukan pemeriksaan angiografi. Penunjang lainnya yang dapat dipergunakan untuk membantu penegakkan diagnosis adalah dengan Trans Cranial Doppler (TCD). Pada punksi lumbal akan ditemukan tekanan yang meningkat, cairan akan berwarna xantokrom dalam waktu 6 jam setelah perdarahan subarakhnoid dan dapat timbul sampai hari ke 28. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain, perdarahan ulang pada hari pertama, spasme arteri yang akan menimbulkan iskemia serebral, infark multipel dan edema yang menyebabkan defisit neurologi terlambat serta kematian. Komplikasi lain adalah kemungkinan timbulnya hidrosefalus akut (sekitar 50% kasus) baik komunikan atau nonkomunikan. Terapi yang diberikan adalah analgetik untuk sakit kepala, pencegahan perdarahan ulang, antagonis kalsium seperti nimodipin akan mencegah masuknya kalsium kedalam mitokondria, menstabilkan membran, vasodilator kolateral leptomengeal, reologi sel darah merah, menghambat sludging serta efek anti agregrasi platelet. Bila terjadi hidrosefalus dapat dilakukan VP Shunt. Pemberian antifibrinolitik harus berhati-hati karena meski dapat menurunkan insiden perdarahan sub arakhnoid, tetapi dapat meningkatkan iskemi otak, deep vein trombosis, emboli paru serta iskemi jantung. 10.TUJUAN PEMBELAJARAN o Menegakkan diagnosis stroke dan membedakannya dengan TIA dan penyakit lainnya yang mirip dengan stroke dan mempergunakan Siriradj Score serta skening otak (CT Scan) untuk membedakan stroke iskemik dan stroke perdarahan serta analisa NIHSS untuk menilai beratnya stroke dan klasifikasi Bamford untuk menilai luas dan lokasi lesi yang sekaligus untuk penilaian tingkat emergensi. o Mengidentifikasi faktor risiko stroke (modifiable-unmodifiable, mayorminor, faktor risiko baru dan masih dipelajari) o Menguasai pemeriksaan penunjang dengan transcranial doppler (TCD) / carotid duplex sonography (CDS) o Menginterpretasi kembali sesuai dengan penilaian klinis hasil CT Scan, MRI, MRA, echocardiography, angiography, TTE dan TEE untuk membuat keputusan klinik o Mengelola penderita stroke akut pada keadaan emergensi dan mahir untuk pemasangan intubasi sesuai indikasi o Memberikan terapi trombolisis intravena pada stroke iskemik, terapi antikoagulan sesuai indikasi, nutrisi oral dan parenteral sesuai kebutuhan pasien o Mengobati komplikasi yang timbul seperti kejang, tekanan intrakranial tinggi (TIK), infeksi paru, deep vein trombosis (DVT) o Mempertimbangkan dan menganjurkan tindakan operasi dekompresi pada stroke sesuai dengan indikasi o Menilai impairment, aktivitas harian, dan handicap pasien stroke termasuk Barthel Index, modified Rankin Scale, neurorestorasi dan neuro-rehabilitasi 16 o Melakukan tindakan pencegahan primer dan sekunder termasuk community stroke care 11. METODE PEMBELAJARAN Metoda pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran berbasis kasus (casebased learning), dengan memperhatikan aspek-aspek kognitif, psikomotor, dan afektif dengan penekanan pada professional behavior yang ditunjukkan dengan : a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik b. Komunikator c. Kolaborator d. Manajer e. Advokasi kesehatan f. Kesarjanaan g. Profesional h. Performance 12. RANGKUMAN a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan memperhatikan dan menilai hal hal tersebut dibawah ini : Anamnesis Pemeriksaan fisik / neurologik Diagnosis kerja dan Diagnosis banding Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi-anatomik) Pemeriksaan penunjang Konsultasi / Kerjasama antara departemental Manajemen Komprehensif (Preventif - primer&sekunder, Kuratif – medikamentosa & operatif, Rehabilitatif – neuro restorasi dan neurobehavior serta tatalaksana neuroemergensi di UGD / ruang rawat) Prognosis – ad vitam, ad finctionam – ad sanationam Rencana pulang termasuk KIE pada keluarga dan pasien Sistem rujukan b. Penilaian kompetensi Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik) 13.EVALUASI a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara penilaian (dengan daftar tilik) saat final-test dengan kasus yang relevan / sesuai Final-test, dilakukan tiap selesai stase yang waktunya telah ditetapkan. Penilaiannya meliputi hal hal sebagai berikut : Cara Pengambilan / Kelengkapan Anamnesis Cara Melakukan, Menilai hasil dan Interpretasi Pemeriksaan fisik / neurologik Alur Fikir Pembuatan Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding Alur Fikir dalam menegakkan Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi anatomik) 17 Alur Fikir Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium Klinik, TCD-CDS, TEE TTE, CT Scan, MRI, MRA) berdasarkan indikasi, dan apa saja hasil yang diharapkan yang akan lebih mendekatkan pada diagnosis pasti, pertimbangan biaya Konsultasi / Kerjasama antar departemental berdasarkan keterbatan kompetensi dan indikasi kuat untuk kerjasama dengan ahli lain atas dasar kepentingan pasien Menilai kemampuan dalam merencanakan, melakukan manajemen komprehensif baik preventif – primer dan sekunder, Kuratif – suportif, medikamentosa, operatif, Rehabilitatif – neurorestorasi dan neurobehavior dan Manajemen Emergensi di UGD dan Ruang Rawat Menilai alur fikir prognosis baik ad vitam, ad functionam maupun ad sanasionam Menilai cara dan rencana Komunikasi, Informasi maupun Edukasi yang akan dan sudah diberikan kepada pasien maupun keluarganya serta seluruh kegiatan setelah pasien pulang kerumah Menilai kemampuan dalam melaksanakan sistem rujukan b. Penilaian kompetensi psikomotor Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan saat stase (dengan daftar tilik yang dipergunakan saat mid-test dan final-test untuk kasus yang relevan/sesuai 14. INSTRUMEN PENILAIAN INSTRUMEN PENILAIAN 1). Kompetensi Kognitif Waktu dan cara penilaian Pre-test dengn MCQ Mid-test dengan Essay Final –test dengan Essay dan Lisan 2).Kompetensi psikomotor Waktu dan cara penilaian Pre-test dengan daftar tilik cara pemeriksaan neurologi dan TCD/CDS Mid-test dengan daftar tilik cara pemeriksaan klinik dan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang (resume) berdasarkan kasus yng relevan (tengah stase) Final –test dengan daftar tilik yang sama dengan mid-test dengan kasus simulasi ataupun kasus nyata (akhir stase) 18 15.PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR INFORMED CHOICE (contoh) Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.: 1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan) 2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal 3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan) NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: ................................. INFORMED CHOICE 1. Sapa dengan hormat pasien anda 2. Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara 3. Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap 4. Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan penatalaksanaan untuk kelainan yang ada 5. Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien, termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti) 6. Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari operator/dokter 7. Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara pengobatan yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah disediakan 19 16. Contoh dari daftar tilik atau checklist penilaian kompetensi psikomotor DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA PROSEDUR DIAGNOSTIK DAN MANAJEMEN STROKE Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan dibawah ini: : Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan standar : Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur atau panduan standar T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih PESERTA: _____________________________ TANGGAL :______________ KEGIATAN NILAI Kaji Ulang Diagnosis dan Manajemen 1. Nilai kelengkapan pengambilan anamnesis 2. Nilai cara melakukan pemeriksaan klinis umum dan klinis neurologis 3. Nilai rangkuman kasus (anamnesis dan pemeriksaan klinis) 4. Nilai penegakkan Diagnosis dan Differensial Diagnosis 5. Nilai ketrampilan interpretasi hasil penunjang diagnostik 6. Nilai pembuatan daftar masalah dan rencana manajemen 20 PROSEDUR PEMERIKSAAN TCD / CDS Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan dibawah ini: : Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan standar : Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur atau panduan standar T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih PESERTA: _____________________________ TANGGAL :______________ KEGIATAN NILAI Kaji Ulang Diagnosis dan Prosedur Pemeriksaan TCD/ CDS 4. Nilai kesesuaian diagnosis dan rencana pemeriksaan yang dituliskan di status pasien 5. Kaji kelengkapan prosedur administratif untuk tindakan pemeriksaan TCD / CDS dan persiapan alat yang diperlukan serta persiapan pasien 3. Nilai cara melakukan pemeriksaan TCD / CDS 4. Nilai kemampuan interpretasi hasil 5. Nilai kemampuan menjawab konsultasi dalam hal pemberian saran pemeriksaan lanjutan, terapi serta hal lainnya sesuai dengan kebutuhan paien 21 17. MATERI BAKU EPIDEMIOLOGI STROKE Epidemiologi adalah suatu studi di populasi manusia yang mempelajari tentang frekuensi distibusi dan determinan penyakit . Epidemiologi stroke sendiri adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang distribusi stroke yang meliputi insiden penyakit, prevalensi dan hal hal yang menjadi perhatian khusus, dan mempelajari juga tentang determinan stroke yang meliputi kondisi predisposisi dan faktor faktor risiko. Oleh karena stroke mempunyai beberapa macam proses patologi, maka distribusi dan determinan spesifik dari sub sub tipe stroke sebaiknya harus dipelajari sendiri sendiri. Di Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari data sporadis di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas stroke yang seiring dengan makin panjangnya life expentancy dan gaya hidup yang berubah. Karakteristik demografik yang umum dianalisa untuk stroke adalah usia dan gender.Dari berbagai studi yang dilakukan di berbagai belahan dunia, terlihat hal yang sama, yaitu adanya korelasi antara peningkatan kejadian stroke dengan pertambahan umur. Untuk gender, kejadian stroke lebih sering pada pria dibandingkan wanita di usia kuang dari 60 tahun dan relatif menjadi hampir sama di usia lebih dari 60 tahun. Stroke mempunyi multifaktor risiko. Faktor risiko tersebut ada yang major dan minor, serta ada yang bersifat modifiable atau nonmodifiable. Faktor faktor risiko tersebut adalah hipetensi, diabetes melitus, atrial fibrilasi dan penyakit katup jantung, hematokrit, fibrinogen, polisitemia, hiperkolesterolemia, pil kontrasepsi, merokok, alkohol, obesitas dan riwayat stroke atau transient ischemic attack (TIA) baik untuk pasien ataupun keluarga Data epidemiologi lain selain usia, faktor risiko, yang perlu untuk memperbaiki tatalaksana adalah tipe stroke (iskemik atau hemoragik), lokasi lesi, gejala klinis, terapi (obat dan operasi) yang dipakai / dilakukan serta hasil keluaran setelah perawatan di rumah sakit (outcome dan output). ANATOMI PEMBULUH DARAH OTAK Sirkulasi darah ke otak ada sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior. Sirkulasi anterior adalah a.karotis komunis dengan cabang distalnya yaitu a.karotis internal, a. serebri media dan a. serebri anterior. Sirkulasi posterior adalah a.vertebrobasilar yang berasal dari a.vertebralis kanan dan kiri dan kemudian bersatu menjadi a.basilaris dan seluruh percabangannya termasuk cabang akhirnya yaitu a.serebri posterior kanan dan kiri Ada tiga sirkulasi yang membentuk sirkulus Willisi di otak. Ketiga sirkulasi tersebut adalah : 1). sirkulasi anterior terdiri dari a.serebri media, a.serebri anterior dan a.komunikans anterior yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior, 2). sirkulasi posterior yang terdiri dari a.serebri posterior dan 3). a.komunikans posterior yang menghubungkan a. serebri media dengan a.serebri posterior. Kegunaan dari sirkulus Willisi ini adalah untuk proteksi terjaminnya pasokan darah ke otak, apabila terjadi sumbatan disalah satu cabang. Contohnya bila terjadi sumbatan parsial pada proksimal 22 dari a. serebri anterior kanan, maka a. serebri kanan ini akan menerima darah dari a. karotis komunis lewat a.serebri anterior kiri dan a. komunikans anterior. A.serebri anterior memperdarahi daerah medial hemisfer serebri, lobus frontal bagian superior dan lobus parietal bagian superior. A. serebri media memperdarahi daerah frontal inferior, parietal inferolateral dan lobus temporal bagian lateral. A.serebri posterior memperdarahi lobus oksipital dan lobus temporal bagian medial. Batang otak diperdarahi secara eksklusif dari sirkulasi posterior. Medula oblongata menerima darah dari a.vertebralis melalui a.perforating medial dan lateral, sedangkan pons dan midbrain (mesensefalon) menerima darah dari a.basilaris lewat cabangnya yaitu a.perforating lateral dan medial. Serebelum mendapat darah dari tiga pembuluh darah serebelar, yaitu 1). a.serebelar posterior inferior (PICA) yang merupakan akhir dari cabang a. vertebralis, 2). a. serebelar anterior inferior (AICA) yang merupan cabang pertama dari a.basilaris, dan 3). A.serebelar superior (SCA) yang merupakan cabang akhir dari a.basilaris. Basal ganglia diperdarahi oleh a.lentikulostriata kecil percabangan dari a.serebri media, talamus diperdarahi oleh a.perforating thalamogeniculata yang merupakan cabang dari a.serebri posterior. Genu internal capsula diperdarahi oleh a.lenticulostriate anteromedial atau disebut juga rekuren a.Heubneur. Cabang intrakranial pertama dari arteri karotis internal adalah a.optalmika dan cabang pertama dari a.basilar adalah a. serebelar anterior inferior (AICA). Pada bagian medial antara a.serebral posterior dan a.serebelar superior keluar saraf kranial III sedangkan dari bagian lateralnya keluar saraf kranial VI. Oleh karenya bila ada aneurisma dari pembuluh darah tersebut, akan mengganggu saraf kranial III atau VI itu. FISIOLOGI OTAK Jumlah aliran darah ke otak (CBF) biasanya dinyatakan dalam cc/menit/100 gram otak. Nilainya tergantung pada tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure / CPP) dan resistensi serebrovaskuler (cerebrovascular resistance / CVR) CBF = CPP CVR = MABP - ICP CVR Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistematik (mean arterial blood pressure / MABP) dikurangi dengan tekanan intrakranial (TIK), sedangkan komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Tonus pembuluh darah otak 2. Struktur dinding pembuluh darah 3. Viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak CBF dapat diukur dengan berbagai metode misalnya metode Kety Schmidt, atau metode lain yang menggunakan inhalasi gas radioaktif yang kemudian diukur dengan gamma 23 counter. Dalam keadaan normal dan sehat, rata-rata aliran darah otak (hemispheric CBF) adalah 50,9 cc/100 gram otak/ menit. Aliran darah otak merupakan patokan utama dalam menilai vaskularisasi regional di otak. Melalui pemeriksaan dengan menggunakan emisi sinar (Positron Emmision Tomography / PET) di ketahui bahwa aliran darah otak bersifat dinamis. Artinya, dalam keadaan istirahat nilainya stabil, tetapi pada saat melakukan kegiatan fisik maupun psikis, aliran darah regional pada daerah yang bersangkutan akan meningkat sesuai dengan aktivitasnya. Dari percobaan pada hewan maupun manusia, ternyata derajat ambang batas aliran darah otak yang secara langsung berhubungan dengan fungsi otak, yaitu : a. Ambang fungsional: adalah batas aliran darah otak (yaitu sekitar 50 – 60 cc/100 gram/menit), yang bila tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi integritas sel-sel saraf masih utuh. b. Ambang aktivitas listrik otak (threshold of brain electrical activity), adalah batas aliran darah otak (sekitar 15 cc/100 gram/menit) yang bila tak tercapai, akan menyebabkan aktivitas listrik neuronal terhenti. Ini berarti, sebagian struktur intrasel telah berada dalam proses disintegrasi. c. Ambang kematian sel (threshold of neuronal death), yaitu batas aliran darah otak yang bila tak terpenuhi, akan menyebabkan kerusakan total sel-sel otak (CBF kurang dari 15 cc/100/menit/gram). CBF 50.9 CC/100 gram/ menit Daya cadang serebrovaskuler 35-40cc/100 gram/menit Kehilangan fungsi 20 cc/100 Gram /menit (15-18 cc) Aktifitas listrik otak terhenti Kematian sel saraf 24 ASPEK BIOLOGI MOLEKULER Perubahan-perubahan pada stadium sangat awal dari stroke sangat penting untuk diketahui oleh karena terjadi pada tingkat subseluler, yaitu pada integritas biomolekular sebagai penopang kehidupan sel-sel neuron. Pengetahuan dasar ini sangat penting dalam meletakkan dasar-dasar pengobatan intervensional, berdasarkan patofisiologi Ada perbedaan mendasar pada kerusakan seluler pada stroke akibat perdarahan dan sumbatan (iskemik). Pada perdarahan intraserebral, kerusakan sel neuron dan struktur otak disebabkan oleh ekstravasasi darah ke massa otak, yang mengakibatkan nekrosis kimiawi oleh zat-zat proteolitik di dalam darah. Sebaliknya pada stroke iskemik, nekrosis pada neuron terutama akibat disintegrasi struktur sitoskeleton karena zat-zat neurotransmitter eksitotoksik yang bocor pada proses hipoksia akut. Selain itu, pada stroke iskemik, kerusakan yang terjadi lebih lambat, akibat berkurangnya energi yang berkepanjangan pada sel-sel otak menyebabkan apoptosis, yaitu kematian sel secara perlahan karena kehabisan energi pendukungnya. Otak membutuhkan energi yang cukup besar untuk mempertahankan keseimbangan ion-ion yang berada di intra seluler seperti kalium (K+) dan ekstra seluler seperti natrium (Na+), kalsium (Ca++) dan khlor (Cl). Keseimbangan ini dipertahankan melalui pompa ion aktif yang bergantung pada energi tinggi, yaitu adenosine triphosphate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP). Iskemik dengan gangguan keseimbangan ion Pada iskemik dibedakan dua daerah, yakni core (infark) penumbra. Daerah yang infark dan penumbra mempunyai karakteristik kematian sel yang berbeda yakni nekrosis dan apoptosis. Proses kerusakan awal pada stroke iskemik dimulai oleh adanya deplesi energi setempat pada inti daerah infark otak, akibat penurunan kadar oksigen dan glukosa secara drastis. Dalam keadaan iskemik, pompa ion tidak akan bekerja karena pompa ini tergantung pada aktivitas metabolisme sel, yakni energi dan oksigen. Akibatnya terjadi akumulasi intraseluler ion Na + dan Cl- disertai oleh masuknya H2O..Hal ini akan menyebabkan edema sel, baik neuron maupun glia. Mekanisme edema akibat iskemik bisa diklasifikasikan atas edema sitotoksik dan edema vasogenik. Keadaan ini bisa tejadi dalam jangka waktu singkat, sekitar 5 menit setelah terjadinya iskemik. Jaringan yang edema sitotoksik ini bisa ditolong melalui tindakan dini terhadap reperfusi dan terapi sitoprotektif. Metabolisme glukosa anaerob dapat muncul akibat dari iskemik. Akibat dari metabolisme ini adalah asidosis laktat yang akan memperburuk kondisi sel yang masih hidup. Penelitian pada hewan percobaan membuktikan bahwa kadar glukosa pre-iskemik akan mempengaruhi berat ringannya asidosis laktat, dan bahwa dengan peningkatan kadar glukosa darah pada iskemik justru akan mengakibatkan perburukan tanda-tanda klinik. Sementara reduksi energi tinggi akibat iskemik akan mempengaruhi pompa ion. Fenomena yang menarik dari hewan percobaan ini adalah bahwa kehabisan energi tidak berkorelasi secara langsung dengan kerusakan sel. Ini membuktikan bahwa pada awalnya, pengaruh konsentrasi ion dan pompa ion sangat berperan dalam menentukan ireversibilitas kerusakan sel. 25 Iskemia Pompa NaK-ATPase gagal Depolarisasi Pelepasan glutamat Reseptor AMPA Reseptor metabotropik Kanal Ca++ terbuka Reseptor NMDA Pelepasan Ca++ intrasel Influks Ca++ Peningkatan Ca++ intrasel Kematian sel Diagram kaskade eksitatorik iskemik (Lynden P and Wahlgren NG, National Stroke Association, 2000) Iskemik dan eksitatorik Komunikasi interseluler secara normal bergantung pada keberadaan neurotransmiter serta energi di sinaps. Neurotransmiter ini secara difus akan berinteraksi dengan reseptor di post-sinaptik dan sebagai responnya, maka terjadi metabolisme sel. Neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat dan aspartat akan menstimulasi sel post-sinapsis, sementara gamma-aminobutiric-acid (GABA) akan bekerja sebaliknya. Keadaan defisit energi lokal seperti pada iskemik akan menyebabkan depolarisasi neuron dan glia yang kemudian memicu aktivasi dari kanal Ca++ serta sekresi asam amino eksitatorik glutamat di ekstrasel. Selain itu, sel yang iskemik tidak mempunyai kesanggupan untuk memetabolisme atau memecah neurotransmiter eksitatorik tersebut akibat terganggunya enzim pemecah pada iskemik, sehingga terjadi penumpukan glutamat di sinaps. Glutamat yang berlebih akan berikatan dengan 3 reseptor glutamat, yaitu N-methyl-D-aspartate (NMDA), α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid (AMPA), dan reseptor metabotropik. Ikatan dengan reseptor NMDA menyebabkan masuknya ion Na+ dan Ca++ ke dalam sel melalui kanal ion. Meningkatnya ion Na+ dan Ca++ juga berakibat pada masuknya cairan H2O yang berlebihan karena dalam keadaan iskemik pompa ion juga tidak berfungsi. Aktivasi reseptor AMPA yang berlebihan juga menyebabkan gangguan homeostasis, dengan dibarengi masuknya cairan H2O ke dalam sel merupakan penyebab edema toksik, serta.merupakan faktor penyebab sel lisis (nekrosis). Kejadian ini secara primer di temukan di daerah infark, berbeda dengan di penumbra yang kematian selnya sering akibat terjadinya apoptosis dan inflamasi. Selanjutnya, reseptor metabotropik glutamat menjadi aktif dengan memblok induksi fosfolipase C dan inositol trifosfat serta diiringi oleh mobilisasi Ca++ yang tersimpan di dalam sel. Kondisi lain 26 adalah masuknya Ca++ melalui kanal ion akibat ikatan neurotransmiter eksitatorik dengan reseptor NMDA. Keadaan ini diperburuk oleh kejadian iskemik, yaitu Ca++ akan keluar dari mitokondria dan retikulum endoplasmik sehingga secara substansial terjadi penumpukan kalsium di intraseluler yang menyebabkan kerusakan neuron yang ireversibel (lihat gambar). Kalsium dan kematian sel Kalsium berperan mengaktivasi enzim perusak asam nukleus, protein, dan lipid dengan target utama membran fosfolipid yang sangat sensitif. Seperti diketahui, konsentrasi Ca ++ di ekstra sel ditemukan sekitar 10.000 kali lebih besar dibanding intrasel. Keseimbangan ini dipertahankan melalui 4 mekanisme untuk menjaga tidak masuknya Ca++ ke intrasel, yaitu melalui pompa ATP yang aktif; intaknya pertukaran Ca++ dan Na+ di membran oleh adanya pompa Na+-K+; pemisahan Ca++ intraseluler di retikulum endoplasmik melalui proses penggunaan ATP yang aktif; serta akumulasi dari Ca++ intraseluler melalui pemisahan Ca++ di mitokondria secara oksidatif. Dalam keadaan iskemik tidak adanya bahan energi, akan terjadi kehilangan keseimbangan gradien antara Na+ dan K+ yang secara beruntun mengakibatkan gangguan keseimbangan Ca++. Hal ini akan menyebabkan masuknya Ca++ kedalam sel secara masif 17 yang selanjutnya mengakibatkan beban mitokondria berlebihan. Kalsium akan mengaktifkan fosforilase membran dan protein kinase. Akibatnya terbentuk asam lemak bebas (FFA) yang berpotensi menginduksi prostaglandin dan asam arakidonat. Metabolisme asam arakidonat ini akan membentuk radikal bebas seperti toxic oxygen intermediates, eikosanoid, dan leukotrin yang kesemuanya akan memacu agregasi platelet dan vasokonstriksi vaskuler. Selain itu, keberadaan Ca++ yang berlebihan dalam sel akan merusak beberapa jenis enzim termasuk protein kinase C, kalmodulinprotein kinase II, protease dan nitrik okside sintesase. Ca++ juga mengaktivasi enzim sitosolik dan denukleasi yang mengakibatkan terjadinya apoptosis. Dapat dikatakan bahwa kematian sel secara umum diakibatkan oleh tidak adanya energi berupa glukosa dan oksigen yang menyebabkan gangguan homeostasis sehingga terjadi kematian sel secara tidak langsung. Efek neurotransmiter eksitatorik yang berlebihan di daerah iskemik secara biokimiawi akan menyebabkan kerusakan sel yang lebih berat dibanding dengan dengan efek iskemik secara langsung. Oleh sebab itu prinsip penanggulangan melalui inhibisi ikatan eksitatorik dengan reseptor NMDA juga merupakan bagian dari strategi dalam mencegah proses biokimiawi sebagai perusak sel di daerah iskemik. Mekanisme kematian sel dapat berupa nekrosis ataupun apoptosis, tergantung pada beratnya iskemik dan cepatnya kerusakan yang terjadi. Pada nekrosis, struktur sel menjadi hancur secara akut disertai dengan reaksi inflamasi, makrofag akan menyerbu dan menfagositasi sisa-sisa sel. Sedangkan pada apoptosis tidak terjadi reaksi inflamasi, melainkan struktur sel akan menciut (shrinkage). Selain proses kematian pada stroke akut, integrasi antara neuron-neuron dan matriks sekitarnya terutama sel-sel glia dan endotel kapiler juga berperan penting. Berbagai penelitian menunjukkan ada zat-zat aktif yang aktif berperan pada kematian beberapa jenis sel otak. Salah satunya adalah the stress-activated protein kinase p38 yang tidak hanya menstimulasi kematian neuronal, tetapi juga merangsang pembentukan enzim caspase 3 sebagai mediator kematian sel, di endotel serebral pada keadaan hipoksia serebal iskemik. Enzim lain adalah lipoksigenase 12/15 yang berperan pada glutamate-induced oxidative cell death pada proses kematian neuron dan oligodendrosit. Iskemik dan angiogenesis Pengaruh iskemik akut yang disebabkan oleh penurunan suplai sirkulasi ke otak (penurunan glukosa dan oksigen) akan berakibat pada perobahan tatanan biokimiawi di otak. Hal inilah yang merupakan penyebab kematian dari jaringan otak. Dalam pengamatan neovaskularisasi di daerah infark dan peri-infark berkaitan dengan survival penderita stroke membuktikan bahwa 27 angiogenesis merupakan proses kompensasi atau proteksi yang sekaligus merupakan target terapi stroke Pada penelitian hewan model stroke ditemukan bahwa neovaskularisasi akan terbentuk dalam kurun waktu yang singkat yakni satu sampai tiga hari setelah terjadinya penyumbatan. Kejadian ini secara berbarengan akan meningkatkan ekspresi dari neuron, sel mikroglia, astrosit, dan molekul angiogenik, vascular endothel growth factor (VEGF). VEGF merupakan faktor angiogenesis yang berperan lewat reseptor VEGF tirosin kinase, VEGFR-1 dan 2, serta neurophilin-1 dan 2 (NP-1 dan NP-2). Iskemik dan radikal bebas Konsekuensi iskemik dan reperfusi adalah terbentuknya radikal bebas seperti superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil. Keberadaan nitric oxide (NO) sendiri adalah melalui aktivas inducible nitric oxide synthase (iNOS). Sumber lain akibat pemecahan produksi ADP melalui oksidasi xantine dan reaksi iron-catalysed Haber-Weiss. Radikal bebas yang bermacammacam ini akan bereaksi dengan komponen seluler seperti karbohidrat, asam amino, DNA, dan fosfolipid sebagai korbannya sendiri. Iskemik dan inflamasi Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah onset iskemik dengan karakteristik munculnya ekspresi adhesi molekul di endotel pembuluh darah dan adanya leukosit di sirkulasi. Leukosit bergerak melewati endotel keluar dari sirkulasi dan berpenetrasi ke jaringan parenkim otak yang mengakibatkan reaksi inflamasi. Bagian mayoritas dari inflamasi ditentukan oleh populasi dari sel mikroglia yang disebut juga efektor imun dari susunan saraf pusat (SSP). Mikroglia adalah fagosit aktif dan merupakan target utama yang sanggup menghasilkan sitokin dan enzim pro-inflamasi. Oleh sebab itu, inhibisi terhadap aktivitas mikroglia juga merupakan strategi protektif pada stroke eksperimental dan pemberian antagonis sitokin mengurangi volume infark pada hewan percobaan. Kelompok sitokin anti-inflamasi seperti tumor growth factor-1 beta (TGF-1 beta) dan IL-10 yang bersifat sebagai neuroprotektif juga menjadi aktif terhadap stimulasi mikroglia. Secara klinis, kelompok sitokin yang domainnya terdiri dari 2 kelompok protein adalah iNOS dan kelompok cyclo-oxygenase 2 (Cox-2). Pemberian iNOS inhibitor pada hewan percobaan akan dapat mengurangi volume infark sekitar 30%, walaupun pemberian dilakukan 24 jam setelah onset iskemik. Cox-2 secara umum ditemukan di penumbra serta bekerja melalui produksi oksigen radikal bebas dan prostanoid toksik Berdasar pada eksperimen Cox-2 dan iNOS akan memberi harapan dalam terapi stroke, karena ternyata masih efektif sampai 24 jam onset iskemik. Pengobatan Stroke Iakemik Dimasa Mendatang Berbagai penelitian telah membuka peluang pengobatan stroke iskemik di masa datang dengan kombinasi obat-obatan seperti trombolisis ditambah obat-obat neuroprotektif yang bekerja ganda melindungi neuron dan sel-sel serebral seperti sel glia dan endotel. Telah diidentifikasi bahwa zat eritropoetin (EPO) mempunyai sifat neuroprotektif tersebut. Selain itu, ditemukan juga zat peptida melanokortin, kumpulan ACTH serta -melanocyte stimulating hormones (MSH), MSH< dan -MSH. Pada binatang percobaan, MSH menunjukkan efek neuroprotektif yang multipel terhadap mekanisme patologik yang memicu apoptosis dengan mensupresi tumor necrosis factor (TNF)- , interleukin-1, ICAM1, dan iNOS. Kemajuan di bidang penelitian biologi molekuler adalah mencari alternatif baru dalam terapi stroke akut dengan zat-zat neuroprotektif baru yang mempunyai efek supresi multipel terhadap proses nekrosis dan apoptosis sel neuron, glia, dan endotel. Selain itu, diusahakan agar terapi baru ini dapat dimulai pada masa terapeutik yang lebih lama, melebihi 3 jam seperti yang telah dicapai dengan terapi trombolisis. 28 PATOFISIOLOGI STROKE Penyakit serebrovaskuler (cerebrovascular disease / CVD) atau stroke adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses patologi pada sistem pembuluh darah otak ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti peradangan arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus. Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan akan muncul secara klinis jika aliran darah ke otak (cerebral blood flow /CBF) turun sampai ke tingkat melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak (threshold of brain functional activity).. Keadaan ini menyebabkan sindrom klinik yang disebut stroke. Gejala klinik stroke tergantung lokalisasi daerah yang mengalami iskemik ataupun perdarahan. Patogenesis infark otak Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Terdapat perbedaan etiologi keduanya. Pada iskemik global, aliran otak secara keseluruhan menurun akibat tekanan perfusi (syok ireversible karena henti jantung, perdarahan sistemik yang masif, fibrilasi atrial berat dll). Sedangkan iskemik fokal terjadi akibat menurunnya tekanan perfusi otak karena ada sumbatan atau pecahnya salah satu pembuluh darah otak yang berakibat lumen pembuluh darah yang terkena akan tertutup sebagian atau seluruhnya.Tertutupnya lumen pembuluh darah oleh karena iskemik fokal, disebabkan antara lain : Perubahan patologi pada dinding arteri pembuluh darah otak meniimbulkan trombusis. Adanya trombusis ini, diawali oleh proses arteriosklerosis di tempat tersebut. Pada arteriole dapat terjadi vaskulitis atau lipohialinosis yang akan menyebabkan stroke iskemik berupa infark lakunar. Perubahan akibat proses hemodinamik dimana tekanan perfusi sangat menurun karena sumbatan di bagian proksimal pembuluh arteri seperti sumbatan arteri karotis atau vertebro-basilar. Perubahan yang terjadi akibat dari perubahan sifat sel darah, misalnya: anemia sickle-cell, leukemia akut, polisitemia, hemoglobinopati dan makroglobulinemia. Tersumbatnya pembuluh akibat emboli daerah proksimal misalnya: trombosis arteri– arteri, emboli jantung, dan lain-lain. Sebagai akibat dari penutupan aliran darah ke bagian otak tertentu, maka terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemi. Perubahan ini dimulai di tingkat seluler, berupa perubahan fungsi dan struktural sel yang diikuti kerusakan pada fungsi utama serta integritas fisik dari susunan sel, selanjutnya akan berakhir dengan kematian neuron. 29 Disamping itu terjadi pula perubahan-perubahan dalam milliu ekstra seluler, karena peningkatan pH jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat neurotransmiter (glutamat) serta metabolisme sel-sel yang iskemik, disertai kerusakan sawar darah otak. Seluruh proses ini merupakan perubahan yang terjadi pada stroke iskemik. Perubahan fisiologi pada aliran darah otak Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain, akan menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di daerah sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi, memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini: 1. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis gejala yang timbul adalah transient ischemic attack (TIA) yang timbul dapat berupa hemiparesis sepintas atau amnesia umum sepintas, yaitu selama <24 jam. 2. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF regional lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu memulihkan fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2 minggu. Mungkin pada pemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini secara klinis disebut RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit). 3. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas sehingga mekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya. Dalam keadaan ini timbul defisit neurologis yang berlanjut. Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda: 1. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat pucat karena CBF-nya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran pembuluh darah tanpa adanya aliran darah. Kadar asam laktat di daerah ini tinggi dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan mengalami nekrosis. 2. Daerah di sekitar ischemic-core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih lebih tinggi daripada CBF di ischemic core . Walaupun sel-sel neuron tidak sampai mati, fungsi sel terhenti, dan menjadi functional paralysis. Pada daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Tentu saja terdapat kerusakan neuron dalam berbagai tingkat, edema jaringan akibat bendungan dengan dilatasi pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat. Astrup menyebutnya sebagai ischemic penumbra. Daerah ini masih mungkin diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen yang tepat. 3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan edema. Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2 tinggi dan kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat meninggi sehingga disebut sebagai daerah dengan perfusi berlebihan (luxury perfusion). Konsep “penumbra iskemia” merupakan sandaran dasar pada pengobatan stroke, karena merupakan manifestasi terdapatnya struktur selular neuron yang masih hidup dan mungkin masih reversible apabila dilakukan pengobatan yang cepat. 30 Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi yang harus tepat waktunya supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat, sehingga neuron penumbra tidak mengalami nekrosis. Komponen waktu ini disebut sebagai jendela terapeutik (therapeutic window) yaitu jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron penumbra terjadi dengan melakukan tindakan resusitasi sehingga neuron ini dapat diselamatkan. Perlu diingat di daerah penumbra ini sel-sel neuron masih hidup akan tetapi metabolisme oksidatif sangat berkurang, pompapompa ion sangat minimal mengalami proses depolarisasi neuronal. Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah iskemia, sehingga respons arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen atau karbondioksida menghilang. Mekanisme patologi lain yang terjadi pada aliran darah otak adalah, berkurangnya aliran darah seluruh hemisfer di sisi yang sama dan juga di sisi hemisfer yang berlawanan (diaskisis) dalam tingkat yang lebih ringan. Disamping itu, di daerah cermin (mirror area) pada sisi kontra lateral hemisfer mengalami proses diaskisis yang relatif paling terkena dibanding sisi lainnya, dan juga pada sisi kontralateral hemisfer serebral (remote area) Perubahan aliran darah otak bersifat umum/global akibat stroke ini disebut diaskisis (Meyer et al.), yang merupakan reaksi global terhadap aliran darah otak, dimana seluruh aliran darah otak berkurang/menurun. Kerusakan hemisfer terutama lebih besar pada sisi yang tersumbat (ipsilateral dari sumbatan). Proses ini diduga karena pusat di batang otak (yang mengatur tonus pembuluh darah di oatak) mengalami stimulasi sebagai reaksi terjadinya sumbatan atau pecahnya salah satu pembuluh darah sistem serebrovaskuler, didasari oleh mekanisme neurotransmiter dopamin atau serotonin yang mengalami perubahan keseimbangan mendadak sejak saat stroke. Proses diaskisis berlangsung beberapa waktu (hari sampai minggu) tergantung luasnya infark. Mekanisme proses ini diduga karena perubahan global dan pengaturan neurotransmiter. Perubahan-perubahan ini tampak secara eksperimental maupun dengan 31 pemeriksaan PET scan, akan tetapi tidak ada manifestasi klinik sebagai akibat dari diasksis maupun iskemia pada daerah hemisfer kontralateral. Perubahan pada tingkat seluler / mikro-sirkulasi Perubahan yang kompleks terjadi pada tingkat seluler/mikro-sirkulasi yang saling berkaitan. Secara eksperimental perubahan ini telah banyak diketahui, akan tetapi pada keadaan sebenarnya pada manusia (in vivo) ketetapan ekstrapolasi sulit dipastikan. Astrup dkk (1981) menunjukkan bahwa pengaruh iskemia terhadap integritas dan struktur otak pada daerah penumbra terletak antara batas kegagalan elektrik otak (electrical failure) dengan batas bawah kegagalan ionik (ion-pump failure). Selanjutnya dikatakan bahwa aliran darah otak di bawah 17 cc/ 100 g otak / menit, menyebabkan aktifitas otak listrik berhenti walaupun kegiatan pompa ion masih berlangsung. Sedangkan Hakim (1998) menetapkan bahwa neuron penumbra masih hidup jika CBF berkurang di bawah 20 cc/ 100 gram otak/ menit dan kematian neuron akan terjadi apabila CBF di bawah 10 cc/ 100 gram otak/ menit. CBF 50 40 30 fungsi normal gangguan fungsi Time mal EEG -EEG silence -Evoked Potensials Membran dan kerusakan K+ reflux irreversible Time Na+ influx Ca 2+ influx Hachinsky (1989) Daerah penumbra pada misery perfusion ini, jika aliran darahnya dicukupi kembali sebelum jendela terapeutik, dapat kembali normal dalam waktu singkat. Sedangkan sebagian lesi tetap akan mengalami kematian setelah beberapa jam atau hari setelah iskemik otak temporer. Dengan kata lain, di daerah ischemic core kematian sudah terjadi sehingga mengalami nekrosis akibat kegagalan energi (energy failure) yang secara dahsyat merusak dinding sel beserta isinya sehingga mengalami lisis (sitolisis). Sementara pada daerah penumbra jika terjadi iskemia berkepanjangan sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya sehingga akan terjadi kematian sel, yang secara akut timbul melalui proses apoptosis, yaitu disintegrasi elemen-elemen seluler secara bertahap dengan kerusakan dinding sel yang disebut juga programmed cell death. Kumpulan sel-sel ini disebut sebagai selectively vulnerable neuron, seperti pertama kali dilaporkan Kirino (1982) & Pulsmelli (1982), dan diuraikan oleh Kogure & Kato (1992) pada percobaan dengan binatang. Pada neuron-neuron tersebut terdapat hirarki sensitifitas terhadap iskemia diawali pada daerah hipokampus CA1 dan sebagian kolikulus inferior, kemudian jika iskemia lebih dari 5 menit (10-15 menit) akan diikuti oleh lapis 3 dan 5 32 neokortex striatum septum, hipokampus sektor CA 3, thalamus, korpus genikulatum medial, dan substania nigra. Meskipun ditemukan pada binatang, kenyataan ini menunjukkan bahwa di daerah sistem limbik dan ganglia basal terdapat sel-sel yang sensitif terhadap iskemia. Keadaan ini penting dalam hubungannya dengan stroke yang disertai dengan demensia. Hal yang juga menarik adalah bahwa sel-sel yang sensitif terhadap iskemia terutama merupakan bagian dari serabut yang terisi glutamat. Iskemia menyebabkan aktifitas intra seluler Ca2+ meningkat hingga peningkatan ini akan menyebabkan juga aktifitas Ca2+ di celah sinaps bertambah sehingga terjadi sekresi neutransmitter yang berlebihan, yaitu glutamat, aspartat dan kainat yang bersifat eksitotoksin. Disamping itu Abe dkk (1987) yang diulas oleh Kogure (1992), membuktikan bahwa, akibat lamanya stimulasi reseptor metabolik oleh zat-zat yang dikeluarkan oleh sel, menyebabkan juga aktifitas reseptor neurotropik yang merangsang pembukaan kanal Ca2+ yang tidak tergantung pada kondisi tegangan potensial membran seluler (receptoroperated gate opening), disamping terbukanya kanal Ca2+ akibat aktivitas NMDA reseptor “voltage operated gate opening” yang telah terjadi sebelumnya. Kedua proses tersebut mengakibatkan masuknya Ca2+ ion ekstraseluler ke dalam ruang intraseluler. Jika proses berlanjut, pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan membrane sel dan rangka sel (sitoskeleton) melalui terganggunya proses fosforilase dari regulator sekunder sintesa protein, proses proteolisis dan lipolisis yang akan menyebabkan ruptur atau nekrosis. Disamping neuron-neuron yang sensitif terhadap iskemia, kematian sel dapat langsung terjadi pada iskemia berat dengan hilangnya energi secara total dari sel karena berhentinya aliran darah. Disamping itu,desintegrasi sitoplasma dan disrupsi membran sel juga menghasilkan ion-ion radikal bebas yang dapat lebih memperburuk keadaan lingkungan seluler. Edema serebral dan infark otak Pada infark serebri yang cukup luas, edema serebri timbul akibat kegagalan energi dari sel-sel otak dengan akibat perpindahan elektrolit (Na+, K+) dan perubahan permeabilitas membran serta gradasi osmotik. Akibatnya terjadinya pembengkakan sel (cytotoxic edema). Keadaan ini terjadi pada iskemia berat dan akut seperti hipoksia dan henti jantung. Selain itu edema serebri dapat juga timbul akibat kerusakan sawar otak yang mengakibatkan permeabilitas kapiler rusak, sehingga cairan dan protein bertambah mudah memasuki ruangan ekstraseluler sehingga menyebabkan edema vasogenik (vasogenic edema). (Klatzao 1967, diulas Bougainas dkk 1995). Efek edema jelas menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan akan memperburuk iskemia otak. Selanjutnya terjadi efek masa yang berbahaya dengan akibat herniasi otak. Dampak lain stroke iskemik akut 1. Bocornya radikal bebas. Jenis radikal bebas ini dalam tubuh kita terdiri atas : Radikal bebas oksigen 33 Radikal bebas oksida nitrit Radikal bebas dalam keadaan normal, diproduksi tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit sebagai bagian produk dari metabolisme oksidatif terutama dalam mitokondria.Pada keadaan iskemia fokal, peranan peroksidase-lipid sangat penting karena merupakan bagian dari patofisiologi iskemia fokal maupun global. Superoksida, radikal bebas oksigen telah ditemukan pada iskemia terutama pada periode referfusi jaringan, yang berasal dari proses alamiah maupun sebagai tindakan pengobatan. Radikal bebas oksigen dihasilkan dari proses lipolisis kaskade arakhidonat dalam sel-sel di daerah penumbra. Sumber lain dari superoksida ialah aktivitas enzimatik (monoaminoksidase) dalam otooksidase dari biologiamin (efinefrin, serotonin dan sebagainya). Pada iskemia fokal, peroksidase lipid ini meningkat aktifitasnya karena: 1) Timbulnya edema otak vasogenik/seluler, telah diketahui bahwa endothelium memproduksi aksida nitrit (NO) dan pada keadaan patologi menghasilkan radikal bebas yang akan memperburuk timbulnya edema. 2) Pada proses disintegrasi pompa kalsium dan natrium kalium akibat kerusakan membrane sel yang berkaitan dengan pompa ion. Gangguan ini mempercepat masuknya kalsium dan natrium ke dalam sel. 3) Peroksida lipid juga terlihat pada mekanisme eksitatorik neurotransmitter glutamat. Meningkatnya aktifitas superoksida mempercepat dan memperbesar pengeluaran neurotransmitter eksitatorik glutamat dan aspartat. Usaha pengobatan dilakukan untuk menghambat akibat dari ekses superoksida dengan pemberian anti oksidan seperti glutation,vitamin E, dan L arginin. Meskipun secara eksperimental telah dibuktikan manfaat dari antioksidan dalam memperkecil daerah iskemik, tetapi dalam praktek sehari-hari evaluasi hasil terapi anti oksidan pada penderita stroke masih terus diteliti. 2.Eksitatorik neurotransmitter Neurontransmitter glutamat banyak diimplikasikan dalam patofisiologi iskemik. Dalam keadaan normal, neurotransmitter glutamate terkonsentrasi dalam terminal saraf dan di dalam proses transisi neuronal yang bersifat eksitatorik. Glutamat diekspresikan di dalam ruangan ekstra seluler dengan cepat akan di ambil kembali (reuptake) ke dalam oleh sel. Pada keadaan patologis, dapat terjadi gangguan akibat disfungsi sel berupa ekses dari glutamat ini baik karena ambilan kembali, atau kerusakan karena sel neuron yang berisi glutamat juga mengalami gangguan. Selain itu dapat terjadi kebocoran glutamat akibat kerusakan dinding sel (sitolisis) dan nekrosis, serta apoptosis yang menimbulkan masuknya ion kalsium ke dalam sel. Penumpukan neurotransmiter di dalam ruangan ekstraseluler menyebabkan proses eksitotoksisitas glutamat. Seluruh keadaan ini mempengaruhi sel-sel neuron SSP yang berbeda sensitifitasnya. Sebetulnya yang terkena secara mudah adalah neuron hipokampus CA 3 sel-sel piramida. Selanjutnya akibat dari eksitotoksisitas terhadap neuron adalah timbilnya edema selular, degenerasi organel intraseluler serta degenerasi piknotik inti sel yang diikuti kematian sel. Usaha terapi pengobatan akibat stroke adalah menghambat stimulasi glutamate terhadap reseptor NMDA (N-Metil D Aspartate), AMPA (d amino 3-hidroksi-5-metil-4- 34 isokasolopropionik acid) dan kainat yang berperan penting dalam pengaturan masuknya ion kalsium. Obat-obat tersebut mempunyai peranan untuk mencegah proses disintegrasi sel-sel. Keberhasilan pengobatan NMDA reseptor antagonis saat ini sedang diteliti pada penderita stroke misalnya: serestat (abtiganel) yang hasilnya sampai saat ini belum meyakinkan. Reperfusi Meskipun aliran darah otak merupakan faktor penentu utama pada infark otak, pengalaman klinis serta penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa pada infark otak, pulihnya aliran darah otak ke taraf normal tidak selalu memberikan manfaat yang diharapkan, yaitu hilangnya gejala klinis secara total. Selain faktor lamanya iskemia, ada hal-hal mendasar lain yang harus diperhitungkan dalam proses pengobatan infark otak. Dari percobaan pada hewan terbukti bahwa resusitasi atau reperfusi pada penutupan /penghentian aliran darah ke otak mencetuskan beberapa reaksi kompleks di tingkat mikrosirkulasi, iskemia berupa edema jaringan,vasospasme kapiler/arteriol, penggumpalan sel-sel darah merah, asidosis jaringan, aliran kalsium masuk ke dalam sel, dan dilepaskannya radikal bebas. Perubahan ini dapat demikian hebat sehingga disebut sebagai reperfusion injury yang berakibat munculnya gejala neurologik yang relatif menetap. Pada dasarnya terjadi 2 perubahan sekunder pada periode reperfusi jaringan iskemia otak, yaitu: a. Hiperemia pasca iskemik atau heperemia reaktif yang disebabkan oleh melebarnya pembuluh darah di daerah iskemia. Keadaan ini terjadi pada +20 menit pertama setelah penyumbatan pembuluh darah otak terutama pada iskemia global otak. b. Hipoperfusi pasca-iskemik yang berlangsung antara 6-24 jam berikutnya. Keadaan ini ditandai dengan vasokonstriksi (akibat asidosis jaringan), naiknya produksi tromboksan A2 dan edema jaringan. Diduga proses ini yang akhirnya menghasilkan nekrosis dan kerusakan sel yang diikuti oleh munculnya gejala neurologik. Ternyata secara eksperimental kerusakan sel-sel saraf dan jaringan otak tidak sesederhana yang dibayangkan, karena terdapat beberapa rantai proses yang memang hasil akhirnya adalah kematian sel. Jadi, pada infark otak terjadi proses sekunder yang jauh lebih kompleks, bukan hanya terhentinya aliran darah otak. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan mutakhir mengenai perubahan patologik mempunyai dampak pencegahan gejala sisa dan lanjutan pengobatan. Patofisiologi Emboli Kardiak Penelitian stroke yang berdasarkan populasi (population-based study) belum ada di Indonesia. Penelitian stroke di negara – negara ASEAN, yaitu ASNA Stroke Epidemiological Study 1996, yang merupakan penelitian prospektif berbasis rumah sakit 35 menunjukkan bahwa pada 3.723 kasus yang diteliti, pemeriksaan CT scan dilakukan pada 2.801 kasus (74%), stroke iskemik ditemukan pada 51% kasus, sedangkan perdarahan 26%, sisanya 8% didapat gambaran CT Scan normal Dari seluruh penderita yang diteliti, faktor risiko untuk stroke terbanyak adalah hipertensi pada 71%, riwayat stroke terdahulu/TIA. pada 25% kasus, merokok 19%, dan diabetes mellitus pada 22% kasus. Sedangkan penyakit jantung sebagai risiko adalah atrial fibrilasi pada 6% kasus; penyakit jantung iskemik 19% kasus; penyakit jantung katup mitral 3%, katup aorta 0,6% keduanya (mitral aorta) pada 0,2%, sedang penyakit jantung kongestif terjadi pada 4% kasus. Secara keseluruhan total kelainan jantung yang ditemukan pada penelitian ASNA ini adalah 32,8% atau hampir sepertiga dari total penelitian. Angka – angka Indonesia merupakan bagian dari penelitian ASNA, penyakit jantung keseluruhan ditemukan pada 550 kasus dari total 2.065 pasien yang diteliti (27,5%). Temuan dari 20% penyakit jantung iskemik, didapat 4,5% penyakit katup jantung dan 4% penyakit jantung kongestif. Stroke iskemik ditemukan pada 42,5% kasus berdasarkan pemeriksaan CT scan otak. Untuk menentukan secara pasti apakah suatu stroke iskemik disebabkan akibat emboli kardiak diperlukan pemeriksaan khusus yang lebih mendalam, yaitu memastikan ada sumber emboli di jantung dan emboli tersebut menjalar ke otak secara sistemik. Caplan (1993) meneliti susunan dari trombus yang terdapat pada otopsi jantung penderita stroke. Ditemukan bahwa susunannya bervariasi, terdiri dari red-fibrin dependent thrombi, white platelet fibrin particles, combined red and white plateled-fibrin particles, combined red and white thrombi, fragmen dari non-infected valve vegetation, elemen kalsifikasi dari calcified valves serta kalsifikasi annulus mitral, material fibromyzoma dari degenerasi mitral dengan prolaps dan sel-sel tumor dari tumor kardiak seperti myzoma. Penyebab stroke embolik terbanyak adalah fibrilasi atrial. Yang dapat disebabkan oleh penyakit reumatik. Mural trombus pada dinding jantung kiri sering ditemukan pada otopsi penderita MCI (20 – 60%) dengan 3 – 10% diantaranya terjadi emboli sistemik (Castillo dan Bougousslausky,1997). Protesis mekanik katup jantung merupakan penyebab tersering dari stroke embolik pasca operatif. Sedangkan prolaps mitrai jarang menyebabkan stroke emboli serebral, tetapi frekuensinya masih belum jelas (kontroversial) terutama pada katup yang redunden dan menebal. Pada endokarditis bakterial, 3% terjadi emboli serebral disebabkan karena lepasnya elemen vegetasi septic katup jantung (Castillo dan Bougousslausky,1997). Penyebab lain dari emboli serebral adalah adanya trombosis arteri ke arteri, yaitu terjadi pelepasan elemen embolik dari pembuluh-pembuluh ekstra/intra kranial aterosklerotik yang lepas ke distal menutupi pembuluh distal yang lebih kecil. Lepasnya elemen yang berbentuk mural thrombus dari dinding pembuluh darah arterio-sklerotik di arteri karotis interna, bifurkasio karotis dan percabangan-percabangan arteri intrakranial. Ulcerated plaque arteriosclerotic merupakan sumber emboli dan isinya juga bervariasi, yaitu red fibrin-dependent thrombi, white plateled-fibrin particles, kombinasi trombus merah dan putih, debris kristal kolesterol, plak atheroma, partikel kalsifikasi dari dinding 36 arteri yang terkalsifikasi, dan zat-zat lain sperti lemak, udara dan tumor. Selama itu yang dapat menjadi sumber emboli adalah arkus aorta, yaitu atheroma yang menonjol dan bergerak (mobile) karena aliran darah yang cepat. Frekuensinya mulai sering ditemukan dan frekuensi ini meningkat dengan usia dan beratnya jantung (heart-weight). Patogenesis Perdarahan Otak Pendarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak, yaitu 20 – 30 % dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach,1997 menunjukkan stroke perdarahan 26 %, terdiri dari lobus 10 %, ganglionik 9 %, serebellar 1 %, batang otak 2 % dan perdarahan sub arakhnoid 4 %. Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan penyebab, perdarahan intraserebral dibagi atas perdarahan intra serebral primer dan sekunder. Perdarahan intraserebral primer (perdarahan intraserebral hipertensif) disebabkan oleh hipertensif kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain akibat anomali vaskuler kongenital, koagulopati, tumor otak, vaskulopati non hipertensif (amiloid serebral), vaskulitis, moya-moya, post stroke iskemik, obat anti koagulan (fibrinolitik atau simpatomimetik). Diperkirakan hampir 50 % penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensif kronik, 25 % karena anomali kongenital dan sisanya penyebab lain (Kaufman,1991). Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak atau pada massa otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dindingnya (arteriosklerosis), atau karena kelainan kongenital misalnya malformasi arteri-vena, infeksi (sifilis), dan trauma. Perdarahan intraserebral Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, pons dan batang otak. Perdarahan di daerah korteks lebih sering disebabkan oleh sebab lain misalnya tumor otak yang berdarah, malformasi pembuluh darah otak yang pecah, atau penyakit pada dinding pembuluh darah otak primer misalnya Congophilic angiopathy, tetapi dapat juga akibat hipertensi maligna dengan frekuensi lebih kecil dari pada perdarahan subkortikal. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriolarteriol dari cabang-cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus (thalamo perforate arteries) dan cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan degeneratif yang sama. Kenaikan tekanan darah yang mendadak (abrupt) atau kenaikan dalam jumlah yang sangat mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi hari dan sore hari (early afternoon). (Batytr, 1992 dikutip Falker & Kaufman,1997). 37 Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam (Broderick et al,1990) dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik. Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk dan menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan spilitting” tanpa merusaknya. Pada keadaan ini absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan hermiasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum. Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus dan pons. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial yang menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebellar dengan volume antara 30 – 60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 %, tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Fayad dan Awad, 1998). Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis. Akhir-akhir ini para ahli bedah otak di Jepang berpendapat bahwa pada fase awal perdarahan otak ekstravasasi tidak langsung menyebabkan nekrosis. Pada saat-saat pertama, mungkin darah hanya akan mendesak jaringan otak tanpa merusaknya, karena saat itu difusi darah ke jaringan belum terjadi. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk mengeluarkan darah agar dapat dicegah gejala sisa yang lebih parah. Absorpsi darah terjadi dalam waktu 3-4 minggu. Gejala klinik perdarahan di korteks mirip dengan gejala infark otak, tetapi mungkin lebih gawat apabila perdarahan sangat luas. Perdarahan subarakhnoid Perdarahan subarakhnoid (SAH) relatif kecil jumlahnya (< 0,01 % dari populasi di USA) sedangkan di ASEAN 4 % (hospital based) dan di Indonesia 4,2 % (hospital based, Misbach 1996). Meskipun demikian angka mortalitas dan disabilitas sangat tinggi, yaitu hingga 80 % (USA). Perdarahan subarakhnoid terjadi karena pecahnya aneurisme sakuler pada 80 % kasus non traumatik. Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler yang didapat (acquired) akibat proses hemodinamika pada bifurkasio pembuluh arteri otak. Terutama di daerah sirkulus Willisi (Meir B. 1987 ; Ratcheson and Wirth, 1994. Lokasi aneurisma intraserebral tersering adalah: di a.komunikans anterior (30%), di pertemuan antara a.komunikans posterior dengan a.karotis interna (25%), di bifurkasio dari a.karotis 38 interna dan a.serebri media (20-25%). Anerisma ini adalah multipel pada sekitar 25% dari pasien. Sekitar 3% aneurisma berhubungan dengan adanya polikistik ginjal. Penyebab lain adalah aneurisma fusiforra/aterosklerosis pembuluh arteri basilaris, aneurisme mikotik dan traumatik selain AVM. Perdarahan ini dapat juga disebabkan oleh trauma (tanpa aneurisma), arteritis, neoplasma dan penggunaan kokain / amfetamin berlebihan, hipertensi, perokok dan peminum alkohol. Gejala yang karakteristik dari perdarahan subarakhnoid ini, adalah tiba-tiba sakit kepala hebat dan muntah muntah yang biasanya digambarkan sebagai ’sakit kepala terburuk yang pernah saya alami sepanjang hidup saya’. Dengan atau tanpa defisit neurologi dan sering disertai dengan perubahan mental status. Perdarahan subarakhnoid aneurisma, kadang ditandai dengan sakit kepala sedang berat bila disebabkan oleh ’sentinel bleed’ . Perburukan klinis dapat disebabkan karena perdarahan ulang akibat dari tidak terdiagnosa dini dan terlambat diterapi. Dari CT Scan non kontras, terlihat gambaran adanya darah di cistern, fisura Sylvii atau sulci yang meliputi konveksitas. Terkadang terlihat juga darah di intraparenkimal. Bila secara klinis kuat duagaan kearah perdarahan subarakhnoid tetapi pada CT Scan tidak terlihat adanya darah, maka pemeriksaan selanjutnya adalah melakukan Lumbal Punksi. Darah yang masuk ke ruang subarakhnoid dapat menyebabkan komplikasi hidrosefalus karena gangguan absorpsi cairan otak di granulation Pacchioni. Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah intraparenchymal extention yang menyebabkan edema otak, seizure, vasospasme. Perdarahan subarakhnoid sering bersifat residif selama 24-72 jam pertama, dan dapat menimbulkan vasospasme serebral hebat disertai infark otak. Pasien dengan perdarahan subarakhnoid dapat diklasifikasi dengan skala klinis I-IV berdasarkan tingkat kesadaran dan gejala fokal defisit neurologi yang berguna untuk menentukan prognosisnya. Skala klinis tersebut adalah : Grade I Sadar, tanpa gejala atau dengan sakit kepala ringan dan/atau ada kaku kuduk Grade II Sadar, dengan sakit kepala sedang sampai berat dan ada kaku Kuduk Grade III Mengantuk atau Bingung, dengan atau tanpa defisit fokal neurologi Grade IV Stupor dengan hemiparesis sedang sampai berat dan ada tanda dari peningkatan tekanan intra kranial Grade V Koma dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial berat Klasifikasi dengan skala klinis ini menunjukkan bahwa bila pasien berada di Grade I atau II, maka pasien mempunyai prognosis baik dan dapat segera dilakukan angiografi serta tindakan intervensi sesuai dengan indikasinya. Bila pasien berada di grade IV dan V, maka pasien mempunyai prognosis buruk dan memerlukan terapi medikamentosa dulu 39 sampai kondisi stabil dan baik, baru direncanakan dilakukan angiografi untuk menentukan tindakan terapi lanjutan sesuai kebutuhan pasien DIAGNOSIS STROKE Proses gangguan pembuluh darah otak mempunyai beberapa sifat klinik yang spesifik : a. Timbulnya mendadak b. Menunjukkan gejala-gejala neurologis kontralateral terhadap pembuluh yang tersumbat. Tampak sangat jelas pada penyakit pembuluh darah otak sistem karotis dan perlu lebih teliti pada observasi sistem vertebro-basilar, meskipun prinsipnya sama. Untuk sistem vertebro-basilar, gejala klinis paresis dikenal sebagai ‘alternans’, yaitu kelumpuhan nervi kranialis se sisi lesi dan kelumpuhan motorik kontralateral lesi. c. Kesadaran dapat menurun sampai koma terutama pada perdarahan otak. Sedang pada stroke iskemik lebih jarang terjadi penurunan kesadaran. Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke, berdasarkan atas gambaran klinik, patologi anatomi, sistem pembuluh darah, dan stadiumnya. Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa. Di klinik kami, digunakan klasifikasi modifikasi Marshall, yaitu: a. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya 1) Stroke Iskemik a. Serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack/TIA) b. Trombosis serebri c. Emboli serebri 2) Stroke Hemoragik a. Perdarahan intra serebral b. Perdarahan subarakhnoid b. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu 1) TIA 2) Stroke-in-evolution 3) Completed stroke c. Berdasarkan sistem pembuluh darah 1) Sistem karotis 2) Sistem vertebro-basilar Stroke mempunyai tanda klinik spesifik, tergantung daerah otak yang mengalami iskemia atau infark. Serangan pada beberapa arteri akan memberikan kombinasi gejala yang lebih banyak pula. 40 Bamford (1992), mengajukan klasifikasi klinis saja yang dapat dijadikan pegangan, yaitu: a. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) Gambaran klinik : Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi) Hemianopia (kontralateral sisi lesi) Gangguan fungsi luhur : missal, disfasia, gangguan visuo spasial, hemineglect, agnosia, apraxia. Infark tipe TACI ini penyebabnya adalah emboli kardiak atau trombus arteri ke arteri, maka dengan segera pada penderita ini dilakukan pemeriksaan fungsi kardiak (anamnesia penyakit jantung, EKG,foto thorax) dan jika pemeriksan kearah emboli arteri ke arteri mendapatkan hasil normal (dengan bruit leher negatif, dupleks karotis normal), maka dipertimbangkan untuk pemeriksaan ekhokardiografi. b. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) Gejala lebih terbatas pada daerah yang lebih kecil dari sirkulasi serebral pada sistem karotis, yaitu: Defisit motorik/sensirik dan hemianopia. Defisit motorik/ sensorik disertai gejala fungsi luhur Gejala fungsi luhur dan hemianopia Defisit motorik/sensorik murni yang kurang extensif dibanding infark lakunar (hanya monoparesis- monosensorik), Gangguan fungsi luhur saja. Gambaran klinis PACI terbatas secara anatomik pada daerah tertentu dan percabangan arteri serebri media bagian kortikal, atau pada percabangan arteri serebri media pada penderita dengan kolateral kompensasi yang baik atau pada arteri serebri anterior. Pada keadaan ini kemungkinan embolisasi sistematik dari jantung menjadi penyebab stroke terbesar dan pemeriksaan tambahan dilakukan seperti pada TACI. c. Lacunar Infarct (LACI) Disebabkan oleh infark pada arteri kecil dalam otak (small deep infarct) yang lebih sensitif dilihat dengan MRI dari pada CT scan otak. Tanda-tanda klinis : 1) Tidak ada defisit visual 2) Tidak ada gangguan fungsi luhur 3) Tidak ada gangguan fungsi batang otak 4) Defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil 41 5) Gejala : Pure motor stroke (PMS) Pure sensory stroke (PSS) Ataksik hemiparesis (termasuk ataksia dan paresis unilateral, dysarthriahand syndrome) Jenis infark ini bukan disebabkan karena proses emboli karena biasanya pemeriksaan jantung dan arteri besar normal, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan khusus untuk mencari emboli kardiak. d. Posterior Circulation Infarct (POCI) Terjadi oklusi pada batang otak dan atau lobus oksipitalis. Penyebabnya sangat heterogen dibanding dengan 3 tipe terdahulu. Gejala klinis: Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan gangguan motorik/sensorik kontralateral. Gangguan motorik/ sensorik bilateral. Gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau vertikal) Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract ipsilateral. Isolated hemianopia atau buta kortikal. Heterogenitas penyebab POCI menyebabkan pemeriksaan kasus harus lebih teliti dan lebih mendalam. Salah satu jenis POCI yang sering disebabkan emboli kardiak adalah gangguan batang otak yang timbulnya serentak dengan hemianopia homonym (Warlow et. al 1995). Setiap penderita segera harus dirawat, karena umumnya pada masa akut akan terjadi perburukan akibat infark yang meluas atau terdapatnya edema serebri atau komplikasikomplikasi lainnya. Diagnosis tegak berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologik, dan penunjang. DASAR DIAGNOSIS 1. Anamnesis Pada anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan, mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, mau sholat, selesai sholat, sedang bekerja atau sewaktu beristirahat. Selain itu perlu ditanyakan pula faktor-faktor risiko yang menyertai stroke misalnya penyakit kencing manis, darah tinggi dan penyakit jantung, serta obat-obat yang sedang dipakai. Selanjutnya ditanyakan pula riwayat keluarga dan penyakit lainnya. Pada kasus-kasus berat, yaitu dengan penurunan kesadaran sampai koma, dilakukan pencatatan perkembangan kesadaran sejak serangan terjadi. 42 2. Pemeriksaan fisik Setelah penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala koma Glasgow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah. Namun jika penderitanya sadar, tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai pemeriksaan saraf-saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi baik atau adakah disfasia. Penilaian klinis lainnya yang dilakukan untuk menilai beratnya stroke, dipergunakan National Institute Health Stroke Scale (NIHSS). Penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu saat masuk dan saat pulang. Beda nilai saat masuk dan saat keluar dapat menjadi salah satu penilaian kinerja keberhasilan terapi. Tetapi untuk stroke pada sistem vertebro basilar, akurasi penilaian NIHSS kurang baik. Stroke Siriradj Score, dilakukan bersama sama pemeriksaan fisik untuk membedakan antara stroke iskemik dan stroke perdarahan. Penilaian ini, dapat membantu bagi rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan yang tidak mempunyai alat bantu diagnosis CT Scan otak. Skor Stroke Siriraj = (2,5 x S) + (2 x M) + (2 x N) + (0,1D) – (3 x A) – 12 Penilaiannya adalah sebagai berikut : Skor > 1 : perdarahan supratentorial Skor < -1 : infark serebri Skor -1 s/d 1 : meragukan Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma Glasgow telah ditentukan, lakukan pemeriksaan refleks-refkles batang otak yaitu: reaksi pupil terhadap cahaya refleks kornea refleks okulo sefalik Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu tentukan kelumpuhan yang terjadi pada saraf-saraf otak dan anggota gerak. Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya dengan kesadaran menurun, karena makin dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik prognosis neurologis maupun kehidupan. Kemungkinan perdarahan intra serebral dapat luas sekali jika terjadi perdarahan-perdarahan retina atau preretinal pada pemeriksaan funduskopi. 3. Gejala klinik Manifestasi klinik stroke sangat tergantung kepada daerah otak yang terganggu aliran darahnya dan fungsi daerah otak yang menderita iskemia tersebut. Karena itu pengetahuan dasar dari anatomi dan fisiologi aliran darah otak sangat penting untuk mengenal gejala-gejala klinik pada stroke. Berdasarkan vaskularisasi otak, maka gejala klinik stroke dapat dibagi atas 2 golongan besar yaitu: 43 1. Stroke pada sistem karotis atau stroke hemisferik 2. Stroke pada sistem vertebro-basilar atau stroke fossa posterior Salah satu ciri stroke adalah timbulnya gejala sangat mendadak dan jarang didahului oleh gejala pendahuluan (warning signs) seperti sakit kepala, mual, muntah, dan sebagainya. Gejala pendahuluan yang jelas berhubungan dengan stroke adalah serangan iskemia sepintas (TIA) dan ini diketahui melalui anamnesis yang baik pada stroke akut. Selain gejala-gejala yang timbul mendadak dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam dari mulai serangan sampai mencapai maksimal. Tidak pernah terjadi dalam beberapa hari atau apalagi dalam 1-2 minggu. Kalau terjadi demikian, bukan disebabkan stroke tetapi oleh sindroma stroke (stroke-syndromes) karena tumor, primer maupun metastatik, trauma, peradangan dan lain-lain. Gejala klinik pada stroke hemisferik Seperti kita ketahui, daerah otak yang mendapat darah dari a. karotis interna terutama lobus frontalis, parietalis, basal ganglia, dan lobus temporalis. Gejala-gejalanya timbul sangat mendadak berupa hemiparesis, hemihipestesi, bicara pelo, dan lain-lain. Pada pemeriksaan umum: Kesadaran: penderita dengan stroke hemisferik jarang mengalami gangguan atau penurunan kesadaran, kecuali pada stroke yang luas. Hal ini disebabkan karena struktur-struktur anatomi yang menjadi substrat kesadaran yaitu formasio retikuralis di garis tengah dan sebagian besar terletak dalam fossa posterior. Karena itu kesadaran biasanya kompos mentis, kecuali pada stroke yang luas. Tekanan darah: biasanya tinggi, hipertensi merupakan faktor resiko timbulnya stroke pada lebih kurang 70% penderita. Fungsi vital lain umumnya baik jantung, harus diperiksa teliti untuk mengetahui kelainan yang dapat menyebabkan emboli. Pemeriksaan neurovaskuler adalah langkah pemeriksaan yang khusus ditujukan pada keadaan pembuluh darah ekstrakranial yang mempunyai hubungan dengan aliran darah otak yaitu: pemeriksaan tekanan darah pada lengan kiri dan kanan, palspasi nadi karotis pada leher kiri dan kanan, arteri temporalis kiri dan kanan dan auskultasi nadi pada bifurkatio karotis komunis dan karotis interna di leher, dilakukan juga auskultasi nadi karotis interna pada orbita, dalam rangka mencari kemungkinan kelainan pembuluh ekstrakranial. Pemeriksaan neurologis a. Pemeriksaan saraf otak: pada stroke hemisferik saraf otak yang sering terkena adalah: Gangguan n. fasialis dan n. hipoglosus. Tampak paresis n. fasialis tipe sentral (mulut mencong) dan paresis n. hipoglosus tipe sentral (bicara pelo) disertai deviasi lidah bila dikeluarkan dari mulut. Gangguan konjugat pergerakan bola mata antara lain deviasi konjugae, gaze paresis ke kiri atau ke kanan, dan hemianopia. Kadang-kadang ditemukan 44 sindroma horner pada penyakit pembuluh karotis. Gangguan lapangan pandang: tergantung kepada letak lesi dalam jarak perjalanan visual, hemianopia kongruen atau tidak. Terdapatnya hemianopia merupakan salah satu faktor prognostik yang kurang baik pada penderita stroke. b. Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan sebelah anggota badan (hemiparesis). Dapat dipakai sebagai patokan bahwa jika ada perbedaan kelumpuhan yang nyata antara lengan dan tungkai hampir dipastikan bahwa kelainan aliran darah otak berasal dari daerah hemisferik (kortikal), sedangkan jika kelumpuhan sama berat gangguan aliran darah dapat terjadi di subkortikal atau pada daerah vertebro-basilar. c. Pemeriksaan sensorik dapat terjadi hemisensorik tubuh. Karena bangunan anatomik yang terpisah, gangguan motorik berat dapat disertai gangguan sensorik ringan atau gangguan sensorik berat disertai dengan gangguan motorik ringan. d. Kelainan fungsi luhur: manifestasi gangguan fungsi luhur pada stroke hemisferik berupa: disfungsi parietal baik sisi dominan maupun nondominan. Kelainan yang paling sering tampak adalah disfasia campuran dimana penderita tak mampu berbicara atau mengeluarkan kata-kata dengan baik dan tidak mengerti apa yang dibicarakan orang kepadanya. Selain itu dapat juga terjadi agnosia, apraxia dan sebagainya. Gejala-klinik stroke vertebro-basilar Gangguan vaskularisasi pada pembuluh darah vertebro-basilar, tergantung kepada cabang-cabang sistem vertebro-basilar yang terkena, secara anatomik, percabangan arteri basilaris di golongkan menjadi 3 bagian: a. Cabang-cabang panjang: misalnya a. serebeli inferior posterior yang jika tersumbat akan memberikan gejala – gejala sindroma Wallenberg, yaitu infark di bagian dorso-lateral tegmentum medula oblongata. b. Cabang-cabang paramedian: sumbatan cabang-cabang yang lebih pendek memberikan gejala klinik berupa sindroma Weber hemiparesis alternans dari berbagai saraf kranial dari mesensefalon atau pons. c. Cabang-cabang tembus (Perforating branches) memberi gejala-gejala sangat fokal seperti internuclear ophtalmoplegia (INO). Diagnostik kelainan sistem vertebro-basilar adalah: 1. Penurunan kesadaran yang cukup berat (dengan diagnosis banding infark supratentorial yang luas, dalam hal ini yang terkena adalah formasio retikularis). 2. Kombinasi berbagai saraf otak yang terganggu disertai vertigo diplopia dan gangguan bulbar 3. Kombinasi beberapa gangguan saraf otak dan gangguan long-tract sign: vertigo disertai paresis keempat anggota gerak (ujung-ujung distal). Jika ditemukan longtract sign pada kedua sisi maka penyakit vertebro-basilar hampir dapat dipastikan. 45 4. Gangguan bulbar juga hampir pasti disebabkan karena stroke vertebro-basilar. Beberapa ciri khusus lain adalah: parestesia perioral, hemianopia altitudinal dan skew deviation. Gejala - tanda klinik emboli serebral Costillo dan Bougousslausky (1997) mengajukan enam ciri stroke embolik, yaitu : a. Timbul secara mendadak pada penderita yang sadar, tanpa defisit neurologi yang berfluktuasi atau yang progresif. b. Defisit neurologi pada pembuluh superfisial atau berupa infark yang luas. c. Tidak ada riwayat TIA pada daerah vaskular yang sama. d. Riwayat stroke sebelumnya di daerah teritorial lain, diantaranya adalah emboli sistemik. e. Jantung yang abnormal pada pemeriksaan fisik/tambahan. f. Tidak ada sebab emboli arterial lain atau sebab stroke yang lain. Tanda-tanda tambahan pada pemeriksaan neuro-imajing adalah : a. Adanya infark hemoragik pada CT, atau MRI otak pada distribusi arteri kortikal. b. Oklusi cabang teritorial arteri otak, tanpa ditemukan kelainan arteri-arteri proksimal atau carotis ekstrakranial pada pemeriksaan transcranial doppler (TCD), pada pemeriksaan duplex ultrasound sistem karotis, pada Magnetic Resonance Arteriography (MRA) atau pada arteriografi kontras jika dilakukan. c. Ditemukan adanya sumber emboli atau sangat mungkin ada sumber emboli pada pemeriksaan kardiologi. Emboli kardiak lebih sering menyebabkan kombinasi infark kortikal dan subkortikal hingga daerah infark lebih luas tampak pada kardiogenik dibanding dengan emboli arteri ke arteri. Caplan (1993) menyebutkan bahwa emboli kardiak mempunyai tempat prediksi, misalnya daerah posterior dari arteri serebri media. Khusus mengenai atrial fibrilasi, terutama pada non reumatik, dan merupakan panyebab terbesar emboli kardiak, tidak selalu emboli sistemik menjadi penyebab stroke. Dalam jumlah yang sedikit, AF dapat disebabkan karena stroke yang berat. Warlow dkk. (1995) merujuk penelitian Daniel (1993) menemukan bahwa hanya 13% dari penderita AF ditemukan trombus pada arteri dengan transesophageal echocardiography (TEF). Peningkatan risiko emboli sistemik pada AF dikaitkan dengan kombinasi beberapa faktor seperti umur, riwayat emboli sebelumnya, hipertensi, diabetes, disfungsi ventrikel kiri dan pembesaran atrium kiri (SPAF 1992, AFI 1994). Adanya emboli kardiak sistemik dapat juga dipastikan dengan adanya spontaneus echo contrast pada atrium kiri yamg dideteksi sengan TCD. 4. Pemeriksaan Penunjang a.Laboratorium 1) Pemeriksaan darah rutin 2) Pemeriksaan kimia darah lengkap: 46 Gula darah sewaktu: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia reaktif. gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsurangsur kembali turun. Ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati (SGOT/SGPT/CPK), dan profil lipid (kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL) 3) Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap) : Waktu protrombin APTT Kadar fibrinogen D-dimer INR Viskositas plasma 4) Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi : Protein S Protein C ACA Homosistein b.Pemeriksaan Kardiologi Pada sebagian kecil penderita stroke, terdapat juga perubahan elekrokardiografi (EKG). Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat serangan infark jantung, atau pada stroke dapat terjadi perubahan-perubahan EKG sebagai akibat perdarahan otak yang menyerupai suatu infark miokard. Dalam hal ini pemeriksaan khusus atas indikasi, misalnya pemeriksaan CK-MB lanjutan akan memastikan diagnosis. Pada pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik, mengarah kepada kemungkinan adanya sumber emboli (potential source of cardiac emboli/PSCE) maka pemeriksaan ekhokardiografi terutama Transesofageal echocardiography (TEE) dapat diminta untuk visualisasi emboli kardial. c. Pemeriksaan pada Emboli Serebral Dugaan akan emboli serebral ditentukan setelah diagnosis stroke secara klinis telah dipastikan. Langkah selanjutnya adalah memastikan emboli kardiak sebagai penyebabnya. Pemastian ini tidak selalu mudah dan ada dua hal yang harus diteliti, yaitu : a. Pemastian ada sumber emboli di jantung b. Pemastian bahwa tipe stroke iskemik yang terjadi merupakan stroke yang sering menyertai/disebabkan karena emboli kardiak berdasarkan pertimbangan klinis dan penelitian epidemiologi. Jika telah dicurigai emboli kardiak sebagai penyebab emboli serebral, maka kadangkadang diperlukan pemeriksaan khusus untuk mevisualisasi sumber/ emboli kardiak terutama jika tak ada faktor risiko stroke diluar kardiak. Di Departemen Neurologi , penderita dengan stroke rutin dilakukan foto thorak dan EKG. Jika ditemukan infark 47 teritorial pada CT scan, maka dilakukan konsultasi untuk pemeriksaan echokardiografi, khususnya Trans Esophageal Echokardografi (TEE) jika diperlukan. Selama 2 tahun (1996-1998) telah kami lakukan konsultasi TEE bersama dengan subbagian kardiologi FKUI/RSUPNCM, 37 kasus stroke dan 18 diantaranya ditemukan adanya trombus pada atrium (48,6%). Trombus pada atrium kiri ditemukan pada 14 kasus (77,7%) dan sisanya di ventrikel kiri (23,3%). d.Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi yang paling penting adalah: CT scan Otak: segera memperlihatkan perdarahan intra serebral. Pemeriksaan ini sangat penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan infark otak. Pada infark otak, pemeriksaan CT scan otak mungkin tidak memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada hari-hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi,oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk memastikan proses patologik di batang otak. Pemeriksaan foto thoraks: dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke dan adakah kelainan lain pada jantung. Selain itu dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses manajemen dan memperburuk prognosis. 5. Serangan Iskemik Sepintas (TIA) Meskipun transient ischemic attack (TIA) merupakan suatu golongan penyakit tersendiri, diagnosis penyakit ini tidak selalu mudah ditegakkan. Hal ini karena penderita biasanya datang ke dokter pada saat serangan sudah berlalu, dan gejala telah menghilang. sehingga anamnesis menjadi sangat penting. Disamping gejala utama yang dikeluhkan, dokter dengan tekun dan teliti harus mengenal secara baik rentetan gejala yang berhubungan erat dengan proses penyakit. Mungkin gejala tersebut dilupakan penderita tetapi merupakan hal penting dalam anamnesis untuk mengarahkan kepada diagnosis TIA. Jika gejala yang diceritakan penderita jelas menunjukkan lesi patologik fokal, maka harus dicari terus apakah terdapat gejala tambahan yang lebih mempertegas gangguan pada salah satu sistem vaskular otak. Misalnya, jika diketahui ada hemiparesis, maka pada penderita harus dicari apakah terdapat juga disfasia atau gangguan visus unilateral. Karena itu anamnesis yang teliti dan terpimpin tetap merupakan kunci utama diagnostik TIA. Mengingat hal tersebut diatas, maka pemeriksaan tambahan merupakan pegangan penting yang kedua dalam menegakkan diagnostik TIA, dan pemeriksaan ini akan mengungkapkan secara lebih lengkap mengenai patofisiologi proses TIA yang dialami penderita. Terlebih lagi oleh karena kemajuan bidang bedah vaskuler, pemeriksaan ini menjadi lebih penting.TIA merupakan awal suatu infark serebral dan untuk eksplorasi lebih lanjut, penderita harus dirawat di rumah sakit. 48 Pemeriksaan Penunjang pada TIA Secara umum sama dengan pemeriksaan pada stroke, yang khusus adalah: a. Pemeriksaan kardiologik merupakan pemeriksaan penting karena gangguan irama sering menjadi penyebab TIA. Sering dilupakan bahwa hipotensi ortostatik dapat juga menjadi penyebab TIA oleh karena itu pemeriksaan tekanan darah pada waktu tidur,duduk dan berdiri harus selalu dikerjakan. b. Pemeriksaan foto kepala dan servikal juga merupakan pemeriksaan yang dikerjakan pada penderita TIA. Foto vertebra servikalis, lateral dan oblique kanan dan kiri bermanfaat untuk melihat foramina vertebralis, apakah ada osteofit yang akan menganggu atau menekan arteri vertebralis, dan pada gerakan leher dapat menyebabkan TIA. c. Pemeriksaan neurovaskuler non invasif 1) Pemeriksaan bising nadi dan denyut nadi leher Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada setiap penderita TIA untuk menilai keadaan perubahan besar dan perbedaan antara denyut nadi karotis kiri dan kanan, perbedaan atau perbandingan antara denyut nadi arteri temporalis superfisialis kiri dan kanan. Setelah itu dengan stetoskop didengar ada kemungkinan adanya bising nadi (arterial bruits); sungkup stetoskop diletakkan di daerah orbita, di bagian lateral bifurkasio karotis di leher dan retroaurikular. Terdapatnya bising nadi atau berkurangnya denyut nadi pada salah satu sisi menunjukkan kemungkinan kelainan morfologik pada pembuluh darah, sehingga lebih lanjut harus ditentukan dengan pemeriksaan penunjang yang lain. Jadi adanya bruit intrakranial pada seseorang dengan TIA menunjukkan adanya kemungkinan besar gangguan pada pembuluh nadi utama yang ke otak. 2) Pemeriksaan oftalmodimamometri Pemeriksaan ini bertujuan mengukur tekanan darah pada pangkal arteri oftalmika, baik diastolik maupun sistolik dengan cara memberikan tekanan dari luar terhadap arteri karotis retina/bola mata, yang kemudian tekanan ini dikurangi secara bertahap, kemudian denyutan arteri sentralis retina dideteksi dengan oftalmoskop. Tekanan dari luar yang diaplikasikan kepada bola mata diukur melalui alat oftalmodimamometer yang telah ditera secara empirik. Sebenarnya secara prinsipil, pengukuran tekanan darah ini tidak berbeda dengan pengukuran tekanan darah pada arteri brakialis di lengan atas. Metode ini sudah dikembangkan sejak tahun 1963 dan mudah dilakukan. Aplikasi tekanan pada bola mata ditera dalam gram dan dikonversikan kedalam mmHg. Jika terjadi penurunan tekanan pada salah satu sisi terutama tekanan diastolik lebih daripada 25%, maka perbedaan ini dianggap bermakna. Atau penurunan tekanan sistolik dan diastolik > 20%, berarti bahwa pada sisi yang tekanannya menurun telah terjadi penurunan pressure-gradient yang terjadi akibat 49 gangguan aliran darah atau sumbatan pada bagian proksimal arteri karotis interna atau arteri oftalmika. Pada umumnya kelainan tersebut paling sering disebabkan karena proses aterosklerosis pada bifurkasio karotis, pada pangkal arteri karotis interna atau pada arteri karotis komunis. Dalam frekuensi yang lebih kecil sumbatan terjadi pada pembuluh nadi yang lebih proksimal atau pada pangkal arteri karotis komunis. Dengan uraian diatas, jelaslah bahwa pemeriksaan oftalmodinamometri sangat berguna bagi penderita TIA yang mengenai sistem karotis dengan derajat akurasi 70 – 75 %. Pengukuran dilakukan pada posisi setengah duduk supaya faktor gravitasi dapat memperjelas ketajaman pengukuran. Pada klinik neurooftalmologi Departemen Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah dilakukan pengukuran dan hasil-hasilnya telah pula dipublikasikan. Namun pada keadaan-keadaan di bawah ini, hasil pengukuran menjadi sulit diinterprestasikan, yaitu pada : Aritmia jantung Glaukoma yang berat Penderita yang gelisah atau nonkooperatif Penderita dengan kelainan dan asimetri pada arteri sentralis retina serta cabang-cabangnya. Pengukuran harus dilakukan beberapa kali dan selalu harus diukur tekanan sistematik sebagai pembanding. 3) Pemeriksaan Funduskopi Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop merupakan pemeriksaan bedside yang sangat bermanfaat pada penderita TIA, terutama TIA sistem karotis. Pada kasus-kasus TIA akibat proses tromboembolik pada sistem karotis seringkali terjadi gangguan visus homolateral yang menyertai gejala neurologis fokal kontralateral. Gejala-gejala neurooftalmologik ini adalah berupa: Transient monocular blindness yang berlangsung 2-3 menit, jarang melebihi 5 menit, kemudian berangsur-angsur terang kembali. Timbulnya secara mendadak dan dapat diikuti oleh gejala serebral fokal secara bersamaan pada sisi kontaralateral. Kadang-kadang serangan tidak berupa kebutaan total, tetapi berupa dimness of vision atau hilangnya penglihatan pada bagian atas atau bagian bawah saja dengan batas horizontal yang tegas. Serangan yang lebih jarang adalah transient homonymous hemianopia, yaitu serangan yang mengenai kedua medan penglihatan mata. Hal ini terjadi apabila arteri serebri posterior mengalami iskemi sepintas akibat insufisiensi system vertebrobasilar. 50 Altitudinal hemianopic scotoma: gangguan penglihatan berupa hilangnya medan penglihatan dimulai dari bagian atas yang berangsur-angsur berjalan kearah bawah. Beberapa penemuan pemeriksaan oftalmoskopi yang penting adalah: Terdapat emboli pada pembuluh retina ipsilateral. Adanya white plaque pada arteri diretina sewaktu serangan TIA dengan stenosis karotis yang jelas, pernah dilaporkan pertama kali di luar negeri pada tahun 1959. Plak ini perlahan-lahan bergerak ke distal, berhenti pada percabangan arteriol dan kemudian menghilang karena proses lisis. Hal ini berlangsung dalam beberapa menit. Emboli ini terdiri atas materi fibrin dan trombosit. Jenis kedua emboli regional pernah dilaporkan yaitu dengan adanya yellow plaques yang bergerak lebih lambat ke arah perifer serta dapat tinggal lebih lama didalam lumen tanpa mengganggu aliran retina secara berarti. Penemuan adanya plak ini membantu diagnostik TIA ke arah ateroma pembuluh karotis. Retinopati hipertensif asimetrik (asymmetric hypertensive retinopathy). Pada penderita hipertensi sering ditemukan berbagai perubahan yang khas berupa arteriosklerosis retina. Jika ada asimetri yang jelas, maka sisi retina yang lebih baik terjadi akibat adanya “perlindungan” terhadap proses ateroma karotis, sehingga pengaruh hipertensi atau perfusion pressure yang tinggi tidak mencapai sisi retina tersebut. Terdapat atrofi n. optik primer yang tidak jelas sebabnya pada satu sisi. Keadaan ini dapat disebabkan karena flow yang sangat bekurang pada sisi karotis yang tersumbat karena ateroma sehingga terjadi iskemia retina sesisi yang berakibat atrofi n. optik primer. Oklusi arteri karotis retina sesisi atau neuropati optik iskemik (ischemic optic neuropathy) yang akut. Pada keadaan ini perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya emboli pada sistem karotis. 4) Pemeriksaan termografi fasial Prinsip pemeriksaan ini adalah sebagai berikut: telah diketahui bahwa pada penderita dengan oklusi karotis atau insufisiensi karotis, maka peredaran darah yang ke wajah muka ipsilateral juga akan bekurang termasuk sirkulasi ke kulit, terutama di daerah orbita. Keadaan ini mengakibatkan berkurangnya derajat penguapan panas (heat emission), yang dengan jelas dapat dideteksi dengan infrared thermogram. Pemeriksaan ini sangat mudah dan aman dilakukan, namun beberapa keadaan selain kelainan insufisiensi karotis dapat pula berpengaruh sehingga menimbulkan false positif. Keadaan tersebut terjadi pada migrain atau proses inflamasi di daerah orofasial. Oleh karena varibelnya banyak, maka interpretasi hasil harus lebih berhati-hati. 5) Pemeriksaan ultrasonografi (ultrasonic imaging) – Transcranial Carotid Doppler (TCD) dan Carotid Duplex Sonography (CDS) 51 Dengan alat ini, maka gambaran sistem karotis pada daerah leher atau bifurkasio dapat diproyeksikan pada satu layar. Demikian pula bila ada suatu stenosis atau oklusi dapat dideteksi dengan alat ini. Teknik ini sangat bermanfaat dan dengan cepat serta aman berbagai kelainan pembuluh darah bifurkasio karotis dapat dilihat. Hal ini mempermudah para ahli bedah vaskular dalam menilai kondisi morfologik pembuluh darah didaerah leher, sebab pada sisi yang sehat pun belum tentu pembuluh karotis paten pula lumennya. Pemeriksaan ultrasonografi transkranial karotis Doppler (TCD) dapat menilai secara tidak langsung keadaan hemodinamik pembuluh darah otak utama. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui besarnya aliran darah (flow) di masing-masing pembuluh darah otak dan dapat diperkirakan aliran otak melebihi normal (misalnya pada arterio venosa malformasi) atau berkurangnya aliran karena oklusi arteri karotis interna. Perubahan aliran darah otak pada aneurisma dapat juga diperkirakan dengan pemeriksaan TCD ini. Pemeriksaan yang bersifat non invasif ini selain dapat dipakai sebagai penilaian hemodinamik pada stroke juga pada pre dan pasca tindakan pemasangan balon/sten (ballooning/stenting) pada kelainan struktural pembuluh darah otak. Pada salah satu kongres angiologi di London (1990) ahli bedah vaskuler telah melakukan endarterektomi karotis hanya dengan melihat hasil penentuan carotid imaging dengan duplex carotid tanpa angiografi dengan hasil yang memuaskan. Tindakan seperti ini belum dianggap sebagai tindakan standar. Pemeriksaan pembuluh dasar otak dengan menggunakan tehnik noninvasive Transcranial Doppler adalah cara yang cepat tepat dan akurat. Penggunaan probe 2 MHz untuk arteri basalakranial dan probe 4,8 MHz untuk daerah yang lebih superficial. Dasar pemeriksaan adalah menangkap benda yang bergerak didalam pembuluh dalam hal ini adalah eritrosit Hasil yang didapat dalam perekaman ini tertera dalam monitor dalam bentuk spectrum yang dapat dengan mudah dianalisa, tetapi dapat pula secara langsung menghasilkan suara pembuluh darah setempat yang secara tidak langsung dapat memberikan masukan mengenai kondisi pembuluh yang yang bersangkutan. Dari spektrum akan menggambarkan kecepatan aliran( flow velocity), arah aliran, ada tidaknya aliran ganda tambahan, sedangkan dari suara yang dihasilkan dapat terekam suara pembuluh yang normal, suara aliran berputar yang merupakan manifestasi lekukan pembuluh atau penyempitan pembuluh dan emboli, sedang pada sumbatan pembuluh darah yang berat dapat ditemukan suara yang “high pitch”. Kepekaan alat ini dalam melakukan 52 perekaman tidak saja ditentukan oleh kemampuan alat itu sendiri tetapi juga ditentukan oleh pengalaman pemeriksa. Berdasarkan pengalaman parapakar TCD antara lain Ringerstein,1990 mengatakan secara umum sensitifitas dan spesifisitas adalah TCD 87,5%. Petty,1990 dan Lindergaard,1996 mengatakan sensitifitas pemeriksaan MCA dan Siphon stenosis dengan menggunakan TCD adalah 73% – 94%. Indikasi Transcranial Doppler : Dalam praktek lapangan kegunaan transcranial Doppler sangat bervariasi, hal ini dikarenakan transcranial Doppler termasuk salah satu alat diagnostik yang non invasive dan mudah digunakan serta tidak meninbulkan dampak negatif bagi penderita walaupun diulang berkali-kali. Satu hal yang perlu diingat, ultra sound bean masih diduga dapat memimbulkan percepatan katarak pada power yang tinggi. Kegunaan TCD diklinik antara lain dapat dimasukan dalam kategori:. 1. Mempelajari aliran dan kelainan pembuluh darah. 2. Monitoring cerebral microemboli. 3. Evaluasi pengobatan. Mempelajari aliran dan kelainan pembuluh darah : Beberapa kelainan aliran dan pembuluh yang umumnya diindikasikan penggunaan transcranial Doppler antara lain : 1. Sistim kollateral. 2. Penyumbatan. ( Local stenosis ) 3. Spasme.( Vasospasm ) 4. Feeder arteri. 5. Mati otak. ( Brain Death ) 6. Vasomotor reactivity. 7. Dsb. Sistim Kollateral. Kollateral adalah suatu anastomosis pembuluh darah dapat berasal dari intarakranial maupun ekstrakranial. 53 Ekstrakranial yang utama dipelajari adalah anastomosis pembuluh darah karotis interna dengan pembuluh darah karotis externa yang menghubungkan arteri temporali superficial dan arteri fasialis dengan arteri opthalmika melalui arteri supratrochlearis dan arteri supraorbita. Intrakranial anastomosis meliputi sirkulus wilissi melalui arteri communican anterior dan communican posterior. Pengetahuan mengenai anatomi anastomosis ini sangat penting dalam menindak lanjuti kelainan sumbatan seperti : 1. Oklusi ektrakranial karotis interna. 2. Oklusi arteri karotis intra cranial dibawah arteri opthalmika. 3. Oklusi arteri karotis intra cranial diatas arteri opthalmika 4. Oklusi arteri subclavia sebelum percabangan arteri vertebralis (subclavian steal). Pada sumbatan arteri karotis interna ekstrakranial akan memberikan tanda yang sama dengan stenosis berat atau sumbatan arteri karotis intrakranial sebelum arteri opthalmika berupa perubahan arah aliran pada arteri opthalmika atau pada arteri supratrochlearis, dan supra orbita. Sumbatan pada arteri karotis interna sesudah arteri opthalmika , arah aliran arteri opthalmika tidak berubah. Sedangkan arteri karotis interna ekstrakranial kontralateral dan arteri vertebrobasilar terutama arteri cerebri posterior ipsilateral akan menunjukan feeder like. Sumbatan arteri vertebralis ektrakranial maupun sumbatan arteri subklavia proksimal arteri vertebralis akan memberikan gambaran perubahan aliran arteri vertebralis yang semula menjauhi probe menjadi menuju probe hal inilah yang dikenal sebagai subklavian steal. Local Vessel Stenosis. Dalam mempelajari stenosis arteri basal kranial , harus dipastikan terlebih dahulu keadaan arteri karotis ekstra cranial. Mohr mengatakan deteksi TCD terhadap stenosis arteri basal cranial berarti stenosis tersebut telah mencapai ukuran 65%. 54 Stenosis yang ditandai dengan peningkatan flow velocity ini , akan mengalami hal sebaliknya jika stenosis tersebut telah 80%, dimana pada stenosis seberat ini terjadi kehilangan daya dorong dari erithrosit sehingga flow velocity menjadi menurun hal ini dikenal sebagai “critical stenosis” (Framingam). Pencarian arteri basal cranial stenosis terutama dilakukan pada penderita stroke , walaupun flow velocity tidak dapat menilai cerebral blood flow secara langsung tetapi setidaknya keadaan flow velocity itu akan menggambarkan keadaan sirkulasi darah diotak. Dan jika dilihat apa yang direkomendasikan oleh europian stroke initiative bahwa penggunaan antikoagulan dibenarkan jika ditemukan adanya stenosis berat, maka TCD tidak saja merupakan bagian dari factor penunjang diaknosa tetapi sudah menjadi penunjang pengobatan klinik.. Yi-Min chen et al 1999, mengunakan TCD sebagai alat penilai prognosa pada penderita stroke. Pada penelitiannya terhadap 41 orang penderita infark otak yang dilihat dengan CT Scanning sebagai infark territorial MCA. Sebelas orang menderita oklusi / kritikal stenosis arteri karotis interna ektrakranial, dua orang menderita stenosis moderat arteri karotis ekstrakranial, tiga orang menderita keduanya dan 25 orang menderita murni sumbatan MCA. Terbukti MCA territorial infark dapat ditimbulkan baik oleh sumbatan MCA sendiri maupun sumbatan diluar MCA tetapi, yang mengalami sumbatan MCA mempunyai prognosa lebih buruk dibandingkan dengan gambaran MCA territorial infark dengan stenosis arteri karotis ekatrakranial. Penderita hypertensi maligman tidak jarang ditemukan multiple basal cranial stenosis hal ini disebabkan karena kebutuhan CBF yang konstan sehingga diperlukan tekanan darah yang relatif lebih tinggi utuk mencukupinya. Cerebral Vasospasm TCD dikembangkan pertama kali adalah untuk mempelajari hemodinami pembuluh darah otak pada penderita perdarahan subarachnoid sehinggga diketahui adanya vasospasme pada perdarahan subarachnoid terjadi dari hari ke 4 dan akan terus meningkat untuk mencapai puncaknya pada hari ke10 selanjutnya turun kembali sampai hari ke 17 . 55 Vasospasm yang terjadi dengan pengindraan TCD diketahui tidak sama pada seluruh arteri basal kranial dimana disatu sisi spasme terjadi lebih berat dari yang lain. Konfirmasi studi dengan CT scanning diketahui spasme terjadi pada daerah yang lebih banyak mengandung bekuan darah dirongga subarakhnoid.. Sensitifitas pemeriksaan TCD dalam memeriksa adanya vasospasme berkisar antara 59%-94%, sedangkan spesifitasnya berkisar antara 85%-100%. Zainal et al 1991 melakukan serial TCD pada penderita traumatik perdarahan subarakhnoid dan ditemukan adanya spasme yang terjadi dari proksimal kedistal pembuluh darah serta dimilai dari hari ke 4 sampai hari ke 18. Sedangkan Harris S , 1994 dalam studi kasus evaluasi vasospasme arteri serebri media perdarahan subarakhnoid, penyembuhan vasospasme yang terjadi tak ada perbedaan bagian distal maupun proksimal. Dapat pula dievaluasi efek obat-obat vasoaktif seperti pavaverin, nimodipin dan sejenisnya terhadap reaksi vasospame tersebut Feeder Vessels. Merupakan gambaran spektrum yang ditandai dengan peningkatan “ peak systolic velocity” yang diikuti peningkatan “end diastolic velocity” dimana peningkatan end diastolic velocity lebih menonjol sehingga pulsatility index menjadi menurun. Keadaan ini mengambarkan seolah-olah pembuluh darah arteri sebagai pembuluh darah vena yang berpulsasi. Adanya suatu AVM memberikan gambaran feeder pada pembuluh yang mensuplai darah kesana , hal serupa dapat dijumpai pada keadaan hiperemia. Kedua keadaan tersebut dengan mudah dapat dibedakan berdasarkan reaktifitas pembuluh terhadap stimulasi vasoaktif pembuluh dimana reaksi vasoaktif ditemukan lebih baik pada hiperemia. Penderita dengan riwayat sakit kepala kronis dapat ditemukan adanya feeder vessel bila reaktifitas baik merupakan manifestasi dari vaskular headache (feeder like) dan sebaliknya jika vasoaktif minimal kecurigaan perlu diarahkan pada kemungkinan suatu arterio-venous malformasi (AVM).. Brain Death. Dasar penilaian adanya brain death pada pemeriksaan TCD adalah tekanan intrakranial (ICP) akan lebih besar dari pada tekanan perfusi cerebral (CPP). 56 Pada pemeriksaaan akan dijumpai gambaran yang bervariasi antara lain : 1. End diatolic velocity menghilang. 2. End diastolic velocity terbalik 3. Sharp systolic flow. 4. Small spike. 5. Pulsatility index yang tinggi.. Menurut Petty 1990, sensitipitas TCD dalam menegakkan diagnosa brain death adalah 91.3%, sedangkan spesifisitasnya 100%. Vasomotor Reactivity. Didefinisikan sebagai test yang melihat perubahan cerebral blood flow atau cerebral blood velocity sebelum dan sesudah distimulasi dengan pemberian vasodilator. Hal ini bertujuan untuk memdapatkan informasi mengenai kemampuan pembuluh darah yang bersangkutan untuk melakukan autoregulasi. Beberapa test yang dapat dilakukan antara lain apneu test, CO2 inhalasi test, diamox test. Test ini dilakukan terutama dengan meningkatnya tindakan endarterectomi pada penderita stenosis maupun oklusi arteri karotis interna ektrakranial. Sebelum dilakukan tindakan pembukaan kembali arteri karotids harus dipastikan bahwa sistim karotis distal stenosis atau penyumbatan masih mampu melakukan reaksi vasoaktif yang baik karena keadaaan hypoperfusi akan berubah menjadi hyperperfusi setelah operasi dilakukan. Pada keadaan dimana vasomotor reactivity tidak baik risiko perdarahan intracerebral sangat besar pada tindakan endarterectomi.. Dengan kemampuan ini TCD selalu dilakukan dalam kontek tindakan endarterektomi baik sebelum sewaktu maupun sesudah tindakan. Monitoring emboli Sebagaimana diketahui pemerikasaan anatomi non invasive arteri karotis dengan menggunakan B mode carotid duplex banyak dimukan adanya plaque Karotis pada penderita stroke. Plaque mempunyai risiko menyumbat maupun ruptur. Pada plaque yang ruptur akan disisipi oleh trombosit yang beraggregasi bertujuan untuk menutup ruptur tersebut untuk selanjutnya terjadilah proses hemostasis yang menghasilkan thrombus. Thrombus yang ada akan bertambah besar dan kuat karena selubung fibrin. Trombus yang terbentuk ini menggantung pada pembuluh darah serta melayang dalam aliran ; 57 keadaan thrombus ini berisiko untuk lepas dan meninbulkan emboli dilain pihak plaque yang mengandung thrombus memberikan ruang gerak yang lebih sempit dalam pembuluh darah sehingga terjadi stenosis pembuluh darah Karotis. Perkembangan technologi operasi pengangkatan plaque carotis sendiri mempunyai risiko terjadinya pelepasan emboli sehingga dalam pelaksaaannya selalu dilakukan pengamatan terus menerus terhadap aliran arteri cerebri media sesisi dengan menggunakan transcranial Doppler pada saat berlangsungnya operasi untuk menilai adanya emboli. Evaluasi pengobatan Transcranial Doppler dapat digunakan bukan saja untuk menentukan obat –obatan yang akan digunakan tetapi juga dapat digunakan untuk melihat efektivitas suatu pengobatan. Indikasi penggunaan obat antispasm pada subarachnoid hemorrhage dan dapat dievaluasi hasil yang diberikan oleh obat-obat tersebut. Penggunaan obat golongan antikoagulan pada prevensi stroke sekunder dapat dilakukan dengan ditemukannya basal cranial arteri stenosis. Penggunaan obat trombolisis dapat diamati dengan mengunakan TCD. Bernd mengatakan pemamfaatan TCD dalam pengobatan trombolisis pada sistim vertebrobasilar mempunyai kemampuan yang sama dengan angiography. d.Pemeriksaan Neurovaskular Invasif Tidak dapat disangkal lagi bahwa visualisasi sistem pembuluh darah otak merupakan syarat utama dalam menilai keadan penderita TIA. Meskipun etiologi penyakit ini banyak, akan tetapi sebagian besar disebabkan oleh proses tromboembolik dan ateroma pembuluh darah ekstrakranial atau dari jantung. Barnett menyebutkan bahwa dari penderita TIA yang dianggap menderita gangguan hemodinamik, maka 87 % menunjukkan adanya lesi vaskular yang sesuai dengan gejala klinisnya. Disebutkan pula bahwa pada kasus-kasus yang dikumpulkannya, lesi vaskular ini ditemukan pada 90 % kelompok karotis dan 78 % pada kelompok vertebrobasilar. Terhadap penderita ini telah dilakukan tindakan bedah pada pembuluh darah ekstrakranial serta anastomosis arteri serebri media temporalis. Pemeriksaan angiografi ini tidak dapat diganti dengan pemeriksaan apapun. Pada setiap penderita TIA dimana gangguan hemodinamik merupakan penyebabnya, maka setidaknya harus dikerjakan empat versi angiogram. Hal ini perlu untuk melihat keutuhan pembuluh darah ekstrakranial dengan tidak memandang apakah TIA karotis atau TIA vertebro-basilar. Sering ditemukan, bahwa pada TIA vertebro-basilar pembuluh-pembuluh karotis telah mengalami stenosis atau oklusi, dan sebaliknya. Selain melihat derajat penutupan atau stenosis pembuluh darah ekstrakranial, jenis-jenis sumbatan dapat pula divisualisasi, misalnya apakah suatu plak dengan iregularitas pada permukaannya atau steonosis itu bersifat smooth dan multiple (plak labil atau stabil). 58 Pada kasus-kasus tertentu, misalnya subclavian steal atau pulseless disease, aortogram mungkin harus juga dikerjakan. Informasi lain, yang juga dapat diperoleh dengan pemeriksaan arteriografi adalah keadaan kolateral ekstrakranial melalui arteri karotis eksterna dan kolateral karotis kiri-kanan serta arteri vertebralis. Keadan ini tampak jika dilakukan angiografi selektif pada karotis kiri atau kanan saja atau pada vertebrobasilar saja. Informasi ini dinilai sangat penting dalam pertimbangan endarterektomi dan by-pass, serta anastomosis. Tindakan arteriografi lebih diprioritaskan pada penderita calon tindakan pembedahan. Meskipun arteriografi mempunyai banyak keunggulan dan sampai saat ini merupakan pemeriksaan penunjang terpenting, namun kelemahannya adalah bahwa sangat sedikit informasi diperoleh mengenai proses hemodinamikanya sendiri. Sebagai contoh, tidak jarang ditemukan penderita dengan oklusi karotis bilateral yang hampir total tetapi asimtomatik. e.Pemeriksaan imajing otak Pemeriksaan computed axial tomography scanning (CAT Scan) dapat juga membantu melihat kemungkinan adanya infark pada penderita TIA, terutama silent infarct; jika positif, maka kemungkinan tromboembolik serebral lebih diperkuat. Perlu diperhatikan bahwa biaya pemeriksaannya sangat mahal, sehingga bila harus dikerjakan beberapa kali akan menjadi beban finansial yang amat berat bagi si penderita. Pemeriksaan lain yang lebih canggih ialah pemeriksaan SPECT (Simple Photon Emission Computed Tomography) dan PET Scan (Position Emission Tomography Scan), yang menggunakan radioisotop dan dapat memperlihatkan secara dinamik perubahanperubahan aliran darah otak pada kegiatan-kegiatan mental maupun fisik (terutama PET). Pada pemeriksaan SPECT, aliran darah otak diproyeksikan secara global dan dapat pula menilai perfisi radioisotop ke dalam darah di otak secara kualitatif. Sedangkan pada PET aliran darah otak secara lebih detail (regional) dapat memperlihatkan adanya pengurangan aliran darah secara kuantitatif. Dengan PET juga dapat dilihat aliran metabolisme oksigen glukosa dan lain-lain di daerah sehat maupun sakit. Keadaan ini merupakan revolusi besar dalam pemeriksaan otak. Karena pemeriksaan dapat dilakukan bukan saja dalam keadan sakit atau sehat dengan melakukan demonstrasi perubahan fisiologi aliran darah dan metabolisme otak dalam berbagai kegiatan fisik maupun mental. MANAJEMEN STROKE (Guidelines Nasional Stroke 2007) Manajemen Stroke untuk Indonesia, sesuai dengan kesepakatan nasional perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI), mengacu pada guidelines nasional stroke, 2007. Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas dan menurun kan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya yang berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala stroke dan penanganan stroke secara dini . Manajemen stroke dibagi dalam manajemen pra rumah sakit, di rumah sakit dan setelah keluar dari rumah sakit yang ditujukan untuk prevensi sekunder dan perbaikan kualitas hidup. 59 Selama perawatan di rumah sakit, selain pemeriksaan fisik neurologi, juga dipergunakan skoring analisis untuk lokasi lesi dengan klasifikasi Bamford dan beratnya stroke dengan NIHSS (National Institute Health of Stroke Scales). Untuk membedakan stroke iskemik dan stroke perdarahan dipakai Siriradj Score. Pengobatan farmakologik pada stroke dimaksudkan untuk mencegah kematian sel neuron berkelanjutan pada saat akut dan mencegah stroke berulang. Tatalaksana intervensi-neurologik untuk stroke iskemik dengan tehnik trombolisi plus stenting dan perdarahan subarakhnoid dengan tehnik coiling, saat ini telah dikembangkan. Dari hasil penelitian epidemiologi stroke, sekitar 20% penderita stroke akan mendapat serangan ulang (recurrent stroke).Untuk pencegahan stroke, prevensi primer dan sekunder merupakan hal yang terbaik. Dipandang dari sudut patofisiologi perubahan metabolisme baik di tingkat seluler maupun di tingkat regional berbeda antara stroke iskemik dan stroke hemoragik, sehingga dengan demikian pendekatan terapeutiknya juga akan berbeda. Penderita stroke sejak mulai sakit pertama kali dirawat sampai proses rawat jalan di luar RS, memerlukan perawatan dan pengobatan terus menerus sampai optimal dan mencapai keadaan fisik maksimal. Jadi, strategi manajemen mempunyai tujuan utama untuk: a. Memperbaiki keadaan penderita sehingga kesempatan hidup maksimum. Merupakan usaha terapeutik/medik terutama dalam fase akut hingga optimal. Pada penderita diukur bukan status neurologi, tetapi kemampuan fungsional yang dapat tercapai. b. Memperkecil pengaruh stroke terhadap penderita dan keluarga. Menurut WHO, konsekuensi stroke dilihat 4 aspek : a. Aspek patologi: membicarakan tentang anatomi, etiologi dan patofisiologi stroke secara klinis dan intervensi medik (pembedahan) dilakukan berdasarkan proses patologi ini. b. Impairment: menggambarkan hilangnya fungsi fisiologi, psikologis dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi okupational, EMG/evoked potential ditujukan untuk menetapkan kelainan ini. c. Disability: setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat seperti : tidak bisa jalan, menelan, atau melihat akibat pengaruh stroke. d. Handicap: halangan atau gangguan pada seorang penderita stroke akibat impairment atau disability tersebut. Manajemen stroke terdiri dari beberapa fase yang saling berkaitan dan berurutan, yaitu: a. Manajemen Umum pada fase akut b. Manajemen Spesifik pada fase akut; pembedahan maupun medik c. Manajemen Rehabilitasi pada fase perawatan lanjutan. I. Manajemen stroke pra-rumah sakit meliputi: 1. Deteksi dini stroke Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia, 60 vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya terjadi secara mendadak, harus dikenali oleh masyarakat. 2. Pengiriman pasien / transportasi - ambulans Ambulan gawat darurat sangat berperan penting dalam pengiriman pasien ke fasilitas yang tepat untuk penanganan stroke. Semua tindakan dalam ambulansi pasien hendaknya berpedoman kepada protokol dan petugas ambulan mempunyai kompetensi dalam penanganan stroke. Fasilitas ideal yang harus ada ada dalam ambulans sebagai berikut: a. Personil yang terlatih. b. Mesin EKG. c. Peralatan dan obat-obatan resusitasi dan emergensi d. Obat-obatan neuroprotektan. e. Telemedisin 3. Menyiapkan jaringan yaitu unit gawat darurat, stroke unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan definitif pasien stroke. II. Manajemen Kegawat Daruratan Stroke di Unit Gawat Darurat A. Manajemen stroke iskemik fase akut Penanganan stroke akut, harus disamakan dengan keadaan darurat pada jantung, karena baik pada kedaruratan kardiologik maupun neurologik, faktor waktu adalah sangat penting (time is brain). Otak dan sel-sel neuron harus diselamatkan secara cepat, karena sel-sel otak tidak dapat melakukan glikolisis anaerob sehingga masa bertahannya hanya beberapa menit pada iskemia otak fokal dan lebih lama (mendekati 60 menit) pada iskemia global (misalnya karena infark miokard akut). Manajemen stroke iskemik fase akut, dilakukan ABC sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan : a. Airway and Breathing: Pembebasan jalan napas bagian atas merupakan prioritas yang pertama supaya bersih dan bebas hambatan, setelah itu dilakukan penilaian tingkat kesadaran, kemampuan bicara, dan kontrol pernapasan dengan cepat hanya dengan menanyakan “nama dan alamat” penderita. Pemeriksaan orofaring dan mulut dilakukan untuk melihat sisa makanan, gigi palsu yang lepas atau benda asing dimulut. Kesulitan untuk memperoleh udara dan saluran napas bagian atas umumnya karena kesadaran menurun, mungkin diperlukan gudel atau jalan nafas hidung (nasal trumpet). Perlu diperhatikan bahwa pemasangan gudel dapat merangsang gag-reflex yang agak sulit ditoleransi penderita, kecuali bila kesadaran sudah sangat menurun. Jika penderita dengan kesadaran sangat menurun dan tidak mampu mengendalikan sekret oral, pertimbangkan untuk intubasi dan ventilasi mekanik. Setelah potensi jalan nafas terkendali, observasi terus menerus terhadap irama dan frekwensi pernapasan harus dilakukan. Tujuannya ialah untuk mendeteksi tanda-tanda awal gagal nafas misalnya pernafasan paradoksial dimana terjadi pengembangan rongga dada pada inspirasi sedangkan abdomen berkontraksi. Keadaan ini menunjukkan bahwa diafragma tidak berfungsi lagi dan tertarik ke atas. Intubasi ETT (Endo Trachel Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi. 61 b. Sirkulasi (Circulation) Stabilisasi sirkulasi penting untuk perfusi organ-organ tubuh yang adekuat. Termasuk komponen sirkulasi adalah denyut nadi, frekuensi detak jantung dan tekanan darah. Bruit di leher dan arteri oftalmika. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan pada kedua sisi, jika terjadi perbedaan nyata maka kemungkinan terdapat diseksi aorta atau karotis. Keadaan ini seterusnya bermanifestasi terhadap kedaruratan neurologi. Setelah itu dilakukan pemeriksaan denyut nadi pada keempat ekstremitas secara simetris. Jika mungkin, monitor kardiak dan tekanan darah, pemasangan pulse-oksimetri, dan dilakukan deteksi EKG. Perubahan EKG dapat terjadi misalnya berupa inverse gelombang T pada 15 – 70 % kasus stroke akut. Disritmia jantung terjadi jika terjadi pelepasan katekolamin otak yang bukan saja mempengaruhi hantaran listrik jantung tetapi juga menimbulkan dekompensasi kordis (gagal jantung kongestif) atau infark miokard akut. Berikan cairan kristaloid atau kolloid intravena (hindari pemberian cairan hipotonik seperti glukosa karena hiperglikemia menyebabkan perburukan fungsi neurologis dan keluaran). Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan disamping dapat memantau kecukupan cairan, juga dapat sebagai sarana untuk memasukkan cairan dan nutrisi. Optimalisasi tekanan darah. Jika sirkulasi telah stabil maka penilaian setiap 15 menit diperlukan untuk menilai kondisi di atas. Selain itu, pada penderita stroke akut harus segera dipasang IVFD (intravenous fluid drip). Setelah itu perlu tindak lanjut karena beberapa penyakit dapat menyerupai serangan stroke akut misalnya hipo dan hiperglikemi, hiponatremi, paralisis Todd pasca kejang, migrain komplikata dan keadaan infeksi akut (meningitis/ensefalitis). Pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnostik tersebut dilakukan setelah tindakan ABC selesai dengan baik. B.Manajemen pada Stroke Hemoragik Akut Pertolongan awal harus bersifat khusus, serupa dengan jenis lain dari stroke (Airway, Breathing, Circulation, cegah infeksi, dan sebagainya). Jika kepastian lokasi dan ukuran perdarahan intraserebral telah jelas pada CT scan/MRI, penentuan penyebab perdarahan perlu diketahui karena sangat mempengaruhi prognosis, apalagi jika tindakan pembedahan direncanakan akan dilakukan. Hal ini penting misalnya apakah ada kelainan-kelainan lain (gangguan koagulasi, gangguan fungsi hepar, kemungkinan amyloid vasculopathy). Faktor-faktor penentu prognosis yang telah diketahui : Derajat kesadaran menurun, usia, volume darah (50 cc pada perdarahan subratentorial, prognosisnya jelek, dan ekstensi perdarahan ke ruang intraventikural > 20 cc prognosisnya buruk). Pada perdarahan infratentorial, hilangnya refleks-refleks batang otak disertai respon motorik yang hilang terhadap nyeri jika berlangsung beberapa jam menunjukan prognosis yang buruk. CT scan otak ulang mungkin diperlukan jika klinis memburuk dan dapat ditemukan adanya perdarahan ulang ditempat yang sama atau tempat lain, hydrocephalus atau jika 62 status generalis menunjukkan adanya gangguan sistemik lain. Peninggian tekanan intrakranial bukan saja disebabkan oleh karena adanya hematom, tapi dapat disebabkan oleh faktor lain, seperti demam, hipoksia, kejang dan peninggian tekanan intrakranial yang harus segera diatasi. Penggunaan obat-obat untuk menurunkan tekanan intrakranial agak sulit dilakukan pada perdarahan intraserebral primer. Hal ini disebabkan karena pemakaian obat-obat ostemik seperti gliserol, manitol akan mengurangi edema di daerah tersebut, dalam waktu agak lama dapat memberi kesempatan pada hematom untuk menjadi lebih ekspansif karena edema perihematom berkurang. Karena penggunaan obat-obatan ini secara uji klinis acak belum ada untuk memberikan kepastian akan manfaat dibandingkan dengan kerugiannya. Larutan manitol 20-25 % merupakan zat yang paling banyak dipakai: 0,75-1mg/kg BB bolus diikuti 0,25-0,5 mg/kg BB setiap 3-5 jam tergantung pada respon klinis. Komplikasi penggunaan ostemik adalah hipotensi, hipokalemi, gangguan fungsi ginjal karena hiperosmolaritas gangguan jantung kongestif dan hemolisis. Beberapa senter menggunakan kortikosteroid, akan tetapi dibandingkan dengan obat osmolar maka bahaya komplikasi pengobatan lebih sering terjadi. Manajemen Stroke di Ruang Rawat PENATALAKSANAAN UMUM DI RUANG RAWAT. Penatalaksanaan komprehensif secara garis besar di ruang rawat stroke, terdiri dari hal-hal tersebut dibawah ini : 1. Ulangi pemeriksaan neurologi lengkap termasuk NIHSS dan Bamford serta follow up kondisi klinis dengan urutan SOAP (S=subyektif (keluhan), O=obyektif (hasil pemeriksaan fisik dan neurologic), A=asesmen (diagnosis) dan P=planning (pemeriksaan penunjang tambahan, konsultasi bagian lain, obat, fisioterapi, nutrisi) 2. Cairan 3. Nutrisi 4. Pencegahan dan mengatasi komplikasi 5. Penatalaksanaan medik yang lain a. Hyperglikemia pada stroke akut harus diobati. b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor tranquilizer seperti benzodiazepin short acting atau propofol bisa di gunakan. c. Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi. d. Berikan H2 antagonist, apabila ada indikasi (perdarahan lambung) e. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil f. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemeriksaan laboratorium, MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan indikasi g. Rehabilitasi. h. Komunikasi, Infoemasi dan Edukasi pada pasien dan keluarga. i. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien setelah keluar dari rumah sakit) 63 Perawatan umum pada penderita stroke akut Prinsip perawatan dan pengobatan umum pada stroke akut adalah mempertahankan kondisi agar dapat menjaga tekanan perfusi dan oksigenasi serta makanan yang cukup agar metabolisme sistemik otak terjamin. Secara klinis, ini dilakukan : a. Stabilisasi fungsi kardiologis melalui ABC. b. Mencegah infeksi sekunder terutama pada traktus respiratorius dan urinarius. c. Menjamin nutrisi, cairan dan elektrolit yang stabil dan optimal. d. Mencegah dekubitus dengan trombosis vena dalam. e. Mencegah timbulnya stress ulcer dengan pemberian obat antasida/pump inhibitor. f. Menilai kemampuan menelan penderita, untuk menentukan apakah dapat diberikan makanan per oral atau dengan NGT (nasogastric tube). Penentuan ini tidak sulit jika penderita sadar, tetapi menjadi sukar bila kesadaran penderita menurun, karena melakukan tes aspirasi mempunyai risiko terjadinya pneumonia aspirasi. Menurut Warlow (1995) pemeriksaan video fluoroskopi akan memperlihatkan proses visualisasi refleks menelan. Apabila alat ini tidak ada, maka gag reflex dapat dijadikan indikator fungsi menelan, walaupun sulit dipercaya. Kemungkinan gangguan menelan harus diperhitungkan pada keadaan – keadaan : Stroke berat : o kesadaran menurun o kelumpuhan berat dan ataksia trunkal o disfasia hemineglek dan hemianopia Usia tua Kegelisahan Paresis diafragma Kontrol batuk yang jelas terganggu Suara serak, bicara berat Adanya infeksi paru Sensasi faring yang berkurang Terapi medik stroke iskemik akut Terapi medik stroke merupakan intervensi medik dengan tujuan mencegah meluasnya proses sekunder dengan penyelamatan neuron-neuron di daerah penumbra serta merestorasikan fungsi neurologik yang hilang. 64 Pengobatan medik yang spesifik dilakukan dengan dua prinsip dasar yaitu: a. Pengobatan medik untuk memulihkan sirkulasi otak di daerah yang terkena stroke, kalau mungkin sampai keadaan sebelum sakit. Tindakan pemulihan sirkulasi dan perfusi jaringan otak disebut sebagai terapi reperfusi. b. Untuk tujuan khusus ini digunakan obat-obat yang dapat menghancurkan emboli atau trombus pada pembuluh darah. Agar kedua prinsip dasar terapi dapat dicapai, dilakukan terapi : 1. Terapi Trombolisis Satu-satunya obat yang diakui FDA sebagai standar ini adalah pemakaian r-TPA (recombinant-Tissue Plasminogen Activator) yang diberikan pada penderita stroke akut dengan syarat-syarat tertentu baik intravena maupun intra arterial dalam waktu kurang dari 3 jam setelah onset stroke. Diharapkan dengan pengobatan ini, terapi penghancuran trombus dan reperfusi jaringan otakterjadi sebelum ada perubahan ireversible pada otak yang terkena, terutama daerah penumbra. 2. Terapi Medik lainnya: a. Terapi reperfusi adalah pemberian antikoagulan pada stroke iskemik akut. Obatobatan yang diberikan adalah heparin atau heparinoid (fraxiparine). Obat ini diharapkan akan memperkecil trombus yang terjadi dan mencegah pembentukan trombus baru. Efek antikoagulan heparin adalah inhibisi terhadap faktor koagulasi dan mencegah/memperkecil pembentukan fibrin dan propagasi trombus. Ikatan heparin dengan AT III menginaktivasi enzim-enzim, sehingga koagulasi meningkat, yang bekerja terhadap trombin (IIa), faktor Xa dan faktor IXa. Pada saat ini para ahli belum merekomendasikan terapi antikoagulan pada stroke dan sepakat memberikan untuk mengobati trombus vena dalam yang merupakan komplikasi/penyulit stroke akut. b. Pengobatan anti platelet pada stroke akut. Pengobatan dengan obat antiplatelet pada fase akut stroke, baru-baru ini sangat dianjurkan. Uji klinis aspirin pada IST (International Stroke Trial) dan CAST (Chinese Aspirin Stroke Trial) memberitakan bahwa pemberian aspirin pada fase akut menurunkan frekuensi stroke berulang dan menurunkan mortalitas penderita stroke akut. c. Obat-obat defibrinasi Obat-obat ini berasal dari racun ular Ancord (purified fraction) yang mempunyai efek terhadap defibrinasi cepat, mengurangi viskositas darah dan efek antikoagulasi (Hoesman, 1982 disebut oleh Warlow et.al.1995).Obat ini pernah dicoba pada sejumlah kecil penderita tetapi hasilnya tidak signifikan. Efek samping berupa perdarahan otak merupakan hal-hal yang menghalangi penggunaan obat ini, tetapi sampai sekarang masih diteliti. d. Terapi Neuroproteksi Pengobatan spesifik iskemik stroke akut yang kedua adalah dengan obat-obat neuroprotektor, yaitu obat yang mencegah dan memblok proses yang menyebabkan 65 kematian sel-sel terutama di daerah penumbra. Obat-obat ini berperan dalam menginhibisi dan mengubah reversibilitas neuronal yang terganggu akibat kaskade iskemik. Termasuk dalam kaskade ini adalah kegagalan homeostasis kalsium, produksi berlebih radikal bebas, disfungsi neurotransmitter, edema serebral, reaksi inflamasi oleh leukosit, dan obstruksi mikrosirkulasi. Proses delayed neuronal injury ini berkembang penuh setelah 24-72 jam dan dapat berlangsung sampai 10 hari. Banyak obat-obat yang dianggap mempunyai efek neuroprotektor, antara lain: Penghambat kanal kalsium: nimodipin, manfaat pada stroke iskemik kurang meyakinkan. Obat-obat antagonis pre sinaptik dari Excitatory Amino Acid (EAA) seperti fenitoin, lubeluzole dan propentofilin yang kesemuanya ternyata juga kurang ekeftif pada uji klinik. Sedangkan obat antagonis asca sinaps terhadap EAA seperti cerestat, dizocilpime, dextorphan, dextrometorfan, selfotel dan eliprodril telah ditinggalkan karena kurang efektif dan mempunyai potensi efek samping yang serius. Obat-obat yang mensupresi pelepasan asam arakhidonat dan membran sel seperti prostasiklin ternyata tidak bermanfaat sebagai vasodilator (efek hipotensif) maupun sebagai antiplatelet, pada stroke iskemik akut. Obat-obat anti radikal bebas seperti lazaroid, tyrilazad mesylat dan propentofillin, keduanya tidak dapat digunakan karena tidak efektif. Secara umum dapat dikatakan, saat ini belum ada obat-obat neuroprotektif yang dapat dipakai pada iskemik stroke akut meskipun pada binatang percobaan jelas mempengaruhi dan memperbaiki sel-sel penumbra. Disamping obat-obatan di atas, telah pula dilaporkan usaha pengobatan dengan tujuan memperbaiki aliran darah otak serta metabolisme regional didaerah iskemia otak. Obatobat ini misalnya: citicholine, pentoksifilin, pirasetam. Penggunan obat-obat ini melalui beberapa percobaan klinik dianggap bermanfaat, dalam skala kecil. Seperti halnya dengan obat-obat lain pada stroke akut, variasi penderita dan sulitnya memperoleh sampel yang identik dan kecilnya jumlah penderita yang diselidiki menyebabkan hasil-hasil terapi yang kontroversial. Di masa yang akan datang diperlukan metode penelitian yang lebih seksama dan percobaan dalam skala besar/multi sentra, akan dapat membantu menentukan efek obat-obat ini secara lebih teliti. 3.Terapi Neuro-Intervensi Tatalaksana khusus pada saat ini juga dilakukan untuk kasus perdarahan sunarakhnoid yang disebabkan oleh anuerisma. Ada dua pilihan terapi, yaitu konservatif dan terapi intervensineurologik dengan pemasangan coiling oleh para ahli intervensionalis atau clipping oleh spesialis bedah saraf. Cara terapi konvensional adalah dengan pemberian nimodipin, terapi 3H, menghindari rangsang sinar, menghindari stres dan istirahat total. Untuk stroke iskemik juga telah dikembangkan tatalaksana neuro-intervensi yaitu dengan cara revascularisasi komprehensif. Caranya adalah dengan metoda trombosis pada fase akut 66 stroke iskemik dan dilanjutkan dengan melakukan stenting pada pembuluh darah karotis dan pembuluh darah didalam otak. Terapi stroke hemoragik Penanganan stroke hemoragik dapat bersifat medik atau bedah tergantung keadaan dan syarat yang diperlukan untuk masing-masing jenis terapi. Penanganan medik fase akut dilakukan pada penderita stroke hemoragik dengan menurunkan tekanan darah sistemik yang tinggi dengan obat-obat anti hipertensi yang biasanya kerja cepat untuk mencapai tekanan darah pre morbid atau diturunkan kira-kira 20 % dari tekanan darah waktu masuk rumah sakit. Jika keadaan penderita cukup berat karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) disertai dengan deteriorasi fungsi neurologik progresif, intubasi, hyperventilation terkontrol dan pemantauan diuresis dapat dilakukan dalam setting ICU. Tindakan bedah pada perdarahan intraserebal sampai sekarang masih kontroversial terutama pada perdarahan daerah ganglia, prognosis biasanya buruk secara fungsional. Meskipun ada beberapa indikasi untuk tindakan bedah, misalnya volume darah > 55 cc dan peregeseran garis tengah > 5 mm. Pada kasus perdarahan intraserebral, pasien dapat bertahan hidup, tetapi level fungsionalnya kurang baik Tindakan bedah pada stroke hemoragik. Perdarahan intraserebral dibedakan atas perdarahan supratentorial dan infratetorial dengan gejala klinis yang khas pada masing-masing lokasi. Tindakan pembedahan pada perdarahan intra-serebral primer tergantung tujuan tingkat keparahan klinis dan indikasi bedahnya. Tindakan bedah yang dilakukan adalah: aspirasi sederhana, kraniotomi dan bedah terbuka (open surgery), evakuasi endoskopik dan aspirasi stereotaksik. Aspirasi sederhana jarang dilakukan karena biasanya darah hanya sedikit yang dapat di sedot dan disamping itu dapat menimbulkan “blind in rebleeding”. sedangkan open surgery telah dibuktikan kurang bermanfaat karena pada uji klinis menyebabkan kematian dan cacat berat meningkat 13 % (prasal 1993, disebut oleh Warlow at al 1996). Evakuasi endoskopik yang dilakukan uji klinis oleh Auer et al 1989 (disebut Warlow at al 1996) menyebutkan bahwa prosedur ini berguna untuk perdarahan subkortikal dengan syarat penderita < 60 tahun dan kesadaran baik atau turun sedikit/somnolen. Metode ini tidak dapat dipakai pada perdarahan putamen dan talamus. Akan tetapi reevaluasi penelitian menunjukkan bahwa metode ini belum dapat direkomendasikan karena diperlukan uji klinis yang lebih besar. Aspirasi stereotaksik tanpa endoskopi telah banyak dilakukan terutama di Jepang pada perdarahan supratentorial baik intraparenkim maupun inteventrikular. Diperlukan uji kilnis yang mapan untuk memastikan bahwa metode ini cukup berhasil. Pembedahan perdarahan serebelum lebih pasti dalam indikasinya dibandingkan perdarahan supratentorial dan jika dilakukan sesuai indikasi akan menolong hidup penderita.indikasi yang jelas yaitu : adanya penurunan kesadaran yang disertai dengan kompresi batang otak yang prokresif atau diameter hematoma > 3 cm. jika penderita menurun kesadarannya dengan disertai hidrosefalus dan diameter hematoma < 3 cm, 67 maka tindakan ventrikulostomi (Ventriculo-Peritoneal shunt) dapat dilakukan sebagai tindakan awal dan kemudian observasi pendertia akan menentukan apakah trepanasi sereberal perlu untuk tindakan. Terapi Perdarahan Subarakhnoid Dasar-dasar penatalaksanaan perdarahan subaraknoid adalah menegakkan diagnosa klinis, menetapkan lokasi aneurisme yang bocor dan mengatasi perdarahan dengan pemasangan klipping pada aneurisma. Akan tetapi mortalitas yang tinggi pada perdarahan subaraknoid bersumber dari komplikasi yang sering ditemukan selama perawatan pasiennya, yaitu perdarahan ulang (rebleeding), delayed cerebral iskemia, hidrosefalus dan komplikasi sistemik lain. Seperti jenis stroke lainnya, pengobatan pada perdarahan subaraknoid juga dilakukan : a. Manajemen Umum Perhatian khusus ditujukan pada keadaan yang mempunyai potensi memperburuk kondisi dari penderita. Ini meliputi : 1. ABC pada resusitasi kardiopulmoner 2. Pengelolaan hipertensi Pengelolaan hipertensi harus hati-hati karena pengobatan yang agresif dapat menyebabkan hipotensi yang menyebabkan bertambahnya iskemia. Sebaiknya pengobatan hipertensi: hanya dilakukan bila ada kerusakan organ target dengan menggunakan anti hipertensi kerja cepat. 3. Keseimbangan cairan elektrolit. Pemberian cairan dan elektrolit yang cukup dan tidak boleh terjadi hipo atau hipervolemia. 4. Nyeri kepala pada penderita perdarahan subaraknoid yang sadar atau penurunan sedikit kesadaran dapat sangat hebat. Terapi medik dapat diberikan bertahap mulai dari ringan (parasetamol) sampai kodein, atau jika berat injeksi morfin secara intravena diberikan dalam beberapa dosis sehari. b. Pencegahan Perdarahan Berulang Risiko perdarahan aneurisma ulang pada perdarahan subarakhnoid diperkirakaan 35 – 40 % pada 4 minggu pertama dari mereka yang hidup pada hari pertama. Mereka yang dirawat pada hari pertama, risiko perdarahan ulang pada hari tersebut sulit dihindari, karena perdarahan ulang dapat terjadi pada 6 jam pertama setelah serangan dan mungkin pada mereka yang belum sempat dirawat dan meninggal. Karena itu secara kasar risiko perdarahan ulang kurang lebih 20 % pada hari pertama (Walow 1995). Penggunaan terapi anti fibrinolik adalah untuk mencegah perdarahan ulang. Di Indonesia sering dipakai adalah EACA (Epsilon Amino Caproic Acid) dengan dosis 3 – 4,5 gram setiap 3 jam secara IV.atau per oral. Manfaatnya adalah untuk mencegah lisis dari bekuan darah yang menutup dinding aneurisma bila belum pecah oleh bekuan fibrin (thrombosed aneurism). Struktur molekul EACA ini mirip dengan lysine dan memblok plasminogen untuk bergabung dengan fibrin yang memulai proses fibrinolisis. Disamping itu, obat 68 TEA (Tranexamid Acid) banyak dipakai dengan dosis (1 gram i.v. atau 1,5 gram oral 4 sampai 6 kali sehari). Efek obat ini adalah sama dengan EACA, dalam mencegah proses fibrinolisis pada thrombosed aneurysm. Sayangnya akhir-akhir ini manfaat kedua obat tersebut dipertanyakan karena pada metaanalisis RCT (Randomized Clinical Trial) yang dilakukan ternyata pengobatan anti fibrinolisis tidak berbeda dengan placebo (Warlow et.al. 1995). Pada saat ini sedang dicoba uji klinis kombinasi antara antagonis kalsium dengan anti fibrinolitik dan hasilnya belum diumumkan. c. Pencegahan Iskemia serebral Pada perdarahan subaraknoid dapat terjadi iskemia serebri, yang dipengaruhi oleh: Jumlah darah yang terlihat pada CT scan awal. Makin besar jumlahnya maka makin besar kemungkinan akan iskemia serebral timbul. Menurunnya kesadaran yang jelas setelah serangan. Perburukan kesadaran dapat menjadi indikator iskemia otak. Terdapatnya hipovolemia/hiponatremia. Telah diketahui bahwa salah satu akibat perdarahan subaraknoid, yaitu hiponatremia timbul yang diakibatkan oleh cerebral salt wasting effect. Pengobatan anti hipertensi yang berlebihan menyebabkan hipoperfusi dan mencetuskan iskemia serebral. Terdapatnya bukti-bukti meta-analisis yang menduga bahwa obat-obat anti trombolitik dapat menjadi pemicu iskemia serebral. Pencegahan yang efektif terhadap iskemia serebral, adalah dengan pengobatan antagonis kalsium Nimodipin, Warlow et.al. (1995) mengutip penelitian Pickard et.al. (1989) yang menunjukkan manfaat pemberian nimodipin oral setiap 4 jam selama 21 hari dibanding placebo. Hasilnya adanya penurunan signifikan dari keluaran dari 33 % menjadi 20 %. Sedangkan komplikasi serebral iskemia diturunkan secara signifikan sampai 34 %. Sampai sekarang nimodipin dianggap sebagai obat yang mencegah dengan efektif kemungkinan timbulnya delayed cerebral iskemia post aneurisma pada perdarahan subaraknoid. Obat-obat lain yang pernah dipakai sebagai prevensi adalah Tenadrocortisone acetate yang hasilnya tidak jelas bermanfaat sedangkan aspirin tampaknya mempunyai efek positif terhadap pencegahan iskemia serebral. meski dalam studi retrospektif perlu klarifikasi lebih lanjut. Jika terjadi perdarahan ulang pada perdarahan subaraknoid, yaitu pecahnya aneurisma lain, maka prognosis biasanya buruk. Gejala yang paling sering adalah perburukan klinis disertai penurunan kesadaran yang drastis. Perlu diperhatikan bahwa kejang, fibrilasi ventrikuler dan iskemia serebral merupakan hal-hal lain yang juga memperburuk kondisi klinis. Meski demikian, resusitasi kardio-pulmoner-serebral masih dapat dilakukan dan sebagian penderita masih dapat bertahan dan sadar kembali setelah mengalami henti nafas. Dalam hal ini, satu-satunya pertolongan dalam pengobatan hanya klipping emergensi dengan segala resikonya. 69 Manajemen Gangguan metabolik pada stroke Gangguan metabolik yang timbul pada fase akut stroke terutama stroke berat. Keadaan ini harus segera diatasi karena mempengaruhi prognosis dan kembalinya fungsi neurologik. Gangguan metabolik ini antara lain: a. Dehidrasi: dapat dikenal dengan pemeriksaan bedside dan pemeriksaan tambahan lain. b. Hiponatremia: sering terjadi pada stroke hemoragik dan perdarahan subaraknoid. Salah satu penyebabnya adalah kehilangan garam yang berlebih oleh karena penggunaan diuretika, atau karena faktor dilusi seperti SIADH (sindrome of inappropriate diuretic hormone). Keadaan hiponatremia memperburuk kondisi neurologis penderita stroke. Pengobatan, selain tambahan NaCI baik oral/parental (NaCI 3%) diberikan pelan – pelan untuk mencegah komplikasi central pontine myelinolysis (Machiava Bignami Disease) (Haris et al 1993, seperti dikutip oleh Warlow 1995). c. Hiperglikemia dan hipoglikemi: Kenaikan kadar glukosa darah ditemukan pada 43% penderita stroke akut, dan 25% diantaranya adalah penderita DM dan dalam jumlah yang sama (25%) ditemukan kenaikan HbA1c pada serum. Setengahnya lagi (50%) yaitu penderita non DM dengan respons hiperglikemia akibat stroke. Mungkin sekali kenaikan ini akibat dari pelepasan katekolamin atau karena steroid yang dieskresi berlebihan sebagai akibat stres (stress response). Implikasi klinik dari hiperglikemia pada stroke kurang baik karena ini mencerminkan respons terhadap stress berat (stroke yang parah) dan bahwa keadaan hiperglikemia menghambat restorasi neuro penumbra. Sedangkan keadaan hipoglikemia jelas memperburuk stroke. Biasanya akibat intake yang kurang atau pengobatan terhadap hiperglikemia yang terlalu rendah. Keadaan hipoglikemia segera diatasi dengan pemberian glukosa 40% atau memberikan gula peroral. Terapi stroke emboli Infark serebral, merupakan jenis terbanyak dari stroke (70-80%, Thomson et al, 1996). Di antara jumlah ini, 80% akibat kelainan patologi pembuluh darah serebro vaskuler baik perubahan arteriotrombotik pada pembuluh besar, maupun karena penyakit pada pembuluh kecil (small vessel disease) dengan manifestasi infark lakunar. Diantaranya 15% dari infark serebral terjadi karena emboli kardiak, akibat atrial fibrilasi atau penyakit jantung iskemik. Sisanya diperkirakan akibat aorta dissecans, hiperkoagulasi dan vaskulitis serebral (5%), sedangkan 20% tidak jelas (Sacco et.al. 1989). Thomson dan Furlan juga mengutip pernyataan Terant 1993, bahwa dari penderita stroke yang terjadi setiap tahun, 75% serangan pertama, 20% merupakan stroke ulang dan 5% adalah penderita stroke multipel. Gangguan fungsi jantung akan meningkatkan risiko stroke, seperti penyakit jantung koroner, penyakit jantung kongestif, penyakit katup, trombus intra kardiak, dan atrial fibrilasi kronik merupakan faktor risiko terendah yaitu 3% setahun dan akan meningkat jika terjadi peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler. 70 Pengobatan stroke akut, baik karena apapun sebabnya, terdiri atas : a. Pengobatan umum meliputi : 1) Tindakan ABC dan resusitasi kardiopulmoner. 2) Pencegahan makanan, cairan dan elekrolit 3) Pencegahan infark sekunder. 4) Mencegah edema serebral 5) Mencegah hipertermi dan kejang-kejang 6) Menilai fungsi menelan 7) Mencegah DVT, emboli pulmonal dan dekubitas akibat immobilisasi b. Pengobatan spesifik Pengobatan spesifik pada emboli serebri pada prinsipnya sama seperti stroke lainnya, yaitu: 1) Reperfusi: memperbaiki aliran darah otak dengan menghancurkan bekuan (trombolitik) dengan syarat-syarat dan waktu yang khusus yaitu kurang dari 3 jam dengan Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rTPA). Obat-obat lain yang tidak jelas dibuktikan manfaatnya seperti heparin (antikoagulan). Akan tetapi dalam hal stroke kardio-embolik ada beberapa hal yang perlu ditonjolkan yang akan diuraikan secara umum. 2) Obat-obat neuroprotektif: obat-obat ini dipakai berdasarkan pemakaian eksperimental yang membutikan bahwa proses perubahan patologik dan metabolik pada sel neuron yang mengalami iskemia dipengaruhi oleh banyak faktor. Terutama yang menonjol adalah influks ion Ca intraselular serta perubahan permeabilitas membran sel terhadap ion K/Na (Na/K pump) serta bertambahnya radikal bebas di daerah iskemi. Dengan menggunakan obat-obat yang memblokade perubahan patologik dan metabolisme ini diharapkan kematian sel-sel neuron dapat dicegah. Obat-obat yang pernah dicoba seperti nimodipin (penghambat kanal kalsium), aminosteroid, dan antagonis reseptor NMDA. Sayangnya, sampai sekarang obat-obat tersebut hasilnya masih kontroversial. 3) Obat-obat lain seperti Ancord (bisa ular) pernah dicoba sebagai anti koagulan tetapi hasilnya pada manusia tak bermanfaat. Terapi anti koagulan pada stroke emboli Pada fase akut stroke, heparin merupakan antikoagulan yang paling sering dipakai. Alasan memakainya adalah (Sherman dan Lalonde, 1997): Heparin mengurangi frekuensi DVT dan emboli pulmonal (di USA frekuensi DVT pada stroke 75, dan emboli pulmonal 5%) Mencegah dan memperkecil pembentukan trombosis intraarterial pada penderita stroke dengan demikian mencegah perburukan stroke (karena propagasi 71 trombus). Dalam hal ini sampai sekarang, heparin belum terbukti memperbaiki keluaran stroke iskemik (embolik) dan masih kontroversial. Pemberian heparin pada stroke kardio-embolik masih tetap diberikan di beberapa senter di Amerika dan dilakukan seperti yang direkomendasikan oleh Cerebral Embolism Study Group (1983). Perlu diingatkan bahwa bahaya perdarahan intraserebral yang cepat pada pemberian heparin terutama pada orang tua, hipertensi berat dan infark yang luas. Penggunaan heparin subkutan lebih disukai dari pada intravena (Warlow et. al 1995) dan pemberian heparin dilakukan hanya untuk beberapa hari sambil menunggu efek oral antikoagulan yang lebih efisien tapi efektifitasnya penuh setelah beberapa hari pemberian. Akhir-akhir ini dilaporkan Kay (1995) manfaat yang lebih baik dari Fraxiparine, derivat heparin yang lebih stabil dengan efek samping yang lebih ringan. Pengobatan diberikan dengan pemberian subkutan dan meskipun belum dipakai secara luas, tetapi telah dicoba pada stroke embolik mendahului pemberian oral antikoagulan. Pemberian heparin diberikan secara intravena dimulai dengan bolus 5.000 unit dan selanjutnya diberikan 10.000-15.000 unit per hari dengan mempertahankan APTT 1,5 – 2,5 kali normal selama 2-3 hari dan kemudian diberikan oral antikoagulan (warfarin) dengan target INR 2-3. Biasanya dalam 2-3 hari setelah optimalisasi dosis warfarin, pemberian heparin dihentikan dan pengobatan diteruskan dengan antikoagulan oral. MANAJEMEN KEDARURATAN MEDIK STROKE PADA KONDISI KHUSUS A. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI atau HIPOTENSI PADA STROKE 1. Penatalaksanaan pada tekanan darah yang tinggi Pada penderita dengan tekanan darah diastolik > 140 mmHg (atau >110 mmHg bila akan dilakukan terapi trombolisis) diperlakukan sebagai penderita hipertensi emergensi berupa drip kontinyu nikardipin, diltiazem, nimodipin dan lain-lain. Jika tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan /atau tekanan darah diastolik >120 mmHg, berikan labetalol i.v. selama 1 – 2 menit. Dosis labetalol dapat diulang atau digandakan setiap 10 – 20 menit sampai penurunan tekanan darah yang memuaskan dapat dicapai atau sampai dosis kumulatif 300 mg yang diberikan melalui teknik bolus mini. Setelah dosis awal, labetalol dapat diberikan setiap 6 – 8 jam bila diperlukan. Masih ada pilihan obat lain sesuai dengan guidelines. Jika tekanan darah sistolik < 220 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik < 120 mmHg, terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan sebagainya. Jika peninggian tekanan darah tersebut menetap pada dua kali pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan 200-300 mg labetalol 2-3 kali sehari sesuai kebutuhan. Pengobatan alternatif yang memuaskan selain labetalol adalah nifedipin oral 10 mg setiap 6 jam atau 6,25 – 25 mg kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau jika obat tidak dapat diberikan per oral, maka diberikan labetalol i.v. seperti cara diatas atau obat pilihan lainnya (urgensi). Batas penurunan tekanan darah sebanyak banyaknya sampai 20% - 25% dari tekanan darah arterial rerata pada jam pertama, dan tindakan selanjutnya ditentukan kasus per kasus. 72 2. Penatalaksanaan pada tekanan darah yang rendah Pastikan tekanan darah penderita rendah yaitu dibawah 120 sistolik (pada pengukuran tekanan darah brakhial kanan dan kiri yang digunakan sebagai pedoman adalah tekanan darah yang tinggi). Penggunaan obat obat vasoaktif dapat diberikan dalam bentuk infuse dan disesuaikan dengan effek samping yang akan ditimbulkan seperti tahikardia Pemberian dopamine drip diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada tekanan darah optimal yaitu berkisar 140 sistolik pada kondisi akut stroke. B. MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN Pedoman penatalaksanaan Hilangkan faktor faktor yang berisiko meningkatkan tekanan darah seperti retensi urine, nyeri, febris, peningkatan tekanan intrakranial, emosional stress dan sebagainya Bila tekanan darah tinggi berikan dosis dan cara pemberian sesuai dengan tabel jenis-jenis obat untuk terapi emergensi Pada fase akut tekanan darah tak boleh diturunkan lebih dari 20% - 25% dari tekanan darah arteri rerata dalam 1 jam pertama Bila tekanan darah rendah, harus diberikan obat menaikkan tekanan darah (vasopresor). Perhatian : 1. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh stress akibat stroke, kandung kencing yang penuh, nyeri, respon fisiologi dari hipoksia atau peningkatan tekanan intra-kranial. 2. Dengan memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan tersebut di atas akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase menunggu 5 - 20 menit pengukuran berikutnya. 3. Untuk perdarahan subarakhnoid diberikan Nimodipine dengan dosis 60 mg tiap 4 jam sampai 3 minggu. PENATALAKSANAAN KHUSUS STROKE AKUT (Guidelines Nasional Stroke, 2007) PENATALAKSANAAN STROKE ISKEMIK 1. Pengobatan terhadap hipertensi arteri pada stroke akut Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik (Tingkat Evidensi A) 2. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia 3. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah secara karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak direkomendasi.(Tingkat Evidensi A) 4. Pemberian antikoagulan : a. Pemberian antikoagulan (heparin,LMWH atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius (Kelas III, Tingkat Evidensi A) Data menunjukkan bahwa pemberian dini antikoagulan tidak menurun resiko stroke ulang dini, termasuk stroke emboli (Kelas I) dan tidak mengurangi resiko memburuknya keadaan neurologik. Pada keadaan tertentu dapat diberikan, namun waspadai kemungkinan komplikasi perdarahan. (Kelas I) b. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki outcome neurologik atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi. (Kelas III Tingkat Evidensi A) 73 5. 6. 7. 8. 9. c. Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang mendapat rt-Pa intravena tidak direkomendasi Kelas III, Tingkat Evidensi B) d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke iskemik tidak direkomendasi. (Kelas I) e. Pada beberapa penelitian menunjukkan dosis tertentu unfractioned heparin subkutan menurunkan stroke iskemik ulang secara dini, tetapi dapat meningkatkan terjadinya perdarahan. Karena itu penggunaan unfractioned heparin subkutan tidak direkomendasikan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas atau pencegahan dini stroke ulang.(Tingkat Evidensi A) Dosis tinggi LMWH / heparinoids tidak bermanfaat menurunkan morbiditas, mortalitas atau stroke ulang dini pada pasien stroke akut. (Tingkat Evidensi A) f. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan imaging memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer. Terhadap penderita yang mendapat pengobatan antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan. g. Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin pada pasien stroke akut dengan atrial fibrilasi, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang selektif. Aspirin dan dilanjutkan dengan pemberian walfarin untuk prevensi jangka panjang dapat diberikan. Warfarin merupakan pengobatan lini pertama pada kebanyakan kasus stroke kardioemboli. Penggunaan warfarin harus hati-hati, karena dapat meningkatkan resiko perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1 bulan sekali. Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke emboli kardiogenik dan mencegah emboli ulang pada keadaan major risk. h. Pemberian antikoagulan sesuai dengan pedoman antikoagulan pada stroke iskemik. Pemberian antiplatelet aggregasi : a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24-48 jam setelah onset stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut (Kelas I, Tingkat Evidensi A) b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke (seperti pemberian rtPA intravena) (Kelas III, Tingkat Evidensi B) c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, Aspirin jangan diberikan. d. Penggunaan Aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah pemberian obat trombolitik tidak direkomendasi (Kelas III, Tingkat Evidensi A). e. Pemberian klopidogrel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke iskemik akut, tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi C). f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein Iib/IIIa tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi B). g. Pemberian antiplatelet/Aspirin dan antikoagulan ditujukan untuk mencegah dan menurunkan resiko stroke kardio-emboli. h. Terapi gabungan antiplatelet Aspirin dengan Clopidogrel pada pasien yang terdeteksi mikroemboli lebih baik dalam menurunkan kejadian mikroemboli berulang dibanding Aspirin saja (CARESS STUDY). Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (Kelas III, Tingkat Evidensi A) Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (Kelas III, Tingkat Evidensi A) Dalam keadaan tertentu terkadang digunakan vasopresor untuk memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut harus dilakukan pantauan kondisi neurologik dan jantung secara ketat (Kelas III, Tingkat Evidensi B) Tindakan endarterektomi karotid pada stroke iskemik akut dapat mengakibatkan risiko serius dan luaran yang tidak menyenangkan. Tindakan endovaskular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat, sehingga tidak dianjurkan (Kelas Iib, Tingkat Evidensi C). 74 10. Pemakaian obat-obatan neuroprotektan belum menunjukkan hasil yang efektif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi A) 11. Konsultasi Dokter Spesialis Jantung untuk mencari kemungkinan sumber emboli dari jantung serta menanggulangi gangguan jantung terutama gangguan irama jantung (fibrilasi atrial) TTE (trans thoracal echocardiography) dan TEE (trans esophageal echocardiography). 12. Osmoterapi dan hiperventilasi direkomendasikan untuk pasien yang mengalami kemunduran akibat tekanan tinggi intrakranial, termasuk sindroma herniasi. (Tingkat Evidensi B) 13. Tindakan bedah termasuk drainase cairan serebro spinal dapat dilakukan untuk mengatasi tekanan tinggi intrakranial akibat hidrosefalus. (Tingkat Evidensi C). Dekompresi bedah dan evakuasi infark besar pada serebellum yang menimbulkan penekanan batang otak dan hidrosefalus (Tingkat Evidensi C) Dekompresi bedah dan evakuasi infark besar pada hemisfer cerebri dapat dilakukan sebagai tindakan life-saving, tetapi dengan resiko gejala sisa gangguan neurologik yang berat (Tingkat EvidensiC) TERAPI SPESIFIK STROKE AKUT PEDOMAN TROMBOLISIS rt-PA INTRAVENA PADA STROKE ISKEMIK A. Kriteria inklusi Stroke iskemik akut yang onsetnya diketahui jelas dan tidak melebihi 3 jam. Usia > 18 tahun ; < 75 tahun Diagnosis stroke iskemik dibuat oleh ahli stroke dan sken tomografik otak dibaca oleh ahli yang paham dengan penafsiran hasil pemeriksaan imajing. Sebaiknya digunakan sken tomografik generasi 3 atau 4, dengan tebal irisan 5-10 mm tanpa kontras. Waktu sken 3 detik untuk fossa posterior dan 2 detik untuk daerah supratentorial. 1 Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau keluarganya setelah diterangkan risiko bahaya perdarahan dan keuntungan pengobatan rt-PA Memenuhi kriteria eksklusi. B. Kriteria eksklusi Penggunaan obat antikoagulansi oral atau waktu protrombin lebih dari 15 detik (INR lebih dari 1,7) Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan masa tromboplastin parsial memanjang. Trombosit kurang dari 100.000/mm Stroke sebelumnya atau trauma kapitis hebat dalam waktu 3 bulan sebelumnya. Operasi besar dalam waktu 14 hari Tekanan darah sistolik sebelum pengobatan lebih dari 185 mmHg atau tekanan diastolik lebih dari 110 mmHg. Bila tekanan darah sistolik dan diastolik melebihi tersebut diatas dapat dilihat pada penatalaksanaan penyulit tekanan darah. 2 Tanda – tanda neurologis yang cepat membaik. Defisit neurologis ringan dan tunggal, seperti ataksia atau gangguan sensorik saja, disartria saja, atau kelemahan minimal. Riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya atau perkiraan perdarahan subarakhnoid. Glukosa darah kurang dari 50 mg/dl atau lebih dari 400 mg/dl. Kejang pada permulaan stroke. Perdarahan gastro intestinal atau urin dalam waktu 21 hari. Infark miokard baru. 75 Hati – hati pemberian rt-PA pada penderita stroke berat (NIHSS > 22). Permulaan stroke tidak dapat dipastikan, misalnya stroke setelah bangun tidur. C. Protokol Lakukan CT scan otak dan buat ekspertise segera. Pasang jalur intravena perifer (pada dua lokasi terpisah). Periksa hitung darah lengkap, panel kimia darah, masa protrombin & masa tromboplastin parsial, dan urinalisis. Pastikan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Timbang berat badan pasien Berikan rt-PA sebagai berikut : Rt-PA intravena 0,9 mg/kg berat badan (maksimum 90 mg), 10% dari dosis diberikan sebagi bolus pada menit pertama, dan sisanya 90% diberikan sebagai infus terus menerus selama 60 menit. Monitor adanya perdarahan dan perburukan neurologis Observasi di ICU selama 24 jam Monitor tekanan darah, monitoring yang teliti dari tekanan darah arterial selama 24 jam pertama pemberian rt-PA (lihat bab VI). Jangan lakukan pungsi arteri, prosedur invasif, atau suntikan IM selama 24 jam pertama Pengukuran vena sentralis dan pungsi arterial dibatasi selama 24 jam pertama Pemasangan kateter dauer harus dihindari bila mungkin selama 24 jam pertama setelah pengobatan Lakukan sken tomografik otak 24 jam pasca-infus sebelum pemberian antikoagulan untuk mencegah rekanalisasi atau dilakukan lebih awal jika terjadi perburukan neurologis Penatalaksanaan penyulit perdarahan bila ada. D. Tatalaksana Penyulit i. Penatalaksaan hipertensi pada pasien yang mendapat terapi trombolisis rt-PA intravena Pantau tekanan darah selama 24 jam pertama setelah mulai pemberian rt-PA. o Tiap 15 menit selama 2 jam setelah mulai infus, lalu o Tiap 30 menit selama 6 jam, lalu o Tiap 60 menit selama 24 jam. Bila tekanan sistolik 180-230 mm Hg, atau bila tekanan diastolik 105-120 mm Hg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit: o Berikan labetalol 10 mg intravena selama 1-2 menit. Dosis dapat diulang atau digandakan tiap 10-20 menit sampai dosis total 150 mg atau berikan bolus pertama diikuti labetalol drip 2-8 mg/menit. o Pantau tekanan darah tiap 15 menit waktu pengobatan labetalol dan perhatikan timbulnya hipotensi Bila tekanan sistolik lebih dari 230 mm Hg atau bila tekanan diastolik antara 121-140 mm Hg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit: o Berikan labetalol 10 mg intravena selama 1-2 menit. Dosis dapat diulang atau digandakan tiap 10 menit sampai dosis total 150 mg, atau berikan bolus pertama diikuti oleh labetalol drip 2-8 mg/menit. o Pantau tekanan darah tiap 15 menit waktu pengobatan labetalol dan perhatikan timbulnya hipotensi. o Teruskan pantau tekanan darah secara kontinyu 76 Bila tekanan diastolik lebih dari 140 mm Hg pada 2 atau lebih pembacaan 5-10 menit: o Infus natrium nitroprusid (0.5-10 µg/kg per menit). o Pantau tekanan darah tiap 15 menit selama infus natrium nitroprusid dan awasi timbulnya hipotensi. Catatan : Bila labetalol tidak tersedia, alternatif lain adalah: 1. Nikardipin infus kontinyu. 2. Diltiazem infus kontinyu 3. Nimodipin infus kontinyu. (lihat bab VI guidelines nasional stroke,2007) ii. Terapi penyulit pendarahan pasca trombolisis Penyulit pendarahan dapat: o Langsung mengenai susunan saraf pusat, atau o Mengenai lain-lain organ. Prosedur : o Hentikan infus obat trombolitik, o Ambil contoh darah untuk pemeriksaan : hemoglobin, hematokrit, fibrinogen, masa protrombin/ INR, masa tromboplastin parsial dan trombosit. o Siapkan transfusi darah (PRC), FFP (fresh frozen plasma), kriopresipitat atau trombosit atau darah segar bila perlu. o Berikan FFP 2 unit setiap 6 jam selama 24 jam o Berikan kriopresipitat 5 unit. Jika fibrinogen < 200 mg% diulangi pemberian kriopresipitat o Berikan trombosit 4 unit o Sken tomografik otak segera o Konsul ahli bedah bila diperlukan dekompresi Neurobehavior pada Stroke Manifestasi gangguan neurobehavior Manifestasi gangguan neurobehavior pada stroke secara primer bergantung lokasi lesi di otak. Area otak yang rusak bergantung juga variasi vaskularisasi secara individu dan juga tipe dari stroke yang terjadi. Stroke iskemik menyebabkan pola lesi yang lebih stabil sesuai aliran pembuluh darah yang tersumbat. Stroke perdarahan menyebabkan lesi yang sesuai teritori cabang pembuluh darah otak. Distribusi perdarahan spontan yang terjadi terutama pada struktur otak terdalam (ganglia basalis, talamus) atau perdarahan pada lobus di hemisfer kiri/kanan. Dapat juga terjadi robeknya aneurisma pembuluh darah daerah basal otak yang menghasilkan sindrom spesifik dan perluasan lesi yang terjadi akibat reaksi vasokonstriksi pembuluh darah yang menyebabkan iskemik jaringan otak sekitarnya. Infark serebral kira-kira terjadi 80 % dari angka kejadian stroke, perdarahan intraserebral primer l0 %, perdarahan subarachnoid (SAH= subarachnoid haemorrhage) 5% dan dari stroke penyebab lainnya sekitar 5%. Sekitar 40 % dari infark serebral mengalami transformasi hemoragik dalam 2 minggu setelah infark. Sebagian besar terjadi ketika infark meluas atau karena penggunaan anti koagulan atau obat trombolitik. 77 Tabel .Sindrom Neurobehavior akibat infark fokal otak di hemisfer dan batang otak. Aliran sirkulasi sistim Karotis Pembuluh darah Struktur otak Arteri serebri anterior Corpus callosum ant, tambahan,cortex cingulata anterior Arteri serebri media(L), divisi superior Arteri serebri media(L), divisi inferior dan superior Inferolateral frontal kortex Sindrom Afasia transkortikal, apraxia callosal hand , tactile anomia,Transient akinetic mutism. Afasia Broca Lateral serebral hemisphere Afasia Global (anterior dan posterior) Arteri serebri media(L), cabang posterior Arteri serebri media(L), cabang posterior Fasikulus arkuatus Afasia konduksi Gyrus angularis Afasia transkortikal sensorik,alexia dengan agrafia,sindr.gyrus angularis, anomia Arteri serebri media(L), divisi inferior Lobus temporal posterior superior Afasia Wernick’s Arteri serebri post(L),prox Arteri serebri post. Arteri serebri post. Hipocampus kortex oksipital kortex`kalkarina Amnesia Verbal Hemianopsia Hemianopsia , Akromatopsia Arteri serebri anterior (R) korpus kalosum,area mo torik tambahan,regio cingulata anterior Apraxia kalosal Arteri serebri media (R) divisi superior Arteri cerebri media ( R) divisi inferior Arteri serebri media( R) cabang posterior Arteri serebri post(R ) Proksimal Arteri serebri post (R ) Lobus frontal inferolateral Aprosodia eksekutif Lobus temporal post sup Aprosodia reseptif Parietal posterior Neglect unilateral Anosognosia Amnesia Nonverbal Arteri serebri post( R) Hipocampus Fasikulus longitudinal inf. Prosopagnosia, Agnosia environment. Kortex kalkarina,splenium, Alexia tanpa agrafia, 78 Arteri serebri post(R) Arteri serebri ant(bilat) Arteri serebri media(bilat) Arteri serebri media(bilat) Arteri serebri post(bilat) Korpus Kalosum Kortex oksipital Kortex singulata ant(bilat) lob.temporal bilateral Regio parietal bilateral Cortex oksipital Arteri serebri post(bilat) Arteri serebri post Hippocampus Pedunkulus serebri anomia warna Hemianoposia,halusinasi Mutism akinetik Agnosia auditorik Sindroma Balint’s Agnosia visual,prosopagnosia,agnosia environtment Amnesia Halusinosis pedunkular Aliran sirkulasi Sistim Vertebrobasiler Pembuluh darah Struktur otak Arteri basilar Midbrain Arteri basilar (Cab.Penetrasi) Basal Pons Thalamik ant Nucleus dorsomed Geniculatum lateral Nukl.dorsal lateral Nukl,kaudatus dorsal Nukl kaudatus ventral Nukleus Akumbens Globus pallidus Nukl.subtalamikus Sindrom Top of basilar syndrome,ha Lusinasi visual,oneroid state Locked in syndrome Abn.memori,perseverasi,de fisit eksekutif,apathy,gang guan memori kronik Apathy,amnesia,deficit ekse kutif Thalamic dazzle Dejerine-Roussy syndrome Disfungsi eksekutif Disinhibisi Apathy Disfungsi eksekutif,apatis Mania Afasia Afasia merupakan suatu gangguan bahasa yang diakibatkan oleh disfungsi otak. Afasia merupakan sindrom yang didapat dan terbanyak akibat stroke. Afasia harus dibedakan dari mutisme, gangguan volume dan artikulasi bicara (disartria), gangguan irama dan infleksi bicara (disprosodi), dan gangguan pikiran dengan keluaran verbal yang tidak normal. Beberapa pola afasia yang berbeda telah dikenal dan berhubungan dengan lesi-lesi pada daerah anatomi yang spesifik. Afasia secara individual memiliki komplikasi, prognosis, terapi yang berbeda. 79 Pada penderita kinan, afasia mempunyai korelasi 99% dengan lesi di hemisfer kiri. Diperkirakan 60% orang kidal memiliki pola dominasi yang serupa dengan orang yang kinan dengan dominasi fungsi bahasa pada hemisfer kiri. Afasia Broca Afasia Broca adalah suatu sindrom afasia tidak lancar yang ditandai oleh keluaran verbal yang terganggu dari yang sama sekali tidak mampu mengeluarkan kata sampai kesulitan menemukan kata dan memerlukan upaya untuk dapat mengucapkan kata, terjadi parafasia semantik, parafasia literal (fonemik), dan agramatikal. Fungsi pengertian bahasa yang sudah dikuasai normal. Repetisi, penamaan, membaca dengan suara keras, dan menulis juga terganggu. Lesi yang berhubungan dengan sindrom afasia Broca adalah mencakup girus frontal inferior dan daerah di dekat operkulum serta insula pada daerah yang mendapat sirkulasi dari arteri serebri media. Luasnya lesi menentukan ringan/beratnya gambaran sindrom afasia. Kerusakan pada operkulum frontal menghasilkan kesulitan untuk mengawali percakapan; cedera pada kortex motorik mengakibatkan disartria; kerusakan yang menyebar lebih ke posterior sehingga meliputi koneksi temporoparietal menyebabkan parafasia semantik serupa dengan gejala pada sindrom afasia konduksi. Afasia Broca klasik yang mengkombinasikan semua gambaran tersebut dengan pengucapan yang agramatikal, terlihat jika daerah diatas ventrikel serta substansia alba yang berdekatan ( jaras periventrikuler limbik-frontal) tercakup dalam lesi. Jika lesi frontal meliputi area premotor dan operkulum frontal maka terjadi hemiparesis kanan yang mengenai wajah, dan tungkai atas yang lebih lemah daripada tungkai bawah yang menyertai afasia, serta adanya apraksia simpatetik terjadi bila lesi sampai mengenai korpus kalosum yang mengganggu fungsi praksis bukolingual dan tungkai sebelah kiri. Afasia Motor Transkortikal Afasia motor transkortikal ditandai oleh adanya keluaran verbal tidak lancar, pengertian auditorik yang normal, tetap memiliki kemampuan repetisi disamping ucapan spontan yang tidak lancar, kemampuan membaca yang bervariasi, dan kemampuan penamaan dan menulis yang buruk. Ekolalia dapat terjadi dan mungkin terdapat parafasia fonemik dalam percakapan penderita. Mutisme sering ditemukan pada fase awal gangguan ini. Sindrom ini menyerupai afasia Broca kecuali dalam hal repetisi dimana repetisi dipertahankan dan kemampuan membaca dengan suara keras sedikit terganggu. Lesi yang biasanya menyertai afasia motor transkortikal meliputi infark pada area motor tambahan dan girus singuli yang berdekatan pada distribusi arteri serebri media di lobus frontalis kiri tetapi pernah dilaporkan (kasus yang jarang terjadi) yaitu lesi pada konveksitas frontal diluar daerah Broca, pada putamen kiri atau talamus. Lesi kritis dapat berupa pemutusan traktus pada substansia alba antara daerah operkular frontal yang berhubungan dengan bahasa dan area motor tambahan yang berfungsi pada pengawalan ucapan. Pada kebanyakan kasus mengalami hemiparesis kanan dimana lebih mempengaruhi tungkai bawah daripada tungkai atas dan wajah. Afasia Global Penderita afasia global mengalami gangguan secara jelas pada seluruh aspek fungsi bahasa mencakup keluaran verbal spontan, pengertian, repetisi, penamaan, membaca dengan suara keras, pengertian dalam membaca, dan menulis. Seringkali verbalisasi spontan hanya berupa produksi yang tidak bermakna dan stereotip seperti “ya,ya,ya,” meskipun beberapa pasien dapat mengucapkan pengulangan kecil dari frase yang telah 80 dipelajari (“rumah,” “tidak”, dll) yang dapat digumamkan dengan fasih, dan banyak penderita afasia global yang dapat mengutuk dengan mudah saat marah. Ucapan otomatis (menghitung, menyebutkan nama hari dalam minggu atau bulan dalam tahun), dan menggumamkan nada-nada lagu yang telah dipelajari (“Indonesia Raya,” “Bintang kecil”) dapat terjadi meskipun terdapat defek yang berat dalam bahasa ekspresif proporsional. Pengertian bahasa yang buruk membedakan afasi global dari afasia Broca, dan repetisi yang buruk membedakannya dengan afasia transkortikal campuran (afasia isolasi). Banyak penderita afasia global akan mengikuti keseluruhan perintah utuh (“bangun”, “duduk”), dapat membedakan bahasa asing dan percakapan omong-kosong, dapat menilai infleksi secara memadai untuk membedakan pertanyaan dan perintah, dapat mengenali nama orang dan peristiwa penting yang relevan secara personal, baik yang disebut maupun yang ditulis, dan akan menolak bahasa tertulis yang ditampilkan terbalik, meskipun pengertiannya sangat parah terganggu. Secara patologik, lesi yang umumnya menyebabkan afasia global adalah infark berukuran besar yang terletak di sebelah kiri yang meliputi keseluruhan daerah arteri serebri media (Terdapat hemiparesis, defisit hemisensoris, dan homonimus hemianopsia). Multipel emboli pada daerah yang memediasi bahasa di anterior dan posterior jarang menyebabkan afasia global tanpa defisit motorik mayor. Afasia Transkortikal Campuran (Isolasi) Afasia transkortikal campuran atau afasia isolasi merupakan sindrom afasia yang jarang, dimana ditemukan kombinasi antara afasi motor transkortikal dan afasia sensoris transkortikal, hanya meninggalkan kemampuan paradoks untuk mengulangi. Pada beberapa kasus, pengulangan apa saja yang pemeriksa katakan merupakan keluaran verbal ynag terlihat sementara pada kasus yang lain verbalisasi tidak lancar dan bahkan kemampuan penamaan normal. Terdapat tiga tipe lesi yang telah dihubungkan dengan afasia transkortikal campuran. Pada beberapa penderita terdapat kerusakan pada daerah yang berbentuk bulan sabit yang meliputi aspek lateral hemisfer tetapi menyisakan kortex perisylvian. Tipe lesi kedua dengan infark di daerah arteri serebri anterior, mengenai daerah kortikal yang luas dan menyisakan kortex perisylivian. Tipe lesi ketiga secara simultan mempengaruhi daerah linguistik posterior dan lobus frontalis atau sirkuit frontal-subkortikal. Keterkaitan lobus frontalis dapat menghasilkan ketergantungan lingkungan dan loncatan stimulus yang berperan terhadap reduksi paradoks dari kemampuan bercakap spontan dari penderita (dihasilkan secara internal) disertai dengan dipertahankannya repetisi dan ekolalia (diawali secara eksternal). Afasia Wernicke Afasia Wernicke, keluaran verbal parafasik, lancar dan dengan pengertian, repetisi, serta penamaan yang buruk. Keberagaman penderita, seringkali logore dan berbicara membual, seringkali dikombinasikan dengan ketidaksadaran atau penyangkalan terhadap adanya defisit, menyebabkan sindrom ini yang paling menakjubkan pada neurologi klinis. Pasien memperlihatkan penekanan pada ucapan disertai keluaran yang diakselerasi dan seringkali gaya percakapan sangat mendesak, intrusif bahkan mempertahankan kebenaran. Percakapan spontan berisi parafasia semantik primer dan neologisme, parafasia literal akan mendominasi jawaban pada tes penamaan. Terdapat gangguan membaca dan menulis. Produksi percakapan yang logoreik parafasik dengan subsitusi multipel dan berturut turut disebut jargon afasia, yakni suatu gangguan keluaran verbal yang dapat terjadi juga pada 81 afasia konduksi dan afasia sensoris transkortikal. Pengertian secara relatif tetap baik pada afasia konduksi dan repetisi yang normal pada afasia sensorik transkortikal membedakan kedua gangguan ini dengan afasia Wernicke. Meskipun gambaran utama afasia Wernicke (yakni curah verbal normal, pengertian yang buruk, repetisi yang buruk) menggambarkan sebuah sindrom dasar namun terdapat banyak variasi dalam presentasi klinik. Pengertian mungkin terganggu ringan dengan kemampuan untuk menginterpretasikan kalimat yang cukup kompleks terganggu, atau pengertian terganggu berat sehingga menyisakan hanya perintah sederhana (“tutup matamu,” “buka mulutmu,” “berdiri,” “duduk”). Pengertian terhadap bahan yang ditampilkan oral secara relatif disisakan meskipun informasi yang tertulis secara parah terganggu, atau sebaliknya dapat terjadi. Pengertian auditorik yang terpengaruh lebih besar berhubungan dengan terkaitnya struktur lobus temporalis secara ekstensif, mencakup kortex auditorik primer, dan bila lebih besar terjadi gangguan pengertian membaca merefleksikan perluasan lesi kearah superior ke daerah inferior lobus parietal dan girus angularis. Dalam keadaan patologik, lesi yang berhubungan dengan afasia Wernicke meliputi bagian sepertiga posterior dari girus temporalis superior kiri tetapi jarang terbatas pada daerah ini dan seringkali mengenai area parietal inferior dan temporal yang berdekatan. Penderita afasia Wernicke mengalami infark serebral akibat oklusi vaskuler dan yang terbanyak diakibatkan oleh emboli yang berasal dari jantung. Kuadrantanopsia superior dan hilangnya sensoris kortikal pada wajah dan tungkai atas merupakan gangguan yang umum didapatkan pada penderita afasia Wernicke dan jika lesi menyebar kearah limbus posterior dari kapsula interna akan terjadi hemiparesis. Afasia Sensorik Transkortikal Afasia sensorik transkortikal serupa dengan afasia Wernicke tetapi dibedakan dengan dipertahankannya kemampuan untuk mengulangi/repetisi. Kemampuan penderita mengulangi kalimat dan frase yang panjang tetapi tidak dapat memahaminya untuk dicatat. Percakapan spontan tidak berisi, berputar-putar, parafasik, dan terdapat kecenderungan ringan untuk mengulangi secara spontan (echo) apapun yang diucapkan pemeriksa. Penderita mampu membaca dengan suara keras namun membaca dengan pengertian auditorik terganggu. Afasia sensorik transkortikal diakibatkan oleh lesi-lesi fokal yang mengenai girus angularis dominan, girus temporalis midposterior, dan jaras substansia alba periventrikuler dari istmus temporalis yang mendasari area kortikal ini. Jika afasia terjadi akibat keterkaitan girus angularis maka seringkali disertai sindrom Gerstmann, gangguan konstruksional, dan gejala lain dari sindrom girus angularis. Afasia Konduksi Afasia konduksi merupakan sindrom afasia fasih yang unik dimana pengertian secara relatif masih normal dan repetisi secara disproporsional terganggu. Percakapan spontan ditandai oleh istirahat pencarian kata dan dominant terjadi parafasia fonemik/literal dari pada parafasia semantik. Seringkali penderita menyadari telah membuat kesalahan dan membuat perkiraan yang mendekati kata yang dimaksud. Membaca dengan suara keras terganggu tetapi pengertian dalam membaca masih normal. Penamaan dan menulis keduanya tidak normal dan mengandung subsitusi parafasia fonemik. Meskipun pengertian secara relatif dipertahankan pada afasia konduksi namun beberapa pasien mengalami gangguan sintaktik yang serupa dengan yang digambarkan pada afasia Broca. 82 Lesi yang bertanggung jawab untuk afasia konduksi secara tipikal mengenai fasikulus arkuatus pada operkulum parietal kiri. Afasia Anomik Anomia merupakan suatu indikator nonspesifik pada disfungsi otak dan tidak memiliki makna lokalisasi. Tiga tipe primer anomia terjadi pada sindrom afasik yakni anomia produksi kata, anomia seleksi kata, dan anomia semantik. Anomia produksi kata ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan kata yang dimaksudkan. Problem primernya adalah gangguan dalam mengawali kata dan pasien siap bereaksi terhadap petunjuk2 fonemik (suku kata pertama atau bunyi pertama dari sebuah kata). Produksi kata pada penderita Anomia merupakan karakteristik dari afasia tidak lancar seperti afasia Broca dan afasia motor transkortikal. Produksi kata pada Anomia juga merupakan tipe utama defisit penamaan pada penderita dengan demensia subkortikal. Penderita dengan anomia semantik mengalami gangguan pada kemampuan terhadap nama, tidak bereaksi terhadap petunjuk, dan tidak mengenali kata jika kata itu disebutkan oleh pemeriksa. Bunyi dari kata kehilangan makna. Anomia semantik terjadi pada afasia Wernicke dan afasia sensoris transkortikal. Anomia seleksi kata menggambarkan anomia, yaitu kegagalan untuk bereaksi terhadap petunjuk-petunjuk fonemik tetapi memiliki kemampuan utuh untuk mengenali kata jika diberikan. Anomia seleksi kata merupakan gambaran utama dari afasia anomik. Ucapan spontan tidak memiliki isi dan berputar-putar dengan istirahat untuk pencarian kata yang sering terjadi, menggunakan banyak kata dengan bentuk referensi indefinit, dan sedikit parafasia. Pengertian relatif dipertahankan, dan repetisi, membaca dengan suara keras serta pengertian membaca normal. Anomia akan tampak pada tes penamaan konfrontasi dan pada menulis spontan. Pasien biasanya dapat mengenali kata yang benar jika ditampilkan oleh pemeriksa. Afasia anomik biasanya mengindikasikan sebuah lesi pada girus angularis kiri atau area yang berdekatan dengan girus temporalis posterior. Beberapa penderita dengan afasia anomik memiliki lesi pada daerah temporal anterior kiri atau daerah polar temporal. Afasia anomik seringkali merupakan defisit residual setelah penyembuhan dari sindrom afasia yang lebih luas (afasia Wernicke, afasia konduksi). Afasia dengan Lesi pada Talamus dan Ganglia Basalis Afasia dianggap secara tradisional sebagai sebuah tanda dari disfungsi kortikal. Namun demikian dengan adanya alat CT scan dan MRI semakin banyak laporan kasus dan studi yang melaporkan bahwa lesi subkortikal pada hemisfer kiri juga berhubungan dengan sindrom afasia. Sindrom afasia yang bersamaan dengan perdarahan pada talamus dominan merupakan afasia subkortikal yang telah banyak dilaporkan dan terdiri dari keluaran verbal lancar, parafasik, gangguan pengertian yang bervariasi (kebanyakan ringan), repetisi yang baik, kemampuan penamaan yang buruk, gangguan membaca dengan suara keras dan menulis, dan pengertian membaca yang dipertahankan secara relatif. Mungkin terdapat fluktuasi cepat dalam derajat afasia dan kelelahan yang jelas pada keluaran verbal. Sindrom ini hampir menyerupai afasia sensorik transkortikal tetapi sering terdapat periode membisu pada awal saat terjadinya dan defisit artikulasi serta mungkin menetap sepanjang perjalanan penyakit. Afasia seringkali sementara dan biasanya bersamaan dengan defisit perhatian, pengabaian sisi kanan, hilangnya perhatian yang memadai, perseverasi, dan hemiparesis kanan. 83 Sindrom yang serupa telah diamati pada infark talamus dominan meskipun pada banyak kasus tidak terdapat gangguan bahasa yang menyertai. Afasia setelah adanya lesi dari talamus biasanya bersifat sementara dan penelitian terhadap aliran darah otak atau metabolisme glukosa kortikal menunjukkan bahwa terjadi penurunan perfusi kortikal atau metabolisme kortikal jika sebuah lesi subkortikal terjadi bersamaan dengan suatu sindrom afasia. Pengamatan ini menjelaskan bahwa talamus memiliki peran penting dalam produksi kata dan aktivasi kortikal tetapi disfungsi talamus tidak cukup untuk menghasilkan suatu afasia yang spesifik kecuali bila terdapat disfungsi kortikal yang menyertai. Infark pada struktur ganglia basalis yang terletak di sebelah kiri juga dapat menghasilkan suatu sindrom berkurangnya bahasa yang dihasilkan dengan disartria dan hipofonia yang menonjol. Sindrom-sindrom yang berhubungan dengan perdarahan dapat terjadi lebih berat. Lesi-lesi nonhemoragik dapat menyebabkan sindrom afasia dengan menganggu jaras-jaras pada substansia alba subkortikal atau melalui perluasan meliputi daerah kortikal yang berdekatan. Karakteristik utama dari sindrom bahasa yang berhubungan dengan disfungsi ganglia basalis kiri adalah defisit pencarian kata (anomia seleksi, leksikal), kadang-kadang substitusi semantik, serta pengertian yang terganggu pada materi sintaktik kompleks. Gangguan fungsi bahasa yang terjadi adalah produksi daftar kata yang berkurang, meningkatnya latensi dan perseverasi, produksi kalimat yang buruk, dan ekolalia. Penemuan-penemuan ini tidak spesifik dan sesuai dengan hilangnya kemampuan memfasilitasi atau mengaktifkan pengaruh-pengaruh dari struktur subkortikal ke aktivitas kortikal. Prognosis pemulihan bahasa bervariasi, afasia vaskuler membaik dalam 3 – 6 bulan pertama namun derajat penyembuhan akan berlanjut selama 5 tahun atau lebih. Afasia global memiliki prognosis paling buruk untuk perbaikan ketrampilan bahasa; afasia Broca dan afasia Wernicke memiliki keseluruhan prognosis untuk penyembuhan dengan ukuran yang bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya; afasia anomik, afasia konduksi, dan afasia transkortikal memiliki prognosis yang relatif baik, dengan beberapa penderita sembuh sempurna. Penelitian pencitraan otak memberikan informasi prognostik yang berguna. Lesi-lesi yang secara langsung meliputi daerah temporal superoposterior pada hemisfer kiri memberikan penyembuhan yang terbatas pada pengertian auditorik, dan lesi-lesi yang luas mengenai daerah rolandik berhubungan dengan pemulihan yang buruk dari verbalisasi. Pada kasus-kasus yang dilaporkan, penderita dengan defisit linguistik yang lebih luas biasanya berkembang ke dalam tahap afasia anomik residual. Penderita afasia usia lebih muda cenderung untuk mengalami perbaikan ketrampilan bahasa yang lebih baik daripada penderita yang lebih tua, dan penderita yang kidal memiliki prognosis yang lebih baik daripada penderita yang kinan. Secara umum pengertian bahasa lebih membaik daripada kefasihan keluaran ekspresif. Terapi afasia dapat memfasilitasi penyembuhan kemampuan berbahasa dan harus diberikan pada semua penderita yang berminat. Selain tehnik re-edukasi tradisional, usaha-usaha terbaru telah dikembangkan yaitu tehnik individual untuk tipe spesifik afasia, seperti pemanfaatan terapi intonasi melodik pada penderita afasia Broca, pemakaian simbol komunikasi visual pada penderita sindrom afasia global, atau terapi untuk aspek khusus dari sindrom afasia seperti perseverasi. 84 Sindrom yang berhubungan dengan Afasia Aleksia Aleksia merujuk kepada ketidakmampuan untuk membaca yang didapat yang disebabkan oleh kerusakan otak dan harus dibedakan dari disleksia yaitu suatu abnormalitas perkembangan dimana seseorang tidak mampu untuk belajar membaca, dan adanya butahuruf yang mencerminkan latar belakang pendidikan yang buruk. Kebanyakan penderita afasia juga mengalami aleksia, tetapi aleksia dapat terjadi tanpa adanya afasia dan terkadang tampak sebagai satu-satunya ketidakmampuan akibat lesi otak yang khusus. Kemampuan untuk membaca dengan suara lantang dan pengertian membaca mungkin mengalami disosiasi oleh beberapa lesi dan harus dinilai secara bebas. Aleksia tanpa Agrafia. Aleksia tanpa agrafia merupakan sindrom diskoneksi klasik dimana gangguan yang disebabkan oleh lesi infark meliputi kortex oksipital kiri dan aspek posterior dari korpus kalosum. Lesi oksipital menyebabkan hemianopsia homonim kanan, sehingga terganggu penglihatan daerah lapangan pandang sebelah kanan. Lesi kalosal membuatnya tidak mampu untuk mentransfer informasi visual dari lapangan pandang kiri (ditangkap oleh daerah oksipital kanan yang utuh) melewati korpus kalosum ke daerah hemisfer posterior kiri dimana terjadi ‘decoding’ grafik. Aleksia tanpa agrafia pada kasus yang jarang, dilaporkan adanya lesi-lesi kecil pada substansia alba dibawah girus angularis atau pada lesi-lesi di genikulatum lateral kiri dan splenium dari korpus kalosum. Pada kedua kasus tersebut, terjadi diskoneksi yang serupa dengan yang terjadi pada lesi klasik. Pada sindrom aleksia tanpa agrafia membaca huruf lebih baik daripada membaca kata. Penderita mempertahankan kemampuan untuk mengeja dan untuk mengenal kata-kata yang diucapkan dengan lantang, terdapat kesulitan besar dalam menirukan kata-kata daripada saat menulis dengan spontan, dan seringkali tampak suatu anomia warna. Pada beberapa kasus disertai dengan hemiparesis kanan, hemihipestesi kanan, dan gangguan penamaan ringan. Aleksia yang disertai Agrafia. Aleksia yang disertai agrafia dapat terjadi tanpa disertai afasia yang bermakna, baik afasia lancar maupun afasia tidak lancar. Aleksia yang disertai agrafia tanpa adanya afasia terjadi pada lesi di daerah girus angularis dan seringkali bersama-sama dengan elemen dari sindrom Gerstmann. Terjadi gangguan membaca huruf maupun membaca kata, dan penderita tidak dapat mengeja dengan suara lantang atau mengenali kata-kata yang diejakan. Sindrom ini sama dengan suatu butahuruf yang didapat. Meniru kata lebih baik daripada menulis spontan. Sindrom ini biasanya diakibatkan adanya oklusi cabang anguler dari arteri serebri media namun dapat terjadi sebagai bagian dari sindrom zona perbatasan yang mengikuti oklusi karotis. Aleksia yang disertai agrafia dan afasia lancar terjadi pada afasia Wernicke atau afasia sensorik transkortikal; pada afasia ini membaca dengan suara keras dan pengertian bahasa terganggu. Aleksia yang disertai agrafia dan afasia tidak lancar ditemukan pada beberapa pasien afasia Broca. Tidak semua afasia Broca mengalami aleksia tetapi jika muncul aleksia maka gangguan membaca memiliki karakteristik yang berbeda. Membaca kata lebih baik daripada membaca huruf, dan kata-kata yang dikenali hampir seluruhnya kata benda dan kata kerja dasar. Ketidakmampuan membaca dapat dibandingkan dengan aspek lain dari afasia Broca : produksi spontan dari kata-kata dengan fungsi gramatikal terganggu dan pengertian substantif dipertahankan. Menulis spontan dan meniru materi verbal juga tidak normal. 85 Akalkulia Ada tiga tipe utama dari akalkulia : (1) akalkulia yagn bersamaan dengan gangguan bahasa, meliputi parafasia angka, agrafia angka, atau aleksia angka; (2) akalkulia sekunder akibat disfungsi visuospasial dengan ketidak urutan angka dan kolom; dan (3) suatu anaritmetria primer yang mengganggu proses komputasi. Tipe keempat dari akalkulia yakni agnosia symbol dimana penderita kehilangan kemampuan untuk memahami simbol2 operasional yang menentukan proses matematis yang akan dilakukan (+, ÷, ×, −), pada beberapa kesempatan telah diamati tetapi belum dipelajari dengan baik dan jarang ditemukan. Gangguan kalkulasi yang berhubungan dengan afasia mencakup kesalahan-kesalahan parafasik dimana penderita membuat suatu kesalahan parafasik verbal, mengganti satu angka untuk yang lain. Aleksia angka dan agrafia angka juga dapat terjadi dan pada beberapa kasus secara tidak proporsional lebih besar daripada gangguan membaca huruf dan menulis. Akalkulia terjadi pada hampir seluruh afasia tetapi akalkulia lebih berat pada penderita dengan lesi pada aspek posterior dari hemisfer kiri yang mengenai korteks parietal. Akalkulia visuospasial dapat terjadi pada lesi hemisfer manapun namun paling umum pada disfungsi parietal kanan. Jeda angka multidigit, ‘placeholding values’, dan urutan kolom terganggu. Anaritmetria primer terjadi utamanya dalam konteks sindrom Gerstmann dengan lesi pada daerah girus angularis dominant, tetapi kelaianan itu terkadang ditemukan sebagai suatu abnormalitas tersendiri dengan gangguan pada daerah yang sama. Pada kasus ini tidak terdapat afasia yang bermakna atau gangguan visuospasial, tetapi terjadi kesalahan2 dalam proses komputasi. Sindrom Gertsmann dan Sindrom Girus Angularis Pada tahun 1924 Josef Gerstmann menggambarkan sebuah sindrom yang terjadi pada lesi girus angularis kiri yang diskret dan terdiri atas empat gambaran klinis meliputi disgrafia, agnosia jari, ketidakmampuan membedakan kiri dan kanan, dan akalkulia. Pada tahun 1940 Gerstmann kemudian mengulasi kepustakaan yang telah ada sehubungan dengan sindrom tersebut dan menyimpulkan bahwa penemuan itu memiliki validitas klinis dan nilai lokalisasi. Komponen mana yang menonjol bervariasi pada masing-masing kasus, dan pengujian khusus harus dilakukan untuk menimbulkan defisit yang halus. Jika satu atau lebih dari elemen sindrom ini tidak ditemukan maka implikasi lokalisasi dari elemen yang lain meragukan sifatnya. Pada banyak kasus, sebuah lesi pada girus angularis yang dominan menyebabkan defisit tambahan terhadap sindrom Gerstmann . Beberapa derajat afasia sering tampak, dapat terjadi aleksia disertai agrafia, dan gangguan konstruksional sering menyertai elemen sindrom Gerstmann. Kombinasi deficit ini hampir menyerupai penemuan klinis penyakit Alzheimer. Apraksia Apraksia merupakan gangguan pada gerakan yang dipelajari yang tidak dapat diakibatkan oleh kelemahan, hilangnya sensoris, inatensi, atau kegagalan untuk memahami gerakan yang diminta. Dua tipe apraksia yang utama dan telah dikenali adalah : (1) apraksia ideasional, dimana penderita gagal untuk secara benar memperagakan urutan kegiatan multikomponen seperti melipat sebuah surat, menyisipkannya ke dalam sebuah amplop, dan merekatkan amplop itu, dan (2) apraksia ideomotor, dimana penderita gagal melaksanakan gerakan yagn diperintahkan yang dapat dilakukan secara 86 spontan serperti melambaikan tangan, memalu, minta tumpangan, menjahit, menyedot dari sebatang sedotan, atau bersiul. Apraksia ideasional terjadi pada demensia dan pada keadaan konfusional akut. Apraksia ideomotor terjadi pada lesi hemisfer kiri spesifik. Dilaporkan tiga tipe utama apraksia ideomotor dan penemuan klinis yang menyertai. Apraksia parietal merujuk pada terjadinya gerakan apraksik pada penderita dengan lesi yang mengenai lobulus parietalis inferior dan fasikulus arkuatus yang berdekatan. Lesi talamik (kiri) terkadang menghasilkan sindrom ini. Pasien mengalami afasia lancar (biasanya afasi konduksi), mungkin mengalami hemiparesis kanan yang ringan dan defek hemisensorik, dan seringkali gagal untuk mengenali bahwa gerakan-gerakan apraksik dilakukan dengan salah. Apraksia Simpatetik adalah apraksia pada tungkai kiri dan struktur bukolingual yang terlihat pada penderita dengan lesi frontal kiri. Tungkai yang apraksik berada pada keadaan “in sympathy” dengan hemiparesis kanan akibat lesi frontal. Penderita juga memperlihatkan afasia tipe Broca tidak lancar, memiliki keterkaitan yang lebih menonjol pada gerakan bukolingual daripada gerakan tungkai. Apraksia Kallosal terjadi bila arah verbal yang diperantarai oleh hemisfer kiri tidak dapat melalui korpus kalosum untuk dilaksanakannya perintah pada tungkai sebelah kiri yagn dimediasi oleh hemisfer kanan. Apraksia hanya mengenai lengan dan kaki kiri, dan pada banyak kasus tidak disertai afasia atau hemiparesis. Gangguan komunikasi interhemisfer dimanifestasikan dalam berbagai bentuk gangguan selain apraksi tungkai kiri, meliputi anomia taktil tangan kiri, agrafia afasik tangan kiri, gangguan konstruksional tangan kanan, dan beragam gangguan somestatik seperti kegagalan untuk penyesuaian taktil intermanual dan penyesuaian intermanual dari posisi tangan. Cedera korpus kalosum dapat terjadi akibat oklusi arteri serebri anterior. Agnosia Visual. Agnosia visual adalah sindrom otak yang didapat yaitu penderita tak mampu mengenal obyek atau gambar yang diperlihatkan. Ketajaman penglihatan baik, sadar dan waspada serta tidak afasia. Dua kategori mayor dari agnosia visual adalah: Tipe I adalah persepsi visual aktual dari obyek berubah sehingga tak mampu mengenal benda. Penderita ini tak dapat menyebut atau menjelaskan kegunaan benda yang dilihat tetapi segera dapat mengenal benda tersebut bila diletakan ditangan dan mengetahui penggunaannya (bantuan pengenalan taktil/kinestetik). Contoh: Diperlihatkan benda ’pinsil’ tidak dapat menyebutnya atau menguraikan fungsinya, tetapi setelah dipegang langsung mampu menggunakannya dan menjelaskan nama benda tersebut. Dipostulasikan bahwa defek kerusakan otak pada kortex asosiasi visual bilateral (area 18 dan 19).Studi terbaru dengan positron emission tomography (PET) ditemukan lesi di kortex temporo-oksipital bilateral. Tipe agnosia visual ini disebut juga agnosia visual aperseptif (tipe I). Tipe II adalah agnosia visual asosiatif. Penderita dengan tipe ini mempunyai kemampuan yang baik untuk persepsi visual tetapi kortex visual tidak saling berhubungan dengan area bahasa atau area penyimpanan memori visual. Pasien dapat mengenal benda dan mendemonstrasikan penggunaannya namun tidak mampu menyebut namanya dan menguraikan secara verbal fungsi alat tersebut. Diduga lesi secara bilateral daerah temporo-oksipital inferior sampai mengenai substansia alba, atau adanya lesi di 87 lobus oksipital kiri dan korpus kalosum posterior. Lesi ini sama dengan penyebab terjadinya aleksia tanpa agrafia dan pada faktanya hampir semua penderita dengan agnosia visual asosiatif juga menderita aleksia. Tipe lain dari agnosia visual adalah Prosopagnosia. Prosopagnosia disebut juga agnosia fasial yaitu tidak mampu mengenal muka orang yang sudah dikenal sebelumnya, termasuk muka dari penderita sendiri bila melihat di cermin atau melihat foto pribadi. Penderita dapat mengenal orang tersebut dari informasi karakteristik muka orang, misal ada tanda lahir tertentu, potongan rambutnya, atau mendengar suara orang tersebut. Menurut Damasio, agnosia fasial dapat membedakan muka manusia dari binatang dan dapat mengenal ekspresi muka secara normal. Studi postmortem pada agnosia fasial yaitu ditemukannya kerusakan bilateral dibawah fisura kalkarina pada daerah hubungan oksipitotemporal. Agnosia warna adalah tak mampu mengenal warna sekunder karena lesi kortikal yang didapat. Ada dua tipe gangguan yaitu pertama gangguan spesifik penamaan warna karena diskoneksi masukan informasi visual ke area bahasa. Bentuk ini tidak ada kerusakan pada area bahasa secara primer dan tidak ada afasia. Gangguan kedua adalah gangguan yang paling umum dari pengenalan warna yaitu lesinya di temporo-oksipital inferior bilateral. Area lesi ini sama dengan penyebab prosopagnosia dan hampir semua penderita dengan tipe agnosia warna ini juga dengan gangguan prosopagnosia. Alexia adalah gangguan kemampuan membaca, dapat merupakan gejala bersama dengan agnosia fasial , terbanyak akibat kerusakan otak daerah area lingual dan fusiform. Agnosia visuospatial merupakan variasi dari gangguan persepsi spatial dengan orientasi. Bentuk yang paling sering terganggu adalah disorientasi topografi yaitu tak mampu mengenal kembali arah jalan yang lama sudah dikenal, area kritis yang mengalami kerusakan adalah parietal inferior atau temporal superior pada bagian tengah hemisfer kanan. Gangguan spesifik lainnya ’hemineglect’ yaitu tidak waspada terhadap adanya stimuli dari sisi kiri atau sisi kontralesi. Gangguan ini dapat terjadi pada lesi hemisfer kiri tapi lebih sering dan berat pada lesi hemisfer kanan. Simultan agnosia adalah gangguan persepsi penglihatan terhadap benda lebih dari satu atau benda-benda dalam gambar pemandangan secara kesatuan yang saling berhubungan pada waktu yang sama, merupakan salah satu gejala dari sindrom Balint disamping gejala lainnya ataksia optik dan apraksia optik. Kasus ini jarang dan disebabkan lesi bilateral lobus parietal. AGNOSIA AUDITORIK DAN AMUSIA Terminologi agnosia auditorik merujuk pada gangguan mengenal suara dengan kemampuan pendengaran yang baik sesuai standart pemeriksaan audiometri. Gangguan pengenalan suara percakapan dan bukan percakapan (suara binatang) timbul dalam berbagai tingkatan tergantung lokalisasi lesi, lateralisasi linguistik otak premorbid, kemampuan nonlinguistik. Terminologi umum yang netral secara teori adalah gangguan auditorik kortikal. Perlu dibedakan dengan tuli kortikal, tuli kata murni (gangguan spesifik pengenalan suara percakapan) , agnosia suara auditorik (gangguan pengenalan spesifik suara bukan percakapan), agnosia paralinguistik (gangguan pengenalan prosodik bahasa percakapan), juga dibahas amusia reseptif (amusia sensorik) yaitu gangguan kemampuan apresiasi berbagai variasi suara musik. Tuli kortikal lebih sering ditemukan pada penyakit serebrovaskuler bilateral. Defisit awal adanya kerusakan otak unilateral (biasanya sering awalnya afasia dan hemiparesis) 88 kemudian diikuti kerusakan otak kontralateral dengan gejala tiba-tiba tuli total secara sementara. Kejadian bifasik ini merupakan tipikal gangguan auditorik kortikal. Pada tuli kortikal, destruksi bilateral dari radiatio auditorik atau kortex auditorik primer (girus Heschl’s) ditemukan menetap. Dasar gangguan auditorik kortikal lebih bervariasi, lesi-lesi dapat terjadi lebih luas sampai girus temporal superior, juga koneksitas eferen dari girus Heschl’s sering terlibat. Tuli kata murni (agnosia auditorik untuk percakapan, agnosia verbal auditorik) Penderita dengan tuli kata murni tidak sanggup mengerti bahasa percakapan meskipun ia dapat membaca, menulis dan bercakap-cakap secara relatif normal. Kemampuan menulis dengan didikte terganggu namun meniru materi tulisan tidak terganggu. Lesinya bilateral, lesi kortiko-subkortikal bagian anterior dari girus temporalis superior dan tidak mengenai girus Heschl’s terutama pada sisi kiri. Secara umum disetujui profil lesi pada diskoneksi bilateral dari area Wernicke’s dengan ‘input’ auditorik. Tuli dapat diatasi dengan ‘treshold pure tone’ auditorik normal , pada kondisi ini penderita mengalami halusinasi atau memperlihatkan euphoria atau paranoid sementara. Membedakan tuli kata dengan afasia sensorik transkortikal adalah gangguan kemampuan melakukan pengulangan percakapan Tak adanya gejala parafasia, gangguan membaca dan menulis membedakan gejala ini dengan afasia Wernicke’s. Dapat juga kedua-duanya muncul (afasia dan agnosia) dengan tingkatan lesi lebih luas. Auerbach dkk. menyokong bahwa gangguan ini dalam 2 bentuk: 1. kerusakan prefonik temporal auditorik, yang berasosiasi dengan lesi temporal bilateral . 2. Gangguan diskriminasi fonemik dilengkapi lesi temporal kiri dan secara dekat dengan afasia Wernicke’s. Agnosia Paralinguistik ( agnosia afektif auditorik) & phonagnosia Percakapan yang terdengar merupakan kumpulan sinyal yang tidak hanya mencakup peran bahasa, tapi juga termasuk variasi-variasi lainnya yaitu : volume, timbre, tinggi nada suara, ritme (alunan suara) yang merupakan kesatuan informasi status emosi pembicara. Heilman dkk. menjelaskan bahwa penderita dengan hemispatial neglect yaitu lesi di temporo-parietal kanan akan mengalami gangguan pengenalan afektif nada percakapan , namun penderita normal dalam pengenalan bahasa percakapan. Penderita dengan lesi temporoparietal kiri dengan fluent afasia memperlihatkan pengenalan yang normal untuk aspek prosodi dan afektif dari percakapan. Berdasarkan fakta dari CT scan otak, menyokong bahwa kerusakan parietal kanan menyebabkan gangguan pengenalan suara sedangkan kerusakan lobus temporal menyebabkan defisit diskriminasi suara. Amusia sensorik (reseptif). Gangguan ini adalah ketidak mampuan mengapresiasikan variasi-variasi karakteristik dari musik yang terdengar. Agnosia taktil Tipe yang utama untuk pengenalan objek secara taktil terpenting adalah pengenalan ruang atau persepsi bentuk. 89 Taktil agnosia adalah gangguan selektif dari pengenalan objek secara taktil dimana tidak terdapat gangguan fungsi somatosensorik primer. Gangguan ini harus dibedakan dengan gangguan penamaan benda dari modalitas fungsi bahasa (anomia), dan objek yang belum pernah dikenal oleh subjek. Gangguan ini unilateral (terganggu pada tangan kanan atau kiri) yang berasal dari lesi unilateral. Strategi eksplorasi secara taktil normal, episodic memori normal. Mishkin mengajukan teorinya berdasarkan penelitian pada kera, posterior insula berperan pada proses belajar secara taktil dan rekognisi objek dan berhubungan dengan area sensorik sekunder dan struktur limbik mesial temporal. Dari perspektif ini, taktil agnosia adalah gangguan aliran informasi antara somatosensorik dengan sistim memori. Agnosia taktil merupakan gangguan akibat lesi di korteks parietal inferior, kemungkinan termasuk area Brodmann 40 dan 39. Astereognosis adalah gangguan persepsi spatial taktual disebabkan kerusakan otak pada banyak level dari sistim somatosensorik termasuk serabut saraf perifer, medulla spinalis, batang otak dan thalamus (ventral posterior lateral). Proses informasi somestetik terbagi dua : Aliran ventral dgn gangguan sbb.: rekognisi objek, belajar secara tactual, dan memory. Aliran dorsal : intergrasi sensori motorik dan fungsi spatiotemporal somestetika. Sindrom Apraksia-astereognosis Tipe astereognosis yang tidak umum sebagai hasil dari kerusakan korteks somatosensorik asosiatif dorsomedial Fungsi memori Gangguan pencarian kembali informasi baru yang telah dipelajari dan disimpan (defisit memori ‘retrieval’) sering terjadi pada stroke. Gangguan memori retrieval terjadi karena terganggunya sirkuit kortikal dan subkortikal, sirkuit ini meliputi kortex prefrontal dorsolateral, singulata anterior dengan subkortikal (nukleus kaudatus, globus palidus serta talamus media), dan gangguan tipe ini tidak mengganggu pengenalan kembali informasi yang baru dipelajari (‘recognition’). Lobus frontal dan sirkuit resiprokal dengan subkortikal sangat berperan pada memori retrieval. Informasi fonologik (pendengaran) yang dipelajari melibatkan aktivitas otak hemisfer kiri khususnya temporal medial kiri, sedangkan informasi visual dan spatial mengatifkan temporal medial kanan. Amnesia murni (gangguan mempelajari informasi baru) tanpa gangguan rana kognitif lainnya jarang terjadi. Amnesia berat yang menetap pernah dilaporkan pada lesi bilateral temporal medial meliputi hipokampus dan kortex girus parahipokampus. Lesi unilateral menimbulkan gangguan yang tidak berat dengan spesifik modalitas (contoh : lesi dihemisfer kiri menyebabkan gangguan mengingat nama, tetapi dapat mengenal muka). Lesi yang mengenai nukleus mediodorsal talamus, traktus mamilotalamik dilaporkan pada lesi bilateral menyebabkan amnesia berat. Amnesia dapat terjadi bila adanya lesi pada rangkaian sirkuit Papez yang terdiri dari hipokampus, forniks, badan mamilaris dari hipotalamus, traktus mamilotalamikus serta nukleus talamus medial. Lesi di hemisfer kiri menyebabkan amnesia verbal (auditorik) dan lesi di hemisfer kanan menyebabkan amnesia nonverbal (visual). Pada amnesia juga terjadi gangguan pengenalan kembali informasi yang baru dipelajari (‘recognition’). 90 Penderita dengan lesi pada orbitofrontal anteriormedial menimbulkan gejala konfabulasi spontan dan secara cepat mengalami penyembuhan dibandingkan penderita dengan lesi pada orbitofrontal posterior dan ‘basal forebrain’, lesi ini mempunyai gejala konfabulasi spontan, konfusi terhadap realitas yang berlangsung sampai 3 bulan dan ada yang sampai 1 tahun, kemudian setelah mengalami perbaikan gejala sisanya amnesia berat. Fungsi eksekutif. Fungsi eksekutif adalah fungsi kortex prefrontal khususnya area dorsolateral yang merupakan kortex asosiasi multimodal yang berperan untuk kemampuan mengorganisasikan penampilan kognitif antara lain meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah, memantau masalah, mengevaluasi, menganalisa serta memecahkan/mencari jalan keluar dari suatu persoalan, menyusun strategi dan merencanakan tindakan sesuai ketrampilan yang dikuasai. Fungsi eksekutif dikelompokan pada empat katagori yaitu: ‘Drive’, ‘programming’, ‘response control’, ‘synthesis’. Fungsi eksekutif dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur kortikal sertasubkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Kerusakan pada korteks prefrontal dorsolateral dapat menimbulkan sindroma neurobehavioral dengan gejalagejala seperti berkurangnya aktivitas motorik kompleks, proses berpikir yang tidak konkrit, gagal mengenal konsep-konsep, kurang fleksibilitas, serta terjadi perseverasi dan perilaku motorik yang stereotipik. Gejala yang hampir sama juga dapat ditemui pada lesi di parietal temporal dan area asosiasi oksipital dan nukleus kaudatus dorsalis. Hal ini dapat terjadi karena kortex prefrontal dorsolateral mempunyai hubungan resiprokal dengan daerah kortikal dan subkortikal,. Kortex prefrontal dorsolateral menerima informasi dari kortex orbitofrontal, kortex asosiasi parietal, kortex asosiasi auditorik, girus singulata, kortex retrosplenial, girus parahipokampus dan presubiculum melalui fasikulus longitudinalis superior, fasikulus longitudinalis inferior dan jaras oksipitofrontal inferior. Kortex dorsofrontal juga mengatur aktivitas dari struktur-struktur tersebut dan membentuk hubungan yang akan menyalurkan informasi dari beberapa area kortex ke dorsalis kaudatus. Setelah masukan-masukan informasi ini diproses di dorsalis kaudatus, masukan tersebut diproyeksikan kembali ke kortex prefrontal dorsolateral, sehingga terbentuklah suatu sirkuit prefrontal dorsolateral-subkortikal. Kortex dorsolateral prefrontal berhubungan erat resiprokal dengan kortex frontal medial dan orbitofrontal. Selain lesi pada prefrontal dorsolateral dapat juga lesi terjadi pada frontal medial terutama menyebabkan gangguan motivasi dari sederhana sampai berat yaitu dari kurangnya minat sampai mutisme akinetik. Sindrom ini dapat terjadi pada lesi girus 91 singulata anterior, striatum ventral, thalamus mediodorsal atau pada traktus yang menghubungkan struktur-struktur tersebut. Lesi dapat terjadi akibat oklusi arteri serebri anterior, atau reaksi spasme pembuluh darah sesudah terjadinya ruptura aneurisma pembuluh darah arteri komunikan anterior. Lesi pada orbitofrontal (aspek inferior lobus frontal) yang sangat erat berhubungan dengan sistim limbik, dapat menimbulkan sindrom dengan gejala-gejala perubahan kepribadian. Disinhibisi dan agresi merupakan gejala yang umum, suasana hati iritabilitas, afek labil, impulsif dengan lelucon kekanak-kanakan, kurang berempati. Lesi dapat disebabkan ruptura aneurisma pembuluh darah arteri komunikan anterior. Kasus ini jarang terjadi. Fungsi non kognitif (emosi). Manifestasi gejala neurobehavior non kognitif pasca stroke dapat terjadi yaitu: depresi, ansietas, mania, labilitas, atau psikosis. Depresi mayor terjadi kira-kira l0-25 % dari pasien dan depresi minor sekitar l0-40%. Ansietas yg terjadi bersama-sama depresi 20% dari pasien pasca stroke yg depresi, dan tanpa depresi 7-l0%. Apatis terjadi pada 20% pasien (l0% dengan depresi, l0 % tanpa depresi). Anosognosia dengan denial of illness muncul 25%-45% dari pasien, terutama sekali dengan lesi posterior kanan. Reaksi katastropik kira-kira 20% dan emosi yg labil kira-kira 20%. Mania dan psikosis bisa dibedakan dengan baik pada kondisi pasca stroke tetapi hal ini relatif tidak lazim. Depresi paska stroke berkaitan denga lokasi, tatalaksana, ukuran lesi dan gambaran klinis yang timbul. Pada periode post stroke ’immediate’ (7-10 hari) terdapat peningkatan frekwensi terjadinya depresi pada lesi di hemisfer kiri. Pada gangguan depresi yang disertai ansietas, letak lesi terdapat di kortikal yaitu frontal kiri, pada lesi subkortikal depresi terjadi jika nukleus caudatus kiri terlibat. Beberapa penelitian menyatakan hubungan antara ukuran lesi dan keparahan gangguan depresinya. Pada pasien depresi dan lesi stroke pada hemisfer kiri kejadian gangguan fungsi kognitif lebih besar. Depresi pasca stroke sering terjadi pada pasien dengan pembesaran ventrikel, diduga adanya atrofi merupakan predisposisi terjadinya perubahan mood pasca stroke. Wanita lebih sering mengalami depresi pasca stroke. Gambaran gejala klinis depresi identik pada depresi pasca stroke dan depresi late onset idiopatik. Meskipun retardasi psikomotor lebih banyak terjadi pada gangguan pasca stroke. 92 Depresi berkaitan dengan gangguan aktifitas harian secara akut dan pada pantauan jangka panjang. Depresi pasca stroke dipengaruhi oleh mekanisme serotonergik dengan menurunnya avibilitas serotonin dan gangguan regulasi kembali reseptor serotonin pada temporal kiri. Depresi vaskular terjadi pada beberapa kasus depresi ’late onset’ yang berkaitan dengan stroke sebelumnya, ’silent’ infark pada iskemik substansia alba, ’Onset’ setelah usia 65 tahun atau adanya perubahan penyebab gangguan depresi dini. Secara klinis atau imaging adanya gangguan vaskular dan faktor resiko (terutama hipertensi) biasanya timbul disfungsi kognitif, terutama gangguan fungsi eksekutif. Untuk tatalaksana depresi vaskular cukup responsif dengan farmakoterapi atau ’electroconvulsive therapy’ (ECT). Mania adalah gangguan jiwa (suasana hati) yang digambarkan sebagai suatu peningkatan atau meluapnya suasana hati (mood), peningkatan aktivitas fisik, pikiran dan bicara yang cepat dan perubahan neurovegetatif Penyakit serebrovaskular juga sering menyebabkan mania sekunder. Lokasi yang sering menyebabkan mania sekunder adalah daerah peritalamik kanan. Hemibalismus, hemidistonia, tremor postural atau chorea sisi kiri sering disertai lesi talamik dan subtalamik. Infark pontin dan malformasi arteriovenosus berhubungan denga mania sekunder. Demensia vaskuler jarang menyebabkan mania sekunder. Demensia Demensia vaskuler (DV) merupakan sindroma demensia terbanyak (di negara Barat setelah demensia Alzheimer) sedangkan Cina dan Jepang (Ueda,1992) demensia vaskuler > 50 % dari semua demensia. Sindroma demensia ini secara klinik terdiri dari gangguan intelektual (penurunan fungsi kognitif lebih dari dua rana kognitif) yang didapat dan gangguan fungsional (aktifitas hidup sehari-hari dan pekerjaan), disebabkan oleh iskemia pada jaringan otak, perdarahan atau hipoksik otak. Diagnosa demensia ditegakan setelah 3 bulan pasca stroke dengan gangguan kognitif menetap sesuai kriteria demensia. Demensia ini dapat bercampur dengan demensia Alzheimer dan disebut demensia tipe campuran. Karakteristik demensia vaskuler terdiri dari gejala-gejala neurologi fokal, defisit neurobehavior (kognitif dan nonkognitif) dengan batasan yang luas sebagai refleksi heterogenitas dari lesi otak yang berperan. Gejala neurobehavior untuk kognitif meliputi atensi, konsentrasi, fungsi memori, fungsi bahasa, fungsi visuospatial, gnosis, praksis, fungsi eksekutif, dan gejala non kognitif/fungsi emosi meliputi depresi, mania, anxietas, labilitas, agitatif dan psikosis. Faktor risiko potensial untuk terjadinya demensia vaskuler adalah: Hipertensi; ‘Coronary Arteriosclerosis Diseases’, diabetes mellitus, penyakit jantung, hiperlipidemia, merokok, 93 faktor –faktor risiko ini memperberat arteriosklerosis yang sudah terbentuk sejak usia muda. ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN STROKE Perawat, sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien stroke secara komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase pemulihan PERAN PERAWAT PADA PENATALAKSANAAN PASIEN STROKE AKUT Perawatan Pra-Rumah Sakit (Ambulance) Menurut Carrozella & Jauch (2002), kunci keberhasilan penatalaksanaan pasien stroke fase hiperakut dipengaruhi oleh efektifitas fungsi dari semua yang terlibat dalam rantai keselamatan & pemulihan stroke (stroke ”chain of survival and recovery”), yang meliputi: Detection: pengenalan tentang tanda & gejala stroke oleh pasien atau orang di sekelilingnya. Dispatch: segera aktivasi petugas medik ambulans Door: triage cepat di ruang gawat darurat Data: pemeriksaan fisik terhadap status neurologi, pemeriksaan radiografi, dan pemeriksaan laboratorium Decision: pemilihan terapi Drug: pemberian obat yang tepat dosis dan waktunya. Di perjalanan menuju rumah sakit, perawat yang bertugas di mobil ambulans dapat mulai mencari informasi mengenai waktu timbulnya gejala atau terakhir kali pasien terlihat normal. Perawat juga harus mencatat adanya riwayat kejang, jatuh, serta riwayat kesehatan pasien dan obat yang dikonsumsi sebelumnya. Penatalaksanaan dimulai dengan airway, breathing, & circulation (ABCs), yang dilanjutkan dengan pengkajian status neurologik, tanda vital, saturasi oksigen, dan kadar gula darah. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan selama di mobil ambulance adalah pemberian oksigen melalui kanal nasal sesuai indikasi, pemberian cairan melalui intra vena, pemeriksaan kadar gula darah, dan koreksi terhadap adanya hipoglikemi atau hiperglikemi sesuai indikasi medik. Pada fase hiperakut, waktu adalah hal yang paling penting, terutama bila pasien akan diberikan obat trombolitik (recombinant Tissue Plasminogen Activator/ r-TPA). Peran perawat pada fase ini adalah sebagai fasilitator dari semua anggota tim kesehatan yang terlibat, baik dalam koordinasi, implementasi, maupun evaluasi terhadap perawatan pasien. Semua intervensi harus dilakukan secara cepat, tepat, dan efisien. Monitoring terhadap kadar saturasi oksigen dan kadar gula darah tetap harus dilakukan. Hipoglikemi dan hiperglikemi harus diidentifikasi dan diobati segera. Oleh karena sebagian besar pasien stroke iskemi mengalami dehidrasi (Carrozella & Jauchi, 2002), maka mempertahankan volume cairan dengan pemberian cairan garam fisiologis melalui intra vena (hindari pemberian cairan hipotonik), untuk mengoptimalkan perfusi otak. Posisi kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat, hindari pemberian makanan atau cairan per oral dalam beberapa jam pertama, sampai dipastikan bahwa pasien tidak mengalami gangguan menelan (disfagia). Perawatan di Rumah Sakit Fase akut stroke terhitung sejak pasien masuk rumah sakit sampai keadaan pasien stabil, biasanya dalam 48 – 72 jam pertama. Tetapi, pada beberapa kasus khusus waktunya dapat lebih panjang. Selama fase ini, tindakan keperawatan ditujukan untuk mempertahankan fungsi vital pasien dan memfasilitasi perbaikan neuron. Kualitas 94 layanan yang diberikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencegah terjadinya komplikasi dan kecacatan. Asuhan keperawatan pada pasien stroke fase akut dimulai dengan pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi, dan evaluasi. PENGKAJIAN Riwayat perjalanan penyakit, untuk mengetahui kapan gejala awitan mulai timbul atau onset. Riwayat penyakit atau status kesehatan yang sebelum sakit: apakah pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, TIA (Transient Ischemic Attack), dislipidemia, hiperagregasi trombosit, obesitas, atau penyakit lain sebagai faktor risiko stroke. Pola/kebiasaan/gaya hidup sebelum sakit: merokok, minum alkohol, stress, kurang aktifitas, kepribadian tipe A. Pemeriksaan fisik: Tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, respirasi, dan temperatur. Tingkat kesadaran (Glasgow Coma Scale / GCS) Pupil: ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya. Fungsi serebral umum: orientasi, atensi, konsentrasi, memori, retensi, kalkulasi, similaritas, keputusan, dan berpikir abstrak. Fungsi serebral khusus: kemampuan bicara dan berbahasa, kemampuan mengenal obyek secara visual, audio, dan perabaan, serta kemampuan melakukan suatu ide secara benar dan tepat. Fungsi saraf kranial I – XII Fungsi serebellum: tes keseimbangan dan koordinasi otot Fungsi motorik: ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, gerakan involunter, dan gait. Fungsi sensorik Faktor psikososial: respon terhadap penyakit, tersedianya sistem pendukung atau support system, kebiasaan menyelesaikan masalah atau coping mechanism, pekerjaan, peran dan tanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat, serta pengambil keputusan dalam keluarga. Pemeriksaan penunjang: CT Scan kepala, MRI kepala, Thorax photo, EKG, laboratorium: gula darah, sistem hemostase, lipid analisa, ureum/ creatinin, elektrolit, analisa gas darah, protein C, protein S, AT III, dan pemeriksaan penunjang lain bila perlu sesuai kondisi pasien, misalnya: TCD (Trans Cranial Doppler), DSA (Digital Substruction Angiography), EEG (Electro Encephalography), dan echo jantung. DIAGNOSA KEPERAWATAN Kemungkinan diagnosa keperawatan yang ada pada pasien stroke adalah: Risiko/aktual: tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan penumpukan slym sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, gangguan menelan atau disfagia. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan iskemik, edema, peningkatan tekanan intra kranial. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan intake cairan sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, disfagia. 95 Perubahan pemasukan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, disfagia. Perubahan eliminasi urin: inkontinensia urin berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, gangguan fungsi kognisi, immobilisasi. Perubahan eliminasi bowel: konstipasi berhubungan dengan immobilisasi. Perubahan sensori persepsi: audio, visual, sentuhan berhubungan dengan adanya penurunan fungsi serebral sekunder terhadap kerusakan struktur serebri. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, hemiparese. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, afasia. Kurang mampu merawat diri/ ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, hemiparese, afasia, gangguan sensori persepsi. Respon emosi psikologis secara umum terhadap stroke, termasuk: takut, koping tidak efektif, cemas, isolasi sosial, perubahan konsep diri, dan ketidakberdayaan berhubungan dengan defisit neurologis. Risiko injuri berhubungan dengan trauma jatuh, kejang. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi PERENCANAAN Beberapa contoh rencana tindakan keperawatan: 1.Diagnosa keperawatan: tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan penumpukan lendir, lidah jatuh ke belakang sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, disfagia. Rasional:: Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran yang disebabkan oleh peningkatan TIK baik karena edema maupun hidrosefalus dapat mengakibatkan hilangnya refleks batuk sehingga menyebabkan penumpukan lendir dan kemungkinan lidah jatuh ke belakang. Disfagia adalah gangguan dalam menelan makanan dan atau cairan sehingga juga dapat menyebabkan penumpukan lendir yang dapat menyebakan jalan nafas tidak lancar. Tujuan: jalan nafas pasien dapat dipertahankan tetap lancar atau paten. Rencana tindakan keperawatan: Kaji dan monitor tanda-tanda vital dan status pernafasan Kaji dan monitor tingkat kesadaran Rubah posisi miring kiri dan kanan setiap 2 jam Lakukan fisioterapi dada Lakukan suction (jangan lebih dari 15 detik setiap kali suction) Berikan cairan minimal 2000 ml/24 jam bila tidak ada kontra indikasi Mobilisasi sedini mungkin bila kondisi pasien stabil 96 2 Kolaborasi dengan medis: - berikan Oksigen sesuai kebutuhan - berikan terapi inhalasi - berikan obat mukolitik - lakukan pemeriksaan analisa gas darah Kolaborasi dengan fisioterapis mengenai mobilisasi dini dan fisioterapi dada Diagnosa keperawatan: Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan iskemik, edema, peningkatan tekanan intra kranial. Rasional: Penurunan aliran darah ke otak dapat menyebabkan jaringan serebral mengalami iskemik, sehingga mengakibatkan edema atau juga dapat menyebabkan hidrocephalus yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial, yang berpengaruh pada tekanan perfusi serebral. Tujuan: Perfusi jaringan serebral dapat dipertahankan atau ditingkatkan Rencana tindakan keperawatan: Kaji dan monitor tanda-tanda vital Kaji dan monitor tingkat kesadaran Kaji dan monitor pupil dan kekuatan otot Kaji dan monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Anjurkan pasien bed rest selama 24-72 jam pertama Tinggikan posisi kepala tempat tidur 15-30 derajat Atur posisi kepala netral, hindari leher tertekuk Kolaborasi dengan medis: - berikan Oksigen sesuai kebutuhan - berikan terapi anti edema sesuai indikiasi - berikan terapi neuroprotektan - pertahankan tekanan darah dalam batas normal - pertahankan gula darah dalam batas normal - pertahankan suhu tubuh normal INTERVENSI KEPERAWATAN LAIN PADA STROKE FASE AKUT Pertahankan jalan nafas, sirkulasi, tekanan darah, dan tekanan perfusi serebral. Berikan oksigen, dan atur posisi kepala pasien neutral Bersihkan lendir dari jalan nafas, lakukan suction bila perlu. Monitor fungsi nafas, cek analisa gas darah, observasi gerakan dada Kaji tanda vital secara periodic sesuai kondisi pasien Kaji status neurologik secara periodic: GCS, pupil, fungsi motorik dan sensorik, fungsi saraf kranial, dan reflek. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pertahankan nutrisi yang adekwat untuk mempertahankan fungsi tubuh. Pertahankan suhu tubuh normal. Pertahankan pola eliminasi adekuat. Pertahankan kadar gula darah kurang dari 150 mg/dl. 97 Lakukan pencegahan kejang jika perlu Kaji kemampuan menelan pasien Perawatan di Unit Stroke Unit Stroke merupakan suatu area/unit perawatan khusus untuk pasien stroke fase akut hingga fase pemulihan, yang dilakukan oleh tim multidisiplin secara komprehensif dan terpadu. Tim multidisipiner ini atau yang lebih dikenal dengan tim stroke terdiri dari dokter, perawat trampil stroke, terapis fisik, terapis okupasi, terapis wicara, ahli gizi, dan pekerja sosial medis. Seluruh anggota tim stroke harus melakukan pengkajian pada setiap pasien baru dan mengadakan pertemuan tim secara rutin minimal seminggu sekali. Dalam setiap pertemuan tim, seluruh anggota tim memberikan hasil pengkajian dari masing-masing disiplin ilmu. Selain itu, tim juga membahas masalah yang dihadapi pasien akibat stroke, perkembangan kondisi pasien, tujuan, dan menyusun rencana tindakan selanjutnya termasuk menyusun perencanaan pulang. Perawat mempunyai peran sentral dalam tim stroke, sehingga perawat yang bertugas di unit stroke harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan merawat pasien stroke, yang diperoleh melalui pendidikan khusus yang terprogram dan terstruktur, yang dibuktikan dengan sertifikat. Peran perawat dalam tim stroke mencakup peran sebagai pemberi layanan asuhan keperawatan, pendidik, penasihat bagi pasien dan keluarga, fasilitator, dan peran sebagai peneliti. Peran perawat sebagai peneliti sangat diperlukan untuk peningkatan mutu asuhan keperawatan, karena semua rencana tindakan keperawatan atau intervensi keperawatan seharusnya didasarkan pada hasil penelitian secara ilmiah atau based evidence practice. Perawatan yang dilakukan di Unit Stroke / Sudut Stroke Pada fase akut: a. b. c. Stimulasi dini, mobilisasi dini, dan transfer dini. Penatalaksanaan pasien stroke dengan gangguan fungsi kandung kemih. Penatalaksanaan pasien stroke dengan gangguan menelan Pada fase sub akut: a. Program edukasi keluarga. b. Rehabilitasi pasien stroke pada fase sub akut. c. Perencanaan pulang d. Program perawatan pasien di rumah Peran Perawat pada Fase Akut A. Stimulasi, mobilisasi, dan transfer dini Stimulasi dini Stimulasi dini terhadap pasien stroke dapat dilakukan baik melalui visual, audio, maupun melalui sentuhan. Stimulasi melalui visual dapat berupa tersedianya televisi di kamar pasien, membawakan album foto keluarga, maupun dengan buku-buku bacaan. Dengan memberikan stimulasi melalui visual diharapkan juga dapat melatih kemampuan memori atau daya ingat pasien. Stimulasi melalui audio dengan cara menganjurkan keluarga untuk membawakan pasien walkman, CD player, atau alat audio lain. Kepada seluruh anggota tim stroke diharapkan untuk selalu memberikan informasi secara lisan apabila akan melakukan suatu intervensi, termasuk kepada pasien afasia dan pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran. 98 Melakukan latihan gerak sendi ataupun berbicara sambil menyentuh bagian lengan pasien yang lemah adalah salah satu contoh memberikan stimulasi melalui sentuhan. Terutama bagi pasien stroke yang mengalami hemineglect (biasanya lesi pada hemisfer kanan), dianjurkan untuk selalu menghampiri dari sisi kiri yang lemah atau sisi kiri. Mobilisasi dini Biasanya pasien istirahat di tempat tidur dalam 48-72 jam pertama. Kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat. Posisi pasien dirubah miring kiri dan miring kanan setiap 2-3 jam. Untuk mencegah terjadinya nyeri bahu dan kecacatan, lengan dan kaki yang mengalami kelemahan diatur posisinya dan diganjal dengan bantal. Posisi lengan supinasi, jari lebih tinggi dari siku dan siku lebih tinggi dari bahu. Kaki endorotasi, lutut agak ditekuk. Untuk mencegah terjadinya kekakuan sendi, dilakukan latihan pergerakan sendi (Range Of Motion) secara teratur 2 kali sehari, yang dimulai sejak awal perawatan pasien. Ketinggian kepala tempat tidur dinaikkan secara bertahap 45o, 60o, dan selanjutnya duduk bersandar 90o pada hari ketiga bila kondisi pasien stabil dan tidak terjadi komplikasi. Pada hari berikutnya pasien dilatih duduk berjuntai di tempat tidur, tanpa bersandar. Perawat harus memonitor tanda-tanda vital pasien sebelum, selama, maupun setelah latihan mobilisasi, terutama denyut nadi dan tekanan darah. Transfer dini Apabila pasien telah mampu duduk berjuntai selama minimal 30 menit tanpa keluhan berarti, keesokan harinya pasien dapat dilatih duduk di kursi bersandar tegak atau kursi roda. Pertama kalai pasien latihan duduk di kursi biasanya dilakukan oleh fisioterapis bersama perawat. Posisi duduk pasien harus diatur dengan benar. Punggung harus tegak, letakkan bantal di bawah lengan yang lemah, pastikan bahwa telapak kaki menapak di lantai atau sandaran kaki kursi roda. Sama seperti waktu melatih pasien duduk berjuntai, perawat juga harus memonitor tandatanda vital terutama denyut nadi dan tekanan darah sebelum, selama, dan setelah latihan duduk. Selain mengukur frekuensi denyut nadi per menit, perawat juga harus memperhatikan apakah irama jantung teratur atau tidak. Perawat juga harus memperhatikan penampilan klinis & keluhan pasien. Penampilan klinis mencakup ekspresi wajah, keringat dingin, kemampuan menopang kepala, ataupun kesimbangan duduk. Keluhan pasien yang harus diperhatikan oleh perawat adalah adanya keluhan pusing, sakit kepala, sesak nafas, atau nyeri dada. Latihan duduk ini dapat meningkatkan rasa nyaman pasien, meningkatkan rasa percaya diri, mencegah injuri, dan meningkatkan fungsi respirasi. B. Penatalaksanaan gangguan fungsi kandung kemih Gangguan fungsi kandung kemih pada pasien pasca stroke tidak banyak dipublikasikan, meskipun hasil survei menunjukkan bahwa 60 – 80 % atau dua pertiga pasien stroke mengalami inkontinensia (Warlow, 2001). Bagi pasien stroke, keluarga, atau pengasuhnya, gangguan fungsi kandung kemih dapat menyebabkan stres dan beberapa implikasi dalam masalah kesehatan. Beberapa komplikasi seperti infeksi saluran kemih, luka lecet, urosepsis dapat mempengaruhi keberhasilan dalam pemulihan dan rehabilitasi. Selain berdampak terhadap segi kesehatan, gangguan fungsi kandung kemih juga dapat berimplikasi pada segi psikososial. Pasien dapat mengalami rendah diri dan kurang percara diri karena sering mengalami inkontinensia. Sebagai akibat lebih lanjut, pasien akan merasa malas dan enggan untuk beraktifitas di luar rumah. 99 Gangguan fungsi kandung kemih yang diakibatkan oleh stroke biasanya berupa “Inhibited Neurogenic Bladder Disfunction”. Hal ini dicirikan oleh gangguan dalam reflek miksi, sensasi kemampuan untuk memprakarsai miksi dan penghambatan. Bila orang normal kandung kemih terisi 300-400 ml akan terasa sensasi, pada pasien stroke otot detrusor kontraksi pada volume kandung kemih 200 ml. Neurogenic bladder disfunction hanya salah satu aspek dari masalah yang dialami pasien stroke. Masalah lain adalah; interpretasi yang salah dari pasien untuk mengosongkan, pengertian implikasi dari pesan, serta tahap-tahap yang sesuai dengan kondisi sosial. Akibat stroke juga dapat menyebabkan gangguan proses pikir seperti atensi, konsentrasi, penilaian, pengambilan dan keputusan yang dapat mempengaruhi proses pengosongan kandung kemih. Intervensi keperawatan pada pasien stroke dengan gangguan fungsi kandung kemih terutama ditujukan pada: Pasien tidak terpasang dhower catheter/indwelling catheter. Mengaktifasi aktifitas pengosongan kandung kemih. Memastikan kandung kemih kosong. Mengembalikan pola buang air kecil seperti sebelum sakit. Mencegah komplikasi. Edukasi pasien dan keluarga. Melepaskan dhower catheter atau indwelling catheter merupakan topik yang utama dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi kandung kemih. Yang sering diperdebatkan adalah apakah perlu untuk dilakukan klem sebelum kateter dilepas. Survey yang dilakukan oleh Gross (1990) menunjukkan, dari 28 pasien yang diobservasi, tidak ada perbedaan antara yang dilakukan klem maupun yang tidak dilakukan klem. Sepertiga responden mengalami retensi urin dalam 8 jam setelah kateter dilepas, sisanya tidak mengalami retensi. Salah satu upaya dalam mengembalikan fungsi kandung kemih adalah menjamin intake cairan 1500 – 2000 ml per hari. Perhatikan terutama ditujukan pada pasien yang mengalami gangguan komunikasi, gangguan pergerakan, dan gangguan persepsi. Pasien dianjurkan minum air putih 200 ml setiap dua jam pada siang hari. Pada waktu pasien buang air kecil, sebaiknya di tempat yang seharusnya, yaitu di kamar mandi. Jika masalahnya adalah gangguan pergerakan, dianjurkan penggunaan commode di samping tempat tidur. Penggunaan commode dan posisi yang normal (berdiri atau duduk) sangat penting untuk mengembalikan persepsi pasien yang mengalami gangguan kognisi. Penggunaan commode lebih baik daripada penggunaan diapers. Dari segi psikologis, duduk untuk perempuan dan berdiri untuk laki-laki akan memfasilitasi perineum relaksasi dan memberikan efek gravitasi untuk mempermudah pengosongan kandung kemih. Pengosongan kandung kemih yang sempurna harus dievaluasi secara terus-menerus pada pasien stroke. Sisa urin dianggap normal bila kurang dari 50 ml selama tiga kali secara konsekutif. Bila sisa urin lebih dari 50 ml, dilakukan pemeriksaan sisa urin di kandung kemih menggunakan alat bladder scanner dua kali sehari, dan bila perlu dilakukan kateterisasi intermiten. Tehnik lain untuk mengosongkan kandung kemih adalah tehnik relaksasi perineum dengan duduk di commode. Bila dengan tehnik relaksasi belum berhasil, dapat dicoba 100 tehnik “Double voiding” atau ”Triple Voiding”. Kedua tehnik ini sangat efektif untuk pasien yang mengalami partial retensi urine. “Kegel Exercise” sangat membantu pasien stroke dengan inkontinensia. Latihan ditujukan untuk memperkuat otot-otot pelvik. Latihan berkerut dan relaksasi dilakukan tiga kali sehari masing-masing 15 kali. Sekali berkerut 10 detik, melemaskan 10 detik. Latihan sebaiknya dilakukan dalam berbagai posisi: duduk, berbaring dan berdiri. Kelemahan teknik ini adalah tidak dapat diterapkan pada pasien pasca stroke yang mengalami penurunan tingkat kesadaran atau mengalami gangguan fungsi kognisi. C. Penatalaksanaan gangguan menelan Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Braddom, 1996). Survei menunjukkan, bahwa sekitar 45% pasien stroke fase akut mengalami aspirasi ketika dilakukan tes minum air beberapa ml. (Gordon et al dalam Warlow, 2000). Disfagia dapat mengakibatkan pasien stroke mengalami aspirasi. Bila gangguan menelan ini tidak diatasi dengan segera, pasien dapat mengalami pneumonia, dehidrasi, malnutrisi, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan pemeriksaan yang akurat sejak pasien masuk rumah sakit. Tujuan utama penatalaksanaan pasien stroke dengan gangguan menelan adalah mencegah terjadinya aspirasi dan memastikan pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat melalui cara yang aman. Penatalaksanaan umum Semua pasien stroke baru tidak boleh diberikan makan atau minum sebelum dipastikan bahwa pasien tidak mengalami gangguan menelan. Bila pasien kesadaran baik, tidak ada slim atau ronkhi, tidak ada riwayat tersedak atau tanda dan gejala gangguan menelan yang lain, lakukan penilaian dengan memberikan minum air putih sekitar 50-100 ml. Bila pasien mampu minum air tersebut tanpa mengalami batuk atau tersedak, diet atau menu pasien dapat diberikan per oral sesuai order medik. Bila terjadi batuk atau tersedak, pasang selang lambung (NGT) nomer 14 dan semua makanan melalui NGT, hingga dilakukan tes menelan oleh terapis wicara atau perawat yang terlatih. Tes menelan (materi terlampir), dilakukan sedini mungkin untuk menentukan pengaturan diet selanjutnya. Hasil dari tes menelan adalah apakah pasien mengalami gangguan menelan, pada fase yang mana adanya gangguan menelan dan metode apa yang tepat untuk masuknya cairan dan nutrisi bagi pasien. Selain modifikasi diet atau pengaturan menu, digunakan juga teknik kompensasi dan latihan otot-otot mengunyah dan menelan. Pengaturan menu atau modifikasi diet sesuai hasil tes menelan: Makanan bentuk cair, semua melalui selang lambung atau NGT, Makanan bentuk cair, semua melalui selang lambung atau NGT, bubur saring 1 mangkuk kecil 3 kali sehari hanya untuk latihan per oral. Seperempat porsi makanan lunak per oral, tigaperempat porsi makanan bentuk cair melalui NGT Setengah porsi makanan lunak per oral, setengah porsi makanan cair melalui NGT Tiga per empat porsi makanan lunak peroral, seperempat porsi makanan cair melalui NGT Seluruh porsi makanan lunak per oral, hanya air yang melalui NGT Makanan dan cairan per oral. 101 Tehnik kompensatori Teknik kompensatori berupa perubahan posisi kepala atau badan dapat membantu pergerakan bolus dan mencegah terjadinya aspirasi. Beberapa teknik kompensatori adalah sebagai berikut: Posisi duduk tegak, kepala simetris ke depan, kepala agak ditekuk Pada waktu menelan, anjurkan pasien untuk menoleh ke sisi yang lemah “Effortful swallow and double swallow”, dengan cara ambil nafas dalam dan tahan, ambil atau suap makanan, telan, batuk cepat setelah makan, dan kembali nafas biasa. Latihan otot-otot mengunyah dan menelan Latihan dilakukan sesuai dengan pemeriksaan dan observasi klinis pasien. 1. Klinis: menurunnya pergerakan, kekuatan, dan koordinasi bibir Observasi klinis: mengiler, “facial drop” Latihan bibir: Buka mulut, lebarkan, rileks, ulang Senyum, menyeringai, senyum, menyeringai Ucapkan pa pa pa, ba ba ba Bertiup, bersiul 2. Klinis: menurunnya pergerakan, kekuatan dan koordinasi lidah Observasi klinis: lidah tidak mampu memindahkan makanan dari depan ke belakang mulut Latihan: julurkan lidah sentuh bibir atas dan bawah dengan lidah dorong lidah ke arah pipi kanan dan kiri dorong lidah melawan sudip lidah ucapkan la la la la la 3. Klinis: menurunnya pergerakan, kekuatan dan koordinasi rahang bawah Observasi klinis: tidak mampu mengunyah makanan Latihan: buka mulut lebar, istirahat, ulangi gerakkan dagu dari kanan ke kiri dan sebaliknya 4. Klinis: lemahnya reflek menelan dan batuk Observasi klinis: tidak mampu batuk, suara serak, batuk sewaktu atau sesudah menelan. Latihan: tarik nafas dalam dan hembuskan secara perlahan tarik nafas panjang, ucapkan berulang ah ah ah latihan tiup sedotan menyanyikan lagu 102 Prosedur aman pada waktu memberikan makan Bila memungkinkan pasien harus duduk di kursi pada saat makan. Bila harus makan di tempat tidur, pasien sebaiknya duduk tegak 90 derajat. Pada saat menelan pasien dianjurkan agak menunduk (posisi leher agak ditekuk) untuk mempermudah menutupnya jalan nafas. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan oleh perawat adalah: Pada saat memberikan suapan perawat harus berhadapan langsung dengan pasien. Gunakan sendok kecil dan letakkan makanan pada sisi mulut yang sehat. Anjurkan pasien menoleh ke sisi yang lemah pada saat menelan makanan. Anjurkan pasien untuk menelan 2 – 3 kali untuk memastikan makanan telah tertelan semua. Pastikan makanan telah tertelan semua sebelum memberikan suapan berikutnya. Anjurkan pasien untuk batuk setelah menelan. Pertahankan posisi duduk tegak 20 – 30 menit setelah makan. Perhatikan kebersihan mulut pasien setelah makan, perhatikan apakah ada makanan yang belum tertelan. Jika pasien terbatuk-batuk secara konstan sebelum, selama, atau setelah makan, hentikan memberikan makan. Bila pasien mengalami kelelahan, hentikan memberikan makan. Peran Perawat pada penatalaksanaan stroke fase sub akut Bila kondisi pasien telah stabil, penatalaksanaan perawatan ditujukan untuk mempertahankan fungsi tubuh dan mencegah komplikasi. Rehabilitasi pasien harus dilakukan sedini mungkin. Pada fase ini perawat harus mengkaji dan memonitor kemungkinan timbulnya peningkatan tekanan intra cranial yang disebabkan oleh edema, hematoma, atau hidrosefalus. Dari segi neurologik, tindakan medis dan upaya pemulihan yang dilakukan berdasarkan pada usaha untuk mencegah kerusakan sel otak yang lebih luas, kemungkinan terbentuknya sirkuit-sirkuit atau lintasan-lintasan penghubung yang baru, dan fungsi yang lebih efektif dari sel-sel otak yang semula pasif. Dengan perkataan lain berusaha memanfaatkan semaksimal mungkin keberadaan sel-sel otak yang masih sehat. Untuk tercapainya harapan ini, diperlukan latihan-latihan yang pada hakekatnya merupakan proses belajar kembali. Sambil menunggu terjadinya lintasan penghubung yang baru, dan memacu perbaikan-perbaikan fungsional otak, latihan-latihan ini juga bertujuan mencegah terjadinya kekuatan otot dan sendi, sehingga tercapai keselarasan antara perbaikan di tingkat pusat dan terpeliharanya kondisi otot penggerak. Perhatian harus juga diberikan pada keluarga pasien karena anggota keluarga akan sangat mempengaruhi respon pasien terhadap penyakit yang dideritanya. Mereka ikut berperan terhadap keberhasilan dan kegagalan upaya pemulihan. Masalah yang timbul akibat dari stroke biasanya bervariasi. Masalah tergantung bagian otak yang terkena. Pada awal setelah terjadinya stroke, pasien merasa binggung dan mengalami ketergantungan yang sangat besar terhadap orang lain, untuk itu diperlukan seorang pengasuh (carer) yang dapat membantu pasien saat pasien membutuhkan pertolongan dan membantu melatih pasien secara bertahap untuk mencapai kemandirian. Pengasuh adalah seorang yang ditunjuk oleh keluarga sebaiknya dengan persetujuan pasien, untuk menjadi pendamping pasien umumnya minimal 6 bulan. Pengasuh ini dapat 103 salah satu anggota keluarga pasien atau bisa juga orang lain yang telah diberi penyuluhan secara khusus untuk menjadi pengasuh stroke. Praktek keperawatan pasien stroke fase sub akut: Lakukan perawatan kebersihan badan secara rutin Monitor tanda vital, status neurologis, dan fungsi kognisi secara teratur Libatkan pasien dalam perawatan diri sesuai kemampuan pasien Lakukan ROM pasif tiga sampai empat kali sehari Lakukan perawatan kulit setiap empat jam, perhatikan adanya kemerahan atau iritasi Ubah posisi setiap dua jam, ganjal bantal pada lengan dan tungkai yang lemah Tinggikan bagian kepala tempat tidur 30 derajat Perhatikan bersihan jalan nafas, bila pasien sadar anjurkan untuk latihan batuk efektif Lakukan fisioterapi dada Kenakan elastic stocking bila perlu Monitor fungsi bowel Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Lepaskan dhower catheter sedini mungkin Lakukan bladder training Kaji kemampuan menelan pasien Kaji fungsi bicara dan berbahasa Sesuaikan tehnik berkomunikasi dengan kemampuan pasien: bicara pelan dengan suara normal, jadilah pendengar yang baik, jelaskan setiap prosedur yang akan dilakukan. Reorientasikan pasien menggunakan kalender, radio, foto keluarga. Evaluasi visus dan lapang pandang Berikan perawatan mata jika perlu Lakukan pencegahan kejang jika perlu Observasi adanya komplikasi, misalnya: pneumonia, emboli paru, infark miokard Monitor dan identifikasi penyakit penyerta, misalnya: DM, obesitas, hipertensi. PERAWATAN DI POJOK STROKE (STROKE CORNER ) Istilah pojok stroke dipergunakan untuk penatalaksanaan pasien stroke di ruang rawat biasa, bukan di unit stroke. Biasanya pasien stroke dikelompokkan dalan suatu area di ruang rawat. Tujuannya adalah memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien stroke, dengan melibatkan keluarga sebagai pendamping pasien (care giver). Pada 48 – 72 jam pertama awal perawatan pasien stroke atau fase akut, keluarga pendamping hanya ikut memonitor kondisi pasien secara umum. Hal yang harus diperhatikan adalah apakah pasien mengalami gelisah, nyeri kepala, kejang, sesak nafas atau kenaikan suhu badan. Bila terjadi salah satu dari hal tersebut, diharapkan pendamping segera melaporkan ke perawat jaga. Segera setelah kondisi pasien stabil, keluarga pendamping diberikan edukasi mengenai hal-hal yang dapat dilakukan dalam merawat pasien stroke. Materi edukasi yang diberikan kepada keluarga atau pendamping pasien stroke akan dibahas tersendiri pada bab selanjutnya. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan keluarga pendamping selama perawatan di pojok stroke adalah: Menjaga kebersihan badan secara rutin, seperti; memandikan pasien di tempat tidur, menjaga kebersihan gigi & mulut, serta kebersihan genitalia. 104 Menggerakkan persendian tangan & kaki secara rutin 2 kali sehari, sesuai program fisioterapis. Merubah posisi pasien miring kiri dan miring kanan setiap 2 – 3 jam. Memberikan nutrisi per oral atau per NGT dengan teknik yang benar. Sama halnya dengan penatalaksanaan pasien stroke di unit stroke, sebelum pulang ke rumah pasien dan keluarga pemdamping diberikan edukasi. Bagian dari materi edukasi meliputi tentang cara merawat pasien stroke di rumah dan cara mengontrol faktor risiko untuk mencegah terulangnya stroke. KEBUTUHAN PSIKOLOGIS Meskipun aspek psikososial merupakan bagian integral dari perencanaan keperawatan, pengetahuan tentang defisit emosi dan perilaku pasien pasca stroke akan sangat membantu upaya pemulihan pasien pasca stroke. Kebutuhan dan perubahan psikologis pasien stroke berbeda satu dengan yang lain, tergantung area otak yang terkena. Defisit psikologis pasien pasca stroke meliputi: emosi yang labil, hilangnya kontrol diri, dan menurunnya toleransi terhadap stress. Emosi yang tidak stabil menyebabkan respon yang tidak sesuai, misalnya karena hal kecil pasien dapat menangis atau tertawa yang tidak dapat dikontrol oleh pasien itu sendiri. Peran perawat dalam memberikan dukungan emosi dan psikologis: Tenangkan dan jelaskan pada pasien dan keluarga bahwa perilaku pasien disebabkan oleh injuri serebri, sifatnya tidak akan menetap, dan akan pulih sesuai perjalanan waktu. Kontrol lingkungan, mengurangi stimulus yang menyebabkan pasien sedih Antisipasi kebutuhan pasien untuk menurunkan rasa frustasi pasien. Berikan umpan balik positif terhadap kemajuan pasien Fasilitasi pasien untuk belajar ketrampilan secara bertahap. Orientasikan kembali pasien pada tempat, waktu, dan orang. Jelaskan defisit emosional pasien pada keluarga, berikan dukungan Lakukan pengulangan jika perlu, karena pasien mempunyai hambatan dalam mempelajari kembali hal yang pernah dilakukan. FASE PEMULIHAN ATAU REHABILITASI DI RUMAH SAKIT Tanggung jawab perawat dalam program rehabilitasi pasien pasca stroke: Beri kesempatan pasien untuk melakukan perawatan diri semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan pasien. Ajarkan aktifitas untuk perawatan diri dengan berbagai cara untuk melakukan kompensasi terhadap ketidakmampuan pasien. Ajarkan pasien teknik transfer. Berikan perawatan khusus terhadap kulit. Beri kesempatan pasien untuk mengenakan pakaiannya sendiri. Perhatikan privasi pasien pada saat pasien sedang belajar ketrampilan baru. Berikan dukungan emosi dan psikologis. Beri kesempatan pasien untuk mengekspresikan perasaannya. Bersikaplah empati terhadap perasaan pasien. Pastikan perawat dan pasien mengetahui apa yang dilakukan fisioterapis bagi pasien. Libatkan keluarga dalam program rehabilitasi. 105 PROGRAM EDUKASI KELUARGA Edukasi kepada pasien dan keluarga merupakan bagian dari progran rencana kepulangan pasien. Peran perawat yang paling penting dalam perencanaan pulang ini adalah memberikan edukasi pada pasien dan keluarga. Materi yang diberikan meliputi pengertian, faktor risiko, tanda gejala, dan cara merawat pasien stroke di rumah. Materi mengenai cara merawat pasioen stroke di rumah disesuaikan dengan kondisi pasien dan masalah kesehatan yang dialami pasien pasca stroke, yang meliputi: peran keluarga dalam merawat pasien stroke di rumah, pengobatan, nutrisi, dan apa yang harus dilakukan pasien dan keluarga untuk mencegah terulangnya stroke. Edukasi kepada pasien dan keluarga dapat dilakukan secara kelompok atau perorangan. Bila keadaan pasien memungkinkan, pasien dapat dilibatkan dalam pemberian edukasi ini. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat memberikan edukasi kepada pasien adalah: Ruangan harus tenang, jangan berisik Batasi distraksi lingkungan Pastikan pasien dapat mendengar dengan baik. Bila sebelum sakit pasien menggunakan alat bantu dengar, anjurkan pasien untuk mengenakannya. Kaca mata harus dipakai dan dalam keadaan bersih. Gunakan huruf atau gambar berukuran besar Gunakan warna untuk tanda permulaan dan akhir dari sesi pembelajaran. Atur pemberian informasi dalam waktu yang singkat. Bersikap tenang, lakukan pendekatan. Beri tekanan dan ulangi pada kalimat yang penting. Sediakan waktu pada pasien untuk berespon. PERENCANAAN PULANG Perencanaan pulang adalah suatu proses yang terkoordinasi dari pembuatan keputusan dan aktifitas lain yang melibatkan pasien, keluarga, kerabat, dan tim stroke yang bekerja sama untuk melakukan adaptasi atau transisi mulus ke suatu lingkungan yang baru. Setelah fase akut teratasi, pasien sebaiknya dikelola di rumah sakit sub akut (step down care hospital), pusat rehabilitasi, atau nursing home. Di Indonesia, hal ini belum dapat dilakukan. Setelah memasuki fase sub akut, hampir seluruh pasien stroke pulang ke rumah. Beberapa hari menjelang kepulangan pasien, perawat membantu keluarga untuk memutuskan pengasuh atau carer bagi pasien. Tim juga harus mengkaji apakah pasien membutuhkan bantuan tenaga perawat professional di rumah. Dalam perencanaan pulang semua hal harus dipertimbangkan termasuk aspek medis, ekonomi, sosial, dan budaya. Dari aspek medis yang harus dipertimbangkan adalah gangguan yang terjadi, ketidakmampuan, dan ketunaan yang dialami pasien. PROGRAM PERAWATAN PASIEN DI RUMAH ( Home care program ) Program perawatan pasien stroke di rumah telah dirintis Unit Stroke RSCM sejak tahun 1995. Dimulai dengan merawat seorang pasien dengan “lock-in syndrome”. Semakin hari permintaan tenaga dari tim stroke untuk visit ke rumah semakin meningkat. Biasanya jumlah tenaga ataupun frekuensi kunjungan disesuaikan dengan kondisi pasien dan tingkat ketergantungan pasien dalam melakukan aktifitas kegiatan sehari-hari. Tim stroke yang aktif terlibat pada perawatan pasien stroke di rumah ini terdiri dari dokter ahli saraf, perawat trampil stroke, fisioterapis, dan terapis wicara, serta terdapat juga permintaan tenaga non medik seperti pengasuh, yang membantu keluarga sebagai pendamping (carer) pasien stroke. 106 PENCEGAHAN STROKE Pencegahan stroke pada dasarnya dibagi dua yaitu, pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke. Yang termasuk dalam cara pencegahan primer yaitu dengan memoerhatikan pola hidup sehat yang terdiri dari : mengatur pola makan yang sehat, melakukan olah raga teratur, menghentikan rokok, menghindari minum alkohol dan penyalah gunaan obat, memelihara berat badan layak, konsultasi bila ingin memakai kontrasepsi oral, menghindari stress dan istirahat cukup serta pemakaina antiplatelet (aspirin) pada wanita dengan risiko tinggi. Pencegahan sekunder dilakukan untuk terulangnya stroke, dengan cara pengendalian faktor risiko ang dibagi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak dapat diubah dan umumnya dapat dipakai sebagai petanda (marker) stroke pada seseorang. Faktor ini termasuk usia, gender dan riwayat TIA atau stroke di keluarga. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain adalah hipetensi, kelainan jantung, diabetes melitus, riwayat pernah kena serangan TIA atau stroke, dislipidemia serta faktor risiko lainnya yaitu : diseksi arteri, patent foramen ovale, hiperhomosistein, kondisi hiperkoagulasi, inherited trombophilia, antiphospholipid antibodi sindrom, sickle cell disease, serebral venous sinus trombosis, stenosis karotis, kehamilan. PEMANTAUAN DENGAN SKALA STROKE (NIHSS, BARTHEL INDEX, MODIFIED RANKIN SCALE) Tatalaksana pasien stroke yang dilakukan di unit stroke atau sudut stroke adalah sistem perawatan spesialistik stroke secara komprehensif. Pantauan ketat untuk perubahan fisiologis, defisit neurologis dan pemulihan fungsi otak agar kualitas hidup seseorang pasca stroke tetap baik merupakan tujuan akhir dari tatalaksana stroke ini.Untuk kemudahan dan keseragaman pengukuran kemajauan dari fungsi otak ini, ada beberapa penilaian berdasarkan skoring yang telah digunakan secara luas di dunia. Skoring atau skala yang telah dipakai di unit stroke dan sudut stroke Rumah Sakit Cipto Mangunkukusumo adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) untuk melihat kemajuan hasil perawatan fase akut. Untuk pengukuran keterbatasan (disability) dipergunakan Indeks Barthel dan untuk pengukuran keterbatasan stroke yang lebih global, dipergunakan Skala Rankin yang dimodifikasi. Semua skala ini telah umum dipakai di seluruh dunia. Sedangkan dalam buku Guidelines Stroke yang diterbitkan oleh PERDOSSI, NIHSS tetah ditetapkan sebagai salah satu cara pantauan saat perawatan stroke di Indonesia IMPAIRMENT, DISABILITY dan HANDICAP Tahun 1980, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) membuat definisi impairment, disability dan handicap Konsep dasar yang dipakai adalah suatu kenyataan bahwa perjalanan semua penyakit terdiri dari empat tingkatan, yaitu: 1) patologi, 2) impairment (gangguan), 3) disability (keterbatasan), dan 4) handicap (ketunaan). Dalam prakteknya, seluruh tingkatan ini merupakan suatu kontinum dengan banyak daerah yang bersinggungan (overlapping) antara satu dengan lainnya. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas fungsi atau struktur psikologis, fisiologis dan anatomi. Pada stroke, gangguan ini dapat diukur dengan mempergunakan NIHSS. Disability adalah hambatan atau ketidakmampuan akibat impairment untuk melakukan suatu aktivitas dalam 107 rentang waktu tertentu yang biasanya waktu itu sudah cukup bagi orang normal untuk melakukan aktivitas tersebut. Pengukuran ketidak- mampuan ini mempergunakan alat ukur Indeks Barthel. Dan untuk pengukuran yang lebih global dapat dipergunakan Skala Rankin yang dimodifikasi. Handicap adalah kerugian (disadvantage) pada seseorang yang timbul akibat impairment atau disability sehingga seseorang tersebut menjadi terbatas dalam melakukan suatu peran normal dan hal ini tergantung usia, jenis kelamin, faktor sosial dan budaya. NIHSS (NATIONAL INSTITUTE OF HEALTH STROKE SCALE) NIHSS adalah suatu skala penilaian yang dilakukan pada pasien stroke untuk melihat kemajuan hasil perawatan fase akut (akibat impairment) . Penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu saat masuk (hari pertama perawatan) dan saat keluar dari perawatan. Perbedaan nilai saat masuk dan keluar, dapat dijadikan salah satu patokan keberhasilan perawatan NIHSS ini dikembangkan oleh para peneliti (Brott et al, 1989 dan Goldstein et al, 1989) dari University of Cincinnati Stroke Center dan telah dipakai secara luas pada berbagai variasi terapi stroke. Tahun 1994 dilakukan revisi oleh Lyden et al. Validasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Goldstein 1989; Brott 1989, 1992; Haley 1993, 1994) dan dikatakan mempunyai reliabilitas tinggi dari beberapa kalangan antara lain dari para neurolog, dokter emergensi dan perawat mahir stroke. NIHSS ini sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dimasukkan dalam Guidelines Stroke yang dibuat dan direkomendasikan untuk dijadikan pedoman tatalaksana oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Nilai NIHSS adalah antara 0 – 42. Terdiri dari dari 11 komponen, bila motorik lengan serta kaki kanan dan kiri dituliskan dalam satu nomer dan dipisahkannya dengan penambahan nomer a dan b, tetapi akan menjadi 13 komponen apabila masing masing motorik lengan dan tungkai kanan dan kiri diberi nomer terpisah. Komponen komponen tersebut adalah sebagai berikut : 1a. Derajat kesadaran 0 = sadar penuh 1 = somnolen 2 = stupor 3 = koma 1b. Menjawab pertanyaan 0 = dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misal: bulan apa sekarang dan usia pasien) 1 = hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar / tidak dapat berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria 2 = tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar / afasia / stupor 1c. Mengikuti perintah 0 = dapat melakukan dua perintah dengan benar (misal: buka dan tutup mata, kepal dan buka tangan pada sisi yang sehat) 1 = hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar 2 = tidak dapat melakukan kedua perintah dengan benar 108 2. Gerakan mata konyugat horizontal 0 = normal 1 = gerakan abnormal hanya pada satu mata 2 = deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua mata 3. Lapang pandang pada tes konfrontasi 0 = tidak ada gangguan 1 = kuandranopia 2 = hemianopia total 3 = hemianopia bilateral / buta kortikal 4. Paresis wajah 0 = normal 1 = paresis ringan 2 = paresis parsial 3 = paresis total 5. Motorik lengan kanan 0 = tidak ada simpangan bila pasien disuruh mengangkat kedua lengannya selama 10 detik 1 = lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik 2 = lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3 = tidak dapat melawan gravitasi 4 = tidak ada gerakan X = tidak dapat diperiksa 6. Motorik lengan kiri (idem 5) 7. Motorik tungkai kanan (idem 5, lengan diganti tungkai, dan diangkat bergantian) 8. Motorik tungkai kiri (idem 7) 9. Ataksia anggota badan 0 = tidak ada 1 = pada satu ekstremitas 2 = pada dua atau lebih ekstremitas X = tidak dapat diperiksa 10. Sensorik 0 = normal 1 = defisit parsial yaitu merasa tetapi berkurang 2 = defisit berat yaitu jika pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral 11. Bahasa terbaik 0 = tidak ada afasia 1 = afasia ringan – sedang 2 = afasia berat 109 3 = tidak dapat bicara (bisu) / global afasia / koma 12. Disartria 0 = artikulasi normal 1 = disartria ringan – sedang 2 = disartria berat X = tidak dapat diperiksa 13. Neglect / Tidak Ada Atensi 0 = tidak ada 1 = parsial 2 = total Nilai NIHSS berkisar antara 0 – 42 Penilaiannya adalah sebagai berikut : Nilai < 4 Nilai antara 4 – 15 Nilai > 15 : Stroke Ringan : Sedang : Berat Seperti lazimnya semua skoring yang mempunyai keunggulan dan kelemahan, maka NIHSS juga mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulannya mempunyai contoh pembelajaran audiovisual yang berisi 6 contoh pasien, dapat dilakukan dengan cepat, kurang lebih 15 menit, telah banyak dipergunakan dan telah divalidasi, berguna untuk kondisi stroke akut, mudah dipelajarinya dan skor yang dipakai sederhana, tingkat reliabilitinya tinggi diantara para pengguna skor. Kelemahannya kurang baik untuk stroke karena gangguan sirkulasi posterior, oleh karena didalam skoring terdapat penilaian kemampuan berbahasa dan untuk gangguan di batang otak, nilai yang diperoleh tidak sesuai antara luasnya kerusakan patologis dengan beratnya gejala dan tanda defisit neurologis yang ditimbulkannya.. Berdasarkan penelitian, terdapat korelasi antara nilai NIHSS masuk dengan kondisi saat keluar, yaitu : NIHSS saat (hari) Keluaran 0–8 Pulang dengan berobat jalan (p=0,001) 9 – 17 Perawatan rehabilitasi (p=0,004) 18+ Perawatan di fasilitas rehabilitasi, perawatan khusus di rumah, perawatan subakut atau perawatan khusus di suatu rumah rehabilitasi (p = 0,01) INDEKS BARTHEL Indeks Barthel diperkenalkan oleh Mahoney dan Barthel tahun 1965 untuk memeriksa status fungsional dan kemampuan pergerakan otot/ekstremitas pada pasien penderita penyakit kronik di rumah sakit Maryland. Wade tahun 1992, mempergunakan indeks barthel ini untuk mengevaluasi keterbatasan/ketidakmampuan melakukan aktivitas tertentu saat pasien akan keluar dari rumah 110 sakit. Indeks ini direkomendasikan sebagai salah satu instrumen yang sering dipakai untuk menilai keterbatasan kegiatan keseharian kehidupan. Keunggulan indeks barthel ini mempunyai reliabilitas dan validitas yang tinggi, mudah dan cukup sensitif untuk mengukur perubahan fungsi serta keberhasilan rehabilitasi. Kelemahannya, indeks ini tidak merupakan skala ordinat dan tiap penilaiannya tidak menunjukkan berat atau ringannya fungsi kehidupan keseharariannya. Ada dua versi, yaitu versi Wade dan Collin (!(1988) memuat 10 penilaian dengan total nilai antara 0 (total ketergantungan) sampai 100 (normal) dan versi Granger, 1982 memuat 15 penilaian dengan nilai antara 0 – 100. Yang banyak dipakai karena cukup sederhana adalah versi Wade dan Collin. Penilaian Barthel meliputi hal hal aktivitas dasar perorangan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: 1. Buang Air Besar (bowel control) 10 2. 3. 4. 5 kadang kala bermasalah (occasional accidents) atau selalu membutuhkan obat pencahar 0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) Buang Air Kecil (bladder control) 10 tidak bermasalah (no accidents). Dapat membersihkan alat bantu bila diperlukan secara mandiri. 5 kadang bermasalah (occasional accidents) atau membutuhkan bantuan orang lain untuk membersihkan alat bantu 0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) Kebersihan Diri (personal toilet/grooming) 5 membasuh muka, menyisir, menyikat gigi, mencukur secara mandiri 0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) Penggunaan Kamar Kecil (toilet use) 10 5. mandiri untuk melakukan semua aktivitas di kamar kecil 5 membutuhkan bantuan untuk menyeimbangkan badan, membuka/memakai pakaian dan saat membersihkan diri 0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) Makan (feeding) 10 6 tidak bermasalah (no accidents). Bila perlu memakai obat pencahar dapat melayani segala kebutuhan makan (mengambil peralatan, ambil lauk pauk, dan sebagainya) secara mandiri 5 membutuhkan bantuan orang lain, misalnya memotong daging, mengoles mentega 0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) Pindah dari tempat duduk ke tempat tidur dan sebaliknya (chair/bed transfer) 15 mandiri termasuk mengunci kursi roda dan mengangkat pijakan kaki 10 bantuan minimal, umumnya untuk pendamping 5 mampu duduk sendiri tapi butuh bantuan saat akan pindah tempat (misal: dari 111 tempat duduk ke tempat tidur) 0 7. 8. Berjalan (ambulation) 15 berjalan sendiri dengan jarak sekitar 50 yards. Kadang butuh bantuan kecuali untuk berjalan dengan bertumpu pada roda untuk berjalan (rolling walker) 10 butuh bantuan untuk berjalan sejauh 50 yards 5 mempergunakan kursi roda untuk jarak 50 yards, kecuali tidak bisa berjalan 0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) Berpakaian (dressing) 10 9. 10. penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) mandiri. Seperti mengikat tali sepatu, mengancingkan baju 5 butuh bantuan, tetapi tidak semuanya, dan dikerjakan dengan pelan pelan 0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) Naik tangga (stair climbing) 10 mandiri. Kadang perlu bantuan alat (misalnya tongkat) 5 perlu bantuan atau pengawasan (ada yang menemani) 0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) Mandi (bathing) 5 mandiri tanpa bantuan 0 penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance) Total nilai 0 - 100 SKALA RANKIN YANG DIMODIFIKASI Skala Rankin merupakan suatu alat pengukuran keterbatasan fungsional pasca stroke. Alat ukur ini lebih global dibandingkan dengan indeks Barthel dan mempunyai reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Hasil penilaiannya adalah secara umum, terdiri dari 5 angka, yaitu: keterbatasan berat, keterbatasan berat sedang, keterbatasan sedang, keterbatasan ringan dan keterbatasan tak bermakna. Penilaiannya meliputi aspek kehidupan pribadi sehari hari yaitu eating, toilet, daily hygiene, walking, prepare meal, household expenses, local travel, local shopping dan kehidupan sosial yaitu bekerja, tanggung jawab keluarga, aktivitas sosial, hiburan. 112 Deskripsi Skor Skala Rankin yang dimodifikasi Grade 0 Tidak ada gangguan neurologik sama sekali (No symptoms at all) Grade 1 Tidak ada disabilitas yang signifikan, pasien dapat membawa semua kebutuhannya untuk aktivitas hariannya tanpa bantuan orang lain (No significant disability; able to carry out all usual duties and activities of daily living (without assistance) Catatan: Masih ada kemungkinan pasien ada gangguan kelumpuhan, rasa atau pun berbahasa, tetapi gangguan tersebut sangat ringan dan tidak mengganggu kegiatan keseharian dan pasien dapat kembali bekerja ditempat kerjanya semula seperti saat sebelum sakit.. Grade 2 Disabiliti ringan, tidak dapat membawa beberapa benda untuk kebutuhan aktivitas hariannya, tetapi mampu menolong diri sendiri tanpa banyak dibantu (Slight disability; unable to carry out some previous activities, but able to look after own affairs without much asisstance) Catatan: Tidak mampu untuk kembali bekerja ditempat kerja semula, tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi masih mampu melakukan aktivitas untuk dirinya sendiri tanpa bantuan atau pengawasan orang lain. Grade 3 Disabiliti sedang, membutuhkan bantuan orang lain untuk semua aktivitasnya tetapi masih mampu berjalan tanpa pendamping (Moderate disability; requiring some help, but able to walk without assistance). Catatan: Butuh teman waktu melakukan aktivitas harian, butuh bantuan untuk hal yang detail saat berpakaian atau membersihkan diri, tidak mampu untuk membaca atau berkomunikasi dengan jelas. Grade 4 Disabiliti sedang berat, tidak mampu berjalan dan tidak mampu melakukan aktivitas harian untuk kebutuhan dasar kehidupannya tanpa bantuan orang lain (Moderately-Severe disability; unable to walk without assistance and unable to attend to own bodily needs without assistance) Catatan: Butuh teman 24 jam dan butuh bantuan orang lain (tingkat sedang sampai maksimal) untuk menunjang aktivitas dasar kehidupan hariannya, tetapi masih mampu melakukan aktivitas untuk dirinya sendiri secara terbatas atau dengan dibantu oleh orang lain tetapi minimal. Grade 5 Disabiliti berat, tidak ada aktivitas, hanya ditempat tidur, mengompol, dan membutuhkan perhatian dan perawatan teratur (Severe disability; bedridden, incontinent and requiring constant nursing care and attention) Cara penilaiannya adalah merupakan penilaian keterbatasan fungsional pasca strokenya terdapat di tingkat (grade) berapa..Penilaian awal (data dasar) dilakukan saat pasien pulang dari rumah sakit, dan penilaian selanjutannya dapat dilakukan ulangan setelah 6 bulan atau 1 tahun untuk melihat sejauh mana perbaikan dari keterbatasan fungsional seseorang pasca stroke tersebut. 113 18. ALGORITMA Lihat GUIDELINES NASIONAL STROKE 2007 19. KEPUSTAKAAN Gudelines Nasional Stroke, PERDOSSI, 2007 Adams and Victors. Principles of Neurology. 8th ed, Mc Graw Hill, 2005 Bennett HJM, Stein BM. Stroke. Pathophysiology, Diagnosis and Management. 2nd ed, Churchill Livingstone, 1991 Fisher M, Bogousslausky J. Current Review of Cerebrovascular Disease.3rd ed, Butterworth Heinemann, 1999. Perkin GD. Mosby’s Color Atlas and Text of Neurology 2nd ed, Elsevier Limited 2004 McCartney RVT et al. Handbook of Transcranial Doppler, Spinger, 1997 Aaslid R. Transcranial Doppler Sonography. Spinger-Verlag, New York, 1986 Broderick JP, Brott T. Tomsick T, Huster G, Miller R: The Risk of Subarachnoid and Intracerebral Hemorahages in Blacks as Compared With Whites. NEJM 26: 733736,1992. Catching TT, Prough DS, Kelly DL et al. Symptoms of Clinically silent intracranial mass lesions trecipitated by Treatment with nifedipiny. Surg Neurol 1985 ; 24 : 151-152. Cook AW, Plaut M, Brawder J. Spontaneous Intracerebral Hemmorrhage : faktors related to surgical result Arch Neurol 1965 ; 13 : 25-29. Cuatico W, Adib S, Gaston P. Spontaneous Intracerebral Hematomas : a surgical appraisal. J Neurosurg 1965 ; 22 : 569-575. Cumings JL, Trimble MR. Neuropsychiatry and Behavioral Neurology. American Pshychiatric press, Inc , 1995. Foulkes MA, Wolf PA, Price TR, et al. The Stroke Data Bank : design, methods and aseline characteristics. Stroke 1988 : 547-554. Juvela S, Heiskanen O, Poranen A, et al. The Treatment of spontaneous intracerebral hemorrhage : a prospective randomized trial of surgical and conservative treatment. J Neurosurg 1989 : 70 : 755-758. Kase C.S : Management of Intra Cerebral Hemmorrhage : American Academy of Neurology Course 343 : 21-28, 1995. Kase C.S : Non-Hypertensive Mechanisms of Parenchymatous Hemmorrhage. American Academy of Neurology Course 202 : 39-47. 114 Kse C.S, Williams JP, Wytt DA, et al. Lobar intracerebral hematomas : clinical an CT analysis of 22 cases. Neurologi 1982 : 32 : 1146-1150. Letkowitzt. D : Intra Cerebral hemorrhage in Young Adults : American Academy of Neurology Course 420 : 47-65, 1995. Mckissock W, Richardson A, Taylor J. Primary Intracerebral Hemmorrhage : a controlled trial of surgical and ceonservative treatment in 180 unselected cases. Lancent 1961 : 2 : 221-226. Mohr JP, Caplan LR, Melski JW, et al. The Harvard Cooperative Stroke Registry : a prospective registry. Neurologi 1978 : 28 :7540762. Paillas JE, Alliez B. Surgical Treatment of Spontaneous intracerebral hemorrhage : immediate and longterm result in 250 cases. J Neurosurg 1973 : 39 : 145-151. Poungvarin N, Bhoopat W, Viriyavejakul A, et al. Effects of Dexamethasone in primary supratentorial intracerebral hemorrhage. N Engl J Med 1987 : 316 : 1229-1233. Ropper A H : EMERGENCY Management of Intra Cerebral Hemmorrhage (ICH)American academy of Neurology Course 209 : 79-93 : 1988. Setyonegoro RK dkk. Quick Reference for Diagnosis in Psyshiatry. The Darmawangsa Mental Health Foundation, Jakarta dan The Roche Asian Foundation Hongkong, 1989. Toffol GJ, Biller J. Adams HP: Non-Traumatic intracerebral hemorrhage young Adults. Arch neurol 44 : 483-485, 1987. Volpin L, Cervelline P, Colombo F, et al. Spontaneous intracerebral hematomas : a new proposal about the usefulness and limits of surgical treatment, Nurosurgery 1984. 15 : 663-666. Waga S,Yamamoto Y. Hypertensive putaminal hemorrhage : treatment and results : is surgical treatment superior to conservative one? Stroke 1983 : 14 : 480-485. Warlow CP et al. Stroke Apractical guide to management. Blackwell Science Ltd, 1996. Neurology 51 (Supp.-3, Supp, 69-1998). Misbach, ASNA Cooperatif Stroke Epidemiologik Study, 1998. Kaufman et al, 1991 : Enprinsiples of Neurosurgery (RG Grossmann ed.) pp. 66, New York Rowan. Broderick Yp, Brott TG, Tomsich T, Barsant W, N. Spilker Y (1990) Ultra Early Evaluation of Intraserebral Hemoragik Y Neurosurgery 1972, 1995-1999. Fayad BF, N Awad IA : Surgery for Intraserebral Hemorragik Neurology 1951 (Sup. 3 s. 69, 1998). Thompson D.W. and Furlan A.J. : Clinical Epidemiology of Stroke. In Neural. Clin. (ed. Riggs J.E) Vol.14, No.2 W.B. Saunders Company, 309-316,1996. Sacco R.L., Ellamberg JA, Mohr J.P. et al : Infarction of indetermined cause. The NINCDS Stroke Date Bank. Ann. Neurol.25 : 382-390,1989. 115 Misbach J. : Pattern of Hospitalized Stroke Patients in ASEAN Countries: An Asna Stroke Epidemiological Study (In Press). Misbach J., Ali W: Stroke in Indonesia : A first large prospective hospital-based study of acute stroke in 28 hospital in Indonesia (In Press). Caplan, LR: Brain Embolisis-Revisited. Neurology 43, 1281-1287, 1993. Castillo, V and Bougausslausky YJ: Brain Embolism in picture on cerebrovascular diseases (ed) Welch, KMA, Caplan L.R., REIS D.J., SIESJO B.K., WEIR, B ) Academic press 286-288 (1997). Atrial Fibrilation Invertigation. Risk faktors for stroke and efficacy of antithrombotic therapy in atrial fibrillation Arch. Intern. Med 104: 1449 – 1457 (1994). Stroke prevention in atrial fibrilliation investigators: Predictors of thromboembolism in atrial fibrilliation: II Echocardiographi features of patients at risk. Ann. In Press Med. 126: 6 – 12 (1992). Bamford J. Clinical examination in diagnosis and sub classification of Stroke. Lancent 339 : 400 – 2 (1992). Misbach J. Pemeriksaan Trans Esophageal Echocardigrafi pada penderita Stroke iskemik (In Press). Warlow C.P, Dennis M.S, Van Gijn Hankey G.J, Sandercock P.A.G, Banford J.M, Warlow J. Stroke : A practical guide to management Blackwell Science, 1996. Sherman D.G and Lalonde D. Anticoagulants in stroke treatment. In Primer on Cerebrovasculer Disease. (ed. Welch KMA, Caplan L.R, Reis D.J, Sjieso B.K, Weir B.J.) Academy Press, 716- 728 (1997). 116 MODUL NEUROVASKULAR KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA (KNI) PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA (PERDOSSI) 2009 117 118