Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 VARIASI GEN SITOKROM B (DNA MITOKONDRIA) PADA Chrysomya bezziana (DIPTERA: Calliphoridae) DI INDONESIA (Cytochrome B gene (Mitochondrial DNA) Variation of Chrysomya bezziana (Diptera: Calliphoridae) in Indonesia) APRIL H. WARDHANA dan SRI MUHARSINI Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRACT Chrysomya bezziana is a one of most important agents of traumatic myiasis. This fly is found throughout tropical and subtropical Africa, the India subcontinent and South–East Asia including Indonesia. Given this broad distribution, it would seem reasonable to assume that gene flow throughout the species’ range would be limited and that opportunities for genetic variation would be numerous. The aim of this study was to analyse the mitochondrial DNA variability of C. bezziana in Indonesia by using cytochrome b gene (cyt b) as a marker. The preliminary study showed that the larvae instar III stadium (L3) was the most appropriate for molecular analysis and identification. This study used 24 L3 that were collected from Bogor, Makassar and East Sumba. Sample preparation was described briefly as follows: the DNA for analysis was isolated from the muscle tissue of the larvae. The fragment of cyt b gene (439 bp) was amplified by using primer CB1SECB3R3A. The PCR product was subsequently purified, sequenced and analysed by using PAUP version 4. The result showed that there was cytochrome B gene variation (mitochondrial DNA) among C. bezziana populations in Indonesia. Four new haplotypes were also identified, i.e. haplotype 22 (Bogor haplotype), haplotype 23 (Makassar haplotype), haplotype 24 (1st of East Sumba haplotype) and haplotype 25 (2nd of East Sumba haplotype). Key words: Chrysomya bezziana, myiasis, cytochrome b, mitochondrial DNA ABSTRAK Chrysomya bezziana adalah salah satu agen utama penyebab myasis traumatik. Lalat ini dapat dijumpai di sepanjang Afrika bagian tropis dan sub tropis, subkontinen India dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Penyebarannya yang luas menimbulkan asumsi adanya aliran gen yang terbatas dan memberi kesempatan adanya variasi genetik yang semakin banyak diantara spesiesnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi DNA mitokondria pada populasi C. bezziana di Indonesia dengan menggunakan gen sitokrom b sebagai marka. Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa stadium larva instar III (L3) merupakan stadium yang sesuai untuk analisis molekuler dan identifikasi. Sebanyak 24 L3 yang berasal dari hewan dan daerah yang berbeda (Bogor, Makassar dan Sumba Timur) digunakan pada penelitian ini. Larva dibedah dan diambil jaringan ototnya, kemudian dilakukan ekstraksi DNA. Fragmen gen sitokrom b diamplifikasi (439 bp) dengan primer CB1SE-CB3R3A. Produk PCR dipurifikasi, disekuen dan dianalisis dengan PAUP versi 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi di dalam DNA mitokondria pada populasi C. bezziana di Indonesia. Empat haplotip baru diperoleh dari penelitian ini, yaitu haplotip 22 (haplotip Bogor), haplotip 23 (haplotip Makassar), haplotip 24 (Sumba Timur I) dan haplotip 25 (Sumba Timur II). Kata kunci: Chrysomya bezziana, myiasis, sitokrom b, DNA mitokondria PENDAHULUAN Chrysomya bezziana adalah lalat hama yang bersifat parasit obligat dan tersebar luas disepanjang kawasan Afrika bagian tropis serta sub tropis, subkontinen India, Asia Tenggara termasuk Indonesia. Lalat ini merupakan agen 694 penyakit myasis traumatik (belatungan), yaitu adanya infestasi larva lalat pada jaringan tubuh hewan maupun manusia. SUKARSIH et al. (1989) melaporkan bahwa C. bezziana merupakan penyebab utama terjadinya kasus myasis di Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 Umumnya kasus myasis banyak terjadi pada ternak impor dan ternak lokal yang dipelihara secara semi intensif dan ekstensif seperti di Pulau Lombok, Sumbawa, Sumatera, Minahasa, Pulau Jawa, Madura dan Bali. Makassar dan Sumba Timur dilaporkan sebagai daerah endemis penyakit ini (SUNARYA, 1998; WARDHANA et al., 2003a). Saat ini, usaha pengendalian myasis diarahkan pada program integrasi antara pengobatan, pemonitoran populasi di lapang dan Sterile Insect Technique (SIT) yaitu pelepasan lalat jantan yang disterilisasi dengan tehnik irradiasi (WHITTEN, 2002). BROWN et al. (2002) menyatakan bahwa SIT akan menjadi tidak efektif apabila C. bezziana mempunyai sibling species yang komplek di sepanjang wilayah penyebarannya. Pemikiran ini didukung oleh ESPIN (1992) yang berpendapat bahwa adanya variasi genetik di dalam suatu populasi hama peternakan sangat mempengaruhi keberhasilan pengendalian hayati dan manajemen resistensi insektisida. Oleh karena itu, pemahaman yang jelas tentang variasi genetik yang ada di dalam suatu populasi hama sangat diperlukan untuk mengembangkan metode yang lebih efesien dalam upaya pengendaliannya. Selama ini variasi genetik C. bezziana masih menjadi perdebatan di kalangan para peneliti. Secara morfologi, C. bezziana di dunia dibagi menjadi tiga ras yaitu ras Afrika, Arab dan Asia Tenggara (SPRADBERY, 1991). Pendapat ini bertentangan dengan BROWN et al. (1992) yang menyimpulkan bahwa C. bezziana merupakan single species berdasarkan analisis hidrokarbon kutikular, sedangkan analisis isoenzim dan sitologi menunjukkan tidak adanya sibling spesies dalam populasi C. bezziana (STRONG dan MAHON, 1991; BEDO et al., 1994). Pernyataan-pernyataan tersebut berbeda dengan hasil penelitian HALL et al. (2001) terhadap populasi C. bezziana yang berasal dari 14 negara. Berdasarkan analisis morfologi dan gen sitokrom b terbukti bahwa ras C. bezziana terbagi menjadi dua, yaitu ras sub Saharan Afrika dan ras Asia, termasuk kawasan Teluk. Sebanyak 6 haplotip berhasil diidentifikasi dari populasi tersebut. Penelitian terbaru dilakukan oleh WARDHANA et al. (2004) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan genetik antara populasi Makasar, Sumba Timur dan Bogor berdasarkan analisis 279 pasang basa bagian terminal gen sitokrom b (Haplotip 7). Populasi ini berbeda dengan populasi lalat di Asia (Malaysia, Birma, Irak, Iran, Uni Emirat Arab, Bahrain) (Haplotip 5). Disamping itu, terdapat satu isolat dari Makasar yang mempunyai kemiripan genetik dengan lalat di PNG (Haplotip 6). Adanya keunikan genetik pada populasi C. bezziana di Indonesia mendorong dilakukannya penelitian lanjutan untuk mengetahui apakah terdapat variasi genetik pada sisi gen yang lain. Makalah ini menguraikan tentang adanya variasi gen sitokrom b (DNA mitokondria) diantara populasi C. bezziana di Indonesia berdasarkan analisis 439 pasang basa terhitung pada posisi basa ke 420-859. BAHAN DAN METODE Lokasi pengambilan sampel larva C. bezziana Lokasi pengambilan sampel ditampilkan pada Tabel 1. Larva diidentifikasi berdasarkan SPRADBERY (1991). Larva instar III (L3) direndam dengan air mendidih selama 15 menit dan disimpan dalam etanol 80% (WARDHANA et al., 2003b). Setiap lokasi diambil dua larva untuk dianalisis DNA-nya. Ekstraksi DNA Total DNA diekstraksi dari jaringan otot larva pada segmen ke-2 sampai ke-4 mengikuti prosedur DNAzol (Invitrogen) yang telah dimodifikasi (CHOMCZYNSKI et al., 1997). Amplifikasi gen sitokrom b dengan PCR Primer CB1SE–CB3R3A yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari laboratorium molekuler Entomologi, Natural History Museum, United Kingdom. Primer tersebut digunakan untuk mengamplifikasi fragmen gen sitokrom b berukuran 439 bp. Urutan pasangan basa primer adalah 5’TATGTATTACCATGAGGACAAATATC-3’ (CB1SE) dan 5’-AATAAGCTAGGAGGAGT AATTGC-3’ (CB3R3A). Setiap ekstrak DNA 695 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 Tabel 1. Lokasi pengambilan sampel larva C. bezziana yang digunakan untuk analisis molekuler Lokasi koleksi/No. isolat Watu Hadang, Sumba Timur 2 Lewa, Sumba Timur 3 Matawai Maringu, Sumba Timur 4 Lewa, Sumba Timur 5 Matawai Maringu, Sumba Timur 7 PT BULI 1, Makassar 10 PT BULI 3, Makassar 11 PT BULI 4, Makassar 12 PT BULI VO89, Makassar 16 Koloni Laboratorium SumbaTimur 22 Koloni Laboratorium Makassar 25 Koloni Laboratorium Bogor 29 Tanggal koleksi Jenis ternak Lokasi luka 26/03/02 28/03/02 28/03/02 28/03/02 04/04/02 02/04/02 02/04/02 02/04/02 02/04/02 26/07/02 26/07/02 16/03/02 Pedet Kuda Kerbau Kuda Kuda Sapi Sapi Sapi Sapi Koloni lab. Koloni lab. Koloni lab Umbilikus Kaki Femur Kaki Femur Rektum Vagina Umbilikus Telinga Luka insisi femur Telinga - isolat diamplifikasi dengan dua jenis mesin thermocycler yaitu Perkin Elemer 9700 0,2 ml (PE 9700 0,2 ml) atau Techne 2 berdasarkan metode HALL et al. (2001) yang telah dimodifikasi dan dioptimasi. Setiap reaksi mengandung 33,7 µl analar grade water; 5,0 µl 10 x dapar PCR; 5,0 µl dNTPs dengan konsentrasi 100mM; 3,0 µl MgCl2 25 mM; 1,0 µl primer forward 500 ng/µl; 1,0 µl primer reverse 500 ng/µl dan 0,3 µl enzim Taq polimerase. Kondisi PCR yang digunakan adalah [94oC (30 menit)] 1 siklus; [94oC (30 detik); 40oC (30 detik); 72oC (90 detik)] 5 siklus; [94oC (30 detik); 40oC (30 detik); 72oC (90 detik)] 35 siklus; [72oC (10 menit)] 1 siklus; [4oC]. Produk PCR difraksinasi dalam agarosa 1,5% dan diwarnai dengan etidium bromida. Sekuensing Hasil PCR dipurifikasi dengan glassmilk (Geneclean II, BIO 101 Inc., Anachem, Luton, UK) mengikuti protokolnya. Sekuensing DNA dilakukan dengan ABI PRISM BigDyeTM Terminator Cycle Sequencing Ready Reaction Kit (Perkin Elmer) dan disekuen menggunakan sekuenser automatik ABI sistem 377A dan 377. Analisis data Sebanyak 439 pasangan basa nukleotida hasil sekuen dijajarkan dan dikoreksi 696 menggunakan Sequence Navigator software (ABI). Analisis filogenetik dilakukan menggunakan Phylogenetic Analysis Using Parsimony (PAUP) software versi 4 (SWOFFORD, 2000). HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan pada isolat yang berbeda stadium, yaitu L2, L3, lalat dewasa jantan dan betina. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya perbedaan hasil di antara berbagai stadium. Hasil yang diperoleh membuktikan bahwa perbedaan stadium tersebut tidak berpengaruh terhadap keberhasilan ekstraksi DNA genom, amplifikasi DNA mitokondria (gen sitokrom b) dan sekuensing (WARDHANA et al., 2003b). Larva instar III (L3) adalah stadium yang paling mudah untuk diidentifikasi dan dikoleksi jaringannya yang digunakan untuk ekstraksi DNA genom. Amplifikasi fragmen gen sitokrom b Fragmen gen sitokrom b merupakan salah satu fragmen yang berada di dalam genom mitokondria dan banyak digunakan untuk mempelajari filogenetik (ESCALANTE et al., 1998). Pernyataan ini juga dibenarkan oleh CASTRESANA (2001) yang menyatakan bahwa variasi susunan nukleotida di dalam gen sitokrom b sangat berguna untuk membanding- Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 P 1 2 3 4 5 6 7 8 9 M N bp P P 1000 750 500 300 150 50 Gambar 1. Hasil elektroforesis produk PCR dengan primer CB1SE-CB3RA pada gel agarosa 1,5% yang mengandung etidium bromida. P: kontrol positif; M: marker; N: kontrol negatif; 1-2: L3 C. bezziana (Koloni lab. Makassar 25); 3-4: L3 C. bezziana (Makassar 10); 5-6: L3 C. bezziana (Makassar 12); 7-8: L3 C. bezziana (Koloni lab. Sumba Timur 22); 9: L3 C. bezziana (Matowai Maringu 7) kan spesies pada genus ataupun famili yang sama. Analisis yang dilakukan pada 24 ekor L3 yang berasal dari 9 ternak yang berbeda dengan menggunakan primer CB1SE– CB3R3A menghasilkan pita tunggal yang terletak di antara 300-500 bp (Gambar 1). Ukuran ini sesuai dengan fragmen gen DNA yang dikehendaki, yaitu 439 bp. Berdasarkan hasil ini terbukti bahwa semua DNA isolat dapat diekstraksi dan diamplifikasi dengan baik menggunakan primer tersebut. Variasi sekuen fragmen sitokrom b Jajaran sekuen sepanjang 439 bp pada gen sitokrom b dari 24 larva C. bezziana menunjukkan adanya variasi susunan nukleotida di dalam gen sitokrom b yang diamplifikasi dengan primer CB1SE-CB3R3A. Sebanyak lima situs yang bervariasi (polymorphic sites) berhasil diperoleh dari penelitian ini. Empat situs menunjukkan kejadian transisi, yaitu penggantian satu basa purin oleh basa purin lain (A ke G dan sebaliknya) atau basa pirimidin oleh pirimidin yang lain (T ke C dan sebaliknya). Satu situs yang lain menunjukkan kejadian transversi, yaitu penggantian basa purin oleh pirimidin (A ke C dan sebaliknya) atau basa pirimidin oleh purin (T ke G dan sebaliknya) (Tabel 2). Empat kelompok haplotip baru berhasil diidentifikasi dari lima situs yang berbeda, yaitu haplotip 22 (haplotip Bogor, [kelompok isolat koloni laboratorium Bogor 29, Makassar 25, Sumba Timur 22] yang sama dengan isolat dari kelompok Makassar 10, 11, 16, 12 [Apr 164]), haplotip 23 (haplotip Makassar 12 [Apr163]), haplotip 24 (haplotip Sumba Timur I, [kelompok Sumba Timur 2, 3, 4 dan 5]) dan haplotip 25 (haplotip Sumba Timur II [kelompok Sumba Timur 7]) (Tabel 2). Hasil sekuen yang menarik diperoleh dari isolat koloni laboratorium, baik koloni Bogor 29, Makassar 25 maupun Sumba Timur 22. Data sekuen menunjukkan pola susunan nukleotida yang sama meskipun ketiganya berasal dari lokasi geografis yang berbeda. Semua koloni tersebut hanya mengindikasikan 1 haplotip, yaitu haplotip 22. Data ini menimbulkan dugaan telah terjadi kontaminasi selama pemeliharaan lalat di laboratorium karena jika dibandingkan dengan data sekuen isolat yang berasal dari lapang menunjukkan adanya persamaan antara koloni Bogor 29 dengan isolat Makassar 10, 11, 12 (Apr164), 16 (wild type) dan 25, tetapi berbeda dengan isolat Sumba Timur 2, 3, 4, 5 dan 7 (wild type). Menurut sejarah pendirian koloni lalat C. bezziana Bogor di laboratorium dilaporkan bahwa koloni tersebut belum pernah dikawinkan dengan koloni Sumba Timur ataupun Makassar. 697 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 Tabel 2. Karakter haplotip fragmen gen sitokrom b yang diamplifikasi dengan primer CB1SE-CB3R3A pada populasi C. bezziana yang berasal dari lokasi yang berbeda Posisi basa Haplotipe Jumlah isolat Asal isolat 40 76 196 250 367 Haplotipe 22 (Bogor) A G A T C 13 Makasar 10, 11, 12 (Apr 164), 16, koloni Haplotipe 23 (Makasar 12) C A • C T 1 lab. 22, 25 dan 29 Makasar 12 (Apr 163) Haplotipe 24 (Sumba Timur I) C • G • • 8 Sumba Timur 2, 3, 4 dan 5 Haplotipe 25 (Sumba Timur II) C A G • • 2 Sumba Timur 7 Tanda titik menunjukkan basa yang sama dengan sekuen pertama (urutan pertama) Hasil sekuen semua isolat yang berasal dari Makassar menunjukkan data yang sama, kecuali isolat yang diperoleh dari sapi penderita myiasis di bagian umbilikus (isolat Makassar 12). Dua ekor larva yang dianalisis memberikan data sekuen yang berbeda. Satu larva (Apr163) mempunyai data sekuen yang diduga identik dengan populasi C. bezziana di Papua New Guinea (data tidak dipublikasi), sedangkan larva yang lainnya (Apr164) mempunyai sekuen yang identik dengan populasi koloni laboratorium Bogor. Hasil ini mengindikasikan bahwa larva yang menginfestasi umbilikus sapi berasal dari dua jenis populasi C. bezziana, yaitu populasi Bogor dan Papua New Guinea. Variasi genetik dan hubungan filogenetik Hasil analisis pohon filogenetik dari semua isolat menunjukkan adanya empat haplotip baru (Gambar 2). Susunan nukleotida kelompok Makassar 12 (Apr 163) berbeda 4 nukletida dengan kelompok Bogor dan 3-4 nukleotida dengan kelompok Sumba Timur. Marka yang diperoleh dapat digunakan sebagai piranti deteksi untuk mengetahui asal usul geografi dari hama yang menyerang ternak sehingga dapat diambil tindakan yang tepat dan cepat dalam upaya pengendaliannya. Semua populasi Sumba Timur (wild type) mempunyai susunan nukleotida yang berbeda dengan populasi Makassar dan Bogor, bahkan di daerah Matowai Maringu (Sumba Timur) mempunyai dua jenis susunan nukleotida gen sitokrom b yang unik. Keadaan ini diduga karena secara geografi Pulau Sumba Timur 698 merupakan pulau yang cukup terpencil sehingga mempunyai aliran gen yang sangat kuat. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa terdapat satu isolat Makassar 12 (Apr163) yang mempunyai hubungan dekat dengan populasi Papua New Guinea. Bukti ini memberi kesan bahwa di daerah Makassar mengandung populasi lalat yang identik dengan populasi Papua New Guinea atau populasi lalat Papua New Guinea merupakan bagian dari populasi lalat yang berasal dari Makassar. Dugaan ini perlu diteliti lebih lanjut apakah populasi lalat dari Makassar berasal dari Papua New Guinea atau sebaliknya. Penyebaran populasi ini diduga karena adanya transpor ternak yang terjadi pada masa lampau atau sekarang. Analisis di atas sesuai dengan pernyataan TAYLOR et al. (1996) yang berpendapat bahwa pemasukan dan pemindahan ternak dari satu daerah ke daerah lain dapat menjadi jembatan penyebaran lalat penyebab myasis. Laporan lain juga menyebutkan bahwa manusia diduga menjadi sarana penyebaran lalat C. bezziana dari lokasi geografisnya. Hasil analisis fragmen gen sitokrom b (439 bp) menunjukkan bahwa terdapat variasi pada gen sitokrom b (DNA mitokondria) diantara populasi C. bezziana di Bogor, Makasar dan Sumba Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pustaka tentang C. bezziana di dunia termasuk informasi yang sangat penting dalam menunjang pengendalian myasis dengan metode SIT, apakah perlu membuat koloni yang sama atau cukup satu koloni saja untuk pengendalian lalat C. bezziana di dunia karena masing-masing populasi geografi, C. bezziana mempunyai variasi DNA mitokondria yang berbeda-beda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 Haplotip 22 Makassar 10 Haplotip 22 Makassar 11 Haplotip 22 Makassar 12, Apr 164 Haplotip 22 Makassar 16 Haplotip 22 Koloni laboratorium Sumba Timur 22 Haplotip 22 Koloni laboratorium Makassar 25 Haplotip 22 Koloni laboratorium Bogor 29 Haplotip 24 Watu Hadang, Sumba Timur 2 Haplotip 24 Lewa, Sumba Timur 3 Haplotip 24 Matawai Maringu, Sumba Timur 4 Haplotip 24 Lewa, Sumba Timur 5 Haplotip 25 Matawai Maringu, Sumba Timur 7 Haplotip 23 Makassar 12, Apr 163 0,5 perubahan basa Gambar2. Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan di antara fragmen gen sitokrom b (439 bp) yang diamplifikasi dengan primer CB1SE-CB3R3A pada populasi C. bezziana yang berasal dari geografi yang berbeda berdasarkan analisis PAUP versi 4 KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA Terdapat variasi di dalam DNA mitokondria pada populasi C. bezziana di Bogor, Makasar dan Sumba Timur berdasarkan fragmen gen sitokrom b (439 bp). Sebanyak empat haplotip baru berhasil diperoleh dari penelitian ini, yaitu haplotip 22 (haplotip Bogor), haplotip 23 (haplotip Makassar), haplotip 24 (Sumba Timur I) dan haplotip 25 (Sumba Timur II). Perlu dilakukan koleksi larva C. bezziana dari lokasi geografi yang lain khususnya dari Jawa (wild type) mengingat sampel Bogor yang diuji pada penelitian ini merupakan sampel koloni laboratorium. BEDO, D.G., J.P. SPRADBERY and R.J. MAHON. 1994. Cytogenetic variation in natural populations of the Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana (Diptera: Calliphoridae). Genome. 37: 390–398. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada International Atomic Energy Agency (IAEA) yang telah memberikan bantuan dana untuk penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Martin J. R. Hall, Dr. Paul D. Ready, Johan Ingle dan Adam Zoe yang banyak membantu selama analisis molekuler di Natural History Museum, London, United Kingdom. BROWN, M.V., J.P. SPRADBERY, R.J. MAHON, M.J. LACEY and R. MORTON. 2002. Identifying the origins of Old World screwworm fly. Proc. of screwworm fly emergency preparedness conference Canberra. Departement of agriculture fisheries and forestry Australia. OCVO. 114–119. BROWN, W.V., R. MORTON and J.P. SPRADBERY. 1992. Cuticular hydrocarbons of the Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana Villeneuve (Diptera: Calliphoridae). Chemical characteization and quantification by age and sex. Comp. Biochem. Physiol. 101: 665–671. CASTRESANA, J. 2001. Cytochrome b phylogeny & taxonomy of Great Apes and Mammals. Mol. Biol. Evol. 18 (4): 465–471. CHOMCZYNSKI, P., K. MACKEY, R. DREWS and W. WILFINGER. 1997. DNAzol®: a reagent for the rapid isolation of genomic DNA. Bio Techniques. 22: 550–553. 699 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 ESCALANTE, A.A., E.E. FREELAND, E.W. COLLINS and A.A. LAL. 1998. The evolution of primate malaria parasites based on the gene encoding cytochrome b from the linear mitochondrial genome. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 95: 8124–8129. ESPIN, A.M.L.A. 1992. Mitochondrial DNA variability in geographical populations of the Brazilian screwworm fly. In: Management of Insect Pests : Nuclear and Related Molecular and Genetic Techniques. Vienna: 161–165. HALL, M.J.R., W. EDGE, J.M. TESTA, Z.J.O. ADAMS and P.D. READY. 2001. Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana, accurs as two geographical races. Med. Vet. Entomol. 15: 393–402. SPRADBERY, J.P. 1991. A Manual for the Diagnosis of Screwworm Fly. CSIRO Division of Entomology. Canberra. Australia. STRONG, K. L. and R.J. MAHON. 1991. Genetic variation in the Old World screwworm fly, Chrysomyia bezziana (Diptera: Calliphoridae). Bull. Entomol. Res. 491–496. SUKARSIH, R.S. TOZER and M.R. KNOX. 1989. Collection and case incidence of the Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana, in three localities in Indonesia. Penyakit Hewan. 21. (38): 114–117. SUNARYA, M.I.G.M. 1998. Penyakit Myiasis di Propinsi NTB. Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional Bantuan EIVSP Pemerintah Australia. Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I NTB. Mataram. SWOFFORD, D.L. 2000. Phylogenetic Analysis Using Parsimony (PAUP), Version 4.0b 10. Illinois Natural History Survey, Urabana, Illinois. TAYLOR, D.B., A.L. SZALANSKI and R.D. PETERSON. 1996. Mitochondrial DNA variation in screwwrom. Med. Vet. Entomol. 10: 161–169. WARDHANA, A.H., S. MUHARSINI dan SUHARDONO. 2003a. Koleksi dan kejadian myasis yang disebabkan oleh Old World Screwworm, Chrysomya bezziana di daerah endemis di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29-30 September 2003. hlm. 235-239. WARDHANA, A.H., S. MUHARSINI dan SUHARDONO. 2003b. Metode pengawetan larva dan lalat Chrysomya bezziana (Diptera: Calliphoridae) untuk analisis DNA mitokondria. JITV 8(4): 264−275. WARDHANA, A.H., S. MUHARSINI dan WIDYA ISWARA. 2004. Keragaman genetik populasi lalat Chrysomya bezziana (Diptera: Calliphoridae) di Indonesia berdasarkan analisis DNA mitokondria. JITV 9(2). WHITTEN, M. 2002. The sterile insect technique and its potential for Australia In: Proceedings of screwworm fly emergency preparedness conference Canberra. Departement of agriculture fisheries and forestry Australia. 58–64. DISKUSI Pertanyaan: 1. Apa tujuan dan manfaat dari penelitian ini? 2. Mengapa dipilih gen sitokrom B? 3. Apakah DNA hasil sekuensing sudah diterjemahkan ke protein, mengingat kodon yang berbeda bisa menjadi asam amino yang sama dan kita bisa mengatakan itu berbeda kalau asam aminonya yang berbeda? 4. Sitokrom B relatif konstan dari mutasi, sehingga sering digunakan untuk menelusuri kekerabatan. Ada flap baru apa karena mutasi? 700 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 Jawaban: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik yang ada di dalam populasi C. bezziana di Indonesia, karena beberapa peneliti berpendapat bahwa pengetahuan keragaman genetik pada suatu populasi hama sangat penting untuk keberhasilan pengendalian hama tersebut secara sterile insect tehcnique. Disamping itu untuk mendapatkan marka (penanda) bagi lalat C. bezziana di Indonesia. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai data pendukung untuk program sterile insect tehnique yang sangat berguna di lapang. Selain itu sangat berguna untuk study epidemiologi dan identifikasi populasi lalat C. bezziana secara molekuler. 2. Sebenarnya ada beberapa gen yang diteliti, misalnya gen sitokrom oksidase sub unit I. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian selanjutnya. Alasan lainnya : gen ini dapat menggambarkan adanya evolusi dan mempunyai angka evolusi yang tinggi. 3. Sudah distranfortasikan ke protein→ tidak terjadi perbedaan mengingat perubahan basa yang terjadi hanya pada kodom ke 3 sehingga tidak merubah susunan asam aminonya. Tetapi sekuensing pada fragmen gen sitokrom B bagian terminal mempunyai perbedaan urutan asam amino. 4. Untuk mengatakan adanya mutasi masih perlu dianalisis lebih lanjut. Belum berani mengatakan hal ini terjadi. Hal ini masih menjadi dugaan adanya mutasi, karena lalat C berzziana di Indonesia berbeda dengan lalat. C bezziana di dunia. Adannya perbedaan ini lebih mengambarkan bahwa lalat yang di Sumba Timur, Sulawesi (Makasar) mempunyai aliran gen yang kuat. 701