Perang Yunani

advertisement
Perang Yunani-Persia
Perang Yunani-Persia
Penggambaran pertarungan hoplites Yunani melawan
prajurit Persia, pada kylix dari abad ke-5 SM.
Tanggal
Lokasi
Hasil
Perubahan
wilayah
502–449 SMi[›]
Yunani daratan, Thrakia,
Kepulauan Aigea, Asia Kecil,
Siprus, dan Mesir
Kemenangan Yunani[1]
Makedonia, Thrakia dan Ionia
merdeka dari kekuasaan Persia
Pihak yang terlibat
Negara kota di Yunani
termasuk Athena dan
Sparta
Kekaisaran Persia
Akhemaniyah
Makedonia (fase awal)
Komandan
Miltiades
Themistokles
Leonidas I †
Pausanias
Kimon †
Perikles
Artaphernes
Datis
Artaphernes (putra
Artaphernes)
Xerxes I
Mardonios †
Hydarnes
Artabazos
Megabyzos
[sembunyikan]
l•b•s
Perang Yunani-Persia
Pemberontakan Ionia – Invasi pertama Persia – Invasi kedua Persia – Serangan balik Yunani –
Perang Liga Delos
Perang Yunani-Persia (disebut juga Perang Persia) adalah serangkaian konflik antara
Kekaisaran Persia Akhemeniyah melawan negara kota di Yunani kuno. Perang ini bermula pada
tahun 499 SM dan berakhir pada tahun 449 SM. Bentrokan antara dunia Yunani yang secara
politik terpecah-pecah melawan Kekaisaran Persia yang sangat besar sudah dimulai ketika
Koresh yang Agung menaklukan Ionia pada tahun 547 SM. Berusaha untuk mengendalikan kotakota di Ionia, Persia menunjuk tiran untuk berkuasa di sana. Ini kemudian terbukti menjadi
sumber masalah bagi Yunani dan Persia.
Pada tahun 499 SM, tiran di Miletos, yaitu Aristagoras, mulai melakukan ekspedisi untuk
menaklukan pulau Naxos, dengan dukungan Persia;[2] Namun, ekspedisi itu berakhir dengan
kegagalan dan Aristagoras pun akhirnya dipecat. Aristagoras lalu menghasut kota-kota Yunani di
Asia Kecil untuk memberontak melawan Persia. Ini adalah awal dari Pemberontakan Ionia, yang
berlangsung sampai tahun 493 SM, dan dalam perkembangannya menyeret lebih banyak daerah
di Asia Kecil ke dalam konflik. Aristagoras memperoleh bantuan militer dari Athena dan Eretria.
Pada tahun 498 SM, pasukan Athena dan Eretria membakar ibukota regional Persia di Asia
Kecil, yaitu kota Sardis. Kaisar Persia, Darius yang Agung marah dan bersumpah akan
membalas Athena dan Eretria atas tindakan mereka. Pemberontakan terus berlanjut, dan kedua
belah pihak menemui jalan buntu sepanjang 497–495 SM. Pada tahun 494 SM, Persia
menyerang pusat pemberontakan di Miletos. Pada Pertempuran Lade, pasukan Ionia mengalami
kekalahan telak dan pemberontakan pun berakhir, dan sisa-sisanya dibasmi pada tahun
berikutnya.
Berusaha mengamankan kekaisarannya dari ancaman pemberontakan lainnya, dan juga dari
campur tangan Yunani daratan, Darius akhirnya melancarkan serangan ke Yunani, untuk
menghukum Athena dan Eretria atas pembakaran Sardis. Invasi pertama Persia ke Yunani
dimulai pada tahun 492 SM, dengan jenderal Persia, Mardonios, menaklukan Thrakia dan
Makedonia sebelum akhirnya pasukan Persia mengalami bencanan dan terpaksa mengakhiri
kampanyenya. Pada tahun 490 SM, pasukan kedua dikirim ke Yunani, kali ini melalui Laut
Aigea, di bawa komando Datis dan Artaphernes. Ekspedisi ini berhasil menundukkan Kyklades,
sebelum kemudian mengepung, menaklukan, dan menghancurkan Eretria. Akan tetapi, ketika
berusaha menyerang Athena, pasukan Persia dikalahkan secara telak oleh pasukan Athena pada
Pertempuran Marathon, yang sekaligus menghentikan invasi pertama Persia. Darius kemudian
menyusun rencan untuk kembali menyerang Yunani, namun dia terlebih dahulu meninggal pada
tahun 486 SM, dan tanggung jawab penaklukan beralih kepada putranya, Xerxes I. Pada tahun
480 SM, Xerxes secara langsung memimpin invasi kedua Persia ke Yunani dengan pasukan yang
sangat banyak. Kemenangan melawan 'Persekutuan' negara kota Yunani (dipimpin oleh Sparta
dan Athena) pada Pertempuran Thermopylae membuat Persia dapat menduduki sebagian besar
Yunani. Akan tetapi, ketika berusaha menghancurkan armada laut Yunani, Persia malah
mengalami kekalahan berat pada Pertempuran Salamis. Pada tahun berikutnya, persekutuan
negara kota Yunani melancarkan serangan dan mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran
Plataia, sekaligus mengakhiri invasi Persia di Yunani.
Persekutuan Yunani menindaklanjuti kesuksesan mereka dengan menghancurkan sisa-sisa
armada Persia pada Pertempuran Mykale, sebelum kemudian mengusir garnisun Persia dari
Sestos (479 SM) dan Byzantion (478 SM). Tindakan jenderal Pausanias pada Pengepungan
Byzantion menjauhkan banyak negara kota Yunani dari pihak Sparta, dan persekutuan antiPersia kemudian dibentuk kembali dengan dipimpin oleh Athena, dalam persatuan yang disebut
Liga Delos. Liga Delos terus melakukan kampanye melawan Perisa selama tiga dekade
berikutnya, dimulai dengan pengusiran sisa-sia garnisun Persia dari Eropa. Dalam Pertempuran
Eurymedon pada tahun 466 SM, Liga Delos meraih kemenangan ganda yang pada akhirnya
membuat kota-kota di Ionia dapat merdeka. Akan tetapi, keterlibatan Liga Delos dalam
pemberontakan Mesir (dari 460–454 SM) berujung pada kekalahan telak dan kampanye yang
lebih lanjut harus ditunda. Liga Delos mengirim pasukan ke Siprus pada tahun 451 SM, dan
setelah menariknya kembali, Perang Yunani-Persia pun benar-benar berakhir . Beberapa sumber
sejarah menyebutkan bahwa akhir bentrokan ditandai dengan perjanjian damai antara Athena dan
Persia, yaitu pada Perdamaian Kallias.
Sumber
Patung kepala Herodotos. Naskah kuno karya Herodotos adalah sumber utama untuk konflik YunaniPersia.
Hampir semua sumber utama untuk Perang Yunani-Persia berasal dari Yunani; tidak ada naskah
sejarah yang tersisa dari pihak Persia. Sumber utama untuk Perang Yunani-Persia adalah naskah
karya sejarawan Yunani, Herodotos. Herodotos, yang disebut "Bapak Sejarah",[3] dilahirkan pada
tahun 484 SM di Halikarnassos, Asia Kecil (ketika itu bagian dari Kekaisaran Persia). Dia
menulis catatan sejarahnya, yang berjudul Historia, sekitar tahun 440–430 SM, berusaha untuk
melacak asal mula Perang Yunani-Persia, yang ketika itu belum lama usai.[4] Pendekatan
Herodotos adalah novel dan setidaknya di masyarakat Barat, dia menciptakan 'sejarah' sebagai
sebuah disiplin ilmu.[4] Holland berpendapat mengenai Herodotos:[4]
“
Untuk pertama kalinya, seorang penulis kronik membuat dirinya melacak asal mula
konflik tidak ke masa yang sangat jauh demi terlihat luar biasa, tidak demi keinginan
”
dan harapan beberapa dewa, tidak juga demi klaim orang-orang untuk mewujudkan
takdir, tapi demi penjelasan yang dapat dia verifikasi secara langsung.
—Holland, hlm. xvi–xvii.
Patung Thukydides. Narasi Herodotos dilanjutkan oleh Thukydides.
Beberapa sejarawan kuno berikutnya, dimulai dari Thukydides, mengkritik Herodotos.[5][6]
Meskipun demikian, Thukydides memilih untuk memulai sejarahnya pada masa di mana
Herdotos mengakhiri kisahnya (pada Pengepungan Sestos) dan merasa bahwa sejarah Herodotos
cukup akurat sehingga tidak perlu ditulis ulang atau dikoreksi.[6] Plutarkhos mengkritik
Herodotos dalam esainya "Tentang Kejahatan Herodotos", menggambarkan Herodotos sebagai
"Philobarbaros" (pencinta orang barbar) karena Herodotos dianggap tidak cukup pro-Yunani,
yang mengindikasikan bahwa Herodotos sebenarnya mungkin telah melakukan penulisan yang
adil secara wajar.[7] Pandangan negatif terhadap Herodotos berlanjut di Eropa masa Renaisans,
meski karya-karyanya tetap banyak dibaca. Namun, sejak abad ke-19 reputasinya secara
dramatis terangkat oleh temuan arkeologi yang membenarkan keterangannya.[8] Pandangan
modern terhadap Herodotos adalah bahwa dia telah menuliskan catatan yang luar biasa dalam
Historia, namun beberapa rincian spesifiknya (khusunya mengenai jumlah prajurit dan tanggal
peristiwa) harus dilihat secara skeptis.[8] Meskipun demikian, masih banyak sejarawan yang
meyakini bahwa Herodotos hanya mengarang sebagian besar catatannya.[9]
Sayangnya, sejarah militer Yunani antara akhir invasi kedua Persia ke Yunani dan Perang
Peloponnesos (479–431 SM) tidak banyak diceritakan dalam sumber kuno. Periode ini, kadang
disebut pentekontaitia oleh para sejarawan kuno, adalah seuatu periode perdamaian dan
kemakmuran di Yunani.[10][11] Sumber terlengkap mengenai periode ini, dan sekaligus yang
paling sejaman adalah naskah karya Thukydides,Sejarah Perang Peloponnesos, yang oleh para
sejarawan modern secara umum dianggap sebagai sumber primer yang terpercaya.[12][13][14]
Thukydides hanya menyebut periode ini dalam suatu penyimpangan dalam meningkatnya
kekuasaan Athena menuju Perang Peoponnesos, dan naskahnya sendiri pendek, kemungkinan
sangat selektif serta kekurangan tanggal kejadian.[15][16] Meskipun demikian, naskah Thukydides
dapat, dan memang, digunakan oleh para sejarawan untuk mereka-reka kronologi pada periode
ini, yang juga ditambah dari temuan arkeologi dan catatan dari penulis lain.[15]
Rincian yang lebih banyak mengenai keseluruhan periode ini disediakan oleh Plutarkhos dalam
karyanya biografi Themistokles, Aristides dan khususnya Kimon. Plutarkhos menulis beberapa
ratus tahun setelah kejadian sehingga naskahnya adalah sumber sekunder, yang membuat
peryatannya perlu verifikasi lebih lanjut.[17] Dalam biografinya, dia mengambil sumber langsung
dari banyak naskah sejarah kuno yang pada masa modern sudah hilang, dan dengan demikian dia
telah mencatat rincian periode yang tidak disebutkan baik oleh Herodotos maupun Thukydides.
Sumber penting terakhir untuk periode ini adalah sejarah universal (Bibliotheke historika) karya
penulis asal Sisilia abad ke-1 SM, Diodoros Sikolos. Banyak dari tulisan Diodoros mengenai
periode ini diambil dari sejarawan Yunani yang lebih awal, yaitu Ephoros, yang juga menulis
sejarah universal.[18] Karya Diodoros juga merupakan sumber sekunder dan seringkali dikritik
oleh para sejarawan karena gaya dan ketidakakuratannya, namun karya tersebut menyimpan
banyak rincian periode kuno yang tidak ditemukan di sumber manapun.[19]
Rincian lainnya tersebar dan dapat ditemukan dalam Hellados Periegesis karya Pausanias,
sementara kamus Suda dari Bizantium abad ke-10 M mencantumkan beberapa anekdot yang
tidak ditemukan di sumber manapun. Sumber minor untuk periode ini meliputi karya-karya
Pompeius Trogus (diepitomisasi oleh Justinus), Cornelius Nepos dan Ktesias dari Knidos
(diepitomisasi oleh Photios), yang tidak lagi berada pada bentuk teks aslinya. Karya-karya ini
kurang dipercaya (khususnya Ktesias) oleh para sejarawan dan tidak secara khusus berguna pada
rekonstruksi sejarah periode ini.[20][21]
Asal mula
Kota-kota Yunani di Asia Kecil, kota-kota Ionia berwarna biru, kota-kota Aiolia berwarna kuning, dan
kota-kota Doria berwarna merah.
Orang Yunani pada periode klasik percaya bahwa, pada zaman kegelapan yang terjadi setelah
runtuhnya peradaban Mykenai, sejumlah besar orang Yunani berpindah ke Asia Kecil dan
bermukim di sana.[22][23] Pada umumnya para sejarawan modern menerima migrasi ini sebagai
sebuah peristiwa sejarah (tapi migrasi ini berbeda dari kolonisasi yang terjadi pada masa
berikutnya di Mediterania oleh orang Yunani).[24][25] Namun, ada yang percaya bahwa migrasi
Ionia tidak dapat dijelaskan sesederhana yang telah diklaim oleh orang Yunani kuno.[26] Para
pemukim itu berasal dari tiga kelompok suku terbesar di Yunani, yaitu suku Aiolia, suku Doria,
dan suku Ionia.[22] Suku Ionia bermukim di sekitara pesisir Lydia dan Karia, dan mendirikan dua
belas kota yang membentuk Ionia.[22] Kota-kota itu di antaranya adalah Miletos, Myos dan
Priene di Karia; Ephesos, Kolophon, Lebedos, Teos, Klazomenae, Phokaia dan Erythrai di
Lydia; serta pulau Samos dan Khios.[27] Meskipun kota-kota Ionia masing-masing berdaulat
sendiri-sendiri, tapi mereka mengakui bahwa mereka mewarisi kebudayaan dan peradaban yang
sama. Mereka diperkirakan memiliki satu kuil utama dan tempat pertemuan tetap, disebut
Panionion.ii[›] Mereka dengan demikian telah membentuk 'perkumpulan kebudayaan', yang tidak
boleh dimasuki oleh kota-kota lainnya, bahkan oleh suku Ionia lainnya.[28][29]
Kota-kota Ionia merdeka sampai mereka ditaklukan oleh Bangsa Lydia dari Asia Kecil bagian
timur. Raja Lydia Alyattes II, menyerang Miletos, dan konflik tersebut berakhir dengan
perjanjian persekutuan antara Miletos dan Lydia, yang berarti bahwa Miletos bebas mengurusi
urusan dalam negeri tapi harus menurut pada Lydia dalam masalah luar negeri.[30] Pada saat itu,
Lydia juga sedang berperang dengan Kekaisaran Media, dan kota Miletos mengirim pasukan
untuk membantu Lydia dalam konflik itu. Pada akhirnya perjajian damai ditetapkan antara
Media dan Lydia, dengan Sungai Halys menjadi pembatas antara kedua kerajaan itu.[31] Raja
Lydia yang terkenal, Kroisos, menggantikan ayahnya Alyattes sekitar tahun 560 SM dan
berencana menaklukan kota-kota Yunani lainnya di Asia Kecil.[32]
Pangeran Persia, Koresh memimpin sebuah pemberontakan melawan raja Media terakhir,
Astyages, pada tahun 553 SM. Koresh adalah cucu Astyages dan didukung oleh sebagian
aristokrat Media.[33] Pada tahun 550 SM, pemberontakan berakhir, dan Koresh meraih
kemenangan, mendirikan Kekaisaran Persia Akhemeniyah untuk menggantikan Kekaisaran
Media.[33] Kroisos melihat kekacauan di Kekaisaran Media dan Persia sebagai suatu kesempatan
untuk memperluas kekuasaannya. Dia terlebih dahulu bertanya pada orakel Delphi mengenai
apakah dia harus menyerang Persia atau tidak. Sang orakel memberikan jawaban ambigu yang
kemudian menjadi terkenal, yaitu bahwa "jika Kroisos menyeberangi Halys, maka dia akan
menghancurkan satu kerajaan besar."[34] Dibutakan oleh keambiguan ramalan itu, Kroisos pun
menyerang Persia, dan akhrinya dia dikalahkan. Lydia kemudian jatuh ke tangan Koresh.[35]
Kekaisaran Persia pada tahun 490 SM.
Ketika sedang berperang melawan Lydia, Koresh mengirim pesan kepada kota-kota Yunani di
Ionia. Dia meminta mereka untuk memberontak terhadap kekuaaan Lydia. Permintaannya
ditolak oleh orang-orang Ionia.[36] Setelah Koresh selesai menaklukan Lydia, kota-kota Ionia kini
menawarkan diri untuk berada di bawah kekuasaan Persia dengan kesepakatan yang sama seperti
ketika dikuasai oleh Kroisos dari Lydia..[36] Koresh menolak dan mengungkit-ungkit keengganan
bangsa Ionia ketika dulu mereka tidak mau membantunya. Bangsa Ionia dengan demikian
bersiap-siap untuk mempertahankan diri, dan Koresh mengirim jenderal Media, Harpagos, untuk
menaklukan mereka.[37] Dia pertama-tama menyerang Phokaia; orang-orang Phokaia
memutuskan untuk meninggalkan kota mereka dan berlayar menyelamatkan diri ke Sisilia,
daripada harus tunduk di bawah kekuasaan Persia (meskipun kemudian banyak pula yang
kembali).[38] Beberapa orang Teos juga memilih untuk bermigrasi ketika Harpagos menyerang
kota mereka, tapi bangsa Ionia di kota-kota lainnya tetap bertahan, dan satu demi satu kota-kota
Ionia ditaklukan oleh Persia.[39]
Setahun setelah penaklukan itu, Persia mendapati bahwa orang Ionia sulit diatur. Di wilayah
lainnya di kekaisaran, Koresh memanfaatkan kelompok elit penduduk pribumi untuk
membantunya mengatur daerah taklukan barunya, misalnya kelompok kependetaan Yudea.[40]
Kelompok seperti itu tidak ada di kota-kota Yunani pada masa itu; meski biasanya ada
aristokrasi, hal ini pada akhirnya berujung pada golongan-golongan yang saling bermusuhan.[40]
Persia kemudian menempatkan seorang tiran di tiap kota di Ionia, meskipun ini menyeret mereka
ke dalam konflik internal Ionia. Selain itu, tiran tertentu kemungkinan mengembangkan gagasan
untuk merdeka dan harus diganti.[40] Para tiran itu sendiri menghadapi tugas yang sulit, mereka
mesti mengalihkan kebencian terburuk warganya terhadap Persia, sambil tetap mengabdi kepada
Persia.[40] Di masa lalu, kota-kota Yunani sering diperintah oleh tiran, tapi bentuk pemerintahan
semacam itu sudah berlalu.[41] Para tiran pada masa lalu juga cenderung dan harus merupakan
sosok pemimpin yang tangguh dan cakap, sementara para tiran yang ditunjuk oleh Persia adalah
orang-orang yang kurang ahli memimpin. Karena didukung oleh kuatnya militer Persia, para
tiran ini tidak memerlukan dukungan penduduk lokal, dan dengan demikian mereka dapat
memerintah secara mutlak.[41] Menjelang Perang Yunani-Persia, ada kemungkinan bahwa
penduduk Ionia merasa tidak puas dan sudah siap untuk memberontak.[42] Ionia, tidak seperti
banyak daerah lainnya di Kekaisaran Persia, tidak memberontak pada masa perang saudara
antara masa pemerintahan Koresh dan Darius I, dan maka dari itu ada kemungkinan bahwa orang
Ionia sebenarnya tidak terlalu merasa tidak puas terhadap kekuasaan Persia.
Peperangan di Mediterania kuno
Dalam Perang Yunani-Persia, kedua belah pihak menggunakan infantri bersenjatakan tombak
dan pasukan misil ringan. Pasukan Yunani mengutamakan infantri berat, sedangkan Persia lebih
menyukai pasukan infantri ringan.[43][44]
Prajurit Pasukan Abadi Persia dalam posisi menyerang.
Persia
Militer Persia terdiri dari beragam prajurit yang didatangkan dari seluruh wilayah kekaisaran.
Namun, menurut Herodotos, setidaknya ada kesamaan dalam persenjataan dan gaya
bertempur.[43] Prajurit Persia biasanya dipersenjatai dengan busur dan anak panah, tombak
pendek dan pedang (akinaka) atau kapak (sagaris), serta perisai tipis. Mereka mengenakan baju
zirah dari kulit,[43][45] namun prajurit tingkat tinggi mengenakan baju zirah dari logam yang
memiliki kualitas lebih baik. Persia biasanya menggunakan panah untuk mengurangi jumlah
prajurit musuh, lalu mendekat dan melancarkan serangan dengan tombak dan pedang.[43] Barisan
pertama dalam formasi infantri Persia, disebut 'sparabara', tidak memiliki panah, membawa
perisai yang lebih besar, dan kadang-kadang membawa tombak yang lebih panjang. Tugas
mereka adalah melindungi barisan di belakang mereka.[46] Persia juga memiliki pasukan elit yang
oleh Herodotos disebut sebagai Pasukan Abadi. Pasukan tersebut adalah pasukan infantri khusus
yang jumlahnya selalu tetap 10.000 prajurit. Sementara kavaleri Persia kemungkinan bertempur
sebagai kavaleri misil ringan.[43][47]
Prajurit Hoplites Yunani dalam posisi menyerang, dengan tusukan bawah dan tusukan atas.
Kapal trireme yang digunakan oleh Yunani.
Yunani
Gaya peperangan di negara kota di Yunani, yang berasal sekitar tahun 650 SM (berdasarkan
penanggalan dari 'Guci Chigi'), dipusatkan pada phalanx hoplites yang didukung oleh pasukan
misil.[44][48] Hoplites adalah prajurit pejalan kaki yang biasanya berasal dari kelas sosial
menengah (di Athena disebut zeugites), yang mampu membeli perlengkapan yang diperlukan
untuk bertempur sebagai hoplites.[49] Perlengkapan pelindungnya biasanya meliputi pelindung
dada atau linothorax, grev (pelindung kaki), helm, dan sebuah perisai bulat cekung yang besar
dan disebut hoplon atau aspis.[44] Hoplites dipersenjatai dengan tombak panjang, disebut dory,
yang lebih panjang daripada tombak Persia. Prajurit Yunani juga membawa senjata pendukung
berupa sebilah pedang yang disebut xiphos.[44] Baju zirah dan perisai yang kuat serta tombak
yang lebih panjang menjadikan pasukan Yunani lebih superior dalam pertarungan jarak dekat[44]
dan memberi perlindungan yang besar dari serangan jarak jauh.[44] Penskirmis bersenjata ringan,
disebut psiloi, juga terdapat dalam pasukan Yunani dan semakin lama semakin penting seiring
berlangsungnya konflik melawan Persia; pada Pertempuran Plataia, misalnya, mereka
kemungkinan meliputi setengah dari pasukan Yunani.[50] Tidak disebutkan adanya penggunakan
kavaleri oleh pihak Yunani dalam Perang Yunani-Persia.
Peperangan laut
Pada masa awal konflik, semua armada laut di daerah Mediterania timur memakai trireme, kapal
perang yang digerakkan oleh tiga baris dayung. Siasat perang laut yang paling umum pada
periode itu adalah menubrukkan haluan kapal ke kapal musuh, karena bagian depan trireme
dilengkapi dengan senjata pendobrak. Siasat lainnya adalah dengan memasukkan prajurit ke
kapal musuh.[51] Armada laut yang lebih berpengalaman pada masa itu juga mulai menggunakan
manuver yang disebut diekplous. Tidak diketahui secara jelas siasat macam apa ini, tapi
kemungkinan strategi ini melibatkan berlayar ke celah di antara kapal-kapal musuh dan
kemudian menabrak kapal musuh di bagian pinggirnya.[51]
Armada laut Persia disediakan terutama oleh bangsa Fenisia, bangsa Mesir kuno, bangsa Kilikia,
dan bangsa Siprus.[52][53] Daerah pesisir lainnya di Kekaisaran Persia ikut mengirimkan kapal
selama peperangan berlangsung.[52]
Pemberontakan Ionia (499–493 SM)
Pemberontakan Ionia dan pemberontakan terkait di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia merupakan
pemberontakan militer yang dilakukan oleh beberapa daerah di Asia Kecil untuk menentang
kekuasaan Persia, dan berlangsung dari tahun 499 SM sampai 493 SM. Penyebab pemberontakan
ini terjadi karena kota-kota Yunani di Asia Kecil merasa tidak puas terhadap para tiran yang
ditunjuk oleh Persia untuk memerintah mereka. Para pemberontak juga menentang tindakan
individual yang dilakukan oleh dua tiran di Miletos, Histiaios dan Aristagoras.[40][54] Pada tahun
499 SM, tiran Miletos saat iru, Aristagoras, melancarkan ekspedisi gabungan bersama seorang
satrap Persia, Artaphernes, untuk menaklukan Naxos, dengan tujuan meningkatkan posisinya di
Miletos (baik secara finansial maupun wibawa).[54][55] Misi itu berakhir dengan kegagalan,[56] dan
akibatnya Aristagoras dipecat dari jabatan tiran. Dia kemudian memilih untuk menghasut kotakota di Ionia untuk memberontak terhadap kaisar Persia, Darius yang Agung.[42]
Peta Pemberontakan Ionia.
Pada tahun 498 SM, dengan bantuan dari Athena dan Eretria, kota-kota Ionia menyerang,
menaklukan, dan membakar kota Sardis.[57] Namun, dalam perjalanan pulang mereka menuju
Ionia, mereka diikuti oleh pasukan Persia dan secara telak dikalahkan pada Pertempuran
Ephesos.[58] Kampanye ini adalah satu-satunya tindakan ofensif yang dilakukan oleh orang Ionia,
yang selanjutnya malah menjadi tindakan defensif. Persia menanggapi pada tahun 597 SM
dengan serangan bercabang tiga yang diarahkan untuk menaklukan daerah-daerah di sekitar
wilayah pemberontak,[59] tapi pemberontakan menyebar ke Karia, sehingga pasukan terbesar
Persia, dipimppin oleh Darius, berpindah ke sana.[60] Meskipun pada awalnya meraih
kesukssesan pada awal kampanye di Karia, pasukan ini kemudian disapu habis dalam suatu
penyergapan pada Pertempuran Pedasos.[61] Hal ini mengakibatkan terjadinya kebuntuan bagi
kedua belah pihak selama sisa 496 dan 495 SM.[62]
Pada tahun 494 SM pasukan darat dan armada laut Persia dikumpulkan kembali, dan mereka
menyerang langsung menuju pusat pemberontakan di Miletos.[63] Armada laut Ionia berusaha
mempertahankan Miletos di laut, tapi dikalahkan secara telak pada Pertempuran Lade, setelah
orang-orang Samos berkhianat dan balik mendukung Persia.[64] Miletos lalu dikepung,
ditaklukan, dan penduduknya dijadikan budak.[65] Kekalahan ganda ini secara efektif mengakhiri
pemberontakan, dan pada akhirnya orang-orang Karia pun menyerah kepada Persia.[66] Pasukan
Persia menghabiskan tahun 493 SM untuk membasmi sisa-sisa pemberontakan di kota-kota di
sepanjang pesisi Asia Kecil yang masih berusaha menentang Persia,[67] sebelum akhirnya
menetapkan kesepakatan damai di Ionia yang dianggap cukup adil.[68]
Pemberontakan Ionia menjadi konflik besar pertama antara Yunani dan Kekaisaran Persia
Akhemeniyah dan merupakan fase pertama dari Perang Yunani-Persia. Asia Kecil berhasil
dikuasai kembali oleh Persia, namun Darius bersumpah untuk menghukum Athena dan Eretria
atas bantuan mereka pada para pemberontak.[68] Selain itu, Darius melihat bahwa situasi politik
di Yunani dapat membawa ancaman terhadap kestabilan kekaisaran, maka dia pun berencana
menaklukan seluruh Yunani.[68]
Invasi pertama ke Yunani (492–490 SM)
Setelah menaklukan Ionia, Persia memulai merencanakan gerakan mereka selanjutnya, yaitu
memusnahkan ancaman dari Yunani terhadap kekaisaran dan menghukum Athena serta
Eretria.[69] Hal ini berujung pada invasi pertama Persia ke Yunani, yang terdiri dari dua
kampanye utama[69]
Peta fase pertama Perang Yunani-Persia.
492 SM: Kampanye Mardonios
Kampanye pertama, pada tahun 492 SM, dipimpin oleh menantu Darius, Mardonios,[70] yang
kembali menduduki Thrakia, yang menjadi bagian dari Kekaisaran Persia sejak tahun 513 SM.[71]
Mardonios berhasil memaksa Makedonia untuk menjadi kerajaan klien Persia. Sebelumnya
Makedonia sudah menjadi sekutu Persia tapi sebagai negara merdeka.[72] Akan tetapi,
perkembangan lebih lanjut dalam kampanye ini terhalangi ketika armada laut Mardonus
dihancurkan oleh badai di pesisir Gunung Athos. Mardonios sendiri terluka dalam sebuah
serangan ke perkemahannya oleh satu suku Thrakia. Setelah itu, Mardonios bersama sisa-sisa
pasukannya kembali ke Asia.[72][73]
Setahun kemudian, setelah menyusun rencana secara cermat, Darius mengirim utusan ke semua
negara kota di Yunani dan meminta mereka untuk menyerah pada Persia.[74] Hampir semua
negara kota Yunani tunduk pada Darius, kecuali Athena dan Sparta. Kedua negara kota itu
bahkan membunuh utusan Darius.[74] Karena Athena masih menentangnya, dan kini Sparta juga
menyatakan perang melawannya, maka Darius memerintahkan dilaksanakannya kampanye
militer lagi setahun kemudian.[75]
490 SM: Kampanye Datis dan Artaphernes
Pada tahun 490 SM, Datis dan Artaphernes (putra satrap Artaphernes) diberikan komando untuk
memimpin serangan invasi amfibi, dan mereka pun berlayar dari Kilikia.[75] Dari Kilikia,
pasukan Persia pertama-tama berlayar menuju pulau Rhodos, tempat Kronik Kuil Lindos
mencatat bahwa Datis mengepung kota Lindos, tapi tidak berhasil.[76] Armada Persia kemudian
bergerak ke Naxos, untuk menghukum orang-orang Naxos atas perlawanan mereka terhadap
ekspedisi Persia yang gagal satu dekade sebelumnya.[77] Banyak warganya yang kabur ke
pegunungan, sedangkan penduduk yang tertangkap dijadikan budak.[78] Pasukan Persia lalu
membakar kota dan kuil di Naxos.[78] Armada Persia kemudian menyeberangi Laut Aigea untuk
menuju Eretria. Dalam perjalanannya, pasukan Persia mengambil sandera dan pasukan dari tiap
pulau yang mereka singgahi.[77]
Pasukan Persia berlayar ke Euboia, dan bergerak menuju target utama mereka yang pertama,
Eretria.[79] Orang Eretria tidak berusaha untuk mencegah pasukan Persia berlabuh dan berarak
menuju kota mereka, Akibatnya pasukan Persia dapat mengepung Eretria.[80] Selama enam hari,
pasukan Persia menyerang dinding pertahanan Eretria dan kerugian dialami oleh kedua belah
pihak;[80] Namun, pada hari ketujuh, dua orang Eretria yang terkemuka membuka gerbang.
Mereka berkhianat dan menyerahkan kota kepada pasukan Persia.[80] Kota itu dihancurkan, dan
kuil serta suaka suci dijarah dan dibakar. Selain itu, sesuai perintah Darius, semua penduduk kota
dijadikan budak.[80]
Pertempuran Marathon
Sayap pasukan Yunani mengepung pasukan Persia pada Pertempuran Marathon.
Selanjutnya armada Persia bergerak ke selatan menuju pesisir Attika. Mereka berlabuh di pantai
Marathon, sekitar 25 mil (40 km) dari kota Athena.[81] Di bawah panduan Miltiades, seorang
jenderal yang punya banyak pengalaman berperang melawan orang Persia, pasukan Athena
bergerak untuk menghalangi dua jalur keluar dari daratan Marathon. Kebuntuan berlangsung
selama lima hari, sebelum akhirnya pasukan Athena (untuk alasan yang tidak diketahui)
memutuskan untuk menyerang pasukan Persia.[82] Meskipun pasukan Persia memiliki prajurit
yang jauh lebih banyak, namun hoplites Yunani terbukti efektif melawan infantri ringan Persia.
Pasukan Yunani memukul mundur kedua sayap pasukan Persia sebelum kemudian megacakacak bagian tengahnya. Sisa-sisa pasukan Persia kabur ke kapal mereka dan meninggalkan
pertempuran.[83] Herodotos mencatat bahwa sekitar 6,400 mayat prajurit Persia ditemukan di
tempat pertempuran, sedangkan pasukan Athena hanya kehilangan 192 pprajurit.[84]
Segera setelah pasukan Persia yang selamat bergerak ke laut, pasukan Athena dengan cepat
berjalan kembali ke kota Athena.[85] Pasukan Athena tiba tepat waktu untuk mencegah
Artaphernes berlabuh di kota Athena. Menyadari bahwa kesempatannya sudah hilang,
Artaphernes pun mengakhiri kampanye ini dan kembali ke Asia.[86]
Pertempuran Marathon merupakan titik balik pada Perang Yunani-Persia, dan menunjukkan
bahwa pasukan Persia dapat dikalahkan. Peristiwa itu juga menunjukkan keunggulan hoplites
Yunani, yang bersenjata lebih berat, dan memperlihatkan bahwa hoplites sangat potensial jika
digunakan secara tepat.[83] Pertempuran Marathon barangkali sekarang lebih terkenal sebagai
asal usul untuk balapan Marathon.iii[›]
Masa jeda (490–480 SM)
Persia
Setelah gagal pada invasi pertamanya, Darius mulai membangun pasukan yang lebih besar untuk
benar-benar menaklukan Yunani; namun pada tahun 486 SM Mesir melakukan pemberontakan
terhadap Persia sehingga ekspedisi ke Yunani harus ditunda.[87] Darius meninggal ketika sedang
bersiap untuk bergerak ke Mesir, dan tahta Persia beralih kepada putranya Xerxes I.[88] Xerxes
menumpas pemberontakan Mesir, dan dengan cepat mempersiapkan kembali pasukan untuk
menyerang Yunani lagi.[89] Karena ini adalah invasi berskala besar, maka dibutuhkan
perencanaan, pengumpulan perbekalan, dan persiapan prajurit yang cukup lama. Xerxes
memutuskan bahwa Hellespontos akan menjadi jalur bagi pasukannya untuk menyeberang ke
Eropa, dan kanal harus digali menyeberangi tanah genting di Gunung Athos (armada Persia
pernah dihancurkan pada tahun 492 SM ketika berusaha memutari garis pantai ini). Rencana
Xerxes merupakan proyek luar biasa yang belum pernah dilakukan siapapun pada masanya.[90]
Namun, kampanye harus tertunda selaam satu tahun karena terjadi pemberontakan lagi di Mesir
dan Babilonia.[91]
Persia bersimpati kepada beberapa negara kota Yunani, termasuk Argos, yang berjanji akan
memihak Persia begitu pasukan Persia mencapai perbasatan mereka.[92] Keluarga Aleuadai, yang
memerintah kota Larissa di Thessalia, melihat invasi ini sebagai sebuah kesempatan untuk
memperluas kekuasaan mereka.[93] Sementara Thebes, meskipun tidak secara terang-terangan
bersekutu dengan Persia, diduga bersedia membantu pasukan Persia begitu inavsi tiba.[94][95]
Pada tahun 481 SM, setelah sekitar empat tahun persiapan, Xerxes mulai mengumpulkan
pasukannya untuk menyerang Eropa. Herodotos memberikan daftar nama 46 bangsa yang
prajuritnya menjadi bagian dalam pasukan Xerxes.[96] Pasukan Persia berkumpul di Asia Kecil
pada musim panas dan musim gugur tahun 481 SM. Pasukan dari kesatrapan timur berkumpul di
Kritala, Kappadokia dan dipimpin oleh Xerxes ke Sardis. Di sana mereka menghabiskan musim
dingin.[97] Pada awal musim semi, pasukan bergerak ke Abydos, dan mereka bergabung dengan
pasukan dari kesatrapan barat.[98] Lalu pasukan yang telah dikumpulkan oleh Xerxes itu berarak
menuju Eropa, menyeberangi Hellespontos melalui dua jembatan ponton.[99]
Jumlah Pasukan Persia
Jumlah prajurit yang dikumpulkan oleh Xerxes pada invasi kedua ke Yunani telah menjadi tema
perdebatan yang tiada akhir. Sebagian besar sejarawan modern menolak jumlah 2,5 juta prajurit
yang ditulis oleh Herodotos serta para penulis kuno lainnya, karena jumlah tersebut tidak
realistis, selain itu pihak pemenang sangat mungkin telah melakukan miskalkulasi dan
membesar-besarkan jumlah pasukan musuh. Topik ini banyak diperdebatkan, tapi kesepakatan
para sejarawan berkisar sekitar 200.000 prajurit.[100]
Jumlah armada laut Persia juga dipertentangkan, meski tidak sesering pasukan daratnya. Para
penulis kuno lainnya setuju dengan angka yang diberikan oleh Herodotos, yaitu 1,207 kapal.
Jumlah ini menurut standar kuno cukup konsisten, dan dapat ditafsirkan bahwa jumlahnya
sekitar 1,200 kapal. Di antara para sejarawan modern, beberapa ada yang menerima jumlah ini,
meskipun tetap berpendapat bahwa jumlahnya lebih sedikit pada Pertempuran
Salamis.[101][102][103] Karya-karya terkini lainnya mengenai Perang Yunani-Persia menolak angka
ini, dan melihat bahwa 1.207 merupakan peniruan dari jumlah kapal armada gabungan Yunani
dalam Iliad. Karya-karya itu secara umum mengklaim bahwa Persia mengirimkan tidak lebih
dari 600 kapal perang menyeberangi Laut Aigea.[103][104][105]
Yunani
Athena
Setahun setelah peristiwa di Marathon, pahlawan Athena, Miltiades, terluka dalam suatu
pertempuran kecil. Mengambil kesempatan dari hal ini, keluarga Alkmaionidai yang
berpengaruh, menyusun rencana supaya dia dihukum.[106] Miltiades diberikan denda yang besar
atas kejahatan 'menipu rakyat Athena', tapi dia meninggal seminggu kemudian karena
lukanya.[106]
Patung Themistokles.
Politisi Themistokles, yang dasar kekuasaannya secara kuat tertanam di kalangan orang miskin,
mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Miltiades, dan pada dekade berikutnya dia menjadi
politisi paling berpengaruh di Athena.[106] Pada periode ini, Themistokles terus berupaya supaya
Athena mengembangkan kekuatan lautnya.[106] Rakyat Athena sadar selama masa itu bahwa
Persia masih ingin menguasai Yunani,[89] dan kebijakan laut Themistokles kemungkinan dilihat
dalam ancaman potensial dari Persia.[106] Aristides, lawan politik Themistokles, dan orang yang
terkemuka dari zeugites (kelas sosial atas atau kelas hoplites) dengan keras menentang kebijakan
Themistokles.[107]
Pada tahun 483 SM, lapisan perak yang besar ditemukan di pertambangan Athena di Laurion.[108]
Themistokles mengusulkan supaya perak itu digunakan untuk membangun armada kapal trireme
baru. Supaya usulannya diterima, Themistokles berbohong dan mengatakan bahwa Athena
membutuhkan armada tambahan untuk mendukung peperangan melawan Aigina.[109] Plutarkhos
berpendapat bahwa Themistokles secara berahti-hati tidak menyebut-nyebut Persia karena
ancaman dari Persia masih terlalu jauh dari Athena untuk ditanggapi, tapi Themistokles memang
memaksudkan armada tambahan itu untuk menghadapi Persia.[108] Fine berpendapat bahwa
banyak orang Athena yang mengakui bahwa armada laut tambahan memang dibutuhkan untuk
menahan Persia, yang persiapan kampanye militernya belum diketahui.[110] Ususlan
Themistokles dengan mudah disetujui, meskipun mendapat tentangan keras dari Aristides.
Lolosnya usulan itu kemungkinan karena banyaknya orang Athena yang ingin memperoleh
bayaran dengan menjadi pendayung kapal.[110] Tidak diketahui dari sumber kuno apakah 100
atau 200 kapal yang pada awalnya disetujui; baik Fine maupun Holland berpendapat bahwa pada
awalnya 100 kapal disetujui lalu jumlah ini bertambah sampai seperti yang ada pada invasi
kedua.[109][110] Aristides terus-menerus menetang kebijakan Themistokles, dan ketegangan di
antara kedunya terus meningkat, jadi ostrakisme pada tahun 482 SM menjadi kontes langsung
antara Themistokles dan Aristides.[109] Dalam apa yang Holland sebut sebagai, pada dasarnya,
referendum pertama di dunia, Aristides diostrakisasi, dan kebijakan Themistokles disahkan.[109]
Dan memang, karena semakin menyadari persiapan Persia untuk melakukan invasi kedua, rakyat
Athena memilih untuk membuat kapal lebih banyak daripada permintaan Themistokles.[109]
Dengan demikian, menjelang invasi Persia, Themistokles telah menjadi politisi terkemuka di
Athena.[111]
Sparta
Raja Sparta Demaratos dijatuhkan dari tahtanya pada tahun 492 SM, dan digantikan oleh
sepupunya Leotykhides. Setelah tahun 490 SM, Demaratos yang merasa sakit hati kemudian
memilih mengasingkan diri. Dia sampai di istana Darius di Susa.[87] Sejak itu Demaratos menjadi
penasehat Darius untuk urusan Yunani. Ketika Xerxes naik tahta, Demaratos terus bertugas
sebagai pensehat. Dia bahkan ikut menemani Xerxes pada invasi kedua Persia.[112] Pada akhir
buku 7 Herodotos, ada sebuah anekdot yang berkaitan dengan invasi kedua, diceritakan
Demaratos mengirimkan lembaran kayu berlapis lilin kosong ke Sparta. Keika lilinnya
dihilangkan, sebuah pesan terlihat. Pesan tersebut diukir pada kayu yang dilapisi lilin itu dan
isinya adalah memperingatkan Sparta mengenai rencana Xerxes.[113] Akan tetapi, banyak
sejarawan percaya bahwa bab ini dimasukkan ke dalam tulisan Herodotos oleh penulis pada
masa selanjutnya, kemungkinan untuk mengisi kekosongan antara akhir buku 7 dan awal buku 8.
Kebenaran kisah tersebut dengan demikian tidak diketahui secara pasti.[114]
Persekutuan Yunani
Pada tahun 481 SM, Xerxes mengirim utusan ke seluruh Yunani untuk meminta tanah dan air
sebagai lambang penyerahan diri, tapi utusan-utusannya secara sengaja tidak datang ke Athena
dan Sparta.[115] Dengan demikian dukungan mulai diberikan kepada dua negara ini. Kongres
negara kota diadakan di Korinthos pada akhir musim gugur pada tahun 481 SM, dan aliansi
konfederasi negara kota Yunani dibentuk.[116] Konfederasi ini memiliki kekuasaan untuk
mengirim utusan untuk meminta bantuan dan untuk menarik pasukan dari tiap negara
anggotanya demi membentuk pasukan gabungan. Herodotos tidak menyebut nama persekutuan
itu tetapi hanya menyebutnya "οἱ Ἕλληνες" (bangsa Yunani) dan "orang Yunani yang
bersekutu" (terjemahan Godley) atau "orang Yunani yang bersatu" (terjemahan Rawlinson).[117]
Setelah itu, mereka disebut sebagai 'Sekutu'. Sparta dan Athena berperan penting dalam kongres
tersebut tapi minat negara kota lainnya juga ikut menentukan dalam mewujudkan strategi
pertahanan.[118] Hanya sedikit yang diketahui tentang pekerjaan internal mengenai diskusi
kongres dalam pertemuannya. Hanya 70 dari sekitar 700 negara kota Yunani yang mengirim
perwakilan. Meskipun demikian, persatuan ini sangat penting bagi dunia Yunani yang terpecahpecah, khususnya karena banyak negara kota Yunani yang pada saat itu masih saling berperang
satu sama lain.[119]
Invasi kedua ke Yunani (480–479 SM)
Awal 480 SM: Thrakia, Makedonia dan Thessalia
Setelah menyeberang ke Eropa pada bulan April 480 SM, pasukan Persia mulai memasuki
Yunani, dan memakan waktu tiga bulan untuk berjalan tanpa halangan dari Hellespontos ke
Therme. Mereka berhenti sejenak di Doriskos, di sana mereka bergabung dengan armada laut.
Xerxes mereorganisasi pasukan menjadi unit-unit taktis menggantikan formasi nasional yang
sebelumnya digunakan untuk berjalan dari Persia.[120]
Persitiwa penting pada invasi kedua ke Yunani.
Persekutuan Yunani kembali melakukan pertemuan pada musim semi tahun 480 SM dan setuju
untuk mempertahankan Lembah Tempe di perbatasan Thessalia dan menghalangi gerak maju
Xerxes.[121] Akan tetapi, begitu tiba di sana, mereka diperingatkan oleh Alexandros I dari
Makedonia bahwa lembah tersebut dapat dilewatkan oleh pasukan Persia dan bahwa pasukan
Xerxes terlalu besar, sehingga pasukan Yunani pun mundur.[122] Tidak lama setelah itu, mereka
mendapat berita bahwa Xerxes telah menyeberangi Hellespontos.[122] Pada titik ini, strategi
kedua diusulkan oleh Themistokles kepada persekutuan Yunani. Rute menuju Yunani selatan
(Boiotia, Attika dan Peloponnesos) membuat Xerxes harus berjalan melalui celah sempit di
Thermopylae. Celah tersebut dapat dengan mudah ditutupi oleh hoplites Yunani, meskipun
pasukan Persia jauh lebih banyak. Selain itu, guna mencegah pasukan Persia lewat melalui jalur
lainnya, maka armada laut Athena dan sekutu akan menjaga selat Artemision. Strategi ganda ini
diterima oleh persekutuan Yunani.[123] Namun, kota-kota Peloponnesos membuat rencana gerakmundur untuk mempertahankan Tanah genting Korinthos jika diperlukan, sementara wanita dan
anak-anak Athena dievakuasi ke kota Troezen di Peloponnesos.[124]
Agustus 480 SM: Pertempuran Thermopylae dan Artemision
Perkiraaan waktu kedatangan Xerxes bertepatan dengan waktu Olimpiade dan festival Karneia.
Bagi rakyat Sparta, perang tidak boleh dilakukan pada periode tersebut.[125] Meskipun waktunya
tidak tepat, rayat Sparta merasa bahwa ancaman Persia begitu besar sehingga mereka
mengirimkan raja mereka Leonidas I bersama pengwal pribadinya (Hippeis) yang terdiri dari 300
prajurit. Prajurit muda dalam pasukan itu digantikan oleh veteran yang sudah memiliki anak.
Dengan demikian, jikalau mereka mati pada pertempuran nanti, garis keturunan mereka tetap
dapat berlanjut.[125] Leonidas dibantu oleh kontingen dari kota-kota sekutu di Peloponnesos dan
juga dari kota-kota sekutu yang disinggahi dalam perjalanan ke Thermopylae.[125] Pasukan
Yunani tiba di celah itu, membangun kembali tembok yang pernah dibangun oleh orang Phokis
di titik tersempit di celah itu, lalu menanti kedatangan pasukan Xerxes.[126]
Celah Thermopylae.
Ketika pasukan Persia tiba di Thermopylae pada pertengahan Agustus, selama tiga hari mereka
menunggu pasukan Yunani untuk membubarkan diri. Ketika Xerxes sadar bahwa pasukan
Yunani memang berniat mempertahankan celah itu, dia kemudian mengirimkan pasukannya.[127]
Namun, posisi pasukan Yunani sangat ideal untuk peperangan hoplites. Kontingen Persia
dipaksa untuk menyerang phalanx Yunani.[128] Pasukan Yunani bertahan selama dua hari penuh
menghadapi serangan Persia, termasuk serangan dari pasukan elit Persia, Pasukan Abadi.
Menjelang akhir hari kedua, pasukan Yunani dikhianati oleh seorang penduduk lokal bernama
Ephialtes, yang memberitahu Xerxes tentang jalan gunung yang terletak di belakang pasukan
Yunani. Pengintai Yunani melihat bahwa pasukan Persia hendak mengepung pasukan Yunani,
maka dari itu Leonidas memerintahkan sebagian besar prajurit untuk mundur, sedangkan
sisanya, sekitar 2.000 orang, dengan dipimpin olehnya, akan terus mempertahankan celah. Pada
hari terakhir, sisa-sisa pasukan Yunani mencoba membunuh sebanyak mungkin prajurit Persia
namun pada akhirnya mereka semua dibunuh atau ditangkap.[129] Perlawanan terakhir pasukan
Yunani di bawah pimpinan Leonidas itu menjadi salah satu perlawanan terakhir paling terkenal
dalam sejarah.
Bersamaan dengan Pertempuran di Thermopylae, armada laut Yunani yang terdiri dari 271
trireme, berusaha mempertahankan Selat Artemision melawan Persia, sekaligus melindungi
pasukan Yunani di Thermopylae.[130] Di sini, armada laut Yunani menahan Persia selama tiga
hari. Pada petang hari ketiga, armada laut Yunani menerima kabar tentang kekalahan Leonidas
dan pasukannya di Thermopylae. Karena armada laut Yunani sudah mengalami banyak
kerusakan, dan karena Thermopylae sudah tak perlu lagi dilindungi, maka armada laut Yunani
akhirnya mundur dari Artemision ke pulau Salamis.[131]
September 480 SM: Pertempuran Salamis
Kekalahan Yunani di Thermopylae membuat Boiotia jatuh ke tangan Xerxes; dan membuat
Attika terbuka lebar untuk diserang. Sisa penduduk Athena dievakuasi, dengan bantuan armada
Yunani, ke Salamis.[132] Pasukan Yunani di Peloponnesos mulai bersiap untuk mempertahankan
garis pertahanan di Tanah genting Korinthos, membangun dinding dan menghancurkan jalan dari
Megara, membiarkan kota Athena dimasuki pasukan Persia.[133] Dengan demikian Athena jatuh
ke tangan Persia; sekelompok kecil orang Athena berusaha melindungi Akropolis dan pada
akhirnya dikalahkan. Xerxes lalu memerintahkan supaya Athena dihancurkan dan Akropolis
dibakar.[134]
Pertempuran Salamis (1868) oleh Wilhelm von Kaulbach.
Persia kini menguasai sebagian besar Yunani, tapi Xerxes barangkali tidak menduga akan
mendapat perlawanan sekeras itu; prioritasnya kini adalah menyelesaikan perang secepat
mungkin.[135] Jika Xerxes dapat memusnahkan angkatan laut Yunani, maka dia akan berada pada
posisi yang kuat untuk memaksa Yunani menyerah;[136] Di pihak Yunani, Themistokles berharap,
dengan menghancurkan angkatan laut Persia, maka penaklukan total oleh Persia dapat
dicegah.[137] Armada laut Yunani dengan demikian tetap berada di lepas pantai Salamis hingga
September, meskipun Persia akan segera datang. Bahkan setelah Athena jatuh, sisa-sia armada
laut Yunani tetap bertahan di Samais, mencoba memancing armada Persia untuk bertempur.[138]
Sebagian karena ditipu oleh Thmistokles, armada Persia memasuki Selat Salamis.[139] Di selat
yang sempit itu, kapal Persia yang terlalu banyak justru menjadi rintangan, karena kapal-kapal
mereka menjadi sulit bermanuver dan tidak terorganisir.[140] Melihat kesempatan ini, armada laut
Yunani menyerang dan meraih kemenangan telak atas Persia. Mereka menenggelamkan atau
menangkap setidaknya 200 kapal. Dengan demikian, Peloponessos tetap aman.[141]
Berdasarkan Herodotos, setelah kekalahan itu Xerxes sempat berupaya membangun jalan
melintasi kanal untuk menyerang para pengungsi Athena di Salamis, tapi proyek ini dengan
segera dihentikan. Dengan hilangnya kekuatan laut Persia, Xerxes merasa takut bahwa pasukan
Yunani akan berlayar ke Hellepontos dan menghancurkan jembatan pontonnya. Jika jembatan itu
dihancurkan, maka pasukan darat Persia akan terjebak di Yunani.[142] Jenderalnya, Mardonios,
bersedia tetap tinggal di Yunani dan menyelesaikan sisa penaklukan dengan sekumpulan
pasukan yang dipilihnya sendiri, sementara Xerxes kembali ke Asia bersama sebagian besar
pasukannya.[143] Mardonios melewati musim dingin di Boiotia dan Thessalia; dengan demikian,
rakyat Athena dapat kembali ke kota mereka, yang sudah dibakar, pada musim dingin.[135]
Juni 479 SM: Pertempuran Plataia dan Mykale
Seusai musim dingin, muncul ketegangan di pihak Yunani. Khususnya, orang Athena, yang tidak
dilindungi oleh Tanah genting, padahal armada laut Athena merupakan kunci diamankannya
Peloponessos. Merasa tidak puas, Athena menolak ikut serta dalam armada laut Yunani pada
musim semi.[144] Mardonios bertahan di Thessalia, karena dia tahu bahwa tak ada gunanya
menyerang Tanah genting. Di lain pihak, pasukan Yunani juga tidak mau mengirim tentara
keluar dari Peloponnesos, sehingga terjadilah kebuntuan.[144] Mardonios bergerak untuk
memecah kebuntuan, dengan menawarkan perdamaian kepada Athena, menggunakan
Alexandros I dari Makedonia sebagai penengah.[145] Rakyat Athena memastikan bahwa delegasi
Sparta mendengar tawaran itu, lalu kemudian menolaknya.[145] Dengan demikian, Athena lagilagi harus dievakuasi, dan pasukan Persia bergerak ke selatan lalu kembali menguasai Athena.
Mardonios kini kembali menawarkan perdamaian kepada para pengungsi Athena di Salamis.
Athena, bersama Megara dan Plataia, mengirim utusan ke Sparta untuk meminta bantuan, dan
mengancam akan menerima tawaran Persia jika Sparta tidak mau menolong.[146] Sebagai
tanggapannya, Sparta mengirim sejumlah besar pasukan dari kota-kota Peloponnesos dan
bergerak menuju pasukan Persia.[147]
Peta Pertempuran Plataia, gerak mundur pasukan Yunani menjadi kacau dan pasukan Persia
menyeberangi sungai Asopos untuk menyerang pasukan Yunani.
Ketika Mardonius mengetahui bahwa pasukan persekutuan Yunani sudah bergerak, dia pun
mundur ke Boiotia, di dekat Plataia, dan berusaha memancing pasukan Yunani ke daerah terbuka
supaya dia dapat menggunakan kavalerinya.[148] Pasukan Yunani, di bawah komando Pausanias,
bertahan di dataran tinggi di atas Plataia supaya mereka tidak terjebak oleh strategi Persia.[149]
Setelah beberapa hari terjadi kebuntuan, Pausanis memerintahkan pasukan Yunani untuk mundur
ke posisi asalnya pada malam hari.[149] Gerakan mundur ini terjadi secara kacau, dan membuat
pasukan Athena, Sparta, serta Tegea terjebak di bukit tertutup, sementara kontingen-kontingen
lainnya tersebar terpisah-pisah di dekat Plataia.[149] Melihat keadaan ini, pasukan Persia merasa
bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menyerang. Mardonios memerintahkan seluruh
pasukannya untuk maju.[150] Namun, infantri Persia terbukti tidak dapat menandingi hoplites
Yunani yang bersenjata berat,[151] dan pasukan Sparta berhasil mendobrak barisan pengawal
Mardonios lalu membunuhnya.[152] Setelah itu, pasukan Persia menjadi panik dan kocar-kacir;
40.000 prajurit berhasil menyelamatkan diri melalui jalan ke Thessalia,[153] tapi sisanya kabur ke
ke perkemahan Persia dan di sana mereka dikepung lalu dibantai oleh pasukan Yunani. Peristiwa
ini sekaligus memastikan kemenangan Yunani.[154][155]
Herodotos menceritakan bahwa, pada sore hari dalam Pertempuran Plataia, rumor mengenai
kemenangan Yunani didengar oleh armada laut Yunani, yang ketika itu sedang berada di lepas
pantai Gunung Mykale di Ionia.[156] Semangat mereka langsung meningkat, dan armada laut
Yunani maju untuk melawan armada Persia di sana. Dalam Pertempuran Mykale itu, yang
berlangsung pada hari yang sama dengan Pertempuran Plataia, pasukan Yunani meraih
kemenangan dan menghancukan sisa-sisa angkatan laut Persia, sekaligus melumpuhkan kekuatan
laut Xerxes, dan menandai kebangkitan angkatan laut Yunani.[157] Sementara para sejarawan
modern meragukan apakah peristiwa di Mykale benar-benar terjadi pada hari yang sama dengan
peristiwa di Plataia, namun Pertempuran Mykale hanya dapat terjadi setelah armada laut Yunani
menerima berita dari Plataia.[158]
Serangan balik Yunani (479–478 SM)
Mykale dan Ionia
Peristiwa di Mykale menjadi awal dari fase baru dalam konflik Yunani-Persia, yang mana pihak
Yunani mulai melakukan ofensif terhadap Persia.[159] Kemenangan Yunani di Mykale
menyebabkan kota-kota Yunani di Asia kecil kembali memberontak. Orang Samos dan orang
Miletos telah secara aktif bertempur melawan Persia di Mykale, dan secara terbuka menyatakan
pemberontakan mereka, yang kemudian diikuti pula oleh kota-kota lainnya.[160][161]
Sestos
Tidak lama setelah peristiwa di Mykale, pasukan Yunani berlayar ke Hellespontos untuk
menghancurkan jembatan ponton, tapi mereka mendapati bahwa jembatan itu ternyata sudah
tidak ada.[162] Armada Peloponnesos lalu berlayar kembali ke Yunani, tapi pasukan Athena tetap
berada di sana untuk menyerang Khersonesos, yang masih dikuasai oleh Persia.[162] Pasukan
Persia dan sekutu mereka berjaga di Sestos, kota terkuat di daerah itu. Di antara mereka adalah
Oiobazos dari Kardia, yang memiliki tali dan berbagai perlengkapan lainnya bekas dari jembatan
ponton Persia.[163] Gubernur Persia di sana, yaitu Artayktes, tidak pernah bersiap untuk
menghadapi suatu pengepungan, karena dia percaya bahwa pasukan Yunani tidak akan
menyerang.[164] Dengan demikian, pasukan Athena dapat melakukan pengepungan terhadap kota
Sestos.[162] Pengepungan itu berlangsung selama beberapa bulan, dan menyebabkan banyak
ketegangan serta ketidakpuasan bahkan di kalangan pasukan Athena sendiri,[165] tapi pada
akhirnya kota itu kehabisan makanan dan pasukan Persia yang ada di sana melarikan diri pada
malam hari melalui tempat yang penjagaannya kurang.[166] Dengan demikian, Athena dapat
menguasai kota itu keesokan hari.[166]
Sebagian besar prajurit Athena dikirim untuk mengejar pasukan Persia yang kabur.[166]
Kelompok Oiobazos ditangkap oleh satu suku Thrakia, dan Oiobazos sendiri dikurbankan untuk
dewa Plistoros.[167] Sementara itu pasukan Athena berhasil menangkap Artayktes, dan
membunuh beberapa prajurit Persia yang ada bersamanya, tapi pasukan Athena menawan
sebagian besar dari mereka, termasuk Artayktes.[167] Artayktes disalibkan atas permintaan warga
Elaios, sebuah kota yang pernah dijarah oleh Artayktes.[168] Setelah tak ada lagi urusan di Sestos,
pasukan Athena pun berlayar pulang, dan tidak lupa mereka membawa tali dari jembatan ponton
Persia sebagai trofi kemenangan atas Persia.[169]
Citra satelit yang menunjukkan pulau Siprus.
Siprus
Pada tahu 478 SM, perjanjain persekutuan di Yunani masih berlangsung, dan mereka mengirim
sebuah armada yang terdiri dari 20 kapal dari Peloponnesos serta 30 kapal Athena, dengan tujuan
mendukung kota-kota sekutu yang jumlahnya tidak diketahui. Armada itu dipimpin oleh
Pausanias. Menurut Thukydides, armada ini berlayar ke Siprus dan "menduduki sebagian besar
pulau tersebut".[170] Tidak diketahui secara pasti apa maksud Thukydides. Sealey berpendapat
bahwa ini pada pada sarnya adalah penyerangan untuk menjarah sebanyak mungkin harta dari
garnisun Persia di Siprus.[171] Ada dugaan bahwa pasukan Yunani berniat untuk menguasai pulau
tersebut, dan tidak lama setelah itu, mereka berlayar ke Byzantion.[170] Yang jelas, fakta bahwa
Liga Delos berulang kali melakukan kampanye militer di Siprus menunjukkan bahwa di pulau
itu tidak didirikan garnisun oleh Yunani pada tahun 478 SM, dan jikapun ada garnisun Yunani,
maka kemungkinan besar garnisun itu dengan cepat diusir.
Byzantion
Armada Yunani berlayar ke Byzantion, yang kemudian mereka kepung, dan pada akhirnya
mereka kuasai.[170] Kendali atas Sestos dan Byzantion menjadikan pasukan Yunani memiliki
kuasa atas selat antara Eropa dan Asia (yang penah dilalui oleh Persia), dan memungkinkan
mereka mengakses jalur perdagangan di Laut Hitam.[172]
Akibat dari pengepungan itu terbukti membawa masalah bagi Pausanias. Tidak diketahui secara
jelas apa yang terjadi; Thukydides memberi sedikit rincian, meskipun penulis pada masa
berikutnya menambahkan banyak tuduhan mengerikan.[172] Melalui arogansi dan tindakannya
yang semena-mena (Thukydides menyebutnya "kekejaman"), Pausanias berhasil mengucilkan
banyak kontingen pasukan Yunani, khusunya yang baru saja bebas dari kekuasaan
Persia.[171][172][173] Orang-orang Ionia dan beberapa lainnya meminta Athena untuk mengambil
alih kepemimpinan kampanye, dan Athena menyetujui hal ini.[173] Sparta, setelah mengetahui
perilaku Pasuanias, segera memanggilnya dan mengadilinya atas tuduhan bekerjasama dengan
musuh, Meskipun Pausanias dibebaskan, tapi reputasinya sudah rusak dan dia tak lagi diizinkan
memimpin pasukan Yunani.[173]
Pausanias kembali ke Byzantion sebagai warga negara pada tahun 477 SM, dan menguasai kota
itu sampai dia diusir oleh orang Athena. Dia lalu menyeberangi Bosporus dan bermukim di
Kolonai di Troad, sampai kemudian dia lagi-lagi dituduh bekerjasama dengan dengan Persia. Dia
dipanggil lagi ke Sparta dan kembali diadili. Setelah itu, dia membuat dirinya kelaparan sampai
mati.[174] Waktu kejadiannya tidak jelas, tapi Pausanias mungkin menguasai Byzantion sampai
tahun 470 SM.[174]
Peperangan Liga Delos (477–449 SM)
Athena dan "kekaisaran"nya pada tahun 431 SM. Kekaisaran Athena adalah keturunan langsung dari
Liga Delos.
Liga Delos
Setelah peristiwa Byzantion, Sparta diduga sangat ingin mengehentikan keterlibatan mereka
dalam perang. Sparta berpendapt bahwa dengan dibebaskannya Yunani daratan dan kota-kota
Yunani di Asia Kecil, maka tujuan perang sudah tercapai. Selain itu, Sparta juga kemungkinan
merasa bahwa tidak mungkin memberi keamanan jangka panjang untuk kota-kota Yunani di
Asia.[175] Setelah peristiwa di Mykale, raja Sparta Leotykhides sudah mengusulkan untuk
memindahkan seluruh orang Yunani dari Asia Kecil ke Eropa sebagai satu-satunya cara yang
permanen untuk membebaskan mereka dari ancaman Persia. Xanthippos, komandan Athena di
Mykale, secara keras menolak usulan ini. Kota-kota Ionia pada awalnya merupakan koloni
Athena, dan menurutnya, orang Athenalah yang akan melindungi kota-kota Ionia.[175] Pada saat
inilah, kepemimpinan pasukan Yunani mulai secara efektif beralih kepada Athena.[175] Dengan
mundurnya Sparta dari Byzantion, kepemimpinan Athena atas pasukan Yunani semakin terlihat
jelas.
Persekutuan negara kota Yunani yang longgar yang telah bertempur melawa invasi Xerxes, dulu
didominasi oleh Sparta bersama Liga Peloponnesosnya. Kini dengan penarikan mundur Sparta
dan sekutu-sekutunya, kongres negara kota kembali diselengarakan di pulau Delos yang suci
untuk membentuk sebauh persekutuan baru untuk melanjutkan perlawanan terhadap Persia.
Persekutuan baru ini meliputi banyak negara kota di Aigea dan secara formal didirikan sebagai
'Persekutuan Athena Pertama', lebih dikenal sebagai Liga Delos. Menurut Thukydides, tujuan
resmi Liga ini adalah untuk "membalas penderitaan dengan cara menghancurkan wilayah kaisar
[Persia]".[176] Pada kenyataannya, tujuan ini dibagi menjadi tiga usaha utama—mempersiapkan
invasi pada masa depan, memberi pembalasan kepada Persia, dan mengatur pembagian harta
rampasan perang. Tiap anggotanya boleh memilih untuk menyediakan pasukan bersenjata atau
membayar pajak, yang disimpan sebagai kas bersama; sebagian besar negara kota memilih untuk
membayar pajak.[176]
Kampanye melawan Persia
Peta yang menunjukkan lokasi pertempuran yang dilakukan oleh Liga Delos, 477–449 SM
Sepanjang tahun 470-an SM, Liga Delos melakukan kampanye militer di Thrakia dan Aigea
untuk menumpas sisa-sisa garnisun Persia dari daerah itu, terutama di bawah komando politisi
Athena, Kimon.[177] Pada awal dekade berikutnya, Kimon mulai melakukan kampanye militer di
Asia Kecil, berupaya untuk menguatkan posisi Yunani di sana.[178] Pada Pertempuran
Eurymedon di Pamphylia, pasukan Athena dan armada sekutunya meraih kemenangan ganda
yang sangat telak, mereka menghancurkan armada laut Persia dan kemudian melabuhkan
pasukan daratnya, yang juga berhasil mengalahkan pasukan darat Persia. Setelah pertempuran
ini, pihak Persia pada dasarnya bertindak lebih pasif dan defensif, mereka berusaha tidak tertalu
mengambil resiko dalam pertempuran.[179]
Menjelang akhir tahun 460-an SM, Athena menutuskan untuk menjalankan keputusan yang
sangat ambisius, yaitu mendukung pemberontakan di kesatrapan Mesir di Kekaisaran Persia.
Meskipun pasukan Yunani pada awalnya meraih keberhasilan, namun mereka tidak mampu
menguasai garnisun Persia di Memphis, meskipun mereka telah mengepungnya selama tiga
tahun.[180] Pasukan Persia lalu melancarkan serangan balik, dan kali ini giliran pasukan Athena
yang dikepung selama 18 bulan, sebelum kemudian disapu habis.[181] Kegagalan ini, ditambah
dengan peperangan yang sedang berlangsung melawan Sparta di Yunani, membuat Athena
terpaksa menghentikan perseteruannya dengan Persia.[182] Akan tetapi, pada tahun 451 SM,
sebuah perjanjian damai disepakati di Yunani, sehingga Kimon dapat memimpin sebuah
ekspedisi ke Siprus. Namun, ketika sedang mengepung kota Kition, Kimon meninggal dan
pasukan Athena terpaksa harus mundur, memenangkan kemenangan ganda lainnya pada
Pertempuran Salamis-di-Siprus dengan tujuan menyelesaikan konflik ini.[183] Kampanye ini
menandai akhir peperangan antara Liga Delos dan Persia, dan sekaligus mengakhiri Perang
Yunani-Persia.[184]
Kesepakatan damai
Setelah Pertempuran Salamis-di-Siprus, Thukydides tidak lagi menyebutkan konflik dengan
Persia, dia hanya menuliskan bahwa pasukan Yunani pulang.[183] Diodoros, di lain pihak,
mengklaim bahwa setelah peristiwa di Salamis, sebuah perjanjain damai ("Perdamaian Kallias")
disepakati oleh pihak Yunani dan Persia.[185] Diodoros barangkali mengikuti sejarah yang ditulis
oleh Ephoros, yang diduga dipengaruhi oleh gurunya. Isokrates —yang darinya dipercaya ada
rujukan tertua mengenai perdamaian tersebut, pada tahun 380 SM.[18] Bahkan pada abad ke-4
SM, gagasan mengenai perjanjian itu cukup kontorversial, dan dua penulis dari periode itu, yakni
Kallisthenes dan Theopompos, nampak menolaknya terjadinya perjanjian itu.[186]
Ada kemungkinan, sebelumnya pihak Athena sudah pernah berupaya bernegosiasi dengan
Persia. Plutarkhos berpendapat bahwa setelah peristiwa di Eurymedon, Artaxerxes setuju untuk
mengadakan kesepakatan damai dengan Yunani, bahkan perjanjian itu dinamai dari nama utusan
dari Athena, yaitu Kallias, yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi, seperti yang
diakui oleh Plutarkhos, Kallisthenes menolak bahwa perjanjian macam itu disepakati pada titik
ini (sek. 466 SM).[179] Herodotos juga menyebutkan bahwa Athena diwakili oleh kallias, yang
dikirim ke Susa untuk bernegosiasi dengan Artaxerxes.[187] Utusan ini meliputi beberapa
perwakilan Argos dan dengan demikian barangkali terjadi sekitar 461 SM (setelah Athena
bersekutu dengan Argos).[18] Utusan ini mungkin telah berusaha untuk mencapai semacam
kesepakatan damai, dan bahkan diduga bahwa kegagalan dari negosiasi ini berujung pada
keputusan Athena untuk mendukung pemberontakan di Mesir.[188] Dengan demikian, Sumbersumber kuno pada umumnya saling berbeda pendapat mengenai apakah benar-benar pernah
terjadi kesepakatan damai. Dan jika memang terjadi, tanggal pastinyaa juga masih
diperdebatkan.
Para sejarawan modern juga berbeda pendapat; misalnya, Fine menerima konsep Perdamaian
Kallias,[18] sedangkan Sealey menolaknya.[189] Holland menerima bahwa semacam diskusi terjadi
antara Yunani dan Persia tapi tidak pernah terjadi kesepakatan damai.[190] Fine berpendapat
bahwa pendapat Kallisthenes, yang menyangkal bahwa perjanjian damai dibuat setelah peristiwa
Eurymedon, tidak menutupi kemungkinan dilaksanakannya perjanjidan damai pada waktu
lainnya. Lebih jauh lagi, Fine berpendapat bawha Theopompos sebenarnya merujuk pada
perjanjian damai yang diduga telah dinegosiasikan dengan Persia pada tahun 432 SM.[18] Jika
pendapat ini benar, maka akan menghilangkan satu halangan besar terhadap penerimaan
terjadinya perjanjian damai. Bukti lainnya yang mendukung adanya perjanjian damai adalah
penarikan mundur Athena yang tiba-tiba dari Siprus pada tahun 449 SM, yang menurut Fine
cukup masuk akal jika dilakukan karena adanya perjanjian damai.[191] Di lain pihak, jika memang
ada perjanjian damai, adalah sangat aneh Thukydides tidak menyebutkannya. Dalam digresinya
tentang pentekontaitia, tujuannya adalah menjelaskan kebangkitan kekuasaan Athena. Dan
dalam narasinya, Thukydides tidak lupa menguraikan keterlibatan para sekutu dari Liga Delos
dalam perkembangan itu, jadi jika ada perjanjian damai, tentu akan menjadi salah satu tahap
penting dalam sejarah perkembangan Athena.[192] Ada pula yang berpendapat bahwa ada bagian-
bagian dalam tulisan Thukydides yang merujuk pada perjanjian damai.[18] Namun hingga kini
tidak ada kesepakatan di antara para sejarawan mengenai perjanjian damai tersebut.
Jika perjanjian itu benar-benar terjadi, isinya sangatlah memalukan bagi Persia, Naskah kuno
yang memberi rincian perjanjian itu cukup konsisten dalam menjabarkan ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian terssebut, antara lain:[18][185][186]




Semua kota Yunani di Asia merdeka dari kekuasaan Persia
Satrap Persia (dan mungkin pasukan daratnya) tidak boleh melakukan perjalanan ke
bagian barat dari Sungai Halys (menurut Isokrates) atau melakukan perjalanan lebih
pendek dari sehari dengan mengguanakan kuda ke Laut Aigea (menurut Kallisthenes)
atau melakukan perjalanan lebih pendek dari tiga hari dengan berjalan kaki ke ke Laut
Aigea (menurut Ephorus dan Diodoros).
Kapal perang Persia tidak boleh berlayar ke bagian barat Phaselis (di pesisir selatan Asia
Kecil), atau ke bagian barat Tebing Kyanaia (kemungkinan di ujung selatan Bosporus, di
pesisir utara Asia Kecil).
Jika semua syarat di atas dipatuhi oleh Persia, maka Athena tidak akan mengirim pasukan
ke tanah yang dikuasai oleh Persia.
Akibat dan konflik selanjutnya
Fase-fase pada Perang Peoponnesos.
Menjelang akhir konflik Yunani-Persia, proses yang mana Liga Delos menjadi Kekaisaran
Athena sudah semakin terlihat.[190] Meskipun Yunani sudah tak lagi berperang dengan Persia,
namun sekutu-sekutu Athena tetap diharuskan untuk mengirim kapal atau membayar uang
kepada Athena.[192] Di Yunani, Perang Peloponnesos Pertama antara Athena dan Sparta, yang
berlangsung sejak tahun 460 SM dengan beberapa kali jeda, akhirnya berakhir pada tahun 445
SM, dengan perjanjian gencatan senjata untuk tiga puluh tahun berikutnya.[193] Namun,
perseturuan antara Sparta dan Athena tidak berakhir dan mereka kembali berperang 14 tahun
kemudian, bahkan sebelum gencatan senjata selesai, dan ini menandai dimulainya Perang
Peloponnesos Kedua.[194] Konflik yang menghancurkan ini, yang berlangsung selama 27 tahun,
pada akhirnya berujung pada musnahnya kekuasaan Athena dan bubarnya Kekaisaran Athena.
Ini juga menjadi awal dari hegemoni Sparta atas Yunani.[195] Akan tetapi, bukan hanya Athena
yang menderita akibat perang ini, karena konflik ini secara signifikan telah melemahkan seluruh
Yunani.[196]
Berulang kali dikalahkan dalam pertempuran oleh Yunani, dan direpotkan oleh banyak
pemberontakan dalam negeri yang mengganggu kemampuan Persia melawan Yunani, akhirnya
setelah tahun 449 SM, Kaisar Artaxerxes I dan para penerusnya menggunakan cara yang
berbeda, yaitu politik adu domba.[196] Persia tidak lagi secara langsung menyerang Yunani,
melainkan berusaha membuat Athena berperang melawan Sparta. Persia secara rutin menyuap
para politisi di Yunani untuk mencapai tujuan mereka. Dengan cara ini, orang-orang Yuanni
sibuk berperang satu sama lain dan tidak lagi menaruh perhatin untuk menyerang Persia.[196]
Tidak ada konflik terbuka antara Yunani dan Persia sampai tahun 396 SM, ketika raja Sparta
Agesilaos menginvasi Asia Kecil, itu pun tidak lama. Seperti ditulis oleh Plutarkhos, orang
Yunani terlalu sibuk melihat hancurnya kekuatan mereka sendiri dan tidak mampu menyerang
"orang barbar".[184]
Peperangan Liga Delos telah membuat berpindahnya keseimbangan kekuatan antara Yunani dan
Persia, sehingga Yunani menjadi pihak yang lebih kuat. Tapi selama setengah abad berikutnya,
konflik di Yunani telah membuat keseimbangan kekuatan kembali beralih pada Persia. Persia
memasuki Perang Peloponnesos pada tahun 411 SM, membentuk pakta pertahanan bersama
dengan Sparta dan menggabungkan angkatan laut mereka untuk melawan Athena. Sebagai
balasan atas bantuannya, Persia kembali memperoleh kendali atas Ionia.[197] Pada tahun 404 SM,
ketika Koresh Muda berusaha merebut tahta Persia, dia merekrut 13.000 tentara bayaran Yunani
dari seluruh dunia Yunani, dan Sparta sendiri mengirim 700–800 prajurit, percaya bahwa mereka
mengikuti perjanjian dan tidak menyadari tujuan utama pasukan itu.[198] Setelah Koresh gagal,
Persia kembali mencoba untuk menguasai kota-kota Ionia, yang memberontak selama Persia
sibuk melawan Koresh. Kota-kota Ionia menolak menyerah dan meminta bantuan kepada Sparta,
dan Sparta memberi bantuan pada tahun 396–395 SM.[199] Namun, Athena memihak Persia,
sehingga dimulai lagi konflik berskala besar di Yunani, yaitu Perang Korinthos. Menjelang akhir
konflik ini, pada tahun 387 SM, Sparta meminta bantuan Persia untuk mendukung posisinya.
Melalui "Perdamaian Kaisar", yang mengakhiri perang itu, kaisar Artaxerxes II berhasil
memperoleh kembali kota-kota Yunani di Asia Kecil dari pihak Sparta, sebagai balasan yang
mana Persia mengancam akan menyatakan perang kepada kota Yunani manapun yang tidak mau
berdamai.[200] Perjanjian ini memalukan bagi Yunani, dan juga membuat Yunani kehilangan
hampir semua yang telah diraih pada seabad sebelumnya. Dengan perjanjian ini, Sparta
menyerahkan kota-kota Yunani di Asia Kecil kepada Persia supaya Sparta tetap dapat menjaga
hegemoninya di Yunani.[201] Setelah perjanjian inilah, orang-orang Yunani mulai menyebutnyebut tentang Perdamaian Kallias (entah fiktif atau bukan). Pada titik ini, Perdamaian Kallias
menjadi kebalikan dari Perdamaian Kaisar. Perdamaian Kallias disebut sebagai contoh yang
menyenangkan pada "masa lalu yang jaya" ketika Yunani berhasil membebaskan Aigea dari
kekuasaan Persia melalui Liga Delos.[18] Konfrontasi terakhir antara dunia Yunani melawan
Kekaisaran Persia Akhemeniyah terjadi hanya 53 tahun kemudian, ketika pasukan Aleksander
Agung menyeberang ke Asia, menandai dimulainya apa yang kelak akan berakhir dengan
penghancuran Persepolis dan kejatuhan Kekaisaran Persia Akhemeniyah.
Catatan kaki
^ i: Jangka waktu terjadinya "Perang Yunani-Persia" berbeda-beda menurut beberapa pendapat,
dan penggunaan istilah "Perang Yunani-Persia" juga bervariasi di antara para akademisi sejarah;
Pemberontakan Ionia dan Peperangan Liga Delos kadang-kadang tidak diikutsertakan. Artikel ini
mencakup jangkauan maksimum dari Perang Yunani-Persia.
^ ii: Bukti arkeologi untuk Panionion sebelum abad ke-6 SM adalah kurang kuat, dan
kemungkinan kuil ini merupakan perkembangan pada masa berikutnya.[202]
^ iii: Meskipun secara historis kurang akurat, tapi legenda tentang seorang pembawa pesan
Yunani yang berlari ke Athena untuk menyampaikan berita kemenangan, menjadi inspirasi untuk
kegiatan olahraga, yang diperkenalkan pada Olimpiade Athena 1896, dan pada awalnya balapan
dilakukan dari Marathon ke Athena.[203]
Referensi
1. ^ Encyclopaedia Britannica: Greco-Persian Wars
2. ^ Ehrenberg, Victor (2011). From Solon to Socrates: Greek History and Civilization
During the 6th and 5th Centuries BC (edisi ke-3). Abingdon, England: Routledge.
hlm. 99–100. ISBN 978-0-41558487-6.
3. ^ Cicero, Mengenai Hukum I, 5
4. ^ a b c Holland, hlm. xvi–xvii.
5. ^ Thukydides, Sejarah Perang Peloponnesos, e.g.I, 22
6. ^ a b Finley, hlm. 15.
7. ^ Holland, hlm. xxiv.
8. ^ a b Holland, hlm. 377
9. ^ Fehling, hlm. 1–277.
10. ^ Finley, hlm. 16.
11. ^ Kagan, hlm. 77.
12. ^ Sealey, hlm. 264.
13. ^ Fine, hlm. 336.
14. ^ Finley, hlm. 29–30.
15. ^ a b Sealey, hlm. 248.
16. ^ Fine, hlm. 343
17. ^ misalnya Themistokles bab 25 memiliki rujukan ;langsung kepada Thukydides I, 137
18. ^ a b c d e f g h Fine, hlm. 360.
19. ^ Green, Greek History 480–431 BC, hlm. 1–13.
20. ^ Roebuck, hlm. 2
21. ^ Traver, hlm. 115–116.
22. ^ a b c Herodotos I, 42–151
23. ^ Thukydides I, 12
24. ^ Snodgrass, hlm. 373–376
25. ^ Thomas & Contant, hlm. 72–73
26. ^ Osborne, hlm. 35–37
27. ^ Herodotos I, 142
28. ^ Herodotos I, 143
29. ^ Herodotos I, 148
30. ^ Herodotos I, 22
31. ^ Herodotos I, 74–75
32. ^ Herodotos I, 26
33. ^ a b Holland, hlm. 9–12.
34. ^ Herodotos I, 53
35. ^ Holland, hlm. 13–14.
36. ^ a b Herodotos I, 141
37. ^ Herodotos I, 163
38. ^ Herodotos I, 164
39. ^ Herodotos I, 169
40. ^ a b c d e Holland, hlm. 147–151.
41. ^ a b Fine, hlm. 269–277.
42. ^ a b Holland, hlm. 155–157.
43. ^ a b c d e Lazenby, pp23–29
44. ^ a b c d e f Lazenby, hlm. 256
45. ^ Holland, hlm196
46. ^ Farrokh, hlm. 76
47. ^ Lazenby, hlm232
48. ^ Holland, pp69–72
49. ^ Holland, hlm. 217
50. ^ Lazenby, hlm. 227–228
51. ^ a b Lazenby, hlm34–37
52. ^ a b Herodotos VII, 89
53. ^ Herodotos VI, 9
54. ^ a b Holland, hlm. 153–154.
55. ^ Herodotos V, 31
56. ^ Herodotos V, 33
57. ^ Herodotos V, 100–101
58. ^ Herodotos V, 102
59. ^ Herodotos V, 116
60. ^ Herodotos V, 117
61. ^ Herodotos V, 121
62. ^ Boardman et al, hlm. 481–490.
63. ^ Herodotos VI, 6
64. ^ Herodotos VI, 8–16
65. ^ Herodotos lhttp://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Hdt.+6.19 VI, 19]
66. ^ Herodotos VI, 25
67. ^ Herodotos VI, 31–33
68. ^ a b c Holland, hlm. 175–177.
69. ^ a b Holland, hlm. 177–178.
70. ^ Herodotos VI, 43
71. ^ Holland, hlm. 153.
72. ^ a b Herodotos VI, 44
73. ^ Herodotos VI, 45
74. ^ a b Herodotos VI 48
75. ^ a b Holland, hlm. 181–183.
76. ^ Lind. Chron. D 1-59 in Higbie (2003)
77. ^ a b Holland, hlm. 183–186.
78. ^ a b Herodotos VI, 96
79. ^ Herodotos VI, 100
80. ^ a b c d Herodots VI, 101
81. ^ Herodotos [httpo//www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Hdt.+6.102 VI, 102]
82. ^ Lazenby, hlm. 59–62.
83. ^ a b Holland, hlm. 195–197.
84. ^ Herodotos VI, 117
85. ^ Herodotos VI, 115
86. ^ Herodotos VI, 116
87. ^ a b Holland, hlm. 202–203.
88. ^ Holland, hlm. 206–208.
89. ^ a b Holland, hlm. 208–211.
90. ^ Holland, hlm. 213–214.
91. ^ Herodotos VII, 7
92. ^ Herodotos VII, 150
93. ^ Herodotos VII,6
94. ^ Holland, hlm. 225.
95. ^ Holland, hlm. 263.
96. ^ Herodotos VII, 62-80
97. ^ Herodotos VII, 26
98. ^ Herodotos VII, 37
99. ^ Herodotos VII, 35
100.
^ de Souza, hlm. 41.
101.
^ Köster (1934)
102.
^ Holland, hlm. 320.
103.
^ a b Lazenby, hlm. 93–94.
104.
^ Green, hlm. 61.
105.
^ Burn, hlm. 331.
106.
^ a b c d e Holland, hlm. 214–217.
107.
^ Holland, hlm. 217–219.
108.
^ a b Plutarkhos, Themistokles, 4
109.
^ a b c d e Holland, hlm. 219–222.
110.
^ a b c Fine, hlm. 292
111.
^ Plutarkhos, Themistokles, 5
112.
^ Holland, hlm. 223–224.
113.
^ Herodotos VII, 239
114.
^ How & Wells, catatan untuk Herodotos VII, 239
115.
^ Herodotos VII, 32
116.
^ Herodoto VII, 145
117.
^ Herodotos, VII, 148
118.
119.
120.
121.
122.
123.
124.
125.
126.
127.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.
135.
136.
137.
138.
139.
140.
141.
142.
143.
144.
145.
146.
147.
148.
149.
150.
151.
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158.
159.
160.
161.
162.
163.
^ Herodotos VII, 160
^ Holland, hlm. 226.
^ Herodotos VII, 100
^ Holland, hlm. 248–249.
^ a b Herodotos VII, 173
^ Holland hlm. 255–257.
^ Herodotos VIII, 40
^ a b c Holland, hlm. 257–259.
^ Holland, hlm. 262–264.
^ Herodotos VII, 210
^ Holland, hlm. 274.
^ Herodotos VII, 223
^ Herodotos VIII, 2
^ Herodotos VIII, 21
^ Herodotos VIII, 41
^ Holland, hlm. 300.
^ Holland, hlm. 305–306
^ a b Holland, hlm. 327–329.
^ Holland, hlm. 308–309
^ Holland, hlm. 303.
^ Herodotos VIII, 63
^ Holland, hlm. 310–315
^ Herodotos VIII, 89
^ Holland, hlm. 320–326.
^ Herodotos VIII, 97
^ Herodotos VIII, 100
^ a b Holland, hlm. 333–335.
^ a b Holland, hlm. 336–338.
^ Herodotos IX, 7
^ Herodotos IX, 10
^ Holland, hlm. 339.
^ a b c Holland, hlm. 342–349.
^ Herodotos IX, 59
^ Herodotos IX, 62
^ Herodotos IX, 63
^ Herodotos IX, 66
^ Herodotos IX, 65
^ Holland, hlm. 350–355.
^ Herodotos IX, 100
^ Holland, hlm. 357–358.
^ Dandamaev, hlm. 223
^ Lazenby, hlm. 247.
^ Herodotos IX, 104
^ Thukydides I, 89
^ a b c Herodotos IX, 114
^ Herodotos IX, 115
164.
165.
166.
167.
168.
169.
170.
171.
172.
173.
174.
175.
176.
177.
178.
179.
180.
181.
182.
183.
112]
184.
185.
186.
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
^ Herodotos IX, 116
^ Herodotos IX, 117
^ a b c Herodotos +9.118 IX, 118
^ a b Herodotos IX, 119
^ Herodotos IX, 120
^ Herodotos IX, 121
^ a b c Thukydides I, 94
^ a b Sealey, hlm. 242
^ a b c Fine, hlm. 331.
^ a b c Thukydides I, 95
^ a b Fine, hlm. 338–339.
^ a b c Holland, hlm. 362.
^ a b Thukydides I, 96
^ Sealey, hlm. 250.
^ Plutarkhos, Kimon, 12
^ a b Plutarkhos, Kimon, 13
^ Thukydides I, 104
^ ThukydidesI, 109
^ Sealey, hlm. 271–273.
^ a b Thukydides http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Thuc.+1.112 I,
^ a b Plutarkhos, Kimon, 19
^ a b Diodoros XII, 4
^ a b Sealey, hlm. 280.
^ Herodotos VII, 151
^ Kagan, hlm. 84.
^ Sealey, hlm. 281.
^ a b Holland, hlm. 366.
^ Fine, hlm. 363.
^ a b Sealey, phlm 282.
^ Kagan, hlm. 128.
^ Holland, hlm. 371.
^ Xenophon, Hellenika II, 2
^ a b c Dandamaev, hlm. 256.
^ Rung, hlm. 36.
^ Xenophon, Hellenika III, 1
^ Xenophon, Hellenika III, 2–4
^ Xenophon, Hellenika V, I
^ Dandamaev, hlm. 294
^ Hall, hlm. 68
^ Holland, hlm. 198.
Sumber
Sumber kuno






Herodotos, Historia (terjemahan Godley, 1920)
o Uraian: W.W. How, J. Wells (1990). A commentary on Herodotus. Oxford
University Press. ISBN 0198721390.
Thukydides, Sejarah Perang peloponnesos
Xenophon, Anabasis, Hellenika
Plutarkhos, Kehidupan Paralel; Themistokles, Aristides, Perikles, Kimon
Diodoros Sikolos, Bibliotheke historika
Cornelius Nepos, Kehidupan Komandan Hebat; Miltiades, Themistokles
Sumber modern

















Boardman J, Bury JB, Cook SA, Adcock FA, Hammond NGL, Charlesworth MP, Lewis
DM, Baynes NH, Ostwald M & Seltman CT (1988). The Cambridge Ancient History, vol.
5. Cambridge University Press. ISBN 0521228042.
Burn, A.R. (1985). "Persia and the Greeks". di dalam Ilya Gershevitch, ed.. The
Cambridge History of Iran, Volume 2: The Median and Achaemenid Periods The
Cambridge Ancient History, vol. 5. Cambridge University Press. ISBN 0521228042.
Dandamaev, M. A. (1989). A political history of the Achaemenid empire (translated by
Willem Vogelsang). BRILL. ISBN 9004091726.
de Souza, Philip (2003). The Greek and Persian Wars, 499-386 BC. Osprey Publishing,
(ISBN 1-84176-358-6)
Farrokh, Keveh (2007). Shadows in the Desert: Ancient Persia at War. Osprey
Publishing. ISBN 1846031087.
Fine, John Van Antwerp (1983). The ancient Greeks: a critical history. Harvard
University Press. ISBN 0674033140.
Finley, Moses (1972). "Introduction". Thucydides – History of the Peloponnesian War
(translated by Rex Warner). Penguin. ISBN 0140440399.
Green, Peter (2006). Diodorus Siculus – Greek history 480–431 BC: the alternative
version (translated by Peter Green). University of Texas Press. ISBN 0292712774.
Green, Peter (1996). The Greco-Persian Wars. University of California Press. ISBN
0520205731.
Hall, Jonathon (2002). Hellenicity: between ethnicity and culture. University of Chicago
Press. ISBN 0226313298.
Higbie, Carolyn (2003). The Lindian Chronicle and the Greek Creation of their Past.
Oxford University Press. ISBN 0-19-924191-0.
Holland, Tom (2006). Persian Fire: The First World Empire and the Battle for the West.
Abacus. ISBN 0385513119.
Kagan, Donald (1989). The Outbreak of the Peloponnesian War. Cornell University
Press. ISBN 0801495563.
Köster, A.J. (1934). "Studien zur Geschichte des Antikes Seewesens". Klio Belheft 32.
Lazenby, JF (1993). The Defence of Greece 490–479 BC. Aris & Phillips Ltd. ISBN
0856685917.
Osborne, Robin (1996). Greece in the making, 1200-479 BC. Routledge. ISBN
041503583.
Roebuck, R (1987). Cornelius Nepos – Three Lives. Bolchazy-Carducci Publishers. ISBN
0865162077.





Rung, Eduard (2008). "Diplomacy in Graeco-Persian relations". di dalam de Souza, P &
France, J. War and peace in ancient and medieval history. University of California Press.
ISBN 052181703X.
Sealey, Raphael (1976). A history of the Greek city states, ca. 700-338 B.C.. University
of California Press. ISBN 0520031776.
Snodgrass, Anthony (1971). The dark age of Greece: an archaeological survey of the
eleventh to the eighth centuries BC. Routledge. ISBN 041593635.
Carol G. Thomas, Craig Conant (2003). Citadel to City-State: The Transformation of
Greece, 1200-700 B.C.E.. Indiana University Press. ISBN 0253216028.
Traver, Andrew (2002). From polis to empire, the ancient world, c. 800 B.C.-A.D. 500: a
biographical dictionary. Greenwood Publishing Group. ISBN 0313309426.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Yunani-Persia
Download