BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Rumah Sakit 1.1.1 Definisi Rumah

advertisement
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Rumah Sakit
1.1.1 Definisi
Rumah sakit adalah suatu organisasi kompleks yang memanfaatkan kombinasi
peralatan ilmiah rumit dan khusus, difungsikan oleh kesatuan orang-orang terlatih
dan terdidik untuk menghadapi berbagai masalah dalam bidang ilmu medis
modern dalam rangka pemulihan dan pemeliharaan kesehatan (Hassan, 1986).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 159b/1988 tentang rumah sakit,
menyatakan bahwa rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk
pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian.
1.1.2 Tugas dan Fungsi
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 983/Menkes/XI/1992 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum, tugas rumah sakit adalah melaksanakan
upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan
upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu
dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.
Dalam upaya melaksanakan tugas tersebut, secara umum rumah sakit mempunyai
fungsi sebagai berikut, menyelenggarakan pelayanan medis; menyelenggarakan
pelayanan penunjang medis dan nonmedis; menyelenggarakan pelayanan
keperawatan;
menyelenggarakan
pelayanan
rujukan;
menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan; menyelenggarakan penelitian dan pengembangan;
menyelenggarakan administrasi dan keuangan.
1.1.3 Sumber Daya Manusia
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
262/Menkes/Per/VII/1979 tentang Standardisasi Ketenagakerjaan Rumah Sakit
Pemerintah, sumber daya di rumah sakit dapat dikelompokkan ke dalam empat
kategori, yaitu tenaga medik, tenaga paramedik perawatan, tenaga medik
nonperawatan dan tenaga nonmedik.
i)
Tenaga Medik
Tenaga medik adalah seorang lulusan fakultas kedokteran atau
kedokteran gigi dan pasca sarjananya yang memberikan pelayanan
medik dan pelayanan penunjang medik. Yang termasuk ke dalam
tenaga medik adalah dokter ahli, dokter umum, dokter gigi, dan
lainnya.
ii)
Tenaga Paramedik Perawatan
Tenaga paramedik perawatan adalah seorang lulusan sekolah atau
akademi perawat kesehatan yang memberikan pelayanan paripurna.
Yang termasuk ke dalam tenaga paramedik adalah penata rawat,
perawat kesehatan, bidan, perawat khusus dan lainnya.
iii)
Tenaga Paramedik Nonperawatan
Tenaga paramedik nonperawatan adalah seorang lulusan atau
akademi bidang kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan
penunjang. Yang termasuk ke dalam tenaga medik nonperawatan
adalah analis, sarjana muda fisioterapi, sarjana muda gizi, asisten
analis, asisten apoteker, pengatur rawat gigi, pengatur rawat gizi,
tenaga sanitasi, penata anestesi, dan lainnya.
iv)
Tenaga Nonmedik
Tenaga nonmedik adalah seorang yang mendapatkan pendidikan
ilmu pengetahuan yang tidak termasuk pendidikan pada i), ii), iii) di
atas. Yang termasuk ke dalam tenaga nonmedik adalah sarjana
administrasi rumah sakit, sarjana muda pencatatan medik, apoteker,
sarjana kimia, sarjana kesehatan masyarakat, sarjana biologi, sarjana
fisika medik, psikolog, sarjana ekonomi, sarjana hukum, sarjana
teknik, sarjana akuntansi, sarjana administrasi, sarjana ilmu sosial,
sarjana sanitasi, sarjana muda teknik elektro medis, sarjana muda
teknik sipil, sarjana muda fisika kesehatan, sarjana muda statistik,
akademi sekretaris, lulusan Sekolah Lanjutan Atas (SLA) dan yang
setingkat, lulusan Sekolah Lanjutan Pertama (SLP) dan yang
setingkat, lulusan Sekolah dasar (SD).
1.1.4 Jenis Penderita Rumah Sakit
Penderita di rumah sakit terdiri atas penderita rawat tinggal dan penderita
ambulatori (Scott, 2006).
i)
Penderita Rawat Tinggal
Penderita rawat tinggal yaitu penderita yang secara fisik dirawat dan
tinggal di rumah sakit.
ii)
Penderita Ambulatori
Penderita ambulatori adalah penderita noninstitusional (tidak terikat
tinggal di rumah sakit) yang bertanggung jawab memperoleh,
menyimpan dan menggunakan obatnya. Penderita ambulatori dapat
merupakan penderita rawat jalan (PRJ) atau bukan, tergantung pada
tempat penderita tersebut mendapatkan diagnosis penyakit. Penderita
rawat jalan adalah penderita yang menggunakan fasilitas rumah sakit
tanpa secara fisik terikat di rumah sakit tersebut. Penderita rawat
jalan bisanya datang ke rumah sakit untuk berkonsultasi atau
mengetahui hasil diagnosis penyakit dan mendapatkan obatnya di
rumah sakit tersebut, tetapi tidak tinggal di rumah sakit. Sedangkan
penderita ambulatori yang bukan PRJ adalah penderita mendapatkan
obatnya di suatu rumah sakit, tetapi diagnosis penyakitnya diperoleh
di tempat lain.
1.1.5 Klasifikasi Rumah Sakit
Klasifikasi rumah sakit dibedakan menjadi dua, yaitu klasifikasi rumah sakit
dalam negeri dan klasifikasi rumah sakit di luar negeri (Scott, 2006).
i)
Klasifikasi Rumah Sakit Di Luar Negeri
Di luar negeri, rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan
beberapa faktor yaitu kepemilikan; ruang lingkup pelayanan; jangka
waktu perawatan; status terakreditasi; kapasitas tempat tidur, dan
afiliasi pendidikan.
a. Berdasarkan Kepemilikan
Berdasarkan kepemilikannya, rumah sakit dapat dibagi menjadi
rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta. Rumah sakit
pemerintah adalah rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah
mencakup rumah sakit pemerintah pusat dan rumah sakit
pemerintah daerah. Rumah sakit swasta adalah rumah sakit yang
dikelola dan dimiliki oleh perorangan atau kumpulan masyarakat
seperti organisasi keagamaan, yayasan sosial, atau perkumpulan
masyarakat lainnya yang telah disahkan sebagai badan hukum.
Rumah sakit seperti ini biasanya memiliki berbagai tujuan antara
lain: bersifat profit untuk mencari keuntungan dan bersifat
nonprofit, tidak mencari keuntungan.
b. Berdasarkan Ruang Lingkup Pelayanan
Klasifikasi rumah sakit berdasarkan ruang lingkup pelayanan,
terdiri atas rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah
sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan untuk semua jenis penyakit dari yang bersifat dasar,
spesialistik dan subspesialistik. Rumah sakit khusus adalah
rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
berdasarkan jenis penyakit tertentu atau disiplin ilmu tertentu
seperti rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta dan rumah sakit paruparu.
c. Berdasarkan Jangka Waktu Perawatan
Berdasarkan jangka waktu perawatan yang diberikan kepada
penderita, rumah sakit dapat diklasifikasikan menjadi rumah sakit
perawatan jangka panjang dan rumah sakit perawatan jangka
pendek. Rumah sakit perawatan jangka panjang atau perawatan
kronis adalah rumah sakit dengan lama perawatan lebih dari 30
hari. Selain itu, rumah sakit ini ditujukan untuk rehabilitasi dan
pemeliharaan baik fisik maupun mental, seperti rehabilitasi
ketergantungan obat narkotika. Rumah sakit perawatan jangka
pendek atau perawatan akut dalam rumah sakit dengan lama
perawatan rata-rata kurang dari 30 hari. Umumnya penderita
yang dirawat di rumah sakit ini menderita penyakit akut dan
kondisi gawat darurat. Rumah sakit perawatan akut memberikan
perawatan selain kepada penderita yang menderita penyakit
kronis.
d. Berdasarkan Status Akreditasi
Berdasarkan
status
akreditasinya,
rumah
sakit
dapat
diklasifikasikan menjadi rumah sakit yang telah terakreditasi dan
rumah sakit yang belum terakreditasi. Rumah sakit yang telah
terakreditasi adalah rumah sakit yang telah mendapatkan
pengakuan formal dari badan yang berwenang, bahwa rumah
sakit tersebut telah mampu melaksanakan suatu fungsi tertentu.
Rumah sakit yang belum terakreditasi adalah rumah sakit yang
belum mendapatkan pengakuan formal dari badan yang
berwenang,
bahwa
rumah
sakit
tersebut
telah
mampu
melaksanakan suatu fungsi tertentu.
e. Berdasarkan Kapasitas Tempat Tidur
Klasifikasi rumah sakit berdasarkan kapasitas tempat tidur terdiri
atas rumah sakit dengan kapasitas tempat tidur kurang dari 50
buah, rumah sakit dengan kapasitas tempat tidur 50-99 buah,
rumah sakit dengan kapasitas tempat tidur 100-199 buah, rumah
sakit dengan kapasitas tempat tidur 200-299 buah, rumah sakit
dengan kapasitas tempat tidur 300-399 buah, rumah sakit dengan
kapasitas tempat tidur 400-499 buah, dan rumah sakit dengan
kapasitas tempat tidur lebih dari 500 buah.
f. Berdasarkan Afiliasi Pendidikan
Klasifikasi rumah sakit berdasarkan afiliasi kependidikan antara
lain rumah sakit pendidikan, rumah sakit afiliasi pendidikan dan
rumah sakit non pendidikan. Rumah sakit pendidikan adalah
rumah sakit yang memberikan pendidikan bagi calon profesional
kesehatan. Rumah sakit pendidikan ada yang milik pemerintah
maupun swasta. Rumah sakit afiliasi pendidikan adalah rumah
sakit yang tidak menyelenggarakan program pendidikan dan
pelatihan residen sendiri, tetapi menyediakan sarana untuk
pendidikan dan pelatihan bagi mahasiswa atau residen. Rumah
sakit
nonpendidikan
adalah
rumah
sakit
yang
tidak
menyelenggarakan fasilitas pendidikan bagi calon profesional
kesehatan.
ii)
Klasifikasi Rumah Sakit Di Dalam Negeri
Rumah sakit di dalam negeri dapat diklasifikasikan berdasarkan
penyelenggaraannya menjadi rumah sakit pemerintah dan rumah
sakit swasta.
a. Rumah Sakit Pemerintah
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
983/Menkes/XI/1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit,
rumah sakit pemerintah adalah rumah sakit yang dimiliki oleh
departemen kesehatan, pemerintah daerah, ABRI dan BUMN.
Berdasarkan unsur pelayanan, ketenagaan, fisik, dan peralatan
rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan
menjadi rumah sakit umum kelas A,B, C, dan kelas D. Rumah
sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan
subspesialistik luas. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah
sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan
subspesialistik terbatas. Rumah sakit umum kelas C adalah
rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik subspesialistik dasar. Rumah sakit umum kelas
D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik dasar.
b. Rumah Sakit Swasta
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
80b/Menkes/SK/XII/1987 tentang Petunjuk Umum Klasifikasi
Rumah Sakit Umum Swasta, rumah sakit swasta adalah rumah
sakit yang dimiliki dan diselenggarakan oleh yayasan yang sudah
disahkan sebagai badan hukum dan badan hukum lain yang
bersifat sosial. Rumah sakit umum swasta memberikan pelayanan
penunjang umum yaitu kegiatan administrasi dan kegiatan
nonmedik yang diselenggarakan untuk menunjang kelancaran
pelayanan medik serta pelayanan penunjang medik yaitu kegiatan
yang mendukung pelaksanaan pelayanan medik. Rumah sakit
umum swasta terdiri atas rumah sakit umum swasta pertama,
yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan medik bersifat
umum; rumah sakit swasta madya, yaitu rumah sakit yang
memberikan pelayanan medik bersifat umum dan spesialistik
dalam empat cabang; dan rumah sakit umum swasta utama, yaitu
rumah sakit yang memberikan pelayanan medik bersifat umum,
spesialistik dan subspesialistik.
1.1.6 Jenis Pelayanan di Rumah Sakit
Pelayanan yang diberikan di rumah sakit dibagi atas dua golongan yaitu pelayanan
utama dan pelayanan pendukung. Pelayanan utama terdiri atas pelayanan medik,
pelayanan keperawatan, pelayanan kefarmasian. Pelayanan utama tidak mampu
melaksanakan fungsinya tanpa pelayanan pendukung. Pelayanan medik umumnya
terdiri atas: dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis dan subspesialis dari
disiplin: bedah umum, bedah saraf, bedah jantung dan toraks, bedah tulang, bedah
urologi, anestesi, bedah obstetrik dan ginekologi, bedah mata, bedah gigi dan
mulut, bedah plastik, bedah otolaringologi, bedah proktologi, penyakit dalam,
kebidanan dan penyakit kandungan, kesehatan anak, kardiologi, THT, kulit dan
kelamin, saraf, psikiatri dan psikologi, paru, kedokteran nuklir, onkologi,
rehabilitasi medik, gigi dan mulut, rawat darurat, rawat intensif, farmakologi
klinik, ortopedi, alergi, penyakit infeksi, endokrinologi, geriatrik, imunologi,
nefrologi, gastroenterologi, rematologi, akupuntur, terapi fisik dan okupasional.
Pelayanan kefarmasian termasuk dalam pelayanan utama di rumah sakit karena
hampir seluruh pelayanan yang diberikan kepada penderita di rumah sakit
berintervensi dengan sediaan farmasi dan atau perbekalan kesehatan. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit adalah satu-satunya bagian dari rumah sakit yang
bertanggung jawab penuh atas pengelolaan dan pengendalian seluruh sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan lain yang beredar di rumah sakit. Pelayanan
pendukung di rumah sakit adalah semua pelayanan yang mendukung pelayanan
medik untuk penegakan diagnosis dan perawatan penderita. Pelayanan pendukung
antara lain, pelayanan laboratorium yang terdiri atas laboratorium kimia klinis,
radiologi, patologi klinik, hematologi, mikrobiologi, serologi, farmakologi klinik,
patologi anatomi, toksikologi, elektrokardiografi, elektroensefalograf dan
mikroskopis klinis. Pelayanan pendukung lainnya adalah pelayanan ahli gizi dan
makanan, rekaman medik, bank darah, sentra sterilisasi, pemeriksaan sinar X dan
layanan sosial.
1.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1.2.1 Definisi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan suatu instalasi di rumah sakit
yang menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian di bawah pimpinan seorang
apoteker profesional yang kompeten dan memenuhi syarat menurut hukum. IFRS
menyelanggarakan distribusi obat ke bagian keperawatan, mengarsipkan resep
obat untuk penderita rawat tinggal dan rawat jalan, mengupayakan pengadaaan
sediaan farmasi, menyalurkan obat narkotika, menyiapkan alat injeksi dan
sterilisasinya, serta menyediakan dan menyalurkan tenaga profesional di bidang
kesehatan (Hassan, 1986).
1.2.2 Misi dan Tugas
Berdasarkan misi dan tugasnya, IFRS merupakan instalasi rumah sakit yang
mengadakan, melayani, mengendalikan terapi obat yang optimal bagi seluruh
penderita, memastikan mutu tertinggi, serta rasio efektivitas-biaya yang optimal
(Brown,1992).
1.2.3 Organisasi
Secara struktural IFRS berada di bawah wakil direktur pelayanan profesional yang
bertanggung jawab terhadap direktur pelaksanan harian dan terdiri atas bidang
produksi, pelayanan dan bidang pengembangan (Siregar, 2003).
i)
Bidang Produksi
Bidang produksi IFRS adalah bidang yang mengadakan semua obatobat dan produk yang digunakan oleh profesional kesehatan dengan
cara pembelian dan pembuatan. Pembelian dilakukan untuk semua
zat aktif yang diperlukan dan produk jadi. Pembuatan obat terutama
dilakukan untuk obat yang tidak ada di perdagangan tetapi
diperlukan di rumah sakit. Pembuatan obat terdiri atas sediaan steril
dan nonsteril.
ii)
Bidang Pelayanan
Bidang pelayanan IFRS terdiri atas pelayanan farmasi klinik dan
pelayanan farmasi nonklinik. Pelayanan farmasi klinik meliputi
pelayanan farmasi klinik dalam proses penggunaan obat, pelayanan
farmasi klinik dalam program rumah sakit yang diformalkan, dan
pelayanan farmasi klinik yang memerlukan praktisi spesialisasi
tinggi. Pelayanan farmasi nonklinik terdiri atas penerimaan peralatan
kesehatan, penyimpanan peralatan kesehatan dan distribusi obat.
iii)
Bidang Pengembangan
Bidang pengembangan meliputi pendidikan dan pelatihan yang
diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan staf profesional
kesehatan di rumah sakit. Bidang pengembangan mempunyai
laboratorium mutu dan laboratorium klinik yang bertujuan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian bagi penderita rumah
sakit pada umumnya. Di samping itu, bidang pengembangan
melakukan penelitian obat-obat investigasi.
1.2.4 Sumber Daya Manusia
Instalasi farmasi rumah sakit dipimpin oleh seorang apoteker yang berpengalaman
dan bertanggung jawab terhadap pimpinan rumah sakit. Sumber daya manusia di
instalasi farmasi rumah sakit secara umum dapat dibagi menjadi tiga golongan
yaitu staf profesional, staf teknisi, dan staf pengunjung (Siregar, 2003).
i)
Staf Profesional
Staf profesional terdiri atas apoteker termasuk apoteker praktisi
umum, apoteker spesialis manajemen rumah sakit dan residen
apoteker. Di beberapa unit farmasi rumah sakit, semua apoteker
menyediakan pelayanan produk dan pelayanan klinik. Berdasarkan
hal tersebut, maka apoteker yang tersedia adalah apoteker yang
terspesialisasi terutama dalam pelayanan produk dan apoteker klinik.
Pada saat ini, farmasi rumah sakit lebih ditujukan pada farmasi
klinik. Karena praktek farmasi rumah sakit semakin berkembang,
diharapkan di masa mendatang seluruh apoteker menjadi apoteker
klinik atau dapat memberikan waktunya untuk menyediakan
pelayanan langsung kepada penderita. Sedangkan penyiapan dan
distribusi obat akan dilaksanakan dengan sistem yang lebih otomatis
dan lebih banyak dilakukan oleh tenaga teknisi. Di beberapa unit
farmasi rumah sakit terdapat spesialisasi pelayanan intensif dan
pelayanan klinik sepanjang waktu untuk beberapa golongan
penderita, yang disebut apoteker klinik terspesialisasi, seperti
apoteker klinik spesialisasi perawatan intensif, apoteker klinik
spesialis penyakit infeksi, apoteker spesialis kardiologi, apoteker
spesialis neonatologi, apoteker spesialis nutrisi dan apoteker spesialis
pediatrik.
ii)
Staf Teknis
Staf teknis terdiri atas asisten apoteker dan juru resep yang
kegiatannya meliputi pencampuran sediaan intravena dan pengisian
kereta obat unit dosis untuk setiap ruang perawatan. Selain itu,
terdapat tenaga teknisi komputer dan mesin.
iii)
Staf Pendukung
Staf pendukung diantaranya adalah tenaga administrasi, sekretaris,
bendahara, dan pelayanan.
1.2.5 Fungsi
Berdasarkan misi dan tugasnya, IFRS memiliki fungsi yakni (Siregar, 2003):
i)
Fungsi pengadaan produk
IFRS berfungsi dalam pengadaan obat yang diperlukan oleh rumah
sakit melalui cara pembelian dan produksi obat, terutama obat yang
tidak ada di perdagangan tetapi dibutuhkan dalam rumah sakit.
ii)
Fungsi pelayanan
Fungsi pelayanan meliputi pelayanan farmasi klinik dan pelayanan
farmasi nonklinik. Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan yang
berorientasi kepada penderita dan membutuhkan interaksi dengan
dokter, perawat, dan profesi kesehatan lainnya. Pelayanan farmasi
nonklinik adalah pelayanan yang tidak secara langsung terpadu
dalam pelayanan penderita, pelayanan ini bisanya tidak berinteraksi
dengan profesi kesehatan lainnya.
iii)
Fungsi pengembangan
Fungsi pengembangan dilakukan dalam segala aspek kefarmasian di
rumah sakit
yang meliputi kegiatan penelitian, pendidikan, dan
pelatihan.
1.2.6 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan yang berhubungan langsung dengan
pelayanan terhadap penderita dan membutuhkan interaksi dengan profesional
kesehatan lain yang terlibat dalam proses perawatan penderita (McLeod, 1981).
Komponen dasar pelayanan farmasi klinik adalah komunikasi, konseling, dan
konsultasi (Blissitt, 1972). Dalam hal komunikasi, apoteker harus memahami
beberapa faktor seperti aspek psikologis beberapa penyakit dan karakteristik
perilaku setiap individu dari berbagai status sosio-ekonomi yang berbeda.
Konseling merupakan pemberian nasehat mengenai masalah terapetik kepada
penderita atau anggota dari kelompok perawatan kesehatan. Komponen penting
dalam melaksanakan konseling yang tepat adalah pembuatan dan penggunaan
profil pengobatan penderita untuk mengetahui terapi obat penderita secara
lengkap. Apoteker harus memperluas peranannya sebagai konsultan terapetik
kepada masyarakat dan profesional kesehatan lainnya dengan alasan dasar ilmu
yang telah diperolehnya.
Ruang lingkup pelayanan farmasi klinik terdiri atas pelayanan farmasi klinik
dalam proses penggunaan obat, pelayanan farmasi klinik dalam program rumah
sakit secara menyeluruh, pelayanan farmasi klinik dalam program rumah sakit
yang diformalkan, dan pelayanan farmasi klinik yang memerlukan praktisi
spesialisasi tinggi (McLeod, 1981; Brown, 1992).
i)
Pelayanan Farmasi Klinik dalam Proses Penggunaan Obat
Proses penggunaan obat adalah suatu proses yang terdiri atas
beberapa tahap yang harus dialami penderita dan dilakukan oleh
profesional kesehatan dalam pengobatan. Proses penggunaan obat
harus diselesaikan dengan baik untuk mencapai terapi obat yang
optimal bagi penderita. Apoteker terlibat dalam setiap tahap proses
penggunaan obat untuk meningkatkan penggunaan obat yang optimal
bagi penderita.
Proses penggunaan obat terdiri atas identifikasi masalah pada
penderita (diagnosis oleh dokter), mengkaji sejarah obat penderita,
seleksi produk obat dan regimen obat, dispensing obat, pengkajian
order resep dan profil pengobatan penderita, pemberian informasi
kepada perawat tentang obat, pemberian obat oleh perawat,
pemantauan terapi obat, edukasi dan konseling penderita.
Dalam tahap-tahap proses penggunaan obat tersebut, apoteker rumah
sakit berperan dalam menggali sejarah obat penderita, karena sejarah
penggunaan obat yang lengkap dapat membantu dokter untuk
menetapkan terapi yang tepat bagi penderita; membantu dokter
penulis resep dalam mengambil keputusan untuk seleksi obat dan
regimen obat yang tepat bagi penderita; memberikan informasi
mengenai data pembandingan mutu sediaan, ketersediaan hayati,
kesetaraan generik, kesetaraan terapi obat, efek samping, dan
toksisitas obat; mengendalikan dan bertanggung jawab dalam
dispensing yang baik dan direkam dalam profil pengobatan
penderita; menganalisis profil pengobatan penderita; memberikan
informasi jika terjadi ketidaktepatan indikasi, kasus interaksi,
duplikasi, kontra indikasi, dan kombinasi antagonis pada penggunaan
obat; memberikan informasi dan konsultasi kepada perawat
mengenai pemberian obat yang tepat; dan melakukan pemantauan
terapi obat penderita.
ii)
Pelayanan Farmasi Klinik dalam Program Rumah Sakit
Menyeluruh
Pelayanan ini merupakan gamabaran umum pelayanan farmasi klinik
sebagai dasar bagi program pelayanan farmasi klinik lainnya yang
bertujuan menyeleksi terapi obat, pemantauan terapi obat dan
pendidikan, serta pelayanan yang langsung mengumpulkan informasi
dari dan atau menyediakan informasi untuk penderita. Kegiatannya
mencakup kegiatan Panitia Farmasi Terapi (PFT) serta sistem
formularium, sistem pemantauan kesalahan penggunaan obat, sistem
pelaporan reaksi obat merugikan, pengkajian penggunaan obat secara
retrospektif, buletin/surat berita tentang terapi obat, dan program
pendidikan in-service bagi apoteker, perawat, serta dokter,
pengambilan sejarah pengobatan dari penderita tertentu, konseling
untuk penderita yang dibebaskan dari rumah sakit, dan mengadakan
program pendidikan untuk penderita, seperti transplantasi ginjal dan
rehabilitasi jantung.
iii)
Pelayanan Farmasi Klinik dalam Program Rumah Sakit yang
Diformalkan
Pelayanan farmasi klinik ini merupakan bentuk pelayanan yang
diformalkan dan terstruktur difokuskan pada kelompok penderita
tertentu atau penggolongan obat tertentu untuk meningkatkan terapi
melalui pendidikan pada dokter penulis resep atau penderita.
Kegiatannya meliputi pelayanan apoteker yang lebih terspesialisasi
pada pelayanan informasi obat, pelayanan farmakokinetik klinik, tim
nutrisi pendukung, pelayanan obat investigasi, program target obat
dan penyakit, pemanatauan obat secara klinik, pengulangan resep
dan kepatuhan klinik, serta program cardiopulmonary arrest.
iv)
Pelayanan
Farmasi
Klinik
yang
Memerlukan
Praktisi
Spesialisasi Tinggi
Pelayanan farmasi klinik ini merupakan pelayanan yang diberikan
oleh apoteker yang terspesialisasi pada populasi penderita khusus.
Pelayanan tersebut meliputi pelayanan farmasi untuk perawatan
kritis,
pelayanan
farmasi
untuk
gawat
darurat,
pelayanan
transplantasi, pelayanan hematologi dan onkologi, perawatan klinik
utama yang menggunakan obat, dan pengelolaan klinik untuk
penderita khusus oleh apoteker.
1.3 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
1.3.1 Definisi
Evaluasi penggunaan obat merupakan suatu program jaminan mutu yang
terstruktur dan terus-menerus secara organisatoris diakui yang ditujukan untuk
menjamin bahwa obat yang digunakan secara tepat, aman dan efektif
(Brown,1992). Evaluasi penggunaan obat merupakan audit internal yang harus
ada acuannya, yaitu diperlukan standar/kriteria yang ditetapkan terlebih dahulu.
Setiap hal yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut merupakan suatu temuan
yang harus diperbaiki.
1.3.2 Desain Studi
Evaluasi penggunaan obat dapat dilakukan dengan desain studi retrospektif,
konkuren, dan prospektif (Brown, 1992).
i)
Desain Studi Retrospektif
Desain studi retrospektif adalah studi yang dilakukan terhadap obatobat yang telah digunakan penderita berdasarkan acuan atau kriteria
yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Studi retrospektif mempunyai
keuntungan dan keterbatasan. Keuntungan studi retrospektif adalah
lebih sederhana dan praktis untuk dilakukan. Keterbatasan utamanya
adalah tidak ada dampak langsung bagi penderita, karena penderita
sudah pulang atau obat sudah digunakan. Keterbatasan lain adalah
kepercayaan terhadap data yang tertulis pada rekam medik
kemungkinan tidak lengkap dan samar-samar sehingga menyebabkan
penilaian yang subyektif.
ii)
Desain Studi Konkuren
Desain studi konkuren adalah pengkajian penggunaan obat yang
sedang digunakan penderita. Metode ini mempunyai keuntungan,
yaitu dapat mempengaruhi perawatan penderita secara langsung
daripada studi retrospektif. Studi ini lebih rumit daripada studi
retrospektif karena untuk keberhasilan proses ini, dokter harus
tersedia untuk konsultasi dari apoteker.
iii)
Desain Studi Prospektif
Desain studi prospektif adalah studi penggunaan obat sebelum obat
itu digunakan penderita. Suatu contoh dari proses pengkajian
prospektif adalah dihasilkannya protokol/kriteria tertulis tertentu
untuk penggunaan obat. Keterbatasan utama dari studi ini adalah
diperlukannya surveilan terapi obat yang sangat terorganisir dan
ditetapkan dengan benar. Selain itu semua apoteker harus terlibat
penuh dalam kegiatan tersebut sehingga kegiatan rutin dapat
terganggu.
EPO diperlukan untuk meningkatkan mutu terapi obat secara efektif dan hasil
akhir dari penderita individu.
1.3.3 Tahap-tahap Pelaksanaan Evaluasi Penggunaan Obat
Tahap-tahap dalam pelaksanaan evaluasi penggunaan obat adalah menetapkan
penanggung jawab; mengkaji pola penggunaan obat; menetapkan obat yang akan
dievaluasi
menetapkan
kriteria
penggunaan
obat;
mengumpulkan
dan
mengorganisasikan data; mengevaluasikan penggunaan obat; menetapkan
tindakan untuk solusi masalah atau perbaikan penggunaan obat; menilai
efektivitas
tindakan
perbaikan
dan
mendokumetasikannya;
dan
mengkomunikasikan informasi yang relevan kepada profesional terkait (Brown,
1992; Hicks, 1994).
i)
Menetapkan penanggung jawab
Di kebanyakan rumah sakit, PFT adalah kelompok yang paling logis
untuk mengelola kegiatan EPO karena merupakan kumpulan staf
medik dan wakil dari apoteker, juga mempunyai hubungan langsung
dengan komite medik dan pimpinan rumah sakit dan mempunyai
tanggung jawab yang melekat tentang aspek pengunaan obat di
rumah sakit. Di beberapa rumah sakit ada yang membentuk tim EPO
dan apoteker terlibat dalam tim tersebut atau ada juga yang
diserahkan pada panitia jaminan mutu. Siapapun yang bertanggung
jawab, kelompok itu adalah kelompok yang disegani di rumah sakit
dan mempunyai kewenangan yang cukup untuk memberikan suatu
program yang absah.
ii)
Mengkaji pola penggunaan obat
Tim EPO mengkaji pola penggunaan obat secara menyeluruh untuk
mengetahui obat secara menyeluruh untuk mengetahui obat-obat
yang paling banyak ditulis dan digunakan di rumah sakit. Di samping
itu diketahui SMF yang paling banyak menggunakan obat-obat
tertentu. Berdasarkan pengkajian ini dapat ditetapkan obat yang akan
dievaluasi.
iii)
Menetapkan obat yang akan dievaluasi
Sesuai pola pengguna obat, maka ditentukan obat yang akan
dievaluasi. Seharusnya semua obat yang digunakan di rumah sakit
dipantau efektivitas, keamanan, dan ketepatan pengunaannya, tetapi
karena keterbatasan sumber daya maka dilakukan prioritas obat atau
golongan obat yang dievaluasi. Obat-obat yang dievaluasi memenuhi
salah satu atau lebih dari kriteria berikut, obat tersebut menyebabkan
reaksi obat merugikan atau berinteraksi dengan obat lain, makanan,
perekasi diagnostik sehingga dapat mengganggu terapi secara
bermakna; penderita yang menggunakan obat tersebut berisiko tinggi
terhadap munculnya efek yang merugikan; obat tersebut sangat
toksik atau menyebabkan ketidaknyamanan pada dosis penggunaan
atau harganya sangat mahal; obat tersebut paling efektif digunakan
dengan cara tertentu misalnya secara intravena; obat-obat yang
sedang dalam penilaian formularium; dan obat-obat yang dipilih
melalui kebijakan rumah sakit untuk dievaluasi.
iv)
Menetapkan kriteria penggunaan obat
Setelah menetapkan obat yang dievaluasi, maka ditetapkan kriteria
penggunaan obat. Kriteria tertulis yang baik seringkali memiliki
beberapa komponen/unsur yang berkaitan dengan terapi obat dan
aspek lain dari obat tertentu untuk membantu penggunaan obat
secara tepat. Kriteria penggunaan obat harus obyektif (tegas)
sehingga akan memastikan konsistensi apabila individu yang berbeda
mengevaluasi
memungkinkan
penggunaan
obat.
Kriteria
intepretasi
pada
pihak
menyebabkan hasil yang tidak berarti.
yang
subyektif
pengevaluasi
dan
v)
Mengumpulkan dan mengorganisasikan data
Pengumpulan data dapat dilakukan melalui proses pengkajian
retrospektif, konkuren, dan prospektif. Sumber data yang paling
umum digunakan dalam rekam medik. Jenis sumber data yang lain
mencakup formulir permintaan obat khusus/golongan obat, laporan
laboratorium, laporan reaksi obat merugikan (ROM), laporan
kejadian, dan profil pengobatan penderta.
vi)
Mengevaluasi penggunaan obat
Setelah data dikumpulkan, data diorganisasikan dengan cara
mengidentifikasi pola penggunaan obat di rumah sakit. Beberapa
rumah sakit menganggap perlu untuk mengorganisasikan data
penggunaan obat berdasarkan spesialisasi dokter, pelayanan, atau
SMF tertentu, dan penderita tertentu. Informasi seperti ini
memungkinkan untuk tindakan perbaikan khusus yang diambil jika
diperlukan. Berdasarkan temuan dalam pengkajian penggunaan obat,
tim EPO atau PFT menentukan perlu atau tidaknya rekomendasi
untuk tindakan perbaikan. Ketidaktepatan dan rekomendasi dikomunikasikan oleh panitia EPO kepada PFT atau pimpinan rumah
sakit.
vii) Menetapkan tindakan untuk solusi masalah atau perbaikan
penggunaan obat
Penerapan tindakan mungkin sulit jika penggunaan obat yang tidak
tepat sudah diindentifikasikan. Tindakan koreksi harus datang dari
staf medik, tidak langsung dari apoteker. Tindakan perbaikan dapat
dilakukan dengan cara edukasi, perubahan terapi, dan tindakan
administrasi. Mekanisme sederhana dalam tindakan perbaikan dapat
dilakukan dengan surat berita atau surat dari PFT kepada SMF
tertentu untuk memberitahukan ketidaktepatan penggunaan obat dan
dalam surat tersebut harus disebutkan secara spesifik tentang kasus
yang terjadi, tindakan perbaikan yang diusulkan, tujuan dilaksanakan
kegiatan EPO, dan pentingnya kegiatan tersebut bagi rumah sakit dan
staf medik. Tindakan perbaikan yang paling efektif biasanya dengan
edukasi yang dapat dilakukan melalui kunjungan besar, diskusi pada
laporan pagi, presentasi formal pada kunjungan besar, dan presentasi
informal pada kunjungan penderita harian. Apapun mekanisme yang
digunakan adalah penting bahwa hal itu digunakan secara konsisten
dan profesional.
viii) Menilai efektivitas tindakan perbaikan dan mendokumentasikannya
Setelah tindakan perbaikan diambil untuk menyelesaikan masalah
atau perbaikan penggunaan obat, harus ada mekanisme untuk menilai
efektivitas dari tindakan perbaikan. Dalam hal ini diperlukan
evaluasi kembali obat atau golongan obat yang telah dikaji
sebelumnya secara terus-menerus, sistematis, dan menilai ulang
ketepatan penggunaannya. Jika tidak ditemukan masalah, obat
tersebut dikeluarkan dari daftar obat yang dikaji dan dilakukan
evaluasi pengunaan terhadap obat lain. Jika hasil tindakan perbaikan
tidak memuaskan, harus ada suatu tindak lanjut dari pimpinan rumah
sakit.
1.3.4 Peranan Apoteker
Peranan apoteker dalam pelaksanaan evaluasi penggunaan obat antara lain:
(Siregar, 2003)
i)
Menyediakan data kuantitatif pola penggunaan obat bagi tim EPO
kemudian secara bersama-sama menetapkan kriteria obat yang
dievaluasi dan menetapkan obat yang dievaluasi dan menetapkan
obat yang dievaluasi.
ii)
Bekerja sama dengan staf medik dalam menyusun kriteria
penggunaan obat.
iii)
Apoteker menyediakan sumber data bagi tim EPO (rekam medik,
formulir
permintaan
obat
khusus/golongan
obat,
laporan
laboratorium, laporan ROM, laporan kejadian, dan profil pengobatan
penderita) kemudian bersama-sama tim EPO mengumpulkan dan
mengorganisasikan data.
iv)
Bersama-sama tim EPO mengevaluasi data penggunaan obat
terhadap kriteria/standar penggunaan obat yang telah ditetapkan.
v)
Bersama-sama tim EPO menetapkan temuan dan menformulasikan
rekomendasi perbaikan ketidaktepatan penggunaan obat tersebut.
vi)
Menyampaikan temuan dan rekomendasi kepada PFT.
vii) Apoteker
bersama-sama
tim
EPO
mengadakan
pemantauan
keefektivan terhadap tindakan perbaikan yang dilakukan.
viii) Bersama-sama tim EPO membuat laporan tertulis tentang keefektifan
atau ketidakefektifan tindakan perbaikan dan merekomendasikannya
kepada PFT. Apabila tindakan sudah dianggap efektif, maka EPO
dihentikan dan dilakukan EPO terhadap obat lain.
1.4 Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU)
1.4.1 Definisi
Unit Perawatan Intensif (ICU ataupun CCU) adalah suatu daerah khusus di rumah
sakit yang memberikan pelayanan maksimum, dukungan dari fungsi vital dan
terapi yang pasti untuk penderita dengan kegagalan akut tetapi dapat berubahubah, kegagalan multi dari sistem vital (paru-paru, jantung, ginjal, dan sistem
saraf). Selain itu, unit perawatan intensif juga didefinisikan sebagai suatu tempat
dilakukannya pemantauan intensif terus-menerus dan kegiatan pendukung
kehidupan serta terapi pasti pada penderita dengan penyakit/kondisi yang
mengancam kehidupan (McLeod, 1981).
1.4.2 Jenis Unit Perawatan Intensif
Unit perawatan intensif dapat digolongkan berdasarkan sistem organ dan disiplin
ilmu yang terkait seperti unit perawatan intensif bedah, unit perawatan intensif
pernafasan, unit perawatan intensif jantung (McLeod, 1981). Unit perawatan
intensif di Rumah Sakit Umum Pemerintah Dr. Hasan Sadikin Bandung
digolongkan menjadi unit perawatan intensif untuk bayi (NICU), unit perawatan
intensif untuk anak (PICU), unit perawatan intensif untuk jantung (CICU), dan
unit perawatan intensif untuk penderita umum (GICU).
1.4.3 Pengobatan di Unit Perawatan Intensif
Pengobatan di unit perawatan intensif bersifat jangka panjang dengan
pemonitoran keadaan penderita secara kontinuitas. Hal ini mengakibatkan proses
pengobatan maupun pemberian obat harus akurat, cepat, konstan dan terkendali.
Hal ini juga yang menjadi masalah dalam pengobatan di unit perawatan intensif
dimana kondisi penderita yang berubah-ubah secara cepat dan mendadak sehingga
membutuhkan penanganan yang benar (McLeod, 1981). Proses pengambilan
keputusan dalam pengobatan di unit perawatan intensif lebih mengarah pada
sistem dengan pendekatan sistematis terhadap pengobatan penderita sendiri
dibandingkan dengan sistem SOAP (subyektif, obyektif, analisis dan pengambilan
keputusan) yang biasanya dilakukan pada penanganan kasus biasa sehingga
membutuhkan keefisienan dalam pengobatan sehingga hasilnya pun akan efektif.
Sistem tersebut adalah sistem kardiovaskular, sistem saraf pusat, sistem
endokrine, sistem gastriointestinal, hematologi, mikrobiologi, kulit dan kelamin,
sistem pernapasan. Penanggung jawab utama ICU adalah dokter dimana semua
keputusan dalam manajemen unit sampai pemberian obat diambil oleh dokter
kepala ICU itu sendiri1.
Pengobatan dalam perawatan intensif adalah pemberian obat secara langsung dari
dokter kepada penderita yang mengalami cedera parah ataupun penyakit kritis
yang dapat menyebabkan kerusakan parah organ yang membawa kematian
penderita sendiri, dimana pengobatan itu sendiri bersifat memanipulasi dan
menyokong fungsi organ vital agar tetap terjaga ataupun memperbaiki kegagalan
fungsi dari salah satu/banyak kerusakan organ vital dan pencegahan penurunan
keadaan penderita lebih lanjut yang beresiko fatal. Akan tetapi fokus pengobatan
intensif ini hanya diberikan kepada penderita dengan kondisi yang masih
1
www.medscape.com: (27/10/2006)
Critical Care Pharmacy Services in United States Hospital by Robert MacLaren, JohnW Devlin.
reversibel dan masih mempunyai kesempatan untuk tetap bertahan dengan alat
bantu perawatan kritis, tetapi tidak menutup kemungkinan penderita lain dapat
diberikan perawatan intensif ini. Pengobatan yang diberikan biasanya untuk
mengobati penyakitnya secara langsung (penanganan utama), psikotropika,
penghilang rasa sakit, maupun pencegahan infeksi sekunder. Pengobatan ini
merupakan kerjasama antara pihak multidisplin selain dokter itu sendiri, perawat,
terapis pernapasan, apoteker serta asisten dokter2.
1.4.4 Kriteria Penderita yang Masuk Unit Perawatan Intensif
Kriteria penderita yang masuk ke unit perawatan intensif terdiri atas penderita
prioritas tinggi dan penderita prioritas rendah (Marik, 1996).
i)
Penderita prioritas tinggi adalah penderita penyakit kritis yang tidak
stabil atau memerlukan penanganan dan pemantauan intensif
misalnya bantuan pernafasan dan ventilator/terapi obat vasoaktif.
Penderita dengan kondisi ini dianjurkan untuk dirawat secara intensif
jika prognosis keadaan penderita tidak pasti dan terbatas oleh waktu.
Dalam kelompok ini tidak termasuk keadaan berat akibat penyakit
kronik dan penderita dengan penyakit terminal.
ii)
Penderita
prioritas
rendah
adalah
penderita
yang
beresiko
memerlukan penanganan intensif, kondisi medik berat, dan
mengakibatkan cacat. Penderita dengan penyakit kronik lanjut,
penyakit terminal dan penderita kecelakaan termasuk dalam
kelompok ini. Penderita dengan kondisi ini dapat menerima
pengobatan di unit perawatan intensif jika diperkirakan masih ada
harapan untuk sembuh dan pihak keluarga/wali dapat menerima jika
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sebagai akibat dari terapi yang
dilakukan di ICU.
2
www.medscape.com: (27/10/2006)
Critical Care Pharmacy Services in United States Hospital by Robert MacLaren, JohnW Devlin.
1.4.5 Pedoman dalam Seleksi Penderita yang Paling Membutuhkan
Dukungan Fisiologis Di Unit Perawatan Intensif
Pedoman dalam seleksi penderita yang paling memperoleh manfaat dari dukungan
fisilogis (terapi) di unit perawatan intensif meliputi penderita dengan indikasi
fisiologis dan indikasi penyakit spesifik (Marik, 1996).
i) Indikasi Fisiologis
Indikasi fisiologis terdiri dari:
a. Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg dan/atau penurunan
tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg setelah pemberian
1000 mL cairan
b. Memerlukan sediaan inotropik untuk mempertahankan tekanan
darah dan perfusi jaringan
c. Tekanan darah diastolik lebih dari 120 mmHg dan disertai satu
dari: udem paru-paru, ensefalopati hipertensif, diseksi aneurisma
aorta, iskemia miokardial akut, preeklamasi atau eklamasi
(diastolik lebih dari 110 mmHg), atau pendarahan subarahnoid
(diastolik lebih dari 100 mmHg)
d. Takhikardi sinus lebih dari 130 detak/menit (usia di bawah 50
tahun) atau lebih dari 120 detak/menit (usia di atas 50 tahun).
e. Kecepatan pernafasan lebih dari 30 kali/menit
f. Tekanan oksigen (PaO2) kurang dari 55 mmHg dengan fiksasi
oksigen (FiO2) lebih dari atau sama dengan 0,4
g. Keasaman atau pH arterial kurang dari 7,2 (ketoasidosis kurang
dari 7,1)
h. Suhu tubuh kurang dari 32 °C
i. Hiperkalemia dengan kadar kalium (K+) dalam serum lebih dari 6
mEq/L.
j. Skor koma Glasgow kurang dari 12 pada kondisi penderita
dengan trauma kepala, kejang, perubahan metabolik, pendarahan
subarahnoid dan kelebihan dosis obat (skor koma Glasgow ≥13
adalah koma minor, skor koma Glasgow 9-12 adalah koma
sedang, skor koma Glasgow ≤ 8 adalah koma berat)
ii) Indikasi Penyakit Spesifik
Indikasi ini diikuti satu atau lebih dari indikasi fisiologis. Indikasi
penyakit spesifik terdiri atas:
a. Pnemonia, dengan satu atau lebih faktor fisilogis berikut: sel
darah putih = 30-4 x 109/L, kadar urea nitrogen darah > 20
mg/dL, tekanan oksigen (PaO2) < 60 mmHg (udara ruangan),
terjadi pada multilobus, platelet < 80.000 x 109/L atau kecemasan
b. Asma dengan kondisi sulit bicara akibat kesulitan bernafas,
perubahan kesadaran, pneumotoraks atau pneumomediastinum,
tekanan oksigen (PaO2) kurang dari 65 mmHg pada O2 40%,
tekanan karbondioksida (PaCO2) lebih dari 40 mmHg atau
penderita lelah
c. Penyakit paru obstruktif kronik, dengan kondisi asidosis
pernafasan akut dengan pH kurang dari 7,25, perubahan status
mental, pneumotoraks atau pneumomediastinum atau penderita
lelah
d. Iskemia miokardial, dengan angina tak stabil, semua keadaan
infark miokardial akut dengan keluhan nyeri dada kurang dari 24
jam dan semua kondisi komplikasi dari infark miokardial akut.
e. Pendarahan lambung yang terjadi terus-menerus, pendarahan
persisten (banyak) atau pendarahan ulang. Ketidakstabilan
hemodinamik (tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg,
denyut nadi lebih dari 120/menit) atau perubahan tekanan darah
dan denyut nadi setelah pemberian 1000 mL cairan infus
f. Pankreatis dengan tiga atau lebih kriteria Ranson, yaitu pada saat
masuk dengan usia >55 tahun, kadar gula darah > 200 mg/dL, sel
darah putih > 16 x 109/L, SGOT >120 IU/L, dan LDH >350
IU/L; atau selama 48 jam pertama perawatan dengan penurunan
hematokrit > 10%, kadar kalsium serum < 8,0 mEq/L, defisit
basa > 4mEq/L, peningkatan kadar urea darah > 5 mg/dL, dan
tekanan oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg
g. Optimasi sebelum operasi (katerisasi arteri pulmonari) pada
infark miokardial akut dalam enam bulan, operasi nonjantung
mayor, dan gagal jantung tingkat I atau III; operasi vaskular
mayor
h. Perawatan paska operasi, pada penderita dengan infark
miokardial akut selama enam bulan, operasi nonjantung mayor
dan gagal jantung tingkat I atau III; operasi vaskular mayor,
operasi kardiotoraks mayor, penderita dengan penyakit paru
obstruktif kronik, atau penderita gemuk (obesitas)
i. Trauma, penderita dengan politrauma mayor, luka toraks mayor,
atau luka kepala dengan skor koma Glasgow kurang dari 12
j. Luka bakar, pada penderita dewasa > 25% luas permukaan tubuh,
anak > 20% luas permukaan tubuh, luka bakar penuh dan dalam
> 10% luas permukaan tubuh, luka bakar pada muka, tangan,
kaki, mata, telinga, perut; luka karena sengatan listrik tegangan
tinggi atau luka akibat inhalasi
k. Kondisi medik lain yang meningkatkan resiko medik penderita
1.4.6 Kriteria Penderita yang Boleh Keluar dari Unit Perawatan Intensif
Kriteria penderita yang boleh keluar dari unit perawatan intensif adalah
(McIntosh, 2002):
i) Sistem pernapasan
a. Dukungan ventilator mekanik tidak lagi dibutuhkan
b. Penderita membutuhkan kurang dari 50% kapasitas O2 (saturasi
O2 >90% pada 50% kapasitas O2)
c. Penderita membutuhkan fisioterapi untuk melancarkan sekresi
tidak lebih dari 3-4 jam
d. Penderita dipastikan tidak mengalami penurunan fungsi respirasi
parah yang membutuhkan intubasi endotrakheal dan ventilasi
mekanik
e. pH dan pCO2 penderita dalam keadaan stabil
ii) Sistem sirkulasi
a. Penderita tidak memerlukan adanya pemberian obat vasoaktif
untuk mendukung keluaran jantung ataupun tekanan darah
arterial
b. Sistem
sirkulasi
penderita
sudah
stabil
terkecuali
yang
membutuhkan pasokan darah dalam jumlah kecil (denyut nadi
antara 50-110 detak per menit)
c. Tidak adanya tanda-tanda perfusi jaringan seperti takikardia,
onset penyakit baru, jaringan tubuh yang membiru, metabolik
asidosis, peningkatan laktat dalam darah, fungsi pembuluh darah
kapiler yang menurun dan keluaran urin yang sangat kecil (<0,5
mL/kg/jam).
d. Penderita tidak memerlukan adanya perawatan secara intensif
lagi
iii) Sistem saraf
a. Refleks protektif dan pernapasan penderita sudah berfungsi
secara normal, pemantauan keadaan neurologis secara periodik
tidak lagi dibutuhkan, dan penderita menjalani trakeostomi.
b. Skor koma Glasgow berada dalam keadaan stabil dan keadaan
serangan sudah dapat dikendalikan
iv) Ginjal
Penderita tidak membutuhkan hemodialisis akut, hemofiltrasi atau
hemodiafiltrasi
1.4.7 Pelayanan Farmasi di Unit Perawatan Intensif
Unit perawatan intensif adalah unit rumah sakit yang melibatkan apoteker secara
langsung. Peralatan kesehatan untuk unit ini disediakan melalui sistem distribusi
obat yang dikelola oleh pegawai unit perawatan intensif, sedangkan dokumentasi
penggunaannya ditangani oleh petugas lain. Penyediaan peralatan di unit ini
haruslah akurat, efektif dan terkendali sesuai dengan kebutuhan pengobatan sesuai
farmasi klinik (McLeod, 1981). Sebagai alternatif, pengawasan penggunaan
peralatan kesehatan di unit ini dapat dilakukan oleh apoteker. Pada kebanyakan
rumah sakit, hal tersebut dilakukan dengan adanya IFRS cabang. IFRS cabang ini
memiliki unit cakupan pelayanan yang luas, diantaranya adalah bidang
perlengkapan sistoskopi dan endoskopi, laboratorium atau perlengkapan kateter
jantung, unit perawatan paska anestesi, ruang pemulihan, ruang kerja dan
penghantaran, dan bidang perawatan intensif (Hicks, 1994).
Pelayanan farmasi di unit perawatan intensif meliputi penyiapan peralatan
kesehatan dan distribusinya; pengendalian penyimpanan peralatan kesehatan;
pengurangan limbah; pengurangan biaya peralatan kesehatan; peningkatan
pendapatan melalui penagihan biaya yang sesuai kepada penderita; peningkatan
dokumentasi
peralatan
kesehatan
yang
digunakan
oleh
penderita;
pertanggungjawaban dan pengendalian penggunaan peralatan kesehatan; jaminan
mutu; kegiatan klinik; kegiatan penelitian dan pendidikan; keterlibatan dalam
penggunaan alat bantu konsumsi obat; dan meningkatkan pengambilan keputusan
antar disiplin (Hicks, 1994). Pelayanan farmasi tidak hanya berkutat
dalam
penyiapan maupun distribusi obat yang akan digunakan dalam pengobatan namun
juga harus mempunyai kemampuan untuk menjadi penghubung antara praktisi
kesehatan di ICU (perawat dan dokter) dalam menjembatani proses pengobatan
yang benar, rasional dan menyeluruh sesuai dengan kriteria farmasi klinik
(McLeod, 1981).
Apoteker harus mengendalikan dan bertanggungjawab atas penggunaan peralatan
kesehatan yang didistribusikan ke unit perawatan intensif. Penyimpanan seluruh
peralatan kesehatan perlu dipusatkan di IFRS cabang perawatan intensif. Jika
IFRS cabang tidak aktif 24 jam per hari, perlu didirikan sebuah IFRS cabang
pengganti, misalnya dalam bentuk kereta dorong, yang siap digunakan oleh staf
medik. Apoteker harus memilih obat yang disediakan, serta dikendalikan dan diisi
ulang tiap hari. Kecenderungan dalam penggunaan obat tertentu harus
diperhatikan dan disesuaikan (Hicks, 1994).
Dalam praktek klinik di unit perawatan intensif, apoteker harus mengetahui secara
mendalam seluruh peralatan kesehatan yang digunakan dalam perawatan intensif,
termasuk peralatan kesehatan yang digunakan dalam anestesi umum dan lokal,
pemblok neuromuskular, penghilang rasa sakit, pengendalian hemodinamik,
diagnosis dan manipulasi selama perawatan intensif, pencegahan infeksi, dan
penanganan darurat selama dirawat. Pengetahuan mengenai hal tersebut dapat
diperoleh dengan cara mengamati prosedur penanganan dalam unit perawatan
intensif, membaca berbagai pustaka, dan terlibat langsung dalam perawatan
penderita (Hicks, 1994).
Kegiatan pelayanan farmasi klinik meliputi informasi obat, sistem formularium,
pengkajian regimen obat, kunjungan ke ruang perawatan penderita, evaluasi
penggunaan obat, penelitian obat, pendidikan, pemantauan dan pelaporan reaksi
obat yang merugikan, berpartisipasi dalam kondisi gawat darurat, konsultasi dan
manajemen farmakokinetik, pengelolaan rasa sakit yang dialami penderita, dan
mendokumentasikan kegiatan klinik (Hicks, 1994).
Proses pengendalian peralatan kesehatan harus memenuhi peraturan dan kebijakan
rumah sakit. Prosedur untuk IFRS cabang dalam pengendalian ini meliputi
pengendalian peralatan kesehatan untuk dipantau; metode distribusi; perekaman;
pemesanan; penyimpanan, pemasukan, dan inventarisasi peralatan kesehatan;
penyesuaian (pembandingan antara jumlah yang disiapkan dengan jumlah yang
didokumentasikan untuk diberikan, verifikasi penggunaan melalui pengkajian
rekaman anestesi, dan pengujian secara kualitatif terhadap peralatan kesehatan
yang dikembalikan) serta pembuangan peralatan kesehatan yang sudah tidak
digunakan (Hicks, 1994).
1.4.8 Area Kerja Apoteker di Unit Perawatan Intensif
Area kerja apoteker di unit perawatan intensif adalah perawatan kecelakaan kritis;
pernapasan buatan (CPR); teknik anestesi termasuk pengaliran gas anestesi,
pemberian obat-obatan sebelum dan sesudah operasi, penggunaan bloker
neuromuskular
dan
antagonis;
perawatan
saluran
pernapasan
termasuk
pemahaman tentang ventilator mekanik, terapi oksigen dan obat-obatan yang
digunakan biasanya di dalam bronkodilatasi serta stimulasi dan penurunan
pernapasan; pengendalian aritmia; prosedur kecelakaan kritis lainnya; kateter
arteri, vena sentral dan arteri pulmonari; pengendalian suhu dan pencegahan
hipotermia; pemeriksaan menyeluruh organ-organ vital yang mengalami
kerusakan; Pengaturan gangguan asam-basa dalam tubuh termasuk pemahaman
efek asidosis dan alkalosis; koreksi maupun pengendalian dari abnormalitas cairan
dan elektrolit; nutrisi dari penderita-alimentasi; pengendalian infeksi; instrumen
dan alat untuk memantau keadaan penderita termasuk kemampuan pengolahan
data klinik serta terapi obat yang benar dan rasional; pemantauan sistem saraf
pusat karena pemantauan dari sistem saraf pusat sangat penting dalam kondisi
penderita yang overdosis; pengawasan dan pengobatan penderita yang mengalami
sawar otak; psikologis, kode etik dan masalah hukum termasuk kemampuan
memberikan saran lama terapi untuk penderita dengan kondisi yang parah;
pelatihan komputer; penelitian dan observasi mengenai pengobatan yang efektif di
ICU sendiri; pengetahuan dan implementasi di rumah sakit yang mendukung
dalam proses pengambilan keputusan (bersama dokter dan perawat) tentang terapi
dan pengobatan yang harus diberikan kepada penderita secara tepat dan rasional
(McLeod,1981).
1.4.9 Peranan Apoteker di Unit Perawatan Intensif
Peranan apoteker di unit perawatan intensif adalah mengorganisasikan dan
menjalankan pelayanan farmasi di unit perawatan intensif, meliputi akomodasi
fisik, sumber daya yang profesional serta kerja sama dengan departemen
kesehatan lainnya di rumah sakit tersebut; melaksanakan sistem distribusi obat
modern; mengatur obat untuk penderita dengan teknik sesuai; berdiskusi dengan
dokter tentang patofisiologi yang umumnya merupakan masalah medik akut;
memantau perkembangan penyakit/efek tetapi menggunakan gejala klinik, data
laboratorium, dan data lain yang relevan; mendiskusikan penggunaan ventilasi
mekanik, menerangkan efek merugikan dari ventilasi mekanik dan efeknya pada
farmakokinetik obat pada penderita; mendiskusikan implikasi dari peralatan
counterpulsation balon intra aortik, peralatan pengamatan tekanan intra kranial,
kateter arteri pulmonari, peralatan penilaian biventrikular dan monoventrikular
dan peralatan dialisis terhadap farmakoterapi; mengidentifikasi pengaruh
kegagalan sistem multi organ terhadap respon terapetik obat; mengantisipasi
dilema terapetik dan memberi alternatif pengobatan; mengembangkan prioritas
terapetik dalam menangani masalah akut dan kronik dari penderita; mencegah,
mendeteksi dan menangani efek samping obat dan reaksi obat pada penderita
dengan penyakit kritis; memperlihatkan kemampuan dalam pemantuan terapi
obat, elektrolit, nutrisi, farmakokinetik dan toksikologi; berpartisipasi sebagai
anggota efektif dalam tim kardiopulmonari keadaan darurat yang membutuhkan
campur tangan farmakologi; bekerja sama dengan perawat untuk memastikan
keamanan dan ketepatan penggunaan obat pada penderita; memberitahukan
keuntungan dan kerugian pemberian obat parenteral dan non parenteral;
menerangkan dan mencegah terjadinya inkompatibilitas obat; mengembangkan
prioritas terapi dalam mengatur masalah kronik dan akut penderita; mengevaluasi
pustaka perawatan intensif dan mengisi informasi baru berkaitan dengan
perawatan penderita; memberikan pelajaran formal dan informal tentang topik
pengobatan pada perawatan intensif bagi apoteker, dokter, pelajar medik, perawat,
dan profesional kesehatan lainnya; menyiapkan dan mempublikasikan penelitian
orisinil, studi kasus dan ulasan pustaka bahasan dari jurnal tentang perawatan
intensif (Hicks, 1994).
1.5 Profil Pengobatan Penderita
1.5.1 Definisi
Penderita ambulatori maupun penderita unit perawatan intensif perlu dibuat Profil
Pengobatan Penderita (P-3), terutama penderita ambulatori yang secara rutin
datang ke IFRS. P-3 adalah rekaman data pribadi dan semua obat yang digunakan
selama dirawat di rumah sakit (Siregar, 2003).
1.5.2 Kegunaan
Kegunaan P-3 adalah (Siregar, 2003):
i)
Memungkinkan apoteker untuk mengetahui regimen obat penderita
secara menyeluruh; memungkinkan apoteker untuk mendeteksi
dengan cepat interaksi yang mungkin, perubahan dosis yang tidak
dimaksudkan, duplikasi obat dan terapi tumpang tindih dan
kontraindikasi.
ii)
Diperlukan untuk sistem distribusi dosis unit agar dosis obat individu
dapat dijadwalkan, disiapkan, didistribusikan dan diberikan tepat
waktu.
iii)
Untuk mengaji ketepatan terapi obat, mengetahui kepatuhan
penderita; untuk memeriksa kepekaan obat dan merekam data lain
dari penderita yang dapat mempengaruhi terapi obat
iv)
Berguna dalam pengkajian retrospektif penggunaan obat
Maksud utama Profil Pengobatan Penderita adalah mendokumentasikan sejarah
obat dan penggunaan obat oleh penderita. P-3 harus dikaji apoteker sebelum
mendispensing obat penderita.
1.5.3 Informasi pada P-3
Informasi pokok yang harus tercantum dalam Profil Pengobatan Penderita adalah:
nama, alamat, nomor rekam medik, tanggal lahir, berat/tinggi badan, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, pembiayaan, status pulang, lama perawatan
(tanggal masuk dan tanggal keluar dari ruang unit rumah sakit), alasan keluar,
kondisi penderita saat dibawa ke unit perawatan intensif (ICU), keluhan utama,
kebiasaan, anamnesis, riwayat penyakit, data medis yang relevan dengan terapi
obat penderita, riwayat alergi, diagnosis utama, hasil uji laboratorium, nama obat,
rute pemberian, dosis, lama penggunaan, nama dokter, nama pemberi resep dan
paraf apoteker (Newton, 2006).
Download