BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ciri-ciri ayam ras petelur produktif adalah jengger dan pial besar, lembut, mengkilat seperti berminyak, muka berwarna merah, mata bercahaya tidak cekung, bentuk kaki agak kecil, kulit lunak dan longgar, rongga perut lunak dan elastis, jarak antar ujung tulang dada dan tulang pinggul empat jari atau lebih, tulang pubis runcing, lebar dan lunak, jarak kedua ujungnya tiga jari atau lebih, anus berbentuk lonjong, basah, besar dan warnanya putih agak kebiruan (Rasyaf, 2008). Taksonomi ayam petelur : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Aves Ordo : Galliformes Famili : Phasianidae Genus : Gallus Spesies : Galus galus Upaspesies : Galus galus domesticus Siklus hidup ayam petelur dibedakan dalam tiga fase yaitu fase starter (0-8 minggu), fase grower (8-20 minggu), dan fase layer (20 minggu- 9 afkir) (Susilorini dkk., 2008). Untuk fase layer ini dibagi lagi menjadi dua fase yakni fase I dan fase II. Dimana fase I adalah fase saat ayam mulai bertelur selama 20 minggu pertama (20-42 minggu) dengan bobot badan rata-rata 1.350 gram dan konsumsi pakan sebanyak 75 gram/ekor/hari, dan fase II adalah fase dimana ayam telah mencapai bobot badan yang tetap hingga afkir (42-72 minggu). 2.2. Pengaruh THI terhadap Produksi Telur Nutrisi yang digunakan untuk produksi telur hanya merupakan kelebihan dari nutrisi yang digunakan untuk proses homeostasis dan hidup pokok. Artinya sebelum hewan menggunakan nutrisi untuk produksi, maka nutrisi digunakan terlebih dahulu untuk menyuplai energi bagi kerja jantung, paru-paru, proses pencernaan sampai mengangkut produknya ke seluruh tubuh oleh darah dan proses mengembalikan kondisi tubuh ke arah normal bila terjadi perubahan, untuk pembentukan sel-sel darah, penggantian sel organ yang rusak, proses pembuangan produk yang tidak digunakan oleh ginjal, kontraksi otot rangka, dan proses homeostasis. Ini berarti, semakin tinggi energi yang digunakan untuk proses homeostasis, maka semakin rendah energi yang tersedia untuk produksi telur (Andi Mushawwir dan D. Latipuddin, 2013). Seperti dikemukakan terdahulu, produksi merupakan manifestasi dari interaksi antara faktor dalam (genetik) dengan faktor luar (lingkungan). Dalam hal ini yang dimaksud dengan lingkungan dapat bersifat nutrisional, klimatologis dan managerial. Faktor dalam yakni genetis di negara maju 10 sudah mendapat perhatian utama untuk memperbaiki kualitas ternak, yakni seleksi menuju satu tujuan antara lain seleksi kearah produksi daging dan telur. Fenomena fisiologis yang berlangsung di dalam tubuh hewan khususnya ternak unggas sangat bergantung kepada empat faktor pembatas produksi yang sangat penting yakni genotip, nutrisi, iklim dan penyakit. Di Indonesia, fokus perhatian perlu ditujukan pada iklim dan nutrisi yang dikaitkan produksi telur, pemanfaatan energi, interrelasi hormon dan aspek fisiologis, proses biokimiawi pembentukan telur. Semua aspek di atas masih luas untuk diteliti dalam rangka menghasilkan “breed” Indonesia. Untuk Indonesia, faktor-faktor lain yang mempengaruh produksi seperti kepadatan dalam kandang, adanya mikroorganisme, serangga, sinar matahari, kelembaban, suhu udara dan curah hujan, cukup menarik sebagai objek penelitian, karena faktor-faktor di atas umumnya merupakan faktor pembatas produksi ternak yang efeknya dapat tinggi atau rendah. Penelitian terdahulu yang dilaporkan oleh Anderson (1983) menunjukkan bahwa produksi telur dapat dicapai dengan optimal apabila diketahui berbagai fenomena yang berlangsung dalam tubuh ternak. Terutama terhadap faktor-faktor yang merupakan respon ternak atas perubahan kondisi lingkungan fisik. Lingkungan fisik yang paling menunjukkan dampak negative adalah kenaikan temperature di atas atau melebihi, bahkan jauh dibawah temperature zona nyaman ternak tersebut. 11 Proses yang terjadi di atas tidak selamanya berjalan lancar, sebab reaksi fisiologik hanya berjalan lancar pada keadaan lingkungan internal yang tetap, atau “millieu interieur” yang konstan. Kenyataannya ialah bahwa setiap mahluk hidup berada pada kondisi lingkungan luar yang berubah-ubah. Komponen iklim yang berubah siang dengan malam, antara dataran tinggi dengan dataran rendah, antara di dalam kandang dan di luar kandang, dan persediaan dan penyediaan pakan berubah dari waktu ke waktu baik kuantitatif maupun kualitatif. Setiap perubahan lingkungan luar tubuh ternak unggas akan merubah lingkungan di dalam tubuh akibat adanya reaksi organ tubuh terhadap perubahan lingkungan di atas. Manifestasi reaksi organ-organ dan kaitannya dengan produksi ternak, karena sejumlah energi digunakan untuk mempertahankan diri terlebih dahulu, baru untuk produksi. Dengan demikian kebutuhan energi yang pada keadaan normal hanya dibutuhkan dalam jumlah tertentu, karena adanya gangguan luar, menjadi lebih besar. Semakin besar perubahan-perubahan yang terjadi di luar tubuh, semakin banyak energi digunakan untuk mempertahankan kondisi di dalam tubuh (millieu interieur) dalam keadaan tetap (Aengwanich, 2007). Kolesterol merupakan precursor utama bagi pembentukan hormonhormon steroid (Progesteron, testosterone dan esterogen). Diantara hormonhormon tersebut, hormon esterogen memiliki peranan yang sangat penting bagi sintesis telur, karena esterogen berperan sebagai sinyal kimiawi dalam pembentukan protein-protein yang terdapat dalam albumen (putih telur). 12 Terkait dengan peningkatan THI maka gangguan metabolisme dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Fenomena ini distimulan oleh peningkatan hormon Cortikotropic Releasing Factor (CRF). Peningkatan CRF ini menstimulan peningkatan sekresi adrenokortikotrofik hormon (ACTH) oleh pituitary anterior, ACTH melalui pembuluh vena dibawa ke adrenal medulla dan adrenal korteks. Adrenal korteks kemudian mensekresikan hormon-hormon glukokortikoid antara lain kortisol. Kortisol dari korteks medulla disebarkan ke seluruh jaringan tubuh oleh system vaskuler. Di dalam hati dan otot, kortisol ini mampu meningkatkan gluconeogensis. Diketahui bahwa gluconeogenesis merupakan lintasan anabolisme untuk membentuk glukosa dari precursor non karbohidrat (asam-asam amino, asam-asam lemak, dan kolesterol), dalam rangka pemenuhan energi bagi ayam petelur yang sedang mengalami stres temperatur tinggi dan atau peningkatan THI (Franco, 2004). Peningkatan laju gluconeogenesis menjadi pemicu penggunaan kolesterol lebih banyak diperuntukkan untuk pembentukan glukosa sehingga secara kuantitatif mengurangi prekusor pembentukan hormonhormon steroid pada gilirannya akan menurunkan laju sintesis proteinprotein albumen (putih telur). Sebagai kompensasi kejadian ini maka terjadi penurunan laju produksi telur. 2.3. Pengaturan Panas Tubuh (Thermoregulasi) pada Ayam Petelur Setiap sistem hidup (pada semua tingkatan) selalu bereaksi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungannya, juga 13 mengatur dan mengontrol reaksi yang ditimbulkannya. Pada tahun 1879, seorang ahli fisiologi asal Perancis bernama Claude Bernard mengusulkan suatu syarat penting bagi hewan yang ingin dapat bertahan hidup di lingkungannya, yakni bahwa hewan harus mempertahankan stabilitas pada lingkungan internal atau cairan tubuhnya. Ada beberapa hewan yang suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungan, ada pula yang stabil dan faktor yang mempengaruhi suhu tubuh hewan dapat dari dalam (metabolisme) maupun dari luar. Pada tahun 1855, Bernard mengemukakan bahwa penyebab terjadinya berbagai reaksi yang menstabilkan lingkungan internal ialah adanya senyawa khusus, yang dihasilkan oleh semua organ dan dikeluarkan ke cairan jaringan. Pernyataan tersebut menjadi pelopor munculnya gagasan mengenai hormone dan regulasi/pengaturan kimia (Isnaeni, 2006). Pengaturan lain yang merupakan bentuk dari homeostasis, yaitu pengaturan suhu tubuh yang melibatkan suatu mekanisme yang mempunyai dampak pada laju metabolisme, tekanan darah, oksigenasi jaringan, dan bobot tubuh. (Campbell, 2004). Homeostasis ialah keadaan lingkungan internal yang konstan dan mekanisme yang bertanggung jawab atas keadaan konstan tersebut. Lingkungan internal ialah cairan dalam tubuh hewan yang merupakan tempat hidup bagi sel penyusun tubuh. Cairan tubuh hewan meliputi darah, cairan interstisial, cairan selomik, dan cairan lain yang terdapat dalam tubuh. Untuk dapat bertahan hidup, hewan harus menjaga stabilitas lingkungan internalnya, antara lain keasaman atau pH, suhu tubuh, kadar garam, 14 kandungan air, dan kandungan nutrien atau zat gizi. Mamalia (golongan hewan yang memiliki kelenjar susu) dan aves (golongan burung) memiliki kemampuan mengatur berbagai faktor tersebut dengan sangat tepat. Oleh karena itu, aves dan mamalia disebut regulator (Isnaeni, 2006). Sistem thermoregulatori ayam disebut juga sistem pengaturan suhu tubuh, ayam bersifat homeotermik atau suhu tubuh ayam relatif stabil pada kisaran tertentu yaitu 40-41oC. Namun saat berumur 0-5 hari, ayam masih belum bisa mengatur suhu tubuhnya sendiri. Ayam baru bisa mengatur suhu tubuhnya secara optimal sejak umur 2 minggu (Okarini, 2009). Hewan homoiterm suhunya lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hewan homoiterm dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuh. Hewan homoioterm mempunyai variasi temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam, faktor makanan yang dikonsumsi dan faktor jenuh pencernaan air. Hewan homoioterm adalah hewan yang dapat menjaga suhu tubuhnya, pada suhusuhu tertentu yang konstan biasanya lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya. Sebagian panas hilang melalui proses radiasi, berkeringat yang menyejukkan badan. Melalui evaporasi berfungsi menjaga suhu tubuh agar tetap konstan. Contoh hewan homoioterm adalah bangsa burung dan mamalia (Jamaria, 2012). 15 Suhu tubuh tergantung pada neraca keseimbangan antara panas yang diproduksi atau diabsorbsi dengan panas yang hilang. Panas yang hilang dapat berlangsung secara radiasi, konveksi, konduksi dan evaporasi. Radiasi adalah transfer energi secara elektromagnetik, tidak memerlukan medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi merupakan transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan lansung tanpa ada transfer panas molekul. Panas menjalar dari yang suhunya tinggi kebagian yang memiliki suhu yang lebih rendah. Konveksi adalah suatu perambatan panas melalui aliran cairan atau gas. Besarnya konveksi tergantung pada luas kontak dan perbedaan suhu. Evaporasi merupakan konveksi dari zat cair menjadi uap air, besarnya laju konveksi kehilangan panas karena evaporasi . Hewan mempunyai kemampuan adaptasi terhadap perubahan suhu lingkungan. Sebagai contoh, pada suhu dingin, mamalia dan burung akan meningkatkan laju metabolisme dengan perubahan hormonhormon yang terlibat di dalamnya, sehingga meningkatkan produksi panas. Pada ektoterm (misal pada lebah madu), adaptasi terhadap suhu dingin dengan cara berkelompok dalam sarangnya. Hasil metabolisme lebah secara kelompok mampu menghasilkan panas di dalam sarangnya (Jamaria, 2012). Berbagai bentuk energi yang ada di dalam tubuh hewan adalah hasil dari reaksi-reaksi biokimia. Seluruh reaksi biokimia termasuk dalam cakupan metabolisme yang terdiri atas proses degradasi (katabolisme) dan penyusunan atau sintesis (anabolisme). Reaksi sintesis membutuhkan energi yang telah tersedia dalam sistem melalui oksidasi. Seluruh energi yang 16 dilepaskan selama proses oksidasi tidak digunakan, akan tetapi sebagian energi tersebut akan dilepaskan keluar tubuh dalam bentuk panas. Oleh sebab itu, metabolisme dan panas tubuh sangat berhubungan erat satu sama lain. Kebanyakan reaksi biokimia secara ekstrim sangat sensitif terhadap temperatur. Peningkatan suhu 100C akan meningkatkan kecepatan reaksi dua kali lipat, sedangkan suhu rendah akan memberikan efek berkebalikan. (Santoso, 2009). Menurut Rastogi (2007), kisaran suhu dari berbagai hewan adalah sebagai berikut : Ilustrasi kisaran temperatur dari berbagai hewan Hewan ektotermik dan endotermik mempertahankan suhu tubuhya dengan mengkombinasikan empat kategori umum dari adaptasi, yaitu: 1. Penyesuaian laju pertukaran panas antara hewan dengan sekelilingnya.Insulasi tubuh seperti, rambut, bulu, lemak yang terletak 17 persis di bawah kulit untuk mengurangi kehilangan panas. Penyesuaian ini terdiri endotermik dari beberapa mekanisme, diantaranya: Hewan mengubah jumlah darah yang mengalir ke kulitnya berdasarkan suhu di sekitarnya. Misal pada suhu dingin maka hewan endotermik akan mengecilkan diameterpembuluh darahnya (vasokontriksi) sehingga terjadi penurunan aliran darah, sedangkan pada musim panas hewan endotermik akan membesarkan diameter pembuluh darahnya (vasodilatasi) sehingga terjadi peningkatan aliran darah. Pengaturan arteri dan vena yang disebut penukar panas lawan arus(countercurrent heat exchanger). Pengaturan lawan arus ini memudahkan pemindahan panas dari arteri ke vena di sepanjang pembuluh darah tersebut. 2. Pendinginan melalui kehilangan panas evaporatif. Hewan endotermik dan ektotermik terestial kehilangan air melalui pernapasan dan melaluikulit. Jika kelembapan udara cukup rendah, air akan menguap dan hewan tersebut akan kehilangan panas dengan cara pendingin melalui evaporasi. Evaporasi dari sistem respirasidapat ditingkatkan dengan cara panting (menjulurkan lidah ke luar). Pendinginan melaluievaporasi pada kulit dapat ditingkatkan dengan cara berendam atau berkeringat. 3. Respons perilaku. Banyak hewan dapat meningkatkan atau menurunkan hilangnya panas tubuh dengan caraberpindah tempat. Mereka akan berjemur dibawah terik matahari atau pada batu panas selama musim 18 dingin, menemukan tempat sejuk, lembab atau masuk ke dalam lubang di dalam tanah pada musim panas, dan bahkan bermigrasi ke lingkungan yang lebih sesuai.4. Pengubahan laju produksi panas metabolik.Kategori penyesuaian ini hanya berlaku bagi hewan endotermik, khususnya unggas danmamalia. Hewan endotermik akan meningkatkan produksi panas metaboliknya sebanyak duatau tiga kali lipat ketika terpapar ke keadaan dingin (Campbell, 2004). Beberapa adaptasi hewan untuk mengurangi kehilangan panas, misalnya adanya bulu dan rambut pada burung dan mamalia, otot, dan modifikasi sistim sirkulasi di bagian kulit. Kontriksi pembuluh darah di bagian kulit dan countercurrent heat exchange adalah salah satu cara untuk mengurangi kehilangan panas tubuh. Perilaku adalah hal yang penting dalam hubungannya dengan termoregulasi. Migrasi, relokasi, dan sembunyi ditemukan pada beberapa hewan untuk menurunkan atau menaikkan suhu tubuh. Gajah di daerah tropis untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara mandi atau mengipaskan daun telinga ke tubuh. Manusia menggunakan pakaian adalah salah satu perilaku unik dalam termoregulasi (Jamaria, 2012). Ayam petelur termasuk hewan homoioterm dengan tingkat metabolisme yang tinggi, termasuk hewan yang dapat menjaga dan mengatur suhu tubuhnya agar tetap normal melalui proses yang disebut homeostasis, temperatur tubuh akan konstan meskipun hidup pada temperatur lebih rendah atau lebih tinggi dari pada temperatur tubuhnya, hal 19 ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya, yaitu hipotalamus untuk mengatur suhu tubuh. Ayam petelur dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuhnya. Ayam petelur mempunyai variasi temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam dan faktor makanan yang dikonsumsi (Andi Mushawwir dan D. Latipuddin, 2011). Kemampuan mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran yang normal merupakan kegiatan yang sangat mempengaruhi reaksi biokimiawi dan proses fisiologis dalam kaitannya dengan metabolisme tubuh ayam, kegiatan ini akan mempengaruhi perubahan yang terjadi pada temperatur tubuh ayam petelur. Masing-masing periode pertumbuhan, temperatur tubuh ayam berbeda-beda, karena temperatur tubuh tidak mungkin menunjukkan suatu derajat panas yang tetap, Tetapi kisaran di atas batas tertentu, karena proses metabolisme di dalam tubuh tidak selalu tetap dan faktor di sekitar tubuh (yang diterima tubuh secara radiasi, konveksi, dan konduksi) (Sahara, 2011). Umumnya unggas, khususnya ayam petelur tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu adalah pelepasan panas melalui penguapan air (evaporasi) pada kulit dan saluran pernafasan dengan cara panting. Indikator yang sangat sederhana untuk mengetahui fenomena ini adalah dengan mengukur permukaan bagian-bagian tubuh ayam dan beberapa parameter fisiologik. Perbedaan 20 aktivitas metabolisme akan menunjukkan respon yang berbeda dalam mempertahankan suhu tubuhnya (Andi Mushawwir dan D. Latipuddin, 2011). 21