19 BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi

advertisement
BAB III
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian
Daerah penelitian terletak di daerah Sarimekar dan sekitarnya, Jatinunggal,
Kabupaten Sumedang. Morfologi yang tampak merupakan hasil dari prosesproses geomorfik yang berlangsung. Menurut Lobeck (1939), pembentukan rupa
bumi dikontrol oleh beberapa faktor utama, yaitu proses, tahapan dan struktur.
Struktur berkaitan dengan posisi dan bentuk lapisan batuan (tata letak batuan).
Proses adalah aktivitas yang mengubah bentuk rupa bumi. Tahapan merupakan
besaran erosi yang terjadi pada suatu waktu di suatu daerah hingga terbentuk
bentukan akhir rupa bumi.
Proses geomorfik menurut Thornbury (1969), adalah seluruh perubahan fisik dan
kimiawi yang mempengaruhi bentuk dari suatu muka bumi. Bentukan morfologi
dan topografi dipengaruhi oleh proses eksogen seperti pelapukan (weathering),
erosi, transportasi, aktivitas organisme, proses ekstrateristrial serta proses endogen
seperti vulkanisme dan gerakan lempeng.
Proses-proses pelapukan (weathering) dan volkanisme berperan besar dalam
geomorfologi daerah penelititan. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh
Lobeck (1939) dan Thornbury (1969).
3.1.1
Morfologi Umum Daerah Penelitian
Morfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan analisis peta topografi, citra
satelit (SRTM) dan pengamatan langsung di lapangan. Pengamatan awal pada
peta topografi tampak berupa bentang alam yang memiliki perbedaan tinggi dan
relief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur dengan
interval ketinggian sekitar 290 mdpl sampai 706 mdpl. Titik tertinggi di daerah
penelitian berada di sebelah timurlaut daerah penelititan yaitu Gunung Jagat (706
mdpl), sedangkan titik terendah berada pada lembah Sungai Cacaban (290 mdpl).
19
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Gambar 3.1. Citra satelit (SRTM) menunjukkan morfologi daerah penelitian; Kotak merah
merupakan batas lokasi penelitian. Perhatikan indikasi sesar (garis merah) yang ditunjukan oleh
pembelokan arah orientasi kelurusan bukit (garis putih) dan kelurusan sungai (garis kuning).
Dari pengamatan secara langsung di lapangan, morfologi daerah penelitian
didominasi oleh perbukitan yang memanjang berarah baratlaut-tenggara hingga
barat-timur, serta dataran-dataran yang berelief landai sampai sedang. Sedangkan
pada citra satelit (Gambar 3.1) yang berupa warna, tekstur dan pola, dapat
menunjukkan perbedaan tinggi dan relief, pola kelurusan bukit, pola aliran sungai,
dan kemiringan lereng. Indikasi adanya struktur geologi yaitu adanya sesar geser
(perhatikan garis merah pada Gambar 3.1) dapat diintrepetasikan dari pergeseran
dan pembelokan kelurusan bukit (perhatikan arah orientasi garis-garis putih di
20
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
sekitar garis merah pada Gambar 3.1) dan kelurusan sungai yang dominan
(perhatikan arah orientasi garis-garis kuning di sekitar garis merah pada Gambar
3.1).
3.1.2
Pola Aliran dan Tipe Genetik Sungai.
Gambar 3.2. Peta Pola Aliran Sungai.
SD merupakan pola aliran sungai subdendritik; sedangkan K, S, dan O merupakan tipe genetik
sungai, yaitu Konsekuen, Subsekuen, dan Obsekuen.
21
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Pola sungai subdendritik berkembang di daerah penelitian (Gambar 3.2). Pola
aliran sungai tipe subdenritik dibentuk oleh batuan yang relatif sama. Aliran
sungai tersebut berbentuk menyerupai urat-urat daun yang mengalir dari berbagai
arah kemudian bersatu mengalir menuju sungai induknya dengan orientasi arah
anak sungai relatif tegak lurus terhadap sungai induknya dikarenakan adanya
pengaruh stuktur.
Tipe genetik sungai yang terdapat pada daerah penelitian antara lain tipe
subsekuen, tipe konsekuen, dan tipe obsekuen. Pola-pola sungai ini dikontrol oleh
struktur kekar dan sesar, kemudian dari sungai yang ada berkembang menjadi
anak sungai. Sungai dengan tipe genetik subsekuen adalah sungai yang aliran air
sungainya mengalir sejajar dengan arah jurus lapisan batuan penyusun sungai
tersebut. Sungai dengan tipe ini dijumpai pada Sungai Cacaban dan Sungai
Cipatahunan. Sungai dengan tipe konsekuen adalah sungai yang aliran air
sungainya mengalir searah dengan arah kemiringan lapisan batuan penyusun
sungai tersebut. Sungai dengan tipe genetik konsekuen dijumpai pada Sungai
Cacaban dan Kali Babakan. Sungai dengan tipe obsekuen adalah sungai yang
aliran
sungainya
berlawanan
arah
dengan
kemiringan
lapisan
batuan
penyusunnya. Sungai dengan tipe genetik obsekuen dijumpai pada anak Sungai
Cinambo.
3.1.3
Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian
Satuan geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi tiga satuan geomorfologi,
yaitu Satuan Perbukitan Homoklin, Satuan Lembah Homoklin, dan Satuan
Perbukitan Volkanik (Lampiran D2, Peta Geomorfologi).
3.1.3.1 Satuan Perbukitan Homoklin.
Satuan perbukitan homoklin menempati 40% luas daerah penelitian. Pada peta
geomorfologi terlampir (Lampiran D2) ditandai dengan warna jingga. Satuan ini
tampak sebagai perbukitan memanjang memiliki kemiringan lapisan batuan
penyusun yang relatif sama ke arah selatan (Gambar 3.3) dan terdapat gawir22
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
gawir terjal (50°-70°). Satuan ini berada pada bagian utara daerah penelitian
dengan arah umum kelurusan bukit relatif baratlaut-tenggara.
Pada peta topografi Satuan Perbukitan Homoklim dicirikan dengan garis kontur
yang rapat sampai sedang, memiliki ketinggian berkisar 380-706 meter di atas
permukaan laut. Ciri morfologi berupa punggungan yang terjal menunjukkan
litologi keras dan tidak mudah tererosi. Satuan ini disusun oleh litologi berupa
breksi dengan sisipan batupasir dan batulempung dengan besar dip 30°- 45°.
Gambar 3.3 Satuan perbukitan homoklin, foto diambil dari Budisari (sebelah timur lokasi CCB17) ke arah baratlaut, kemiringan bukit tampak relatif ke arah selatan (lihat orientasi garis putih).
3.1.3.2 Satuan Lembah Homoklin
Satuan ini menempati 38% luas daerah penelitian dengan ketinggian topografi
berkisar antara 250-393 meter di atas permukaan laut. Memiliki arah kemiringan
lapisan batuan yang relatif sama ke arah selatan, landai sampai sedang dengan
besar kemiringan lereng berkisar antara 10% sampai 60% (Gambar 3.4 dan
Gambar 3.5). Pada peta geomorfologi terlampir (Lampiran D2) ditandai dengan
warna hijau. Ciri morfologi berupa lembah yang landai sampai sedang
menunjukan litologi lunak dan mudah tererosi. Litologi penyusun pada Satuan
Lembah Homoklin ini umumnya berupa batulempung-batupasir dengan dip
sebesar 30°- 40°.
23
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Gambar 3.4 Satuan lembah homoklin, foto diambil di Desa Ciranggem
(lokasi CN2-11) ke arah utara.
Gambar 3.5 Satuan lembah homoklin, foto diambil dari Ciboboko (dekat lokasi CCB-02) ke arah
selatan.
3.1.3.3 Satuan Perbukitan Volkanik.
Satuan ini meliputi 22% luas daerah penelitian. Pada peta geomorfologi terlampir
(Lampiran D2) ditandai dengan warna merah. Satuan ini dicirikan oleh relief yang
memiliki kemiringan lereng rendah hingga curam, sekitar 20% sampai 90%.
Satuan ini berada pada ketinggian sekitar 300 sampai 455 meter di atas
permukaan laut (Gambar 3.6).
24
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Gambar 3.6 Satuan Perbukitan Volkanik, foto diambil dari Budisari (sebelah timur lokasi CCB-17)
ke arah selatan.
Ciri morfologi berupa bukit dengan lereng yang terjal menunjukkan litologi keras
dan tidak mudah tererosi. Satuan ini disusun oleh litologi berupa breksi volkanik
dan lava basalt.
3.1.4
Tahapan Geomorfik.
Litologi dan kontrol struktur geologi berperan dalam pembentukan morfologi.
Litologi yang bersifat keras akan membentuk morfologi yang relatif terjal,
sedangkan litologi yang bersifat lunak membentuk morfologi yang relatif landai.
Tingkat erosi yang intensif dan terus berlangsung hingga saat ini membentuk
morfologi lembah dan dataran, hal ini disebabkan oleh erosi lateral yang lebih
dominan daripada erosi vertikal, tampak pada dasar sungai yang landai dan sungai
berkelok. Berdasarkan adanya pengaruh erosi lateral yang dominan tersebut
bentukan satuan morfologi lembah terbentuk di daerah penelitian, keadaan
tersebut dapat mengindikasikan secara umum tahapan geomorfik daerah
penelitian dapat digolongkan ke dalam tahapan geomorfik dewasa.
25
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.2
Stratigrafi Daerah Penelitian
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan analisis laboratorium, penulis
membagi daerah penelitian kedalam lima satuan litostratigrafi tidak resmi dengan
urutan dari yang paling tua ke yang muda yaitu Satuan Batulempung-batupasir A,
Satuan Breksi, Satuan Batulempung-batupasir B, Satuan Lava Basalt, dan Satuan
Breksi Volkanik (Gambar 3.7).
Gambar 3.7 Kolom Stratigrafi Satuan Tidak Resmi Daerah Sarimekar dan Sekitarnya, Jatinunggal,
Jawa Barat (tanpa skala).
26
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.2.1 Satuan Batulempung-Batupsir A
Satuan ini tersingkap di anak Sungai Cinambo. Satuan ini menempati sekitar 25%
daerah penelitian. Pada peta geologi terlampir (Lampiran D3), satuan ini diberi
warna hijau muda. Satuan ini dicirikan oleh perselingan batulempung-batupasir
(Gambar 3.8).
Pada bagian selatan anak Sungai Cinambo satuan ini dicirikan perbandingan
batupasir dan batulempung 1:3. Kemudian semakin ke selatan daerah penelitian
perbandingan batupasir dan batulempung sekitar 1:2 sampai dengan 1:1 dengan
ciri litologi lebih kompak dengan kenampakan morfologi menjadi lebih terjal
(perbukitan).
Gambar 3.8 Foto singkapan perselingan batulempung-batupasir
di Satuan Batulempung-batupasir A (lokasi CN2-04).
Singkapan umumnya dijumpai dalam keadaan segar sampai lapuk. Jurus lapisan
batuan secara umum berarah baratlaut-tenggara hingga barat-timur dengan
kemiringan berkisar antara 18⁰-40⁰. Pada daerah penelitian tidak ditemukan
kontak bagian bawah dari satuan ini, namun diperkirakan memiliki ketebalan
>400 m. Batupasir pada satuan ini berwarna abu-abu berukuran pasir halus-kasar,
27
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
bentuk butir menyudut tanggung-membundar, karbonatan, kemas tertutup,
terpilah sedang, porositas sedang-baik, dan kompak. Dari singkapan yang jumpai
pada umumnya memperlihatkan urutan vertikal menipis ke atas (lihat Gambar
3.8).
Struktur sedimen yang terlihat pada batupasir ini adalah perlapisan bersusun dan
laminasi sejajar (T.ab sekuen Bouma) (Gambar 3.9).
a
b
a
)
Gambar 3.9 Foto struktur sedimen pada batupasir di Satuan Batulempung-batupasir A (lokasi
CN2-06); a.perlapisan bersusun dan b.laminasi sejajar
Dari analisis petrografi batupasir pada lokasi CNB-13 (Lampiran A1 dan A2),
batupasir pada satuan ini diklasifikasikan ke dalam feldspatic wacke (Folk, 1974
dalam Tucker, 2001).
Batulempung pada satuan ini secara megaskopis berwarna abu-abu, karbonatan,
getas sampai masif.
Dari analisis mikropaleontologi pada foraminifera plankton yang dilakukan pada
contoh batuan di lokasi CN2-04 dan CN2-06 (Lampiran B1 dan B2), dengan fosil
Globorotalia mayeri, Globigerinoides immaturus, Globigerinoides obliquus,
Globigerina nephentes didapat kisaran umur satuan ini yaitu Miosen Tengah atau
N.14 (Bolli dan Saunders, 1985), namun berdasarkan rekontruksi dan analisis
28
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
yang dilakukan pada peta geologi, serta ditemukannya data berupa adanya kontak
satuan yang berangsur dari Satuan Batulempung-batupasir A ke Satuan Breksi di
atasnya yang memiliki hubungan selaras, penulis memperkirakan Satuan
Batulempung-batupasir B berumur N.14-N.15. Satuan ini diendapkan pada zona
batial atas (Tipsword et al., 1966) berdasarkan kehadiran foraminifera benthos
Lenticulina peregrina, Bulimina sp., Nodosaria sp., Lagena sp.
Hubungan
stratigrafi terhadap satuan di bawahnya tidak diketahui karena tidak ditemukan
pada daerah penelitian. Berdasarkan ciri litologi, analisis fosil dan stratigrafi,
satuan ini dapat disetarakan dengan Formasi Cinambo (Martodjojo 1984).
3.2.2 Satuan Breksi
Satuan ini tersingkap di selatan anak Sungai Cinambo dan Sungai Cipatahunan.
Satuan ini menempati sekitar 35% daerah penelitian dan ditandai dengan warna
jingga pada peta geologi terlampir (Lampiran D3). Singkapan yang dijumpai
dalam keadaan segar hingga lapuk. Jurus lapisan umum berarah baratlaut-tenggara
dan barat-timur dengan kemiringan lapisan berkisar antara 15⁰-40⁰. Bagian bawah
dari satuan ini berbatasan dengan Satuan Batulempung-Batupasir A sedangkan
batas atas dengan Satuan Batulempung-Batupasir B.
Satuan ini disusun oleh litologi berupa breksi dengan sisipan batupasir dan
batulempung (Gambar 3.10). Secara megaskopis breksi pada satuan ini berwarna
abu-abu gelap, besar butir kerikil sampai dengan bongkah, matrix supported,
kemas terbuka, pemilahan buruk, bentuk butir menyudut-menyudut tanggung,
fragmen terdiri dari batuan beku, batupasir, batugamping, dan batulempung,
matriks berupa batupasir karbonatan dan kompak. Batupasir (memiliki ketebalan
5-50 cm) dideskripsi berwarna abu-abu, karbonatan, besar butir sedang-kasar,
pemilahan buruk, kemas terbuka, dan kompak. Batulempung, berwarna abu-abu,
karbonatan, mengandung fosil foraminifera, menyerpih dan getas, memiliki
ketebalan 5-30 cm.
29
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Gambar 3.10 Foto Singkapan breksi
di Satuan Breksi (lokasi CN2-10).
Struktur sedimen yang dapat dijumpai pada batupasir adalah lapisan bersusun dan
laminasi sejajar dan lapisan bergelombang (T.abc sekuen Bouma) (Gambar 3.11).
Tc
Tb
Ta
Gambar 3.11 Foto struktur sedimen sekuen Bouma pada batupasir di Satuan Breksi (lokasi CN208); perlapisan bersusun (Ta), laminasi sejajar (Tb), dan perlapisan bergelombang (Tc).
30
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Analisis petrografi yang dilakukan pada contoh fragmen breksi di lokasi CNB-07
berupa andesit (Lampiran A3), fragmen andesit tersebut berkomposisi piroksen,
kuarsa, plagioklas, dan mineral opak. Sisipan batupasir pada satuan ini
berdasarkan analisis petrografi adalah feldspatic wacke (Folk, 1974 dalam Tucker,
2001) (Lampiran A4). Dari analisis mikropaleontologi foraminifera plankton yang
dilakukan pada contoh batuan di lokasi CNB-13 dan CPT-09 (Lampiran B3 dan
B4) hadir fosil foraminifera Globigerina praebulloides, Globoquadrina dehiscens,
dan Globorotalia acostaensis, didapat kisaran umur satuan batuan ini yaitu
Miosen Akhir atau N.16-N.17 (Bolli dan Saunders, 1985). Satuan ini diendapkan
pada zona neritik dalam-batial atas (Tipsword et al., 1966) berdasarkan
foraminifera benthos: Nodosaria sp., Gyroidina soldanii, Textularia sp., dan
Lagena sp. Hubungan stratigrafi terhadap satuan di bawahnya adalah selaras.
Berdasarkan ciri litologi, analisis fosil dan posisi stratigrafi, satuan ini disetarakan
dengan Anggota Jatigede (Martodjojo, 1984). Satuan ini diperkirakan memiliki
ketebalan sekitar ± 1550 meter.
3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir B
Satuan ini menempati sekitar 30% daerah penelitian. Pada peta geologi terlampir
(Lampiran D3), satuan Batulempung-Batupasir B berwarna hijau tua. Satuan ini
tersingkap pada Sungai Cacaban atau Sungai Babakan di selatan daerah
penelitian. Satuan ini terdiri dari perselingan batulempung dan batupasir (Gambar
3.12). Singkapan yang dijumpai di lapangan berada dalam keadaan segar hingga
sangat lapuk. Jurus lapisan batuan secara umum berarah barat-timur hingga
baratlaut-tenggara dengan rata-rata kemiringan lapisan batuan sekitar antara 30⁰50⁰.
Batupasir pada satuan ini dideskripsi secara megaskopis berwarna abu-abu gelap,
ukuran butir halus-sedang, bentuk butir membundar-membundar tanggung, kemas
tertutup, terpilah sedang-baik, porositas sedang. Struktur sedimen pada batupasir
berupa perlapisan bersusun dan laminasi sejajar (T.ab Sekuen Bouma). Batupasir
ini pada umumnya memperlihatkan urutan vertikal menipis ke atas.
31
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Batulempung dideskripsikan berwarna abu-abu, karbonatan mengandung fosil
foraminifera dan getas.
Gambar 3.12 Foto singkapan perselingan batulempung-batupasir
di Satuan Batulempung-batupasir B (lokasi CCB-08).
Dari analisis petrografi pada contoh batuan lokasi CCB-11 (Lampiran A5),
batupasir pada satuan ini diklasifikasikan ke dalam lithic wacke (Folk, 1974
dalam Tucker, 2001).
Analisis mikropaleontologi pada foraminifera plankton pada contoh batuan di
lokasi CCB-07 dan CCB-17 (Lampiran B5 dan B6), dengan hadirnya fosil
Globorotalia plesiotumida dan Pulleniatina primalis, didapat kisaran umur satuan
Batulempung-Batupasir B yaitu Miosen Akhir-Pliosen Awal atau N.17-N.19
(Bolli dan Saunders, 1985), sedangkan dengan kehadiran foraminifera benthos
Bolivina sp., Nodosaria sp., Bulimina marginata, Textularia sp., Gyroidina
soldanii, Uvigerina sp. (Lampiran B3) diintepretasikan satuan ini diendapkan
pada zona neritik tengah sampai neritik dalam (Tipsword et al., 1966).
32
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Hubungan stratigrafi terhadap satuan di bawahnya diintepretasikan adalah selaras,
berdasarkan kedudukan jurus dan kemiringan batuan (Peta Geologi, Lampiran
D3). Berdasarkan ciri litologi, analisis fosil dan posisi stratigrafi, satuan ini
disetarakan dengan Formasi Cinambo (Martodjojo, 1984). Secara regional Satuan
Batulempung-batupasir A dan Satuan Batulempung-batupasir B pada daerah
penelitian menjadi satu formasi yang sama, dimana Satuan Breksi bersifat menjari
dengan Satuan Batulempung-batupasir B dan diklasifikasikan ke dalam Anggota
Jatigede.
3.2.4 Satuan Lava Basalt
Satuan ini menempati sekitar 2% daerah penelitian. Pada peta geologi terlampir
(Lampiran D3), satuan ini ditandai dengan warna merah. Singkapan sangat baik
ditemukan di Kali Babakan sekitar daerah Budisari, bagian tenggara daerah
penelitian (Gambar 3.13).
Secara megaskopis lava basalt berwarna abu-abu gelap hingga hitam, fanerik,
masif, terdapat volatil, mineral penyusun yang tampak berupa piroksen. Dari
analisis petrografi yang dilakukan pada contoh batuan lava di lokasi CCB-13
(Lampiran A6) didapatkan sayatan basalt, hipokristalin, tekstur porfiritik,
subhedral-anhedral, berukuran 0.1-0.08 mm, tersusun oleh fenokris yaitu
plagioklas, piroksen, olivin dan mineral opak serta mineral gelas yang tertanam
dalam masadasar plagioklas dan piroksen.
Pada peta geologi daerah penelitian, terlihat Satuan Lava Basalt berada di atas
Satuan Batulempung-Batupasir B dan memiliki hubungan tidak selaras
(nonconformity). Satuan lava basalt ini diintrepetasikan berumur Pleistosen,
merupakan hasil produk aktivitas volkanik Kuarter Gunung Cakrabuana di selatan
daerah penelitian (Djuri, 1973).
33
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
a)
b)
Gambar 3.13 Foto Singkapan lava basalt di Kali Babakan (lokasi CCB-13);
a) foto ke arah hulu, b) foto ke arah hilir
34
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.2.5 Satuan Breksi Volkanik
Satuan ini tersingkap pada tinggian di selatan daerah penelitian. Satuan ini
menempati sekitar 9% daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan warna coklat
pada peta geologi terlampir (Lampiran D3), dan tersingkap di bagian selatan
daerah penelitian, seperti di sekitar Cibala.
Gambar 3.14 Foto singkapan breksi volkanik di selatan daerah penelitian
dan dimasukan ke dalam Satuan Breksi Vokanik (lokasi CCB-18).
Breksi volkanik (Gambar 3.14) berwarna coklat hingga abu-abu, tersusun oleh
fragmen andesit, tuff, besar butir kerikil-bongkah, bentuk butir menyudutmenyudut tanggung, terpilah buruk, kemas tebuka dan kompak.
Dari analisis petrografi yang dilakukan pada contoh fragmen breksi volkanik di
lokasi CCB-18 (Lampiran A7) didapatkan fragmen andesit.
Pada satuan ini tidak ditemukan fosil foraminifera sehingga umur satuan ini
mengacu pada penelitian terdahulu (Djuri, 1973) yaitu Pleistosen, yang
merupakan produk hasil aktivitas volkanik Kuarter dan diintepretasikan
bersumber dari G.Cakrabuana. Satuan ini memiliki hubungan tidak selaras
35
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
terhadap satuan di bawahnya. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi,
ketebalan satuan ini > 150 m.
3.2.6 Kesebandingan Stratigrafi Daerah Penelitian dengan Peneliti Terdahulu
Berdasarkan data di lapangan dan analisis laboratorium (analisis petrografi dan
mikropaleontologi), penelitian yang dilakukan penulis memiliki perbedaan dengan
peneliti terdahulu (Gambar 3.15).
Gambar 3.15 Kesebandingan stratigrafi daerah penelitian dengan peneliti sebelumnya.
Penamaan Formasi oleh penulis dalam pembagian stratigrafi yaitu Formasi
Cinambo yang setara dengan Formasi Cinambo (Djuhaeni dan Martodjojo, 1989)
memiliki batas bawah satuan berumur N.14, hal ini mengindikasikan umur yang
lebih tua dibandingkan umur Formasi Cinambo yang dimulai sejak N.15 menurut
Djuhaeni dan Martodjojo (1989). Breksi daerah penelitian masuk ke dalam
Formasi Jatigede yang setara dengan Anggota Jatigede (Martodjojo, 1984) atau
Formasi Cantayan (Djuhaeni dan Martodjojo, 1989) berumur N.16-N.17,
memiliki umur yang sama dengan penelitian sebelumnyadan memiliki hubungan
36
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
selaras dengan satuan di atasnya. Formasi yang terakhir adalah Formasi
Bantarujeg dengan litologi perselingan batulempung-batupasir setara dengan
Formasi Bantarujeg (Djuhaeni dan Martodjojo 1989) atau Formasi Cinambo
(Martodjojo, 1984) pada penelitian ini didapatkan umur N.17-N.19, disimpulkan
umur batas atas satuan ini berumur lebih muda dibandingkan peneliti sebelumnya.
3.3
Struktur Geologi Daerah Penelitian
3.3.1 Intepretasi Struktur Geologi
Struktur geologi daerah penelitian dapat diketahui dengan melakukan pengamatan
struktur geologi di lapangan berupa pengambilan data struktur geologi secara
deskriptif dan kuantitatif. Selain itu pengamatan pola kelurusan peta topografi dan
citra satelit (SRTM, Gambar 3.1) yang telah dibahas di bab sebelumnya,
didapatkan analisis kelurusan pada daerah penelitian berupa pola kelurusan bukit
yang dominan yaitu pada arah barat-timur dan baratlaut-tenggara ditafsirkan
sebagai arah jurus kedudukan lapisan yang dipengaruhi struktur sesar.
3.3.2 Struktur Sesar
Gambar 3.16 Foto gejala struktur sesar di sungai Cinambo (lokasi CNB-03).
Struktur sesar ini dijumpai di bagian utara daerah penelitian. Struktur sesar yang
pada daerah penelitian memiliki orientasi baratlaut-tenggara. Sesar ini memotong
Satuan Batulempung-Batupasir A dan Satuan Breksi. Gejala sesar mendatar
37
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
dijumpai pada bagian selatan Sungai Cinambo pada lokasi CNB-03. Kehadiran
sesar ini ditunjukan oleh adanya sesar geser minor (Gambar 3.16) dan kekar
gerus yang intensif pada singkapan batulempung-batupasir. Berdasarkan analisis
kinematika (Gambar 3.17 dan Lampiran C), didapatkan kedudukan bidang sesar
yaitu N154⁰E/89⁰ dan diklasifikasikan sebagai sesar menganan naik.
σ2
σ3
Bidang Sesar: N154⁰E/89⁰
σ1
σ1: 3.97/ N162⁰E
σ2: 49.8/ N328⁰E
σ3: 3.0/ N⁰62E
Gambar 3.17 Analisis kinematika sesar mendatar Cinambo.
3.4
Endapan Turbidit Daerah Penelitian
3.4.1 Tinjauan Umum
Endapan turbidit didefinisikan sebagai endapan berasal dari aliran gravitasi atau
campuran fluida sedimen yang disebabkan oleh pengaruh gaya berat yang
menimbulkan beda densitas antara arus itu sendiri dengan air laut di sekitarnya,
sehingga akan terjadi arus turbidit (turbidity current) (Middleton dan Hampton,
1973 op cit. Koesoemadinata, 1985). Arus turbidit merupakan salah satu tipe dari
arus kerapatan (density current), arus ini bergerak secara gaya berat karena
adanya dispersi akibat perbedaan kerapatan arus dengan cairan sekelilingnya,
menyebabkan sedimen yang telah terakumulasi (biasanya karena faktor pemicu
38
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
seperti gempa dan tsunami) bergerak dan meluncur secara tiba-tiba ke arah bawah
cekungan. Saat sedimen meluncur ke bawah akan membentuk slump, slump ini
bergerak perlahan-lahan, kemudian bertambah cepat seiring dengan pengurangan
viskositas. Selanjutnya massa sedimen akan bergerak sampai pada lereng yang
curam, maka terjadilah kenaikan kecepatan dan pergerakan akibat gravitasi.
Butiran kasar akan terkonsentrasi pada bagian kepala arus, sedangkan yang lebih
halus di bagian ekor. Pada saat mendekati daerah pengendapannya, kecepatan arus
mulai berkurang karena penurunan gravitasi akibat kemiringan lereng yang
semakin landai. Sesuai dengan sifat-sifat kerapatan arus, pengendapan terjadi
sekaligus, sehingga sedimen yang diendapkan memiliki pemilahan yang sangat
buruk.
Endapan yang pertama terbentuk adalah batupasir berstruktur perlapisan bersusun,
selanjutnya arus akan semakin lemah dan sedimen yang halus akan diendapkan.
Apabila kecepatan arus telah hilang, maka akan terjadi pengendapan lempung
pelagik dalam suasana suspensi yang menunjukan kondisi lingkungan berenergi
rendah.
Endapan turbidit mempunyai karakteristik tertentu yang sekaligus dapat dijadikan
sebagai ciri pengenalnya, namun bukan merupakan suatu sifat tunggal sehingga
tidak bisa secara langsung untuk mengatakan bahwa suatu endapan adalah
endapan turbidit, mengingat bahwa banyak struktur sedimen yang sama juga
berkembang pada sedimen yang bukan turbidit (Keunen, 1964).
Karakteristik litologi dan struktur sedimen pada endapan turbidit dapat dikenali di
lapangan yaitu:
a. Litologi berupa perselingan tipis yang bersifat ritmis antar batuan
berbutir kasar dengan batuan yang berbutir relatif halus, biasanya
perselingan antara batupasir dan serpih.
39
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
b. Pada lapisan batuan berbutir kasar memiliki pemilahan buruk dan
mengandung mineral-mineral kuarsa, felsdspar, mika, galukonit juga
banyak didapatkan matrik lempung.
c. Kontak perlapisan yang tajam, kadang berangsur menjadi endapan
pelagic.
d. Pada perlapisan batuan, telihat adanya struktur sedimen tertentu yang
menunjukkan proses pengendapannya, yaitu perlapisan bersusun,
perlapisan sejajar, perlapisan bergelombang, konvolut, dengan urutanurutan tertentu.
e. Sifat-sifat penunjukan arus, memperlihatkan pola aliran saat suplai
sedimen terjadi.
Menurut Bouma (1962) struktur sedimen turbidit dapat dikenal karena mekanisme
pengendapan arus turbidit yang memberikan karakteristik struktur sedimen
tertentu (Gambar 3.18). Urutan-urutan endapan turbidit yang umumnya berupa
perselingan antara batupasir dan batulempung merupakan suatu satuan yang
ritmis, dimana setiap satuan merupakan hasil episode tunggal dari suatu arus
turbidit. Bouma (1962) memberikan urutan ideal endapan turbidit yang dikenal
dengan Sekuen Bouma, dari interval a-e.
Peralihan antara lima interval berikut dapat secara tajam, berangsur atau semu,
yaitu:
a. Gradded Interval (Ta), merupakan perlapisan bersusun dan bagian
terbawah dari urutan ini.
b. Lower Interval of Parallel Lamination (Tb), merupakan struktur
perlapisan sejajar, perselingan antara batupasir dengan serpih atau
batulempung, kontak dengan interval di bawahnya umumnya
berangsur.
40
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Gambar 3.18 Sekuen Bouma memperlihatkan interval Ta-Te (Bouma, 1962)
c. Interval of Current Ripple Lamination (Tc), merupakan struktur
perlapisan bergelombang dan konvolut. Ketebalannya berkisar antara
5-20 cm.
d. Upper Interval of Parallel Lamination (Td), merupakan Interval
paralel laminasi bagian atas.
e. Pelitic Interval (Te), bersifat lempungan ukuran besar butir makin
halus, tidak menunjukan struktur yang jelas ke arah tegak. Di atas
lapisan ini sering ditemukan lapisan yang bersifat lempung napalan
atau yang disebut lempung pelagik.
3.4.2 Fasies Turbidit, Model Fasies dan Lingkungan Pengendapan
Dalam mekanisme pembentukan endapan turbidit dikenal istilah sedimen gravity
flow untuk menerangkan mekanisme pengangkutan batupasir dan sedimen klastik
kasar lainnya dalam lingkungan laut dalam melalui submarine canyons. Istilah
tersebut digunakan secara umum untuk aliran sedimen atau campuran sedimen
fluida yang dipengaruhi oleh gaya berat.
41
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Gambar 3.19 Mekanisme aliran gravitasi (Middleton dan Hampton, 1973 op cit. Koesoemadinata,
1985)
Berdasarkan gerak relatif antar butir dan jaraknya dari sumber, sedimen gravity
flow dibagi menjadi empat tipe (Middleton dan Hampton, 1973 op cit.
Koesoemadinata, 1985) (Gambar 3.19), yaitu:
1. Aliran turbid (turbidity current), aliran butiran-butiran yang lepas sama
sekali dan masing-masing butiran didukung oleh fluida (telah terinduksi
menjadi turbulen), dibagi menjadi low density turbidity current dan high
density turbidity current.
2. Aliran sedimen yang difluidakan (fluidized sediment flow), aliran butiran
yang lepas didukung oleh cairan, namun butiran-butiran masih
bersentuhan.
3. Aliran butiran (grain flow), butiran-butiran belum lepas dan mengalir
masih sering bersentuhan.
4. Aliran debris (debris flow), aliran butiran-butiran kasar dan masih
didukung oleh matriks campuran sedimen yang lebih halus dan media air.
Dari perkembangan jenis-jenis aliran gravitasi yang dijelaskan di atas, kemudian
akan tergambar dalam singkapan atau lapisan endapan turbidit tertentu sebagai
42
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
fasies turbidit yang dipengaruhi oleh transformasi aliran gravitasi tersebut
(Gambar 3.19).
Fasies adalah suatu lapisan atau gabungan dari beberapa lapisan yang
memperlihatkan karakteristik litologi, geometri, dan sedimentologi tertentu yang
berbeda dengan batuan di sekitarnya, dan mekanisme tersebut bekerja secara
serentak pada saat yang sama (Mutti dan Ricci Lucci, 1972, op cit. Mutti, 1992).
Berdasarkan sifat fisik endapan turbidit seperti warna, komposisi, variasi besar
butir, tekstur perlapisan dan struktur sedimen, membagi menjadi tujuh fasies
utama, yaitu fasies konglomerat (fasies A), fasies pasir kasar masif (fasies B),
fasies
perselingan
batupasir-batulempung
(fasies
C),
fasies
perselingan
batulempung-batupasir (fasies D), fasies shale (fasies E), slump (fasies F), dan
endapan pelagik (fasies G) (Tabel 3.1).
Tabel 3.1 Klasifikasi fasies turbidit
(Mutti dan Ricci Lucci, 1972, op cit. Koesoemadinata, 1985)
43
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Ketujuh fasies tersebut berasosiasi dengan tiga lingkungan pengendapan, yaitu:
1)lereng (slope) yang dibagi menjadi lereng atas (upper slope) dan lereng bawah
(lower slope), 2)kipas (fan) dibagi menjadi kipas dalam (inner fan), kipas tengah
(middle fan), dan kipas luar (outer fan), dan 3)kumpulan daratan cekungan
(Gambar 3.20).
Gambar 3.20 Model Kipas Laut Dalam dan Urutan Stratigrafi Hipotesis
(Mutti dan Ricci Lucci, 1972, op cit. Mutti, 1992).
44
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Dari penelitian menentukan fasies turbidit, Walker dan Mutti (1973)
mengemukakan suatu model, yaitu model kipas laut dalam dan hubungannya
dengan fasies turbidit. Model fasies adalah suatu model umum dari suatu sistem
pengendapan yang khusus (Walker dan James, 1992). Dari model tersebut
diharapkan dapat diketahui arah pengendapan serta letak dari suatu endapan
turbidit.
Kombinasi dari dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam
berbagai skala dan kombinasi, mencerminkan lingkungan pengendapan atau
proses dimana fasies-fasies itu terbentuk. Mutti dan Ricci Lucci tahun 1972 op cit.
Mutti (1992) membagi kombinasi fasies-fasies menjadi model asosiasi fasies
lingkungan pengendapan adalah sebagai berikut (Gambar 3.20):
1. Asosiasi Lereng. Sikuen sedimentasi yang didominasi oleh sedimen
berbutir halus dari fasies G. dengan beberapa endapan chaos dari fasies F
dan endapan channel dari fasies A
2. Asosiasi Submarine fan. Asosiasi fasies ini dapat dikelompokkan menjadi
beberapa subasosiasi, yaitu :
a) Asosiasi Inner Fan. Dikarakteristikan oleh submarine channel yang
terisi oleh fasies A, B (dan F) yang dilingkupi oleh fasies C dan G dan
kemungkinan oleh Fasies D dan E.
b) Asosiasi Middle Fan. Batupasir yang melampar luas dengan geometri
channel terisi oleh fasies A, B dan C (dan F) dengan suksesi vertikal
menebal dan mengasar ke atas.
c) Asosiasi Outer Fan. Tersusun oleh fasies C dan D, suksesi yang
menipis dan menghalus ke atas. Membentuk fasies lobe sangat sering
dijumpai. Beberapa interval fasies G juga dijumpai.
3. Asosiasi Basin Plan. Tersusun oleh fasies D dan G. termasuk endapan
hemipelagik.
45
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.4.3
Analisis Fasies Turbidit Daerah Penelitian
Dalam mempelajari fasies dan model fasies di daerah penelitian, penulis merujuk
pada analisis fasies berdasarkan klasifikasi Mutti dan Ricci Lucci (1972). Dengan
melakukan analisis pada kolom stratigrafi, pada daerah penelitian diperoleh
beberapa fasies, diantaranya fasies konglomerat dan batupasir kasar (Fasies A)
dan fasies perselingan batupasir-batu lempung (Fasies C dan Fasies D).
3.4.3.1 Fasies A (Coarse Grained Sandstones and Conglomerat)
Fasies Konglomerat
Fasies ini tersingkap pada Satuan Breksi (Gambar 3.21). Fasies
Konglomerat pada daerah penelitian dicirikan berupa breksi dengan
sisipan batulempung dan batupasir dengan struktur sedimen perlapisan
bersusun dan perlapisan sejajar. Berdasarkan karakteristik litologi, struktur
sedimen dan penyebaran lateral maka ditafsirkan termasuk ke dalam fasies
konglomerat (fasies A) yang terbentuk melalui mekanisme aliran debris
flow.
Gambar 3.21 Fasies Konglomerat (fasies A1) di Sungai Cinambo (lokasi CN2-09).
46
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Fasies Batupasir Kerakalan (pebbly sandstone) (fasies A4).
Fasies ini tersingkap pada interval atas satuan batulempung-batupasir A,
berupa batupasir kerakal (Gambar 3.22) dicirikan oleh penyebaran secara
lateral tidak menerus dan secara urutan vertikal menipis ke atas dengan
tebal sekitar 0.5-1 meter, ukuran butir kerikil-kerakal, struktur sedimen
memperlihatkan perlapisan bersusun dan urutan Bouma tidak berlaku.
Gambar 3.22 Fasies Batupasir kerakalan (fasies A4) di Sungai Cinambo (lokasi CN2-06).
Berdasarkan karakteristik litologi, struktur sedimen dan penyebaran
lateral, ditafsirkan fasies merupakan fasies A4, terbentuk dengan
mekanisme aliran grain flow.
3.4.3.2 Fasies C (Medium to Fine Sandstone-Classical Proximal turbidites
beginning with Bouma Div.A)
Fasies ini tersingkap pada interval bawah satuan batulempung-batupasir A
dan interval tengah satuan batulempung-batupasir B. Singkapan yang
ditemukan dicirikan oleh batupasir berwarna abu-abu, ukuran butir halussedang, karbonatan, struktur sedimen yang ditemukan adalah perlapisan
bersusun dan perlapisan sejajar (Ta, Tb Sekuen Bouma). Fasies C dicirikan
oleh perselingan batupasir-batulempung (Gambar 3.23).
47
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Ketebalan batupasir antara 0.1-2 meter. Sedangkan batulempung secara
megaskopis berwarna abu-abu gelap, karbonatan, getas, mengandung
foraminifera yang melimpah. Berdasarkan karakteristik litologi, struktur
sedimen dan penyebaran litologi maka diintepretasikan termasuk ke dalan
fasies C, terbentuk pada mekanisme aliran low density turbidity current.
Gambar 3.23 Fasies perselingan batupasir-batulempung (fasies C)
di Sungai Cinambo (lokasi CN2-04).
3.4.3.3 Fasies D (Fine and Very Fine Sandstone, Siltstone-Classical Distal
turbidites beginning with Bouma Div. B or C)
Fasies ini tersingkap pada interval tengah Satuan Batulempung-Batupasir
B (Gambar 3.24) . Singkapan yang ditemukan dicirikan oleh batupasir
berwarna abu-abu, ukuran butir halus-sedang, karbonatan, struktur
sedimen Sekuen Bouma (Tab). Sama halnya dengan Fasies C, Fasies D
dicirikan oleh perselingan batulempung-batupasir. Kedua fasies ini
dibedakan dari dominasi litologi atau perbandingan antara batupasir dan
batulempung penyusunnya. Fasies C lebih didominasi oleh batu pasir,
sedangkan Fasies D memiliki karakteristik dimana batulempung lebih
dominan.
48
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Gambar 3.24 Fasies perselingan batulempung-batupasir (fasies D)
di Sungai Cinambo (lokasi CNB-01).
3.4.4
Analisis Asosiasi Fasies dan Lingkungan Pengendapan Daerah Penelitian
Asosiasi fasies adalah kombinasi dari dua atau lebih fasies yang membentuk suatu
tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi, mencerminkan lingkungan
pengendapan atau proses dimana fasies-fasies itu terbentuk (Mutti dan Ricci
Lucci, 1972 op cit., Mutti, 1992). Berdasarkan analisis fasies yang telah dilakukan
dari hasil analisis kolom stratigrafi, asosiasi fasies daerah penelitian penulis bagi
menjadi tiga kelompok, yaitu: asosiasi fasies I, asosiasi fasies II dan asosiasi
fasies III.
3.4.4.1 Asosiasi Fasies I
Asosiasi fasies I berada di bagian tengah sampai atas Satuan BatulempungBatupasir A (Lampiran E). Asosiasi fasies I terdiri dari fasies C (perselingan
batupasir-batulempung) dan fasies A4 (batupasir kerakal) (Gambar 3.25).
49
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Penyebaran perselingan batulempung-batupasir secara lateral relatif menebal ke
arah selatan. Perselingan batulempung-batupasir diintepretasikan mengendap
dengan mekanisme aliran low density turbidity current.
a)
b)
Gambar 3.25 Asosiasi fasies I merupakan endapan pada lingkungan kipas tengah;
a) kolom stratigrafi daerah Ciranggem (Sungai Cinambo); b) model kipas laut dalam
(Mutti dan Ricci Lucci, 1972 op.cit Mutti, 1992)
Kemudian diatasnya diendapkan batupasir kerakalan (pebbly sandstone) dengan
mekanisme aliran butiran (grain flow). Penyebaran batupasir kerakalan ini secara
lateral tidak menerus dan secara suksesi vertikal adalah menipis dan menghalus ke
atas. Berdasarkan karakteristik litologi asosiasi fasies I merupakan endapan pada
50
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
lingkungan kipas tengah sistem kipas laut dalam (Mutti dan Ricci Lucci, 1972)
(Gambar 3.25).
3.4.4.2 Asosiasi Fasies II
a)
b)
Gambar 3.26 Asosiasi fasies II merupakan endapan pada lingkungan kipas dalam;
a)
kolom stratigrafi daerah Ciranggem (Sungai Cinambo); b) model kipas laut dalam
(Mutti dan Ricci Lucci, 1972 op.cit Mutti, 1992)
51
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Asosiasi fasies II berada di bagian bawah satuan breksi (Lampiran E). Asosiasi
fasies II terdiri dari fasies C (Perselingan batupasir-batulempung) dan fasies
A1/A2 (Konglomerat/Breksi) (Gambar 3.26). Breksi pada asosiasi fasies II
terendapkan dengan mekanisme debris flow, dimana aliran tersebut membawa
material-material berbutir kasar hingga sangat kasar. Kemudian aliran ini diselingi
juga mekanisme aliran lain (low density turbidity current) menyebabkan
terendapkannya perselingan batupasir-batulempung.
Penyebaran litologi perselingan batupasir-batulempung secara lateral relatif
menipis ke arah selatan dengan suksesi vertikal memperlihatkan urutan menghalus
dan menipis ke atas. Berdasarkan karakteristik litologi tersebut di atas, asosiasi
fasies II diintrepretasikan diendapkan pada lingkungan kipas dalam sistem kipas
laut dalam (Mutti dan Ricci Lucci, 1972 op cit., Mutti, 1992) (Gambar 3.26).
3.4.4.3 Asosiasi Fasies III
Asosiasi fasies III berada di bagian bawah satuan batulempung-batupasir B
(Lampiran E). Asosiasi fasies III ini terdiri dari fasies C dan fasies D (Perselingan
batulempung-batupasir) serta fasies A (Konglomeratan/Breksi) (Gambar 3.27)
Sikuen sedimentasi pada fasies ini didominasi oleh sedimen berbutir halus berupa
perselingan batupasir-batulempung. Endapan fasies perselingan batupasirbatulempung terbentuk melalui mekanisme low density turbidity current.
Fasies perselingan batupasir-batulempung ini diendapkan di atas breksi yang
terbentuk sebelumnya dengan mekanisme debris flow. Secara lateral perselingan
batupasir-batulempung ini relatif semakin tipis ke arah selatan dengan suksesi
vertikal memperlihatkan urutan menipis dan menghalus ke atas.
52
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Berdasarkan karakteristik litologi tersebut di atas, fasies III merupakan endapan
pada bagian kipas dalam sampai lereng sistem kipas laut dalam (Mutti dan Ricci
Lucci, 1972 op cit. Mutti, 1992) (Gambar 3.27) yang merupakan alur utama dari
sedimen yang membentuk kipas laut dalam.
a)
b)
Gambar 3.27 Asosiasi fasies III merupakan endapan pada lingkungan kipas dalam lereng; a) kolom stratigrafi daerah Sarimekar (Sungai Cacaban); b) model kipas laut
dalam (Mutti dan Ricci Lucci, 1972 op cit. Mutti, 1992)
53
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Dari analisis asosiasi-asosiasi fasies di atas, sedimentasi daerah penelitian
diintepretasikan terjadi dengan mekanisme turbidit pada sistem kipas laut dalam
(submarine fan) pada bagian kipas tengah hingga lereng, dimana lingkungan
pengendapan untuk tiap satuan dengan umur semakin muda, lingkungan
pengendapan semakin ke arah lereng dan secara batimetri semakin mendangkal.
54
Download