Geologi PROSES PEMBENTUKAN SEDIMEN HOLOSEN DI SELAT BANGKA BERBATASAN DENGAN LAUT JAWA UTARA SELATAN TOBOALI, BANGKA SELATAN Suyatman Hidayat dan Herman Moechtar Pusat Survei Geologi, Badan Geologi SARI Studi endapan Holosen yang mencakup analisis sedimentologi dan stratigrafi terhadap tujuhbelas hasil pemboran sepanjang lintasan berarah timurlaut-tenggara di laut dekat pantai selatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung. Kedalaman pemboran berkisar antara 14,50 hingga 30,10 m pada ketinggian antara - 3,20 hingga - 7,80 m dari permukaan laut. Studi ini, menunjukkan terdapatnya tiga fasies pengendapan terdiri dari fasies-fasies material rombakan (Fmr), laut berbutir kasar (Flk), dan laut berbutir halus (Flh). Berdasarkan korelasi rangkaian stratigrafi secara lateral dan vertikal, diketahui bahwa perubahan fasies pengendapan tersebut dikendalikan oleh perubahan muka laut yang terekam dalam empat fasa kejadian. Keempat fasa kejadian itu ialah (1)iklim kering dengan muka laut rendah, (2)muka laut naik, (3)muka laut maksimum, dan (4)muka laut turun. Kemungkinan, endapan Holosen di daerah penelitian dapat disebut sebagai bagian dari siklus ordo 5 perubahan muka laut yang memiliki kesamaan dengan siklus Milankovitch 20.000 tahunan. Kata kunci: holosen, proses internal dan eksternal, perubahan muka laut 1. PENDAHULUAN Penelitian karakteristik proses pembentukan sedimen Kuarter khususnya Holosen di deretan kepulauan jalur timah menjadi menarik untuk ditelusuri, karena faktor kendali pembentukannya tidak sesederhana yang diperkirakan, misalnya sedimen Holosen yang terbentuk bukan semata-mata fasies endapan laut kini. Aleva drr. (1973) membagi stratigrafi sepanjang P. Singkep dan P. Bangka hingga Kep. Karimata menjadi: batuan dasar (Trias-Kapur), permukaan erosi tua, sedimen paling tua (Tersier), komplek aluvial (Tersier AtasPlistosen), abrasi laut, dan sedimen muda (Holosen-Resen). Dijelaskan lebih lanjut oleh 62 Aleva (1973) bahwa proses pengendapan yang terbentuk berawal dari proses erosi dan torehan lembah (rejuvenated erosion and incision valley), terbentuknya kipas aluvium yang mengalami abrasi, sub-Resen abrasi, dan kemiringan pulau kini yang berkaitan dengan peneplain Dataran Sunda. Soehaemi dan Moechtar (1999) mengatakan bahwa sedimen Holosen di laut dekat pantai Rebo dan Sampur laut Natuna memiliki pola yang rumit akibat tektonik lokal dan berubahnya muka laut secara cepat. Hidayat drr. (2008) berasumsi bahwa karakter endapan seumur di lepas pantai tepian cekungan Sumatera Tengah - Kundur terdiri dari bermacam fasies pengendapan yang proses pembentukannya di bawah pengaruh tektonik M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010 Geologi lokal dan regional.Terakhir, Hidayat dan Moechtar (2009) mempelajari interaksi faktor kendali tektonik, permukaan laut dan perubahan iklim di daerah teluk Klabat, Bangka. Penelitian mengenai proses pembentukan sedimen merupakan kajian tentang bagaimana pengisian suatu cekungan, umum dilakukan terhadap proses yang terjadi di dalam cekungan (internal processes) seperti proses-proses mekanisme rezim aliran, pengikisan, torehan, abrasi, transportasi hingga pengendapan. Secara konvensional, aspek tersebut telah menjadi acuan guna memahami sejarah suatu pengendapan. Sebaliknya, proses yang berasal dari luar cekungan (external processes) di bawah pengaruh kontrol muka laut, pergantian iklim, tektonik, dan evolusi biotik menjadi sangat penting dalam memahami suatu daur atau perulangan dari proses pengendapan. Ragam penelitian yang dimaksud telah diuraikan antara lain oleh: Perlmutter dan Matthews (1989), Allen dan Allen (1990), Walker dan James (1992) Dumurddzanov dan Burchfiel (2004), Kotila dan Sanwal (2004), dan Jin dkk. (2007). Mengingat hal itu, penelitian yang sifatnya dibawah kendali faktor proses eksternal dan internal tersebut perlu dikembangkan untuk mengkaji karakteristtik proses pembentukan sedimen. Kajian dilakukan di daerah laut dekat pantai selatan Toboali mengingat daerah ini merupakan selat yang berbatasan dengan laut Jawa. Daerah tersebut mempunyai peran yang sangat penting sebagai tempat terakumulasinya pasokan material berasal dari darat ataupun laut karena terletak dan berbatasan dengan kaki G. Muntai. Moechtar drr. (2009) melakukan penelitian sedimen seumur di sepanjang Air Inas hingga laut lepas pantai Tanjung Kubu, Toboali dan berasumsi bahwa akumulasi kasiterit dalam endapan aluvial memiliki susunan stratigrafi mengikuti berubahnya muka laut dan pergantian iklim. Fenomena tersebut menjadi penting sehubungan tersebarnya kasiterit dalam endapan aluvial. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sifat proses pembentukan sedimen dan faktor kontrol yang mengendalikannya secara komprehensif agar memperoleh informasi efek dari proses internal dan eksternal sebagai masukan untuk memahami bagimana cekungan diisi (how basin fill in?), melalui: (a)deskripsi litofasies dan penafsiran lingkungan pengendapan, (b)menelaah pola lingkungan pengendapan secara vertikal dan lateral, (c)mengkaji faktor yang mempengaruhi pembentukan sedimen, dan (d)mendiskusikan tentang proses internal dan eksternal sehubungan dengan pengisisan cekungan. 2. METODOLOGI Penelitian dilakukan di lepas pantai selatan Toboali melalui pemboran sebanyak 17 (tujuh belas) titik lokasi (Ntp. 1-17), ditentukan secara detil menggunakan GPS (Gambar 1). Metode pemboran yang digunakan mengikuti konsep Bor Bangka, dimana tipe alat ini sangat cocok diterapkan pada sedimen lepas khususnya aluvial di wilayah kepulauan timah. Kedalaman pemboran berkisar antara 14,50 hingga 21,10 m pada ketinggian - 3,20 hingga - 7,80 m dari permukaan laut (dpl) (Gambar 2). Identifikasi pemboran, menunjukkan sedimen Holosen yang terletak di atas batupasir Formasi Tanjunggenting Trias (Trt) berumur Trias terdiri dari pasir, pasir lempungan, lempung pasiran, dan lempung. Setiap Ntp, aspek sedimentologi dipelajari termasuk perubahan litologi baik tegas atau berangsur, komposisi, kandungan, warna, jejak struktur sedimen dan parameter terkait lainnya diplot pada penampang tegak (log bor) bersekala 1:500. Analisis sedimentologi khususnya lingkungan pengendapan, merupakan suatu proses terbentuknya tubuh sedimen yang dalam setiap pembentukannya memiliki karakteristrik berbeda sesuai dengan faktor yang mengendalikannya. Hal ini sangat relevan, karena korelasi dimensi lateral dan vertikal merepresentasikan suatu keteraturan atau ketidak teraturan tubuh lapisan sedimen yang berhubungan dengan stratigrafi. Sifat rangkaian atau susunan stratigrafi dikaji dengan sistem faktor yang mengendalikan Proses Pembentukan Sedimen Holosen di Selat Bangka.....; Suyatman H dan Herman M 63 Geologi Gambar 1. Peta geologi dan lokasi lintasan pemboran (Sumber : Peta Geologi Lembar Bangka Selatan, Sumatera : oleh Margono dkk, 1995) 64 M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010 Gambar 2. Susunan litologi endapan Kuarter bawah permukaan daerah lepas pantaiToboali Geologi Proses Pembentukan Sedimen Holosen di Selat Bangka.....; Suyatman H dan Herman M 65 Geologi pembentukannya dari waktu ke waktu, sehingga perkambangan dan perubahan lingkungan dalam sistem cekungan terpadu dapat ditelaah. Metode korelasi tubuh sedimen berarah baratdaya-timurlaut digunakan untuk mengidentifikasi pola lingkungan pengendapan, agar faktor kontrol berkembangnya pengisian cekungan dapat diketahui. Sementara itu hubungan antara pergantian iklim, perubahan muka laut, mungkin tektonik dan evolusi biotic dapat didiskusikan melalui periode ulang berkembangnya sistem tubuh sedimen. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Litologi dan Fasies Pengendapan Batuan yang mengalasi sedimen Holosen di daerah telitian adalah Formasi Tanjunggenting (TRt) berumur Trias, menurut Margono dkk. (1995) formasi ini terdiri dari perselingan batupasir dan batulempung. Berdasarkan sebarannya, formasi ini diterobos Granit Klabat (TRJkg) yang tersingkap kurang lebih 2,5 km ke arah timurlaut yaitu G. Muntai (Gambar 1). Berdasarkan ciri litologi, sedimen Holosen hasil pemboran dapat dibedakan menjadi fasiesfasies: material rombakan (Fmr), laut berbutir kasar (Fmr), dan laut berbutir halus (Flh). Fasies material rombakan (Fmr) terdiri dari pasir kasar dan setempat lempung pasiran. Pasir, kasar - sangat kasar, pemisahan butir tak sempurna, bersisipan pasir halus setebal 5 - 7 cm, berwarna abu-abu coklat kekuningan, menyudut hingga menyudut tanggung, berisi sisa tumbuhan dan potongan kayu, keras dan padat, serta teroksidasikan. Fasies ini berkomposisikan pecahan batuan sedimen dan sedikit granit, kuarsa, dan memuat mineral bijih diantaranya ilmenit dan kasiterit dengan ketebalan antara 1,20 - 5,05 m yang terdapat pada kedalaman antara - 17 hingga - 27 m (dpl). Lempung pasiran yang termuat di atas batuan dasar (Ntp 2/ Gambar 2), memiliki warna dan 66 komposisi yang sama sehingga menjadi satu kesatuan lapisan yang menerus, akan tetapi butirannya hadir lebih halus. Ciri tubuh Fmr bersusunan butir yang tak teratur dan berlapis buruk ini diinterpretasikan sebagai material rombakan yang terbawa melalui aliran gravity (gravity) dan bergerak di atas batuan alas. Meski tidak terlihat penghalusan dan pengkasaran butir (grading), sedimen tersebut cenderung termasuk sebagai endapan rombakan (debris flow deposits). Menurut Miall (1978), jenis endapan tersebut adalah dicirikan oleh material masif dengan kandungan kerakal di atas masa dasar dan grading (Gms). Fasies laut berbutir kasar (Flk) dicirikan oleh pasir lempungan setebal 0,90 hingga 8,70 m yang tersebar di kedalaman -16 hingga - 24 m (dpl), berwarna abu-abu gelap hingga abu-abu kehijauan, lunak, tak terkonsolidasi baik, memuat pecahan moluska dan sisa-sisa tumbuhan, kadang-kadang bersisipan lempung tipis setebal 3 - 5 cm berwarna hijau keputihan. Ditafsirkan sebagai fasies laut yang diendapkan dekat pantai di bawah pengaruh arus pasang surut dan gelombang. Fasies laut berbutir halus (Flh) merupakan bagian atas sedimen Holosen yang sangat dominan keberadaannya, terletak pada - 2 hingga - 8 m (dpl) dengan kisaran ketebalan 14 hingga 18 m. Terdiri dari kombinasi lempung dan lempung pasiran. Interval bawah dicirikan oleh lempung pasiran setebal 0,80 hingga 5,50 m, berwarna abu-abu gelap kehijauan hingga hijau kebiruan, lunak dengan plastisitas tinggi, berlapis sejajar tipis (even lamination), mengandung moluska dan foraminifera, dan bersisipan lempung hijau setebal 3-5 cm. Jenis litologi ini memiliki sifat hasil kerja arus pasang surut dan gelombang yang diendapkan pada lingkungan laut lepas pantai. Lempung yang pada beberapa tempat berupa lempung pasiran, adalah merupakan interval bagian atas dengan ketebalan antara 7 - 15 m. Jenis lempung ini berwarna abu-abu gelap hingga putih abu-abu, berisi pecahan moluska dan sisa-sisa batang M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010 Geologi kayu dan daun serta berlapis gambut setebal 3 - 6 cm, tak terkonsolidasi secara baik, sering dijumpai pecahan batuan sedimen berukuran 0,5 - 1 cm. Ditafsirkan sebagai fasies laut yang diendapkan dekat pantai sebagai endapan Resen di bawah pengaruh arus pasang surut dan gelombang. 3.2. Stratigrafi dan Proses Pengendapan Analisis korelasi fasies pengendapan yang memiliki sifat terbentuknya fasies rombakan dan fasies laut berbutir kasar, yang diikuti diendapkannya fasies laut berbutir halus (Gambar 3), lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Fasies material rombakan yang mengisi cekungan pertama kali tersebar secara tidak merata atau sebagian telah terkikis oleh energi laut kemudian, berlangsung di bawah aliran gravity yang hampir-hampir tidak dipengaruhi energi aliran air. Pengendapan berlangsung pada elevasi mengikuti ketinggian batuas alas antara dataran rendah hingga bergelombang, yang sumber pasokan materialnya dari G. Muntai. Tidak ditemukan lingkungan rawa atau fluvial ketika itu menandakan bahwa energi aliran relatif minimum di bawah kendali tingkat kelembaban (humidity) rendah atau kering. Kondisi kering adalah salah satu penyebab, mengapa Fmr disamping tidak terkonsolidasi secara baik, juga tidak berkembangnya struktur sedimen. Sementara itu proses pembentukannya bersifat lokal, atau mengisi lembah dan mencari elevasi terendah. Oleh karena itu, dipahami bahwa materialnya dipasok dari hasil proses pelapukan panjang formasi batuan tua tanpa memiliki kemampuan proses torehan (incision) dan pengikisan (erosion). 2). Munculnya Flk diartikan sebagai muka air laut naik, yang mengendapkan material kasar bercampur dengan material dari darat yang memuat sisa-sisa tumbuhan. Muka laut naik secara berangsur ditandai oleh permukaan Flk yang semakin tinggi ke arah timurlaut atau pantai kini (Gambar 3), yang membuktikan bahwa elevasi lingkungan ketika itu tidaklah homogen dan berada sekitar dekat pantai. Muka laut semakin tinggi, yaitu ditutupinya Flk oleh lempung Flh berwarna lebih gelap hijau hingga klebiruan berlapis baik sebagai penciri kedalaman dasar laut semakin besar. Sebagian besar pasokan material Flh tersebut adalah berasal dari sirkulasi samudera dan proses laut. 3). Muka laut kembali turun yang mengendapkan Flh dengan pasokan material berasal dari sekitarnya. Gejala inilah yang menyebabkan tidak terkonsolodasi endapan secara sempurna, akibat gelombang dan arus pasang surut sangat dominan. Proses tersebut diikuti oleh efek pengaruh energi yang berasal dari daratan ke arah laut dekat pantai, terbukti termuatnya sisa-sisa batang kayu dan daun lapisan gambut. Sedimen Holosen yang terbentuk di daerah penelitian, secara umum berhubungan dengan: 1). Elevasi yang mengendapkan material hasil longsoran pada ketinggian - 23m hingga 31 m (dpl) tanpa diikuti proses fasies darat lainnya 2). Naiknya muka laut yang mengendapakan fasies laut yang dipengaruhi proses fasies darat pada ketinggian antara - 21 hingga 30 m (dpl), diikuti oleh puncak muka laut tinggi berkisar di laut lepas pantai tanpa dipengaruhi proses fasies darat 3). Muka laut kembali turun di bawah pengaruh pasokan material dari darat, yang dikendalikan oleh arus pasang surut dan gelombang Proses Pembentukan Sedimen Holosen di Selat Bangka.....; Suyatman H dan Herman M 67 Gambar 3. Korelasi stratigrafi endapan Kuarter bawah permukaan daerah lepas pantai Toboali Geologi 68 M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010 Geologi 4. DISKUSI 4.1. Proses Internal Energi aliran adalah salah satu persyaratan dalam mengkalkulasi kelangsungan prosesproses pengikisan, torehan, kemampuan daya angkut hingga terjadinya suatu pengendapan. Individual fasies material rombakan (Fmr) termasuk endapan aliran rombakan (debris flow) sumber utamanya berasal dari granit Klabat, diendapkan melalui aliran gravity yang mengalir dan bergerak di atas batuan alas. Sedimen yang bersumberkan granit Klabat G, Muntai ditandai oleh terakumulasi kasiterit. Periode ulang dari pengendapan Fmr tidak terlihat secara jelas, sehingga diperkirakan pemindahan material tidak melalui proses perulangan atau berkala, akan tetapi berlangsung secara terus menerus dan perlahan dibawah pengaruh iklim kering sehingga terkesan poses kikisan dan torehan pada lembah hampir-hampir tidak terjadi. Peristiwa ini dapat disebut sebagai fasa pertama proses pembentukan sedimen Holosen. Menurut Harvey (2002) lingkungan kipas aluvial sebagai fasies rombakan dapat terbentuk dalam berbagai kondisi iklim, akan tetapi hubungan antara morfologi perbukitan dan sistem pengendapan menjadi faktor sangat penting. Harvey dkk (2005) mengatakan bahwa kisaran proses pengendapan kipas aluvial mulai dari debris flow ke tubuh lurus (sheet) hingga proses alur sungai. Menurut Wells dan Harvey (1987) dan Brazier dkk. (1988), proses tersebut layaknya terdiri dari rombakan kecil dengan panjang kurang dari 50 m hingga rombakan yang didominan sistem fluvial lebih dari 60 km. Tubuh material rombakan yang berasal dari G. Muntai cenderung sebagai bentuk tubuh lurus mengikuti elevasi lembah dengan sebaran tidak lebih dari 5 km, karena sistem fluvial tidak berkembang. Respon terhadap wilayah pesisir sebagai sistem pengendapan pasang-surut, adalah hasil dari intensitas proses arus pasang-surut, gelombang, badai, dan arus fluvial (Dalrymple, 1992). Periode ulang pengendapan akibat arus pasang surut dengan ciri perlapisan yang teratur tidak dijumpai, sementara jejak-jejak lapisan akibat badai dan arus fluvial tidak terekam pada fasies laut. Sementara itu gejala kerja gelombang yang mengikis material sekitarnya (abrasion) relatif menyolok yaitu dengan terbentuknya fasies laut berbutir kasar yang tidak membawa material asing dari hasil sirkulasi samudera. Fakta ini menegaskan bahwa lingkungan laut tersebut termasuk sistem laut dangkal berkisar antara dekat hingga lepas pantai yang didominasi oleh gelombang. Walker dan Plint (1992) menyatakan bahwa, sistem laut dangkal adalah sebuah kontinuitas lingkungan pengendapan mulai dari pantai atau garis pantai hingga laut lepas. Ditambahkan oleh mereka bahwa gelombang serta badai dapat terjadi di saat muka laut rendah kedua (highstand), genang laut ataupun muka laut rendah pertama (lowstand) pada sistem perubahan muka laut (systems tracts). Fasies laut berbutir kasar mengindikasikan bahwa muka laut naik tanpa diikuti berkembangnya lingkungan pantai, meski di bawah pengaruh gelombang. Tidak terlokalisirnya lingkungan pantai, dipercayai berkaitan dengan morfologi dimana wilayah tersebut memiliki perubahan ketinggian yang berangsur sehingga lingkungan pantai ketika itu memiliki kemiringan dan tidak datar. Intensistas proses pengendapan pasang-surut sangat erat hubungannya dengan karakter morfologi (Galloway, 1975; Johnson dan Baldwin, 1986). Energi yang bekerja ketika itu dikuasai oleh gelombang yang mengikis morfologi sekitarnya yang selanjutnya membawa dan mengendapkan materialnya sekitar laut dekat pantai. Ini membuktikan bahwa sebagian besar material rombakan berasal dari proses gelombang yang hanya dipengaruhi sedikit arus pasang-surut. Oleh karena itu, diduga energi yang berasal dari fluvial mulai bekerja di daratan terbukti dengan terkandungnya sisa-sisa tumbuhan. Proses ini dapat dikatakan sebagai fasa kedua terbentuknya endapan Holosen. Puncak genanglaut menghasilkan Flh yang menutupi Flk ditandai Proses Pembentukan Sedimen Holosen di Selat Bangka.....; Suyatman H dan Herman M 69 Geologi oleh lempung berwarna lebih terang dan berlapis baik, ini berarti bahwa kedalaman laut mencapai maksimum yaitu sekitar lepas pantai di bawah pengaruh gelombang. Sementara, pasokan material sebagian besar berasal dari hasil sirkulasi gelombang, tanpa ada indikasi suplai material hasil kikisan dari paparan daratan terbawa ke tempat tersebut. Fakta ini mengindikasi bahwa proses sedimentasi berlangsung tenang tanpa diikuti hasil pengikisan, sebagai fasa ketiga proses pengendapan. Fasa keempat merupakan hasil dari proses gelombang yang mengikis endapan yang terbentuk sebelumnya, terbukti dari litiologinya berisi pecahan-pecahan moluska dan fragmenfragmen batuan. Intensitas proses pengikisan relatif besar, dikuti oleh jumlah pasokan material yang tinggi dari daratan terbukti terkandungnya sisa-sisa tumbuhan pada Flh. Korelasi tingkat kelembaban menunjukkan peningkatan, yaitu dengan diendapkannya lapisan gambut. Periode proses tersebut cenderung di bawah kendali gelombang mungkin diselingi badai, pasangsurut dan arus yang berasal dari sistem fluvial. 4.2. Proses Eksternal Proses internal yang dikaitkan dengan pergantian lingkungan, menghasilkan fasa kejadian terbentuknya pengendapan. Proses pengendapan berawal dari aliran gravity pada kondisi kering, yang kemudian diikuti oleh proses naiknya muka laut yang puncaknya menghasilkan endapan Flh menutupi Flk. Muka laut kembali turun menghasilkan Flh bagian atas kaya pasokan material sekitarnya. Holosen adalah periode paling akhir sejarah bumi yang terjadi 10.000 tahun terakhir, dicirikan oleh sebuah kekuatan pergantian iklim yang sangat dominan dibanding periode glasial (glacial) (Pirazzoli, 1991). Pada akhir Holosen sirkulasi iklim secara universal menunjukkan tingkat kelembaban semakin berkurang (Williams dkk., 1993). Upaya korelasi berdasarkan kenyataan data lapangan, pada dasarnya proses tersebut terkait erat dengan peristiwa global khususnya 70 faktor dari perubahan muka laut yang banyak mengontrol pembentukan sedimen di daerah telitian. Kontrol berubahnya muka laut yang mengacu pembentukan ordo siklus muka laut termasuk mekanismenya telah dijelaskan oleh Plint dkk. (1992). Mereka membedakan 5 ordo siklus pengendapan turun-naiknya muka laut, dimana siklus ordo 4 dan 5 adalah berhubungan dengan pergantian iklim mengikuti siklus Milankovitch. Hubungan proses pembentukan sedimen Holosen di daerah penelitian dengan pendekatan peristiwa efek proses eksternal, antara lain: 1). Pada awal siklus pengendapan, wilayah lepas pantai Toboali merupakan lingkungan berelevasi rendah dimana kondisi saat itu sangat kering tanpa diikuti tanda-tanda terjadinya proses pengendapan. Muka laut ketika itu sangat rendah, seperti yang dikatakan oleh (Pirazzoli, 1991) bahwa, ketika akhir glasiasi yaitu 21.000 tahun lalu, muka laut jauh di bawah kondisi sekarang yaitu berada pada - 120 ± 20 m. 2). Kehadiran Fmr sebagai fasa 1 yang mengisi cekungan, kemungkinan sebagai alas sedimen Holosen di bawah kendali kondisi kering menuju agak lembab. Ketika itu muka laut mulai naik, namun tanda-tanda genang laut itu belum mencapai wilayah penelitian. 3). Secara berangsur diendapkan Flk sebagai fasa 2 yang mengendapkan Flh, adalah sebagai pertanda bahwa muka air laut tinggi hingga mencapai puncaknya di awal Holosen yang menurut Aleva dkk. (1973) termasuk endapan Holosen karena dicirikan oleh proses abrasi laut. Sementara menururt Aleva (1993), ketika itu proses erosi oleh arus traksi dan torehan lembah berlangsung di sistem fluvial. Meski indikasi tersebut tidak dijumpai, akan tetapi material yang berasal dari daratan turut mempengaruhi proses pengendapan di lingkungan laut. Oleh karena itu, proses sedimentasi ketika itu di bawah kendali muka air laut tinggi hingga maksimum M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010 Geologi dengan tingkat kelembaban besar hingga optimum. Peristiwa ini berkaitan dengan puncak dari pencairan es (interglacial) pada ± 9.000 tahun lalu, yang memberi konsekuensi muka laut naik mencapai puncaknya. 4). Fasa 4 proses sedimentasi yang menghasilkan endapan laut dekat pantai yang tidak terkonsolidasi secara baik, cenderung berindikasikan muka laut turun kembali sebagai endapan Holosen Atas hingga Resen yang prosesnya masih terus berlangsung. Konteks umur terkait akumulasi pengendapan, maka proses pengendapan yang terjadi pada endapan Holosen di daerah penelitian, berhubungan dengan siklus ordo 5 menurut Plint dkk. (1992) yang kisaran waktunya antara 200.000 hingga 10.000. Lebih rinci lagi, siklus ordo 5 tersebut berkaitan erat dengan siklus precession Milankovitch berumur 21.000 tahunan yang populer dengan sebutan siklus 20.000 tahunan. 5. PENUTUP Proses pembentukan sedimen berbasis proses internal dan eksternal adalah sangat representatif dan bermanfaat dalam menelusuri peristiwa yang terjadi selama Holosen. Cara ini representatif untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kelangsungan pengisisan cekungan serta dapat dipergunakan sebagai bahan model korelasi dalam memahami efek faktor di luar cekungan. Hasil korelasi berbasis karakteristrik tubuh sedimen dapat digunakan sebagai dasar untuk menjadikan model genetik secara menyeluruh yang berkaitan dengan peristiwa global. Gabungan proses internal dan eksternal dapat dijadikan alasan berlangsungnya fasa proses pengendapan, di daerah telitian fasa tersebut dibedakan menjadi 4 fasa peristiwa proses sedimentasi yang terkait erat dengan peristiwa global. Berdasarkan antisipasi, maka sedimen Holosen di daerah telitian berhubungan erat terhadap efek siklus global turun-naiknya muka air laut, meski proses tersebut hakekatnya berintegrasi dengan siklus dari bangunan dan mencairnya es serta pergantian iklim. Ucapan Terimakasih Data pemboran yang dianalisis berasal dari PT. Timah Tbk, ketika penulis bekerja dan diperbantukan di tempat tersebut pada 19952000. Atas izin menggunakan data guna kepentingan penelitian, penulis mengucapkan terima kasih. Terima kasih disampaikan kepada Ir. Noor Cahyono dan Ir. A. Subagja (staf Eksplorasi PT. Timah Tbk) atas saran, koreksi dan kritiknya sehingga makalah ini dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA Aleva, G.J.J., 1973, Aspects of the historical and physical geology of the Sunda shelf essential to the exploration of submarine tin placers. Geol. en Mijnb., Vol. 52 (2), 79-91. Aleva, G.J.J., Bon, E.H., Nossin, J.J. dan Sluiter, W.J., 1973, A contribution to the Geology of Part of the Indonesian Tinbelt: the Sea Areas Between Singkep and Bangka Islands and Around the Karimata Islands. Geol. Soc. Malaysia, Bulletin 6, July 1973, 257-271. Allen, P.A. dan Allen J.R., 1990, Basin Analysis: Principle and Application. Blackwell Scientific Publication, 451 p. Brazier, V., Whittington, G. dan Ballantyne, C.K., 1988, Holocene debris cone evolution in Glen Etive, Western Grampian Highland, Scotland. Earth Surface Processes and Landforms, 13, 525-531. Dalrymple, R.W., 1992, Tidal Depositional Systems. In: Walker R.G. and Jones, N.P (eds.), Facies models response to sea level change. Geological Association of Canada, 195-218. Proses Pembentukan Sedimen Holosen di Selat Bangka.....; Suyatman H dan Herman M 71 Geologi Dumurddzanov, N., and Burchfiel, T., 2004, Evolution of the Neogene-Pleistocene Basins of Macedonia. Geological Society of America, Digital Map and chart Series 1, 20 p. Http://www.gsamaps.gsajooournals.org/ images/maps/.../dmc001,pdf (10 September, 2007). Gallowey, W.E., 1975, Process framework for describing the morphologic and stratigraphic evolution of deltaic depositional systems. In: Broussard, M.L. (ed), Deltas: models for exploration: Houston. Houston Geological Society, 87-98. Harvey, A.M., 2002, Factors influencing the geomorphology of dry-region alluvial fans. In: Perez-Gonzales, A., Vega, J. and Machado, M.J. (eds), Aportaciones a la Geomorfologia de Espana en el Inicio del Tercer Milenio. Instituto Geologico y Minero de Espana, Madrid, 59-75. Harvey, A.M., Mather, A.E. dan Stokes, M., 2005, Alluvial fans: geomorphology, sedimentology, dynamics - introduction. A review of alluvial-fan research. In: Harvey, A.M., Mather, A.E. dan Stokes, M. (eds). Geomorphology, Sedimentology, Dynamics. Geological Society Special Publication No. 251, 1-7. Hidayat, S., Pratomo, I., Moechtar, H. dan Sarmili, L., 2008, Karakter Endapan Kuarter Di Lepas Pantai Tepian Cekungan Sumatera Tengah - P. Kundur. Jurnal Geologi Kelautan, Vol. 6, No. 2, Agustus 2008, 80-92. Hidayat, S. dan Moechtar, H., 2009, Interkasi Faktor Kendali Tektonik, Permukaan Laut dan Perubahan Iklim di Daerah Teluk Klbat, Kabupaten Bangka Induk, Bangka. Jurnal Sumber Daya Geologi, Vol. 19, No. 1, Februari 2009,23-36. Jin, Z.D., Bickle, M.J. dan Wang, S.M., 2007, An early-Pleistocene environment of a Tibetan lake related to tectonic activity and climatic change. Http://www.pages-igbp.org/ p r o d u c t s / o s m a b s t r a c t s / Jin_Zhangdong%20et%20al.pdf (6 Agustus 2007). 72 Johnson, M.A. dan Baldwin, C.T., 1986, Shallow siliciclastic seas. In: Reading, H.G. (ed), Sedimentary environments and facies. Oxford, Blackwell Scientific Publications, 58-94. Kotila, B.S., dan Sanwal, J., 2004. Fauna and palaeoenvironment of Late Quaternary fluvio-lacustrine basin in Central Kumaun Himalaya.Current Science, Vol. 87, No. 9, 10 November 2004, 1295-1299. Http:/// www.ias.ac.in/currsci/na102004/1295.pdf (6 Agustus 2007). Margono, U., Supandjono, RJB. Dan Partoyo, E., 1995. Peta Geologi Lembar Bangka Selatan, Sumatera. Skala 1:250.000. Puslitbang Geologi. Miall, A.D., 1978, Facies types and vertical profile models in braided river deposits: a summary. In: Miall, A.D. (ed), Fluvial Sedimentology. Mem. Can. Soc. Petrol. Geol., Calcary, Memoar 5, 1-47. Moechtar, H., Hidayat, S. dan Subiyanto, 2009, Sedimentologi dan Akumulasi Kasiterit pada Endapan Aluvial sepanjang Air Inas hingga Lepas Pantai Tanjung Kubu (Toboali), Bangka Selatan. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara, Dalam Proses Pencetakan. Perlmutter, M.A. dan Matthews, M.A., 1989, Global Cyclostratigraphy. In: Cross, T.A. (ed.), Quantitative Dynamic Stratigraphy. Prentice Englewood, New Jersey, 233-260. Pirazzoli, P.A., 1991. World Atlas of Holocene Sea-Level Changes. Elsevier Science Publisher B.V., 300 p. Plint, A.G., Eyles, N., Eyles, C.H. dan Walker, R.G., 1992, Control of Sea Level Change. In: Walker R.G. and Jones, N.P (eds.), Facies models response to sea level change. Geological Association of Canada, 15-25. Soehaimi, A. dan Moechtar, H., 1999, Tectonic, Sea Level or Climate Controls During Deposition of Quaternary Deposits on Rebo and Sampur Nearshores, East BangkaIndonesia. Proceedings of Indonesian M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010 Geologi Association of Geologist, The 28th Annual Convention, 91-101. Walker, R.G. dan James, N.P, 1992, Preface. In: Walker R.G. and Jones, N.P (eds.), Facies models response to sea level change. Geological Association of Canada. Walker, R.G. dan Plint, A.G., 1992, Wave-and Storm-Dominated Shallow Marine Systems. In: Walker R.G. and Jones, N.P (eds.), Facies models response to sea level change. Geological Association of Canada, 219-238. Wells, S.G. dan harvey, A.M., 1987, Sedimentologic and geomorphic variations in storm generated alluvial fans, Howgill Fells, northwest England. Bulletin of the Geological Society of America, 98, 182-198. Williams, M.A.J., Dunkerley, D.L., Decker, P.De., Kershaw, A.P. dan Stokes, T.J., 1993, Quaternary Environment. Edward Arnold, A. division of hodder & Stoughton, London New York Melborune Auckland, 329 p. Proses Pembentukan Sedimen Holosen di Selat Bangka.....; Suyatman H dan Herman M 73