BAB I PENDAHULUAN Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara atau gas dalam rongga pleura, yaitu di ruang potensial antara pleura viseral dan parietal paruparu. Hasilnya adalah kolaps dari paru-paru pada sisi yang terkena. Udara bisa masuk ruang intrapleural melalui dinding dada (yaitu, trauma) atau melalui parenkim paru-paru di pleura viceralis. Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan traumatik. Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun). Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder, namun pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria, resiko pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding non perokok. Pneumotoraks spontan primer biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia 10-30 tahun.Insidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per tahun pada laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada perempuan. Pneumotoraks spontan sekunder puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus per 100.000 orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000 orang per tahun pada perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik per tahun (McCool FD, 2008). Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe pneumotoraks yang sangat sering terjadi . Dengan inseidensi usia biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun, lebih sering pada pria dibandingkan wanita ( Berck, 2010) Penatalaksanaan awal pneumotoraks dilakukan berdasarkan pemeriksaan Airway, Breathing, dan Circulation sedangkan penatalaksanaan lanjutan seperti pemasangan chest tube, thoracotomy, dan pleurodesis, dilakukan berdasarkan jenis pneumotoraks dan perkembangan keadaan klinis pasien. Terapi konservatif dari pneumotoraks dan dalam beberapa kasus kebanyakan (biasanya dilakukan tusukan pada rongga pleura, jarang dilakukan drainage). Pada 47 penderita yang berkaitan dengan trauma yang dengan forced position (posisi setengah duduk), bertujuan untuk kateterisasi pada cavum pleura dengan menggunakan stiletto trocar melengkung dibawah sudut 60 derajat. Indikasi untuk torakotomi dibatasi pada pasien dengan trauma dada yang berhubungan dengan shock dan kehilangan darah akut (Rebecca B, 2011). BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Pneumotoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar paru yang menyebabkan paru kolaps. Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh : 1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut sebagai pneumotoraks tertutup. Apabila kebocoran pleura viseralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tidak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumotoraks. 2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tersebut dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut sebagai pneumotoraks terbuka (Berck, 2010). 3.2 Epidemiologi Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks jenis ini dibagi lagi menjadi pneumotoraks primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya). Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder, namun pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria, resiko pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding non perokok. Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun). Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe pneumotoraks yang sangat sering terjadi. (Berck, 2010). Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun Seks : Lebih sering pada pria Pneumotoraks spontan primer Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia 10-30 tahun Insiden pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per tahun pada laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada perempuan Pneumotoraks spontan sekunder Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus per 100.000 orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000 orang per tahun pada perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik per tahun (McCool FD, 2008). Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospital baik untuk pneumotoraks spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000 orang per tahun dan 5,8 per 100.000 perempuan per tahun. Rekurensi akan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder pneumotoraks. Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam waktu 3 tahun. (Korom S, 2011) 3.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian 3.3.1 Pneumotoraks spontan Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu: 3.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka kejadian pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus, dan berusia antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara yang terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai PSP mempunyai penyakit paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini (Heffner and Huggins, 2004). Faktor yang saat ini diduga berperan dalam mekanisme PSP adalah terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat mendahului proses pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007). PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004). Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan empat kali lipat (Mackenzie and Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan atau tanpa pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) (Heffner and Huggins, 2004). Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society (BTS) dan American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan untuk besar-kecilnya pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik dan PSP simtomatik yang stabil di antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007). Berikut adalah ringkasan gabungan panduan terapi menurut BTS dan ACCP (Mackenzie and Gray, 2007). a. Clinically stable small pneumotoraks Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan pneumotoraks kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala minimal adalah dengan melakukan observasi dan di-KRS-kan. Panduan ACCP menyarankan dilakukannya observasi sekitar 3-6 jam, foto rontgen paru-paru, di KRS kan dengan instruksi lengkap, dan pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari berikutnya. b. Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama pada PSP luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil simtomatis. CXR dilakukan setelah aspirasi untuk menentukan apakah terdapat perbaikan. Apabila tidak ada perbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal kurang dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama sudah lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil maka pemasangan drain interkostal harus dilakukan. c. Clinically unstable patients with a large pneumotoraks Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus dapat mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR dilakukan setiap 24 jam. d. Surgical intervention Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat kebocoran udara persisten atau paru-paru gagal melakukan reekspansi setelah 3-5 hari. Indikasi dilakukannya operasi meliputi terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua, pneumotoraks kontralateral yang pertama, dan adanya resiko pekerjaan seperti penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya menjalani tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc pleurodesis, pleurectomy, dan open thoracostomy (Mackenzie and Gray, 2007) Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak mempengaruhi efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi antara ukuran drain dan tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien dirawat. Namun kateter dengan diameter kecil tidak dapat digunakan apabila terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya kebocoran udara (menyebabkan reekspansi yang tidak adekuat). Suction hanya dapat dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada dokter ahli paru-paru. BTS merekomendasikan sistem suction dengan volume besar dan tekanan rendah (-10 to -20 cm H2O). Drain sebaiknya tidak diklem kecuali diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV. Pengekleman drain dapat berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan angka keberhasilan atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah apabila terdapat kebocoran udara terus menerus karena berpotensi menyebabkan tension pneumotoraks. 3.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis kistik, tuberkulosis, pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat terjadi ada penyakit intersisiel paru seperti sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and tuberous sclerosis. Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli yang melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat adanya kondisi komorbid. Penyebab terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedangberat. Apabila pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang progresif muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan penanda signifikan untuk mortalitas pasien COPD. Setiap kejadian pneumotoraks meningkatkan resiko kematian sampai dengan empat kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis tidak dilakukan (Heffner and Huggins, 2004). Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna mencegaj rekurensi. Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi dengan syringe dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit paru yang mendasari ringan. Sebagian besar pasien membutuhkan drainase melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah terjadi re-ekspansi paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan terakhir dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasi dan mengalami pneumotoraks rekuren (Mackenzie and Gray, 2007). 3.3.2 Pneumotoraks Traumatik Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks traumatik diperkirakan 40% dari semua kasus pneumotoraks. Pneumotoraks traumatik tidak harus disertai dengan fraktur iga maupun luka penetrasi yang terbuka. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab trauma penetrasi pada dinding dada adalah luka tusuk, luka tembak, akibat tusukan jarum maupun pada saat dilakukan kanulasi vena sentral. Berdasarkan kejadiannya pneumotoraks traumatik dibagi menjadi 2 jenis yaitu: (Barmawi, 2009) 3.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik Pneumotoraks iatrogenik merupakan pneumotoraks yang terjadi akibat pembukaan rongga paru secara paksa saat tindakan diagnosis atau terapi invasif dilakukan . Pneumotoraks jenis ini masih dibedakan menjadi 2 yaitu: ● Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental, terjadi akibat tindakan seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter vena sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi transbronkial, dan ventilasi tekanan positif dapat menjadi etiologinya. Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah sakit (Yilmaz, et al, 2002). ● Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial, terjadi akibat tindakan seperti aspirasi jarum halus transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah ukuran dan kedalaman lesi. Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko pneumotoraks meningkat. Tindakan pemasangan kateter vena sentral. Penyebab lainnya antara lain akupunktur transthoracic, resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan obat melalui vena leher (Sharma, 2009). 3.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding toraks atau menuju pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda ajam (Sharma, 2009). Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis terobek oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intertisial dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura. Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di mana hilus paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks persisten dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan baik (Sharma, 2009). Pneumotoraks traumatik non iatrogenik juga dapat terjadi akibat barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara yang saturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumotoraks. Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam, udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat menyebabkan pneumotoraks (Sharma, 2009). 3.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya 3.4.1 Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif (Alsagaff, 2009). 3.4.2 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax) Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar karena terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound) (Alsagaff, 2009). 3.4.3 Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (Alsagaff, 2009). 3.5 Patofisiologi Pneumotoraks Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik, iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ paru dan pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostik ataupun terapeutik. Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan perokok. Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidanantioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks. Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2. Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube. Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah: Penyakit saluran napas o PPOK o Kistik fibrosis o Asma bronchial Penyakit infeksi paru o Pneumocystic carinii pneumonia o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram negatif atau staphylokokus) Penyakit paru interstitial o Sarkoidosis o Fibrosis paru idiopatik o Granulomatosis sel langerhans o Limfangioleimiomatous o Sklerosis tuberus Penyakit jaringan penyambung o Artritis rheumatoid o Spondilitis ankilosing o Polimiositis dan dermatomiosis o Sleroderma o Sindrom Marfan o Sindrom Ethers-Danlos Kanker o Sarkoma o Kanker paru Endometriosis toraksis Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun non-penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes karena tidak ada lagi tarikan ke luar dnding dada. Pengembangan dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura yang normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada bagian yang mengalami pneumotoraks. Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau bedah.Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik (transthoracic needle aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi mekanik tekanan positif (positive pressure mechanical ventilation). Angka kejadian kasus pneumotoraks meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak berpengalaman. Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera pada parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah. Katup ini mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya aliran balik dari udara tersebut. Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan intensif yang dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa adanya aliran udara balik. Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga pleura sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya hipoksia. Curah jantung turun karena venous return ke jantung berkurang, sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran udara pada paru yang kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika tidak ditangani secara tepat. 3.6 Diagnosis Pneumotoraks 3.6.1 Keluhan a) Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya padasaat bernafas dalam yang dirasakan 75-100 % pasien. b) Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali c) Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat. d) Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen (cyanosis). e) Batuk- batuk yang didapatkan pada 25-35% pasien. 3.6.2 Pemeriksaan Fisik a) Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan nafas, tertinggal pada sisi yang sakit. b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar, iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah atau menghilang. c) Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi timpani dan tidak bergetar, batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi. d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik apabila ada fistel yang cukup besar. 3.6.3 Pemeriksaan Penunjang a) Radiologis: 1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general 2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi avaskuler. 3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya kolaps dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan tumor. 4. Biasanya arah kolaps ke medial. 5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada jantung misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita kenal sebagai tension pneumothorax 6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan. b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien c) Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu: Derajat I : pneumotoraks dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%) Derajat II : pneumotoraks dengan perlengketan disertai hemotorak (12%) Derajat III : pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla< 2cm (31%) Derajat IV : pneumotoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter> 2cm (17%). (Aru W, 2009) 3.7 Penatalaksanaan Pneumotoraks 3.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan stabiisasi leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan cara memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC (airway, breathing, circulation) (Boon, 2008). Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw thrust (bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head tilt chin lift dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab mengunakan jari telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada pasien tidak sadar dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan menutup jalan nafas (Boon, 2008). Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan dilakukan secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan dinding dada asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara nafas menurun bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor. Bila didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan tindakan needle thoracostomy (Boon, 2008). Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila terjadi perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan kristaloid (Boon, 2008). 3.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Kebanyakan simple pneumothorax akan membutuhkan pemasangan intecostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumotoraks kecil, khususnya yang hanya terlihan dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data diobservasi berdasarkan status klinis pasien prosedur yang direncanakan berikutnya. Pemasangan chest tube cocok pada kasus yang terdapat multiple injury, pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau pasien yang akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension pneumothorax mungkin sulit atau tertunda (Brohi, 2004). 3.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax) Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada open pneumothorax adalah menutup luka dan segera memasang intercostal chest drain (Brohi, 2004). Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa melakukan terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasang dan luka ditutup (Brohi, 2004). 3.8 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax 3.8.1 Needle Thoracostomy Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada emergensi dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum. Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar dengan cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004). 3.8.2 Pemasangan Chest Tube Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension pnemothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori dan hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul), tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual dengan tekanan positif (Brohi, 2004). 3.9 Komplikasi Pneumotoraks Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi melalui tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya adalah terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung bronkovaskuler menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai mediastinum. Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan. Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema subkutis. Apabila udara pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan jantung (Carolan, 2010). Gambar 2.1 Gambaran pneumomediastinum pada foto thoraks tampak sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung kiri. Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal, dan selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan, 2010). Emfisema subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi sebagai pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema subkutis adalah radiolusen di tepian struktur anatomi terkait. Komplikasi ini dapat memperparah keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan napas. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan pisau pada daerah kulit yang mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008) BAB V PENUTUP Kesimpulan Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum pleura akibat robeknya pleura viseralis atau robeknya dinding dada dan pleura parietalis 2. Pneumotoraks diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kejadian yakni spontan dan primer, jenis fistel menjadi simple dan tension pneumotoraks, dan lokalisasinya 3. Diagnosa pneumotoraks ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik, serta ditunjang oleh pemeriksaan radiologis 4. Penatalaksanaan awal pneumotoraks dilakukan berdasarkan pemeriksaan Airway, Breathing, dan Circulation sedangkan penatalaksanaan lanjutan seperti pemasangan chest tube, thoracotomy, dan pleurodesis, dilakukan berdasarkan jenis pneumotoraks dan perkembangan keadaan klinis pasien 5. Komplikasi yang dapat berkembang dari kejadian pneumotoraks antara lain emfisema subkutis dan pneumomediastinum dapat berlanjut menjadi depresi saluran napas gangguan kontraksi jantung dan berujung pada kematian DAFTAR PUSTAKA 1. Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press 2. Arief N, Syahruddin E. 2008. Pneumotoraks. http://www.pulmo- ui.com/tesis/PratamaAD.pdf. Diakses tanggal 23 September 2011 jam 21.00 3. Bascom R. 2006. Pneumothorax. http://www.emedicine.com/med/fulltopic/topic1855.htm. 4. Bascom, R. 2011. Peumothorax. http://emedicine.medscape.com/article/424547. 5. Berck, M. 2010. Pneumothorax. http://nefrologyners.wordpress.com/2010/11/03/pneumothorax-2/. 6. Boowan JG. 2006 Pneumotoraks, Tension and Traumatic. http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC470.HTM. Diakses tanggal 23 September 2011 jam 20.00 7. Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Open. http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTopen.html. 8. Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Simple. http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTpneumo.html. 9. Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Tension. http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html. 10. Carolan, PL. 2010. Pneumomediastinum. Medscape Reference. Emedicine. http://www.medscape.com/article/1003409. 11. Chang AK. 2007. Pneumothorax, Iatrogenic, Spontaneous and Pneumomediastinum. http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM. 12. Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous Pneumthorax: Thers’s Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192. 13. Korom S, Conyurt H, Missbach A, et al. 2011. Pneumothorax. http://www.patient.co.uk/doctor/Pneumothorax.htm. 14. Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why all the confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of Physicians of Edinburgh; 37:335-338 15. McCool FD, Rochester DF, et al. 2008. Pneumothorax. http://www.harrisonspractice.com/practice/ub/view/Harrisons%20Practice/ 141278/all/Pneumothorax. 16. Paramasivam, E. 2008. Air Leaks, Pneumothorax, and Chest Drains: Subcutaneous Emphysema, Pneumomediastinum, and Pneumopericardium. Cont edu Anaesth Crit Care & Pain. 8(6): 204-209. Oxford University Press 17. Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous Pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74 18. Yılmaz, A, Bayramgürler, B, Yazıcıoğlu, O, Ünver, M, Ertuğrul, M, Güngör, N, Baran, R. 2002. Iatrogenic Pneumothorax: Incidence and Evaluation of the Therapy. Turkish Respiratory Journal, August 2002, Vol.3, No.2