i Laporan Studi Pustaka (KPM 403) PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PEMISKINAN RUMAH TANGGA PETANI TEPIAN KOTA NURUL KHOIRIAH I34120084 Dosen Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “PerubahanStruktur Agraria dan Pemiskinan Rumah Tangga Petani Tepian Kota” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Desember 2015 Nurul Khoiriah NIM. I34120084 ii ABSTRAK NURUL KHOIRIAH.Perubahan Struktur Agraria dan Pemiskinan Rumah Tangga Petani Tepian Kota. Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO. Adanya pengembangan wilayah di tepian kota berimplikasi terhadap perubahan struktur agraria berupa ketimpangan penguasan lahan dan konversi lahan yang semakin tinggi.Perubahan ini disebabkan oleh tingginya tingkat konversi lahan yang terjadi di wilayah tepian kota akibat dari tingginya permintaan akan lahan yang mempengaruhi harga lahan yang semakin tinggi akibat dari pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat. Terjadinya perubahan struktur agaria menyebabkan petani kehilangan mata pencaharian utama dan menurunkan pendapatan petani yang mengakibatkan petani semakin tersubordinasi dan termarjinalkan, sehingga terbentuk stratifikasi pada petani yang mengakibatkan terjadinya pemiskinan pada rumah tangga petani karena keterbatasan akses terhadap sumberdaya. ketimpangan penguasaan lahan tersebut menyebabkan petani memiliki lahan yang sempit dan menjadi buruh di tanahnya sendiri. Hal ini tentunya menurunkan ekonomi petani dan berpengaruh terhadap kesejahteraan. Penelitian ini akan menunjukan bagaimana perubahan struktur agraria pada masyarakat tepian kota terjadi akibat pengembangan wilayah dan faktor apa saja yang mendorongnya serta bagaimana pengaruhnya terhadap pemiskinan rumah tangga petani. Kata kunci : perubahan struktur agraria, konversi lahan, masyarakat tepian kota, dan pemiskinan. ABSTRACT NURUL KHOIRIAH. Structural Change and Poverty Agrarian Farmer Households Edge City. Under the guidance of ENDRIATMO SOETARTO. The development of the area at the edge of town has implications for changes in the agrarian structure in the form of inequality of land tenure and land conversion were higher. These changes are caused by the high rate of land conversion that occurs in the edge region of the city as a result of high demand for land affects land prices are higher as a result of the rapidly increasing population growth. Changes in agarian structural causing loss of the main livelihood of farmers and farmers' income decrease resulting in increasingly subordinated and marginalized farmers, thus forming a stratification of farmers which led to the impoverishment of the peasant households because of limited access to resources. inequality of land tenure is causing farmers have a narrow land and become laborers on their own land. This of course lowers the economy and affect the welfare of farmers. This study will show how changes in the agrarian structure in the community caused by the development banks of the city and the region of what factors are pushing and how they affect the impoverishment of farm households.Keywords: changes in the agrarian structure, land conversion, community banks of the city, and impoverishment. Keywords: changes in the agrarian structure, land conversion, community banks of the city, and impoverishment. iii Perubahan Struktur Agraria dan Pemiskinan Rumah Tangga Petani Tepian Kota Oleh NURUL KHOIRIAH I34120084 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 iv LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Nurul Khoiriah Nomor Pokok : I34120084 Judul : Perubahan Struktur Agraria dan Pemiskinan Rumah Tangga Petani Tepian Kota Dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2 Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA NIP. 19521225 1986 1 002 Dina Nurdinawati, S.KPm, M,Si Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Siti Amanah, MSc NIP: 19670903 199212 2 001 Tanggal Pengesahan: ____________________ v PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Pengaruh Perubahan Struktur Agraria dan Pemiskinan Rumah Tangga Petani Tepian Kota” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada kedua orang tua tersayang, serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan Studi Pustaka ini. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada keluarga besar SKPM terutama teman – teman seperjuangan SKPM 49 yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu sebagai teman berdiskusi, saling bertukar pikir, membantu dan memotivasi penulisan dalam penulisan dan penyelesaian Studi Pustaka ini. Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Desember 2015 Nurul Khoiriah NIM. I34120084 vi DAFTAR ISI PERNYATAAN ........................................................................................................................ i ABSTRAK ................................................................................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................... iv PRAKATA................................................................................................................................ v PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 2 Metode Penulisan ................................................................................................................ 2 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ........................................................................... 2 Perubahan Struktur Agraria Dan Implikasinya Terhadap Gerakan Petani Pedesaan (Analisis Karakter Forum Paguyuban Petani Jasinga Pasca PPAN) ............................ 3 Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani ........................... 4 Transformasi Struktur Agraria dan Differensiasi Sosial pada Komunitas Petani ...... 6 Dampak Konversi Lahan Pertanian bagi Taraf Hidup Petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru .............................................. 7 Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio –Ekologis Konversi Lahan .................................... 8 Konversi Lahan Pertanian Dan Perubahan Struktur Agraria....................................... 9 Analysis of Land Conversion and Its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia ......................................................................................................... 11 Agricultural Land Conversion Drivers: A Comparison between Less Developed, Developing and Developed Countries ............................................................................. 12 Alih Fungsi Lahan : Potensi Pemicu Transformasi Desa-Kota (Studi Kasus Pembangunan Terminal TIPA A”Kertawangunan”) ............................................................................. 13 Pengaruh Implementasi Kebijakan Pertanahan Terhadap Struktur Penguasaan Tanah dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Petani di Kabupaten Garut dan Subang 15 Dinamika Nafkah Rumah Tanga Petani Pedesaan dengan Pendekatan Sustainable Livelihod Approach (SLA) (Kasus Petani Tembakau di Lereng Gunung Merapi-Merbabu, Propinsi Jawa Tengah) ...................................................................................................... 16 Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga Pedesaan .................. 17 Respon Petani Atas Kemiskinan Struktural .................................................................. 19 Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten Semarang .......................... 20 Reforma Agraria Di Bidang Pertanian (Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Differensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak Banten) .......................... 22 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 23 vii Konsep Agraria dan Struktur Agraria............................................................................ 23 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Stuktur Agraria ........................... 24 Pola Penguasaan Lahan .................................................................................................... 25 Pemiskinan dan Petani Miskin ......................................................................................... 26 Tepian Kota........................................................................................................................ 28 SIMPULAN............................................................................................................................ 29 Hasil Rangkuman dan Pembahasan ................................................................................ 29 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Analisis Baru...................................................... 31 UsulanKerangka Analisis Baru ....................................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 33 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................................... 37 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Analisis........................................................................................33 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber kehidupan masyarakat mulai dari keperluan pangan hingga papan dilakukan diatas daratan, sehingga tanah (daratan) menjadi persoalan yang krusial bagi kehidupan masyarakat indonesia pada umumnya. Dominasi mata pencaharian masyarakat indonesia bersumber dari eksistensi tanah yaitu sebagai petani. Tatanan agraria tradisional di Jawa berubah seiring dengan masuknya kekuatan kolonialisme dan tentunya bersama dengan itu berubah pula jenis – jenis penguasaan dan pemilikan tanah yang ada di Jawa. Secara umum ada dua kategori yang terdapat dalam pola pemilikan tanah ini; pertama, pemilikan secara individual yang dapat diwariskan; dan kedua, pemilikan secara komunal yang diatur dalam sistem rotasi tetap atau bergilir diantara masing – masing petani penggarap di desa. Praktek penggarapan secara komunal merupakan hasil kreasi kolonial sejak berlakunya sistem tanam paksa di Hindia-Belanda. perkembangan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) pada akhirnya meruntuhkan kedudukan petani pribumi yang tidak lagi memiliki akses langsung dalam pemilikan dengan penguasaan terhadap tanah. Maka pada tahun 1870 pemerintah mengeluarkan undang – undang Agrarische Wet tahun 1870. Makna dari undang – undang ini bagi rakyat pribumi adalah kesempatan pemilikan tanah secara individual atau hak eigendom terhadap tanah dan penghapusan sistem penggarapan tanah komunal yang berlaku sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) (2014) memberikan laporan bahwa pada tahun 2000 jumlah penduduk di Jawa Timur sebesar 34.783.640 jiwa dan meningkat pada tahun 2010 menjadi sebesar 37.476.757 jiwa. Sementara itu banyaknya rumah tangga miskin di Jawa timur pada tahun 2013 adalah sebesar 10.626.60 jiwa dan meningkat pada tahun 2014 adalah sebesar 10.677.60 jiwa. Sedangakan jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada tahun 2014 adalah sebesar 4.748.42jiwa dengan presentase 8,30% penduduk kota dan 15,92% penduduk yang tinggal di desa. Jumlah karakteristik rumah tangga miskin pada tahun 2013 sebesar 4.84 orang dan pada tahun 2014 menurun menjadi 4.76 orang. Hal ini menunjukan bahwa seiring penggunaan lahan yang semakin sempit karena laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat akan berdampak pada ketimpangan kepemilikan lahan dan penurunan tingkat kesejahteraan petani. Keterkaitan antara keterbatasan atau bahkan ketiadaan akses terhadap tanah di mana lemahnya kepastian penguasaan dan kepemilikan tanah yang dapat berujung pada kegagalan pemilikan tanah dan modal menjadi salah satu penyebab dasar dari kemiskinan. Proses kemiskinan petani terjadi dibawah perkembangan sistem kapitalisme yang membuat ketergantungan petani pada sumberdaya tanah. Oleh karena itu dalam mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan penguasaan tanah, pemerintah mengadakan program Land Reform pada tahun 1960-an, Program redistribusi tanah melalui program pembahariuan Agraria Nasional tahun 2007-2014 dan program Larasita (Layanan Masyarakat untuk Sertifikat Tanah). Merujuk pada Wiradi (1999) dalam Puwandari (2014), ketimpangan kepemilikan sumber agraria dapat digolongkan ke dalam empat bentuk. Ketimpangan tersebut antara lain adalah penguasaan sumber-sumber agraria, ketidakserasian dalam hal peruntukan sumber-sumber agraria, ketidakserasaian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria, ketidakmerataan antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmantisme dan kebijakan sektoral. Perubahan struktur agraria pada masyarakat tepian kota dapat mengakibatkan pemiskinan karena disebabkan oleh tidak memiliki akses terhadap sumberdaya produktif sehingga terjadi ketidakamerataan pembagian lahan. Selain itu munculnya pemiskinan pada masyarakat tepian kota diakiabatkan oleh adanya pemekaran wilayah menjadikan harga lahan yang strategis menjadi tinggi. Meningkatnya pertumbuhan penduduk 2 menjadikan permintaan akan lahan semakin tinggi. Hal ini mendorong terjadinya konversi lahan. Pergeseran kebijakan pertanahan yang semakin cenderung pro – kapitalis mendorong perlunya mempertanyakan kembali orientasi kebijakan yang telah digariskan oleh UUPA 1960 sebagai perwujudan pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Faktanya masih banyak petani yang tidak mempunyai hak atas tanahnya. Sehingga melahirkan sistem kapitalisme para pemilik modal terhadap pemilik tanah. Akibat dari sistem kapitalisme tersebut menjadikan petani tersubordinasi dan termarjinalkan. Tentunya hal itu memicu terjadinya pemiskinan petani di tepian kota karena tidak memiliki akses terhadap sumberdaya. Berdasarkan pemaparan tersebut, menarik bagi penulis untuk melihat bagaimana perubahan struktur agraria tersebut berpengaruh terhadap pemiskinan rumahtangga petani tepian kota1. Tujuan Penelitian Perubahan struktur agraria akibat dari adanya pemekaran wilayan di tepian kota mengakibatkan ketimpangan lahan yang berujung pada penurunan tingkat ekonomi. Ketimpangan lahan tersebut dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya kemiskinan yang menjerat petani. Hal ini mengakibatkan nasib kaum petani semakin termarjinalkan dan tersubordinasi, karena keterbatasan dalam pengguasaan lahan. Oleh karena itu, tujuan penulisan studi pustaka ini adalah untuk mengetahui bagaimana terjadinya perubahan struktur agraria dan faktor – faktor yang menyebabkan perubahan, dan mengetahui sejauhmana implikasi perubahan struktur agraria di tepian kota terhadap pemiskinan pada rumah tangga petani. Metode Penulisan Metode yang dilakukan dalam studi pustaka ini adalah dengan menganalisis data sekunder yang relevan dengan topik studi pustaka. Data sekunder tersebut mencangkup antara lain jurnal, disertasi, tesis, dan buku – buku mengenai agraria. Selanjutnya bahan– bahan tersebut dipelajari, diringkas dan disusun menjadi sebuah ringkasan studi pustaka. Kemudian ringkasan studi pustaka dianalisis dan dibuat sintesis. Sampai pada akhirnya adalah penarikan hubungan dari langkah – langkah yang telah dilakukan untuk dapat memunculkan kerangka teoritis yang akan menjadi rumusan pertanyaan bagi penelitian yang akan dilakukan. RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1 Wiradi, Gunawan. 2002. Menuju Keadilan Agraria. Bandung[ID] : Akatiga. 3 : 1 Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi):hal Sumber : : : : : : Tanggal Unduh : : : : Perubahan Struktur Agraria Dan Implikasinya Terhadap Gerakan Petani Pedesaan (Analisis Karakter Forum Paguyuban Petani Jasinga Pasca PPAN) 2014 Jurnal Elektronik Sari Lestari dan Heru Purwandari Bogor dan Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor Jurnal Sosiologi Pedesaan 14(04): 47-58 http://id.portalgaruda.org/index.php?ref =browse&mod=viewarticle&article=323 775 25 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang bagaimana perubahan status sosial ekonomi setelah perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU), pengaruh perubahan status soial ekonomi terhadap terpenuhinya dimensi – dimensi gerakan petani pedesaan dan bagaimana pengaruh terpenuhinya dimensi gerakan petani terhadap karakter gerakan petani pedesaan. Menurut penelitian ini perpanjangan Hak Guna Usaha di atas tanah seluas 938 hektar di Blok Cikidung pada tahun 2008 menyebabkan masyarakat kehilangan lahan garapan. Konflik agraria yang dipicu oleh hilangnya akses tanah yang terjadi antara petani dengan perusahaan. konflik agraria ini melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan luas areal konflik mencapai 472.048.44 hektar. Terjadinya perubahan status sosial ekonomi yang di alami pasca kehilangan tanah garapan, memicu terpenuhinya dimensi gerakan petani. Terdapat empat dimensi gerakan petani yakni tingkat kesadaran, tingkat kolektifitas aksi, tingkat orientasi instrumental, dan status sosial. Dimensi gerakan petani dijadikan tolok ukur untuk melihat besar kepentingan seorang individu untuk tergabung dalam satu organisaasi gerakan petani di Desa Curug dan Desa Tegal Wangi, Kecamatan Jasinga untuk merebut kembali hak atas tanahnya. Merujuk pada Wiradi (1999) ketimpangan kepemilikan sumber agraria dapat digolongkan ke dalam empat bentuk. Ketimpangan tersebut antara lain ketimpangan dalam hal penguasaan sumber-sumber agraria, ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria, ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmantisme dan kebijakan sektoral. Struktur agraria menurut Wiradi (2009) merujuk kepada susunan sebaran atau distribusi tentang pemilikan (penguasaan formal) dan penguasaan efektif (garapan/operasional) atas sumber-sumber agraria, juga sebaran alokasi dan peruntukannya.Perubahan struktur agraria lokal berupa hilangnya akses terhadap menyebabkan perubahan sosial ekonomi yang dialami oleh anggota paguyuban. Pengurangan luas penguasan dan penurunan tingkat pendapatan terjadi setelah hilangnya akses terhadap lahan garapan. Pada mulanya lahan seluas 2000 hektar di kecamatan Jasinga dimanfaatkan oleh desa Curug dan desa tegal Wangi sebagai lahan garapan. Tidak semua lahan eks Hak Guna Usaha PT .PJ diperpanjang hanya 938 hektar ikut dalam perpanjangan, sedangkan 1200 hektar diberikan kepada masyarakat pada Program Pembaharuan Agraria Nasional. 4 Zuber (2007) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya: permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas; faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan; kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian; penggunaan pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian; dan kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik. Setelah adanya perpanjangan Hak Guna Usaha masayarakat yang memiki lahan rendah bertambah, sedangkan masyarakat yang memiliki lahan tinggi semakin berkurang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan akses yang dialami oleh masyarakat. Sehingga pendapatan masyarakat menjadi menurun akibat tidak adanya hasil sadapan karet. Sedangkan masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi Pasca HGU adalah masyarakat yang memiliki usaha di sektor non pertanian. Dampak lanjutan dari hilangnya lahan garapan adalah banyaknya anak – anak yang putus sekolah. Analisis Pustaka Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan kepemilikan lahan menjadi salah satu pemicu konflik antara petani penggarap dengan Perusahaan menyangkut Hak Guna Usaha. Hal ini menyebabkan perubahan struktur ekonomi petani. Sehingga muncul gerakan petani sebagai reaksi dari untuk merebut kembali hak petani. Kelebihan dalam jurnal tersebut sudah disertai dengan data yang memudahkan pembaca. Selain itu penelitian tersebut sudah menjawab permasalahan yang akan dibahas dan pada bagian kesimpulan sudah disertai dengan saran baik untuk pemerintah maupun untuk paguyupan petani. Penelitian ini sudah mencangkup bagaimana perubahan struktur agraria berdampak pada penurunan status ekonomi dan memunculkan gerakan petani. Kelemahan dari penelitian ini yaitu kurangnya penjelasan secara rinci data hasil penelitian yang dicantumkan dalam tabel. Kaitan penelitian ini dengan penelitian yang akan saya ambil adalah bahwa jenis perubahan struktur agraria yang terjadi yaitu adanya HGU yang mengubah lahan garapan masyarakat menjadi perkebunan. Penyebab dari adanya perubahan ini karena adanya perpanjangan HGU untuk PT. PJ setelah adanya progam Permbaharuan Agraria Nasional (PPAN). Hal ini tentunya berpengaruh terhadap hilangnya akses masyarakat terhadap lahan garapan yang dapat menyebabkan perubahan sosial ekonomi dan berimplikasi pada menurunya pendapatan berujung pada adanya pemiskinan rumah tangga petani. 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume : Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani : : : : 2008 Laporan Penelitian Cetak MT. Felix Sitorus, Arya H. Dharmawan, Undang Fadjar, dan Martua Sihaloho : : Bogor, Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor : Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia : 5 Sumber Tanggal Unduh : : - Ringkasan Pustaka Penelitian ini menitikberatkan pada sejauhmana lembaga lokal mendukung atau menghambat proses perubahan struktur agraria perkebunan kakao dan kelapa sawit, bagaimana perubahan struktur agraria terwujud dalam perkebunan kakao dan kelapa sawit, sejauhmana perubahan struktur agraria tersebut mengubah tingkat kesejahteraan komunitas pekebun yang mengelola komoditas dengan tingkat komersalisasi serta pola pengembangan yang berbeda, menyusun kebijakan reforma agraria dan revitalisasai pertanian bagi pekebun. Penelitian ini dilakukan di empat komunitas petani kakao di Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa lahan bukan hanya sebagai faktor produksi tunggal melainkan menjadi salah satu dari dua faktor yang saling terkait yaitu sebagai lahan dan modal finansial untuk penguasaan alat/bahan produksi pendukung lainnya. Hal ini mendorong terciptanya struktur agraria baru yaitu munculnya pola hubungan sosial produksi dengan berbagai pihak dan munculnya pola hubungan sosial produksi dan pihak yang semakin terakumulasi/tersubordinasi antara pemilik lahan yang semakin kuat dan penggarap yang semakin lemah. Pada penelitian ini penguasaan lahan mencangkup pengertian penguasaan tetep (pemilik peroragan) dan penguasaan sementara (bagi hasil, sewa, buruh upah, sadap, dan gadai). Data hasil sensus di lokasi penelitian menunjukan bahwa struktur agraria komunitas petani berbasis tanaman sawit dan karet dibangun oleh beragam lapisan sosial di antaranya pemilik, pemilik dan penggarap, pemilik dan buruh tani, penggarap, penggarap dan buruh tani, dan buruh tani. Sedangkan struktur agraria pada komunitas sawit dibangun oleh lapisan yang sederhana yaitu petani pemilik, pemilik dan penggarap serta buruh tani. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya mekanisme yang mendorong perubahan struktur agraria menuju stratifikasi yaitu pola bagi hasil dan pewarisan serta penjualan kebun dan buruh upahan dan akses petani terhadap program pemerintah. Petani pemilik masih berada dalam kategori miskin dan sedang karena luas lahanya masih kurang dari satu hektar, petani penggarap termasuk kedalam kategori miskin dan sedang, sedangkan penggarap kaya adalah petani yang menyewa kebun kelapa petani lain. Pengeluaran per kapita petani lapisan pemilik eksklusif merupakan lapisan petani paling sejahtera pengeluaran per kapita Rp. 3.590.730,-. Petani pemilik kombinasi berada pada tingkat kesehjahteraan sedang dengan pengeluaran per kapita Rp, 2.063.629,- sampai Rp.2.428.646,- . petani penggarap memiliki pengeluaran per kapita sebesar Rp. 1.544.111 dan penggarap buruh tani Rp.1.492.667,-. Lapisan petani kesejahteraan rendah pengeluaran per kapita sebesar Rp. 1.461.613,-. Berkurangnya peluang petani untuk meningkatkan kesejahteraanya karena semakin banyaknya kebutuhan pokok petani yang harus dibeli. Adanya ketidakmeratan akses terhadap program pemerintah mendorong terjadinya polarisasi. Analisis Pustaka Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui protet tetang perbedaan perubahan struktur agraria dan kesejahteraan komunitas pekebun yang mengelola komoditas dengan tingkat komersalisasiserta pola pengembangan yang berbeda, menyusun kebijakan reforma agraria dan revitalisasi pertanian bagi pekebun. Strategi yang diterapkan adalah studi kasus historis dan studi kasus majemuk. Penelitian ini dilaksanakan bukan sebagai penelitian deskriptif-planatif sehingga penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mengukur secara ketat besaran atau tingkatan relitas sosial tetapi untuk memberikan pemahaman 6 tentang bagaimana realitas sosial itu terbentuk dan sejauhmana realitas sosial tersebut memberi arti. Kaitan penelitian ini dengan judul penelitian yang akan saya ambil adalah jenis perubahan struktur agraria yang terjadi pada perekebunan kakao dan kelapa sawit menjadikan masyarakat kehilangan lahan sawah. Penyebab perubahan ini adalah karena program yang disusun oleh pemerintah yang tidak memihak pada petani dan lemahnya kelembagaan lokal. Sehingga memunculkan perubahan struktur agraria baru yang memicu terjadinya pola hubungan yang tersubordinasi/termarjinalkan. Pengaruh dari perubahan ini adalah meningkatnya petani miskin karena keterbatasan akses lahan di mana petani yang memiliki modal yang besar ia akan perpindah mata pencahariana ke sektor non pertanian, sedangkan petani yang lemah akan menjadi buruh tani. Hal ini dapat mengindikasi bahwa ketiadaan akses terhadap lahan dapat menurunkan tingkat kesejahteraan petani. 3. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume Sumber Tanggal Unduh : Transformasi Struktur Agraria dan Differensiasi Sosial pada Komunitas Petani : 2009 : Desertasi : Cetak : Undang Fadjar : : Bogor : : : : - Ringkasan Pustaka Penelitian ini dilakukan di empat komunitas petani kakao, dua komunitas di Sulawesi Tengah dan dua lainya di Nanggroe Aceh Darusalam. Penelitian ini dilakukan kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa kapitalisme terhadap perkembangan praktek moda produksi cenderung semakin kuat. Pengaruh tersebut dimiliki dengan terjadinya perubahan prektek moda produksi pertanian, khususnya perubahan dari praktek moda produksi yang menopang sistem pertanian ladang berpindah terutama untuk memproduksi tanaman pangan menjadi praktek moda produksi yang menopang pertanian menetap untuk memproduksi komoditas perdagangan. Pada kasus penelitian tersebut seluruh proses produksi pertanian di empat komunitas petani hanya dijalankan dengan satu sistem, yaitu pertanian menetap. Implikasi kapitalisme terhadap praktek moda produksi komunitas petani ternyata membelah komunitas petani menjadi beberapa bagian yang terpisah akibat perbedaan praktek moda produksi. Berlangsungnya perubahan sistem pertanian dari perladangan berpindah ke pertanian menetap telah memperkuat proses transformasi struktur agraria, dimana basis penguasaan sumberdaya agararia beralih dari penguasaan kolektif ke penguasaan perorangan. Namun masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada ikatan moral tradisional (terutama ikatan kekerabatan, pola pewarisan dan solidaritas lokal untuk menjaga kebutuhan warga komunitas) turut mendorong petani untuk menerapkan pola penguasaan sementara atas sumberdaya. Hal ini memicu timbulnya masyarakat petani yang terstratifikasi oleh banyak lapisan. Penguasaan lahan tersebut dibangun oleh beragam lapisan masyarakat yaitu pemilik, pemilik + penggarap, pemilik + buruh tani, 7 penggarap, penggarap + buruh tani dan buruh tani. Proporsi petani tunakisma di Desa Jono Oge Sulawesi Tengah sebesar 34,2%. Bersamaan dengan terjadinya differensiasi sosial masyarakat agraris juga terjadi differensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani. Dalam penelitian ini petani dibagi menjadi tiga yaitu : petani kaya, petani sedang, dan petani miskin. Petani NAD termasuk dalam kategori petani miskin. Sentara petani di Sulawesi Tengah termasuk dalam kategori petani miskin dan relatif seimbang. Transformasi agraria dapat menurunkan kesejahteraan petani yang berakibat pada penghasilan yang minimum. Kesimpulan dari penilitian ini adalah terjadinya perubahan struktur agraria mengarah pada petani yang semakin terpolarisasi dan ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya agraria da dalam kesejahteraan. Terjadinya commodity-driven relation of production pada komunitas petani. Analisis Pustaka Penelitian ini menjelaskan tentang transformasi struktur agraria mengakibatkan terjadinya penurunan kesejahteraan akibat dari petani yang terstratifikasi. Kelebihan dari penelitian ini adalah sudah sesuai dengan topik yang dikaji dan menjawab seluruh permasalahan penelitian tersebut. Namun, kelemahan dari penelitian ini adalah dalam penjabaran data kurang begitu maksimal. Kaitan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan adalah perubahan struktur agraria yang terjadi yaitu perubahan penguasaan sumberdaya dari kolektif ke individual. Penyebab terjadinya perubahan struktur agraria ini dilatarbelakangi oleh perubahan sistem pertanian dari perladangan berpindah ke pertanian menetap. Namun adanya perubahan struktur agraria ini mengakibatkan penurunan kesejahteraan petani karena akibat dari adanya petani yang terstratifikasi. Implikasi dari perubahan struktur agraraia ini adalah terciptanya pemiskinan pada rumah tangga petani akibat dari menurunya pendapatan petani. Sebagain petani yang berada di pinggiran menjual lahanya karena adanya pengaruh gaya hidup dan modernisasi membuat mereka menjual lahan sebagai bentuk dari adanya transformasi desa-kota. Karena pengaruh dari modernisasai tersebut banyak petani yang beralih mata pencahariaan ke sektor non-pertanian dan sebagaian tetap memilih menjadi buruh. Sehingga kehidupan petani yang berada di tepian kota akan semakin termarjinalkan oleh adanya perubahan struktur agraria ini. 4 Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber : Dampak Konversi Lahan Pertanian bagi Taraf Hidup Petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru : 2012 : Jurnal : Elektronik : Agung Hadi Hidayat, Usamah Hanfie, dan Nurmelati Septiana : : : Jurnal Agribisnis Pedesaan : 12(02):95-107 : http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/agride s/article/view/224 8 Tanggal Unduh : 26 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kodisi taraf hidup petani sebelum dan sesudah terjadinya konversi lahan, serta mengetahui dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan. Konversi lahan yang terjadi akibat dari penggunaan lahan pertanian ke non- pertanian. Kegiatan tani yang sudah dilakukan lebih dari 20 tahun di Jalan Karya Manuntung RT 1 Kelurahan Landasan Ulin Barat membuat petani beralih profesi. Rendahnya tingkat pendidikan membuat petani menjadi semakin termarjinalkan karena pekerjaan mereka yang kurang bisa mencukupi kebutuhan ekonomi. Sebelum adanya konversi lahan pendapatan petani hanya bergantung pada tanaman yang dapat ditanam di musim tertentu saja. Namun setelah adanya konversi lahan menciptakan pekerjaan baru pada sektor non pertanian. Pendapatan petani pun ada yang meningkat, tetap, dan menurun. Jika dilihat dari aspek kondisi rumah sangat bervariasi serta sarana MCK yang masih jauh dari kata layak. Para petani rata-rata hanya memiliki tanah seluas 1,5 ha yang digunakan untuk pertanian dan tempat tinggal. Pembangunan perumahan Citra Graha memberikan dampak besar terhadap lingkungan sekitar. Akibat dari pembangunan ini mengakibatkan saluran irigasi menjadi terhambat dan lahan pertanian semakin terbatas. Adanya perumahan tersebut membuat lahan semakin menyempit dan mengurangi pasokan sayur-sayuran di Kalimantan Selatan. Analisis pustaka Hasil penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi taraf hidup petani sebelum dan sesudah konversi lahan. Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data yang menunjukan presentase petani yang mengalami kenaikan, tetap atau penurunan taraf hidup. Hal ini sangat penting karena dapat tergambar sejauhmana kondisi taraf hidup para petani sebelum dan sesudah adanya konversi. Penelitian ini memberikan penjelasan bahwa terjadinya konversi lahan dapat menurunkan tingkat ekonomi masyarakat. Penyebanya karena adanya pengaruh modernisasi untuk menjual lahan karena dirasa tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi. Sehingga konversi lahan dapat menciptakan pekerjaan baru di bidang non-pertanian. Namun di beberapa petani konversi lahan tersebut membuat petani semakin miskin karena penguasaan lahan semakin menyempit seiring dengan semakin banyaknya permintaaan akan lahan untuk dialih fungsikan ke sektor non-pertanian. Apabila kondisi pertanian masyarakat pinggiran pada awal sebelum konversi kemudian terjadi konversi petani tetap tidak mempunyai akses terhadap sumberdaya maka akan semakin miskin dan terpinggirkan. Akibat dari transformasi wilayah desa-kota yang mendorong orang desa berakteristik kekotaan, maka dengan terjadinya konversi lahan orang desa akan cenderung menjual lahanya dengan asumsi bahwa kegiatan non-pertanian akan lebih menguntungkan di banding pertanian. 5 Judul . Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal : Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio Ekologis Konversi Lahan : 2011 : Jurnal : Elektronik : Asri Lestari dan Arya Hadi Dharmawan : : : Jurnal Transdisiplin Sosiologis, Komunikasi an Ekologi Manusia – 9 Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh : 05(01):1-12 : http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/a rticle/viewFile/5835/4500 : 27 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuai tipe-tipe konversi lahan, mengetahui dampak sosio-ekonomis konversi lahan terhadap rumah tangga setempat, dan mengetahui dampak sosio-ekologis konversi lahan terhadap kawasan setempat. Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor. Daerah ini mengalami konversi lahan akibat dari pembangunan fasilitas wisata berupa villa, hotel maupun restoran. Perubahan tata ruang di desa ini mengakibatkan banjir di kawasan hilir DAS Ciliwung. Penelitiann ini dilakukan di dua kampung di desa Tugu Utara yaitu kampung Sampay dan kampung Sukatani. Daerah Kampung Sampay terjadi konversi lahan secara besar-besaran, sedangkan di Kampung Sukatani masih banyak lahan pertanian dan konversi lahan masih sangat lambat. Pelaku konversi lahan sendiri dibagai menjadi dua yaitu warga lokal yang mengkonversi lahan dengan membangun tempat tinggal dan warga luar desa yang membangun fasilitas wisata. Terjadinya konversi lahan memberikan dampak negatif terhadap aspek sosio-ekonomis seperti; perubahan penguasana lahan, kesempatan kerja, perubahan pola kerja, kondisi tempat tinggal, dan hubungan antar warga. Pada Desa Tugu Utara terjadi peningkatan rumah tangga menjadi tunakisma dan telah terjadi derajat penguasaan lahan dari pemilik menjadi penyewa. Selain itu juga terjadi penurunan derajat penguasan lahan. Hal ini terlihat dari kesempatan kerja di bidang non-pertanian lebih banyak berada di kampung Sampay dibanding Sukatani. Konversi lahan mengakibatkan rata-rata pendapatan petani menjadi menurun. Perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi non-pertanian mengakibatakan munculnya prostitusi di Desa Tugu Utara. Selain itu masalah sosio-ekologi juga menjadi menjadi pemicu menurunya akses terhadap sumberdaya khususnya air. Perubahan tata ruang mengakibatkan banjir di kawasan hulu dan hilir karena adanya proses konversi lahan. Alih fungsi ini berdampak pada meningkatnya kemacetan dan kebisingan di lingkungan. Analisis pustaka Penelitian ini sudah menggunakan data – data yang lengkap dan relevan sesuai dengan topik yang dikaji. Sehingga data yang disajikan dapat menjawab permasalahan yang diangkat di Desa Tugu Utara. Kaitan penelitian ini dengan judul penelitian yang saya lakukan adalah bahwa terjadinya konversi lahan akibat dari alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan fasilitas wisata berupa villa, hotel maupun restoran. Penyebab terjadinya konversi lahan ini karena pekerjaan sektor non-pertanian lebih menjanjikan dibanding sektor pertanian. Pengaruh adanya konversi lahan yang dikuasai oleh petani semakin sempit karena banyak digunakan untuk kegiatan di luar bidang pertanian. Sehingga membuat petani yang miskin semakin miskin dan tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok karena sumber penghasilan mereka menjadi hilang. 6 Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : Konversi Lahan Pertanian Dan Perubahan Struktur Agraria : 2007 : Jurnal : Elektronik : Martua Sihaloho, Arya Hadi Dharmawan, Said Rusli 10 Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh : : Bogor, Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor : Jurnal Trandisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia : 01(02); 253-270 : hhtp://download.portugalgaruda.org/ article.php?article=83495&val=223& title=konversi%20Lahan%20Pertani an%20Dan%20Perubahan%20Struk tur%20Agraria%20Kelurahan%20 Mulyaraja%20Kecamatan%20Bogo r%20Selatan%20Kota%20Bogor%2 0Jawa%20Barat) : 27 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini mentikberatkan pada adanya konversi lahan dan perubahan struktur agraria di Kelurahan Mulyaraja. Dampak dari adanya konversi lahan tersebut mengakibatkan ketimpangan struktur agraria lahan terhadap kehidupan masyarakat menyangkut perubahan pola penguasaan lahan, pola nafkah dan hubungan pola produksi. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposif melalui pendekatan kualitatif. Penelitian ini memadukan metode pengamatan, wawancara mendalam, studi / analisis data dokumen/sekunder. Kasus konversi lahan yang terjadi di Kelurahan Mulyaraja yang awalnya adalah lahan pertanian berubah menjadi wilayah permukiman. Hal ini mengakibatkan berkurangnya akses pada sumberdaya agraria dan meningkatkan buruh tani yang berdampak pada perubahan pola nafkah agraria. Terjadinya konversi lahan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya; pertumbuhan penduuduk, keterdesakan ekonomi, faktor luar, intervensi pihak swasta dan intervensi pemerintah. Perubahan struktur agraria dari segi pola penguasaan sumberdaya agraria dibagi menjadi dua yaitu pemilik sekaligus penggarap dan pemilik yang mempercayakan kepada penggarap dengan sistem bagi hasil. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa tanah di Kelurahan Mulyaraja sebagaian sudah dimiliki oleh orang luar Kelurahan dan PT. Masyarakat Kelurahan Mulyaraja bermata pencahariaan dari sektor pertanian sebagai petani dan buruh tani, sedangkan pada sektor non – pertanian menjadi wiraswasta, tukang ojek, supir angkot, dll. Terdapat pola konversi lahan di Kelurahan Mulyaraja yaitu pertama, konversi gradual – berpola sporadis yang diakibatkan oleh lahan yang kurang subur dan keterdesakan ekonomi. Kedua, konversi sistematik berpola ‘enclave. Ketiga, konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk. Keempat, konversi yang disebabkan oleh masalah sosial. Kelima, konversi tanpa beban. Keenam, konversi adaptasi agraris. Ketujuh, konversi multi bentuk atau tanpa bentuk / pola. Implikasi dari perubahan pandangan masyarakat terhadap penggunaan sumber agraria menyebabkan terjadinya pergeseran ke arah pemanfaatan tanah untuk fungsi reproduksi seperti perumahan. Perubahan struktur agraria tersebut berimplikasi pada menguatnya proses marginalisasi bagi warga setempat dan memberikan keuntungan bagi pihak pemodal. Analisis Pustaka Penelitian tersebut menjelaskan bagiamana proses konversi lahan yang terjadi di Kelurahan Mulyaraja dan perubahan struktur agraria menghasilkan ketimpangan struktur agraria bagi masyarakat setempat. Ketimpangan tersebut berimplikasi negatif 11 terhadap pola nafkah yang mengakibatkan penurunan kesejahteran petani. Pengalihfungsian tanah untuk perumahan membuat nasib petani semakin termajinalkan dan memberikan keuntungan bagi pemilik modal. Penjelasan dalam penelitian ini masih belum mencangkup semua, melainkan hanya menjelaskan secara singkat proses konversi dan perubahan struktur agraria yang menghasilkan ketimpangan. Perlu adanya alasan yang lebih kuat untuk menjelaskan bagaimana konversi lahan dan perubahan struktur agraria berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Keterkaitan penelitian tersebut dengan penelitian yang saya lakukan berdasarkan jenis perubahan struktur agraria dari segi terjadinya konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian. Penyebab terjadinya konversi lahan karena meningkatanya pertumbuhan penduuduk, keterdesakan ekonomi, faktor luar, intervensi pihak swasta dan intervensi pemerintah.Pengaruh dari adanya konversi lahan yaitu berimplikasi pada menguatnya proses marginalisasi bagi warga memicu terciptanya pemiskinan petani setempat dan memberikan keuntungan bagi pihak pemodal. 7. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh : Analysis of Land Conversion and Its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia : 2013 : Jurnal : Elektronik : Noortje M.Benu, Maryunani, Sugiyanto, and Paulus Kindangen : : : Asian Transactions on Basic and Applied Science : 03 (02) : 65-72 : www.asiantransactions.org/Journals/Vol03Issue02/AT BAS/ATBAS-40329021.pdf : 30 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini menitikberatkan pada pengembangan strategi penanganan konversi lahan yang terjadi di Kota Tomohon, Sulawesi Utara yang menguji faktor dominan yang memepengaruhi konversi lahan dan menganalisis strategi pembangunan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik proportional random sampling dengan responden petani yang mengkonversi lahannya serta menggunakna metode analisis faktor dan proses analisis hirarki. Pembangunan di Tomohon yang membutuhkan banyak lahan membuat terjadinya alih funsi lahan. Daerah di perkotaan dipandang sebagai lokasi yang paling efisien untuk kegiatan non-pertanian yang propduktif karena ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Terdapat dua jenis proses konversi sawah yaitu konversi langsung sawah oleh petani dan oleh pemilik tanah non petani yang dilakukan melalui proses penjualan. Konversi melalui penjualan berlangsung dengan dua cara yaitu cara di mana posisi petani adalah sebagai monopoli penjual dan pembeli monopsoni yang terjadi akibat adanya fragmentasi pasar tanah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di Tomohon adalah faktor ekononomi, lanskap dan keamanan pangan. Dari aspek ekonomi, tingkat pendapatan petani, kegiatan ekonomi dan harga tanah berpengaruh cukup tinggi 12 pada konversi lahan. Pendapatan petani yang tidak terlalu tinggi membuat petani memilih untuk menjual lahanya. Dilihat dari aspek lanskap yang paling berpengaruh pada konversi lahan di Tomohon adalah infrastruktur atau kedekatan dengan lokasi lahan, tingkat aksesibilitas lahan dan kebutuhan lahan. Terjadinya konversi lahan sangat berpengaruh dalam dinamika perubahan struktur agraria. Perubahan yang terjadi yaitu : 1. Perubahan pola pemilikan tanah, 2. Perubahan pola penggunaan lahan, 3. Perubahan pola hubungan agraria, 4.perubahan pola hidup agraria dan 5. Sosial dan perubahan masyarakat. Rusaknya kawasan lindung akan mengakibatkan daya dukung yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya konversi lahan, sehingga menyebabkan harga tanah meningkat di luar kendali dan menurunkan ketersediaan kebutuhan dasar. Sehingga diperlukan strategi pengembangan untuk Kota Tomohon berdasarkan pendapat para ahli adalah strategi pengembangan ekowisata, sehingga lahan pertanian tetep terjaga dan menekan angka konversi lahan. Analisis: Berdasarkan hasil penelitian yang dilakuakan dijelaskan bahwa terjadinya konversi lahan di Kota Tomohon akibat dari pendapatan petani yang rendah memicu petani untuk menjual tanahnya. Dalam pembangunan infrastruktur dibutuhkan lahan pertanian yang luas, sehingga menjdorong terjadinya konversi lahan. Lahan yang awalnya mudah diakses menjadi hal yang langka dan menjadi incaran untuk dikonversi untuk kegiatan non pertanian yang lebih produktif. Penelitian ini sudah memaparkan scara jelas proses terjadinya konversi lahan akibat dari pembangunan dalam kegiatan ekonomi. Perubahan konversi lahan yang terjadi yaitu dari lahan pertanian ke pembangunan infrastruktur dan prasarana seperti ekowisata dan bangunan. Penyebabnya karena pendapatan petani yang tidak terlalu tinggi dan tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, maka petani lebih memilih untuk menjual lahannya pada investor. Keberadan lokasi lahan yang strategis membuat harga lahan semakin tinggi, sehingga petani lebih memilih menjualnya dan beralih mata pencaharaian ke sektor non-pertanian. Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan adalah bahwa lokasi yang strategis tepian kota akan lebih banyak terkonversi karena dipengaruhi oleh tingginya harga jual lahan yang mendorong petani untuk beralih ke sektor lain. Hal ini sangat berimplikasi dapat menimbulkan penyempitan kepemilikan lahan yang dapat menurunkan pendapatan petani sebagai awal pemiskinan pada petani karena mereka setelah menjual lahan tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap. 8. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh Ringkasan Pustaka : Agricultural Land Conversion Drivers: A Comparison between Less Developed, Developing and Developed Countries : 2010 : Jurnal : Elektronik : H. Azadi, P.Ho, dan L.Hasfiati : : : Land Degradation and Development : 03 (02) : : http://www.mearc.eu/resources/04ArtLandDe grDev2010.pdf : 30 September 2015 13 Penelitian menitikberatkan pada faktor penggerak utama terjadinya konversi lahan pertanian adalah yang dikenal sebagai Agricultural Land Conservation (ALC) di seluruh dunia. ALC secara dapat dilihat sebagai konsekuensi dari industrialisasai di negara kurang berkembang, sedang berkembang dan negara – negara maju. Pertumbuhan penduduk mempengaruhi meningkatnya kebutuhan terutama di daerah perkotaan sehingga menuntut banyak pasokan kebutuhan untuk masyarakat di perkotaan. Meningkatnya kebutuhan di perkotaan mengakibatkan tanah diperkotaan menjadi langka dan lebih mahal. Sehingga adanya ALC mengakibatkan terjadinya dampak negatif jangka panjang seperti kehilangan tanah, perubahan pada produksi, pekerjaan dan infrastruktur. Negara – negara berkembang pertumbuhan ekonomi berlangsung sangat cepat hingga menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian. Selain itu perkembangan sektor industri dapat mempercepat konversi lahan pertanian. Kebijakan pemerintah mengenai industrialisasi juga muncul mendorong pengembangan kawasan industri untuk mengambil lahan pertanian di daerah pinggiran kota. Pengembangan zona ini mendorong investasi di bidang industrialisasi dan mendorong orang – orang untuk bermigrasi dan mencari peluang kerja baru. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ALC untuk ketiga kelompok negara meningkat. Hal ini menunjukan bahwa ALC akan berlanjut di masa mendatang jika tidak adanya kebijakan pemerintah yang mampu menghentikan, selain itu urbanisasi merupakan salah satu penyebab utama dari ALC. Karena perkembangan wilayah perkotaan yang semakin cepat mengakibatkan banyaknya terjadi konversi lahan. Analisis Pustaka Penelitian ini dilakukan sebagai analisis time-series kuantitatif untuk periode 1961-2003 dan data yang diperoleh melalui data base online yaitu Nation Master dn Earth Trends Data Base. Pengambilan sample menggunakan stratified random sampling dengan sample dibagi menjadi tiga strata, yaitu Kurang berkembang, sedang berkembang dan negara maju. kelebihan penelitian ini penulis sudah mampu menjawab permasalahan penelitian. Sedangkan kekurangan dari penelitian ini adalah data yang digunakan dari hasil online bukan dari survey secara langsung. Perubahan struktur agraria yang terjadi yaitu lahan pertanian yang berada di tepian kota dimanfaatkan untuk pembangunan kawasan industri sebagai akibat dari adanya modernisasi yang sehingga banyak petani yang memilih mengkonversikan lahan pertanian ke non pertanian. Penyebabnya adalah adanya para investor yang mau membeli lahan pertanian dengan harga yang tinggi, selain itu adanya dorongan untuk mencari pekerjaan baru yang memberi penghasilan yang tinggi. Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan adalah perkembangan wilayah perkotaan yang semakin pesat menjadikan harga lahan di tepian kota menjadi tinggi. Hal ini tentunya mengundang minat petani untuk menjual lahanya dan beralih profesi sehingga proses konversi lahan menjadi meningkat. Padahal setelah petani menjual lahannya sebagian petani akan beralih mata pencahariaan ke sektor non pertanian dan kehilangan mata pencaharian utama mereka. Sehingga tidak sedikit petani yang awalnya berpengahasilan rendah akan menjadi semakin miskin dan termajinalkan. Proses penjualan lahan akan mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan pada rumah tangga petani karena peluang usaha akan semakin terbatas. 9. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka : Alih Fungsi Lahan : Potensi Pemicu Transformasi Desa-Kota (Studi Kasus Pembangunan Terminal TIPA A”Kertawangunan”) : 2010 : Jurnal : Elektronik 14 Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh : Evi Novia Nurjanah dan Heru Purwandari : : : JSEP : 06 (03) : 54-68 : http://jurnal.unej.ac.id/index.php /JSEP/article/viewFile/810/625 : 30 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana mekanisme konversi lahan memberikan efek terhadap arah pengembangan wilayah Kabupaten Kuningan. Faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah menurut Sumaryanto, dkk (1994) adalah kebijaksanaan pemerintah dan lokasi sawah terhadap pusat pertumbuhan ekonomi. Konversi lahan yang terjadi berdampak terhadap perubahan hubungan aktor dan berimplikasi terhadap pengembangan wilayah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena memberikan pemahaman yang mendalam mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial dengan menggunakan metode triangulasi.Penggunaan lahan di kebupaten Kuningan cenderung menurun tahun 2003 sampai 2005 dengan presentase 29,51 persen tahun 2003 sekitar 29,28 persen tahun 2004 dan sekitar 25,14 persen pada tahun 2005. Penurunan ini disebabkan oleh kepentingan pemerintah daerah untuk membangun fasilitas umum karena meningkatanya jumlah penduduk yang begitu pesat untuk pemukiman, sarana transportasi, dan kebutuhan akan jalan sehingga permintaan akan lahan semakin meningkat. Sebagian besar penggunaan lahan di Desa Kertawangunan digunakan untuk lahan sawah. Lahan sawah irigasi ini digarap oleh masyarakat desa Kertawangunan degan sistem sewa dan bagi hasil. Harga sewa lahan untuk tanah milik perangkat desa oleh masyarakat (petani) sebesar Rp 400.000,00 sampai Rp 500.000,00/100 bata. Aktor pemanfaatan sumberdaya agraria dibagai menjadi tiga yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta. Pada kasus konversi lahan yang tejadi di Desa Kertawangunan untuk pembangunan terminal Tipe A diawali dengan transfer pemilikan lahan dari masyarakat pemilik lahan kepada pemerintah daerah melalui jual beli. Pembebasan lahan yang digunakan untuk pembangunan Terminal adalah lahan sawah seluas 5,7 ha. Faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan menjadi Terminal adalah faktor kebijakan lokal dan lokasi sawah yang strategis dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan terminal Kertawangunan belum sinergi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan pasalnya terminal tersebut dibangun ketika RTRW belum selesai disusun. Letak lahan yang sangat strategis dekat dengan jalan raya menjadi sasaran utama untuk dikonversi. Pembangunan Terminal dapat membuka akses terhadap pertumbuhan ekonomi dibuktikan dengan munculnya kios-kios di sekitar terminal. Hal ini memicu meningkatnya harga lahan menjadi dua kalipat dari harga pasaran. Setelah terbnagun terminal harga tanah meningkat 200 persen dari harga sebelumnya. Harga tanah pada waktu pembebasan lahan sebesar Rp 1.500.000,00 per batanya menjadi Rp 6.000.000,00 per batanya. Adanya konversi lahan merubah orientasi nilai terhadap suatu lahan yang dibagi menjadi tiga yaitu nilai keuntungan, nilai kepentingan umum, dan nilai sosial. Dampak dari adanya konversi lahan ini mengubah hubungan antar pemilik dan penggarap serta hilangnya kemampuan dalam menyediakan beras secara mandiri. Petani harus membeli beras dalam mencukupi pangan sehari- hari. petani banyak yang beralih mata pencaharian ke sektor non pertanian sedangkan yang bertahan menjadi petani mereka menggarap 15 sawah dengan sistem maro. Masyarakat yang beralih mata pencaharian rata-rata mendapatakan pekerjaan dengan upah rendah karena tingkat pendidikan mereka yang tergolong rendah. Menurut Kustiawan (1997) faktor eksternal yang berpengaruh dalam konversi lahan pertnaian berkaitan dengan dinamika pertumbuhan perkotaan yaitu perkembangan kawasan terbangun, pertumbuhan penduduk perkotaan dan pertumbuhan PDRB. 10. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh : Pengaruh Implementasi Kebijakan Pertanahan Terhadap Struktur Penguasaan Tanah dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Petani di Kabupaten Garut dan Subang : 2008 : Jurnal : Elektronik : Sintaningrum : : : Jurnal Kependudukan Padjajaran : 10(01):23-33 : file:///D:/makalah/Downloads/4023-7080-2PB.pdf : 26 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan terkait dengan adanya ketimpangan struktur penguasaan tanah dan rendahnya kesejahteraan petani di Kabupaten Subang dan Garut. Kemiskinan petani di Indonesia terlihat dari meningkatnya jumlah petani gurem tahun 2003 menjadi 56,5%. Salah satu masalah kemiskinan tersebut diakibatkan oleh ketimpangan struktur penguasan tanah dan masih rendahnya kesejahteraan petani disebabkan oleh implementasi kebijakan pertanahan yang belum optimal, baik ditinjau dari konten kebijakan maupun konteks dimana kebijakan tersebut diiplementasikan. Ketimpangan struktur agraria ini berawal dari petani penggarap tidak menjual tanah mereka secara langsung, melainkan bertahap melalui sewa-menyewa atau dengan menggadaikan tanahnya. Namun setelah jatuh tempo, karena tidak bisa membayar akhirnya petani tersebut menjual tanahnya. Jual beli tersebut dilakukan dibawah tangan dengan tidak merubah nama SK redistribusi penerima hak. Peningkatan kesejahteraan meningkat pada sedikit petani yang berhasil menjadikan sebagai tuan tanah baru. Dimensi yang paling berperan dalam konteks implementasi kebijakan adalah dimensi karakteristik kelembagaan dan penguasaan, serta dimensi kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat. Implementasi kebijakan redistribusi tanah di Kabupaten Subang dan Garut menunjukan terjadinya proses politik yang kental yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan program. Tarik menarik kepentingan di antara berbagai aktor yang terlibat mengakibatkan program redistribusi tanah tidak berjalan mulus. Implikasinya adalah munculnya konflik – konflik sengketa tanah antara berbagai pihak baik petani dengan petani maupun petani dengan penggarap. Konflik tersebut terjadi karena adanya 16 perbedaan persepsi tentang riwayat kepemilikan tanah dan pemanfaatan tanah – tanah yang yang kemudian disepakati dan dikelola bersama. Analisis Pustaka Pada hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi kebijakan pertanahan berpengaruh signifikan terhadap struktur penguasaan tanah dan berdampak terhadap kesejahteraan petani di Kabupaten Garut dan Subang. Kelebihan dari penelitian ini sudah menggunakan metode explanatory research yaitu penelitian yang menyangkut pengujian hipotesis penelitian dikombinasikan dengan analisis deskriptif yang bertujuan menggambarkan keadaan nyata di lapang. Kelemahan penelitian ini belum menampilkan data–data struktur penguasaan tanah secara lengkap, namun lebih menjelaskan hasil dari pengolahan data yang didapat. Hal ini tentunya membuat pembaca kesulitan untuk membandingkan presentasi lahan yang dimiliki dan dijual belikan. Selain itu dalam penelitian tidak terdapat kerangka pemikiran yang menunjukan variabel apa saja yang ingin diukur. Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian yang akan saya ambil adalah penyebab perubahan struktur agraria karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada petani mengakibatkan petani menjual tanahnya kepada pemilik modal tanpa pemindahan nama. Hal ini menimbulkan ketimpangan struktur agraria yang berimplikasi pada kemiskinan. Penyebab terjadinya kemiskinan ini akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak berjalan optimal dan cenderung memihak pada pemilik modal. Sehingga membuat masyarakat pinggiran menjadi lebih termarjinalkan. 11 Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi):hal Sumber Tanggal Unduh : Dinamika Nafkah Rumah Tanga Petani Pedesaan dengan Pendekatan Sustainable Livelihod Approach (SLA) (Kasus Petani Tembakau di Lereng Gunung MerapiMerbabu, Propinsi Jawa Tengah) : 2010 : Jurnal : Elektronik : Widiyanto, Suwarto dan Retno Setyowati : : Surabaya dan Universitas Negeri Surabaya : Agritext : 28(12):80-88 : http://eprints.uns.ac.id/11094/1/Publikasi _Jurnal_(20).pdf : 27 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini dilakukan untuk memahami kemiskinan dengan menggunakan pendekatan sustainable livelihood. Pendekatan ini menekankan pada unsur tidak hanya pendapatan dan pekerjaan juga pada unsur holistik mengenai bagaimana kehidupan orang miskin dan apa prioritas hidup mereka. Dalam upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan proses pemberdayaan yang mencangkup dua level yaitu pertama, personal empowerment mengacu pada peningkatan ketrampilan dan percaya diri masyarakat untuk mengatasi hambatan ekonomi seperti; melakukan aktifitas menabung. Kedua, social empowerment, penguatan organisasi lokal yang ada untuk membangun kapasitas anggota komunitas untuk merencanakan dan mengimplementasikan aktifitas pembangunan yang muncul assesment kebutuhan secara partisipatif. Lahan pertanian 17 sebagai modal utama bagi petani di lereng gunung Merapi-Merbabu menjadikan lahan tersebut sebagai sumber ekonomi sehari – hari dengan komoditas utamanya yaitu tembakau dan tanaman holtikultura. Namun seiring dengan terjadinya frangmentasi yang mempersempit kepemilikan lahan maka banyak yang beralih profesi. Karena sempitnya lahan banyak petani lahan sempit yang menyewa tanah kas desa dan juga tanah oro – oro yang mempunyai tingkat kesuburan yang rendah untuk bercocok tanam. Berdasarkan karakteristik geografis petani yang tinggal dilereng gunung merbabau lebih menguntungkan karena disana terdapat sinar matahari yang berpengaruh terhadap kualitas tembakau rajangan yang dihasilkan. Sedangkan pada lereng gunung merapi banyak menjual tembakau dalam bentuk daun dengan sistem tebas. Woolcock (2006) membedakan tipe modal sosial menjadi tiga yaitu pertama, bounding social capital yang dicirikan dengan adanya ikatan yang kuat antara anggota dalam kelompok etnik tertentu. Kedua, social bridging, dicirikan oleh adanya hubungan yang inklusif dengan kelompok dari luar komunitas atau etnik. Ketiga, social linking, modal sosial dibangun pada tataran yang lebih luas. Salah satu strategi yang dibangun oleh petani tembakau dalam upaya melakukan keberlanjutan sistem nafkahnya adalah tidak hanya mengandalkan bounding social tetapi juga social bridging. Pada kondisis krisis (gagal panen) petani akan berhutang dan menjual beberapa aset yang dimiliknya untuk bertahan hidup. Selain itu mereka mengandalkan strategi social-kolektif atau sambatan sebagai bagian penting kegiatan produksi tembakau. Pada situasi normal maupun surplus petani akan menerapkan strategi konsolidasi, dimana usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten. Sedangkan pada situasi krisis (gagal panen) petani akan menerapkan strategi bertahan hidup dimana rumahtangga petani akan mengalokasikan sebagaian dari tenaga kerja mereka tanpa modal. Analisis Pustaka Penelitian tersebut menjelaskan mengenai dinamika naflkah rumahtangga dengan menggunakan pendekatan sustainablelivelihood approach. Situasi kerentanan yang dihadapi oleh petani diakibatkan oleh fluktuasi harga, perubahan cuaca dan musim, kepemilikan dan penguasaan lahan dan degradasi lingkungan. Keempat elemen tersebut yang menyebabkan kemiskinan pada petani, sehingga diperlukan pendekatan dalam upaya memahami kemiskinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kombinasi antara metode survei dan partisipatif dengan menggunakna teknik FGD semi terstruktur, membuat rangking kepemilikan aset secara partisipatoris, dan mengadakan survei rumahtangga. Selain itu juga dilengkapi dengan bagan yang memudahkan pembaca dalam memahami isi yang disampaikan. Namun, dalam penelitian ini tidak disertai data yang menunjukan presentase nafkah petani baik dalam kondisi normal maupun sedang terjadi krisis. Jenis perubahan yang terjadi karena adanya fragmentasi penyempitan lahan akibat dari lahan yang kurang subur menyebabkan petani banyak yang beralih profesi ke sektor lain. Perubahan tersebut diakibatkan oleh kondisi struktur tanah yang tidak subur untuk lahan pertanian. Hal ini berpengaruh terhadap produktivitas yang menurun. Apabila ini terjadi secara terus menerus maka komoditas yang ditanam oleh petani tidak mampu mencukupi kebutuhan petani yang semakin meningkat. Selanjutnya petani akan mencari alternatif untuk meningkatkan pendapatan mereka melalui sewa tanah yang lebih subur. 12. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka : Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga Pedesaan : 2007 : Jurnal : Elektronik 18 Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh : Titik Sumarti : : Bogor, Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor : Jurnal Trandisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia : 01(02); 271-232 : http://download.portugalgaruda.org/article. php?article=83585&val=223&title= : 27 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini mengkaji tentang gejala kemiskinan petani kelapa di Indagri Hilir dan petani kelapa sawit di Kampar selama periode krisis ekonomi akibat tekanan kelembagaan dan strategi nafkah ganda agar dapat meningkatkan taraf hidupnya. Kasus perkebunan kelapa di wilayah Inhil diakibatkan oleh penguasaan asset/modal dan tatanan kelembagaan ekonomi lokal (patronase) serta kondisi turunya harga yang mengakibatkan ketidakmampuan petani dalam mendapatkan akses. Hal tersebut berdampak pada penurunan kesejahteraan ekonomi petani. Kelembagaan yang tradisional permodalan dan pemasaran yang masih digunakan adalah tauke (pelepas uang, pedagang pengumpul), sedangkan lembaga modern yang digunakan adalah koperasi dan perusahaan besar (pabrik minyak kelapa/goreng). Lembaga tersebut tidak berperan sebagaimana mestinya karena petani tidak bisa terlibat langsung dalam penentuan harga. Petani hanya menerima harga yang sudah ditetapkan oleh para tauke sehingga tidak memberikan mobilitas sosial bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan pada kasus PIR –trans kelapa sawit di wilayah Kampar kelembagaan sarana produksi dan pemasaran dalam usaha perkebunan kelapa sawit yang masih berjalan adalah KUD. Para tauke disini berperan sebagai lembaga permodalan yang memberikan pinjaman kepada petani. Sedangkan kelembagaan pemasaran yang lebih besar sebagai penampung adalah pabrik kelapa sawit milik perusahaan inti. Adanya KUD ini belum mampu memfasilitasi petani untuk meningkatkan modal sosial. Karena pada dasarnya KUD hanya menguatkan kelembagaan bagi perusahaan inti dan tidak memihak kepada petani. Karena petani cenderung pasif terhadap semua kegiatan KUD. Pada penelitian tersebut menunjukan bahwa kondisi kesejahteraan ekonomi petani pada beragam lapisan di perkebunan rakyat pasca krisis ekonomi semakin merosot. Hal ini terjadi karena anjloknya harga komoditas perkebunan. Tentunya dengan merosotnya pendapatan petani menjadikan petani memiliki strategi nafkah ganda seperti; menjadi tukang ojek, buruh, sopir, pedagang, dll. Pola strategi adaptasi dalam mengatasi kemiskinan dilakukan dengan dua cara yaitu, pertama, optimalisasai tenaga kerja; pola nafkah ganda dan kedua, pengembangan jaringan dan partisipasi kelembagaan. Upaya penanggulangan kemiskinan harus didukung oleh pengembangan kapasitas. Analisis Pustaka Pada penelitian tersebut menjelaskan bahwa gejala kemiskinan yang terjadi di Indragiri Hilir dan petani kelapa sawit di Kampar diakibatkan oleh menurunya harga komoditas perkebunan akibat dari perubahan pada kelembagaan ekonomi lokal. Sehingga menciptakan strategi nafkah ganda sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup petani. Pada penelitian tersebut tidak menyajikan data berapa persen tingkat pendapatan petani yang menyatakan bahwa petani tersebut miskin, namun penelitian tersebut hanya mendeskripsikan apa yang di dapatkan di lapangan tanpa mencantumkan data yang akurat. Sehingga pembaca tidak mengetahui dengan jelas data yang disajikan oleh 19 penulis. Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan adalah bahwa jenis perubahan yang terjadi akibat dari penguasaan asset/modal dan tatanan kelembagaan ekonomi lokal (patronase) serta kondisi turunya harga yang mengakibatkan ketidakmampuan petani dalam mendapatkan akses. Perubahan ini berpengaruh terhadap penurunan kesejahteraan ekonomi petani. Jika ditinjau dari aspek penelitian yang saya lakuakan adalah peran kelembagaan lokal dalam meningkatkan nafkah petani dalam mengurangi pemiskinan akibat dari adanya perubahan struktur agraria. 13 Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh : Respon Petani Atas Kemiskinan Struktural : 2011 : Jurnal : Elektronik : Heru Purwandari : : Bogor, Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor : Jurnal J-SEP : Vol 05(02); 24-37 : http://download.portalgaruda.org/articl e.php?article=95426&val=5046 : 30 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian tersebut menitikberatkan pada kemiskinan struktural masyarakat desa hutan dan masyarakat desa perkebunan. Kemiskinan ini di awali oleh paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang berhaluan kapitalisme dengan materi sebagai ukuran keberhasilan, serta paradigma yang mengatakan bahwa negara sama dengan pemerintah sehingga pengelolaan sumberdaya alam oleh negara diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam oleh pemerintah. Bagi masyarakat yang berada di kawasan perkebunan, kemiskinan struktural akibat dari terpuruknya perekonomian masyarakat akibat ketimpangan akses lahan. Hal ini terjadi karena pengambilan lahan perkebunan secara paksa yang berdampak pada menurunya kehidupan petani. Fokus kajian ini adalah dua komunitas yaitu masyarakat dalam / sekitar hutan yang merupakan masyarakat lokal yang berdomisili secara turun temurun dan masyarakat perkebunan. Sistem kapitalisme dalam penguasaan modal maupun sumberdaya membuat masyarakat menjadi termarjinalkan dan menciptakan differensiasi sosial. Pada masyarakat kehutanan intervensi kapitalisme mengarah kepada pengelolaan sumberdaya alam yang ada di sekitar hutan. Hal ini mengindikasi munculnya kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural yang menyebabkan masyarakat termarjinalisasi dan sulit memperoleh akses terhadap berbagai sumberdaya. Menurut Seomardjan (1980), ketimpangan distribusi penguasaan lahan merupakan sumber utama kemiskinan struktural di dalam masyarakat yang bersangkutan. kemiskinan struktural dapat dikaji melalui unsur – unsur meliputi ; kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang. Kemiskinan struktural yang terjadi pada dua komunitas dipicu oleh adanya kapitalisme yang merasuki seluruh sektor perkebunan dan kehutanan. Nasib petani yang semakin termarjinalkan menjadi buruh tani akibat dari ketidakadilan penguasan sumber agraria menjadikan petani miskin dan dimiskinkan. Rendahnya kesadaran petani menjadi salah satu pendorong terjadinya marginalisasi. Sedangkan kapitalisme di perkebunan yaitu muncul ketika tanah sudah tak lagi dimiliki oleh masyarakat melainkan masyarakat hanya menjadi buruh di tanahnya sendiri, 20 sehingga mencipkan kemiskinan struktural. Hal ini memunculkan hubungan patron – klien yang menimbukan saling ketergantungan di antara keduanya. Sedangkan kemiskinan struktural pada masyarakat kehutanan dipicu oleh tertutupnya akses informasi kebijakan tentang sumberdaya hutan kepada masyarakat adat. Akibat dari kemiskinan struktural baik bagi masyarakat perkebunan maupun kehutanan mendorong munculnya gerakan tani oleh kelompok elit atau kelompok yang memiliki kesadaran yang tinggi. Analisis Pustaka Pada penelitian tersebut menjelaskan tentang kemiskinan struktural yang dialami oleh masyarakat perkebunan maupun masyarakat kehutanan disebabkan oleh adanya kapitalisme yang merasuki berbagai sektor. Sehingga kemiskinan struktural tersebut mengakibatkan masyarakat semakin termarjinalisasi. Penelitian memberikan pemahaman bahwa petani mengalami pemiskinan dan dibatasi dalam penggunanan akses atas sumberdaya akibat dari rendahnya kesadaran petani. Perubahan agraria yang terjadi pada penelitian ini adalah adanya hubungan patron-klien akibat dari sistem kapitalisme yang berdampak pada munculnya kemiskinan struktural pada petani. Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian yang saya ambil adalah adanya faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya kemiskinanan struktural sangat sesuai dengan topik yang akan saya lakukan. 14. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh : Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten Semarang : 2011 : Jurnal : Elektronik : Puji Hardati : : : Jurnal Geografi : 08(02); 108-117 : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/ar ticle/viewFile/1661/1868 : 27 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini dilakukan untuk memaparkan tentang faktor-faktor yang mendorong terjadinya transformasi pada wilayah peri urban. Transformasi wilayah merupakan representasi dari perkembangan wilayah yang digambarkan sebagai suatu proses perubahan dan pergeseran karakteristik dari komponen wilayah dalam kurun waktu tertentu sebagai akibat dari hubungan timbal balik antara komponen tersebut. hasil penelitian (Ginarsih, Muta’ali dan Pamono, 2003) menjelaskan bahwa transformasi wilayah mmerupakan rentetan yang panjang dan berkaitan satu dengan lainnya. Rentetan peristiwa panjang tersebut mengubah sifat kedesaan ke sifat kekotaan. Yunus (2008) menjelsakan bahwa daerah tepian kota adalah suatau daerah yang juga dikenal sebagai daerah Urban Fringeatau daerah Peri Urban atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan penduduk baik desa maupun kota di masa yang akan datang. Terjadinya proses alih fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan akan ruang. 21 Transformasi secara spatial di daerah peri urban ini secara morfologis akan mengubah bentuk pemanfaatan lahan. Sargent (1976 dalam Giyarsih, 2009), menjelaskan bahwa ada lima kekuatan yang menyebabkan terjadinya pemekaran kota secara fisikal, yaitu peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan penduduk, peningkatan pelayanan transfortasi, adanya gejala penurunan peranan pusat kota sebagai pusat kegiatan, dan peningkatan peranan para pembangun (developers).Sedangkan menurut Sundaram dan Rao (1984) menyatakan adaya empat faktor yang mempengaruhi perekembangan lahan kekotaan di daerah pinggiran kota, yaitu: adanya jalur transfortasai yang memadai, proksimitas dengan pusat kegiatan, preferensi penduduk maupun fungsi-fungsi kekotaan untuk memilih lokasi di kota.Lee (1979) melakukan penelitian tentang proses perubahan pemanfaatan lahan di daerah pinggiran kota telah menentukan enam faktor yang mempengaruhi proses perubahan pemanfaatan lahan di daerah pingiran kota yaitu : karakteristik fisikal dari lahan, peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan lahan, karakteristik personal pemilik lahan, banyak sedikitnya utilitas umum, derajad aksesibilitas lahan, dan inisiatif para pembangun. Kabupataen semarang merupakan salah satau daerah yang mengalami transformasi wilayah ditinjau dari banyaknya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang meningkat pesat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunus (2001) bahwa kepadatan penduduk merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya transformasi wilayah peri urban. Tentunya kepadatan penduduk ini erta kaitanya dengan daya dukung lingkungan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah transformasi wilayah dapat diakibatkan oleh faktor – faktor diantaranya kepadatan penduduk yang semakin bertambah, mata pencaharian penduduk yang didominasi oleh sektor non-pertanian, dan daya dukung lahan yang tidak mencukupi. Keberadaan daerah pinggiran tidak dapat dilepaskan kaitanya dengan pusat kegiatan sosial, budaya dan ekonomi kekotaan terdekat maka struktur kegiatan penduduk pada daerah pinggiran kota akan terkena pengaruhnya dari kota tersebut. hal ini berlaku konsep distance decay principke, yaitu semakin dekat ke kota maka pekerjaan di bidang non pertanian akan lebih banyak, sedangkan semakin dekat dengan desa maka pekerjana di bidang pertanian akan lebih banyak. Analisis Pustaka Penelitian tersebut menitikberatkan pada faktor – faktor yang meneyebabkan terjadinya transformasi wilayah peri urban. Pada penelitian ini penyebab perubahan struktur agraria yang terjadi adalah lahan pertanian ke non-pertanian seperti bangunan dan industri. Penyebab perubahan struktur agraria ini akibat dari adanya transformasi wilayah di daerah tepian kota yang menjadikan masyarakat desa menjadi kekotaan. Hal ini tentunya berkaitan dengan kemiskinan karena apabila alih fungsi lahan terjadi secara terus menerus akan menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencahariaan dan menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah. Sehingga masyarakat tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok karena sumber mata pencaharian mereka hilang. Hal tersebut memicu terjadinya kemiskinan pada rumah tangga petani yang kehilangan akses terhadap lahan sebagai sumber utama kehidupan mereka. Kelebihana dari penelitian ini sudah menggunakan data sekunder hasil sensus penduduk, Susenas, dan registrasi penduduk, serta menggunakan analisis tabel untuk memberikan gambaran tentang faktor yang mendorong terjadinya transformasi wilayah peri urban. 22 15. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Sumber Tanggal Unduh : Reforma Agraria Di Bidang Pertanian (Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Differensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak Banten) : 2009 : Jurnal : Elektronik : Martua Sihaloho, Heru Purwandari dan Anton Supriyadi : : Bogor, Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor : Jurnal Trandisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia : 03(01); 1-16 : http://download.portalgaruda.org/article. php?article=83561&val=223&title=Refor ma%20Agraria%20Di%20Bidang%20Pe rtanian%20:%20Studi%20Kasus%20Per ubahan%20Struktur%20Agraria%20dan %20Diferensiasi%20Kesejahteraan%20 Komunitas%20Pekebun%20di%20Lebak ,%20Banten : 27 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini menitikberatkan pada reforma agraria di bidang pertanian khususnya dengan mengkaji hubungan antara perubahan struktur agraria dan differensiasi kesejahteraan petani. Peniltian ini menggunakan metode triangulasi. Sedangkan analisis data menggunakan pendekatan analisis kualitatif yang mampu mendeskripsikan pola – pola hubungan sosial, baik dimensi struktur, dimensi pengaturan, serta sistem –sistem makna yang melandasi dan memberi pedoman terhadap pola – pola hubungan. Kasus pada penelitian tersebut yaitu adanya pembukaan lahan di Lebak Banten untuk pengembangan perkebunan. Pada awalnya lahan tersebut di kelola oleh PTPN namun diserahkan kepada masyarakat dengan luasan 0,2 hektar untuk perumahan dan 0,3 hektar untuk kebun. Di tingkat petani sendiri mulai dibentuk KUD – KUD. KUD tersebut berfungsi untuk penyedia saprotan petani dari PTPN dan pengumpul hasil panen petani. Pada tahun 1997 KUD dibubarkan karena terjadi persoalan ketidakpercayaan masyarakat terhadap peran KUD. Munculnya struktur agraria baru akibat dari lahan dan modal untuk menguasai alat produksi menimbulkan munculnya pola hubungan sosial produksi yang semakin tersubordinasi dimana pemilik lahan menjadi semakin kuat dan penggarap menjadi semakin lemah dan terjadinya stratifikasi. Penguasaan lahan tersebut dibangun oleh beragam lapisan masyarakat yaitu pemilik, pemilik + penggarap, pemilik + buruh tani, penggarap, penggarap + buruh tani dan buruh tani. Proporsi petani pemilik mencapai 79% dengan rata – rata kepemilikan di lokasi penelitian sebesar 5,1 hektar / KK. Terjadinya perubahan struktur agraria menuju stratifikasi adalah : pola bagi hasil dan pewarisan. Sedangkan mekanisme yang mendorong polarisasi adalah penjualan kebun, gadai, dan buruh upahan serta akses petani terhadap program pemerintah. 23 Analisis Pustaka Penelitian tersebut menjelaskan bahwa terjadinya reforma agraria di bidang pertanian menjadi penting untuk di wujudkan. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa lahan dan modal menjadi faktor penting dalam usaha tani. Adanya perubahan struktur agararia mempengaruhi differensiasi kesejahteraan petani yang berdampak pada munculnya stratifikasi dan polarisasi. Penelitaian ini di dukung dengan data – data yang lengkap, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami maksud dari penulis. keterkaitan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan adalah perubahan struktur agraria dari lahan pertanian untuk perluasan perkebunan. Perubahan ini diakibatkan oleh permintaan lahan untuk perluasan perkebunan. Hal ini tentunya berkaitan dengan semakin banyak lahan yang dikuasai oleh pemilik modal, maka kan menyebabkan masyarakat semakin mengalami pemiskinan akibat dari ketiadaanya akses. Petani semakin kehilangan mata pencahariaanya mereka di sektor pertanian dan mendorong terjadinya transformasi mata pencahariaan ke sektor non pertanian. Adanya perubahan struktur agararia ini berdamapak pada menurunya differensiasi kesejahteraan petani karena proses perubahan tersebut akan membawa petani menujual lahanya pada pemilik modal. RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Konsep Agraria dan Struktur Agraria Konsep agraria diartikan tidak hanya sebatas tanah, melainkan mencangkup seluruh bumi dan seisinya. Menurut Wiradi (1999) “Istilah ‘agraria berasal dari kata bahasa lain ‘ager’,artinya :a) lapangan; b) pedusunan (lawan dari perkotaan); c) wilayah; tanah negara”. Oleh karena itu istilah ‘agraria bukanlah sekedar ‘tanah’atau ‘pertanian’ saja. Kata – kata pedususunan , ‘bukit’, dan wilayah’, jelas menunjukan arti yang lebih luas karena di dalamnya tercangkup segala sesuatu yang terwadai olehnya. Batasan sumber agraria menurut UUPA 1960 (UU No.5/1960) justru sesuaidengan pengertian dasar agraria yaitu “seluruh bumi, air dan ruangangkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” (Pasal1 ayat 22). “Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasukpula tubuh bumi bawahnya serta yang berada di bawah laut” (Pasal 1ayat 4). “Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupunlaut wilayah Indonesia” (Pasal 1 ayat 5). “Yang dimaksud dengan ruangangkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut…” (Pasal 1 ayat 6). Sumberdaya alam hakikatnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, namun kenyataannya distribusi kepemilikan lahan yang timpang masih seolah menjadi pemandangan yang lazim. Tanah bukan hanya sebagai faktor produksi melainkan sebagai sumber penghidupan yang menyangkut hidup dan mati. Penguasaan tanah tidak hanya bermakna ekonomis dalam arti sebagai sumberdaya, tetapi juga bermakna kultural, bahkan cenderung magis. Berbicara tentang agraria tentu di dalamnya terdapat ruang lingkup agraria. Sitorus (2002) dalam Sihaloho (2004) mengemukakan tentang lingkup agraria yang terdiri dari dua yaitu obyek agraria dan subjek agraria. Obyek agraria adalah sumber – sumber agraria dalam bentuk fisik sementara subyek agraria adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber – sumber agraria tersebut. subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (privat sector). 2 Sunito, Satyawan. 2012-2013. Slide Bahan Kuliah Kajian Agraria. Bogor [ID]: IPB. 24 Struktur agraria menurut Wiradi (2009) dalam Purwandari (2014) merujuk kepada “susunan sebaran atau distribusi tentang pemilikan (penguasaan formal) dan penguasaan efektif (garapan/ operasional) atas sumber – sumber agraria, serta sebaran alokasi dan peruntukannya. Struktur agraria merupakan konsep besar yang di dalamnya mencangkup konsep penting lainya. Konsep tersebut berkenaan dengan kepemilikan tanah, penguasaan tanah dan pengusahaan tanah. Pemilikan tanah merupakan penguasaan formal atas sebidang tanah sedangkan penguasaan tanah berkaitan dengan penguasaan formal sebidang tanah. Berbeda dengan hal tersebut, pengusahaan tanah adalah cara sebidang tanah diusahakan secara produktif. Struktur agraria bukan hanya menyangkut masalah teknis antara manusia atau subjek dengan tanahnya atau objek, melainkan juga menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia. Menurut Fauzi (2002), menyebutkan struktur agraria adalah konfigurasi siapa – siapa yang memiliki dan tidak memiliki tanah, siapa – siapa yang berhak memanfaatkan dan memeproleh keuntungan daripadanya serta hubungan diantara kelompok – kelopok yang terpisah. Struktur agraria dibentuk melalui hubungan antara subjek agraria dan objek agraria yang saling berinteraksi. Dengan merujuk pada pasal 1 (ayat 2,4,5,6) UUPA tahun 1960, Sitorus (2002) dalam Sihaloho (2004) menyimpulkan beberapa jenis sumber agraria yaitu : tanah atau permukaan bumi, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Berangkat dari dua konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur agraria dapat diartikan sebagai pola kepemilikan dan penguasaan atas suatu lahan. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Stuktur Agraria Perubahan struktur agraria merupakan hubungan antara subjek agraria dan objek agraria. Merujuk pada Zuber (2007) dalam Adly (2009), mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya: (1) permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, area perdagangangan dan lainya yang membutuhkan areal tanah yang luas, (2) faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan ; (3) kerusakan lingkungan seperti adanya kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian; penggunaan pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan merusak lahan pertanian; dan (4) kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian; seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik. Menurut penelitian yang telah dilakukan Sitorus et al (2008) lahan menjadi salah satu dari dua faktor produksi yang saling berkaitan yaitu sebagai lahan dan modal finansial untuk penguasaan alat/bahan produksi pendukung lainnya. Hal ini mendorong struktur agraria baru, yaitu munculnya pola hubungan sosial produksi banyak pihak dan atau munculnya pola hubungan sosial produksi dan pihak yang semakin terakumulasi/ tersubordinasi antara pemilk lahan yang semakin kuat dan penggarap yang semakin lemah. Beberapa mekanisme yang mendorong perubahan struktur agraria menuju stratifikasi adalah pola bagi hasil dan pewarisan. Selain itu ada beberapa mekanisme yang mendorong polarisasi yaitu penjualan kebun dan buruh upahan serta akses petani terhadap program pemerintah (baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan swasta). Sedangkan Sihalolo (2007) mengatakan bahwa faktor penyebab perubahan struktur agraria adalah perubahan fungsi lahan pertanian ke non – pertanian. Lebih jauh akibat dari perubahan fungsi lahan ini menyebabkan perubahan kepemilikan dan pola nafkah masyarakat Mulyaharaja. Iqbal dan Soemaryanto (2007) menyatakan bahwa istilah konversi lahan merupakan perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non pertanian. Konversi lahan adalah berubahanya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainya. Sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi ,2005 dalam lestari dan 25 Dharmawan (2011) Faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan menurut Sihaloho., et,al (2007)yaitu, (1) aras makro meliputi kebijakan pemerintah (kebijakan spasial dan agraria) dan pertumbuhan penduduk, dan (2) aras mikro yang terdiri dari pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga) strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga). Adanya proses konversi lahan dapat menyebabkan petani semakin termarjinalkan dan tersubordinasi menjadi buruh karena tidak memiliki lahan atau memiliki lahan yang yang relatif sempit. Menurut Benu et,al. (2013) di Kota Tomohon menyatakan bahwa pada aspek ekonomi konversi lahan diukur oleh tingkat pendapatan petani, kegiatan ekonomi, dan harga tanah. Dilihat dari aspek lanskap hal yang paling berpengaruh untuk konversi lahan diukur oleh infrastruktur atau kedekatan dengan kondisi lahan, aksesibilitas lahan dan kebutuhan lahan. Selain itu, dari aspek ketahanan pangan diukur oleh tingkat produktivitas lahan, tingkat kesuburan tanah, dan berbagai jenis makanan. Pola Penguasaan Lahan Pola penguasaan lahan dalam pertanian oleh Darwis (2008) dalam Mardiyaningsih, Darmawan dan Tonny (2010) diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai sebagai bentuk penguasaan lahan di mana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain. Hal ini sejalan dengan Wiradi (2009) yang menyebutkan tentang jenis – jenis penguasaan lahan yang diaplikasikan di Indonesia yaitu berupa sewa, sakap atau bagi hasil, menjual lepas, gadai, dan maro atau sewa bersama – sama dengan gadai. Dalam penelitian Fujimoto (2012) terdapat lima macam status kepemilikan tanah yang terdapat pada masyarakat Vietnam yaitu pemilik, pemilik - petani pemilik, tuan tanah – pemilik - petani penyewa, petani pemilik, dan pemilik -petani penyewa. Lebih lanjut hasil penelitian Fadjar et al, (2008) mengungkapkan bahwa “implementasi kebijakan pertanahan berpengaruh signifikan terhadap struktur penguasaan tanah dan berdampak terhadap kesejahteraan petani di Kabupaten Garut dan Subang”. Menutut penelitian Winarso (2012) Penguasaan tanah khususnya di Jawa dapat dilihat dari bentuknya yaitu tanah yasan (yoso) dan tanah milik komunal. Tanah yasan adalah tanah yang diperoleh dari pembukaan hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Sedangkan tanah milik komunal dibagi menjadi tiga yaitu tanah gogolan (norowito), tanah titisoro dan tanah bengkok. Lebih lanjut Winarso (2012) mengemukakan bahwa ada delapan jenis stataus hak atas tanah yang ditetapkan oleh UUPA yaitu (1) hak milik, (2) hak guna usaha (HGU), (3) hak guna bangunan, (4) hak pakai, (5) hak sewa, (6) hak membuka tanah, (7) hak memungut hasil hutan, dan (8) hak – hak lain yang tidak termasuk dalam hak tersebut. sedangkan struktur penguasaan lahan pada penelitian susanti,.et.al (2003) menunjukan bahwa struktur penguasan lahan pertanian (garapan) lebih merata dibandingkan struktur kepemilikan lahan pertanian dengan presentase 24% rumah tangga yang tidak memiliki lahan pertanian dan 15 % rumah tangga yang memiliki lahan pertanian. Ketimpangan pemilikan sumber agraria menjadi pemandangan yang lazim. Merujuk pada Wiradi (1999) dalam Lestari dan Purwandari (2014) menyebutkan bahwa ketimpangan kepemilikan sumber agraria dapat digolongkan ke dalam empat bentuk. Ketimpangan tersebut antara lain ketimpangan dalam hal penguasaan sumber – sumber agraria, ketidakserasian dalam hal peruntukan sumber – sumber agraria, ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria, ketidakserasian antar berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatisme dan kebijakan sektoral. Bermula dari hilangnya akses terhadap tanah yang dialami oleh petani penggarap memicu terjadinya konflik antara petani yang mengakibatkan timbulnya gerakan petani sebagai bentuk perlawanan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Purwandari (2006) membahas 26 mengenai bentuk gerakan yang lebih halus dengan mengedepankan kemandirian SPPQT. Lebih lanjut, Hartoyo (2010) dalam Purwandari (2014) involusi gerakan agraria terjadi ketika struktur sumberdaya mobilisasai melemah (deformasi, decuopling dan stagnasi) dan sifat struktural organisasai gerakan semakin melekat pada sistem agraria yang mapan sedangkan program perjuangan belum terlembagakan. Sistem produksi pertanian baru yang lebih kapitalis (transisisonal) semakin dominan, maka terjadi transformasi struktur agraria. Taransformasi tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownership) nenuju perorangan (private ownership). Transformasi tersebut merujuk pada gejala terjadinya penambahan kelas petani yang akan membentuk struktur sosial komunitas yang semakin berlapis (terstratifikasi) atau struktur sosial komunitas petani yang terpolarisasi. Stratifikasai sosial sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan subkelas masyarakat agraris dalam rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai tuan tanah yang tidak mengusakan sendiri tanahnya. Sementara itu, polarisasi diartikan sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat agraris menjadi hanya dua lapisan : lapisan petani luas komersial yang kaya dan lapisan buruh tani tunakisma ynag miskin. Hal ini terlihat dari penelitian Fadjar et al, (2008) yang menunjukan terjadinya transformasi sistem produksi pertanian dari perladangan berpindah ke pertanian menetap yang mengusahakan tanaman komersial kakao telah mendorong proses trensformasi struktur agraria. Pemiskinan dan Petani Miskin Menurut Sayogyo (1982) dalam Suyoto (2002) menyebutkan bahwa kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kehidupan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat berdasarkan kebutuhan beras dan gizi dengan batasan kemiskinan adalah bahwa garis miskin pangan kurang dari setara 240 kg per kapita per tahun untuk daerah pedesaan dan atua setar 360 kg per kapita per tahun untuk daerah perkotaan.Menurut Jamasy (2004) membagi kemiskinan menjadi empat bentuk yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan absolut yaitu apabila tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan. Kemiskinan relatif adalaah kondisi dimana pendapatanya berada ada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah ibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan struktural adalah kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga mengakibatkan ketimpangan pada pendapatan. Sedangkan kemiskinan kultural mengacu keadaan persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabakan oleh faktor budaya. BPS (2008 dalam Wiradi 2000) kemiskinan strutural sebagai sebagai sebuah kondisi kemiskinan yang penyebabnya kondisi struktur, tatanan kehidupan atau tatanan sosial yang tidak adil. Struktur yang dimaksud bisa berasal dari kebijakan atau aturan hukum yang berimplikasi melenceng dari tujuan, karena pelaksaanaanya yang bias kepentingan. Rumah tangga petani yang tidak atau kecil sekali memiliki akses terhadap tanah dalam beberapa kajian pun diperlihatkan sebagai rumah tangga yang termasuk golongan penduduk miskin dan marginal. Keterkaitan antara keterbatasan atau bahkan ketiadaan akses terhadap tanah di mana lemahnya kepastian penguasaan dan kepemilikan tanah yang dapat berujung pada kegagalan pemilikan tanah dan modal menjadi salah satu penyebab dasar dari kemiskinan. Proses kemiskinan petani terjadi dibawah perkembangan sistem kapitalisme yang membuat ketergantungan petani pada pada sumberdaya tanah. Ketimpangan akses tanah dan kepemilikan tanah membuat nasib petani semakin termarjinalkan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa. Oleh karena itu dalam 27 mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan penguasaan tanah, pemerintah mengadakan program Land Reform pada tahun 1960 an, Program redistribusi tanah melalui program pembahariuan Agraria Nasional tahu 2007-2014 dan program Larasita (Layanan Masyarakat untuk Sertifikat Tanah). Kemiskinan berbagai aspek sering terpusat pada ketimpangan tanah antar kelompok masyarakat. Adanya masyarakat petani dengan menggunakan ukuran – ukuran yang bersifat materialistik dijadikan ukuran sebagai pembedannya, seperti misalnya kepemilikan tanah, modal usaha dan kemapuan mengadopsi teknologi. Merujuk pada pendapat Jamasy (2004) faktor penyebab kemiskinan ada tujuh meliputi;kesempatan kerja, upah gaji dibawah standart minimum, produktivitas kerja rendah, ketiadaan aset, dikriminasi, tekanan harga, dan penjualan tanah.Faktor yang mempengaruhi kemiskinan dibedakan manjadi dua yaitu faktor struktural yang terdiri dari tingkat pendapatan, tingkat ekonomi, ketersediaan akses, dan tingkat sejahteraan keluarga. Sedangkan faktor kultural terdiri dari etos kerja, orientasi dan disiplinan. Merujuk pada Basrowi dan Juariyah (2010), kondisi sosial ekonomi masyarakat petani dapat diartikan sebagai posisi individu dalam kelompok yang berkenaan dengan ukuran rata – rata yang berlalu umum tentang pendidikan, kepemilikan barang, dan partisipasi dalam aktivitas kelompok dari komunitasnya. Lebih lanjut penelitian (Basrowi dan Juariyah 2010) menggunakan luas lahan garapan dan pekerjaan yang sedang dijalani sebagai indikator untuk mengukur status sosial ekonomi masyarakat Desa Srigading, Lampung Timur yang mayoritas penduduknya adalah petani. Kondisi sosial ekonomi tersebut dapat dilihat dari faktor pendidikan, status pekerjaan, tingkat pendapatan, kekayaan, kepemilikan barang berharga serta kedudukan di tengah masyarakat. Perbedaan struktur sosial komunitas petani terkait dengan penerapan sistem produksi pertanian seperti yang diungkapkan Soentoro (1980) dan Kano (1984) menunjukan bahwa penggunaan sistem produksi pertanian yang relatif komersial telah mendorong perubahan penguasaan sumberdaya agraria (lahan) yang membentuk struktur sosial terpolarisasi. Sebaliknya, di pedesaan Jawa ini yang hanya menggunakan sistem produksi pertanian relatif subsisten (pada usahatani padi) teryata proses perubahan penguasaan sumberdaya agraria mengarah ke bentuk struktur sosial yang terstratifikasi. Berbicara masalah agraria tidak lepas dari petani sebagai pelaku utama pemanfaat agraria. Menurut Wahono (2005) petani adalah seorang laki – laki maupun perempuan yang secara sendiri sebagai bagian dari sebuah rumah tangga yang selanjutnya disebut sebagai keluarga batih dan yang ikut tinggal satu atap dan makan satu dapur, sebagai bagian dari paguyuban, maupun kelompok masyarakat hukum adat, baik yang diam di negara RI sebelum beradanya, sebagai kesatiuan administrasi dan politik maupun sesudahnya, memiliki maupun menguasai, mengawasi maupun mengelola dan mengembangkan sumberdaya agararia. Wolf (2004) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis sepeti upeti, pajak, atau pasar bebas.Persoalan tidak hanya pemilikan lahan secara de facto, tetapi lebih berfokus pada lepasnya penguasaan produksi dan tenaga kerja kepada pihak lainnya.Dia kemudian membedakan antara petani pedesaan atau petani tradisional (peasant) dengan petani pengusaha pertanian atau petani modern (farmer). Menurutnya perbedaan utama antara petani peasant dengan pecocok tanam primitif terletak pada orientasi dan distribusi hasil, di mana pada pecocok tanam primitif sebagian besar dari hasil produksi digunakan untuk penghasilannya sendiri atau untuk memenuhi kewajibankewajiban kekerabatan, bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh barangbarang lain yang tidak dihasilkan sendiri.Sebaliknya perbedaan yang utama dengan farmer terletak pada tujuan produksinya, di mana farmer berorientasi bisnis, pasar dan mencari laba dalam mengelola usahataninya. 28 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sanderson (2003) dalam Sihaloho., et.al (2007),” masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik secara pemilik sumberdaya agraria (lahan) maupun bukan pemilik (tunakisma)”. Hal ini terlihat pada penelitian Sihaloho., et.al (2007) yang menyatakan gambaran struktur (sosial) masyarakat agraris yang merujuk pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik melalui penguasaan tetap (pemilikan) maupun penguasaan sementara (bagi hasil). Petani Jawa memiliki karakteristik yang khas yakni pelapisan sosial tradisional berdasarkan kriteria kepemilikan atas tanah. Lahan bagi petani adalah modal (asset) sumber nafkah yang menetukan posisi rumah tangga petani dalam pelapisana masyarakat desa. Modal lahan menentukan kemampuan jangkauan petani terhadap pangan, perumahan, pendidikan dan unsur kesejahteraan. Bahkan menurut Soemardjan (1980) dalam Purwandari (2011),“ketimpangan distribusi penguasaan lahan merupakan sumber utama kemiskinan struktural di dalam masyarakat yang bersangkutan”. Hal ini terlihat dari penelitian Purwandari (2011) yang menyebutkan terjadinya kemiskinan struktural dipicu oleh adanya kapitalisme yang merasuki seluruh sektor di antaranya sektor perkebunan dan kehutanan. Respon atas kemiskinan struktural diwujudkan dalam bentuk konsolidasi petani dalam wilayahnya termasuk juga konsolidasi kekuatan untuk melawan kondisis yang disebabakan oleh faktor struktural. Tepian Kota Yunus (2008) dalam Hardati (2011) menjelaskan bahwa daerah pinggiran kota adalah suatu daerah yang juga dikenal dengan daerah Urban Fringe atau daerah Peri Urban atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius kerena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan penduduk baik desa maupun kota dimasa yang akan datang. Daerah pinggiran kota tersebut semakin berkembang akibat adanya transformasi wilayah. Menurut hasil penlitian Giyarsih,Muta’ali dan Pramono (2003)dalam Hardati (2011) menjelaskan bahwa transformasi wilayah merupakan rentetan yang panajang dan berkaitan satu dengan yang lainnya. Rentetan peristiwa panjang itu mengubah sifat-sifat kedesaan ke sifat kekotaan. Sundaran dan Rao (1984) dalam hardati (2011) menyatakan adanya empat faktor yang mempengaruhi perkembangan lahan kekotaan di pinggiran kota yaitu adanya jalur transportasi yang memadai, proximitas dengan pusat kegiatan, preferensi penduduk maupun fungsi-fungsi kekotaan untuk memilih lokasi di kota. Lee (1979) melakukan penelitian tentang proses perubahan pemanfaatan lahan di daerah pinggiran kota yaitu : karakteristik fisikal dari lahan, peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan lahan, karakteristik personal pemilik lahan, banyak sedikitnya utilitas umum, derajad aksesibilitas lahan dan inisiatif para pembangun. Selain itu Nurjanah dan Purwandari (2012) menyebutkan bahwa adanya konversi lahan sebagai pemicu terjadinya transformasi desa-kota seperti yang terjadi pada pembangunan Terminal Kertawangunan, masyarakat cenderung menjual lahannya kepada pemerintah daerah dengan motif untuk menambah modal usaha ataupun uang hasil jual tanah digunakan untuk membeli tanah kembali di daerah lain. Terjadinya pemekaran wilayah di tepian kota menyebabakan desa mempunyai karakteristik kekotaan. Hal ini tentunya membuat harga tanah yang berada di pinggran kota menjadi meningkat karena kebutuhan akan tanah semakin tinggi sehingga membuat lahan petani semakin sempit dan keterbatasan terhadap akses tanah. Karena keterbatasan akses lahan maka pendapatan petani semakin menurun karena kehilangan mata pencaharian utamanya. Sehingga penurunan pendapatan diakibatkan oleh hilangnya peluang keja/usaha yang memicu terjadinya kemiskinan pada petani3. 3 Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA pada tanggal 7 Desember 2015 29 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Perubahan struktur agraria ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti permintaan lahan dari kegiatan non – pertanian, faktor sosial budaya, kerusakan lingkungan, kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian. Permintaan akan lahan semakin meningkat namun tidak disertai dengan luas wilayah yang memadai. Konversi lahan merupakan salah satu faktor penyebabperubahan pola penguasaan lahan dan nafkah rumah tangga petani. Faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan yaitu aras makro meliputi kebijakan pemerintah (kebijakan spasial dan agraria) dan pertumbuhan penduduk dan aras mikro yang terdiri dari pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga) strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga). Adanya proses konversi lahan dapat menyebabkan petani semakin termarjinalkan dan tersubordinasi menjadi buruh karena tidak memiliki lahan atau memiliki lahan yang yang relatif sempit. Zuber (2007) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya: permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas; faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan; kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian; penggunaan pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian; dan kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik. Faktor tersebut mendorong perubahan struktur agraria secara signifikan. Perubahan struktur agaria seperti yang terjadi di kebupaten Kuningan terlihat jelas. Hal ini nampak dari Penggunaan lahan cenderung menurun dari tahun 2003 sampai 2005 dengan presentase 29,51 persen tahun 2003 sekitar 29,28 persen tahun 2004 dan sekitar 25,14 persen pada tahun 2005 akibat adanya konversi lahan. Penurunan ini disebabkan oleh kepentingan pemerintah daerah untuk membangun fasilitas umum karena meningkatnya jumlah penduduk yang begitu pesat untuk pemukiman, sarana transportasi, dan kebutuhan akan jalan sehingga permintaan akan lahan semakin meningkat.Perubahan tersebut diakibatkan oleh dua jenis proses konversi sawah yaitu konversi langsung sawah oleh petani dan oleh pemilik tanah non petani yang dilakukan melalui proses penjualan. Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan seperti yang terjadi di Tomohon adalah faktor ekonomi, lanskap dan keamanan pangan.Dilihat dari aspek lanskap yang paling berpengaruh pada konversi lahan di Tomohon adalah infrastruktur atau kedekatan dengan lokasi lahan, tingkat aksesibilitas lahan dan kebutuhan lahan. Terjadinya konversi lahan sangat berpengaruh dalam dinamika perubahan struktur agraria. Perubahan yang terjadi yaitu Perubahan pola pemilikan tanah, Perubahan pola penggunaan lahan, Perubahan pola hubungan agraria, perubahan pola hidup agraria dan Sosial serta perubahan masyarakat4. 4 Benu MN, Maryunani, Sugiyanto, Kindangen P. 2013. Analysis of Land Conversion and Its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia.Asian Transactions on Basic and Applied Sciences [Internet].Jurnal. [Diunduh tanggal 27 September 2015];03 (02): 65-72. Dapat diunduh dari: www.asian-transactions.org/Journals/Vol03Issue02/ATBAS/ATBAS-40329021.pdf . 30 Selain itu perubahan struktur agraraia juga diakibatkan oleh pola penguasaan lahan. Rata-rata pola penguasaan lahan pertanian yang terjadi di indonesiayaitu berupa sewa, sakap atau bagi hasil, menjual lepas, gadai, dan maro atau sewa bersama – sama dengan gadai. Hal ini juga terjadi di Nanggroe Aceh Darusalam dalam penelitian Sitorus dan Dharmawan (2008) terdapat lima macam status kepemilikan tanah yang terdapat pada masyarakat NAD yaitu pemilik, pemilik - petani pemilik, tuan tanah – pemilik petani penyewa, petani pemilik, dan pemilik -petani penyewa. Implementasi kebijakan pertanahan tersebut berpengaruh signifikan terhadap struktur penguasaan tanah dan berdampak terhadap kesejahteraan petani. Seiring dengan adanya pemekaran wilayah akibat dari modernisasi di daerah tepian kota menyebabkan harga tanah menjadi tinggi. Hal ini yang mendorong petani yang mempunyai lahan di daerah tepian kota untuk menjual tanahnya. Sempitnya lahan yang dikuasai serta keterbatasan akses atas tanah menjadikan petani kehilangan peluang usaha/kerja, sehingga pendapatan petani menjadi menurun dan berdampak pada terjadinya kemiskinan akibat dari hilanganya sumber mata pencaharian utama petani. Ketimpangan distribusi penguasaan lahan merupakan sumber utama pemiskinan di dalam masyarakat petani. Proses pemiskinan petani terjadi dibawah perkembangan sistem kapitalisme yang membuat ketergantungan petani pada pada sumberdaya tanah. Ketimpangan akses tanah dan kepemilikan tanah membuat nasib petani semakin termarjinalkan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa. Kemiskinan petani di Indonesia terlihat dari meningkatnya jumlah petani gurem tahun 2003 menjadi 56,5%. Salah satu masalah kemiskinan tersebut diakibatkan oleh ketimpangan struktur penguasan tanah dan masih rendahnya kesejahteraan petani disebabkan oleh implementasi kebijakan pertanahan yang belum optimal, baik ditinjau dari konten kebijakan maupun konteks dimana kebijakan tersebut diiplementasikan. Adanya Kebijakan pemerintah mengenai industrialisasi juga muncul mendorong pengembangan kawasan industri untuk mengambil lahan pertanian di daerah pinggiran kota. Pengembangan zona ini mendorong investasi di bidang industrialisasi dan mendorong orang – orang untuk bermigrasi dan mencari peluang kerja baru. Oleh karena itu dalam mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan penguasaan tanah, pemerintah mengadakan program Land Reform pada tahun 1960 an, Program redistribusi tanah melalui program pembaharuan Agraria Nasional tahun 2007-2014 dan program Larasita (Layanan Masyarakat untuk Sertifikat Tanah). Terjadinya ketimpangan pemilikan sumber agraria akibat pemekaran wilayah di tepian kota menjadi pemandangan yang lazim. Ketimpangan kepemilikan sumber agraria dapat digolongkan ke dalam empat bentuk. Ketimpangan tersebut antara lain ketimpangan dalam hal penguasaan sumber – sumber agraria, ketidakserasian dalam hal peruntukan sumber – sumber agraria, ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria, ketidakserasian antar berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatisme dan kebijakan sektoral. Sistem produksi pertanian baru yang lebih kapitalis (transisisonal) semakin dominan, maka terjadi transformasi struktur agraria. Taransformasi tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownership) nenuju perorangan (private ownership). Transformasi tersebut merujuk pada gejala terjadinya penambahan kelas petani yang akan membentuk struktur sosial komunitas yang semakin berlapis (terstratifikasi) atau struktur sosial komunitas petani yang terpolarisasi. Hal ini terlihat dari penelitian Fadjar et al, (2008) yang menunjukan terjadinya transformasi sistem produksi pertanian dari perladangan berpindah ke pertanian menetap yang mengusahakan tanaman komersial kakao telah mendorong proses trensformasi struktur agraria. 31 Sargent (1976 dalam Giyarsih, 2009), menjelaskan bahwa ada lima kekuatan yang menyebabkan terjadinya pemekaran kota secara fisikal, yaitu peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan penduduk, peningkatan pelayanan transfortasi, adanya gejala penurunan peranan pusat kota sebagai pusat kegiatan, dan peningkatan peranan para pembangun (developers).Sedangkan menurut Sundaram dan Rao (1984) menyatakan adaya empat faktor yang mempengaruhi perkembangan lahan kekotaan di daerah pinggiran kota, yaitu: adanya jalaur transfortasai yang memadai, proksimitas dengan pusat kegiatan, preferensi penduduk maupun fungsi-fungsi kekotaan untuk memilih lokasi di kota.Lee (1979) menemukan enam faktor yang mempengaruhi proses perubahan pemanfaatan lahan di daerah pingiran kota yaitu : karakteristik fisikal dari lahan, peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan lahan, karakteristik personal pemilik lahan, banyak sedikitnya utilitas umum, derajad aksesibilitas lahan, dan inisiatif para pembangun. Terjadinya konversi lahan akibat dari pemekaran daerah pinggiran kota memberikan dampak negatif terhadap aspek sosio-ekonomis seperti; perubahan penguasana lahan, kesempatan kerja, perubahan pola kerja, kondisi tempat tinggal, dan hubungan antar warga. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Analisis Baru Adanya pemekaran wilayah membuat petani menuntut banyaknya permintaan akan lahan pertanian, hal terjadi akibat dari meningkatnya jumlah penduduk yang mendorong terjadinya konversi karena digunakan untuk pembangunan sepetti; perumahan, industri, jalan, hotel dan restoran. Motif terjadinya konversi lahan tersebut akibat dari harga lahan yang semakin tinggi karena letaknya yang strategis di tepian kota dan dekat dengan pertumbuhan ekonomi. Namun dengan petani menjual lahanya maka kepemilikan lahan petani semakin sempit dan peluang usaha/kerja semakin semakin terbatas. Hal ini tentunya akan membawa pengaruh terhadap menurunya pendapatan petani dan dapat berujung pada terjadinya pemiskinan petani di daerah tepian kota. Berdasarkan rangkuman penelitian, analisis dan rangkuman dan pembahasan serta kesimpulan yang dibuat, maka muncul pertanyaan analisis baru yang akan menjadikan dasar penelitian selanjutnya, pertanyaan tersebut diantaranya: 1. Bagaimana perubahan struktur agraria terjadi dan apa saja faktor yang mendorong perubahan tersebut? 2. Sejauhmana implikasi perubahan struktur agraria di tepian kota yang mengakibatkan pemiskinan rumah tangga petani? Usulan Kerangka Analisis Baru Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Sempitnya lahan pertanian yang diakibatkan oleh adanya konversi lahan memicu terjadinya perubahan struktur agraria. Salah satu yang mendasari perubahan struktur agraria karena adanya pengembangan wilayah di tepian yang berpengaruh terhadap perubahan struktur agraria.. Proses konversi lahan pertanian tersebut menyebabkan tingkat kesejahteraan petani semakin menurun. Kerena bukan hanya mereka kehilangan lahan pertanian tetapi juga menurunkan pendapatan sehari – hari. Adanya perubahan struktur agraria menjadikan petani semakin tersubordinasi dan termajinalkan. Secara khusus implikasi dan perubahan struktur agraria adalah perubahan pola penguasaan agraria, pola nafkah, pola hubungan produksi dan perubahan orientasi nilai terhadap sumberdaya. Faktor – faktor yang mendorong terjadinya perubahan struktur agraria yaitu : permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, area perdagangangan dan lainya 32 yang membutuhkan areal tanah yang luas, faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan ; kerusakan lingkungan seperti adanya kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian; penggunaan pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan merusak lahan pertanian; dan kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian; seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik. Seiring dengan adanya pemekaran wilayah di tepian kota akibat dari meningkatnya populasi penduduk sejalan dengan meningkatnya permintaan akan lahan untuk pembangunan. Sehingga menimbukan perubahan struktur agraria di tepian kota.Terjadinya perubahan struktur agraria erat kaitanya dengan ketimpangan peruntukan dan pola penguasaan tanah yang disebabkan oleh adanya kebijakan dari pemerintah terkait dengan pengaturan penggunaan sumberdaya. Ketimpangan dalam pengguasaan tanah dilatarbelakangi oleh adanya sistem kapitalisme yang menjadikan tanah sebagai komoditas bernilai tinggi. Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya pemiskinan rumah tangga petani akibat dari menurunya pendapatan petani karena hilanganya mata pencaharian utama di sektor pertanian. Faktor yang mempengaruhi kemiskinan disebabkaan oleh variabel antara yaitu faktor struktural yang terdiri dari: tingkat pendapatan, tingkat ekonomi, ketersediaan akses dan tingkat kesejahteraan petani. Sedangkan indikator yang digunakna untuk mengukur tingkat kemiskinan pada rumah tangga petani menggunakan indikator BPS 2014 meliputi Luas lantai bangunan tempat tinggal, Jenis lantai, Jenis dinding, Fasilitas rumah, Sumber penerangan, sumber air minum, bahan bakar memasak, konsumsi, Sumber penghasilan, pendidikan, tidak memiliki tabungan, biaya pengobatan. Perubahaan Struktur Agraria Tingkat Kemiskinan Rumahtangga Petani Faktor Struktural : -Tingkat Pendapatan -Tingkat ekonomi -Ketersediaan akses -Tingkat kesejahteraan keluarga Indikator Kemiskinan menurut BPS : 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal 2. Jenis lantai 3. Jenis dinding 4. Fasilitas 5. Sumber penerangan 6. Sumber air minum 7. Bahan bakar memasak 8. Tingkat konsumsi 9. Sumber penghasilan 10. Pendidikan 11. Tidak memiliki tabungan 12. Biaya pengobatan Gambar 1. Kerangka Analisis Keterangan : : variable antara : hubungan pengaruh 33 34 DAFTAR PUSTAKA Achdian, Andi. 2009. Tanah Bagi Yang Tak Bertanah. Bogor[ID] : Kekal Press. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah Penduduk Miskin[Internet]. [Diunduh tanggal 03 Oktober 2015]. Dapat diunduh dari : http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1488. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Karakteristik Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Tidak Miskin 2013 dan 2014[Internet]. [diunduh tanggal 03 Oktober 2015]. P. Dapat diunduh dari: http://bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/908. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014.Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Provinsi [Internet]. [Dikutip tanggal 03 Oktober 2015]. Dapat dikutip dari: http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267. Egbert de Vries. 1985. Pertanian dan Kemiskinan Di Jawa. Jakarta[ID]: Yayasan Obor Indonesia. Fadjar. U, 2008. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani[Cetak]. Disertasi. Bogor[ID]. Hidayat, Agung Hadi, Hanfie dan Septina, Nurmelati. 2012. Dampak Konversi Lahan Pertanian bagi Taraf Hidup Petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru[internet]. Jurnal Agribisnis Pedesaan. [diunduh tanggal 26 September 2015]; 12(02):95-107. Dapat diunduh dari : http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/agrides/article/view/224. Hardati, Puji. 2011. Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten Semarang[internet]. Jurnal Geografi. [diunduh tanggal 27 September 2015] 08(02); 108-117. Dapat diunduh dari : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/viewFile/1661/1868 Jamasy, Owin. 2004. Keadilan Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta[ID] : Belantika. Lestari, Asri dan Dharmawan, Arya Hadi. 2011. Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio – Ekologis Konversi Lahan[internet]. Jurnal Transdisiplin Sosiologis, Komunikasi an Ekologi Manusia. [diunduh tanggal 27 september 2015]; 05(01) 1-12. Dapat diunduh dari : http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5835/4500 Lestari, S dan Purwandari, H. 2014. Perubahan Struktur Agraria dan Implikasinya Terhadap Gerakan Petani Pedesaan (Analisis Karakter Forum Paguyuban Petani Jasinga Pasca PPAN)[Internet]. Jurnal Sosiologi Pedesaan . [diunduh tanggal 26 september 2015]; 14(04) 47-58. Dapat diunduh dari : http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=323775 . Mulyani, Lilis, dkk. 2011. Strategi Pembaharuan Agraria Untuk Mengurangi Kemiskinan. Jakarta[ID] : PT . Gading Inti Prima (anggota IKAPI) 35 Nurjannah, S dan Nilamsari, W. 2002. Dinamika Ketimpangan Struktur Agraria. Bogor[ID]:IPB Press. Benu MN, Maryunani, Sugiyanto, Kindangen P. 2013. Analysis of Land Conversion and Its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia.Asian Transactions on Basic and Applied Sciences [Internet].Jurnal. [Diunduh tanggal 27 September 2015];03 (02): 65-72. Dapat diunduh dari: www.asian-transactions.org/Journals/Vol03Issue02/ATBAS/ATBAS40329021.pdf . Purwandari, Heru. 2011. Respon Petani Atas Kemiskinan Struktural[Internet]. Jurnal JSEP. [diunduh tanggal 30 September 2015];05(02); 24-37. Dapat diunduh dari : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=95426&val=5046 P.Ho, H.Azadi dan Hasfiati, L. 2010. Agricultural Land Conversion Drivers: A Comparison between Less Developed, Developing and Developed Countries[internet]. [diunduh tanggal 30 September 2015]; 03 (02). Dapat diunduh dari : http://www.mearc.eu/resources/04ArtLandDegrDev2010.pdf. Sihaloho, Martua, Dharmawan Arya Hadi, dan Rusli, Said. 2007. Konversi Lahan Pertanian Dan Perubahan Struktur Agraria[internet]. Jurnal Trandisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. [Diunduh tanggal 27 September 2015]; 01(02); 253-270. Dapat diunduh dari : hhtp://download.portugalgaruda.org/article.php?article=83495&val=223&title=konv ersi%20Lahan%20Pertanian%20Dan%20Perubahan%20Struktur%20Agraria%20Kel urahan%20Mulyaraja%20Kecamatan%20Bogor%20Selatan%20Kota%20Bogor%20 Jawa%20Barat). Sihaloho, Martua, Purwandari, Heru dan Supriyadi, Anton. 2009. Reforma Agraria Di Bidang Pertanian (Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Differensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak Banten)[internet]. [Diunduh tanggal 27 September 2015]; 03(01); 1-16. Dapat diunduh dari: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=83561&val=223&title=Reforma %20Agraria%20Di%20Bidang%20Pertanian%20:%20Studi%20Kasus%20Perubaha n%20Struktur%20Agraria%20dan%20Diferensiasi%20Kesejahteraan%20Komunitas %20Pekebun%20di%20Lebak,%20Banten. Sitorus, Felix MT, dkk. 2008. Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani[cetak]. Laporan penelitian. JurnalSodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Sintaningrum. 2008. Pengaruh Implementasi Kebijakan Pertanahan Terhadap Struktur Penguasaan Tanah dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Petani di Kabupaten Garut dan Subang[Internet]. Jurnal Kependudukan Padjajaran. [Diunduh tanggal 27 September 2015];10(01)23-33. Dapat diunduh dari : file:///D:/makalah/Downloads/4023-7080-2-PB.pdf. Sunito, Satyawan. 2012-2013. Slide Bahan Kuliah Kajian Agraria. Bogor [ID]: IPB. Suyoto. 2002. Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Daerah Pedesaan[Internet]. Artikel ilmiah. [diunduh tanggal 27 September 2015]. Dapat diunduh dari:http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/22/jhptump-ump-gdl-drssuyotom-1055-1upayape-3.pdf. 36 Sumarti, Titik. 2007. Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga Pedesaan[internet]. Jurnal Trandisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. [Diunduh tanggal 27 September 2015] 01(02); 271-232. Dapat diunduh dari : http://download.portugalgaruda.org/article.php?article=83585&val=223&title=. Sumitro dan Kartikasari, S. N. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia. Jakrarta[ID] : Yayasan Obor Indonesia. [UUPA] Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia. [Internet]. [diunduh tanggal 27 Oktober 2015]. Dapat diunduh dari: http://dkn.or.id/wpcontent/uploads/2013/03/Undang-Undang-RI-nomor-5-Tahun-1960-Tentang-PokokPokok-Dasr-agraria.pdf. Wahono, Francis. 2005. Hak – Hak Asasi Petani Dan Proses Perumusannya. Yogyakarta[ID] : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Wiradi, Gunawan. 2002. Menuju Keadilan Agraria. Bandung[ID] : Akatiga. Zumrokhatun, S dan Syahrizal, D. Undang –Undang Agraria dan Implikasinya. Jakarta[ID] : Dunia Cerdas. 37 RIWAYAT HIDUP Nurul Khoiriah dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 30 September 1995, penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mesemun dan Ibu Siti Andami. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis adalah MI Ma’arif Lengkong 2000-2006, SMP Negeri 1 Sukorejo periode 2006 – 2009, dan SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo periode 2009-2012. Pada tahun 2012 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SBMPTN undangan. Selain akatif dalam perkuliahan penulis juga aktif mengikuti berbagai macam kegiatan dan organisasai di kampus. Penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai Bendahara II pada periode 2013-2014 dan menjadi anggota di Majalah Komunitas bagian divisi Marketing periode 2013-2014 dan periode 2014-2015, UKM Lises Gentra Kaheman tahun 2014 sebagai EO. Selain itu penulis pernah mengikuti berbagai kegiatan lain seperti magang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2013, dan aktif di berbagai kepanitiaan seperti KPM Garang periode 2014, IPB Green Living Movement periode 2014, IDEA periode 2013. Sat ini penulis sedang menggeluti dunia jurnalistik di Harian Bangsa Ponorogo dan bisnis CHOCOSWEET.