i ISSN: 1858-4721 Nomor 9 Tahun 5 Maret 2009 Etnomusikologi Jurnal Ilmu Pengetahuan Seni Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara Medan ii Etnomusikologi Jurnal Ilmu Pengetahuan Seni ISSN: 1858-4721 Pelindung Rektor Universitas Sumatera Utaa Penasehat Dekan Fakultas Sastra USU, Dr. Syahron Lubis, M.A. Guru Besar Etnomusikologi FS USU, Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D. Penanggung Jawab Ketua Departemen Etnomusikologi FS USU, Dra. Frida Deliana Harahap, M.Si. Ketua Penyunting Drs. Muhammad Takar, M.Hum. Ph.D. Wakil Ketua Penyunting Dra. Frida Deliana Harahap, M.Si. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. Dewan Penyunting Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., Arifni Netriroza, SST., M.A., Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si., Drs. Fadlin, M.A., Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Alamat Penyunting: Gedung Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, Jln. Universitas No. 19, Kampus USU, Padangbulan, Medan, umatera Utara, Telefon/Faks: 061-8215956, Email: [email protected] Etnomusikologi menerima sumbangan tulisan tentang illmu-ilmu seni dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Penulis yang artikelnya dimuat dalam Jurnal ini akan memperoleh imbalan dua eksemplar Jurnal Etnomusikologi. Semua tulisan yang diterbitkan dalam Etnomusikologi tidak harus menggambarkan pendapat dan pikiran para penyunting. Harga langganan per tahun untuk 2 nomor Etnomusikologi adalah Rp 40.000,oo untuk pelanggan pribadi dan Rp 60.000,oo untuk pelanggan lembaga/perpustakaan, ditambah ongkos kirim Rp 10.000,oo. iii Etnomusikologi, Nomor 9 Tahun 5 Maret 2009 ISSN: 1858-4721 DARI PENYUNTING Manusia adalah makhluk yang berseni. Artinya manusia itu memerlukan keindahan dalam segenap aspek kehidupannya. Keindahan ini amatlah fungsional. Selain itu seni dapat menyebar dari satu kelompok manusia ke kelompok manusia lain, yang lazim disebut dengan difusi. Penyebaran seni ini bias melalui media massa, ideologi sejenis, atau kebutuhan hidup Dalam terbitan nomor 9 tahun 5 kali ini, Etnomusikologi, Jurnal llmu Pengetahun Seni, menekankan kepada aspek etnomusikologi sebagai ilmu dan kajian etnomusikologi terhadap fenomena budaya musik dan tari. Terdapat empat penulis yang menyumbangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk artikel. Kelima penulis ini adalah para alumni dan dosen di lingkungan Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Mereka memiliki kapasitas keilmuan di bidang etnomusikologi, dengan kajian kasus-kasus khusus. Semoga saja etnomusikologi turut berjasa dalam rangka memberi pencerahan keilmuan kepada masyaarakat luas. Wasalam. Muhammad Takari iv v Etnomusikologi , Nomor 9, Tahun 5, Maret 2009 ISSN: 1858-4721 ETNOMUSIKOLOGI DAN ILMU-ILMU SENI DI ALAM MELAYU: KEBERADAAN DAN PENGEMBANGAN TEORI Muhammad Takari Dosen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Abstract Throuout this paper I will be described about existence of ethnomusicology in the universities in the Malay World (Dunia Melayu or Alam Melayu), especially Indonesia and Malaysia. Then, I will be analyze the developing of ethnomusicology theories in this area.. As ascience ethnomusicology have his brothers as ethnocoreology, theatre anthropology, performing art study, and visual art study. These sciences can be using in Malay world to some socioculural objectives. Beside Malays ethnomusicologists uses the theories based on Western culture, they are must be developing the Malay ethnomethodology which rich in this area. For example of the theories are gerenek, cengkok, patah lagu, estetika Melayu, adat Melayu, takmilah, atqakum, neonostalgia, and so on. Pendahuluan Kesenian adalah ekspresi dan sebuah unsur dari tujuh unsur kebudayaan. Kesenian dapat berwujud dalam bentuk ide, kegiatan, maupun bend-benda. Contohnya dalam budaya musik Toba terdapat ide marsiulak hosa yang dilakukan dalam aktivitas hembusan dengan pernafasan yang sirkular (circular breathing) dalam memainkan alat musik sarune (shwam)—sarune itu sendiri adalah benda seni budaya. Kesenian mencerminkan sejauh mana tingkat peradaban manusia pendukungnya. Kesenian tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat tertentu karena mereka memerlukan pemuasan akan rasa Takari, Etnomusikologi keindahan atau estetika.1 Kesenian dapat diekspresikan melalui bunyi yang disebut dengan nada dan ritme; titik, garis, warna; dialog, prolog, epilog, lakon, adegan; gerak-gerik, mimik muka, dan lain-lainnya. Kesenian dapat digunakan dan difungsikan dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakat. Demikian pentingnya kesenian, sampai-sampai dunia wisata di setiap negara pun memungsikan kesenian untuk tujuan bisnis di bidang ini. Sementara itu, selain seni berfungsi untuk berbagai kepentingan masyarakat. Kesenian juga perlu dikaji secara ilmiah, menurut ilmu pengetahuan. Tujuannya adalah untuk mengetahui ilmu di sebalik pertunjukan dan perwujudan kesenian. Di antara ilmu-ilmu seni adalah etnologi tari (disebut juga dengan etnokoreologi dan antropologi tari), antropologi teater, ilmu seni rupa, kajian seni pertunjukan (performing art study), kajian seni rupa (visual art study), musikologi, etnomusikologi, dan lain-lain. Munculnya disiplin-disiplin seni ini, selaras dengan perkembangan ilmu dan perkembangan kebudayaan manusia di dunia. Seiring dengan perkembangan peradaban dan keilmuan dunia, maka etnomusikologi muncul secara alamiah, untuk perkembangan ilmu dan pencerahan pemikiran. Di Dunia Barat (Oksidental) ilmu ini muncul di universitas-universitas seperti Wesleyan University, University California of Berkeley, University California at Los Angeles, University of Hawaii, Brown University, Alberta University, Jaap Kunst University, Durham University, dan masih banyak lagi yang lainnya. Di Dunia Timur etnomusikologi didirikan di beberapa negara, di antaranya adalah National University Philippine, Universiti Sains Malaysia, dan Universiti Malaya. Di Ausralia didirikan di Monash University. 1 Pada dasarnya, sejak di alam kandungan manusia itu telah membutuhkan keindahan. Denyut jantung dan nadi itu sendiri adalah ritme dan taktus kehidupan musikal. Gerakan-gerakan saat berada di dalam kandungan ibu, juga mencerminkan adanya konsep-konsep tarian awal dalam diri manusia. Kemudian saat lahir ia menangis sekeras-kerasnya, yang juga mengekspresikan jiwa dan raganya “terkejut” sementara lahir di dunia fana ini seperti yang telah dijanjikan Tuhan kepadanya. Setelah lahir dan kemudian tmbuh dan berkembang, ia pun belajar. Dengan menggunakan unsur-unsur keindahan, seperti bernyanyi, menari, main musik, main bola, main petak umpet, main gala asin, dan sejenisnya, makhluk manusia muda ini lebih akan dapat menerima pendidikan yang diperoleh dari alam sekitarannya. 7 Takari, Etnomusikologi Di Indonesia, disiplin etnomusikologi umumnya diintegrasikan ke dalam sekolah tinggi seni atau institut seni. Misalnya di Institut Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta, Institut Seni Indonesia Denpasar, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (baru berubah menjadi Institut Seni Indonesia) Padangpanjang. Satu-satunya disiplin etnomusiklogi yang diasuh universitas adalah Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (FS USU) Medan. Selain itu, sejak tahun 2009 ini, ketika Program Studi Etnomusikologi FS USU telah berusia 30 tahun, pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jederal Perguruan Tinggi, telah mengizinkan USU untuk membuka Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni. Ini juga yang kedua sebagai S-2 Penciptaan dan Pengkajian Seni yang diasuh oleh universitas, selepas Universitas Gadjah Mada (UGM). Dengan melihat kondisi tersebut di atas, maka kita lihat betapa etnomusikologi sebagai ilmu sangat berperan dalam konteks dunia dan nasional Indonesia. Di Malaysia etnomusikologi dibawa oleh para pakarnya yang umum melakukan studi ke Eropa atau ke Amerika Serikat. Agak berbeda di Indonesia, etnomusikologi yang telah diajarkan di strata satu, maka di Malaysia umumnya etnomusikologi baru ditawarkan pada jenjang pendidikan strata dua dan tiga. Etnomusikologi pun belum secara khussu terlembaga dalam satu jurusan, departemen, atau jabatan. Etnomusikologi baru berada di bawah departemen lain atau lembaga yang lebih luas menangani masalah kesenian seperti Pusat Kebudayaan di beberapa universitas di Malaysia. Ada juga di bawah departemen Pengkajian Seni Pertunjukan (Persembahan). Disiplin etnomusikologi ini diasuh di beberapa universitas di Malaysia seperti Universiti Sains Malaysia (USM) dengan pakar etnomusikologinya yang terkenal Prof. Dr. Tan Soei Beng dan juga seroang pakar pengkajian seni persembahannya Prof. Dr. Ghouse Nasuruddin. Begitu juga di Universiti Malaya terdapat beberapa pakar etnomusikologi dan etnokoreologi. Yang terkenal adalah Prof. Dr. Mohammad Anis Md Nor. Ditambah dengan Allahyarham Ku Zam Zam Ku Idris. Demikian pula Demikian pula Prof. Madya Dr. Nasir yang merupakan pakar musikologi. Ditambah Prof. Dr. Wan Abdul Kadir Wan 8 Takari, Etnomusikologi Yusof, pakar budaya Melayu populer. Ada lagi seorang pakar teater yaitu Prof. Dr. Rahmah Bujang. Di kalangan genersi mudanya ada Puan Nor Azlin Hamidon, M.A. Jadi kesedsran akan pentingnya kajian yang bersifat etnomusikologis ini, telah disadari di Malaysia. Namun demikian, di Malaysia, pada peringkat sarjana muda (bachelor), telah pula didirikan akademi atau institut kesenian, khsusunya Akademi Seni Warisan Kebangsaan (ASWARA) atau disebut juga dengan Akademi Seni Kebangsaan (ASK). Akademi ini, memliki peranan dan fungsi layaknya akademi seni di Indonesia seperti ASKI maupun ASTI, yang mewadahi penciptaan dan pengkajian seni: musik, tari, teater, rupa, dan media rekam. Bagaimanapun arah dan kurikulum yang dirancang di ASWARA ini mengacu kepada konsep Dasar Kebudayaan Kebangsaan (DKK) yang diterajui oleh pemerintah Malaysia, dengan dukungan-dukungan pemikir dan aktivis kebudayan kebangsaan Malaysia. Dalam makalah ini penulis akan mengkaji etnomusikologi di Alam Melayu dalam konteks ilmu-ilmu seni. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran, bahwa etnomusikologi secara keilmuan memiliki “saudara-saudara” lainnya. Etnomusikologi sangat diperlukan di Dunia Melayu. Bagaimana kedudukan etnomusikologi secara keilmuan, hubungannya dengan ilmu-ilmu seni lainnya. Bagaimana pula kedudukannya dalam dunia sains. Kemudian tentu saja bagaimana pengembangan teorinya, agar ilmu ini berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, etnomusikologi di Alam Melayu, akan menyumbangkan berbagai teori dari kawasan Dunia Timur bagi mengembangkan ilmu ini dalam konteks etnomusikologi di dunia.2 2 Tentu saja ini bukn hanya hayalan atau cita-cita yang begitu tinggi. Bagaimanapun sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia memiliki peran strategis, baik itu politis, ekonmi, budaya, maupun ilmu pengetahuan. Dalam berbagai perlombaan di peringkat internasional para siswa Indonesia telah berkali-kali menjadi juara. Yang baru lalu siswa menengah kita menjuarai olimpiade matematika peringkat dunia, yang diselenggarakan di New Delhi. Begitu pula Bacharuddin Jusuf Habibie, adalah mantan presiden Indonesia ketiga, yang sealigus teknokrat penemu teori aerodinamika pesawat terbang yang digunakan di peringkat dunia. Untuk bidang etnomusikologi kemungkinan sumbangan untuk ilmu pengetahuan manusia di dunia ini juga terbuka lebar, karena faktor-faktor: Indonesia memiliki ragam budaya yang kaya. Selain itu setiap kelompok etnik memiliki 9 Takari, Etnomusikologi Penceraahan kepada Masyarakat Dunia Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, etnomusikologi telah terbukti mampu memberikan pencerahan-pencerahan kepada umat manusia, baik pencerahan dalam tatanan dunia baru. Dimulai dari kalangan akademisi, pemerintahan, masyarakat, dan suku bangsa atau etnik. Di belahan bumi Eropa, berkat lahirnya disiplin ini, masyarakatnya memberikan apresiasi, memahami, dan akhirnya menyadari keberanekaragaman kebudayaan di seluruh dunia. Sedikit demi sedikit mereka pun mulai meninggalkan istilah-istilah yang berkonotasi tak baik terhadap kelompok manusia lain seperti istilah savage, primitive, tribal, dan sejenisnya.3 Menurut I Made Bandem, etnomusikologi merupakan sebuah bidang keilmuan yang topiknya menantang dan menyenangkan untuk diwacanakan. Sebagai disiplin ilmu musik yang unik, etnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandang sosial dan budaya. Sebagai ilmu pengetahuannya sendiri, yang terbukti dapat mencerahkan dari masa ke masa. Begitu pula para ilmuwan sosial, budaya, dan eksakta di Indonesia mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya bagi kesejahteraan umat manusia sejagad, bukan hanya untuk orang Indonesia saja. Malaysia juga memiliki peranan strategis untuk mengembangkan disiplin etnomusikologi. Dasar Kebudayaan Kebangsaan Malaysia menyebutkan bahwa budaya Malaysia berasas kepada budaya rantau Alam Melayu (Nusantara). Malaysia juga memiliki konsep negara bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok etnik, yang perlu diintegrasikan ke dalam Satu Malaysia dengan ilmu-ilmu terkait seperti etnomusikologi, antropologi, sosiologi, psikologi, dan lainnya. Konsep Malaysia sebenar Asia juga perlu diberi panduan polariosasi keilmuan, termasuklah ilmu etnomusikologi. 3 Mungkin yang sangat luas menyebar dalam disiplin ini, dan hal itu juga umum terjadi di dalam antropologi. Titik pandangan ini pada dasarnya terlindung secara alamiah, bahwa musik berbagai masyarakat di dunia ini banyak disalahgunakan dan dirugikan; misalnya kebanyakan orang Barat tidak menempatkannya sebagai dualisme; dan selanjutnya membantu etnomusikolog untuk melindunginya dari hinaan lainnya serta menerangkan dan memenangkannya dengan berbagai kemungkinan. Dalam cara ini, etnomusikologi seperti juga antropologi, memandang dunia keseluruhannya sebagai lapangan studi dan melakukan reaksi kembali dengan disiplin yang lebih khusus, yang mengkonsentrasikan perhatian hanya terhadap fenomena budaya Barat. Titik pandangan ini muncul secara luas di dalam etnomusikologi, salah satunya mencapai pernyataan atau kesimpulan langsung. Jaap Kunst, sebagai contoh, melakukan reaksi dengan intensitas keras kepada pandangan orang-orang Barat bahwa musik pada masyarakat lainnya adalah “tidak lebih dari sekedar inferior, peradaban yang lebih primitif, atau sebagai suatu jenis musik yang murtad.” 10 Takari, Etnomusikologi disiplin yang amat populer saat ini, etnomusikologi merupakan ilmu pengetahuan yang relatif muda umurnya. Kendati umurnya baru sekitar satu abad, namun dalam uraian tentang musik eksotik sudah dijumpai jauh sebelumnya. Uraian-raian tersebut ditulis oleh para penjelajah dunia, utusan-utusan agama, orang-orang yang suka berziarah dan para ahli fillogi. Pengenalan musik Asia di Dunia Barat, pada awal-awalnya dilakukan oleh Marco Polo, pengenalan musik China oleh Jean-Babtise Halde tahun 1735 dan Josep Amiot tahun 1779. Kemudian musik Arab oleh Guillaume-Andre Villoeau hun 1809. Periode ini dipandang sebagai awal perkembangan etnomusikologi. Masa ini pula diterbitkan Ensiklopedia Musik oleh Jean-Jaques Rousseau, tepatnya tahun 1768, yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi. 4 Penelitian tentang musik rakyat dari berbagai bangsa di Eropa dilakukan oleh Grin dan Herder dan kawan-kawannya, yang akhirnya menjadi tumbuhnya benih keasadaran akan perbedaan budaya dalam persamaan universal makhluk manusia. Sikap dan ideologi etnosentrisme Eropa perlahan-lahan bertukar ke a rah humanisme universal manusia. Misalnya konsep Jerman di atas segalanya (Deuthsland ubber alles) tidak relevan dalam tatanan dunia kini. Begitu juga Amerika Serikat yang menetapkan konsep keanekaragaman (unibis e umum), terus berusaha menerapkannya walau tetap masih adanya sisa-sisa etnosentrisme, terutama pembedaan warna kulit, serta gerakan puritanisme agama.5 Demikian juga di kalangan agamawan, penerimaan perbedaan di dunia ini menjadi suatu keniscayaan yang tak boleh ditolak. Vatikan 4 I Made Bandem, 2001. “Etnomusikologi Penyelamat Musik Dunia,” dalam Selonding: Jurnal Etnomusikologi Indonesia. Yogyakarta: Masyarakat Etnomusi-kologi Indonesia. Volume 1 tahun 1. h. 1-2. 5 Kesadaran tentang kesamaan hak dan kewajiban antara seiap warga negara dalam negara bangsa ini, dalam sejarah politik Amerika Serikat telah dibuktikan pada tahun 2009 ini, ketika seorang keturunan kulit hitam (ibunya kulit putih) yaitu Barack Obama Husin menjadi presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Beberapa dasawarsa sebelumnya seorang Katolik yaitu John Fizgerald Kennedy menjadi presiden Amerika Serikat, yang mungkin kedua kondisi in tak pernah terbayangkan di era-era sebelumnya. Bagaimanapun secar normatif, yang menjadi presiden Amerika Serikat seharusnya adalah Anglosakson kulit putih dan beragama Protestan. 11 Takari, Etnomusikologi sebagai pusat Katholik telah memberikan dan menghargai konsep-konsep dasar tentang keberagaman manusia dan agamanya di dunia ini. Agama Kristen Katholik dan Protestan juga memiliki konsep inkulturasi, yaitu menerima semua kebudayaan di dunia ini dengan keindahannya masingmasing dalam konteks membumikan gereja di mana pun di dunia ini. Dalam Islam pula dijarakan tentang keanekaragaman budaya ini seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an, yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kamu bangsa dan puak supaya kamu berkenal-kenalan, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa di antara kamu.” (Qur’an, surah Al-Hujurat:13). Jadi sejak awal Islam telah menghargai perbedaan itu. Ketika etnomusikologi lahir, maka tiada halangan bagi agama ini untuk menerima disiplin ilmu etnomusikologi. Misalnya di beberapa universitas di Turki, mendirikan disiplin ini secara khas Turki. Demikian pula di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Beberapa etnomusikolog, etnokoreolog, dan antropolog di kawasan Asia Tenggara cukup mewarnai etnomusikologi dan antropologi Dunia. Misalnya kita mengenal nama Mohd Anis Md. Noor, Mohammed Ghouse Nasuruddin, Rizaldi Siagian, R.M. Soedarsono, Santosa, Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, dan lain-lain, sebagai ilmuwan muslim. Demikian pula ilmuwan yang beragama lain di Asia Tenggara seperti Jose Maceda, Tan Sooi Beng, Mauly Purba, Sri Hastanto, dan lainnya. Ini semua mengindikasikan bahwa etnomusikologi diterima di seluruh dunia—bukan hanya di Dunia Barat saja. 12 Takari, Etnomusikologi Di kawasan Dunia Timur (Oriental) pula, di tempat-tempat ilmu ini berkembang, masyarakatnya menyadari juga akan aneka ragam budaya di dunia yang sama-sama dihuni makhluk manusia ini. Manusia di Dunia Barat maupun Dunia Timur menyadari bahwa sifat dan sikap etnosentrisme yang rata-rata terkandung dalam nilai kebudayaan mereka, berangsur-angsur berubah seiring proses globalisasi. Mereka belajar dari sejarah bahwa konsep-konsep etnosentrisme tak lagi relevan diterapkan di masa kini. Dengan demikian etnomusikologi turut berperanserta dalam mencerahkan makhluk manusia di seluruh dunia. Etnomusikologi dalam Konteks Keilmuan Sebagai sebuah disiplin ilmu, etnomusikologi dengan terangterangan dinobatkan sebagai dua kelompok disiplin, yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial sekali gus. Selain itu pula, sangat dirasakan perlunya memanfaatkan ilm eksakta di bidang disiplin ini, terutama yang berkaitan dengan organologi, akustik, dan artefak. Etnomusikologi, pada waktu ini, memberikan kontribusi keunikannya dalam hubungannya bersama aspek-aspek ilmu pengetahuan sosial dan aspek-aspek ilmu humaniora, dalam caranya untuk melengkapi satu dengan lainnya, mengisi penuh kedua pengetahuan itu. Keduanya akan dianggap sebagai hasil akhir darinya sendiri; keduanya dipertemukan menjadi pengetahuan yang lebih luas.6 Etnomusikologi biasanya secara tentatif paling tidak menjangkau lapangan-lapangan studi lain sebagai suatu sumber stimulasi baik terhadap etnomusikologi itu sendiri maupun disiplin saudaranya, dan ada beberapa cara yang dapat dijadikan nilai pemecahan terhadap masalahmasalah ini. Studi teknis dapat memberitahukan kita banyak tentang sejarah kebudayaan. Fungsi dan penggunaan musik adalah sebagai suatu yang penting dari berbagai aspek lainnya pada kebudayaan, untuk mengetahui kerja suatu masyarakat. Musik mempunyai interelasi dengan berbagai tumpuan budaya; ia dapat membentuk, menguatkan, saluran sosial, politik, ekonomi, linguistik, religi, dan beberapa jenis tata tingkah laku lainnya. Teks nyanyian melahirkan beberapa pemikiran tentang 6 Silahkan lihat lebih jauh Alan P. Merriam, 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press. 13 Takari, Etnomusikologi suatu masyarakat, dan musik secara luas dipergunakan sebagaimana analisis makna terhadap prinsip struktur sosial. Etnomusikolog seharusnya tak dapat menghindarkan diri terhadap dirinya sendiri dengan masalah-masalah simbolisme di dalam musik, pertanyaan tentang hubungan antara berbagai seni, dan semua kesulitan pengetahuan apa itu estetika dan bagaimana strukturnya. Ringkasnya, masalah-masalah etnomusikologi bukan hanya terbatas kepada teknik semata--tetapi juga tentang tata tingkah laku manusia. Etnomusikologi juga tidak sebagai sebuah disiplin yang terisolasi, yang memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah esoteris saja, yang tak dapat diketahui oleh orang selain yang melakukan studi etnomusikologi itu sendiri. Tentu saja, etnomusikologi berusaha mengkombinasikan dua jenis studi, untuk mendukung hasil riset, untuk memecahkan masalah-masalah spektrum yang luas, yang mencakup baik ilmu humaniora ataupun sosial. Ilmu pengetahuan humaniora lebih menaruh perhatian kepada nilainilai kemanusiaan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan sosial, dan lebih menaruh perhatian kepada nilai kebebasan dalam mendeskripsikan perilaku manusia. Pernyataan ini, secara umum memang benar, yang kembali mendiskusikan dan menanyakan metode-metode daripada menanyakan muatan lapangan studinya. Begitu juga, penting untuk menyatakan bahwa ilmu pengetahuan humaniora sangat melibatkan nilainilai, dan ini menjadi titik kuncinya. Dengan demikian, fokus ilmu-ilmu humaniora dibangun di atas kritik pengujian dan evaluasi dari produk manusia di dalam urusan kebudayaan (seni, musik, sastra, filsafat, dan religi), sedangkan fokus ilmu pengetahuan sosial adalah cara manusia hidup bersama, termasuk aktivitas-aktivitas kreatif mereka. Etnomusikologi memperhatian dengan sama seriusnya tentang produk manusia dan cara hidup bersama mereka. Ontologis, Epistemologis, dan Akdiologis Sebagai sebuah disiplin ilmu, etnomusikologi tentu saja harus berdasar kepada tiga esensi dasar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, yaitu epistemologis, aksiologis, dan ontologis. Dalam filsafat dikenal dua istilah yang saling berkaitan, tetapi memiliki makna yang berbeda yaitu istilah pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (ilmu atau sains) 14 Takari, Etnomusikologi yang berasal dari bahasa Inggris science. Pengetahuan adalah istilah yag digunakan dalam filsafat yang berarti belum sampai kepada tahap ilmu pengetahuan. Filsafat sendiri dapat diartikan sebagai cara berpikir yang radikal dan menyeluruh—suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.7 Bagan 1: Kedudukan Etnomusikologi dalam Konteks Ilmu-ilmu Humaniora, Sosial, Eksakta, dan Filsafat Ilmu pegetahuan adalah sebuah disiplin yang mempunyai tahapantahapan dan prosedur-prosedur tertentu, yang sering disebut ilmiah. Di antaranya adalah rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan pembuktian, asumsi, pengamatan (observasi), penelitian, pengolahan data, temuan, dan lain-lainnya.8 7 Yuyun S. Suria Sumantri, Ilmu dalam Perpektif, Yayasan Obor dan Leknas LIPI, Jakarta, 1984, h. 4. 8 Lebih lanjut lihat Norman K. Denzim dan Yvonna S. Lincoln (eds.), Handbook of Qualitative Research, Sage Publications, Thousand Oaks, London, dan New Delhi, 1995. 15 Takari, Etnomusikologi Dalam ontologis biasanya dipertanyakan apa yang ingin kita ketahui. Seterusnya dalam epistemologis dipertanyakan tentang bagaimana kita mengetahuinya. Sedangkan pada aksiologis ditanyakan nilai apa yang berkembang pada pengetahuan yang kita ketahui. Ketiga dasar filosofis ini tentu saja dapat diaplikasikan dalam menjawab munculnya etnomusikologi di tengah-tengah ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik. Secara ontologis etnomusikologi digunakan oleh para ilmuwannya untuk mengetahui musik dalam kebudayaan. Atau kalau diperluas menjadi musik dalam kebudayaan, musik sebagai kebudayaan, dan musik dalam konteks kebudayaan. Secara filosofis mengetahui musik tujuan akhirnya adalah mengetahui bagaimana manusia yang menggunakan dan mendukung musik itu. Musik adalah salah satu cabang kesenian, dan kesenian sediri adalah salah satu unsur kebudayaan. Jadi mengetahui musik, harus mempertimbangkan dalam seni dan kebudayaan yang lebih holistik. Selain itu, dalam rangka mengetahui musik tentu saja harus melihatnya dalam konteks sosial selain budaya. Bagaimana musik ini hidup dan berkembang dalam kelompok manusia, sejauh apa pula sumbangannya dalam konteks sosiobudaya. Secara epistemologis etnomusikologi dalam rangka mengetahui musik dalam kebudayaan, mestilah memiliki teori dan metode. Teori adalah panduan dasar dalam memecahkan dan memerikan fenomena musik dalam konteks sosiobudaya. Teori menjadi alat untuk menganalisis. Namun untuk mengembangkan ilmu diperlukan penemuan dan pembaharuan teori di kalangan ilmuwan etnomusikologi atau ilmu terkait secara terus-menerus. Sementara metode digunakan untuk mendukung kerja penelitian dan analisis. Metode yang baik dapat mempermudah kerja etnomusikolog dan memperoleh hasil yang terverifikasi. Teknik kerja dalam etnomusikologi tampaknya sangat diwarnai dan didukung oleh penemuan teknologi terkini. Oleh karenanya etnomusikolog haruslah menguasai teknologi terkait, bukan gagap teknologi (gaptek). Kemudian secara aksiogis, yaitu nilai-nilai apa yang terkandung dalam disiplin etnomusikologi, harus diletakkan sejak awal beridirinya disiplin ini. Nilai-nilai, sasaran dan tujuan etnomusi-kologi tidak berbeda menariknya dengan disiplin-disiplin lain. Musik adalah fenomena 16 Takari, Etnomusikologi manusia secara universal dan musik ini dalam pengetahuan filsafat Barat berjasa dalam studi terhadap kebenaran itu sendiri. Kepentingan manusia yang akhir kali adalah manusia itu sendiri, dan musik itu adalah bagian dari apa yang ia lakukan dan bagian dari apa yang ia studi terhadap dirinya sendiri. Namun kepentingan yang sama adalah fakta bahwa musik adalah sebagai tata tingkah laku manusia, dan etnomusikolog mempunyai peranan baik itu dengan ilmu pengetahuan sosial atau humaniora, menjangkau suatu pengetahuan kenapa manusia bertata tingkah laku seperti itu. Fusi dan Prosesnya Etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan fusi atau gabungan dari dua induk ilmu yaitu etnologi (antropologi) dan musikologi. Penggabungan ini sendiri telah menimbulkan dampak yang kompleks dalam perkembangan etnomusikologi. Jika kemudian ia berfusi lagi dengan ilmu lain, katakanlah arkeologi, maka akan terjadi sesuatu perkembangan yang menarik. Dalam konteks etnomusikologi, bidang musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum- hukum internalnya sendiri--sedangkan etnologi memandang musik sebagai bagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by 17 Takari, Etnomusikologi Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound.9 Dari kutipan paragraf di atas, menurut Merriam para pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya--seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusiko-logi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. 9 Silahkan lihat lebih jauh Alan P. Merriam, op. cit. 1964. h. 3-4. Buku ini menjadi “bacaan wajib dan mendasar” bagi para pelajar etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. 18 Takari, Etnomusikologi Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersem-hkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin dasar yaitu etnologi dan musikologi, walau terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya. Berbagai definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Dalam edisi berbahasa (Melayu) Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, 1995, yang disunting oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemu-kakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.10 `R. Supanggah, 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan HistorisTeoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang 19 Takari, Etnomusikologi Dari 42 definisi tentang etnomusikologi dapat diketahui bahwa etnomusikologi adalah fusi dari dua disiplin utama yaitu musikologi dan atropologi, pendekatannya cenderung multi disiplin dan interdisiplin. Etnomusikologi masuk ke dalam bidang ilmu humaniora dan sosial sekali gus, merupakan kajian musik dalam kebudayaan, dan tujuan akhirnya mengkaji manusia yang melakukan musik sedemikian rupa itu. Walau awalnya mengkaji budaya musik non-Barat, namun sekarang ini semua jenis musik menjadi kajiannya namun jangan lepas dari konteks budaya. Dengan demikian, masalah definisi dan lingkup kajian etnomusikologi sendiri akan terus berkembang dan terus diwacanakan tanpa berhenti. Ruang Lingkup kajian Dalam titik pandangan dua jenis disiplin yang mengisi etnomusikologi ini, atau musik eksotik (“ajaib”) sebagaimana yang kemudian mereka sebut, kebanyakannya selalu didefinisikan dalam istilah-istilah yang menekankan kepada deskriptif: studi karakter struktural dan daerah geografis yang selalu ingin dijangkaunya. Misalnya Benjamin Gilman, pada tahun 1909, menganjurkan ide studi terhadap musik eksotik yang sebenarnya, meliputi bentuk-bentuk musik primitif dan Dunia Timur atau Oriental (1909), sedangkan V.M. Bingham menambahinya dengan musik para petani Dalmatian (1914). Penilaian umum terhadap pandangan ini, memberikan anjuran untuk juga mempergunakan definisi secara kontemporer, di mana daerah geografis lebih ditekankan, dibanding jenis-jenis studi yang dilakukan. Marius Schneider mengatakan bahwa “tujuan utama [etnomusikologi adalah] studi komparatif terhadap semua karakteristik, yang biasa atau tidak biasa, dari [musik] non-Eropa”11; dan Nettl mendefinisikan etnomusikologi sebagai “sains terhadap sejumlah besar musik rakyat di luar peradaban Barat.”12 ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya. 11 Marius Schneider, 1957. “Primitive Music,” dalam Egon Weller (ed.), Ancient and Oriental Music. London: Oxford University Press. h. 1-22. 12 Bruno Nettl, 1956. Music in Primitive Culture. Cambridge: Cambridge University Press. h. 1. 20 Takari, Etnomusikologi Kesulitan dengan jenis definisi seperti ini adalah terhadap kecenderungan untuk membatasi ruang lingkup dan pendekatannya, yang pada akhirnya, etnomusikologi ini lebih berupa suatu proses dibandingkan dengan pembatasan geografis yang statis. Willard Rhodes, sebagai contoh, memberikan langkah dalam arahan ini, meskipun bersifat tentatif, ia menambahkan musik “Timur Tengah, Timur Jauh, Indonesia, Afrika, Indian Amerika Utara, dan musik rakyat (folk) Eropa” juga studi “musik dan tarian populer”.Pada masa yang lebih akhir, Kolinski mempunyai maksud untuk mendefinisikan etnomusikologi sebagai “sains terhadap musik non-Eropa” dan dia mencatata bahwa “etnomusikologi ini tidak banyak perbedaannya dalam area geografis analisis, sebagaimana dalam pendekatan umum yang membedakan etnomusikologi dari musikologi pada umumnya”13 Jaap Kunst menambahkan suatu dimensi lanjutan, yaitu kualifikasi terhadap tipe-tipe musik yang dapat distudi dalam etnomusikologi, seperti yang ditulisnya seperti berikut [terjemahan penulis]. Objek-studi etnomusikologi, atau, yang pada awalnya disebut: musikologi komparatif, adalah musik dan alat musik tradisional dalam semua strata kebudayaan umat manusia, dari yang disebut masyarakat primitif sampai kepada bangsa yang berperadaban. Sains kita ini, selanjutnya, menyelidiki semua musik tribal dan folk dan setiap jenis musik seni nonBarat. Di samping itu, studinya juga mencakup aspek sosiologi musik, seperti fenomena akulturasi musik, mis. Pengaruh hibridasi dengan elemenelemen musik asing. Musik seni dan musik populer (hiburan) Barat tidak termasuk ke dalam lapangan etnomusikologi .14 Mantle Hood mengajukan definisinya dari usul Masyarakat Musikologi Amerika, tetapi dengan menyisipkan (memasukkan ke dalam tanda kurung) prefiks “etno,” yang dalam usulannya menyatakan bahwa “[Etno]musikologi adalah suatu lapangan ilmu pengetahuan, yang mempunyai objek penyelidikan terhadap seni musik, sebagaimana pula fisika, psikologi, estetika, dan fenomena kebudayaan. [Etno]musikolog 13 MieczyslawKolinski, 1957. “Ethnomusicology in Problems and Methods,” dalam Ethnomusicology Newsletter. No 10: 1-7, h. 1-2. 14 Jaap Kunst, 1959. Ethnomusicology.The Hague: Martinus Nijhoff. (Edisi Ketiga) h.1. 21 Takari, Etnomusikologi adalah seorang ilmuwan-peneliti, dan dia mengarahkan dirinya terutama untuk mencapai pengetahuan tentang musik.15 Akhirnya, Gilbert Chase menunjukkan bahwa “penekanan pada masa kini … adalah studi musik kontemporer manusia, untuk masyarakat apa pun, ia dapat memasukkannya, apakah masyarakat primitif atau kompleks, Timur atau Barat.”16 Untuk definisi yang bervariasi ini, saya mempunyai suatu yang perlu ditambahkan, dalam menyatakan etnomusikologi, Merriam mendefinisikannya sebagai “studi musik di dalam kebuda-yaan”17 adalah suatu yang penting bahwa definisi ini sesungguhnya dapat diterangkan jika ia benar-benar dipahami. Makna implisit yang terkandung dalam asumsi bahwa etnomusikologi adalah dibentuk dari musikologi dan etnologi, dan suara musik merupakan hasil dari proses tata tingkah laku manusia, yang dibentuk oleh berbagai nilai, sikap, dan kepercayaan masyarakatnya yang turut mengisi suatu kebudayaan. Suara musik tidak akan tercipta, kecuali dari satu orang ke orang lainnya, dan meskipun kita tidak dapat memisahkan dua aspek tersebut secara konseptual, tidak akan diperoleh kenyataan yang lengkap tanpa mau mempelajarinya. Tata tingkah laku manusia menghasilkan musik, tetapi prosesnya adalah suatu yang kontinu; tata tingkah laku itu sendiri membentuk hasil suara musik, dan dengan demikian studi terhadap aspek yang satu tentunya akan melibatkan studi lainnya. Falam Konteks Aliran Pemikiran Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, maka etnomusi-kologi juga tidak harus mengisolasi diri dari perkembangan-perkembangan arus pemikiran ilmu-ilmu sosial, humaniora, maupun eksakta pada masa kini. Etnomusikologi harus membuka diri untuk menerima berbagai teori dan metode dari ilmu-ilmu lainnya. Pada masa sekarang ini jeas terjadi pergulatan antara aliran pemikiran modernisme dengan posmodernisme. 15 Mantle Hood, 1957. Training and Playing in Ethnomusicology. Ethnomusi-cology Newsletter. No. 11:2-8. h. . 16 Gilbert Chase, 1958. “A Dialectical Approch in Music History.” Ethnomusicology. 2:1-9. h. 7. 17 Alan P. Merriam, op. cit., 1964. 22 Takari, Etnomusikologi Begitu juga muncul aliran pemikiran posstrukturalisme dan poskolonialisme. Semua aliran-aliran ini sudah semestinya direspons oleh para etnomusikolog di seluruh dunia. Ada kesamaan dan titik temu antara tujuan etnomusiklogi sebagai ilmu dengan aliran pemikiran posmodernisme, sebagai antitesis terhadap modernisme, yaitu adanya kesamaan menghargai pluralitas budaya. Secara historis, stilah posmodernisme muncul dalam kebudayaan Eroamerika pada dasawarsa 1960-an. Posmodernisme muncul dalam disiplin-disiplin: seni rupa, sastra, arsitektur, teater, musik, ilmu-ilmu sosial, filsafat, dan lainnya. Walaupun posmodernisme muncul secara spektakuler pada dekade 1960-an, terutama di Amerika, namun gejalagejala geliatnya telah tampak sejak akhir abad kesembilan belas di mana saat itu lagi tumbuh subur ide modernisme di dunia ini. Rintisan awal aliran pemikiran ini bersumber dari pemikiran filosof Friederich Nietzsche di akhir abd kesembilan belas. Kemudian diteruskan ke awal abad kedua puluh oleh pemikiran filsafat yang bersumber dari filosof Martin Heidegger. Aliran pemikiran posmodernisme ini mulai diwacanakan secara holistik dan serius oleh filosof Lyotard dan Kristeva. Bahkan terjadi polemik antara Lyotard yang mewakili kubu posmodernisme (poststrukturalis) dan Habermas yang mewakili kubu modernisme (strukturalis). Bagi Habermas, meskipun di dunia ini terjadi krisis sosiopolitis yang begitu mendasar dan komprihenrif, namun mencuatnya gagasan rasionalisme modernis tampaknya belum selesai, dan masih akan berlangsung lama. Para pendukung posmodernisme juga umumnya terkesan anti terhadap filsafat Hegelian dan Marxisme, yang mereka anggap sangat totalitarian. Hegel menotalkan setiap unsur kehidupan pada unsur roh atau juwa, sebaliknya Karl Marx pada substansi materi. Kritik lainnya para pendukung posmodernisme diarahkan kepaa berbagai faham kebenaran dalam dunia ilmiah yang disebut dengan legitimasi, yang biasanya mengacu secara tunggal pada idealisme. Padahal sains yang lahir dari metode rasional dan empirik, tidak akan leps dari aspek etika, metafisika, dan hal-hal irasionalitas lainnya. Dengan demikian, dalam kondisi masyarakat kontemporer, pengetahuan tidak membutuhkan lagi legitimasi pada kebenaran tunggal, sehingga 23 Takari, Etnomusikologi manusia dihadapkan kepada delegitimasi atau paralogi, yang menghargai keanekaragaman atau pluralisme. Dalam konteks kenegaraan misalnya, Indonesia Indonesia memiliki filsafat dan way of life Pancasila, yang menurut masyarakatnya digali dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Aliran pemikiran Pancasila ini wajar diterima ole seluruh warga negara Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sudah selayaknya setiap etnomusikolog Indonesia atau etnomusikolog Indonesianis mendudukan aliran pemikiran ini dalam konteks mengkaji seni, terutama yang sarat dengan muatan-muatan niai Pancasila. Masih banyak aliran-aliran pemikiran lain yang dapat diambil kira oleh para etnomusikolog. Ini menjadi daya tarik sendiri ke masa depan. Dalam konteks Malaysia, alotan-alitan pemikiran kemelayuan, kebangsaan, dan Islam juga muncul secara menyerlah. Bahkan setiap pemimpin pemerintahan Malaysia, biasanya memiliki konsep-konsep aliran pemikirannya. Dalam perkembangan politik terkini Perdana Menteri Najib Tun Rajak memiliki konsep aliran pemikiran 1Malaysia (Satu Malaysia) yang berisikan makna tentang perlunya integrasi semua komponan warga Malaysia yang pelbagai dan berbilang kaum. Namun di sisi lain integrasi ini jangan menepikan konsep letuanan Melayu yang telah digagas pada era-era sebelumnya. Demikian juga konsep Dasar Kebudayaan Kebangsaan, yang digagas sejak Malaysia belum merdeka dengan beberapa kali kongres kebudayaan, menyatakan bahwa agama Islam adalah agama resmi engara, bahasa kebangsaan adalah bahasa Melayu, Namun suku, gama selain Islam, dan ras selain Melayu dihargai keberadaanya dan dibebaskan menjalankan ibadahnya. Demikian pula gagasan atau aliran pemikiran Islam hadhari yang digagas oleh mantan Perdana Menteri Tun Haji Abdullah Ahmad Badawi terus relevan dan sinerji dengan perkembangan Dunia dan Malaysia hingga hari ini. Islam hadgari adalah Islam yang didasarjab kepada konsep ketamadunan. Islam sebagai rahmat kepada seluruh alam, bukan hanya orang Melayu, orang Islam, tetapi kepada semua manusia, makhluk, dan seluruh alam semesta dengan panduan wahyu Ilahi. Demikian pula aliran pemikiran masyatakat madani (civil society), yang juga sama dengan konsep Islam hadhari menginginkan masyarakat 24 Takari, Etnomusikologi Malaysia yang bertamadun, berpera-daban, dan mempolarisasikan kebudayaan dunia. Di sisi lain juga ada alairan pemikiran ketuanan Melayu, yang mendasarkan kepada sejarah pejuangan bangsa Malaysia dalam membina kebudayaanya, dengan tetap mempertimbangkan kesempatan dan keseimbangan pertumbuhan Malaysia yang berbilang etnik. Konsep ini bukan easialis, bukan pula etnosentris, tetapi mempertimbangkan keseimbangan hak dan ekwajiban setiap warga negara Malausia. Aliran-aliran pemikiran yang berkembang di Dunia Melayu seperti tersebut di atas, hendaklah direspons juga oleh para ahli etnomusikologi dan ilmu-olmu sosiohumaniora lainnya di Dunia Melayu. Para pakar ilmu ini haruslah mampu berpikir kreatif dan bertindak secaar arif dalam merespons perubahan-perubahan zaman. Aplikasinya di Alam Melayu Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang merdeka pada tahun 1945. Dalam masa kemerdekaan ini, kita dapat membaginya kepada peiodesasi politik, yaitu Orde Lama dari tahun 1945 sampai 1966. Kemudian dilanjutkan ke masa Orde Baru mula tahun 1966 sampai 1998. Kemudian Era Reformasi dari tahun 1998 hingga kini. Periode ini diwarnai dengan tesis dan antitesis pemikiran dan skala pembangunan bangsa Indonesia yang merdeka. Zaman Orde Lama ditandai dengan pengutamaan di bidang pembangunan politik. Kemudian masa Orde Baru ditandai dengan pembangunan ekonomi. Zaman Reformai pula ditandai dengan pembangunan demokrasi dan kebebasan. Etnomusikologi sebagai institusi formal memang baru dimulai tahun 1979, ketika Universitas Sumatera Utara, yang ketika itu dipimpin oleh Adi Putra Parlindungan Lubis membuka Jurusan Etnomusikologi, yang diintegrasikan di Fakultas Sastra. Pendirian institusi ini bekerjasama dengan The Ford Foundation Amerika Serikat dan Monash University, Australia. Namun demikian, rintisan etnomusikologi ini sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Masuknya Kristen ke Indonesia juga menjadi pengalaman menarik bagi bangsa Eropa. Mereka tak akan dapat masuk melalui kekuatan senjata dan penjajahan, tetapi dapat masuk dengan cara pendekatan budaya, seperti yang dilakukan Ingwer Ludwig 25 Takari, Etnomusikologi Nommensen di Tanah Batak. Demikian pula rintisan etnomusikologi ini sudah dimulai dengan berdirinya konservatorium-konservatorium musik yang polarisasinya seperti yang terjadi dalam berbagai konservatorium di Eropa. Saat Indonesia merdeka dalam rangka membina dan memberdayakan seni tradisi Indonesia, maka dibukalah sekolah-sekolah seni. Di peringkat sekolah menengah didirikan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) yang terdiri dari Jurusan Karawitan, Musik Barat, Tari, dan Teater. Untuk seni rupa didirikan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Khusus untuk Jurusan Musik didirikan Sekolah Menengah Musik Negeri (SMMN). Di peringkat Perguruan Tinggi (PT) didirikan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) atau Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), kemudian berangsur-angsur dinaikkan tarafnya menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Perkembangan yang lebih akhir dinaikkan statusnya menjadi Institus Seni Indonesia atau Institut Kesenian. Kesemua perguruan tinggi seni ini hanya terdapat di kawasan Indonesia Barat, khsususnya pulau Jawa, Bali, dan Sumatera saja. Kini perguruan tinggi seni itu terdiri dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Institut Seni Indonesia Denpasar, dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang. Ada pula universitas-universitas yang mengasuh ilmu seni seperti Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Istitut Teknologi Bandung. Di sisi lain, universitas hasil penembangan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) tetap memelihara program kependidikan kesenian, yang diintegrasikan ke dalam Jurusan Sendratasik, seperi yang terdapat di Universitas Negeri Medan (Unmed), Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Makasar, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, dan lainnya. Bidang ilmu etnomusikologi di Indonesia diajarkan di peringkat atau jenang strata satu saja, yang ini agak berbeda dengan di berbagai universitas dunia, yang umumnya mengasuh disiplin ilmu ini di peringkat strata dua atau tiga. Namun demikian pemerintah Indonesia memiliki kebijakan yang lebih memperluas cakupan strata dua di bidang seni, yaitu didirianlah program studi penciptaan dan pengkajian seni baik di 26 Takari, Etnomusikologi strata dua atau tiga. Tujuannya adalah untuk membentuk wadah yang lebih luas dalam menimba lulusan strata satu di bidang seni. Di Malaysia, seperti telah diuraikan di atas, etnomsuikologi secara melembaga belumlah begitu terserlah. Terutama di peringkat perguruan tinggi. Etnomusikologi di Malaysia barulah diterajui dan dipelajari oleh sedikit ilmuwan, yang kemudian mencoba menerapkannya di ebebrapa perguruan tinggi atau universitas. Dalam konteks Malaysia, tentu ke depan diperlukan institusi sekolah formal yang khas mengelola kesenian, mulai di peringkat sekolah menengah sampai ke universitas, di peringkat sarjana muda, magister (sarjana), sampai doktor. Gunanya adalah untuk menerapkan ilmu-ilmu seni bagi polarisasi kebudayaan Malaysia, yang salah satu paksi kuatnya adalah budaya rumpun Melayu. Di negeri=negeri lainnya di Dunia Melayu perlu pula mengambil kira ilmu etnomusikologi bagi kepentingan tumbuh dan berkembangnya kesenian dan kebudayaannya. Ilmu-ilmu Seni Seperti sudah terurai di atas, bahwa tampaknya pemerintah Republik Indonesia maupun Malaysia melalui departemen pendidikan, tampaknya mempolarisasikan ilmu seni secara bersama, tidak sendiri-sendiri. Artinya tidak mengkhususkan pengembangan bidang seni secara parsial saja, tetapi holistik dan menyeluruh. Untuk itu perlu saling memahami dan kerjasama antara pakar, mahasiswa, dan luusan ilmu-ilmu seni ini seperti yang diuraikan ada sub tulisan ini. Pendekatan Multidisiplin dan Interdisiplin Dengan gambaran seperti tersebut di atas, tentu saja penekanan pendekatan multidisilin dan interdisiplin sangat mutlak diperlukan, dalam ilmu-ilmu seni dan tak terkecuali etnomusikologi di Indonesia. Pendekatan multidisiplin dan interdisiplin ini juga sejiwa dengan roh etnomusikologi yang sejak berdirinya adalah hasil dari fusi dua ilmu dasar yaitu musikologi dan antropologi. Selain dari itu pendekatan yang demikian perlu pula melihat dan mengaplikasikan metode dan teori yang berasal dari ilmu-ilmu bahasa, sastra, filsafat, ilmu agama, etnokoreologi, semiotika, psikologi, 27 Takari, Etnomusikologi sosiologi, fisika (gelombang), dan lain-lainnya. Dengan demikian akan didapati kajian yang mendalam, holistik, dan menjawab permasalahan sosiobudaya yang dihadapi. Persinggungan Ilmu-ilmu Seni dengan Antropologi Antropologi adalah sebuah bidang ilmu yang mempelajari manusia (anthropos), sebagai sebuah disiplin integrasi dari berbagai ilmu yang masing-masing mempelajari suatu kompleks masalah-masalah khusus mengenai makhIuk manusia.18 Integrasinya ini mengalami proses sejarah yang panjang, dimulai sejak kira-kira. awal abad ke-19. Antropologi mulai mencapai bentuknya yang konkret setelah lebih dari 60 pakamya dari berbagai negara Eroamerika bertemu mengadakan simposiurn tahun 1951. Pendekatan ilmiah antropologi adalah berdasarkan kepada kajian menyeluruh (universal) terhadap manusia, yang mencakup bermacam jenis manusia, kebudayaannya, serta semua aspek pengalaman manusia. Pendalaman bidang-bidang antropologi di antaranya adalah: antropologi fisik, antropologi budaya, arkeologi, antropologi linguistik, dan etnologi. Kesenian sebagai salah satu unsur dan ekspresi budaya, jelas dapat dikaji oleh antropologi budaya. Namun dalarn perkembangan selanjutnya, beberapa disiplin yang objeknya adalah seni berdiri dan tetap memakai berbagai teori dan metode dalam antropologi, seperti persinggungannya dengan musikologi menghasilkan etnomusiko-logi, dengan tari menghasilkan antropologi tari, dengan teater menghasilkan antropologi teater, dan seterusnya. Oleh karena itu, akan dibahas apa itu musikologi secara garis besar saja. Musikologi lahir di Dunia Barat, yang pada dasamya mempelajari musik seni (art music) Barat seperti kcarya-karya Bach, Beethoven, Stravinsky, musik gereja, trobadour, trouvere, dan lainnya. Ilmu ini mernbuat dikotomi yang mencolok antara "musik seni" dan "musik primitif” berdasarkan atas ada atau tidaknya budaya tulis dan teori yang telah berkembang. Secara keilmuan, musikologi bersifat humanistis dan cenderung mengesampingkan ilmu-ilmu pengetahuan lain, kecuali yang 18 Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cistra, h.1. 28 Takari, Etnomusikologi bersinggungan saja. Secara mendasar, musikologi bersifat historis budaya Barat dan objek studinya adalah musik sebagaimana adanya. Berbanding terbalik dengan musikologi, antropologi mempu-nyai ciri-ciri mempelajari manusia sepanjang masa; melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai sekelornpok variabel yang berinteraksi. Antropologi mernpunyai orientasi saintifik, yang metodologinya sebagian historis akan tetapi pada dasarnya bersifat saintifik. Tujuan antropologi adalah untuk memahami tingkah laku manusia. Musikologi dan antropologi bukanlah bentuk studi yang sama. Yang pertarna masuk pada studi humaniora, yang kedua adalah ilmu sosial. Setelah berpadu dalam disiplin baru etnomusikologi, maka terjadi perkembangan-perkembangan lebih lanjut, disertai ciri khas setiap kawasan yang mengasuh ilmu ini, walaupun dasar-dasamya adalah ingin mengetahui manusia, lewat jendela budaya musik secara universal. Dalam perkembangan selanjutnya, para musikolog yang sadar akan kemitraan dengan budaya di luar Barat, bahkan menjadi etnomusikolog. Atau ada juga etnomusikolog yang kajiannya adalah musik Eropa, biasanya musik folk atau rakyat. Secara ilmiah, interaksi positif terjadi antara antropologi dengan teater, musik, dan tari. Yang pertarna menghasilkan. disiplin antropologi teater, yang kedua etnomusikologi, dan ketiga etnologi tari, atau disebut juga antropologi tari dan etnokoreologi. Ketiga disiplin ilmu pengetahuan tersebut lahir di Barat, dan etnomusikologi muncul paling dahulu, yaitu akhir abad ke-19 (1890-an). .Demikian pula di Indonesia, etnomusikologi lebih dahulu dibuka di Fakultas Sastra Universitas Surnatera Utara tahun 1979, yang kemudian diikuti oleh institusi seni lainnya. Kemudian disusul oleh berdirinya ilmu antropologi tari dan antropologi teater. Antropologi Tari Antropologi tari adalah sebuah disiplin baru yang sebelumnya dikenal sebagai etnologi tari, atau oleh sebagian pakar disebut dengan etnokoreologi. Walau istilah etnologi tari baru tersebar luas, tetapi penelitian di bidang etnologi tari telah berlangsung sejak tahun 1930-an. Jika di bidang etnomusikologi ada tokoh Alan P. Merriam, maka dalarn 29 Takari, Etnomusikologi antropologi tari salah seorang perintisnya adalah Getrude Prokosch Kurath yang kumpulan esainya diterbitkan tahun 1986 dengan judul Half Century of Dance Research oleh Cross Cultural Dance Research (CCDR, Flagstaff, Arizona, Amerika Serikat). Ada pula seorang tokoh yang dikenal cukup ahli baik di bidang etnomusikologi maupun antropologi tari yaitu Curt Sachs. Kurath menggunakan 20 tahun pertama karirnya sebagai penari dan produser pertunjukan budaya, tetapi kemudian menceburkan dirinya di bidang penelitian etnologi tari. Menurutnya, metode penelitian etnologi tari terdiri dari tiga tahap: (1) melakukan studi secara aktif dan mendatangi upacara-upacara masyarakat yang diteliti; (2) mentransfer pola-pola tari ke dalam bentuk tulisan, dengan deskripsi verbal dan layout visual; dan (3) menginterpretasikan fakta-fakta yang telah diorganisasikan. Seperti dalam studi etnomusikologi, yang tergantung latar belakang pengalaman dan pendidikannya, dalam kajian tari pun ada peneliti-peneliti yang lebih menekankan salah satu disiplin: antropologi atau tari. Seperti yang dikemukakan oleh Adrianne Kaeppler, bahwa para ahli etnologi tari biasanya adalah berlatarbelakang sebagai penari--yang melihat tari terpisah dari konteks budaya masyarakatriya. Mereka selalu mendeskripsikan tari menurut pandangan mereka sendiri, bukan pandangan masyarakat pelaku tari itu. Mereka mendeskripsikan secara. struktural bagian-bagian tari itu seperti pola gerak, motif, garis, arah, dan repetisi tari. Sebaliknya, para etnolog tari ingin mengetahui lebih dari itu. Antropologi pada abad ke-20 telah berkembang dari pendekatan deskriptif dan natural ke pendekatan yang menekankan kepada teori. Bagi antropolog, deskripsi tari dari seluruh dunia ini bukan etnologi, hanya sekedar data, yang lebih jauh harus dianalisis secara. etnografis, sehingga didapatkan makna-makna kulturalnya, baik dengan memakai teori maupun metode ilmiah. 30 Takari, Etnomusikologi Bagan 2: Hubungan Antara Berbagai Cabang Akustik Musik dan Kaitannya denganLapangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Menurut Janet Adshead dalarn bukunya Dance Analysis: Theory and Practice (London, Dance Book, 1988:6) penelitian terhadap tari pada perkembangan sekarang ini memerlukan bantuan disiplin lainnya, seperti: antropologi, sejarah, psikologi, sosiologi, teologi, dan lainnya. Disiplindisiplin ini sangat membantu untuk memahami tari dalarn konteks yang lebih luas, serta menjelaskan fungsi-fungsinya dalarn kehidupan masyarakat pendukungnya.. 31 Takari, Etnomusikologi Kajian Pertunjukan Budaya dan/atau Antropologi Teater Kajian pertunjukan (performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu) yang relatif baru, yang dalarn pendekatan saintifiknya berdasar kepada interdisiplin atau multidisiplin ilmu, yaitu mempertemukan antara lain antropologi, kajian teater, antropologi tari atau etnologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi, kritik sastra, dan lainnya. Dua orang tokoh terkernuka pada disiplin ini adalah Victor Turner (antropolog) dan Richard Schechner (aktor, sutradara teater, pakar pertunjukan, dan editor majalah The Drama Review). Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang dilakukan di atas panggung saja, tetapi juga yang terjadi di luar panggung, seperti olah raga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara. Dia menulis buku yang terkenal From Ritual to Theater On the Edge of the Bush: Anthropology as Experience, The Anthropology of Performance, dan The Anthro-pology of Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersarna Victor Turner dan Edward M. Bruner tahun 1982 setahun sebelum ia meninggal dunia. Pada karya-karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Turner tampaknya menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman, pragmatik, praktik, dan pertunjukan dalarn mengkaji kesenian. Tentunya pendekatan ini diperlukan berdasarkan asumsi dasar bahwa pengalarnan yang kita alami tidak hanya dalam bentuk verbal tetapi juga dalam bentuk imajinasi dan impresi (kesan). Keseluruhan disiplin pertunjukan budaya di atas umumnya mendasarkan kajianya pada pendekatan ilmiah dengan menggunakan teori-teori. Pengembangan Teori dalam Etnomusikologi dan Ilmu-ilmu Seni Sebagai disiplin ilmu dengan pendekatan-pendekatan ilmiah, maka etnomusikologi dan ilmu-ilmu seni lain seperti etnokoreologi, musikologi, antropologi teater, ilmu seni rupa, pengkajian seni pertunjukan, pengakajian seni rupa, dan lainnya perlu mengembangkan teori dan metode. Pengembangan ini mutlak diperlukan sebagai respons perubahan zaman dan keilmuan yang pasti terjadi secara terus-menerus. 32 Takari, Etnomusikologi Ilmu pengetahuan (sains) adalah suatu disiplin yang mempunyai tahap-tahap dan prosedur tertentu, yang sering disebut dengan pendekatan ilmiah. Di antaranya adalah: rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan pembuktian, asumsi, pengamatan, penelitian, dan lainnya.19 Teknik yang dikenal dengan metode ilmiah sangat didasarkan kepada akal sehat. Model penelitiannya berjalan mengikuti lngkah-langkah seperti berikut: (a) identifikasi variabel yang dipelajari; (b) satu hipotesis mengenai hubungan satu variabel terhadap yang lainnya atau terhadap satu situasi; (c) suatu uji realitas di mana hubungan hipotesis diukur dengan suatu hasil penelitian; (d) suatu evaluasi hubungan yang terukur dibandingkan dengan hipotesis awalnya, dan dikembangkannya generalisasi-generalisasi; dan (e) saran-saran mengenai keberaturan teoretis dari penemuan-penemuan, faktor-faktor yang terlibat dalam uji yang mungkin menyesatkan hasil-hasilnya, dan hipotesis-hipotesis lain yang tercetus dalam pikiran dalam konteks penelitian. 20 Pendekatan saintifik biasanya menggunakan teori tertentu. dalarn mengkaji fenomena alam, biologi, sosial, budaya, dan lain-lainnya. Teori memiliki peran penting dalam pendekatan ilmiah. Dengan teori seorang ilmuwan dibekali dasar-dasar bagaimana mencari dan mengolah data-sehingga didapatkan kesimpulan yang absah. Teori menurut Marckward21 memiliki tujuh pengertian: (1) sebuah rancangan atau skerna pikiran, (2) prinsip dasar atau penerapan ilmu pengetahuan, (3) abstrak pengetahuan yang antonim dengan praktik, (4) rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenornena, (5) hipotesis yang mengarahkan seseorang, (6) dalarn matematika adalah teorerna yang menghadirkan pandangan sistematik dari beberapa subjek, dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik. Jadi dengan demikian, teori berada dalarn tataran ide orang, yang kebenarannya secara empiris dan rasional telah diujicoba terutama oleh pakar teori tersebut. Dalarn dimensi waktu teori-teori dari sernua disiplin 19 Lihat Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, 1995. Handbook of Qualitative Research. New Delhi dan London: Thousand Oaks. 20 Keneth R. Hoover, 1989. Unsur-unsur Pemikiran Ilmiah dalam Ilmu Sosial. (Terjemahan Hartono H.). Yogyakarta: Tiara Wacana. h. 26. 21 Marckward, Albert H. et al. (eds.), 1990. Webster Comprehensive Dictionary (volume 2). Chicago: Ferguson Publishing Company. h. 1302. 33 Takari, Etnomusikologi ilmu terus berkembang. Teori-teori yang dipergunakan dalam mengkaji tari, musik, teater/pertunjukan, seni rupa, diambil dari berbagai disiplin atau dikembangan sendiri secara khas, seperti beberapa contoh yang dikemukakan berikut ini. Berikut ini akan dideskripsikan teori-teori dan metode yang lazim digunakan dalam etnomusikologi dan ilmu-ilmu seni. Kemudian penulis menawarkan pengembangan-pengembangannya ke masa depan, yang pasti dibutuhkan oleh disiplin-disiplin ini. Pengembangan tentu harus dilatarbelakangi oleh dasar filsafat terbentuknya ilmu ini, dan selain itu juga perlunya latar belakang teori-teori yang pernah ada dan yang tetap digunakan hingga ke hari ini. Semiotika Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotika dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistern simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistern yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem larnbang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalarn kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika larnbang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti tirnbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika larnbang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. 34 Takari, Etnomusikologi Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistern lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mimik, gestur, gerak, make-up, gaya rarnbut, kostum, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara. Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang mencakup: (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a) unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e) kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lernah, atau membosankan; (2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang pertanjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya., (d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage dan off-stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistern tata cahaya; (4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain; (5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain; (6) pertunjukan: (a) gaya. individu atau konvensional, (b) hubungan antara pernain dan kelompok, (c) hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, (d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan; (7) fungsi musik dan efek suara; (8) tahapan pertunjukan: (a) tahap keseluruhan, (b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba; (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa 35 Takari, Etnomusikologi yang dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks dramanya; (10) teks dalam pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan. teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji; (11) penonton: (a) di mana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna; (12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis, (b) imaji apa yang menjadi fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan: (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut untuk. melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan.22 Menurut Encylopedia Brittanica pengertian dari semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini. Semiotic also called Semiology, the study of signs and sign-using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce. Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified. 22 Dalam tulisan Victor Turner dan Edward M. Bruner (eds.). 1983. The Anthropology of Performance. Urbana dan Chicago: University Illinois. 36 Takari, Etnomusikologi Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians. This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism. Modern semioticians have applied Peirce and Saussure's principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communications, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi-Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.23 Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotika ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah 23 Encyclopedia Brittanica (versi elektronik), 2007. London. 37 Takari, Etnomusikologi tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api); dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semeion. Panuti Sudjiman dan van Zoest24 menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Manakala bidang pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan semiotika, seseorang boleh menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia sehari-hari. Semiotika dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, termasuk: penggunaan lambang, isi pesan, dan cara penyampaiannya. 25 Dalam semiotika terdapat hubungan tiga segi antara lambang, objek, dan makna.26 Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerima yang menghubungkan lambang dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang berfungsi sebagai perantara antara lambang dengan objek yang dilambangkan. Oleh karena itu, makna lambang hanya terwujud dalam pikiran interpretan, selepas saja interpretan menghubungkaitkan lambang dengan objek. Dalam konteks kajian musik, terdapat beberapa makna musik. Salah satu yang fundamental adalah bahwa tanda dan objek menghadirkan sebuah keterhubungan identitas. Bahwa tanda musikal adalah murni sebagai sebuah ikon. Bagaimanapun, musik memiliki kapasistas tanda. 24 Panuti Sudjiman dan Art van Zoest, (eds.), 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia. 25 D.K. Berlo, 1960. The process of Communication. San Francisco: Rinenart Press. h.54. 26 Lihat tulisan-tulisan: (a) Wimal Dissanayake, 1993. Teori Komunikasi Perspektif Asia. Rahmah Hashim (penterj.). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka dan Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia; (b) Littlejohn S.W. Littlejohn, S.W. 1992. Theories of Human Communication. Ed ke-4. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company; dan (c) Barthes, 1967. Barthes, R., 1967. Elementss of Semiology. London: Jonathan Cape. 38 Takari, Etnomusikologi Beberapa ahli estetika musik, seperti Eduard Hanslick27 dan para komposer seperti Pierre Boulez, 28 dan John Cage,29 mengemukakan bahwa estetika musik itu sangat bergantung kepada modus signifikasi. Sehingga ide musik murni atau musik absolut tak mungkin terwujud dalam membicarakan musik dalam kebudayaan. Setiap tradisi musik di dunia ini memiliki asas dan konsepsi estetika yang berlainan. Pentingnya mengkaji berbagai tanda ikonik dalam musik juga penting. Peirce membagi tanda-tanda ikonik dalam pelbagai imaji, diagram, dan metafora. Imaji adalah ikon yang menghadirkan karakter objek. Contoh musikal ikonik adalah mulai dari suara burung sampai kepada musik sesungguhnya. Dalam analisis semiotika ini, purlu pula bagi para pengkajinya memperhatikan pada aspek metafora. Musik adalah bidang semiotika yang kompleks, yang dapat dikaji melalui berbagai titik pandang. Teori Fungsionalisme Untuk mengkaji sejauh apa fungsi komunikasi seni pertun-jukan, serta bagaimana fungsi lagu dan tari dalam masyarakat, biasanya digunakan teori fungsionalisme. Menurut Lorimer et al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusiinstitusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan 27 Eduard Hanslick, 1957. The Beautiful in Music. Edited and translated by Gustave Cohen. New York: Liberal Arts. h. 61. 28 Pierre Boulez, 1986. Orientations. M. Cooper, J.J. Nattiez (ed.). Cambridge: Harvard University Press. 29 John Cage, 1961. Silence. Middletown: Wesleyan University Press. 39 Takari, Etnomusikologi berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompokkelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown, mengembangkan teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada masayarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial30 Dalam bidang komunikasi, ada beberapa pakar yang mengemukakan pendapatnya mengenai fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi memperlihatkan arus gerakan yang seiring dengan masyarakat atau individu. Komunikasi berfungsi menurut keperluan pengguna atau individu yang berinteraksi. Oleh karena itu, fungsi komunikasi bisa dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, rujukan, puitis, fatik, dan metalinguitik yang berkaitan dengan bahasa. Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah pandangan, dan (4) untuk menghibur orang lain. 30 Lawrence T. Lorimer et al., 1991, Grolier Encyclopedia of Knowledge (volume 120). Danburry, Connecticut: Groller Incorporated. vol. 18. H.112-113 40 Takari, Etnomusikologi Gambar 1: Talcott Parson Ilmuwan Fungsionalisme pada Sosiologi Sumber: www.wikipedia.com Gambar 2: Robert Merton Ilmuwan Fungsionalisme pada Sosiologi Sumber: www.wikipedia.com Fungsi untuk memberi tahu, artinya adalah melalui komunikasi berbagai konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima komunikasi), dan penerima ini menerimanya, yang kemudian dampaknya ia tahu tentang gagasan yang dikomunika-sikan tersebut. Akhirya isi komunikasi itu akan direspons oleh penerima, boleh jadi dalam bentuk perilaku, balasan, dan lainnya. Pemberitahuan ini sangat penting dalam konteks sosial kemasyarakatan. Misalnya orang yang diberitahu bahwa salah seorang warganya meninggal dunia, melalui saluran komunikasi, seperti dalam bentuk lisan atau bukan lisan seperti bunyi bedug dengan pukulan dan irama tertentu, atau lambang-lambang, seperti bendera merah atau hijau di depan rumah, dan lainnya. Akibatnya penerima komunikasi akan menafsir pesan komunikasi dalam bentuk lisan dan bukan lisan tadi, kemudian datang bertakziah ke tempat warganya yang meninggal dunia. Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu 41 Takari, Etnomusikologi pengetahuan dipindahkan dari sesorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan. Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau memujuk khlayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi, pandangan seseorang atau masyarakat dapat diubah, dari satu pandangan ke pandangan lain. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut stadar norma-norma sosial. Dalam konteks bernegara misalnya, pandangan yang tak sesuai dengan ideologi negara akan bisa dipujuk untuk menuruti ideologi yang selaras dengan negara. Dalam konteks ini umumnya suatu kabinet di dalam negara, membentuk departemen komunikasi, informasi, atau penerangan. Tujuan utamanya adalah memujuk masyarakat bangsa itu untuk menurut ideologi dan program-program pembangunan yang dianut dan dilaksanakan oleh pemerintah. Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain. Maksudnya adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi, yang memang dalam konteks sosial diperlukan. Fungsi komunikasi sebagai sarana hiburan ini akan dapat membantu seseorang atau sekumpulan orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat berupa rasa simpati sumber kepada penerima. Bentuknya boleh saja seperti ungkapan verbal turut merasakan apa yang dirasakan penerima komunikasi, atau juga seperti bernyanyi, bermain musik, melawak, dan lain-lainnya. Dengan demikian, melalui komunikasi terjadi hiburan, yang juga melegakan diri dari himpitan dan tekanan sosial. Demikian sekilas teori fungsionalisme komunikasi dalam seni pertunjukan. Selanjutnya kita lihat bagaimana teori fungsionalisme di bidang antropologi, serta bagaimana fungsi seni pertunjukan. Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya seorang guru 42 Takari, Etnomusikologi besar dalam ilmu sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman. Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan ia membaca buku J.G. Frazer, bertajuk The Golden Bough, mengenai ilmu ghaib, yang menyebabkan ia menjadi tertarik kepada ilmu etnologi. Ia melanjutkan belajar ke London School of Economics, tetapi karena di Perguruan Tinggi itu tak ada ilmu folklor atau etnologi, maka ia memilih ilmu yang paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empiris. Gurunya ahli etnologi, yaitu C.G. Seligman. Tahun 1916 ia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan sebagai ganti disertasi, yaitu The Family among the Australian Aborigines (1913) dan The Native of Mailu (1913). Kemudian ia berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulauan Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan penelitian tahun 1914. Sehabis perang dunia pertama pada tahun 1918, ia pergi ke Inggris karena mendapat pekerjaan sebagai asisten ahli di London School of Economics. Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Cairns dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944). Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam berbagai kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial 43 Takari, Etnomusikologi adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi yaitu: (1) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, perilaku manusia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat; (2) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial, atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; (3) Fungsi sosial suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi suatu sistem sosial tertentu. (4) Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhagap ilmu psikologi juga tampak ketika ia mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana ia berteu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yag ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas dari proses belajar adalah tidak lain dari ulangan-ulangan dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi asas pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan. 44 Takari, Etnomusikologi Gambar 3: Malinowski Ilmuwan Fungsionalisme pada Antropologi Sumber: www.wikipedia.com Gambar 4: Radcliffe-Brown Ilmuwan Fungsionalisme pada Antropologi Sumber: www.wikipedia.com Seperti telah diuraikan di atas, saat Malinowski awal kali menulis karangan-karangannya tentang pelbagai aspek masyarakat orang Trobiand sebagai kebulatan, ia tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-usur kebudayaan manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan learning theory sebagai dasar, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit selepas ia meninggal dunia. Bukunya bertajuk A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keperluan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh 45 Takari, Etnomusikologi kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan; ilmu pengetahan juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu; teknologi muncul karena keperluan manusia akan peralatan yang mempermudah hidupnya; organisasi sosial timbul karena manusia ingin hiduop berkelompok untuk menuju cita-cita bersama, dan seterusnya. Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human needs itu. Dengan faham ini, kata Malinowski, seseorang peneliti boleh mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. Menurut penjelasan Ihromi31 Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam artikel bertajuk “The Group and the Individual in Functional Analysis”, dalam jurnal American Journal of Sociology, jilid 44 (1939), hal. 938-964. Dalam artikel ini Malinowski beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola kelakuan yang telah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bahagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan dasar atau beberapa keperluan yang timbul dari keperluan dasar yaitu keperluan sekundari dari para warga suatu masyarakat. Keperluan pokok atau asas adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Untuk memenuhi kebutuhan dasar ini, muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan yang memenuhi keinginan akan makanan menimbulkan keinginan sekunder untuk kerja sama dalam mengumpulkan makanan 31 Ihromi, 1987. Pokok-pokok Atropologi Budaya. Jakarta: Jambatan. h. 59-61. 46 Takari, Etnomusikologi atau yang untuk diproduksi. Untuk ini masyarakat mengadakan bentukbentuk organisasi politik dan pengawasan sosial, yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat. Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah nilai praktis yang penting. Pengertian nilai praktis ini dapat dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul dengan masyarakat primitif. Ia menjelaskan sebagai berikut: “nilai praktis teori fungsionalisme ini adalah teori ini mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beraneka ragam; bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial, dan oleh mereka yang secara ekonomi mengekploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif.”32 Selain Malinowski pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi lainnya adalah Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Seperti Malinowski, ia mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Namun berbeda dengan Malinowski, RadcliffeBrown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justeru timbul untuk mempertahankan strukur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah 32 Ibid. Keberatan utama terhadap teori fungsionalismenya Malinowski adalah bahwa teori ini tidak dapat memberi penjelasan mengenai adanya aneka ragam kebudayaan manusia. Keinginan-keinginan yang diidentifikasikannya, sedikit banyak bersifat universal, seperti keinginan akan makanan yang semua masyarakat harus memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori fungsionalisme memang dapat menerangkan kepada kita bahwa semua masyarakat menginginkan pengurusan soal mendapatkan makanan, namun teori ini tak dapat menjelaskan kepada kita mengapa setiap mesyarakat berbeda pengurusannya mengenai pengadaan makanan mereka. Dengan kata lain, teori fungsionalisme tidak menerangkan mengapa pola-pola kebudayaan tertentu timbul untuk memenuhi suatu keinginan manusia, yang sebenarnya boleh sahaja dipenuhi dengan cara yang lain yang boleh dipilih dari sejumlah alternative dan mungkin cara itu lebih mudah. 47 Takari, Etnomusikologi masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada33 (Radcliffe-Brown 1952). Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena faktor perkawinan, yang terdapat dalam pelbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya orang beripar, atau berbesanan. Ia menjelaskan bahwa masyarakat boleh melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan betemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar atau mertua seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat, yang melarang seorang menantu lakilaki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu, konflik antara anggota keluarga dapat dihindarkan dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada orang Navaho dan lelucon pada orang kulit putih Amerika, berfungsi dalam menjaga solidaritas sosial masyarakatnya. Demikian sekilas tentang teori fungsionalisme yang lazim digunakan di bidang antropologi. Teori Evolusi Selain itu dalam seni pertunjukan lazim pula dipergunakan pula teori evolusi. Pada dasarnya, teori evolusi menyatakan bahwa unsur kebudayaan berkembang sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu, dari yang berbentuk sederhana menjadi lebih kompleks. Teori ini dalam kesenian banyak digunakan untuk mengkaji sejarah seni. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Wan Abdul Kadir dari Malaysia dalam tulisannya. yang berjudul Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran (1988), yang mengkaji perkem-bangan kebudayaan Melayu dari masa kerajaan Melayu Melaka sampai akhir Perang Dunia Kedua--yaitu terdiri 33 Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. 48 Takari, Etnomusikologi dari masa Kerajaan Melayu Melaka 1400-an berkembang ke masa pendudukan Pulau Pinang oleh Inggris tahun 1786, pembukaan Singapura 1819, Pernerintahan Kolonial sampai 1874, 1880-an pertumbuhan teater bangsawan, 1908 film, 1914 piringan hitam, 1930 film Melayu, dan 1930-an radio. Wan Abdul Kadir melihat perkembangan budaya masyarakat Melayu dari yang sederhana ke yang lebih kompleks dalam batasan waktu tahun 1400-an sampai pertengahan abad ke-20 dan berdasarkan penemuan teknologi baru. Dalam konteks pemikiran adat Melayu, teori ecolusi ini juga diwujudkan dalam konsep adat yang teradat. Maknanya adalah bahwa dalam kebudayaan Melayu itu ada hal-hal berupa ide, kegiatan, maupun benda budaya, yang biasa digunakan dalam kehidupannya. Namun karena kebiasaan-kebiasaan ini telah terisntitusi, maka lambat laun ia menjadi adat. Contohnya sebelum kedatangan Islam, destar merupakan penutup kepala secara resmi dalam upacara atau majlis Melayu, maka setelah itu songkok atau peci perlahan-lahan tetapi pasti menggantikan fungsi destar atau detar. Teori Difusi Teori difusi juga dipergunakan dalam mengkaji seni. Pada prinsipnya, teori ini mengemukakan bahwa suatu kebudayaan dapat menyebar ke kebudayaan lain melalui kontak budaya. Karena teori ini berpijak pada alasan adanya suatu sumber budaya, maka ia sering disebut juga dengan teori monogenesis (lahir dari suatau kebudayaan). Lawannya adalah teori poligenesis, yang menyatakan bahwa beberapa kebudayaan mungkin saja memiliki persamaan-persamaan baik ide, aktivitas, maupun benda. Tetapi sejumlah persamaan itu bukanlah menjadi alasan adanya satu sumber kebudayaan. Bisa saja persamaan itu muncul secara kebetulan, karena ada unsur universal dalarn diri manusia. Misalnya bentuk dayung perahu hampir sama di mana-mana di dunia ini. Namun itu tidak berarti bahwa ada satu sumber budaya pembentuk dayung perahu. Katakanlah dayung perahu berasal dari China Selatan. Teori ini banyak dipergunakan oleh para pengkaji seni yang mencoba mencari adanya sebuah sumber budaya. Dalarn kajian seni, misalnya sebagian besar peneliti percaya bahwa zapin berasal dari Yaman. Hal ini didukung 49 Takari, Etnomusikologi oleh fakta-fakta sejarah, dan bukti-bukti peninggalannya di Yaman sekarang ini, dan persebaran kesenian ini ke berbagai kawasan di Nusantara. Dalam konteks Dunia Melayu, teori difusi ini, dapat dipergun-akan secara meluas untuk mengkaji unsur0unsur kebudayaan yang berkembang di Alam Melayu. Teori dapat membuktikan keserumpunan kebudayaan masyarakat Melayu. Misalnya dengan menggunakan teori difusi ini, para pakar linguistik telah menyimpulkan bajwa semua bahasa di Alam Melayu sebenarnya berakar dan dikategorikan sebagai bahasa Melayu-Polinesia. Dengan menggunakan teori yang sama, para pakar sejarah, antropologi, maupun arkeologi, menyatukan Dunia Melayu, dengan sebutan kebudayaan Melayu-Austronesia. Bagi para ilmuwan Melayu sendiri, mereka memiliki konsep Dunia Melayu atau Alam melayu yang mencakup wilayah Formosa, Fasifik, Selandia Baru, kepulauan Nusantara, Madagaskar, sampai di daratan Asia Tenggara. Lihat peta dunia Melayu. Teori Pergerakan Sosial dan Perilaku Kolektif Dalam karyanya yang bertajuk Protest Movements in Rural Java (1973), Sartono Kartodirdjo mempergunakan sebahagian kerangka analitis yang pernah dikemuakan Landsberger dalam “The Role of Peasant Movements and Revolts in Development: An Analitical Framework” dalam Landsberger (ed.) Latin American Movements (1968) untuk memahami asal-usul, perkembangan, dan berbagai dampak pergerakan yang bersifat protes sosial. Dalam semua kasus yang kompleks, faktor-faktor harus dikaji, serta fenomena keresahan sosial hanya dapat dijelaskan melalui kombinasi sebab-sebab yang terpisah. Aspek-aspek analitis yang merupakan kerangka penelitian Kartodirdjo adalah: (a) struktur politik ekonomi pedesaan Jawa abad ke-19 dan 20; (b) basis massa pergerakan sosial; (c) kepemimpinan pergerakanpergerakan sosial; (d) ideologi-ideologi pergerakan; dan (e) dimensi budaya yang bersifat mendorong pergerakan sosial (cultural conduciveness). Dari sembilan butir hal yang dikemukakan Landsberger hanya empat yang diambilnya, yaitu: (a) peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadiannya; (b) sekutu-sekutu dan musuh-musuh gerakan tani; 50 Takari, Etnomusikologi (c) cara-cara aksi gerakan tani; (d) gerakan sebagai organisasi; dan (e) pemikiran mengenai berhasil serta gagalnya gerakan tani dan dampaknya. Sebuah pendekatan ilmu sejarah lainnya adalah menggunakan teori perilaku kolektif atau dalam bahasa Inggris disebut collective behaviour. Contoh aplikasi ini dalam tulisan sejarah adalah apa yang ditulis oleh Ibrahim Alfian, yang mengkaji peperangan yang berlangsung antara kerajaan Aceh melawan kerajaan Belanda 1873-1912. Buku yang ditulis Ibrahim Alfian bertajuk Perang di Jalan Allah (1987). Teori perilaku kolektif ini ia adopsi dari tulisan sosiolog Amerika Serikat, Neil J. Smelser, dalam buku yang berjudul Theory of Collective Behaviour, 1962. Teori Siklus Kuint dan Lainnya Dalam mengkaji timbulnya tangga nada di dunia ini, para etnomusikolog telah mencapai tahap generalisasi, dengan menggunakan teori siklus kuint (overblown fifth). Dari bahan-bahan sejarah di China ditemui bahwa untuk membentuk sebuah tangga nada, seorang rajanya bernama Huang Ti memerintahkan memotong bambu dalam ukuran-ukuran tertentu berdasarkan siklus interval kuint dengan rasio matematis 3/4 dan 2/3. Di Yunani-Romawi, India, serta Timur Tengah, tangga nada diturunkan dari alat-alat musik bersenar dengan membagi rasio panjangnya senar. Sehingga didapati tangga nada heptatonik (7 nada) yang dibagi ke dalam dua tetrakord (kumpulan empat nada tangga nada). Tangga nada jenis ini dianalisis dalam teori devisif. 51 Takari, Etnomusikologi Peta 1: Dunia Melayu sumber: The Encyclopedia of Malaysia (jilid 4, p. 76) 52 Takari, Etnomusikologi Para pengkaji seni yang meminati upacara-upacara terutama kematian, selalu menggunakan teori rites de passages yang ditawarkan oleh antropolog Van Gennep. Bahwa sebuah kematian manusia adalah dalam kondisi transisi dari suatu dunia ke dunia lain. Para etnomusikolog juga dalam mengkaji struktur musik sering menggunakan teori kantometrik, yaitu sebuah teori "general" untuk melihat bagaimana struktur umum budaya musik yang diteliti melalui 37 jenis parameter dimensi ruang dan waktu dalarn musik. Selain itu juga dipergunakan teori weighted scale, yang melihat unsur-unsur pembentuk melodi, seperti: tangga nada, wilayah nada, jumlah nada , interval, kontur, formula, dan lainnya (lihat Malm 1977). Para etnolog tari, dalam mengkaji struktur tari juga selalu menggunakan teori koreometrik, yang sama dasarnya dengan kantometrik namun dipergunakan untuk mengkaji struktur tari. Unsur-unsur tari yang dibahas di antaranya: waktu, ruang, dan tenaga. Selain dari teori-teori ilmu sosial dan humaniora dalam kajian seni tak kalah pentingnya juga dipergunakan teori-teori dalam ilmu eksakta. Misalnya untuk mendeskripsikan pengecoran dalam pembuatan alat-alat musik, dipergunakan teori reduksi oksidasi (redoks) dan sejenisnya dari ilmu kimia. Atau untuk menguji aspek akustik dan timber bunyi alat-alat musik, biasanya dipergunakan disiplin fisika gelombang. Salah satu karya monumental di bidang akustik musik adalah karya John Backus yang berjudul The Acoustical Foundation of Music (1977). Teori-teori yang dipergunakan dalarn mengkaji seni akan terus berkembang, scsuai dengan perkembangan pcradaban manusia di muka bumi ini. Dengan demikian, seniman dan ilmuwan seni terus ditantang untuk mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan umat manusia secara umum atau secara khusus kelompoknya. Teori-teori yang Berbasis kepada Etnosains Melayu Untuk pengembangan etnomusikologi dan ilmu terkait di masa depan, perlu sekali diterokai ilmu-ilmu yang berasal dari pemikiran masyarakay Melayu itu sendiri, bukan hanya mengambil teori-teori secara mentah dari ilmu peradaban Barat. Polarisasi yang perlu dilakukan oleh imuwan Melayu adalah. Pertama, mengambil teori dari budaya 53 Takari, Etnomusikologi Barat. Kemudian mengolah atau mengadunnya sesuai dengan permasalahan yang dihadapi Dunia Melayu. Ketiga adalah menggali teori-teori yang berasal dari pemikiran masyarakat Dunia Melayu. Keempat jika mungkin memadukan teori-teori budaya Barat dengan budaya Timur, khususnya Dunia Melayu. Kelima meneroka dan menggali teori-teori etnometodologi Melayu. Islam yang dipeluk oleh masyarakat melayu juga dalam sejarahnya sangat mendukung perkembangan ilmu yang berasas pada rasionalisme, namun juga tak mengetepikan hal-hal di luar rasionalitas. Islam dan ilmu pengetahuan berdasarkan sejarah saling dukung-mendukung dan menguatkan. Islam tak pernah melakukan inkuisisi kepada para ilmuwan. Oleh karena itu, teori-teori yang berdasar kepada ajaran-ajaran Islam perlu juga dikembangkan di Dunia Melayu. Teori Takmilah Usaha mencari teori kritik sastra Melayu (Malaysia dan Indonesia) oleh para sarjana kesusastraan dimulai tahun 1970-an. Pada masa itu minat masyarakat, organisasi dan pemimpin pemerintahan terhadap sastra sedang hangat. Surat kabar dan majalah memberi ruang kepada para penulis untuk mempublikasikan karya-karya mereka. Pemerintah Malaysia melalui Dewan Bahasa dan Pustaka mengadakan sayembara dan anugerah seperti Anugerah Pejuang Sastra dan Hadiah Karya Sastra (kini dikenal dengan Hadiah Sastra Perdana). Usaha ini turut dilaksanakan oleh persatuan-persatuan penulis, organisasi swadaya masyarakat, dan organisasi kebudayaan. Organisasi-organisasi swasta seperti bank, yayasan, bertindak sebagai sponsor. Tuntutan mencari karya yang terbaik atau usaha membina karya bermutu telah memungkinkan pengadopsian beberapa teori dari Barat. Di antaranya ialah teori struktural, sosiologi sastra, formalistik, psikoanalisis, Marxisme, dan sebagainya. Penggunaan teori-teori Barat terhadap karya-karya sastra Melayu ternyata tidak semuanya menyenangkan. Ada aspek-aspek tertentu dalam karya yang dapat dicernakan dengan baik dan tidak kurang pula terlihat pertentangan nilai dan normal. Hal ini menyebabkan timbul usaha dan minat para sarjana 54 Takari, Etnomusikologi sastra Melayu untuk membangun teori sastra sendiri yang relevan dengan nilai, normal, adat budaya, agama, dan mentalitas masyarakat. Berkat usaha yang bersungguh-sungguh, maka lahir beberapa teori sastra di Malaysia, seperti: teori sastra Islam oleh Shahnon Ahmad, teori teksdealisme oleh Mana Sikana, teori persuratan baru oleh Mohammad Affandi Hassan, teori taabudiyyah oleh Mana Sikana, teori puitika sastra Melayu oleh Muhammad Haji Salleh, teori pengkaedahan Melayu oleh Hashim Awang, teori takmilah oleh Shafie Abu Bakar, teori konseptual kata kunci oleh Mohamad Mokhtar Hassan, teori rasa fenomenologi oleh Sohaimi Abdul Aziz, teori adat oleh Zahir Ahmad, teori pembentukan watak oleh Mohammad Anuar Ridhwan, teori kritikan Melayu oleh S. Othman Kelantan, teori hermeneutik kerohanian oleh Salleh Yaapar, teori gerak rasa oleh Sahlan Mohammad Saman, teori semiotik Melayu oleh Sahlan Mohammad Saman, teori neonostalgia oleh Hashim Ismail, dan lain-lain. Sebahagian teori-teori tersebut telah diuji dalam kajian di peringkat sarjana dan doktor filsafat. Teori takmilah diperkenalkan oleh Shafie Abu Bakar, mantan dosen di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Teori ini dianggap sebagai teori kritik karya sastra Islam. Hal ini karena teori tersebut berdasarkan tauhid dalam segala aspek keilmuan Islam dan berusaha melahirkan insan syumul yang bersifat uluhiyah dan rubudiyah. Istilah takmilah bertalian dengan sifat kamal Allah yang berarti sempurna. Takmilah menyempurnakan sesuatu yang dengannya akan menjadi sempurna. Maksudnya, melalui teori takmilah sesuatu yang dianggap sempurna oleh manusia (sebenarnya belum sempurna di sisi agama) akan menjadi lebih sempurna. Kesempurnaan itu dilihat dari segi akidah, tauhid, akhlak, dan ilmu. Kesemuanya hadir dalam kesatuan. Hubungan takmilah itu berkait pula dengan sifat-sifat jamal, qahhar, dan jalal Allah. Kesatuan hubungan itu dapat difahami, misalnya dalam kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Pandji Kusmin. Nilai sastranya tinggi dan ceritanya juga menarik. Namun, dari awal cerita lagi Ki Pandji Kusmin menyatakan rasa tidak puas hati Nabi Muhammad terhadap Tuhannya. Dari segi realitas peristiwa, sebenarnya tidak ada petisi yang menandakan rasa tidak puas hati Nabi Muhammad terhadap Allah. Walaupun dari segi teori pembangunan karya, cerpen “Langit Makin Mendung” adalah 55 Takari, Etnomusikologi sempurna dan tepat, namun dari segi realitas peristiwa sebenar adalah fitnah. Artinya, dari segi ilmunya ada, tetapi dari segi akidah dan tauhid Islam adalah sebaliknya. Tidak ada kebersatuan antara nilai akidah, tauhid, akhlak dan ilmu keislaman dengan nilai sastra (rujuk buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen “Langit Makin Mendung” Kipandjikusmin, 2004). Teori takmilah tidak memisahkan nilai seni sebagai tuntutan hati nurani manusia mencintai dan mendekati tuhannya. Bahkan pada situasi tertentu, seni juga dianggap salah satu jalan menuju ke rumah Tuhan. Salah satu konsep seni dalam susastra Melayu ialah penyempurnaan rohani bagi tujuan menyucikan jiwa, menambah ketakwaan, melahirkan suasana harmoni, dan membentuk pemerintahan adil yang diridhai Allah.34 Menurut hadis riwayat Bukhari dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah s.a.w pernah bersabda yang bermaksud: “Sebahagian syair mengandung hikmah kebijaksanaan.” Teori takmilah diciptakan untuk aplikasi terhadap semua karya bagi menilai dan mengukur nilai keislaman dalam karya. Pada satu posisi mungkin karya itu bebas darinada keislaman, tetapi setelah dianalisis baru nampak citra keislamannya. Demikian sebaliknya, sesebuah karya yang kelihatan bernada keislaman, setelah dianalisis mengandung citra yang sebaliknya. Mungkin di luar alam sadar pengarangnya. Teori takmilah menekankan tiga komponen penting yaitu pengarang, karya, dan khalayak. Semuanya harus bermula dari kesadaran tauhid pengarang yang menuangkan kesedaran itu ke dalam karya untuk membangkitkan kesedaran tauhid pembaca. Ketiga-tiganya memperlihatkan sifat saling menyempurnakan, yang menjadi sifat Allah dan lambang kesempurnaan-Nya. Karya yang indah harus berdasar kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Karya ini tercerna dalam hubungan sikap dan perlakuan manusia terhadap Allah, sikap dan perlakuan manusia sesama makhluk Allah, serta sikap dan perlakuan manusia dengan alam sekitarannya. 34 Maniyamin bin Haji Ibrahim “Menggali Keintelektualan Silam Membina Seni Masa Kini” dlm. Mohamad Saleeh Rahamad, S.M. Zakir dan Shamsudin Othman, 2006. Persuratan dan Peradaban Nasional. Kuala Lumpur: Persatuan Penulis Nasional Malaysia (PENA).m h, 212-214. 56 Takari, Etnomusikologi Keindahan dan kesempurnaan karya sastra meliputi keindahan isi dan bentuk. Jika isi baik tetapi disampaikan dalam bentuk yang tidak sesuai, atau bentuk baik tetapi isi tidak sesuai, maka karya itu dianggap tidak indah dan tidak sempurna. Isi dan bentuk karya harus sama-sama indah, sebagaimana maksud susastra itu sendiri, dan karya sastra ini berpandukan ajaran Al-Qur’an. Walaupun aspek struktur karya sama, namun teori ini melihat aspek strukturnya mesti tidak bertentangan dengan isi, tepat dengan genre, bahasanya tepat, isinya mudah difahami, dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dari segi isi pula karya itu mesti dapat memberi teladan atau hikmah kepada pembaca. Satu hal yang ditegaskan oleh Shafie Abu Bakar bahwa teori takmilah melihat segala kejadian atau peristiwa sebagai indah, baik peristiwa itu menggembirakan maupun menyedihkan. Misalnya peristiwa tsunami di Aceh. Di dalamnya terkandung hikmah dan keteladanan, dalam konteks tauhid kepada Allah Untuk menguatkan teori ini, Shafie Abu Bakar mengemukakan tujuh prinsip, yaitu: (1) prinsip ketuhanan yang bersifat kamal, (2) prinsip kerasulan sebagai insan kamil, (3) prinsip keislaman yang bersifat akmal, (4) prinsip ilmu dengan sastra yang bersifat takamul, (5) prinsip sastra bercirikan estetis dan bersifat takmilah, (6) prinsip pengkarya yang seharusnya mengistikmalkan diri, dan (7) prinsip khalayak yang bertujuan memupuk mereka ke arah insan kamil. Dalam sajak “Jiwa Hamba,” Usman Awang mencatat sebagai berikut: Termenung seketika sunyi sejenak kosong di jiwa tiada penghuni hidup terasa diperbudak-budak hanya suara melambung tinggi berpusing roda beralihlah masa berbagai neka hidup di bumi selagi hidup berjiwa hamba pasti tetap terjajah abadi 57 Takari, Etnomusikologi kalau hidup ingin merdeka tiada tercapai hanya berkata ke muka maju sekata maju kita melemparkan jauh jiwa hamba Ingatkan kembali kata sakti, dari bahang kesedaran berapi di atas robohan Kota Melaka Kita dirikan jiwa merdeka’ Sajak ini menyeru masyarakat Melayu Malaysia agar membebaskan jiwanya. Kata Usman Awang, “hidup terasa diperbudak-budak / hanya suara melambung tinggi,” sedang suara itu tidak langsung mendapat perhatian pihak yang berkenaan. Hal ini disebabkan “jiwa hamba” yang menebali diri. Kata Usman Awang lagi, selagi kita berjiwa hamba maka hidup kita akan terus dijajah. Beliau menyeru agar orang-orang Melayu bangkit dari kesilapan masa lampau, yang dalam sajak ini, ditandai dengan kejatuhan Kota Melaka. Seruan Usman Awang itu merupakan usaha mengembalikan kedaulatan dan kesakralan bangsa Melayu. Kedaulatan dan kesakralan itu tentunya mengambil contoh kegemilangan yang pernah dicapai pada zaman Kesultanan Melayu Melaka. Walaupun sajak Usman Awang itu tidak terlihat nada keislamannya, namun seruan Usman Awang itu menjadi tuntutan agama Islam. Dalam surah Ar-Ra’ad ayat 11 Allah menegaskan bahwa Dia tidak mengubah nasib sesuatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Usman Awang menyeru orang-orang Melayu agar membebas-kan jiwa dari belenggu penjajahan dan berarti pula ia mengajak orang-orang Melayu agar membuang jauh sikap dan paradigma yang menyekat kemajuan diri. Jika seruan itu disadari pembaca, diikut dan diteladani, maka seruan itu telah mendatangkan kebijakan atau hikmah yang membijaksanakan. Individu berkenaan akan merasakan betapa nikmatnya kemerdekaan jiwa. Idealisme sajak ini bermula daripada kesedaran jiwa Usman Awang yang diterapkan ke dalam karya untuk dikongsi dan diteladani oleh pembaca. 58 Takari, Etnomusikologi Teori takmilah berusaha membentuk insan sempurna dan mulia yang mesra agama. Usaha Shafie Abu Bakar dan sarjana sastra Malaysia membina teori kritikan sendiri sangat baik dan perlu disdukung, baik oleh sarjana sastra Malaysia maupun sarjana sastra Indonesia, juga negaranegara Asia yang lain. Melalui teori-teori beridealismekan budaya dan pemikiran sendiri, kita dapat memurnikan karya-karya pengarang kita. Teori Atqakum Teori ini dikemukakan oleh Sanat (1998). Istilah atqakum diambil dari surah Al-Hujurat (49:13) yang maknanya adalah kamu yang lebih bertakwa. Di sini merujuk kepada manusia yang lebih mulia di sisi Allah ialah yang lebih bertakwa. Di dalam Al-Qur’an, terdapat maksud seperti takwa, bertakwa, ketakwaan, ketakwaannya, dan bertakwalah. Menurut Indeks Al-Qur’an (1999:440-441), bermaksud bertakwalah dikolokasikan kepada Allah, yaitu merujuk kepada perintah suruhan. Jika maksudnya kepada selain Allah, ungkapannya akan merujuk pertanyaannya seperti berikut. yang artinya: “Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah ketaatan itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?” (Al-Qur’an surah an-Nahl, 16:52) Ungkapan tanya dalam ayat 52 tersebut sebenarnya tidak ada jawaban pilihan kepada manusia melainkan bertakwa kepada Allah, karena maksud ungkapan yang mendahuluinya merujuk kepada pemilihan Allah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada-Nya saja tertuju ibadah dan ketaatan untuk selama-lamnya. A. Chaedar Alwasilah (1993:28) menyatakan bahwa teori adalah suatu sistem dari hipotesis yang melukiskan hubungan antara fakta. Jika 59 Takari, Etnomusikologi hipotesis diartikan sebagai dugaan kuat yang sifatnya sementara dan akan dibuktikan kebenarannya, maka setelah terbukti kebenarannya, hipotesis menjadi teori. Teori memungkinkan pengetahuan tentang sesuatu objek atau objek lain yang sama yang sedang diteliti atau semua yang lain yang berkeadaan sama. Dengan demikian teori memberikan persiapan untuk menghadapi kejadian silam atau kejadian apa pun. Teori adalah defenisi yang diperluas. Lamb dalam artikelnya yang bertajuk “On the Aims of Linguistics” dalam Copelanded (1984:1-16) menyatakan bahwa Hjelmslev berpendapat teorui linguistik bertujuan bukan saja untuk mengabsahkan sistem linguistik seutuhnya, tetapi juga manusia dan masyarakat di sebalik bahasanya. Semua upaya pengetahuan manusia melalui bahasa. Puncak pencapaian teori linguistik itu ialah manusia dan keuniversalan atau humanitas et universitas. Teori atqakum yang dimaksud oleh Sanat adalah melampaui pengertian teori biasa, teori ini merujuk langsung kepada perintah Allah untuk menjadi manusia bertakwa. Manusia wajib melakuknnya dalam konteks hubungan dengan Sang Khalik. Penunaian kewajiban itu adalah sebagai tanda ketaatan dan kesyukuran yang manfaatnya akan didapati manusia yang melaksanakannya. Sebaliknya, keingkaran kepada Allah tidak akan mengurangi kemuliaan dan kekuasaan Allah. Hal ini terekam di dalam Al-Qur’an seperti berikut ini. yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Al-Qur’an, surah Lukman, 31:12) 60 Takari, Etnomusikologi Teori atqakum menggagaskan bahwa menjadi lebih bertakwa merupakan hukum perintah yang tidak ada pilihan pada saat apa pun dan tempat mana pun. Dengan syarat taklif syar’i. Penunaian teori dalam semua bidang kehidupan atau disiplin ilmu sebagai tanda ketaatan dan kesyukuran yang membawah khasanah di dunia dan akhirat. Teori ini menjadi supraordinat kepada teori lain dalam subdisiplin, termasuk linguistik. 35 Teori Neonostalgia Teori neonostalgia adalah teori di bidang sastra yang dikemukakan oleh Hashim Ismail. Menurutnya teori neonostalgia merupakan pandangan konseptualnya terhadap apa yang berlaku dalam perkembangan sastra Melayu di Nusantara. Teori neonostalgia, bagi Hashim Ismail merupakan satu gagasan kawasan ini untuk mengembalikan marwah masyarakat Melayu dalam menghadapi kemelut globalisasi. Juga persoalan-persoala yang dibawa karena benturan pemikiran Barat dengan Timur, atau antara Islam dengan bukan Islam, yang kini tampak menjurus ke arah multikulturalisme, serta cabangcabang lain dalam masa pascamodernisme. Epistemologi neonostalgia awal kali dimunculkan Hashim Ismail dalam sebuah seminar kritik sastra di Kuala Lumpur tahun 2001. Ia membicarakan tradisi moralitas kolektif yang menjadi teras wahana penghasilan teks Melayu. Menurutnya moralitas kolektif ini adalah sebagai bentukan dari moralitas tua (the old morality) yang harus diangkat dan diketengahkan. Kita akan kembali kepada satu bentuk nostalgia kolektif, seperti yang dikutipnya dari Fred Davis tentang nostalgia, yang menggunakan istilah simple nostalgia (nostalgia sederhana). Dari segi konsep, nostalgia kolektif merujuk keadaan objek-objek simbolik yang sangat dierima umum, tersebar luas, dan sudah menjadi kelaziman, dan merupaka sumber simbolis dari masa lalu yang disalurkan dalam keadaan yang terkawal atau terbentuk—dapat memacu gelombang 35 Lebih jauh dan rinci lihat Sanat Md. Nasir (2005) 61 Takari, Etnomusikologi demi gelombang perasaan nostalgia jutaan manusia dalam masa yang sama. Tidak saja pandangan Fred yang menyebabkan Hashim membuat epistemologi, namun dalam membicarakan teori pada era posmodernisme, semakin banyak kebutuhan ke arah itu untuk dirasionalkan. Pembacaan terhadap kupasan Fred ditemukan the beautiful past and the unattractive present. Fred juga menggunakan ungkapan things were better then now. Sejarah boleh dikonstruksi kembali dalam bentuk baru yang memiliki maksud baru untuk tujuan tertentu. Keberadaan sejarah bisa ditemukan dalam bentuk nostalgia baru, kembali kepada keagungan silam. Tujuannya untuk menunjukkan sebuah maksud baru yang mungkin tidak lagi merujuk kepada sejarah realitas tetapi sejarah yang berdialog, yang bersifat intertekstualitas, dan merupakan moralitas baru yang semakin diperlukan untuk memperkokoh jati diri bangsa tersebut. Teori neonostalgia adalah teori moralitas kolektif masa lampau yang diterapkan pada masa sekarang. Moralitas masa lampau ini memiliki berbagai keunguulan dalam rangka membentuk jati diri kelompok manusia. Pemikiran neonostalgia merupakan suatu bentuk pemikiran yang bukan lagi untuk muncul mengenangkan kembali masa silam yang indah—tetapi meruakan suatu pembentukn pemikiran yang megangkat pola-pola nostalgia sejarah silam, tradisi kolektif, dan moralitas kolektif untuk diberikan makna baru, seupaya bangsa itu dapat memahami keagungan masa silam. Demikian contoh-contoh teori yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu-ilmu seni dan sastra. Termasuk perkembangan-perkembangannya yang dicipta dan dikaji oleh para ahli-ahli linguistik, sastra, dan seni. Bagaimanapun, teori-teori tersebut akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan disiplin ilmu di Dunia Melayu. Polarisasi Teori Etnomusikologi dan Seni di Dunia Melayu ke Depan Secara tradisional, masyarakat Melayu memiliki teori-teori etnosains yang digunakan dalam mengekspresikan dan menciptakan keseniannya. Ke depan, teori-teori yang berlatar belakang etnosains Melayu ini perlu terus-menerus digali dan digunakan dalam mengkaji kesenian Melayu. 62 Takari, Etnomusikologi Contoh-contoh teori etnosains atau aliran etnometodologi yang belum banyak dieksplorasi oleh para ilmuwan budaya dan kesenian Melayu di antaranya adalah teori adat. Teori ini daalm Alam Melayu mengkategorikan adat ke dalam empat strata yaitu: (a) adat yang sebenar adat, (b) adat yang diadatkan, (c) adat yang teradat, dan (d) adat-istiadat. Dalam Dunia Melayu adar lazimnya berhubungkait dengan agama Islam, yang dikonsepkan adat bersendikan syarak, dan syarak bersendikan kitabullah. Selain itu etnosains Melayu juga memiliki teori gerenek yang merupakan ide dan kreativitas estetika seniman Melayu dalam menciptakan dan menggubah melodi atau lagu. Gerenek ini terdiri dari tiga jenis, yaitu: cengkok, patah lagu, dan gerenek. Cengkok adalah hiasan melodi dengan “ayunan” nada. Sementara patah lagu adalah hiasan melodi dengan cara menyentak-nyentakkannya. Kemudian gerenek itu sendiri adalah hiasan melodi dengan cara menggunakan nadanada yang berdensitas rapat, terutama dalam lagu-lagu yang bertempo lambat seperti asli, senandung, dan gubang. Teori lainnya yang tidak kalah penting dalam musik tradisional Melayu adalah teori bunyi sebagai manifestasi alam. Dalam membuat bangunan atau arsitektonik musik, para seniman musik Melayu adalah membuat bunyi sebagai bahagian dari alam. Konsep bunyi sebagai bahagian alam ini, adalah menyatukan dimensi marokosmos dan mikrokosmos. Itu dicerminkan dalam ungkapan: alam besar dikecilkan, alam kecil dihabisi, alam yang telah dihabisi disebatikan dengan diri. Jadi maknanya manusia adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari alam. Manusia Melayu adalah rahmat kepada seluruh sekalian alam. Kalau di Eropa juga telah ditemui dan digunakannya semiotika, maka orang-orang Melayu juga memiliki teori semiotikanya sendiri dalam rangka mengkomunikasikan kesenian yang dibuatnya. Semiotika Melayu ini terselit dalam karya seni, biasanya mengandung makna yang implisit dan tersamar, dalam bentuk perwujudan simbol, ikon, maupun indeks. Dalam teater Melayu misalnya, keris adalah simbol kegagahan dan kemandirian orang Melayu dalam mengharungi laut kehidupan. Keris juga simbol kekuasaan penguasa Melayu. Keris juga melambangkan ilmu dan kesaktian suku Melayu dalam menjaga marwah dan tanah airnya. 63 Takari, Etnomusikologi Masih banyak teori etnosains Melayu lainnya yang perlu kita gali teurs menerus untuk kejayaan tamadun Melayu, dan bagi polarisasi keilmuan yang bersifat kemelayuan. Penutup Etnomusikologi secara formal dan institusional adalah disiplin ilmu yang relatif baru. Namun dalam konteks sejarah ilmu-ilmu seni, ia termasuk pelopor awal. Etnomusikologi awalnya muncul di belahan bumi peradaban Barat. Kemudian ilmu ini tumbuh dan berkembang juga di wilayah Dunia Timur. Etnomusikologi dalam konteks ilmu pengetahuan dan filsafat, masuk ke dalam rumpun ilmu humaniora dan sosial sekali gus. Etnomusikologi juga merupakan disiplin ilmu yang menekankan kepada penelitian lapangan. Gambar 5: Bruno Nettl Tokoh lmmuwan Etnomusikologi Gambar 6: Curt Sachs Tokoh Ilmuwan Etnomusikologi dan Etnokoreologi Gambar 7: Alan P. Merriam Tokoh Ilmuwan Fungsionalisme dalamEtnomusikol ogi Gambar 8: William P. Malm, Tokoh Ilmuwan Etnomusikologi (KajianOrientalis me) Sumber: www.wikipedia.c om Sumber: www.wikipedia.c om Sumber: www.wikipedia.co m Sumber: www.wikipedia.co m Dalam konteks ilmu-ilmu seni, etnomusikologi memiliki peran strategis. Ilmu ini sangat mewarnai ilmu-ilmu seni. Etnomusikologi yang tampil dan muncul di awal-awal sejarah perkembangan ilmu-ilmu seni, 64 Takari, Etnomusikologi menjadi percontohan dan model bagi ilmu-ilmu seni lainnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya antara ilmuwan etnomusikologi dengan ilmu-ilmu seni seperti antropologi tari, antropologi teater, pengkajian seni pertunjukan, pengkajian seni rupa, ilmu seni rupa, bekerjasama mengkaji kebudayaan (seni) manusia. Bagaimanapun fokus kajian ilmu-ilmu seni ini agak sedikit berbeda, dan pengalamannya tentu saja berbeda. Untuk saling mengembangkan keilmuan dan daya guna dalam masyarakat mutlak diperlukan kerjasama dan saling bertukar ilmu. Pengembangan teori juga selayaknya dilakukan terus-menerus oleh para pakar etnomusikologi. Teori ini dikembangkan berdasarkan temuantemuan yang diperoleh dari hasil penelitian. Teori akan sangat berguna dalam rangka memecahkan persoalan kajian atau pokok permasalahan penelitian. Teori ini juga perlu didukung oleh metode-metode dan teknikteknik dalam proses mengembangkan disiplin etnomusikologi. Alam Melayu sangatlah perlu emmbina disiplin etnomusikolgi ini bagi menjaga keberadaan dan pengembangan keseniannya. Ilmu ini boleh diasuh di peringkat sekolah menengah, maupon perguruan tinggi. Kerajaan atau pemerintahan di negeri-negeri rumpun Melayu perlulah memperhatikan keseniannya. Apalabi kini dunia pariwisata di rumpun Melayu amat digalakkan, dalam rangka menyumbang perekonomian engara. Aspek pendukung utama wisata ini adalah seni, selain alam, dan sejarah. Untuk itu, dengan niat yang baik, Allah akan membimbing kita dengan ilmu yang diberikannya, termasuk etnomusikologi, bagi kemaslahatan umat Melayu. Usikum wanafsi bitakuallah, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabara-katu. 65 Takari, Etnomusikologi Gambar 9: I Made Bandem Etnomusikolog/Etn okoreolog Indonesia Gambar 10: Rizaldi Siagian Etnomusikolog Indonesia Gambar 11: Philip Yampolski, Etnomusikolog Amerika Serikat yang Indonesianis Gambar 12: Mauli Purba Etnomusikolog Indonsia Jatidiri Penulis Muhammad Takari, Dosen Fakultas Sastra USU, lahir pada tanggal 11 Januari 1965 di Kotapinang, Labuhanbatu, Sumatera Utara. Menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Labuhanbatu. Tahun 1990 menamatkan studi sarjana seninya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya tahun 1998 menamatkan studi magister humaniora pada Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tahun 2009 menyelesaikan studi S-3 Pengajian Media Komunikasi di Universiti Malaya, Malaysia. Aktif sebagai dosen, peneliti, penulis di berbagai media dan jurnal dalam dan luar negeri. Juga sebagai seniman khususnya musik Sumatera Utara, dalam rangka kunjungan budaya dan seni ke luar negeri. Kini juga sebagai Ketua Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya (Sastra), Universitas Sumatera Utara. Kantor: Jalan Universitas No. 19 Medan, 20155, telefon/fax.: (061)8215956. Rumah: Tanjungmorawa, Bangunrejo, Ds I, No. 40/3, Deliserdang, 20336, e-mail: [email protected]. 66 Etnomusikologi, Nomor 9, Tahun 5, Maret 2009 ISSN: 1858-4721 WILAYAH PENYELIDIKAN DAN PENDIDIKAN MUSIK DALAM PERSPEKTIF ETNOMUSIKOLOGI Heristina Dewi Dosen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Abstract This paper will discuss two major subjects of the ethnomusicology discipline scoup and educational. Cited from Merriam (1964) there are six area studies of ethnomusicology: (a) instruments material musical culture and economic value in instruments, (b) study of song text, (c) ethnic musical categorization, (d) musicians in the societies, (e) uses and functions of music, and (f) study music as a cretitive activity in culture. In the context educational or enculturation of musical culture, ethnomusicology give us a polarization view that educational as Kneller (1965) said, as a process which use a people for controlling and shaping everyone to go teir aims, which based on their culture. Educational must be presented the values of culture. Pengantar Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya selalu merespons alam sekitar. Misalnya ketika ia lapar dan ingin makan dan minum, maka ia berusaha menggunakan bahan-bahan makanan dan minuman di sekitarnya. Manusia juga menginginkan ilmu pengetahuan, maka terbentuklah lembaga pendidikan, baik yang sifatnya formal maupun informal (nonformal). Dalam membina pendidikan ini berbagai macam ilmu diberikan kepada manusia, yang sesuai dengan minat dan bidangnya masing-masing. Mereka yang berminat di bidang teknik dapat mempelajarinya melalui disiplin teknologi. Mereka yang berminat di bidang kehidupan makhluk di dunia ini dapat mengkajinya dari bilogi (ilmu hayat). Demikian pula untuk mereka yang berminat di bidang seni Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi dapat mempelajarinya melalui ilmu-ilmu seperti etnokoreologi (antropolo-gi tari), antropologi teater, pengkajian seni, pengkajian seni pertunjukan, pengkajian seni rupa, etnomusikolgi, dan lain-lainnya. Etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mempelajari musik seluruh dunia dalam konteks budayanya. Sejak awal etnomusikologi memilih mengkaji budaya musik di luar peradaban Barat, selain itu memperhatikan secara serius budaya musik yang ditransmisikan secara oral atau lisan. Etnomusikologi adalah disiplin ilmu sosial dan humaniora sekali gus. Etnomusikologi sangat memperhatikan enkulturasi budaya musik dari satu generasi ke generasi lain. Begitu juga dengan difusi musik, dan evolusinya. Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan secara umum wilayah penyelidikan etnomusikologi, dengan berdasar kepada Merriam (1964). Kemudian mengkaitkannya dengan pendidikan musik dalam perspektif etnomusikologi. Karena terdapat perbedaan-perbedaan fokus dan penekanan antara ilmu-ilmu seni dalam memposisikan pendidikan musik ini. Wilayah Penyelidikan Etnomusikologi Seorang etnomusikolog mestilah paham tentang wilayah penyelidikan etnomusikologi, supaya ia tidak melantur ke sana dan sini. Apa pun yang dikerjakan oleh etnomusikolog di lapangan nantinya, pada dasarnya ditentukan oleh rumusan metodenya sendiri dalam arti yang luas. Maka sebuah penelitian etnomusikologis dapat diarahkan seperti perekaman suara musik, atau masalah peran sosial pemusik di dalam masyarakat. Jika suatu penelitian diarahkan kepada kajian mendalam di suatu daerah penelitian, dan jika peneliti menganggap studi etnomusikologi bukan hanya sebagai kajian musik dari aspek lisan, tetapi juga terhadap aspek sosial, kultural, psikologi, dan estetika—paling tidak ada enam wilayah penyelidikan yang menjadi perhatian kita (Merriam 1964). Yang pertama adalah kebudayaan material musik. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yyang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur, 68 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoretis perlu pula dicatat. Selain masalah deskripsi alatmusik, masih ada sejumlah masalah analitis lain yang dapat menjadi sasaran penelitian lapangan etnomusikologi. Apakah ada konsep untuk memperlakukan secara khusus alat-alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial alain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik tertentu berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu? Nilai ekonomi alat musik juga penting. Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatnya? Alat musik dapat dijual dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan apa pun, produksi alat musik merupakan bagian dari kegiatan ekonomi di dalam masyarakatnya secara luas. Alat musik mungkin dianggap sebagai lambang kekayaan; mungkin dimiliki perorangan; jika memilikinya mungkin diakui secara individual akkan tetapi untuk kepentingan praktis diabaikan; atau mungkin alat-alat musik ini menjadi lambang kekayaan suku bangsa atau desa tertentu. Penyebaran alat musik mempunyai makna yang sangat penting di dalam kajian-kajian difusi dan di dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan, dan kadang-kadang dapat memberi petunjuk atau menetukan perpindahan penduuduk melalui studi alatmusik. Kategori kedua adalah kajian tentang teks nyanyian. Kajian ini meliputi kajian teks sebagai peristiwa linguistik, hubungan linguistik dengan suara musik, dan berbagai masalah isi yang dikandung oleh teks tersebut. Masalah hubungan antara teks dengan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena memberi manfaat yang jelas. Namun hingga kini belum pernah dilakukan kajian yang menggunakan linguistik modern dan teknik-teknik etnomusikologis. 69 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi Teks nyanyian mengejewantahkan perilaku kebahasaan yang dapat dianalisis dari sudut struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung mempunyai perbedaan sifat dengan ungkapan harian, dan kadangkala, seperti pada nama-nama pujian, atau bunyi pertanda gendang, teks tersebut merupakan bahasa “rahasia” yang hanya diketahui sekelompok tertentu saja dari masyarakatnya. Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih elastis dibandingkan dengan bahasa sehari-hari, dan bahasa tersebut tidak hanya mengungkapkan proses kejiwaan seperti pengendoran tekanan, akan tetapi juga informasi tentang sifat yang tidak mudah diungkapkan. Dengan alasan yang sama, teks nyanyian sering mengungkapkan nilai-nilai yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya boleh dinyatakan dalam keadaan terpaksa di dalam ungkapan sehari-hari. Hal ini selanjutnya dapat mengarahkan kepada kepekaan terhadap simbol yang mengandung etos dari suatu kebudayaan, atau terhadap suatu jenis generalisasi karakter nasional. Pemahaman mengenai perilaku ideal dan nyata sering dapat diungkap mellaluiteks nyanyian, dan akhirnya teks juga digunakan sebagai catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk menanamkan nilai-nilai, dan sebagai cara untuk membudayakan generasi muda. Aspek ketiga meliputi kategori-kategori musik yang dibuat oleh peneliti yang sesuai dengan kategori yang berlaku dalam kelompok tersebut. Di dalam hubungan ini tentunya peneliti menyusun acara rekamannya, yang diklasifikasikan utuk menyertakan contoh-contoh akurat dari semua jenis musik di dalam situasi-situasi pertunjukan yang direncanakan dan dipertunjukkan sebenarnya. Pemain musik dapat memberikan sasaran keempat bagi etnomusikolog. Dari sekian hal yang penting adalah latihan untuk menjadi pemusik. Apakan seseorang dipaksa oleh masyarakatnya untukmenjadi pemusik, atau ia memilih sendiri karirnya sebagai pemusik? Bagaimana metode latihannya, apakah sebagai pemain musik potensial yang mengandalkan kepada kemampuan sendiri; apakah ia mendapatkan pengetahuan dasar tentang teknik memainkan alat musiknya atau teknik menyanyi ddari orang lain, atau apakah ia menjalani latihan yang ketat dalamwaktu tertentu? Siapa saja pengajarnya, dan bagaimanakan metode mengajarnya? Hal ini 70 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi mengarahkan kepada masalah profesionalisme dan penghasilan. Sebuah masyarakat mungkin saja membedakan beberapa tingkatan kemampuan pemusik, membuat klasifikasi dengan istilah-istilah khusus, dan memberikan penghargaan tertinggi kepada sesuatu yang dianggap benarbenar profesional; atau pemusik dapat saja tidak dianggap sebagai spesialis. Bentuk dan cara memberi penghargaan dapat sangat berbeda untuk setiap masyarakat, dan dapat terjadi bahwa pemusik sama sekali tidak mendapat bayaran. Sama penting dan menariknya adalah berbagai masalah tentang apakah pemusik dianggap sebagai seseorang yang mempunyai bakat luar biasa, atau apakah semua anggoata masyarakat tersebut dianggap mempunyai bakat yang sama? Apakah pemusik mewariskan kemampuannya dan apabila demikian dari siapa dan dengan cara apa? Sebagai anggota masyarakat, pemusik dapat memandang kemampuannya sebagai sesuatu yang membedakannya dengan orangorang lain, dan dengan demikian ia dapat melihat dirinya sendiri dan masyarakatnya dalam rangka hubungan tertentu. Orang yang bukan pemusik pun dapat menganut konsep-konsep prilaku musikal yang dapat atau tidak dapat diterima, dan membentuk sikap-sikap terhadap pemusik dan tindakannya dengan dasarr ini. Tentu saja pemusik dapat juga dianggap mempunyai sebuah kelas sosial tertentu dan mereka dapat membentukberbagai asosiasi yang didasarkan atas keterampilan mereka di dalam masyarakat. Mereka dapat memiliki musik yang dihasilkan, jadi memunculkan lagi berbagai masalah ekonomi, dalam hal ini hubungan dengan barang-barang yang tidak tersangkut langsung. Di dalam hubungan inilah pengkajian lintas budaya dari kemampuan musik dapat digunakan; meskipun tidak ada pengkajian bebas budaya sejauh ini yang dikembangkan, rumusan mereka akan sangat memperhatikan penafsiran kemampuan-kemampuan terpendam dan kemampuan nyata pemusik dan buakn pemusik, seperti yang ditentukan masyarakat dan di dalam hubungan perorangan. Wilayah studi kelima adalah mengenai penggunaan dan fungsi musik dalam hubungannya dengan aspek budaya lain. Informasi yang kita dapatkan, menunjukkan bahwa didalam hubungan dengan penggunaan, musik meliputi semua aspek masyarakat; sebagai perilaku 71 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi manusia, musik dihubungkan secara sinkronik dengan perilaku lainnya, termasuk religi, drama tari, organisasi sosial, ekonomi, struktur politik, dan berbagai aspek lainnya. Dalam mengadakan studi tentangmusik, peneliti dipaksa untuk mengadakan pendekatan budaya secara lengkap dalam mencari hubungan musik, dan di dalam maknanya yang dalam, ia mengetahui bahwa musik mencerminkan kebudayaan, sedangkan musik menjadi bagiannya. Fungsi musik di dalam masyarakat merupakan objek penyelidikan lain dari penyelidikan tentang penggunaan tersebut, karena penelitiannya diarahkan kepada masalah-masalah yang jauh lebih dalam. Telah dinyatakan bahwa salah satu fungsi utama musik adalah untuk membantu mengintegrasikan masyarakat, suatu proses yang secara kontinu dilakukan di dalam kehidupan manusia. Fungsi lain adalah untuk melepaskan tekanan-tekanan jiwa. Perbedaan antara penggunaan dan fungsi musik belum banyak dibicarakan di dalam etnomusikologi, dan studi-studi pada wilayah yang luas cenderung untuk memusatkan kepada masalah pertama dan mengenyampingkan masalah yang kedua. Studistudi tentang fungsi jauh lebih menarik di antara keduanya, oleh karena studi tersebuts eharusnya mengarahkan kepada pengertian yanglebih dalam tentang mengapa musik merupakan suatu gejala universal dii dalam masyarakat. Akhirnya, keenam, peneliti lapangan dapat mempelajari musik sebagai aktivitas kreatif di dalam kebudayaan. Yang penting di sini adalah tahap-tahap dari studi musik yang memusatkan pada konsepkonsep musik yangdigunakan di dalam masyarakat yang sedang diteliti. Yang mendasari semua pertanyaan adalah berbagai masalah perbedaan yang dibuat oleh pemusik dan bukan pemusik di antara apa yang dianggap musik dan bbukan musik, merupakan sasaran yang baru mendapatkan sedikit perhatian di dalam etnomusikologi. Apa sumbersumber musik itu? Apakah musik disusun hanya melalui perantaraan bantuan dan persetujuan manusia super, atau apakah musik merupakan gejala-gejala manusia biasa? Bagaimana nyanyian-nyanyian baru muncul? Apabila penyusun musik mempunyai status tinggidi dalam masyarakat, bagaimana ia menyusun musik, dan bagaimana pendapatnya tentang proses penyusunan musik? Ukuran-ukuran kemampuan di dalam 72 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi pertunjukan adalah penting sekali karena melalui pengertian ukuran ini peneliti dapat melihat musik yang baik dan buruk serta dapat melihatnya dengan cara-cara yang digunakan di dalam masyarakat. Masalahmasalah ini mengarahkan kepada evaluasi rakyatnya dan evaluasi analitis dari suatu teori tentang musik di dalam masyarakat tersebut; juga mengarahkan kepada berbagai masalah khusus di mana bentuk divisualisasikan sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasikan, dan terhadap apakah aspek-aspek bentuk seperti interval musik atau pola-pola ritme inti khusus digunakan di dalam pemikiran pemusik dan bukan pemusik. Keenam wilayah penyelidikan etnomusikologi di atas dapat dijangkau oleh etnomusikolog melalui tiga tahapan. Sebagaimana halnya di berbagai studi lapangan lainnya, kerja etnomusikolog dibagi secara kasar kepada tiga tahapan, yang memberikan prioritas rencana dan pengenalan proyeknya. Arahan yang pertama adalah pengumpulan data, dan di dalam kasus etnomusikologi, etnomusikolog selalu melakukan kerja lapangan di luar musik Eropa dan Amerika, meskipun ada juga persepsi yang memandang itu adalah aturan secara umum. Pengumpulan data memberikan masalah-masalah yang kompleks dan berbagai masalah khusus, dari hubungan antara teori, metode, desain riset, metodologi, dan teknik, sebagaimana juga masalah-masalah yang timbul pada semua disiplin yang mengikuti pola-pola riset, lebih kasarnya dibandingkan studi intuitif. Kedua, sesudah awal kali data dikumpulkan, etnomusikolog biasanya melakukan kerja terhadap subjek jenis kedua yaitu analisis. Pertama, pengumpulan materi-materi etnografis dan etnologis yang koheren dengan pengetahuan seputar praktik musik, tata tingkah laku musik, dan konsep-konsep di dalam masyarakat yang distudi, sebagaimana juga yang relevan dengan hipotesis dan desain masalah riset. Yang kedua adalah teknik analisis laboratorium dari materi suara musik yang telah dikumpulkan, dan kerja ini memerlukan teknik-teknik dan kadang-kadang peralatan khusus untuk mentranskripsi dan menganalisis struktur musik. Ketiga, menganalisis data dan hasil yang diperoleh dialikasikan kepada masalah-masalah yang relevan , khususnya dalam etnomusikologi 73 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi dan yang lebih luas dari itu adalah ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Dalam semua prosedur ini, etnomusikologi sebenarnya tidak berbeda dengan disiplin-disiplin lainnya. Selain itu, dalam menggunakan teknik-teknik khusus ini, dan mungkin terutama dalam keperluan untuk mempertemukan kedua jenis data itu secara bersama-sama—yaitu antropologis dan musikologis. Apakah etnomusikologi termasuk ke dalam ilmu pengetahuan sosial atau humaniora? Jawabannya adalah menggunakan kedua-duanya; pendekatan dan tujuannya lebih bersifat saintifik ketimbang hunaistik, sedangkan subjek pokoknya lebih bersifat humanistik ketimbang saintifik. Selain itu juga studinya dibatasi kepada analisis dan pengetahuan yang dihasilkannya sendiri, tujuannya terutama tidak menghasilkan istilah-istilah humanistik. Etnomusikolog bukan kreator musik yang dikajinya, juga tujuan dasarnya tidak untuk berpartisipasi secara estetis di dalam musik (meskipun ia dapat saja melakukannya untuk mengkreasikan kembali). Selain itu, posisinya selalu sebagai outsider yang mencoba untuk mengetahui apa yang ia dengarkan, yang menganalisis struktur dan perilaku, dan menyederhanakan istilah-istilah pengetahuan ini, yang akan memberinya bahan perbandingan dan generalisasi hasil-hasil penelitiannya terhadap musik sebagai fenomena universal dalam eksistensi manusia. Etnomusikolog berilmu pengetahuan tentang musik. Jika ia melakukan kerja ini dengan sukses, maka jelas bahwa pengetahuannya ini harus berasal dari dua lapangan ilmu pengetahuan tersebut. Tidaklah mungkin melakukan studi struktur musik tanpa lebih dahulu mengetahui musik; juga tidak mungkin melakukan kajian mengenai perilaku musik tanpa terlebih dahulu mengetahui sains sosial; dan hasil-hasil kajian seperti itu yang paling baik, menggunakan kedau ilmu pengetahuan tersebut. Pendidikan Musik Pendidikan adalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal. Pendidikan ini dilakukan pada semua masyarakat di dunia, baik masyarakat tribal, primitivf, modern, atau posmodernisme. Pendidikan akan melibatkan pendidik dan peserta didik. Cara pendidikan ini dilatarbelakangi oleh kebudayaan di mana pendidikan itu berlangsung. 74 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi Atau sistem pendidikan bisa pula dipengaruhi oleh kelompok manusia lain. Misalnya seperti Indonesia sistem pendidikan formalnya, banyak menyerap sistem pendidikan Belanda, termasuk pemberian gelar akademis. Begitu juga sistem hukum di Indonesia yang banyak menyerap sistem hukum Belanda. Di sisi lain, setiap masyarakat memiliki sistem pendidikannya sendiri. Misalnya sistem lisan hidup dan berkembang dalam sistem pendidikan etnik di seluruh Nusantara ini. Contoh pendidikan dalam tradisi lisan ini misalnya berlaku dalam cara pembelajaran kesenian (musik, tari, dan teater). Namun demikian, secara tradisi ada pula sistem pendidikan tradisional yang menggunakan tulisan, seperti pada tradisi pesantren di Indonesia. Masyarakat Indonesia sejak abad pertama telah pula mengenal sistem tulisan seperti tulisan palawa di Jawa, tulisan Batak, tulisan Bugis, dan lain-lainnya. Begitu pentingnya pendidikan seni ini, maka pemerintah pun perlu mengaturnya dalam bentuk undang-undang, yang sifatnya yuridis dan formal. Menurut UU No. 22 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pendidikan dibagi ke dalam 3 kategori yaitu: (1) informal adalah pendidikan di rumah tangga; (2) formal adalah pendidikan yang berjenjang dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi; (3) nonformal adalah pendidikan luar sekolah seperti lifeskill. Pendidikan seni tidak hanya dapat diperoleh dari pendidikan formal saja melainkan bisa dari pendidikan nonformal, contohnya seperti pembelajaran musik melalui les privat yang diselenggarakan oleh lembaga kursus musik. Karena itu sekarang banyak pendidikan seni yang menawarkan berbagai pilihan dari alat-alat musik yang ditawarkan untuk dipelajari, seperti: vokal, piano, biola, drum, bass, gitar elektrik, dan gitar klasik. Melalui sanggar-sanggar musik dan tari tradisi. Manusia memerlukan pendidikan yang membedakannya dengan makhluk hewan. Berkat pendidikan ini, manusia memiliki peradaban (sivilisasi) dan berkembang dari masa ke masa. Selain itu, pada dasarnya manusia memerlukan keindahan dalam kehidupannya. Keperluan terhadap keindahan ini dipenuhi oleh unsur budaya yang disebut kesenian, seni atau lazim disebut seni budaya. Dalam rangka kegiatan berkesenian ini, manusia yang terlibat di dalamnya perlu sebuah sistem 75 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi pengelolaan, agar prosesnya terjadi secara teratur, terarah, terpadu, dan mencapai sasaran. Menurut Kneller (1965), pendidikan merupakan proses yang digunakan suatu masyarakat untuk mengendalikan dan membentuk individu-individu sesuai dengan tujuan-tujuan yang ditentukan oleh nilainilai dasar kebudayaan. Para pendidik diharapkan melakukan pengawasan yang ketat untuk menjamin bahwa telah ditanamkan nilainilai, sikap, gagasan-gagasan, dan keterampilan-keterampilan yang mendukung kelanjutan kebudayaan. Dunia pendidikan dapat dianggap sebagai sebuah industri yang menghasilan: ilmu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills). Jasa pengawasan (culstodial care), sertifikasi (sertification) dan kegiatan komunitas (community activity). Dalam konteks Universitas Sumatera Utara (USU) yang menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan universitas untuk industry, maka jelas bahwa perguruan tinggi ini adalah senuah industry pendidikan, yang lulusannya digunakan oleh pengguna (stake holder). Tugas Universitas Sumatera Utara (USU) menghasilkan para ahli madya, sarjana, magister, spesialis, dan doktor, di bidang ilmu masing-masing, sesuai dengan pangsa pasar yang membutuhkannya. Dalam konteks pendidikan seni, keberlangsungan kebudayaan diperlukan generasi harus mempelajari warisan budayanya sesuai dengan perhatiannya dan mengembangkan gambaran mereka sendiri mengenai kebudayaannya secara objektif. Hal ini dapat merangsang pemikiran dan penerimaan inovatif sehingga melahirkan penciptaan-penciptaan seni. Dalam konteks pendidikan seni musik atau etnomusikologi, notasi musik adalah “suatu sistem yang digunakan untuk menulis dan mencatat musik diatas kertas agar kita dapat membaca, menyimpannya untuk dokumen, atau disampaikan kepada orang lain. Metode mengajar musik adalah cara mengajar yang didasarkan pada pola atau contoh yang diberikan guru atau pelatih sesuai dengan taraf pendidikan siswa untuk memperoleh tujuan yang diharapkan. Berdasarkan kutipan di atas jelas sekali bahwa metode pendidikan yang meliputi pengajar, kurikulum, dan sarana prasarana seperti alat peraga dalam hal ini alat musik dan buku yang digunakan sangatlah penting peranannya. Karena di dalam pendidikan seni musik kita tidak 76 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi hanya mementingkan teori saja, tetapi antara praktik dan teori mempunyai peranan yang seimbang. Hal ini dikarenakan di dalam musik kita tidak hanya berbicara saja tetapi kita butuh memainkan dan mempraktikannya. Dalam konteks etnomusikologi, pentingnya perhatian kepada proses pembelajaran atau enkulturasi, dikemukakan oleh Merriam (1964) bahwa dalam etnomusikologi, pendidikan (enkulturasi ) budaya musik menjadi salah satu fokus kajiannya. Pendidikan musik ini menjadi salah satu fungsi musik yaitu untuk menjaga kontinuitas kebudayaan. Selain itu pendidikan musik mencakup pada aspek bagaimana kedudukan pemusik meneruskan keahliannya kepada generasi pemusik yang lebih muda. Kesimpulan Memperhatikan uraian di atas, maka disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (a) Wilayah kajian etnomusikologi menurut Merriam mencakup enam bidang, yaitu: (1) kebudayaan material musik yang merujuk kepada alat-alat musik dan nilai ekonomisnya, (2) kajian teks (lirik) nyanyian, (3) kategori musik, (4) pemusik itu sendiri, (5) penggunaan dan fungsi musik, dan (6) musik sebagai aktivitas kreatif dalam masyarakat. Sementara itu, pendidikan musik dalam perspektif etnomusikologi, melihat bahwa pendidikan adalah bahagian dari kebudayaan. Pendidikan adalah transmisi pengetahuan dan keterampilan dari guru kepada muridnya. Pendidikan ada yang diselenggarakan secara formal dan ada pula yang diselenggarakan secara nonformal. Semestinya pendidikan ini menjadi bahagian yang integral dari kebudayaan masyarakatnya. Daftar Pustaka Kneller, G.F.,1965. Educational Anthropology. New York: John Wiley & Sons. Inc. Kneller, G.F. (ed.),1971. Foundations of Education. New York: John & Sons. Inc. Kroeber, A.L., 1917. “The Super Organic.” American Anthropologist XIX, p. 163-213. Manan, Imran, 1989. Antropologi Pendidikan: Suatu Pengantar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Manan, Imran, 1989. Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press. 77 Heristina Dewi, Ruang Lingkup Penyelidikan dan Pendidikan Etnomusikologi Takari, Muhammad dan Heristina Dewi, 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Tentang Penulis Heristina Dewi, dengan gelar akademik Dra. dan M.Pd., adalah Dosen Fakultas Sastra USU, di Departemen Etnomusikologi lahir pada tahun 1966 di Medan. Menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Medan. Tahun 1992 menamatkan studi sarjana seninya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, menulis skripsi dengan tema kuda kepang di Sumatera Utara. Selanjutnya tahun 2007 menamatkan studi magister pendidikan pada Jurusan Antropologi dan Sosiologi, Universitas Negeri Padang (UNP), dengan tema jaran kepang di Sumatera Utara degan pendekatan antropologis. Aktif sebagai dosen, peneliti, dan penulis. Kini menjabat sebagai Sekretaris Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan. Kantor: Jalan Universitas No. 19 Medan, 20155, telefon/fax.: (061)8215956. 78 Etnomusikologi, Nomor 9, Tahun 5, Maret 2009 ISSN: 1412-8585 DESKRIPSI TARI TAMBORIN DAN MUSIK PENGIRING PADA IBADAH RAYA GEREJA BETHEL INDONESIA (GBI) TANJUNG SARI MEDAN Hans Marpaung Sarjana Seni Alumni Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Abstract This paper will be describe of tambourine (Indonesian: tamburin) dance and musical accompaniment this dance, which use in Indonesian Bethel Chucrh/Gereja Bethel Indonesia (GBI), in Tanjungsari Medan City, North Sumara, Indonesia. This dance exist in GBI integrated with its formal ceremony. This dance always performing by woman with tambourine frame drums property. The musical instruments which use in this dance are: one iinstrument and one player electric guitar, one pianist, one keyboardist, and one drum set player. The link between dance and musical accompaniment, expressed in meter four, and the form of melody and harmony. Latar Belakang Tari tamborin36 merupakan tarian yang dilaksanakan pada ibadah 37 raya di Gereja Bethel Indonesia (GBI). Selain digunakan dalam ibadah raya, tarian tamborin biasanya juga ditarikan pada saat ibadah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani). Tarian tamborin ini masih tetap 36 Tari tamborin adalah suatu tarian yang menggunakan alat musik tamborin sebagai media untuk menari dimana tarian ini merupakan tarian yang bersifat puji-pujian kepada Tuhan. (Sabda.org., 2009) 37 Ibadah raya adalah ibadah yang diadakan pada hari minggu dan bersifat umum, ibadah raya merupakan puncak dari ibadah dari ibadah-ibadah hari sebelumnya, contohnya ibadah wanita, ibadah pemuda, ibadah tengah minggu, dan lain-lain. (wawancara dengan Pdt. J. Palempong, S.Th., Agustus 2009) Hans Marpaung, Tari Tamborin digunakan dalam setiap ibadah hingga sampai saat ini. Hal ini juga terlihat di GBI Tanjung Sari sebagai tempat lokasi penelitian. Dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan pertunjukan tari tamborin dalam konteks ibadah raya GBI (Gereja Bethel Indonesia). Ibadah raya merupakan ibadah yang diadakan setiap hari minggu. Ibadah38 ini merupakan sarana atau perkumpulan untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Ibadah raya ini mempunyai pola dan tata aturan dalam ibadahnya. Ibadah raya merupakan sesuatu yang yang penting dan wajib diadakan pada setiap minggunya. Ibadah raya ini dipimpin oleh seorang MC (Master Ceremonial) yang disebut sebagai worship leader atau pemimpin pujian dan Pendeta sebagai pengkotbah yang akan menyampaikan Firman Tuhan. Dalam ibadah raya seorang pemimpin pujian mempunyai peran penting yaitu untuk memimpin jalannya ibadah raya dengan memimpin pujian yang dinyanyikan dan diikuti oleh seluruh jemaat. Dalam ibadah raya ini mengandung unsur–unsur tata ibadah yang penting yaitu doa-doa, tari tamborin dan nyayian-nyayian rohani. Unsur-unsur tata ibadah ini merupakan proses jalannya ibadah dari awal sampai akhir ibadah. Unsur-unsur tata ibadah ini antara lain, bersalamsalaman, panggilan untuk merayakan ibadah, doa, pujian dan penyembahan (nyayian-nyayian), persembahan syukur, khotbah, doa, sakramen, doa, nyayian, persembahan syukur, warta jemaat, dan doa penutup ibadah (Samuel, 2007:109) Disebut Tari tamborin karena merupakan tari yang menggunakan alat musik tamborin (tambourine frame drums39) yang termasuk ke dalam klasifikasi alat musik membranophone sebagai media dalam menari sekaligus pencipta ritem (iringan internal). Tari ini diawali dengan 38 Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (Kamus Umum Bahasa Indonesia:1985) 39 Tambourine frame drums, frame drums consist of one or two membranes stretched over simple frame made of thin wood, the frame is usually shallow and adds little resonance when the skin is beaten, most frames are circular but order shapes are also found. Drums of this type originated in the middle east and are still common there. Many frame drums, like the popular tambourine have metal jingle attached to the rim. (Musical Instruments of The World by The Diagram Group) 80 Hans Marpaung, Tari Tamborin gerakan menepuk-nepuk kulit tamborin sesuai dengan irama dan tempo dari musik pengiringnya. Tamborin dipegang pada tangan kanan dan dimainkan sehingga muncul bunyi gemerincing dan bunyi membran tamborin akibat pukulan telapak tangan kiri. Kecepatan tarian dan pukulan pada tamborin disesuaikan dengan irama dan tempo musik pengiringnya. Tarian tamborin ini menunjukkan ungkapan ekspresi adanya rasa sukacita dan kegembiraan juga sekaligus sebagai media penyampaian rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, dimana selama satu minggu telah diberi kesehatan dan keselamatan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan informan Bapak Pdt. E. Purba, bahwa dalam ibadah raya, penyajian tari tamborin berfungsi sebagai sarana pujian dan penyembahan kepada Tuhan, dalam hal ini yaitu Tuhan Yesus Kristus.( 25 Mei 2009) Dalam pelaksanaannya penari tamborin biasanya atau pada umumnya adalah wanita dewasa berusia antara 17 sampai 30, dan selalu perempuan. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk dibawakan oleh anak-anak. Jumlah penari tidak dibatasi tergantung dari kebutuhan, dan luas altar atau panggung. Minimal 2 penari, sampai ratusan penari tamborin tergantung kebutuhan. (Wawancara dengan Rey Situmeang, Agustus 2009) Dalam Ibadah Raya di gereja biasanya minimal dua sampai puluhan orang. Sedangkan dalam KKR dan ibadah Natal Gabungan yang dilaksanakan di stadion atau lapangan yang luas, biasanya terdiri dari pulusan bahkan sampai ratusan penari tamborin. Sedangkan dalam Lokasi penelitian penulis, jumlah penari terdiri dari 4 sampai 5 orang. Hal ini, sesuai dengan luas altar panggung dan kebutuhan ibadah di GBI Tanjung Sari. Dalam menarikan tari tamborin, lebih diutamakan gerakan tangan dibandingkan dengan gerakan kaki. Gerakan kaki dilakukan dengan cara melangkah, dimana gerakan kaki ini berupa langkah memutar, langkah kiri, langkah kekanan, kedepan maupun kebelakang. Dalam sebuah komposisi kelompok, setiap pola rangkaian gerakan dapat dilakukan secara serempak, berimbang, berseling–seling, terpecah– pecah dan berurutan; dengan pola lantai yang dapat dibuat tetap di tempat 81 Hans Marpaung, Tari Tamborin atau berpindah–pindah tempat (Sal Murgiyanto 1972:39). Dalam hal ini tari tamborin merupakan tarian yang dilakukan dengan gerakan yang serempak dengan pola lantai yang tetap. Tari tamborin ini biasanya dilaksanakan setelah pemimpin pujian berdoa untuk memulai kebaktian. Tarian tamborin ini dilaksanakan dalam suasana ibadah yang terdiri dari Pujian dan Penyembahan. Pujian adalah penyampaian ungkapan syukur melalui nyanyian dengan suasana yang gembira dan riang dan biasanya lagu yang dinyanyikan bertempo cepat. Sedangkan penyembahan adalah nyanyian yang bertempo lambat. Tari tamborin merupakan tari yang berfungsi sebagai sarana pendukung pelaksaaan tata ibadah pujian dan penyembahan40 kepada Tuhan. Dalam pelaksanaannya para penari harus benar-benar mengerti dan bisa menghayati hal–hal yang terkandung pada tarian tersebut agar tari yang disajikan dapat membuat jemaat ikut merasakan sukacita dalam tarian tersebut. Dengan demikian tari tamborin merupakan suatu tarian yang bersifat tari dramatik yang tidak berdialog sehingga diharapkan dari gerakan tari itu saja sudah cukup untuk mewakili isi dan tema dari tarian tersebut41. Proses penyajian tari tamborin tidak berdiri sendiri, karena selalu mengikuti nyanyian yang dilantunkan oleh jemaat dan dipimpin oleh seorang Pemimpin Pujian (Worship Leader). Disamping itu harus diiringi musik, alat musik pengiringnya yaitu terdiri dari drum set, gitar elektrik, bass elektrik, keyboard dan piano elektrik (pengiring eksternal). Dalam penyajian tari tamborin, musik pengiring berperan penting karena menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan. Dengan demikian penulis melihat ada hubungan antara tari tamborin dan musik penggiring. Perpaduan tari tamborin dan musik pengiring merupakan sesuatu hal yang sama sama saling mempengaruhi. Biasanya gerakan tari tamborin sejalan dengan tempo musik, jika musik yang dimainkan 40 Menurut fungsinya, tari-tarian Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok tari upacara, kelompok tari bergembira atau tari pergaulan yang sering disebut tari sosial, dan kelompok tari teatrikal atau tari tontonan (Soedarsono, 1972:96) 41 Bahwa jenis-jenis tari ada didasarkan pada pola gerak, fungsi, kareografi dan tema. Sedang jenis tari menurut tema terdiri dari tari dramatik dan non dramatik. Tari dramatik terbagi dua yang berdialog dan non dialog atau lebig dikenal dengan Sendratari (Suparta, 1982:38) 82 Hans Marpaung, Tari Tamborin bertempo cepat, gerakan tari juga seirama dengan musik. Demikian juga sebaliknya, ketika musik yang dimainkan bertempo lambat, maka gerakan tari juga mengikuti tempo musik tersebut. Peranan musik iringan dalam tari tamborin merupakan hal yang penting dimana musik menjadi pembentuk suasana dan juga memperjelas tekanan-tekanan gerak. Ketika lagu tersebut dimainkan, terjadi perubahan pola gerak tari tamborin untuk setiap bagian lagu yang sedang dimainkan. Contohnya, dalam sebuah lagu yang dimainkan dalam ibadah, biasanya terdiri atas beberapa bagian yaitu intro, bait, reff , interlude dan ending. Gerakan tari tamborin disesuaikan dengan pola tersebut. Dengan demikian, gerakan tari tamborin sejalan dengan musik yang dimainkan. Karena adanya penyajian tari tamborin di GBI khususnya GBI Tanjung Sari, membuat penulis tertarik mengangkatnya dalam suatu bentuk skripsi. Hal-hal di atas menarik perhatian penulis untuk meneliti dan melihat penyajian tari tamborin ini dalam suatu ibadah raya GBI. Dimana semua komponen termasuk tari, musik, perlengkapan serta persiapan yang dilakukan serta hal–hal yang mendukung pertunjukan menjadi bahan penelitian yang menarik untuk dibahas. Untuk itu penulis akan meneliti dan membahas tulisan ini untuk dijadikan skripsi dengan judul : Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis perlu menentukan hal-hal yang menjadi pokok permasalahan yaitu: 1. Bagaimana penyajian tari tamborin pada pada ibadah raya GBI Tanjung Sari Medan 2. Perlengkapan apa saja yang diperlukan dalam mendukung pertunjukan tari tamborin pada ibadah raya GBI Tanjung Sari Medan 3. Bagaimana fungsi tari tamborin dalam ibadah raya GBI Tanjung Sari Medan dan deskripsi musik pengiring. Teori Teori adalah salah satu acuan yang digunakan untuk menjawab masalah-masalah yang timbul dalam tulisan ini. Dengan pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh suatu 83 Hans Marpaung, Tari Tamborin teori-teori yang bersangkutan (Koentjara-ningrat 1983 : 30). Koentjaraningrat (1985:243) juga mengatakan bahwa komponen upacara ada empat yaitu tempat upacara, saat upacara, benda-benda dan alat upacara, serta orang yang melakukan dan memimpin upacara. Melihat teori di atas bahwa tari tamborin merupakan tarian yang terdapat dalam ibadah raya. Tarian ini mempunyai waktu dan tempat yang disediakan dalam ibadah, beberapa orang penari dan pemusik yang mengiringi tarian, dan jemaat dalam ibadah. Pada ibadah raya ini ibadah dipimpin oleh seorang pemimpin pujian atau disebut worship leader. Seorang pemimpin pujian akan mengorganisir jalannya ibadah. Pembahasan fungsi yang lebih luas menyangkut fungsi tari tamborin pada ibadah Gereja Bethel Indonesia (GBI), penulis juga mengutip teori Soedarsono yang mengatakan bahwa secara garis besar fungsi seni pertunjukan dalam kehidupan manusia dikelompokkan menjadi 3 yaitu, (1) seni sebagai sarana ritual, penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata, (2) seni sebagai sarana hiburan pribadi, penikmatnya adalah pribadi-pribadi yang melibatkan diri dalam pertunjukan, dan (3) seni sebagai presentasi estetis, yang pertunjukannya harus dipersentasikan atau disajikan kepada penonton (Soedarsono, 1999:170). Penggunaan teori yang disampaikan oleh R.M Soedarsono, penulis terapkan hanya pada pendapat pertama. Pendapat pertama yaitu tari tamborin sebagai sarana ritual. Bila ditinjau pendapat dari Soedarsono maka dapat kita lihat bahwa tarian ini merupakan bagian dari kegiatan ritual keagamaan, dimana dalam hal ini tari tamborin merupakan salah satu bagian dari ibadah. Jemaat menyakini adanya kehadiran Tuhan dalam ibadah ini untuk bersekutu. Sehingga jemaat memuji dan menyembah Tuhan dengan nyayiannyayian, doa-doa dan tarian, dengan harapan adanya berkat dari Tuhan. Berkenaan dengan fungsi musik, menurut Alan P. Merriam terdapat sekurang-kurangnya sepuluh fungsi musik, yaitu : (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetika, (3)fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (8) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian 84 Hans Marpaung, Tari Tamborin masyarakat (Merriam, 1964:219-226). Dengan melihat kesepuluh fungsi musik di atas, maka musik pengiring tari tamborin digolongkan ke dalam fungsi pengungkapan emosional, fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, fungsi pengintegrasian masyarakat, fungsi komunikasi dan fungsi reaksi jasmani. Untuk menggambarkan makna yang terkandung pada pertunjukan tari tamborin, penulis menggunakan pendekatan yang dikatakan Soedarsono (1972:81-98) yang mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan ini memiliki hal-hal yang indah dan menggetarkan perasaan manusia, yang di dalamnya mengandung maksud tertentu dan juga mengandung maksud simbolis yang sukar untuk dimengerti. Dalam meneliti gerak tari tamborin tersebut terdapat teori Notasi Laban (Edi Sedyawati, 2006:298) yang membahas secara detail bentuk dan polanya, mengingat penulis tidak sanggup secara detail untuk menotasikan gerak tari pada teori Notasi Laban, maka dalam tulisan ini penulis akan menggunakan lambang–lambang umum dan sederhana yang dapat mewakilkan pola gerak tari tamborin dengan teori kineosiologi. Teori kenesiologi adalah ilmu yang mempelajari gerak. Fokus dari teori kinesiologi ini adalah membahas fungsi dan gerak tubuh. Hubungan musik dan tari adalah suatu fenomena yang berbeda tetapi dapat juga digabungkan dengan aspek yang mendukung. Musik merupakan rangkaian ritme dan nada sedangkan tarian adalah rangkaian gerak, ritme dan ruang, dimana fenomena keduanya merupakan suatu yang berlawanan, yang mana musik merupakan fenomena yang terdengar tapi tidak terlihat dan tarian merupakan fenomena yang terlihat tapi tidak terdengar (Wimbrayardi 1999:9-10) Untuk melakukan analisis musikal terhadap tari penulis menggunakan teori yang diungkapkan Nettl (1964:145) dalam menganalisis bunyi musikal hal-hal yang terpenting dilakukan adalah melihat aspek ritem, melodi dan musik. Kemudian Malm (1977:15), menyebutkan bahwa beberapa bagian penting yang harus diperhatikan dalam menganalisis melodi adalah: (1) scale (tangga nada); (2) pitcher center (nada pusat); (3) range tone (wilayah nada); (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6) pola cadensa; (7) formula melodi; (8) kantur. 85 Hans Marpaung, Tari Tamborin Sejarah Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gereja Bethel Indonesia, disingkat GBI, adalah salah satu sinode gereja besar di Indonesia yang bernaung di bawah PGI (Persekutuan Gereja Indonesia). Selain itu GBI juga merupakan anggota dari Dewan Pentakosta Indonesia (DPI) dan Persekutuan Injil Indonesia (PII). Pada tahun 1922, Pendeta W.H. Offiler dari Bethel Pentecostal Temple Inc., Seattle,Washington Amerika Serikat, mengutus dua orang misionarisnya ke Indonesia, yaitu Pdt. Van Klaveren dan Groesbeek. Ke dua missionaris ini adalah orang Amerika keturunan Belanda. Sesudah tiba di Indonesia, tujuan awal kedatangan mereka untuk memberitakan Injil di Bali, tetapi kemudian pindah ke Cepu, Jawa Tengah. Di kota ini mereka bertemu dengan F.G. Van Gessel, seorang Kristen Injil yang bekerja pada perusahaan minyak Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Van Gessel pada tahun sebelumnya telah bertobat dan menerima hidup baru dalam kebaktian Vrije Evangelisatie Bond yang dipimpin oleh Pdt. C.H.Hoekendijk (ayah dari Karel Hoekendjik). Groosbeek kemudian menetap di Cepu dan mengadakan kebaktian bersama-sama dengan Van Gessel. Sementara itu, Van Klaveren pindah ke Lawang, Jawa Timur. Januari 1923, Nyonya Van Gessel sebagai wanita yang pertama di Indonesia yang menerima Baptisan Roh Kudus dan demikian pula dengan suaminya beberapa bulan setelahnya. Tanggal 30 Maret 1923, pada hari raya Jumat Agung, Groesbeek mengundang Pdt. J. Thiessen dan Weenink Van Loon dari Bandung dalam rangka pelayanan baptisan air pertama kalinya di Jemaat Cepu ini. Pada hari itu, lima belas jiwa baru dibaptiskan. Dalam kebaktian-kebaktian berikutnya, bertambah-tambah lagi jemaat yang menerima Baptisan Roh Kudus, banyak orang sakit mengalami kesembuhan secara mujizat. Karunia-karunia Roh Kudus dinyatakan dengan ajaib di tengah-tengah jemaat itu. Inilah permulaan dari gerakan Pentakosta di Indonesia. Keempat orang ini yaitu Van Klaveren, Groesbeek, Van Gessel, dan Pdt. J. Thiessen merupakan pionir dari "Gerakan Pentakosta" di Indonesia. Sesudah itu, tak lama kemudian Groesbeek pindah ke 86 Hans Marpaung, Tari Tamborin Surabaya, sedangkan Van Gessel telah menjadi Evangelis yang meneruskan memimpin Jemaat Cepu. April 1926, Groesbeek dan Van Klaveren berpindah lagi ke Batavia (Jakarta). Sementara Van Gessel meletakkan jabatannya sebagai pegawai tinggi di BPM dan pindah ke Surabaya untuk memimpin Jemaat Surabaya. Jemaat yang dipimpin Van Gessel itu bertumbuh dan berkembang pesat dengan membuka cabang-cabang dimana-mana, sehingga mendapat pengakuan Pemerintah Hindia Belanda dengan nama “De Pinksterkerk in Indonesia” (sekarang GPdI). Pada 1932, Jemaat di Surabaya ini membangun gedung Gereja dengan kapasitas 1.000 tempat duduk (gereja yang terbesar di Surabaya pada waktu itu). Tahun 1935, Van Gessel mulai meluaskan pelajaran Alkitab yang disebutnya “Studi Tabernakel”. Melihat pesatnya perkembangan gereja yang telah dirintis oleh Van Gessel, Gereja Bethel Pentecostal Temple Seattle, kemudian mengutus beberapa misionaris lagi. Satu diantaranya yaitu, W.W. Patterson yang membuka Sekolah Akitab di Surabaya (NIBI: Netherlands Indies Bible Institute). Sesudah Perang Dunia II, para misionaris itu melanjutkan pelayanan kembali dengan membuka Sekolah Alkitab di berbagai tempat. Sesudah selesai perang melawan agresi militer Belanda di Indonesia, maka pimpinan gereja harus diserahkan kepada orang Indonesia. Pada saat itulah H.N. Rungkat terpilih sebagai ketua GPdI menggantikan Van Gessel. Alasan yang menyebabkan terjadinya perpindahan tampuk pimpinan di sebabkan pada saat itu, jemaat gereja yang seharusnya menjaga jarak dari sikap politik yang terpecah belah terjebak dalam nasionalisme yang tengah berkobar-kobar dalam menghadapi penjajahan Belanda. Akibatnya roh nasionalisme meliputi suasana kebaktian dalam gereja-gereja Pentakosta. Van Gessel menyadari bahwa ia tidak bisa lagi bertindak sebagai pemimpin. Dan menyerahkan tampuk pimpinan kepada H.N. Rungkat. Kondisi rohani Gereja Pentakosta disaat itu yang sedang tidak kondusif menyebabkan ketidakpuasan disebagian kalangan pendetapendeta GPdI. Ketidakpuasan ini juga ditambah lagi dengan kekuasaan otoriter dari Pengurus Pusat Gereja. Akibatnya, sekelompok pendeta yang 87 Hans Marpaung, Tari Tamborin terdiri dari 22 orang, memisahkan diri dari Organisasi Gereja Pentakosta, diantaranya adalah Pdt. H.L. Senduk. Pada tanggal 21 Januari 1952, di kota Surabaya, mereka kemudian membentuk suatu organisasi gereja baru yang bernama Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS). Van Gessel dipilih menjadi “Pemimpin Rohani” dan H.L Senduk ditunjuk menjadi “Pemimpin Organisasi” (Ketua Badan Penghubung). H.L. Senduk berperan sebagai Pendeta dari jemaat yang ada di Jakarta, sedangkan Van Gessel pimpinan seluruh jemaat yang ada di Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1954, Van Gessel meninggalkan Indonesia dan pindah ke Irian Jaya (waktu itu di bawah Pemerintahan Belanda). Jemaat Surabaya diserahkannya kepada menantunya, Pdt. C. Totays. Di Hollandia (sekarang Jayapura). Van Gessel membentuk suatu organisasi baru yang bernama Bethel Pinkesterkerk (sekarang Gereja Bethel Pentakosta). Van Gessel kemudian meninggal dunia pada tahun 1957 dan kepemimpinan Jemaat Bethel Pinkesterkerk diteruskan oleh Pdt. C. Totays. Pada tahun 1962, sesudah Irian Jaya diserahkan kembali kepada Pemerintah Indonesia, maka semua warga negara Kerajaan Belanda harus kembali ke negerinya. Jemaat berbahasa Belanda di Hollandia ditutup, tetapi jemaat-jemaat berbahasa Indonesia berjalan terus di bawah pimpinan pendeta-pendeta Indonesia. Roda sejarah berputar terus, dan GBIS di bawah pimpinan H.L. Senduk berkembang dengan pesat. Bermacam-macam kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi organisasi ini. Namun semakin besarnya organisasi, begitu banyak kepentingan yang harus diakomodasi. Pada 1968-1969, kepemimpinan Senduk di GBIS diambil alih oleh pihak-pihak lain yang disokong suatu keputusan Menteri Agama. H.L. Senduk dan pendukungnya memisahkan diri dari organisasi GBIS. Pada tanggal 6 Oktober 1970, H.L. Senduk dan rekan-rekannya membentuk sebuah organisasi Gereja baru bernama Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan diakui sebagai suatu agama yang berhak hidup dan berkembang di bumi Indonesia. Gereja ini diakui oleh Pemerintah secara resmi melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 41 tanggal 9 Desember 1972. 88 Hans Marpaung, Tari Tamborin Pada tahun 1972, Pdt H.L.Senduk memanggil anak rohaninya, Pdt S.J. Mesach dan Pdt Olly Mesach untuk membantu pelayanan di GBI Jemaat Petamburan. Saat itu, Pdt S.J. Mesach telah menjadi Gembala Sidang GBI Jemaat Sukabumi, yang telah dilayaninya sejak tahun 1963. Pada awalnya GBI memiliki jemaat dengan jumlah 20 orang jemaat ,yang kemudian berkembang hingga saat ini jumlah jemaat GBI mencapai sekitar ratusan ribu jemaat yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air dan Luar Negeri. Pada saat ini, Pdt H.L. Senduk melayani GBI Jemaat Petamburan dibantu oleh istrinya Pdt Helen Theska Senduk, dan Pdt Thio Tjong Koan serta Pdt Harun Sutanto. (sumber www.wikipedia.org) Sejarah GBI Tanjung Sari Medan GBI Tanjung Sari Medan adalah sebuah gereja yang berada dalam Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI), yang merupakan anggota dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Dewan Pentakosta Indonesia (DPI), dan Persekutuan Injili Indonesia (PII). Gereja Bethel Indonesia (GBI) T. Sari merupakan salah satu organisasi gereja yang ada di kota Medan. Gereja Bethel Indonesia terletak di Jl. Setia Budi Medan. Gereja Bethel Indonesia (GBI) T. Sari didirikan dan diprakarsai oleh Bpk. Pdt. E. Purba. Bpk. Pdt. E. Purba adalah sebagai pimpinan dari Gereja Bethel Indonesia (GBI) T. Sari. Gereja ini berdiri semenjak tahun 2001 sampai dengan sekarang. Gereja ini diakui keberadaannya oleh Departemen Agama Indonesia. Ibadah raya di gereja ini dilaksanakan dengan dua sesi, sesi pertama pukul 08.00 wib dan ibadah kedua pada pukul 10.00 wib. Selain ibadah raya terdapat ibadah lainnya, yaitu ibadah tengah minggu yang diadakan pada hari rabu pukul 20.00 wib, ibadah pemuda yang diadakan pada hari sabtu pukul 19.00 wib. Sistem Tata Ibadah Sistem tata ibadah merupakan sistematika jalannya acara pada ibadah raya. Adapun sistem tata ibadah dalam Gereja Bethel Indonesia (GBI) adalah sebagai berikut: (a) Pra Ibadah terdiri dari: 89 Hans Marpaung, Tari Tamborin 1. Panggilan untuk merayakan ibadah/Ucapan selamat datang Sesudah masuk gereja dan waktu ibadah akan segera dimulai, maka pemimpin pujian naik ke altar. Panggilan merayakan ibadah dilakukan. Pemimpin pujian menyambut panggilan merayakan ibadah dengan mengucapkan selamat datang kepada semua jemaat yang telah hadir. 2. Bersalam-salaman/Fellowship Hal yang pertama sekali dilakukan adalah mengajak semua jemaat bersalaman dengan sesama anggota yang hadir. Pemimpin pujian atau worship leader mengajak jemaat untuk bersalaman dengan jemaat yang ada di dekatnya. Hal ini dilakukan adalah untuk mengakrapkan jemaat yang satu dengan jemaat yang lainnya. (b) Ibadah, yang terdiri dari: (1) Doa Pembuka Sesudah panggilan merayakan ibadah dilakukan, maka seorang pemimpin pujian memulai ibadah dengan doa pembuka. (2) Penyembahan (Worship). Seluruh Jemaat dipimpin oleh pemimpin pujian menaikkan ucapan syukur dengan membawakan lagu penyembahan. Pada saat inilah para penari tamborin tampil ke atas altar. Mereka menari mengikuti nyanyian yang dibawakan. Penyembahan42 lebih bersifat batiniah dibandingkan dengan pujian. Penyembahan berarti memasuki suatu kemesraan dengan Tuhan. Meskipun pujian maupun penyembahan memiliki sifat pewartaan, penyembahan lebih bersifat hubungan vertikal, relasi antara manusia dan Tuhan. Penyembahan melibatkan pula emosi dan perasaan yang terdalam. Bernyanyi penuh perasaan bukan berarti bernyanyi tanpa menahan diri. Teknik bernyanyi tetap perlu sebab hanya dengan bernyanyi dengan penuh perasaan dan dengan teknik bernyanyi yang baik akan dihasilkan nyanyian yang indah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pelayanan musik atau nyanyian penyembahan yang baik, yang indah, sangat penting dewasa ini: 1. Penyembahan yang indah menciptakan suasana doa. Bene cantat bis orat: bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali. 2. Nyanyian yang indah membantu kita untuk mengarahkan hati kepada Tuhan. 42 Penyembahan (Worship) berasal dari bahasa Ibrani Shachah (dalam Perjanjian lama) yang berarti sujud merendahkan diri. Kata lainnya ialah Chaghadh yang artinya terjatuh ke dasar 90 Hans Marpaung, Tari Tamborin 3. Musik dan nyanyian yang indah meningkatkan kepekaan kita. 4. Nyanyian penyembahan yang indah menyegarkan jiwa dan bisa membawa orang kepada pertobatan. 5. Sebaliknya, nyanyian yang sumbang dan tidak diatur hanya akan mengganggu orang lain. Contoh lagu: Bapa Engkau sungguh baik, kasihMu melimpah dihidupku Bapa kubertrimakasih berkatMu hari ini yang Kau sediakan bagiku Reff : Kunaikkan syukurku buat hari yang Kau bri Tak habis-habisnya kasih dan rahmatMu Slalu baru dan tak pernah terlambat pertolonganMu Besar setiaMu dispanjang hidupku (c) Doa. Setelah selesai penyembahan, jemaat dipimpin oleh seorang pendoa yang telah ditunjuk untuk menaikkan doa kepada Tuhan. Dalam doa ini meminta agar jalannya kebaktian ibadah raya berjalan dengan lancar. (d) Puji-pujian (Praise). Puji-pujian adalah salah satu unsur yang kuat dalam ibadah raya. Dalam ibadah ini jemaat yang dipimpin pemimpin pujian menyayikan lagu-lagu yang diiringi oleh musik pengiring. Nyanyian yang dipanjatkan bersifat gembira, dimana tujuan dari puji-pujian adalah sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah meberikan keselamatan selama satu minggu penuh. Dalam Ibadah pujian ini biasanya pemimpin pujian dan team musik mengajak semua jemaat untuk bernyanyi dengan gerakan tubuh yang ekspresif seperti bertepuk tangan, menari, mengangkat tangan dan lain sebagainya. Pada saat inilah tarian tamborin dipertunjukkan. Pujian biasanya bersifat gembira dan dalam pujian seluruh jemaat bersorak-sorai serta bersukacita memuliakan, memuji kebaikan serta bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus. Didalam pujian terkandung suatu unsur pewartaan atau pemberitaan kebaikan yang telah dilakukan Tuhan Yesus Kristus kepada umat manusia 91 Hans Marpaung, Tari Tamborin Dalam pujian yang benar harus memiliki unsur-unsur berikut: sukacita (senyum), semangat, dan antusiasme43 (enthusiasm). Pujian yang keluar dari lubuk hati yang terdalam mengandung antusiasme dan semangat untuk mencintai Tuhan yang tidak mungkin dapat ditutuptutupi. Antusiasme disini tidak berarti bersikap sembrono dan liar. Dalam memuji Tuhan suasana dan sikap jemaat tidak seperti menghadiri suatu konser musik rock. Ada kaidah dan aturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan suasana yang mendatangkan kekacauan. Contoh lagu yang dibawakan dalam puji-pujian dapat dilihat sebagai berikut. Sgala Puji Syukur hanya bagiMu Tuhan Sebab Engkau layak di puji Kami mau bersorak tinggikan namaMu Tuhan Haleluya ,,, Reff: Soraklah Haleluya, soraklah Haleluya, Haleluya Soraklah Haleluya, soraklah Haleluya, Haleluya (e) Persembahan syukur/Mengumpulkan Persembahan. Persembahan adalah merupakan salah satu bentuk ibadah. Dalam pengumpulan persembahan disertai dengan nyayian dan jemaat mengikuti secara bersama-sama. Sesudah selesai mengumpulkan persembahan, maka dinaikkan doa persembahan oleh pemimpin pujian sekaligus doa untuk menyambut penyampaian Firman Tuhan (f) Pembacaan dan penyampaian Firman/Khotbah. Pada sesi ibadah ini seorang pendeta akan berdoa dan berkhotbah untuk semua jemaat yang ada. Dimana khotbah yang disampaikan oleh pendeta sifatnya membangun dan menghibur juga menguatkan seluruh jemaat. Sehingga jemaat merasa mendapat kekuatan dan pencerahan sehingga dapat lebih siap untuk menjalani kegiatan untuk hari-hari selanjutnya. Biasanya durasi waktu untuk mendengarkan kotbah adalah antara 30 sampai 45 menit. Pada saat sesi khotbah seluruh petugas ibadah seperti pemimpin pujian,penyanyi latar, pemain tamborin dan pemain musik beristirahat. 43 antusiasme dalam bahasa inggris enthusiasm yang berarti semangat yang besar, kegairahan, kegembiraan yang besar. 92 Hans Marpaung, Tari Tamborin (g) Persembahan Ayukur dan Warta Jemaat. Sudah pendeta selesai berkotbah, dilaksanakan persembahan syukur. Biasanya persembahan syukur berbentuk uang yang dikumpulkan ke dalam kantong persembahan. oleh petugas. Persembahan syukur merupakan pengumpulan kantong persembahan dari para jemaat yang ada untuk keperluan pelayanan seperti penginjilan dan sosial serta keperluan administrasi gereja. Setelah itu maka seorang petugas yang telah ditunjuk sebelumnya, tampil ke depan dan membacakan warta jemaat atau pengumuman tentang aktifitas gereja yang yang sudah selesai dilakukan serta mengumumkan apa-apa saja kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu minggu ke depan. Dengan mendengar pengumuman ini, semua jemaat akan tau apa saja kegiatan yang akan dilaksanakan dalam gereja tersebut. (h) Sakramen, doa umum/doa syafaat dan doa khusus untuk individuindividu Pada akhir ibadah pendeta akan berdoa bagi jemaat. dimana pendeta, mendoakan agar semua jemaat diberkati dan dilindungi agar dapat berkumpul kembali untuk beribadah. Pendeta juga mendoakan bangsa dan negara agar pemerintahan Indonesia berjalan dengan baik. Akhirnya pendeta menutup ibadah dengan doa berkat semoga seluruh jemaat pulang dengan membawa damai sejahtera. Setelah doa selesai, seluruh jemaat bersalam-salaman satu dengan yang lain menandakan ibadah telah usai serta jemaat sudah dapat meninggalkan tempat ibadah. Biasanya acara salam-salaman ini juga diiringi dengan nyanyian pujian. (Samuel, Wlfred J, 2007:109) (Wawancara dengan Bpk. Pdt. E. Purba November 2009) Sistem Agama dan Kepercayaan Gereja Bethel Indonesia (GBI) merupakan penganut agama kristen. Agama Kristen adalah sebuah kepercayaan yang berdasar pada ajaran, hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus atau Isa Almasih. Agama ini meyakini Yesus Kristus adalah Tuhan dan Mesias, juru selamat bagi seluruh umat manusia, yang menebus manusia dari dosa. Yang beribadah di gereja dan menggunakan Kitab Suci Alkitab. Agama Kristen termasuk salah satu dari agama Abrahamik yang berdasarkan hidup, ajaran, kematian dengan penyaliban, kebangkitan, dan 93 Hans Marpaung, Tari Tamborin kenaikan Yesus dari Nazaret ke surga, sebagaimana dijelaskan dalam Perjanjian Baru, umat Kristen meyakini bahwa Yesus adalah Mesias yang dinubuatkan dalam dari Perjanjian Lama (atau Kitab suci Yahudi). Kekristenan adalah monoteisme, yang percaya akan tiga pribadi (secara teknis dalam bahasa Yunani hypostasis) Tuhan atau Tritunggal. Tritunggal dipertegas pertama kali pada Konsili Nicea Pertama (325) yang dihimpun oleh Kaisar Romawi Konstantin I. Pemeluk agama Kristen mengimani bahwa Yesus Kristus atau Isa Almasih adalah Tuhan dan Juru Selamat, dan memegang ajaran yang disampaikan Yesus Kristus. Dalam kepercayaan Kristen, Yesus Kristus adalah pendiri jemaat (gereja) dan kepemimpinan gereja yang abadi. Umat Kristen juga percaya bahwa Yesus Kristus akan datang pada kedua kalinya sebagai Raja dan Hakim akan dunia ini. Sebagaimana agama Yahudi, mereka menjunjung ajaran moral yang tertulis dalam Sepuluh Perintah Tuhan. Gereja Bethel Indonesia (GBI) menganut aliran kharismatik44. Aliran kharismatik dikenal juga dengan nama “Gerakan Pentakostal Baru”. Dengan demikian jelaslah bahwa gerakan kharismatik berpangkal pada gerakan Pentakostal. Ciri utama yang menunjukkan bahwa gerakan kharismatik berpangkal dan mirip dengan gerakan Pentakostal ialah, keduanya memberi tekanan pada “Baptisan Roh” dan “Penyembuhan Ilahi”. Cikal bakal Gerakan kharismatik ini adalah sebuah organisasi para pengusaha Kristen yang bernama The Full Gospel Business Men’s Fellowship (FGBMF), yang dibentuk oleh Demos Shakarian, seorang milyuner di kota California, Amerika Serikat. Sejak semula kalangan FGBMF sudah menggunakan nama “Persekutuan Kharismatik” untuk pertemuan-pertemuan mereka. 44 “Kharismatik”, istilah-istilah ini menjelaskan suatu suatu pribadi, teologi, atau kelompok yang menyukai pengadopsian dan pelaksanaan praktek-praktek, idiologi, dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Gerakan Roh. Secara etimologis (asal kata), istilah “kharismatik” merupakan suatu perkembangan dari istilah alkitabiah Yunani “kharismata”, yang dipakai untuk karunia-karunia rohani (Rm. 1:11, 12:6, 1 Kor.12:4, 9, 28, 30, dan ! Ptr. 4:10). (Wilfred J. Samuel, 1997:3) 94 Hans Marpaung, Tari Tamborin Suatu peristiwa yang sering diacu sebagai awal kemunculan gerakan Kharismatik ini ialah peristiwa yang terjadi di lingkungan Gereja Episkopal di sekitar kota Los Angeles-California, pada tahun 1959. Dalam peristiwa tersebut sepasang suami-istri yang masih muda, John dan Joan Baker, menerima Baptisan Roh disertai tanda berbahasa lidah, setelah bersentuhan dengan kalangan Pentakostal. Segera menyusul 10 orang lagi, lalu mereka berhimpun mengadakan kebaktian sendiri. Peristiwa ini (Baptisan Roh) kemudian dialami pula oleh jemaat-jemaat Episkopal di sekitarnya, dan mengakibatkan api kharismatik menyulut kobaran dimana-mana. (sumber www.wikipedia.org) Sejarah Singkat Perkembangan Kristen di Dunia Gereja Katolik dipimpin oleh satu tampuk pimpinan yang disebut Paus, sementara Gereja Ortodoks menyerahkan kepemimpinan di tangan para bishop atau patriark; pandangan tentang Roh Kudus juga berbeda Gereja Katolik tetap berperan penting hingga abad pertengahan. Berpusat di Roma, Paus memegang kekuasaan tertinggi, yang melampaui kekuasaan raja dan ratu. Namun sejak akhir abad keempat belas mulailah timbul tantangan terhadap kekuasaan Paus yang begitu besar. Timbullah gerakan reformasi yang dimulai Lollards dan Hussites; gerakan ini berubah menjadi ancaman serius terhadap supremasi Gereja Katolik ketika tahun 1617, seorang imam bernama Martin Luther menentang keras penjualan surat aflat oleh gereja. Dia lalu menolak supremasi Paus, menyangkal transubstanti-ation, serta mendorong para bangsawan Jerman untuk membe-rontak dan memisahkan kekuasaan mereka. Para bangsawan, yang sebelumnya terdisilusi dengan kontrol oleh Gereja dan Paus, membutuhkan sedikit dorongan dan banyak di antara mereka segera bergabung dengan Martin Luther. Tindakan Luther merupakan awal tumbuhnya berbagai sekte yang didasari kepada doktrin pokok Luther namun berkembang sesuai dengan jalan yang ditempuh masing-masing sekte. Pandangan Luther mendapat formalisasi dalam Gereja Lutheran yang tumbuh subur di Jerman, Skandinavia dan Amerika. Namun Luther pun bertentangan 95 Hans Marpaung, Tari Tamborin dengan bekas sekutunya menentang Paus. Salah satu bekas pendukungnya, Zwingli, mengembangkan pandangan Eukaristi yang menyebabkan Luther dan Zwingli berpisah. Pengaruh Reformasi menyebar ke seluruh Eropa. Pembaharu yang lain, John Calvin, memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma tahun 1533. Pandangannya hampir sama dengan Luther, namun dia yakin akan adanya karunia tertentu untuk kelompok tertentu. Pengikut Calvin menyebar di Jerman, Negeri Belanda, Skotlandia, Swiss, Amerika Utara dan cukup berpengaruh di Inggris. Inggris juga mengikuti anjuran para pembaharu namun dengan motif yang agak berbeda. Tahun 1521 Raja Henry VIII telah mengeluarkan suatu traktat yang menyerang Luther yang menyebabkan dia mendapat titel 'Pembela Iman" dari Paus. Akan tetapi Raja Henry VIII sangat ingin menikahi putri Anne Boleyn namun sebelum bisa menikahi Anne, dia harus menceraikan Catherine of Aragon. Sayangnya Paus tidak merestui perce-raian itu (Roma dipengaruhi oleh saudara-saudara Catherine yang ada di Spanyol, negeri asal Catherine) dan Henry terpaksa mengabaikan kekuasaan Paus pada tahun 1534. Lalu dia menyatakan dirinya sebagai kepala Gereja Inggris, dan dapat membatalkan perkawinannya dengan Catherine. Ajaran "Tiga puluh sembilan pasal," yang menyangkut hal-hal yang kontro-versial serta mengungkapkan bagaimana kedudukan Gereja Inggris mengenai masalah perceraian tersebut, dikeluarkan tahun 1571 selama pemerintahan Ratu Elizabeth I, anak perem-puan Henry. Gereja Inggris mengakui kerajaan sebagai kepala gereja, bukan Paus, juga menolak transubstantiation, meniadakan biara serta menggantikan bahasa Latin dengan bahasa Inggris untuk dipakai di Gereja. Namun reaksi terhadap Roma masih belum mencapai bentuknya yang paling ekstrim. Dalam abad ketujuh belas, George Fox, dari Leicestershire (Inggris), mulai menyebarkan ajaran bahwa manusia dapat berhubungan dengan Tuhan tanpa melakukan suatu 'hiasan' (upacara) ritualis yang ditetapkan oleh gereja-gereja Katolik, dan bahwa gereja-gereja yang telah diperbaharui belum cukup jauh melangkah dalam penolakan mereka terhadap upacara dan hierarki 96 Hans Marpaung, Tari Tamborin gerejawi. Seorang kristen, menurut George Fox tidak membutuhkan imam atau pendeta/pastor, dan juga tidak membutuhkan bait suci. Tidak ada gunanya ketujuh sakramen Gereja Katolik; tidak dibutuhkan suatu sakramen apa pun. Fox lalu mulai menyebarkan ajarannya dan melakukan berbagai perjalanan ke daerah-daerah pedalaman. Pada umumnya, saat berdirinya gerakan Fox ini dianggap terjadi pada tahun 1652, yakni saat terjadinya kebaktiannya yang sangat berhasil untuk pertama kalinya. Pengikutnya disebut "Quakers," atau "Perkumpulan Sahabat-sahabat." Sampai sekarang juga mereka tidak mempunyai bait suci kecuali rumah-rumah kebaktian, dan dalam kebaktian mereka tidak ada liturgy, tetapi sebaliknya, setiap orang dapat berbicara bila mereka merasa bahwa mereka mempunyai sesuatu yang bermanfaat untuk diutarakan, tanpa memperhatikan atau mempedulikan berapa usia yang mau berbicara tersebut dan apa kedudukannya dalam masyarakat. Berbagai perkembangan baru telah terjadi di Inggris pada periode setelah Perang Saudara. Banyak orang merasa tidak senang dengan penyatuan gereja dan negara yang dilakukan oleh Henry VIII, tetapi selama periode persemakmuran (Commonwealth period) di Inggris, mereka menjadi lega melihat bahwa kedua hal tersebut (gereja dan negara) telah dipisahkan kembali. Akan tetapi, dengan naiknya Charles II menjadi pangeran, Undang-undang Uniformitas dikeluarkan pada tahun 1662 yang memulihkan status quo tersebut dan memerintahkan semua pastor untuk menerima "Buku Doa Bersama." Imam-imam yang menolak untuk menerima (oleh karena itu disebut Non-Conformis) ketentuan-ketentuan Undang-undang ini akan dikeluarkan dari Jemaah mereka dan dianiaya. Hal ini berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Toleransi pada tahun 1689 yang memberikan mereka beberapa hak hukum (legal). Akibatnya, perkembangan Gereja Baptis dan Gereja Reformasi bersatu mengalami perkembangan cepat. Gereja Baptis, yang didirikan oleh John Smith, menganggap bahwa pembaptisan bayi adalah melawan perintah Alkitab. Hanya orang dewasa yang telah mengerti makna sumpah yang diucapkannyalah yang dapat dibaptis. Mereka juga mencoba untuk meyakinkan bahwa jemaat ikut aktif dalam 97 Hans Marpaung, Tari Tamborin perjalanan Gereja, dan mencontoh Kisah rasul-rasul dengan mengangkat deakonis dari antara jemaatnya (lihat Kisah Rasul-Rasul 6: 1-6) untuk membantu mengarahkan dan menuntun gereja tersebut. Gereja Reformasi Bersama adalah suatu koalisi dari GereJa Presbiterian Inggris (yang dikembangkan dari ajaran Calvin) dan gereja-gereja Jemaat Inggris dan Wales yang didasarkan pada ajaran-ajaran dari tokoh pembaharu lainnya yang telah menyebarkan ajarannya pada zaman Calvin, yakni Robert Browne (1550-1633). Terlepas dari pandanganpandangan mereka yang sangat sama, tetapi usaha-usaha untuk menyatukan kelompok-kelompok ini barulah berhasil pada tahun 1972 dengan pembentukan Gereja Reformasi Bersatu. Gereja Metodis pada mulanya adalah merupakan suatu gerakan dalam Gereja Inggris. Pendirinya, John Wesley (1703-1791), tetap menolak untuk berpisah dari gereja induknya. Akan tetapi, setelah kematiannya, disadari bahwa Gereja Metodis tidak dapat lagi dimasukkan dalam Gereja Inggris, dan lalu memisahkan diri pada tahun 1795. John Wesley dan saudaranya Charles, melalui studi mereka yang ketat dan metodis terhadap InJil (sehingga mereka disebut dengan nama Metodis), merasa bahwa keselamatan diperoleh hanya karena kasih dan karunia Tuhan, bukan karena suatu perbuatan atau kebaikan manusia. Menjelang akhir abad kesembilan belas, ada gelombang atau kegairahan lain mengenai perhatian keagamaan. Hal ini sebagian disebabkan penemuan-penemuan ilmiah dalam abad tersebut yang mengancam berbagai keyakinan yang hingga waktu itu telah diterima sebagai kebenaran religius yang tidak dapat dibantah (misalnya, mengenai taman firdaus dan masalah penciptaan). Dalam hal ini, reaksi dari Pencerahan (Enlightement) dalam tahun-tahun sebelumnya turut berperan. Akibatnya adalah bermunculannya banyak sekte yang memisahkan diri dari gereja induk mereka, sebagaimana yang terjadi dalam Reformasi yang memunculkan gereja-gereja yang diperbaharui yang memisahkan diri dari iman Katolik. Di Inggris, Bala Keselamatan berkembang sebagai suatu kekuatan besar, bukan saja karena ketaatan beragamanya, tetapi juga karena reformasi dan bantuan sosialnya. Di bawah kepemimpinan William Booth (1829-1912), Bala Keselamatan tersebut memisahkan 98 Hans Marpaung, Tari Tamborin diri dari gereja Metodis dalam tahun 1865 dan membentuk sendiri suatu organisasi yang bergaya militer karena kelompok tersebut menganggap dirinya sebagai laskar perang Tuhan dan memerangi ketidakadilan sosial. Dibandingkan dengan kebanyakan sekte Gereja, mereka sangat sedikit memperhatikan sakramen, walaupun mereka menerima bahwa beberapa orang Kristen mungkin melihat sakramen itu merupakan pertolongan dan bantuan. Di Amerika juga terjadi suatu gejolak keagamaan yang demikian. Pada tahun 1830, Mormon, atau Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Hari Terakhir, dibentuk oleh Joseph Smith (18051844) yang mengklaim telah mengalami suatu wahyu Tuhan, menemukan tablet-tablet emas yang tertulis dalam Buku Mormon, yakni yang merupakan kitab suci penganut Mormon. Pada mulanya ajaran Mormon ini terlarang karena pandangan-pandangan mereka yang menyimpang dari ajaran Kristen dan praktek poligami mereka, tetapi Mormon ini merayap ke seluruh Amerika dan akhirnya menetap di Salt Lake City, tempat markas mereka terletak hingga kini. Aliran spiritual mulai ada tahun 1848 ketika dua orang perempuan, yakni saudara perempuan Fox yang berumur dua belas dan lima belas tahun, menyebabkan suatu kegemparan di antara, penduduk kota mereka, Arcadia, New York State, dengan mengklaim bahwa mereka telah dapat berkomunikasi dengan roh-roh. Walaupun ada yang menyatakan bahwa suara-suara gaduh tersebut adalah suara gabungan dari suara kedua anak perempuan tersebut, tetapi mereka (penduduk kota tersebut) berkumpul sedemikian banyak mendukung supaya Gereja Spiritual didirikan. Penganut aliran Spiritual yakin, selain pada pandangan-pandangan Kristen biasa, bahwa, melalui mereka, nasihat dan tuntunan dapat diperoleh. Advent Hari Ketujuh juga mulai ada di Amerika, yang membangun reputasinya dalam tahun 1860, dan setelah itu sekte ini cepat menyebar ke seluruh dunia. Berbeda dengan sekte-sekte Kristen lainnya, mereka membuat hari ketujuh sebagai Sabat (yaitu, mereka menjalankannya seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi, dimulai dari saat matahari terbenam pada hari Jumat sampai matahari terbenam hari Sabtu). Sama seperti Gereja Baptis, mereka hanya 99 Hans Marpaung, Tari Tamborin membaptis orang-orang dewasa, dan juga membuat pembatasanpembatasan mengenai apa yang dapat dimakan dan diminum oleh jemaatnya. Misalnya, mereka tidak boleh minum alkohol dan memakan makanan kerang-kerangan. Sebelum mengakhiri ulasan ini, tiga kelompok Kristen lainnya harus disebut yakni: Christian Science, Saksi Jehova, dan gerakan Pantekosta. Christian Science didirikan oleh Mrs. Mary Baker Eddy pada tahun 1879, yang mempertahankan bahwa satu-satunya realitas hanyalah pikiran dan semua yang lainnya adalah illusi. Oleh karena itu penyakit jangan dirawat dengan obat, tetapi harus disembuhkan dengan mempraktekkan pemikiran yang benar. Saksi Jehova, yang didirikan oleh C.T. Russell, yakin bahwa kedatangan kedua kalinya Yesus serta akhir dunia ini akan terjadi dalam waktu yang tidak lama lagi, dan bila hal itu terjadi maka hanya suatu kelompok elit saja yang selamat, yaitu kelompok Saksi Jehova itu sendiri. Mereka mempunyai Alkitab dengan terjemahan mereka sendiri dan mereka menyisihkan banyak waktu, usaha, dan uang untuk kegiatan-kegiatan missionaris. Yang terakhir, yakni gerakan Pantekosta, yang bermula dari suatu missi di Los Angeles dalam tahun 1906 yang dilakukan oleh W.J. Seymour, mengajarkan bahwa setiap orang Kristen dapat mengalami kehadiran Rohul Kudus dalam diri mereka sendiri dan menerima hadiah-hadiah roh. Oleh karena itu kebaktian Pantekosta adalah merupakan upacara yang sangat emosional, di mana jemaatnya menjadi dirasuki oleh Rohul Kudus dan tampak berbicara dalam lidah (berbahasa roh), sebagaimana yang dilakukan oleh murid-murid Yesus yang pertama. Walaupun gerakan Pantekosta telah mempunyai gereja sendiri, tetapi gerakan ini telah juga mempengaruhi aspekaspek lain dari Gereja (Kristen), dan dalam GereJa Katolik gerakan tersebut juga berpengaruh dengan munculnya apa yang disebut gerakan Karismatik, orang-orang Katolik bermaksud menerima Rohul Kudus dalam diri mereka sendiri. (oleh L. Berkhof Diterjemahkan oleh: Drs. H. Thoriq A. Hindun, sumber www.google.com) 100 Hans Marpaung, Tari Tamborin Pokok-pokok Penting Ajaran 1. Pujian. Adalah luapan kegembiraan dan ucapan rasa syukur dari lubuk hati orang percaya. Hasilnya, orang tersebut memiliki kemampuan baru memuliakan Allah, sebagaimana nampak dalam lagu-lagu pujian Kharismatik yang spontan. Seperti melompat dan bertepuk tangan. 2. Penginjilan. Bagi sebagian orang hal ini mendorong mereka untuk menginjili lebih efektif lagi, sedangkan bagi sebagian orang yang lain merupakan dorongan untuk menginjili untuk pertama kalinya. Mereka memiliki kemampuan dan keberanian baru untuk berbicara kepada orang lain tentang Tuhan Yesus Kristus. Kegiatan penginjilan dapat dilakukan secara berkelompok maupun secara sendiri. Dimana tempat yang dituju biasanya adalah daerah yang jarang bahkan belum ada penginjilan. 3. Karunia-karunia Roh. Hal ini yang paling banyak disebut sebagai ciri Kharismatik hal ini sesuai dengan yang tertulis di dalam Alkitab yaitu I Korintus 12:8-10. Kendati daftar ini memuat sembilan charismata, namun karunia yang paling utama dan paling banyak dibicarakan adalah glossolalia (bahasa lidah), nubuat dan penyembuhan. 4. Kuasa Rohani. Hal ini berbicara tentang keseluruhan pandangan dan praktek gerakan Kharismatik. Kuasa Rohani terjadi setelah orang tersebut menerima Baptisan Roh. Hal ini terlihat dalam kemampuan memuji Allah, menginjili, mengusir dan mengalahkan si jahat, serta mempraktekkan karunia-karunia Roh. (sumber www.wikipedia.org) Jalan Masuk dan Perkembangannya di Indonesia Gerakan/aliran Kharismatik pertama kali masuk ke Indonesia pada bagian kedua tahun 1960-an melalui penginjil-penginjil dari Amerika Serikat dan Eropa. Dalam waktu sangat singkat gerakan ini berkembang dengan sangat pesat di Indonesia, hal ini terlihat dengan semakin pesat berkembang sehingga pengaruhnya hampir sejajar dengan Gereja yang sudah terlebih dahulu ada.. Dewasa ini hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat gereja yang beraliran Kharismatik. Gerakan/aliran ini memiliki pengaruh yang sangat besar, terutama dikalangan pemuda/mahasiswa. Selain karena semangat yang luar biasa dari para penginjilnya, “keunggulan” aliran ini 101 Hans Marpaung, Tari Tamborin terletak pada pola peribadahannya yang sangat memikat, yang ditunjang oleh musik yang ditata dengan sangat apik. Adapun ekspresi-ekspresi umum dalam sistem tata ibadah Gereja Bethel Indonesia (GBI) dapat dibagi dalam enam pengelompokakan besar, yaitu: 1. Pertama, kebiasaan atau praktek ibadah yang dihubungkan dengan gerakan tubuh. Ini mencakup wilayah kegiatan yang luas seperti mengangkat tangan, doa lantang, bertepuk tangan, menyanyi dengan berbagai ekspresi wajah, bernyanyi terus menerus untuk jangka waktu yang panjang pada awal ibadah, menari, melompat-lompat di tempat, dan sebagainya 2. Kedua, kebiasaan atau praktek ibadah yang dihubungkan dengan unsur atau kewajiban selebratif. Ini mencakup: mengulang-ulang lagu, bertepuk tangan, bernyanyi dengan keras, permainan musik seperti band, penyayi latar, tari tamborin, perpaduan “kebudayaan elektronis”, berbicara dalam bahasa lidah, musik yang keras, dan sebagainya. 3. Ketiga, kebiasaan atau praktek ibadah yang dihubungkan dengan bentuk dan dekorasi interior yang artistik. Ini akan mencakup: memisahkan bagian depan tempat ibadah untuk dipakai oleh band musik dan peralatan mereka, penggunaan spanduk dekoratif, ayat-ayat Kitab suci terpasang di dinding, sebuah altar kecil atau kadang-kadang tanpa altar, karangan bunga yang ditempatkan khusus guna menambah semarak warna, menari, dan sebagainya. 4. Keempat, kebiasaan dan praktek ibadah yang dihubungkan dengan struktur ibadah. Tata gereja pada umumnya merefleksikan keluesan, tetapi dapat juga mengandaikan suatu struktur tertentu yang bersifat tetap dan yang khusus untuk jemaat individual. 5. Kelima, kebiasaan dan praktek yang dihubungkan dengan pelayanan gerejawi. Ini mencakup: penumpangan tangan dalam gerakan yang bergetar (untuk melepaskan kuasa), doa syafaat yang keras, memproklamasikan kelepasan dalam nada yang agresif, menengking si jahat dengan nada memerintah, berbagi kesaksian, pengurapan dengan minyak dan sebagainya. 6. Keenam, kebiasaan dan praktek ibadah yang dihubungkan dengan ekspresi linguistik dan pemilihan kata-kata yang populer. Ini 102 Hans Marpaung, Tari Tamborin mencakup: (a) “Marilah kita memberikan tepukan tangan.” (b) “Marilah kita menaikkan puji-pujian.” (c) Tanggapan yang sering dengan mengucapkan “Amin” atau “Halleluya”, Atau “Puji Tuhan.” (d) “Marilah kita merayakannya” atau “Allah mengasihimu.” (e) “Angkatlah tanganmu dan sembahlah Allah.” (f) “Marilah kita menyambut Kristus di tengah-tengah kita.” (g) “Kristus hadir di tengah-tengan kita.” (h) “Kami menyambut-Mu Tuhan Roh Kudus.” (i) “Roh Kudus tengah bergerak diantara kita.”(j) “Marilah kita masuk menghadap Yang Maha kudus dengan puji-pujian.” (Samuel, Wlfred J, 1970:109) Bahasa Bahasa sebagai alat penghubung serta komunikasi bagi masyarakat pendukungnya sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan seharihari J.S. Badudu (Pelik Pelik Bahasa Indonesia 1989:3) mengatakan bahwa bahasa adalah alat penghubung bagi masyarakat individu sebagai manusia yang berpikir, merasa dan berkeinginan. Bahasa sangatlah penting dan berlaku sebagai alat komunikasi yang dapat mengungkapkan perasaaan serta pikiran seseorang terhadap orang lain dimana peran bahasa yang dapat menjalin suatu pengertian bersama diantara masyarakat pendukungnya. Secara umum bahasa yang digunakan di GBI adalah bahasa indonesia, tetapi ada sebagian yang mengunakan bahasa mandarin. Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis di tempat lokasi penelitian, bahasa yang digunakan pada ibadah raya GBI Tanjung Sari adalah bahasa Indonesia. Bahasa indonesia merupakan bahasa nasional bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa indonesia pada ibadah raya adalah dengan alasan bahwa GBI Tanjung Sari bukanlah merupakan gereja tradisional yang menggunakan bahasa suku. Dimana jemaat yang hadir bukan merupakan dominan dari salah satu suku yang ada, tetapi gabungan dari berbagai suku dan bahasa. Sehingga diperlukan suatu bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. 103 Hans Marpaung, Tari Tamborin Kesenian Ibadah dalam GBI tidak lepas dari musik maupun tarian. Unsurunsur musik baik instrumental maupun vokal dan tari telah menjadi bagian dalam ibadah raya. Musik merupakan bagian penting bagi ibadah pujian dan penyembahan, dengan adanya musik maka ibadah raya ini dapat berjalan dengan lebih baik. Dalam ibadah raya ini tarian, musik maupun nyayian vokal dari jemaat berjalan selaras pada sesi ibadah pujian dan penyembahan. Sejarah Tari Tamborin Tari tamborin merupakan bagian acara yang tidak terpisahkan dalam acara kebaktian yang ada di dalam ibadah raya Gereja Bethel Indonesia (GBI). Tari tamborin telah dimainkan di GBI sejak gereja ini mulai dibentuk. Tarian tamborin dimainkan secara berkelompok, dan menggunakan tamborin sebagai media utama. Berdasarkan wawancara dengan Intan Manullang45, tari tamborin lebih sering disajikan pada acara ibadah raya yang diadakan setiap hari minggu, selain itu tari tamborin juga disajikan pada ibadah KKR (Kebangkitan Kebangunan Rohani). Gerakan-gerakan dasar dari tari tamborin telah ditentukan dari mula dan selalu berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan jaman. Gerakan-gerakan selalu berkembang dimana dapat diperoleh dari video-video gerakan dasar tarian tamborin atau dari buku-buku yang menggambarkan gerakan tarian tamborin. Juga perubahan dapat diperoleh dari melihat tarian yang ada di televisi, atau pertunjukan tari yang lain. Biasanya ini disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Menurut Kitab Keluaran46 yang terdapat dalam perjanjian lama, disebutkan bahwa Miryam saudara perempuan Musa dan Harun lah yang 45 Hasil wawancara tanggal 2 Agustus 2009 Kitab Keluaran merupakan buku kedua kitab Taurat Musa dan jadi Perjanjian Lama atau Tanakh. Dalam bahasa Ibrani kitab ini disebut Shemoth dari kata-kata pertama Ve-eleh shemoth. Sedangkan dalam beberapa bahasa Eropa, disebut dengan nama Exodus. Kata ini diambil dari terjemahan bahasa Latin Santo Hieronimus yang mengambilnya dari Septuaginta, terjemahan bahasa Yunani. Ini artinya adalah "keluaran", dan terutama "keluaran" bangsa Yahudi dari tanah Mesir, dimana mereka diperbudak. (www.wikipedia.org) 46 104 Hans Marpaung, Tari Tamborin pertama sekali disebutkan sebagai pelopor penggunaan tamborin. Dimana pada saat itu, sesudah bangsa Israel lepas dari kejaran tentara Mesir yang mengejar mereka, maka sebagai ungkapan kegembiraan Miryam mengambil dan memukulkan rebana atau tamborin ke tangannya, sehingga seluruh perempuan Israel mengikuti apa yang barusan dilakukan oleh Miryam. Dimana seluruh perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari bagi Tuhan. Nyayian dan tarian Miryam ini menandakan kebebasan dan ungkapan syukur mereka. Tahun 1000-600 sebelum masehi ditemukan tokoh patung perempuan dari tanah liat memegang tamborin. Patung langka ini ditemukan di Megiddo47 (Sumber www.schaah.com) Asal tarian tamborin didalam masyarakat Kristen berasal dari suatu warisan / pusaka Yahudi. Tamborin merupakan salah satu bagian instrumen alat musik yang penting dalam masyarakat Yahudi, dimana tujuan aslinya untuk pujian dan pemujaan kepada Allah. Kebangkitan tarian tamborin dimulai di Inggris pada tahun 1865 oleh sepasang suami istri William Booth dan Catherine yang mendirikan sebuah lembaga yang dinamakan Salvation Army48 . Sepasang suami istri ini memelopori suatu sikap yang benar dan baru tentang melayani Tuhan. Mereka fokus dan betul-betul mengabdikan diri dalam pelayanan gereja. Hal ini terlihat dari sikap dan perbuatan yang dilakukan, Mereka memberi pakaian dan memberi makan kepada kaum yang lemah/miskin, dan yang 47 Megiddo adalah sebuah lembah di Israel didekat kota modern Megiddo. Megiddo adalah sebuah situs yang penting di dunia kuno, Megiddo adalah sebuah rute perdagangan yang menghubungkan Mesir dan Siria. Karena lokasinya yang strategis sebagai persimpangan beberapa rute besar, Meggido dan sekitarnya menjadi saksi beberapa peperangan penting dalam sejarah. Situs ini telah berdiri sejak 7000 SM sampai 500 SM. Saat ini, Megiddo adalah persimpangan jalan utama yang menghubungkan Israel pusat dengan Galilea dan wilayah bagian utara. (sumber www.wikipedia.org) 48 Bala Keselamatan (Inggris: Salvation Army) adalah salah satu denominasi di kalangan Gereja Protestan yang terkenal dengan pelayanan sosialnya. Mereka melaksanakan berbagai program seperti dapur umum untuk kaum miskin, rumah tumpangan, panti asuhan, rumah sakit, proyek-proyek pembangunan masyarakat, dll. Sehari-hari mereka mengenakan pakaian seragam dengan pangkat-pangkat kemiliteran, dari prajurit sampai jenderal. (sumber www.wikipedia.org) 105 Hans Marpaung, Tari Tamborin menderita kelaparan. Mereka juga mengajarkan Injil49 dengan semangat dan tidak kenal lelah. Salvation Army berkembang pesat dan menyebar ke berbagai negara di dunia. Salah satu misi mereka adalah mengajarkan ibadah yang benar, dimana di dalam tata ibadah yang diajarkan termasuk penggunaan tamborin di dalam ibadah kebaktian. Pada umumnya mereka memainkan tamborin dalam bentuk orkestra atau musik band. Para pemain memakai seragam dan sarung tangan yang putih. Mereka menaruh pita ditamborin yang merupakan warna dari Salvation Army yaitu merah, kuning, dan biru. Maksud atau arti simbolis warna yang merah untuk darah dari Yesus, Kuning untuk Api dari Roh Kudus, dan biru untuk kemenangan atas dosa. Salvation Army masuk ke Indonesia dengan membawa tari tamborin dalam setiap ibadah raya yang diadakan oleh mereka. Akhirnya penggunaan tari tamborin juga diikuti oleh gereja-gereja yang ada. Salah satunya adalah Gereja Bethel Indonesia. Dalam perkembangannya penggunaan tamborin dalam ibadah raya bukan hanya terjadi di gerejagereja yang berpusat di Jakarta, tetapi juga menyebar ke seluruh Gereja Betel yang ada di Indonesia. Di mana salah satunya adalah GBI Tanjung Sari. Penggunaan tamborin di GBI Tanjung Sari dimulai sejak berdirinya gereja. Ketika ditanyakan oleh penulis kepada bapak Pendeta, beliau mengatakan bahwa penggunaan tari tamborin dibuat agar anggota jemaat dapat terlibat secara langsung dalam pelayanan di gereja. Dengan mengadakan latihan tamborin, maka jemaat dapat terlibat aktif dan mendukung pengembangan pelayanan di GBI Tanjung Sari. (wawancara dengan Bpk. E. Purba, Agustus 2009) Deskripsi Tari Tamborin Penulisan tentang tari tamborin adalah dalam bentuk deskripsi. Adapun yang dimaksud deskripsi, menurut Kamus Umum Bahasa 49 Injil (Yunani: ευαγγÎλιον/euangelion - "kabar baik" atau "berita baik" atau "berita suka cita") adalah istilah yang digunakan untuk menyebut keempat kitab pertama dalam Alkitab Perjanjian Baru. Kitab-kitab tersebut adalah: Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes. Kata injil sendiri berasal dari bahasa Arab. (sumber www.wikipedia.org) 106 Hans Marpaung, Tari Tamborin Indonesia (1985:34) adalah menggambarkan apa adanya. Asal kata deskripsi, dari bahasa Inggris yaitu descriptive yang berarti bersifat menyatakan sesuatu dengan memberikan gambaran melalui kata – kata atau tulisan. Jadi dalam penulisan ini nantinya adalah memberikan gambaran dengan tulisan mengenai pertunjukan tari tamborin pada ibadah raya GBI Tanjung Sari Medan. Tari tamborin ini disajikan oleh beberapa orang wanita. Dalam tarian tamborin dibutuhkan gerakan yang sesuai dengan tempo dan irama dari musik pengiringnya. Tarian tamborin ini mengunakan media alat musik tamborin dalam menari. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan Tarian tamborin pada ibadah raya dilaksanakan di dalam gedung gereja, selain itu tarian tamborin juga biasanya dapat dilaksanakan di gedung-gedung pertemuan maupun aula dan juga lapangan terbuka. Hal ini disesuaikan dengan tujuan dari acara ibadah yang dilaksakan. Tarian tamborin pada ibadah raya yang dilaksanakan di gereja ataupun aula-aula pertemuan biasanya memiliki pangung. Sehingga terpisah dengan tempat duduk jemaat yang beribadah. Tarian tamborin dipertunjukkan di pangung, dimana para penari dapat terlihat dari semua posisi jemaat yang hadir. Biasanya mereka berdiri di depan pemimpin pujian atau di samping, sehingga tidak terganggu oleh siapapun. Dalam setiap minggunya GBI T. Sari mengadakan ibadah raya dengan dua sesi ibadah. yaitu pagi jam 08.00 Wib dan jam 10.00 Wib. Dengan demikian, tarian tamborin juga dimainkan dua kali sesuai dengan waktu ibadah yang dilaksanakan Pemain Musik Dalam setiap ibadah raya pemain musik yang dipakai berjumlah 5 orang. Dimana mempunyai tugas masing-masing. Satu orang pemain gitar elektrik, satu orang pemain bas elektrik, satu orang pemain piano, satu orang pemain kibord dan satu orang pemain drum. Semua anggota pemain musik telah berlatih mempersiapkan diri untuk ibadah raya. biasanya mereka mempunyai waktu latihan bersama di hari lain untuk melatih lagu-lagu yang akan dibawakan pada hari minggu. Mereka 107 Hans Marpaung, Tari Tamborin biasanya latihan pada hari rabu dan sabtu. Di hari sabtu, para penari tamborin ikut latihan gabungan. Agar dapat menyesuaikan gerakan tari dengan musik pengiring. Penari Penari merupakan salah satu bagian dari pendukung ibadah raya. Seorang penari harus mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk menarikan tarian tamborin di atas panggung. Dalam setiap ibadah raya di GBI T.Sari biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang penari. Banyaknya penari tergantung dari besarnya panggung yang ada. Biasanya untuk menentukan siapa yang akan tampil pada hari minggu, diadakan seleksi pada hari-hari latihan. Disini dapat dilihat bagaimana kemampuan si penari dalam berinteraksi dengan temantemannya dan juga kemampuan si penari mengikuti musik. Hal yang juga penting, dimana si penari dapat mengikuti aba-aba melalui gerakan yang dilakukan oleh pemimpin tari tamborin. Hal ini agar sesuai dengan gerakan yang sudah disepakati bersama sehingga tidak terjadi kesalahan. Dengan demikian dapat menciptakan gerakan yang indah dan enak dilihat.Dalam latihan inilah dilihat siapa saja yang dapat menguasai materi yang akan dibawakan. Sehingga ketika tampil tidak melakukan kesalahan. Proses pemilihan penari yang akan tampil, biasanya dilakukan oleh pemimpin tari tamborin. Beliau inilah yang menyeleksi siapa-siapa saja yang akan tampil. Pemimpin tamborin selalu ikut dalam setiap latihan dan juga pada ibadah raya. Seorang kapten atau pemimpin tari tamborin biasanya seorang yang paling senior dalam kelompok tersebut 108 Hans Marpaung, Tari Tamborin Gambar Penari Tamborin Unsur-unsur penting yang harus diperhatikan oleh pelayanan tari tamborin adalah: 1. Kerohanian. Setiap orang yang menjadi penari tamborin ketika tampil di panggung dalam ibadah raya haruslah orang yang punya keinginan yang tulus untuk melayani Tuhan Yesus Kristus. Maksud dari kalimat ini adalah, dia seorang yang sudah betul-betul menyerahkan hidupnya untuk melayani melalui penyajian tari tamborin. Hal ini terlihat ketika mereka memainkan tari tamborin. Ekspresi sangat penting dalam membawakan tari tamborin. Bagaimana seorang penari dapat mengekspresikan sukacita diwajahnya kalau tidak ada sukacita yang sesungguhnya dalam hatinya dan bagaimana pula seorang penari dapat menari dengan bebas dan penuh percaya diri kalau dalam hatinya tidak ada damai sejahtera Allah dan kebebasan yang total dari dendam. Hal lain yang perlu diperhatikan , bahwa seorang penari tamborin adalah jemaat tetap dari GBI T.Sari. juga ikut terlibat dan aktif dalam kegiatan yang dilaksakan dalam gereja ini. Seperti ibadah pemuda, atau kegiatan persekutuan yang lainnya. 2. Skill/ketrampilan Setiap orang yang ingin melayani dalam pelayan tari tamborin tidak harus orang yang memiliki bakat atau talenta menari. Sembilan pulah delapan persen pelayan tari adalah orang-orang awam yang sama sekali belum pernah mendapat pelatihan khusus. Semua penari dilatih dari awal sehingga menguasai seluruh gerakan tarian. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa mereka yang terlibat dalam pelayanan tari tamborin adalah orang-orang biasa yang rindu untuk terlibat dalam 109 Hans Marpaung, Tari Tamborin pelayanan. Karena itu seharusnya setiap pelayan memiliki semangat dan kemauan untuk belajar sehingga dapat menari dengan benar dan terlihat indah. 3. Fellowship/persahabatan Pelayan tari tamborin pada umumnya adalah dalam bentuk tim. Dalam tim tersebut berkumpul orang-orang yang berbeda karakter, maka perlu adanya fellowship/persekutuan dan persahabatan yang baik dan erat. Kalau di dalam team ada permusuhan dan perpecahan, akan sulit sekali untuk dapat menari dengan kompak. Bukan karena latihannya yang kurang, tapi karena ada perpecahan di dalamnya. Biasanya untuk mengakrabkan diri, pemimpin senior punya trik dan cara tersendiri. Baik itu dengan cara mengadakan tukar pendapat, ataupun mengajak melakukan kegiatan secara bersama-sama di luar acara latihan seperti jalan-jalan bersama. 4. Disiplin latihan. Pelayanan tari tamborin juga harus memiliki sikap yang disiplin. Disiplin yaitu mengikuti setiap latihan yang diadakan. Kedisiplinan sangat diperlukan untuk melatih kemampuan dan komitmen dalam melayani. Pemimpin senior mengatur kapan waktu latihan dan berapa lama waktu yang diperlukan setiap latihan. Dengan latihan yang teratur maka gerakan tarian dapat dikuasai. Jemaat Dalam ibadah raya ini kehadiran jemaat merupakan sesuatu yang sangat penting, karena tanpa adanya jemaat maka ibadah raya tidak dapat dilaksanakan. Jemaat merupakan warga dari gereja tersebut yang setiap minggunya berkumpul untuk beribadah, juga adakalanya hadir simpatisan dari jemaat gereja yang lain. Dalam penyajian tari tamborin jemaat akan bernyayi bersama-sama dengan iringan musik. Perlengkapan Pertunjukan Beberapa perlengkapan perlu dipersiapkan dalam penyajian tarian tamborin. Sehingga perlengkapan ini nantinya akan mendukung jalannya penyajian tarian tamborin pada ibadah raya. Persiapan juga harus maksimal dalam penyusunan dan penataan supaya menghasilkan tarian yang baik. 110 Hans Marpaung, Tari Tamborin Perlengkapan dalam penyajian tarian tamborin diantaranya: panggung, kostum, alat musik yang digunakan dan properti lain yang dibutuhkan. Semua perlengkapan tersebut harus diperhatikan dengan teliti agar semua berjalan dengan lancar. Perlengkapan ini juga akan saling melengkapi satu sama lain. Kostum Biasanya setiap tim tari Gereja yang satu dengan yang lain memiliki ciri khas masing-masing dan ada pengaruh selera individu di dalamnya. Standar kostum tamborin internasional adalah baju blouse tangan panjang berwarna putih dengan rok berwarna hitam sepanjang mata kaki satin ditambah penggunaan stocking. Alasan pemilihan warna ini dikarenakan warnanya lebih bersahabat dan lebih mudah didapat di toko-toko pakaian. Penari tamborin biasanya tidak memakai sepatu ketika tampil. Saat ini banyak Gereja yang memodifikasi standar tersebut dengan berbagai macam model selama masih sopan dan tidak memamerkan aurat. Hal ini juga penulis dapati di GBI T. Sari. Selama penulis menghadiri acara ibadah raya yang diadakan setiap minggunya. Ada beberapa hal yang dapat dilihat oleh penulis, yaitu: 1. Baju dan Rok. Para penari tamborin di gereja ini memakai baju lengan panjang yang berwarna putih serta memakai rok berwarna hitam sepanjang mata kaki. Tapi tidak selamanya mereka memakai kostum berwarna hitam putih. Hal ini tergantung kesepakatan bersama antara pemimpin tari tamborin dengan anggota. Adakalanya mereka memakai warna baju biru, merah dan warna lain. Ini sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat diantara mereka. Dapat disimpulkan semua warna boleh dipakai tapi warna utama adalah hitam dan putih. Alasan penggunaan warna hitam putih yaitu warna ini bersahabat dan sesuai kondisi. Karena warna ini dapat dipakai pada waktu siang dan malam. Penggunaan kostum penari memakai warna yang sama. Alasan pemilihan warna yang sama agar terlihat kompak dan enak dilihat. Penggunaan seragam bukan tergantung dari mahal atau murahnya seragam tersebut. Yang utama adalah kostum harus seragam. 2. Kaus kaki. Ketika hal ini penulis tanyakan kepada pemimpin tari tamborin, beliau mengatakan bahwa penggunaan kaos kaki supaya 111 Hans Marpaung, Tari Tamborin terlihat rapi dan wajib. Sebagai pengganti sepatu. Mereka tidak memakai sepatu supaya gerakan kaki lebih fleksibel. Juga dengan memakai kaus kaki, telapak kaki mereka tidak lecet karena bersentuhan langsung dengan lantai. Penggunaan warna kaus kaki, tidak diwajibkan warna putih, warna apapun boleh asalkan seragam diantara semua penari. 3. Ikat rambut atau ribbon. Hal yang juga menarik perhatian penulis, adalah semua penari tamborin memakai ikat rambut atau ribbon. Ketika penulis tanyakan kepada mereka, alasan yang dikemukakan adalah agar tidak mengganggu gerakan mereka dalam membawakan tari. Juga tidak gerah, karena selama menari mereka mengeluarkan keringat. Dengan mengikat rambut, mereka lebih nyaman. 4. Tata Rias. Para anaggota melakukan tata rias sendiri, biasanya mereka melakukan tata rias yang sederhana dan seadanya hal ini agar tidak terlalu mencolok. Para penari selalu berhias dari rumah masingmasing. Tata rias serupa dengan jemaat perempuan yang hadir. Jadi tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok. Mungkin yang membedakan adalah dalam penggunaan bedak, mereka memakai bedak yang tidak cepat luntur. Hal ini dapat dimaklumi, karena sepanjang ibadah mereka bergerak dan terus menari. Jikalau tidak demikian maka bedak yang dipakai mereka akan cepat luntur. Gambar Penari dan Kostum yang dipakai 112 Hans Marpaung, Tari Tamborin Panggung Panggung untuk penyajian tari tamborin dan musik pengiringnya terbuat dari semen yang telah dilapisi dengan karpet. Letak panggung ini lebih tinggi sekitar 50 cm dari lantai. Di atas panggung inilah para pemain tamborin akan menari. Besar kecilnya panggung akan mempengaruhi banyaknya penari. Biasanya batasan minimum penari tamborin adalah 2 orang. Dengan 2 orang saja sudah dapat memainkan tamborin. Batas maksimum tidak dibatasi tergantung luas panggung dan kebutuhan acara. Dalam penelitian ini, penulis melihat bahwa pemain tamborin yang dibutuhkan untuk tampil setiap minggunya di GBI T.Sari berjumlah 5 orang. Ketika ditanya oleh penulis, pemimpin senior pemain tamborin mengatakan bahwa hal ini sesuai dengan luas panggung di gereja ini dengan demikian anggota yang lainnya akan bergantian tampil setiap minggunya sesuai dengan kesepakatan yang telah diatur diantara mereka. Di atas panggung ini juga alat-alat musik pengiring diletakkan. Susunan alat musik diatur agar tidak mengganggu gerakan dari para penari tamborin. Alat-alat musik pengiring ini nantinya diletakkan di sebelah sudut kiri atau sudut kanan panggung. Tamborin Tamborin atau rebana adalah salah satu jenis alat musik dari banyak alat musik yang ada di Alkitab yang digunakan untuk memuji Tuhan dan dimainkan ketika kita memuji dan menyembah Tuhan. Tamborin bentuknya bundar dan memiliki selaput di salah satu sisinya, selaput itu bisa berupa kulit binatang atau plastik mengkilap yang disebut hologram. Bunyi tamborin dengan selaput hologram lebih nyaring dari pada yang terbuat dari kulit binatang atau plastik transparan. Tamborin atau rebana yang merupakan alat musik pukul dari keluarga yang terdiri dari frame. Pada sisi tempat kita memegang tamborin logamlogam kecil yang gemerincing berwarna perak seperti warna sendok dan garpu yang disebut zils. Ukuran tamborin bermacam-macam, ada yang 113 Hans Marpaung, Tari Tamborin disebut tamborin anak-anak dan tamborin dewasa. Bedanya yaitu dari diameter dan beratnya (Sumber www.wikipedia.org) Struktur dari Tamborin Membran Keterangan: Membran Jingle Rim Fingger hole : Selaput tamborin : Ring-ring yang terdapat di sekeliling tamborin : Lingkar tamborin : Lubang untuk jari-jari tangan Berikut ini merupakan gambar alat musik tamborin: Gambar tamborin tampak depan Proses Belajar Penari tamborin berasal dari jemaat yang ada dimana dalam proses belajarnya dilatih oleh penari yang lebih senior. Dalam proses belajar seorang penari harus menghafal gerakan dasar yang ada yaitu Tap. Tap adalah tepukan biasa, dimana tamborin ditepuk dengan tangan yang lain. Tamborin dipegang dengan tangan dan ditepuk dengan memakai tangan kiri. Alasan memegang tamborin dengan tangan kanan adalah karena secara logika tangan kanan lebih kuat daripada tangan kiri. Sehingga sepanjang acara ibadah, tidak gampang lelah dalam memegang. Menurut hasil wawancara dengan pemimpin penari tamborin, gerakan tap adalah dasar yang harus betul-betul dikuasai. Biasanya untuk mempelajari gerakan ini memakan waktu dua sampai tiga bulan. 114 Hans Marpaung, Tari Tamborin Tergantung keseriusan dari si penari. Disaat inilah terkadang seorang penari mengundurkan diri, karena bosan. Hanya mempelajari satu gerakan yaitu menepuk permukaan tamborin. Seorang penari tamborin yang baik ketika ia dapat menyatu dengan tamborin dan juga telapak tangan terbiasa dan fasih memukul membran tamborin. Sesudah selesai tahap inilah maka akan memasuki tahap selanjutnya seperi shake, zip, swikel dan loop. Menurut informan penulis, seorang penari harus mempunyai kemauan dan disiplin yang baik agar dapat menguasai tarian tamborin dengan baik. Latihan tamborin di GBI T.Sari diadakan setiap dua kali dalam seminggu yaitu hari rabu dan sabtu di mulai jam 19.00 Wib - 21.00Wib Penari yang boleh tampil pada ibadah raya adalah penari yang telah berlatih untuk ibadah raya, dimana dalam dua kali latihan inilah seorang pemimpin memilih siapa saja dari anggotanya yang dapat tampil dihari minggu. Pemimpin melihat keseriusan dan kemampuan si pemain tamborin dalam menghapal gerakan untuk tiap-tiap lagu. Juga gerakan kaki dan tangan dari pemain tamborin sesuai dengan tempo atau ritem lagu yang dimainkan. Dengan syarat-syarat tersebut, seorang pemimpin dapat memilih siapa saja dari anggotanya yang siap tampil untuk hari minggu. Tidak selamanya seorang penari tamborin bertahan di gereja tersebut. Dengan alasan, ada yang berpindah tempat tinggal atau mempunyai kesibukan lain bahkan juga pindah tugas ke daerah lain. Untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan anggota, biasanya dilakukan perekrutan atau penyeleksian anggota baru. Hal ini penulis alami sendiri ketika mengikuti ibadah di GBI T.Sari, dalam warta jemaat diumumkan bahwa ada penerimaan anggota baru untuk penari tamborin. Hal ini dilakukan setiap minggunya melalui warta jemaat. Dengan cara ini, otomatis anggota yang berminat dapat langsung mendaftar sesudah ibadah atau pada jam yang sudah ditentukan. Dengan demikian, regenerasi pemain tamborin dapat terus terjaga di GBI T.Sari. Contoh Ragam Gerak Candle Srick 115 Hans Marpaung, Tari Tamborin Hitungan 1, tamborin diayunkan ke kanan atas. Hitungan 2, tamborin melewati kerpala. dipukul ke kanan atas Hitungan 3, tamborin diayunkan ke kiri atas. Hitungan 4, tamborin dipukul ke kiri atas melewati kepala. 116 Hans Marpaung, Tari Tamborin Hitungan 5, tamborin diayunkan ke kanan atas. Hitungan 6, tamborin melewati kerpala. dipukul ke kanan atas Hitungan 7, tamborin digoyang dan dipukul di sebelah kanan atas kepala. Hitungan 8, tamborin digoyang dan dipukul di sebelah kiri atas kepala. 117 Hans Marpaung, Tari Tamborin Hitungan 9, tamborin diayunkan ke kanan atas. Hitungan 10, tamborin melewati kepala. dipukul ke kanan atas Hitungan 11, tamborin diayunkan ke kiri atas. Hitungan 12 tamborin melewati kepala. dipukul ke kiri atas 118 Hans Marpaung, Tari Tamborin Hitungan 13 tamborin diayunkan ke kanan atas. Hitungan 14, tamborin melewati kerpala. dipukul ke kanan atas Hitungan 15, tamborin digoyang dan dipukul di sebelah kanan atas kepala. 119 Hans Marpaung, Tari Tamborin Hitungan 16, tamborin digoyang dan dipukul di sebelah kiri atas kepala. Dalam menari tamborin terdapat pola 1 x 16 ketukan dalam setiap gerakan. Hal ini ketika penulis tanyakan, mereka mengatakan bahwa gerakan tangannya adalah 16 gerakan/hitungan. Jadi setiap lagu sesuai dengan gerakan ini. Baik lagu cepat dan juga lagu lambat. Ketika penulis meminta mereka mempraktekkan gerakan tersebut, sesuai dengan apa yang dijelaskan. Walaupun berganti lagu, tapi gerakan pola 1 x 16 ini tetap. Penulis melihat bahwa yang disebut dengan pola 1 x 16 adalah sesuai dengan pemenggalan frasa lagu contohnya dapat diambil dari lagu “Ada Satu Sobatku” Keterangan: ini yang disebut dengan satu pola 16 ketukan dalam tarian tamborin. Demikian seterusnya dalam seluruh lagu. Ketika ditanyakan apakah ada gerkan yang lain , informan penulis mengatakan bahwa ada pola 8 ketukan. Hal ini bisa dimainkan tetapi lebih sering yang pola 16. pola 8 adalah gerakan yang dilambatkan gerakan tanggannya. Jadi penghitunggannya digandakan. Pola ini tidak terbatas hanya untuk lagu lambat tetapi bisa juga untuk lagu yang cepat. Posisi 120 Hans Marpaung, Tari Tamborin Dalam menari tamborin, ada 3 posisi kaki yaitu Posisi 1: tumit kaki kanan diletakkan merapat pada sisi bagian dalam kaki kiri. Posisi ini digunakan saat start awal akan memulai suatu tarian. Biasanya sebelum lagu akan dimainkan. Posisi badan tegak. Tangan kiri diletakkan di belakang punggung, tangan kanan memegang tamborin. - Posisi 2: Kedua tumit kaki dirapatkan hingga membentuk sudut 30derajat. Seperti posisi pasukan paskibra. Digunakan pada saat gerakan sudah selesai dan ada jeda sebelum ke gerakan berikutnya. Posisi badan tegak. Tangan kiri diletakkan di belakang punggung, tangan kanan memegang tamborin. Posisi 3: Sama seperti posisi 2, namun ada jarak pada kaki sepanjang kedua pundak. 121 Hans Marpaung, Tari Tamborin Beberapa gerakan kaki : (1) Point: Seperti pada balet, ada beberapa gerakan yang menggunakan point, yaitu hanya ujung jari salah satu kaki saja yang menyentuh tanah. Untuk memberi kesan anggun (2) Pliye : Kaki pada posisi 3, tapi berat badan tertumpu pada kaki yang satu berpindah ke kaki yang lainnya. Pastinya arah badan juga condong menurut tumpuan kaki. Kalau berat badan tertumpu pada kaki kiri, badan pun juga ikut ke kiri, begitupun sebaliknya. Pada saat tumpuan berat badan berpindah ke kaki yang lain, posisi badan turun ke bawah terlebih dulu, jadi seperti gerakan menggenjot. (3) Step waltzing : Adalah gerakan kaki yang paling umum dalam tamborin. Kedua kaki berpindah bergantian kanan-kiri, kiri-kanan dengan cara digenjot. Hitungannya seperti ini (kanan)satu-dua, (kiri)satudua. Tangan Jari-jari penari tamborin harus terlihat lentik selama menari. Yaitu ujung telunjuk yang menonjol ke luar, bukan kelingking. Cara memegang tamborin : Tamborin dengan satu lubang pegangan atau dua, biasanya jari tengah yang dimasukkan ke lubang. Sementara jari yang lainnya menahan pegangan tamborin/pada kayunya. Tamborin dipegang menggunakan tangan kanan. 122 Hans Marpaung, Tari Tamborin Beberapa tepukan tamborin (1) Tap: Tepukan biasa, tamborin ditepuk dengan tangan yang lain seperti pada saat bertepuk tangan. Tamborin ditepuk dengan ketiga jari tengah seirama dengan tempo musik (2) Zip, Menepuk tamborin dengan menggunakan jari jempol. Gesekan ini menyebabkan bunyi gemerincing.. (3) Loop : Seperti Tap, bedanya dengan tap hanya sebatas buku-buku jari yang menepuk tamborin, tidak sampai ke telapak tangan. Bedanya lagi tamborin digerakkan berputar seperti spiral. Dan yang bergerak memang hanya tangan yang memegang tamborin. Sementara tangan kiri diam saja namun tetap terbuka. (4) Shake: ramborin digoyangkan terus supaya tetap berbunyi gemerincing, sampai hitungan yang ditentukan. (5) Tap N: Caranya: i. Posisikan tangan kiri menghadap ke atas, lalu tepukkan tamborin pada telapak tangan tersebut (namun hanya sebatas buku-buku jari saja). ii.Tepukkan kembali memutar dengan cepat, jadi kali ini tamborin yang menghadap atas, tangan kiri berada di atasnya (tetap hanya sebatas buku-buku jari). Iii. Tepukkan lagi memutar sehingga kembali seperti yang pertama. Seterusnya sama Fungsi Tari Tamborin Mengkaji suatu seni pertunjukan yang dilandasi oleh konsep masingmasing pendukung dan pemiliknya, terdapat permasalahan yang sangat kompleks dan hal ini merupakan suatu kesulitan, sehingga tidak dapat merekontruksi dan menyimpulkan seni pertunjukan secara objektif berdasarkan sudut pandangnya sendiri. Oleh karena itu, berbagai teori dan metode keilmuan serta pendekatan etnomusikologi dengan didukung 123 Hans Marpaung, Tari Tamborin oleh ilmu-ilmu lainnya sangatlah diperlukan untuk mengungkap permasalahan yang berkaitan dengan pertunjukan dan konteks budaya. Lebih jauh lagi, bila melihat tari tamborin sebagai suatu tarian yang ada di dalam gereja, maka agar dapat menyelediki lebih jauh mengenai fungsinya, penulis mengacu kepada fungsi seni pertunjukan yang dikemukakan oleh Soedarsono (1999:170) bahwa secara garis besar fungsi seni pertunjukan dalam kehidupan manusia bisa dikelompokkan menjadi tiga yaitu, (1) seni sebagai sarana ritual, penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata, (2) seni sebagai sarana hiburan pribadi, penikmatnya adalah pribadi-pribadi yang melibatkan diri dalam pertunjukan, dan (3) seni sebagai presentasi estetis, yang pertunjukannya harus dipersentasikan atau disajikan kepada penonton. Bila melihat penyajian tari tamborin pada Gereja Bethel Indonesia (GBI) maka penulis mengambil pendapat yang pertama bahwa tari tamborin digunakan sebagai sarana ritual. Fungsi Tari Tamborin Sebagai Sarana Ritual Tari tamborin memiliki fungsi sebagai sarana ritual, bisa kita lihat dari tari ini sebagai bagian dari ibadah raya Gereja Bethel Indonesia (GBI). Dalam ibadah raya ini tari tamborin ini disajikan untuk memuji dan menyembah Tuhan Yesus. Dalam ibadah raya ini jemaat menyakini adanya kehadiran Tuhan dalam ibadah raya ini. Dengan adanya tarian ini diharapkan ibadah raya akan lebih sempurna. Menurut Bpk. Pdt. E. Purba50 ada beberapa hal yang mengenai arti dan tujuan bermain tamborin dalam ibadah raya: 1. Alat musik tamborin atau rebana adalah alat musik yang diperintahkan oleh Tuhan untuk digunakan karena tertulis di dalam Alkitab51. 2. Tamborin menandakan adanya suasana sukacita, kebahagiaan dan kemenangan. 3. Tamborin digunakan untuk memuji dan menyembah Tuhan, untuk menyatakan kebesaran-Nya. 50 51 Hasil wawancara Agustus 2009 Merupakan Kitab Suci yang dipakai oleh agama Kristen 124 Hans Marpaung, Tari Tamborin 4. Tamborin menandakan adanya sebuah perayaan. Maka dari itu, tamborin dimainkan dalam ibadah raya untuk merayakan kemenangan atas iblis. Dengan melihat pendapat di atas tarian tamborin yang disajikan pada ibadah raya terdapat unsur ritual. Hal ini dikarenakan karena adanya doa-doa yang dipanjatkan pada Tuhan dan nyayian-nyayian pujian yang ditujukan pada Tuhan. Tari tamborin merupakan tarian yang berfungsi sebagai sarana ritual adalah dikarenakan dalam setiap gerakannya ada makna yang terkandung di dalamnya. Gambar di bawah ini merupakan makna dari gerakan tari tamborin. Dengan melihat gambar ini kita bisa menyimpulkan bahwa ada makna yang tersirat di balik gerakan-gerakan tangan dari tarian tamborin. Makna ini antara lain: istirahat, memberi, menunggu, berserah, membuka, memuji, menyenangkan, dan mengangkat. Makna gerakan ini keseluruhannya difungsikan untuk dipersembahkan kepada Tuhan Yesus. Properti Tamborin Properti untuk menyajikan tarian tamborin kebanyakan telah disediakan oleh gereja. Misalnya tamborin maupun kostum untuk penari tamborin. Tamborin maupun kostumnya dibuat secara khusus dan membutuhkan keahliah untuk membuatnya, sehingga alat – alat ini harus dibeli dipasaran. Alat-alat musik untuk musik pengiring telah disediakan oleh pengurus gereja. 125 Hans Marpaung, Tari Tamborin 126 Hans Marpaung, Tari Tamborin Hubungan Tari Tamborin dengan Musik Pengiring Penyajian musik sebagai pengiring tari merupakan hal yang terpenting dimana musik dapat membantu tempo serta menambah keindahan dari tarian tersebut dan juga dapat mewakili awal dan akhir dari tarian sehingga terdapat suatu keharmonisan di antara penari dan musik. Sal Mugiarto (1978:33) mengatakan bahwa, iringan tari terdiri dari dua, yaitu iringan internal dan iringan eksternal. Iringan internal adalah iringan tari yang dimainkan oleh sipenari sendiri, sedangkan iringan eksternal adalah iringan yang dilakukan oleh orang lain atau yang datang dari luar tubuh si penari itu sendiri. Dalam hal ini musik pengiring tari tamborin merupakan iringan eksternal yaitu musik yang datang dari luar tubuh si penari Alat-alat musik pengiring tari Tamnorin tersiri dari: 1. Gitar Elektrik. Gitar elektrik merupakan alat musik berdawai enam yang mempunyai nada diatonik. Gitar elektrik merupakan alat musik dengan klasifikasi chordophone. Gitar elektrik berfungsi sebagai pembawa ritme dan melodi. Gitar elektrik ini dimainkan oleh satu orang pemain. Dalam permainannya dimainkan dengan posisi duduk. Gitar listrik adalah sejenis gitar yang menggunakan beberapa pickup untuk mengubah bunyi atau getaran dari senar gitar menjadi arus listrik yang akan dikuatkan kembali dengan menggunakan seperangkat amplifier dan loud speaker. Suara gitar listrik dihasilkan dari getaran senar gitar yang mengenai kumparan yang ada di badan gitar yang biasa disebut "pick up". Terkadang sinyal yang keluar dari pickup diubah secara elektronik dengan gitar effect sebagai reverb ataupun distorsi. 2. Gitar Elektrik Bas. Gitar elektrik bas merupakan alat musik berdawai empat atau lima yang mempunyai nada diatonik Gitar elektrik merupakan alat musik dengan klasifikasi chordophone. Gitar elektrik bas berfungsi sebagai pembawa ritme. Gitar elektrik bas ini dimainkan oleh satu orang pemain. Dalam permainannya dimainkan dengan posisi duduk. Gitar bass listrik adalah alat musik dawai yang menggunakan listrik untuk memperbesar suaranya. Penampilannya mirip dengan gitar elektrik 127 Hans Marpaung, Tari Tamborin tapi perbedaannya dengan gitar elektrik adalah gitar elektrik bas memiliki badan yang lebih besar, neck (leher) yang lebih panjang, dan biasanya memiliki empat senar (gitar elektrik memiliki enam senar). Berat dari gitas bas lebih berat daripada gitar elektrik biasa, karena senarnya yang lebih tebal (berguna untuk menjaga kerendahan nada/bunyi) sehingga menyebabkan harus memilih kayu yang lebih padat dan keras untuk menyeimbangi tekanan pada neck (leher gitar). Selain itu ukuran fret (kolom pada gitar) yang lebih besar yang disesuaikan dengan ketebalan senar. Ada banyak jenis bass yang dipakai sampai dengan saat ini. Yang paling banyak dipakai berupa contra bass dan cello bass (yang biasa digunakan untuk pertunjukan opera), bass listrik (biasa digunakan untuk semua jenis pertunjukan terutama band) serta bass fretless yang sama dengan bass listrik tapi tidak ada fret (kolom/pembatas pada papan tekan/neck) pada bass tersebut. Prinsip kerja bass fretless mirip dengan contra/cello bass hanya saja berbentuk gitar listrik. 3. Keyboard/String. Kibort (Inggris: Keyboard) adalah sebuah alat musik yang dimainkan seperti piano, tetapi kibort bisa memainkan beragam suara, seperti terompet, suling, gitar, biola, sampai suara-suara perkusi. Dengan kibor juga bisa dimainkan layaknya sebuah kelompok band. Kibort juga bisa dimainkan bermain organ atau piano dan lebih praktis karena lebih mudah dibawa ke mana-mana. Dalam memainkan kibort penggunaan akord adalah sangat penting dan sering digunakan. Akord adalah kumpulan tiga nada atau lebih yang bila dimainkan secara bersamaan terdengar harmonis. Akord bisa dimainkan secara terputus-putus ataupun secara bersamaan. Akord ini digunakan untuk mengiringi suatu lagu. Contohnya adalah dengan menekan tiga tuts piano C, E dan G secara bersamaan, maka sebuah akord telah dimainkan. Contoh alat musik lainnya yang bisa memainkan akord adalah gitar (akustik dan listrik), organ, electone. 4. Piano elektrik. Piano elektrik (atau piano listrik), yang didasarkan pada teknologi elektro akustik atau metode digital. Nada suaranya terdengar melalui sebuah amplifier dan loudspeaker. Dari sisi mutu suara, piano elektronik seperti tidak ada bedanya dengan piano biasa. Perbedaannya terletak pada berbagai fitur yang 128 Hans Marpaung, Tari Tamborin melengkapinya. Fitur yang ada pada piano elektrik tidak ada dalam piano biasa. Misalnya, piano elektrik bisa dihubungkan dengan perangkat MIDI, komputer, alat rekam; memiliki pengatur volume, dan headphone untuk pendengar kepala. 5. Drum Set. Drum adalah kelompok alat musik perkusi yang terdiri dari kulit yang direntangkan dan dipukul oleh tangan atau sebuah batang kayu. Selain kulit, juga digunakan bahan lain, misalnya plastik. Drum terdapat di seluruh dunia dan memiliki banyak jenis, misalnya kendang, timpani, Bodhrán, Ashiko, snare drum, bass drum, tom-tom, dan lainlain. Dalam musik pop, rock, dan jazz, "drums" biasanya mengacu kepada drum kit atau drum set, yaitu sekelompok drum yang biasanya terdiri dari snare drum, tom-tom, bass drum, cymbal, hi-hat, dan kadang ditambah berbagai alat musik drum listrik. Orang yang memainkan drum set disebut “drummer". Penggunaan Musik Pengiring Tari Tamborin Dalam disiplin etnomusikologi, penggunaan dan fungsi mempunyai pengertian yang berbeda. Hal ini ditegaskan oleh Alan P. Merriam yang mengatakan: Use then, refers to the situation in which music is employed in human action; fungction concerns the reasons for its employment and particularly the broader purpose which it serves (Merriam, 1964:210). Dari pendapat ini dapat diketahui bahwa fungsi musik adalah menyangkut tujuan pemakaian musik itu, sedangkan penggunaan adalah menyangkut cara pemakaian musik itu dalam konteks sosio-kulturalnya. Penggunaan lebih menitik beratkan pada masalah waktu pemakaian musik, sedangkan fungsi menyangkut untuk apa musik itu digunakan demikian. Memperhatikan penggunaan musik pengiring tarian tamborin pada Gereja Bethel Indonesia dapat dilihat pada saat berlangsungnya ibadah raya. Dimana pada saat ibadah raya peran dari pada musik sangat diperlukan dimana musik akan mengiringi jalannya ibadah maupun untuk mengiringi tarian tamborin. Pola Ritem 129 Hans Marpaung, Tari Tamborin Untuk mempermudah pemahaman tulisan ini maka penulis memakai lambang dan simbol musik barat. Untuk itu not yang tertulis (seperempat) dibaca 1 ketuk kemudian not (setengah) bernilai 2 ketuk. Dalam hal ini tamborin sebagai pembawa ritem internal mempunyai pola ritem yang mengikuti tempo dari musik pengiringnya. Penulis menuliskan ritem dasar tamborin sebagai pengiring internal tarian tamborin. Iringan internal tamborin dengan iringan eksternal ritemnya saling menjalin. Dalam hal ini ketukan tamborin dalam tarian tamborin konstan. Pola Gerak Tari Tamborin Hubungan Ritem Internal Dengan Ritem Eksternal Pola gerakan tari tamborin mempunyai dua jenis yaitu pola 1 x 8 dan 1 x 16. pola gerakan tersebut dapat dilihat dari contoh di bawah ini: Pola 1 x 8 4 4 Pola 1 x 16 4 4 Pola 1 x 8 adalah pola ritem internal yang nilai ketukannya terdiri dari 8 hitungan. Dimana dalam lagu yang berirama 4/4 nilai not seperempat dihitung satu ketuk dan not setengah dihitung dua ketuk. Pola 1 x 16 adalah pola ritem internal yang nilai ketukannya terdiri dari 16 hitungan. Dimana dalam lagu yang berirama 4/4 nilai not seperempat dihitung satu ketuk dan not not setengah dihitung dua ketuk. 130 Hans Marpaung, Tari Tamborin Penggunaan kedua pola tersebut tergantung kebutuhan lagu dan kesepakatan dari leader penari dan para anggota. Jadi dalam satu lagu yang sedang dimainkan bisa menggunakan kedua pola tersebut. Sampel Lagu : Ada Satu Sobatku Foxtrot/Chacha 131 Hans Marpaung, Tari Tamborin Keterangan : Contoh lagu di atas menjelaskan penggunaan pola ritem 1 x 16, partitur dibagi dua yang di atas menjelaskan ritem eksternal sedangkan yang di bawah menjelaskan tentang ritem internal dalam hal ini tamborin. Siklus 1 x 16 akan selalu terjadi perulangan hingga akhir lagu. Ini membuktikan siklus pola 1 x 16 cocok dengan frasa lagu yang dimainkan. 132 Hans Marpaung, Tari Tamborin Gerakan tamborin dimulai dari hitungan 1, 2, 3, 4, 5 , 6 ,7, 8 ,9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16 atau searah dengan tanda panah. 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 Fungsi Musik Pengiring Tari Tamborin Berkenaan dengan fungsi musik, menurut Alan P. Merriam terdapat sekurang-kurangnya sepuluh fungsi musik, yaitu : (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetika, (3)fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (8) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat (Merriam, 1964:219-226) Selanjutnya fungsi-fungsi di atas akan dijadikan sebagai dasar pembahasan berkenaan dengan fungsi musik pengiring tari tamborin pada Gereja Bethel Indonesia (GBI). Fungsi Pengungkapan Emosional Pada dasarnya semua musik adalah berfungsi sebagai pengungkapan emosional, baik melalui bunyi yang dihasilkan maupun oleh penyajinya. Emosional penyanjinya akan tertuang melalui teknik permainan musik itu sendiri, sehingga daripadanya akan muncul suatu ungkapan musik baik secara ritmes maupun melodis. Penggungkapan musik yang dihasilkan musik pengiring tari tamborin secara otomatis akan menimbulkan emosi bagi pemain musik itu sendiri maupun orang yang mendengar musik itu. Dengan adanya musik pengiring ini maka akan berpengaruh juga bagi para penari tamborin, dimana musik akan membangkitkan emosi atau semangat untuk menari. Dengan menghayati lagu-lagu yang dimainkan, maka akan timbul suatu kesadaran yang dapat membantu mengekspresikan emosi, baik itu bagi pemain musik maupun para penari tamborin. 133 Hans Marpaung, Tari Tamborin Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Keagamaan Dalam ibadah raya ini fungsi musik pengiring yaitu untuk mengesahkan atau menandakan adanya perayaan dalam ibadah raya. Dengan adanya musik dalam ibadah raya itu akan menambah kesempurnaan dalam ibadah itu. Hal ini terlihat, bahwa ibadah raya berbeda dari kebaktian biasa yang diadakan setiap hari. Hal ini dapat dilihat, ketika ada kegiatan di gereja GBI Tanjung Sari baik itu hari senin sampai sabtu, musik penggiring tidak dimainkan . karena hanya dimainkan ketika ibadah raya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan musik penggiring dalam ibadah raya adalah sebagi fungsi pengesahan lembaga social dan upacara keagamaan. Fungsi Pengintegrasian Masyarakat Selain untuk mengiringi tarian tamborin pada ibadah raya, maka musik pengiring tari tamborin juga digunakan untuk menyatukan jemaat dengan persekutuan. Dengan Adanya musik maka jemaat akan bernyayi bersama pada ibadah raya ini, hal ini tentunya akan menyatukan jemaat. Hal ini dibuktikan, dengan penggunaan musik penggiring, jemaat dan pemain musik bersatu. Jemaat dan musik penggiring tidak dapat berdiri sendiri, dimana ketika musik dimainkan, ada bagian bagian lagu yang hanya khusus untuk pemain musik, dan ada juga bagian dari lagu yang dinyanyikan secara bersama-sama oleh jemaat. Jadi musik penggiring dapat menyatukan antara jemaat yang hadir didalam ibadah raya yang diadakan oleh GBI tanjung Sari Medan. Hal ini juga terlihat, dimana dalam tari tamborin kebersamaan gerak oleh kelompok penarinya. Hal ini terjadi karena adanya kerjasama dan kesatuan dengan musik penggiring.karena kalau tidak ada kekompakan pasti akan terjadi kekacauan diantara para pendukung acara didalam kebaktian ibadah raya. Dengan demikian kehadiran musik pengiring tari tamborin berfungsi sebagai benda pengintegrasian bagi individu-individu yang ada di dalamnya 134 Hans Marpaung, Tari Tamborin Fungsi Komunikasi Musik pengiring tari tamborin akan menghasilkan melodi dan ritem yang baik apabila ada komunikasi dari setiap alat musik yang mainkan. Dengan adanya komunikasi yang baik maka akan menghasilkan tatanan musik yang baik. Hal inin terlihat, bahwa setiap instrument alat musik yang dimainkan dalam musik penggiring mempunyai tugas masing-masing. Ada alat musik yang hanya berfungsi sebagai pembawa ritem yang konstan dari awal lagu sampai akhir. Hal ini dilakoni oleh pemain drum. Dengan adanya alat musik drum, maka ada ketukan yang selalu berulang secara konstan disepanjang lagu. Demikian juga dengan alat musik piano, gitar dan bass. Masing-masing alat musik ini berfungsi sebagai pembawa melodi. Walaupun masing-masing pembawa melodi, tetapi mempunyai aturan dalam memainkan nadanya. Porsi antara alat musik tersebut dibagi untuk menghasilkan nada-nada yang baik. Komunikasi selanjutnya yaitu pada ibadah raya, musik juga berfungsi sebagai alat perantara untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Lagu-lagu yang dinyayikan dengan diiringi musik yang mana teksnya berisi pujian-pujian serta permohonan-permohonan doa kepada Tuhan. Fungsi Reaksi Jasmani Yang dimaksud dengan fungsi reaksi jasmani disini ialah bunyi musikal yang dapat merangsang seseorang untuk melakukan gerakangerakan teratur seirama dengan tempo ataupun bunyi musik yang dimainkan. Berkenaan dengan hal tersebut musik pengiring tari tamborin berfungsi untuk merangsang jasmani para penari tamborin tersebut untuk menggerakkan tubuhnya sesuai dengan tempo musiknya. Hal ini terlihat, ketika dimainkan lagu yang bersifat pujian, maka akan ada semangat dan gerakan-gerakan yang menunjukkan bahwa lagu itu membuat semangat. Biasanya para jemaat, ketika menyanyikan lagu pujian yang diiringi musik melompat dan bertepuk tangan. Ungkapan ekspresi terlihat dari gerakan tubuh mereka. Hal ini berbeda ketika para jemaat mengikuti musik pengiring yang membawakan lagu penyembahan. Jemaat terlihat tenang dan ekspresi tubuh juga tidak banyak melakukan gerakan. 135 Hans Marpaung, Tari Tamborin Analisis Musik Dalam analisis musiknya, lagu Ada Satu Sobatku dapat di analisis berdasarkan metodologi yang dikemukakan oleh Charles Seeger, yang membedakan dua notasi yaitu notasi preskriptif dan notasi deskriptif. Preskriptif ialah notasi yang melukiskan secara garis besar nada dari suatu lagu, notasi ini merupakan pedoman tentang bagaimana musik tertentu itu dapat diwujudkan oleh pemain musik. Sedangkan Deskriptif ialah laporan yang disertai notasi secara lengkap tentang bagaimana sebenarnya suatu musical dalam suatu pertunjukan diwujudkan. Untuk kebutuhan analisis lagu Ada Satu Sobatku, penulis menggunakan preskriptif. Analisis Melodi 1. Tangga nada dalam teori Malm (1977:8) yang diperguna-kan adalah tangga nada barat, karena nada-nadanya sudah terukur dikarenakan lagu yang dimainkan dibawakan oleh alat musik modern. dimana tangga nada untuk lagu ada satu sobatku yang setia menggunakan tangga mayor yang terdiri dari C – D – E – F – G – A – B – C 2. Wilayah Nada. Dalam menentukan wilayah nada adalah dengan melihat jarak antara nada terendah sampai ke nada yang tertinggi. Berdasarkan hasil transkripsi melodi, maka wilayah nada ada satu sobatku yang setia adalah d-a’. 3. Interval Interval merupakan jarak antara dua buah nada (naik atau turun). Adapun interval-interval yang terdapat dalam melodi lagu ada satu sobatku yang setia adalah : Interval Jumlah 1. Prime Perfect 22 2. Sekunda Mayor 22 136 Hans Marpaung, Tari Tamborin 3. Terts Mayor 4. Terts Minor 5. Kwint Perfect 5 4 4 4. Kontur. Kantur merupakan garis atau alur melodi dalam sebuah lagu, hal ini menurut Malm (1964:8) dapat dibedakan beberapa jenis, yaitu: 1. Ascending, yaitu garis melodi yang sifatnya menaik dari nada yang rendah ke nada yang tinggi 2. Descending, yaitu garis melodi yang sifatnya menurun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah 3. Pendulous, yaitu garis melodi yang sifatnya melengkung dari nada yang rendah ke nada yang lebih tinggi, kemudian kembali ke nada yang lebih rendah, sebaliknya dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah dan kembali ke nada yang lebih tinggi. 4. Terraced, yaitu garis melodi yang sifatnya berjenjang seperti anak tangga nada yang lebih rendah ke nada yang tinggi, kemudian bergerak sejajar lalu bergerak ke nada yang lebih tinggi dan seterusnya yang akhirnya berbentuk seperti anak tangga. 5. Statis, yaitu garis melodi yang sifatnya tetap bergerak dalam ruang lingkup yang terbatas / datar Berdasarkan hasil transkripsi dapat dituliskan bahwa kontur dari melodi lagu ada satu sobatku yang setia adalah pendulous. 6. Formula melodi. Untuk memperjelas bagaimana bentuk dari melodi lagu ada satu sobatku yang setia maka penulis menggunakan pendapat Nettl yang mengatakan bahwa ada beberapa karakter yang perlu diperhatikan untuk menentukan bentuk dari suatu komposisi, yaitu dengan memperhatikan unsur-unsur melodi yang terkandung berdasarkan pengulangan frasa, berdasarkan tanda diam, pengulangan pola ritem, transposisi, kesatuan dari teks yang ada dalam musik (1964:150). Frasa merupakan bangunan musik dengan jumlah beat yang lebih pendek dari pola ritem, yang mengandung dua atau lebih motif ritme melodi. Melodi menurut apel dalam skripsi Heristina Dewi (1992), adalah suatu elemen yang membentuk suatu kesatuan. Dalam menganalisa frasa, digunakan beberapa simbol, yaitu A, B, C, dan seterusnya. Frasa yang 137 Hans Marpaung, Tari Tamborin sama diberi simbol yang sama sedangkan frasa yang merupakan variasi disimbolkan dengan huruf kapital yang sama tetapi ditambah dengan simbol angka, yaitu A1, A2, dan seterusnya. Frasa yang terdapat pada lagu ada satu sobatku yang setia adalah : Frasa A Frasa A1 Frasa B 138 Hans Marpaung, Tari Tamborin Frasa B1 Perjalanan frasa-frasa pada lagu ada satu sobatku yang setia dapat digambarkan seperti berikut ini : A A1 B B1 A A1 B B1 B B1 139 Hans Marpaung, Tari Tamborin Lengk ap2 Penutup Keberadaan tari tamborin yang merupakan salah satu bagian dari sistem tata ibadah Gereja Bethel Indonesia (GBI) T. Sari Medan. Keberadaan tarian tamborin dalam ibadah Gereja Bethel Indonesia (GBI) T. Sari tidak jauh berbeda dari Gereja Bethel Indonesia (GBI) lainnya. Tarian tamborin ini menggunakan alat musik tamborin (pengiring internal) sebagai alat untuk menari. Dalam pelaksanaanya tarian ini diiringi oleh instrumen musik berupa: satu buah gitar elektrik, satu buah gitar bas elektrik, piano, kibort dan seperangkat drum set. Jumlah penari tediri dari 4 – 5 wanita atau lebih. Tari tamborin merupakan tarian yang terdapat dalam ibadah raya Gereja Bethel Indonesia (GBI). Ibadah raya merupakan ibadah yang diadakan setiap hari minggu yang merupakan kegiatan untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Tarian tamborin dalam ibadah raya akan menyemarakkan jalannya ibadah raya. Dalam ibadah raya tari tamborin berfungsi sebagai tarian untuk memuji dan memuliakan Tuhan atau disebut sebagai fungsi ritual. Tarian tamborin juga berfungsi untuk menyemarakkan ibadah raya. 140 Hans Marpaung, Tari Tamborin Dalam hal ini, alat musik yang digunakan dalam penyajian tari tamborin berfungsi sebagai instrumen pengiring tarian, bukan sebagai lagu, sehingga dalam setiap penyajiannya lagu yang digunakan untuk mengiringi tarian tamborin dapat berubah-ubah. Adapun fungsi dari musik pengiring tarian tamorin selain untuk mengiringi tarian tamborin adalah untuk menambah semangat atau emosi daripada penari juga untuk menunjukkan adanya ibadah. Untuk mengiringi tarian tamborin lagu yang digunakan adalah lagu-lagu yang berisifat riang dan bersemangat. Dalam menari tamborin terdapat pola 1 x 16 ketukan dalam setiap gerakan. Baik lagu cepat dan juga lagu lambat. Walaupun berganti lagu, tapi gerakan pola 1 x 16 ini tetap. Penggunaan pola 1 x 16 adalah sesuai dengan pemenggalan frasa lagu. Penggunaan kostum dalam tarian tamborin yang digunakan harus sopan. Penggunaan kostum disesuaikan dengan kesepakatan para penari. Dalam penyajiannya tarian tamborin diekspresiakan dengan bersemangat dan bergembira. Eksistensi iringan musik dalam tari sangatlah penting yaitu sebagai pembentuk suasana dan juga untuk mempertegas tekanantekanan gerak, sehingga tari dapat berjalan dengan baik. Tarian tamborin beserta musik pengiringnya merupakan hal yang penting dalam eksistensi ibadah raya yang ada dalam Gereja Bethel Indonesia (GBI). T. Sari Sehingga diharapkan adanya upaya dari penari maupun pemain musik untuk meregenerasikannya kepada jemaat-jemaat yang lain. Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menyadari bahwa tulisan ini memiliki banyak keurangan. Tulisan ini belum bisa dikatakan sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan dan kelemahan yang dimiliki penulis. Penulis sangatlah mengharapkan saran dan kritikankritikan yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian, agar tulisan ini menjadi lebih baik lagi. Disini penulis juga sangat terbuka menjadi mitra diskusi, bila ada peneliti-peneliti lain yang tertarik untuk meneliti kebudayaan-kebudayaan yang ada di gereja. Akhir kata penulis mengucapkan semoga tulisan ini dapat bermanfaat sesuai dengan harapan kita semua, terima kasih. Daftar Pustaka Edi Sedyawati, 1981.Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta, Pustaka Jaya 141 Hans Marpaung, Tari Tamborin Edi Sedyawati, 1986. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. JakartaL Direktorat Kesenian. Edi Sedyawati, 2006. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada Edi Sedyawati, 2008. KeIndonesiaan dalam Budaya. Jakarta, Wedatama Widya Sastra JS Badudu, 1989. Pelik Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Prima Koentjaraningrat, 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropologi. Jakarta, PT. Rineka Cipta Koentjaraningrat, 1990. Metode-Metode Penelitian Masyarakat Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music Evanston: Northwestern University Press Mawene, 2002 Gereja yang Bernyayi (PBMR) ANDI Yap, Magrate, 1994. Pujilah Dia Dengan Rebana & Tarian Jakarta, Metanoia Publising Mike & Viv Hibert, 2001. Pelayanan Musik (PBMR) ANDI Malm, William P, 1977. Music Cultures of The pasific Music The Near East And Asia. New Jersey: Prentice Hall Inc. Nettl, Bruno, 1964. Theory and Method In Ethomusicology New York: The free Pres Of Glencoe Tuti Rahayu, 2002. Pengantar Pengetahuan Tari. Jurusan Sendratari FBS UNIMED R. Supanggah, 1995. Etnomusikologi. YOGYAKARTA MSPI R.M Soedarsono, 1972. Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta: ASTI Yogyakarta R.M Soedarsono, 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia) Sal Mugiarto, 1972. Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas-batas dan Arti Pertunjukan, Yogyakarta, Jurnal MSPI Poerwadarminta. W.J.S, 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka Samuel, Wilfred J., 2006. Kristen Kharismatik. Jakarta:PT BPK Gunung Mulia Internet http://www.wikipedia.org http://www.sabda.org Daftar Informan Pdt. E. Purba, 45 tahun, pekerjaan pendeta.. Vero, usia 19 tahun, pekerjaan penari tamborin/mahasiswa. Intan Manullang, 23 tahun, pekerjaan penari tamborin/maha-siswa Herdi Berutu, usia 23 tahun, pekerjaan pemusik gereja/mahasiswa Rahman, 29 tahun, diaken/pekerja gereja. 142 Hans Marpaung, Tari Tamborin Tentang Penulis Hans Marpaung adalah sarjana seni lulusan Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara Medan, tahun 2009. Rulisan ini merupakan hasil penyuntingan skripsi beliau yang bertema musik dan tari tamborin pada Gereja Bethel Indonesia di Medan. . 143 Etnomusikologi, Nomor 9, Tahun 5, Maret 2009 ISSN: 1858-4721 SYAIR DALAM KEBUDAYAAN MELAYU: KAJIAN STRUKTUR MUSIKAL Fadlin Dosen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Abstract This paper will be discuss syair in Malay world, especially in North Sumatran Malayu. I will be described of historical and musical structure of Malay syair. In the contect of historical, syair exist in Malay world since the Malay culture in earliest time, and syair expressed the original nalur of Malay. Then, when arab and Parsi cam to Malay world syair acculturated with both culture. Structyrally, syair shaped by some melody, primary Selendang Delima melody and song. This melody very popular to performed syair. This melody can be divided into interlude and content, whuch have ternary melodic. This melody always accompanied by violin, piano accordion, frame drum (gendang Melayu), and tawak-tawak (gong). Pengantar Syair adalah sebuah genre sastra dalam peradaban Melayu,yang penggunaannya menyebar di seluiruh kawasan Dunia Melayu. Syair secara social dipergunakan dalam berbagai aktivitas, seeprti persembahan bangsawan, mengiringi upacara perkawinan, sebagai prolog dalam pertunjukan kesenian Melayu, hiburan pribadi, pengungkapan settika dan lain-lain. Beberapa pakar sastra dan linguistik Melayu memerikan tentang syair. Meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, seperti A. Teeuw yang menggunakan pendekatan ekstensif (emik) dan Syed Naquib al-Attas yang menggunakan pendekatan intensif, para sarjana ini tidak dapat menafikan bahwa dalam realitinya Hamzah Fansuri yang memesatkan penggunaan syair dalam perkembangan kesusastraan Fadlin, Syair Melayu Melayu. Oleh karenanya, soalan yang perlu dibagi jawaban ialah sangat menentukan seperti yang dikemukakan Harun Mat Piah (1989:216): Pertamanya, apakah syair itu merupakan bentuk puisi Melayu-Indonesia yang asli (purba), ertinya telah ada sebelum kedatangan Islam atau, keduanya, benarkah syair dikarang dandicipta oleh Hamzah Fansuri dan hanya dikenali dan berkembang selepas Hamzah Fansuri (m. 1630 Masihi) Harun Mat Piah mengemukakan empat kesimpulan berasaskan kepada berbagai pendapat dan polemik yang timbul berhubung dengan syair yang dikemukakan oleh para sarjana. Tanpa mengulangi satu per satu penghujahan yang dikemukakan oleh para sarjana dan mengulangi lagi asal-usul syair dan lain-lain yang berkaitan dengannya, kita lihat keempat simpulan mengenai syair yang dikemukakan oleh Harun Mat Piah (1989:209-210). (1) Bahwa istilah syair berasal dari bahasa Arab; dan penggunaannya dalam bahasa Melayu hanya sebagai istilah teknik. (2) Bahwa syair Melayu itu, walau ada kaitannya dengan puisi Arab, tetapi tidak berasal dari syair Arab dan Persia, atau sebagai penyesuaian dari mana-mana genre puisi Arab atau Persia. Dengan perkataan lain, syair adalah cipataan asli masyarakat Melayu. (3) Ada kemungkinan syair itu berasal dari puisi Melayu Malaysia-Indonesia asli. (4) Bahwa syair Melayu dicipta dan dimulakan penyebarannya oleh Hamzah Fansuri dan beracuankan puisi Arab-Persia. Pengkaji lainnya yaitu Mohd. Yusof Md. Nor dan Abdul Rahman Kaeh (1985:vii) mengemukakan empat kesimpulan juga, namun sedikit berbeda dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Harun Mat Piah, yaitu: (1) Karena kata syair datangnya dari Arab-Persia, maka syair dianggap datang dari luar. (2) Meskipun kata syair ada kaitannya dengan bahasa Arab-Persia, tetapi bentuk syair ialah ciptaan orang Melayu di Nusantara ini. (3) Syair sudah ada sejak abad kelima belas di Melaka. (4) Syair dikarang oleh Hamzah Fansuri dan berkembang selepasnya. 145 Fadlin, Syair Melayu Notasi 1. Cuplikan Marhaban 146 Fadlin, Syair Melayu Sementara Siti Hawa Salleh menambahkan bahwa selain simpulan seperti di atas ada sebuah lagi aspek yang berkaitan dengan eksistensi syair di dunia Melayu. Menurutnya, kegiatan keagamaan dalam tradisi merayakan Maulidur Rasul (Maulid Nabi) memperkenalkan dan merapatkan masyarakat Melayu dengan puisi barzanji. Mungkin pada mulanya puisi didendangkan dalam bahasa Arab asalnya dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sambil memberi perhatian kepada rima akhir setiap baris. Akhirnya para penyair Melayu sendiri mencipta puisi-puisi dengan berpandukan penulisan puisi barzanji. Contoh-contoh yang dipetik dari buku barzanji memperlihatkan bahwa bentuk penciptaan puisi itu ialah bentuk syair seperti yang wujud sekarang. Kegiatan menyanyikan puisi barzanji dalam majlis Maulidur Rasul (maulid Nabi) setiap tahun pasti meninggalkan kesan terhadap selera puisi masyarakat Melayu. Dengan itu, tentulah sedikit sebanyak lagu barzanji ini memainkan peranan dalam menyebarkan penciptaan puisi jenis ini yang akhirya bernamakan syair. Selain itu, tidak dapat dinafikan bahwa minda masyarakat Melayu lebih mudah menerima puisi barzanji dengan struktur kalimat dan rima akhirnya karena kebiasaan mereka dengan bentuk puisi yang sedia ada dalam kesusastraannya sendiri. Dengan wujudnya berbagai-bagai jenis syair dalam kesusastraan Melayu, ternyata bahwa puisi jenis ini amat disukai oleh masyarakat Melayu zaman silam. Syair menyediakan satu lagi cara untuk menyampaikan cerita selain bentuk prosa. Walaupun pantun berkait berdaya menyam-paikan sesuatu kisah yang panjang, menuruti penceritaannya dapat memberikan tekanan kepada pembaca atau pendengar karena struktur pantun berkait yang terpaksa mengulang sebut maksud dalam rangkap awal sebelum mengungkapkan informasi dalam rangkap yang berikutnya. Oleh itu, pantun berkait tidak digunakan secara meluas untuk menyampaikan cerita yang panjang-panjang seperti yang dapat dilakukan oleh syair (Siti Hawa Salleh 2005:23). Dalam Dunia Melayu hampir setiap genre kesusastraan Melayu tradisional mempunyai versinya dalam bentuk syair, selain dalam bentuk prosa—hingga terdapat satu kumpulan karya yang besar tercipta dalam bentuk syair. Dengan demikian, daam perbendaharaan kesusastraan 147 Fadlin, Syair Melayu Melayu terdapat syair agama, syair sejarah, syair hikayat, syair nasehat, dan lain-lain. Syair juga muncul dalam karya prosa tradisional, baik untuk selingan mauun penghias bahasa dan juga dapat sebagai penyampai alternatif. Kepopularannya dikekalkan melalui iramanya yang tersendiri hingga syair termasuk ke dalam kumpulan dendangan irama asli52, menjadi sebahagian dari nyanyian dalam persembahan bangsawan dan mempunyai peminat atau audiensnya sendiri. Contoh syair dalam Dunia Melayu: (a) syair sejarah (Syair Sultan Maulana, Syair Perang Mengkasar, Syair Muko-Muko), (b) syair keagamaan (Syair Makrifat, Syair Mekah dan Medinah, Syair Hari Kiamat), (c) syair hikayat/hiuran/romantis (Syair Harith Fadzillah, Syair Gul Bakawali, Syair Jauhar Manikam), (d) syair hikayat panji (Syair Ken tambuhan, Syair Panji), syair nasihat (Syair Nasihat, Syair Nasihat Pengajaran untuk Memelihara Diri, Syair Nasihat kepada Pemerintah), dan (e) syair perlambangan, kiasan atau sindiran (Syair Ikan Terubuk, Syair Ikan Tongkol, Syair Bereng-bereng) (Siti Hawa Haji Salleh 2005:24). 52 Sebenarnya syair ini tidak boleh dikategorikan sebagai irama asli atau kalau di Sumatera Utara disebut irama senandung, yang temponya lambat yaitu sekitar 60 ketukan asas per minitnya. Ditulis dalam birama atau sukatan 4/4. Dalam satu siklus (pusingan) memerlukan delapan ketukan asas. Dengan onomatopeik bunyi 4 ketukan awal diisi oleh suara tak, dan empat berikutnya dang, dang , tung, tung, dang, dang dan tung. Dengan nota lengkap sebagai berikut: . Pada bahagian melodi selang (interlude) digunakan rentak inang atau mak inang dalam 4/4 dan bahagian isi meter bebas bukan rentak ata irama asli. 148 Fadlin, Syair Melayu Gambar 2. Contoh Rangkap (Bait) Syair dalam Kitab Barzanji 149 Fadlin, Syair Melayu Struktur Musikal Selain peraturan struktural sastra, seperti sudah diuraikan di atas, struktur syair yang tak kalah pentingnya adalah melodi dan rentak musikalnya. Syair ini selalu dipersembahkan dengan menggunakan bentuk melodi tertentu, yang memiliki struktur internal pula. Bahkan dalam satu bait pada Syair Puteri Hijau dinyatakan sebagai berikut. Sampai disini sja’irpun tammat, Sadjaknya banjak a’ betul amat, Mengarangkan dia habislah tjermat, Pinggang dan tengkuk rasanja lumat. Sedikit sadja saja pohonkan, Membatja sja’ir hendaklah lagukan, Supaja gembira jang mendengarkan, Paedahnja banjak tentu didapatkan. (Rahman 1962:92) Dari nukilan atau cuplikan syair di atas jelaslah bahwa dalam mempersembahkan syair, haruslah dilagukan bukan dibaca verbal biasa saja. Demikian pentingnya lagu ini, maka menurut penulis, lagu dalam syair Melayu memainkan peran utama dalam aspek strukruralnya mahupun fungsionalnya Artinya lagu dalam syair ini memberikan identitas dan jati diri kepada syair selain dari struktur teks sastranya. Bagaimana-pun, melodi syair berbeda dengan melodi gurindam dan berbeda pula dengan melodi nazam, dan genre sastra Melayu lainnya. Dengan demikian melodi syair wajib dibagi perhatian serius pula di samping struktur sastranya. Di Sumatera Utara, melodi pengiring syair disebut dengan Lagu Selendang Delima. Dari mana asal-usul tajuk melodi ini belum dapat dipastikan lagi. Namun kemungkinan besar, menurut penulis adalah melodi tersebut awalnya berasal dari sebuah lagu tradisional Melayu baik yang berada di Sumatera Utara atau Semenanjung Tanah Melayu, yang bertajuk Lagu Selendang Delima, dengan teksnya tersendiri, atau teks berbentuk pantun, yang boleh pantun mana saja masuk ke dalamnya. Karena lagu ini memang tepat untuk dimasuki sesebuah pantun. Kemudian karena ia bentuk asli atau senandung dan sedikit meter bebas melodinya, maka lagu ini tepat pula dipergunakan untuk menyampaikan syair. Demikian hipotesis penulis. Nama tajuk Lagu Selendang Delima ini tak banyak yang mengetahuinya. Hanya ada beberapa pemusik saja di kalangan seniman Melayu, yang mengetahuinya, terutama di kalangan pemusik yang berusia relatif tua. Mereka menjelaskan bahwa lagu ini memang bertajuk demikian sejak mereka mengenalnya awal kali. Bila itu tercipta dan siapa penciptanya mereka tidaklah tahu. Di Sumatera Utara, melodi Lagu Selendang Delima untuk mempersembahkan syair ini cukup populer, karena pada dekade 1960-an sampai 1970-an, masyarakat Melayu Sumatera Utara biasanya pencinta berat acara Drama dalam Syair yang disiarkan oleh Radio Singapura, 150 Fadlin, Syair Melayu Singapore Broadcasting Coorporation (SBC). Pada ketika itu, pemain drama ini yang cukup popular di kalangan masyarakat Melayu Sumatera Utara adalah Jahlelawati dan Haji Syarif Medan Singapura. Adapun cerita-cerita yang dipersembahkan umumnya adalah sama dengan yang dipersembah-kan dalam genre teater bangsawan. Melodi Lagu Selendang Delima ini dalam konteks megiringi syair, di wilayah Sumatera Utara, biasanya untuk suara lelaki memakai nada dasar D sedangkan untuk mengiringi penyair perempuan menggunakan tangga nada G (wawancara dengan Ahmad Setia 22 September 2007 di Jalan Antara Medan). Nada dasar ini diperlukan sebagai sarana memosisikan suara agar tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi, disesuaikan dengan ambitus suara penyair. Namun demikian, setiap penyair boleh saja meminta nada dasar yang lebih sesuai untuk suaranya, misalnya E, Es atau F untuk lelaki, As atau A untuk perempuan, dan lain-lainnya, menurut kehendak dan kemampuan suara penyair itu. Rentak yang digunakan pada melodi syair ini adalah menggunakan dua jenis rentak yaitu (a) mak inang, ditulis dalam birama 2/4 atau 4/4, dengan menggunakan onomatopeik: tak, ding, dang dan tung. Keseluruhannya adalah delapan birama atau 32 ketukan asas. Kemudian rentak yang kedua (b) adalah meter bebas atau free meter. Pada bahagian ini diutamakan persembahan teks syair yang terdiri dari empat baris dalam satu baitnya. Rentak meter bebas ini sedikit mengarah kepada rentak senandung namun tidak terikat oleh tanda birama atau metrum Dengan demikian kita boleh melihat adanya pengutamaan teks saat isi ini sehingga boleh dikategorikan sebagai musik melogenik, yaitu musik yang mengutamakan unsur teks dibanding ritme atau melodi. Ini menjadi ciri utama pula dalam persembahan kesenian Melayu pada umumnya, jarang yang mengutamakan unsur musik saja, namun lebih menumpukan pada teks. 151 Fadlin, Syair Melayu Notasi 2. Tiga Rentak Dasar dalam Musik Melayu Sumatera Utara (Senandung, Mak Inang, dan Lagu Dua) Rentak Mak Inang adalah Asas pada Melodi Penyelang Syair Struktur Melodi Selendang Delima Struktur melodi Lagu Selendang Delima yang biasa digunakan untuk menyanyikan syair, nampaknya hampir sama di kawasan Dunia Melayu, khususnya Indonesia dan Malaysia. Secara struktural lagu ini terdiri dari satu bentuk interlude atau melodi penyelang (dalam hal ini diidentifikasi sebagai bentuk X). Ditambah tiga bentuk isi, yaitu (A-B-B’-C). Bentuk isi ini digunakan untuk menyanyikan teks yang terdiri dari empat baris 152 Fadlin, Syair Melayu dalam satu bait. Selengkapnya melodi Selendang Delima itu adalah seperti Notasi 3 berikut ini. Notasi 3. Lagu atau Melodi Selendang Delima yang Biasa Digunakan Untuk Menyanyikan Syair Melodi Selendang Delima di atas dapat dianalisis lagi menurut bentuknya. Bentuk melodi selang atau bentuk X, menggunakan birama 4/4. Dimulai dari tanda istirahat seperdelapan dilanjut ke nada b di bawah c tengah yang berdurasi seperdelapan, meloncat ke nada e dengan durasi not setengah, selepas itu ke nada g dan a masing-masing not seperdelapan Nada dan durasi ini mengisi birama pertama. Selanjutnya birama kedua diisi oleh nada b, c, a, b, g, a, fis, dan g dengan menggunakan durasi 153 Fadlin, Syair Melayu masing-masing not seperdelapan. Sementara itu pada birama ketiga diisi oleh nada e dengan durasi tiga perempat dilanjut ke nada g, fis, a, g, fis masing-masing berdurasi not seperdelapan. Birama keempat diisi oleh nada dan durasi not yang sama dengan birama ketiga. Kemudian birama kelima diisi oleh nada e, d, cis, b yang masing-masing berdurasi not seperdelapan dilanjut ke nada cis dan d masing-masing not seperempat. Birama keenam pula diisi sama dengan birama tiga atau empat. Birama ketujuh sama dengan birama kelima, dan birama kedelapan diisi oleh satu nada saja yang berdurasi dua pertiga ditambah tanda istirahat seperempat. Lihat Notasi 4 berikut ini. Notasi 4. Bentuk Melodi Penyelang (Interlude) yang Diidentifikasi Sebagai X Bentuk melodi Selendang Delima bahagian isi, yang bermeter bebas, terdiri dari bentuk A, B, B’ dan C. Bentuk A dimulai dari tanda istirahat seperdelapan dilanjutkan dengan nada e berdurasi relatif seperdelapan. Kemudian dilanjutkan dengan repetisi tiga buah nada a masing-masing berdurasi seperdelapan, dilanjut ke nada a bahagian ujung frase yang berdurasi not setengah. Bahagian ini kemudian dilanjutkan dengan nada gis, b, a, g, yang masing-masing berdurasi not seperdelapan, dilanjut ke nada f durasi tiga perdelapan, terus ke nada f lagi dengan durasi seperdelapan, nada a seperdelapan, nada b seperempat, nada d seperempat, nada c seperdelapan, nada b seperempat, nada a seperenam belas, dan bentuk ini diakhiri oleh nada b yang berdurasi tiga perdelapan. Selengkapnya lihat bentuk A ini pada Notasi 6 berikut ini. 154 Fadlin, Syair Melayu Notasi 5. Bentuk Melodi Isi A Bentuk B dimulai dari nada b dan c yang masing-masing berdurasi seperdelapan. Dilanjutkan dengan nada dis berdurasi seperenam belas, kemudian nada e berdrasi seperdelapan, nada e setengah, kemudian ke nada cis dengan durasi seperdelapan, dianjutkan ke nada e, d, c masingmasingberdurasi seperdelapan dan kemudian diakhiri sementara oleh nada b dengan durasi not setengah. Kemudian perjalanan melodi dilanjutkan dengan nada a, c, b dan a masing-masing berdurasi not seperdelapan, kemudian ditambah dengan nada g seperempat durasinya, dengan dilanjutkan nada f, a, g yang masing-masing berdurasi not seperdelapan dan bentuk ini diakhiri oleh nada e sebagai nada dasarnya dengan durasi not setengah. Bentuk B ini selengkapnya dapat dilihat pada Notasi 6 berikut ini. Notasi 6. Bentuk Melodi Isi B Bentuk B’ hampir sama dengan bentuk B, yang berbeda adalah bahagian awal—dimulai empat nada yang berbeda dengan bentuk B yaitu menggunakan nada e berdurasi seperdelapan langsung meluncur ke atas nada d sebanyak tiga kali dengan durasi masing-masing not seperdelapan. Selangkapnya lihat Notasi 7 berikut ini. 155 Fadlin, Syair Melayu Notasi 7. Bentuk Melodi Isi B’ Bentuk C yaitu bentuk terakhir isi melodi syair, dimulai dari nada e berdurasi seperdelapan, dianjutkan ke nafa fis berdurasi seperdelapan, nada g seperdelapan, nada b seperenam belas, nada a seperdelapan, nada b seperenam belas, nada a tiga perdelapan, nada f berdurasi seperdelapan, nada e berdurasi seperenam belas, nada dis berdurasi not seperdelapan. Kemudian dilanjutkan e nada a dua kali masin-masing berdurasi not seperdelapan, nada f tiga perenam belas, nada a seperdelapan, nada g seperdelapan, nada fis seperdelapan dan diakhiri nada e sebesar tiga perempat sebagai nada paling akhir dari keseluruhan nada melodi ini. Bentuk C ini dapat dilihat pada Notasi 8 sebagai berikut. Notasi 8. Bentuk Melodi Isi C 156 Fadlin, Syair Melayu Gambar 3. Teknik Menghasilkan Empat Onomatopeik Bunyi Pada Gendang Ronggeng Melayu, Termasuk untuk Mengiringi Sastra Melayu yang Dinyanyikan Gambar tangan: Muhammad Takari, 1997 Gambar 4. 157 Fadlin, Syair Melayu Biola Salah Satu Alat Musik untuk Pembacaan Sastra yang Dilagukan Sumber: www.concertgoersguide.org 158 Fadlin, Syair Melayu Gambar 5. Akordeon Salah Satu Alat Musik Terpenting untuk Mengiringi Sastra yang Dilagukan Gambar 6. Tawak-tawak atau Gong Untuk Mengiringi Sastra yang Dilagukan Gambar tangan: Muhammad Takari, 1997 159 Fadlin, Syair Melayu Gambar 7. Gendang Ronggeng yang biasa Digunakan untuk Mengiringi Musik Melayu termasuk Sastra yang Dilagukan 160 Fadlin, Syair Melayu Gambar 8. Rebab Melayu Digunakan untuk Mengiringi Sastra yang Dilagukan terutana Gurindam Tangga nada (scale) yang dipergunakan dalam syair atau Lagu Selendang Delima secara umum adalah tangga nada minor: minor natural, melodis, harmonis dan zigana sekali gus. Unsur maqam dari Asia Barat juga terwujud dalam lagu ini. Dengan demikian, musik memainkan peran penting pula di samping peran seni sastra di dalam persembahan syair dalam konteks Sumatera Utara atau yang lebih luas Dunia Melayu. Melodi Lagu Selendang Delima menjadi salah satu identitas atau jati diri khas syair 161 Fadlin, Syair Melayu dalam kebudayaan Melayu, yang membedakannya dengan syair dalam tradisi budaya Arab dan Persia. Melodi ini terebar secara luas di kawasan Asia Tenggara atau juga di wilayah diaspora Melayu. Dengan demikian, seorang penyair yang bagus dalam kebudayaan Melayu haruslah pandai menyanyikan syair dengan melodi asas yang telah ada disertai dengan gerenek (ornamentasi) melodi yang boleh saja menjadi ciri seorang penyair. Melalui melodi ini pula seseorang dapat membedakan persembahan-persembahan sejenis dalam kebudayaan Melayu seperti nazam, gurindam, dondang sayang dan lain-lainnya. Jadi unsur musikal dan sastra menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan dalam konteks pertunjukan syair, baik dalam bentuk pertunjukan semata-mata syair, atau dalam bangsawan, toneel dan yang lainnya. Daftar Bacaan A. Rahman, 1962. Sja’ir Puteri Hidjau: Tjerita Jang Benar Terdjadi pada Abad ke15 di Tanah Deli Sumatera Timur. Medan: Pustaka Andalas. Abdul Monir Yaacop dan Sarina Othman (ed.), 1995. Pemerintahan Islam dalam Masyarakat Majmuk. Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM). Abdullah, Mohd. Ghazali, 1995. Teater Tradisional Melayu. Kuala Lumpur: Kemenerian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia. Abu Hassan Sham, 1995. Syair-syair Melayu Riau. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negeri Malaysia. Elydawati Pasaribu, 1993. Tradisi Musik Vokal Marhaban dalam Upacara Menabalkan Anak di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Faruk, 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hajjah Noresah bt Baharon dkk. (eds.), 2002. Kamus Dewan Edisi Ketiga. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hamzah Hamndani (ed.), 2005. Islam di Malaysia dan Sastera Nusantara. Kuala Lumpur: Gapeniaga. Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Perbincangan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hashim Ismail, 2005. “Karakteristik Melayu dalam Sastera Nusanara: Perspektif Neonostalgia.” dalam Hamzah Hamndani (ed.) Islam di Malaysia dan Sastera Nusantara. Kuala Lumpur: Gapeniaga. Mana Sikana, 2005. Teori & Kritikan Sastera Malaysia & Singapura. Singapura: Pustaka Karya. Maniyamin bin Haji Ibrahim “Menggali Keintelektualan Silam Membina Seni Masa Kini” dlm. Mohamad Saleeh Rahamad, S.M. Zakir dan Shamsudin Othman, 162 Fadlin, Syair Melayu 2006. Persuratan dan Peradaban Nasional. Kuala Lumpur: Persatuan Penulis Nasional Malaysia (PENA). Maniyamin bin Haji Ibrahim, 2005. Citra Takmilah: Analisis Terhadap Kumpulan Puisi Islam. Selangor Darul Ehsan: Karisma Publications Sdn. Bhd. Mohd. Yusof Md. Nor dan Abd. Rahman Kaeh (ed.), 1985. Puisi Melayu Tradisi. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd. Rogayah A. Hamid dan Wahyunah Abd. Gani (peny.), 2005. Pandangan Semesta Melayu: Syair. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Shafie Abu Bakar, 1995a. “Takmilah: Teori Sastera Islam” dlm. S. Faafar Husin (peny.) Nadwah Ketakwaan Melalui Kreativiti. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Siti awa Haji Salleh, 2005. “Suatu Perbincangan tentang Sejarah dan Asal Usul Syair, dalam Rogayah A. Hamid dan Wahyunah Abd. Gani (peny.), Pandangan Semesta Melayu: Syair. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya: Jakarta. Wahyunah Abdul Ghani dan Mohamad Shaidan, 2000. Puisi Melayu Lama Berunsur Islam. Kuala Lmpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Zalila Sharif dan Jamilah Hj. Ahmad, 1993. Kesusastraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka. Tentang Penulis Fadlin Muhammad Dja’far, menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Kota Tebingtinggi. Tahun 1980 masuk menjadi mahasiswa Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dan menamatkannya tahun 1988. Setelah itu ia diangkat menjadi dosen di Jurusan Etnomusikologi FS USU, dan kemudian menjabat sekretaris Jurusan Etnomusikologi FS USU tahun 1990 sampai 1999. Ia juga pernah menjadi ketua Lembaga Kesenian USU, dan aktif melakukan kajian dan pertunjukan kesenian. Menyelesaikan pendidikan master di Akademi Pengajian Melayu, Jabatan Sosiobudaya Melayu, Universiti Malaya, tahun 2009, menulis tesis dengan tema songket Batubara, email: [email protected] 163