Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi

advertisement
Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda
dengan PMSG dan hCG sebelum Pengawinan
Abstrak
Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh ovulasi ganda babi
dara sebelum dikawinkan pada performans reproduksi. Penelitian menggunakan
60 ekor babi dara yang dibagi menjadi dua perlakuan, yaitu 1) babi dara tanpa
ovulasi ganda dan 2) babi dara dengan ovulasi ganda. Setelah babi dara
memperlihatkan gejala berahi, pejantan dimasukkan ke dalam kandang untuk
mengawini babi dara yang berahi. Selama penelitian, babi yang telah bunting
dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang beranak
ditempatkan pada kandang individu berukuran 2,5 x 3,5 m2 yang dilengkapi
dengan tempat makan dan minum. Penelitian tahap I menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL) yang terdiri atas dua perlakuan masing-masing dengan 30
ulangan. Analisis data mengikuti prosedur model matematika sebagai berikut:
Yij = µ + αi + εij. Semua data diolah dengan menggunakan sidik ragam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01)
memperpendek lama bunting (LB) , meningkatkan dimensi tubuh, yaitu panjang
badan lahir (PBL) , tinggi tungkai muka lahir (TTML), tinggi tungkai belakang
lahir (TTBL). Induk yang diovulasi ganda mempunyai konsumsi ransum harian
induk (KRHI) yang lebih tinggi. Induk yang diovulasi ganda juga mengalami
peningkatan produksi air susu induk (PASI) per menyusui, produksi air susu
induk ( PASI ) babi per hari, produksi air susu induk (PASI) babi per laktasi.
Anak yang dihasilkan induk yang diovulasi ganda mempunyai pertambahan bobot
badan anak (PBBA) yang lebih tinggi dengan mortalitas (MRTA) yang lebih
rendah, sehingga menghasilkan litter size sapih (LSS) yang lebih tinggi. Induk
yang diovulasi ganda mempunyai anak dengan bobot sapih yang lebih tinggi baik
per litter (BSPL), maupun per ekor (BSPE). Ovulasi ganda meningkatkan
(P<0.05) bobot badan induk (BBI), litter size lahir hidup (LSLH), bobot badan
lahir per litter (BLPL), dan bobot badan lahir per ekor (BLPE). Ovulasi ganda
tidak mempengaruhi litter size lahir mati (LSLM) dan litter size lahir total (LSLT)
Dapat simpulan bahwa performans reproduksi induk babi melalui ovulasi
ganda sebelum pengawinan dapat memperbaiki bobot lahir, litter size sapih,
dimensi tubuh, produksi air susu induk babi, mortalitas, dan konsumsi ransum.
Kata Kunci : Ovulasi ganda, Performans reproduksi
38
The Reproduction Performances of Superovulated Sows with
PMSG and hCG Before Mating
Abstract
This research was conducted to study the effect of superovulation prior to
mating on gilts reproduction performance. Sixty gilts were divided into two factor
treatments of A, namely 1) gilts without superovulation and 2) gilts with
superovulation. Once the gilts showed a standing heat symptoms, the boar was
introduced into the pig pen to mate the gilts. During the study, the pregnant gilts
were kept together in postal pens and two weeks before farrowing, each pregnant
gilts was then placed in 2.5 x 3.5 m2 individual cages equipped with feeding and
drinking devices. A Completely Randomized Design (CRD) was used in the first
phase of study, consisting of two treatments with 30 replications, while analysis of
data were based on the mathematical model procedures, as follows: Yij = μ + αi +
εij. All data were then analysed using analysis of variance. The results showed
that the superovulation significantly (P<0.01) reduced gestation period (GP),
increased the pigs body dimension (BD), the front leg height at birth (FLHB), the
rear leg height at birth (RLB), the daily sow ration consumption, the sows milk
production (SMP) per suckling, the daily sows milk production (SMP) per day,
the sows milk production (SMP) per lactation, the piglet body weight gain
(PBWG), the mortality (MRTA), litter size at weaning (LSW), the weaning litter
size (WLS). Superovulation significantly (P <0.05) increased the sows body
weight (SBW), the litter size born alive (LSBA), the litter weigth at birth
(LWAB), the pig weight at birth (PWAB). Superovulation prior to mating did not
affect litter size dead born (LSDB) and the total born litter size. It was concluded
that the superovulation of the sows before mating could improve sow reproductive
performances, which is described by the improvement of birth weight, weaning
litter size, mortality, consumption of rations, and the sow milk production.
Keywords: Superovulation, reproduction, sows productivity
39
Pendahuluan
Performans reproduksi ternak babi sangat bergantung pada keberhasilan
proses reproduksi. Kemampuan reproduksi sangat ditentukan oleh keberhasilan
induk untuk menghasilkan anak babi yang sehat dan kuat pada saat penyapihan
sehingga periode hidup berikutnya lebih baik. Faktor-faktor yang sangat
mempengaruhinya adalah frekuensi beranak, pertambahan bobot badan anak
sebelum disapih, angka kematian yang rendah dan bobot anak pada saat lahir,
semuanya ditentukan oleh pertumbuhan prenatal (selama dalam kandungan) yang
merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio,
fetus, sampai dilahirkan.
Kehidupan anak babi lahir sampai disapih merupakan periode kritis,
umumnya angka kematian atau mortalitas pada periode ini sangat tinggi. Hal ini
merupakan masalah utama yang sering terjadi pada usaha peternakan babi, baik
skala kecil maupun skala besar. Angka kematian anak babi sebelum disapih
berkisar 20–30% dan bahkan dapat mencapai 65% ( Eusebio 1974). Tingginya
angka kematian ini dapat dimengerti karena pada periode awal (starter) status
faali anak babi sangat peka terhadap derita cekaman (stress) dingin. Jumlah anak
babi sekelahiran (litter size) yang tinggi dengn bobot lahir yang rendah juga akan
mempengaruhi kematian anak babi selama menyusu (Pond and Maner 1974).
Anak babi yang lahir dengan bobot badan rendah diduga ada hubungan dengan
kemampuan untuk melawan cekaman pada kehidupan di luar kandungan karena
adanya sistem hormonal dalam lingkungannya serta keadaan faali yang relatif
belum matang.
Banyak cara telah dilakukan untuk memperbaiki produktivitas induk,
antara lain dengan memanipulasi sistem reproduksi untuk memperbaiki
pertumbuhan dan perkembangan prenatal, yaitu perkembangan embrio dan fetus
yang pada gilirannya mampu menghasilkan anak sekelahiran dengan bobot yang
optimal. Pertumbuhan dan perkembangan prenatal pada dasarnya dapat dibagi
menjadi tiga periode, yaitu zigot, embrio, dan fetus. Diantara ketiga periode
tersebut, periode pertumbuhan dan perkembangan fetus merupakan periode
pertumbuhan prenatal yang paling pesat, selain itu dapat memperbaiki
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan sehingga dapat
40
memproduksi susu secara optimal selama masa laktasi. Pertumbuhan anak babi
setelah kelahiran sampai penyapihan ditentukan oleh produksi air susu dari induk
untuk pemeliharaan anak selama prasapih (Kim et al. 2000; Valros et al. 2003).
Ovulasi ganda merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sistem
reproduksi ternak dengan harapan dapat memperbaiki produksi melalui perbaikan
pertumbuhan prenatal selama kebuntingan dan produksi air susu selama laktasi
(Manalu et al. 1998; Manalu dan Sumaryadi 1999). Penggunaan PMSG dan hCG
telah
dibuktikan
dapat
meningkatkan
sekresi
endogen
hormon-hormon
kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih,
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu dan produksi air susu pada domba
(Manalu et al. 1998), sapi (Sudjadmogo et al. 2001), kambing (Adriani et al.
2005), dan babi (Mege et al. 2007). Melalui peningkatan produksi air susu dari
induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi dapat ditingkatkan, angka
mortalitas ditekan dan bobot sapihan dapat dinaikkan. Penampilan anak babi lepas
sapih yang baik selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas bakalan, dalam hal ini
pertumbuhan dan kualitas karkas pada saat dipotong.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada
induk babi sebelum pengawinan pada performans anak babi yang dilahirkan
sampai disapih.
41
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian tahap I ini dilaksanakan di Peternakan Wailan, yang berlokasi di
Kelurahan Kayawu, Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon,
Provinsi
Sulawesi Utara, mulai dari Oktober 2010 hingga Maret 2011. Jarak dari Manado
ke lokasi penelitian ± 25 km.
Materi Penelitian
Ternak yang digunakan dalam
penelitian ini adalah babi dara (calon
induk) keturunan Landrace, Yorkshire, dan Duroc sebanyak 60 ekor dengan
bobot badan berkisar antara 100–107 kg.
Ransum yang digunakan selama
penelitian disesuaikan dengan ransum yang digunakan di perusahaan.
Tabel 2 Komposisi Bahan dan Zat Makanan dalam Ransum Induk Babi dan
Pejantan, Induk Bunting dan Laktasi (%)
Bahan Makanan
Induk dan Pejantan
Jagung
Konsentrat
Dedak halus
Butiran EGP 702
80
20
-
Komposisi Zat-zat
Makanan
Ransum Induk
dan Pejantan)*
Bahan Kering
Abu
Protein Kasar
Lemak
Serat Kasar
Beta-N
Kalsium
Fosfor
NaCl
Energi Bruto (kkal/kg)
87.47
3.83
14.49
8.05
3.91
57.19
0.95
0.88
0.12
3891
Induk Bunting
dan Laktasi
40
60
Ransum Induk
Bunting dan Laktasi )*
87.47
10.58
16.68
8.30
15.18
38.53
1.38
1.04
0.27
3960
Ket.:*) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor,
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan
(2011)
42
Komposisi bahan makanan dan zat-zat makanan dalam ransum masingmasing dapat dilihat pada Tabel 2. Pemberian makan dilakukan dua kali sehari
dan air minum tersedia ad libitum sepanjang hari. Agen ovulasi ganda yang
digunakan adalah hormon PMSG (Folligon, Intervet, North Holland) dan hCG
(Chorulon, Intervet, North Holland). Penyerentakan berahi dilakukan dengan
menggunakan prostaglandin (Prosolvin, Intervet, North Holland).
Metode Penelitian
Rancangan Percobaan
Penelitian tahap I ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang
terdiri atas dua perlakuan masing-masing dengan 30 ulangan. Analisis data
mengikuti prosedur model matematika Yij
=
µ + αi + εij. Semua data diolah
dengan menggunakan sidik ragam (Steel dan Torrie 1989).
Prosedur Penelitian
Penelitian tahap 1 (Gambar 5) menggunakan 60 ekor babi dara yang
ditempatkan dalam kandang, yaitu 30 ekor babi dara disuntik PMSG dan hCG
dengan dosis: 400/200 (ovulasi ganda 600) IU per ekor dan 30 ekor lainnya
disuntik dengan NaCl fisiologis 0.95% sebagai kontrol. Sebelum penyuntikan
PMSG dan hCG, dilakukan penyerentakan berahi dengan penyuntikan satu mL
PGF2α sebanyak dua kali dengan interval waktu 14 hari. Pada penyuntikan PGF2α
kedua, atau tiga hari sebelum berahi, dilakukan penyuntikan PMSG dan hCG
secara intramuskuler (sesuai dengan dosis pada masing-masing perlakuan),
sedangkan kelompok kontrol disuntik dengan NaCI fisiologis 0.95%. Setelah
menampakkan gejala berahi, babi pejantan dimasukkan ke dalam satu kandang
untuk mengawini babi dara yang berahi. Selama penelitian, babi yang telah
bunting dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang
beranak, babi ditempatkan pada kandang individu berukuran 2.5 x 3.5 m2 yang
dilengkapi dengan tempat makan dan minum sampai umur 49 hari setelah beranak
(postpartum), yang merupakan umur penyapihan.
43
Peubah yang diamati dalam penelitian tahap I ini adalah sebagai berikut :
1. Lama bunting (LB) (hari), diperoleh dari saat terjadinya konsepsi
(pembuahan) sampai terjadinya kelahiran.
2. Bobot badan induk bunting (BBIB) (kg), diperoleh pada saat induk akan
beranak dilakukan pengukuran lingkar dada dengan menggunakan pita ukur,
caranya dengan melingkarkan pita ukur pada dada, kemudian terbaca angka
lingkar dada yang langsung terkonversi ke bobot badan.
3. Liter size lahir dibagi dalam tiga kategori, yaitu jumlah anak babi yang
hidup lahir (LSHL), jumlah anak babi yang mati lahir (LSML), dan hasil
penjumlahan dari kedua ketegori tersebut, yaitu litter size total (LSTL).
4. Dimensi tubuh anak babi (cm), yang kesemuanya diukur bersamaan pada
saat penimbangan bobot anak. Pengukuran dimensi tubuh dilakukan dengan
menggunakan meteran berskala sentimeter, yang meliputi
a. Panjang badan lahir (PBL) (cm), diukur dari pangkal batang leher
sampai pangkal tulang ekor
b. Tinggi tungkai muka lahir (TTML) (cm) diukur dari tapak kaki
sampai penonjolan tulang bahu.
c. Tinggi tungkai belakang lahir (TTBL) (cm) diukur dari tapak kaki
sampai penonjolan tulang.
5. Bobot lahir meliputi;
a. Bobot badan lahir per litter (BLPL) (kg/litter), diperoleh dengan cara
menimbang semua anak babi yang hidup lahir dari seperindukan
b. Bobot badan lahir per ekor (BLPE) (kg/e), diperoleh dari hasil
perhitungan bobot badan per litter dibagi dengan jumlah anak per
induk per kelahiran.
6. Konsumsi ransum harian induk (KRHI) (kg/e/h), dihitung dari jumlah
ransum yang diberikan dikurangi dengan jumlah ransum sisa pagi hari
berikutnya.
7. Frekuensi menyusui (FIM), diperoleh dari hasil pengamatan berapa kali
induk babi menyusui anaknya dan diamati selama 24 jam.
8. Produksi air susu induk (PASI) babi, yang diukur dalam tiga periode, yaitu
PASI babi per menyusui, per hari, dan per laktasi.
44
a. Produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui (kg), didasarkan
pada bobot anak babi per kelahiran (Parakkasi, 1983), anak babi
ditimbang sebelum dan segera setelah selesai menyusu dan selisih
bobot penimbangan adalah PASI babi pada saat itu. Penimbangan
dilakukan
dua kali, penimbangan pertama setelah anak babi
dipuasakan selama 4 jam, kemudian penimbangan kedua sesudah anak
menyusu (± 60 menit). Produksi air susu induk babi diperoleh dari
hasil pengurangan penimbangan kedua dengan pertama. Pengukuran
air susu induk babi dimulai pada hari ketujuh setelah beranak untuk
mengurangi stres pada anak babi, kemudian dilanjutkan pada hari ke14, ke- 21, ke-28, ke-35, ke-42, dan hari ke-49.
b. Produksi air susu induk (PASI) babi per hari diperoleh dari frekuensi
induk menyusui (FIM) x PASI babi per menyusui
c. Produksi air susu induk (PASI) babi per laktasi (kg), PASI /hari x 49
hari (selama laktasi)
9.
Pertambahan
(kg/ekor/hari),
bobot badan
anak (PBBA)
babi selama menyusu
yaitu selisih antara rataan bobot badan sebelum dan
sesudahnya, dan dilakukan dengan cara menimbang anak babi menyusu
setiap minggu.
10. Mortalitas (MRTA) anak babi prasapih (%) diperoleh dengan menghitung
jumlah anak yang mati dari seperindukan selama menyusui (49 hari),
kemudian dibagi dengan jumlah anak yang lahir hidup dan dikalikan
dengan 100% (persentase mortalitas).
11. Litter size sapihan (LSS) (ekor), diperoleh dengan menghitung jumlah
anak babi sekelahiran segera setelah disapih
12. Bobot sapih meliputi;
a. Bobot sapih per litter (BSPL) (kg), diperoleh dengan menimbang
semua anak babi seperindukan segera setelah disapih.
b. Bobot sapih per ekor (BSPE) (kg), diperoleh dengan cara menghitung
bobot badan sapih per litter (BSPL) dibagi dengan jumlah anak babi
sapihan per induk per kelahiran
45
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh Perlakuan pada Penampilan Reproduksi Induk Babi
Penampilan reproduksi induk babi yang diamati dalam penelitian ini ialah
lama bunting, bobot badan induk babi bunting, dan penampilan reproduksi yang
meliputi litter size lahir, dimensi tubuh, bobot lahir, konsumsi ransum harian
induk laktasi, produksi air susu induk babi, pertambahan bobot badan anak babi,
mortalitas, bobot sapih, dan litter size sapih.
Lama Bunting
Rataan umum lama bunting hasil penelitian adalah 112.76 ± 3.83 hari
dengan kisaran lama bunting 107–119 hari. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda
dari pendapat Eusebio (1980) yang menyatakan bahwa umur kebuntingan ternak
babi berkisar antara 112–120 hari dengan rataan 114 hari. Hasil analisa sidik
ragam menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan sangat
nyata (P<0.01) mempersingkat lama bunting. Secara rinci rataan lama bunting
berdasarkan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Rataan lama bunting babi yang
tanpa ovulasi ganda adalah 115 ± 2.83 hari (dengan KK=5.98%), dan pada induk
yang diovulasi ganda adalah 110.52 ± 2.23 hari (dengan KK=2.05%). Lama
bunting induk babi yang diovulasi ganda lebih singkat 4.48 hari daripada yang
tidak diovulasi ganda. Hal ini demikian karena babi dara yang diovulasi ganda
mengalami peningkatkan pertumbuhan dan perkembangan serta aktivitas
fisiologis uterus dan plasenta sehingga uterus dan plasenta tumbuh lebih baik
untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrio dan festus walaupun
dalam jumlah yang lebih banyak (Mege et al. 2007). Hasil ini juga didukung oleh
Hafez (1993) yang mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi lama
bunting ternak, antara lain faktor induk, jumlah anak yang dikandung, dan bangsa
babi. Menurut Yoga (1988), lama bunting ternak babi dipengaruhi oleh periode
kelahiran, banyaknya anak dalam kandungan, dan bangsa atau jenis babi. Lebih
lanjut dinyatakan, makin banyak anak yang dikandung maka lama bunting
semakin singkat. Jumlah anak dalam kandungan dapat menentukan waktu untuk
beranak atau partus karena proses beranak akan berlangsung dengan cepat
46
Tabel 3 Penampilan Reproduksi Induk Babi Kontrol (TSO) dan yang Diovulasi
Ganda (SO)
Parameter
Perlakuan
TSO
Rataan
SO
Lama Bunting (LB) (hari)
115. 00 ± 2.83B
110.52 ± 2. 23 A
112.76± 3.38
Bobot badan induk bunting (BBIB) (kg)
171. 38 ± 9.15 a
179.86 ± 11. 49 b
175.62± 11.12
1. Litter size hidup lahir (LSHL) (ekor)
8. 95 ± 2. 03 a
10.43± 2. 54 b
9. 69± 2. 39
2. Litter size lahir mati (LSML) (ekor)
1.33 ± 1. 02
0.81± 1. 57
1. 07± 1. 33
3. Litter size total lahir (LSTL) (ekor)
10. 29 ± 2.19
11.24± 3. 33
10. 76± 2. 83
1. Panjang badan (PBAL) (cm)
21.12 ± 1. 31 A
22.81± 0. 97 B
21. 96 ± 1.43
2. Tinggi tungkai muka (TTML) (cm)
13. 35 ± 1.12 A
14.53± 0. 55 B
13. 94± 1.06
3. Tinggi tungkai belakang (TTBL) (cm)
15. 35 ± 0. 90 A
16.39± 0. 55 B
15. 87± 0. 90
1. Bobot lahir per litter (BLPL) (kg /litter)
13.64 ± 2. 31 a
16.10 ± 4. 19 b
14. 87± 3. 57
2. Bobot lahir per ekor (BLPE) (kg/e)
Konsumsi Ransum Harian Induk (KRHI)
(kg)
1.34 ± 0. 14 a
1. 46 ± 0.19 b
1. 40 ± 0.18
4.87 ± 0. 77 A
5. 48±0. 45 B
5. 16± 0.71
18.93 ± 0. 23 A
19. 89± 0.40 B
19.41± 0.58
Litter size lahir (LSL)
Dimensi Tubuh Lahir
Bobot Lahir
Produksi Air Susu Induk (PASI) Babi
1. Frekuensi induk babi menyusui (FIM)
2. PASI babi per menyusui (kg)
3 PASI babi per hari (kg)
4. PASI babi per laktasi (kg)
0. 32 ± 0. 10
6. 23 ± 1. 89
a
0. 39± 0.05
A
305. 54 ± 92. 40
b
0.35± 0.08
B
7. 74±1.00
A
379. 44± 11.08
6.99±1.68
B
342.49 ± 82.12
Pertambahan Bobot Badan Anak Babi
(PBBA)(kg)
9. 35 ± 0. 69 A
10. 81± 1.69 B
10.08 ± 1.48
Mortalitas (MRTA) (%)
26. 64 ±18.60 B
14. 92± 10.18 A
20.78 ± 15. 95
7. 48 ±1.97A
9. 29± 1.98B
8.38 ± 2. 15
1. Bobot sapih per litter (BSPL) (kg/litter)
79.63 ± 20.78A
107.02± 21.85B
93.33± 25. 21
2. Bobot sapih per ekor (BSPE) (kg/e)
10.64 ± 0.75A
11. 61± 1.41B
11.13± 1.07
Litter size sapih (LSS) (ekor)
Bobot Sapih
Keterangan: Superskrip huruf besar dan kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama
masing-masing menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01) dan berbeda
nyata (P<0.05); TSO = tanpa ovulasi ganda, SO = ovulasi ganda
47
disebabkan dorongan fetus dari dalam akan terjadi sehingga kontraksi
uterus, serviks serviks menjadi relaks bersamaan dengan tekanan yang dihasilkan
oleh otot uterus, fetus yang di dalam uterus akan membuat jalan baginya untuk
menuju vagina lebih cepat sampai akhirnya beranak (Yoga 1988). Lebih lanjut
dinyatakan bahwa lama bunting ternak babi dipengaruhi oleh frekuensi beranak
dari induk. Induk babi yang baru pertama kali beranak biasanya lebih cepat proses
beranaknya daripada induk babi yang sudah beberapa kali beranak. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa lama bunting induk dara lebih singkat daripada induk yang
sudah beberapa kali beranak.
Bobot Badan Induk Babi Bunting
Bobot badan induk babi bunting (BBIB) diukur pada saat induk akan
beranak dengan melakukan pengukuran lingkar dada menggunakan pita ukur,
caranya dengan melingkarkan pita ukur pada dada, kemudian terbaca angka
lingkar dada yang langsung terkonversi ke bobot badan. Rataan umum dari hasil
penelitian BBIB adalah 175.62 ± 11.12 kg. Secara rinci, rataan BBIB menurut
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan
bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan nyata (P<0.05) meningkatkan
BBIB. Rataan BBIB induk yang tidak diovulasi ganda (kontrol) adalah 171.38 ±
9.15 kg (dengan KK =5.34% ) dan induk yang diovulasi ganda adalah 179.86 ±
11.49 kg (dengan KK=6.39%). Dengan kata lain, ovulasi ganda menyebabkan
terjadinya peningkatan BBIB 8.48 kg lebih tinggi daripada yang tidak diovulasi
ganda.
Bobot badan induk babi bunting sangat dipengaruhi oleh ovulasi ganda
karena jumlah dan bobot embrio yang terkandung di dalam uterus. Bobot badan
induk babi bunting yang diovulasi ganda lebih berat daripada yang tanpa ovulasi
ganda. Ovulasi ganda merupakan suatu teknologi reproduksi yang mampu
meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Manalu et al. 2000).
Jumlah korpus luteum ini memiliki kaitan erat dengan tingkat sekresi hormon
kebuntingan dan hormon mamogenik, seperti estradiol dan progesteron selama
kebuntingan (Manalu et al. 1999). Hormon-hormon tersebut, selain berperan
dalam memantapkan proses kebuntingan, juga berfungsi dalam memodulasi
48
ekspresi sejumlah protein, selain itu konsentrasi progesteron dan estradiol selama
kebuntingan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus dan bobot fetus
dalam kandungan (Manalu & Sumaryadi 1999; Mege et al. 2007). Hormonhormon tersebut berperan sebagai faktor penentu pertumbuhan selanjutnya dan
akan memelihara hubungan antara embrio dan uterus serta memandu pertumbuhan
embrio untuk menjadi fetus dengan pertumbuhan yang baik (Schultz et al. 1993).
Litter Size Lahir
Litter size lahir dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu jumlah anak babi yang
hidup lahir (Litter Size Hidup Lahir, LSHL), jumlah anak mati lahir (Litter Size
Mati Lahir, LSML), dan hasil penjumlahan kedua kategori tersebut (Litter Size
Total Lahir, LSTL).
1. Litter Size Hidup Lahir
Rataan umum jumlah anak-anak babi yang hidup lahir per ekor induk
adalah sebesar 9.69 ± 2.39 ekor (Tabel 3). Rataan umum yang diperoleh dalam
penelitian ini masih lebih rendah daripada pernyataan Kurniawan (2006) bahwa
litter size hidup lahir anak babi sebesar 10.16 ekor. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan litter size hidup
lahir, yaitu 8.95 ± 2.03 ekor (dengan KK= 22.74%) pada kontrol dan 10.43 ± 2.54
ekor (dengan KK= 24.37% ) pada induk yang diovulasi ganda.
Litter size hidup lahir pada induk yang diovulasi ganda lebih tinggi
daripada induk tanpa ovulasi ganda. Lazimnya, pada ternak yang beranak banyak,
seperti ternak babi, semakin tinggi jumlah anak yang dikandung cenderung
semakin banyak anak yang lahir di bawah bobot rataan normal sehingga anak babi
dengan bobot lahir di bawah normal akan mati dengan demikian, akan
mempengaruhi jumlah anak yang hidup lahir. Litter size hidup lahir bergantung
pada jumlah anak yang mati pada proses sebelum dan sesudah lahir. Makin tinggi
anak babi yang mati pada proses tersebut diikuti dengan makin rendah litter size
hidup lahir.
49
2. Litter Size Mati Lahir
Rataan umum anak babi yang mati lahir dalam penelitian ini adalah
sebesar 1.07 ± 1.33 ekor atau 9.29 ± 9.87%. Persentase rataan umum yang
diperoleh pada penelitian ini hampir sama dengan pendapat Sihombing (2006),
yang menyatakan bahwa hampir 10% anak babi yang mati lahir adalah yang
benar-benar mati sebelum mulai proses kelahiran dan 90% sisanya adalah mati
selama proses kelahiran. Rataan litter size mati lahir pada penelitian selengkapnya
diperlihatkan pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa
perlakuan tidak mempengaruhi litter size mati lahir. Rataan litter size mati lahir
pada penelitian ini untuk induk babi tanpa ovulasi ganda adalah 1.33 ± 1.02 ekor
(dengan KK 11.83%) dan untuk induk yang diovulasi ganda ialah 0.81 ± 1.56
ekor (dengan KK 10%).
Walaupun hasil analisa sidik ragam untuk perlakuan tidak berbeda nyata,
namun pada Tabel 3 tampak bahwa babi dara yang diovulasi ganda menghasilkan
jumlah anak babi yang mati lahir lebih sedikit dibanding dengan yang tidak
diovulasi ganda. Hal ini demikian karena anak babi yang lahir dari induk babi
tanpa ovulasi ganda umumnya lebih banyak yang mempunyai bobot lahir yang
rendah yaitu di bawah satu kilogram. Hasil pengamatan memperlihatkan,
umumnya anak babi mati sesudah dilahirkan. Banyak anak babi yang mati dalam
keadaan lemah, dan pada umumnya mempunyai bobot lahir yang sangat rendah,
yaitu di bawah satu kilogram. Kematian ini umumnya terjadi pada saat lahir
hingga hari ke-3 setelah lahir. Sihombing (2006) menyatakan bahwa tingkat
kematian anak babi sampai umur tiga hari adalah 12% sedangkan sampai umur 47 hari adalah 10% .
3. Litter Size Total Lahir
Rataan umum litter size total lahir hasil penelitian adalah 10.76 ± 2.83
ekor. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran, antara lain
faktor genetik dan lingkungan. Litter size total lahir yang diperoleh selama
penelitan lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Krider dan Carrol (1971),
yaitu sebesar 11.4 ekor, sedangkan menurut Eusebio (1980) litter size lahir anak
babi berkisar antara
8-12 ekor. Bangsa babi juga dapat mempengaruhi jumlah
litter size lahir, babi Duroc dengan litter size 10,24 ekor, bangsa babi Landrace
50
10,94 ekor (Milagres et al. 1983) dan 11 ekor (Devendra dan Fuller 1979),
sedangkan untuk bangsa babi Yorkshire adalah 9,57 ekor (Park dan Kim 1983).
Rataan litter size total lahir untuk induk babi yang tidak diovulasi ganda
adalah 10.29 ± 2.19 ekor (dengan KK=21.33%) dan untuk induk yang diovulasi
ganda ialah 11.24 ± 3.33 ekor (dengan KK=29.63%). Hasil analisis keragaman
perlakuan menunjukkan bahwa ovulasi ganda tidak nyata mempengaruhi litter
size total lahir pada babi percobaan. Litter size total lahir pada induk yang
diovulasi ganda menghasilkan rataan jumlah anak yang hampir sama dengan
induk yang tidak ovulasi ganda karena ternak babi adalah ternak yang prolifik.
Walaupun tidak berbeda nyata secara statistik, jumlah anak total lahir atau
litter size total lahir pada induk babi yang diovulasi ganda masih lebih tinggi
daripada tanpa ovulasi ganda. Hal ini memberi gambaran bahwa secara fisiologis,
induk babi memberikan respons yang baik terhadap pemberian PMSG dan hCG
yang kerjanya mirip dengan FSH dan LH, yaitu merangsang pertumbuhan dan
perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi estrogen yang selanjutnya akan
merangsang ovulasi (Bates et al. 1991; Estiene dan Harper 2003) dan
perkembangan korpus luteum untuk menghasilkan progesteron dan ovum yang
lebih banyak sehingga berpotensi meningkatkan jumlah anak sekelahiran
(Mege et al. 2007).
Dimensi Tubuh Anak Babi Lahir
Dimensi tubuh anak babi setelah lahir diperoleh dengan cara mengukur
bagian-bagian tubuhnya. Dimensi tubuh anak babi lahir dibagi ke dalam tiga
kategori, yaitu panjang badan anak babi lahir (PBAL), tinggi tungkai muka lahir
(TTML), dan tinggi tungkai belakang lahir (TTBL).
1. Panjang Badan Anak Babi Lahir
Pertumbuhan anak babi saat lahir digambarkan dengan peningkatan
ukuran morfometrik panjang badan dari anak babi yang dilahirkan. Rataan umum
panjang badan anak babi lahir (PBAL) adalah 21.96 ± 1.43 cm. Panjang badan
anak babi lahir pada penelitian ini selengkapnya terlihat pada Tabel 3. Rataan
panjang badan anak babi lahir dari induk babi kontrol dan yang diovulasi ganda
masing-masing adalah 21.12 ± 1.31 cm (dengan KK=6.22%) dan 22.81 ± 0.97 cm
51
(dengan KK= 4.26 %). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi
ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan ukuran panjang badan anak babi lahir.
Tabel 3. memperlihatkan bahwa anak babi yang lahir dari induk babi tanpa
ovulasi ganda mempunyai ukuran badan yang lebih pendek daripada anak babi
dari induk yang diovulasi ganda. Perbaikan penampilan panjang badan anak saat
lahir pada induk yang diovulasi ganda digambarkan pula oleh peningkatan
fenotipe panjang badan. Hasil penelitian ini didukung hasil Manalu et al. (2000)
pada domba bahwa anak domba yang berasal dari induk ovulasi ganda
mempunyai panjang badan yang lebih panjang dibanding dengan yang tanpa
ovulasi ganda, demikian juga pada kambing hasil ovulasi ganda (Adriani et al.
2005). Ovulasi ganda dapat meningkatan sekresi endogen hormon-hormon
kebuntingan, terutama progestreron dan estradiol sehingga memperbaiki
pertumbuhan dan perkembangan uterus yang memanifestasikan peningkatan
bobot uterus dan kandungan total DNA dan RNA, dan glikogen yang
menggambarkan adanya hipertropi atau pertambahan masa sel aktif, tetapi juga
disertai oleh peningkatan konsentrasi DNA dan RNA yang mengindikasikan
bahwa pertumbuhan uterus disertai oleh adanya sintetik sel terutama
memproduksi substrat untuk pemeliharaan embrio pada kebuntingan dini. Pada
tikus dan kelinci, estrogen menstimulasi hipertropi dan mempertahankan sel-sel
luteal selama kebuntingan (Niswender et al. 2000).
2. Tinggi Tungkai Muka Anak Babi Lahir
Rataan umum dari hasil pengamatan tinggi tungkai muka anak babi lahir
(TTML) adalah 13.94 ± 1.06 cm. Tinggi tungkai muka merupakan hasil
pengukuran dimensi tubuh yang menggambarkan pertumbuhan ternak. Tinggi
tungkai muka anak babi lahir pada penelitian ini secara rinci diperlihatkan pada
Tabel 3. Rataan tinggi tungkai muka anak babi yang dilahirkan oleh induk babi
kontrol dan yang diovulasi ganda masing-masing adalah 13.35 ± 1.12 cm (dengan
KK=6.41% ) dan 14.53 ± 0.56 cm (dengan KK= 3.82%).
Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01)
meningkatkan tinggi tungkai muka anak babi lahir. Hasil yang diperoleh pada
penelitian ini juga memperlihatkan bahwa peningkatan panjang badan anak babi
lahir disertai dengan peningkatan rataan tinggi tungkai muka pada anak babi yang
52
dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda. Perbaikan parameter reproduksi pada
induk digambarkan melalui peningkatan fenotipe pada tinggi tungkai muka.
Perbaikan dimensi tubuh berupa tinggi tungkai muka berlangsung terus sampai
anak babi berumur 49 hari atau pada waktu disapih. Hal ini disebabkan induk babi
yang diovulasi ganda mampu meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon
kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol, sehingga integrasi kinerja uterus
dan plasenta secara optimal menyebabkan asupan nutrisi untuk embrio berjalan
dengan baik sehingga berdampak pada ekspresi genotipe pertumbuhan yang
digambarkan oleh fenotipe tinggi tungkai muka saat lahir (Manalu et al. 1996;
Manalu dan Sumaryadi 1998).
3. Tinggi Tungkai Belakang Anak Babi Lahir
Rataan umum pengamatan tinggi tungkai belakang anak babi lahir adalah
sebesar 15.87 ± 0.90 cm. Tinggi tungkai belakang anak babi lahir pada penelitian
ini selengkapnya terlihat pada Tabel 3. Pertumbuhan anak saat lahir digambarkan
juga oleh peningkatan morfometrik tinggi tungkai belakang anak yang lahir. Hasil
analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan ovulasi ganda sangat nyata
(P<0.01) meningkatkan tinggi tungkai belakang anak babi lahir. Rataan tinggi
tungkai belakang anak babi lahir dari induk babi kontrol dan yang diovulasi ganda
masing-masing adalah 15.35 ± 0.90 cm (dengan KK=5.87%) dan 16.39 ± 0.55 cm
(dengan KK= 3.36 %).
Peningkatan tinggi tungkai belakang anak babi lahir memberi peluang
pertumbuhan ternak babi yang lebih baik. Perbaikan tinggi tungkai belakang pada
anak babi digambarkan melalui peningkatan fenotipe pada tinggi tungkai muka.
Perbaikan dimensi tubuh berupa tinggi tungkai belakang berlangsung terus sampai
ternak berumur 49 hari atau pada waktu disapih. Hal ini terjadi karena ovulasi
ganda mampu meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan,
terutama progesteron dan estradiol, sehingga kerja optimal dari hormon
progesteron dalam proses pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta,
serta embrio akan baik. Hasilnya, uterus berkembang secara optimal sebagai
tempat hidup embrio, yang menyebabkan ekspresi genotipe pertumbuhan yang
digambarkan oleh fenotipe, yaitu tinggi tungkai belakang saat lahir akan lebih
baik dibandingkan dengan anak babi dari induk yang tanpa ovulasi ganda. Hal ini
53
didukung oleh Manalu et al. (1999) dan Adriani et al. (2005) yang menyatakan
bahwa anak domba dan kambing yang berasal dari induk yang diovulasi ganda
mempunyai badan lebih panjang.
Hal ini terjadi karena estrogen berfungsi
merangsang hipertropi dan hiperplasia endometrium dan miometrium akibatnya
ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum
pubertas. Selain itu, estrogen dan progesteron juga berfungsi dalam merangsang
osteogenesis pada embrio dan fetus. Kekurangan estrogen menyebabkan aktivitas
osteoblastik, matriks tulang, dan deposit kalsium serta fosfor tulang berkurang
sehingga pertumbuhan tulang terganggu.
Bobot Lahir Anak Babi
Bobot lahir dibagi ke dalam dua kategori, yaitu penimbangan anak babi
yang lahir dari setiap induk (bobot lahir per litter, BLPL) dan bobot lahir per ekor
(BLPE) hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi dengan jumlah anak
hidup lahir (ekor).
1. Bobot Badan Lahir per Litter
Rataan umum bobot lahir anak babi per litter adalah 14.87 ± 3.57 kg.
Pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada bobot badan lahir per litter dapat dilihat
pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda nyata
(P<0.05) meningkatkan bobot lahir per litter. Bobot badan lahir anak per litter
dari induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 13.64 ± 2.31 kg (dengan
KK=16.98%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 16.10 ± 4.19 kg
(dengan KK=25.99%). Ovulasi ganda pada induk babi menghasilkan bobot lahir
per litter yang lebih tinggi daripada tanpa ovulasi ganda, karena ovulasi ganda
meningkatkan aktivitas hormon kebuntingan progesteron dan estradiol dan faktor
pertumbuhan. Hormon-hormon tersebut akan disekresikan secara endogen selama
kebuntingan dan berperan dalam perangsangan proses sintesis dan sekresi kelenjar
endometrium uterus yang pada gilirannya akan sangat menentukan kelangsungan
hidup, pertumbuhan dan perkembangan konseptus sejak pra-implantasi sampai
menjelang kelahiran (Carson et al. 2000). Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin
dan Human Chorionic Gonadotrophin berperan dalam meingkatkan kapasitas dan
sekresi uterus (Geisert dan Schmitt 2002) serta pertumbuhan dan perkembangan
54
intrauterus (Valet et al. 2002). Setelah plasentasi, pertumbuhan fetus sangat
dipengaruhi oleh kapasitas plasenta yang memfasilitasi sirkulasi substrat dari
induk untuk pemeliharaan fetus (Wilson et al. 1999; Giellespie dan James 1998).
2. Bobot Badan Lahir per Ekor
Rataan umum bobot lahir anak babi per ekor adalah 1.40 ± 0.18 kg .
Kurniawan (2006) yang meneliti hubungan bobot lahir dengan litter size lahir
menyatakan bahwa bobot lahir anak babi adalah 1.30 kg/ekor. Bobot lahir anak
babi dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain frekuensi induk babi beranak
(parity), umur induk, bangsa induk, dan jumlah anak seperindukan pada waktu
lahir (De Borsotti et al. 1982). Pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada bobot
badan lahir dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan
bahwa perlakuan ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan bobot lahir per
ekor. Bobot lahir per ekor anak babi dari induk kontrol tanpa ovulasi ganda
adalah 1.34 ± 0.14 kg (dengan KK=10.46%) dan pada induk yang diovulasi
ganda adalah 1.46 ± 0.19 kg (dengan KK=13.12%) (Tabel 3). Bobot lahir anak
yang lebih tinggi pada induk babi yang diovulasi ganda terjadi karena ovulasi
ganda meningkatkan aktivitas hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan.
Hormon-hormon tersebut akan disekresikan secara endogen selama kebuntingan
dan berperan dalam diferensiasi dan perkembangan fetus selama kebuntingan
yang berkaitan dengan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai perubahan
yang terjadi pada masa transisi dari kehidupan intrauterus ke ekstrauterus (Geisert
et al. 1994). Bobot lahir tidak lepas dari kapasitas dan sekresi uterus (Giesert dan
Schmitt 2002), dan juga oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan
intrauterus (Valet et al. 2002) yang setelah plasentasi sangat dipengaruhi oleh
kapasitas plasenta yang memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk untuk
pemeliharaan fetus (Wilson et al. 1998).
Konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan berkorelasi
positif dengan peningkatan bobot uterus, bobot fetus dalam kandungan, dan bobot
lahir anak (Manalu & Sumaryadi 1999; Mege et al. 2007). Ovulasi ganda dapat
meningkatkan pertumbuhan otot awal yang ditandai dengan peningkatan ukuran
serat otot (hipertropi), pertumbuhan otot kemudian berasal dari peningkatan
jumlah serat otot (hiperplasia) (Giellespie dan James 1998). Sebagian besar ternak
55
berkembang 60–70% dari bobot lahir selama fase pertumbuhan fetus. Peningkatan
terbesar dalam bobot fetus terjadi selama kebuntingan (Giellespie dan James
1998). Akibat dari pertumbuhan dan perkembangan yang sebagian besar terjadi
pada periode kebuntingan menyebabkan bobot anak babi yang lahir dari induk
yang diovulasi ganda lebih baik.
Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Laktasi
Konsumsi ransum harian induk (KRHI) babi laktasi adalah jumlah ransum
yang dimakan induk babi setiap hari selama masa laktasi. Konsumsi ransum
diperoleh dari selisih antara jumlah ransum awal dengan jumlah sisa. Ransum
yang dikonsumsi induk babi, di samping akan diubah menjadi jaringan tubuh,
juga digunakan untuk produksi air susu, energi dan sebagian lagi akan dikeluarkan
sebagai kotoran. Rataan umum untuk konsumsi harian ransum induk babi laktasi
adalah 5.16 ± 0.70 kg,
Sihombing (2006) menyatakan dalam menghitung
kebutuhan ransum untuk induk laktasi adalah 2 kg untuk hidup pokok induk dan
ditambah dengan 0.5 kg untuk setiap ekor anak. Dari hasil perhitungan, rataan
kebutuhan ransum dihubungkan dengan rataan umum litter size lahir hidup (9.69
± 2.39 ekor) adalah sebesar 6.85 kg per ekor induk. Apabila dibandingkan dengan
hasil penelitian maka ransum yang dikonsumsi oleh induk babi laktasi masih lebih
rendah 1.69 kg daripada kebutuhan yang direkomendasikan. Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa induk babi yang diovulasi ganda mengkonsumsi
ransum yang lebih banyak (P<0.01) selama laktasi. Hasil pengamatan konsumsi
ransum harian induk (KRHI) babi selama masa laktasi
diperlihatkan pada
Tabel 3. Rataan konsumsi ransum harian induk babi selama laktasi masingmasing adalah 4.87 ± 0.77 kg pada kontrol (dengan KK=15.86 %) dan 5.48 ±
0.45 kg pada induk yang diovulasi ganda (dengan KK=8.23 %).
Konsumsi ransum yang lebih tinggi pada induk babi laktasi yang diovulasi
ganda terjadi karena litter size hidup lahir (10.43 ± 2.54 ekor) juga lebih tinggi
dibandingkan dengan pada induk tanpa ovulasi ganda (8.95 ± 2.03 ekor).
Kebutuhan ransum induk babi selama laktasi sangat bergantung pada banyaknya
anak yang disusuinya (Sihombing 2006). Hasil penelitian rataan litter size lahir
pada perlakuan induk babi ovulasi ganda dan tidak diovulasi ganda dihubungkan
56
dengan konsumsi ransum harian induk babi laktasi dalam penelitian ini masih
lebih rendah daripada yang seharusnya, yaitu 7.21 kg untuk yang diovulasi ganda
dan tanpa ovulasi ganda adalah 6.48 kg. Kebutuhan ransum untuk induk babi
laktasi bergantung pada jumlah dan bobot badan anak yang disusuinya. Semakin
tinggi litter size, konsumsi ransum induk juga semakin meningkat. Litter size juga
mempengaruhi produksi susu. Semakin tinggi litter size lahir maka konsumsi
ransum induk laktasi semakin banyak. Apabila konsumsi ransum induk selama
laktasi tidak terpenuhi sesuai dengan jumlah anak sekelahiran, cadangan makanan
dalam tubuh akan digunakan untuk memproduksi susu dan selanjutnya apabila
cadangan makanan dalam tubuh berkurang maka produksi susu akan berkurang.
Bobot badan anak juga mempengaruhi konsumsi ransum. Makin tinggi bobot
badan anak-anak babi yang disusuinya maka konsumsi ransum induk laktasi
makin tinggi (Parakkasi 1990). Bobot lahir anak babi dari induk babi kontrol
adalah 1.34 ± 0.14 kg/ekor dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 1.46 ±
0.19 kg/ekor.
Dengan demikian, induk yang mempunyai anak yang bobot
lahirnya lebih tinggi akan mengkonsumsi ransum lebih banyak daripada induk
yang mempunyai bobot lahir rendah.
Induk babi yang diovulasi ganda
mempunyai anak dengan bobot badannya lebih tinggi sehingga frekuensi induk
babi menyusui lebih sering daripada anak babi yang bobot badannya lebih rendah.
Dengan demikian, untuk mengimbangi produksi air susu induk babi maka
konsumsi ransum induk laktasi yang diovulasi ganda lebih banyak daripada induk
babi tanpa ovulasi ganda yang kenyataannya mempunyai anak lebih rendah bobot
badannya.
Produksi Air Susu Induk Babi
Produksi air susu induk (PASI) babi yang dimaksud adalah per menyusui,
per hari, dan per laktasi yang mana PASI babi per hari dan per laktasi merupakan
hasil perhitungan frekuensi induk babi menyusui per hari dikalikan dengan PASI
babi per menyusui. Frekuensi induk babi menyusui (FIM) per hari diperoleh
dengan cara mengamati berapa kali induk babi menyusui anaknya selama 24 jam.
Produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui diperoleh dengan menimbang
bobot anak babi per kelahiran (Parakkasi 1990), anak babi ditimbang sebelum dan
57
segera setelah selesai menyusu dan selisih bobot penimbangan merupakan PASI
babi pada saat itu. Penimbangan dilakukan dua kali, penimbangan pertama setelah
anak babi dipuasakan selama 4 jam, kemudian penimbangan kedua sesudah anak
babi menyusu (± 60 menit). Produksi air susu induk babi diperoleh dari hasil
pengurangan penimbangan kedua dengan pertama. Pengukuran air susu induk
babi per menyusui dimulai pada hari ketujuh setelah beranak untuk mengurangi
stress pada anak babi, kemudian dilanjutkan pada hari ke-14 , ke- 21 , ke-28, ke35, ke-42, dan hari ke-49. Produksi air susu induk babi per hari diperoleh dengan
cara menghitung PASI babi per menyusui dikalikan dengan frekuensi menyusui
dan produksi air susu induk babi per laktasi diperoleh dari PASI babi per hari
dikalikan dengan umur prasapih atau masa laktasi, yaitu 49 hari.
1. Frekuensi Induk Babi Menyusui
Rataan umum untuk frekuensi induk babi menyusui (FIM) ialah 19.41 ±
0.58 kali per hari, dengan kisaran 13.57-24.29 kali/hari. Berdasarkan nilai
pengamatan FIM anaknya selama penelitian dapat diperoleh rataan lama anak
babi setiap menyusu adalah 74.81 menit (1.15 jam) sekali. Hasil pengamatan yang
diperoleh masih lebih rendah dibandingkan dengan pernyataan Xu dan Cranwell
(2003) bahwa frekuensi induk babi menyusui adalah sebanyak 20 kali. Data
frekuensi induk babi menyusui menurut perlakuan disajikan pada Tabel 3. Hasil
analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01)
meningkatkan frekuensi induk babi menyusui.
Rataan frekuensi induk babi
menyusui per hari pada induk kontrol adalah 18.93 ± 0.23
KK=1.20%) dan 19.89 ± 0.40 kali
kali
(dengan
(dengan KK= 1.99%) pada induk yang
diovulasi ganda.
Perlakuan ovulasi ganda pada induk babi ternyata dapat meningkatkan
frekuensi induk menyusui anaknya. Induk babi dengan produksi air susu yang
tinggi akan lebih sering menyusui anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa anak babi
dari induk ovulasi ganda secara konsisten dan lebih baik dalam mempertahankan
frekuensi menyusui sampai prasapih daripada anak babi dari induk babi yang
tanpa ovulasi ganda. Hal ini disebabkan anak babi yang lahir dari induk tanpa
ovulasi ganda mempunyai bobot badan yang lebih rendah (1.34 ± 0.14 kg)
dibandingkan dengan anak babi yang lahir dari induk ovulasi ganda (1.46 ± 0.19
58
kg) sehingga kebutuhan air susu lebih banyak dan anak hasil ovulasi ganda lebih
agresif daripada anak yang lahir dari induk tanpa diovulasi ganda.
SO
TSO
Linear (SO)
Linear (TSO)
Frekuensi menyusui
25.00
20.00
15.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu ke
Gambar 6 Frekuensi Menyusui
OvulasiGanda
Induk Babi Tanpa Ovulasi Ganda dan dengan
Gambar 6 menjelaskan bahwa frekuensi menyusui akan mengikuti jumlah
produksi air susu dari induknya. Frekuensi menyusui sangat tinggi pada awal
laktasi sampai pada minggu ke-2 dengan rataan 22 kali untuk induk babi yang
diovulasi ganda dan 21 kali untuk induk babi yang tidak diovulasi ganda.
Frekuensi induk menyusui mulai menurun setelah minggu ke-3 sampai frekuensi
paling rendah pada minggu
ke-7 dengan rataan 15 kali. Jadi, semakin lama
masa laktasi maka semakin menurun frekuensi induk babi menyusui. Hal ini
terjadi karena produksi air susu induk babi semakin menurun sehingga dari hasil
pengamatan kebiasaan induk untuk “memanggil” anaknya untuk menyusu baik
dengan gerakan maupun mengeluarkan bunyi semakin berkurang dan apabila
anak-anak babi mendekati induknya, induk akan berdiri dan berjalan dalam
kandang. Tindakan ini merupakan penolakan induk untuk menyusui anaknya,
dan dari hasil pengamatan bahwa induk yang siap menyusui anaknya akan
membaringkan tubuhnya sehingga posisi ambingnya nyaman untuk melakukan
proses menyusui. Jumlah frekuensi induk babi menyusui harus diikuti dengan
banyaknya jumlah air susu yang dapat diperoleh anaknya, karena jumlah air susu
yang diperoleh mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dan hal ini
akan menentukan daya hidup prasapih.
59
2. Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui
Rataan umum untuk produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui
adalah 0.35 ± 0.08 kg. Produksi air susu induk babi per menyusui sangat penting
bagi anak babi, terutama pada awal laktasi ketika anak babi sepenuhnya
bergantung pada air susu induknya, sebelum anak babi tersebut belajar untuk
mengkonsumsi makanan lain, seperti ransum. Apabila anak babi tidak dapat
memanfaatkan air susu pada awal laktasi secara maksimal maka pertumbuhan dan
perkembangannya akan terganggu. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa
ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan PASI babi per menyusui. Rataan
PASI babi per menyusui pada babi kontrol adalah 0.32 ± 0.10 kg (dengan
KK=1.20%)
dan pada induk dengan ovulasi ganda adalah 0.39 ± 0.05 kg
(dengan KK=1.99%).
Produksi air susu induk babi per menyusui pada induk babi yang diovulasi
ganda meningkat karena ovulasi ganda meningkatkan konsentrasi progesteron dan
estradiol sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
kelenjar susu yang digambarkan dengan peningkatan jumlah sel sekretoris
kelenjar ambing yang terbentuk maupun peningkatan aktivitas sintesis susu
(Manalu et al. 1999; Mege et al. 2007). Kelenjar susu adalah suatu kompleks
organ yang tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel, dan
sel sekretoris. Sel sekretoris tergabung dalam lobula alveoli yang merupakan
tempat penghasil susu yang bekerja selama masa laktasi. Peran progesteron dan
prolaktin sangat diperlukan untuk perkembangan alveoli. Produksi air susu induk
yang dihasilkan oleh kelenjar mammae bergantung pada jumlah sel dalam
kelenjar tersebut. Jadi semakin banyak sel tempat sintesis susu maka akan
semakin banyak produksi air susu yang akan dihasilkan (Delaval 2008).
Produksi air susu induk sangat penting bagi anak babi, terutama pada
awal laktasi ketika anak babi sepenuhnya bergantung pada air susu induknya,
pada waktu
anak babi dilahirkan sebelum anak babi tersebut belajar untuk
mengkonsumsi makanan lain, seperti ransum. Apabila anak babi tidak bisa
memanfaatkan air susu pada awal laktasi secara maksimal maka pertumbuhan dan
perkembangannya akan terganggu. Hal ini akan berdampak pada bobot anak
waktu penyapihan sampai dengan bobot potong. Gambar 7 menyajikan kurva
60
produksi air susu induk babi per menyusui dari induk tanpa dan dengan ovulasi
ganda pada setiap waktu pengukuran yang berbeda.
0.50
So
TSO
Linear (So)
Linear (TSO)
KG
0.40
0.30
0.20
1
2
3
4
Minggu Ke
5
6
7
Gambar 7 Rataan Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui
Gambar 7 menunjukkan bahwa pola produksi air susu induk babi
menyusui mencapai puncaknya pada minggu ke-3 kemudian menurun secara
linear sampai produksi terendah pada minggu ke-7. Gambar 7 juga menjelaskan
bahwa produksi air susu per menyusui dari induk yang diovulasi ganda lebih
tinggi dibandingkan dengan produksi air susu dari induk menyusui tanpa ovulasi
ganda.
Ovulasi
ganda
meningkatkan
sekresi
endogen
hormon-hormon
kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol, yang merangsang pertumbuhan
dan perkembangan kelenjar susu sehingga dengan ransangan anak babi yang
menyusu akan meningkatkan sekresi air susu untuk menghasilkan produksi susu
yang lebih baik (Mege et al. 2007).
3. Produksi Air Susu Induk Babi per Hari
Produksi air susu induk (PASI) babi per ekor per hari diperoleh dari
jumlah PASI babi per menyusui dikalikan dengan frekuensi induk babi menyusui
per hari. Rataan umum PASI babi per ekor adalah 6.99 ± 1.68 kg/h. Rataan umum
PASI babi per hari hasil penelitian ini lebih tinggi 1.54 kg/h daripada PASI babi
per hari yang diperoleh dari hasil penelitian Silalahi (2011), yaitu 5.45 ± 1.64 kg/h
dengan menambahkan 5% daun bangun-bangun dalam ransum induk babi.
Menurut Mepham (1987), produksi air susu induk babi bergantung pada
61
banyaknya anak yang menyusu, walaupun tidak harus menjamin kebutuhan
optimum dari anak-anak tersebut (Parakkasi 1983).
Secara rinci, pengaruh
perlakuan ovulasi ganda pada PASI babi per hari dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa
ovulasi ganda sangat
nyata
(P < 0.01) meningkatkan PASI babi per hari. Rataan PASI babi kontrol adalah
6.23 ± 1.89 kg/h (dengan KK=30.24%) dan pada induk yang diovulasi ganda
adalah, 7.74 ± 1.00 kg/h (dengan KK=12.97%). Produksi air susu induk babi per
hari mampu ditingkatkan melalui perlakuan ovulasi ganda melalui bertambahnya
jumlah sel sekretoris kelenjar ambing yang terbentuk maupun karena peningkatan
aktivitas sintesis air susu. Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar
susu sangat dipengaruhi oleh hormon kebuntingan, terutama estradiol dan
progesteron serta laktogen plasenta (Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000;
Sudjatmogo et al. 2001; Adriani et al. 2005; Hurley et al. 2001). Peningkatan
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan diakibatkan
oleh peningkatan sekresi estrogen dan progesteron pada induk babi yang diovulasi
ganda (Mege et al. 2007).
Hasil pengamatan PASI babi per hari pada tiap minggu pengukuran
diperlihatkan pada Gambar 8 yang menunjukkan bahwa puncak PASI babi
terjadi pada minggu ke-3 masa laktasi, baik yang tanpa maupun yang diovulasi
ganda. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Kim et al. (2000) bahwa
kelenjar susu pada babi secara fungsional memproduksi susu selama laktasi
mencapai puncak mulai 5 sampai 21 hari laktasi kemudian menurun secara
perlahan yang digambarkan dengan adanya peningkatan DNA yang sangat pesat,
yaitu 100 persen dari periode 5 sampai 2 hari laktasi dan kemudian menurun
sampai akhir laktasi (Forsyth 1986). Peningkatan kandungan DNA kelenjar susu
selama laktasi merupakan indikator peningkatan jumlah sel aktif yang berfungsi
mengoptimalkan produksi susu dan pernyataan ini dudukung oleh Sihombing
(2006) bahwa pada awalnya produksi air susu induk babi adalah 4 kg dan
meningkat pada minggu ketiga dan keempat. Pada grafik terlihat produksi air susu
induk babi mulai dari minggu pertama sampai ketujuh pada induk yang diovulasi
ganda lebih tinggi daripada induk babi tanpa ovulasi ganda. Pada minggu kedua
dan ketiga PASI babi per hari dari induk babi yang diovulasi ganda adalah sama,
62
yaitu 9.50 kg, sedangkan pada induk yang tanpa diovulasi ganda PASI babi pada
minggu kedua berkisar 7.50 kg dan pada minggu ketiga naik menjadi 8.0 kg.
Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa pada umur 2-3 minggu, anak babi dari
induk yang tanpa ovulasi ganda mulai lebih aktif menyusu daripada anak babi dari
induk yang diovulasi ganda. Perbedaan ini disebabkan babi yang diovulasi ganda
mengalami peningkatan masa sel dan aktivasi sel sintetik sel sektretotis kelenjar
ambing yang lebih banyak (Manalu et al. 2000) yang dibuktikan dengan
peningkatan kandungan total DNA (Mege et al. 2007).
SO
TSO
Linear (SO)
Linear (TSO)
PASI Babi Per Hari (Kg)
10.50
9.50
y = -0.7587x + 10.87
R² = 0.7592
8.50
7.50
6.50
y = -0.5523x + 8.5272
R² = 0.6976
5.50
4.50
3.50
0
1
2
3
4
5
6
7
Minggu ke
Gambar 8 Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Per Ekor per Hari
Tingkat perkembangan kelenjar ambing pada awal laktasi akan menentukan
puncak laktasi seekor ternak (Forsyth 1986) dan mulai mengalami penurunan
produksi susu air pada minggu keempat sampai minggu ketujuh. Produksi air susu
induk per hari pada tiap minggu pengukuran menunjukkan bahwa babi yang
diovulasi ganda lebih baik dalam hal mempertahankan produksinya dibandingkan
dengan babi yang tanpa ovulasi ganda. Artinya, pada induk babi juga ditemukan
fenomena peningkatan persistensi produksi susu.
4. Produksi Air Susu Induk Babi per Laktasi
Produksi air susu induk (PASI) babi per ekor per laktasi diperoleh dari
jumlah PASI babi per hari dikalikan dengan jumlah hari induk menyusui (masa
laktasi), yaitu 49 hari. Rataan umum PASI babi per ekor per laktasi adalah
63
342.49 ± 82.12 kg. Secara rinci pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada PASI babi
per ekor per laktasi dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan PASI
induk per laktasi. Rataan PASI pada induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda
adalah 305.54 ± 92.40 kg/laktasi (dengan KK=30.24%) dan pada induk yang
diovulasi ganda adalah, 379.44 ± 49.20 kg/laktasi (dengan KK=12.97%). Produksi
air susu induk babi per laktasi mampu ditingkatkan melalui perlakuan ovulasi
ganda karena dengan meningkatnya PASI induk per menyusui menyebabkan
PASI babi per hari dan per laktasi juga meningkat.
Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Menyusu
Pertambahan bobot badan anak (PBBA) babi selama menyusu diperoleh
dari selisih bobot badan anak babi saat lahir dan bobot badan anak babi pada saat
disapih, yaitu hari ke-49.
Pertambahan bobot badan anak babi menyusu
bergantung pada kuantitas dan kualitas air susu yang diperoleh dari induknya
selama menyusu. Rataan umum pertambahan bobot badan anak babi per ekor
hingga hari ke-49 menyusu adalah 10.08 ± 1.48 kg. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan PBBA
babi per ekor prapenyapihan. Secara rinci, pertambahan bobot badan anak babi
dapat dilihat pada Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan anak babi per ekor
hingga hari ke-49 atau pada waktu disapih pada kontrol adalah 9.35 ± 0.69 kg
(dengan KK=7.33%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 10.81 ± 1.69 kg
(dengan KK=15.71%). Hal ini membuktikan bahwa induk babi yang ovulasi
ganda dapat meningkatkan pertambahan bobot badan anak babi dibandingkan
dengan yang tidak diovulasi ganda. Pertambahan bobot badan anak babi
prapenyapihan bergantung pada bobot lahir anak babi dan produksi air susu induk
babi dan kemampuan anak babi untuk menyusu. Induk babi tanpa ovulasi ganda
menghasilkan PASI sebanyak 6.23 ± 1.89 kg/e/hari, sedangkan dengan ovulasi
ganda adalah sebesar 7.74 ± 1.00 kg/e/hari. Induk yang diovulasi ganda sangat
nyata (P<0.01) mempunyai produksi air susu yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanpa ovulasi ganda. Dengan demikian, PBBA babi per ekor pada induk
yang diovulasi ganda juga lebih tinggi dibandingkan dengan PBBA pada induk
64
yang tanpa ovulasi ganda. Jadi, peningkatan PASI diikuti dengan pertambahan
bobot badan anak babi yang semakin meningkat. Pada induk babi yang diovulasi
ganda, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu meningkat yang dibuktikan
oleh peningkatan jumlah sel-sel sektretoris yang terbentuk maupun peningkatan
aktivitas sintesisnya (Mege et al. 2007). Dengan meningkatnya PASI babi maka
pertambahan bobot badan anak babi akan lebih baik.
SO PBB/H
Pertambahan Berat Badan
TSO PBB/H
1.00
0.90
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-
y = 0.1205x + 0.0751
R² = 0.9534
0
1
2
3
4
Minggu Ke
y = 0.1006x + 0.087
R² = 0.9453
5
6
7
8
Gambar 9 Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Sampai Prasapih.
Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan kemampuan anak babi
yang lahir dari induk yang diovulasi ganda lebih baik untuk menyusu. Hal ini
disebabkan anak babi tersebut lebih kuat karena bobot badan lahirnya yang lebih
tinggi. Gambar 9 memperlihatkan bahwa pertambahan bobot badan anak babi
prapenyapihan yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda lebih tinggi
dibandingkan dengan anak dari induk yang tidak diovulasi ganda. Gambar 10
memperlihatkan hubungan antara pertambahan bobot badan anak babi dengan
produksi air susu. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pertambahan bobot
badan anak babi sangat berhubungan dengan produksi air susu. Gambar 10
memperlihatkan bahwa makin tinggi produksi air susu induk akan menyebabkan
pertambahan bobot badan anaknya yang semakin meningkat juga. Namun, terlihat
dengan jelas bahwa anak babi dari induk yang diovulasi ganda (R= 92.0%) lebih
tinggi pertambahan bobot badannya dibanding dengan anak dari induk yang tidak
diovulasi ganda (R=89.5%). Ovulasi ganda yang dilakukan pada induk babi dapat
meningkatkan produksi air susu induk babi per ekor per hari.
Hal tersebut
65
disebabkan fungsinya adalah untuk pertumbuhan dan perkembangan kelenjar
susu, terutama duktus dan perkembangan alveolar selama kebuntingan sangat
dipengaruhi oleh hormon yang meliputi estrogen, progesterone, prolaktin,
laktogen plasenta, insulin, hormon tiroid, dan faktor pertumbuhan (Knigth dan
Peaker 1982; Forsyth 1986). Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian Mege et
al. (2007) yang menyatakan bahwa dengan ovulasi ganda dapat meningkatkan
massa sel sekretoris dan aktivitas sintetik kelenjar susu yang ditandai dengan
peningkatan konsentrasi DNA dan RNA serta kandungan glikogen.
10
8
S
R-Sq
R-Sq(adj)
0.494679
92.0%
88.0%
S
R-Sq
R-Sq(adj)
9
0.747530
89.5%
84.2%
7
PA SI/H
PA SI/H1
8
6
7
6
5
5
4
4
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
TSO PPB/H
0.6
0.7
0.8
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
SO PBB/H
0.7
0.8
0.9
1.0
Gambar 10 Hubungan Pertambahan Bobot Badan Anak Babi dengan Produksi
Air Susu Induk.
Peningkatan konsentrasi DNA mengambarkan bahwa terjadi pertambahan
jumlah massa sel sekretori sedangkan peningkatan aktivitas sintetik sel
digambarkan dengan konsentrasi RNA yang distimulasi oleh ovulasi ganda (Mege
et al. 2007). Peningkatan tersebut menyebabkan peningkatan produksi air susu
induk sehingga berdampak pada pertambahan bobot badan anak prasapih.
Mortalitas Anak Babi Prasapih
Rataan umum persentase mortalitas anak babi prasapih adalah 20.78 ±
15.95%. Tingkat mortalitas yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Sihombing
(2006) bahwa persentase mortalitas anak babi berkisar 20-25%.
Persentase
mortalitas anak babi prasapih menurut perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil
analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01)
menurunkan mortalitas anak babi selama menyusu. Mortalitas anak babi dari
66
induk babi kontrol yang tidak diovulasi ganda adalah 26.64 ± 18.60% (dengan
KK=69.82%) dan mortalitas anak dari induk yang diovulasi ganda adalah 14.92 ±
10.18% (dengan KK= 68.20%). Mortalitas anak babi yang lebih tinggi pada
induk yang tanpa ovulasi ganda dibandingkan dengan yang diovulasi ganda
membuktikan bahwa ovulasi ganda dapat memperkecil angka mortalitas.
Mortalitas anak babi berhubungan dengan bobot lahir anak babi. Bobot lahir anak
babi dari induk yang tanpa dan dengan ovulasi ganda masing-masing adalah 1.34
± 0.14 kg dan 1.46 ± 0.19 kg. Dengan bobot anak babi lahir yang tinggi maka
daya tahan hidupnya akan semakin baik. Eusebio (1980) menyatakan bahwa
semakin tinggi bobot lahir anak babi maka daya tahan tubuh akan semakin
meningkat dan dengan demikian mempunyai kesempatan yang baik untuk hidup.
Ovulasi ganda dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan
yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan embrio selama kebuntingan
(Mege et al. 2007 ) sehingga berdampak pada anak babi yang lahir dengan bobot
badan yang tinggi. Dengan demikian, anak babi berkesempatan untuk bertahan
hidup lebih banyak yang mengakibatkan persentase mortalitas anak babi menjadi
rendah.
Angka mortalitas anak babi yang terjadi selama penelitian juga dapat
disebabkan manajemen dalam kandang, seperti penanganan induk dan anak mulai
dari lahir hingga menyusu adalah kurang baik. Sifat keibuan dari induk
(mothering ability) yang kurang baik juga berperan karena ketika induk akan
berbaring ada anak babi yang ditindihnya.
Induk babi yang digunakan pada
penelitian ini adalah induk yang baru pertama kali beranak jadi belum
berpengalaman dalam mengasuh anaknya. Selain itu, ada juga yang disebabkan
oleh anak-anak babi yang sakit (mencret) karena anak babi kedinginan, menjadi
lemas, dan sulit mendapat air susu induk sehingga menyebabkan kematian anak
babi.
Hurley (2001) manyatakan bahwa lebih dari 60% kematian anak babi
sebelum disapih disebabkan oleh faktor induk dan juga pengaruh dari pasokan
pakan yang mengakibatkan rendahnya produksi air susu induk.
67
Bobot Sapih
Bobot sapih dibagi ke dalam dua kategori, yaitu bobot sapih anak babi per
litter (BSPL) (kg/litter), yang diperoleh dengan melakukan penimbangan semua
anak babi dari seperindukan segera setelah penyapihan, dan bobot sapih per ekor
(BSPE) (kg/e) adalah hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi
dengan jumlah anak yang disapih (ekor).
1. Bobot Sapih per Litter
Bobot sapih bergantung pada bobot lahir karena kondisi dari anak babi
sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan prenatal (Dziuk 1992), termasuk perubahan
biokimia sebelum implantasi embrio oleh estradiol dan progesteron. Bobot sapih
juga merupakan indikator dari produksi air susu induk babi dan kemampuan
bertumbuh anak babi. Rataan umum bobot sapih per litter adalah 93.33 ± 25.21
kg. Secara rinci, rataan bobot sapih per litter pada induk kontrol dan yang
diovulasi ganda dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P< 0.01) meningkatkan bobot
sapih per litter. Bobot sapih per litter pada induk kontrol adalah 79.63 ± 20.78
kg/litter dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 107.02 ± 21.85 kg/litter.
Dengan kata lain, bobot sapih per litter pada anak yang dilahirkan oleh induk
yang diovulasi ganda 28.39 kg lebih tinggi diabndingkan dengan anak yang
dilahirkan oleh induk kontrol tanpa ovulasi ganda.
Ovulasi ganda ternyata dapat meningkatkan bobot sapih per litter hal ini
disebabkan bobot sapih sangat ditentukan oleh pertambahan bobot badan anak
selama menyusu. Pertambahan bobot badan anak babi sampai disapih dari induk
babi tanpa ovulasi ganda (9.35 ± 0.69 kg) lebih rendah dibandingkan dengan anak
yang dihasilkan oleh induk yang diovulasi ganda (10.81 ± 1.69 kg). Hal ini
disebabkan ovulasi ganda sebelum pengawinan akan mensekresi hormon-hormon
kebuntingan (progesteron dan estradiol) pada induk babi,
yang akan
mempengaruhi perkembangan saluran reproduksi pada betina, terutama uterus dan
plasenta, yang merupakan salah satu penentu keberhasilan kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sampai lahir (Geisert dan
Schmitt 2002; Sterle et al. 2003). Bahkan pertumbuhan dan perkembangan uterus
68
dan plasenta yang baik akan memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan fetus
selama kebuntingan yang selanjutnya akan sangat menentukan penampilan anak
pascalahir dan produksi (Foxcroft dan Town 2004). Penyuntikan PMSG dan hCG
pada induk babi sebelum pengawinan dapat meningkatkan bobot embrio (Mege et
al. 2007). Hal ini memberi gambaran bahwa ovulasi ganda menstimulasi sekresi
endogen hormon kebuntingan sehingga sangat mempengaruhi sekresi progesteron
dan estradiol selama kebuntingan (Geisert et al. 1994; Geisert dan Shcmitt 2002)
Pertumbuhan sapi, kambing, dan domba sangat dipengaruhi oleh progesteron dan
estradiol
melalui
mekanisme
modulasi
peningkatan
pertumbuhan
dan
perkembangan serta fungsi uterus dan plasenta mensekresi zat makanan juga
faktor pertumbuhan untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup
fetus yang berdampak sampai anak lahir bahkan bobot sapih lebih baik (Manalu
dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999) .
2. Bobot Sapih per Ekor
Rataan umum bobot sapih per ekor adalah 11.13 ± 1.07 kg. Bobot sapih
per ekor hasil penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan yang
direkomendasikan oleh NRC (1998), yaitu sekitar 13-18 kg. Bobot sapih sangat
ditentukan, antara lain oleh jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk,
keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anaknya, kuantitas dan
kualitas ransum, serta suhu lingkungan (Sihombing, 2006). Secara rinci bobot
sapih per ekor babi percobaan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P< 0.01)
meningkatkan bobot sapih per ekor. Bobot sapih per ekor untuk anak babi yang
dilahirkan oleh induk kontrol yang tidak diovulasi ganda adalah 10.64 ± 0.75
kg/ekor dan pada anak yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda adalah
11.61 ± 1.14 kg/ekor. Dengan perkataan lain, babi dara dengan pemberian ovulasi
ganda menghasilkan anak dengan bobot sapih 0.97 kg/ekor lebih berat
dibandingkan dengan tanpa diovulasi ganda.
Perkembangan anak setelah lahir bergantung pada produksi air susu induk
dan kemampuan anak babi untuk menyusuinya.
Induk yang diovulasi ganda
lebih baik untuk menyusui anaknya daripada induk yang tidak diovulasi ganda.
Hal ini dibuktikan juga dengan frekuensi menyusui pada induk babi yang kontrol
69
tanpa ovulasi ganda adalah 18.93 ± 0.23 kali dengan produksi susu induk 6.23 ±
1.86 kg/ekor sementara induk yang diovulasi ganda menyusukan anaknya 19.89 ±
0.40 kali dengan produksi air susu induk sebanyak 7.74 ± 1.00 kg/ekor. Bobot
sapih anak yang dilahirkan oleh induk babi dara yang diovulasi ganda lebih berat
dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk tanpa ovulasi ganda. Hal
ini disebabkan ovulasi ganda mampu mensekresi endogen hormon-hormon
kebuntingan
(progesteron dan estradiol) sehingga setelah bunting terjadi
petumbuhan dan perkembangan kelenjar susu (Manalu dan Sumaryadi 1998;
Manalu et al. 1999) dan terus meningkat sampai periode akhir kebuntingan. Pada
periode tersebut, terjadi periode pertumbuhan dan perkembangan paling ekstensif
bagi sel kelenjar pensekresi susu serta sistem vaskuler, sel-sel epitel, jaringan ikat
dan jaringan basal yang merupakan pertautan sel-sel pensekresi (Knight dan
Wilde 1993). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, terutama duktus dan
perkembangan lobul alveolar selama kebuntingan, sangat dipengaruhi oleh
sejumlah hormon yang meliputi estrogen, progesteron, prolaktin, laktogen
plasenta, insulin, hormon tiroid, dan faktor pertumbuhan (Forsyth 1986).
Peningkatan
hormon-hormon
tersebut
bertanggung
jawab
atas
kontrol
pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan, dan apabila terjadi gangguan
keseimbangan hormon mammogenik (Anderson et al. 1986) akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu. Peningkatan jumlah sel
sekretoris digambarkan dengan peningkatan DNA dan RNA sangat menentukan
tingkat produksi air susu induk sejalan dengan peningkatan konsentrasi hormon
kebuntingan, seperti progesteron dan estradiol dan faktor pertumbuhan sehingga
menyebabkan peningkatan kelenjar susu yang amat berperan dalam produksi air
susu induk sehingga berdampak pada bobot sapih anak babi (Hurley 2001;
Manalu dan Sumaryadi 1998; Mege et al. 2007).
Litter Size Sapih
Sapih adalah tahap pertumbuhan suatu hewan atau ternak mammalia
ketika tidak lagi bergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi
ransum padat dan cair (Inglis 1980). Rataan umum litter size sapih yang diperoleh
selama pengamatan adalah 8.38 ± 2.15 ekor. Secara rinci litter size sapih pada
70
kelompok babi percobaan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil litter size sapih yang
diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan litter size sapih untuk babi dara
menurut Sihombing (2006), yaitu 6.2 ekor. Litter size sapih sangat bergantung
pada litter size lahir dan mortalitas prasapih. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa ovulasi ganda pada induk sangat nyata (P < 0.01)
meningkatkan litter size sapih.
Rataan litter size sapih pada induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda adalah
7.48 ± 1.97 ekor (dengan KK= 26.29%) dan pada induk yang diovulasi ganda
adalah 9.29 ± 1.98 ekor (dengan KK= 21.31%). Litter size sapih pada induk babi
ovulasi ganda lebih banyak daripada induk tanpa ovulasi ganda. Pada penelitian
ini membuktikan bahwa ovulasi ganda dapat meningkatkan sekresi endogen
hormon-hormon kebuntingan (progesteron dan estradiol) sehingga memperbaiki
bobot embrio dan fetus (Mege et al. 2007). Penampilan embrio dan fetus yang
baik berdampak pada anak babi yang lahir dan bahkan lepas sapih yang lebih baik
yang dihasilkan oleh induk yang diovulasi ganda. Hal ini memberi gambaran
bahwa pengaruh hormon tersebut merupakan mimik dari LH dan FSH terhadap
pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan terutama
melalui modulasi progesteron dan estradiol serta faktor pertumbuhan yang juga
memperbaiki penampilan anak sejak lahir sampai lepas sapih.
Litter size sapih sangat bergantung pada litter size lahir dan mortalitas
prasapih. Litter size hidup lahir pada babi dara tanpa dan dengan ovulasi ganda
masing-masing adalah 8.95 ± 2.03 dan 10.43 ± 2.54 ekor, sementara persentase
mortalitas pada induk tanpa dan dengan ovulasi ganda masing-masing adalah
26.64 ± 18.60% dan 14.92 ± 10.18%. Maka dengan jumlah anak babi lahir yang
tinggi diimbangi dengan mortalitas prasapih yang lebih rendah akan menyebabkan
litter size sapih yang optimal.
71
Simpulan
Performans reproduksi induk babi melalui ovulasi ganda dengan PMSG
dan hCG sebelum pengawinan dapat mempersingkat lama bunting, memperbaiki
bobot badan induk bunting, litter size lahir, dimensi tubuh, bobot lahir, konsumsi
ransum harian induk, produksi air susu induk, pertambahan bobot badan anak,
mortalitas, litter size sapih, dan bobot badan sapihan.
72
Daftar Pustaka
Anderson RR, Wahab IM. 1990. Changes in parenchyma and stroma of goat
udders during pregnancy, lactation and involution. Small Rum Res.
3:650-362.
Adriani IK, Sutama, Sudono A, Sutardi dan Manalu W. 2005. Pengaruh
superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap
produksi susu kambing peranakan etawa. J. Anim. Production 6:86-94
Bates RO, Day BN, Britt JH, Clark LK, Brauer MA. 1991. Reproductive
performance of sows treated with a combination of pregnan mare’s serum
gonadotropin and prostaglandins during lactation. J Anim Sci 9:894-898.
Carson DD, Bagchi I, Dey SK, Enders AC, Fazleabas AT, et al.,2000. Embrio
implantasi. Dev Biology 223:217-237.
De Borsotti PN, Verde O, Plasse D. 1982. Genetic and enviromental factor
affecting growth of piglets. Anim Breed Abstr 50 (12).
Delaval . 2008. Milking Technology. Di dalam : Delaval editor. The Lactating
Dairy Cow. USA Delaval Publishing [Terhubung berkala].
http://www.milkproduction.com/ library [10 Januari 2010].
Devendra C, Fuller MF, 1979. Pig Production in the Tropics. London. Oxford
University Press.
Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci
28:299-308.
Estiene JM, Harper AF. 2003. Uses of P.G.600 in swine breeding herd
management http://ext.vt.edu/news/livestock/aps-0344.htmi. [29 Mei
2004].
Eusebio, J.A. 1974.The Science and Practice of Swine Production. College of
Agriculture.Philippines. Pp 470.
Eusebio JA 1980. Pig Production and The Tropics. Intermediate Tropical
Agriculture Series. Logman Group Ltd. Hong Kong. pp 7-26
Forsyth IA. 1986. Varition among species the endokrine control of mammary
growth and function. The role of prolactin, growth hormone and plasental
laktogen. J Dairy Sci 46 : 1293-1298.
Foxcroft GR and Town S. 2004. Prenatal programming of postnatal
performance the unseen cause of variance. Adv Pork Prod 15:269–279.
73
Geisert RD, Pratt T, Bazer FW, Mayes JS and Watson GH. 1994.
Immunocytochemical lokalization pregnancy.
Reprod
Vertil Dev
6:749-760.
Geisert RD, Schmitt RAM. 2002. Early embryonic survival in the pig: Can it be
improved. J Anim Sci 80:54 – 85.
Giellespie, James R. 1998. Animal Science. Delmar Publishers, New York.
Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. Ed. Ke-6. Philadelpia : Lea and
Fibeger.
Hurley WL. 2001. Mammary gland growth in the lactating sow. Livestock Prod
Sci 70:149-157.
Inglis LK. 1980. To Laboratory Animal Science and Technology. Pergamon Press
Ltd., Oxford.
Kim SW, Hurley WL, Han IK, Easter RA. 2000. Growth of nursing pigs related to
thecharacteristics of nursed mammary glands. J Anim Sci 78:1313- 1318.
Knight CH, Peaker M. 1982. Development of the mammary gland. J Reprod Fert
65:521-536.
Knight JW, Wilde W. 1993. Factors that affect ovarian follicular dynamics in
cattle. J Anim Sci 70:3615-3626.
Krider JL, Carroll WE. 1971. Swine Production. New Delhi. Tata Mc Graw Hill
Publishing Company.
Kurniawan RI. 2006. Hubungan litter size dengan bobot lahir dan mortalitas anak
babi tiga hari setelah lahir [sripsi]. Bogor. Fakultas Peternakan , Institut
Pertanian Bogor.
Manalu W, Sumaryadi MY, Kusumorini N. 1996. The effect of fetal number on
the concentrations of sirculating maternal serum progesteron and estradiol
of daes during late pregnancy. Small Rumin Res 23:117-124
Manalu W dan Sumaryadi MY. 1998. Correlations of litter size and maternal
serum progesterone concentration during pregnancy with mammary gland
growth and development indices at parturition in Javanese thin-tail sheep.
Asian-Austr. J Anim Sci 11:300-306.
Manalu W dan Sumaryadi MY. 1999. Correlations between lamb birth weight
and the concentrations of hormone and metabolites in the maternal serum
during pregnancy. J Agric Sci 133:227-234.
74
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effec of
superovulation on maternal serum progersterone concentration, uterine and
fetal weight at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese thin-tail ewes.
Small Rumin Res 30:171-171.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary
gland differential growth during pregnancy in soperovulated Javanese
thin-tail ewes. Small Rumin Res 33:279-284
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000. The effects of
superovulation of Javanese thin-tail ewes prior to mating on lamb birth
weight and preweaning growth. Asian-Aus. J Anim Sci 13:292-299.
Mege RA, Manalu W, Nasution SH, Kusumorini N, 2007. Pertumbuhan dan
Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. J Hayati
14:1-6.
Mepham, T. B. 1987. Physiology of Lactation. Open University Press. Melton
Keynes, Philadelphia
Milagres JC, Fedalto LM, Silvia AE and Peraira JAA, 1983. Source of variation
in litter size and weight birth and 21 days of age in Duroc, Landrace, large
White Pigs. Anim Breed Abstr 51:49.
[National Research Council]. 1998. Nutrient Riquirement of swine . National
Academy Press, Washington, D.C.
Niswender DG, Juengel JL, Silva PJ, Rollyson MK, McIntosh EW. 2000.
Mechanisms controling the fungction and life spain of the corpus luteum.
Physiol Rev 80:1-29.
Parakkasi A. 1990. Ilmu Gisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit.
Angkasa. Bandung.
Park YI, Kim JB. 1983. Evaluation of litter sized of pure breeds and specific twobreeds crosses produced from five breed of swine. Anim Breed Absr
51(1):49.
Pond WG, Maner JH. 1974. Swine Production In Temperate and Tropical
Environment. San Fransisco. W.H Freeman Company.
Schutltz GA, Hahnel A, Mayi AP, Liangsu W, Goubau S, Watson A, Harvey M
1993. Expression of IGF ligand and receptor genes during preimplantation
mammalian development. Mol Reprod Dev 35:414-420.
Sihombing DTH. 2006. Ilmu Ternak Babi. Cetakan II. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
75
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Alih bahasa Sumantri
B. PT Gramedia. Jakarta.
Sterle JA, Cantley TC, Matteri RL, Carroll JA, Lucy MC and Lamberson WR.
2003. Effect of recombinant porcine somatotropin (rpST) on fetal and
placental growth in gilts with reduced uterine capacity. J of Anim Sci
81:765-771.
Sudjatmogo B, Utomo, Subiharta, Manalu W, Ramelan. 2001. Tampilan produksi
susu akibat peningkatan perumbuhan ambing sapi perch Friesian Holstein
yang disuntik PMSG pads program perkawinannya. J Trop Anim Dev
26:8-13.
Vallet JL, Leymaster KA, Christenson RK. 2002. The influence uterine function
on embryonic and fetal survival. J Anim Sci 80:67-74.
Valros et al. 2003. Metabolic state of the sow, nursing behaviour and milk
production livest. Prod Sci 79:155-167.
Wilson ME, Biensen NJ, Ford SP. 1999. Novel insight in to the control of litter
zise in the pig using placental efficiency as a selection tool. J Anim Sci
77 : 1654 – 1658.
Yoga MS. 1988. Studi penggunaan ekstrak hipofise sapi untuk peningkatan
reproduksi babi(tesis). Yogyakarka; Fakultas Pascasarjana, Universitas
Gajah Mada.
Xu RJ. Cranwell PD. 2003. The Neonatal Pig. Gastrointestinal physiology and
Nutrition. Nottingham. University Press.
Download