Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hCG sebelum Pengawinan Abstrak Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh ovulasi ganda babi dara sebelum dikawinkan pada performans reproduksi. Penelitian menggunakan 60 ekor babi dara yang dibagi menjadi dua perlakuan, yaitu 1) babi dara tanpa ovulasi ganda dan 2) babi dara dengan ovulasi ganda. Setelah babi dara memperlihatkan gejala berahi, pejantan dimasukkan ke dalam kandang untuk mengawini babi dara yang berahi. Selama penelitian, babi yang telah bunting dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang beranak ditempatkan pada kandang individu berukuran 2,5 x 3,5 m2 yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum. Penelitian tahap I menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas dua perlakuan masing-masing dengan 30 ulangan. Analisis data mengikuti prosedur model matematika sebagai berikut: Yij = µ + αi + εij. Semua data diolah dengan menggunakan sidik ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) memperpendek lama bunting (LB) , meningkatkan dimensi tubuh, yaitu panjang badan lahir (PBL) , tinggi tungkai muka lahir (TTML), tinggi tungkai belakang lahir (TTBL). Induk yang diovulasi ganda mempunyai konsumsi ransum harian induk (KRHI) yang lebih tinggi. Induk yang diovulasi ganda juga mengalami peningkatan produksi air susu induk (PASI) per menyusui, produksi air susu induk ( PASI ) babi per hari, produksi air susu induk (PASI) babi per laktasi. Anak yang dihasilkan induk yang diovulasi ganda mempunyai pertambahan bobot badan anak (PBBA) yang lebih tinggi dengan mortalitas (MRTA) yang lebih rendah, sehingga menghasilkan litter size sapih (LSS) yang lebih tinggi. Induk yang diovulasi ganda mempunyai anak dengan bobot sapih yang lebih tinggi baik per litter (BSPL), maupun per ekor (BSPE). Ovulasi ganda meningkatkan (P<0.05) bobot badan induk (BBI), litter size lahir hidup (LSLH), bobot badan lahir per litter (BLPL), dan bobot badan lahir per ekor (BLPE). Ovulasi ganda tidak mempengaruhi litter size lahir mati (LSLM) dan litter size lahir total (LSLT) Dapat simpulan bahwa performans reproduksi induk babi melalui ovulasi ganda sebelum pengawinan dapat memperbaiki bobot lahir, litter size sapih, dimensi tubuh, produksi air susu induk babi, mortalitas, dan konsumsi ransum. Kata Kunci : Ovulasi ganda, Performans reproduksi 38 The Reproduction Performances of Superovulated Sows with PMSG and hCG Before Mating Abstract This research was conducted to study the effect of superovulation prior to mating on gilts reproduction performance. Sixty gilts were divided into two factor treatments of A, namely 1) gilts without superovulation and 2) gilts with superovulation. Once the gilts showed a standing heat symptoms, the boar was introduced into the pig pen to mate the gilts. During the study, the pregnant gilts were kept together in postal pens and two weeks before farrowing, each pregnant gilts was then placed in 2.5 x 3.5 m2 individual cages equipped with feeding and drinking devices. A Completely Randomized Design (CRD) was used in the first phase of study, consisting of two treatments with 30 replications, while analysis of data were based on the mathematical model procedures, as follows: Yij = μ + αi + εij. All data were then analysed using analysis of variance. The results showed that the superovulation significantly (P<0.01) reduced gestation period (GP), increased the pigs body dimension (BD), the front leg height at birth (FLHB), the rear leg height at birth (RLB), the daily sow ration consumption, the sows milk production (SMP) per suckling, the daily sows milk production (SMP) per day, the sows milk production (SMP) per lactation, the piglet body weight gain (PBWG), the mortality (MRTA), litter size at weaning (LSW), the weaning litter size (WLS). Superovulation significantly (P <0.05) increased the sows body weight (SBW), the litter size born alive (LSBA), the litter weigth at birth (LWAB), the pig weight at birth (PWAB). Superovulation prior to mating did not affect litter size dead born (LSDB) and the total born litter size. It was concluded that the superovulation of the sows before mating could improve sow reproductive performances, which is described by the improvement of birth weight, weaning litter size, mortality, consumption of rations, and the sow milk production. Keywords: Superovulation, reproduction, sows productivity 39 Pendahuluan Performans reproduksi ternak babi sangat bergantung pada keberhasilan proses reproduksi. Kemampuan reproduksi sangat ditentukan oleh keberhasilan induk untuk menghasilkan anak babi yang sehat dan kuat pada saat penyapihan sehingga periode hidup berikutnya lebih baik. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhinya adalah frekuensi beranak, pertambahan bobot badan anak sebelum disapih, angka kematian yang rendah dan bobot anak pada saat lahir, semuanya ditentukan oleh pertumbuhan prenatal (selama dalam kandungan) yang merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio, fetus, sampai dilahirkan. Kehidupan anak babi lahir sampai disapih merupakan periode kritis, umumnya angka kematian atau mortalitas pada periode ini sangat tinggi. Hal ini merupakan masalah utama yang sering terjadi pada usaha peternakan babi, baik skala kecil maupun skala besar. Angka kematian anak babi sebelum disapih berkisar 20–30% dan bahkan dapat mencapai 65% ( Eusebio 1974). Tingginya angka kematian ini dapat dimengerti karena pada periode awal (starter) status faali anak babi sangat peka terhadap derita cekaman (stress) dingin. Jumlah anak babi sekelahiran (litter size) yang tinggi dengn bobot lahir yang rendah juga akan mempengaruhi kematian anak babi selama menyusu (Pond and Maner 1974). Anak babi yang lahir dengan bobot badan rendah diduga ada hubungan dengan kemampuan untuk melawan cekaman pada kehidupan di luar kandungan karena adanya sistem hormonal dalam lingkungannya serta keadaan faali yang relatif belum matang. Banyak cara telah dilakukan untuk memperbaiki produktivitas induk, antara lain dengan memanipulasi sistem reproduksi untuk memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan prenatal, yaitu perkembangan embrio dan fetus yang pada gilirannya mampu menghasilkan anak sekelahiran dengan bobot yang optimal. Pertumbuhan dan perkembangan prenatal pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu zigot, embrio, dan fetus. Diantara ketiga periode tersebut, periode pertumbuhan dan perkembangan fetus merupakan periode pertumbuhan prenatal yang paling pesat, selain itu dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan sehingga dapat 40 memproduksi susu secara optimal selama masa laktasi. Pertumbuhan anak babi setelah kelahiran sampai penyapihan ditentukan oleh produksi air susu dari induk untuk pemeliharaan anak selama prasapih (Kim et al. 2000; Valros et al. 2003). Ovulasi ganda merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sistem reproduksi ternak dengan harapan dapat memperbaiki produksi melalui perbaikan pertumbuhan prenatal selama kebuntingan dan produksi air susu selama laktasi (Manalu et al. 1998; Manalu dan Sumaryadi 1999). Penggunaan PMSG dan hCG telah dibuktikan dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu dan produksi air susu pada domba (Manalu et al. 1998), sapi (Sudjadmogo et al. 2001), kambing (Adriani et al. 2005), dan babi (Mege et al. 2007). Melalui peningkatan produksi air susu dari induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi dapat ditingkatkan, angka mortalitas ditekan dan bobot sapihan dapat dinaikkan. Penampilan anak babi lepas sapih yang baik selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas bakalan, dalam hal ini pertumbuhan dan kualitas karkas pada saat dipotong. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan pada performans anak babi yang dilahirkan sampai disapih. 41 Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian tahap I ini dilaksanakan di Peternakan Wailan, yang berlokasi di Kelurahan Kayawu, Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, mulai dari Oktober 2010 hingga Maret 2011. Jarak dari Manado ke lokasi penelitian ± 25 km. Materi Penelitian Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi dara (calon induk) keturunan Landrace, Yorkshire, dan Duroc sebanyak 60 ekor dengan bobot badan berkisar antara 100–107 kg. Ransum yang digunakan selama penelitian disesuaikan dengan ransum yang digunakan di perusahaan. Tabel 2 Komposisi Bahan dan Zat Makanan dalam Ransum Induk Babi dan Pejantan, Induk Bunting dan Laktasi (%) Bahan Makanan Induk dan Pejantan Jagung Konsentrat Dedak halus Butiran EGP 702 80 20 - Komposisi Zat-zat Makanan Ransum Induk dan Pejantan)* Bahan Kering Abu Protein Kasar Lemak Serat Kasar Beta-N Kalsium Fosfor NaCl Energi Bruto (kkal/kg) 87.47 3.83 14.49 8.05 3.91 57.19 0.95 0.88 0.12 3891 Induk Bunting dan Laktasi 40 60 Ransum Induk Bunting dan Laktasi )* 87.47 10.58 16.68 8.30 15.18 38.53 1.38 1.04 0.27 3960 Ket.:*) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan (2011) 42 Komposisi bahan makanan dan zat-zat makanan dalam ransum masingmasing dapat dilihat pada Tabel 2. Pemberian makan dilakukan dua kali sehari dan air minum tersedia ad libitum sepanjang hari. Agen ovulasi ganda yang digunakan adalah hormon PMSG (Folligon, Intervet, North Holland) dan hCG (Chorulon, Intervet, North Holland). Penyerentakan berahi dilakukan dengan menggunakan prostaglandin (Prosolvin, Intervet, North Holland). Metode Penelitian Rancangan Percobaan Penelitian tahap I ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas dua perlakuan masing-masing dengan 30 ulangan. Analisis data mengikuti prosedur model matematika Yij = µ + αi + εij. Semua data diolah dengan menggunakan sidik ragam (Steel dan Torrie 1989). Prosedur Penelitian Penelitian tahap 1 (Gambar 5) menggunakan 60 ekor babi dara yang ditempatkan dalam kandang, yaitu 30 ekor babi dara disuntik PMSG dan hCG dengan dosis: 400/200 (ovulasi ganda 600) IU per ekor dan 30 ekor lainnya disuntik dengan NaCl fisiologis 0.95% sebagai kontrol. Sebelum penyuntikan PMSG dan hCG, dilakukan penyerentakan berahi dengan penyuntikan satu mL PGF2α sebanyak dua kali dengan interval waktu 14 hari. Pada penyuntikan PGF2α kedua, atau tiga hari sebelum berahi, dilakukan penyuntikan PMSG dan hCG secara intramuskuler (sesuai dengan dosis pada masing-masing perlakuan), sedangkan kelompok kontrol disuntik dengan NaCI fisiologis 0.95%. Setelah menampakkan gejala berahi, babi pejantan dimasukkan ke dalam satu kandang untuk mengawini babi dara yang berahi. Selama penelitian, babi yang telah bunting dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang beranak, babi ditempatkan pada kandang individu berukuran 2.5 x 3.5 m2 yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum sampai umur 49 hari setelah beranak (postpartum), yang merupakan umur penyapihan. 43 Peubah yang diamati dalam penelitian tahap I ini adalah sebagai berikut : 1. Lama bunting (LB) (hari), diperoleh dari saat terjadinya konsepsi (pembuahan) sampai terjadinya kelahiran. 2. Bobot badan induk bunting (BBIB) (kg), diperoleh pada saat induk akan beranak dilakukan pengukuran lingkar dada dengan menggunakan pita ukur, caranya dengan melingkarkan pita ukur pada dada, kemudian terbaca angka lingkar dada yang langsung terkonversi ke bobot badan. 3. Liter size lahir dibagi dalam tiga kategori, yaitu jumlah anak babi yang hidup lahir (LSHL), jumlah anak babi yang mati lahir (LSML), dan hasil penjumlahan dari kedua ketegori tersebut, yaitu litter size total (LSTL). 4. Dimensi tubuh anak babi (cm), yang kesemuanya diukur bersamaan pada saat penimbangan bobot anak. Pengukuran dimensi tubuh dilakukan dengan menggunakan meteran berskala sentimeter, yang meliputi a. Panjang badan lahir (PBL) (cm), diukur dari pangkal batang leher sampai pangkal tulang ekor b. Tinggi tungkai muka lahir (TTML) (cm) diukur dari tapak kaki sampai penonjolan tulang bahu. c. Tinggi tungkai belakang lahir (TTBL) (cm) diukur dari tapak kaki sampai penonjolan tulang. 5. Bobot lahir meliputi; a. Bobot badan lahir per litter (BLPL) (kg/litter), diperoleh dengan cara menimbang semua anak babi yang hidup lahir dari seperindukan b. Bobot badan lahir per ekor (BLPE) (kg/e), diperoleh dari hasil perhitungan bobot badan per litter dibagi dengan jumlah anak per induk per kelahiran. 6. Konsumsi ransum harian induk (KRHI) (kg/e/h), dihitung dari jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan jumlah ransum sisa pagi hari berikutnya. 7. Frekuensi menyusui (FIM), diperoleh dari hasil pengamatan berapa kali induk babi menyusui anaknya dan diamati selama 24 jam. 8. Produksi air susu induk (PASI) babi, yang diukur dalam tiga periode, yaitu PASI babi per menyusui, per hari, dan per laktasi. 44 a. Produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui (kg), didasarkan pada bobot anak babi per kelahiran (Parakkasi, 1983), anak babi ditimbang sebelum dan segera setelah selesai menyusu dan selisih bobot penimbangan adalah PASI babi pada saat itu. Penimbangan dilakukan dua kali, penimbangan pertama setelah anak babi dipuasakan selama 4 jam, kemudian penimbangan kedua sesudah anak menyusu (± 60 menit). Produksi air susu induk babi diperoleh dari hasil pengurangan penimbangan kedua dengan pertama. Pengukuran air susu induk babi dimulai pada hari ketujuh setelah beranak untuk mengurangi stres pada anak babi, kemudian dilanjutkan pada hari ke14, ke- 21, ke-28, ke-35, ke-42, dan hari ke-49. b. Produksi air susu induk (PASI) babi per hari diperoleh dari frekuensi induk menyusui (FIM) x PASI babi per menyusui c. Produksi air susu induk (PASI) babi per laktasi (kg), PASI /hari x 49 hari (selama laktasi) 9. Pertambahan (kg/ekor/hari), bobot badan anak (PBBA) babi selama menyusu yaitu selisih antara rataan bobot badan sebelum dan sesudahnya, dan dilakukan dengan cara menimbang anak babi menyusu setiap minggu. 10. Mortalitas (MRTA) anak babi prasapih (%) diperoleh dengan menghitung jumlah anak yang mati dari seperindukan selama menyusui (49 hari), kemudian dibagi dengan jumlah anak yang lahir hidup dan dikalikan dengan 100% (persentase mortalitas). 11. Litter size sapihan (LSS) (ekor), diperoleh dengan menghitung jumlah anak babi sekelahiran segera setelah disapih 12. Bobot sapih meliputi; a. Bobot sapih per litter (BSPL) (kg), diperoleh dengan menimbang semua anak babi seperindukan segera setelah disapih. b. Bobot sapih per ekor (BSPE) (kg), diperoleh dengan cara menghitung bobot badan sapih per litter (BSPL) dibagi dengan jumlah anak babi sapihan per induk per kelahiran 45 Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan pada Penampilan Reproduksi Induk Babi Penampilan reproduksi induk babi yang diamati dalam penelitian ini ialah lama bunting, bobot badan induk babi bunting, dan penampilan reproduksi yang meliputi litter size lahir, dimensi tubuh, bobot lahir, konsumsi ransum harian induk laktasi, produksi air susu induk babi, pertambahan bobot badan anak babi, mortalitas, bobot sapih, dan litter size sapih. Lama Bunting Rataan umum lama bunting hasil penelitian adalah 112.76 ± 3.83 hari dengan kisaran lama bunting 107–119 hari. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dari pendapat Eusebio (1980) yang menyatakan bahwa umur kebuntingan ternak babi berkisar antara 112–120 hari dengan rataan 114 hari. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan sangat nyata (P<0.01) mempersingkat lama bunting. Secara rinci rataan lama bunting berdasarkan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Rataan lama bunting babi yang tanpa ovulasi ganda adalah 115 ± 2.83 hari (dengan KK=5.98%), dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 110.52 ± 2.23 hari (dengan KK=2.05%). Lama bunting induk babi yang diovulasi ganda lebih singkat 4.48 hari daripada yang tidak diovulasi ganda. Hal ini demikian karena babi dara yang diovulasi ganda mengalami peningkatkan pertumbuhan dan perkembangan serta aktivitas fisiologis uterus dan plasenta sehingga uterus dan plasenta tumbuh lebih baik untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrio dan festus walaupun dalam jumlah yang lebih banyak (Mege et al. 2007). Hasil ini juga didukung oleh Hafez (1993) yang mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi lama bunting ternak, antara lain faktor induk, jumlah anak yang dikandung, dan bangsa babi. Menurut Yoga (1988), lama bunting ternak babi dipengaruhi oleh periode kelahiran, banyaknya anak dalam kandungan, dan bangsa atau jenis babi. Lebih lanjut dinyatakan, makin banyak anak yang dikandung maka lama bunting semakin singkat. Jumlah anak dalam kandungan dapat menentukan waktu untuk beranak atau partus karena proses beranak akan berlangsung dengan cepat 46 Tabel 3 Penampilan Reproduksi Induk Babi Kontrol (TSO) dan yang Diovulasi Ganda (SO) Parameter Perlakuan TSO Rataan SO Lama Bunting (LB) (hari) 115. 00 ± 2.83B 110.52 ± 2. 23 A 112.76± 3.38 Bobot badan induk bunting (BBIB) (kg) 171. 38 ± 9.15 a 179.86 ± 11. 49 b 175.62± 11.12 1. Litter size hidup lahir (LSHL) (ekor) 8. 95 ± 2. 03 a 10.43± 2. 54 b 9. 69± 2. 39 2. Litter size lahir mati (LSML) (ekor) 1.33 ± 1. 02 0.81± 1. 57 1. 07± 1. 33 3. Litter size total lahir (LSTL) (ekor) 10. 29 ± 2.19 11.24± 3. 33 10. 76± 2. 83 1. Panjang badan (PBAL) (cm) 21.12 ± 1. 31 A 22.81± 0. 97 B 21. 96 ± 1.43 2. Tinggi tungkai muka (TTML) (cm) 13. 35 ± 1.12 A 14.53± 0. 55 B 13. 94± 1.06 3. Tinggi tungkai belakang (TTBL) (cm) 15. 35 ± 0. 90 A 16.39± 0. 55 B 15. 87± 0. 90 1. Bobot lahir per litter (BLPL) (kg /litter) 13.64 ± 2. 31 a 16.10 ± 4. 19 b 14. 87± 3. 57 2. Bobot lahir per ekor (BLPE) (kg/e) Konsumsi Ransum Harian Induk (KRHI) (kg) 1.34 ± 0. 14 a 1. 46 ± 0.19 b 1. 40 ± 0.18 4.87 ± 0. 77 A 5. 48±0. 45 B 5. 16± 0.71 18.93 ± 0. 23 A 19. 89± 0.40 B 19.41± 0.58 Litter size lahir (LSL) Dimensi Tubuh Lahir Bobot Lahir Produksi Air Susu Induk (PASI) Babi 1. Frekuensi induk babi menyusui (FIM) 2. PASI babi per menyusui (kg) 3 PASI babi per hari (kg) 4. PASI babi per laktasi (kg) 0. 32 ± 0. 10 6. 23 ± 1. 89 a 0. 39± 0.05 A 305. 54 ± 92. 40 b 0.35± 0.08 B 7. 74±1.00 A 379. 44± 11.08 6.99±1.68 B 342.49 ± 82.12 Pertambahan Bobot Badan Anak Babi (PBBA)(kg) 9. 35 ± 0. 69 A 10. 81± 1.69 B 10.08 ± 1.48 Mortalitas (MRTA) (%) 26. 64 ±18.60 B 14. 92± 10.18 A 20.78 ± 15. 95 7. 48 ±1.97A 9. 29± 1.98B 8.38 ± 2. 15 1. Bobot sapih per litter (BSPL) (kg/litter) 79.63 ± 20.78A 107.02± 21.85B 93.33± 25. 21 2. Bobot sapih per ekor (BSPE) (kg/e) 10.64 ± 0.75A 11. 61± 1.41B 11.13± 1.07 Litter size sapih (LSS) (ekor) Bobot Sapih Keterangan: Superskrip huruf besar dan kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama masing-masing menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01) dan berbeda nyata (P<0.05); TSO = tanpa ovulasi ganda, SO = ovulasi ganda 47 disebabkan dorongan fetus dari dalam akan terjadi sehingga kontraksi uterus, serviks serviks menjadi relaks bersamaan dengan tekanan yang dihasilkan oleh otot uterus, fetus yang di dalam uterus akan membuat jalan baginya untuk menuju vagina lebih cepat sampai akhirnya beranak (Yoga 1988). Lebih lanjut dinyatakan bahwa lama bunting ternak babi dipengaruhi oleh frekuensi beranak dari induk. Induk babi yang baru pertama kali beranak biasanya lebih cepat proses beranaknya daripada induk babi yang sudah beberapa kali beranak. Hal ini dapat dijelaskan bahwa lama bunting induk dara lebih singkat daripada induk yang sudah beberapa kali beranak. Bobot Badan Induk Babi Bunting Bobot badan induk babi bunting (BBIB) diukur pada saat induk akan beranak dengan melakukan pengukuran lingkar dada menggunakan pita ukur, caranya dengan melingkarkan pita ukur pada dada, kemudian terbaca angka lingkar dada yang langsung terkonversi ke bobot badan. Rataan umum dari hasil penelitian BBIB adalah 175.62 ± 11.12 kg. Secara rinci, rataan BBIB menurut perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan nyata (P<0.05) meningkatkan BBIB. Rataan BBIB induk yang tidak diovulasi ganda (kontrol) adalah 171.38 ± 9.15 kg (dengan KK =5.34% ) dan induk yang diovulasi ganda adalah 179.86 ± 11.49 kg (dengan KK=6.39%). Dengan kata lain, ovulasi ganda menyebabkan terjadinya peningkatan BBIB 8.48 kg lebih tinggi daripada yang tidak diovulasi ganda. Bobot badan induk babi bunting sangat dipengaruhi oleh ovulasi ganda karena jumlah dan bobot embrio yang terkandung di dalam uterus. Bobot badan induk babi bunting yang diovulasi ganda lebih berat daripada yang tanpa ovulasi ganda. Ovulasi ganda merupakan suatu teknologi reproduksi yang mampu meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Manalu et al. 2000). Jumlah korpus luteum ini memiliki kaitan erat dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mamogenik, seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Manalu et al. 1999). Hormon-hormon tersebut, selain berperan dalam memantapkan proses kebuntingan, juga berfungsi dalam memodulasi 48 ekspresi sejumlah protein, selain itu konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus dan bobot fetus dalam kandungan (Manalu & Sumaryadi 1999; Mege et al. 2007). Hormonhormon tersebut berperan sebagai faktor penentu pertumbuhan selanjutnya dan akan memelihara hubungan antara embrio dan uterus serta memandu pertumbuhan embrio untuk menjadi fetus dengan pertumbuhan yang baik (Schultz et al. 1993). Litter Size Lahir Litter size lahir dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu jumlah anak babi yang hidup lahir (Litter Size Hidup Lahir, LSHL), jumlah anak mati lahir (Litter Size Mati Lahir, LSML), dan hasil penjumlahan kedua kategori tersebut (Litter Size Total Lahir, LSTL). 1. Litter Size Hidup Lahir Rataan umum jumlah anak-anak babi yang hidup lahir per ekor induk adalah sebesar 9.69 ± 2.39 ekor (Tabel 3). Rataan umum yang diperoleh dalam penelitian ini masih lebih rendah daripada pernyataan Kurniawan (2006) bahwa litter size hidup lahir anak babi sebesar 10.16 ekor. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan litter size hidup lahir, yaitu 8.95 ± 2.03 ekor (dengan KK= 22.74%) pada kontrol dan 10.43 ± 2.54 ekor (dengan KK= 24.37% ) pada induk yang diovulasi ganda. Litter size hidup lahir pada induk yang diovulasi ganda lebih tinggi daripada induk tanpa ovulasi ganda. Lazimnya, pada ternak yang beranak banyak, seperti ternak babi, semakin tinggi jumlah anak yang dikandung cenderung semakin banyak anak yang lahir di bawah bobot rataan normal sehingga anak babi dengan bobot lahir di bawah normal akan mati dengan demikian, akan mempengaruhi jumlah anak yang hidup lahir. Litter size hidup lahir bergantung pada jumlah anak yang mati pada proses sebelum dan sesudah lahir. Makin tinggi anak babi yang mati pada proses tersebut diikuti dengan makin rendah litter size hidup lahir. 49 2. Litter Size Mati Lahir Rataan umum anak babi yang mati lahir dalam penelitian ini adalah sebesar 1.07 ± 1.33 ekor atau 9.29 ± 9.87%. Persentase rataan umum yang diperoleh pada penelitian ini hampir sama dengan pendapat Sihombing (2006), yang menyatakan bahwa hampir 10% anak babi yang mati lahir adalah yang benar-benar mati sebelum mulai proses kelahiran dan 90% sisanya adalah mati selama proses kelahiran. Rataan litter size mati lahir pada penelitian selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi litter size mati lahir. Rataan litter size mati lahir pada penelitian ini untuk induk babi tanpa ovulasi ganda adalah 1.33 ± 1.02 ekor (dengan KK 11.83%) dan untuk induk yang diovulasi ganda ialah 0.81 ± 1.56 ekor (dengan KK 10%). Walaupun hasil analisa sidik ragam untuk perlakuan tidak berbeda nyata, namun pada Tabel 3 tampak bahwa babi dara yang diovulasi ganda menghasilkan jumlah anak babi yang mati lahir lebih sedikit dibanding dengan yang tidak diovulasi ganda. Hal ini demikian karena anak babi yang lahir dari induk babi tanpa ovulasi ganda umumnya lebih banyak yang mempunyai bobot lahir yang rendah yaitu di bawah satu kilogram. Hasil pengamatan memperlihatkan, umumnya anak babi mati sesudah dilahirkan. Banyak anak babi yang mati dalam keadaan lemah, dan pada umumnya mempunyai bobot lahir yang sangat rendah, yaitu di bawah satu kilogram. Kematian ini umumnya terjadi pada saat lahir hingga hari ke-3 setelah lahir. Sihombing (2006) menyatakan bahwa tingkat kematian anak babi sampai umur tiga hari adalah 12% sedangkan sampai umur 47 hari adalah 10% . 3. Litter Size Total Lahir Rataan umum litter size total lahir hasil penelitian adalah 10.76 ± 2.83 ekor. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran, antara lain faktor genetik dan lingkungan. Litter size total lahir yang diperoleh selama penelitan lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Krider dan Carrol (1971), yaitu sebesar 11.4 ekor, sedangkan menurut Eusebio (1980) litter size lahir anak babi berkisar antara 8-12 ekor. Bangsa babi juga dapat mempengaruhi jumlah litter size lahir, babi Duroc dengan litter size 10,24 ekor, bangsa babi Landrace 50 10,94 ekor (Milagres et al. 1983) dan 11 ekor (Devendra dan Fuller 1979), sedangkan untuk bangsa babi Yorkshire adalah 9,57 ekor (Park dan Kim 1983). Rataan litter size total lahir untuk induk babi yang tidak diovulasi ganda adalah 10.29 ± 2.19 ekor (dengan KK=21.33%) dan untuk induk yang diovulasi ganda ialah 11.24 ± 3.33 ekor (dengan KK=29.63%). Hasil analisis keragaman perlakuan menunjukkan bahwa ovulasi ganda tidak nyata mempengaruhi litter size total lahir pada babi percobaan. Litter size total lahir pada induk yang diovulasi ganda menghasilkan rataan jumlah anak yang hampir sama dengan induk yang tidak ovulasi ganda karena ternak babi adalah ternak yang prolifik. Walaupun tidak berbeda nyata secara statistik, jumlah anak total lahir atau litter size total lahir pada induk babi yang diovulasi ganda masih lebih tinggi daripada tanpa ovulasi ganda. Hal ini memberi gambaran bahwa secara fisiologis, induk babi memberikan respons yang baik terhadap pemberian PMSG dan hCG yang kerjanya mirip dengan FSH dan LH, yaitu merangsang pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi estrogen yang selanjutnya akan merangsang ovulasi (Bates et al. 1991; Estiene dan Harper 2003) dan perkembangan korpus luteum untuk menghasilkan progesteron dan ovum yang lebih banyak sehingga berpotensi meningkatkan jumlah anak sekelahiran (Mege et al. 2007). Dimensi Tubuh Anak Babi Lahir Dimensi tubuh anak babi setelah lahir diperoleh dengan cara mengukur bagian-bagian tubuhnya. Dimensi tubuh anak babi lahir dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu panjang badan anak babi lahir (PBAL), tinggi tungkai muka lahir (TTML), dan tinggi tungkai belakang lahir (TTBL). 1. Panjang Badan Anak Babi Lahir Pertumbuhan anak babi saat lahir digambarkan dengan peningkatan ukuran morfometrik panjang badan dari anak babi yang dilahirkan. Rataan umum panjang badan anak babi lahir (PBAL) adalah 21.96 ± 1.43 cm. Panjang badan anak babi lahir pada penelitian ini selengkapnya terlihat pada Tabel 3. Rataan panjang badan anak babi lahir dari induk babi kontrol dan yang diovulasi ganda masing-masing adalah 21.12 ± 1.31 cm (dengan KK=6.22%) dan 22.81 ± 0.97 cm 51 (dengan KK= 4.26 %). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan ukuran panjang badan anak babi lahir. Tabel 3. memperlihatkan bahwa anak babi yang lahir dari induk babi tanpa ovulasi ganda mempunyai ukuran badan yang lebih pendek daripada anak babi dari induk yang diovulasi ganda. Perbaikan penampilan panjang badan anak saat lahir pada induk yang diovulasi ganda digambarkan pula oleh peningkatan fenotipe panjang badan. Hasil penelitian ini didukung hasil Manalu et al. (2000) pada domba bahwa anak domba yang berasal dari induk ovulasi ganda mempunyai panjang badan yang lebih panjang dibanding dengan yang tanpa ovulasi ganda, demikian juga pada kambing hasil ovulasi ganda (Adriani et al. 2005). Ovulasi ganda dapat meningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progestreron dan estradiol sehingga memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan uterus yang memanifestasikan peningkatan bobot uterus dan kandungan total DNA dan RNA, dan glikogen yang menggambarkan adanya hipertropi atau pertambahan masa sel aktif, tetapi juga disertai oleh peningkatan konsentrasi DNA dan RNA yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan uterus disertai oleh adanya sintetik sel terutama memproduksi substrat untuk pemeliharaan embrio pada kebuntingan dini. Pada tikus dan kelinci, estrogen menstimulasi hipertropi dan mempertahankan sel-sel luteal selama kebuntingan (Niswender et al. 2000). 2. Tinggi Tungkai Muka Anak Babi Lahir Rataan umum dari hasil pengamatan tinggi tungkai muka anak babi lahir (TTML) adalah 13.94 ± 1.06 cm. Tinggi tungkai muka merupakan hasil pengukuran dimensi tubuh yang menggambarkan pertumbuhan ternak. Tinggi tungkai muka anak babi lahir pada penelitian ini secara rinci diperlihatkan pada Tabel 3. Rataan tinggi tungkai muka anak babi yang dilahirkan oleh induk babi kontrol dan yang diovulasi ganda masing-masing adalah 13.35 ± 1.12 cm (dengan KK=6.41% ) dan 14.53 ± 0.56 cm (dengan KK= 3.82%). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan tinggi tungkai muka anak babi lahir. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini juga memperlihatkan bahwa peningkatan panjang badan anak babi lahir disertai dengan peningkatan rataan tinggi tungkai muka pada anak babi yang 52 dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda. Perbaikan parameter reproduksi pada induk digambarkan melalui peningkatan fenotipe pada tinggi tungkai muka. Perbaikan dimensi tubuh berupa tinggi tungkai muka berlangsung terus sampai anak babi berumur 49 hari atau pada waktu disapih. Hal ini disebabkan induk babi yang diovulasi ganda mampu meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol, sehingga integrasi kinerja uterus dan plasenta secara optimal menyebabkan asupan nutrisi untuk embrio berjalan dengan baik sehingga berdampak pada ekspresi genotipe pertumbuhan yang digambarkan oleh fenotipe tinggi tungkai muka saat lahir (Manalu et al. 1996; Manalu dan Sumaryadi 1998). 3. Tinggi Tungkai Belakang Anak Babi Lahir Rataan umum pengamatan tinggi tungkai belakang anak babi lahir adalah sebesar 15.87 ± 0.90 cm. Tinggi tungkai belakang anak babi lahir pada penelitian ini selengkapnya terlihat pada Tabel 3. Pertumbuhan anak saat lahir digambarkan juga oleh peningkatan morfometrik tinggi tungkai belakang anak yang lahir. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan tinggi tungkai belakang anak babi lahir. Rataan tinggi tungkai belakang anak babi lahir dari induk babi kontrol dan yang diovulasi ganda masing-masing adalah 15.35 ± 0.90 cm (dengan KK=5.87%) dan 16.39 ± 0.55 cm (dengan KK= 3.36 %). Peningkatan tinggi tungkai belakang anak babi lahir memberi peluang pertumbuhan ternak babi yang lebih baik. Perbaikan tinggi tungkai belakang pada anak babi digambarkan melalui peningkatan fenotipe pada tinggi tungkai muka. Perbaikan dimensi tubuh berupa tinggi tungkai belakang berlangsung terus sampai ternak berumur 49 hari atau pada waktu disapih. Hal ini terjadi karena ovulasi ganda mampu meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol, sehingga kerja optimal dari hormon progesteron dalam proses pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta, serta embrio akan baik. Hasilnya, uterus berkembang secara optimal sebagai tempat hidup embrio, yang menyebabkan ekspresi genotipe pertumbuhan yang digambarkan oleh fenotipe, yaitu tinggi tungkai belakang saat lahir akan lebih baik dibandingkan dengan anak babi dari induk yang tanpa ovulasi ganda. Hal ini 53 didukung oleh Manalu et al. (1999) dan Adriani et al. (2005) yang menyatakan bahwa anak domba dan kambing yang berasal dari induk yang diovulasi ganda mempunyai badan lebih panjang. Hal ini terjadi karena estrogen berfungsi merangsang hipertropi dan hiperplasia endometrium dan miometrium akibatnya ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Selain itu, estrogen dan progesteron juga berfungsi dalam merangsang osteogenesis pada embrio dan fetus. Kekurangan estrogen menyebabkan aktivitas osteoblastik, matriks tulang, dan deposit kalsium serta fosfor tulang berkurang sehingga pertumbuhan tulang terganggu. Bobot Lahir Anak Babi Bobot lahir dibagi ke dalam dua kategori, yaitu penimbangan anak babi yang lahir dari setiap induk (bobot lahir per litter, BLPL) dan bobot lahir per ekor (BLPE) hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi dengan jumlah anak hidup lahir (ekor). 1. Bobot Badan Lahir per Litter Rataan umum bobot lahir anak babi per litter adalah 14.87 ± 3.57 kg. Pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada bobot badan lahir per litter dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan bobot lahir per litter. Bobot badan lahir anak per litter dari induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 13.64 ± 2.31 kg (dengan KK=16.98%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 16.10 ± 4.19 kg (dengan KK=25.99%). Ovulasi ganda pada induk babi menghasilkan bobot lahir per litter yang lebih tinggi daripada tanpa ovulasi ganda, karena ovulasi ganda meningkatkan aktivitas hormon kebuntingan progesteron dan estradiol dan faktor pertumbuhan. Hormon-hormon tersebut akan disekresikan secara endogen selama kebuntingan dan berperan dalam perangsangan proses sintesis dan sekresi kelenjar endometrium uterus yang pada gilirannya akan sangat menentukan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan konseptus sejak pra-implantasi sampai menjelang kelahiran (Carson et al. 2000). Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin dan Human Chorionic Gonadotrophin berperan dalam meingkatkan kapasitas dan sekresi uterus (Geisert dan Schmitt 2002) serta pertumbuhan dan perkembangan 54 intrauterus (Valet et al. 2002). Setelah plasentasi, pertumbuhan fetus sangat dipengaruhi oleh kapasitas plasenta yang memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk untuk pemeliharaan fetus (Wilson et al. 1999; Giellespie dan James 1998). 2. Bobot Badan Lahir per Ekor Rataan umum bobot lahir anak babi per ekor adalah 1.40 ± 0.18 kg . Kurniawan (2006) yang meneliti hubungan bobot lahir dengan litter size lahir menyatakan bahwa bobot lahir anak babi adalah 1.30 kg/ekor. Bobot lahir anak babi dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain frekuensi induk babi beranak (parity), umur induk, bangsa induk, dan jumlah anak seperindukan pada waktu lahir (De Borsotti et al. 1982). Pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada bobot badan lahir dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan bobot lahir per ekor. Bobot lahir per ekor anak babi dari induk kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 1.34 ± 0.14 kg (dengan KK=10.46%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 1.46 ± 0.19 kg (dengan KK=13.12%) (Tabel 3). Bobot lahir anak yang lebih tinggi pada induk babi yang diovulasi ganda terjadi karena ovulasi ganda meningkatkan aktivitas hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan. Hormon-hormon tersebut akan disekresikan secara endogen selama kebuntingan dan berperan dalam diferensiasi dan perkembangan fetus selama kebuntingan yang berkaitan dengan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi pada masa transisi dari kehidupan intrauterus ke ekstrauterus (Geisert et al. 1994). Bobot lahir tidak lepas dari kapasitas dan sekresi uterus (Giesert dan Schmitt 2002), dan juga oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan intrauterus (Valet et al. 2002) yang setelah plasentasi sangat dipengaruhi oleh kapasitas plasenta yang memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk untuk pemeliharaan fetus (Wilson et al. 1998). Konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus, bobot fetus dalam kandungan, dan bobot lahir anak (Manalu & Sumaryadi 1999; Mege et al. 2007). Ovulasi ganda dapat meningkatkan pertumbuhan otot awal yang ditandai dengan peningkatan ukuran serat otot (hipertropi), pertumbuhan otot kemudian berasal dari peningkatan jumlah serat otot (hiperplasia) (Giellespie dan James 1998). Sebagian besar ternak 55 berkembang 60–70% dari bobot lahir selama fase pertumbuhan fetus. Peningkatan terbesar dalam bobot fetus terjadi selama kebuntingan (Giellespie dan James 1998). Akibat dari pertumbuhan dan perkembangan yang sebagian besar terjadi pada periode kebuntingan menyebabkan bobot anak babi yang lahir dari induk yang diovulasi ganda lebih baik. Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Laktasi Konsumsi ransum harian induk (KRHI) babi laktasi adalah jumlah ransum yang dimakan induk babi setiap hari selama masa laktasi. Konsumsi ransum diperoleh dari selisih antara jumlah ransum awal dengan jumlah sisa. Ransum yang dikonsumsi induk babi, di samping akan diubah menjadi jaringan tubuh, juga digunakan untuk produksi air susu, energi dan sebagian lagi akan dikeluarkan sebagai kotoran. Rataan umum untuk konsumsi harian ransum induk babi laktasi adalah 5.16 ± 0.70 kg, Sihombing (2006) menyatakan dalam menghitung kebutuhan ransum untuk induk laktasi adalah 2 kg untuk hidup pokok induk dan ditambah dengan 0.5 kg untuk setiap ekor anak. Dari hasil perhitungan, rataan kebutuhan ransum dihubungkan dengan rataan umum litter size lahir hidup (9.69 ± 2.39 ekor) adalah sebesar 6.85 kg per ekor induk. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian maka ransum yang dikonsumsi oleh induk babi laktasi masih lebih rendah 1.69 kg daripada kebutuhan yang direkomendasikan. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa induk babi yang diovulasi ganda mengkonsumsi ransum yang lebih banyak (P<0.01) selama laktasi. Hasil pengamatan konsumsi ransum harian induk (KRHI) babi selama masa laktasi diperlihatkan pada Tabel 3. Rataan konsumsi ransum harian induk babi selama laktasi masingmasing adalah 4.87 ± 0.77 kg pada kontrol (dengan KK=15.86 %) dan 5.48 ± 0.45 kg pada induk yang diovulasi ganda (dengan KK=8.23 %). Konsumsi ransum yang lebih tinggi pada induk babi laktasi yang diovulasi ganda terjadi karena litter size hidup lahir (10.43 ± 2.54 ekor) juga lebih tinggi dibandingkan dengan pada induk tanpa ovulasi ganda (8.95 ± 2.03 ekor). Kebutuhan ransum induk babi selama laktasi sangat bergantung pada banyaknya anak yang disusuinya (Sihombing 2006). Hasil penelitian rataan litter size lahir pada perlakuan induk babi ovulasi ganda dan tidak diovulasi ganda dihubungkan 56 dengan konsumsi ransum harian induk babi laktasi dalam penelitian ini masih lebih rendah daripada yang seharusnya, yaitu 7.21 kg untuk yang diovulasi ganda dan tanpa ovulasi ganda adalah 6.48 kg. Kebutuhan ransum untuk induk babi laktasi bergantung pada jumlah dan bobot badan anak yang disusuinya. Semakin tinggi litter size, konsumsi ransum induk juga semakin meningkat. Litter size juga mempengaruhi produksi susu. Semakin tinggi litter size lahir maka konsumsi ransum induk laktasi semakin banyak. Apabila konsumsi ransum induk selama laktasi tidak terpenuhi sesuai dengan jumlah anak sekelahiran, cadangan makanan dalam tubuh akan digunakan untuk memproduksi susu dan selanjutnya apabila cadangan makanan dalam tubuh berkurang maka produksi susu akan berkurang. Bobot badan anak juga mempengaruhi konsumsi ransum. Makin tinggi bobot badan anak-anak babi yang disusuinya maka konsumsi ransum induk laktasi makin tinggi (Parakkasi 1990). Bobot lahir anak babi dari induk babi kontrol adalah 1.34 ± 0.14 kg/ekor dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 1.46 ± 0.19 kg/ekor. Dengan demikian, induk yang mempunyai anak yang bobot lahirnya lebih tinggi akan mengkonsumsi ransum lebih banyak daripada induk yang mempunyai bobot lahir rendah. Induk babi yang diovulasi ganda mempunyai anak dengan bobot badannya lebih tinggi sehingga frekuensi induk babi menyusui lebih sering daripada anak babi yang bobot badannya lebih rendah. Dengan demikian, untuk mengimbangi produksi air susu induk babi maka konsumsi ransum induk laktasi yang diovulasi ganda lebih banyak daripada induk babi tanpa ovulasi ganda yang kenyataannya mempunyai anak lebih rendah bobot badannya. Produksi Air Susu Induk Babi Produksi air susu induk (PASI) babi yang dimaksud adalah per menyusui, per hari, dan per laktasi yang mana PASI babi per hari dan per laktasi merupakan hasil perhitungan frekuensi induk babi menyusui per hari dikalikan dengan PASI babi per menyusui. Frekuensi induk babi menyusui (FIM) per hari diperoleh dengan cara mengamati berapa kali induk babi menyusui anaknya selama 24 jam. Produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui diperoleh dengan menimbang bobot anak babi per kelahiran (Parakkasi 1990), anak babi ditimbang sebelum dan 57 segera setelah selesai menyusu dan selisih bobot penimbangan merupakan PASI babi pada saat itu. Penimbangan dilakukan dua kali, penimbangan pertama setelah anak babi dipuasakan selama 4 jam, kemudian penimbangan kedua sesudah anak babi menyusu (± 60 menit). Produksi air susu induk babi diperoleh dari hasil pengurangan penimbangan kedua dengan pertama. Pengukuran air susu induk babi per menyusui dimulai pada hari ketujuh setelah beranak untuk mengurangi stress pada anak babi, kemudian dilanjutkan pada hari ke-14 , ke- 21 , ke-28, ke35, ke-42, dan hari ke-49. Produksi air susu induk babi per hari diperoleh dengan cara menghitung PASI babi per menyusui dikalikan dengan frekuensi menyusui dan produksi air susu induk babi per laktasi diperoleh dari PASI babi per hari dikalikan dengan umur prasapih atau masa laktasi, yaitu 49 hari. 1. Frekuensi Induk Babi Menyusui Rataan umum untuk frekuensi induk babi menyusui (FIM) ialah 19.41 ± 0.58 kali per hari, dengan kisaran 13.57-24.29 kali/hari. Berdasarkan nilai pengamatan FIM anaknya selama penelitian dapat diperoleh rataan lama anak babi setiap menyusu adalah 74.81 menit (1.15 jam) sekali. Hasil pengamatan yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan dengan pernyataan Xu dan Cranwell (2003) bahwa frekuensi induk babi menyusui adalah sebanyak 20 kali. Data frekuensi induk babi menyusui menurut perlakuan disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan frekuensi induk babi menyusui. Rataan frekuensi induk babi menyusui per hari pada induk kontrol adalah 18.93 ± 0.23 KK=1.20%) dan 19.89 ± 0.40 kali kali (dengan (dengan KK= 1.99%) pada induk yang diovulasi ganda. Perlakuan ovulasi ganda pada induk babi ternyata dapat meningkatkan frekuensi induk menyusui anaknya. Induk babi dengan produksi air susu yang tinggi akan lebih sering menyusui anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa anak babi dari induk ovulasi ganda secara konsisten dan lebih baik dalam mempertahankan frekuensi menyusui sampai prasapih daripada anak babi dari induk babi yang tanpa ovulasi ganda. Hal ini disebabkan anak babi yang lahir dari induk tanpa ovulasi ganda mempunyai bobot badan yang lebih rendah (1.34 ± 0.14 kg) dibandingkan dengan anak babi yang lahir dari induk ovulasi ganda (1.46 ± 0.19 58 kg) sehingga kebutuhan air susu lebih banyak dan anak hasil ovulasi ganda lebih agresif daripada anak yang lahir dari induk tanpa diovulasi ganda. SO TSO Linear (SO) Linear (TSO) Frekuensi menyusui 25.00 20.00 15.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu ke Gambar 6 Frekuensi Menyusui OvulasiGanda Induk Babi Tanpa Ovulasi Ganda dan dengan Gambar 6 menjelaskan bahwa frekuensi menyusui akan mengikuti jumlah produksi air susu dari induknya. Frekuensi menyusui sangat tinggi pada awal laktasi sampai pada minggu ke-2 dengan rataan 22 kali untuk induk babi yang diovulasi ganda dan 21 kali untuk induk babi yang tidak diovulasi ganda. Frekuensi induk menyusui mulai menurun setelah minggu ke-3 sampai frekuensi paling rendah pada minggu ke-7 dengan rataan 15 kali. Jadi, semakin lama masa laktasi maka semakin menurun frekuensi induk babi menyusui. Hal ini terjadi karena produksi air susu induk babi semakin menurun sehingga dari hasil pengamatan kebiasaan induk untuk “memanggil” anaknya untuk menyusu baik dengan gerakan maupun mengeluarkan bunyi semakin berkurang dan apabila anak-anak babi mendekati induknya, induk akan berdiri dan berjalan dalam kandang. Tindakan ini merupakan penolakan induk untuk menyusui anaknya, dan dari hasil pengamatan bahwa induk yang siap menyusui anaknya akan membaringkan tubuhnya sehingga posisi ambingnya nyaman untuk melakukan proses menyusui. Jumlah frekuensi induk babi menyusui harus diikuti dengan banyaknya jumlah air susu yang dapat diperoleh anaknya, karena jumlah air susu yang diperoleh mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dan hal ini akan menentukan daya hidup prasapih. 59 2. Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui Rataan umum untuk produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui adalah 0.35 ± 0.08 kg. Produksi air susu induk babi per menyusui sangat penting bagi anak babi, terutama pada awal laktasi ketika anak babi sepenuhnya bergantung pada air susu induknya, sebelum anak babi tersebut belajar untuk mengkonsumsi makanan lain, seperti ransum. Apabila anak babi tidak dapat memanfaatkan air susu pada awal laktasi secara maksimal maka pertumbuhan dan perkembangannya akan terganggu. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan PASI babi per menyusui. Rataan PASI babi per menyusui pada babi kontrol adalah 0.32 ± 0.10 kg (dengan KK=1.20%) dan pada induk dengan ovulasi ganda adalah 0.39 ± 0.05 kg (dengan KK=1.99%). Produksi air susu induk babi per menyusui pada induk babi yang diovulasi ganda meningkat karena ovulasi ganda meningkatkan konsentrasi progesteron dan estradiol sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu yang digambarkan dengan peningkatan jumlah sel sekretoris kelenjar ambing yang terbentuk maupun peningkatan aktivitas sintesis susu (Manalu et al. 1999; Mege et al. 2007). Kelenjar susu adalah suatu kompleks organ yang tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel, dan sel sekretoris. Sel sekretoris tergabung dalam lobula alveoli yang merupakan tempat penghasil susu yang bekerja selama masa laktasi. Peran progesteron dan prolaktin sangat diperlukan untuk perkembangan alveoli. Produksi air susu induk yang dihasilkan oleh kelenjar mammae bergantung pada jumlah sel dalam kelenjar tersebut. Jadi semakin banyak sel tempat sintesis susu maka akan semakin banyak produksi air susu yang akan dihasilkan (Delaval 2008). Produksi air susu induk sangat penting bagi anak babi, terutama pada awal laktasi ketika anak babi sepenuhnya bergantung pada air susu induknya, pada waktu anak babi dilahirkan sebelum anak babi tersebut belajar untuk mengkonsumsi makanan lain, seperti ransum. Apabila anak babi tidak bisa memanfaatkan air susu pada awal laktasi secara maksimal maka pertumbuhan dan perkembangannya akan terganggu. Hal ini akan berdampak pada bobot anak waktu penyapihan sampai dengan bobot potong. Gambar 7 menyajikan kurva 60 produksi air susu induk babi per menyusui dari induk tanpa dan dengan ovulasi ganda pada setiap waktu pengukuran yang berbeda. 0.50 So TSO Linear (So) Linear (TSO) KG 0.40 0.30 0.20 1 2 3 4 Minggu Ke 5 6 7 Gambar 7 Rataan Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui Gambar 7 menunjukkan bahwa pola produksi air susu induk babi menyusui mencapai puncaknya pada minggu ke-3 kemudian menurun secara linear sampai produksi terendah pada minggu ke-7. Gambar 7 juga menjelaskan bahwa produksi air susu per menyusui dari induk yang diovulasi ganda lebih tinggi dibandingkan dengan produksi air susu dari induk menyusui tanpa ovulasi ganda. Ovulasi ganda meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol, yang merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sehingga dengan ransangan anak babi yang menyusu akan meningkatkan sekresi air susu untuk menghasilkan produksi susu yang lebih baik (Mege et al. 2007). 3. Produksi Air Susu Induk Babi per Hari Produksi air susu induk (PASI) babi per ekor per hari diperoleh dari jumlah PASI babi per menyusui dikalikan dengan frekuensi induk babi menyusui per hari. Rataan umum PASI babi per ekor adalah 6.99 ± 1.68 kg/h. Rataan umum PASI babi per hari hasil penelitian ini lebih tinggi 1.54 kg/h daripada PASI babi per hari yang diperoleh dari hasil penelitian Silalahi (2011), yaitu 5.45 ± 1.64 kg/h dengan menambahkan 5% daun bangun-bangun dalam ransum induk babi. Menurut Mepham (1987), produksi air susu induk babi bergantung pada 61 banyaknya anak yang menyusu, walaupun tidak harus menjamin kebutuhan optimum dari anak-anak tersebut (Parakkasi 1983). Secara rinci, pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada PASI babi per hari dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan PASI babi per hari. Rataan PASI babi kontrol adalah 6.23 ± 1.89 kg/h (dengan KK=30.24%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah, 7.74 ± 1.00 kg/h (dengan KK=12.97%). Produksi air susu induk babi per hari mampu ditingkatkan melalui perlakuan ovulasi ganda melalui bertambahnya jumlah sel sekretoris kelenjar ambing yang terbentuk maupun karena peningkatan aktivitas sintesis air susu. Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat dipengaruhi oleh hormon kebuntingan, terutama estradiol dan progesteron serta laktogen plasenta (Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000; Sudjatmogo et al. 2001; Adriani et al. 2005; Hurley et al. 2001). Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan diakibatkan oleh peningkatan sekresi estrogen dan progesteron pada induk babi yang diovulasi ganda (Mege et al. 2007). Hasil pengamatan PASI babi per hari pada tiap minggu pengukuran diperlihatkan pada Gambar 8 yang menunjukkan bahwa puncak PASI babi terjadi pada minggu ke-3 masa laktasi, baik yang tanpa maupun yang diovulasi ganda. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Kim et al. (2000) bahwa kelenjar susu pada babi secara fungsional memproduksi susu selama laktasi mencapai puncak mulai 5 sampai 21 hari laktasi kemudian menurun secara perlahan yang digambarkan dengan adanya peningkatan DNA yang sangat pesat, yaitu 100 persen dari periode 5 sampai 2 hari laktasi dan kemudian menurun sampai akhir laktasi (Forsyth 1986). Peningkatan kandungan DNA kelenjar susu selama laktasi merupakan indikator peningkatan jumlah sel aktif yang berfungsi mengoptimalkan produksi susu dan pernyataan ini dudukung oleh Sihombing (2006) bahwa pada awalnya produksi air susu induk babi adalah 4 kg dan meningkat pada minggu ketiga dan keempat. Pada grafik terlihat produksi air susu induk babi mulai dari minggu pertama sampai ketujuh pada induk yang diovulasi ganda lebih tinggi daripada induk babi tanpa ovulasi ganda. Pada minggu kedua dan ketiga PASI babi per hari dari induk babi yang diovulasi ganda adalah sama, 62 yaitu 9.50 kg, sedangkan pada induk yang tanpa diovulasi ganda PASI babi pada minggu kedua berkisar 7.50 kg dan pada minggu ketiga naik menjadi 8.0 kg. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa pada umur 2-3 minggu, anak babi dari induk yang tanpa ovulasi ganda mulai lebih aktif menyusu daripada anak babi dari induk yang diovulasi ganda. Perbedaan ini disebabkan babi yang diovulasi ganda mengalami peningkatan masa sel dan aktivasi sel sintetik sel sektretotis kelenjar ambing yang lebih banyak (Manalu et al. 2000) yang dibuktikan dengan peningkatan kandungan total DNA (Mege et al. 2007). SO TSO Linear (SO) Linear (TSO) PASI Babi Per Hari (Kg) 10.50 9.50 y = -0.7587x + 10.87 R² = 0.7592 8.50 7.50 6.50 y = -0.5523x + 8.5272 R² = 0.6976 5.50 4.50 3.50 0 1 2 3 4 5 6 7 Minggu ke Gambar 8 Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Per Ekor per Hari Tingkat perkembangan kelenjar ambing pada awal laktasi akan menentukan puncak laktasi seekor ternak (Forsyth 1986) dan mulai mengalami penurunan produksi susu air pada minggu keempat sampai minggu ketujuh. Produksi air susu induk per hari pada tiap minggu pengukuran menunjukkan bahwa babi yang diovulasi ganda lebih baik dalam hal mempertahankan produksinya dibandingkan dengan babi yang tanpa ovulasi ganda. Artinya, pada induk babi juga ditemukan fenomena peningkatan persistensi produksi susu. 4. Produksi Air Susu Induk Babi per Laktasi Produksi air susu induk (PASI) babi per ekor per laktasi diperoleh dari jumlah PASI babi per hari dikalikan dengan jumlah hari induk menyusui (masa laktasi), yaitu 49 hari. Rataan umum PASI babi per ekor per laktasi adalah 63 342.49 ± 82.12 kg. Secara rinci pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada PASI babi per ekor per laktasi dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan PASI induk per laktasi. Rataan PASI pada induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 305.54 ± 92.40 kg/laktasi (dengan KK=30.24%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah, 379.44 ± 49.20 kg/laktasi (dengan KK=12.97%). Produksi air susu induk babi per laktasi mampu ditingkatkan melalui perlakuan ovulasi ganda karena dengan meningkatnya PASI induk per menyusui menyebabkan PASI babi per hari dan per laktasi juga meningkat. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Menyusu Pertambahan bobot badan anak (PBBA) babi selama menyusu diperoleh dari selisih bobot badan anak babi saat lahir dan bobot badan anak babi pada saat disapih, yaitu hari ke-49. Pertambahan bobot badan anak babi menyusu bergantung pada kuantitas dan kualitas air susu yang diperoleh dari induknya selama menyusu. Rataan umum pertambahan bobot badan anak babi per ekor hingga hari ke-49 menyusu adalah 10.08 ± 1.48 kg. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan PBBA babi per ekor prapenyapihan. Secara rinci, pertambahan bobot badan anak babi dapat dilihat pada Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan anak babi per ekor hingga hari ke-49 atau pada waktu disapih pada kontrol adalah 9.35 ± 0.69 kg (dengan KK=7.33%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 10.81 ± 1.69 kg (dengan KK=15.71%). Hal ini membuktikan bahwa induk babi yang ovulasi ganda dapat meningkatkan pertambahan bobot badan anak babi dibandingkan dengan yang tidak diovulasi ganda. Pertambahan bobot badan anak babi prapenyapihan bergantung pada bobot lahir anak babi dan produksi air susu induk babi dan kemampuan anak babi untuk menyusu. Induk babi tanpa ovulasi ganda menghasilkan PASI sebanyak 6.23 ± 1.89 kg/e/hari, sedangkan dengan ovulasi ganda adalah sebesar 7.74 ± 1.00 kg/e/hari. Induk yang diovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) mempunyai produksi air susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa ovulasi ganda. Dengan demikian, PBBA babi per ekor pada induk yang diovulasi ganda juga lebih tinggi dibandingkan dengan PBBA pada induk 64 yang tanpa ovulasi ganda. Jadi, peningkatan PASI diikuti dengan pertambahan bobot badan anak babi yang semakin meningkat. Pada induk babi yang diovulasi ganda, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu meningkat yang dibuktikan oleh peningkatan jumlah sel-sel sektretoris yang terbentuk maupun peningkatan aktivitas sintesisnya (Mege et al. 2007). Dengan meningkatnya PASI babi maka pertambahan bobot badan anak babi akan lebih baik. SO PBB/H Pertambahan Berat Badan TSO PBB/H 1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 - y = 0.1205x + 0.0751 R² = 0.9534 0 1 2 3 4 Minggu Ke y = 0.1006x + 0.087 R² = 0.9453 5 6 7 8 Gambar 9 Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Sampai Prasapih. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan kemampuan anak babi yang lahir dari induk yang diovulasi ganda lebih baik untuk menyusu. Hal ini disebabkan anak babi tersebut lebih kuat karena bobot badan lahirnya yang lebih tinggi. Gambar 9 memperlihatkan bahwa pertambahan bobot badan anak babi prapenyapihan yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari induk yang tidak diovulasi ganda. Gambar 10 memperlihatkan hubungan antara pertambahan bobot badan anak babi dengan produksi air susu. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan anak babi sangat berhubungan dengan produksi air susu. Gambar 10 memperlihatkan bahwa makin tinggi produksi air susu induk akan menyebabkan pertambahan bobot badan anaknya yang semakin meningkat juga. Namun, terlihat dengan jelas bahwa anak babi dari induk yang diovulasi ganda (R= 92.0%) lebih tinggi pertambahan bobot badannya dibanding dengan anak dari induk yang tidak diovulasi ganda (R=89.5%). Ovulasi ganda yang dilakukan pada induk babi dapat meningkatkan produksi air susu induk babi per ekor per hari. Hal tersebut 65 disebabkan fungsinya adalah untuk pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, terutama duktus dan perkembangan alveolar selama kebuntingan sangat dipengaruhi oleh hormon yang meliputi estrogen, progesterone, prolaktin, laktogen plasenta, insulin, hormon tiroid, dan faktor pertumbuhan (Knigth dan Peaker 1982; Forsyth 1986). Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian Mege et al. (2007) yang menyatakan bahwa dengan ovulasi ganda dapat meningkatkan massa sel sekretoris dan aktivitas sintetik kelenjar susu yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi DNA dan RNA serta kandungan glikogen. 10 8 S R-Sq R-Sq(adj) 0.494679 92.0% 88.0% S R-Sq R-Sq(adj) 9 0.747530 89.5% 84.2% 7 PA SI/H PA SI/H1 8 6 7 6 5 5 4 4 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 TSO PPB/H 0.6 0.7 0.8 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 SO PBB/H 0.7 0.8 0.9 1.0 Gambar 10 Hubungan Pertambahan Bobot Badan Anak Babi dengan Produksi Air Susu Induk. Peningkatan konsentrasi DNA mengambarkan bahwa terjadi pertambahan jumlah massa sel sekretori sedangkan peningkatan aktivitas sintetik sel digambarkan dengan konsentrasi RNA yang distimulasi oleh ovulasi ganda (Mege et al. 2007). Peningkatan tersebut menyebabkan peningkatan produksi air susu induk sehingga berdampak pada pertambahan bobot badan anak prasapih. Mortalitas Anak Babi Prasapih Rataan umum persentase mortalitas anak babi prasapih adalah 20.78 ± 15.95%. Tingkat mortalitas yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Sihombing (2006) bahwa persentase mortalitas anak babi berkisar 20-25%. Persentase mortalitas anak babi prasapih menurut perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01) menurunkan mortalitas anak babi selama menyusu. Mortalitas anak babi dari 66 induk babi kontrol yang tidak diovulasi ganda adalah 26.64 ± 18.60% (dengan KK=69.82%) dan mortalitas anak dari induk yang diovulasi ganda adalah 14.92 ± 10.18% (dengan KK= 68.20%). Mortalitas anak babi yang lebih tinggi pada induk yang tanpa ovulasi ganda dibandingkan dengan yang diovulasi ganda membuktikan bahwa ovulasi ganda dapat memperkecil angka mortalitas. Mortalitas anak babi berhubungan dengan bobot lahir anak babi. Bobot lahir anak babi dari induk yang tanpa dan dengan ovulasi ganda masing-masing adalah 1.34 ± 0.14 kg dan 1.46 ± 0.19 kg. Dengan bobot anak babi lahir yang tinggi maka daya tahan hidupnya akan semakin baik. Eusebio (1980) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot lahir anak babi maka daya tahan tubuh akan semakin meningkat dan dengan demikian mempunyai kesempatan yang baik untuk hidup. Ovulasi ganda dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan embrio selama kebuntingan (Mege et al. 2007 ) sehingga berdampak pada anak babi yang lahir dengan bobot badan yang tinggi. Dengan demikian, anak babi berkesempatan untuk bertahan hidup lebih banyak yang mengakibatkan persentase mortalitas anak babi menjadi rendah. Angka mortalitas anak babi yang terjadi selama penelitian juga dapat disebabkan manajemen dalam kandang, seperti penanganan induk dan anak mulai dari lahir hingga menyusu adalah kurang baik. Sifat keibuan dari induk (mothering ability) yang kurang baik juga berperan karena ketika induk akan berbaring ada anak babi yang ditindihnya. Induk babi yang digunakan pada penelitian ini adalah induk yang baru pertama kali beranak jadi belum berpengalaman dalam mengasuh anaknya. Selain itu, ada juga yang disebabkan oleh anak-anak babi yang sakit (mencret) karena anak babi kedinginan, menjadi lemas, dan sulit mendapat air susu induk sehingga menyebabkan kematian anak babi. Hurley (2001) manyatakan bahwa lebih dari 60% kematian anak babi sebelum disapih disebabkan oleh faktor induk dan juga pengaruh dari pasokan pakan yang mengakibatkan rendahnya produksi air susu induk. 67 Bobot Sapih Bobot sapih dibagi ke dalam dua kategori, yaitu bobot sapih anak babi per litter (BSPL) (kg/litter), yang diperoleh dengan melakukan penimbangan semua anak babi dari seperindukan segera setelah penyapihan, dan bobot sapih per ekor (BSPE) (kg/e) adalah hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi dengan jumlah anak yang disapih (ekor). 1. Bobot Sapih per Litter Bobot sapih bergantung pada bobot lahir karena kondisi dari anak babi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan prenatal (Dziuk 1992), termasuk perubahan biokimia sebelum implantasi embrio oleh estradiol dan progesteron. Bobot sapih juga merupakan indikator dari produksi air susu induk babi dan kemampuan bertumbuh anak babi. Rataan umum bobot sapih per litter adalah 93.33 ± 25.21 kg. Secara rinci, rataan bobot sapih per litter pada induk kontrol dan yang diovulasi ganda dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P< 0.01) meningkatkan bobot sapih per litter. Bobot sapih per litter pada induk kontrol adalah 79.63 ± 20.78 kg/litter dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 107.02 ± 21.85 kg/litter. Dengan kata lain, bobot sapih per litter pada anak yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda 28.39 kg lebih tinggi diabndingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk kontrol tanpa ovulasi ganda. Ovulasi ganda ternyata dapat meningkatkan bobot sapih per litter hal ini disebabkan bobot sapih sangat ditentukan oleh pertambahan bobot badan anak selama menyusu. Pertambahan bobot badan anak babi sampai disapih dari induk babi tanpa ovulasi ganda (9.35 ± 0.69 kg) lebih rendah dibandingkan dengan anak yang dihasilkan oleh induk yang diovulasi ganda (10.81 ± 1.69 kg). Hal ini disebabkan ovulasi ganda sebelum pengawinan akan mensekresi hormon-hormon kebuntingan (progesteron dan estradiol) pada induk babi, yang akan mempengaruhi perkembangan saluran reproduksi pada betina, terutama uterus dan plasenta, yang merupakan salah satu penentu keberhasilan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sampai lahir (Geisert dan Schmitt 2002; Sterle et al. 2003). Bahkan pertumbuhan dan perkembangan uterus 68 dan plasenta yang baik akan memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan fetus selama kebuntingan yang selanjutnya akan sangat menentukan penampilan anak pascalahir dan produksi (Foxcroft dan Town 2004). Penyuntikan PMSG dan hCG pada induk babi sebelum pengawinan dapat meningkatkan bobot embrio (Mege et al. 2007). Hal ini memberi gambaran bahwa ovulasi ganda menstimulasi sekresi endogen hormon kebuntingan sehingga sangat mempengaruhi sekresi progesteron dan estradiol selama kebuntingan (Geisert et al. 1994; Geisert dan Shcmitt 2002) Pertumbuhan sapi, kambing, dan domba sangat dipengaruhi oleh progesteron dan estradiol melalui mekanisme modulasi peningkatan pertumbuhan dan perkembangan serta fungsi uterus dan plasenta mensekresi zat makanan juga faktor pertumbuhan untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup fetus yang berdampak sampai anak lahir bahkan bobot sapih lebih baik (Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999) . 2. Bobot Sapih per Ekor Rataan umum bobot sapih per ekor adalah 11.13 ± 1.07 kg. Bobot sapih per ekor hasil penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan yang direkomendasikan oleh NRC (1998), yaitu sekitar 13-18 kg. Bobot sapih sangat ditentukan, antara lain oleh jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk, keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anaknya, kuantitas dan kualitas ransum, serta suhu lingkungan (Sihombing, 2006). Secara rinci bobot sapih per ekor babi percobaan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P< 0.01) meningkatkan bobot sapih per ekor. Bobot sapih per ekor untuk anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol yang tidak diovulasi ganda adalah 10.64 ± 0.75 kg/ekor dan pada anak yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda adalah 11.61 ± 1.14 kg/ekor. Dengan perkataan lain, babi dara dengan pemberian ovulasi ganda menghasilkan anak dengan bobot sapih 0.97 kg/ekor lebih berat dibandingkan dengan tanpa diovulasi ganda. Perkembangan anak setelah lahir bergantung pada produksi air susu induk dan kemampuan anak babi untuk menyusuinya. Induk yang diovulasi ganda lebih baik untuk menyusui anaknya daripada induk yang tidak diovulasi ganda. Hal ini dibuktikan juga dengan frekuensi menyusui pada induk babi yang kontrol 69 tanpa ovulasi ganda adalah 18.93 ± 0.23 kali dengan produksi susu induk 6.23 ± 1.86 kg/ekor sementara induk yang diovulasi ganda menyusukan anaknya 19.89 ± 0.40 kali dengan produksi air susu induk sebanyak 7.74 ± 1.00 kg/ekor. Bobot sapih anak yang dilahirkan oleh induk babi dara yang diovulasi ganda lebih berat dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk tanpa ovulasi ganda. Hal ini disebabkan ovulasi ganda mampu mensekresi endogen hormon-hormon kebuntingan (progesteron dan estradiol) sehingga setelah bunting terjadi petumbuhan dan perkembangan kelenjar susu (Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999) dan terus meningkat sampai periode akhir kebuntingan. Pada periode tersebut, terjadi periode pertumbuhan dan perkembangan paling ekstensif bagi sel kelenjar pensekresi susu serta sistem vaskuler, sel-sel epitel, jaringan ikat dan jaringan basal yang merupakan pertautan sel-sel pensekresi (Knight dan Wilde 1993). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, terutama duktus dan perkembangan lobul alveolar selama kebuntingan, sangat dipengaruhi oleh sejumlah hormon yang meliputi estrogen, progesteron, prolaktin, laktogen plasenta, insulin, hormon tiroid, dan faktor pertumbuhan (Forsyth 1986). Peningkatan hormon-hormon tersebut bertanggung jawab atas kontrol pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan, dan apabila terjadi gangguan keseimbangan hormon mammogenik (Anderson et al. 1986) akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu. Peningkatan jumlah sel sekretoris digambarkan dengan peningkatan DNA dan RNA sangat menentukan tingkat produksi air susu induk sejalan dengan peningkatan konsentrasi hormon kebuntingan, seperti progesteron dan estradiol dan faktor pertumbuhan sehingga menyebabkan peningkatan kelenjar susu yang amat berperan dalam produksi air susu induk sehingga berdampak pada bobot sapih anak babi (Hurley 2001; Manalu dan Sumaryadi 1998; Mege et al. 2007). Litter Size Sapih Sapih adalah tahap pertumbuhan suatu hewan atau ternak mammalia ketika tidak lagi bergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi ransum padat dan cair (Inglis 1980). Rataan umum litter size sapih yang diperoleh selama pengamatan adalah 8.38 ± 2.15 ekor. Secara rinci litter size sapih pada 70 kelompok babi percobaan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil litter size sapih yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan litter size sapih untuk babi dara menurut Sihombing (2006), yaitu 6.2 ekor. Litter size sapih sangat bergantung pada litter size lahir dan mortalitas prasapih. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda pada induk sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan litter size sapih. Rataan litter size sapih pada induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 7.48 ± 1.97 ekor (dengan KK= 26.29%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 9.29 ± 1.98 ekor (dengan KK= 21.31%). Litter size sapih pada induk babi ovulasi ganda lebih banyak daripada induk tanpa ovulasi ganda. Pada penelitian ini membuktikan bahwa ovulasi ganda dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan (progesteron dan estradiol) sehingga memperbaiki bobot embrio dan fetus (Mege et al. 2007). Penampilan embrio dan fetus yang baik berdampak pada anak babi yang lahir dan bahkan lepas sapih yang lebih baik yang dihasilkan oleh induk yang diovulasi ganda. Hal ini memberi gambaran bahwa pengaruh hormon tersebut merupakan mimik dari LH dan FSH terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan terutama melalui modulasi progesteron dan estradiol serta faktor pertumbuhan yang juga memperbaiki penampilan anak sejak lahir sampai lepas sapih. Litter size sapih sangat bergantung pada litter size lahir dan mortalitas prasapih. Litter size hidup lahir pada babi dara tanpa dan dengan ovulasi ganda masing-masing adalah 8.95 ± 2.03 dan 10.43 ± 2.54 ekor, sementara persentase mortalitas pada induk tanpa dan dengan ovulasi ganda masing-masing adalah 26.64 ± 18.60% dan 14.92 ± 10.18%. Maka dengan jumlah anak babi lahir yang tinggi diimbangi dengan mortalitas prasapih yang lebih rendah akan menyebabkan litter size sapih yang optimal. 71 Simpulan Performans reproduksi induk babi melalui ovulasi ganda dengan PMSG dan hCG sebelum pengawinan dapat mempersingkat lama bunting, memperbaiki bobot badan induk bunting, litter size lahir, dimensi tubuh, bobot lahir, konsumsi ransum harian induk, produksi air susu induk, pertambahan bobot badan anak, mortalitas, litter size sapih, dan bobot badan sapihan. 72 Daftar Pustaka Anderson RR, Wahab IM. 1990. Changes in parenchyma and stroma of goat udders during pregnancy, lactation and involution. Small Rum Res. 3:650-362. Adriani IK, Sutama, Sudono A, Sutardi dan Manalu W. 2005. Pengaruh superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing peranakan etawa. J. Anim. Production 6:86-94 Bates RO, Day BN, Britt JH, Clark LK, Brauer MA. 1991. Reproductive performance of sows treated with a combination of pregnan mare’s serum gonadotropin and prostaglandins during lactation. J Anim Sci 9:894-898. Carson DD, Bagchi I, Dey SK, Enders AC, Fazleabas AT, et al.,2000. Embrio implantasi. Dev Biology 223:217-237. De Borsotti PN, Verde O, Plasse D. 1982. Genetic and enviromental factor affecting growth of piglets. Anim Breed Abstr 50 (12). Delaval . 2008. Milking Technology. Di dalam : Delaval editor. The Lactating Dairy Cow. USA Delaval Publishing [Terhubung berkala]. http://www.milkproduction.com/ library [10 Januari 2010]. Devendra C, Fuller MF, 1979. Pig Production in the Tropics. London. Oxford University Press. Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci 28:299-308. Estiene JM, Harper AF. 2003. Uses of P.G.600 in swine breeding herd management http://ext.vt.edu/news/livestock/aps-0344.htmi. [29 Mei 2004]. Eusebio, J.A. 1974.The Science and Practice of Swine Production. College of Agriculture.Philippines. Pp 470. Eusebio JA 1980. Pig Production and The Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. Logman Group Ltd. Hong Kong. pp 7-26 Forsyth IA. 1986. Varition among species the endokrine control of mammary growth and function. The role of prolactin, growth hormone and plasental laktogen. J Dairy Sci 46 : 1293-1298. Foxcroft GR and Town S. 2004. Prenatal programming of postnatal performance the unseen cause of variance. Adv Pork Prod 15:269–279. 73 Geisert RD, Pratt T, Bazer FW, Mayes JS and Watson GH. 1994. Immunocytochemical lokalization pregnancy. Reprod Vertil Dev 6:749-760. Geisert RD, Schmitt RAM. 2002. Early embryonic survival in the pig: Can it be improved. J Anim Sci 80:54 – 85. Giellespie, James R. 1998. Animal Science. Delmar Publishers, New York. Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. Ed. Ke-6. Philadelpia : Lea and Fibeger. Hurley WL. 2001. Mammary gland growth in the lactating sow. Livestock Prod Sci 70:149-157. Inglis LK. 1980. To Laboratory Animal Science and Technology. Pergamon Press Ltd., Oxford. Kim SW, Hurley WL, Han IK, Easter RA. 2000. Growth of nursing pigs related to thecharacteristics of nursed mammary glands. J Anim Sci 78:1313- 1318. Knight CH, Peaker M. 1982. Development of the mammary gland. J Reprod Fert 65:521-536. Knight JW, Wilde W. 1993. Factors that affect ovarian follicular dynamics in cattle. J Anim Sci 70:3615-3626. Krider JL, Carroll WE. 1971. Swine Production. New Delhi. Tata Mc Graw Hill Publishing Company. Kurniawan RI. 2006. Hubungan litter size dengan bobot lahir dan mortalitas anak babi tiga hari setelah lahir [sripsi]. Bogor. Fakultas Peternakan , Institut Pertanian Bogor. Manalu W, Sumaryadi MY, Kusumorini N. 1996. The effect of fetal number on the concentrations of sirculating maternal serum progesteron and estradiol of daes during late pregnancy. Small Rumin Res 23:117-124 Manalu W dan Sumaryadi MY. 1998. Correlations of litter size and maternal serum progesterone concentration during pregnancy with mammary gland growth and development indices at parturition in Javanese thin-tail sheep. Asian-Austr. J Anim Sci 11:300-306. Manalu W dan Sumaryadi MY. 1999. Correlations between lamb birth weight and the concentrations of hormone and metabolites in the maternal serum during pregnancy. J Agric Sci 133:227-234. 74 Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effec of superovulation on maternal serum progersterone concentration, uterine and fetal weight at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese thin-tail ewes. Small Rumin Res 30:171-171. Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in soperovulated Javanese thin-tail ewes. Small Rumin Res 33:279-284 Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000. The effects of superovulation of Javanese thin-tail ewes prior to mating on lamb birth weight and preweaning growth. Asian-Aus. J Anim Sci 13:292-299. Mege RA, Manalu W, Nasution SH, Kusumorini N, 2007. Pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. J Hayati 14:1-6. Mepham, T. B. 1987. Physiology of Lactation. Open University Press. Melton Keynes, Philadelphia Milagres JC, Fedalto LM, Silvia AE and Peraira JAA, 1983. Source of variation in litter size and weight birth and 21 days of age in Duroc, Landrace, large White Pigs. Anim Breed Abstr 51:49. [National Research Council]. 1998. Nutrient Riquirement of swine . National Academy Press, Washington, D.C. Niswender DG, Juengel JL, Silva PJ, Rollyson MK, McIntosh EW. 2000. Mechanisms controling the fungction and life spain of the corpus luteum. Physiol Rev 80:1-29. Parakkasi A. 1990. Ilmu Gisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit. Angkasa. Bandung. Park YI, Kim JB. 1983. Evaluation of litter sized of pure breeds and specific twobreeds crosses produced from five breed of swine. Anim Breed Absr 51(1):49. Pond WG, Maner JH. 1974. Swine Production In Temperate and Tropical Environment. San Fransisco. W.H Freeman Company. Schutltz GA, Hahnel A, Mayi AP, Liangsu W, Goubau S, Watson A, Harvey M 1993. Expression of IGF ligand and receptor genes during preimplantation mammalian development. Mol Reprod Dev 35:414-420. Sihombing DTH. 2006. Ilmu Ternak Babi. Cetakan II. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 75 Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Alih bahasa Sumantri B. PT Gramedia. Jakarta. Sterle JA, Cantley TC, Matteri RL, Carroll JA, Lucy MC and Lamberson WR. 2003. Effect of recombinant porcine somatotropin (rpST) on fetal and placental growth in gilts with reduced uterine capacity. J of Anim Sci 81:765-771. Sudjatmogo B, Utomo, Subiharta, Manalu W, Ramelan. 2001. Tampilan produksi susu akibat peningkatan perumbuhan ambing sapi perch Friesian Holstein yang disuntik PMSG pads program perkawinannya. J Trop Anim Dev 26:8-13. Vallet JL, Leymaster KA, Christenson RK. 2002. The influence uterine function on embryonic and fetal survival. J Anim Sci 80:67-74. Valros et al. 2003. Metabolic state of the sow, nursing behaviour and milk production livest. Prod Sci 79:155-167. Wilson ME, Biensen NJ, Ford SP. 1999. Novel insight in to the control of litter zise in the pig using placental efficiency as a selection tool. J Anim Sci 77 : 1654 – 1658. Yoga MS. 1988. Studi penggunaan ekstrak hipofise sapi untuk peningkatan reproduksi babi(tesis). Yogyakarka; Fakultas Pascasarjana, Universitas Gajah Mada. Xu RJ. Cranwell PD. 2003. The Neonatal Pig. Gastrointestinal physiology and Nutrition. Nottingham. University Press.