1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia khususnya dalam setiap bidang kehidupan tidak bisa lepas dari bahasa sebagai alat komunikasi. Tanpa adanya bahasa, interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh. Bahasa bukanlah sesuatu yang mati, tetapi bahasa dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan pemikiran penggunanya. ”Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu dalam garis besarnya berupa: a) untuk menyatakan ekspresi; b) sebagai alat komunikasi; c) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; d) sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial” (Keraf, 2001: 3). Bahasa sebagai alat untuk ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi adalah fungsi bahasa secara sempit, sedangkan fungsi bahasa yang dapat dikatakan luas adalah untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan untuk mengadakan kontrol sosial. Akhir-akhir ini perkembangan bahasa Indonesia tampak semakin pesat. “Perkembangan sebuah bahasa diwarnai dengan perkembangan kosakatanya” (Cahyono, 1995: 106). Pendapat ini didukung oleh pendapat lain yang menyatakan bahwa “perubahan bahasa yang sungguh mencolok terdapat dalam bidang kosakata, karena memang subsistem inilah yang paling peka terhadap perubahan budaya bahasawan” (Kridalaksana, 1978: 1). Pemunculan kosakata-kosakata baru yang semakin marak dalam perbendaharaan bahasa Indonesia bukanlah suatu ancaman. 2 Justru, dilihat dari sudut pandang positif, kata-kata baru tersebut ikut memperkaya perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia, sehingga masyarakat pengguna bahasa perlu memperluas dan mengetahui sebanyak-banyaknya perbendaharaan kata dalam bahasanya. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat pengguna bahasa mudah berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. “Bahasa itu mengalami perkembangan dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan intelektual manusia dan kekayaan cipta karya manusia sebagai hasil dari kemajuan intelektual sendiri” (Keraf, 2001: 5). Hal ini memperlihatkan bahwa kosakata bahasa Indonesia semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan perkembangan masyarakat. Inilah yang disebut bahasa sebagai bahasa yang fungsional, yaitu bahasa yang ikut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat penuturnya. Gejala semacam ini merupakan gejala yang wajar, karena bahasa hanyalah alat untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran masyarakat penggunanya. Perkembangan jumlah kosakata bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan pemungutan kosakata dari bahasa daerah, dengan penyerapan dari kata-kata asing, dan juga pemendekan kosakata-kosakata bahasa Indonesia sendiri. Munculnya kosakata-kosakata dari beberapa cara di atas diharapkan tunduk sepenuhnya pada kontruksi bunyi bahasa Indonesia. Proses pemungutan bahasa daerah sebagai kosakata bahasa Indonesia disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat pengguna bahasa Indonesia juga menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai 3 contoh adalah istilah-istilah pungutan dari bahasa Jawa, seperti wadah, heboh, luwes, melempem dan lain sebagainya. Istilah-istilah asing yang menjadi istilah atau kosakata bahasa Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Yang terlihat sangat jelas dan berpengaruh besar terhadap peristilahan bahasa Indonesia adalah pengaruh dari bahasa Inggris. Hal ini disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih ditunjang oleh bahasa Inggris, misal narcotic yang diserap menjadi narkotik, dan sebagainya. Pemendekan adalah proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem yang menghasilkan bentuk baru yang disebut kata. Di antara ketiga cara di atas proses pemendekan memperlihatkan perkembangan yang luar biasa dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pemendekan dilakukan untuk menyatakan suatu konsep yang masih dikemukakan dengan beberapa kata. Hal ini didukung dengan pendapat yang menyatakan bahwa “proses pemendekan dilakukan masyarakat penuturnya karena bahasa Indonesia sering kali tidak mempunyai kata untuk menyatakan suatu konsep yang agak pelik atau sangat pelik” (Chaer, 1994: 192). Kedua, pemendekan merupakan suatu proses yang cukup produktif. “Keproduktifannya pada dasarnya disebabkan oleh keinginan untuk menghemat tempat dalam ragam tulis dan untuk menghemat ucapan dan waktu pada ragam lisan” (Chaer, 1994: 192; Notosusanto, 1979). Ketiga, pengaruh pemendekan sangat besar dalam bahasa karena pemendekan itu memberikan bentuk yang baru. Perkembangan bentuk pemendekan dalam bahasa Indonesia terlihat dalam kegiatan berkomunikasi sehari-hari yang dipergunakan oleh masyarakat penuturnya, 4 terutama media massa. Bentuk-bentuk pemendekan itu dapat ditemukan dalam surat kabar, tabloid, majalah, siaran berita radio dan televisi. Perkembangan bentuk pemendekan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pemakai bahasa Indonesia cukup kreatif menciptakan kosakata-kosakata baru yang cukup pendek dengan cara menyingkat kata atau sekelompok kata. Bentuk-bentuk pemendekan dengan demikian mewarnai khazanah kosakata bahasa Indonesia, yaitu dengan adanya bentukan baru yang cukup pendek dan terkadang unik. Bentuk semacam ini tidak dapat dihindarkan, mau tidak mau harus diterima karena telah berkembang dalam bahasa Indonesia. Bentuk pemendekan dalam bahasa Indonesia meliputi pemenggalan, kontraksi, akronim dan singkatan. Pemenggalan yaitu pemendekan dengan mengekalkan salah satu bagian dari yang dipendekan, kontraksi yaitu pemendekan dengan cara meringkaskan leksem atau gabungan leksem, akronim adalah pemendekan dengan mengambil huruf atau bagian lain yang kemudian digabungkan dan ditulis serta dilafalkan seperti kata, sedangkan singkatan adalah proses pemendekan dengan cara menyingkat kata itu dengan mengambil huruf-huruf depannya. Bentuk pemendekan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bentuk akronim. Bentuk akronim dalam bahasa Indonesia muncul karena masyarakat pengguna bahasa terdesak untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat akan istilahistilah yang belum ada. Bentuk pemendekan pada umumnya dipergunakan karena sifatnya yang praktis, ekonomis, dan mempunyai nilai fungsi atau nilai guna yang sama dalam tindak berbahasa. Apabila dibandingkan dengan jenis pemendekan yang 5 lainnya, akronim memiliki kombinasi konsonan dan vokal yang terpadu dan serasi, sehingga memungkinkan akronim diperlakukan sebagai kata yang wajar, minimal pada pengucapannya. Maka dari itu, dalam pembentukan akronim diharapkan sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa yang bersangkutan, lebih jelasnya bahwa “pembentukan akronim bahasa Indonesia hendaknya serasi dengan kaidah fonotaktik bahasa Indonesia” (Moeliono, 1988: 24). Kelebihan-kelebihan bentuk akronim di atas memungkinkan masyarakat pengguna bahasa lebih menyukai dan sering menggunakannya dalam semua kegiatan berbahasa, baik dalam forum formal maupun nonformal. Bentuk akronim yang muncul sering pula didorong oleh keinginan penutur untuk membentuk kata yang bagus kedengarannya. Peneliti dalam skripsi ini memfokuskan penelitian pada bentuk akronim dalam bidang politik, dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, masalah politik merupakan masalah yang fundamental dalam suatu negara; kedua, perkembangan dan pembicaraan mengenai politik semakin meluas dan digemari banyak orang. Hal ini dapat dilihat hampir di setiap berita atau wacana yang mengulas masalah politik baik dalam negeri maupun luar negeri; ketiga, dalam perkembangannya banyak diwarnai oleh kosakata-kosakata baru. Pengertian politik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: “1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tata sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara-negara lain; 3) 6 cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah)” (Moeliono, 1996: 780). Banyak istilah yang terdapat dalam dunia politik. Terkadang, karena panjangnya istilah tersebut orang sering menyingkat untuk keefektifan dan keefisienan. Penyingkatan tersebut tidak hanya dipergunakan secara lisan, tetapi juga dipergunakan secara tertulis. Penyingkatan itu biasanya berbentuk akronim. Penggunaan dan perkembangan bentuk-bentuk akronim dalam bidang politik sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan politik yang ada di negara Indonesia. Sebagai contoh, saat merebaknya otonomi daerah dalam negara Indonesia muncul beberapa bentuk akronim seperti otda, otsus, opsus, dan lain sebagainya. Akronim MENKOPOLSOSKAM, PUMDA muncul ketika negara Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Gus Dur. Perkembangan akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik memungkinkan munculnya berbagai bentuk akronim, misalnya bentuk akronim yang homonim, bentuk akronim yang menghilangkan atau menambahkan satuan lingual yang ada, bentuk akronim yang sinonim, dan bentuk-bentuk akronim yang lain. Bentuk-bentuk itu berkaitan dengan realisasi fonotaktiknya. Bentuk-bentuk akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik perlu dikaji seiring dengan pesatnya perkembangan akronim dewasa ini. 7 Contoh: 1. Menurut Menneg Kominfo, kelak semua calon yang terdaftar akan diseleksi secara administratif sebelum kemudian diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (Kom, 22/2/03) Akronim Menneg Kominfo dalam kalimat di atas merupakan kependekan dari Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Dari kata Menteri Negara Komunikasi dan Informasi menjadi akronim Menneg Kominfo yaitu dengan mengambil men (silabe pertama) dari kata menteri, neg dan kom yang merupakan bagian kata yang mungkin menjadi silabe baru dari kata negeri dan komunikasi, serta info yang merupakan silabe pertama dan silabe yang mungkin menjadi silabe baru dari kata informasi. Satuan lingual dan sebagai bagian dari kependekan tersebut dihilangan tanpa mempengaruhi makna yang ada. Jadi gejala kebahasaan yang terdapat pada kalimat (1) di atas adalah adanya salah satu kata yang diabaikan dalam pemendekan. Bentuk-bentuk akronim sebagai bentuk kosakata bahasa Indonesia memiliki penyimpangan terhadap perkembangan struktur bahasa Indonesia, yaitu berkaitan dengan kaidah fonotaktik bahasa Indonesia. Penyimpangan ini dapat dilihat dalam perkembangannya yang menjejerkan konsonan yang sama di akhir akronim. Contoh penjejeran konsonan yang sama /m/ di akhir akronim yang sebelumnya tidak ditemukan dalam kata-kata bahasa Indonesia. 8 Contoh: 2. GAMM berdemo ke Mabes Polri, kemarin (30/1) (Kom,31/1/03) GAMM merupakan kependekan dari Gerakan Amalian Mahasiswa Muslim. Pada akronim tersebut terdapat jejeran konsonan yang sama yaitu /m/. hal ini merupakan penyimpangan terhadap kaidah fonotaktik bahasa Indonesia mengingat dalam bahasa Indonesia tidak mengizinkan konsonan rangkap yang sama di akhir kata. Pemahaman mengenai akronim sebagai suatu proses pembentukan kata yang menghasilkan bentuk yang baru akan dikemukakan berdasarkan contoh di bawah ini. Contoh: 3. Meskipun begitu, Ryaas menyarankan pemerintah tetap mempertahankan UU otda Otonomi daerah (R, 19/3/03) Bentuk akronim berbeda bentuknya dengan bentuk asalnya. Bentuk akronim tersebut merupakan hasil proses pemendekan, bentuk itu memiliki makna yang sama dengan bentuk asalnya. Hal ini terbukti dengan bentuk akronim dan bentuk asalnya dapat saling menggantikan tanpa mengubah maknanya. Jadi akronim sebagai sebuah proses kebahasaan hanya mengubah bentuk tanpa mengubah fungsi semantiknya. Bentuk kependekan dengan demikian memiliki referen yang sama dengan bentuk yang dipendekkan. 9 Keberadaan bentuk akronim politik dalam bahasa Indonesia telah memperkaya khazanah kosakata dan penggunaanya merupakan tuntutan dan kebutuhan yang jelas dalam berkomunikasi. Perkembangan yang pesat menimbulkan bentuk-bentuk akronim yang penting untuk dideskripsikan. Untuk itu penelitian tentang akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik perlu dilakukan. Penelitian ini akan membahas bentuk akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik, bentuk realisasi fonotaktik akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik berkaitan dengan pola fonotaktik bahasa Indonesia, penyimpangan-penyimpangan bentuk akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik terhadap kaidah fonotaktik bahasa Indonesia, serta frekuensi fonotaktik tertentu akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik. B. Pembatasan Masalah “Seorang peneliti tidak hanya berpengetahuan tentang topik yang akan dibahas tetapi juga harus membatasi subjek tadi, agar dia tidak hanyut terhadap persoalan yang tidak ada habis-habisnya, serta menulis tanpa tujuan yang khusus” (Keraf, 1984: 114). Pembatasan masalah diperlukan dalam rangka mempermudah pembahasan masalah dan menghindari agar penelitian ini tidak terlepas dari sasarannya. Adanya pembatasan masalah diharapkan tidak mengurangi arti penting dari sebuah penelitian. Pembatasan masalah di samping itu juga diperlukan untuk menghindari penguraian yang terlalu luas dan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini tidak melebar, sehingga penelitian ini tidak terbawa oleh masalah lain di luar objek penelitian. 10 Adapun yang menjadi lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah permasalahan realisasi fonotaktik akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik yang terdapat dalam kalimat formal atau ragam tulis. C. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka muncul beberapa permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk-bentuk akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik? 2. Bagaimana realisasi fonotaktik akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik? 3. Bagaimana penyimpangan fonotaktik akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik terhadap kaidah fonotaktik bahasa Indonesia? 4. Bagaimana frekuensi pemunculan fonotaktik tertentu akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik? D. Tujuan Penelitian Suatu penelitian ilmiah harus mempunyai arah dan tujuan tertentu. “Setiap penelitian pasti memiliki tujuan yang bersifat keilmuan dan manfaat yang biasanya berkaitan dengan segi-segi kepraktisan. Tujuan penelitian yang bersifat keilmuan berkaitan erat dengan perumusan masalah yang merupakan pertanyaan-pertanyaan penelitian” (Subroto, 1992: 91). 11 Sesuai dengan perumusan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengkaji bentuk-bentuk akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik. 2. Mendeskripsikan realisasi fonotaktik akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik. 3. Mengemukakan penyimpangan fonotaktik akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik terhadap kaidah fonotaktik bahasa Indonesia. 4. Memerikan frekuensi kemunculan fonotaktik tertentu akronim bahasa Indonesia dalam bidang politik. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat pengguna bahasa Indonesia agar dalam memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia dapat efisien, sehingga mampu menciptakan akronim secara baik dan benar. 2. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan bahasa Indonesia, khususnya pada bidang linguistik. Hasil yang dapat disumbangkan yaitu berupa penataan kaidah fonotaktik, berkaitan dengan penataan struktur distribusi fonem bahasa Indonesia terutama sebagai akibat perkembangan bentuk akronim. 12 F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan adalah cara penyajian suatu urutan penulisan yang dibuat secara sistematis. Penulisan penelitian ini terbagi menjadi lima bab, yang masing-masing bab memuat suatu pembicaraan yang berlainan. Antara bab satu dengan bab yang lainnya mempunyai keterikatan yang erat dan mempunyai kesinambungan, sehingga terbentuk satu kesatuan yang utuh. Uraian secara garis besar tentang kelima bab tersebut adalah sebagai berikut. Bab pertama berisi pendahuluan yang di dalamnya menguraikan latar belakang masalah yang berhubungan dengan objek penelitian. Pokok permasalahan yang akan diteliti dipaparkan dalam perumusan masalah; tujuan penelitian menjelaskan untuk apa penelitian ini dilakukan; manfaat apa yang dapat diperoleh peneliti maupun masyarakat pengguna bahasa, serta bagi perkembangan bahasa Indonesia; dan sistematika penulisan yang akan memberikan keterangan mengenai alur penulisan dalam penelitian ini. Bab kedua memuat landasan teori yang berisi teori-teori tentang fonotaktik dan akronim yang terdapat dalam buku-buku kepustakaan yang berfungsi sebagai ancangan teoritiknya. Teori-teori tersebut akan dipergunakan sebagai dasar pemikiran bagi penyelesaian masalah dalam penelitian ini. Bab ketiga menjelaskan metode penelitian, yaitu mengenai data apa saja yang akan dijadikan sebagai sumber data, bagaimana teknik atau cara dalam pemerolehan 13 data, bagaimana penentuan populasi yang terbagi lagi dalam sampel data, dan bagaimana teknik analisis data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini. Bab keempat mengenai hasil penelitian yang akan diklasifikasikan menjadi hasil analis data dan pembahasan mengenai jawaban yang terdapat pada setiap persoalan yang sudah ditetapkan dalam perumusan dan tujuan penelitian. Bab kelima berupa simpulan yang berisi pernyataan singkat dari hasil penelitian dan pembahasan, selain itu juga akan disertakan beberapa saran yang relevan dalam penelitian ini.