(2006), karakteristik gempa bumi di daerah Busur Sunda pada

advertisement
SUNDA LAND Menjawab Misteri Benua Atlantis Yang Hilang
Menyingkap Kontroversi Terbesar Sejarah Awal Peradaban Manusia
Atlantis City
(theunexplainedmysteries.com)
Kontroversi terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia,
tampaknya kini mulai terungkap. Benua Atlantis seperti
disebutkan Plato, Filosof Yunani, dalam
bukunya Timaeus dan Critias sekitar 2500 tahun silam, dari
sudut pandang geologi dan spekulasi ilmiah dewasa ini,
sangat mungkin adalah Sunda Land, yang sekarang kita
kenal dengan Indonesia Barat (Jawa, Sumatera dan
Kalimantan) hingga semenanjung Malaysia dan Thailand.
Benua Atlantis disebut sebagai awal peradaban manusia. Penduduknya memiliki kebudayaan
tinggi dan bangsa superior. Namun benua itu telah tenggelam selama ribuan tahun karena
berbagai bencana alam. Yang menarik, hingga kini tidak diketahui dengan pasti dimana
sebenarnya letak benua Atlantis itu? Dari sudut pandang geologis, ternyata sangat mungkin letak
Atlantis justru di tataran Sunda....!
Oki Oktariadi, peserta program Doktor Pengembangan Kewilayahan di Universitas Padjadjaran
(UNPAD) Bandung, Jawa Barat, belum lama ini mengungkapkan hasil studi yang menarik
mengenai
kontroversi
misteri
benua
yang
hilang
itu.
”Peradaban Atlantis yang hilang” hingga kini barangkali hanyalah sebuah mitos
mengingat belum ditemukannya bukti-bukti yang kuat tentang keberadaannya. Mitos itu pertama
kali dicetuskan oleh seorang ahli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 - 347 SM),
dalam bukunya ”Critias dan Timaeus”. Disebutkan oleh Plato bahwa terdapat awal peradaban
yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa,
atau bangsa superior; benua itu kemudian hilang, tenggelam secara perlahan-lahan
karena serangkaian bencana, termasuk gempa bumi. Namun dari sudut pandang geologi masa
kini, Atlantis itu sangat mungkin adalah Sunda Land.
Plato (topsecretwriters.com)
Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi dongeng. Tetapi sejak abad
pertengahan (mid century), kisah Atlantis menjadi populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan
Barat secara diam-diam meyakini kemungkinan keberadaannya. Di antara para ilmuwan itu
banyak yang menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan ada yang
menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur Tengah. Penelitian pun dilakukan
di wilayah-wilayah tersebut. Akan tetapi, kebanyakan peneliti itu tidak memberikan bukti atau
telaah yang cukup. Sebagian besar dari mereka hanya mengira-ngira.
Hanya beberapa tempat di bumi yang keadaannya memiliki persayaratan untuk dapat diduga
sebagai Atlantis sebagaimana dilukiskan oleh Plato lebih dari 20 abad yang lalu. Akan
tetapi Samudera Atlantik tidak termasuk wilayah yang memenuhi persyaratan itu. Para peneliti
masa kini malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke semenanjung
Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang dan merupakan awal peradaban
manusia.
Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para peneliti di dunia untuk
membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah sepanjang masa. Apakah pandangan geologi
memberi petunjuk yang kuat terhadap kemungkinan ditemukannya Atlantis yang hilang itu?
Apabila jawabannya negatif, apakah peluang yang dapat ditangkap dari perdebatan ada tidaknya
Atlantis dan kemungkinan lokasinya di wilayah Indonesia?
Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan
‘pinggiran’. Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas
migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat
di Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang dianut saat ini yang
mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000
sampai 8.000 tahun yang lalu mempengaruhi migrasi spesies manusia.
Jaman Es terakhir ini dikenal dengan nama periode Younger Dryas. Pada saat ini, manusia telah
menyebar ke berbagai penjuru bumi berkat ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang
lalu. Dalam kurun empat ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung halamannya di
padang rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput purba yang kini dikenal
sebagai Afrasia.
Padang rumput purba ini membentang dari pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, dan
berakhir di pegunungan Ural di utara. Jaman Es tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan
itu hanya terjadi di bagian paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik justru
menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia betah berada di
padang
rumput
Afrasia
ini.
Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang,
mereka mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik,
atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang.
Penelitian untuk menemukan sisa Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut.
Namun di akhir dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang mulai muncul
berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu: Oppenheimer (1999) dan Santos (2005).
Kontroversi Dan Rekonstruksi Oppenheimer
Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya buku Eden The East
(1999) oleh Oppenheimer, Dokter ahli genetic yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia
berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno
atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani
Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia "Pairidaeza"
yang arti sebenarnya adalah Taman.
Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina
justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah
etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa
di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6.000
tahun silam. Suatu ketika datang banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundaland
berimigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial
Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di
bawah muka air laut sekarang.
Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas
yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub
meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.
Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada
sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan
muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah
dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland malah menjadi pulaupulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera.
Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang hidup sebagai
petani dan nelayan. Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’
tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan
Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas di antara masyarakat
tradisional, namun belum ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.
Benua
Atlantis
Menurut
ARYSIO
SANTOS
Kontroversi dari Oppenheimer seolah dikuatkan oleh pendapat Arysio Santos. Profesor asal
Brazil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah
yang sekarang disebut Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama 30
tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve
Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33
perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang
akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Sundaland (Indonesia bagian Barat).
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang membentang dari
bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan,
Jawa dan terus ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di
wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu
bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan samudera Pasifik.
Temple of Poseidon in Atlantis,
The Lost City (bukisa.com)
Argumen Santos tersebut didukung banyak arkeolog Amerika Serikat bahkan mereka meyakini
bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini
ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam
diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
Menurut Plato, Atlantis merupakan
benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya
Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh Lapisan-lapisan Es.
Maka sebagian benua tersebut tenggelam.
Wilayah Sundaland (Indonesia bagian Barat dalam buku Santos (2005)
Santos berpendapat bahwa meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan
tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan gunung api yang dimaksud di antaranya
letusan gunung Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk
Danau Toba, dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling
dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang memecah bagianbagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian
Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda (Catatan : tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan
untuk sementara dikutip di sini sebagai apa yang diketahui Santos).
atlantis rings (watch.pair.com)
Berbeda dengan Plato, Santos tidak setuju mengenai lokasi Atlantis yang dianggap terletak di
lautan Atlantik. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa letusan berbagai gunung berapi
menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air
dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya sehingga
mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai
benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang
meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos
menamakannya Heinrich Events. Catatan : pernyataan Santos ini disajikan seperti apa adanya
dan tidak merupakan pendapat penulis.
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat yakni
pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan
sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi
di Indonesia, diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango,
Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang
aktif kembali.
Dalam usaha mengemukakan pendapat, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama
mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang
katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh para ahli
Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang
hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato,
sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada
kebenaran.” Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama
arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi
salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.
Pandangan Geologi
Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua Atlantis dan awal
peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng dan
kejadian zaman es. Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng
continental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia Lautan Hindia (Hamilton,
1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh
daerah paparan kontinen, letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di
timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi dari busur kepulauan, dan
cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949).
Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti kontinen yang stabil ke
separuh barat dan timur kepulauan. Area paparan Sunda menunjukkan perkembangan bagian
tenggara di bawah permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari Semenanjung
Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut Jawa dan bagian selatan Laut
China Selatan.
Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistem kepulauan vulkanik
akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia- Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng
yang berupa jalur tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan
Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa Tenggara di sebelah Timur.
Hasilnya
adalah
terbentuknya busur
gunung
api
(magmatic
arc).
(atlan.org)
Rekontruksi tektonik lempeng tersebut akhirnya dapat menerangkan pelbagai gejala geologi dan
memahami pendapat Santos, yang meyakini Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan
anggapan Plato yang menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu,
timah dan tembaga, seperti terdapatnya mineral berharga tersebut pada jalur magmatik di
Indonesia. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di dunia yang merupakan produsen timah
utama. Salah satunya disebut Kepulauan Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos dan
nama lain yang menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato benar, maka
Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia.
Selain menunjukan kekayaan sumberdaya mineral, fenomena tektonik lempeng tersebut
menyebabkan munculnya titik-titik pusat gempa, barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of
Fire dunia), dan banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa
Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunung api aktif, titik-titik gempa bumi dan
kompleks patahan yang begitu besar, seperti sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur
dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung) memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu
besar.
Menurut Kertapati (2006), karakteristik gempa bumi di daerah Busur Sunda pada umumnya
diikuti tsunami. Para peneliti masa kini terutama Santos (2005) dan sebagian peneliti Amerika
Serikat memiliki keyakinan bahwa gejala kerawanan bencana geologi wilayah Indonesia adalah
sesuai dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang akibat
letusan gunung berapi yang bersamaan.
atlantis-indonesia map
(ahmadsamanto.wordpress.com)
Pendekatan lain akan keberadaan Benua Atlantis dan awal peradaban manusia (hancurnya
Taman Eden) adalah kejadian Zaman Es. Pada zaman Es suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan
menyebabkan peningkatan pembentukan es di kutub dan gletser gunung. Secara geologis, Zaman
Es sering digunakan untuk merujuk kepada waktu lapisan Es di belahan bumi utara dan selatan;
dengan definisi ini kita masih dalam Zaman Es. Secara awam untuk waktu 4 juta tahun ke
belakang, definisi Zaman Es digunakan untuk merujuk kepada waktu yang lebih dingin dengan
tutupan Es yang luas di seluruh benua Amerika Utara dan Eropa.
Penyebab terjadinya Zaman Es antara lain adalah terjadinya proses pendinginan aerosol yang
sering menimpa planet bumi. Dampak ikutan dari peristiwa Zaman Es adalah penurunan muka
laut. Letusan gunung api dapat menerangkan berakhirnya Zaman Es pada skala kecil dan teori
kepunahan Dinosaurus dapat menerangkan akhir Zaman Es pada skala besar.
Dari sudut pandang di atas, Zaman Es terakhir dimulai sekitar 20.000 tahun yang lalu dan
berakhir kira-kira 10.000 tahun lalu atau pada awal kala Holocene (akhir Pleistocene). Proses
pelelehan Es di zaman ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan proses ini
berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.
Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada sekarang, karena banyak air yang
tersedot karena membeku di daerah kutub. Kala itu Laut China Selatan kering, sehingga
kepulauan Nusantara barat tergabung dengan daratan Asia Tenggara.
Sementara itu pulau Papua juga tergabung dengan benua Australia. Ketika terjadi peristiwa
pelelehan Es tersebut maka terjadi penenggelaman daratan yang luas. Oleh karena itu gelombang
migrasi manusia dari/ke Nusantara mulai terjadi. Walaupun belum ditemukan situs pemukiman
purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi tempat tinggal manusia purba Indonesia
sebelum mulai menyeberang selat sempit menuju lokasi berikutnya (Hantoro, 2001).
Tempat-tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya
paras muka laut, yang mencapai puncaknya pada zaman Holosen 6.000 tahun dengan kondisi
muka laut 3 m lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser ke
tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.
taman Eden
(webber-scream.blogspot.com)
Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu (hasil) hutan lambat laun
berubah menjadi penetap, beternak dan berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan
kelompok lain. Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudera yang sudah lebih baik,
memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu menyeberangi Samudra Hindia ke
Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan astronomi. Dengan kondisi tersebut tidak
berlebihan Oppenheimer beranggapan bahwa Taman Eden berada di wilayah Sundaland.
Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak-porandakan dan mengubur sebagian besar
hutan-hutan maupun taman-taman sebelumnya. Bahkan sebagian besar dari permukaan bumi ini
telah tenggelam dan berada dibawah permukaan laut, Jadi pendapat Oppenheimer memiliki
kemiripan dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland.
Download