7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Bakteri Escherichia coli

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Bakteri Escherichia coli
Makanan yang berkualitas tidak hanya mengandung zat gizi yang
dibutuhkan, akan tetapi juga aman untuk dimakan. Menurut UU No. 18 tahun
2012 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran fisik, biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi. Jadi makanan yang aman dikonsumsi adalah
makanan yang bebas dari cemaran fisik, biologis, dan kimia, sehingga kejadian
penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne illnesses) dapat dicegah.
Sebagian besar kejadian foodborne illnesses diakibatkan oleh konsumsi pangan
yang mengandung patogen seperti bakteri, virus, parasit, atau pangan yang
tercemar akibat bio-toksin (WHO, 2011). Sehingga diperlukan pemeriksaan
kualitas makanan dari segi mikrobiologis.
Berbagai jenis bakteri dapat menyebabkan kejadian foodborne illnesses,
salah satu bakteri tersebut adalah bakteri Escherichia coli (E.Coli). Bakteri ini
berasal dari kotoran manusia dan hewan. Bakteri E. coli merupakan golongan
bakteri gram-negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, kebanyakan
bersifat motil (dapat bergerak), menggunakan flagela, ada yang mempunyai
kapsul, dapat menghasilkan gas dari glukosa, dan dapat memfermentasi laktosa.
7
8
E. coli merupakan flora normal di dalam usus dan akan menimbulkan penyakit
bila masuk ke dalam organ atau jaringan lain. E. coli menjadi patogen jika jumlah
bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. E. coli
menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare (BPOM,
2008). Pada Peraturan Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1098/Menkes/Per/VI/2003 angka bakteri E.coli 0/gr contoh makanan. Hal ini
berarti dalam makanan tidak boleh terdapat bakteri E.coli.
Infeksi E. coli biasanya melalui konsumsi makanan yang tercemar, seperti
daging yang mentah, daging yang dimasak setengah matang, dan susu mentah.
Gejala infeksi E.coli yaitu kram pada perut, diare, kadang bisa diare berdarah,
demam, dan muntah-muntah. Penderita bisa sembuh setelah 10 hari namun
terkadang bisa mengancam hidup manusia (WHO, 2014). Selain menyebabkan
diare, E.coli juga bisa menginfeksi saluran kencing, saluran pernafasan, dan
pneumonia.
Jenis bakteri E.coli menurut CDC (2014) ada lima seperti diuraikan di
bawah ini.
1. Enterohemorrhagic E.coli (EHEC)
Jenis EHEC yang paling sering menjadi penyebab wabah foodborne
illnesses karena EHEC mampu membentuk toksin yang dikenal dengan Shigatoxin. Karena mampu memproduksi Shiga-toxin, EHEC juga dikenal dengan
Shiga-toxin producing E.coli atau STEC. EHEC terdiri dari 2 kategori yaitu E.coli
O157 dan non-O157.
9
2. Enterotoxigenic E.coli (ETEC)
ETEC merupakan penyebab traveler’s diarrhea dan negara miskin
khususnya pada anak-anak. ETEC memproduksi toksin yang menstimulasi bagian
dari usus sehingga mengeluarkan cairan berlebihan sehingga menyebabkan diare.
Toksin dan penyakit akibat dari ETEC tidak ada hubungan dengan E.coli
O157:H7. ETEC memproduksi 2 toksin yaitu heat-stable toxin (ST) dan heatlabile toxin (LT).
3. Enterophatogenic E.coli (EPEC)
EPEC merupakan penyebab gastroenteritis yang tidak spesifik, menjadi
penyebab penting diare pada bayi dan anak, khususnya di negara berkembang.
4. Enteroaggregative E. coli (EAEC)
EAEC menyebabkan diare yang akut dan kronik pada masyarakat yang
hidup di negara berkembang.
5. Enteroinvasive E. coli (EIEC)
EIEC menyebabkan penyakit melalui invasinya ke sel epitel mukosa
usus. EIEC menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan shigelosis.
Penyakit yang paling sering pada anak-anak di negara berkembang dan para
wisatawan yang menuju negara tersebut.
2.2 Metode Pemeriksaan Laboratorium Untuk Menganalisis Kontaminasi
Bakteri Terhadap Makanan
Cemaran bakteri dalam makanan tidak bisa dilihat secara kasat mata,
sehingga pemeriksaan
laboratorium
berperan penting untuk
mendeteksi
keberadaan bakteri dalam makanan. Untuk menganalisis kualitas mikrobiologis
10
makanan (jumlah koloni bakteri, keberadaan E.coli, dan gen virulensi E.coli)
diperlukan pemeriksaan laboratorium dengan rincian seperti di bawah ini.
1. Metode Total Plate Count (TPC)
Metode Total Plate Count Agar (TPC) merupakan salah satu metode untuk
menentukan jumlah koloni bakteri. Menurut Fardiaz (1992), prinsip kerja analisis
TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel dengan
pengenceran. Metode hitung cawan ini merupakan cara yang paling sensitif untuk
menentukan jumlah jasad renik. Sampel yang telah diencerkan secara seri
bertingkat dengan larutan Bacteriological Peptone (OXOID), disebar dengan
menggunakan batang kaca bengkok pada media Plate Count Agar (PCA),
kemudian media agar yang sudah tersebar sampel diinkubasi dalam suhu 37ºC
selama 24 jam, setelah itu dilakukan penghitungan jumlah koloni bakteri (Sujaya
dkk., 2013).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), belum ada standar SNI
untuk persyaratan jumlah koloni bakteri pada lawar, sehingga peneliti merujuk
pada penelitian Suter dkk. (1997), yang membandingkan dengan jumlah koloni
bakteri pada pangan segar dengan jumlah jumlah koloni bakteri tidak melebihi 106
cfu/gr.
2. Uji E.coli pada media EMBA
Sampel yang telah diencerkan secara seri bertingkat dengan larutan
Bacteriological Peptone (OXOID), disebar dengan menggunakan batang kaca
bengkok pada cawan petri yang sesuai. Untuk uji E.coli pada makanan dapat
digunakan media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA), kemudian diinkubasikan
11
pada suhu 37ºC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh dan dicurigai sebagai bakteri
E. coli yang terdapat pada media EMBA tersebut akan terlihat warna hijau metalik
dan bagian pusat koloni berwarna gelap (Sujaya dkk., 2013). Media EMBA
mengandung Eosin dan metilen biru, yang menghambat pertumbuhan bakteri
gram positif, maka media ini dipilih untuk bakteri gram negatif. Media EMBA
juga mengandung karbohidrat laktosa, dengan adanya karbohidrat laktosa bakteri
gram negatif terdiferensiasi berdasarkan pada kemampuan mereka untuk
memfermentasi laktosa. Warna hijau metalik mengkilat menunjukkan E.coli dapat
memfermentasi laktosa menghasilkan produk akhir bersifat asam kuat (Bhaskara
dkk., 2012).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1098/Menkes/Per/VII/2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Rumah Makan
dan Restoran, angka E.coli dalam makanan harus nol/gram contoh makanan.
3. Teknik Biologi Molekuler Polymerase Chain Reactions (PCR)
Tidak semua jenis E.coli berbahaya bagi kesehatan manusia. Beberapa
jenis E.coli yang berbahaya yang dapat menyebabkan keracunan makanan yang
sangat serius bagi manusia seperti E.coli tipe O157:H7 (Enterohemorrhagic
E.coli) (Arisman, 2009). Infeksi karena strain E.coli pathogen atau E.coli yang
virulen merupakan penyebab foodborne illnesses (Hartono dan Widyastuti,
2005). Untuk menganalisis keberadaan E.coli yang patogen dilanjutkan dengan
menggunakan teknik yang berbasiskan DNA dengan teknik PCR spesifik yang
menggunakan primer dan oligonukleotida spesifik. Polymerase Chain Reactions
(PCR) adalah suatu metode memperbanyak jumlah DNA atau target gen yang
12
diinginkan secara in vitro, melalui serangkaian reaksi enzymatic. Secara umum
reaksi berjalan dalam beberapa tahapan dimana tahap awal dimulai dengan
denaturasi DNA template menjadi bentuk single strand, dan selanjutnya suhu
diturunkan secara cepat untuk memberikan kondisi terjadinya annealing
(penempelan/hibridisasi primer) pada bagian yang mempunyai susunan basabasa yang komplementer pada template. Pada saat yang bersamaan enzyme
polymerase bekerja untuk menggabungkan susunan basa-basa yang sesuai.
Setelah itu terjadi reaksi ekstensi (elongation) dimana perpanjangan reaksi
pembentukan rantai DNA dengan sempurna. Jadi karena setiap double strand
DNA akan dicetak menjadi 2 rantai single strand, maka setiap satu kali siklus
reaksi menghasilkan 2 rantai double strand dari satu rantai DNA template
(double strand). Dengan metode ini akan dihasilkan DNA dalam jumlah yang
sangat besar dari sejumlah template DNA yang sangat terbatas. Dalam teknik
molekuler biologi yang berhubungan dengan DNA dan teknik yang melibatkan
PCR, elektroforesis merupakan bagian terintegrasi yang tidak bisa dihindari.
Teknik ini bertujuan untuk memastikan apakah DNA bisa terisolasi dengan baik
dan seberapa jauh kemurnian DNA yang diperoleh, dan yang lebih penting lagi
adalah setelah dilakukan pencetakan fragment DNA (PCR), apakah reaksi
amplifikasi sudah berlangsung dengan baik, atau apakah besar (panjang) produk
yang terbentuk sudah sesuai dengan besarnya target gen, atau apakah primer
yang digunakan cukup spesifik pada reaksi PCR. Ini semua dilakukan dengan
menganalisis pita yang muncul pada gel setelah dilakukan elektroforesis.
(Sujaya, 2005).
13
2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberadaan Escherichia coli
pada Makanan
Makanan dengan kandungan zat gizinya yang sangat dibutuhkan bagi
manusia dapat memberikan kesehatan, namun sebaliknya melalui makanan
manusia dapat terkena penyakit seperti diare dan keracunan makanan. Sehingga
makanan yang dimakan harus memenuhi persyaratan keamanan makanan.
Beberapa studi pemeriksaan E.coli pada makanan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi keberadaan E.coli tersebut telah dilakukan. Adapun faktor-faktor
yang berhubungan dengan keberadaan E.coli pada makanan yaitu :
1. Penjamah makanan
Menurut Permenkes RI Nomor 1098/MENKES/PER/VII/2003 penjamah
makanan merupakan orang-orang yang berhubungan langsung dengan makanan
dan peralatan mulai dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan
sampai dengan penyajian makanan. Seorang tenaga penjamah makanan wajib
menerapkan personal hygiene yang baik. Berdasarkan Permenkes RI Nomor
1098/MENKES/PER/VII/2003, penerapan personal hygiene penjamah makanan
yang baik yaitu wajib memiliki badan yang sehat, berperilaku bersih ketika
mengolah makanan seperti mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, tidak
bercakap-cakap,
perlindungan
kontak
langsung
dengan
makanan,
tidak
merokok/makan/minum, selalu menggunakan pakaian kerja yang bersih, dan tidak
menggunakan perhiasan kecuali cincin kawin yang polos.
Beberapa penelitian terkait pengaruh personal hygiene penjamah makanan
terhadap keberadaan bakteri E.coli telah dilakukan. Seperti penelitian pada
14
makanan jajanan SD di wilayah Cimahi Selatan dan wilayah Kecamatan
Bangkinang diperoleh hasil bahwa penjamah makanan yang tidak menerapkan
personal hygiene dengan baik memiliki risiko 14 kali dan 4,5 kali makanan yang
dijual tercemar E.coli dibandingkan dengan penjamah makanan yang sudah
menerapkan personal hygiene yang baik (Riyanto dan Abdillah, 2012; Kurniadi
dkk., 2013).
Berdasarkan beberapa studi, keberadaan E.coli pada makanan sebagian
besar dipengaruhi oleh perilaku penjamah makanan yang tidak mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir sebelum menjual makanan (Riyanto dan Abdillah,
2012; Makalew, 2013; Setyorini, 2013; Mohede dan Saptorini, 2014). Selain itu,
kuku yang kotor dan panjang juga mempengaruhi keberadaan E.coli pada
makanan (Riyanto dan Abdillah, 2012; Setyorini, 2013; Mohede dan Saptorini,
2014). Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor
1098/MENKES/PER/VII/2003 yaitu tenaga pengolah makanan wajib menjaga
kebersihan tangan termasuk juga kebersihan kuku. Menurut Lelieveld, dkk.
(2003) dalam PKMT UGM dan Dinas Dikpora DIY (2010), kulit manusia
merupakan tempat tumbuh mikroorganisme yang sangat baik, sehingga mencuci
tangan perlu dilakukan untuk memutus jalur transisi mikroorganisme (Marriot
(1999) dalam PKMT UGM dan Dinas Dikpora DIY (2010)). Kebiasaan mencuci
tangan dapat menurunkan penyakit diare sebanyak 40%, hal ini dinyatakan oleh
Larsen (2003) dalam PKMT UGM dan Dinas Dikpora DIY (2010). Menurut
Fathonah S. (2005) dalam
Mohede dan Saptorini (2014), pencucian tangan
dengan sabun sebagai pembersih, penggosokan, dan pembilasan dengan air
15
mengalir akan menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung
mikroorganisme. Oleh karena tangan dan kuku merupakan tempat sarang bakteri,
maka semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara
terlindung dari kontak langsung dengan tubuh. Perlindungan kontak langsung
dengan makanan dilakukan dengan pemakaian sarung tangan sekali pakai, alat
penjepit makanan, dan sendok/garpu (Kemenkes, 2003). Hal ini sesuai dengan
beberapa studi yang menyatakan bahwa menjamah makanan tanpa menggunakan
alat/sarung tangan menyebabkan makanan terkontaminasi bakteri E.coli
(Makalew, 2013; Setyorini, 2013).
Perilaku jorok tenaga penjamah makanan juga berhubungan dengan
keberadaan E.coli seperti merokok, menggaruk anggota badan, serta tidak
menggunakan pakaian atau celemek yang bersih (Riyanto dan Abdillah, 2012),
pada saat bersin tidak menggunakan tisu serta mengobrol saat menangani
makanan (Makalew, 2013).
2. Peralatan
Peralatan merupakan segala macam alat yang digunakan untuk mengolah
dan menyajikan makanan. Permukaan peralatan yang kontak langsung dengan
makanan seharusnya halus, tidak bercelah, tidak mengelupas, dan tidak menyerap
air, sebab kondisi tersebut merupakan salah satu sumber kontaminasi bagi
makanan yang diolah (PKMT UGM dan Dinas Dikpora DIY, 2010). Berdasarkan
Permenkes RI Nomor 1098/MENKES/PER/VII/2003, pencucian peralatan harus
menggunakan bahan pembersih atau deterjen dan disimpan pada tempat yang
terlindung dari pencemaran serangga, tikus, dan hewan lainnya.
16
Sanitasi peralatan mempengaruhi keberadaan bakteri E.coli pada makanan
atau minuman. Hal ini dibuktikan dari penelitian pada makanan jajanan SD di
wilayah Cimahi Selatan, peralatan yang tidak bersih memiliki risiko 4,5 kali
dibandingkan peralatan yang bersih. Beberapa pedagang tidak menggunakan air
mengalir pada saat mencuci peralatan, tetapi menggunakan air yang ditampung
dalam ember dan air tersebut tidak selalu diganti, peralatan dikeringkan dengan
lap yang digunakan berkali-kali, serta penyimpanan alat pada tempat yang terbuka
dan kotor (Riyanto dan Abdillah, 2012).
3. Fasilitas sanitasi
Berdasarkan Permenkes RI
Nomor 1098/MENKES/PER/VII/2003,
fasilitas sanitasi adalah sarana fisik bangunan dan perlengkapannya yang
digunakan untuk memelihara kualitas lingkungan atau mengendalikan faktorfaktor lingkungan fisik yang dapat merugikan kesehatan manusia antara lain
sarana air bersih, jamban, peturasan, saluran limbah, tempat cuci tangan, bak
sampah, kamar mandi, lemari pakaian kerja (locker), peralatan pencegahan
terhadap lalat, tikus dan hewan lainnya serta peralatan kebersihan.
Fasilitas sanitasi mempengaruhi keberadaan bakteri E.coli pada makanan.
Berdasarkan beberapa studi faktor fasilitas sanitasi yang paling dominan
berhubungan dengan keberadaan E.coli yaitu sarana air bersih. Penggunaan air
yang ditampung dalam ember dan digunakan berkali-kali berhubungan dengan
keberadaan E.coli pada makanan (Estrada-Garcia et al., 2004; Kurniadi, dkk.,
2013; Riyanto dan Abdillah, 2012). Tersedianya air bersih, terutama air yang
mengalir, sangat penting untuk menunjang sanitasi (PKMT UGM dan Dinas
17
Dikpora DIY, 2010). Pada beberapa kasus, tidak tersedianya air mengalir untuk
fasilitas pencucian, pemasakan, dan air minum merupakan penyebab terjadinya
cemaran pada bahan pangan, hal ini disampaikan oleh Lucca dan Torres (2002)
dalam PKMT UGM dan Dinas Dikpora DIY (2010).
Selain sarana air bersih, fasilitas sanitasi lain yang mempengaruhi
keberadaan E.coli yaitu penggunaan lap berkali-kali (Kurniadi dkk., 2013;
Riyanto dan Abdillah, 2012), kekurangan fasilitas toilet (Estrada-Garcia et al.,
2004), tidak terdapat tempat sampah yang tertutup, pembuangan sampah
dilakukan lebih dari 1x24 jam sehingga sampah menumpuk, serta tidak memiliki
saluran air limbah yang kedap air (Kurniadi dkk., 2013).
4. Bahan makanan
Persyaratan bahan makanan yang baik juga diatur dalam Permenkes RI
Nomor 1098/MENKES/PER/VII/2003, karena untuk menghasilkan makanan
yang berkualitas, bahan makanan harus dalam kondisi baik, tidak rusak dan tidak
membusuk, bahan makanan berasal dari sumber resmi yang terawasi, bahan
makanan kemasan, bahan tambahan makanan dan bahan penolong memenuhi
persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tempat penyimpanan
bahan makanan selalu terpelihara dan dalam keadaan bersih, penempatannya
terpisah dengan makanan jadi, dan bahan makanan disimpan dalam aturan sejenis
dengan suhu yang sesuai (Kemenkes, 2003).
Penelitian di Kota Mexico terhadap 48 pedagang jalanan di pasar terbuka,
dilakukan pemeriksaan 103 sampel saos taco diperoleh hasil 44 (43%)
mengandung E.coli. Faktor waktu, suhu, dan tempat penyimpanan mempengaruhi
18
keberadaan dari bakteri-bakteri tersebut yaitu saos taco disiapkan sehari
sebelumnya dan dibiarkan di pasar tanpa perlindungan (Estrada-Garcia et al.,
2004). Penelitian makanan jajanan SD di wilayah Cimahi Selatan menunjukkan
bahwa bahan makanan jajanan yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3,1
kali makanan tersebut mengandung E.coli dibandingkan dengan bahan makanan
yang memenuhi syarat. Pedagang menyimpan bahan makanan mentah dengan
makanan siap saji yang tidak terpisah, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya
cross contamination (kontaminasi silang) dari bahan mentah ke makanan jajanan
yang siap saji (Riyanto & Abdillah, 2012). Penelitian di Uganda keberadaan
E.coli selain dipengaruhi oleh personal hygiene penjamah makanan juga
disebabkan oleh penyimpanan bahan makanan pada temperatur yang tidak sesuai
(Mugampoza et al., 2013).
5. Tempat pengolahan makanan
Sanitasi lingkungan atau tempat pengelolaan makanan juga mempengaruhi
tingkat kontaminasi E.coli. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1098/MENKES/PER/VII/2003, lokasi rumah makan dan restoran lebih dari 100 m
dari sumber pencemaran seperti pabrik, toilet umum, tempat sampah umum, dan
sumber pencemaran lainnya. Infrastruktur bangunan seperti langit-langit, dinding,
pintu, jendela, dan lantai harus dalam keadaan yang baik dan bersih.
Penelitian Musa (2013) mengenai hubungan higiene sanitasi dengan
keberadaan E.coli pada es kelapa muda di Kota Gorontalo, diperoleh hasil bahwa
tempat pengolahan berada di tempat yang tidak tertutup dan tidak bebas dari
vektor berhubungan dengan keberadaan E.coli.
19
2.4 Lawar Bali dan Kualitas Mikrobiologisnya
Pengembangan pariwisata di Bali tidak terlepas dari makanan sebagai
salah satu daya tarik wisata. Apalagi pangan etnik merupakan salah satu tujuan
wisata kuliner yang digemari oleh masyarakat lokal dan wisatawan. Lawar
merupakan salah satu pangan etnik Bali yang sudah terkenal. Menurut Panji
(1985) dalam Suter (2009), lawar adalah sejenis lauk pauk yang dibuat dari
campuran daging dengan sayuran dan bumbu. Saat ini lawar tidak hanya tersedia
pada saat upacara dan hari-hari besar keagamaan di Bali, tetapi bisa dikonsumsi
setiap hari dan dengan mudah didapatkan di rumah makan atau restoran dan
warung-warung pinggir jalan.
Menurut Suter dkk. (1997) dalam Kinanthini (2014), pada umumnya jenisjenis lawar di Bali dikategorikan berdasarkan jenis daging yang digunakan
sebagai bahan lawar yaitu lawar sapi (lawar yang menggunakan daging sapi),
lawar babi (lawar yang menggunakan daging babi), lawar penyu, lawar ayam, dan
lawar itik. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat lawar adalah daging,
sayur, kelapa, bumbu, dan kadang-kadang darah segar dari hewan yang berfungsi
sebagai pewarna merah. Daging yang digunakan sebagai bahan lawar seperti
daging babi, ayam, sapi, itik, penyu, dan lain-lainnya. Sayur yang digunakan
adalah buah nangka muda, buah pepaya muda, berbagai jenis daun seperti daun
belimbing, dan daun jarak, kacang-kacangan seperti kacang panjang. Sedangkan
untuk bumbu yang digunakan dalam pembuatan lawar jenisnya sangat bervariasi.
Umumnya bumbu terdiri dari lengkuas, jahe, kunyit, kencur, kemiri, bawang
merah, bawang putih, ketumbar, merica, kelapa, terasi, cabe rawit, daun ginten,
20
dan sereh. Jumlah masing-masing bahan bumbu ini belum ada takaran yang pasti.
Demikian pula tentang komposisi bahan penyusun lawar seperti daging, kulit
hewan yang dagingnya digunakan sebagai bahan lawar, sayur, kelapa, dan bumbu
yang digunakan belum ada acuan yang pasti, sangat tergantung pada selera
pengolah lawar.
Cara membuat lawar yaitu bahan penyusun lawar yang telah dipersiapkan
dicampur merata menjadi satu dalam wadah baskom. Setelah semua bahan
ditambahkan, campuran diaduk menjadi satu dengan menggunakan tangan sampai
merata. Setelah selesai dicampur, lawar ini siap disajikan dan disantap. Namun
dalam mengolah lawar sampai saat ini masyarakat Bali masih menggunakan
tradisi yang diwariskan turun-menurun, tanpa mengacu resep tertentu sehingga
mutu lawar yang dihasilkan sangatlah beragam antara pedagang lawar satu dengan
yang lainnya (Suter, 2009). Dalam pembuatan masakan tradisional ini yang perlu
diperhatikan adalah dari segi sanitasi lingkungan, higiene penjamah, kebersihan
bahan dan alat yang dipakai ketika masakan tersebut dibuat (Budaarsa, 2012),
karena hal-hal tersebut mempengaruhi kualitas masakan lawar yang dibuat.
Pangan etnik Bali yang diproduksi menggunakan metode tradisional
berpengaruh selain pada rasa tetapi juga pada keamanan pangan tersebut (Sujaya,
2013). Beberapa studi tentang kualitas mikrobiologis pangan etnik Bali Lawar
telah dilakukan. Hasil Penelitian Yusa (1996), yang mengambil sampel lawar di
Kodya Denpasar melaporkan baik lawar putih maupun lawar merah yang dijual di
Kodya Denpasar ternyata tercemar oleh bakteri E.coli, hal ini juga dibuktikan oleh
Suter dkk. (1997) dalam Kinanthini (2014) yang membeli sampel lawar di Kota
21
Gianyar, Tabanan, dan Denpasar ternyata hasil pengujian menemukan lawar di
tiga kota tersebut 50% positif mengandung bakteri E.coli, dan 66,67% lawar total
mikrobanya melebihi 106 koloni/gram, yaitu lebih tinggi dari total mikroba pada
pangan segar 106 koloni/gram. Arihantana (1993) juga melaporkan dalam
penelitiannya E.coli yang ada pada lawar bersumber dari daging mentah, kulit,
sayuran yang digunakan, dan juga dari talenan bekas yang dipergunakan.
Cemaran E.coli pada lawar dari dulu hingga sekarang masih saja terjadi. Hal ini
dibuktikan dari hasil penelitian lawar tahun 2013 dan tahun 2014. Penelitian pada
lawar tahun 2013 ditemukan 60% lawar yang dijual di daerah Sanur
terkontaminasi E.coli (Candra dkk., 2013). Penelitian pada lawar tahun 2014 di
wilayah Ubud, dari 24 sampel lawar merah (babi) di wilayah Ubud ditemukan 20
sampel terkontaminasi E.coli (Kinanthini, 2014). Dari hasil-hasil penelitian
tersebut dapat diketahui bahwa lawar merupakan makanan yang sangat peka
terhadap kerusakan terutama oleh bakteri yang sangat berpotensi menyebabkan
gangguan kesehatan seperti diare.
Download