Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 KEPATUHAN PASIEN TB PARU PUSKESMAS ANGGUT ATAS BENGKULU (TB PATIENT COMPLIANCE FOR PULMONARY PUSKESMAS ANGGUT BENGKULU) NH. Noeraini Health Community Education Program, STIKes Bhakti Husada Jl. Kinibalu 8 Kebun Tebeng Bengkulu Telp (0736) 23422 email : [email protected] ABSTRACT Household Health Survey (1995), Tuberculosis third largest cause of death after cardiovascular diseases and respiratory diseases. The risk of transmission of a smear positive patients will transmit to people for 10 to 15 people in one year, if not better adherence to treatment of patients, will be a source of infection and become more extreme cases of multi-drug resistant. The research problem is the low cure rate of tuberculosis patients in Bengkulu. The purpose of the study to determine the relationship of Knowledge and Attitudes of patients with tuberculosis treatment adherence in Bengkulu. Type descriptive analytic study with cross sectional design. Population 36 people, then all were taken as samples. Univariate and bivariate analyzes and statistical tests using Chi-Square. The result showed almost half (44.4%) of respondents have a low level of knowledge, attitude more than most (58.3%) negative, and the level of compliance over the majority (52.8%) and lower adherence obtained p value = 0.002 for the relationship between knowledge and compliance, p value = 0.008 for the relationship attitudes and compliance. Concluded that there is a significant association between knowledge and attitude with Tuberculosis patient compliance in the treatment Anggut Top Bengkulu City Health Center. Expected business or deputy supervisor TB programs and health center workers, even harder to provide information so that the treatment of TB patients adherent, thus increasing the cure rate. Keywords: Knowledge, Attitudes, Medication Compliance, Tuberculosis Patients. pasien TB Baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia, Situasi ini diperparah seiring dengan meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDS secara signifikan. Survei Kesehatan Rumah Tangga(SKRT) tahun 1995, TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit PENDAHULUAN Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia/WHO menunjukkan bahwa masih tingginya prevalens tuberkulosis (TB) di seluruh dunia. Tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta 17 Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 saluran pernapasan dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (WHO, 2008) Penyakit TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia, kelompok usia produktif dan masyarakat ekonomi lemah adalah sasaran yang sebagian besar diserang oleh penyakit ini. Kegiatan penanggulangan penyakit menular Tuberculosis (TBC), khususnya TBC paru di Indonesia telah dimulai sejak diadakan Simposium Pemberantasan TBC Paru di Ciloto pada tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangannya belum menunjukkan hasil yang mengembirakan. Berdasarkan insidens TB di dunia (WHO) diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia serta diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada Negara-Negara berkembang (Depkes, 2008). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utamanya karena kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat seperti pada Negara-Negara yang sedang berkembang, dan perubahan demografik karena meningkatnya penduduk, struktur umum kependudukan (Depkes, 2007). Pada tahun 1995, hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian No 3 (tiga) setelah penyakit kardiovasculer dan penyakit salauran pernafasan pada semua kelompok usia, dan No 1 (satu) dari golongan penyakit Infeksi. Berdasarkan hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110/ 100.000 penduduk. Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokan dalam 3 wilayah yaitu: 1). wilayah sumatera angka prevalensi TB adalah adalah 160/100.000; 2). wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110/ 100.000 penduduk, 3) Wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210/ 100.000 penduduk. Khusus untuk provinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68/ 100.000 penduduk (Depkes, 2007). Berdasarkan strategi penanggulangan TB di Indonesia tahun 2001-2010, berfokus pada penguatan baik itu SDM, sarana dan prasarana. Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 (dua) yaitu: 1. Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) 2. Angka Kesembuhan Pengobatan. Program penanggulangan TB strategi DOTS di Provinsi Bengkulu mulai dilaksanakan sejak tahun 1995 dengan daerah uji coba yaitu 17 Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan, dan saat ini pelaksanaan program DOTS menjangkau 10 kabupaten/kota yang ada di provinsi Bengkulu dengan jumlah penduduk provinsi Bengkulu 1.694.981 jiwa pada tahun 2009, maka diperkirakan ada 2711 penderita baru TB paru BTA positif. Berdasarkan hasil dan evaluasi pelaksanaan kegiatan program tahun 2010, jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang ditemukan dan diobati oleh petugas di sarana pelayanan kesehatan adalah sebanyak 1588 penderita (58,6) dengan angka kesembuhan 1276 penderita (92,6) angka kesembuhan presentase tertinggi Kabupaten Lebong (97,4%), Rejang Lebong (98,5%) dan kota Bengkulu (94,8%), dan terendah ada di kabupaten Muko Muko (77,8%) (Profil Dinkes Provinsi Bengkulu 2009). Dari data di atas, angka kesembuhan Dinas Kesehatan kota Bengkulu menduduki urutan ke tiga (3) terbesar dari seluruh Kabupaten/ kota se Provinsi Bengkulu yaitu angka kesembuhan tertinggi di puskesmas Betungan, Jalan Gedang, Jembatan Kecil, Pasar Ikan kampung Bali dan Ratu Agung (100%), sedangkan angka kesembuhan terendah ada di puskesmas Anggut Atas (40%). Mengingat pentingnya pencapaian indikator program TB untuk angka kesembuhan ini, karena jika tidak sembuh maka penderita tersebut akan tetap menjadi sumber penularan di dalam keluarga maupun dalam masyarakat . Menurut Depkes (2001), risiko penularan dari satu penderita BTA positif akan menularkan keorang lain 10 sampai 15 orang dalam satu tahun jika penderita tidak patuh dalam menjalankan pengobatannya sudah jelas dia akan menjadi sumber penularan dan yang lebih ekstrim akan menjadi kasus MDR (multi drug resisten). Berdasarkan risiko jika penderita tidak menyelesaikan pengobatan yang dilihat angka kesembuhan TB yang masih di bawah target, maka penulis bermaksud ingin mengetahui hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Kepatuhan berobat pasien TB paru di Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu . METODE PENELITIAN Jenis Penelitia deskriptif bersifat analitik dengan rancangan cross sectional dimana variabel bebas dan variabel terikat diukur pada saat yang bersamaan, untuk menggambarkan hubungan antara Pengetahuan dan Sikap dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru di Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu. Definisi operasional pengetahuan adalah pemahaman pasien terhadap penyakit TB Paru. Definisi operasional sikap adalah perilaku berobat yang ditunjukkan seorang pasien TB Paru, kepatuhan berobat adalah keteraturan pasien dalam menjalani pengobatan TB Paru. Populasi pada penelitian ini adalah pasien TB paru BTA positif yang menjalani pengobatan di Puskemas Anggut Atas Kota Bengkulu selama tahun 2009 s/d 2010 jumlah kasus sebanyak 36 orang. Pada penelitian ini karena populasinya relative sedikit, maka seluruh populasi bertindak sebagai Sampel (Total Sampling), maka jumlah sample pada 17 Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 penelitian ini adalah sebanyak 36 orang Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu selama empat bulan, dari bulan April sampai dengan Juli 2011. Pengumpulan Data primer diperoleh dengan cara observasi dan wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Data Sekunder diperoleh dengan cara mempelajari laporan-laporan/ kegiatan yang ada Puskesmas Anggut Atas kota Bengkulu. Analisis data secara univariat untuk menggambarkan sebaran data dari setiap variabel penelitian dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi, meliputi ; data tingkat Pengetahuan Responden, data tentang Sikap Responden dan data tentang tingkat Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antar dua variable yaitu : hubungan variabel independen dengan variabel dependen guna memperoleh gambaran adanya hubungan antara Pengetahuan dan Sikap dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru di wilayah Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square untuk mengetahui keeratan hubungannya digunakan uji contingency coefficient (c) dan odds ratio (OR). HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Hasil analisis univariat variabel pengetahuan diperoleh hampir sebagian (44.4%) responden di Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu memiliki tingkat pengetahuan yang rendah. Variabel sikap diperoleh lebih dari sebagian (58.3%) responden di wilayah kerja anggut atas Bengkulu memiliki sikap yang negatif. Variabel tingkat kepatuhan diperoleh lebih dari sebagian (52.8%) memiliki tingkat kepatuhan yang rendah Hasil analisis Bivariat dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini Tabel 1. Hubungan Pengetahuan dengan tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu tahun 2011. Pengetahuan Kepatuhan berobat Patuh N % 14 3 17 81.2 18.8 100 Total Tidak patuh N % N % 20 16 36 55.6 44.4 100 p value OR 0.002 10.1 Tinggi Rendah 6 13 19 30 70 100 17 Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 Hasil analisis hubungan antara Pengetahuan dengan tingkat kepatuhan berobat diperoleh dari 16 yang pengetahuan rendah sebagian kecil ( 18,8 %) patuh berobat dan Sebagian besar (70 %) tidak patuh. Dari 20 responden yang pengetahuannya tinggi sebagian besar (81,2 %) patuh dan hampir sebagian (30 %) tidak patuh. Pada hasil uji statistik diperoleh nilai P Value= 0.002, dan karena nilai p value ≤0.05 maka Ha diterima dan Ho ditolak, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan berobat responden. Dari hasil analisis juga diperoleh OR=10.1, artinya responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah mempunyai resiko 10.1 kali untuk tidak patuh berobat dibanding responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Tabel 2. Hubungan sikap dengan tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu tahun 2011. Sikap Kepatuhan berobat Patuh Positif Negatif N % 11 6 17 64.7 35.3 100 Total Tidak patuh N % 4 15 19 21.1 78.9 100 Hasil analisis hubungan sikap dengan tingkat kepatuhan berobat diperoleh bahwa dari 21 responden yang sikapnya negatif hampir sebagian (35,3 %) patuh dan sebagian besar (78,9 %) tidak patuh sedangkan dari 15 responden yang sikapnya positif sebagian kecil (21,1 %) tidak patuh dan sebagian besar (64,7 %) patuh. Pada hasil uji statistik diperoleh nilai p Value = 0.008, dengan membandingkan nilai P (Probability) dan nilai α=0.05 (5%) maka Ha diterima dan Ho ditolak, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan kepatuhan berobat responden. Dari hasil analisis juga diperoleh OR=6.875, artinya responden yang memiliki sikap yang negatif mempunyai resiko 6.875 kali N % 15 21 36 41.7 58.3 100 P value OR 0.008 6.875 untuk tidak patuh berobat dibanding responden yang memiliki sikap yang positif PEMBAHASAN Hasil analisis univariat variabel pengetahuan diperoleh hampir sebagian (44.4%) responden di Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu memiliki tingkat pengetahuan yang rendah. Dilihat dari tingkat pengetahuan seharusnya program pengobatan penderita TB Paru ditingkatkan, sehingga angka droup outnya kurang angka kesembuhan tinggi, karena responden dalam hal ini penderita TB Paru hampir sebagian tingkat pengetahuannya rendah atau lebih dari 17 Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 sebagian berpengetahuan baik atau dapat dikatakan pengetahuannya cukup baik. Sesuai dengan pendapat Roger (2010) Seorang pasien dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyakit TB Paru cukup baik, maka ia akan dengan segera dan dengan mudah akan merespon semua stimulus informasi yang telah diterimanya, khususnya yang telah diterima dari petugas kesehatan; untuk selanjutnya diterapkan dalam tindakan dan perilaku berobat. lebih dari sebagian (58.3%) responden di wilayah kerja anggut atas Bengkulu memiliki sikap yang negatif. Berdasarkan Sikap responden atau pasien TB Paru di Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu tahun 2011. Masih tingginya yang bersikap negatif terhadap pengobatan TB Paru bisa terjadi karena tingkat kepercayaan penderita atau pasien terhadap pengobatan TB Paru yang sangat lama, yang berakibat keyakinan tehadap pengobatan TB menjadi berkurang dan ditunjukan dengan perilaku berobat dengan sikap negatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2010), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu : 1). Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek; 2). Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek; 3). Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan yang penting. Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat kepatuhan berobat pasien TB Paru di Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu tahun 2011, lebih dari sebagian (52,8%) memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Kondisi ini sangat dimungkinkan terjadi pada penderita atau pasien TB Paru yang berobat di Puskesmas Anggut Atas lebih banyak yang tidak patuh, karena faktor kondisi ekonomi keluarga yang menuntut penderita harus bekerja, sehingga banyak waktu yang tersita untuk pekerjaan, disamping itu kondisi tubuh yang mulai dirasakan membaik setelah 2 – 3 bulan minum obat, dianggap rutinitas berobat pada 3 bulan berikutnya diabaikan, karena tidak paham atau mengerti dengan keharusan mematuhi aturan berobat yang semestinya. sehingga kepatuhan berobat menjadi rendah. Sesuai dengan pendapat Backer (2010). Penderita yang kurang mengerti atau memahami perlunya mematuhi aturan pengobatan secara benar dan kontinyu, sering kali mengabaikan pengobatan tersebut, terutama bila ia telah merasa tidak sakit lagi. Hubungan antara Pengetahuan dengan Tingkat Kepatuhan Berobat. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara Pengetahuan dengan kepatuhan berobat dimana dari 16 yang pengetahuan rendah sebagian kecil ( 18,8 %) patuh berobat dan Sebagian besar (70 %) tidak patuh. Dari 20 responden yang pengetahuannya tinggi sebagian besar (81,2 %) patuh dan hampir sebagian (30 %) tidak patuh. Hasil penelitian ini jelas dapat diketahui bahwa penderita atau pasien yang mempunyai tingkat pengetahuan 17 Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 tinggi tehadap pengobatan TB Paru lebih patuh mengikuti aturan dan anjuran berobat, dibandingkan dengan yang berpengetahuan rendah cenderung tidak patuh, walaupun hasil penelitian juga dapat terdapat pasien yang berpengetahuan tinggi tetapi tidak patuh berobat. Hal ini dapat saja terjadi karena kesibukan pekerjaannya yang banyak menyita waktu, mengakibatkan kepatuhan berobat menjadi berkurang, ditambah lagi perasaan sudah sembuh setelah berobat selama 2 – 3 bulan. Kemudian ada yang tingkat pengetahuannya rendah, tetapi patuh dalam berobat, hal ini bisa terjadi karena walaupun tingkat pengetahuannya rendah, tetapi mempunyai motivasi untuk sembuh tinggi dan bisa juga karena penyakit yang dideritanya sudah sangat mengganggu aktivitas sehari harinya, sehingga kemauan berobat untuk sembuh tinggi, kondisi ini lah yang dapat terjadi. Namun secara umum bahwa orang yang mempunyai tingkat pengetahuan tinggi akan lebih patuh dalam berobat dan mengikuti aturan pengobatan TB Paru. Selanjutnya dari hasil uji statistik diketahui bahwa penderita yang memiliki pengetahuan yang rendah mempunyai resiko 10.1 kali untuk tidak patuh berobat dibanding responden yang memiliki pengetahuan yang tinggi. Dengan bekal pengetahuan yang luas, disertai dengan timbulnya motivasi untuk merubah sikap kearah yang diinginkan, akan mendorong seorang pasien TB Paru untuk tunduk dan patuh mengikuti tahap-tahap pengobatan; demi untuk memperoleh kesembuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli antara lain : Menurut Misnadiarly (2009). Mengatakan seseorang yang mempunyai pengetahuan luas dan tingkat pemahaman yang tinggi tentang penyakit TB Paru mempunyai kecenderungan yang lebih besar dalam hal ketaatan dan kepatuhan mengikuti proses pengobatan TB Paru sampai tuntas. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena pengetahuan si pasien akan bahaya yang dapat ditimbulkan penyakit TB Paru begitu besar, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya. Selanjutnya menurut Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa, pengetahuan atau kognitif merupakan Domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt behavior) berdasarkan penelitian perilaku yang didapat dari pengetahuan akan lebih bertahan lama dibandingkan yang didapat dengan cara yang lain. Hubungan antara Sikap dengan Tingkat Kepatuhan Berobat. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara Sikap dengan Tingkat kepatuhan berobat dimana, dari 21 responden yang sikapnya negatif hampir sebagian (35,3 %) patuh dan sebagian besar (78,9 %) tidak patuh sedangkan dari 15 responden yang sikapnya positif sebagian kecil (21,1 %) tidak patuh dan sebagian besar (64,7 %) patuh. OR=6.875, artinya responden yang memiliki sikap yang negatif mempunyai resiko 6.875 kali untuk tidak patuh berobat dibanding responden yang memiliki sikap yang positif. Hasil penelitian diketahui penderita atau pasien yang mempunyai sikap positif cenderung untuk patuh dalam berobat TB Paru, sebaliknya 17 Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 Penderita yang mempunyai sikap negatif cenderung tidak patuh dalam berobat TB Paru. Sikap positif dan negatif ini timbul karena adanya respon atau reaksi terhadap aspek pengobatan TB Paru keinginan unuk sembuh dari penyakit. Walaupun diketahui pula dari hasil penelitian bawa, ada penderita dengan sikap positif tidak patuh hal ini dapat terjadi karena aktivitas keseharian yang banyak menyita waktu karena pekerjaan atau kegiatan lain, sehingga rutinitas pengobatan jadi terabaikan. Sebaliknya yang bersikap negatif, tetapi patuh dalam berobat, hal ini dapat terjadi karena dimotivasi orang lain sesame penderita atau karena penyakitnya sudah parah dan tidak ada cara lain kecuali patuh dalam berobat untuk kesembuhannya. Lebih jelas dari uji statistik diketahui penderita atau pasien yang memiliki sikap negatif mempunyai resiko 6.875 kali untuk tidak patuh berobat dibanding responden yang memiliki sikap positif. Beberapa ahli berpendapat tentag sikap dan kepatuhan berobat antara lain : Menurut Backer dalam Almatsier. S. (2009), tentang perilaku peran dan sakit (the sick role behavior) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, sedangkan sikap pasien yaitu tanggapan atau respon pasien terhadap aspek pengobatan penyakit TB paru memiliki 4 tingkatan : 1). Menerima (receving) pasien mau memperhatikan stimulus dari objek ; 2.) Merespon (responding) memberikan jawaban apabila ditanya menyelesaikan dan mengerjakan tugas yang diberikan; 3).Menghargai (volving) mengajak oranglain untuk mendiskusikan atau mengerjakan suatu masalah; 4).Bertanggung jawab (responsible) bertanggung jawab atau sesuatu yang menjadi suatu pilihannya. Selanjutnya dikatakan bahwa, perilaku kepatuhan berobat penderita tuberkulosis Paru merupakan perilaku peran sakit ( the sick role behavior) yaitu tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang penderita agar dapat sembuh dari penyakitnya. Secara manusiawi, setiap orang yang menderita sakit akan berbuat segala sesuatu, untuk penyembuhan penyakitnya. Lebih lanjut Allport, dalam Notoatmodjo (2010), kepatuhan menjalankan aturan pengobatan (medical regimens) bagi penderita tuberkulosis paru adalah sangat penting untuk mendapatkan hasil kesembuhan yang optimal, sehingga penularan kepada masyarakat disekitarnya dapat dihadiri , pengobatan yang diberikan secara edukasi mempunyai nilai yang efektifitas biaya tinggi karena pengobatan dapat diberikan dalam waktu yang telah ditentukan dengan fasilitas pengobatan dan obat yang dapat diperhitungkan. Untuk mendapatkan hasil guna yang diharapkan , dibutuhkan kepatuhan dan kejujuran penderita dalam mengikuti anjuran pengobatan. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Responden di Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu hampir sebagian pengetahuan rendah, lebih dari sebagian memiliki sikap yang negatif dan lebih dari sebagian memiliki tingkat kepatuhan yang 17 Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 rendah. Hasil analisis bivariat ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan berobat responden serta responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah mempunyai resiko 10.1 kali untuk tidak patuh berobat di banding responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, sedangkan analisis bivariat yang kedua ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan kepatuhan berobat serta responden yang memiliki sikap negatif mempunyai resiko 6.875 kali untuk tidak patuh berobat di banding responden yang memiliki sikap positif. ________, Pedoman Pemberantasan TB Paru,4. Ditjend P2MPL, Jakarta 2010 ________, Pedoman Penyakit TB Paru Penanggulngan 3, Ditjend P2MPL, Jakarta 2010 Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu 2010, Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu 2010. ________, Provinsi Bengkulu 2009. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu 2010 ________, Provinsi Bengkulu 2010. Laporan Tahunan Seksi Kesga Provinsi Bengkulu 2010 Misnadiarly. Gagal Pengobatan TBC Akibat Mycobakterium Atipik Puslitbangkes DepKes Ri : Dexa Media, Jakarta 2009 Notoatmodjo, S. DR. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta : Rineka Cipta 2009;95-144 ________, Pendidikan Promosi dan Prilaku Kesehatan. FKNM UI, Jakarta 2009 ________, Prosedur Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 2008 ________, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Prilaku Kesehatan. Andi Offset, Yogjakarta Puskesmas Anggut Atas kota Bengkulu 2010. Laporan Tahunan Puskesmas Anggut Atas kota Bengkulu 2010. ________, Profil Puskesmas, Puskesmas Anggut Atas kota Bengkulu 2010 SARAN Pengelola program atau wakil supervisor TB dan petugas puskesmas, lebih giat lagi memberikan informasi supaya penderita TB patuh dalam berobat, sehingga angka kesembuhan meningkat. DAFTAR KEPUSTAKAAN Almatsier. S. 2009. Prilaku Kesehatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta DepKes RI, Pedoman Pengobatan TB Paru 4, Ditjend P2MPL, Jakarta 2009 ________, Pedoman Nasional Penanggulangan TB Paru 8, Ditjend P2MPL, Jakarta 2010 Kapita Selekta Kedokteran, FKUI, Edisi-3 Jakarta 2008 DepKes RI, Pedoman Epidemologi TB Paru 2, Ditjend P2MPL, Jakarta 17 Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013 17