KEPATUHAN PASIEN TB PARU PUSKESMAS ANGGUT ATAS

advertisement
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
KEPATUHAN PASIEN TB PARU PUSKESMAS ANGGUT ATAS BENGKULU
(TB PATIENT COMPLIANCE FOR PULMONARY PUSKESMAS ANGGUT
BENGKULU)
NH. Noeraini
Health Community Education Program, STIKes Bhakti Husada
Jl. Kinibalu 8 Kebun Tebeng Bengkulu Telp (0736) 23422
email : [email protected]
ABSTRACT
Household Health Survey (1995), Tuberculosis third largest cause of death after
cardiovascular diseases and respiratory diseases. The risk of transmission of a smear
positive patients will transmit to people for 10 to 15 people in one year, if not better
adherence to treatment of patients, will be a source of infection and become more
extreme cases of multi-drug resistant. The research problem is the low cure rate of
tuberculosis patients in Bengkulu. The purpose of the study to determine the
relationship of Knowledge and Attitudes of patients with tuberculosis treatment
adherence in Bengkulu. Type descriptive analytic study with cross sectional design.
Population 36 people, then all were taken as samples. Univariate and bivariate
analyzes and statistical tests using Chi-Square. The result showed almost half
(44.4%) of respondents have a low level of knowledge, attitude more than most
(58.3%) negative, and the level of compliance over the majority (52.8%) and lower
adherence obtained p value = 0.002 for the relationship between knowledge and
compliance, p value = 0.008 for the relationship attitudes and compliance.
Concluded that there is a significant association between knowledge and attitude
with Tuberculosis patient compliance in the treatment Anggut Top Bengkulu City
Health Center. Expected business or deputy supervisor TB programs and health
center workers, even harder to provide information so that the treatment of TB
patients adherent, thus increasing the cure rate.
Keywords: Knowledge, Attitudes, Medication Compliance, Tuberculosis Patients.
pasien TB Baru dan 3 juta kematian
akibat TB di seluruh dunia, Situasi ini
diperparah
seiring
dengan
meningkatnya
jumlah
kasus
HIV/AIDS secara signifikan. Survei
Kesehatan Rumah Tangga(SKRT)
tahun 1995, TB sebagai penyebab
kematian ketiga terbesar setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit
PENDAHULUAN
Tuberkulosis masih menjadi
masalah kesehatan di dunia termasuk
Indonesia. Berdasarkan data Badan
Kesehatan Dunia/WHO menunjukkan
bahwa masih tingginya prevalens
tuberkulosis (TB) di seluruh dunia.
Tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta
17
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
saluran pernapasan dan merupakan
nomor satu terbesar dalam kelompok
penyakit infeksi (WHO, 2008)
Penyakit TB
merupakan
masalah utama kesehatan masyarakat
di Indonesia, kelompok usia produktif
dan masyarakat ekonomi lemah adalah
sasaran yang sebagian besar diserang
oleh
penyakit
ini.
Kegiatan
penanggulangan penyakit menular
Tuberculosis (TBC), khususnya TBC
paru di Indonesia telah dimulai sejak
diadakan Simposium Pemberantasan
TBC Paru di Ciloto pada tahun 1969.
Namun
sampai
sekarang
perkembangannya
belum
menunjukkan
hasil
yang
mengembirakan. Berdasarkan insidens
TB di dunia (WHO) diperkirakan
sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi
oleh
mycobacterium
tuberculosis. Pada tahun 1995,
diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru
dan 3 juta kematian akibat TB di
seluruh dunia serta diperkirakan 95%
kasus TB dan 98% kematian akibat TB
di dunia, terjadi pada Negara-Negara
berkembang (Depkes, 2008).
Sekitar 75% pasien TB adalah
kelompok usia yang produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan
seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Jika ia meninggal
akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga
memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial stigma bahkan dikucilkan
oleh masyarakat. Penyebab utamanya
karena kemiskinan pada berbagai
kelompok masyarakat seperti pada
Negara-Negara
yang
sedang
berkembang,
dan
perubahan
demografik karena meningkatnya
penduduk,
struktur
umum
kependudukan (Depkes, 2007).
Pada tahun 1995, hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
menunjukkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebab kematian No 3
(tiga) setelah penyakit kardiovasculer
dan penyakit salauran pernafasan pada
semua kelompok usia, dan No 1 (satu)
dari golongan penyakit Infeksi.
Berdasarkan hasil survey prevalensi
TB di Indonesia tahun 2004
menunjukkan bahwa angka prevalensi
TB BTA positif secara nasional 110/
100.000 penduduk. Secara regional
prevalensi TB BTA positif di
Indonesia dikelompokan dalam 3
wilayah yaitu: 1). wilayah sumatera
angka prevalensi TB adalah adalah
160/100.000; 2). wilayah Jawa dan
Bali angka prevalensi TB adalah 110/
100.000 penduduk, 3) Wilayah
Indonesia Timur angka prevalensi TB
adalah 210/ 100.000 penduduk.
Khusus untuk provinsi DIY dan Bali
angka prevalensi TB adalah 68/
100.000 penduduk (Depkes, 2007).
Berdasarkan
strategi
penanggulangan TB di Indonesia tahun
2001-2010, berfokus pada penguatan
baik itu SDM, sarana dan prasarana.
Untuk
menilai
kemajuan
atau
keberhasilan penanggulangan TB
digunakan
beberapa
indikator.
Indikator penanggulangan TB secara
Nasional ada 2 (dua) yaitu:
1. Angka Penemuan Pasien
baru TB BTA positif (Case
Detection Rate = CDR)
2. Angka
Kesembuhan
Pengobatan.
Program penanggulangan TB
strategi DOTS di Provinsi Bengkulu
mulai dilaksanakan sejak tahun 1995
dengan daerah uji coba yaitu
17
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
kabupaten Bengkulu Utara dan
Bengkulu Selatan, dan saat ini
pelaksanaan
program
DOTS
menjangkau 10 kabupaten/kota yang
ada di provinsi Bengkulu dengan
jumlah penduduk provinsi Bengkulu
1.694.981 jiwa pada tahun 2009, maka
diperkirakan ada 2711 penderita baru
TB paru BTA positif.
Berdasarkan hasil dan evaluasi
pelaksanaan kegiatan program tahun
2010, jumlah kasus baru TB paru BTA
positif yang ditemukan dan diobati
oleh petugas di sarana pelayanan
kesehatan adalah sebanyak 1588
penderita (58,6) dengan angka
kesembuhan 1276 penderita (92,6)
angka kesembuhan presentase tertinggi
Kabupaten Lebong (97,4%), Rejang
Lebong (98,5%) dan kota Bengkulu
(94,8%), dan terendah ada di
kabupaten Muko Muko (77,8%) (Profil
Dinkes Provinsi Bengkulu 2009). Dari
data di atas, angka kesembuhan Dinas
Kesehatan kota Bengkulu menduduki
urutan ke tiga (3) terbesar dari seluruh
Kabupaten/ kota se Provinsi Bengkulu
yaitu angka kesembuhan tertinggi di
puskesmas Betungan, Jalan Gedang,
Jembatan Kecil, Pasar Ikan kampung
Bali dan Ratu Agung (100%),
sedangkan
angka
kesembuhan
terendah ada di puskesmas Anggut
Atas (40%).
Mengingat
pentingnya
pencapaian indikator program TB
untuk angka kesembuhan ini, karena
jika tidak sembuh maka penderita
tersebut akan tetap menjadi sumber
penularan di dalam keluarga maupun
dalam masyarakat .
Menurut Depkes (2001), risiko
penularan dari satu penderita BTA
positif akan menularkan keorang lain
10 sampai 15 orang dalam satu tahun
jika penderita tidak patuh dalam
menjalankan pengobatannya sudah
jelas dia akan menjadi sumber
penularan dan yang lebih ekstrim akan
menjadi kasus MDR (multi drug
resisten).
Berdasarkan
risiko
jika
penderita
tidak
menyelesaikan
pengobatan yang dilihat
angka
kesembuhan TB yang masih di bawah
target, maka penulis bermaksud ingin
mengetahui hubungan Pengetahuan
dan Sikap dengan Kepatuhan berobat
pasien TB paru di Puskesmas Anggut
Atas Kota Bengkulu .
METODE PENELITIAN
Jenis
Penelitia
deskriptif
bersifat analitik dengan rancangan
cross sectional dimana variabel bebas
dan variabel terikat diukur pada saat
yang
bersamaan,
untuk
menggambarkan hubungan antara
Pengetahuan dan Sikap dengan
Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru di
Puskesmas
Anggut
Atas
Kota
Bengkulu.
Definisi
operasional
pengetahuan
adalah
pemahaman
pasien terhadap penyakit TB Paru.
Definisi operasional sikap adalah
perilaku berobat yang ditunjukkan
seorang pasien TB Paru, kepatuhan
berobat adalah keteraturan pasien
dalam menjalani pengobatan TB Paru.
Populasi pada penelitian ini
adalah pasien TB paru BTA positif
yang menjalani
pengobatan di
Puskemas Anggut Atas Kota Bengkulu
selama tahun 2009 s/d 2010 jumlah
kasus sebanyak 36 orang. Pada
penelitian ini karena populasinya
relative sedikit, maka seluruh populasi
bertindak sebagai Sampel (Total
Sampling), maka jumlah sample pada
17
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
penelitian ini adalah sebanyak 36
orang
Penelitian ini dilakukan di
wilayah kerja puskesmas Anggut Atas
Kota Bengkulu selama empat bulan,
dari bulan April sampai dengan Juli
2011. Pengumpulan Data primer
diperoleh dengan cara observasi dan
wawancara
langsung
kepada
responden dengan menggunakan alat
bantu kuesioner. Data Sekunder
diperoleh dengan cara mempelajari
laporan-laporan/ kegiatan yang ada
Puskesmas
Anggut
Atas
kota
Bengkulu.
Analisis data secara univariat
untuk menggambarkan sebaran data
dari setiap variabel penelitian dengan
cara
membuat
tabel
distribusi
frekuensi, meliputi ; data tingkat
Pengetahuan Responden, data tentang
Sikap Responden dan data tentang
tingkat Kepatuhan Berobat Pasien TB
Paru.
Analisis bivariat dilakukan
untuk mengetahui hubungan antar dua
variable yaitu : hubungan variabel
independen dengan variabel dependen
guna memperoleh gambaran adanya
hubungan antara Pengetahuan dan
Sikap dengan Kepatuhan Berobat
Pasien TB Paru di wilayah Puskesmas
Anggut Atas Kota Bengkulu. Uji
statistik yang digunakan adalah uji
Chi-Square untuk mengetahui keeratan
hubungannya
digunakan
uji
contingency coefficient (c) dan odds
ratio (OR).
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Hasil analisis univariat variabel
pengetahuan
diperoleh
hampir
sebagian (44.4%) responden di
Puskesmas
Anggut
Atas
Kota
Bengkulu
memiliki
tingkat
pengetahuan yang rendah. Variabel
sikap diperoleh lebih dari sebagian
(58.3%) responden di wilayah kerja
anggut atas Bengkulu memiliki sikap
yang
negatif.
Variabel
tingkat
kepatuhan diperoleh lebih dari
sebagian (52.8%) memiliki tingkat
kepatuhan yang rendah
Hasil analisis Bivariat dapat
dilihat pada tabel 1 berikut ini
Tabel 1. Hubungan Pengetahuan dengan tingkat kepatuhan berobat di
Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu tahun 2011.
Pengetahuan
Kepatuhan berobat
Patuh
N
%
14
3
17
81.2
18.8
100
Total
Tidak patuh
N
%
N
%
20
16
36
55.6
44.4
100
p
value
OR
0.002 10.1
Tinggi
Rendah
6
13
19
30
70
100
17
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
Hasil analisis hubungan antara
Pengetahuan dengan tingkat kepatuhan
berobat diperoleh dari 16 yang
pengetahuan rendah sebagian kecil (
18,8 %) patuh berobat dan Sebagian
besar (70 %) tidak patuh. Dari 20
responden yang pengetahuannya tinggi
sebagian besar (81,2 %) patuh dan
hampir sebagian (30 %) tidak patuh.
Pada hasil uji statistik diperoleh nilai P
Value= 0.002, dan karena nilai p value
≤0.05 maka Ha diterima dan Ho
ditolak, dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan kepatuhan berobat responden.
Dari hasil analisis juga diperoleh
OR=10.1, artinya responden yang
memiliki tingkat pengetahuan rendah
mempunyai resiko 10.1 kali untuk
tidak
patuh
berobat
dibanding
responden yang memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi.
Tabel 2. Hubungan sikap dengan tingkat kepatuhan berobat di
Puskesmas Anggut Atas Kota Bengkulu tahun 2011.
Sikap
Kepatuhan berobat
Patuh
Positif
Negatif
N
%
11
6
17
64.7
35.3
100
Total
Tidak patuh
N
%
4
15
19
21.1
78.9
100
Hasil analisis hubungan sikap
dengan tingkat kepatuhan berobat
diperoleh bahwa dari 21 responden
yang sikapnya negatif
hampir
sebagian (35,3 %) patuh dan sebagian
besar (78,9 %) tidak patuh sedangkan
dari 15 responden yang sikapnya
positif sebagian kecil (21,1 %) tidak
patuh dan sebagian besar (64,7 %)
patuh. Pada hasil uji statistik diperoleh
nilai p Value = 0.008, dengan
membandingkan nilai P (Probability)
dan nilai α=0.05 (5%) maka Ha
diterima dan Ho ditolak, dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan
antara sikap dengan kepatuhan berobat
responden. Dari hasil analisis juga
diperoleh
OR=6.875,
artinya
responden yang memiliki sikap yang
negatif mempunyai resiko 6.875 kali
N
%
15
21
36
41.7
58.3
100
P
value
OR
0.008
6.875
untuk tidak patuh berobat dibanding
responden yang memiliki sikap yang
positif
PEMBAHASAN
Hasil analisis univariat variabel
pengetahuan
diperoleh
hampir
sebagian (44.4%) responden di
Puskesmas
Anggut
Atas
Kota
Bengkulu
memiliki
tingkat
pengetahuan yang rendah. Dilihat dari
tingkat
pengetahuan
seharusnya
program pengobatan penderita TB
Paru ditingkatkan, sehingga angka
droup
outnya
kurang
angka
kesembuhan tinggi, karena responden
dalam hal ini penderita TB Paru
hampir
sebagian
tingkat
pengetahuannya rendah atau lebih dari
17
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
sebagian berpengetahuan baik atau
dapat dikatakan pengetahuannya cukup
baik. Sesuai dengan pendapat Roger
(2010) Seorang pasien dengan tingkat
pemahaman dan pengetahuan tentang
hal-hal yang berhubungan dengan
penyakit TB Paru cukup baik, maka ia
akan dengan segera dan dengan mudah
akan merespon semua stimulus
informasi yang telah diterimanya,
khususnya yang telah diterima dari
petugas kesehatan; untuk selanjutnya
diterapkan dalam tindakan dan
perilaku berobat.
lebih dari sebagian (58.3%)
responden di wilayah kerja anggut atas
Bengkulu memiliki sikap yang negatif.
Berdasarkan Sikap responden atau
pasien TB Paru di Puskesmas Anggut
Atas Kota Bengkulu tahun 2011.
Masih tingginya yang bersikap negatif
terhadap pengobatan TB Paru bisa
terjadi karena tingkat kepercayaan
penderita atau pasien terhadap
pengobatan TB Paru yang sangat lama,
yang berakibat keyakinan tehadap
pengobatan TB menjadi berkurang dan
ditunjukan dengan perilaku berobat
dengan sikap negatif. Hal ini sesuai
dengan pendapat Notoatmodjo (2010),
menjelaskan
bahwa
sikap
itu
mempunyai tiga komponen pokok,
yaitu : 1). Kepercayaan (keyakinan),
ide dan konsep terhadap suatu obyek;
2). Kehidupan emosional atau evaluasi
emosional terhadap suatu obyek; 3).
Kecenderungan untuk bertindak (trend
to behave). Ketiga komponen ini
secara bersama-sama membentuk
sikap yang utuh (total attitude). Dalam
penentuan sikap yang utuh ini,
pengetahuan, berpikir, keyakinan dan
emosi memegang peranan yang
penting.
Distribusi frekuensi responden
berdasarkan tingkat kepatuhan berobat
pasien TB Paru di Puskesmas Anggut
Atas Kota Bengkulu tahun 2011,
lebih dari sebagian (52,8%) memiliki
tingkat kepatuhan yang rendah.
Kondisi ini sangat dimungkinkan
terjadi pada penderita atau pasien TB
Paru yang berobat di Puskesmas
Anggut Atas lebih banyak yang tidak
patuh, karena faktor kondisi ekonomi
keluarga yang menuntut penderita
harus bekerja, sehingga banyak waktu
yang
tersita
untuk
pekerjaan,
disamping itu kondisi tubuh yang
mulai dirasakan membaik setelah 2 – 3
bulan minum obat, dianggap rutinitas
berobat pada 3 bulan berikutnya
diabaikan, karena tidak paham atau
mengerti dengan keharusan mematuhi
aturan berobat yang semestinya.
sehingga kepatuhan berobat menjadi
rendah. Sesuai dengan pendapat
Backer (2010). Penderita yang kurang
mengerti atau memahami perlunya
mematuhi aturan pengobatan secara
benar dan kontinyu, sering kali
mengabaikan pengobatan tersebut,
terutama bila ia telah merasa tidak
sakit lagi.
Hubungan antara Pengetahuan
dengan Tingkat Kepatuhan Berobat.
Hasilnya
menunjukkan
adanya
hubungan yang bermakna antara
Pengetahuan
dengan
kepatuhan
berobat dimana dari 16 yang
pengetahuan rendah sebagian kecil (
18,8 %) patuh berobat dan Sebagian
besar (70 %) tidak patuh. Dari 20
responden yang pengetahuannya tinggi
sebagian besar (81,2 %) patuh dan
hampir sebagian (30 %) tidak patuh.
Hasil penelitian ini jelas dapat
diketahui bahwa penderita atau pasien
yang mempunyai tingkat pengetahuan
17
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
tinggi tehadap pengobatan TB Paru
lebih patuh mengikuti aturan dan
anjuran berobat, dibandingkan dengan
yang
berpengetahuan
rendah
cenderung tidak patuh, walaupun hasil
penelitian juga dapat terdapat pasien
yang berpengetahuan tinggi tetapi
tidak patuh berobat. Hal ini dapat saja
terjadi karena kesibukan pekerjaannya
yang
banyak
menyita
waktu,
mengakibatkan kepatuhan berobat
menjadi berkurang, ditambah lagi
perasaan sudah sembuh setelah berobat
selama 2 – 3 bulan. Kemudian ada
yang tingkat pengetahuannya rendah,
tetapi patuh dalam berobat, hal ini bisa
terjadi karena walaupun tingkat
pengetahuannya
rendah,
tetapi
mempunyai motivasi untuk sembuh
tinggi dan bisa juga karena penyakit
yang dideritanya sudah sangat
mengganggu aktivitas sehari harinya,
sehingga kemauan berobat untuk
sembuh tinggi, kondisi ini lah yang
dapat terjadi. Namun secara umum
bahwa orang yang mempunyai tingkat
pengetahuan tinggi akan lebih patuh
dalam berobat dan mengikuti aturan
pengobatan TB Paru. Selanjutnya dari
hasil uji statistik diketahui bahwa
penderita yang memiliki pengetahuan
yang rendah mempunyai resiko 10.1
kali untuk tidak patuh berobat
dibanding responden yang memiliki
pengetahuan yang tinggi.
Dengan bekal pengetahuan
yang luas, disertai dengan timbulnya
motivasi untuk merubah sikap kearah
yang diinginkan, akan mendorong
seorang pasien TB Paru untuk tunduk
dan patuh mengikuti tahap-tahap
pengobatan; demi untuk memperoleh
kesembuhan. Hal ini sesuai dengan
pendapat beberapa ahli antara lain :
Menurut Misnadiarly (2009).
Mengatakan
seseorang
yang
mempunyai pengetahuan luas dan
tingkat pemahaman yang tinggi
tentang penyakit TB Paru mempunyai
kecenderungan yang lebih besar dalam
hal ketaatan dan kepatuhan mengikuti
proses pengobatan TB Paru sampai
tuntas. Hal ini antara lain disebabkan
oleh karena pengetahuan si pasien
akan bahaya yang dapat ditimbulkan
penyakit TB Paru begitu besar, baik
bagi dirinya sendiri maupun bagi
keluarganya.
Selanjutnya
menurut
Notoatmodjo (2010) mengatakan
bahwa, pengetahuan atau kognitif
merupakan Domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang
(Overt
behavior)
berdasarkan penelitian perilaku yang
didapat dari pengetahuan akan lebih
bertahan lama dibandingkan yang
didapat dengan cara yang lain.
Hubungan antara Sikap dengan
Tingkat Kepatuhan Berobat. Hasil
penelitian menunjukkan ada hubungan
yang bermakna antara Sikap dengan
Tingkat kepatuhan berobat dimana,
dari 21 responden yang sikapnya
negatif hampir sebagian (35,3 %)
patuh dan sebagian besar (78,9 %)
tidak patuh sedangkan dari 15
responden yang sikapnya positif
sebagian kecil (21,1 %) tidak patuh
dan sebagian besar (64,7 %) patuh.
OR=6.875, artinya responden yang
memiliki
sikap
yang
negatif
mempunyai resiko 6.875 kali untuk
tidak
patuh
berobat
dibanding
responden yang memiliki sikap yang
positif. Hasil penelitian diketahui
penderita atau pasien yang mempunyai
sikap positif cenderung untuk patuh
dalam berobat TB Paru, sebaliknya
17
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
Penderita yang mempunyai sikap
negatif cenderung tidak patuh dalam
berobat TB Paru. Sikap positif dan
negatif ini timbul karena adanya
respon atau reaksi terhadap aspek
pengobatan TB Paru keinginan unuk
sembuh dari penyakit. Walaupun
diketahui pula dari hasil penelitian
bawa, ada penderita dengan sikap
positif tidak patuh hal ini dapat terjadi
karena aktivitas keseharian yang
banyak
menyita
waktu
karena
pekerjaan atau kegiatan lain, sehingga
rutinitas pengobatan jadi terabaikan.
Sebaliknya yang bersikap negatif,
tetapi patuh dalam berobat, hal ini
dapat terjadi karena dimotivasi orang
lain sesame penderita atau karena
penyakitnya sudah parah dan tidak ada
cara lain kecuali patuh dalam berobat
untuk kesembuhannya. Lebih jelas dari
uji statistik diketahui penderita atau
pasien yang memiliki sikap negatif
mempunyai resiko 6.875 kali untuk
tidak
patuh
berobat
dibanding
responden yang memiliki sikap positif.
Beberapa ahli berpendapat
tentag sikap dan kepatuhan berobat
antara lain : Menurut Backer dalam
Almatsier. S. (2009), tentang perilaku
peran dan sakit (the sick role behavior)
Sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek,
sedangkan
sikap
pasien
yaitu
tanggapan atau respon pasien terhadap
aspek pengobatan penyakit TB paru
memiliki 4 tingkatan : 1). Menerima
(receving) pasien mau memperhatikan
stimulus dari objek ; 2.) Merespon
(responding) memberikan jawaban
apabila ditanya
menyelesaikan dan
mengerjakan tugas yang diberikan;
3).Menghargai (volving) mengajak
oranglain untuk mendiskusikan atau
mengerjakan
suatu
masalah;
4).Bertanggung jawab (responsible)
bertanggung jawab atau sesuatu yang
menjadi suatu pilihannya.
Selanjutnya dikatakan bahwa,
perilaku kepatuhan berobat penderita
tuberkulosis Paru merupakan perilaku
peran sakit ( the sick role behavior)
yaitu tindakan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seorang penderita agar
dapat sembuh dari penyakitnya. Secara
manusiawi,
setiap
orang
yang
menderita sakit akan berbuat segala
sesuatu,
untuk
penyembuhan
penyakitnya. Lebih lanjut Allport,
dalam Notoatmodjo (2010), kepatuhan
menjalankan
aturan
pengobatan
(medical regimens) bagi penderita
tuberkulosis paru adalah sangat
penting untuk mendapatkan hasil
kesembuhan yang optimal, sehingga
penularan
kepada
masyarakat
disekitarnya
dapat
dihadiri
,
pengobatan yang diberikan secara
edukasi mempunyai nilai yang
efektifitas
biaya
tinggi
karena
pengobatan dapat diberikan dalam
waktu yang telah ditentukan dengan
fasilitas pengobatan dan obat yang
dapat
diperhitungkan.
Untuk
mendapatkan
hasil
guna
yang
diharapkan , dibutuhkan kepatuhan dan
kejujuran penderita dalam mengikuti
anjuran pengobatan.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Responden
di
Puskesmas
Anggut Atas Kota Bengkulu hampir
sebagian pengetahuan rendah, lebih
dari sebagian memiliki sikap yang
negatif dan lebih dari sebagian
memiliki tingkat kepatuhan yang
17
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
rendah. Hasil analisis bivariat ada
hubungan yang bermakna antara
tingkat pengetahuan dengan kepatuhan
berobat responden serta responden
yang memiliki tingkat pengetahuan
rendah mempunyai resiko 10.1 kali
untuk tidak patuh berobat di banding
responden yang memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi, sedangkan
analisis bivariat yang kedua ada
hubungan yang bermakna antara sikap
dengan kepatuhan berobat serta
responden yang memiliki sikap negatif
mempunyai resiko 6.875 kali untuk
tidak patuh berobat di banding
responden yang memiliki sikap positif.
________, Pedoman Pemberantasan
TB Paru,4. Ditjend P2MPL,
Jakarta 2010
________, Pedoman Penyakit TB
Paru Penanggulngan 3,
Ditjend P2MPL, Jakarta
2010
Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu
2010, Laporan Tahunan
Dinas Kesehatan Provinsi
Bengkulu 2010.
________, Provinsi Bengkulu 2009.
Profil Dinas Kesehatan
Provinsi Bengkulu 2010
________, Provinsi Bengkulu 2010.
Laporan Tahunan Seksi
Kesga Provinsi Bengkulu
2010
Misnadiarly. Gagal Pengobatan TBC
Akibat
Mycobakterium
Atipik
Puslitbangkes
DepKes Ri : Dexa Media,
Jakarta 2009
Notoatmodjo, S. DR. Ilmu Kesehatan
Masyarakat,
Jakarta
:
Rineka Cipta 2009;95-144
________, Pendidikan Promosi dan
Prilaku Kesehatan. FKNM
UI, Jakarta 2009
________,
Prosedur
Penelitian
Kesehatan. Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta 2008
________, Pengantar Pendidikan
Kesehatan
dan
Ilmu
Prilaku Kesehatan. Andi
Offset, Yogjakarta
Puskesmas
Anggut
Atas
kota
Bengkulu 2010. Laporan
Tahunan
Puskesmas
Anggut Atas kota Bengkulu
2010.
________,
Profil
Puskesmas,
Puskesmas Anggut Atas
kota Bengkulu 2010
SARAN
Pengelola program atau wakil
supervisor TB dan petugas puskesmas,
lebih giat lagi memberikan informasi
supaya penderita TB patuh dalam
berobat, sehingga angka kesembuhan
meningkat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Almatsier.
S.
2009.
Prilaku
Kesehatan,
Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
DepKes RI, Pedoman Pengobatan TB
Paru 4, Ditjend P2MPL,
Jakarta 2009
________,
Pedoman
Nasional
Penanggulangan TB Paru
8, Ditjend P2MPL, Jakarta
2010
Kapita
Selekta
Kedokteran, FKUI, Edisi-3
Jakarta 2008
DepKes RI, Pedoman Epidemologi
TB Paru 2, Ditjend P2MPL,
Jakarta
17
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 2 Juli - Desember 2013
17
Download