BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Batasan Longsor
Longsor adalah gerakan tanah atau batuan ke bawah lereng karena
pengaruh gravitasi tanpa bantuan langsung dari media lain seperti air , angin atau
es (Selby,1993 ; Gerrard, 1981). Secara teoritis tanah longsor juga dikenal sebagai
gerakan massa (mass movements) yang secara umum diartikan sebagai suatu
gerakan tanah dan atau batuan secara besar-besaran menuruni lereng, baik dalam
tempo cepat atau lambat dari tempat asalnya oleh pengaruh gaya berat (gravitasi).
Besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut ditentukan terutama
oleh besarnya sudut kemiringan lereng (slope), dimana semakin besar kemiringan
lereng, akan semakin besar kemungkinan terjadi gerakan massa, begitu juga
sebaliknya (Alhasanah, 2006). Longsor sebenarnya merupakan fenomena alam,
yang mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan ketidakstabilan lereng.
Daerah di permukaan bumi yang mengalami proses longsor ataupun erosi lanjut
dapat dinamakan sebagai permukaan bumi yang terdenudasi (Priyono et al 2006).
2.2 Jenis Longsor
Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah yang mempunyai
kecepatan bervariasi dari lambat sampai sangat cepat. Ada 6 jenis tanah longsor
yaitu : longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu,
rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan (Subowo, 2003). Jenis longsoran
translasi dan rotasi adalah yang paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan
longsoran yang paling banyak menimbulkan korban jiwa manusia adalah aliran
bahan rombakan. Longsor gerakan lambat tidak diuraikan karena sulit diamati.
Berikut disajikan beberapa ilustrasi dari Subowo (2003) untuk jenis-jenis longsor
tersebut Gambar 1 sampai dengan Gambar 6.
5
Gambar 1. Longsoran Translasi, adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada
bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
Gambar 2. Longsoran Rotasi, adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada
bidang gelincir berbentuk cekung.
Gambar 3. Pergerakan Blok, adalah perpindahan batuan yang bergerak pada
bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran
translasi blok batu.
Gambar 4. Runtuhan Batu, terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada
lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai.
Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
6
Gambar 5. Rayapan Tanah, adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini
hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor
jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, dan
rumah miring ke bawah.
Gambar 6. Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong
oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume
dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang
lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa
tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di
sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup
banyak (Subowo, 2003).
2.3 Faktor Penyebab Tanah Longsor
Menurut Alhasanah (2006), faktor penyebab tanah longsor secara alamiah
meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi,
curah hujan, dan kegempaan. Selain faktor alamiah longsor dapat disebabkan oleh
faktor manusia yang mempengaruhi bentang alam seperti kegiatan pertanian,
pemotongan lereng, maupun penambangan. Berikut ini akan diulas lebih lanjut
beberapa faktor penyebab longsor tersebut.
2.3.1 Topografi
Beberapa penyebab longsor yang paling utama adalah topografi seperti
ketinggian dan kecuraman lereng (Gerrard,1981). Topografi suatu daerah dapat
berpengaruh banyak terhadap kondisi iklim setempat, terutama karena
dipengaruhi oleh elevasi. Menurut Handoko (1995) curah hujan tahunan di daerah
7
pegunungan pada umumnya lebih tinggi daripada daerah dataran rendah di
sekitarnya. Tingginya curah hujan dapat meningkatkan tekanan pori tanah
sehingga dapat mengurangi kestabilan lereng, hal ini disebabkan infiltrasi air akan
mengurangi kekuatan geser lereng dan menjadi penyebab terjadinya longsor
(Gerrard,1981). Dalam hal ini elevasi disamping digunakan sebagai acuan untuk
melihat sebaran intensitas curah hujan yang erat kaitannya dengan longsor, dapat
juga digunakan untuk memprediksi daerah berpotensi longsor karena pada elevasi
tinggi secara umum mempunyai banyak lereng curam, meskipun pada beberapa
tempat di dataran tinggi terdapat lereng landai (Gerrard,1981). Pada daerah
elevasi tinggi umumnya mempunyai drainase tanah yang lebih baik, sehingga
curah hujan lebih mudah untuk masuk air ke dalam tanah dan hasilnya prosesproses pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Pelapukan batuan ini
selanjutnya menghasilkan proses tanah longsor ( Thornbury,1969).
Faktor penting yang lain dari topografi adalah lereng. Lereng merupakan
salah satu kenampakan penting di dalam bentang alam, karena lereng dalam
waktu yang panjang mengalami revolusi, dimana material permukaan pada lereng
dapat bergerak turun oleh gaya gravitasi (Pramumijoyo dan Karnawati, 2001).
Tanah longsor terjadi pada lereng bagian atas yang tidak stabil atau lereng dasar
yang lemah, yang terkait dengan sudut kecuraman lereng yang besar (Selby,1993).
Menurut Tondobala (2011) dan Sadisun (2006) kemiringan lereng merupakan
salah satu parameter pemicu terjadinya gerakan tanah, hal ini dikarenakan
semakin terjal suatu lereng maka material yang ada di atas permukaan tersebut
akan semakin mudah untuk jatuh/tergelincir ke bawah oleh adanya gaya gravitasi.
Kemiringan lereng lebih dari 20° (atau sekitar 40%) memiliki potensi
untuk bergerak atau longsor, meskipun lereng atau lahan yang miring tidak selalu
mempunyai potensi untuk longsor karena tergantung juga oleh formasi geologi
yang menyusun lereng tersebut (Suranto,2006).
Menurut Karnawati (2001) dalam Priyono et al (2006), ada 3 tipologi
lereng yang rentan terhadap longsor, yaitu: lereng yang tersusun oleh tumpukan
tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih kompak, lereng yang
tersusun oleh perlapisan batuan yang miring searah kemiringan lereng, dan lereng
yang tersusun oleh blok-blok batuan.
8
Lebih lanjut Karnawati (2001) mengatakan bahwa lereng yang tersusun
oleh perlapisan batuan yang miring searah kemiringan lereng sering terjadi
luncuran batuan atau luncuran bahan rombakan dengan kecepatan tinggi.
Luncuran tersebut terjadi di sepanjang bidang-bidang perlapisan batuan yang
merupakan bidang yang lemah sehingga sangat rentan terhadap pergerakan.
Meresapnya air hujan melalui bidang-bidang retakan batuan pada lereng di daerah
tersebut merupakan pemicu terjadinya gerakan. Air yang mengisi retakan-retakan
batuan bersifat menekan dan semakin melemahkan kekuatan batuan untuk tetap
stabil, sehingga blok-blok batuan bergerak meluncur ke bawah lereng.
Longsor terjadi apabila ada gangguan keseimbangan lereng, dimana gaya
pendorong menjadi lebih besar daripada gaya penahan. Gaya pendorong dapat
disebabkan oleh faktor-faktor luar, seperti pengaruh air (air hujan, kolam ikan,
bak mandi atau selang pipa air yang bocor), kemiringan lereng yang besar, atau
adanya pengupasan lereng oleh manusia (perubahan tata guna lahan), dan
pendirian bangunan pada puncak bukit, karena gaya penahan akan sangat
tergantung pada jenis tanahnya (Parlindungan et al, 2008). Sejalan dengan hal
tersebut kenaikan beban di puncak lereng akan mengurangi keamanan lereng,
sedangkan pengurangan beban di daerah kaki lereng berdampak menurunkan
faktor keamanan. Semakin besar pengurangan beban di kaki lereng, maka
semakin besar pula penurunan faktor keamanan lerengnya, sehingga hasilnya
lereng menjadi semakin labil atau rawan longsor (Zakaria, 2011).
2.3.2 Keadaan Geologi
Faktor Geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah
struktur geologi, jenis batuan, umur geologi, dan gempa (Tejakusuma, 2007).
Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah kontak
batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan
patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan
batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air
meresap.
Disamping struktur geologi material pembentuk lereng sangat menentukan
stabilitasnya. Dalam memprediksi stabilitas lereng secara akurat, sangat perlu
untuk memperhatikan urutan bidang lemah dan kuat, permukaan runtuhan yang
9
telah lalu, dan zona patahan ( Hardiyatmo, 2006). Menurut Barus (1999), bahan
sedimen tersier dari kombinasi pasir dan liat memberikan intensitas longsoran
paling tinggi, diikuti oleh bahan piroklastik lepas. Hal itu disebabkan batuan
tersebut umumnya kurang kuat dan mudah menjadi tanah bila mengalami proses
pelapukan sehingga rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang
terjal (Hardiyatmo, 2006). Surono (2012) berpendapat bahwa batuan dasar clay
stone atau batuan lempung bersifat keras apabila kering tapi begitu terkena air
cepat menjadi licin sehingga memudahkan tanah yang ada atasnya untuk bergerak,
Umur geologi menurut Sampurno (1976) dalam Suranto (2008), juga dapat
menentukan proses longsor karena daerah gerakan tanah sering terjadi pada
daerah longsoran karena adanya perbedaan permeabilitas dan konsistensi antara
tanah penutup dengan batuan dasarnya; umumnya terdapat pada batas antara
batuan tufa gunung api “muda” dengan batuan sedimen “tersier”, atau pada daerah
yang mempunyai endapan sedimen tersier yang kurang konsisten, dan terlipat
kuat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa umur geologi berpengaruh
terhadap bahaya longsor, karena proses pelapukan batuan yang sudah lama dan
sangat intensif terutama di negara-negara yang memiliki iklim tropis basah seperti
Indonesia.
2.3.3 Karakteristik Tanah
Faktor tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap longsor yang berbedabeda. Kepekaan tanah terhadap longsor menggambarkan mudah atau tidaknya
tanah bergerak atau longsor, sehingga kepekaan tanah terhadap longsor adalah
fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisik atau kimia tanah. Adapun sifat-sifat
tanah yang mempengaruhi kepekaan longsor adalah (a) tekstur, (b) struktur, (c)
bahan organik, (d) kedalaman, (e), dan sifat lapisan (Arifin et al 2006).
Hasil penelitian Barus (1999) menunjukan bahwa tingkat perkembangan
tanah juga berpengaruh nyata terhadap longsoran. Tanah yang sudah berkembang
atau sedang berkembang seperti typic hapludults dan typic hapludalfs memberikan
longsoran yang tinggi, sedangkan pada tanah yang muda sedikit dijumpai
terjadinya longsoran.
Terkait dengan tekstur tanah lapisan yang terdiri dari tanah liat atau
mengandung kadar tanah liat tinggi setelah tanah jenuh air akan bertindak sebagai
10
peluncuran (Arsyad, 1989). Hal tersebut diperlihatkan juga oleh Subowo (2003)
bahwa jenis tanah dengan tektur lempung atau liat dengan ketebalan lebih dari
2,5m dan mempunyai sudut lereng lebih dari 22º maka berpotensi untuk longsor
terutama bila terjadi hujan karena tanah menjadi lembek.
2.3.4 Curah Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada musim hujan karena
terjadi peningkatan intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan
menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar.
Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi
retakan-retakan dan merekahnya tanah di permukaan. Ketika hujan maka air akan
menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang
kembali. Pada awal musim hujan, biasanya intensitas hujan yang tinggi sering
terjadi sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat.
Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah
yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga
menimbulkan gerakan lateral (Subowo, 2003).
Daerah beriklim basah, seperti Indonesia, faktor iklim yang mempengaruhi
longsor adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan
menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran
permukaan dan besarnya longsoran (Barus, 1999). Disamping itu akibat hujan
dengan intensitas yang tinggi dan hujan deras dalam waktu yang lama terjadi
peningkatan kadar air tanah, akibatnya menurunkan ketahanan material
tanah/batuan dan peningkatan intensitas hujan menyebabkan terbentuknya bidang
gelincir sebagai pemicu tanah longsor (Suryaatmojo dan Seodjoko, 2008).
2.3.5 Penggunaan Lahan dan Vegetasi
Pengaruh vegetasi terhadap penambahan beban lereng adalah karena
menambah tegangan geser, gaya mendorong atau gaya menahan. Beban
tanaman/vegetasi tersebut akan dapat mengganggu kestabilan lereng pada
kemiringan lereng besar. (Selby, 1993). Efek vegetasi terhadap kestabilan lereng
adalah kompleks, tergantung pada kondisi lokal tanah, kedalaman, kemiringan,
lereng dan tipe vegetasi. Tutupan vegetasi dapat mengganggu kestabilan lereng,
11
disamping oleh penambahan beban yang besar pada lereng akibat pertumbuhan
vegetasi atau disebabkan oleh gerakan angin yang mengenai vegetasi, dan kerja
akar tanaman yang membantu membesarkan rekahan tanah (Tejakusuma, 2007).
Pramumijoyo dan Karnawati (2001) menyatakan bahwa pembukaan hutan,
penanaman jenis pohon yang tahunan dengan jarak tanam terlalu rapat,
pemotongan tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman merupakan pola aktivitas
manusia yang dijumpai di daerah terjadinya longsor. Penanaman pohon dengan
jenis tanaman tahunan, misalnya pohon durian, manggis dan bambu, serta
penanaman dengan jarak tanam terlalu rapat mengakibatkan penambahan beban
terhadap massa tanah. Hal ini berarti akan menyebabkan tanah menjadi rentan
untuk longsor.
Lebih lanjut diuraikan oleh Yunarto (2010) bahwa jenis penggunaan lahan
pemukiman yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap longsor pada lahan
berlereng bagian atas. Hal tersebut dikarenakan mempunyai gaya beban yang
berat, tidak adanya pengelolaan (vegetasi) yang efektif, serta mempunyai tingkat
porositas air ke dalam tanah rendah. Pola penggunaan lahan kebun campuran
yang berada di lereng bagian atas dengan lereng curam dengan kondisi tanah yang
gembur menyebabkan air mudah meresap ke dalam tanah, bobot tanah bertambah
sehingga tanah menjadi labil dan mudah bergerak mengakibatkan terjadinya
longsor.
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah teknologi informasi spasial atau
geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer yang berkaitan
dengan operasi pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data. Komponen
utama SIG dapat dibagi ke dalam tiga komponen menurut Barus dan Wiradisastra
(2000) yaitu: (1) komponen keras, meliputi peralatan pemasukan data, peralatan
untuk menyimpan dan pengolahan, dan peralatan mencetak hasil, (2) komponen
perangkat
lunak, meliputi persiapan dan pemasukan data, manajemen,
penyimpanan, dan pemanggilan data, manipulasi data dan analisis, dan pembuatan
produk SIG, dan (3) komponen organisasi.
Lebih lanjut Barus dan Wiradisastra (2000) menyatakan bahwa
keuntungan memakai SIG adalah kemampuannya dalam memelihara data dalam
12
bentuk digital. Data ini lebih mudah dalam menyimpan informasi dibanding
dalam bentuk peta, cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dengan
dipakainya sistem komputer, maka bila diperlukan data dalam jumlah besar dapat
dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per unit yang lebih
rendah dari pada dengan cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan
memanipulasi data spasial dan mengkaitkannya dengan informasi atribut dan
mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis.
Disamping hal tersebut, pemanfaatan SIG bertujuan untuk memecahkan
persoalan yang dibutuhkan dalam pengelolalan data yang berferensi geografi.
Pada akhirnya SIG dipergunakan untuk membantu pemakai untuk mencapai
tujuannya yaitu pengambilan keputusan (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Aplikasi sistem informasi geografis banyak dilakukan dalam berbagai
bidang, salah satunya adalah Wuryanta (2003) yang memanfaatkan SIG untuk
mengindetifikasi wilayah berpotensi longsor dengan Citra Landsat ETM+. Penulis
lain seperti Jaya (2005) menggunakan SIG untuk mendeteksi lahan longsor
menggunakan citra SPOT multiwaktu. Dari Penelitian tersebut didapatkan bahwa
SIG sangat membatu dalam kajian penanganan longsor lebih efisien dan bisa
memprediksi terjadinya longsor untuk masa mendatang.
2.5 Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra
dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti penting objek
terkait (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Dalam pengenalan objek
yang tergambar pada citra diperlukan tiga rangkaian kegiatan yaitu deteksi,
identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengamatan atas ada atau tidaknya suatu
objek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk mencirikan objek yang dideteksi
dengan menggunakan keterangan yang cukup yaitu menggunakan unsur
interpretasi citra pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut untuk
membuat kesimpulan (Lint dan Simonett,1975 dalam Sutanto, 1986).
Secara umum interpretasi citra secara visual dilakukan pada data
penginderaan jauh dalam bentuk peta analog seperti foto udara. Namun
interpretasi visual juga dapat dilaksanakan pada data format digital yang tersedia
langsung pada komputer. Kelebihan dari interpretasi visual secara langsung di
13
komputer ini lebih mudah dan dapat mendeteksi obyek melalui pengaturan
komposisi band citra. Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), Citra Landsat
merupakan salah satu jenis citra multispektral yang banyak digunakan untuk
berbagi studi. Citra ini mempunyai 7 saluran yang terdiri dari spektrum tampak
pada saluran 1, 2, dan 3, spektrum inframerah dekat pada saluran 4, 5, dan 7 serta
spektrum inframerah termal pada saluran 6. Terdapat banyak aplikasi dari data
Landsat TM seperti pemetaan penutupan lahan, pemetaan penggunaan lahan,
pemetaan tanah, pemetaan geologi, pemetaan suhu permukaan laut, dan lain-lain.
Untuk pemetaan penutupan dan penggunaan lahan data Landsat TM lebih dipilih
daripada data SPOT multispektral karena terdapat band infra merah dekat yaitu
band 4, 5, dan 7. Landsat TM adalah satu-satunya satelit non-meteorologi yang
mempunyai band inframerah termal. Data termal diperlukan untuk studi prosesproses energi pada permukaan bumi seperti variabilitas suhu tanaman dalam areal
yang beririgasi.
Menurut Sutanto (1987) Landsat banyak digunakan untuk identifikasi jenis
tanaman. Identifikasi mencapai 95% keakuratan untuk daerah yang luas dan
seragam dan hingga 75 % atau 85% bagi daerah yang rumit. Interpretasi digital
dapat dilakukan dengan cepat, efisien dan sistematis, sehingga hasil interpretasi
mendekati kebenaran, nilai spektral pixel dapat dibedakan dengan tepat 0-255.
Analisis dengan cara sistematik dan statistik dapat memperagakan hasil
manipulasi data dengan cepat dan menghasilkan gambar dengan cepat pula.
Frekuensi perekaman ulang memungkinkan penyediaan Citra Landsat di dalam
berbagai musim.
Beberapa aplikasi Citra Landsat telah banyak digunakan dalam studi
longsor, salah satunya oleh Sulistiarto dan Cahyono (2007) tentang identifikasi
longsor dengan menggunakan Citra Landsat dan ASTER, serta oleh Wuryanta
(2003) tentang identifikasi dan pemetaan lahan berpotensi longsor dengan
menggunakan Citra Landsat 7 ETM+.
Download