Bab III Interpretasi Data Geokimia III.1. Umum Data yang diperlukan dalam pembuktian hipotesis ini terdiri atas dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sumur serta data seismik yang melalui sumur-sumur tersebut, baik yang berarah relatif utara-selatan, maupun yang berarah timur-barat. Data primer terdiri atas: • Data karbon organik total dan data pirolisis Rock-Eval • Komposisi gas • Isotop Data sekunder yang dipakai merupakan data regional yang berasal dari publikasi ilmiah dan yang tidak dipublikasikan, meliputi: • Penampang geologi • Stratigrafi regional • Kerangka tektonik regional • Paleogeografi Cekungan Sumatera Selatan Semua data digital dan analisis laboratorium yang menunjang analisis dan interpretasi didapatkan dari pusat data beberapa perusahaan minyak yang beroperasi di sekitar Wilayah Kerja Pertambangan Sumatera Selatan terutama daerah Suban, sedangkan data pustaka dan ilmiah lainnya didapatkan dari sejumlah publikasi nasional. Data yang diperoleh dari pengamatan data bawah-permukaan dan analisis laboratorium diproses dalam bentuk tabel dan grafik sehingga memperlihatkan suatu pola tertentu agar dapat dianalisis, antara lain: • Data geokimia berupa konsentrasi dan molekul gas (dalam satuan mol atau % volume) merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi gas. Konsentrasi gas terdiri atas gas hidrokarbon (metana, etana, propana, butana, isobutana, normal butana, pentana) dan gas non-hidrokarbon 16 (CO2, H2S, nitrogen). Rasio komposisi molekul (normalisasi gas hidrokarbon) merupakan perbandingan C1/ΣCn, ΣC2+ dan C1/(C2+C3) (parameter Bernard) dan ratio kebasahan gas (ΣC2 sampai C5/ ΣC1 sampai C5) x 100%). • Data isotop digunakan untuk mendapatkan rasio antara isotop karbon dan hidrogen dari hidrokarbon ringan dan karbon dioksida (δ13CCH4, δ13CC2H6, δ13CC3H8, δ13CCO2, δDCH4). Data isotop ini akan memberikan informasi detail mengenai batuan induknya serta identifikasi tambahan tentang pembentukan gas tersebut. III.2. Kuantitas Material Organik Karbon organik total (total organic carbon, TOC) didefinisikan sebagai jumlah material organik yang terdapat dalam batuan sedimen. Analisis TOC merupakan analisis pendahuluan yang sangat penting dan banyak dilakukan karena murah, sederhana, dan cepat. Analisis ini biasanya hanya memerlukan satu gram batuan, tetapi jika contoh batuannya banyak mengandung material organik maka jumlah yang lebih kecil dari satu gram sudah cukup. Analisis TOC biasanya dilakukan dengan suatu alat penganalisis karbon atau yang biasa dikenal sebagai Leco. Tekniknya cukup sederhana, yaitu dengan membakar contoh batuan yang berbentuk bubuk, bebas dari mineral karbonat pada temperatur tinggi dengan bantuan oksigen. Contoh dengan kandungan TOC yang rendah biasanya dianggap tidak mampu untuk membentuk hidrokarbon yang komersial sehingga contoh ini biasanya tidak dianalisis lebih lanjut. Contoh yang dianalisis biasanya berupa serbuk bor yang terdiri atas bermacam litologi, termasuk material jatuhan dan kontaminasi dari bermacam sumber sehingga sebelum melakukan penentuan TOC, teknisi harus membuang material jatuhan dan kontaminan tersebut. Pengamatan jumlah material organik yang hadir di suatu batuan dinyatakan dalam TOC dengan satuan persen berat dari batuan kering. Suatu skala standar yang umum untuk penggunaan TOC diberikan dalam Tabel III.1. 17 TOC (% berat) <0,5% Implikasi batuan induk Potensinya rendah 0,5 - 1% Kemungkinan sedikit berpotensi 1-2% Kemungkinan cukup berpotensi >2% Kemungkinan berpotensi baik sampai sangat baik Tabel III.1. Indikasi potensi batuan induk berdasarkan TOC (Waples, 1985). Analisis TOC di daerah penelitian dilakukan di tiga formasi batuan, yaitu Formasi Telisa, Formasi (equivalen) Baturaja, dan Formasi Talangakar. Jumlah contoh yang dianalisis adalah sebanyak 36 contoh batuan yang berasal dari serbuk bor, yang terdiri atas 20 contoh batuan dari Formasi Telisa, 13 contoh batuan dari Formasi (equivalen) Baturaja, dan tiga contoh batuan dari Formasi Talangakar (Lampiran C). Formasi Talangakar menutupi Formasi Lemat dan batuan dasar. Susunan lapisannya terdiri terutama dari endapan fluvial dan delta. Bagian bawah dari formasi ini terletak tidak selaras diatas Formasi Lahat dan terdiri dari batupasir kasar hingga sedang yang disisipi oleh lapisan tipis batubara. Adapun bagian atasnya terdiri dari serpih, lempung, pasir dan sisipan-sisipan batubara yang kaya pirit, glaukonit dan foraminifera. Nilai kandungan material organik di Formasi Talangakar berkisar antara 1,23 – 1,66 %. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi Formasi Talangakar sebagai batuan induk adalah cukup berpotensi untuk menghasilkan hidrokarbon. Pada fasa akhir pengendapan Formasi Talangakar, sebagai akibat dari periode pengikisan yang berlangsung cukup lama, permukaan dasar cekungan Sumatera Selatan menjadi hampir rata. Hanya pada beberapa tempat saja dijumpai tinggiantinggian dan permukaan yang menonjol. Akibat kondisi lingkungan laut yang berlanjut, maka kadang-kadang dijumpai adanya palamparan endapan karbonat (carbonate banks). Setempat-setempat dari endapan karbonat ini berkembang sebagai terumbu dan gundukan (mounds). Terumbu juga dapat berkembang pada 18 batuan dasar yang terangkat dan membentuk tinggianFormasi Equivalent Baturaja memiliki ciri litologi yang mirip dengan Formasi Telisa. Nilai kandungan material organik di Formasi Equivalent Baturaja berkisar antara 0,44 – 1,36 %. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi Formasi Telisa sebagai batuan induk berkisar antara berpotensi rendah sampai cukup berpotensi. Pengendapan Formasi Telisa berlangsung sepanjang episoda transgresi Tersier yang kemudian menenggelamkan Formasi Batu Raja dan menghasilkan lapisan penutup yang tebal berupa serpih marin diseluruh bagian cekungan. Formasi ini terdiri dari serpih berfosil dengan sisipan-sisipan tipis batugamping mengandung glaukonit, yang merupakan fasies marin dangkal yang terdapat pada bagian tepi cekungan. Nilai kandungan material organik terkecil di Formasi Telisa adalah 0,75 % sedangkan nilai terbesarnya adalah sebesar 1,28 %. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi Formasi Telisa sebagai batuan induk berkisar antara sedikit berpotensi sampai cukup berpotensi (Tabel III.1). Jumlah contoh batuan di Formasi Telisa yang memiliki nilai kandungan material organik lebih kecil dari 1 % adalah sebanyak 10 contoh sedangkan 10 contoh lainnya memiliki nilai kandungan material organik antara 1 – 2 %. Stratigrafi korelasi korelasi smunur dapat dilihat pada Lampiran G. Batuan yang mengandung TOC antara 0,5 – 1% tidak akan menjadi batuan induk yang sangat efektif, tetapi mungkin saja mengeluarkan sejumlah kecil hidrokarbon sehingga tidak boleh diabaikan. Kerogen di dalam batuannya biasanya teroksidasi sehingga potensi untuk membentuk hidrokarbon menjadi terbatas. Pada beberapa batuan yang mengandung TOC antara 1 – 2% diasosiasikan dengan lingkungan pengendapan antara oksidasi dan reduksi dengan terjadinya pengawetan material organik yang kaya lemak dan berpotensi membentuk minyak bumi. TOC lebih besar dari 2% menunjukkan lingkungan reduksi yang tinggi dan memiliki potensi untuk menghasilkan hidrokarbon yang sangat baik. Banyak batuan yang memiliki nilai TOC tinggi tetapi tidak dapat membentuk minyak karena kandungan kerogennya berupa material kekayuan atau telah 19 teroksidasi. TOC tinggi memang diperlukan tetapi bukan merupakan kriteria yang mutlak untuk menentukan kualitas batuan induk sehingga kualitas kerogen menjadi penting untuk ditentukan. III.3. Tipe Kerogen Kerogen didefinisikan sebagai bagian material organik yang terdapat dalam batuan sedimen dan tidak dapat larut dalam pelarut organik biasa karena kerogen mempunyai ukuran molekul yang besar. Karakteristik kimia dan fisika kerogen sangat dipengaruhi oleh macam molekul biogenik material asal dan transformasi akibat diagenesis molekul organik tersebut. Komposisi kerogen juga dipengaruhi oleh proses pematangan termal, yaitu katagenesis dan metagenesis, yang mengubah kerogen tersebut. Pemanasan bawah permukaan menyebabkan reaksi-reaksi kimia yang memecah fragmen kecil kerogen menjadi minyak. Kerogen sisa juga mengalami perubahan yang tercermin dalam kondisi kimia dan fisikanya. Sejarah diagenesis dan katagenesis kerogen serta kondisi alamiah material organik penyusunnya sangat mempengaruhi kemampuan kerogen memproduksi minyak dan gas bumi (Gambar III.1). Lembaga Minyak Prancis (IFP) mengembangkan skema yang berguna untuk mendeskripsikan kerogen dan masih dijadikan standar acuan sampai sekarang. Kerogen dikelompokkan menjadi tiga tipe utama yang disebut Tipe I, Tipe II, dan Tipe III. Penelitian lanjutan menemukan adanya tipe lain yaitu Tipe IV. Lembaga ini juga mempelajari karakteristik kimia dan organisme asal yang membentuk setiap tipe kerogen tersebut (Tabel III.2). Kerogen Tipe I sangat jarang karena berasal dari alga danau dan terbatas pada lingkungan anoksik sehingga jarang didapatkan di lingkungan laut. Kerogen Tipe I ini memiliki kapasitas tinggi menghasilkan hidrokarbon cair. Kerogen Tipe II dapat berasal dari beberapa sumber yaitu alga laut, polen dan spora, lapisan lilin tanaman, fosil resin, dan lemak tanaman. Kerogen Tipe II sering ditemukan dalam 20 sedimen laut dengan kondisi reduksi. Kerogen Tipe III terdiri atas material organik darat yang hanya sedikit mengandung lemak atau zat lilin. Selulosa dan lignin adalah penyumbang terbesar kerogen Tipe III. Tipe kerogen ini mempunyai kapasitas produksi hidrokarbon cair lebih rendah daripada kerogen Tipe II, dan jika tanpa campuran kerogen Tipe II biasanya kerogen Tipe III ini menghasilkan terutama gas alam. Kerogen Tipe IV terdiri pengerjaan-ulang (reworked) kepingan organik dan material teroksidasi yang berasal dari berbagai sumber. Kerogen Tipe IV ini tidak memiliki potensi menghasilkan hidrokarbon. Gambar III.1 Transformasi material organik dalam sedimen dan batuan sedimen (diterjemahkan dari Waples, 1985). 21 Tabel III.2 Komposisi kerogen (diterjemahkan dari Waples, 1985). Maseral Tipe Kerogen Material Organik Asal Alginit I Alga air tawar Eksinit II Polen, spora Kutinit II Lapisan lilin tanaman Resinit II Resin tanaman Liptinit II Lemak tanaman, alga laut Vitrinit III Material tanaman keras (kayu, selulosa) Inertinit IV Arang, material tersusun-ulang yang teroksidasi Hasil analisis Rock-Eval seringkali diplot di dalam suatu diagram van Krevelen yang dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan adalah dengan menggantikan plot rasio H/C dengan indeks hidrogen (HI) sedangkan plot O/C digantikan oleh indeks oksigen (OI). Perhitungan HI didapatkan dengan cara membandingkan S2 terhadap TOC, sedangkan OI didapatkan dengan cara membandingkan S3 terhadap TOC. Nilai HI ketiga formasi di daerah penelitian relatif kecil - sedang. Formasi Telisa mempunyai nilai HI berkisar antara 28 - 237, Formasi (equivalen) Baturaja berkisar antara 4 – 55, dan Formasi Talangakar berkisar antara 16 – 40. Hasil plot data Rock-Eval ini pada diagram modifikasi van Krevelen memperlihatkan bahwa mayoritas contoh batuan yang dianalisis merupakan kerogen Tipe III (gas prone) (Gambar III.2). Peters dan Cassa (1994) membuat suatu tabel yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tipe kerogen berdasarkan nilai HI (Tabel III.3). Tipe kerogen di Formasi Telisa diinterpretasikan sebagai kerogen Tipe II dan Tipe III, dan pada formasi ini terdapat dua contoh batuan yang memiliki nilai HI yang lebih besar dari 200 sebagai ambang batas Tipe II, dan mempunyai potensi untuk menghasilkan minyak dan gas bumi. Tipe kerogen di Formasi (equivalen) Baruraja diinterpretasikan sebagai Tipe III dan Tipe IV sedangkan Formasi 22 Talangakar diinterpretasikan sebagai kerogen Tipe IV. Kerogen Tipe III mempunyai potensi untuk menghasilkan gas sedangkan Tipe IV tidak mempunyai potensi untuk menghasilkan hidrokarbon. 23 Gambar III.2 Pengeplotan nilai indeks hidrogen (HI) terhadap indeks oksigen (OI) dengan menggunakan modifikasi diagram van Krevelen untuk menunjukkan jalur evolusi kerogen. Tabel III.3 Tipe kerogen yang dapat menghasilkan bermacam produk hidrokarbon pada puncak kematangannya (Peters dan Cassa, 1994). Kerogen* Produk HI S2/S3 Atom H/C I >600 > 15 >1,5 Minyak II 300 – 600 10 – 15 1,2 – 1,5 Minyak II/III 200 – 300 5 – 10 1,0 – 1,2 Minyak/Gas III 50 – 200 1–5 0,7 – 1,0 Gas IV < 50 <1 <0,7 None (Quality) Hidrokarbon * berdasarkan batuan induk belum matang Penentuan tipe material organik di dalam batuan sedimen dapat didekati dengan dua cara, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung yang dimaksud adalah menggunakan metode pirolisis terhadap kerogen atau contoh batuan dan mengukur kuantitas dan tipe hidrokarbon yang digunakan. Metode tidak langsung adalah cara yang digunakan untuk mengamati karakteristik kimia dan fisika kerogen atau biasa kita kenal dengan istilah analisis mikroskopis dan analisis unsur. Penulis dalam penyusunan tesis ini akan lebih menekankan pada cara langsung, yaitu menganalisis tipe kerogen berdasarkan data pirolisis. Metode langsung dengan menggunakan pirolisis Rock-Eval, akan memberikan nilai S1, S2, dan S3. S1 menunjukkan jumlah hidrokarbon yang sudah ada di dalam batuan semenjak pengendapan ditambah dengan hidrokarbon yang terbentuk di bawah permukaan atau biasa dikenal juga dengan istilah jumlah hidrokarbon bebas. S2 mencermikan G, sisa kapasitas pembentukan hidrokarbon atau jumlah hidrokarbon yang dilepaskan dari kerogen. S3 adalah jumlah kandungan oksigen di dalam kerogen. 24 Data pirolisis di daerah penelitian mengindikasikan bahwa hanya contoh batuan dari kedalaman 2000 m saja yang mempunyai potensi komersial sebagai batuan induk. Hal ini bisa diinterpretasikan karena nilai S2 di kedalaman ini, yaitu sebesar 2,59 mg/g, telah melampai batas standar yaitu sebesar S2>2,5 mg/g serta kandungan HI contoh batuan ini sebesar 212 termasuk kelompok kerogen Tipe II/III yang mempunyai potensi untuk menghasilkan minyak dan gas bumi (Gambar III.3 dan Tabel III.4). Tiga belas contoh batuan dari Formasi (equivalen) Baturaja memperlihatkan nilai kandungan material organik buruk – sedang dengan nilai antara 0,44 – 1,35%, S2 di formasi ini mempunyai nilai yang lebih kecil dari 1 mg/g, serta HI lebih kecil dari 100. Penulis dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun contoh batuan dari Formasi (equivalen) Baturaja ini yang bisa diharapkan sebagai batuan induk (Gambar III.4). 25 Gambar III.3 Pengeplotan nilai S2 terhadap TOC. 26 Batuan induk potensial Gambar III.4. Pengeplotan nilai HI terhadap TOC. 27 Formasi Talangakar mempunyai kandungan material organik yang cukup bagus dengan nilai TOC berkisar antara 1,23 – 1,66%, namun mempunyai nilai S2 < 1 serta HI < 100 sehingga potensi untuk menghasilkan hidrokarbon menjadi tidak signifikan untuk saat ini. Jika batuan Formasi Talangakar ini mengalami pemendaman sehingga mengalami pematangan yang cukup, bukan tidak mungkin nantinya batuan ini akan menjadi batuan induk yang baik. Tabel III.4. Parameter sederhana yang digunakan untuk menentukan potensi hidrokarbon dari batuan induk yang belum matang (Peters dan Cassa, 1994). Potential TOC Rock-Eval Bitumen (Quality) (%) S2 (ppm) Poor <0,5 <0,5 <2,5 <500 <300 Fair 0,5 - 1 0,5 - 1 2,5 – 5 500 – 1000 300 – 600 Good 1-2 1-2 5 – 10 1000 - 2000 600 - 1200 Very Good 2–4 2–4 10 – 20 2000 – 4000 1200 – 2400 Excellent >4 >4 >20 > 4000 > 2400 III.4. Rock-Eval S1 HC (ppm) Kematangan Material Organik Penentuan kematangan material organik di dalam batuan induk dapat menggunakan beberapa metode, antara lain: 1. Reflektansi vitrinit (Ro). Metode reflektansi vitrinit dikembangkan untuk mengukur peringkat batubara yang banyak mengandung maseral vitrinit. Metode ini berdasarkan fakta bahwa kenaikan temperatur berbanding lurus dengan reflektansi vitrinitnya. Harga Ro biasanya diplot dengan kedalaman suatu sumur, jika skala reflektansi linear, maka profil kurvanya adalah garis lengkung. Jika digunakan skala semi-log untuk reflektansi vitrinitnya maka plotnya akan berupa garis lurus. Secara umum, awal pembentukan minyak terjadi pada Ro = 0,6 %, puncak pembentukannya terjadi pada Ro = 0,9% dan 28 akhir pembentukan hidrogen cair diperkirakan pada Ro = 1,35%. Pada banyak kasus, batas kestabilan minyak diperkirakan sekitar 1,35% Ro. 2. Warna spora (indeks alterasi termal, TAI). Pertambahan gelap partikel kerogen dengan bertambahnya kematangan termal dapat digunakan sebagai indikator kematangan. Butiran polen dapat digunakan untuk pengukuran TAI dengan tujuan untuk mengurangi perbedaan warna akibat perubahan tipe atau perbedaan tebal partikel kerogen. Jika tidak terdapat polen, maka harga TAI diestimasi berdasarkan kerogen amorf. Penelitian fluoresen sering dilakukan untuk membedakan kerogen amorf yang berpotensial membentuk minyak (berfluoresen) dari kerogen amorf yang berpotensial membentuk gas (tidak berfluoresen). 3. Temperatur pirolisis (Tmax). Temperatur pada saat laju maksimum pirolisis tercapai (puncak S2) dapat dipergunakan sebagai indikator kematangan. Semakin matang batuan induk maka semakin tinggi nilai Tmax. Tingkat kematangan batuan sedimen dapat dievaluasi dengan menggunakan nilai Ro dan Tmax dari analisis Rock-Eval. Data kematangan di daerah penelitian dapat dilihat pada ( Lampiran D). Pengukuran Ro, yang didapat dari konsentrat kerogen sisa, hanya sedikit jumlahnya. Hal ini mungkin disebabkan karena rendahnya kandungan phytoclast. Ro pada Formasi Telisa (kedalaman 2000 - 2560 m), terlihat bahwa zona ini masih berada pada tahap awal pembentukan minyak (Ro<0,6%) bahkan pada contoh di Formasi (equivalen) Baturaja tidak didapatkan data Ro. Selanjutnya, pada Formasi Talangakar terlihat bahwa data Ro > 0,6%. Interpretasi kematangan, yang diperoleh dari perhitungan regresi linear data Ro, mengindikasikan bahwa tingkat kematangan awal (early mature) terjadi sampai dengan kedalaman 2600 m dan mulai menghasilkan hidrokarbon pada kedalaman setelah ini (Gambar III.5). Pembacaan Tmax pun memberikan hasil yang kurang memadai dan hanya pada sebagian Formasi Telisa menunjukkan tingkat kematangan yang memadai (Tmax > 4350C), sedangkan pada Formasi (equivalen) Baturaja dan Formasi Talangakar nilai Tmax-nya masih di bawah 4350C (Tabel III.5). 29 Tabel III.5 Parameter sederhana untuk menentukan kematangan bahang dalam kaitannya untuk pembentukan minyak (Peters dan Cassa, 1991). Maturity Immature Maturation Generation Bitumen Ro (%) Tmax TAI Bit/TOC 0.20-0.60 <435 1.51.26 <0.05 <50 <0.10 0.60-0.65 435445 2.62.7 0.05-0.10 50-100 0.10-0.15 0.65-0.90 445450 2.72.9 0.15-0.25 150-250 0.25-0.40 0.90-1.35 450470 2.93.3 -- -- >0.40 >1.35 >470 >3.3 -- -- -- (mg/g) PI Mature Early Peak Late Post-mature 30 Gambar III.5 Pengeplotan nilai Ro terhadap kedalaman. 31 III.5. Interpretasi Komposisi Gas Gas dalam jumlah besar telah berhasil ditemukan di Cekungan Sumatera Selatan sejak awal tahun 1990. Penemuan lapangan gas yang signifikan antara lain Gelam, Dayung, Sumpal, Betara, North Betara, NE Betara, Gemah, Geragai, North Geragai, Rayun, Singa, Suban, Pulau Gading, and Sungai Kenawang. Gas ini ditemukan pada berbagai reservoir antara lain Batupasir Gumai, Batuan Karbonat Baturaja, Batupasir Talangakar, rekahan batuan beku, dan batuan dasar. Batuan induk dari gas ini diperkirakan berasal dari serpih Formasi Lemat dan serpih Formasi Talangakar (Chalik et al., 2004; Marpaung et al., 2005, 2006). Tipe genesis dari gas dapat dibedakan berdasarkan konsentrasi, molekul dan data isotop. Tipe gas yang diketahui saat ini ada 2 (dua) yaitu termogenik dan biogenik. Campuran antara kedua gas di atas, sering juga ditemukan. Gas termogenik dicirikan oleh kandungan gas metana (CH4) yang kurang dari 95% atau komponen gas basahnya melebihi 5% setelah dinormalisasi serta nilai rasio 13-isotop karbon terhadap 12-karbon (δ13CCH4) adalah lebih berat (lebih positif) dari -45‰. Gas biogenik dicirikan oleh kandungan gas metana (CH4) yang lebih besar dari 98% atau komponen gas basahnya kurang dari 2% setelah dinormalisasi serta nilai rasio 13-isotop karbon terhadap 12-karbon (δ13CCH4) adalah lebih ringan (lebih negatif) dari -60‰. Gas campuran mempunyai kandungan gas metana (CH4) antara 95% - 98% serta nilai rasio 13-isotop karbon terhadap 12karbon (δ13CCH4) berkisar pada -50‰ (Satyana et al., 2007). Analisis komposisi gas secara terperinci telah dilakukan atas 7 (tujuh) contoh gas yang diambil dari sumur Durian Mabok-2, Suban-3, Suban-4, Suban-5, Suban-6, Suban-7, Suban-9, SBB-1, SBB-2 dan SBU-1. Komposisi gas-gas ini umumnya serupa dan hanya didominasi oleh komponen-komponen hidrokarbon dengan nilai antara 84,56% mol sampai 98,13% mol. Gas metana (CH4) merupakan komponen yang paling melimpah dengan nilai antara 75,98% mol sampai 89,83% mol, sedangkan kandungan gas basah (C2-C5) yang cukup tinggi (5,88 - 22,57%), mengindikasikan bahwa gas-gas murni ini kemungkinan termogenik pada awalnya ( Lampiran E dan Lampiran F) 32 Kandungan gas karbondioksida (CO2) dan nitrogen (N2), yang merupakan gas nonhidrokarbon yang terdeteksi, hadir dengan konsentrasi yang rendah di semua sampel. Gas karbondioksida berkisar antara 1,81% sampai 15,15% mol, gas nitrogen berkisar antara 0% sampai 0,53% mol sedangkan hidrogen sulfida (H2S) tidak ditemukan pada sampel mana pun. Oleh karena itu, gas-gas ini diklasifikasikan sebagai sweet gas. III.6. Interpretasi Data Isotop Gas alam dapat terbentuk di berbagai lingkungan pengendapan. Aktivitas bakteri dapat membentuk gas di rawa-rawa atau sedimen laut. Gas hasil aktivitas bakteri dapat ditemukan di cekungan yang memiliki batuan sedimen yang kurang matang (immature), contohnya gas yang kaya kandungan metananya namun tidak berasosiasi dengan pembentukan minyak bumi. Pada strata yang lebih dalam, pembentukan gas terutama berasosiasi dengan sistem petroleum. Gas-gas ini merupakan hasil dari proses alterasi bahang sistem petroleum dan kandungan organik pada batuan induknya. Pada daerah yang lebih matang, gas kering (dry gas) dapat terbentuk sebagai hasil dari dekomposisi minyak dan kandungan organik batuan induknya. Gas yang telah terbentuk akan mengalami migrasi ke reservoir. Reservoir ini merupakan lingkungan yang baru bagi gas tersebut. Lingkungan baru ini akan memiliki tingkat kematangan yang berbeda dengan lingkungan tempat asal gas terbentuk. Gas-gas yang berbeda asalnya ini dapat bercampur selama proses migrasi dari batuan induk ke reservoir. Proses primer pembentukan gas dan perubahan-perubahan yang terjadi tadi (lebih dikenal sebagai proses sekunder) harus dipertimbangan sebagai variasi gas alam. Schoell (1983) berpendapat bahwa proses primer pembentukan gas alam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hasil aktivitas bakteri (gas biogenik) dan alterasi bahang dari material organik (gas termogenik). 33 Gas biogenik didefiniskan sebagai gas yang terbentuk pada suhu rendah (T < 800C) dan melalui reaksi biokimia pada material organik di batuan sedimen, sedangkan gas termogenik merupakan gas yang terbentuk sebagai hasil pemecahan kerogen (cracking kerogen) pada suhu tinggi atau hasil pemecahan minyak (cracking oil). Penggunaan isotop dalam menentukan tipe genesis gas sering dilakukan oleh para peneliti maupun praktisi. Isotop suatu unsur berbeda dalam jumlah neutron di dalam inti atom sedangkan jumlah proton dan elektronnya sama. Mayoritas dari isotop mempunyai sifat tidak stabil. Isotop jenis ini sering dipergunakan dalam penentuan umur geologi. Isotop yang sering dipergunakan dalam analisis geokimia adalah isotop stabil, antara lain karbon, hidrogen, sulfur dan nitrogen. Isotop stbil sangat berguna karena proporsi dua isotop untuk suatu unsur bervariasi dari contoh ke contoh sebagai akibat efek isotop tersebut. Pada umumnya, gas biogenik dicirikan oleh kandungan metana lebih besar 98% (normalisasi), kandungan isotop metana δ13CCH4 lebih kecil dari -60‰. Pembentukan gas biogenik (metanogenesis) mempunyai dua mekanisme utama yaitu reduksi CO2 dan fermentasi. Kedua mekanisme ini dapat dibedakan berdasarkan kandungan isotop metana deuterium (δDCH4). Fermentasi mempunyai kandungan δDCH4 yang lebih ringan dari -200‰, sedangkan reduksi CO2 mempunyai kandungan δDCH4 lebih besar dari -200‰. Fermentasi umumnya berada pada lingkungan atau sistem air tawar sedangkan reduksi CO2 berada pada lingkungan laut. Gas termogenik umumnya mempunyai kandungan metana lebih kecil 98%, kandungan isotop metana δ13CCH4 lebih besar dari -55‰. Nilai isotop ini akan bertambah besar seiring dengan bertambahnya tingkat kematangan bahang. Termogenik gas dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu gas basah (nilai C2+ > 5%) dan gas kering (nilai C2+ < 5%), hal ini tergantung dari tingkat kematangan termalnya. 34 Analisis isotop karbon stabil dilakukan atas metana, etana, propana, n-butana, dan karbondioksida dari sebelas contoh gas sedangkan analisis isotop deuterium dilakukan pada empat contoh gas di daerah penelitian. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel III.6. Tabel III.6 Hasil analisis isotop karbon stabil dan deuterium di Lapangan Suban. No. Lapangan/Sumur Formasi ISOTOPE RATIO 13 δ C1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Suban Suban-4 Suban-6 Suban-9 Durian Mabok-2 Suban Baru A-1 SBB-1DST#1 SBB-1DST#2 SBB-1DST#3 SBU-1TW DST#1 SBU-1TW DST#2 SBU-1TW DST#3 BRF,TAF & Pre-Tertiary BRF,TAF & Pre-Tertiary BRF,TAF & Pre-Tertiary BRF,TAF & Pre-Tertiary BRF,TAF & Pre-Tertiary Basement Baturaja TAF Basement TAF -31.43 -31.37 -33.88 -30.77 -45.03 -60.41 -61.43 -62.52 -57.75 -57.05 -57.85 13 δ C2 -23.19 -23.16 -23.81 -23.03 -29.26 -36.88 -36.94 -37.15 -36.61 -36.06 -35.71 13 δ C3 -21.26 -21.43 -21.31 -21.17 -27.66 NA NA NA -29.09 -28.85 -28.18 13 δ C4 -21.12 -21.4 -21.61 -21.31 -25.22 NA NA NA -26.9 -26.11 -26.26 13 δ C (CO2 ) δD CH4 -0.28 -1.18 -6.7 -6.51 -11.06 -13.18 -13.23 -14.59 -10.5 -11.01 -12.01 -138 -150 -155 -148 -214 NA NA NA NA NA NA Data komposisi yang didiskusikan sebelumnya, dan pendeteksian gas basah telah menyatakan bahwa gas-gas ini asalnya adalah termogenik. Penafsiran ini didukung oleh interpretasi data isotop. Nilai isotop karbon stabil yang terekam untuk metana relatif ringan sampai berat dengan nilai maksimum -30,77‰ dan nilai minimum -62,52‰. Metode plot-silang geokimia antara methane δ13CCH4 terhadap pembentukan hidrokarbon menunjukkan bahwa gas yang berada di Lapangan Suban terbagi menjadi dua tipe gas yaitu gas termogenik dan gas biogenik. Hal ini diperkuat oleh hasil plot-silang antara δ13CCH4 terhadap konsentrasi C2+ yang menunjukkan bahwa di daerah penelitian terdapat dua tipe gas yang berbeda asalnya. (Gambar III.6). Kombinasi data isotop metana δ13C dan etana δ13C dilakukan untuk mengevaluasi hubungan ko-genetik antara komponen-komponen tertentu ini dalam gas-gas murni. Etana adalah gas yang memungkinkan untuk ditambah hingga mendekati 10‰ (nilai δ13C yang kurang negatif) jika dibandingkan dengan fraksi metana 35 (Silverman, 1971). Contoh gas dari sumur Durian Mabok-2, Suban-4, Suban-6, and Suban-9, pasangan metana-etana menunjukkan perbedaan 7,7‰ sampai dengan 10,1‰ sedangkan untuk sumur Suban Baru A-1, SBB-1 dan SBU-1TW menunjukkan perbedaan 15,8‰ sampai dengan 25,37‰ (Gambar III.7). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian pasangan metana-etana dari contoh sumur di Lapangan Suban ini mewakili pasangan ko-genetik, sedangkan sebagian lain menunjukkan bahwa telah terjadi proses pencampuran sehingga pasangan metanaetana ini memiliki nilai di luar batas toleransi kemurniannya. Hubungan antara metana δ13D dan metana δ13C menunjukkan kehadiran gas termogenik yang matang (Gambar III.8). Plot-silang yang dilakukan hanya terbatas pada lima sumur, yaitu Suban-4, Suban-6, Suban-9, Durian Mabok-2 dan Suban Baru A-1 karena keterbatasan data yang tersedia. Sumur SBB-1 dan SBU-1 TW tidak dilakukan analisis metana δ13D, sehingga pola distribusi kedua sumur ini tidak bisa dilihat. Hubungan antara pemecahan etana dan propana menunjukkan bahwa sampelsampel itu adalah gas-gas termogenik matang dan campuran gas biogenik dengan tingkat kematangan di bawah 1,2% Ro (Gambar III.9). Campuran gas didefinisikan sebagai proses fisik sederhana pencampuran gas dari berbagai sumber yang berbeda. Campuran gas yang berada di daerah penelitian menunjukkan bahwa terjadi pencampuran antara gas biogenik dan gas termogenik. Campuran gas ini mengindikasikan proses pembentukan gas yang berbeda dan sumber (origin) yang berbeda juga. Schoell (1983) menjelaskan tentang konsep ko-genetik (co-source) pada gas, hal ini bisa diaplikasikan pada gas yang berasal dari proses aktivitas bakteri dan termokimia pada tingkat alterasi termal yang sama. Hal ini berbeda dengan gas yang berasal dari proses pembentukan gas dan sumber yang berbeda atau lebih dikenal sebagai campuran gas non-genetik. Schoell (1983) berpendapat bahwa perubahan nilai isotop dan konsentrasi C2+ dapat dipengaruhi oleh dua proses yaitu proses primer dan proses sekunder. 36 Proses primer terdiri atas kematangan dan efek kinetik sedangkan proses sekunder terdiri atas migrasi, pencampuran (mixing) dan oksidasi metana. Gambar III.6 memperlihatkan bahwa pada area biogenik terdapat anomali dari nilai C2+. Umumnya, gas biogenik memiliki nilai δ13CCH4 yang ringan (lebih kecil dari -60‰) dan konsentrasi C2+ yang sangat rendah, namun hasil plot-silang menunjukkan bahwa nilai C2+ pada daerah ini cukup tinggi atau lebih besar 5%. Penambahan nilai C2+ ini disebabkan karena adanya proses migrasi gas termogenik ke reservoir kemudian bercampur dengan gas biogenik yang sudah terdapat di reservoir tersebut. Pembentukan minyak bumi (oil generation) di cekungan Sumatera Selatan diperkirakan berhubungan dengan tektonik miosen. Formasi Lahat / Formasi Lemat dan Formasi Talang Akar merupakan batuan induk yang sangat berpotensi untuk menghasilkan minyak bumi, karena memenuhi persyaratan kedalaman yang cukup (5000 - 7400 kaki). Batuan induk berumur Oligosen – Miosen berada pada sayap lipatan dengan kedalaman dan kemiringan yang besar dari Struktur Suban. Batuan induk ini sedang atau telah melewati tahap jendela pembentukan gaskondensat. Proses migrasi hidrokarbon di cekungan Sumatera Selatan diperkirakan berhubungan dengan tektonik Plio-Pleistosen. Migrasi vertikal dan lateral terjadi pada waktu yang sama. Migrasi vertikal dari batuan induk kearah batuan reservoir yang dangkal dikontrol oleh sesar-sesar. Migrasi lateral dikontrol oleh kemiringan lapisan. 37 Klasifikasi Genesis Gas menurut Schoell (1983) LAPANGAN SUBAN Suban‐4 Durian Mabok‐2 SBB‐1 DST#2 Suban‐6 Suban Baru A‐1 SBB‐1 DST#3 Suban‐9 SBB‐1 DST#1 SBU‐1 TW DST#1 SBU‐1 TW DST#2 SBU‐1 TW DST#3 Gambar III.6 Hasil plot-silang geokimia antara isotop karbon (metana) δ13CCH4 terhadap konsentrasi C2+. 38 Gambar III.7. Kombinasi data isotop metana δ13C dan etana δ13C dilakukan untuk mengevaluasi hubungan ko-genetik antara komponen-komponen tertentu ini dalam gas-gas murni. 39 Gambar III.8. Hubungan antara metana δ13D dan metana δ13C menunjukkan kehadiran gas termogenik yang matang. 40 Gambar III.9. Hubungan antara etana δ13C dan propana δ13C menunjukkan kehadiran gas termogenik yang matang dan campuran gas biogenik. 41 III.7. Interpretasi asal mula karbon dioksida (CO2) Penentuan asal mula CO2 merupakan salah satu objektif dalam karakterisasi geokimia. Hunt (1995) menjelaskan bahwa asal mula CO2 dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu mantel, metamorfik organik dan biogenetik. CO2 termogenik yang berasal dari material organik mempunyai nilai δ13CCH4 yang lebih negatif daripada CO2 yang berasal dari penyusunan ulang karbonat. Suklis et al. (2004) meneliti asal mula dan distribusi CO2 di Blok Koridor Cekungan Sumatera Selatan. Lapangan-lapangan gas dikelompokkan menjadi 3 (tiga) grup berdasarkan kandungan CO2, antara lain: 1. Group A mempunyai kandungan CO2 lebih kecil 20% mol (Lapangan Suban, Gelam). 2. Group B mempunyai kandungan CO2 berkisar antara 20-40% mol (Lapangan Dayung, Sambar, Sumpal, Rebonjaro) 3. Group C mempunyai kandungan CO2 lebih besar 40% mol (Lapangan Bungkal, Bungin, Rayun, Bentayan, Puyuh) Suklis et al. (2004) memperkirakan bahwa sumber CO2 ini berasal dari aktivitas mantel dan dekomposisi karbonat. Hal ini didasarkan pada hasil interpretasi nilai δ13C CO2 yang diperoleh di Blok Koridor. Komposisi isotop karbon yang stabil dari komponen CO2 yang ditemukan di daerah penelitian menunjukkan nilai yang bervariasi antara -0,28% hingga -14,15%. Hasil plot-silang menunjukkan bahwa CO2 berasal dari dua sumber yaitu sebagai aktivitas mantel atau volkanik untuk sumur-sumur SBB-1, SBU-1TW serta sumber biogenetik untuk sumur-sumur Suban-4, Suban-6, Suban-9, dan Durian Mabok-2 (Gambar III.10). 42 Gambar III.10. Hubungan antara δ13CCH4 dan δ13CCO2 menunjukkan asal mula gas CO2 di daerah penelitian (Studi Internal ConocoPhillips, 2003 dan Studi Internal Pertamina, 2004). 43