Bab III Interpretasi Data Geokimia

advertisement
Bab III Interpretasi Data Geokimia
III.1. Umum
Data yang diperlukan dalam pembuktian hipotesis ini terdiri atas dua jenis, yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data sumur serta data seismik
yang melalui sumur-sumur tersebut, baik yang berarah relatif utara-selatan,
maupun yang berarah timur-barat.
Data primer terdiri atas:
• Data karbon organik total dan data pirolisis Rock-Eval
• Komposisi gas
• Isotop
Data sekunder yang dipakai merupakan data regional yang berasal dari publikasi
ilmiah dan yang tidak dipublikasikan, meliputi:
•
Penampang geologi
•
Stratigrafi regional
•
Kerangka tektonik regional
•
Paleogeografi Cekungan Sumatera Selatan
Semua data digital dan analisis laboratorium yang menunjang analisis dan
interpretasi didapatkan dari pusat data beberapa perusahaan minyak yang
beroperasi di sekitar Wilayah Kerja Pertambangan Sumatera Selatan terutama
daerah Suban, sedangkan data pustaka dan ilmiah lainnya didapatkan dari
sejumlah publikasi nasional.
Data yang diperoleh dari pengamatan data bawah-permukaan dan analisis
laboratorium diproses dalam bentuk tabel dan grafik sehingga memperlihatkan
suatu pola tertentu agar dapat dianalisis, antara lain:
•
Data geokimia berupa konsentrasi dan molekul gas (dalam satuan mol atau %
volume) merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan
klasifikasi gas. Konsentrasi gas terdiri atas gas hidrokarbon (metana, etana,
propana, butana, isobutana, normal butana, pentana) dan gas non-hidrokarbon
16
(CO2, H2S, nitrogen). Rasio komposisi molekul (normalisasi gas hidrokarbon)
merupakan perbandingan C1/ΣCn, ΣC2+ dan C1/(C2+C3) (parameter Bernard)
dan ratio kebasahan gas (ΣC2 sampai C5/ ΣC1 sampai C5) x 100%).
•
Data isotop digunakan untuk mendapatkan rasio antara isotop karbon dan
hidrogen dari hidrokarbon ringan dan karbon dioksida (δ13CCH4, δ13CC2H6,
δ13CC3H8, δ13CCO2, δDCH4). Data isotop ini akan memberikan informasi detail
mengenai batuan induknya serta identifikasi tambahan tentang pembentukan
gas tersebut.
III.2.
Kuantitas Material Organik
Karbon organik total (total organic carbon, TOC) didefinisikan sebagai jumlah
material organik yang terdapat dalam batuan sedimen. Analisis TOC merupakan
analisis pendahuluan yang sangat penting dan banyak dilakukan karena murah,
sederhana, dan cepat. Analisis ini biasanya hanya memerlukan satu gram batuan,
tetapi jika contoh batuannya banyak mengandung material organik maka jumlah
yang lebih kecil dari satu gram sudah cukup.
Analisis TOC biasanya dilakukan dengan suatu alat penganalisis karbon atau yang
biasa dikenal sebagai Leco. Tekniknya cukup sederhana, yaitu dengan membakar
contoh batuan yang berbentuk bubuk, bebas dari mineral karbonat pada
temperatur tinggi dengan bantuan oksigen. Contoh dengan kandungan TOC yang
rendah biasanya dianggap tidak mampu untuk membentuk hidrokarbon yang
komersial sehingga contoh ini biasanya tidak dianalisis lebih lanjut. Contoh yang
dianalisis biasanya berupa serbuk bor yang terdiri atas bermacam litologi,
termasuk material jatuhan dan kontaminasi dari bermacam sumber sehingga
sebelum melakukan penentuan TOC, teknisi harus membuang material jatuhan
dan kontaminan tersebut.
Pengamatan jumlah material organik yang hadir di suatu batuan dinyatakan dalam
TOC dengan satuan persen berat dari batuan kering. Suatu skala standar yang
umum untuk penggunaan TOC diberikan dalam Tabel III.1.
17
TOC (% berat)
<0,5%
Implikasi batuan induk
Potensinya rendah
0,5 - 1%
Kemungkinan sedikit berpotensi
1-2%
Kemungkinan cukup berpotensi
>2%
Kemungkinan berpotensi baik sampai sangat baik
Tabel III.1. Indikasi potensi batuan induk berdasarkan TOC (Waples, 1985).
Analisis TOC di daerah penelitian dilakukan di tiga formasi batuan, yaitu Formasi
Telisa, Formasi (equivalen) Baturaja, dan Formasi Talangakar. Jumlah contoh
yang dianalisis adalah sebanyak 36 contoh batuan yang berasal dari serbuk bor,
yang terdiri atas 20 contoh batuan dari Formasi Telisa, 13 contoh batuan dari
Formasi (equivalen) Baturaja, dan tiga contoh batuan dari Formasi Talangakar
(Lampiran C).
Formasi Talangakar menutupi Formasi Lemat dan batuan dasar. Susunan
lapisannya terdiri terutama dari endapan fluvial dan delta. Bagian bawah dari
formasi ini terletak tidak selaras diatas Formasi Lahat dan terdiri dari batupasir
kasar hingga sedang yang disisipi oleh lapisan tipis batubara. Adapun bagian
atasnya terdiri dari serpih, lempung, pasir dan sisipan-sisipan batubara yang kaya
pirit, glaukonit dan foraminifera. Nilai kandungan material organik di Formasi
Talangakar berkisar antara 1,23 – 1,66 %. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi
Formasi Talangakar sebagai batuan induk adalah cukup berpotensi untuk
menghasilkan hidrokarbon.
Pada fasa akhir pengendapan Formasi Talangakar, sebagai akibat dari periode
pengikisan yang berlangsung cukup lama, permukaan dasar cekungan Sumatera
Selatan menjadi hampir rata. Hanya pada beberapa tempat saja dijumpai tinggiantinggian dan permukaan yang menonjol. Akibat kondisi lingkungan laut yang
berlanjut, maka kadang-kadang dijumpai adanya palamparan endapan karbonat
(carbonate banks). Setempat-setempat dari endapan karbonat ini berkembang
sebagai terumbu dan gundukan (mounds). Terumbu juga dapat berkembang pada
18
batuan dasar yang terangkat dan membentuk tinggianFormasi Equivalent Baturaja
memiliki ciri litologi yang mirip dengan Formasi Telisa. Nilai kandungan material
organik di Formasi Equivalent Baturaja berkisar antara 0,44 – 1,36 %. Hal ini
mengindikasikan bahwa potensi Formasi Telisa sebagai batuan induk berkisar
antara berpotensi rendah sampai cukup berpotensi.
Pengendapan Formasi Telisa berlangsung sepanjang episoda transgresi Tersier
yang kemudian menenggelamkan Formasi Batu Raja dan menghasilkan lapisan
penutup yang tebal berupa serpih marin diseluruh bagian cekungan. Formasi ini
terdiri dari serpih berfosil dengan sisipan-sisipan tipis batugamping mengandung
glaukonit, yang merupakan fasies marin dangkal yang terdapat pada bagian tepi
cekungan. Nilai kandungan material organik terkecil di Formasi Telisa adalah
0,75 % sedangkan nilai terbesarnya adalah sebesar 1,28 %. Hal ini
mengindikasikan bahwa potensi Formasi Telisa sebagai batuan induk berkisar
antara sedikit berpotensi sampai cukup berpotensi (Tabel III.1). Jumlah contoh
batuan di Formasi Telisa yang memiliki nilai kandungan material organik lebih
kecil dari 1 % adalah sebanyak 10 contoh sedangkan 10 contoh lainnya memiliki
nilai kandungan material organik antara 1 – 2 %. Stratigrafi korelasi korelasi
smunur dapat dilihat pada Lampiran G.
Batuan yang mengandung TOC antara 0,5 – 1% tidak akan menjadi batuan induk
yang sangat efektif, tetapi mungkin saja mengeluarkan sejumlah kecil hidrokarbon
sehingga tidak boleh diabaikan. Kerogen di dalam batuannya biasanya teroksidasi
sehingga potensi untuk membentuk hidrokarbon menjadi terbatas. Pada beberapa
batuan yang mengandung TOC antara 1 – 2% diasosiasikan dengan lingkungan
pengendapan antara oksidasi dan reduksi dengan terjadinya pengawetan material
organik yang kaya lemak dan berpotensi membentuk minyak bumi. TOC lebih
besar dari 2% menunjukkan lingkungan reduksi yang tinggi dan memiliki potensi
untuk menghasilkan hidrokarbon yang sangat baik.
Banyak batuan yang memiliki nilai TOC tinggi tetapi tidak dapat membentuk
minyak karena kandungan kerogennya berupa material kekayuan atau telah
19
teroksidasi. TOC tinggi memang diperlukan tetapi bukan merupakan kriteria yang
mutlak untuk menentukan kualitas batuan induk sehingga kualitas kerogen
menjadi penting untuk ditentukan.
III.3.
Tipe Kerogen
Kerogen didefinisikan sebagai bagian material organik yang terdapat dalam
batuan sedimen dan tidak dapat larut dalam pelarut organik biasa karena kerogen
mempunyai ukuran molekul yang besar. Karakteristik kimia dan fisika kerogen
sangat dipengaruhi oleh macam molekul biogenik material asal dan transformasi
akibat diagenesis molekul organik tersebut.
Komposisi kerogen juga dipengaruhi oleh proses pematangan termal, yaitu
katagenesis dan metagenesis, yang mengubah kerogen tersebut. Pemanasan bawah
permukaan menyebabkan reaksi-reaksi kimia yang memecah fragmen kecil
kerogen menjadi minyak. Kerogen sisa juga mengalami perubahan yang tercermin
dalam kondisi kimia dan fisikanya. Sejarah diagenesis dan katagenesis kerogen
serta kondisi alamiah material organik penyusunnya sangat mempengaruhi
kemampuan kerogen memproduksi minyak dan gas bumi (Gambar III.1).
Lembaga Minyak Prancis (IFP) mengembangkan skema yang berguna untuk
mendeskripsikan kerogen dan masih dijadikan standar acuan sampai sekarang.
Kerogen dikelompokkan menjadi tiga tipe utama yang disebut Tipe I, Tipe II, dan
Tipe III. Penelitian lanjutan menemukan adanya tipe lain yaitu Tipe IV. Lembaga
ini juga mempelajari karakteristik kimia dan organisme asal yang membentuk
setiap tipe kerogen tersebut (Tabel III.2).
Kerogen Tipe I sangat jarang karena berasal dari alga danau dan terbatas pada
lingkungan anoksik sehingga jarang didapatkan di lingkungan laut. Kerogen Tipe
I ini memiliki kapasitas tinggi menghasilkan hidrokarbon cair. Kerogen Tipe II
dapat berasal dari beberapa sumber yaitu alga laut, polen dan spora, lapisan lilin
tanaman, fosil resin, dan lemak tanaman. Kerogen Tipe II sering ditemukan dalam
20
sedimen laut dengan kondisi reduksi. Kerogen Tipe III terdiri atas material
organik darat yang hanya sedikit mengandung lemak atau zat lilin. Selulosa dan
lignin adalah penyumbang terbesar kerogen Tipe III. Tipe kerogen ini mempunyai
kapasitas produksi hidrokarbon cair lebih rendah daripada kerogen Tipe II, dan
jika tanpa campuran kerogen Tipe II biasanya kerogen Tipe III ini menghasilkan
terutama gas alam. Kerogen Tipe IV terdiri pengerjaan-ulang (reworked)
kepingan organik dan material teroksidasi yang berasal dari berbagai sumber.
Kerogen Tipe IV ini tidak memiliki potensi menghasilkan hidrokarbon.
Gambar III.1 Transformasi material organik dalam sedimen dan batuan sedimen
(diterjemahkan dari Waples, 1985).
21
Tabel III.2 Komposisi kerogen (diterjemahkan dari Waples, 1985).
Maseral
Tipe Kerogen
Material Organik Asal
Alginit
I
Alga air tawar
Eksinit
II
Polen, spora
Kutinit
II
Lapisan lilin tanaman
Resinit
II
Resin tanaman
Liptinit
II
Lemak tanaman, alga laut
Vitrinit
III
Material tanaman keras (kayu, selulosa)
Inertinit
IV
Arang, material tersusun-ulang yang
teroksidasi
Hasil analisis Rock-Eval seringkali diplot di dalam suatu diagram van Krevelen
yang dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan adalah dengan menggantikan plot
rasio H/C dengan indeks hidrogen (HI) sedangkan plot O/C digantikan oleh
indeks oksigen (OI). Perhitungan HI didapatkan dengan cara membandingkan S2
terhadap TOC, sedangkan OI didapatkan dengan cara membandingkan S3
terhadap TOC.
Nilai HI ketiga formasi di daerah penelitian relatif kecil - sedang. Formasi Telisa
mempunyai nilai HI berkisar antara 28 - 237, Formasi (equivalen) Baturaja
berkisar antara 4 – 55, dan Formasi Talangakar berkisar antara 16 – 40. Hasil plot
data Rock-Eval ini pada diagram modifikasi van Krevelen memperlihatkan bahwa
mayoritas contoh batuan yang dianalisis merupakan kerogen Tipe III (gas prone)
(Gambar III.2).
Peters dan Cassa (1994) membuat suatu tabel yang dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan tipe kerogen berdasarkan nilai HI (Tabel III.3). Tipe kerogen
di Formasi Telisa diinterpretasikan sebagai kerogen Tipe II dan Tipe III, dan pada
formasi ini terdapat dua contoh batuan yang memiliki nilai HI yang lebih besar
dari 200 sebagai ambang batas Tipe II, dan mempunyai potensi untuk
menghasilkan minyak dan gas bumi. Tipe kerogen di Formasi (equivalen)
Baruraja diinterpretasikan sebagai Tipe III dan Tipe IV sedangkan Formasi
22
Talangakar diinterpretasikan sebagai kerogen Tipe IV. Kerogen Tipe III
mempunyai potensi untuk menghasilkan gas sedangkan Tipe IV tidak mempunyai
potensi untuk menghasilkan hidrokarbon.
23
Gambar III.2 Pengeplotan nilai indeks hidrogen (HI) terhadap indeks oksigen (OI)
dengan menggunakan modifikasi diagram van Krevelen untuk menunjukkan jalur
evolusi kerogen.
Tabel III.3 Tipe kerogen yang dapat menghasilkan bermacam produk hidrokarbon
pada puncak kematangannya (Peters dan Cassa, 1994).
Kerogen*
Produk
HI
S2/S3
Atom H/C
I
>600
> 15
>1,5
Minyak
II
300 – 600
10 – 15
1,2 – 1,5
Minyak
II/III
200 – 300
5 – 10
1,0 – 1,2
Minyak/Gas
III
50 – 200
1–5
0,7 – 1,0
Gas
IV
< 50
<1
<0,7
None
(Quality)
Hidrokarbon
* berdasarkan batuan induk belum matang
Penentuan tipe material organik di dalam batuan sedimen dapat didekati dengan
dua cara, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung
yang dimaksud adalah menggunakan metode pirolisis terhadap kerogen atau
contoh batuan dan mengukur kuantitas dan tipe hidrokarbon yang digunakan.
Metode tidak langsung adalah cara yang digunakan untuk mengamati karakteristik
kimia dan fisika kerogen atau biasa kita kenal dengan istilah analisis mikroskopis
dan analisis unsur. Penulis dalam penyusunan tesis ini akan lebih menekankan
pada cara langsung, yaitu menganalisis tipe kerogen berdasarkan data pirolisis.
Metode langsung dengan menggunakan pirolisis Rock-Eval, akan memberikan
nilai S1, S2, dan S3. S1 menunjukkan jumlah hidrokarbon yang sudah ada di
dalam batuan semenjak pengendapan ditambah dengan hidrokarbon yang
terbentuk di bawah permukaan atau biasa dikenal juga dengan istilah jumlah
hidrokarbon bebas. S2 mencermikan G, sisa kapasitas pembentukan hidrokarbon
atau jumlah hidrokarbon yang dilepaskan dari kerogen. S3 adalah jumlah
kandungan oksigen di dalam kerogen.
24
Data pirolisis di daerah penelitian mengindikasikan bahwa hanya contoh batuan
dari kedalaman 2000 m saja yang mempunyai potensi komersial sebagai batuan
induk. Hal ini bisa diinterpretasikan karena nilai S2 di kedalaman ini, yaitu
sebesar 2,59 mg/g, telah melampai batas standar yaitu sebesar S2>2,5 mg/g serta
kandungan HI contoh batuan ini sebesar 212 termasuk kelompok kerogen Tipe
II/III yang mempunyai potensi untuk menghasilkan minyak dan gas bumi
(Gambar III.3 dan Tabel III.4).
Tiga belas contoh batuan dari Formasi (equivalen) Baturaja memperlihatkan nilai
kandungan material organik buruk – sedang dengan nilai antara 0,44 – 1,35%, S2
di formasi ini mempunyai nilai yang lebih kecil dari 1 mg/g, serta HI lebih kecil
dari 100. Penulis dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun contoh batuan
dari Formasi (equivalen) Baturaja ini yang bisa diharapkan sebagai batuan induk
(Gambar III.4).
25
Gambar III.3 Pengeplotan nilai S2 terhadap TOC.
26
Batuan induk
potensial
Gambar III.4. Pengeplotan nilai HI terhadap TOC.
27
Formasi Talangakar mempunyai kandungan material organik yang cukup bagus
dengan nilai TOC berkisar antara 1,23 – 1,66%, namun mempunyai nilai S2 < 1
serta HI < 100 sehingga potensi untuk menghasilkan hidrokarbon menjadi tidak
signifikan untuk saat ini. Jika batuan Formasi Talangakar ini mengalami
pemendaman sehingga mengalami pematangan yang cukup, bukan tidak mungkin
nantinya batuan ini akan menjadi batuan induk yang baik.
Tabel III.4. Parameter sederhana yang digunakan untuk menentukan potensi
hidrokarbon dari batuan induk yang belum matang (Peters dan Cassa, 1994).
Potential
TOC
Rock-Eval
Bitumen
(Quality)
(%)
S2
(ppm)
Poor
<0,5
<0,5
<2,5
<500
<300
Fair
0,5 - 1
0,5 - 1
2,5 – 5
500 – 1000
300 – 600
Good
1-2
1-2
5 – 10
1000 - 2000
600 - 1200
Very Good
2–4
2–4
10 – 20
2000 – 4000
1200 – 2400
Excellent
>4
>4
>20
> 4000
> 2400
III.4.
Rock-Eval
S1
HC (ppm)
Kematangan Material Organik
Penentuan kematangan material organik di dalam batuan induk dapat
menggunakan beberapa metode, antara lain:
1. Reflektansi vitrinit (Ro). Metode reflektansi vitrinit dikembangkan untuk
mengukur peringkat batubara yang banyak mengandung maseral vitrinit.
Metode ini berdasarkan fakta bahwa kenaikan temperatur berbanding lurus
dengan reflektansi vitrinitnya. Harga Ro biasanya diplot dengan kedalaman
suatu sumur, jika skala reflektansi linear, maka profil kurvanya adalah garis
lengkung. Jika digunakan skala semi-log untuk reflektansi vitrinitnya maka
plotnya akan berupa garis lurus. Secara umum, awal pembentukan minyak
terjadi pada Ro = 0,6 %, puncak pembentukannya terjadi pada Ro = 0,9% dan
28
akhir pembentukan hidrogen cair diperkirakan pada Ro = 1,35%. Pada banyak
kasus, batas kestabilan minyak diperkirakan sekitar 1,35% Ro.
2. Warna spora (indeks alterasi termal, TAI). Pertambahan gelap partikel
kerogen dengan bertambahnya kematangan termal dapat digunakan sebagai
indikator kematangan. Butiran polen dapat digunakan untuk pengukuran TAI
dengan tujuan untuk mengurangi perbedaan warna akibat perubahan tipe atau
perbedaan tebal partikel kerogen. Jika tidak terdapat polen, maka harga TAI
diestimasi berdasarkan kerogen amorf. Penelitian fluoresen sering dilakukan
untuk membedakan kerogen amorf yang berpotensial membentuk minyak
(berfluoresen) dari kerogen amorf yang berpotensial membentuk gas (tidak
berfluoresen).
3. Temperatur pirolisis (Tmax). Temperatur pada saat laju maksimum pirolisis
tercapai (puncak S2) dapat dipergunakan sebagai indikator kematangan.
Semakin matang batuan induk maka semakin tinggi nilai Tmax.
Tingkat kematangan batuan sedimen dapat dievaluasi dengan menggunakan nilai
Ro dan Tmax dari analisis Rock-Eval. Data kematangan di daerah penelitian dapat
dilihat pada ( Lampiran D).
Pengukuran Ro, yang didapat dari konsentrat kerogen sisa, hanya sedikit
jumlahnya. Hal ini mungkin disebabkan karena rendahnya kandungan phytoclast.
Ro pada Formasi Telisa (kedalaman 2000 - 2560 m), terlihat bahwa zona ini
masih berada pada tahap awal pembentukan minyak (Ro<0,6%) bahkan pada
contoh di Formasi (equivalen) Baturaja tidak didapatkan data Ro. Selanjutnya,
pada Formasi Talangakar terlihat bahwa data Ro > 0,6%. Interpretasi kematangan,
yang diperoleh dari perhitungan regresi linear data Ro, mengindikasikan bahwa
tingkat kematangan awal (early mature) terjadi sampai dengan kedalaman 2600 m
dan mulai menghasilkan hidrokarbon pada kedalaman setelah ini (Gambar III.5).
Pembacaan Tmax pun memberikan hasil yang kurang memadai dan hanya pada
sebagian Formasi Telisa menunjukkan tingkat kematangan yang memadai
(Tmax > 4350C), sedangkan pada Formasi (equivalen) Baturaja dan Formasi
Talangakar nilai Tmax-nya masih di bawah 4350C (Tabel III.5).
29
Tabel III.5 Parameter sederhana untuk menentukan kematangan bahang dalam
kaitannya untuk pembentukan minyak (Peters dan Cassa, 1991).
Maturity
Immature
Maturation
Generation
Bitumen
Ro (%)
Tmax
TAI
Bit/TOC
0.20-0.60
<435
1.51.26
<0.05
<50
<0.10
0.60-0.65
435445
2.62.7
0.05-0.10
50-100
0.10-0.15
0.65-0.90
445450
2.72.9
0.15-0.25
150-250
0.25-0.40
0.90-1.35
450470
2.93.3
--
--
>0.40
>1.35
>470
>3.3
--
--
--
(mg/g)
PI
Mature
Early
Peak
Late
Post-mature
30
Gambar III.5 Pengeplotan nilai Ro terhadap kedalaman.
31
III.5.
Interpretasi Komposisi Gas
Gas dalam jumlah besar telah berhasil ditemukan di Cekungan Sumatera Selatan
sejak awal tahun 1990. Penemuan lapangan gas yang signifikan antara lain Gelam,
Dayung, Sumpal, Betara, North Betara, NE Betara, Gemah, Geragai, North
Geragai, Rayun, Singa, Suban, Pulau Gading, and Sungai Kenawang. Gas ini
ditemukan pada berbagai reservoir antara lain Batupasir Gumai, Batuan Karbonat
Baturaja, Batupasir Talangakar, rekahan batuan beku, dan batuan dasar. Batuan
induk dari gas ini diperkirakan berasal dari serpih Formasi Lemat dan serpih
Formasi Talangakar (Chalik et al., 2004; Marpaung et al., 2005, 2006).
Tipe genesis dari gas dapat dibedakan berdasarkan konsentrasi, molekul dan data
isotop. Tipe gas yang diketahui saat ini ada 2 (dua) yaitu termogenik dan
biogenik. Campuran antara kedua gas di atas, sering juga ditemukan. Gas
termogenik dicirikan oleh kandungan gas metana (CH4) yang kurang dari 95%
atau komponen gas basahnya melebihi 5% setelah dinormalisasi serta nilai rasio
13-isotop karbon terhadap 12-karbon (δ13CCH4) adalah lebih berat (lebih positif)
dari -45‰. Gas biogenik dicirikan oleh kandungan gas metana (CH4) yang lebih
besar dari 98% atau komponen gas basahnya kurang dari 2% setelah dinormalisasi
serta nilai rasio 13-isotop karbon terhadap 12-karbon (δ13CCH4) adalah lebih
ringan (lebih negatif) dari -60‰.
Gas campuran mempunyai kandungan gas
metana (CH4) antara 95% - 98% serta nilai rasio 13-isotop karbon terhadap 12karbon (δ13CCH4) berkisar pada -50‰ (Satyana et al., 2007).
Analisis komposisi gas secara terperinci telah dilakukan atas 7 (tujuh) contoh gas
yang diambil dari sumur Durian Mabok-2, Suban-3, Suban-4, Suban-5, Suban-6,
Suban-7, Suban-9, SBB-1, SBB-2 dan SBU-1. Komposisi gas-gas ini umumnya
serupa dan hanya didominasi oleh komponen-komponen hidrokarbon dengan nilai
antara 84,56% mol sampai 98,13% mol. Gas metana (CH4) merupakan komponen
yang paling melimpah dengan nilai antara 75,98% mol sampai 89,83% mol,
sedangkan kandungan gas basah (C2-C5) yang cukup tinggi (5,88 - 22,57%),
mengindikasikan bahwa gas-gas murni ini kemungkinan termogenik pada
awalnya ( Lampiran E dan Lampiran F)
32
Kandungan gas karbondioksida (CO2) dan nitrogen (N2), yang merupakan gas
nonhidrokarbon yang terdeteksi, hadir dengan konsentrasi yang rendah di semua
sampel. Gas karbondioksida berkisar antara 1,81% sampai 15,15% mol, gas
nitrogen berkisar antara 0% sampai 0,53% mol sedangkan hidrogen sulfida (H2S)
tidak ditemukan pada sampel mana pun. Oleh karena itu, gas-gas ini
diklasifikasikan sebagai sweet gas.
III.6.
Interpretasi Data Isotop
Gas alam dapat terbentuk di berbagai lingkungan pengendapan. Aktivitas bakteri
dapat membentuk gas di rawa-rawa atau sedimen laut. Gas hasil aktivitas bakteri
dapat ditemukan di cekungan yang memiliki batuan sedimen yang kurang matang
(immature), contohnya gas yang kaya kandungan metananya namun tidak
berasosiasi dengan pembentukan minyak bumi.
Pada strata yang lebih dalam, pembentukan gas terutama berasosiasi dengan
sistem petroleum. Gas-gas ini merupakan hasil dari proses alterasi bahang sistem
petroleum dan kandungan organik pada batuan induknya. Pada daerah yang lebih
matang, gas kering (dry gas) dapat terbentuk sebagai hasil dari dekomposisi
minyak dan kandungan organik batuan induknya.
Gas yang telah terbentuk akan mengalami migrasi ke reservoir. Reservoir ini
merupakan lingkungan yang baru bagi gas tersebut. Lingkungan baru ini akan
memiliki tingkat kematangan yang berbeda dengan lingkungan tempat asal gas
terbentuk. Gas-gas yang berbeda asalnya ini dapat bercampur selama proses
migrasi dari batuan induk ke reservoir. Proses primer pembentukan gas dan
perubahan-perubahan yang terjadi tadi (lebih dikenal sebagai proses sekunder)
harus dipertimbangan sebagai variasi gas alam.
Schoell (1983) berpendapat bahwa proses primer pembentukan gas alam dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hasil aktivitas bakteri (gas biogenik) dan
alterasi bahang dari material organik (gas termogenik).
33
Gas biogenik didefiniskan sebagai gas yang terbentuk pada suhu rendah
(T < 800C) dan melalui reaksi biokimia pada material organik di batuan sedimen,
sedangkan gas termogenik merupakan gas yang terbentuk sebagai hasil
pemecahan kerogen (cracking kerogen) pada suhu tinggi atau hasil pemecahan
minyak (cracking oil).
Penggunaan isotop dalam menentukan tipe genesis gas sering dilakukan oleh para
peneliti maupun praktisi. Isotop suatu unsur berbeda dalam jumlah neutron di
dalam inti atom sedangkan jumlah proton dan elektronnya sama. Mayoritas dari
isotop mempunyai sifat tidak stabil. Isotop jenis ini sering dipergunakan dalam
penentuan umur geologi. Isotop yang sering dipergunakan dalam analisis
geokimia adalah isotop stabil, antara lain karbon, hidrogen, sulfur dan nitrogen.
Isotop stbil sangat berguna karena proporsi dua isotop untuk suatu unsur
bervariasi dari contoh ke contoh sebagai akibat efek isotop tersebut.
Pada umumnya, gas biogenik dicirikan oleh kandungan metana lebih besar 98%
(normalisasi), kandungan isotop metana δ13CCH4 lebih kecil dari -60‰.
Pembentukan gas biogenik (metanogenesis) mempunyai dua mekanisme utama
yaitu reduksi CO2 dan fermentasi. Kedua mekanisme ini dapat dibedakan
berdasarkan kandungan isotop metana deuterium (δDCH4). Fermentasi mempunyai
kandungan δDCH4 yang lebih ringan dari -200‰, sedangkan reduksi CO2
mempunyai kandungan δDCH4 lebih besar dari -200‰. Fermentasi umumnya
berada pada lingkungan atau sistem air tawar sedangkan reduksi CO2 berada pada
lingkungan laut.
Gas termogenik umumnya mempunyai kandungan metana lebih kecil 98%,
kandungan isotop metana δ13CCH4 lebih besar dari -55‰. Nilai isotop ini akan
bertambah besar seiring dengan bertambahnya tingkat kematangan bahang.
Termogenik gas dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu gas basah (nilai C2+ > 5%)
dan gas kering (nilai C2+ < 5%), hal ini tergantung dari tingkat kematangan
termalnya.
34
Analisis isotop karbon stabil dilakukan atas metana, etana, propana, n-butana, dan
karbondioksida dari sebelas contoh gas sedangkan analisis isotop deuterium
dilakukan pada empat contoh gas di daerah penelitian. Hasilnya dapat dilihat pada
Tabel III.6.
Tabel III.6 Hasil analisis isotop karbon stabil dan deuterium di Lapangan Suban.
No. Lapangan/Sumur
Formasi
ISOTOPE RATIO
13
δ C1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Suban
Suban-4
Suban-6
Suban-9
Durian Mabok-2
Suban Baru A-1
SBB-1DST#1
SBB-1DST#2
SBB-1DST#3
SBU-1TW DST#1
SBU-1TW DST#2
SBU-1TW DST#3
BRF,TAF & Pre-Tertiary
BRF,TAF & Pre-Tertiary
BRF,TAF & Pre-Tertiary
BRF,TAF & Pre-Tertiary
BRF,TAF & Pre-Tertiary
Basement
Baturaja
TAF
Basement
TAF
-31.43
-31.37
-33.88
-30.77
-45.03
-60.41
-61.43
-62.52
-57.75
-57.05
-57.85
13
δ C2
-23.19
-23.16
-23.81
-23.03
-29.26
-36.88
-36.94
-37.15
-36.61
-36.06
-35.71
13
δ C3
-21.26
-21.43
-21.31
-21.17
-27.66
NA
NA
NA
-29.09
-28.85
-28.18
13
δ C4
-21.12
-21.4
-21.61
-21.31
-25.22
NA
NA
NA
-26.9
-26.11
-26.26
13
δ C (CO2 ) δD CH4
-0.28
-1.18
-6.7
-6.51
-11.06
-13.18
-13.23
-14.59
-10.5
-11.01
-12.01
-138
-150
-155
-148
-214
NA
NA
NA
NA
NA
NA
Data komposisi yang didiskusikan sebelumnya, dan pendeteksian gas basah telah
menyatakan bahwa gas-gas ini asalnya adalah termogenik. Penafsiran ini
didukung oleh interpretasi data isotop. Nilai isotop karbon stabil yang terekam
untuk metana relatif ringan sampai berat dengan nilai maksimum -30,77‰ dan
nilai minimum -62,52‰.
Metode plot-silang geokimia antara methane δ13CCH4 terhadap pembentukan
hidrokarbon menunjukkan bahwa gas yang berada di Lapangan Suban terbagi
menjadi dua tipe gas yaitu gas termogenik dan gas biogenik. Hal ini diperkuat
oleh hasil plot-silang antara δ13CCH4 terhadap konsentrasi C2+ yang menunjukkan
bahwa di daerah penelitian terdapat dua tipe gas yang berbeda asalnya.
(Gambar III.6).
Kombinasi data isotop metana δ13C dan etana δ13C dilakukan untuk mengevaluasi
hubungan ko-genetik antara komponen-komponen tertentu ini dalam gas-gas
murni. Etana adalah gas yang memungkinkan untuk ditambah hingga mendekati
10‰ (nilai δ13C yang kurang negatif) jika dibandingkan dengan fraksi metana
35
(Silverman, 1971). Contoh gas dari sumur Durian Mabok-2, Suban-4, Suban-6,
and Suban-9, pasangan metana-etana menunjukkan perbedaan 7,7‰ sampai
dengan 10,1‰ sedangkan untuk sumur Suban Baru A-1, SBB-1 dan SBU-1TW
menunjukkan perbedaan 15,8‰ sampai dengan 25,37‰ (Gambar III.7). Hal ini
mengindikasikan bahwa sebagian pasangan metana-etana dari contoh sumur di
Lapangan Suban ini mewakili pasangan ko-genetik, sedangkan sebagian lain
menunjukkan bahwa telah terjadi proses pencampuran sehingga pasangan metanaetana ini memiliki nilai di luar batas toleransi kemurniannya.
Hubungan antara metana δ13D dan metana δ13C menunjukkan kehadiran gas
termogenik yang matang (Gambar III.8). Plot-silang yang dilakukan hanya
terbatas pada lima sumur, yaitu Suban-4, Suban-6, Suban-9, Durian Mabok-2 dan
Suban Baru A-1 karena keterbatasan data yang tersedia. Sumur SBB-1 dan SBU-1
TW tidak dilakukan analisis metana δ13D, sehingga pola distribusi kedua sumur
ini tidak bisa dilihat.
Hubungan antara pemecahan etana dan propana menunjukkan bahwa sampelsampel itu adalah gas-gas termogenik matang dan campuran gas biogenik dengan
tingkat kematangan di bawah 1,2% Ro (Gambar III.9).
Campuran gas didefinisikan sebagai proses fisik sederhana pencampuran gas dari
berbagai sumber yang berbeda. Campuran gas yang berada di daerah penelitian
menunjukkan bahwa terjadi pencampuran antara gas biogenik dan gas
termogenik. Campuran gas ini mengindikasikan proses pembentukan gas yang
berbeda dan sumber (origin) yang berbeda juga. Schoell (1983) menjelaskan
tentang konsep ko-genetik (co-source) pada gas, hal ini bisa diaplikasikan pada
gas yang berasal dari proses aktivitas bakteri dan termokimia pada tingkat alterasi
termal yang sama. Hal ini berbeda dengan gas yang berasal dari proses
pembentukan gas dan sumber yang berbeda atau lebih dikenal sebagai campuran
gas non-genetik.
Schoell (1983) berpendapat bahwa perubahan nilai isotop dan konsentrasi C2+
dapat dipengaruhi oleh dua proses yaitu proses primer dan proses sekunder.
36
Proses primer terdiri atas kematangan dan efek kinetik sedangkan proses sekunder
terdiri atas migrasi, pencampuran (mixing) dan oksidasi metana.
Gambar III.6 memperlihatkan bahwa pada area biogenik terdapat anomali dari
nilai C2+. Umumnya, gas biogenik memiliki nilai δ13CCH4 yang ringan (lebih kecil
dari -60‰) dan konsentrasi C2+ yang sangat rendah, namun hasil plot-silang
menunjukkan bahwa nilai C2+ pada daerah ini cukup tinggi atau lebih besar 5%.
Penambahan nilai C2+ ini disebabkan karena adanya proses migrasi gas
termogenik ke reservoir kemudian bercampur dengan gas biogenik yang sudah
terdapat di reservoir tersebut.
Pembentukan minyak bumi (oil generation) di cekungan Sumatera Selatan
diperkirakan berhubungan dengan tektonik miosen. Formasi Lahat / Formasi
Lemat dan Formasi Talang Akar merupakan batuan induk yang sangat berpotensi
untuk menghasilkan minyak bumi, karena memenuhi persyaratan kedalaman yang
cukup (5000 - 7400 kaki). Batuan induk berumur Oligosen – Miosen berada pada
sayap lipatan dengan kedalaman dan kemiringan yang besar dari Struktur Suban.
Batuan induk ini sedang atau telah melewati tahap jendela pembentukan gaskondensat.
Proses migrasi hidrokarbon di cekungan Sumatera Selatan diperkirakan
berhubungan dengan tektonik Plio-Pleistosen. Migrasi vertikal dan lateral terjadi
pada waktu yang sama. Migrasi vertikal dari batuan induk kearah batuan reservoir
yang dangkal dikontrol oleh sesar-sesar. Migrasi lateral dikontrol oleh kemiringan
lapisan.
37
Klasifikasi Genesis Gas menurut Schoell (1983)
LAPANGAN SUBAN
Suban‐4 Durian Mabok‐2 SBB‐1 DST#2
Suban‐6 Suban Baru A‐1 SBB‐1 DST#3
Suban‐9 SBB‐1 DST#1 SBU‐1 TW DST#1
SBU‐1 TW DST#2 SBU‐1 TW DST#3 Gambar III.6 Hasil plot-silang geokimia antara isotop karbon (metana) δ13CCH4 terhadap konsentrasi C2+.
38
Gambar III.7. Kombinasi data isotop metana δ13C dan etana δ13C dilakukan untuk
mengevaluasi hubungan ko-genetik antara komponen-komponen tertentu ini
dalam gas-gas murni.
39
Gambar III.8. Hubungan antara metana δ13D dan metana δ13C menunjukkan
kehadiran gas termogenik yang matang.
40
Gambar III.9. Hubungan antara etana δ13C dan propana δ13C menunjukkan
kehadiran gas termogenik yang matang dan campuran gas biogenik.
41
III.7.
Interpretasi asal mula karbon dioksida (CO2)
Penentuan asal mula CO2 merupakan salah satu objektif dalam karakterisasi
geokimia. Hunt (1995) menjelaskan bahwa asal mula CO2 dapat dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu mantel, metamorfik organik dan biogenetik. CO2 termogenik
yang berasal dari material organik mempunyai nilai δ13CCH4 yang lebih negatif
daripada CO2 yang berasal dari penyusunan ulang karbonat.
Suklis et al. (2004) meneliti asal mula dan distribusi CO2 di Blok Koridor
Cekungan Sumatera Selatan. Lapangan-lapangan gas dikelompokkan menjadi 3
(tiga) grup berdasarkan kandungan CO2, antara lain:
1. Group A mempunyai kandungan CO2 lebih kecil 20% mol (Lapangan Suban,
Gelam).
2. Group B mempunyai kandungan CO2 berkisar antara 20-40% mol (Lapangan
Dayung, Sambar, Sumpal, Rebonjaro)
3. Group C mempunyai kandungan CO2 lebih besar 40% mol
(Lapangan
Bungkal, Bungin, Rayun, Bentayan, Puyuh)
Suklis et al. (2004) memperkirakan bahwa sumber CO2 ini berasal dari aktivitas
mantel dan dekomposisi karbonat. Hal ini didasarkan pada hasil interpretasi nilai
δ13C CO2 yang diperoleh di Blok Koridor.
Komposisi isotop karbon yang stabil dari komponen CO2 yang ditemukan di
daerah penelitian menunjukkan nilai yang bervariasi antara -0,28% hingga
-14,15%. Hasil plot-silang menunjukkan bahwa CO2 berasal dari dua sumber
yaitu sebagai aktivitas mantel atau volkanik untuk sumur-sumur SBB-1,
SBU-1TW serta sumber biogenetik untuk sumur-sumur Suban-4, Suban-6,
Suban-9, dan Durian Mabok-2 (Gambar III.10).
42
Gambar III.10. Hubungan antara δ13CCH4 dan δ13CCO2 menunjukkan asal mula gas
CO2 di daerah penelitian (Studi Internal ConocoPhillips, 2003 dan Studi Internal
Pertamina, 2004).
43
Download