Bagaimana Kebijakan-Kebijakan Lingkungan Barat Menghambat Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara Berkembang James M. Roberts Backgrounder, No. 2509, January, 24, 2011, The Heritage Foundation Abstrak: Pemerintah dan perusahaan-perusahaan agribisnis besar semakin sering menggunakan gerakan lingkungan dan lengan kebijakan mereka dalam bentuk organisasi-organisasi nonpemerintah (LSM) hijau untuk menjustifikasi pembebanan hambatan-hambatan nontarif terhadap negara-negara berkembang. Kebijakan-kebijakan lingkungan yang salah arah dan proteksionisme “hijau” berkontribusi pada kemunculan kembali malaria di beberapa negara dan membahayakan jutaan lapangan kerja di negara-negara berkembang. Bahkan, mandat Bank Dunia dalam mendorong pembangunan tengah dihancurkan untuk melayani tujuan-tujuan lingkungan dan proteksionis. UE dan AS perlu menghapuskan kebijakan dan peraturan-peraturan proteksionis yang bertopengkan perlindungan lingkungan dan memfokuskan ulang Bank Dunia untuk mempromosikan perkembangan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan. Beberapa dekade yang lalu, penggunaan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) dilarang di seluruh dunia demi apa yang secara umum dipandang sebagai alasan-alasan lingkungan dan publik yang mulia dan tak terbantahkan. Saat ini, terdapat cukup bukti yang menunjukkan bahwa pelarangan penyemprotan DDT merupakan kesalahan yang tragis. Di negara-negara berkembang, pelarangan tersebut dikaitkan dengan jutaan kematian akibat malaria yang seharusnya dapat dihindarkan. Lebih parah lagi, beberapa sektor bisnis dan kelompok-kelompok aktivis Eropa yang bersifat proteksionis terus mengeksploitasi ketakutan akan DDT dalam cara-cara yang meningkatkan penderitaan kaum miskin di seluruh dunia. Sementara pelarangan DDT terus menimbulkan penderitaan yang tidak perlu, masyarakat di dunia berkembang sekarang harus menghadapi beban tambahan akibat berbagai macam kebijakan lingkungan dan perdagangan AS dan UE. Larangan UE akan produkproduk kehutanan dan minyak sayur dari wilayah tropis telah membahayakan jutaan lapangan kerja sektor swasta di negara-negara berkembang. UU Lacey AS, 1 yang melarang perdagangan margasatwa, ikan, dan tanaman “ilegal” memiliki efek yang sama. Kampanye-kampanye menyesatkan melawan organisme yang dimodifikasi secara genetik (GMO) oleh organisasi-organisasi nonpemerintah hijau dan kelompok-kelompok kepentingan pertanian Eropa telah meningkatkan resiko kelaparan jutaan orang untuk melindungi segelintir perusahaan agribisnis AS dan Eropa yang kaya raya. Sebagian usaha berbagai LSM hijau ini didanai oleh para pembayar pajak melalui hibah dari UE dan US Agency for International Development (USAID). Berbagai konsekuensi sedih ini sangat kontras dengan asumsi dan motif-motif mendasar yang melandasi kebijakan-kebijakan tradisional Barat dalam hal perdagangan, bantuan pembangunan, dan perlindungan lingkungan. Efek jahat dari kebijakan dan peraturanperaturan ini terhadap kebebasan dan pertumbuhan perekonomian negara-negara 1 berkembang terbukti dari dampak mereka (riil dan potensial) terhadap perdagangan dan aliran investasi, penciptaan lapangan kerja, dan perubahan dalam pendapatan per kapita. Hambatan-Hambatan Non-Tarif dan Kamuflase Lingkungan Pemerintah dan perusahaan-perusahaan agribisnis besar semakin sering menggunakan gerakan lingkungan dan lengan kebijakan mereka berupa LSM-LSM hijau untuk menjustifikasi pembebanan hambatan-hambatan non-tarif (NTBs) terhadap produsen di negara-negara berkembang selagi mereka menyusupi aturan-aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). NTBs telah menjadi kendaraan utama untuk mengenakan hambatan-hambatan perdangan yang menghambat kebebasan dan pertumbuhan ekonomi. Kecenderungan ini sebenarnya dimulai secara cukup tidak berdosa beberapa dekade yang lalu ketika Silent Spring (Musim Semi yang Sunyi), sebuah buku tulisan Rachel Carson, berujung pada pelarangan pestisida DDT secara hampir keseluruhan. DDT adalah pestisida yang paling efektif untuk membunuh nyamuk pembawa malaria. Analisis Carson mengklaim bahwa terdapat bahaya serius dari penggunaan DDT_klaim yang setelahnya terbukti cacat. Meskipun demikian, buku tersebut menjadi dokumen mendasar dalam penciptaan mitos environmentalisme modern. Para aktivis lingkungan yang bersemangat membujuk para pemerintah di seluruh dunia, pertama-tama untuk melarang DDT dan kemudian melarang serangkaian produk dan praktik-praktik lainnya yang mereka hubungkan dengan masalah-masalah lingkungan. Hal ini mencakup pembebanan NTBs hijau. Sejak saat itu, para aktivis lingkungan dan bisnis-bisnis-pengejar monopoli dan rente telah menjadi partner dalam melobi pemerintah-pemerintah untuk mengeluarkan peraturan dan regulasi-regulasi yang telah mendirikan NTBs secara de facto. Kampanye-kampanye hubungan masyarakat digunakan untuk mendemonisasi produk-produk tertentu atau untuk memasukkan standar ganda yang diskriminatif ke dalam hukum dan peraturan-peraturan UE dan AS yang relevan. Sebagai contoh, peraturan-peraturan UE dan AS secara sewenang-wenang telah mengkategorikan metode-metode produksi pertanian tertentu di negara-negara berkembang sebagai sesuatu yang “ilegal” atau sebagai “ancaman terhadap keanekaragaman.” Makalah ini mengkaji beberapa kampanye tersebut. Pelarangan DDT: Sebuah Prototipe Kebijakan yang Tragis Dibandingkan dengan insektisida modern, produksi DDT terbilang relatif mudah dan murah karena ia tidak pernah dipatenkan. DDT masih menjadi pestisida yang paling efektif untuk membunuh nyamuk pembawa malaria. DDT adalah salah satu senyawa kimia yang paling banyak dipelajari. Ia sedikit lebih beracun dibandingkan garam meja dan lebih tidak beracun dibandingkan nikotin, dan paparan lingkungan terhadap DDT belum pernah diketahui menyebabkan kematian atau penyakit manusia. Dimulai pada tahun 1940-an, penyemprotan DDT di kolam-kolam tempat nyamuk berkembang biak dan di dinding-dinding rumah hampir sepenuhnya memusnahkan malaria di Eropa dan Amerika Serikat pada tahun 60-an. Akan tetapi, berbagai hal mulai berubah pada tahun 1962, tahun di mana Rachel Carson mempublikasikan Silent Spring yang memuat tuduhan sensasional (tanpa mengajukan bukti) bahwa DDT akan mengakibatkan kepunahan burung-burung. 2 Meskipun analisis Carson kemudian terbukti cacat secara mendalam, 3 Silent Spring menjadi dokumen mendasar dalam penciptaan mitos environmentalisme modern. Mengutip buku Carson, para pendukung pelarangan DDT memperingatkan media dengan keras bahwa pelarangan DDT diperlukan untuk menyelamatkan populasi robin, elang botak, dan falkon peregrin. Para ilmuwan yang berbicara mendukung DDT dipandang sebagai agen korporasi. Sebagai indikasi dari tekanan politik yang dilakukan para aktivis lingkungan awal ini, UU pertama yang dikeluarkan Badan Perlindungan Lingkungan AS adalah UU yang melarang sebagian besar penggunaan DDT pada tahun 1972. USAID menyebarkan pelarangan DDT secara internasional dengan cara mengancam akan menghentikan bantuan luar negeri kepada negara yang menggunakannya. Para pemerhati lingkungan seperti Paul Ehrlich menyerang penggunaan DDT dalam program-program pengendalian malaria sebagai “ekspor pengendalian kematian” dari negara-negara kaya ke negaranegara miskin. Para aktivis mempertanyakan nilai pemusnahan malaria dengan menggunakan DDT berdasarkan argumen bahwa mengurangi kematian dari malaria berkontribusi pada “meledaknya populasi dunia.” 4 Pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, USAID mulai menggeser dana bantuan luar negeri dari pengendalian malaria menuju pendanaan program keluarga berencana, sebagian karena kekhawatiran akan populasi yang terlalu banyak. Seluruh alternatif pemusnahan malaria yang dipromosikan oleh para aktivis lingkungan_misalnya melalui penyediaan ikan yang memakan larva, pengelolan air, kelambu yang diberi insektisida, dan insektisida-insektisida yang “lebih aman”_terbukti kurang efektif, lebih mahal, dan dalam beberapa kasus lebih merusak lingkungan dibandingkan DDT. Pelarangan DDT menyebabkan konsekuensi yang tragis. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, “diperkirakan bahwa terdapat 247 juta kasus malaria dari 3,3 miliar manusia yang beresiko terkena di tahun 2006, menyebabkan hampir satu juta kematian, sebagian besar balita.” 5 Sejak keputusan untuk melarang DDT diambil, pertama-tama oleh Badan Perlindungan Lingkungan yang baru terbentuk pada tahun 1972, yang “secara efektif menghentikan penggunaan DDT di AS dan mengurangi penggunaannya di seluruh dunia” 6 _malaria telah muncul kembali di banyak negara yang sebelumnya telah berhasil memusnahkannya. Sebagai contoh, di Madagaskar, penyemprotan DDT mengurangi kasus malaria sebesar 90%, namun jumlah kasus meningkat tajam setelah penyemprotan DDT berhenti. Pada tahun 1964, Sri Lanka telah hampir berhasil sepenuhnya memusnahkan penyakit tersebut, akan tetapi malaria muncul kembali setelah penggunaan DDT diakhiri. 7 2 3 4 5 6 7 Beberapa NTB hijau pertama berkembang dari pelarangan DDT. Zimbabwe berhenti menggunakan DDT pada tahun 1990-an karena industri tembakaunya takut pasar internasional akan menolak produk-produknya jika mereka menemukan jejak DDT. Para pejabat UE menyampaikan ancaman terselubung bahwa UE akan menolak ekspor pertanian negara tersebut jika pemerintah menggunakan DDT untuk mengendalikan malaria. Hal ini membuat para eksportir Uganda menekan pemerintah untuk menghentikan penyemprotan. Korporasi-korporasi Barat yang terlibat dalam pemasaran insektida alternatif juga berkontribusi dalam kampanye anti-DDT. Sebagai contoh, eksekutif Bayer menganjurkan pelarangan DDT di Uganda, secara publik mengutip kemungkinan ancaman terhadap ekspor pangan negeri tersebut sementara mereka mengakui secara privat bahwa “Penggunaan DDT untuk kami adalah ancaman komersial.” 8 Meskipun DDT bukanlah obat untuk segalanya, ia memiliki prestasi yang lebih baik daripada berbagai intervensi malaria yang lain. Berhasilnya penentangan terhadap penggunaannya menyebabkan orang-orang meninggal akibat penyakit yang sebenarnya dapat dihindarkan. Taktik rasa takut yang digunakan oleh para aktivis lingkungan dan para pendukung mereka di media telah menghasilkan kepercayaan yang tidak terbukti secara ilmiah bahwa DDT berbahaya, yang kemudian mengarah pada tindakan politik yang tidak berlandaskan bukti ilmiah, seperti pelarangan DDT. Tragisnya, perang para aktivis lingkungan melawan DDT telah menjadi perang melawan kaum miskin dunia. Keturunan Pelarangan DDT: Proteksionisme Hijau Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya pengaruh kelompok-kelompok lingkungan di AS dan Eropa dari hasil publikasi mereka tentang DDT, mereka mulai menyusun targettarget baru. Salah satu target pertama mereka adalah organisme yang dimodifikasi secara genetik. Pada tahun 90-an, berbagai LSM hijau radikal meluncurkan kampanye besarbesaran, terutama di Eropa, untuk memblok impor makanan dari negara-negara berkembang yang diproduksi dengan menggunakan benih GMO. Mereka menggunakan taktik rasa takut dan ilmu pengetahuan rongsokan untuk mempertanyakan keamanan GMO dalam rantai suplai makanan global. Sektor pertanian Eropa yang tidak efisien dan disubsidi besar-besaran oleh uang para pembayar pajak juga memandang GMO sebagai ancaman ekonomi yang berujung pada perkawinan antara LSM-LSM hijau dan kaum proteksionis agribisnis. Berkat kemajuan bioteknologi, beberapa tanaman pangan dapat dihasilkan dari benih GMO yang lebih tahan terhadap herbisida. Dalam beberapa kasus, tanaman-tanaman itu sendiri menghasilkan protein yang dapat membunuh hama predator. Penerima hadiah Nobel dan perintis ilmiah terkemuka, Norman E. Borlaug, menulis bahwa “GMO dapat menjadi “penyelamat” negara-negara miskin dunia, “membebaskan mereka dari teknologi produksi yang telah usang, berproduksi rendah, dan lebih mahal.” 9 8 9 Terdesak oleh kampanye rasa takut LSM-LSM hijau melawan apa yang disebut sebagai “Frankenfoods,” (makanan monster), UE pada akhirnya melarang GMO pada tahun 2004. 10 Akan tetapi, banyak pihak di AS memandang kebijakan UE hanya sebagai hambatan non-tarif yang lain. Monsanto dan perusahaan-perusahaan pertanian AS yang lain telah lama memprotes kurangnya akses terhadap pasar-pasar Eropa dan terutama hambatan-hambatan terhadap produk-produk hasil bumi (cultivating crops). Pada tahun 2006, dalam “salah satu kasus terkini yang paling diperdebatkan dalam sejarah kebijakan perdagangan trans-Atlantik,” WTO mengeluarkan keputusan melawan hambatan-hambatan UE terhadap impor dan pengolahan tanaman hasil bumi yang dimodifikasi secara genetik. 11 Dalam beberapa tahun terakhir, UE telah mulai mencabut beberapa hambatannya terhadap GMO. Baru-baru ini, UE “secara diam-diam memberi lampu hijau kepada para petani untuk menanam kentang yang dimodifikasi secara genetik. Hal tersebut menandai titik awal persetujuan Brussel terhadap penanaman GMO sejak moratorium 12 tahun yang lalu.” 12 Bidang-Bidang Baru Proteksionisme Hijau Setelah sukses awal mereka melawan DDT dan GMO, para LSM hijau kini memperluas usaha mereka hingga mencakup seluruh sektor dalam perekonomian dunia. Target-target terbaru mencakup produk-produk hutan dan minyak sayur yang diproduksi di negaranegara berkembang yang diekspor ke negara-negara maju. Dalam tiap kasus, kampanye hubungan masyarakat yang tidak berimbang dari para LSM hijau tersebut telah meningkatkan keanggotaan mereka melalui peningkatan kesadaran publik dan telah menguntungkan para produsen di negara-negara maju. Beberapa bagian di bawah ini memaparkan secara detil beberapa kampanye LSM-LSM hijau ini. Produk Hutan Tropis. Para pembuat kebijakan Eropa dan LSM-LSM hijau telah menargetkan impor produk-produk hutan tropis. Sebagai contoh, The New York Times memuat tuduhan-tuduhan tidak berdasar dari Greenpeace bahwa konglomerasi bubur kertas, kertas, dan minyak sawit Indonesia memiliki rencana rahasia untuk menebangi “hutan-hutan esensial, termasuk habitat bagi harimau yang hampir punah.” 13 Mengajukan tuduhan pengrusakan ekologi yang serius, Greenpeace bersama World Wildlife Fund (WWF), Friends of the Earth, dan the Rainforest Action Network mengadvokasi pelarangan terhadap produk-produk dari Indonesia ini. Sementara itu, perusahaan-perusahaan di Eropa, Amerika Utara, dan Australia yang memproduksi komoditas-komoditas pertanian saingan melobi pemerintah-pemerintah mereka untuk menggunakan tabir proteksionisme hijau untuk membebankan hambatan-hambatan perdagangan terhadap produk-produk yang berharga lebih murah dari Asia. 10 11 12 13 Hal yang bahkan lebih serius dari kampanye hubungan masyarakat yang mencemari nama baik ini adalah upaya yang terus berjalan untuk membuat undang-undang dan peraturan untuk memblok impor produk-produk hutan. Sebagai contoh, Rencana Aksi Penegakan Hukum Hutan Tata Kepemerintaan dan Perdagangan UE (FLEGT) akan menyebabkan kerusakan jangka panjang terhadap banyak negara di seluruh dunia jika sepenuhnya diimplementasikan. Rencana Asi FLEGT 14 diperkenalkan pada tahun 2003 sebagai draft traktat dengan negara-negara berkembang yang memproduksi kayu tropis. Rencana Aksi ini memuat serangkaian ketentuan bagi perjanjian kemitraan sukarela di antara negara-negara berkembang dan UE di mana kedua belah pihak berkomitmen pada kebijakan-kebijakan pengadaan pemerintah yang hanya membeli kayu yang “dipanen secara legal.” Akan tetapi, rencana FLEGT yang bersifat suka rela ini tidak cukup bagi para kaum proteksionis Eropa. Pada tahun 2008, mereka dan mitra LSM-LSM hijau mereka mendorong regulasi-regulasi UE baru yang mengenakan beban tambahan proses investigaso (“due diligence”) bagi para importir produk-produk bubur kertas dan kertas Eropa untuk memastikan bahwa para pejabat UE menjadi pemutus final dari apa yang dapat disebut sebagai “kayu legal.” Kelesuan ekonomi global saat ini telah menimbulkan tekanan-tekanan proteksionis tambahan. Pada bulan Juli 2010, Parlemen Eropa memutuskan untuk menutup pasar UE bagi kayu “ilegal.” UU yang baru ini mencakup “keseluruhan rantai suplai kayu dari tempat-tempat pembalakan hingga konsumen Eropa [dan] bertujuan untuk memastikan akses produk-produk yang berasal dari sumber-sumber yang legal sementara menghentikan deforestasi di negara-negara ketiga.” 15 UU ini melarang import produk apapun yang dibuat dari kayu ilegal. Sebagai tambahan, UU tersebut mengenakan hukuman keras bagi produsen negara-negara berkembang yang, baik tahu ataupun tidak, memiliki kayu ilegal atau produk kayu ilegal dalam rantai suplai mereka. Klaim Pembalakan Liar yang Dilebih-Lebihkan? Laporan pembalakan liar yang masuk ke media, seringkali melalui upaya LSM-LSM hijau, tidak selalu dapat diandalkan. Faktanya, volume pembalakan liar secara internasional sangat mungkin telah dilebihlebihkan. Sebagai contoh, Australia sedang mempertimbangkan sebuah program yang serupa dengan FLEGT untuk mencegah dan mengurangi pembalakan liar. Hal tersebut kemungkinan akan memberikan efek proteksionis yang sama. Dalam argumentasi mereka, pemerintah Australia mungkin dipengaruhi oleh kelompok-kelompok seperti WWF, yang memperkirakan bahwa pembalakan liar menyusun lebih dari 70% produksi kayu di Indonesia dna Gabon dan 25% produksi kayu di Rusia. 16 Akan tetapi, sebuah laporan dari Centre for International Economics pada awal tahun 2010 menemukan bahwa pembalakan liar mungkin menyusun 5 hingga 10% dari 14 15 16 produksi kayu dunia. 17 Meskipun pembalakan liar sekecil apapun tetap tidak dapat diterima, kesenjangan di antara dua estimasi ini signifikan dan menimbulkan pertanyaan mengenai apakah data tersebut telah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Membebani yang Terlemah. Rencana Aksi FLEGT dijadwalkan akan diterapkan sepenuhnya pada tahun 2013, “mewajibkan para operator Eropa untuk menjalankan proses investigasi “due diligence” dan memastikan legalitas kayu dan produk-produk kayu yang memasuki pasar UE.” Persyaratan “due diligence” melangkah lebih jauh dengan mengatur “keseluruhan rantai suplai, termasuk negara di mana pemanenan dilakukan.” 18 Hal ini berarti negara manapun, misalnya Indonesia 19 yang membuat produk-produk kayu dengan menggunakan kayu dari negara lain harus menginvestigasi rantai pasokan mereka untuk memastikan kepatuhan. Beban ganda ini beresiko mengalienasi pasar-pasar pertumbuhan baru sementara pada waktu yang sama melindungi para produsen Barat yang berbiaya lebih tinggi dari persaingan asing. Kebijakan-kebijakan baru ini juga memerlukan dokumentasi legal dan terikat pada import biofuel di masa yang akan datang. 20 FLEGT juga menetapkan UE sebagai satu-satunya entitas legal yang dapat mengizinkan impor kayu atau produk kayu ke dalam teritori UE. Dengan menambahkan ketentuan “due diligence” pada rencana FELGTnya, Parlemen Eropa secara efektif memaksa para produsen di negara-negara berkembang untuk membuktikan bahwa seluruh produk mereka mematuhi ketentuan tersebut. Dengan demikian, beban pembuktian terletak di bahu dunia berkembang, bukan perusahaanperusahaan Barat yang mengimpor kayu dan barang-barang yang terbuat dari kayu. Efeknya, FLEGT menetapkan UE sebagai pemutus utama, tanpa naik banding ke WTO, mengenai apakah kayu atau produk kayu tertentu dari dunia berkembang legal. Para produsen di negara-negara berkembang yang bergantung pada ekspor untuk pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan persaingan ekonomi, harus membuktikan bahwa kayu mereka tidak dipanen secara ilegal dan bahwa seluruh kayu dan produk kayu dalam rantai pasokan mereka memenuhi aturan-aturan yang sama. Pada akhirnya, dengan mengenakan beban tambahan kepada apa yang seharusnya menjadi persaingan yang lebih murah di dunia berkembang, aturan-aturan FLEGT yang menyusahkan memberi para produsen kayu dan produk kayu Barat keunggulan kompetitif yang tidak akan diberi pasar bebas pada mereka. 21 UE mempertahankan FLEGT dengan menekankan bahwa “peraturan tidak membedabedakan antara [produk-produk] import dan [produk-produk] yang diproduksi secara domestik di Eropa, jadi ini bukanlah diskriminasi.” 22 Sebuah pernyataan yang berani mengingat bagaimana teknologi perekonomian Eropa jauh lebih maju dibandingkan para pesaing mereka di dunia berkembang. 17 18 19 20 21 22 Perang Hubungan Masyarakat Greenpeace dan LSM-LSM hijau lainnya menekankan “tanggung jawab sosial korporasi,” yang tampaknya mereka definisikan sebagai kebersediaan perusahaanperusahaan swasta, pemerintah, dna konsumen Barat untuk membiarkan agenda hijau mengalahkan praktik-praktik bisnis yang baik dan akal sehat. Akhir-akhir ini, LSM-LSM hijau telah menekan perusahaan-perusahaan multinasional Barat untuk mengingkari pembelian kertas dan produk-produk berbasis minyak sawit, dari kawasan tropis Asia. 23 Seperti halnya kayu dan kertas, minyak sawit yang diproduksi di sabuk khatulistiwa dihargai karena kualitasnya yang tinggi dan harganya yang murah. Akan tetapi, kaum hijau radikal menentang adanya perkembangan komersial apapun di kawasan tropis, yang ingin mereka pertahankan sebagai alam liar yang murni. Oleh karena itu, mereka menyerang perusahaan-perusahaan multinasional tersebut, menuduh mereka merusak hutan hujan tropis dan menghancurkan habitat orang utan, harimau, dan berbagai spesies lain yang hampir punah. 24 Langkah pertama ini berhasil. Procter&Gamble, raksasa makanan global Nestle, dan Unilever baru-baru ini membekukan impor minyak sawit dari Asia. Peritel Wal-Mart dan Carrefour diserang karena membeli barang-barang kertas dari kawasan Asia, dan bank besar HSBC ditekan untuk menghentikan proyek-proyek pembangunan ekonomi di Indonesia, Malaysia, dan negara-negara berkembang lainnya. 25 Para peritel telah berganti peran dari target para LSM hijau menjadi partisipan aktif dalam kampanye hijau untuk mendemonisasi kebijakan-kebijakan pasokan perusahaan-perusahaan multinasional hingga akhirnya mereka menyerah. Para peritel Barat membantu penawaran LSM-LSM hijau seperti Greenpeace, the Rainforest Action Network, dan WWF sementara para LSM tersebut mendikte agenda lingkungan di seluruh dunia. Sebagai contoh, Unilever meluncurkan kampanye untuk memaksa para penanam kelapa sawit untuk mengadopsi persyaratan-persyaratan keberlanjutan yang dipengaruhi oleh kaum environmentalis yang akan melarang konversi lebih jauh lahan hutan untuk pembangunan. 26 Standar-standar keberlanjutan ini akan berdampak negatif bagi para petani kecil (smallholder) di Afrika dan Asia dan selanjutnya menghambat kemakmuran ekonomi di kalangan kaum miskin dunia berkembang. Para produsen minyak sayur Eropa, yang tidak menyukai persaingan dari Asia, adalah pendorong utama di belakang kampanye-kampanye antipembangunan yang dipimpin oleh LSM-LSM hijau. Para pembuat keputusan Eropa tahu bahwa proteksionisme ilegal di dalam peraturanperaturan WTO, tapi mereka berusaha untuk memblok impor atas alasan-alasan lingkungan dan hubungan masyarakat. Negara-negara UE mendukung kelompokkelompok hijau radikal yang kemudian mendemonisasi perdagangan barang-barang asing. Apa yang tidak dapat dilakukan para pembuat keputusan Eropa secara legal di 23 24 25 26 pengadilan-pengadilan perdagangan global mereka coba lakukan di pengadilan opini publik. Ketentuan Energi yang Dapat Diperbarui Ketentuan Energi yang Dapat Diperbarui UE (RED) adalah salah satu contoh usaha Komisi Eropa untuk mengenakan kebijakan-kebijakan lingkungan mereka di luar batas, membatasi ekspansi pertanian, dan menghambat kemampuan negara-negara berkembang untuk mengelola sumber daya mereka. 27 Mengabaikan bukti-bukti yang mendukung keberlanjutan tanaman seperti tebu dan kelapa sawit, Komisi Eropa telah berupaya mengenakan kriteria keberlanjutan yang sewenang-wenang tanpa basis ilmiah yang kuat. Kriteria-kriteria ini membatasi kemampuan para produsen untuk mengekspor ke UE. Sektor minyak sayur sangatlah kompetitif; para produsen canola Eropa tidak dapat bersaing secara internasional. 28 RED menerapkan nilai “default” terhadap berbagai macam sumber biofuel sebagai sarana untuk mengidentifikasi biofuel mana yang menawarkan tabungan Gas Rumah Kaca (GRK) yang cukup untuk mencapai minimal 35% tabungan GRK dibandingkan dengan bahan bakar fosil alternatif yang disyaratkan oleh ketentuan tersebut. Minyak sawit, meskipun diberi salah satu tingkat tabungan GRK tertinggi di antara biofuel lainnya, tidak masuk hitungan karena ketentuan tersebut menetapkan standar ganda dan menetapkan tingkat tabungan GRK default palm oil hanya sebesar 19%. Hal ini bertentangan dengan penilaian keberlanjutan kelapa sawit yang lain dan ditujukan untuk memberi keuntungan pada biofuel Eropa_produk dari canola.29 Komisi Eropa telah mengadakan konsultasi mengenai alih fungsi lahan secara tidak langsung sebagai kriteria untuk biofuel. Memperkenalkan kriteria-kriteria ini dapat menghambat negara-negara berkembang untuk memperluas lahan pertanian mereka, yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi, juga menerapkan sebuah kriteria yang tidak didukung secara ilmiah atau yang dapat diukur secara pasti. Upaya-upaya untuk membatasi konversi lahan juga mengabaikan pertumbuhan populasi di depan mata dan kebutuhan yang tidak terhindarkan akan lebih banyak lagi pangan yang akan menyaratkan ekspansi pertanian. Membatasi kemampuan negara-negara berkembang untuk mengembangkan dan memperluas produksi pertanian mereka mengabaikan bagaimana Barat juga mengambil keuntungan dari ekspansi pertaniannya sendiri. Perkembangan pertanian memberikan kemakmuran bagi Barat dan telah menguntungkan Eropa dan AS. Hal tersebut berpotensi memberikan keuntungan yang sama bagi negara-negara berkembang. 30 Akan tetapi, RED bersifat proteksionis dan melanggar aturan-aturan WTO. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) mensyaratkan perlakuan yang sama untuk semua produk yang “sama.” 31 Karena biosolar kelapa sawit tidak berbeda dengan biosolar canola, menghambat akses kelapa sawit ke dalam pasar yang sama sementara mengizinkan canola masuk adalah sebuah pelanggaran. 27 28 29 30 31 Sebagai tambahan, terdapat argumen bahwa kriteria keberlanjutan dan nilai default adalah sesuatu yang legitimate di dalam pengecualian umum (general exception) dalam Pasal XX GATT. 32 Meskipun demikian, keputusan-keputusan WTO yang sebelumnya telah mengharuskan pengecualian-pengecualian tersebut untuk menunjukkan hubungan langsung dengan perilaku yang ingin dicegah atau efek yang ingin dihindarkan. Hal ini tidak berlaku untuk kelapa sawit dan menghambat perkembangannya mungkin akan menimbulkan efek lingkungan yang merugikan di negara-negara berkembang. 33 Sementara Eropa dan AS berjuang di tengah ketidakpopuleran peningkatan biaya dan regulasi industri-industri domestik yang dibebankan oleh kebijakan-kebijakan lingkungan, mereka mencoba mengekspor kebijakan-kebijakan mereka kepada negaranegara berdaulat yang bergantung pada bantuan dan perdagangan internasional. Hal ini memuaskan para aktivis lingkungan di dunia maju, namun menghilangkan peluang negara-negara berkembang. Pendanaan Pemerintah terhadap LSM-LSM Hijau Di antara fenomena paling mengkhawatirkan yang dihubungkan dengan meningkatnya proteksionisme hijau adalah meningkatnya kaitan antara LSM-LSM hijau dan sekutusekutu mereka di dalam pemerintahan negara-negara maju. Sejumlah kelompok lingkungan dan LSM-LSM lain telah membentuk aliansi dengan direktorat-direktorat Komisi Eropa, badan-badan pemerintahan AS, dan perusahaan-perusahaan agribisnis AS dan Eropa. Komisi Eropa dan sejumlah negara anggota UE meneydiakan dukungan finansial yang substansial terhadap LSM-LSM hijau. Di antara tahun 1998 dan 2009, Komisi Eropa memberikan lebih dari 66 juta Euro untuk para LSM lingkungan. Pada tahun 2009, pendanaan ini menyusun lebih dari 50% pendanaa tahunan Friends of the Earth Eropa dan lebih dari 600.000 Euro diberikan kepada WWF Eropa pada tahun 2009. 34 Dapat diprediksi bahwa LSM-LSM hijau yang menerima paling banyak bantuan pemerintah merupakan penentang terbesar pertanian perkebunan di negara-negara berkembang. WWF adalah LSM hijau yang paling antagonistik terhadap minyak sawit dan produk-produk kehutanan dari negara-negara berkembang. Kampanye mereka, yang tidak secara langsung mendukung industri-industri domestik Eropa, tak diragukan lagi membantu mempermalukan para pesaing asing mereka di wilayah tropis. Sebagai contoh, menurut laporan Taxpayers’ Alliance, 35 the European Environmental Bureau, sebuah LSM Eropa yang secara vokal menentang biofuel yang dibuat dari minyak sawit yang diimpor dari daerah tropis menerima sebagian besar dana dari Komisi Eropa, lebih dari 800.000 poundsterling dalam dua tahun terakhir. 36 Sementara itu, pada 32 33 34 35 36 tahun 2009-2010, Foreign and Commonwealth Office Inggris membayar 342.929 poundsterling kepada WWF Inggris, pembayaran terbesar dari tipe ini. 37 USAID juga telah memberikan jutaan dollar dalam bentuk hibah kepada LSM-LSM hijau. Dalam tahun fiskal 2009, lembaga tersebut menyediakan 12 juta dollar AS kepada Nature Conservancy, 10 juta dollar kepada WWF, dan 4,6 juta dollar kepada Rainforest Alliance. 38 Pendanaan pemerintah untuk LSM-LSM hijau tersebut merupakan penggunaan uang pembayar pajak yang sangat tidak sesuai. Pengkhianatan di Inggris? Caroline Spelman, Secretary of State di Departemen Lingkungan, Pangan, dan UrusanUrusan Pedesaan, mengumumkan pada bulan Juli 2010 bahwa departemennya akan mengkaji penggunaan minyak sawit di Inggris.39 Kajian ini ditujukan untuk memetakan penggunaan privat dan publik dari minyak sawit di seluruh Inggris dan mengkaji bagaimana penggunaan minyak sawit di Inggris berkontribusi pada deforestasi di negaranegara yang memproduksi kelapa sawit.40 Ketika mengumumkan kajian tersebut, Spelman membuat pernyataan yang salah bahwa deforestasi terutama disebabkan oleh industri kelapa sawit dan bahwa kajian tersebut akan menguntungkan produsen dan konsumen sekaligus. Ia tidak pernah menjelaskan bagaimana produsen dan konsumen akan diuntungkan dengan adanya hal ini. Ironisnya, baru-baru ini Spelman mengumumkan keputusan untuk menjual sebagian besar lahan hutan Inggris yang dikuasai secara publik. 41 Keputusan ini mungkin merupakan sesuatu yang logis, tapi juga munafik, dan merupakan ilustrasi vulgar dari imperialisme hijau. Sementara Inggris berupaya meningkatkan keuangannya, negara tersebut mengakui manfaat dari menggunakan sumber daya alamnya secara lebih efisien, namun menyangkal hak yang sama tersebut kepada negara-negara berkembang. Forest Stewardship Council dan Sertifikasi FSC Didirikan pada tahun 1993, Forest Stewardship Council (FSC) didanai oleh hibah negara UE dan lusinan LSM hijau, termasuk WWF, Foundation for Ecological Research in the Northeast (FERN), Friends of the Earth, Greenpeace, dan the National Wildlife Federation di AS. 42 FSC mengklaim diri sebagai “organisasi nirlaba nonpemerintah yang independen, yang didirikan untuk mempromosikan pengelolaan yang bertanggung jawab dari hutan dunia…sebagai tanggapan terhadap masalah-masalah deforestasi global.” 43 Akan tetapi, sejak pendiriannya, sertifikasi FSC telah berkembang menjadi sebuah skema yang secara melindungi kepentingan para produsen kertas Barat secara tidak proporsional di atas kerugian dunia berkembang. Meskipun segelintir publik akan menempatkan hasrat mereka akan barang-barang yang berkelanjutan di atas pertimbangan harga dan kualitas, tidak adanya sertifikasi FSC dapat 37 38 39 40 41 42 43 merusak citra produk sebuah perusahaan. Akibat kampanye pencemaran nama baik yang diluncurkan oleh LSM-LSM hijau untuk menodai nama peritel yang tidak menggunakan barang-barang yang tidak disertifikasi FSC, banyak perusahaan Barat kini hanya mengimpor produk-produk kayu yang bersertifikasi FSC. 44 Meskipun pada awalnya didirikan untuk mengatasi permasalahan pembalakan liar di negara-negara berkembang, sertifikasi FSC telah menciptakan beban baru yang memberatkan bagi para perusahaan di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, sertifikasi FSC mensyaratkan para produsen untuk menyediakan rencana manajemen terkini yang cermat dan memonitor kondisi hutan. 45 Dengan demikian, para LSM ini merusak upaya untuk memperkuat perekonomian negara-negara berkembang melalui penciptaan lapangan kerja sektor privat. Lebih jauh lagi, publik seringkali lupa bahwa Barat yang secara teknologi lebih maju menghadapi beban yang lebih ringan dan lebih sedikit dalam upaya-upaya berkelanjutannya sendiri dibandingkan dengan para produsen di negara-negara berkembang yang dibebani sertifikasi FSC yang memberatkan. 46 Meskipun dalam satu dekade ini FSC tengah disoroti karena standar yang “longgar” dalam menentukan apakah suatu produk dapat diterima sebagai berkelanjutan, standar ini adalah standar yang sama yang memungkinkan produk-produk dari negara-negara berkembang untuk memasuki perekonomian Barat yang jauh lebih besar. 47 Laporan National Wildlife Federation: Lampu Merah untuk AS? Laporan terkini dari National Wildlife Federation 48 ditulis oleh beberapa aktivis dari WWF dan kelompok-kelompok linkungan lainnya yang sejak lama menentang perkebunan kelapa sawit. Meskipun laporan tersebut 49 mencakup daftar keuntungan yang didapat dari ekspor minyak kelapa sawit ke AS_misalnya lapangan kerja pedesaan yang lebih tinggi di negara-negara berkembang, hasil panen yang lebih tinggi, dan banyaknya kegunaan minyak kelapa sawit di berbagai kelompokbarang_para aktivis lingkungan dapat menggunakan laporan tersebut untuk menuntut pelarangan import minyak kelapa sawit ke AS. Jika hal ini terjadi, berarti LSM-LSM hijau berhasil mempersuasi AS untuk meniru Ketentuan Energi yang Terbarukan UE yang bersifat proteksionis. Dengan demikian, mereka akan mendapati diri berkolusi dengan tipe-tipe kekuatan proteksionis yang sangat besar dalam sektor agribisnis AS yang beroperasi di Eropa. Fatanya, referensi-referensi dalam laporan the National Wildlife Federation (NWF) dapat mengindikasikan bahwa kolusi ini telah dimulai. Sebagai contoh, laporan ini mencatat bahwa “AS dan Kanada terutama mengandalkan produksi domestik kedelai, jagung, dan canola untuk minyak memasak,” namun minyak kelapa sawit merupakan “pengganti 44 45 46 47 48 49 yang atraktif” bagi minyak sayur domestik karena beberapa alasan, termasuk harga. 50 Dengan banyaknya contoh negatif tentang kelapa sawit, laporan NWF dapat menjadi landasan bagi terciptanya potensi kolusi di antara perusahaan-perusahaan agribisnis AS dan LSM-LSM lingkungan AS, mungkin dalam bentuk kampanye untuk mempermalukan para produsen kelapa sawit dan untuk memblok perdagangannya ke Amerika Utara. Amandemen Terkini terhadap UU Lacey AS Amandemen-amandemen terkini terhadap UU Lacey yang telah berusia 100 tahun memberdayakan pemerintah federal AS untuk melarang impor kayu dan produk-produk kayu ilegal, kemungkinan besar menerapkan persyaratan “due diligence” yang sama yang baru-baru ini diterapkan oleh UE. 51 Pada kenyataannya, regulasi-regulasi baru ini, yang dikenakan atas nama perlindungan lingkungan, semata-mata merupakan hambatan tambahan untuk memasuki pasar AS. Persyaratan kepatuhan yang baru ini menyatakan bahwa kemajuan ekonomi yang sama di dunia Barat adalah norma di negara-negara berkembang, di mana sebagian besar impor produk kayu berasal. Karena produk-produk kayu asli AS tidak diharuskan memenuhi persyaratan-persyaratan baru ini, Kongres AS telah secara de facto mensubsidi produk-produk domestik yang berkaitan dengan kayu. 52 Hal ini secara esensial membalikkan spesialisasi ekonomi yang telah ada sejak dulu. Alih-alih negara eksportir produk kayu dengan keunggulan kompetitif tertinggi, keunggulan kompetitif terletak di tangan para produsen di negara-negara yang memiliki posisi terbaik untuk mempengaruhi prosedur bea masuk AS dan UE. Kepatuhan penuh terhadap UU Lacey yang telah direvisi telah menambah beban regulasi pasar produk hutan. Persyaratan “due diligence” yang mahal menempatkan para pesaing dari negara-negara berkembang, yang pada awalnya memiliki keuntungan komparatif karena tenaga kerja yang lebih murah dan sumber daya yang lebih banyak, kini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Proteksionisme hijau ini tengah berada dalam kondisinya yang paling prima. Atas nama melindungi lingkungan, pemerintah Barat mengeluarkan peraturan-peraturan baru yang hanya berlaku untuk negara-negara eksportir tanpa mensyaratkan produk-produk domestik untuk memenuhi peraturan yang sama. Ketika rantai pasokan untuk produkproduk kayu mensyaratkan pemenuhan daftar hal yang dipengaruhi Barat dan kroni-kroni kapitalis sebelum impor dapat dimulai, para produsen di AS dan UE akan berpindah ke tempat lain untuk mendapatkan input-input manufaktur mereka. 53 Salah satu permasalahan terbesar dari UU Lacey adalah implementasinya yang tidak merata. Sementara beberapa produsen di dunia berkembang berusaha untuk memenuhi UU tersebut, produsen-produsen lain tidak terikat olehnya. Menurut seorang juru bicara Kementerian Kehutanan Indonesia: Mengharapkan atau meminta sebuah negara untuk memerangi pembalakan liar sementara pada waktu yang sama menerima impor kayu ilegal tidaklah mendukung upaya-upaya 50 51 52 53 untuk memerangi kejahatan hutan ini. Negara-negara produsen dan konsumen kayu tropis harus berbagi tanggung jawab dalam memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu yang diasosiasikan dengannya. 54 Pada faktanya, hanya beberapa negara yang terpengaruh oleh peraturan-peraturan baru ini sementara negara-negara lain lepas darinya. Hal ini merupakan subsidi terhadap negaranegara yang mengekspor produk-produk kayu ilegal seperti China 55 dan para produsen kayu domestik yang tidak terikat oleh amandemen baru UU Lacey. Kebijakan Bank Dunia: Meletakkan Lingkungan Sebelum Kaum Miskin? Pada bulan September 2009, setelah berbagai tuduhan dari LSM lingkungan bahwa Wilmar International, sebuah konglomerasi yang mengoperasikan perkebunan kelapa sawit, mengabaikan hukum dampak sosial dan lingkungan, Korporasi Finansial Internasional Bank Dunia membekukan seluruh pendanaan proyek pembangunan yang berkaitan dengan kelapa sawit, membekukan 132 juta dollar untuk berbagai proyek yang ada. 56 Meskipun Wilmar ditemukan bersalah melanggar aturan-aturan IFC, tidak ada bukti bahwa ia melanggar hukum nasional atau internasional. Akan tetapi, menyerah pada tekanan LSM hijau, pengumuman Presiden Bank Dunia Robert Zoellicks mengindikasikan bahwa tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kriteria keberlanjutan LSM yang sewenang-wenang. 57 Hal ini jelas bertentangan dengan mandat pembangunan Bank Dunia dan mensubordinasikan pengentasan kemiskinan terhadap environmentalisme. Bank Dunia diharapkan akan mengumumkan kerangka pendanaan kelapa sawitnya pada akhir bulan November 2010, namun kerangka waktu ini ditunda selama beberapa kali. 58 Kerangka kerja yang telah direvisi akhirnya diumumkan pada awal Januari 2011 bersama dengan periode komentar selama 30 hari untuk para pemangku kepentingan dan pengamat untuk menanggapi kerangka tersebut. 59 Pemberitaan media terakhir mengindikasikan bahwa Bank Dunia akan berkomitmen untuk menerapkan kriteria keberlanjutan terhadap pinjaman bagi pengembangan kelapa sawit, 60 sesuatu yang bertentangan dengan mandata Bank Dunia untuk mengentaskan orang-orang dari kemiskinan melalui perkembangan ekonomi. Berbagai bukti yang ada tidak mendukung klaim Bank Dunia bahwa kriteria-kriteria lingkungan ini akan bermanfaat bagi negaranegara berkembang. 61 Sebagai contoh, pada bulan Oktober 2010, lebih dari satu tahun setelah Bank Dunia membekukan pendanaan proyek-proyek pembangunan kelapa sawit, dilaporkan bahwa Bank Dunia juga menahan dana investasi sebesar 123 juta dollar AS untuk mendukung sektor kelapa sawit di Nigeria dan negara-negara Afrika lainnya. 62 Kerangka baru diharapkan akan diserahkan kepada Dewan Manajemen Kelompok Bank Dunia untuk disetujui pada bulan Maret 2011. 54 55 56 57 58 59 60 61 62 Dalam KTT Konvensi Keanekaragaman Hayati di Nagoya, Jepang, pada bulan Oktober 2010, Zoellick memastikan komitmennya untuk menerapkan standar-standar keberkelanjutan dalam pinjaman dan program-program pembangunan, 63 dengan memprioritaskan tujuan-tujuan lingkungan di atas pengurangan kemiskinan. Dalam tulisannya di Guardian, Zoellick memperkuat komitmennya untuk membatasi konversi hutan dan untuk menyelamatkan harimau, meskipun tetap mengakui bahwa perambahan ilegal adalah sesuatu yang harus dipersalahkan. 64 Dukungan Zoellick terhadap kontrol perdagangan internasional untuk menyelamatkan berbagai spesies yang berada di ambang kepunahan merupakan posisi yang kontroversial untuk seorang presiden Bank Dunia. Dengan mengadvokasi isu-isu tersebut ia tampak bergerak mendekati tuntutan WWF akan adanya “tata kepemerintahan global yang hijau” untuk menyelamatkan lingkungan. Contoh-contoh ini menunjukkan terjadinya pembalikan mandat Bank Dunia. Pada intinya, para LSM hijau berusaha mengubah Bank Dunia menjadi versi global dari Badan Perlindungan Lingkungan AS. Bank Dunia telah memberikan preseden dengan mengikuti kebijakan pembangunan yang diinginkan para LSM. Aliansi Bank Dunia/WWF untuk Konservasi dan Pemanfaatan Hutan yang Berkelanjutan didirikan pada tahun 1998 dengan tujuan tunggal untuk mempromosikan konservasi. Meskipun mandat Bank Dunia untuk mempromosikan perkembangan ekonomi dan pengentasan kemiskinan disebutkan di dalam Web site aliansi tersebut, pentingnya hal tersebut secara jelas disubordinatkan terhadap upayaupaya untuk membatasi ekspansi pertanian dan kehutanan.65 Anggota Kongres telah mulai mengkritisi kebijakan Bank Dunia dan pergeserannya menuju peraturan lingkungan. Beberapa Anggota Kongres baru-baru ini mengekspresikan keprihatinan mereka dalam sebuah surat yang dialamatkan kepada Zoellick bahwa “pertimbangan-pertimbangan kembali Bank Dunia terhadap kebijakankebijakannya yang pro-pertanian sangat mengkhawatirkan mengingat kesuksesan ekonomi dari model pembangunan ini.” 66 Apa yang Harus Barat Lakukan Barat dapat mengambil langkah-langkah untuk membalikkan arus kerusakan yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan lingkungan yang salah arah: 63 64 65 66