BAB II FONEMIK A. Pendahuluan Setelah fonetik Jepang dibahas

advertisement
BAB II
FONEMIK
A. Pendahuluan
Setelah fonetik Jepang dibahas pada bab sebelumnya, maka pada bab ini akan
dibahas mengenai fonemik Jepang. Seperti yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya, fonemik Jepang adalah ilmu yang memaparkan fungsi, kedudukan, dan
kondisi yang diperlukan dari tiap-tiap bunyi bahasa Jepang di dalam tata bunyi secara
keseluruhan.
B. Fonem dan Bunyi Bahasa
Dalam fonemik terdapat istilah fonem, alofon, dan bunyi bahasa. Berikut
penjelasannya.
Fonem, dalam bahasa Jepang disebut onso (音素) adalah satuan bunyi terkecil
berwujud abstrak dengan ciri pembeda fonetis tertentu yang berfungsi membedakan
makna dalam bahasa lisan, dan merupakan kristalisasi dari beberapa bunyi konkrit
sebagai alofon dalam tata bunyi suatu bahasa. Jadi, bunyi konkrit alami disebut alofon
dan fonem adalah satuan bunyi yang diciptakan ahli sehingga berwujud abstrak,
karena keberadaan fonem ada di dalam benak pikiran penutur dan di dalam
masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, fonem sering
dikatakan memiliki satu atau beberapa alofon, atau kebalikannya, satu atau beberapa
alofon membentuk fonem. Jika meminjam konsep induk dan anak, maka fonem
adalah induknya dan alofon adalah anaknya.
Bunyi bahasa, dalam bahasa Jepang disebut onsei (音声), adalah bunyi yang
dihasilkan dari alat-alat ucap mulut yang memiliki ciri baku (cara pengucapan dan
sebagainya) yang sudah mengalami proses ketetapan secara konvensi di masyarakat.
Untuk melihat apa dan bagaimana bunyi bahasa itu, dapat dilihat dalam contoh kata
bahasa Jepang dan bahasa Indonesia berikut ini.
Bila telinga orang Indonesia menangkap ucapan orang Jepang dalam
mengucapkan kata ‘raamen’ yang ditulis dengan ラーメン, maka akan terdengar dua
versi pengucapan, yaitu:
o [ra:meŋ] konsonan tril dengan suara getar di ujung lidah
o [la:meŋ] konsonan lateral tanpa suara getar di ujung lidah
Di lain pihak, menurut orang Jepang sendiri, kata tersebut akan diucapkan dengan dua
versi pengucapan, yaitu:
o [ra:meN] bunyi getar di ujung lidah berkali-kali
o [ɼa:meN] bunyi kepakan dengan satu kali getar di ujung lidah
Sebaliknya, bila telinga orang Jepang menangkap ucapan orang Indonesia
dalam mengucapkan kata ‘rabu’ dan ‘labu’, maka akan terdengar sama oleh orang
Jepang. Padahal konsonan awal kata pada pengucapan kedua kata itu jelas berbeda.
Kata ‘rabu’ berucapan konsonan tril yang bercirikan penggetaran di ujung lidah, dan
kata ‘labu’ berucapan konsonan lateral yang bercirikan suara desis samping lidah
tanpa adanya penggetaran di ujung lidah. Satu sama lain tidak bisa dicampurbaurkan,
karena masing-masing memiliki ciri pengucapan sendiri yang bersifat membedakan
makna. Karena mampu membedakan makna, konsonan tril dan lateral pada kata
‘rabu’ dan ‘labu’, disamping merupakan bunyi bahasa, juga berfungsi sebagai fonem
dalam tata bunyi bahasa Indonesia.
Uraian di atas merupakan kasus konsonan /r/ dan /l/ yang dibedakan dalam
bahasa Indonesia, tetapi tidak dibedakan dalam bahasa Jepang. Berikut ini adalah
kasus yang terbalik dimana dibedakan dalam bahasa Jepang tetapi tidak dibedakan
dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kata ‘obasan’ yang ditulis おばさん dan kata
‘obaasan’ yang ditulis おばあさん. Kedua kata ini bila diucapkan akan menjadi
‘obasan’ diucapkan [obasaN], sedangkan ‘obaasan’ diucapkan [oba:saN].
Kata ‘obasan’ diucapkan dengan vokal pendek [a] dan kata ‘obaasan’
diucapkan dengan vokal panjang [a:]. Telinga orang Indonesia yang mendengar kedua
vokal itu akan sulit membedakannya, karena dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan
pembedaan panjang pendeknya vokal. Tetapi, pada kedua kata bahasa Jepang di atas,
ternyata ciri tempo pengucapan yang secara fisik menjadi vokal yang diucapkan
relatif pendek dan vokal yang diucapkan relatif panjang adalah berbeda sekali.
Dengan kata lain, dalam bahasa Jepang, panjang pendeknya vokal membawa akibat
kepada perbedaan makna. Oleh karena itu, vokal pendek seperti /a/ dan vokal panjang
seperti /a:/, disamping merupakan bunyi bahasa, juga berfungsi sebagai fonem dalam
tata bunyi bahasa Jepang.
C. Fonem, Alofon, dan Distribusinya
Seperti yang telah diuraikan di atas, fonem adalah satuan bunyi yang abstrak
hasil konsepsi manusia dan ditemukan berada di dalam benak penuturnya baik secara
individu maupun secara kelompok sosial masyarakat. Fonem akan mengambil bentuk
bunyi bahasa yang konkrit, yaitu alofon atau dalam bahasa Jepang disebut ion (異音).
Fonem bisa mengambil bentuk satu alofon atau beberapa alofon. Berikut contoh
fonem yang menjadi satu alofon dan beberapa alofon.
 Fonem yang menjadi satu alofon, misalnya:
o Bahasa Indonesia:
 ‘rabu’ fonem /r/ alofon [r]
 ‘labu’ fonem /l/ alofon [l]
o Bahasa Jepang:
 ‘obasan’ fonem /a/ alofon [a]
 ‘obaasan’ fonem /a:/ alofon [a:]
 Fonem yang menjadi beberapa alofon, misalnya:
o Bahasa Indonesia:
fonem letup /k/ pada akhir kata ‘tembok’ memiliki tiga variasi ucapan,
yaitu:
 [tεmbɔk”] konsonan letup velar yang tidak meletup keluar,
 [tεmbɔk’] konsonan letup velar yang meletup keluar,
 [tεmbɔʔ] konsonan letup glotal.
Jadi, fonem letup /k/ memiliki tiga alofon, yaitu: [k”], [k’], [ʔ]
o Bahasa Jepang:
fonem likwida pada kata ‘raamen’ memiliki tiga variasi ucapan, yaitu:
 [ra:meN] konsonan tril dengan getaran berkali-kali,
 [ɼa:meN] konsonan flap dengan getaran satu kali,
 [la:meN] konsonan lateral tanpa getaran.
Jadi fonem likwida /r/ memiliki tiga alofon, yaitu: [r]. [ɼ], [l].
Kehadiran alofon tidak sembarangan. Alofon muncul pada posisi-posisi
tertentu yang ditempati fonem bersangkutan. Posisi tertentu pada pengucapan kata
yang diduduki fonem hingga menentukan kehadiran alofon tertentu sebagai bentuk
konkrit dari fonem bersangkutan disebut distribusi alofon, yang terdiri dari dua
macam, yaitu:
a. Distribusi Komplementer adalah distribusi alofon pada posisi tertentu yang
hanya memungkinkan kehadiran satu alofon saja. Distribusi komplementer
dapat dilihat pada kata ‘rabu’ dan ‘labu’ yang hanya memiliki satu alofon
yaitu [r] dan [l].
b. Distribusi Variasi Bebas adalah distribusi alofon pada posisi tertentu yang
memungkinkan kehadiran beberapan alofon tanpa membedakan makna.
Distribusi variasi bebas dapat dilihat pada kata ‘raamen’ yang memiliki tiga
alofon, yaitu [r]. [ɼ], [l].
D. Analisis Pasangan Minimal
Analisis pasangan minimal adalah teknik menemukan fonem dengan
menggunakan pasangan minimal. Pasangan minimal adalah dua kata yang maknanya
berbeda tetapi ucapannya paling tidak berbeda pada satu ciri fonetis, sehingga secara
akustis amat mirip karena memiliki lingkungan fonetis yang sama.
Dalam bahasa Indonesia, misalnya kata ‘rabu’ dan ‘labu’. Kedua kata ini
merupakan dua kata yang memiliki ucapan dan makna yang berbeda namun memiliki
lingkungan fonetis yang sama, yaitu [_abu]. Kata lain dalam bahasa Indonesia yang
berada dalam lingkungan fonetis yang sama dengan kata ‘rabu’ dan ‘labu’, adalah
kata ‘babu’ dan ‘tabu’.
‘rabu’
‘labu’
‘babu’
‘tabu’
lingkungan
fonetis [_abu]
berkonsonan tril
berkonsonan lateral
berkonsonan letup bilabial
berkonsonan letup alveolar
/r/
/l/
/b/
/t/
Pasangan minimalnya adalah :
‘rabu’ >< ‘labu’ ; ‘rabu’ >< ‘babu’ ; ‘rabu’ >< ‘tabu’
‘labu’ >< ‘babu’ ; ‘labu’ >< ‘tabu’ ; ‘babu’ >< ‘tabu’
Dalam bahasa Jepang, misalnya :
おばさん
obasan
/obasaN/
おばあさん obaasan
/oba:saN/
カニ
kani
/kani/
柿
kaki
/kaki/
雨
ame
/a¬me/
飴
ame
/a⌐me/
[obasaN]
[oba:saN]
[kani]
[kaki]
[a¬me]
/a/
/a:/
/n/
/k/
/¬/
[a⌐me]
/⌐/
aksen nada tinggi
rendah
aksen nada rendah
tinggi
Download