Apa yang dimaksud dengan perubahan iklim?

advertisement
APA ITU PERUBAHAN IKLIM?
APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERUBAHAN IKLIM?

Apa yang dimaksud dengan perubahan iklim?
Perubahan iklim berarti perubahan yang signifikan pada iklim, seperti suhu udara atau
curah hujan, selama kurun waktu 30 tahun atau lebih. Jika iklim berubah, maka ratarata selama 30 tahun suhu udara, atau curah hujan, atau jumlah hari matahari bersinar,
pun akan berubah.
Sangat mudah untuk mencampuradukkan antara iklim dan cuaca.
Berikut ini adalah cara mudah untuk berpikir: iklim adalah apa yang kita harapkan
(misalnya musim dingin yang dingin) dan cuaca adalah apa yang kita dapatkan
(misalnya hujan).
Cuaca adalah sesuatu yang terjadi pada lapisan atmosfer pada setiap waktu: seberapa
hangat, berangin, cerah atau lembab kondisi waktu itu. Iklim merupakan deskripsi dari
rata-rata cuaca yang terjadi pada kurun waktu tertentu, biasanya selama lebih dari 30
tahun dibandingkan dengan variasi rata-rata dari tahun ke tahun. Variasi mungkin
terjadi karena musim panas tertentu yang panas atau musim dingin tertentu yang
sangat dingin.
Tren Penyakit Saat Perubahan Cuaca
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO , Jakarta - Kementerian Kesehatan dan Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) berencana mengadakan kerjasama di bidang informasi. Dua
lembaga pemerintah ini memandang perlu bersinergi untuk membuat standar
informasi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat.
"Sosialisasi kepada masyarakat tentang perubahan iklim penting untuk mengantisipasi
wabah penyakit," kata Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung
Kementerian Kesehatan, Mohamad Subuh di Jakarta, Jumat 21 September 2012.
Subuh mengatakan, perubahan iklim memberi ancaman yang nyata terhadap kesehatan
manusia, misalnya infeksi saluran pernapasan dan diare. Dalam situasi perubahan
iklim, kata Subuh, alergen penyakit-penyakit seperti diare dan infeksi saluran
pernapasan menyebar. "Perubahan temperatur, misalnya, bisa berkontribusi terhadap
perkembangan mikrobakteria," kata dia.
Kepala Bidang Bina Operasi Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG Budi Suhardi
mengatakan lembaganya bisa menyediakan data-data yang dibutuhkan Kementerian
Kesehatan untuk meneliti tren timbulnya wabah penyakit. Data-data itu misalnya
terkait suhu udara rata-rata, suhu udara maksimum dan minimum.
Data yang disediakan itu, kata Budi, bisa digunakan untuk melihat korelasi antara
indikator perubahan iklim dan kesehatan. "Misalnya kami melakukan penelitian
tentang variasi curah hujan dikaitkan dengan kasus demam berdarah. Itu korelasinya
signifikan," ujarnya.
Peneliti BMKG Dede Tarmana mengatakan telah melakukan penelitian terhadap
perubahan iklim dan tren meningkatnya kasus demam berdarah di DKI Jakarta dalam
kurun waktu 2001 sampai 2010. "Hasilnya, kami menemukan kecenderungan ketika
curah hujan tinggi pada Januari akan diikuti dengan tingginya kasus demam berdarah
3 bulan setelahnya, yaitu bulan April," kata Dede.
Selain curah hujan yang tinggi, Dede melanjutkan, suhu tertentu juga berkorelasi
dengan tren kenaikan kasus demam berdarah. Hasil penelitiannya menunjukkan pada
temperatur 27,5 sampai 28,6 derajat celsius, angka kasus demam berdarah mencapai
puncaknya.
Perubahan Iklim
Melalui pendekatan yang berbasis alam (lingkungan), CI menunjukkan peran penting
bahwa ekosistem/lingkungan dapat berperan dalam mirigasi dan adaptasi terhadap
dampak perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan salah satu isu lingkungan
terbesar di zaman kita. Kita harus bertindak cepat dan mengambil keuntungan dari
solusi yang ada untuk mencegah kerusakan permanen pada planet kita. ekosistem
alami menyediakan peluang yang signifikan untuk mengurangi emisi secara dramatis
dan melestarikan potensi adaptif dari biosfer kita.
Tujuan kami: membatasi emisi dan beradaptasi dengan perubahan CI telah membentuk
keamanan iklim sebagai salah satu dari enam inisiatif utama CI. Setiap inisiatif CI
menggambarkan hubungan yang mendalam antara manusia dan alam dan
menunjukkan pentingnya pendekatan terpadu dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pelajari lebih lanjut tentang inisiatif lain CI's inti
Banyak faktor yang menyebabkan terhadap perubahan iklim, dari penggunaan bahan
bakar fosil untuk pembakaran dan pembukaan hutan tropis. Kita perlu pendekatan
yang komprehensif untuk mengurangi dampak perubahan iklim — sebuah pendekatan
yang menurunkan emisi di semua sektor dan meningkatkan kapasitas adaptasi
perubahan iklim pada semua bangsa.
Mengurangi gas rumah kaca (GRK) dan menstabilkan konsentrasi atmosfer di 350-450
bagian per juta setara CO2 (ppm CO2e) sangat penting. Tingkat gas rumah kaca saat ini
adalah sekitar 390 ppm CO2e. Para ilmuwan telah memperkirakan bahwa untuk
menurunkan konsentrasi 350 ppm dapat memungkinkan kita untuk menghindari titik
kritis pengasaman laut dan mencairnya lapisan es dan es di kutub. Stabilisasi pada 450
ppm dianggap ambang untuk menghindari pemanasan berbahaya lebih dari 2 derajat
Celcius, yang akan membawa dampak bencana berpotensi bagi masyarakat alam dan
manusia sama. Kita sudah melihat perubahan pola cuaca mempengaruhi produksi
pangan dan migrasi spesies. Resiko kelanggan air bersih/segar menjadi masalah di
negara-negara yang dilanda kekeringan dan banjir semakin mengancam masyarakat
pesisir kita dan berdampak langsung pada ratusan ribu orang setiap tahunnya. Konflik
semakin meningkat, masayarakat lokal merasa terancam dirumah mereka sendiri.
Jalan keluar dibutuhkan sekarang. Ekosistem/lingkungan kita harus mampu
beradaptasi dengan perubahan sehingga mereka dapat mempertahankan produktivitas,
terus mempertahankan diri dari cuaca ekstrim dan menyediakan air bersih dan
segudang layanan lainnya untuk semua kehidupan di Bumi. Selain itu, manusia
membutuhkan pengetahuan dan alat untuk dapat beradaptasi secara efektif terhadap
dampak perubahan iklim.
Solusi CI: Perlindungan dan pengelolaan ekosistem alam
Melindungi ekosistem bumi dapat mengurangi langsung dampak perubahan iklim
secara efektif, yang akan hilang selamanya bila kita tidak segera mengambil tindakan.
Sebagai contoh, pembakaran dan pembukaan hutan tropis merupakan masalah
utama — sumber emisi gas rumah kaca — meskipun sering tidak diakui. Hal tersebut
menyumbang sekitar 16 persen dari total emisi global, lebih dari itu, semua mobil, truk,
kapal, kereta api dan pesawat di dunia jika digabungkan. Namun hal tersebut dianggap
bahwa tidak mungkin mencapi salah satu dari tujuan mitigasi perubahan iklim tanpa
secara signifikan membatasi pembukaan dan pembakaran hutan tropis. Bahkan,
mengurangi deforestasi global sebesar 50 persen pada tahun 2020 menawarkan hampir
sepertiga dari, pilihan hemat biaya teknologi yang tersedia untuk memenuhi target 450
ppm stabilisasi. Selain itu, hutan perawan dan ekosistem alam lainnya — termasuk
lahan basah, lahan gambut, terumbu karang dan bakau — juga mengurangi risiko
dampak bencana seperti banjir dan kekeringan, serta memberikan kontribusi terhadap
ketahanan pangan dan air tawar baik untuk masyarakat pedesaan dan perkotaan,
memungkinkan untuk migrasi spesies dan adaptasi ekologi, dan mendukung mata
pencaharian masyarakat adat dan lokal. Mempertahankan ekosistem akan memastikan
bahwa manusia dan spesies lainnya dapat tetap menjadi tangguh mungkin terhadap
dampak perubahan iklim.
Pemanasan global merupakan isu lingkungan hidup yang dapat menyebabkan
perubahan iklim global. Perubahan iklim global terjadi secara perlahan dalam jangka
waktu yang cukup panjang, antara 50–100 tahun. Walaupun terjadi secara perlahan,
perubahan iklim memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan mahluk
hidup. Dampak yang terjadi antara lain: mencairnya es di kutub, pergeseran musim,
dan peningkatan permukaan air laut. Dampak tersebut memberikan pengaruh
terhadap kelangsungan mahluk hidup.
Mencairnya es di kutub, terutama sekitar Greenland dapat meningkatkan volume air di
laut yang menyebabkan terjadi penambahan tinggi permukaan laut di seluruh dunia.
Pada abad ke-20 telah terjadi kenaikan permukaan air laut 20-25 cm. Apabila separuh es
Greenland dan Antartika meleleh maka terjadi kenaikan permukaan air laut rata-rata
setinggi 6-7 meter. Kenaikan permukaan air dapat menyebabkan terendamnya daratan
yang merupakan habitat mahluk hidup.
Perubahan iklim global sebagai penyebab terjadinya penurunan biodiversitas masih
bersifat kontroversial untuk saat ini. Kontroversial yang terjadi merupakan suatu
pertanyaan apakah benar perubahan iklim merupakan penyebab utama penurunan
biodiversitas?
Ada beberapa fakta yang disampaikan oleh Al Gore pada bukunya Earth in The
Balance tentang pengaruh perubahan iklim terhadap biodiversitas antara lain:
1. Terjadinya perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan iklim di hutan
Amazon. Awan yang biasanya diatas hutan Amazon selalu Hitam menunjukan bahwa
intensitas hujan sangat tinggi, akan tetapi sekarang intensitas hujan berkurang ditandai
dengan awan yang berada diatas hutan Amazon menjadi terang. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya penurunan jumlah burung di hutan Amazon. Akan tetapi
hubungan antara hilangnya beberapa spesies burung apakah ada berhubungan
langsung dengan berkurangnya curah hujan masih dipertanyakan.
2.
Naiknya suhu laut menyebabkan terjadinya kematian terumbu karang. Memang
dibeberapa tempat terumbu karang mengalami kamatian, akan tetapi kematian
terumbu karang lebih banyak disebabkan eksploitasi yang berlebihan oleh manusia
seperti penggunaan bom ikan.
3.
Terjadinya penurunan biodiversitas yang eksponensial sejak terjadinya revolusi
industri dan berbanding lurus dengan pertambahan populasi manusia. Hal tersebut
sangat erat sekali dengan eksploitasi seperti diburu atau habitatnya berubah untuk
menjadi pemukiman dan pertanian, bukan karena perubahan iklim.
Fakta-fakta di atas merupakan beberapa contoh saja, mengenai pengaruh perubahan
iklim terhadap biodiversitas yang masih kontroversial.
TEORI KEPUNAHAN MAHLUK HIDUP
Proses seleksi alam merupakan konsep yang dapat menjelaskan terjadinya proses
kepunahan mahluk hidup. Mahluk hidup akan punah apabila tidak dapat beradaptasi
terhadap perubahan lingkungannya. Menurut Karl (1991); Lawrence (1991) ada tujuh
faktor yang mempengaruhi sensitifitas mahluk hidup terhadap kepunahan yaitu:
1.
Kelangkaan: Spesies disebut langka apabila hanya ditemukan pada area tertentu atau
tersebar, tetapi dalam jumlah individu yang sedikit. Spesies langka tergantung pada
faktor geografis, habitat khusus dan ukuran populasi.
2.
Kemampuan migrasi: Spesies yang tidak mempunyai kemampuan migrasi mempunyai
sensitifitas yang tinggi dibandingkan spesies yang bisa migrasi terhadap
kepunahan. Spesies yang dapat migrasi dapat menghindari dari kondisi lingkungan
yang tidak menguntungkan.
3.
Derajat spesialisasi: Spesies yang mempunyai derajat spesialisasi lebih tinggi sangat
sensitif terhadap kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai derajat
lebih rendah. Contoh spesies yang mempunyai derajat spesialisasi tinggi adalah
Beruang Panda. Hewan ini hanya memakan satu jenis daun bamboo, sehingga kalau
terjadi kelangkaan bahan makanan ini dapat mempengaruhi kelestarian beruang panda.
4.
Variabilitas populasi: Populasi spesies yang relatif stabil akan lebih adaptif
dibandingkan spesies yang populasinya fluktuatif terhadap perubahan lingkungan.
5.
Tingkatan trophik: Mahluk hidup didalam ekosistem berdasarkan jaring-jaring
makanan berada pada tingkat berbeda. Tingkatan tropik paling bawah adalah
produsen, tingkatan kedua adalah herbivora dan tingkatan selanjutnya adalah
karnivora. Tingkatan paling bawah mempunyai populasi lebih besar dibandingkan
tingkat di atasnya. Berdasarkan ukuran populasi sensitifitas tingkat tropik paling atas
relatif lebih sensitif terhadap kepunahan.
6.
Lama hidup: Spesies yang mempunyai waktu hidup lebih pendek lebih sensitif
terhadap kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai waktu hidup
lebih panjang.
7.
Kecepatan penambahan populasi: Sensitifitas terhadap kepunahan tergantung dari
kemampuan reproduksi spesies. Spesies yang mempunyai kemampuan reproduksi
tinggi (kecepatan pertumbuhan populasi tinggi) akan lebih adaptif dibandingkan
dengan spesies yang kemampuan reproduktifnya lebih rendah.
Penyebab terjadi kepunahan mahluk hidup dapat dikategorikan secara langsung atau
tidak langsung. Penyebab langsung adalah perubahan yang terjadi dapat langsung
menyebabkan kematian mahluk hidup, sedangkan penyebab tidak langsung adalah
perubahan yang terjadi menyebabkan terjadinya perubahan faktor lain yang
menyebabkan kematian mahluk hidup.
Ada empat faktor penyebab yang mengancam kehidupan spesies (Stiling.P.D, 1992)
yaitu:
1. Hilangnya atau modifikasi habitat: Penyebab terjadinya hilang atau modifikasi habitat
disebabkan oleh aktifitas manusia antara lain, perubahan lahan menjadi lahan
pertanian atau perumahan pencemaran dan polusi.
2.
Over eksploitasi: Contoh terjadinya eksploitasi antara lain budaya berburu, penjualan
kayu dan perdagangan hewan.
3.
Eksotik spesies: Introduksi spesies pada habitat suatu spesies dapat menyebabkan
terjadinya kompetisi.
4.
Penyakit: Penyakit endemik atau eksotik dapat menyebabkan kematian massal spesies.
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI
Tingkat perubahan iklim sekarang melebihi semua variasi alami dalam 1000 tahun
terakhir. Debat tentang perubahan iklim sekarang telah mencapai suatu langkah
dimana kebanyakan ilmuwan menerima bahwa, emisi gas rumah kaca mengakibatkan
perubahan iklim yang berdampak berbagai sendi-sendi kehidupan.
Salah satu sendi kehidupan yang vital dan terancam oleh adanya perubahan iklim ini
adalah keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan ekosistem. Biodiversitas sangat
berkaitan erat dengan perubahan iklim. Perubahan iklim berpengaruh terhadap
perubahan keanekaragaman hayati dan ekosistem baik langsung maupun tidak
langsung.
1.
Dampak langsung perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati :
Beberapa dampak langsung perubahan iklim yang paling berpengaruh terhadap
keanekaragaman hayati :
a) Spesies ranges (cakupan jenis)
Perubahan Iklim berdampak pada pada temperatur dan curah hujan. Hal ini
mengakibatkan beberapa spesies tidak dapat menyesuaikan diri, terutama spesies yang
mempunyai kisaran toleransi yang rendah terhadap fluktuasi suhu.
b) Perubahan fenologi
Perubahan iklim akan menyebabkan pergeseran dalam siklus yang reproduksi dan
pertumbuhan dari jenis-jenis organisme, sebagai contoh migrasi burung terjadi lebih
awal dan menyebabkan proses reproduksi terganggu karena telur tidak dapat dibuahi.
Perubahan iklim juga dapat mengubah siklus hidup beberapa hama dan penyakit,
sehingga akan terjadi wabah penyakit.
c) Perubahan interaksi antar spesies
Dampak yang iklim perubahan akan berakibat pada interaksi antar spesies semakin
kompleks (predation, kompetisi, penyerbukan dan penyakit). Hal itu membuat
ekosistem tidak berfungsi secara ideal.
d) Laju kepunahan
Kepunahan telah menjadi kenyataan sejak hidup itu sendiri muncul. Beberapa juta
spesies yang ada sekarang ini merupakan spesies yang berhasil bertahan dari kurang
lebih setengah milyar spesies yang diduga pernah ada. Kepunahan merupakan proses
alami yang terjadi secara alami. Spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan
bermula. Kita dapat memahami ini melalui catatan fosil.
Tetapi, sekarang spesies menjadi punah dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu
sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir keseluruhannya disebabkan oleh kegiatan
manusia. Di masa yang lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang
berkembang dan mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan.
Pada saat sekarang, hal ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak habitat telah
rusak dan hilang. Kelangsungan hidup rata-rata suatu spesies sekiar 5 juta tahun. Ratarata 900.000 spesies telah menjadi punah setiap 1 juta per tahun dalam 200 juta tahun
terakhir. Laju kepunahan secara kasar diduga sebesar satu dalam satu persembilan
tahun. Laju kepunahan yang diakibatkan oleh ulah manusia saat ini beratus-ratus kali
lebil tinggi.
Perubahan iklim yang lebih menyebar luas tampaknya akan terjadi dalam pada masa
mendatang sejalan dengan bertambahnya akumulasi gas-gas rumah kaca dalam
atmosfer yang selanjutnya akan meningkatkan suhu permukaan bumi. Perubahan ini
akan menimbulkan tekanan yang cukup besar pada semua ekosistem, sehingga
membuatnya semakin penting untuk mempertahankan keragaman alam sebagai alat
untuk beradaptasi.
Beberapa kelompok spesies yang lebih rentan terhadap kepunahan daripada yang lain.
Kelompok spesies tersebut adalah :
1) Spesies pada ujung rantai makanan, seperti karnivora besar, misal harimau (Panthera
tigris). Karnivora besar biasanya memerlukan teritorial yang luas untuk mendapatkan
mangsa yang cukup. Oleh karena populasi manusia terus merambah areal hutan dan
penyusutan habitat, maka jumlah karnivora yang dapat ditampung juga menurun.
2) Spesies lokal endemik (spesies yang ditemukan hanya di suatu area geografis)
dengan distribusi yang sangat terbatas, misalnya badak Jawa (Rhinoceros javanicus). Ini
sangat rentan terhadap gangguan habitat lokal dan perkembangan manusia.
3) Spesies dengan populasi kecil yang kronis. Bila populasi menjadi terlalu kecil, maka
menemukan pasangan atau perkawinan (untuk bereproduksi) menjadi masalah yang
serius, misalnya Panda.
4) Spesies migratori adalah spesies yang memerlukan habitat yang cocok untuk
mencari makan dan beristirahat pada lokasi yang terbentang luas sangat rentan
terhadap kehilangan stasiun habitat peristirahatannya.
5) Spesies dengan siklus hidup yang sangat kompleks. Bila siklus hidup memerlukan
beberapa elemen yang berbeda pada waktu yang sangat spesifik, maka spesies ini
rentan bila ada gangguan pada salah satu elemen dalam siklus hidupnya.
6) Spesies spesialis dengan persyaratan yang sangat sempit seperti sumber makanan
yang spesifik, misal spesies tumbuhan tertentu.
Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya. Inventarisasi yang dilakuka
n
oleh
badan-badan
internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources
(IUCN)
dapat
dijadikan
indikasi
tentang
keterancaman
spesies.
Pada
1988
sebanyak
126
spesies
burung,
63
spesies
binatang
lainnya
dinyatakan
berada di ambang kepunahan (BAPPENAS, 1993).
Pada 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam
punah,
yaitu
terdiri
dari
147
spesies
mamalia,
114
burung,
28
reptilia,
68
ikan,
3
moluska,
dan
28
spesies
lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang barubaru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies
tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of International
Trade
of
Endengered
Species
of
Flora
and
Fauna
(CITES).
Sekitar
240
spesies
tanaman
dinyatakan
mulai
langka,
di
antaranya
banyak
yang
merupakan
kerabat
dekat
tanaman
budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan
langka.
e) Penyusutan Keragaman Sumber Daya Genetik
Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya genetik juga dapat ditimbulkan oleh
adanya pengaruh pemanasan global. Beberapa varian dari tanaman dan hewan menjadi
punah karena perubahan iklim. Kepunahan spesies tersebut menyebabkan sumberdaya
genetic juga akan hilang. Ironisnya banyak sumberdaya genetic (plasma nutfah) belum
diketahui apalagi dimanfaatkan, kita menghadapi kenyataan mereka telah hilang.
f) Akibat dari perubahan iklim yang ekstrim
Efek perubahan iklim akan menimbulkan peristiwa ekstrim seperti meledaknya hama
dan penyakit, musim kering yang berkepanjangan, El Niño, musim penghujan yang
relatif pendek, namun curah hujan cukup tinggi, sehingga timbul dampak banjir dan
tanah longsor. Peristiwa yang ekstrim ini akan mempengaruhi organisma, populasi
dan ekosistem.
2. Dampak tidak langsung perubahan iklim terhadap biodiversitas
Berbagai penyebab penuruanan keanekaragaman hayati diberbagai ekosisten antara
lain konversi lahan, pencemaran, eksploitasi yang berlebihan, praktik teknologi yang
merusk, masuknya spesies asing dan perubahan iklim.
a) Dampak terhadap Ekosistem Hutan
Ekosistem hutan mengalami ancaman kebakaran hutan yang terjadi akibat
panjangnya musim kemarau. Jika kebakaran hutan terjadi secara terus menerus,
maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan
masyarakat.
Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan rawa gambut) terluas di Asia,
yaitu
38
juta
ha
yang tersebar mulai dari bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Mal
uku
sampai
Papua. Tetapi luas lahan basah tersebut telah menyusut menjadi kurang lebih 25,
8 juta ha (Suryadiputra, 1994). Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya
fungsi rawa sebesar 37,2 persen dan mangrove 32,4 persen. Luas hutan mangrove
berkurang dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha tahun 1987 dan menciut lagi
menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi mangrove menjadi kawasan
budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al, 2001).
b) Dampak pada daerah kutub
Sejumlah keanekaragaman hayati terancam punah akibat peningkatan suhu bumi ratarata sebesar 10°C. Setiap individu harus beradaptasi pada perubahan yang terjadi,
sementara habitatnya akan terdegradasi. Spesies yang tidak dapat beradaptasi akan
punah. Spesies-spesies yang tinggal di kutub, seperti penguin, anjing laut, dan beruang
kutub, juga akan mengalami kepunahan, akibat mencairnya sejumlah es di kutub.
c) Dampak pada daerah arid dan gurun
Dengan adanya pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim mengakibatkan
luas gurun menjadi semakin bertambah (desertifikasi).
d) Dampak pada ekosistem pertanian
Perubahan iklim akan menyebabkan terjadinya perubahan cuaca, sehingga periode
musim tanam menjadi berubah. Hal ini akan mengakibatkan beberapa spesies harus
beradaptasi dengan perubahan pola tanam tersebut.
DAMPAK EKOLOGIS BAGI WILAYAH PESISIR (MANGROVE)
Pemanasan global, salah satu perubahan iklim global, telah diyakini berdampak buruk
bagi kelangsungan hidup manusia di berbagai wilayah dunia. Wilayah pesisir adalah
wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai
akumulasi pengaruh daratan dan lautan. Dalam ringkasan teknisnya tahun ini,
Intergovernmental Panel on Climate Change, suatu panel ahli untuk isu perubahan
iklim, menyebutkan dua faktor penyebab kerentanan wilayah ini (TS WG I IPCC,
2007:40).
Pertama, pemanasan global ditenggarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah
pesisir. Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir menghadapi
bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya dalam kurun 20 tahun
terakhir (tahun 1980-2000). Peneliti bidang Meteorologi di AS mencatat adanya
peningkatan frekuensi badai tropis di Laut Atlantik dalam seratus tahun terakhir (KCM,
31 Juli 2007). Pada periode 1905-1930 di wilayah pantai Teluk Atlantik terjadi rata-rata
enam badai tropis per tahun. Rata-rata tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10
kali badai tropis per tahun) pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15
kali badai tropis) mulai tahun 1995 hingga 2005.
Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai “tahun tenang” saja masih terjadi 10 badai tropis
di wilayah pesisir ini. Juga dilaporkan pola peningkatan kejadian badai tropis ini tetap
akan berlangsung sepanjang pemanasan global masih terjadi.
Kedua, pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut berkisar
antara 1-3°C. Dari sisi biologis, kenaikan suhu air laut ini berakibat pada meningkatnya
potensi kematian dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis. Ekosistem
terumbu karang di perairan Indonesia seluas 51.875km , yang setara dengan sepertiga
luas pulau Jawa, terancam rusak dan hancur secara permanen jika pemanasan global
terus berlangsung. Ini juga berarti terancamnya kelangsungan berbagai macam
kehidupan biota laut yang tergantung hidupnya pada ekosistem alam ini.
Kerusakan terumbu karang juga berarti hilangnya pelindung alam wilayah pesisir yang
akan memicu peningkatan laju abrasi pantai. Luas terumbu karang Indonesia diduga
berkisar
antara
50.020
Km2
(Moosa
dkk,
1996
dalam
KLH,
2002) hingga 85.000 Km2 (Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 persen terumbu
karang dalam kondisi sangat baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia
akan hilang dalam 10-20 tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun.
Rusaknya terumbu karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya
berkurangnya mata pencaharian nelayan kecil.
PENYEBAB DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM SECARA GLOBAL
Sumber : Majalah Dokter Kita Edisi Mei 2008 hal.24
Sebagai organisasi kesehatan sedunia, WHO melihat begitu besarnya dampak
perubahan iklim pada kesehatan manusia. Untuk itulah mengapa WHO berinisiatif
mengangkat tema itu dalam rangka memperingati HKS ke-60 pada tahun 2008 ini.
Perwakilan WHO untuk Indonesia, Mr. Sharad Adhikary menjelaskan mengapa sangat
penting adanya kepedulian akan isu tersebut dikarenakan dampaknya sudah sangat
mengancam kesehatan dan kelangsungan hidup manusia di bumi ini.
Pada dasarnya bumi selalu mengalami perubahan iklim dari waktu ke waktu. Hanya
saja di masa lampau perubahan tersebut berlangsung secara alami sedangkan saat ini
perubahan iklim lebih disebabkan oleh ulah manusia sehingga sifatnya lebih cepat dan
drastis.
LALU APA YANG MENYEBABKAN PERUBAHAN IKLIM?
Pada tahun 2007 Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental
Panel on Climate Change/IPCC) dan Al Gore memperoleh penghargaan Nobel
Perdamaian. Penghargaan itu didapatkan atas upaya mereka untuk mengembangkan
dan menyebarluaskan pengetahuan tentang perubahan iklim yang disebabkan oleh
aktivitas manusia sekaligus tentang upaya mendasar untuk menindaklanjuti perubahan
yang tidak alami tersebut.
Hasil kajian IPCC memastikan bahwa perubahan iklim global terjadi karena atmosfer
bumi dipenuhi oleh gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida dan metana, yang
dihasilkan oleh manusia. Gas karbondioksida terjadi akibat proses pembakaran bahan
bakar fosil dengan tujuan untuk menghasilkan energi dan juga akibat kebakaran hutan.
Sementara gas metana terjadi akibat aktivitas pembuangan sampah.
GRK memiliki kemampuan untuk menangkap sinar infra merah dari sinar matahari
yang direfleksikan oleh bumi. Karena itu semakin besar jumlah GRK di dalam atmosfer
bumi maka bumi pun akan semakin panas. Kadar gas karbon dioksida dalam atmosfer
mencapai 385 ppm pada tahun 2006, sebuah peningkatan yang luar biasa jika
dibandingkan dengan data perubahan iklim selama kurun waktu 650.000 tahun
terakhir, ujar Mr. Sharad.
Selama 13 tahun terakhir, dua belas tahun diantaranya tercatat sebagai tahun-tahun
terpanas. Dengan akumulasi GRK yang terus berlangsung seperti saat ini, pada dua
sampai tiga dekade mendatang peningkatan pemanasan global akan melampaui
perhitungan yangtelah ada selama ini. IPCC memperkirakan bahwa pada tahun 2050
temperatur global akan naik 2-3 derajat celcius.
Peningkatan temperatur itu akan berdampak pada :
- Meluasnya pencairan es di kutub utara
- Meningkatnya suhu air laut, yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut
- Musim kering akan semakin kering dan musim penghujan akan lebih basah
- Meningkatnya curah hujan dan kondisi banjir
Semuanya itu akan mempengaruhi kesehatan manusia baik dari sisi semakin
meningkatnya pertumbuhan hewan pembawa penyakit seperti nyamuk, juga ancaman
terhadap ketersediaan air bersih, krisis pangan, dan kebersihan lingkungan. Akhirnya
dampak keseluruhan adalah mengancam jiwa manusia, tandas Mr. Sharad.
Untuk itu amat penting untuk benar-benar memahami perubahan iklim tersebut. Mr,
Sharad menegaskan bahwa diperlukan kesiapan semua negara dalam menghadapinya,
untuk bisa beradaptasi, dan menerima bahwa akan dapat terjadi pengaruh yang lebih
buruk, yang tidak diperkirakan sebelumnya.***
Sebuah penelitian independen terbaru membuktikan bahwa manusia adalah penyebab
utama pemanasan global. Manusia menyumbang 74% faktor penyebab perubahan
iklim.
Alam hanya menyumbang seperempat (26%) dari faktor penyebab kenaikan suhu bumi
yang diamati oleh para peneliti Swiss selama 60 tahun terakhir.
Laporan yang diterbitkan dalam situs Nature Geoscience Minggu lalu (4 Desember)
tersebut mengonfirmasikan telah terjadi kenaikan suhu permukaan bumi sebesar lebih
dari 0.5 °C sejak 1950.
Manusia Penyebab Utama Pemanasan Global
Guna memisahkan faktor manusia dan alam sebagai penyebab pemanasan global, para
peneliti menganalisis perubahan keseimbangan energi panas yang masuk dan keluar
dari bumi.
Metode ini adalah metode baru untuk memahami penyebab fisik perubahan iklim.
Secara khusus, para peneliti menyebutkan, gas-gas rumah kaca, seperti karbon dioksida,
telah menyumbang peningkatan pemanasan global sebesar 0,85 °C sejak tahun 1950.
Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian lain, sehingga semakin
memperkuat bukti bahwa gas-gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida (CO2)
adalah penyebab terciptanya rekor pemanasan global yang terjadi dalam sepuluh tahun
terakhir.
Pengaruh melonjaknya konsentrasi CO2 di udara sejak masa pra-industri terhadap
peningkatan suhu permukaan bumi ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan
sebelumnya oleh para peneliti
Dampak Perubahan Iklim dan Potensi Bencana Ekologis Bisa Dicegah
Perubahan iklim yang terjadi saat ini sebenarnya dapat dicegah jika semua pihak mau
bekerjasama untuk menanggulanginya. Perubahan iklim ini salah satunya disebabkan
oleh terjadinya pemanasan global atau biasa disebut global warming. Global warming ini
terjadi karena panas matahari tersebut terperangkap di bumi dan ini yang biasa disebut
dengan efek rumah kaca.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika
Republik Indonesia Dr. Ir. Sriworo B. Harijono, M.Sc dalam Seminar
Nasional Perubahan Iklim dan Potensi Bencana Ekologis di ruang siding AR.
Fachruddin A Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu
(6/6). Seminar ini merupakan kerjasama MLH PP Muhammadiyah, LPB PP
Muhammadiyah dan PSLB UMY yang juga menghadirkan pembicara lainnya yaitu
Rahmawati Husein, Ph.D Wakil Ketua LPB PP Muhammadiyah yang juga Dosen UMY,
dan Dr. M. Nurcholis, M.Agr Wakil Ketua MLH PP Muhammadiyah.
Menurut
Sriworo,
pemanasan
global
yang
terjadi
itu
mengakibatkan perubahan pada iklim yang ada saat ini. “Dengan perubahan iklim tadi
sehingga menyebabkan terjadinya ragam bencana yang merugikan seperti banjir, tanah
longsor, air bah, penurunan permukaan air laut dan lain-lain” ungkapnya.
Sriworo
menyampaikan pencegahan dampak dari perubahan iklim dan potensi
bencana ini bisa kita mulai dari hal seperti pelestarian lingkungan dengan penanaman
pohon di beberapa wilayah tertentu, perluasan lahan hutan mangrove juga menjaga
kelestarian hutan lindung. “Upaya-upaya tersebut akan sangat bermanfaat karena
pohon serta hutan yang hijau itu akan menyerap karbondioksida (CO2) akar dari
terjadinya pemanasan global” urainya.
Senada dengan hal tersebut Rachmawati Husein menjelaskan bahwa upaya
pengurangan resiko bencana dapat dilakukan dengan memahami komponenkomponen yang berpengaruh terhadap besar kecilnya dampak suatu bencana. “Resiko
bencana dapat dikurangi jika kapasitas atau keuatan dan sumber daya yang ada pada
tiap individu dan lingkungan mampu mencegah, melakukan mitigasi, siap menghadapi
dan pulih dari akibat bencana dengan tepat” jelasnya.
Rahmawati menambahkan tujuan mitigasi adalah mengurangi dan mencegah resiko
kehilanganjiwa dan harta banda baik melalui pendekatan structural maupun nonstruktural. “Pendekatan structural merupakan upaya pengurangan resiko melalui
pembangunan fisik serta rekayasa teknis bangunan tahan bencana,sedangkan nonstruktural adalah upaya pengurangan resiko melalui pembuatan kebijakan dan
peraturan pembangunan seperti zonasi, insentif, dan disinsentif , pajak serta asuransi
bencana melalui tata ruang dan tata guna lahan serta melalui pendidikan, pelatihan dan
penyebran informasi” tambahnya.
Rahmawati juga menuurkan bahwa pendekatan non-struktural lebih memberikan
kemanan jangka panjang dan lebih mendukung pembangunan yang berkelanjutan
yang sesuai dengan tujuannya. “Jika strategi tersebut diterapkan maka tidak
hanya perubahan iklim dan resiko bencana yang dapat dikurangi akan tetapi yang
lebih penting adalah terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dimana tujuannya
adalah meningkatkan kualitas hidup manusia serta dapat memenuhi kebutuhan
mereka” pungkasnya. (sakti)
Dampak Perubahan Iklim Bisa Dicegah
YOGYAKARTA - Salah satu penyebab perubahan iklim adalah pemanasan global atau
biasa disebut global warming. Pemanasan global terjadi karena panas matahari
terperangkap di bumi atau yang biasa disebut dengan efek rumah kaca. Namun,
keadaan ini dapat dicegah jika semua pihak mau bekerjasama untuk
menanggulanginya.
Demikian disampaikan Kepala Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika Republik
Indonesia Sriworo B Harijono dalam Seminar Nasional Perubahan Iklim dan Potensi
Bencana Ekologis di ruang siding AR. Fachruddin A Kampus Terpadu Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu (6/6/2012). "Perubahan iklim saat ini
menyebabkan terjadinya ragam bencana yang merugikan seperti banjir, tanah longsor,
penurunan permukaan air laut, dan lain sebagainya," tutur Sriwono.
Sriworo menyampaikan, pencegahan dampak dari perubahan iklim dan potensi
bencana bisa mulai dari hal kecil seperti pelestarian lingkungan dengan penanaman
pohon di beberapa wilayah tertentu. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan
dengan memperluas lahan hutan mangrove serta menjaga kelestarian hutan lindung.
"Upaya-upaya tersebut akan sangat bermanfaat karena pohon serta hutan yang hijau
itu akan menyerap karbondioksida (CO2) yang menjadi akar dari terjadinya
pemanasan global," paparnya.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua LPB PP Muhammadiyah yang juga Dosen UMY,
Rachmawati Husein. Dia menjelaskan, upaya pengurangan risiko bencana dapat
dilakukan dengan memahami komponen-komponen yang berpengaruh terhadap besar
kecilnya dampak suatu bencana.
"Risiko bencana dapat dikurangi jika kapasitas atau kekuatan dan sumber daya yang
ada pada tiap individu serta lingkungan mampu mencegah, melakukan mitigasi, siap
menghadapi, dan pulih dari akibat bencana dengan tepat," kata Rachmawati.
Rahmawati menambahkan, tujuan mitigasi adalah mengurangi dan mencegah risiko
kehilangan jiwa dan harta benda, baik melalui pendekatan struktural maupun nonstruktural. Pendekatan struktural merupakan upaya pengurangan risiko melalui
pembangunan fisik serta rekayasa teknis bangunan tahan bencana.
"Sedangkan non-struktural adalah upaya pengurangan risiko melalui pembuatan
kebijakan dan peraturan pembangunan seperti zonasi, insentif, dan disinsentif , pajak
serta asuransi bencana melalui tata ruang dan tata guna lahan serta melalui pendidikan,
pelatihan dan penyebran informasi," imbuhnya.
Dia menuturkan, pendekatan non-struktural lebih memberikan kemanan jangka
panjang dan lebih mendukung pembangunan yang berkelanjutan yang sesuai dengan
tujuannya. "Jika strategi tersebut diterapkan, maka tidak hanya perubahan iklim dan
risiko bencana yang dapat dikurangi akan tetapi yang lebih penting adalah
terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup manusia serta dapat memenuhi kebutuhan mereka," urainya.(mrg)(rhs)
Download