DIMENSI TOD DALAM PEMBANGUNAN KOTA1 Hayati Sari Hasibuan ([email protected]) Raldi Hendro Koestoer ([email protected]) Abstrak Perkotaan berkelanjutan memerlukan adanya keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Berkelanjutan secara ekonomi adalah dalam pengertian pencapaian pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien dalam penggunaan sumber daya. Saat ini kinerja ekonomi secara nasional terutama di kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi menderita biaya ekonomi tinggi (high-cost economy) akibat dari penataan ruang dan transportasi yang buruk. Pembangunan berorientasi transit atau Transit Oriented Development (TOD) adalah suatu konsep pengelolaan ruang dan transportasi secara terintegrasi. Melalui kajian simulasi penerapan TOD di kawasan perkotaan pada sistem pengelolaan ruang dan transportasi dihasilkan bahwa TOD dapat mendukung terciptanya pertumbuhan (pro-growth) melalui efisiensi konsumsi sumber daya (baik energi ataupun lahan) yang diperlukan untuk transportasi, sekaligus dapat menghasilkan pertumbuhan ekonmi yang ramah lingkungan (green growth) melalui kegiatan transportasi ramah lingkungan dan menurunkan emisi dari kegiatan transportasi. Kata-kata kunci: Transit Oriented Development (TOD), penataan ruang, transportasi, high cost economy, pro-growth, green growth PENDAHULUAN Dinamika perkotaan tercermin pada interaksi manusia terhadap ‘ruang’ kota yang dihubungkan dengan sistem transportasi. Penataan ruang dan sistem transportasi adalah dua hal penting dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja ekonomi suatu negara. Gorham (2002) menyatakan bahwa penataan ruang dan transportasi yang berkelanjutan haruslah memenuhi prinsip-prinsip berikut ini: (1) mengoptimalkan ruang sebagai sebuah ekosistem; (2) dapat menyediakan mobilitas dan aksesibilitas yang sama kepada semua penduduk; (3) mengurangi kemacetan dan kecelakaan lalu lintas; dan (4) berkelanjutan untuk generasi mendatang. Tantangan ke depan perkembangan perkotaan di Indonesia adalah pertumbuhan lalu lintas yang tinggi dan kemacetan. Semakin tingginya pertumbuhan di kawasan pinggiran perkotaan, makan semakin tinggi permintaan perjalanan dan semakin panjang jarak tempuh perjalanan. Jabodetabek, sebagai perkotaan terbesar di 1 Tulisan ini merupakan bagian dari Studi ‘Green TOD’, Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Indonesia dengan sirkulasi perputaran perekonomian tertinggi secara nasional yang tercermin pada PDRB kawasan ini pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 22% dari total PDRB Nasional. Namun kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas diperkirakan juga tinggi meski hanya menghitung waktu produktif yang hilang dan tidak termasuk menghitung dampak dari pencemaran terhadap kesehatan manusia. Permasalahan terbesar bagi perkembangan perkotaan di Indonesia adalah bagaimana menciptakan sistem transportasi yang berkelanjutan, yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan lingkungan yang berkelanjutan guna melindungi lingkungan bagi generasi mendatang. Dalam konteks tersebut, pembentukan kota cergas berkelanjutan (green smart city) menjadi dambaan para perencana dan pembangun. Terkait dengan pergerakan, maka sistem penataan ruang harus dapat mengkoordinasikan sektor transportasi. Sistem penataan ruang kota yang berkelanjutan dalam Curwell (2005) dengan cara: (1) mengkonsentrasikan pembangunan pembangkit-perjalanan (trip-generating) utama di sekitar pusat transportasi publik; (2) meningkatkan kepadatan pembangunan di sekitar kawasan dengan aksesibilitas tinggi terhadap transportasi publik dan pada koridor transportasi publik; (3) meningkatkan aksesibilitas transportasi publik. Konsep Pembangunan Berorientasi Transit berasal dari Transit oriented Development (TOD) memiliki pengertian penataan ruang dengan menempatkan pusat-pusat kegiatan pada atau di sekitar sistem perkeretaapian. Konsep TOD bercirikan: padat (dense), terjangkau (accessible) dan jenis guna lahan campuran (mixed-use) dimana penempatan ruang berlokasi pada jarak yang nyaman ditempuh dengan berjalankaki dari stasiun transit untuk memaksimalkan penggunaan angkutan umum dan meminimalkan ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi (TCRP, 2002). Interaksi pada perkotaan yang sangat tinggi ditandai dengan tingginya perjalanan penglaju (komuter) dari kawasan hinterland perkotaan ke pusat perkotaan. Berdasarkan hasil survey pada tahun 2010 ditemukan bahwa di kawasan Jabodetabek terdapat sekitar 1.105.000 penglaju setiap hari berangkat dari kota-kota sekitar (Bodetabek) menuju Jakarta. Keberadaan penglaju ini meningkatkan jumlah pergerakan harian di Jakarta yang mencapai 20,7 juta pergerakan. Dari junlah pergerakan yang besar itu, sebesar 62,2% menggunakan kendaraan pribadi roda dua atau mobil, sementara pengguna angkutan umum hanya sebesar 12,7% (JICA,2011). Kemudahan memperoleh kendaraan dan terbatasnya keberpihakan pada investasi angkutan umum, memicu peningkatan dramatis kepemilikan kendaraan bermotor. Peningkatan jumlah kendaraan mobil dan motor di Jakarta dan sekitarnya sebesar 12 persen per tahun, atau sekitar 5.500 hingga 6000 unit kendaraan per hari (4.500 unit diantaranya adalah sepeda motor). Jumlah unit kendaraan bermotor di Jakarta hingga akhir tahun 2014 mencapai 17.523.967 unit yang didominasi oleh kendaraan roda dua dengan jumlah 13.084.372 unit, diikuti dengan mobil pribadi sebanyak 3.226.009 unit, mobil barang 673.661 unit, sementara bus hanya 362.066 unit (Polri, 2015). Struktur Perekonomian Karaktetiristik ekonomi di kawasan perkotaan dicirikan dengan pergeseran pada sektor jasa (services). Kegiatan ekonomi di kawasan Jabodetabek meliputi: perkembangan sektor ekonomi, investasi serta distribusi ketenagakerjaan. Dalam konteks mobilitas tenaga kerja, struktur perekonomian di Jabodetabek dicirikan dengan perkembangan utama di sektor jasa dan industri. Sektor yang berkembang di Jakarta adalah sektor jasa terutama keuangan, real estate dan jasa perusahaan, serta jasa perdagangan. Sementara sektor yang berkembang dominan di sub-urban Bodetabek adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Berdasarkan konsep lingkaran perkotaan, sektor perekonomian yang berkembang di Jabodetabek adalah sebagai berikut: 1. Di pusat perkotaan, yaitu Kota Jakarta, sektor perekonomian yang paling dominan adalah sektor jasa, dengan sub sektor keuangan, real-estate dan jasa perusahaan. 2. Di sub-urban perbatasan lingkaran-1, yaitu Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan, sektor yang berkembang adalah: 1) sektor jasa keuangan, real-estate, dan jasa perusahaan, serta 2) sektor industri dan pengolahan. Kedua sektor tersebut hampir berimbang di kawasan suburban ini. 3. Di sub-urban lingkaran-2, yaitu Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bogor sektor perekonomian yang dominan adalah sektor industri dan pengolahan. Pada Kabupaten Bekasi maupun Kabupaten Tangerang sektor industri ini sangat dominan bahkan mencapai 70% dari PDRB. Sektor Jasa dan pemerintahan Sektor industri dan pengolahan Sektor Jasa dan Industri Gambar 1. Distribusi Sektor Ekonomi Jabodetabek, Sumber: Hasil Sintesa Untuk sektor transportasi di Jakarta dan beberapa kota sub-urban berada pada kisaran 10%-13%, sementara di sub-urban kabupaten-kabupaten proporsi sektor ini masih relatif rendah, yaitu di bawah 10%. Di Jakarta sektor transportasi berkisar 11,8% dari total PDRB. Proporsi tertinggi dari sektor transportasi terdapat di Kota Tangerang dengan besaran 13,8%. Kota-kota sub-urban pada lingkaran-1 umumnya memiliki proporsi sektor transportasi 10% dari total PDRB. Sektor pertanian cenderung semakin menipis di Jabodetabek. Di pusat kota dan kota-kota sub-urban lingkaran-1 kontribusi sektor pertanian terhadap total PDRB berada di bawah 1%. Pada sub-urban lingkaran kedua terdapat variasi yang sangat besar. Kabupaten Bekasi memiliki kontribusi sektor pertanian rendah, 2% terhadap total PDRB, sementara Kabupaten Tangerang memiliki proporsi sektor pertanian relatif besar, yaitu 10% terhadap total PDRB daerahnya. Untuk klasifikasi investasi PMA yang berkembang di wilayah Jakarta terdapat empat sektor yang terbesar secara berurutan sebagai berikut: 1. Transportasi, terutama berkembang di Jakarta Pusat. 2. Konstruksi, di sektor ini Jakarta Selatan mengalami pendapatan tertinggi. 3. Jasa, untuk klasifikasi investasi PMA di sektor jasa Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan selama kurun waktu 10 tahun bergantian menduduki peringkat tertinggi. 4. Perdagangan, juga berkembang di Jakarta Pusat dan Selatan. Berbeda dengan Jakarta, investasi pada sektor terbesar yang berkembang di daerah sub-urban Bodetabek adalah: 1. Industri, terutama berkembang di Kabupaten pendapatan tertinggi di tahun 2011. Bekasi dengan memperoleh 2. Konstruksi, juga berkembang di Kabupaten Bekasi pada awalnya, namun kemudian berkembang di Kabupaten Bogor dan Kota Tangerang. Sedangkan untuk klasifikasi investasi PMDN, sektor yang berkembang di Jakarta adalah: (1) sektor jasa dan (2) sektor konstruksi. Di kawasan sub-urban, Bodetabek, investasi PMDN yang berkembang berdasarkan urutan terbesar adalah: (1) sektor industri dan (2) sektor konstruksi. Analisis tipologi wilayah dilakukan dengan membagi wilayah-wilayah Jabodetabek ke dalam empat kuadran berdasarkan laju pertumbuhan penduduk (sebagai sumbu X) dan laju pertumbuhan ekonomi dalam PDRB (sebagai sumbu Y). Lpi<Lp Kuadran 1 Kuadran 2 Kabupaten Bekasi Kota Tangerang LEi>LE LEi<LE Lpi>Lp Kota Tangerang Selatan Kuadran 3 Kuadran 4 Jakarta Kota Depok Kabupaten Tangerang Kota Bekasi Kota Bogor Kabupaten Bogor Gambar 2. Tipologi Kombinasi Pertumbuhan Penduduk dan Ekonomi Jabodetabek Sumber: Hasil Sintesa Laju Pertumbuhan Penduduk dilambangkan dengan (Lp) dan laju pertumbuhan ekonomi dilambangkan dengan (LE). Dari hasil analisis tipologi dengan membagi wilayah ke dalam empat kuadran tersebut, didapati bahwa Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah dua sub-urban yang berada di kuadran 2, yaitu kota yang tumbuh paling cepat baik penduduk dan perekonomiannya. Dengan demikian, diperkirakan bahwa kedua sub-urban ini akan memiliki pertumbuhan ruang pesat, baik untuk permukiman maupun perkantoran. Sementara itu pada kuadran 1 terdapat Kabupaten Bekasi, yang meskipun laju perekonomiannya tinggi tetapi laju pertumbuhan penduduknya relatif rendah. Diperkirakan bahwa pada sub-urban yang termasuk pada lingkaran kedua ini, pertumbuhan ruang didominasi oleh investasi perekenomian yang membutuhkan lahan besar, tetapi tidak menyerap banyak tenaga kerja dari luar, sehingga migrasi masuk relatif rendah. Pada kuadran tiga terdapat Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Jakarta mengalami penurunan laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi, disebabkan pertambahan penduduk dan aktivitas perekonomian meluas ke luar batas wilayah Jakarta. Sedangkan Kabupaten Tangerang masih pada tahap tertinggal baik dari segi perekonomian dan pertumbuhan penduduk, serta masih didominasi oleh faktor pertumbuhan alamiah, karena migrasi masuk masih rendah. Sub-urban lainnya berada pada kuadran empat, yang dicirikan oleh laju pertumbuhan penduduk yang tinggi akibat dari perluasan (migrasi masuk) dari Jakarta. Sedangkan laju pertumbuhan perekonomiannya yang relatif rendah, menandai bahwa sektor perekonomian masih belum berkembang, melainkan masih mengarah ke Jakarta. Struktur Ketenagakerjaan dan Mobilitas Rumah-Tempat Kerja Jumlah tenaga kerja di suatu wilayah dapat menjadi indikasi terhadap jumlah (potensi) pelaku pergerakan. Besarnya jumlah pelaku pergerakan ini dikaitkan dengan perjalanan ke tempat kerja (journey to work), yang merupakan pergerakan harian. Namun data ini masih menunjukkan asal (origin) pergerakan, belum mengindikasikan tujuan (destinasi) dari pergerakan. Berdasarkan data tenaga kerja, penduduk Jakarta mencapai lebih dari 44% dari total penduduk. Sementara di kawasan perkotaan lainnya (sub-urban), proporsi jumlah tenaga kerja terhadap total penduduk masing-masing lebih dari 35%, bahkan terdapat kawasan yang tenaga kerjanya mencapai 60-80% dari total penduduk, seperti Kota Bekasi dan Kota Tangerang. Laju pertumbuhan tenaga kerja per tahun di Jakarta selama 2000-2010 sebesar 1,5%. Laju ini melebihi laju pertumbuhan penduduk Kota Jakarta. Dari pendapatan perkapita, terlihat perbedaan yang signifikan antara Jakarta dengan kawasan suburban Bodetabek, dimana PDRB per kapita Jakarta adalah 5 kali PDRB per kapita kawasan Bodetabek. Berdasarkan data tenaga kerja ini, maka potensi pelaku pergerakan terbesar terdapat di Jakarta yang mencapai 4,3 juta prang. Kota-kota sub-urban pada lingkaran pertama, tenaga kerja berkisar antara 500 ribu – 900 ribu orang, maka potensi pelaku pergerakan ke tempat kerja sebanding dengan jumlah tenaga kerja. Sedangkan sub-urban pada lingkaran kedua, maka potensi pelaku pergerakan (ke tempat kerja) masing-masing wilayah di atas 1 juta orang. Perkembangan tempat kerja salah satu indikatornya ditunjukkan oleh keberadaan industri, kawasan perdagangan (komersial), dan jasa. Penambahan luas daerah industri dan pergudangan cukup nyata. Luas daerah industri dan pergudangan pada tahun 2010 meningkat sekitar 130% dibandingkan tahun 2000. Penambahan luas daerah industri dan perdagangan banyak terjadi di sepanjang jalur jalan menuju pelabuhan laut Merak, di sekitar Kabupaten Bekasi dan ke arah selatan menuju Kabupaten Bogor. Tabel 2. Pertumbuhan Kawasan Industri dan Komersial di Jabodetabek Luas Kawasan Industri dan Komersial (ha) Wilayah Laju Pertumbuhan Tahun 2000 Tahun 2010 (% per tahun) 8.896,47 12.357,73 3,89 Kota Depok 419,96 631,36 5,03 Kota Bekasi 989,86 1.528,52 5,44 2.063,10 2.809,64 3,62 462,14 744,01 6,10 Kabupaten Bogor 2.223,00 3.939,66 7,72 Kabupaten Bekasi 4.070,98 5.841,75 4,35 Kabupaten Tangerang 2.901,64 4.278,59 4,75 382,63 584,57 5,28 DKI Jakarta Suburban lingkaran 1 Kota Tangerang Tangerang Selatan Suburban lingkaran 2 Kota Bogor Sumber: Hasil analisis 2013 Pertambahan luas kawasan perdagangan (komersial) dan jasa, juga cukup pesat, terutama di sub-urban, baik sub-urban lingkaran 1 maupun sub-urban lingkaran 2. Jika laju pertumbuhan tempat kerja per tahun ini dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk per dan laju pertumbuhan permukiman per tahun, maka terlihat bahwa laju pertumbuhan kawasan kerja (industri dan komersial) relatif lebih tinggi dari keduanya. Grafik 1. Perbandingan laju pertumbuhan penduduk, kawasan permukiman dan kawasan kerja (Sumber: Hasil Analisis) Dari grafik perbandingan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan kawasan kerja untuk semua daerah di Jabodetabek, lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan permukiman. Untuk laju permukiman sebagian besar lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk. Kinerja Transportasi terhadap Perekonomian Kinerja sistem transportasi pada kawasan perkotaan di Indonesia dapat ditunjukkan dari indeks aksesibilitas dan mobilitas. Kedua ukuran kinerja sistem transportasi ini masih bertumpu pada ketersediaan jaringan jalan. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kemudahan bagi pengguna jalan untuk mencapai suatu pusat kegiatan (PK) atau simpul-simpul kegiatan didalam wilayah yang dilayani jalan. Nilai ini berdasarkan perbandingan panjang jalan terhadap luas wilayah. Mobilitas adalah ukuran kualitas pelayanan jalan yang diukur oleh kemudahan per individu masyarakat melakukan perjalanan melalui jalan untuk mencapai tujuannya. Nilai mobilitas adalah perbandingan dari panjang jalan terhadap jumlah penduduk. Jalan yang digunakan oleh sejumlah orang, akan dirasakan berbeda atau berkurang kemudahannya jika digunakan oleh jumlah orang yang lebih banyak. Dengan standar nilai aksesibilitas dan mobilitas yang layak adalah 5, maka tampak sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3 tentang Kinerja Sistem Transportasi dan Perekonomian dari tujuh kawasan perkotaan di Indonesia, nilai aksesibilitas telah berada pada posisi melampaui nilai layak, yang berarti panjang jalan terhadap luas cakupan wilayah telah cukup. Namun demikian, kondisinya termasuk kategorisangat tidak mampu mendukung mobilitas masyarakatnya. Ini berarti, diperlukan suatu angkutan massal untuk mampu mendukung mobilitas masyarakat yang semakin banyak dalam melakukan pergerakan untuk mencapai pertumbuhan kegiatan ekonominya. Tabel 3. Kinerja Sistem Transportasi dan Perekonomian Kawasan Perkotaan di Indonesia,2013 Kota Inti Kawasan Perkotaaan Indeks Aksesiblitas Jakarta Jabodetabek 17,9 Medan Mebidangro 12,96 Kota Bandung Cekungan Bandung 7,9 Semarang Kedung Sepur 7,45 Surabaya Gerbang Kertasusila 6,24 Denpasar Sarbagita 5,06 Makassar Mamminasata 9,25 Sumber: diolah dari data BPS dan DDA 2013 Indeks Mobilitas 0,09 1,52 0,50 0,24 0,65 0,76 1,15 PDRB per kapita 130.210.000 56.060.000 52.420.000 38.880.000 96.510.000 34.730.000 41.760.000 Berdasarkan kinerja perkembangan ekonomi tujuh kawasan perkotaan di Indonesia sangat tampak bahwa terjadi konsentrasi yang sangat tinggi di Jakarta sebagai pusat dari Jabodetabek. Surabaya sebagai kota terbesar kedua dan menjadi pusat dari Perkotaan Gerbang Kertasusila tampak juga menempati capaian PDRB perkapita kedua secara nasional. Kinerja perekonomian kawasan perkotaan secara nasional tidak didukung dengan kinerja transportasi. Kemacetan yang terjadi di kawasan perkotaan menyebabkan biaya ekonomi tinggi dan bahkan menurunkan produktivitas pekerja dan perekonomian. Secara individu pelaku pergerakan membutuhkan waktu yang semakin lama, biaya yang semakin tinggi, dan konsumsi bbm yang meningkat untuk mencapai tempat kerja. Hasil survey terhadap penglaju Jabodetabek menunjukkan bahwa rata-rata jarak perjalanan yang harus ditempuh oleh para penglaju Bodetabek ke Jakarta lebih dari 20 km, baik dari selatan (sebanyak 85,5%), barat (75,5%), maupun timur (66,9%). Waktu yang diperlukan oleh penglaju menuju ke tempat kerja dengan menggunakan kendaraan pribadi secara rata-rata di atas 90 menit (Hasibuan,2013). Manfaat Ekonomi dari TOD Manfaat penerapan TOD dari sisi ekonomi adalah cara untuk mengarahkan perencanaan pelayanan transit, karena lokasi permukiman dan pembangunan kantor di dekat transit secara umum memastikan utilisasi transit yang lebih tinggi dan memberikan pengembalian (return) yang lebih besar pada investasi transit. Gambar 3. Ilustrasi Penataan Ruang, Pengunaan lahan, dan Deliniasi Kawasan TOD. Sumber: Ilustrasi Penulis Kota-kota dengan ketergantungan terhadap kendaraan pribadi membelanjakan 15% dan 20% dari pendapatan untuk biaya transportasi, sementara kota-kota yang menerapkan TOD membelanjakan hanya 5%-8% dari pendapatannya untuk biaya transportasi (Newman, 2008). Hasil penelitian TOD di USA menunjukkan bahwa TOD dapat menekan alih fungsi lahan pertanian dan kawasan-kawasan yang sensitif secara lingkungan menjadi perumahan dan komersial (TCRP, 2010). Kajian terhadap penerapan TOD di Dalian, China (Jong dan Mu, 2012) menunjukkan bahwa untuk dapat menerapkan TOD dengan efektif dibutuhkan kondisi tersedianya rancang perkotaan yang ramah pedestrian dan pelayanan transit yang berkualitas tinggi. Disebutkan pula bahwa secara historis magnitud investasi transit lebih berperan dalam mendorong agglomerasi perkotaan di Asia dan Eropa daripada di Amerika, sehingga TOD dapat membentuk kota-kota di Asia menjadi kompetitif (Murakami, 2010). Pada skala individual dan komunal masyarakat perkotaan, TOD dapat merevitalisasi lingkungan permukiman dan menciptakan focal point untuk kehidupan komunitas. Perumahan dekat transit dapat memberikan tempat tinggal yang lebih terjangkau dan akses ke tempat kerja yang lebih tinggi. masyarakat yang tinggal atau bekerja di TOD potensial menghindar dari kemacetan. Dengan demikian, biaya transportasi (rupiah dan waktu tempuh) yang harus dikeluarkan per individu menjadi berkurang. Dan dengan menurunnya penggunaan kendaraan pribadi Kesimpulan Dari uraian di atas, tampak bahwa penerapan TOD cenderung mendukung prinsipprinsip smart growth dalam mengatasi pola sprawl dan kemacetan lalulintas dengan menyediakan pilihan transportasi, meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas masyarakat dalam perjalanan rumah-tempat kerja. Secara ringkas, keuntungan ekonomi dari penerapan TOD pada kawasan perkotaan antara lain dapat: a) mengurangi biaya transportasi melalui peningkatan penggunaan transit; b) menurunkan volume kendaraan pada jalan untuk mengurangi tingkat kemacetan melalui pengurangan kebergantungan pada kendaraan pribadi; c) menurunkan investasi pada infrastruktur jalan karena dengan TOD mengurangi permintaan terhadap jalan; d) meningkatkan saving transportasi dengan peningkatan penggunaan transportasi non-motoris; dan e) meningkatkan sirkulasi perekonomian lokal melalui penempatan di hub transit. Referensi Curwell, 2005, Sustainable Urban Development: the framework and protocols for environment assessment, Routledge, London. Gorham, R, 2002, Air pollution from ground transportaion: an assessment of couses, strategies, and proposed ations for the international community, the Global Initiative on Transport Emissions, United Nations. Hasibuan, S,H, 2013, Model Penataan Ruang dan Transportasi Ramah Lingkungan untuk Perkotaan Berkelanjutan (kajian Pengembangan Konsep Pembangunan Berorientasi Transit di Jabodetabek), Disertasi, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia. JICA, 2011, Laporan Survey Komuter (Residential Survey), Jabodetabek Urban Transport Policy Integration, Final Report, JICA dan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan. Newman, 2008, Cities as Sustainable Ecosystems: principles and practices, Island Press, USA. TRCP, 2010, Transit Oriented Development in United States: experiences, challenges, and prospects.